BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan Indonesia dinilai Dedi Lutan1 kurang mendapat kepedulian dari pemerintah Indonesia. Hal tersebut mengakibatkan ketahanan budaya Indonesia saat ini harus berhadapan dengan tantangan yang berat. Budaya-budaya daerah atau lokal seperti ritual, seni pertunjukan, produk arsitektur, cerita rakyat, alat musik, lagu, senjata dan alat perang, serta naskah kuno dan prasasti yang kesemuanya memiliki keunikan yang layak dilindungi serta dirawat agar tidak mudah diklaim oleh bangsa lain. Imbas ketidakpedulian pemerintah terhadap kebudayaan tersebut salah satunya menimpa Lokananta, sebuah perusahaan rekaman pertama sekaligus cagar budaya musik di Indonesia yang menyimpan puluhan ribu piringan hitam, master rekaman lagu daerah, hingga pidato kenegaraan Presiden Soekarno (termasuk rekaman Proklamasi Kemerdekaan R.I). Kurangnya sosialisasi dan dukungan pemerintah dalam mengembangkan Lokananta yang telah melahirkan nama-nama besar seperti Titiek Puspa, Gesang, Bing Slamet, dan Sam Saimun tersebut membuat kondisi Lokananta memprihatinkan. Hasil
wawancara
dengan
Kepala
Lokananta,
Pendi
Heryadi,
mengungkap bahwa saat ini Lokananta dihadapkan pada permasalahan finansial karena tidak adanya subsidi pemerintah dan pendanaan dari Perum PNRI (Percetakan Negara Republik Indonesia) pusat sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang membawahi Lokananta. Padahal, Di Perum PNRI sendiri, posisi Lokananta di tempatkan pada ruang lingkup usaha bagian multimedia
seperti
rekaman
(kaset
dan
CD
ROM),
remastering,
pengembangan percetakan dan jasa grafika serta kegiatan di dunia penyiaran. 1
Seorang pengamat seni dan budaya dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ) 1
D, berbagai cara dilakukan secara mandiri oleh pihak Lokananta untuk terus bertahan seperti mengandalkan penghasilan dari studio rekaman, menjual kaset dan koleksi, serta memanfaatkan bangunan untuk disewakan sebagai lahan bisnis diluar bidang musik. Permasalahan kurang maksimalnya perawatan juga menimpa studio rekaman terbaik dengan akustik dan luas ruang yang sangat memadai untuk live recording tersebut dan berimbas pada terjadinya banyak kerusakan pada peralatan dan bangunan. Hal yang sama juga terjadi pada proses perawatan koleksi yang dimiliki Lokananta. Piringan hitam dan master rekaman lagu tidak ditempatkan pada ruangan yang ber-AC selama 24 jam. Selain itu, perawatan juga dilakukan secara tradisional dengan hanya menaruh biji kopi disekitarnya. Hal tersebut mengakibatkan kerusakan dini pada koleksi. Dalam badan kepegawaian, Lokananta hanya terdiri dari 18 karyawan dengan formasi status satu pegawai tetap Perum PNRI dan tujuh 17 karyawan lokal. Itu artinya, pegawai yang menerima gaji dari Perum PNRI hanya satu orang dan 17 orang lainnya digaji secara honorer. Tak jarang, Pendi mengeluarkan dana independen untuk menggaji bawahannya. Regenerasi dan recruitment pegawai baru terkendala oleh permasalahan status dan terbatasnya kemampuan finansial perusahaan. Status perusahaan Lokananta yang merupakan sebuah perum cabang juga menjadi kendala apabila ada investor yang menawarkan kerja sama. Alur birokrasi yang rumit harus ditempuh investor untuk mendapatkan keputusan strategis dari pimpinan perum pusat yang bertempat di Jakarta. Tak jarang, banyak pula investor yang ingin membeli Lokananta untuk dijadikan lahan bisnis seperti hotel dan pertokoan. Permasalahn lainnya adalah para musisi yang merupakan target konsumen studio rekaman Lokananta lebih memilih melakukan rekaman di studio-studio dengan peralatan yang lebih canggih. Hal tersebut mengakibatkan Lokananta lepas dari daftar studio yang akan mereka tuju untuk melakukan rekaman. 2
Masyarakat umum juga tidak banyak mengetahui keberadaan dan apa itu Lokananta. Di Solo sendiri, Lokananta lebih dikenal sebagai lapangan futsal dan gudang penyimpanan sembako. Berangkat dari kondisi Lokananta tersebut, tercetuslah sebuah kampanye Sahabat Lokananta oleh generasi muda yang peduli terhadap musik tanah air. Mereka berkeinginan untuk membantu mengaktifkan kembali Lokananta sebagai cagar budaya musik Indonesia. Larson (dalam Venus, 2004: 11) membagi jenis kampanye ke dalam tiga kategori yakni: commercial campaign/corporate campaign, political campaign, dan social change campaign. Dari ketiga jenis kampanye tersebut, kampanye Sahabat Lokananta dapat digolongkan sebagai social change campaign. Hal tersebut dikarenakan Sahabat Lokananta berorientasi pada tujuan yang bersifat khusus yaitu mengaktifkan kembali Lokananta sebagai cagar budaya musik Indonesia dan berdimensi pada perubahan perilaku serta peningkatan kesadaran masyarakat tentang eksistensi Lokananta. Kampanye Sahabat Lokananta diresmikan pada Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2012. Dalam sejarah kemunculannya, kampanye Sahabat Lokananta bergerak melalui tagar Sahabat Lokananta (#SahabatLokananta) oleh Intan Anggita, lewat jejaring sosial Twitter. Intan Anggita sendiri adalah seorang praktisi musik yang aktif menulis tentang permusikan Indonesia dan saat ini menempuh pendidikan S2 di Intitut Musik Daya Indonesia. Dari fakta-fakta tentang keberadaan dan kondisi Lokananta yang Intan ungkap melalui account Twitter pribadinya, banyak dukungan yang datang dari masyarakat Indonesia secara luas melalui Twitter dan kemudian muncul ide penyelenggaraan penggalangan dana dan program kepedulian pada Lokananta secara nyata.
3
Selain menumbuhkan pemahaman pada masyarakat umum, kampanye Sahabat Lokananta juga memberi pemahaman pada musisi nasional tentang keberadaan dan fungsi Lokananta. Hal tersebut menarik minat para musisi untuk melakukan rekaman di Lokananta seperti Glenn Fredly, White Shoes and The Couples Company, Shaggy Dog, Captain Jack dan Pandai Besi. Dukungan untuk Sahabat Lokananta terus berdatangan melalui Twitter (Tweets dapat ditelusuri dengan mengetikan #SahabatLokananta pada kolom pencarian di aplikasi Twitter). Tak hanya itu, lahirnya kampanye Sahabat Lokananta juga mendorong para penggiat Blog untuk mendukung Sahabat Lokananta dengan menulis tentang Lokananta atau Sahabat Lokananta di blog pribadinya. Selain itu, banyak pula media online seperti www.kompas.com, www.rollingstones.co.id,
atau
Blog
informatif
http://deanstreetbillys.wordpress.com/, http://kanaltigapuluh.com/,
seperti
http://gigsplay.com/
http://irockumentary.com/,
yang
kemudian
memuat artikel Lokananta atau Sahabat Lokananta didalamnya. Pada
pelaksanaanya,
kampanye
sosial
di
Amerika
banyak
berkonsentrasi di bidang kesehatan, khususnya HIV/AIDS. Hal tersebut seperti apa yang terdapat pada http://www.cdcnpin.org/. Salah satu dari kampanye tersebut adalah “The One Test, Two Lives”, sebuah kampanye oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) yang berfokus pada usaha pencegahan penularan HIV/AIDS dari ibu ke anak, serta meningkatkan kesehatan ibu mengandung secara optimal. Kampanye ini menggunakan media print ad, sosial media yaitu Facebook dan Twitter, serta website yang sifatnya sangat informatif dan selalu diperbarui. Berbeda dengan isu kampanye sosial yang terjadi di Amerika, kampanye sosial yang terdapat di Eropa banyak mengangkat tema tentang hak asasi manusia, seperti kesetaraan gender, rasisme dan intoleransi, perdagangan manusia, dan kekerasan pada perempuan dan anak. Hal tersebut dapat dilihat 4
pada salah satu situs resmi pemerintah Eropa, http://hub.coe.int/ yang banyak memberi pemaparan tentang berbagai macam kampanye yang telah atau sedang dilakukan. “One of Five” merupakan salah satu kampanye oleh Pemerintah Eropa yang berusaha menghentikan praktik kekerasan seksual pada anak-anak di Eropa. Kampanye ini mengunakan media website, buku anak-anak, televisi, poster, dan kartu pos yang tersedia dalam delapan bahasa yaitu Bahasa Inggris, Perancis, Belanda, Italia, Spanyol, Ceko, dan Serbia. Isu yang lebih beragam terjadi pada praktik kampanye sosial di Asia, dimana isu yang diangkat tak hanya tentang kesehatan dan hak asasi manusia. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa kampanye yang mengangkat isu sosial seperti sikap berlalu lintas, sikap bersosialisasi terhadap orang yang lebih tua, dan peningkatan kemampuan berbahasa Inggris. Dilansir dari situs resminya “Speak
(http://www.goodenglish.org.sg/),
Good
English
Movement”
merupakan sebuah kampanye yang berlangsung di Singapura dan dijalankan oleh para praktisi akademis profesional untuk mengajak masyarakat Singapura lebih menguasai Bahasa Inggris dengan lebih baik dan benar. Dalam penyebarannya, kampanye ini menggunakan sosial media seperti Facebook dan Twitter, serta website yang berisi pembelajaran Bahasa Inggris. Ada berbagai tema yang disampaikan dengan metode yang menarik, referensi buku, informasi jadwal workshop, serta tips untuk orang tua dan anak. Selain itu, kampanye ini juga didukung dengan adanya aplikasi IPhone sebagai penunjang untuk mengasah kemampuan berbahasa Inggris, hubungan kerja sama dengan Pemerintah Inggris, dan pengadaan penghargaan guru Bahasa Inggris. Menilik trend di tiga benua di atas, dapat diketahui bahwa media sosial seperti Facebook dan Twitter telah banyak digunakan untuk menunjang pelaksanaan kampanye sosial. Namun penggunaan media baru dalam pelaksanaan kampanye sosial yang bergerak dalam konteks pelestarian 5
budaya, khususnya di Indonesia masih sangat terbatas. Hal tersebut mendorong penelitian ini untuk lebih mengeksplorasi penggunaan media baru yaitu Twitter dan Blog dalam kampanye Sahabat Lokananta yang pada awalnya dilakukan melalui media baru yaitu Twitter dan dijalankan secara independen (tanpa campur tangan pemerintah) oleh masyarakat umum, khususnya anak muda, dalam rangka pelestarian cagar budaya musik Indonesia yang notabene adalah milik negara. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana penggunaan media baru, yakni Twitter dan Blog dalam kampanye Sahabat Lokananta?
C. Tujuan Penelitian Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penggunaan media baru yakni Twitter dan Blog dalam kampanye Sahabat Lokananta. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Akademis a. Dapat dijadikan bahan referensi bagi pihak-pihak yang terkait dengan topik penelitian. b. Memperkaya
kajian
di
bidang
Ilmu
Komunikasi
khususnya
komunikasi strategis, serta dapat digunakan sebagai referensi bagi penelitian yang berkenaan dengan topik kampanye sosial dan media baru.
6
2. Manfaat Non Akademis Dapat dijadikan bahan referensi bagi pihak-pihak yang sedang atau akan melakukan kampanye sosial dan pelestarian cagar budaya lainnya. E. KERANGKA PEMIKIRAN 1. Kampanye Sosial, Aktivis dan Agenda Rogers dan Storey dalam Venus (2004:7) mendefinisikan kampanye sebagai serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu. Pada umumnya, dalam perumusan sebuah kampanye terdapat sumber yang jelas sebagai penggagas, perancang, penyampai, sekaligus penanggung jawab suatu kampanye sehingga setiap individu yang menerima pesan kampanye dapat mengidentifikasi bahkan mengevaluasi kredibilitas sumber pesan tersebut setiap saat. Motivasi yang melatarbelakangi diselenggarakannya sebuah program kampanye merupakan prinsip yang dapat membedakan jenis-jenis kampanye. Motivasi tersebut pada gilirannya akan menentukan ke arah mana kampanye akan digerakkan dan apa tujuan yang akan dicapai. Secara inheren, ada keterkaitan diantara motivasi dan tujuan kampanye. Bertolak dari keterkaitan tersebut, Larson dalam Venus (2004:11) membagi jenis kampanye dalam tiga kategori. Pertama, commercial campaign yaitu kampanye yang berorientasi pada produk dan dilakukan atas motivasi memperoleh keuntungan finansial, seperti kampanye Telkom Flexy, kampanye rokok Mustang, atau kampanye Public Relation yang ditujukan untuk membangun citra positif perusahaan di mata publik. Pada umumnya, kampanye ini terjadi di lingkungan bisnis. Kedua, political campaigns yaitu kampanye yang berorientasi pada kandidat dan dimotivasi oleh hasrat untuk meraih kekuasaan politik seperti kampanye pemilu, kampanye penggalangan dana bagi partai politik, atau kampanye
7
kuota perempuan di DPR. Terakhir adalah social campaign, yang didefinisikan Kotler dalam Venus (2004: 12), sebagai ideological or cause oriented campaign yaitu kampanye yang berorientasi pada tujuan-tujuan bersifat khusus dan seringkali berdimensi pada suatu perubahan sosial. Kampanye ini ditujukan untuk menangani masalah-masalah sosial melalui perubahan sikap dan perilaku publik yang terkait. Pada dasarnya, berbagai jenis kampanye yang tidak termasuk dalam katagori kampanye politik atau kampanye produk dapat dimasukkan ke dalam kampanye sosial. Dengan demikian, cakupan jenis kampanye ini sangat luas mulai dari kampanye di bidang kesehatan, (AIDS atau KB), kampanye lingkungan (air bersih), kampanye pendidikan (meningkatkan minat baca), kampanye lalu lintas (pemakaian helm dan sabuk pengaman), kampanye ekonomi (menarik minat investor asing), atau kampanye kemanusiaan (pengumpulan dana untuk korban bencana alam). Sejalan dengan pemikiran tersebut, Sulistyaningtyas (2006:4) mengungkapkan, bahwa kampanye sosial merupakan aktivitas penyadaran dan pengembangan publik untuk terus bersentuhan dan terlibat dalam isu-isu sosial. Praktek penyelenggaraan program kampanye sosial merupakan rangkaian dari program strategic sebuah organisasi yang diarahkan sebagai ajakan dan pembentukan perilaku sosial masyarakat. Kampanye yang merupakan sebuah kegiatan komunikasi ini pada umumnya dilakukan bukan oleh individu, melainkan lembaga atau organisasi yang dapat berasal dari lingkungan pemerintah, kalangan swasta, atau lembaga swadaya masyarakat (LSM). Hal ini berarti kegiatan kampanye tidak dikerjakan oleh pelaku tunggal, melainkan sebuah tim kerja (teamwork). Zalmant dkk dalam Venus (2004:54) mengungkapkan dalam sebuah tim kerja kampanye sosial, terdapat dua kelompok yakni leader (pemimpin atau tokohtokoh) yang terdiri dari koordintor pelaksana, penyandang dana, petugas administrasi kampanye, dan pelaksana teknis. Kelompok lainnya adalah 8
supporters (pendukung) yang terdiri dari petugas lapangan, penyumbang, dan simpatisan. Di lain sisi, Thayer dalam Venus (2004:55) membedakan jenis pelaku kampanye menurut pratik kampanye. Jenis pertama adalah instrumental mediator yang berfungsi sebagai komunikator anonim, dan consumatory mediator yang merepresentasikan lingkungan nyata dari situasi atau gagasan yang dikampanyekan. Consumatory mediator terdiri dari target kampanye yang memiliki pengetahuan mendalam tentang hal tersebut, atau yang memiliki simpati dan keterlibatan mendalam tenang hal-hal yang dikampanyekan. Sedangkan instrumental mediator meliputi semua orang yang mendukung gagasan atau tujuan yang dikampanyekan atau sepenuhnya orang yang netral dan sekedar melakukan kewajiban karena terikat kontrak kerja dengan penyelenggara kampanye. Selain pelaku, dalam keberlangsungan sebuah kampanye tentu harus didukung dengan adanya khalayak yang menjadi target sasaran kampanye sosial. Grunig dalam Venus (2004:125) mengungkap terdapat empat segmen khalayak. Pertama adalah non publik, dimana orang-orang tidak memandang atau menyadari adanya suatu masalah. Kedua adalah publik laten, yakni yang menyadari adanya masalah namun tidak melibatkan diri di dalamnya. Ketiga adalah publik sadar, yaitu mereka yang menyadari adanya masalah, terlibat dalam memikirkan masalah tersebut, namun belum mengambil tindakan apaapa. Terakhir adalah publik aktif yang terdiri dari orang-orang yang secara aktif mencari pemecahan terhadap masalah dimana mereka terlibat di dalamnya. Kemudian, diungkapkan oleh Grunig pula bahwa keempatnya bertindak secara berbeda-beda dalam berhubungan dengan isu-isu publik, sehingga diperlukan media yang bervariasi untuk menyampaikan pesan kampanye.
9
Dalam penyelenggaraan sebuah kampanye, terdapat hal-hal yang harus dilakukan oleh para pelaku sebelum maupun sesudah kampanye berlangsung. Tahapan awal yang harus dilakukan adalah membuat sebuah perencanaan kampanye. Seperti apa yang diungkapkan oleh Sweeny2 dalam Venus (2004:143), “a campaign without a plan is like a journey without a map”, sebuah perencanaan harus dibuat dengan matang dan dituangkan secara tertulis atau terdokumentasikan dengan jelas agar kampanye dapat mencapai tujuan yang diinginkan.
2. Media Baru dalam Kampanye Sosial Dewasa ini kita hidup pada era digitalisasi, dimana teknologi telah mengubah dunia secara drastis. Sejalan dengan pernyataan tersebut, McQuail (2005:136) mengatakan bahwa “Mass media have changed, certainly from the early-twentieth-century days of one-way, one directional, and undifferentiated flow to an undifferentiated mass. There are social and economic as well as technological reason for this shift, but it is real enough.” Munculnya teknologi dinilai berdampak pada perubahan media yang dikenal dengan istilah media baru. Rogers, (dalam John V, 1996:2) mengungkapkan bahwa secara jelas, media baru yang merujuk pada sebuah perubahan dalam proses produksi media, distribusi, dan penggunaannya merupakan sebab dari terjadinya perubahan dalam berkomunikasi. Dalam jurnal berjudul “Defining New Media Isn’t Easy” yang terdapat pada situs resmi The New Media Institute (NMI)3, media baru diungkapkan 2
Konsultan utama Partai Demokrat Amerika Serikat The New Media Institute (NMI) merupakan sebuah organisasi penilitian yang berkonsentrasi dalam bidang internet dan komunikasi media baru 3
10
sebagai sebuah istilah yang digunakan untuk mendefinisikan semua yang berhubungan dengan interaksi yang terjadi melalui sebuah teknologi, gambar, dan suara.4 Sedangkan McLuhan (1990:7) mengungkap, terdapat beberapa key term yang dapat membantu kita untuk lebih mudah memahami media baru. Pertama, digitality, dimana seluruh proses media diubah dalam bentuk digital. Kedua, interactivity yang mengandung dua pengertian yaitu adanya teknologi yang mampu memberi respon terhadap penggunanya (interaktivitas antara manusia dengan mesin) dan interaktivitas antar pengguna. Ketiga, dispersal yang merujuk pada adanya desentralisasi proses produksi dan distribusi pesan serta menumbuhkan keaktifan individu (highly individuated). Pendekatan Convergence Theory (Teori Konfergensi) dapat digunakan untuk menjelaskan pola komunikasi dalam media baru. Dalam teori tersebut, Rogers dan Kincaid (1981) menggambarkan komunikasi sebagai proses horizontal antara dua orang atau lebih dalam sebuah social networks. Model ini
menggambarkan
komunikasi
sebagai
sebuah
proses
yang
berkesinambungan, dimana diantara partisipan terdapat saling tukar informasi dalam upaya mencapai sebuah mutual understanding. Oleh karena itu, jaringan komunikasi dapat dilihat dari interkoneksi antar individu yang dihubungkan oleh pola pertukaran informasi. Lebih lanjut, Teori Konfergensi dinilai dapat menggambarkan beberapa hal, antara lain adalah: a. Informasi dipertukarkan dari satu orang ke orang lain, bukan hanya bersifat satu arah. Sumber informasi bisa berasal dari salah satu partisipan, namun bisa juga berasal dari luar lingkaran partisipan. b. Model ini menekankan pentingnya persepsi dan partisipasi partisipan, yang digambarkan lewat dialog dan percakapan cultural lainnya. 4
Socha, Bailey dan Barbara Eber-Schmid. 2012. Defining Media baru Isn’t Easy. Terarsip di: http://www.newmedia.org/what-is-new-media.html. Diakses pada 13 Maret 2013 11
c. Model ini menggambarkan proses yang horizontal antar partisipan komunikasi yang ditunjukkan dengan information sharing d. Model ini bisa berulang secara berkelanjutan, cyclical, dimana partisipan bisa bergantian dalam berbagi informasi hingga tercipta mutual understanding untuk melakukan sebuah aksi yang kolektif. Pesatnya kemajuan teknologi kemudian melahirkan internet sebagai sebuah media baru yang memiliki kesamaan karakter dengan media lama, yaitu mampu menyebar pesan secara cepat dan luas. Namun karena mampu menghadirkan sistem komunikasi secara interaksional, internet dapat digolongkan sebagai sebuah media baru. Perkembangan dunia internet melahirkan ruang baru dalam berkomunikasi yang memungkinkan manusia untuk dapat saling berinteraksi tanpa harus bertatap muka. Ruang yang kini cukup popular digunakan manusia untuk saling berinteraksi melalui internet adalah situs jejaring sosial (social network sites) dan Blog. Adanya ruang publik baru di dunia maya yang dibuka oleh Blog dan situs jejaring sosial sangat memungkinkan munculnya saluran-saluran atau cara-cara komunikasi baru, yang merangsang manusia untuk membuat sebuah terobosan dengan memanfaatkan media baru. Hal tersebut dikuatkan dengan pendapat Basset dalam Creeber dan Martin (2009:5) yang mengungkapkan bahwa: “..the rapid development of the new media and computer technologies have the potential to transform the very nature of the public sphere and open up new channels of communication to a proliferation of new voices. The public intellectual of today must now be much more alive to the possibilities for participating in what could become a new “cyberspace democracy” --- an expanded public sphere which is less academic and less elitist, and demands the use of more accessible forms of language and discourse than those which intellectuals have become used to”.
12
Salah satu hal baru yang telah banyak terjadi adalah munculnya berbagai kampanye sosial yang bergerak melalui dunia maya. Hal tersebut dipicu antara lain karena Blog dan jejaring sosial dapat memfasilitasi kebutuhan berkomunikasi jarak jauh secara bebas tanpa keterbatasan ruang dan waktu. Willis (2011) mengungkapkan bahwa ada delapan karakteristik yang terdapat dalam sebuah kampanye melalui media baru. Pertama, bersifat tertarget dalam menentukan tujuan dan audiens kampanye. Kedua, bersifat terfokus dalam spesifikasi pesan yang ingin disampaikan. Ketiga, bersifat terukur dengan sebelumnya menentukan kriteria keberhasilan. Keempat, berlandaskan pada konten bagus yang disajikan dalam cara yang menarik. Kelima, bersifat sederhana dan langsung. Keenam, memiliki media yang tepat dalam menyampaikan pesan. Ketujuh, memberikan publik pengalaman langsung dan kenangan yang tidak mudah dilupakan dan terakhir bersifat menguntungkan. Salah satunya yakni kampanye “Ini Aksiku! Mana Aksimu?” yang merupakan sebuah versi lokal kampanye global “Earth Hour” oleh WWF, yang berlangsung di Indonesia. Dalam pelaksanaannya, kampanye ini berkembang sangat pesat melalui jejaring sosial dan berhasil meningkatkan jangkauan kota pelaksana, dari hanya lima pada tahun 2011 hingga menjadi 21 pada tahun 2012. Dengan menggunakan tagar #IniAksiku di Twitter, tim Earth Hour Indonesia juga dapat mengumpulkan daftar “komitmen” masyarakat sebagai aksi penyelamatan buminya masing-masing. Nugie, seorang musisi sekaligus duta Earth Hour Indonesia, berkomitmen apabila followers di akun Twitter pribadinya, yaitu @nugietrilogi, bertambah 100.000 orang dan
13
semuanya memiliki status “green lifestyle”, dirinya akan menyanyikan lagu sebanyak satu album dan akan mengunggah seluruhnya di media sosial.5 Berbeda dengan kampanye “Ini Aksiku! Mana Aksimu?”, Indonesia Berkebun, merupakan sebuah komunitas yang lahir melalui media jejaring sosial oleh anak-anak muda pengguna aktif jejaring sosial Twitter (@IDBerkebun), yang mengkampanyekan program urban farming sebagai penyebar semangat positif untuk lebih peduli kepada lingkungan dan perkotaan. Program tersebut dilakukan dengan memanfaatkan lahan tidur di kawasan perkotaan yang dikonversi menjadi lahan pertanian/perkebunan produktif hijau yang dilakukan oleh peran masyarakat dan komunitas sekitar serta memberikan manfaat bagi masyarakat sendiri. Dampak nyata dari program yang dilakukan Indonesia Berkebun melalui jejaring sosial ini antara lain terlihat di Bumi Pesanggrahan, Bandung. Warga setempat telah aktif berkebun dan telah mendapatkan manfaatnya. Bandung berkebun sebagai salah satu komunitas Indonesia Berkebun telah berhasil muruntuhkan batasan antar warga, hingga saat ini warganya saling mengenal dan bekerja sama dalam hal merawat kebun. Selain itu, Program Indonesia Berkebun terpililh sebagai Google Web Heroes dan berkesempatan mendapat hadiah sebuah TVC yang akan diproduksi dan disebarkan di seluruh dunia oleh Google.6 Selain kampanye yang bertemakan tentang penyelamatan bumi dan lingkungan, dalam bidang lainnya seperti sejarah dan kebudayaan juga muncul kampanye untuk mengaktifkan kembali Lokananta sebagai cagar budaya musik Indonesia, yakni kampanye Sahabat Lokananta. Sahabat Lokananta muncul sebagai sebuah kampanye yang berupaya untuk mengaktifkan kembali Lokananta sebagai cagar budaya musik Indonesia. Seperti yang diungkapkan 5
http://www.earthhour.org/page/massive-earth-hour-growth-indonesia-driven-social-medi diakses pada 14 Maret 2013 6 http://jaxjakarta.com/node/3511 diakses pada 14 Maret 2013 14
oleh Anggita, (2012: 27), Lokananta menjadi saksi sejarah dan titik lahirnya banyak maestro musik di Indonesia seperti Titiek Puspa, Bing Slamet dan Gesang. Selain itu, Lokananta juga merupakan tempat penyimpanan ribuan master rekaman lagu daerah asli Indonesia sehingga harus dirawat dan dilestarikan keberadaannya. Kampanye yang pada awalnya muncul melalui Twitter ini kemudian banyak mencuri perhatian publik, khususnya anak muda yang peduli terhadap kebudayaan dan sejarah permusikan Indonesia karena adanya kampanye yang mengusung tema kebudayaan masih terbatas dan belum banyak dilakukan. 3. Pelestarian Cagar Budaya dan Posisi Kaum Muda Krober dalam Berry (1999: 324) mengungkapkan bahwa budaya adalah keseluruhan kompleks yang terdiri dari pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat kebiasaan, dan kebiasaan apa saja yang diperoleh seorang manusia
sebagai
anggota
masyarakat.
Wujudnya
diungkapkan
Koentjaraningrat, (1993:5) terdiri dari tiga jenis yang meliputi: a. Kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilainilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya, yaitu tata kelakuan atau adat istiadat. Fungsinya adalah mengatur, mengendalikan, mengarahkan kelakuan. b. Kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, seperti upacara-upacara, ritual, kegiatan kemasyarakatan yang berpola. c. Kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia, seperti bangunan, pakaian, cipta seni, alat-alat, hiasan, dll.
Lebih fokus dijelaskan bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang dihasilkan manusia di masa lampau berupa warisan budaya yang bersifat kebendaan, mengandung nilai sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama,
15
dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan, dikatakan sebagai cagar budaya7. Helmi (2012:19) mengemukakan bahwa cagar budaya sendiri, antara lain terdiri atas benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat dan atau di air. Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki banyak sekali kekayaan cagar budaya. Contohnya adalah Candi Borobudur, Candi Prambanan, landscape budaya Subak di Bali dan Noken Papua yang merupakan contoh cagar budaya milik Indonesia yang telah diakui oleh UNESCO. Kesadaran akan kekayaan tersebut, hendaklah ditumbuhkembangkan pada masyarakat sebagai modal menghadapi berbagai tantangan pada masa kini dan masa datang yang bernuansa global, nasional, dan lokal dalam sebuah tindakan pelestarian dan pemanfaatan warisan budaya. Lokananta, sebagai sebuah bangunan yang sudah berdiri selama 57 tahun sejak 1952 merupakan tempat rekaman sekaligus penyimpanan ribuan master asli lagu daerah Indonesia layak disebut sebagai sebuah cagar budaya. Hal ini dikarenakan Lokananta memenuhi kriteria yang tertulis pada Pasal 5, Bab III, UU No 11 tahun 2010 tentang cagar budaya, yakni harus berusia lima puluh tahun atau lebih. Selain itu, cagar budaya juga harus memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan, serta memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa. Tuloli (2003: 14) mengungkapkan bahwa pelestarian cagar budaya dapat diartikan sebagai upaya mempertahankan “keberadaan” suatu unsur atau sistem budaya tertentu dalam masyarakat. Kata keberadaan sendiri dapat bermakna aktif maupun pasif, dimana secara pasif, keberadaan suatu unsur budaya berarti masih dapat ditemui dalam suatu masyarakat, namun kebudayaan tersebut tidak lagi hidup dalam masyarakat tersebut. Unsur 7
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya
16
budaya tersebut masih disimpan (dalam arti kata yang sebenarnya) dan dipelihara agar dapat tetap dilihat, dinikmati, dan dipelajari kembali. Pelestarian dalam arti semacam ini terwujud misalnya dalam bentuk penyimpanan berbagai macam benda budaya masa lampau di dalam museum dan beberapa peninggalan sejarah seperti benteng, mesjid, dan makan. Sedangkan secara aktif, keberadaan budaya berarti masih dapat kita temui dalam masyarakat dan masih digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Suatu kebudayaan seharusnya menjadi hal yang membanggakan warganya, sehingga ia bersedia melestarikan dan memanfaatkannya. Seperti apa yang diungkapkan Zamora (2003: 151) bahwa warisan budaya tidak akan berarti apa-apa, apabila pemiliknya tidak berupaya mempertahankannya. Secara umum, pelaksana pemelihara warisan budaya mengacu pada warga negara atau masyarakat, dengan pemerintah sebagai komponen yang paling bertanggung jawab. Idealnya pemerintah dapat menentukan kebijakan pelestarian dan pemanfaatan warisan budaya, mempersiapkan berbagai proyek yang memungkinkan terjadinya pelestarian dan pemanfaatan, menerapkan nilai-nilai warisan budaya, mengembangkan kepribadian yang menghargai, menghormati, dan mencintai warisan budaya baik yang berbentuk fisik, nilainilai, norma-norma, moral-moral, adat-istiadat, kepercayaan, dan lain-lain, serta mengalokasikan dana untuk kegiatan pelestarian dan pemanfaatan warisan budaya. Selain komponen pemerintah, maka yang bertanggung jawab juga dalam usaha pelestarian budaya adalah para pendidik, swasta, tokoh masyarakat, politisi, wartawan, dan lain-lain dalam perannya masing-masing. Dalam aktivitas pelestarian budaya yang terjadi di Indonesia saat ini, pada umumnya lebih berfokus pada situs cagar budaya dan museum yang menyimpan benda-benda peninggalan. Hal ini dapat dilihat seperti apa yang diungkapkan Helmi (2012:21) bahwa pemerintah (melalui Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman) tengah gencar melakukan upaya 17
pelestarian kebudayaan dengan melaksanakan perumusan, koordinasi, dan pelaksanaan kebijakan, serta memfasilitasi penerapan standar teknis di bidang pelestarian cagar budaya dan permuseuman, termasuk mengelola register nasional dan eksplorasi cagar budaya di air. Direktorat ini juga terus memasyarakatkan dan memperkenalkan museum terhadap masyarakat usia dini, diantaranya ke sekolah-sekolah dasar di daerah. Pemerintah juga menyediakan beasiswa S-2 bagi mereka yang berminat melanjutkan pendidikan di jurusan museum, melakukan kegiatan dalam memasyarakatkan museum melalui pengadaan pameran Museum Nusantara di JCC Jakarta, penganugerahan duta museum, talkshow di televisi, dan pameran museum di pusat perbelanjaan. Dengan upaya tersebut, diharapkan dapat menimbulkan ketertarikan masyarakat untuk berkunjung ke museum. Selain peran pemerintah dalam upaya melestarikan kebudayaan, partisipasi masyarakat juga menjadi satu aspek yang penting dalam kegiatan pelestarian bangunan bersejarah di Indonesia. Minimnya peran serta masyarakat dapat memicu timbulnya permasalahan seperti: 1.
Banyak bangunan yang ditinggalkan/dibiarkan oleh pemiliknya sehingga bangunan yang mempunyai signifikansi cukup tinggi cenderung menjadi rusak.
2.
Munculnya permasalahan sosial akibat
bangunan kosong dan
terlantar, seperti pengokupasian bangunan oleh pendatang secara liar, serta permasalahan lingkungan yang disebabkan kurang berjalan dan kurang tersedianya utilitas di kawasan cagar budaya. Masyarakat sendiri, terdiri dari beberapa kelompok termasuk didalamnya kaum muda. Jurnal berjudul World Heritage Today and Tomorrow With Young People yang diterbitkan oleh UNESCO memuat sebuah tulisan yang mengatakan bahwa:
18
“Youth is a precious groups of people and future leaders. We should be exposed to different cultures and environments so we can be aware of what is going on in other parts of the worlds. This will open our minds and make other cultures more familiar” Pada prakteknya, Suanda8 (2008) menilai bahwa kaum muda memiliki kontribusi, ketertarikan, dan penghargaan yang kurang terhadap pelestarian kebudayaan. Sebagian besar dari mereka cenderung merendahkan tradisitradisi yang hidup di setiap suku bangsa
di Nusantara dan tidak
menganggapnya sebagai kebudayaan. Padahal, menurut Prof Dr. Damardjati Supadjar9, kaum muda merupakan aset bangsa yang mempunyai andil besar terhadap keberlanjutan dan maju mundurnya sebuah bangsa karena kaum muda merupakan tonggak dari keberlanjutan kehidupan berbangsa yang harusnya berperan dalam mempertahan elemen penting dalam sistem kehidupan tersebut, yaitu kebudayaan.10
4. Dukungan Publik: Sebuah Indikator Keberhasilan Kampanye Sosial
Kampanye adalah kegiatan yang melibatkan investasi besar, bukan hanya materi tapi juga sumber daya lainnya seperti waktu, tenaga, pikiran dan teknologi. Hal tersebut membuat setiap pelaku kampanye pasti mengharapkan keberhasilan dalam usaha kampanyenya. Pada dasarnya, keberhasilan sebuah kampanye dapat ditunjang maupun dihambat oleh beberapa faktor. Rice dan Atkin (1989:14) mengungkap, peran media massa, peran komunikasi antarpribadi, karakteristik sumber media, evaluasi formatif, himbauan pesan, perilaku preventif, kesesuaian waktu,
8
Seorang budayawan dalam Kompas, Jumat, 31 Oktober 2008 Guru besar Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta dalam Dialog Seni Budaya. Sabtu, 16 Maret 2013 di Pusat Kebudayaan Koesnadihardja Soemantri UGM 10 Berdasarkan Dialog Seni Budaya Prof Dr. Damardjati Supadjar. 16 Maret 2012. Pusat Kebudayaan Koesnadihardja Soemantri UGM 9
19
aksesbilitas, dan kecocokan, merupakan faktor-faktor yang menunjang keberhasilan sebuah kampanye. Disisi lain, analisis Hyman dan Sheatsley dalam Kotler (1989) menuturkan, keberhasilan sebuah kampanye juga dapat terhambat oleh beberapa faktor. Pertama, ketidaktahuan khalayak tentang pesan kampanye yang disebabkan oleh ketidakseriusan memperhatikan pesan, hingga ketidakmampuan memahami isi pesan. Kedua, ketidaktepatan pelaku kampanye dalam menentukan target sasaran. Ketiga, ketidakinginan khalayak untuk menerima informasi yang tidak sesuai dengan apa yang telah diyakini. Keempat, minimnya ketertarikan dan keterlibatan publik terhadap isu kampanye yang mengakibatkan kurangnya dukungan publik. Padahal, Easton menegaskan bahwa tidak akan ada satupun kelompok
yang dapat
melangsungkan kerjanya apabila tidak terdapat kesediaan dari publik untuk mendukung keberadaan kelompok tersebut. Bertolak dari hal itu, sebuah dukungan yang oleh Easton disebutkan sebagai subjek kerelaan, kepatuhan terhadap regulasi dan perhatian yang diberikan terhadap suatu bentuk komunikasi, berperan penting dalam keberhasilan suatu kampanye. Dukungan sendiri, oleh House dalam Sarafino (1990) diklasifikasikan menjadi empat jenis. Pertama, dukungan emosional berupa kepedulian dan perhatian terhadap pihak bersangkutan. Kedua, dukungan penghargaan yang terjadi lewat ungkapan hormat atau penghargaan positif untuk suatu pihak. Ketiga, dukungan instrumental yang mencakup bantuan langsung, misalnya memberi bantuan finansial, dan terakhir dukungan informatif yang mencakup pemberian nasihat, saran pengetahuan, informasi serta petunjuk. Setelah melakukan usaha untuk memperoleh keberhasilan dalam sebuah kampanye dengan memaksimalkan faktor-faktor penunjang dan meminimalisir faktor-faktor penghambat, ada baiknya untuk melakukan proses evaluasi. Hal tersebut sesuai dengan Ostergaard11 dalam Venus (2004:209), yang 11
Seorang pakar kampanye Jerman 20
mengungkapkan bahwa sebuah kampanye tanpa proses evaluasi hanyalah sebuah kegiatan yang menghabiskan waktu dan uang, hal tersebut membuktikan bahwa walaupun merupakan tahap terakhir, evaluasi terhadap program kampanye mutlak dilakukan untuk mengetahui apakah kampanye tersebut berhasil atau tidak. Evaluasi kampanye diartikan sebagai upaya sistematis untuk menilai beberapa aspek yang berkaitan dengan proses pelaksanaan dan pencapaian tujuan kampanye, dimana evaluasi tersebut tidak hanya dilakukan pada saat kampanye berakhir, namun juga ketika kampanye tersebut masih berlangsung. Gregory dalam Venus (2004:211) mengungkapkan bahwa terdapat lima alasan penting mengapa evaluasi perlu dilaksanakan. Pertama, eveluasi dapat memfokuskan usaha yang dilakukan. Kedua, evaluasi menunjukkan keefektifan pelaksanaaan
kampanye
dalam
merancang
dan
mengimplementasikan
programnya. Ketiga, memastikan efesiensi biaya. Keempat, membantu pelaksana untuk menetapkan tujuan secara realistis, jelas, dan terarah, dan kelima, membantu pertanggungjawaban pelaksana kampanye. Menurut Pfau dan Parrot dalam Venus (2004:211), banyak pelaku kampanye yang lupa atau tidak peduli dengan pelaksanaan evaluasi atas anggapan bahwa begitu kegiatan kampanye selesai dilaksanakan, maka program kampanye juga telah selasai. Orang seperti itu diistilahkan oleh para ahli komunikasi sebagai amateur campaigner atau orang yang tidak memiliki komitmen total dalam menyukseskan pencapaian tujuan kampanyenya. Sebaliknya, pelaku kampanye yang secara berkelanjutan melakukan evaluasi terhadap program yang dilaksanakan disebut sebagai professional campaigner, dimana orang-orang tersebut senantiasa terbuka dan bersikap proaktif dalam mencari berbagai masukan yang diperlukan untuk memperbaiki keefektifan pelaksanaan kampanye.
21
Salah satu pelaksana kampanye yang sadar untuk melakukan evaluasi adalah WWF dengan aksi penyelamatan lingkungan dan emisi gas rumah kaca melalui kampanye Earth Hour yang mendapat dukungan dari banyak kalangan publik di berbagai dunia. Kampanye ini dinilai sebagai sebuah kampanye penyelamatan meraih kesuksesan atas tercapainya rumusan indikator keberhasilan kampanye yang dirancang oleh pihak WWF selama tahap perencanaan. Hal tersebut ditinjau dari hasil yang diperoleh di situs resmi Earth Hour sebagai sumber resmi yang mencatat semua data partisipan. Salah satu contoh keberhasilan tersebut adalah secara resmi masyarakat yang berpartisipasi dalam kampanye tersebut mencapai satu juta orang, dimana WWF membidik 100.000 orang sebagai target awal. Dengan adanya kampanye ini pula, Parlemen Rusia akhirnya mengeluarkan sebuah peraturan perundangan terkait perlindungan laut terhadap polusi tumpahan minyak, setelah 120.000 suara dukungan warga Rusia berhasil dikumpulkan dan diajukan kepada pemerintah selama masa kampanye Earth Hour 2012. Di Amerika Serikat, hampir 35.000 anggota pramuka mengambil bagian dalam Earth Hour tahun 2012 melalui program hemat energi dengan memasang 1.321.411 lampu hemat energi di seluruh negeri. Gerakan tersebut memberi dampak mengejutkan yaitu penghematan 34 ribu ton emisi CO2 yang setara dengan penebangan lebih dari 7.000 pohon per tahun. Aksi publik dalam gerakan Earth Hour juga berhasil membantu dua relawan dari Libya, yaitu Muhammed Nattah dan Muhammad Bugashata yang berhasil mempelopori gerakan lingkungan perdana di negara mereka dengan bantuan anggota pramuka. Berbagai keberhasilan yang dinilai Ridley12 sebagai bukti dari kekuatan kolektif berbagai lapisan masyarakat di berbagai belahan dunia yang memberikan dukungannya untuk menyelamatkan bumi, baik dengan melakukan aksi nyata seperti berpartisipasi dalam aksi mematikan listrik
12
CEO dan Co-Founder Earth Hour Campaign. 22
serentak, mendaftarkan diri sebagai pendukung melalui situs resmi Earth Hour atau membantu persebaran berita melalui media sosial seperti Twitter13. Venus (2004: 39), mengungkapkan bahwa untuk sampai pada tahap mendukung sebuah kampanye hingga akhirnya melakukan perubahan perilaku, terdapat tahapan yang akan dilalui oleh seorang individu. Tahapan tersebut terangkum dalam Teori Tahapan Perubahan (Stages of Change Theory) yang juga sering disebut sebagai transtheoretical model yang diperkenalkan oleh James Prochaska, John Norcross dan Carlo DiClemente. Tahapan-tahapan tersebut antara lain adalah: 1. Precontemplation (praperenungan). Pada tahap ini, individu belum mempunyai kepedulian terhadap masalah potensial yang akan dihadapa dan tidak menyadari risiko yang akan menimpa. Semua pesan
yang
menyarankan
perubahan
perilaku
tidak
akan
ditanggapai dengan sungguh-sungguh selama kesadaran dan kepedulian tersebut belum muncul. Maka tujuan utama kampanye hendaknya adalah menumbuhkan kesadaran publik akan sebuah masalah. 2. Contemplation (perenungan). Individu menyadari bahwa terdapat sebuah risiko dari masalah yang ada. Hal ini kemudian memunculkan kesadaran akan perlunya melakukan suatu tindakan yang berhubungan dengan masalah tersebut. Pada tahap ini pesanpesan
kampanye
hendaknya
ditekankan
pada
keuntungan-
keuntungan perilaku agar dapat membawa individu pada tahap selanjutnya. Perlu ditekankan mengenai adanya tuntutan sosial untuk mengubah perilaku. 3. Prepartion (persiapan). Individu telah memutuskan bahwa dirinya harus melakukan suatu tindakan dan belajar mengenai hal-hal apa
13
Berdasarkan Press Release yang dikeluarkan WWF untuk Heart of Borneo. 23
saja yang perlu dilakukan. Jika individu menemui banyak kesulitan untuk mengubah perilaku, maka perilaku akan berhenti pada tahap ini. Maka, untuk dapat menggerakkan publik agar melaksanakan perilaku tersebut maka pesan kampanye harus dikemas untuk meminimalisasi persepsi khalayak mengenai rintangan-rintangan yang akan dihadapi. Pada tahap ini hendaknya dijelaskan juga halhal apa yang diperlukan untuk perilaku tersebut. 4. Action (tindakan). Individu akan melaksanakan perilaku tersebut. Ini dapat dikatakan sebagai tahap percobaan untuk mengetahui sejauh mana kegunaan yang diperoleh. Penguatan positif harus dilakukan agar individu tersebut mau melakukannya lagi. 5. Maintenance (pemeliharaan). Individu melanjutkan perilaku pada situasi-situasu yang sesuai. Pesan harus dapat menguatkan dan member
pengetahuan
mengenai
cara-cara
mempertahankan
komitmen dengan memberikan rancangan tujuan dan bagaimana menghadapi rintangan-rintangan yang mungkin terjadi. Dengan berbagai alasan, seseorang bisa saja berhenti pada tahapan tertentu dan berhenti total di titik tersebut atau mengulangi lagi dari tahap sebelumnya. Tahap yang paling rawan adalah pada tahap preparation dan action, terutama untuk perilaku yang memerlukan proses cukup panjang dan lama.
F. KERANGKA KONSEP DAN OPERASIONAL Kampanye sosial dan media baru merupakan dua keterkaitan yang menjadi pokok utama dan melahirkan sejumlah konsep penting dalam penelitian ini. Berikut merupakan pembahasan yang akan menjabarkan keterkaitan kedua pokok tersebut:
24
1. Kampanye sosial sebagai media perubahan perilaku publik Dalam penelitian ini, kampanye sosial diposisikan sebagai sebuah kampanye dengan orientasi khusus, yang berdimensi pada suatu perubahan sosial dan dilakukan untuk menangani masalah-masalah sosial. Perubahan yang dimaksudkan tersebut, dilakukan melalui perubahan sikap dan perilaku publik yang terkait. Kampanye Sahabat Lokananta, merupakan salah satu kampanye sosial yang dalam proses perwujudan dan pelaksanaannya berorientasi pada keinginan Intan Anggita sebagai penggagas kampanye, untuk mengaktifkan kembali Lokananta sebagai cagar budaya musik Indonesia. Hal tersebut dilakukan mengingat Lokananta merupakan sejarah permusikan Indonesia yang menjadi titik lahir maestro musik ternama dalam negeri seperti Titiek Puspa, Gesang, Bing Slamet, dan lain-lain. Selain itu, terdapat ribuan master rekaman lagu daerah dan pidato kenegaraan Indonesia yang tersimpan di dalamnya. Hal tersebut menjadikan Lokananta layak disebut sebagai sebuah aset negara yang wajib dipelihara dan dilestarikan keberadaannya. Peneliti akan berusaha mengidentifikasi bagaimana upaya pengaktifan kembali Lokananta sebagai cagar budaya musik Indonesia melalui kampanye Sahabat Lokananta yang
telah dilakukan sesuai dengan fungsi yang
didefinisikan, yakni melalui upaya mengubah sikap dan perilaku publik yang terkait. Dalam hal ini perubahan perilaku tersebut dilakukan dengan upaya meningkatan kesadaran publik atas eksistensi Lokananta. 2. Implementasi
media
baru
dalam
penyebaran
informasi
dan
berinteraksi Media baru memiliki fungsi yang sama dengan media lama yakni penyebar informasi yang luas dan cepat. Didukung dengan perkembangan teknologi saat ini, media baru memiliki kemampuan lebih dalam mencakup 25
massa, karena media baru mampu menjadi sarana bagi perseorangan untuk dapat menyampaikan pesan secara massal dan berpeluang besar untuk menimbulkan interaksi publik. Pesatnya perkembangan teknologi tersebut kemudian memiliki andil dalam perkembangan dinamika berkomunikasi. Dalam penelitian ini, peneliti ingin membedah tentang bagaimana media baru mampu menghadirkan ruang yang tak terbatas oleh jarak bagi manusia untuk berinteraksi satu sama lain. Mengingat, media baru juga berkapasitas memberikan kesempatan pada publik untuk bertukar informasi tanpa harus bertatap muka dan bertemu dalam satu tempat di dunia nyata yang kemudian dilihat sebagai sebuah alternatif baru bagi publik untuk berkomunikasi. Sebagai contoh adalah komunikasi antar manusia yang terjadi di situs jejaring sosial seperti Twitter dan Blog, yang juga digunakan dalam persebaran informasi kampanye Sahabat Lokananta. 3. Fungsi media baru dalam mendukung pelaksanaan kampanye sosial Kemudahan dalam berkomunikasi yang dihadirkan media baru tentu tak dilewatkan oleh seorang pelaku kampanye sebagai sarana pendukung pelaksanaan kampanyenya. Konsep yang akan dibedah pada pembahasan ini ditujukan untuk melihat bagaimana media baru, dalam hal ini Twitter dan Blog, difungsikan dalam mendukung proses pelaksanaan kampanye Sahabat Lokananta. Dari proses terwujudnya, berjalannya, hingga transformasinya sebagai sebuah gerakan nyata. Kemudahan penyebaran informasi melalui media baru tak lepas dari adanya fitur-fitur menarik yang cukup efektif untuk digunakan sebagai sarana penunjang penyebaran informasi kampanye. Walaupun jumlah karakternya hanya dibatasi sebanyak 140 sehingga seseorang tidak dapat berbagi informasi secara panjang lebar dalam satu tweet sekaligus, Twitter, dalam fungsi penyebaran informasinya sebagai sebuah jejaring sosial memiliki fitur Retweet 26
yang juga dapat memungkinkan timbulnya suatu interaksi antar penggunanya. Dengan fitur ini, seseorang dimungkinkan untuk dapat men-tweet ulang tweet orang lain. Hal tersebut membuat informasi yang disebarkan melalui Twitter dapat dengan mudah dan cepat tersebar ke pengguna lainnya. Jumlah followers seseorang juga dapat mempengaruhi cakupan persebaran berita. Semakin banyak jumlah followers, semakin luas pula jumlah cakupan orang yang menerima informasi yang disebarkan melalui tweet tersebut. Intan Anggita sebagai penggagas kampanye Sahabat Lokananta sendiri memiliki 16.400 followers dari berbagai kalangan dan komunitas seperti musisi, jurnalis, maupun masyarakat biasa yang kesemuaanya dimungkinkan untuk dapat membaca informasi mengenai Lokananta melalui akun Twitter pribadinya (@badutromantis). Tweets tersebut kemudian mendapat banyak respond dan tak jarang menciptakan interaksi antar pengguna. Hal tersebut memantik keinginan Intan untuk merealisasikan upaya pengaktifan kembali Lokananta sebagai cagar budaya musik Indonesia melalui sebuah kampanye. Dari situ, semakin banyak dukungan untuk kampanye Sahabat Lokananta dari masyarakat (terutama anak muda) di berbagai kota di Indonesia. Dengan menilik hal tersebut, dapat dilihat bahwa media baru merupakan basis lahir dan bergeraknya kampanye Sahabat Lokananta. Dalam perkembangannya, Twitter kemudian menjadi media utama Sahabat Lokananta untuk saling berbagi, menyampaikan dukungan, dan bertukar informasi melalui tagar #SahabatLokananta. Tak hanya berhasil menarik dukungan dari Twitter, persebaran informasi mengenai Lokananta juga dilakukan oleh beberapa Blogger dengan menulis mengenai Lokananta atau Sahabat Lokananta di Blog pribadinya. Berbeda dengan Twitter, dalam Blog, seorang Blogger dimungkinkan untuk berbagi informasi dengan lebih rinci karena informasi yang disampaikan tak terbatas oleh jumlah karakter. Salah satu Blogger yang menulis mengenai 27
Lokananta
adalah
Daud
Sihombing,
http://daudsihombing.wordpress.com.
Dalam
dalam
tulisan
blognya
tersebut,
Daud
memberikan informasi rinci mengenai lokasi dan detail isi setiap ruangan yang ada di Lokananta beserta fungsinya. Tak lupa, Daud juga menyampaikan informasi tentang Sahabat Lokananta di paragraf terakhir tulisannya. Tulisan tersebut diunggah delapan hari hari setelah Kampanye Sahabat Lokananta dideklarasikan, tepatnya tanggal 5 November 2012. H. METODOLOGI 1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif yang menurut Guba dan Lincoln (1985:108) merupakan sebuah pendekatan yang dilakukan dengan latar alamiah dari suatu keutuhan (entity). Itulah mengapa, penelitian kualitatif sering disebut dengan istilah naturalistic inquiry atau inkuiri alamiah. Dalam penelitian kualitatif, manusia merupakan alat (instrumen) utama pengumpul data yang asumsi
hubungan peneliti dan subyek
penelitiannya bersifat subyektif dan majemuk. Artinya peneliti dapat berinteraksi dengan subyek penelitian. Ciri tersebut membedakannya dengan pendekatan
kuantitatif
yang asumsi
hubungan
peneliti
dan subyek
penelitiannya cenderung bersifat obyektif, tunggal, berada di luar diri peneliti, dan dapat diukur melalui seperangkat instrument atau kuesioner. Seperti halnya yang diungkapkan Poerwandari (1998) bahwa pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang akan mengolah dan menghasilkan data bersifat deskriptif seperti transkrip wawancara, catatan lapangan, gambar, foto, rekaman video dan lain-lain. Hal tersebut sejalan dengan Moleong (2004:131) yang mengungkapkan bahwa pendekatan kualitatif tidak mengumpulkan data berupa angka, sehingga yang menjadi
28
tujuan dari penelitian ini adalah penggambaran secara mendalam, rinci, dan tuntas mengenai realita empirik dibalik sebuah fenomena. 2. Desain Penelitian Dalam penelitian ini, penulis ingin mengungkapkan bagaimana penggunaan media baru dalam upaya mengaktifkan kembali Lokananta sebagai cagar budaya musik Indonesia melalui kampanye Sahabat Lokananta. Apa yang akan dijabarkan dalam penelitian ini, akan dibatasi pada fungsi Twitter dan Blog sebagai media yang digunakan dalam kampanye Sahabat Lokananta.
Untuk
itu,
diperlukan
metode
penelitian
yang
dapat
mendeskripsikan secara komprehensif mengenai proses tersebut. Secara Umum, Yin (2005:1) mengungkapkan bahwa studi kasus merupakan sebuah strategi yang cocok apabila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan pertanyaan “how” atau “why”. Strategi ini juga cocok digunakaan apabila peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa yang akan diselidiki, dan bilamana fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer yang memiliki konteks dengan kehidupan
nyata
dari
individu,
kelompok,
komunitas,
maupun
organisasional. Fenomena penggunaan media baru, yaitu Twitter dan Blog dalam kampanye Sahabat Lokananta dalam penelitian ini merupakan sebuah fenomena kontemporer yang berkarakter, yakni sebagai sebuah kampanye sosial yang bermula dari jejaring sosial dan bertemakan kebudayaan yang masih belum banyak dilakukan. Hal tersebut merupakan hal yang sangat menarik apabila dikaitkan dengan dampak signifikan yang ditimbulkan. 3. Sifat Penelitian Merujuk pada apa yang diungkapkan Yin (2005: 46), penelitian studi kasus terbagi menjadi dua jenis yakni penelitian dengan menggunakan kasus
29
tunggal dan jamak. Disamping itu, Yin juga mengelompokkannya berdasarkan jumlah unit analisisnya yakni penelitian studi kasus holistik yang menggunakan satu unit analisis dan penelitian studi kasus terpancang yang menggunakan beberapa atau banyak unit analisis. Unit analisis sendiri dibutuhkan untuk lebih memfokuskan penelitian pada maksud dan tujuan dan dapat ditentukan melalui kajian teori. Apabila dikaitkan antara kedua cara pengelompokan tersebut, maka jenis-jenis penelitian studi kasus disusun ke dalam suatu matrik 2x2. Dengan demikian, penelitian studi kasus dapat terdiri dari empat jenis yakni holistik, terpancang (embedded), multikasus holistik, dan multikasus terjalin. Penelitian ini termasuk jenis penelitian terpancang (embedded) karena didasari oleh kajian teori yang menuntut adanya dua unit analisis yaitu kampanye sosial dan media baru. Hal tersebut disebabkan oleh tujuan penelitian yang ingin menjelaskan
hubungan
komprehensif
antara
bagaimana
media
baru
difungsikan dalam kampanye sosial secata detail disetiap bagian secara lebih mendalam. 4. Objek Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah penggunaan media baru dalam Kampanye Sahabat Lokananta.
5. Sumber Data Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua sumber data yaitu data primer dan sekunder untuk menentukan ketepatan dan kekayaan data atau informasi yang diperoleh.
a. Data Primer Untuk memperoleh data primer, peneliti akan melakukan wawancara dengan beberapa orang yang memiliki posisi sesuai dengan kebutuhan 30
peneliti. Dengan begitu, peneliti dapat mengetahui secara langsung bagaimana proses yang terjadi pada penggunaan Twitter dan Blog dalam upaya mengaktifkan kembali Lokananta sebagai cagar budaya musik Indonesia melalui kampanye Sahabat Lokananta.
b. Data Sekunder Data sekunder diperoleh dengan mengutip sumber lain seperti berbagai jenis data yang diperoleh melalui studi pustaka seperti buku, terbitan pers sebagai output dari obyek penelitian, jurnal, situs internet, foto, serta sumber informasi lainnya seperti rekaman arsip tweets dan blogger yang akan menunjang tema penelitian ini.
6. Teknik Pengumpulan Data Dalam sebuah penelitian dengan metode studi kasus, ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk melakukan pengumpulan data. Pada dasarnya data dalam sebuah penelitian studi kasus bisa didapat dari enam sumber bukti yaitu dokumen, rekaman arsip, wawancara, observasi langsung, observasi partisipan, dan perangkat fisik. Dalam penelitian ini, teknik yang akan digunakan hanya tiga yaitu pengumpulan dokumen, wawancara, dan rekaman arsip.
a. Studi Pustaka dan Penelusuran Dokumen Terkait Pengumpulan data ini akan dilakukan dengan mengumpulkan bukti atau data-data tertulis yang relevan dengan tema penelitian. Menurut Yin (2005:104), data tertulis yang mungkin dikumpulkan adalah surat-surat, memorandum, pengumuman resmi, agenda kegiatan, kesimpulan rapat, berbagai laporan peristiwa, dokumen administratif organisasi, hasil penelitian dan evaluasi komunitas, serta kliping artikel yang muncul di media massa. Dalam penelitian ini, dokumen yang akan dikumpulakan 31
adalah seperti hasil pemantauan dari tagar #SahabatLokananta di media sosial Twitter, artikel tentang Sahabat Lokananta yang termuat di berbagai Blog, dan foto dari pihak Komunitas Sahabat Lokananta. Berbagai data tersebut kemudian diidentifikasi dan dipelajari secara kritis untuk mendapatkan informasi yang sesuai kebutuhan.
b. Wawancara Wawancara merupakan sebuah metode pengambilan data dengan cara menanyakan sesuatu kepada seorang responden dengan bercakap secara tatap muka. Patton dalam Poerwandari (1998) mengemukakan bahwa dalam sebuah proses wawancara diberlakukan sebuah pedoman wawancara yang digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspekaspek yang harus dibahas sekaligus check list mengenai apakah aspekaspek yang relevan tersebut telah dibahas atau dipertanyakan. Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data berupa wawancara akan dilakukan kepada informan yang relevan dan mumpuni dalam terlaksananya kampanye Sahabat Lokananta ( lihat lampiran 1). Daftar informan tersebut didapat dengan mengadopsi teknik snowball sampling, yakni teknik penentuan sampel yang dilakukan dengan cara memilih satu atau dua orang untuk diwawancarai terlebih dahulu, sekaligus informan nama-nama selanjutnya yang dapat diwawancarai. c. Analisis Isi Pengumpulan data dalam penelitian ini juga mengadopsi teknik analisis isi yang akan dilakukan secara sederhana. Holsti (1969:13) mengungkapkan bahwa analisis isi dapat diartikan sebagai prosedur untuk menarik kesimpulan tentang pertukaran pesan yang dilakukan oleh sumber komunikasi dengan penerima pesan komunikasi. Dengan menggunakan teknik ini, peneliti akan mendeskripsikan gambaran umum tentang isi pesan yang terdapat pada tweets bertagar Sahabat Lokananta di jejaring sosial 32
Twitter dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan Lokananta atau Sahabat Lokananta yang di-posting oleh beberapa Blogger setelah adanya kampanye Sahabat Lokananta.
Tabel 1.1 Teknik Pengumpulan Data dan Jenis Data
No.
Teknik
Jenis Data
Pengumpulan Data 1.
Studi Pustaka dan
-
Artikel (publikasi) di media
Penelusuran
massa
Dokumen terkait
elektronik)
(cetak
dan yang
berhubungan
dengan
kampanye
Sahabat
Lokananta -
Arsip-arsip yang
(dokumen)
memiliki
kaitan
dengan topik penelitian. -
Data sekunder yang telah tertulis berupa buku, jurnal, laporan
penelitian,
dan
sebagainya yang memiliki relevansi
dengan
penelitian
topik seperti
kampanye, media baru dan kebudayaan. -
Rekaman bertagar
33
arsip
tweet
#SahabatLokananta -
Rekaman
arsip
nama
blogger dan judul Blog yang
menulis
mengenai
Sahabat Lokananta. 2.
-
Wawancara
Informasi dari narasumber untuk mengetahui beberapa isu,
seperti
pengetahuan
mendalam Sahabat
mengenai Lokananta,
bagaimana kampanye ini muncul melalui media baru berupa
jejaring
bagaimana difungsikan kampanye
sosial,
media
baru dalam
Sahabat
Lokananta dan sebagainya. 3.
-
Analisis Isi
Pesan-pesan
(gambaran
umum tentang isi pesan) dalam Twitter dan Blog yang dibuat/disusun oleh Sahabat Lokananta dalam konteks kampanye sosial.
7. Analisis Data Terdapat beberapa teknik analisis data yang dapat digunakan dalam metodelogi studi kasus, diantaranya adalah perjodohan pola, pembuatan penjelasan, dan analisa deret waktu. Dari bermacam teknik analisis tersebut,
34
perjodohan pola merupakan teknik yang paling sesuai untuk digunakan dalam membandingkan pola berdasar empiris dengan prediksi pada penggunaan media baru dalam kampanye Sahabat Lokananta. Data dalam penelitian ini yang berupa dokumentasi, wawancara, dan analisis isi kualitatif nantinya akan dikumpulkan, diedit, dikategorikan dan dicari kesesuaian polanya untuk dianalisis. Hasil analisis yang berupa interpretasi data akan dianalaisis dengan mengaitkan teori yang ada. Diungkapkan Yin (2005:140), apabila terdapat kesamaan pada kedua pola tersebut, hasilnya dapat menguatkan validitas internal studi kasus yang bersangkutan. Hasil pengaitan data dan proposisi teori ini kemudian akan dipaparkan dalam Bab IV untuk menjelaskan dan menganalisis kasus. Hasil penelitian ini nantinya adalah pembahasan menyeluruh tentang penggunaan media baru, Yakni Twitter dan Blog dalam upaya mengaktifkan kembali Lokananta sebagai cagar budaya musik Indonesia melalui kampanye Sahabat Lokananta.
35