BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam kodratnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan haruslah hidup bersama dengan manusia lainnya. Proses tersebut dikenal dengan istilah bermasyarakat, dalam kehidupan bermayarakat tiap-tiap individu seringkali mempunyai kepentingan yang berbeda satu sama lain. Kepentingan-kepentingan tersebut seringkali saling bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya dan pada akhirnya menimbulkan suatu permasalahan yang disebut sengketa. Untuk menghindari sengketa tersebut kemudian manusia mengadakan tata tertib dengan cara membuat ketentuan atau hukum (Retno Wulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata, 2002:1). Hukum itu sendiri dalam artinya sebagai hukum positif adalah hukum yang ada dan berlaku di suatu tempat, waktu dan masyarakat tertentu (Mochtar Kusumaatmadja & Arief Sidharta, 1999:1). Esensi dari adanya suatu hukum adalah untuk memberikan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat (L.J van Apeldoorn, 2001:10-11). Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan konstitusi Negara Indonesia pun secara tersurat menjelaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, atas hal tersebut tentunya memberikan implikasi bahwa segala aktifitas bermasarakat di Indonesia haruslah berlandaskan hukum. Dalam perkembangan ilmu hukum itu sendiri dikenal dengan adanya pembagian hukum publik dan hukum privat (perdata). Sistem hukum Romawi menarik secara tegas antara hukum perdata dan hukum publik. Hukum perdata atau hukum privat mengatur perkara yang berisi hubungan antara warga atau manusia seperti perkawinan, waris dan perjanjian. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum publik adalah hukum yang mengatur kepentingan umum, seperti hubungan antara individu dengan negara. Pemisahan tersebut masuk kedalam sistem hukum (Eropa) kontinental (Satjipto Rahardjo, 2006:73). Negara Indonesia yang juga menganut sistem hukum (Eropa) kontinental membagi hukum privat terdiri atas hukum materil dan hukum formil. Hukum 1
2
perdata materil yang sering juga disebut dengan hukum sipil (burgerlijk recht) mengatur mengenai hal-hal yang bersifat keperdataan, sedangkan hukum perdata fomil adalah hukum yang mengatur mengenai cara mempertahankan atau menegakan ketentuan dalam hukum perdata materil. Hal tersebut dilakukan dengan suatu acara ataupun mekanisme, karena hal tersebut maka hukum perdata formil sering disebut hukum acara perdata (L.J van Apeldoorn, 2001:220-249). Dalam praktik peradilan di Negara Indonesia pun dikenal dengan adanya asas sederhana, cepat dan biaya ringan. Berdasarkan penjelasan Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan yang dimaksud sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien dan efektif. Kemudian yang dimaksud dengan biaya ringan yaitu biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat. Sedangkan
Sudikno
Mertokusumo
menjelaskan
(Sudikno
Mertokusumo,
2002:36): “Sederhana yaitu acara yang jelas, mudah dipahami dan tidak berbelitbelit. Makin sedikit dan sederhananya formalitas yang diwajibkan atau diperlukan dalam proses beracara pengadilan maka akan semakin baik. Terlalu banyak formalitas yang sulit dipahami atau peraturanperaturan yang mengandung banyak arti (dubieus), sehingga memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran kurang menjamin adanya kepastian hukum dan menyebabkan keengganan atau ketakutan untuk beracara di muka pengadilan. Cepat yang dimaksud adalah menunjuk pada jalannya peradilan, terlalu banyak formalitas merupakan suatu hambatan tersendiri dalam jalannya peradilan. Dalam hal ini bukan hanya jalannya peradilan dalam pemeriksaan di muka sidang saja, tetapi juga penyelesaian dari berita acara pemeriksaan di persidangan sampai dengan penandatanganan putusan oleh hakim serta eksekusinya. Cepatnya suatu proses peradilan akan meningkatkan kewibawaan pengadilan tersebut dan menambah kepercayaan masyarakat pada pengadilan. Sedangkan adanya biaya ringan dimaksudkan agar segala proses peradilan dapat terpikul oleh rakyat, biaya yang tinggi akan menyebabkan pihak yang berkepentingan tidak mau atau bahkan takut untuk mengajukan tuntutan kepada pengadilan yang bersangkutan.” Adanya asas sederhana, cepat dan biaya ringan tersebut sudah seharusnya diterapkan dalam hukum acara, tidak terkecuali hukum acara perdata. Dengan diterapkannya asas sederhana, cepat dan membutuhkan biaya yang ringan
3
diharapkan masyarakat tidak enggan untuk menyelesaikan perkaranya di pengadilan dan pengadilan dapat menjadi tempat bagi para pencari keadilan dalam menyelesaikan perkaranya. Pemeriksaan perkara perdata dalam praktiknya tidak dapat dilepaskan dari adanya proses pengajuan suatu gugatan, dimana dalam sengeketa perdata dapat ditemukan jenis-jenis gugatan seperti gugatan cerai, waris, wanprestasi hingga perbuatan melawan hukum. Seiring berjalannya waktu dalam praktik pengajuan gugatan pun dikenal dengan adanya istilah kumulasi gugatan (samenvoeging). Soepomo mengutip pendapat dari Star Busman dalam bukunya “Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri” menjelaskan apabila terdapat seseorang mempunyai lebih dari satu “aanspraak” (tuntutan), yang ditujukan kepada satu tujuan yang sama, maka dengan diajukannya satu tuntutan salah satu hal tersebut maka maksud bersama itu telah tercapai. Samenvoeging atau kumulasi gugatan terbagi atas kumulasi subjektif dan kumulasi objektif. Suatu kumulasi gugatan dikatakan bersifat subjektif yaitu apabila dalam satu surat gugatan terdapat beberapa orang tergugat, sedangkan kumulasi gugatan objektif dilakukan apabila pihak penggugat mengajukan beberapa hal atau objek gugatan kepada tergugat dalam satu gugatan. Di dalam prosedur pemeriksaan perkara perdata di muka pengadilan land-raad dahulu, Raad Justisi Jakarta dalam putusannya tanggal 20 Juni 1939 mengatakan antara beberapa gugatan yang digabungkan harus terdapat adanya suatu hubungan batin (innerlijke samenhang) atau connexiteit. Apabila beberapa gugatan yang dikumulasi tersebut terdapat suatu connexiteit maka kumulasi itu akan memudahkan proses pemeriksaan perkara serta menghindari kemungkinan adanya putusan-putusan yang saling bertentangan satu sama lain, sehingga samenvoeging tersebut memang benar processueel doelmatig (Soepomo, 2002:27-28). Dalam hal kumulasi gugatan pada kenyataannya memang tidak ditemui aturan yang secara rigid memperbolehkan atau melarang praktik tersebut, akan tetapi dalam praktiknya terdapat tiga kumulasi objektif yang tidak diperbolehkan yaitu (Sudikno Mertokusumo, 2002:70-71): 1. Kalau untuk suatu tuntutan (gugatan) tertentu diperlukan suatu acara khusus (gugat cerai) sedangkan tuntutan yang lain harus
4
diperiksa menurut acara biasa (gugatan untuk memenuhi perjanjian). 2. Demikian pula apabila hakim tidak berwenang secara relatif untuk memeriksa salah satu tuntutan yang diajukan bersama-sama dalam satu gugatan dengan tuntutan lain. 3. Tuntutan tentang bezit tidak boleh diajukan bersama-sama dengan tuntutan tentang eigendom dalam satu gugatan. M. Yahya Harahap dalam bukunya hukum acara perdata menjelaskan bahwa pada hakikatnya masing-masing gugatan diajukan dalam surat gugatan yang terpisah dan diperiksa serta diputus dalam proses pemeriksaan dan putusan yang terpisah dan berdiri sendiri. Akan tetapi dalam hal keadaan tertentu diperbolehkan untuk melakukan penggabungan (kumulasi) gugatan dalam satu surat gugatan apabila antara satu gugatan dengan gugatan yang lain terdapat satu hubungan erat (M. Yahya Harahap, 2014:102). Hakim dalam memeriksa perkara perdata seharusnya bersifat pasif dimana hakim memeriksa perkara yang ruang lingkup atau luas pokok sengketa ditentukan oleh pihak yang berperkara itu sendiri. Hakim dalam memeriksa perkara tersebut terikat pada peristiwa yang menjadi sengketa yang diajukan oleh para pihak dan para pihak yang berperkaralah yang harus membuktikan dan bukan hakim. Hal inilah yang dimaksud dengan asas Verhandlungsmaxime (Sudikno Mertokusumo, 2010:16-17). Adanya asas ini tentunya secara logika memberikan kesempatan bagi para pihak untuk melakukan kumulasi gugatan, karena hakim tidak dapat membatasi materi gugatan dari penggugat. Kumulasi gugatan tersebut apabila dikaitkan dengan asas sederhana, cepat dan biaya ringan tentunya sangat berkesesuaian. Dengan adanya kumulasi gugatan maka akan menyederhanakan proses pemeriksaan karena subjek ataupun objek yang menjadi sengketa sudah terangkum dalam satu gugatan. Hal itu pula berimplikasi pada cepatnya proses pemeriksaan dan besar kemungkian hingga proses pelaksanaan putusan. Selain itu dengan adanya kumulasi gugatan juga akan meringankan biaya dalam berperkara karena biaya yang dikeluarkan untuk proses administrasi terminimalisir dengan hanya mengajukan satu surat gugatan. Pada kenyataanya penulis menemukan 2 (dua) putusan yang mana amar dari kedua putusan tersebut saling bertentangan yaitu dalam putusan Mahkamah
5
Agung Nomor. 2157 K/PDT/2012 Hakim Agung mengabulkan kumulasi gugatan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi, namun pada putusan Mahkamah Agung Nomor. 571 PK/PDT/2008 Hakim Agung menyatakan kumulasi gugatan dalam perkara tersebut tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard). Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk mengkaji secara lebih lanjut dalam bentuk penelitian hukum dengan judul “PROBLEMATIKA KUMULASI GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM DAN WANPRESTASI DALAM PERKARA PERDATA (STUDI PUTUSAN MA NOMOR. 2157 K/PDT/2012 DAN PUTUSAN MA NOMOR. 571 PK/PDT/2008)”
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan tersebut, maka penulis mengemukakan beberapa pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apa pertimbangan Hakim Agung mengabulkan kumulasi gugatan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi dalam putusan nomor. 2157 K/Pdt/2012? 2. Apa pertimbangan Hakim Agung menyatakan kumulasi gugatan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard) dalam putusan nomor. 571 PK/PDT/2008? 3. Apa syarat kumulasi gugatan yang dibenarkan menurut tata tertib hukum acara perdata?
C. Tujuan Penelitian Dalam suatu penelitian pada dasarnya memiliki tujuan yang hendak dicapai. Tujuan penelitian pun haruslah jelas sehingga dapat memberikan arah dalam pelaksanaan penelitian. Bahwa dalam penelitian ini terdapat 2 (dua) macam tujuan penelitian, yaitu tujuan objektif dan tujuan subjektif. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
6
1. Tujuan Objektif a. Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan Hakim Agung dalam mengabulkan kumulasi gugatan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi dalam putusan nomor. 2157 K/Pdt/2012. b. Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan Hakim Agung yang menyatakan
kumulasi
gugatan
perbuatan
melawan
hukum
dan
wanprestasi tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard) dalam putusan nomor. 571 PK/PDT/2008. c. Untuk menganalisis syarat kumulasi gugatan yang dibenarkan menurut tata tertib acara. 2. Tujuan Subjektif a. Untuk memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam menyusun penulisan hukum (skripsi) agar dapat memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Untuk menambah, memperluas dan mengembangkan wawasan serta pengetahuan penulis di bidang hukum acara perdata terkait dengan hal kumulasi gugatan. c. Untuk menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis peroleh agar dapat memberikan manfaat, khususnya bagi penulis sendiri dan masyarakat pada umumnya.
D. Manfaat Penelitian Penelitian dalam penulisan hukum (skripsi) ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengetahuan terutama ilmu hukum baik secara teoritis maupun praktis. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian dan penulisan hukum ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pengetahuan yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum acara perdata pada khususnya.
7
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi dan literatur kepustakaan mengenai kumulasi gugatan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi.
2. Manfaat Praktis a. Menjadi sarana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran dan pola pikir ilmiah serta untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh. b. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai acuan dalam penelitian-penelitian sejenis pada tahap selanjutnya dan berguna bagi para pihak yang pada kesempatan lain memiliki niat untuk mengkaji permasalahan sejenis. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan masukan dan sumbangan pemikiran kepada semua pihak yang membutuhkan pengetahuan terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini.
E. Metode Penelitian Esensi dari penelitian hukum merupakan kegiatan know-how, dalam ilmu hukum bukan hanya sekedar know-about. Sebagai suatu kegiatan know-how, penelitian hukum dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang sedang dihadapi. Maka dibutuhkanlah suatu kemampuan untuk mengidentifikasi masalah hukum, melakukan penalaran hukum, menganalisis masalah yang dihadapi dan kemudian memberikan pemecahan atas suatu masalah tersebut (Peter Mahmud Marzuki, 2014:60). Peter Mahmud Marzuki mengutip pendapat dari Menurut Morris, L. Cohen tentang esensi dari penelitian hukum dalam bukunya “Penelitian Hukum Edisi Revisi” (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 57): “legal research is the process of finding the law thath governs activities in human society”. Adapun untuk menjawab isu hukum yang ada dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
8
1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif atau dikenal juga sebagai penelitian hukum doktrinal, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada dengan mendasarkan hukum sebagai suatu norma. Pada hakikatnya istilah penelitian hukum normatif tidak diperlukan karena istilah penelitian hukum atau legal research (rechtsonderzoek) sudah jelas bersifat normatif (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 55-56). Pada penelitian ini penulis memecahkan isu hukum terkait problematika kumulasi gugatan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi dengan menganalisis pertimbangan Hakim Agung dalam mengabulkan kumulasi gugatan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi dalam putusan Mahkamah Agung Nomor. 2157 K/Pdt/2012 serta menganalisis pertimbangan Hakim Agung terkait tidak diterimanya gugatan (niet ontvankelijke verklaard) atas kumulasi gugatan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi dalam putusan Mahkamah Agung Nomor. 571 PK/PDT/2008, tidak hanya itu penulis juga mengkaji
bagaimanakah
kumulasi
gugatan
objektif
yang seharusnya
dibenarkan menurut tata tertib hukum acara perdata. Dimana dalam memecahkan berbagai isu hukum tersebut penulis akan menganalisis dengan menggunakan ketentuan normatif yang berasal dari pendapat ahli dan berbagai kaidah hukum. 2. Sifat Penelitian Pada penyusunan penelitian ini penulis menggunakan penelitian yang bersifat preskriptif/terapan. Hal tersebut dilakukan oleh penulis karena pada hakikatnya ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif/terapan yang mengkaji koherensi antara norma hukum dan prinsip hukum, antara aturan hukum dan norma hukum, serta koherensi antara tingkah laku individu dengan norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 41-42). Dalam penelitian yang penulis susun ini bersifat preskriptif/terapan karena pada penelitian ini penulis mengkaji konsep kumulasi gugatan objektif terkait dengan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi dalam hukum acara
9
perdata di Indonesia berdasarkan aturan-aturan dalam hukum acara perdata di Indonesia serta berbagai yurisprudensi hakim yang membahas mengenai kumulasi gugatan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi yang kemudian digunakan/diterapkan untuk menganalisis pertimbangan Hakim Agung terkait dikabulkannya kumulasi gugatan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi dalam
putusan
Mahkamah
Agung
Nomor.
2157
K/Pdt/2012
serta
digunakan/diterapkan untuk menganalisis pertimbangan Hakim Agung terkait terkait tidak diterimanya gugatan (niet ontvankelijke verklaard) atas kumulasi gugatan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi dalam putusan Mahkamah Agung Nomor. 571 PK/PDT/2008. 3. Pendekatan Penelitian Dalam penelitian hukum terdapat beberapa model pendekatan, dimana Peter Mahmud Marzuki dalam bukunya “Penelitian Hukum Edisi Revisi” menjelaskan mengenai penelitian hukum terbagi dalam pendekatan (Peter Mahmud Marzuki, 2014:133): a. b. c. d. e.
Pendekatan undang-undang (statute approach). Pendekatan kasus (case approach). Pendekatan historis (historical approach). Pendekatan komparatif (comparative approach). Pendekatan konseptual (conceptual approach).
Berdasarkan beberapa pendekatan di atas penulis dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kasus (case approach) karena esensi dari pendekatan kasus tersebut dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang diangkat dan telah menjadi putusan yang berkekuatan hukum tetap. Bahwa kemudian yang menjadi pokok kajian dalam pendekatan kasus yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai pada suatu putusan (Peter Mahmud Marzuki, 2014:134). Adapun dalam penelitian ini penulis menganalisis 2 (dua) putusan yaitu putusan Mahkamah Agung Nomor. 2157 K/Pdt/2012 dan putusan Mahkamah Agung Nomor. 571 PK/PDT/2008, dimana putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjsde) untuk menjawab mengenai problematika kumulasi gugatan objektif perbuatan melawan hukum dan wanprestasi.
10
4. Jenis dan Sumber Data Penelitian Dalam penelitian hukum ini bahan hukum yang dipakai adalah bahan hukum primer dan sekunder. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan resmi atau risalah dalam permbuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud Marzuki, 2014:181). Adapun bahan hukum primer dan sekunder dalam penelitian ini terdiri atas: a. Bahan hukum primer: 1) Herzien Inlandsch Reglement (HIR); 2) Wetboek op de burgerlijke rechtvordering (RV); 3) Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBG); 4) Burgerlijk Wetboek voor Indonesie (KUHPer); 5) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung; 6) Putusan Mahkamah Agung Nomor. 2157 K/Pdt/2012; dan 7) Putusan Mahkamah Agung Nomor. 571 PK/PDT/2008. b. Bahan hukum sekunder: Bahan hukum sekunder meliputi hasil karya ilmiah dan penelitianpenelitian yang relavan atau terkait dengan penelitian ini termasuk diantaranya skripsi, tesis, disertasi maupun jurnal-jurnal hukum serta kamus-kamus hukum dan buku yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti (Peter Mahmud Marzuki, 2014:196). 5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Pada penelitian ini penulis dalam memperoleh bahan hukum yang diperlukan untuk keperluan analisis menggunakan teknik studi dokumen. Teknik pengumpulan ini dilakukan dengan membaca, mengkaji dan memberi catatan dari buku, peraturan perudang-undangan, tulisan dan publikasi ilmiah yang berkaitan dengan hal kumulasi gugatan objektif perbuatan melawan hukum dan wanprestasi.
11
6. Teknik Analisis Bahan Hukum Analisis bahan hukum merupakan tahap yang paling penting di dalam suatu penelitian. Hal ini karena dalam penelitian ini bahan yang diperoleh diproses dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai didapat suatu kesimpulan yang nantinya menjadi hasil akhir dari penelitian. Teknik analisis bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan hukum ini adalah deduksi, sebagaimana silogisme yang diajarkan Aristoteles, penggunaan metode deduksi ini berpangkal dari pengajuan premis mayor, kemudian diajukan premis minor. Bahwa dari kedua premis ini kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusio (Peter Mahmud Marzuki, 2014:89). Bahwa kemudian dalam penelitian ini penulis menggunakan HIR, RV, RBg, Rv doktrin serta yurisprudensi terkait kumulasi gugatan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi sebagai premis mayor, kemudian dikorelasikan dengan premis minor yang berupa pertimbangan Hakim Agung dalam Mahkamah Agung Nomor. 2157 K/Pdt/2012 yang mengabulkan kumulasi gugatan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi dalam putusan dan pertimbangan Hakim Agung dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor. 571 PK/PDT/2008 yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard) sehingga dapat dirumuskan syarat kumulasi gugatan yang dibenarkan menurut tata tertib hukum acara perdata.
F. Sistematika Penulisan Hukum Sistematika
penulisan
hukum
ini
memberikan
gambaran
secara
komprehensif mengenai bahasan yang dikaji oleh penulis. Dalam sistematika penulisan hukum (skripsi) terdiri dari 4 (empat) bab. Selain itu, sistematika penulisan ini bertujuan untuk mempermudah dalam melakukan pembahasan, menganalisa serta penjabaran isi dari penelitian yang dimaksud. Sistematika penulisan hukum tersebut diuraikan sebagai berikut:
12
BAB I
: PENDAHULUAN Pada bab ini penulis menjelaskan mengenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum.
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini terdiri dari 2 (dua) sub bab yaitu mengenai kerangka teori dan kerangka pemikiran. Dalam kerangka teori penulis akan menguraikan mengenai tinjauan-tinjauan yang akan digunakan untuk menganalisis/memecahkan isu hukum yang penulis angkat. Sedangkan dalam kerangka pemikiran penulis akan memberikan gambaran singkat mengenai duduk perkara dalam putusan yang penulis angkat. Adapun kerangka teori dalam penelitian ini penulis menjelaskan mengenai tinjauan tentang hukum acara perdata, gugatan, perbuatan melawan hukum, wanprestasi dan kumulasi gugatan. Sedangkan dalam kerangka pemikiran penulis akan menjelaskan mengenai duduk perkara dari putusan Mahkamah Agung Nomor. 2157 K/Pdt/2012 dan putusan Mahkamah Agung Nomor. 571 PK/PDT/2008.
BAB III
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab hasil penilitian adalah bab inti dalam penulisan hukum (skripsi) ini. Bab ini memaparkan hasil penelitian yang kemudian dengan
analisis
menghasilkan
pembahasan
atas
pokok
permasalahan seperti yang telah dirumuskan sebelumnya. Hasil pembahasan dalam penelitan ini menjelaskan mengenai hal-hal atau data-data yang ada pada putusan Mahkamah Agung Nomor. 2157 K/Pdt/2012 dan putusan Mahkamah Agung Nomor. 571 PK/PDT/2008 yang kemudian penulis bahas untuk dapat menjawab isu hukum yang penulis angkat.
13
BAB IV
: PENUTUP Pada bab ini penulis menguraikan secara garis besar jawaban atas rumusan masalah yang penulis buat disertai dengan saran dari penulis berkaitan dengan permasalahan dalam rumusan masalah.
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN