BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu bentuk upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan ditempuh melalui usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan. Salah satu wujud pendidikan yang diterapkan di sekolah maupun dilingkungan keluarga sejak dini adalah pendidikan bahasa karena bahasa merupakan saran yang sangat penting dalam kehidupan. Melalui bahasa seseorang dapat berinteraksi satu dengan yang lain, menyatakan pikiran, dan perasaan terhadap orang lain, mengembangkan ekspresi, dan sekaligus mengembangkan kemampuan intelaktual. Pendidikan bahasa di sekolah merupakan salah satu upaya untuk mencapai kecakapan berbahasa sesuai fungsinya, yakni fungsi sebagai alat komunikasi maupun sebagai sarana berpikir dan bernalar. Untuk memenuhi fungsi berkomunikasi, Pembelajaran bahasa, terutama bahasa Indonesia di sekolah bertujuan meningkatkan keterampilan berbahasa. Dengan mengutip pendapat Nida dan Harris, Tarigan (2008: 1) berpendapat bahwa keterampilan berbahasa mencakup empat komponen , yakni keterampilan menyimak (listening skills), berbicara (speaking skills), membaca (reading skills), dan menulis (writing skills). Keempat komponen keterampilan berbahasa tersebut saling berhubungan, sehingga oleh Tarigan (2008: 1) disebut dengan catur tunggal. Keempat keterampilan berbahasa tersebut oleh Nurgiyantoro (2009: 167) dapat
dikelompokkan
menjadi
dua,
yakni
kemampuan
memahami
(comprehension) dan mempergunakan (produktion). Kemampuan memahami bersifat reseptif, sedangkan kemampuan mempergunakan bersifat produktif. Kemampuan reseptif terdiri atas dua keterampilan berbahasa, yakni keterampilan menyimak dan membaca. Kemampuan produktif terdiri atas keterampilan berbicara dan menulis. Nurgiyantoro (2010:399) menyatakanbahwa berbicara 1
2
merupakan aktivitas berbahasa kedua yang dilakukan manusia dalam kehidupan bahasa setelah mendengarkan. Keterampilan berbicara merupakan keterampilan produktif bahasa pertama yang mampu dikuasai seseorang. Sebelum mampu memproduksi tulisan terlebih dahulu manusia memproduksi bahasa lewat alat ucap, berupa bahasa lisan. Bahkan orang buta huruf pun memiliki kemampuan berbicara. Oleh karena itu keterampilan berbicara merupakan keterampilan berbahasa yang amat penting. Salah satu bentuk keterampilan berbicara yang tertuang dalam standar kompetensi pembelajaran Bahasa Indonesia jenjang sekolah menengah pertama, dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan juga tertuang dalam kompetensi dasar dalam Kurikulum 2013 Mata Pelajaran Bahasa. Melalui standar kompetensi bercerita, siswa SMP kelas VII dituntut mampu menguasai kompetensi dasar menceritakan pengalaman yang paling mengesankan, bercerita dengan alat peraga, dan bercerita dengan urutan yang baik, suara, lafal, intonasi, gestur, dan mimik yang tepat. Keterampilan bercerita penting untuk dikuasai karena bermanfaat untuk berpikir deskriptif dan kemampuan berinteraksi sosial. Bruner seperti dikutip oleh Mellow (2001) menjelaskan bahwa bercerita adalah
the creation of a
"transactional relationship" between reality, memory, and imaginary/narrative worlds. Transactional connections help learners to what they know in order to contextualize what is unknown, thereby affording the learner, in this case the story-listener, with the power to control understanding and knowledge. Hal tersebut menunjukkan betapa besar kekuatan keterampilan bercerita dalam membantu daya pikir seseorang. Selain itu, cerita sangat disukai anak-anak untuk perkembangan mental mereka. Hasil survey terhadap siswa sekolah dasar di daerah yang adalah anggota PDS (Sekolah Pengembangan Profesional) jaringan yang terkait dengan The College of New Jersey. Sebanyak 470 anak-anak (250 laki-laki,
220
perempuan)
telah
merespon
kuesioner
yang
diberikan
(Speaker,2000:186). Meskipun setengah (50%) dari anak-anak sangat sering menonton televisi (75% menonton lebih dari dua jam sehari), setengah dari jumlah total responden menunjukkan bahwa mereka sekarang akan memilih untuk
3
mendengarkan cerita daripada menonton televisi. Hasil survei juga mendukung fakta positif bahwa siswa SD dipengaruhi oleh pengalaman mendongeng (Speaker,2000:187). Berbagai hal muncul terkait dengan kesulitan yang dihadapi siswa dalam pelajaran berbicara. Pada kenyataannya keterampilan bercerita siswa tidak cukup tinggi. Jianing (2007) mengemukakan bahwa berdasarkan observasi dan penjelasan banyak guru EFL dari kelas bahasa lisan mereka, menunjukkan bahwa sebagian besar siswa tidak merespon secara aktif dalamlatihan berbicara. Ketidakaktifan siswa dalam pembelajaran berbicara tersebut tampak pada reaksi siswa jika diberi tugas bercerita. Mereka takut berbuat kesalahan, grogi atau nervous, lupa, bahkan sampai diam membisu. Hasil survey awal terhadap 30 subjek mengenai berbicara di depan kelas diketahui responden terbanyak memberikan jawaban sering merasakan cemas, grogi, dan malu. Hal tersebut juga didukung dengan hasil survey yang dilakukan oleh The People’s Almanac Book terhadap 3.000 warga Amerika tentang hal apa yang paling ditakuti oleh mereka. Hasil survey ini tentunya cukup mengejutkan, karena berbicara di depan publik lebih ditakuti daripada kematian (Muliyanto, 2014). Untuk mendukung perbaikan harus dengan mengupayakan iklim pembelajaran yang kondusif. Untuk itu, perlu diterapkan suatu keadaan atau iklim yang mampu meningkatkan kemampuan berbicara Bertolak dari kondisi tersebut, dibutuhkan pembelajaran yang mampu memberi dorongan kepada siswa untuk aktif tampil bercerita dan melupakan faktor- faktor penghambatnya. mereka. Salah satu cara untuk merubah keadaan tersebut dengan menerapkan strategi dan metode pembelajaran yang berdaya guna dan berhasil guna (Syah, 2011:16). Berbagai macam metode pembelajaran yang tersedia harus dimanfaatkan seefektif mungkin oleh guru. Iklim yang mampu meningkatkan kemampuan berbicara hanya dapat diupayakan oleh guru. Fungsi guru memang sangat penting dalam proses pembelajaran. Iskandarwassit dan Dadang (2008: 156) mengungkapkan bahwa keberadaan pengajar merupakan faktor conditio sine qua non yang tidak mungkin digantikan oleh komponen
4
manapun dalam kehidupan bangsa sejak dulu. Bahkan teknologi canggih tak sepenuhnya dapat menggantikan kedudukan pengajar. Seorang guru harus menentukan teknik atau metode yang tepat dalam pengajaran berbicara untuk meningkatkan
kemampuan berbicara siswa,
mengingat bahwa pengajaran berbicara merupakan salah satu usaha meningkatkan kemampuan berbahasa lisan siswa. Metode pembelajaran berbicara yang baik harus memenuhi berbagai kriteria. Kriteria itu berkaitan dengan tujuan, bahan, pembinaan keterampilan proses, dan pengalaman belajar. Kriteria yang harus dipenuhi oleh metode pembelajaran berbicara, antara lain: a) relevan dengan tujuan,b)memudahkan siswa memahami materi pembelajaran,c)mengembangkan butir-butir keterampilan proses, d)dapat mewujudkan pengalaman belajar yang telah dirancang,e)merangsang siswa untuk belajar, f)mengembangkan penampilan siswa,g)mengembangkan keterampilan siswa, h)tidak menuntut peralatan yang rumit,i)mudah dilaksanakan, dan j)menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan(Iskandar,2016). Tipe pembelajaran bercerita yang sering digunakan selama ini adalah menggunakan metode ceramah plus yang masih berpusat pada guru. Meskipun demikian, pemakaian metode ceramah plus memiliki banyak variasi, yanni ceramah plus tanya jawab, ceramah plus diskusi, ceramah plus demostrasi, dan lain sebagainya. Melalui metode ceramah plus, guru berusaha menjelaskan sebaikbaiknya tentang teknik bercerita yang variatif, baru siswa menjalankan tugas bercerita di depan kelas secara individu. Melalui metode ceramah plus demonstrasi dan latihan (CPDL), guru menambahkan keterangan dengan memberi contoh bercerita. Akan tetapi usaha guru tersebut belum banyak membantu siswa mengatasi kendala yang dihadapi siswa ketika bercerita, yakni rasa takut, grogi, malu, nervous, sampai kesulitan mengungkapkan cerita. Pembelajaran kooperatif untuk bercerita jarang digunakan oleh guru, padahal peran guru dalam metode pembelajaran kooperatif benar-benar (lebih kompleks) berbeda dari metode tradisional karena pembelajaran kooperatif tidak hanya membangun individu siswa tetapi juga pembangunan sosial. (Muamaroh, 2016:161). Davidson menyatakan bahwa guru harus memulai kerja kelompok;
5
agar siswa bekerja sama dan saling membantu, baru mempersiapkan materi dan tugas, dan mengevaluasi kinerja siswa (Muamaroh, 2016:161). Think-Pair-Share, merupakan bagian atau salah satu dari variasi struktur Cooperative learning yang disampaiakn oleh Kagan (Muamaroh, 2016:163). Think-Pair-Share sebagai salah satu tipe dalam pembelajaran kooperatif memberi kesempatan pada siswa untuk berpikir, berpasangan atau bekerja dengan partner, berbagi, dan saling membantu satu sama lain, sehingga mampu menambah variasi model pembelajaran yang lebih menarik, menyenangkan, meningkatkan aktivitas, serta kerja sama siswa. Pembelajaran bertipe demikian menempatkan siswa sebagai subyek pembelajaran. Keunggulan dari Cooperative Learning tipe Think-Pair-Share adalah optimalisasi partisipasi siswa. Dibandingkan dengan metode klasikal yang memungkinkan hanya satu siswa maju dan membagikan hasilnya untuk seluruh kelas, tipe ThinkPair-Share ini memberi kesempatan sedikitnya delapan kali lebih banyak kepada siswa untuk dikenali dan menunjukkan partisipasi mereka kepada orang lain (Lie, 2004:57). Pembelajaran
tipe Think-Pair-Share merupakan salah satu model
pembelajaran kooperatif sederhana yang memiliki prosedur yang dikemukakan eksplisit sehingga Cooperative Learning tipe
Think-Pair-Share mudah
dilaksanakan. Berdasarkan beberapa penelitian, pemakaian metode pembelajaran Cooperative Learning tipe Think-Pair-Share mampu membantu siswa mengatasi kendala bercerita. Terutama pemakaian teknik bercerita berpasangan mengurangi ketegangan individu siswa dalam bercerita. Dengan penerapan strategi ThinkPair-Share terbukti siswa yang sebelum tindakan masih tampak gugup, raguragu, tersendat- sendat, sulit mengingat kata- kata yang tepat, mengulang- ulang kata, malu, grogi, dan canggung pada teman- temannya, menjadi lebih berani (Penelitian oleh Nugraheni (2009). Mendukung pendapat di atas, berdasarkan penelitian yang dilakukan Subrata (2009), disimpulkan bahwa dengan adanya model pembelajaran kooperatif tipe bercerita berpasangan siswa dapat lebih aktif untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan kemampuan berimajinasi. Fokus penelitian ini didasarkan atas belum adanya penelitian kuantitatif desain eksperimen dengan treatmen Cooperative learning tipe Think- Phair –
6
Share terhadap keterampilan bercerita. Penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan
perbedaan
antara
penerapan
tipe
pembelajaran
tersebut
dibandingkan dengan metode ceramah plus demonstrasi dan latihan (CPDL) dalam pembelajaran keterampilan bercerita pada siswa SMP Muhammadiyah kelas VII, yang merupakan bagian dari pendidikan dasar dan menengah. Tinjauan tentang tingkat keterampilan bercerita siswa dilihat pula dari tingkat kreativitas siswa yang berhubungan dengan kemampuan verbal. Tingkat kreativitas verbal siswa juga dijadikan tinjauan tingkat keterampilan bercerita siswa karena padadasarnya bercerita menunjukkan kegiatan berkomunikasi secara verbal. Sejalan dengan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa penelitian ini mengungkapkan tentang perbedaan keterampilan bercerita siswa yang dipengaruhi oleh penerapan Cooperative Learning tipe Think- Pair Share dan ceramah plus demonstrasi dan latihan (CPDL) ditinjau dari tingkat kreativitas verbal.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan
latar
belakang
yang
telah
dikemukakan,
beberapa
permasalahan dapat diidentifikasi untuk dijadikan topik penelitian. Akan tetapi permasalahn yang paling urgen, dekat, dan mudah untuk dicapailah yang dijadikan topik penelitian. Permasalahan yang teridentifikasi antara lain (1) Perlunya pengembangan metode pembelajaran yang tepat dalam pembelajaran keterampilan berbahasa; (2) Perlu evaluasi terhadap sistem pembelajaran keterampilan berbahasa di kelas-kelas bahasa; (3) Bagaimana mengembangkan sistem pembelajaran berbicara yang mampu mengatasi kendala siswa dalam berbicara? Dan (4) Perlunya melakukan eksperimen-eksperimen terhadap metode pembelajaran aktif untuk menemukan metode-metode yang tepat untuk digunakan dalam pembelajaran berbicara di muka umum.
C. Pembatasan Masalah Oleh karena keterbatasan kemampuan peneliti baik dalam hal metodologi dan finansial, serta keterbatasan waktu, maka berbagai persoalan yang telah teridentifikasi tidak mungkin dapat ditangani sekaligus. Dengan demikian peneliti
7
membatasi lingkup penelitian pada permasalahan pemilihan metode pembelajaran aktif dalam mempengaruhi keterampilan bercerita siswa SMP kelas VII. Metode yang digunakan dalam eksperimen adalah metode Cooperative Learning ThinkPair Share sedangkan metode pembanding adalah metode Ceramah plus demonstrasi dan latihan (CPDL) sebagai metode konvensional. Metode tersebut akan diterapkan pada siswa SMP Muhammadiyah di Surakarta. Dipilihnya sekolah ini sebagai tempat penelitian dengan pertimbangan, belum pernah dilaksanakan penelitian yang sama dengan kajian serupa.
D. Rumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah yang telah diungkapkan, masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Adakah perbedaan keterampilan bercerita antara siswa kelas VII SMP Muhammadiyah di Surakarta yang diajar dengan Cooperative Learning tipe Think- Pair Share dengan Ceramah Plus Demonstrasi dan Latihan (CPDL)? 2. Adakah perbedaan keterampilan bercerita antara siswa kelas VII SMP Muhammadiyah di Surakarta yang mempunyai kreativitas verbal tinggi dengan yang memiliki kreativitas verbal rendah? 3. Adakah interaksi metode pembelajaran Cooperative Learning tipe Think- Pair Share dan kreativitas verbal terhadap keterampilan bercerita siswa kelas VII SMP Muhammadiyah di Surakarta?
E. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui terdapat tidaknya perbedaan keterampilan bercerita antara siswa kelas VII SMP Muhammadiyah di Surakarta yang diajar dengan Cooperative Learning tipe Think- Pair Share dengan Ceramah Plus Demonstrasi dan Latihan (CPDL). 2. Untuk mengetahui terdapat tidaknya perbedaan keterampilan bercerita antara siswa kelas VII SMP Muhammadiyah di Surakarta yang mempunyai kreativitas verbal tinggi dengan yang memiliki kreativitas verbal rendah.
8
3. Adakah interaksi metode pembelajaran Cooperative Learning tipe Think- Pair Share dan kreativitas verbal secara bersama- sama terhadap keterampilan bercerita siswa kelas VII SMP Muhammadiyah di Surakarta.
F. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat secara teoritis maupun praktis. 1. Manfaat Teoretis Secara teoretis, penelitian ini bermanfaat memperluas cakrawala ilmu pembelajaran bahasa terutama aspek keterampilan bercerita 2. Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi guru, siswa, sekolah tempat pelaksanaan penelitian, peneliti lain, maupun peneliti sendiri. a. Bagi guru, penelitian ini dapat menjadi bahan kajian pemilihan metode yang tepat dalam pembelajaran keterampilan bercerita di samping tingkat kreativitas. b. Bagi siswa, penelitian ini diharapkan memperoleh pengalaman dalam bercerita dan mengetahui kemampuan berceritanya ditinjau dari metode dan tingkat kreativitas. Selain itu siswa dapat mengetahui tingkat kreativitasnya dan berusaha meningkatkannya. c. Bagi
sekolah tempat penelitian, diharapkan dapat menjadi landasan bagi
perbaikan mutu pembelajaran bahasa, khususnya pada keterampilan bercerita. d. Bagi peneliti lain , penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi.