BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesejahteraan psikologis dapat dicirikan sebagai indikator fungsi mental yang baik. Kesejahteraan psikologis sebagai suatu dorongan untuk menggali potensi diri individu secara keseluruhan agar dapat mencapai kesuksesan. Kesejahteraan psikologis dibutuhkan agar individu dapat meningkatkan efektivitas dalam berbagai bidang kehidupan salah satunya adalah bidang akademik. Seharusnya dalam menempuh pendidikan individu diharapkan mempunyai kesejahteraan psikologis yang baik, hal tersebut dikarenakan agar individu dapat mencapai titik aktualisasi diri sehingga dapat mencapai kesuksesan dibidang akademik. Akan tetapi pada kenyataanya, banyak kondisi-kondisi kurang menguntungkan yang menggambarkan bahwa kesejahteraan psikologis belum tercapai dengan baik dalam bidang akademik seperti yang dialami oleh siswa SMP Terbuka. Keberadaan SMP Terbuka merupakan suatu fakta yang ada dalam dunia pendidikan di Indonesia. Jumlah SMP Terbuka di Indonesia sebanyak 2.111 sekolah dengan jumlah siswa sebanyak 248.432 orang (Jumlah Siswa SMP Terbuka Berkurang, Makin Baik. Lian, diakses 11 Maret 2013). Dari data tersebut, menunjukan bahwa banyaknya anak-anak usia sekolah yang memiliki kendala sosial ekonomi dan geografis. Namun yang terpenting bukan hanya dapat
1
2
menampung banyaknya siswa saja melainkan perlu memperhatikan kesejahteraan psikologis siswa karena kesejahteraan psikologis dapat meningkatkan efektivitas siswa dalam proses belajar mengajar di sekolah. Kesejahteraan psikologis dari siswa SMP Terbuka belum tercapai dengan baik hal ini terlihat siswa dari SMP Terbuka sering terlibat kenakalan remaja seperti terlibat tawuran dan membolos pada saat jam pelajaran sekolah. Pada tanggal 26 April 2012, hari terakhir pelaksanaan Ujian Nasional di Jember telah terjadi tawuran antara pelajar yang melibatkan siswa SMP Terbuka, dimana siswa SMP Terbuka mengeroyok siswa SMP Induk sampai siswa tersebut terluka cukup parah dan harus dilarikan ke rumah sakit. Hal tersebut dipicu karena siswa SMP Terbuka yang melempar putung rokok sembarangan sehingga mengenai korban selanjutnya terjadilah tawuran tersebut. (Tawuran Antar Siswa, Warnai Hari Terakhir UN SMP. Riyadi, diakses 25 Maret 2013). Kenakalan remaja lainnya, yang dilakukan oleh siswa SMP Terbuka adalah membolos pada saat jam sekolah. Hal ini didukung oleh hasil wawancara dengan beberapa siswa SMP Terbuka di Cirebon yaitu (A), (S), dan (H) yang menyatakan bahwa sering membolos pada jam sekolah untuk pergi bermain dengan teman-temanya. Kenakalan-kenalan
yang dilakukan oleh
siswa SMP
Terbuka tersebut
menggambarkan bahwa kesejahteraan psikologis siswa SMP Terbuka belum tercapai dengan baik. Kenakalan remaja yang dilakukan oleh siswa SMP Terbuka tentunya akan membuat citra negatif dari SMP Terbuka di mata masyarakat umum. Kondisikondisi tersebut tentunya tidak menguntungkan bagi siswa SMP Terbuka lain
3
khususnya bagi siswa yang tidak melakukan kenakalan remaja karena harus ikut menanggung akibat dari perbuatan-perbuatan siswa lain yang tidak bertanggung jawab. Labelling dari masyarakat mengenai citra negatif siswa SMP Terbuka akan menghambat siswa dalam mencapai kesejahteraan psikologisnya. Hal tersebut dikarenakan citra negatif
SMP Terbuka di mata masyarakat umum
menimbulkan perasaan minder pada siswa SMP Terbuka karena sering menjadi bahan ejekan oran-orang yang berada di lingkungan sekitar siswa. Hal ini diakui oleh salah satu siswa SMP Terbuka di Cirebon yaitu (F) yang merasakan minder menjadi siswa SMP Terbuka karena jika bertemu dengan teman-teman (F) yang bersekolah di SMP Reguler teman (F) tersebut tidak menyapa dan membuang muka. Selain itu, status siswa dari SMP Terbuka juga menjadi bahan ejekan tetangga (F). Salah satu indikasi dari kesejahteraan psikologis menurut Hurlock (1991) adalah prestasi. Sampai saat ini prestasi belajar siswa SMP Terbuka masih tergolong rendah. Hasil Ujian Nasional pada tahun 2010 di Jawa Tengah menunjukan bahwa tingkat kelulusan SMP Terbuka paling rendah dibandingkan SMP lain yang sederajat. Dari jumlah peserta Ujian Nasional di tingkat SMP Terbuka sebanyak 5.936 siswa, yang harus menempuh ujian ulang sebanyak 4.122 siswa (69,44 persen) sedangkan tingkat SMP Reguler dengan jumlah peserta Ujian Nasional mencapai 389.569 siswa, hanya 52.946 (13,59 persen) siswa tidak lulus dan harus menempuh ujian ulang, pada tingkat MTs jumlah peserta Ujian Nasional 117.092 siswa, sebanyak 14.737 (12,593 persen) harus menempuh ujian
4
ulang, untuk tingkat SMP-LB 129 siswa dinyatakan lulus semua (0 persen). (Siswa Jateng, Capai Prestasi Nasional. Suatmaji, diakses 13 Maret 2013). Selain cukup tingginya presentasi ketidaklulusan siswa SMP Terbuka di Jawa Tengah dalam Ujian Nasional tahun 2010 yang lalu, indikasi belum baiknya prestasi akademik siswa SMP Terbuka juga terjadi di Cirebon. Hasil perolehan nilai rata-rata Ujian Nasional tahun 2012 di SMP Terbuka B Cirebon menunjukan nilai rata-rata sebesar 17,98 lebih rendah dibandingkan dengan nilai rata-rata yang dicapai oleh siswa SMP Reguler B yaitu sebesar 28,98. Hal ini juga terjadi pada SMP Terbuka D hasil perolehan nilai rata-rata Ujian Nasional tahun 2012 menunjukan 25,06 lebih rendah dibandingkan dengan nilai rata-rata siswa SMP Reguler D yaitu 29,24. Selain nilai rata-rata perolehan Ujian Nasional lebih rendah dibandingkan SMP Reguler, nilai murni mata pelajaran SMP Terbuka juga belum mencapai kriteria ketuntasan minimal. Pada SMP Terbuka A di Cirebon, misalnya terdapat 32 persen dari 30 siswa kelas 8 nilai dalam empat mata pelajaran yang akan diujikan secara nasional masih dibawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) seperti pelajaran Bahasa Indonesia 70 yang ditentukan oleh sekolah siswa hanya mencapai nilai 67 sampai 69. Pelajaran Bahasa Inggris 69 yang ditentukan sekolah siswa hanya mencapai 66 sampai 68. Pelajaran Matematika 70 yang ditentukan sekolah siswa hanya mencapai 66 sampai 69. Pelajaran IPA 69 yang ditentukan sekolah siswa hanya mencapai 65 sampai 68. Data tersebut menunjukan bahwa SMP Terbuka memiliki tingkat kelulusan yang lebih rendah dibandingkan sekolah lainnya dan nilai-nilai pelajaran yang belum memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal mengindikasikan
5
prestasi akademik siswa SMP Terbuka yang rendah. Prestasi yang rendah pada siswa SMP Terbuka mengindikasikan belum tercapainya kesejahteraan psikologis pada individu. Indikasi belum tercapainya kesejahteraan psikologis dari siswa SMP Terbuka juga terungkap dari hasil wawancara dengan T (15 tahun) siswa SMP Terbuka A di Cirebon menyatakan bahwa sekolah sambil bekerja membuat (T) terbebani karena terkadang sulit membagi waktu antara sekolah dan bekerja. Lebih lanjut (T) mengungkap beban tersebut dikarenakan rasa lelah baik secara fisik karena pada pagi hari harus bekerja mengupas rajungan dan siang hari harus sekolah dan psikis karena harus turut membantu keuangan keluarga yang kekurangan. (T) terkadang merasa iri dengan teman sebaya yang dapat bersekolah di SMP Reguler dan (T) kadang iri juga ingin dapat bermain seperti teman-teman seusianya, akan tetapi hal tersebut tidak mungkin karena waktu (T) habis untuk sekolah dan bekerja. Hasil wawancara tersebut diperkuat oleh hasil wawancara dengan guru SMP Terbuka C di Cirebon yang berinisial (AA) didapatkan keterangan bahwa permasalahan yang dihadapi saat mengajar siswa SMP Terbuka adalah adanya daya serap siswa rendah selain itu kehadiran yang kurang hal ini di tunjukan dengan buku absensi yang tiap hari selalu terisi oleh siswa yang membolos. Permasalahan kehadiran tersebut dikarenakan banyak persoalan yang dihadapi siswa dalam keluarga mengingat keluarga dari siswa SMP Terbuka C adalah mayoritas dari kalangan yang kurang mampu. Banyak dari keluarga menuntut anak untuk bekerja dibanding sekolah. Hal tersebut akhirnya membuat anak
6
kelelahan pada saat jam sekolah karena kesibukan di pagi hari. Permasalahan tersebut pada akhirnya menurunkan motivasi anak untuk pergi ke sekolah pada siang harinya. Selain itu juga ada perasaan minder dari siswa karena banyak dari masyarakat masih memandang sebelah mata keberadaan SMP Terbuka. Hal tersebut membuat guru lebih ekstra dalam mengajar dan memotivasi siswa agar jiwa siswa tidak terganggu dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar di SMP Terbuka. Berdasarkan bukti-bukti berupa data dan hasil wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan psikologis siswa SMP Terbuka belum dapat terpenuhi oleh siswa, ini terlihat dari siswa belum mencapai prestasi akademik yang baik. Penerimaan diri siswa juga belum tercapai dengan baik bersekolah di SMP Terbuka. Hal tersebut ditunjukan dengan adanya perasaan rendah diri baik itu karena latar belakang status ekonomi siswa yang kekurangan ataupun karena status menjadi siswa SMP Terbuka yang masih dianggap sekolah buangan bagi beberapa golongan yang membuat siswa merasa menjadi kelompok minoritas diantara teman-teman siswa yang bersekolah di SMP Reguler. Siswa juga merasakan iri dengan teman-temannya yang bersekolah di SMP Reguler dan iri melihat teman-temannya yang dapat menghabiskan waktu dengan sekolah dan bermain saja tanpa harus ikut bekerja membantu orang tua. Rendahnya penerimaan diri menunjukan belum tercapainya kesejahteraan psikologis dari siswa SMP Terbuka. Permasalahan lain yang mengindikasikan rendahnya kesejahteraan psikologis siswa SMP Terbuka adalah siswa belum dapat mencapai pertumbuhan pribadi hal ini terlihat dari siswa belum dapat mengembangkan
7
dirinya secara maksimal di sekolah akibat kelelahan bekerja sehingga sulit menyerap pelajaran. Ryff (1989) mengindikasikan bahwa individu yang memiliki kesejahteraan psikologis adalah individu yang mempunyai penerimaan diri yang baik, autonomi yang tinggi, tujuan hidup yang jelas, dapat mengembangkan potensi yang dimiliki, memiliki hubungan interpersonal yang baik, mampu menguasai lingkungan. Rendahnya prestasi, penerimaan diri, pertumbuhan pribadi, dan perasaan-perasaan negatif pada siswa SMP Terbuka mengindikasikan bahwa kesejahteraan psikologis yang belum tercapai dengan baik oleh siswa SMP Terbuka. Kesejahteraan psikologis yang kurang baik akibat permasalahan ekonomi keluarga yang kekurangan juga dialami oleh siswa yang sekolah sambil bekerja, hal ini terlihat dari pernyataan siswa yang merasakan beban mental akibat menjadi salah satu tulang punggung keluarga untuk membantu keuangan keluarga yang kekurangan sehingga sulit untuk fokus pada saat menuntut ilmu di sekolah. Siswa sering dihinggapi perasaan gelisah karena pikiran terbayangi oleh pekerjaan yang belum terselesaikan atau jika pekerjaan sudah selesai siswa tetap sulit fokus dalam menangkap pelajaran di karenakan kelelahan fisik dan terkadang membuat siswa memilih membolos sekolah. Hasil ini di dukung oleh penelitian yang dilakukan Daniel dan Sherk (2003) menunjukan bahwa stres ekonomi berhubungan signifikan dengan kesejahteraan psikologis pada siswa remaja SMA di Cina, dimana penelitian tersebut menunjukan bahwa remaja yang mempunyai pengalaman stres ekonomi yang tinggi memiliki kesehatan psikologis yang rendah.
8
Penelitian lain dilakukan oleh Laura dan Macdarmid (1998) menunjukan hasil bahwa hubungan langsung antara kesulitan ekonomi dan kesejahteraan psikologis, dimediasi oleh perkembangan identitas. Lebih lanjut Laura dan Macdarmid (1998) menjelaskan kesulitan ekonomi yang sangat kuat dapat mengganggu perkembangan identitas diri. Perkembangan identitas dalam penelitian ini dikaitkan dengan penyesuaian diri remaja. Kesulitan ekonomi dapat membuat remaja sulit untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Keadaan ini berdampak negatif terhadap perkembangan psikologis remaja. Pada akhirnya dampak negatif terhadap perkembangan psikologis remaja ini akan mempengaruhi langsung pada rendahnya kesejahteraan psikologis remaja. Ada banyak faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis, sehingga tidak semua orang memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang sama. Penelitian-penelian yang dilakukan Diener mengindikasikan bahwa tidak ada penentu tunggal dari kesejahteraan. Beberapa kondisi tampaknya diperlukan untuk mencapai kesejahteraan yang tinggi seperti kesehatan mental dan hubungan sosial yang positif (dalam Eid & Larsen, 2008). Berdasarkan hasil penelitianpenelitian yang telah dilakukan oleh Diener mengenai kesejahteraan maka dapat dikelompokan
faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan kesejahteraan
psikologis diantaranya adalah sosiodemografis, penilaian terhadap pengalaman hidup, religiusitas, kepribadian, dan dukungan sosial (dalam Eid & Larsen, 2008). Faktor sosiodemografis temasuk kelompok usia, gender, status sosial ekonomi, pendidikan, budaya. Ryff dan Keyes (1995) menemukan bahwa aspek penguasaan lingkungan dan aspek otonomi terdapat pola yang meningkat seiring
9
pertambahan usia. Hasil penelitian Cicognani (2011) menunjukan bahwa remaja yang berusia lebih tua memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi dibandingkan remaja yang berusia lebih muda, selain itu hasil penelitian tersebut sekaligus juga menunjukan bahwa remaja wanita memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja pria. Faktor penilaian terhadap pengalaman hidup adalah individu yang cenderung mengkombinasikan perasaan terhadap pengalaman hidup tertentu untuk membentuk penilaian terhadap kehidupan secara menyeluruh. Ryff dan Keyes (1995) berpendapat bahwa pemahaman akan kesejahteraan psikologis membutuhkan studi yang lebih mendalam akan pengalaman hidup seseorang, yang sangat beragam dan berbeda pada tiap orang. Pengalaman-pengalaman tersebut mencakup berbagai bidang kehidupan dan berbagai periode kehidupan yang masing-masing memiliki tuntutan yang berbeda. Ryff dan Keyes (1995) menyatakan bahwa evaluasi individu terhadap pengalaman hidupnya memiliki pengaruh yang penting terhadap kesejahteraan psikologis. Menurut Ryff, pencapaian kesejahteraan psikologis pada individu dapat diketahui dengan meneliti berbagai pengalaman kehidupan dan bagaimana individu memberi makna atau arti dalam kehidupannya. Faktor religiusitas adalah faktor berkaitan dengan transendensi segala persoalan hidup kepada Tuhan. Individu yang memiliki tingkat religiusitas tinggi lebih mampu memaknai kejadian dalam hidupnya secara positif sehingga hidupnya menjadi lebih bermakna. Wnuk dan Marcinkowski (2012) berpendapat
10
bahwa religiusitas dapat memberikan pengaruh positif terhadap kesejahteraan psikologis melalui penemuan makna hidup dan peningkatan harapan. Faktor kepribadian adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis. Kepribadian menurut Ryff dan Keyes (1995) individu yang memiliki banyak kompetensi pribadi dan sosial seperti penerimaan diri, mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan lingkungan, coping skill yang efektif cenderung terhindar dari konflik dan stres. Kepribadian yang fleksibel dan mudah beradaptasi tentunya berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis, dan ciri-ciri individu yang memiliki kepribadian tersebut terdapat pada individu yang memiliki kecerdasan emosi. Hasil penelitian lanjutan Landa, Martos dan Zafra (2010a)
pada khusus subyek mahasiswi menunjukan bahwa aspek kejelasan
emosi dari variabel kecerdasan emosi menjadi prediktor terbaik kesejahteraan psikologis. Faktor lain yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis adalah dukungan sosial. Dukungan sosial merupakan gambaran berbagai ungkapan perilaku suportif (mendukung) kepada seorang individu yang diterima oleh individu yang bersangkutan dari orang-orang yang cukup bermakna dalam hidupnya. Hasil penelitian Tulin dan Ozlale (2004) menunjukan bahwa dukungan sosial dari orang-orang yang bermakna dalam kehidupan seseorang dapat memberikan peramalan akan kesejahteraan psikologis seseorang. Dukungan sosial yang diberikan adalah untuk mendukung penerima dalam mencapai tujuan dan kesejahteraaan hidup.
11
Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat disimpulkan ada dua faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis berupa faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor berasal dari dalam individu yang dapat mempengaruhi pencapaian kesejahteraan psikologis individu tersebut, adapun faktor-faktor internal yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis itu diantaranya adalah sebagian dari sosiodemografis berupa usia dan gender, religiusitas dan penilaian terhadap pengalaman hidup. Kecerdasan emosi juga adalah salah satu faktor internal yang masuk pada kategori kepribadian. Faktor eksternal adalah faktor berasal dari luar individu yang dapat mempengaruhi tercapainya kesejahteraan psikologis individu, adapun yang termasuk dalam faktor eksternal adalah sebagian dari sosiodemografi berupa status sosial ekonomi, budaya serta pendidikan dan faktor dukungan sosial. Berdasakan ungkapan-ungkapan pada saat wawancara dengan siswa dan guru SMP Terbuka terungkap bahwa ada dua faktor yang menghambat tercapainya kesejahteraan psikologis pada siswa SMP Terbuka di Cirebon yaitu yang pertama, faktor internal berupa kecerdasan emosi dari siswa. Hal ini terlihat dari ungkapan-ungkapan salah satu siswa A (16 tahun) siswa SMP A menyatakan bahwa merasa kesulitan mengatur antara waktu bekerja dan sekolah akhirnya terkadang memutuskan untuk membolos dan kurang fokus dalam menerima pelajaran serta sulit untuk bergaul dengan siswa sekolah.
Individu yang cerdas
secara emosi mungkin akan mengalami tingkat yang lebih tinggi dalam kesejahteraan psikologis dibandingkan individu yang memiliki kecerdasaan emosi rendah hal ini dikarenakan individu yang cerdas secara emosi mampu
12
mempertahankan kondisi mental positif dan mengurangi atau menghilangkan emosi negatif karena kemampuan mereka untuk secara efektif mengelola (mengakui, memahami, menghasilkan dan
mengatur) emosi dirinya sehingga
dapat mengalami kesejahteraan emosi hal ini akan menghasilkan kemerdekaan individu dan kapasitasnya untuk melawan tekanan sosial. Kecerdasan emosi dianggap sebagai faktor penting yang memberikan informasi yang berguna untuk memecahkan masalah sehari-hari. Pengelolaan emosi dianggap penting untuk meningkatakan kesehatan dan adaptasi psikologis. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Salami (2011) pada sampel siswa sekolah menengah di Nigeria yang menunjukan bahwa kecerdasan emosi memiliki korelasi signifikan dengan kesejahteraan psikologis. Siswa yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi juga. Hasil penelitian tersebut diperkuat oleh penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Mavroveli, Petrides, Rieffe dan Bakker (2007) yang menunjukan bahwa siswa yang memiliki kecerdasan emosi berhubungan negatif dengan dengan depresi pada siswa di Belanda dan siswa yang memiliki kecerdasan emosi tinggi kemungkinan memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi juga hal tesebut dikarenakan kecerdasan emosi sebagai faktor protektif terhadap gangguan psikologis. Hasil penelitian ini menemukan bahwa remaja mampu mengatur emosi dalam diri cenderung melaporkan depresi lebih sedikit dengan kata lain remaja yang memiliki kecerdasan emosi tinggi lebih memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi. Hasil-hasil penelitian tersebut konsisten juga dengan hasil penelitian dari Carmeli, Yitzhak dan Weisberg (2009) yang menunjukan
13
bahwa kecerdasan emosi berkorelasi positif dengan semua aspek kesejahteraan psikologis. Selain faktor internal, hasil wawancara dengan siswa dan guru SMP Terbuka mengungkap adanya peranan faktor eksternal berupa dukungan sosial dari orang-orang terdekat siswa SMP Terbuka. Hal ini terlihat dari ungkapanungkapan guru SMP Terbuka B, C, dan A di Cirebon yang menyatakan orangorang yang berada di lingkungan siswa terkadang mengejek siswa dan peranan orang tua sangat pasif terhadap anaknya yang artinya orang tua siswa sendiri tidak peduli akan sekolah siswa bahkan lebih meyuruh siswa untuk bekerja dibandingkan bersekolah. Pernyataan tersebut di dukung oleh ungkapan A siswa SMP Terbuka C yang menyatakan bahwa orang tua jarang menanyakan sekolah yang ditanyakan hanya pencairan uang beasiswa saja, selain itu A kerap kali diejek oleh teman-teman dan tetangga karena bersekolah di SMP Terbuka. Dukungan sosial adalah salah satu faktor yang sangat penting bagi individu terlebih lagi di usia remaja. Pada usia remaja, individu banyak mengalami permasalahan yang menyebabkan kondisi mental negatif dan pada akhirnya remaja sulit untuk mencapai kesejahteraan psikologis terlebih lagi pada remaja yang mengalami permasalahan ekonomi yang kurang mampu, karena kondisi tersebut akan jauh lebih banyak lagi menimbulkan permasalahan bagi remaja. Dukungan sosial dari orang tua dan kerabat berfungsi untuk mengubah emosi negatif menjadi emosi positif akibat permasalahan tersebut. Remaja percaya dengan dukungan sosial mampu menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi dan kekhawatiran terhadap masalah menjadi berkurang pada akhirnya
14
remaja dapat mencapai kesejahteraan psikologis. Hasil penelitian dari Cicognani (2011) yang menunjukan bahwa dukungan sosial yang dirasakan dari keluarga dan teman-teman berkorelasi positif dan signifikan dengan kesejahteraan psikologis siswa remaja di Italia Utara. Orang lain di sini dapat diartikan sebagai individu perorangan ataupun kelompok. Hasil penelitian Buchanan dan Bowen (2008) juga menunjukan bahwa kombinasi dukungan sosial berasal dari teman sebaya dan orang dewasa berpengaruh signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan psikologis pada siswa di sekolah. Hasil penelitian-penelitian di atas dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Xu, Berteshi dan Tran (2010) pada sampel remaja imigran sekolah menengah di Amerika Serikat menunjukan bahwa interaksi positif antara dukungan keluarga dan sekolah dengan peningkatan kesejahteraan psikologis remaja hal ini berarti
bahwa tingkat dan kualitas interaksi antara dukungan
keluarga dan dukungan sekolah sangat penting untuk kesejahteraan psikologis remaja. Menurut studi tinjauan literatur yang dilakukan oleh Sarason, Sarason dan Pierce (1990) menyataan bahwa hal yang menjadi dasar dalam membangun persepsi seseorang atas dukungan adalah: penerimaan, kontrol pribadi dan kompetensi personal.
Menerima terkait bantuan dukungan sosial akan
memperkuat keterampilan seseorang mengatasi, dapat menjadi motivasi untuk menghadapi stressor dalam kehidupan, dan dalam jangka panjang dapat menurunkan tingkat stres dari peristiwa hidup atau probabilitas bahwa terjadinya tekanan hidup lebih terkendali sehingga menyebabkan kesejahteraan psikologis
15
meningkat. Berdasarkan fenomena-fenomena dan hasil-hasil penelitian terdahulu, peneliti merasa penting untuk meneliti kecerdasan emosi dan dukungan sosial sebagai faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis pada siswa SMP Terbuka.
B. Rumusan Masalah Fenomena di lapangan yang menunjukan belum tercapainya kesejahteraan psikologis siswa SMP Terbuka seperti yang diharapkan diduga berhubungan dengan faktor internal berupa kecerdasan emosi. Selain itu, faktor eksternal berupa dukungan sosial dianggap ikut berperan. Berdasarkan latar belakang permasalahan maka apakah kecerdasan emosi dan dukungan sosial dapat memprediksi tingkat kesejahteraan psikologis pada siswa SMP Terbuka?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang ingin dijawab, maka tujuan penelitian ini adalah untuk memprediksi kesejahteraan psikologis pada siswa SMP Terbuka berdasarkan kecerdasan emosi dan dukungan sosial.
D. Manfaat Penelitian Manfaat teoritis penelitian ini adalah dapat memperkaya dan menambah perkembangan ilmu psikologi, khususnya berkaitan dengan pemahaman wacana kesejahteraan psikologis pada siswa SMP Terbuka. Hasil penelitin ini dapat digunakan untuk mengetahui kesejahteraan psikologis pada siswa SMP Terbuka
16
yang dipengaruhi oleh kecerdasan emosi dan dukungan sosial. Secara praktis penelitian ini berguna : 1. Bagi siswa SMP Terbuka yang menjadi subyek penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai gambaran kesejahteraan psikologis mereka. 2. Bagi orang-orang terdekat siswa SMP Terbuka diharapkan dapat mengetahui bahwa kesejahteraan psikologis sangat penting, memahami kesejahteraan psikologis beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya. 3. Bagi para peneliti yang tertarik dengan kesejahteraan psikologis, semoga penelitian ini dapat menjadi inspirasi bagi penelitian berikutnya.
E. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Penelitian terdahulu mengenai kesejahteraan psikologis pernah di lakukan oleh Ryff (1989). Sampel penelitian ini terdiri dari 321 wanita dan pria dengan kategori usia muda, dewasa tengah dan dewasa akhir. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi arti dan aspek-aspek dari kesejahteraan psikologis itu sendiri. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah fokus penelitian. Fokus penelitian yang dilakukan oleh Ryff (1989) adalah mengeksplorasi arti dan aspek dari kesejahteraan psikologis itu sendiri sedangkan fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui kesejahteraan psikologis pada siswa sekolah yang kurang mampu secara ekonomi. Selain itu subyek penelitian juga berbeda. Pada penelitian Ryff (1989) subyek penelitian terdiri dari kelompok dewasa muda, dewasa tengah, dan dewasa akhir sedangkan pada penelitian ini subyek penelitianya adalah remaja awal.
17
Penelitian kesejahteraan psikologis lainya dilakukan oleh Laura dan Macdarmid (1998). Sampel penelitian adalah siswa kelas delapan
dari dua
Sekolah Menengah Pertama yang berlokasi di daerah yang miskin. Hasil penelitian menunjukan hubungan langsung antara kesulitan ekonomi dan kesejahteraan psikologis, dimediasi oleh perkembangan identitas. Laura dan Macdarmid (1998) menjelaskan kesulitan ekonomi membuat remaja sulit untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan keadaan ini tentunya merugikan terhadap perkembangan psikologis diri mereka yang akhirnya secara langsung terkait dengan rendahnya kesejahteraan psikologis dari remaja tersebut. Perbedaan dengan penelitian terdahulu adalah penelitian terdahulu penelitian terdahulu fokus pada variabel penyesuaian diri dan faktor keluarga seperti parental treatment terhadap kesejahteraan psikologis dalam menghadapi tekanan ekonomi sedangkan pada penelitian ini menggunakan variabel kecerdasan emosi dan dukungan sosial yang berasal dari orang terdekat baik itu orang tua atau kerabat sebagai variabel yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis. Penelitian terdahulu mengenai kesejahteraan psikologis lainnya dilakukan oleh Daniel dan Sherk (2003). Sampel penelitian terdahulu terdiri dari 225 remaja di Cina. Perbedaan dengan penelitian ini adalah yang pertama, fokus penelitian ini adalah kecerdasan emosi dan dukungan sosial kesejahtearaan psikologis pada siswa SMP Terbuka sedangkan penelitian Daniel dan Sherk (2003) mengenai hubungan stres ekonomi mencakup keadaan stres saat ini dan kekhawatiran ekonomi di masa depan dengan kesejahteraan psikologis dan problem behavior remaja di Cina yang mempunyai pengalaman hidup dengan ketidakberuntungan
18
ekonomi. Kedua, Sampel pada penelitian ini lebih dikhususkan pada remaja yang berstatus siswa dari SMP Terbuka sedangkan penelitian Daniel dan Sherk (2003) mempunyai sampel yang lebih luas yaitu remaja di Cina. Data yang digunakan dalam penelitian terdahulu adalah data berasal dari remaja dan orang tua. Peserta penelitian diambil melalui CSSA (Comprehensive Sosial Security Assistance) atau TBA (Textbook Allowance) dari pemerintah sedangkan penelitian ini data berasal dari siswa remaja saja. Penelitian mengenai kesejahteraan psikologis juga pernah dilakukaan dilakukan oleh Harpan (2006) tentang hubungan antara pusat kendali, optimime dan kesejahteraan psikologis pada remaja. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada faktor-faktor yang mempengaruhi dari kesejahteraan psikologis. Pada penelitian Harpan (2006) yang menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi dari kesejahteraan psikologis adalah pusat kendali dan optimisme sedangkan pada penelitian ini faktor-faktor yang mempengaruhi adalah kecerdasan emosi dan dukungan sosial. Penelitian mengenai kecerdasan emosi perrnah dilakukan diantara oleh Landa dkk (2010b). Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menguji hubungan antara aspek kecerdasan emosi, The Big Five personality, dan enam atribut kesejahteraan psikologis yaitu penerimaan diri dan sikap positif terhadap seseorang, pertumbuhan pribadi, tujuan hidup, pengendalian lingkungan atau dominasi, hubungan positif dengan orang lain, otonomi atau kemampuan untuk mandiri dengan kesejahteraan psikologis pada 217 mahasiswa wanita dan 42 mahasiswa pria di Universitas Jaen di Spanyol. Perbedaan dengan penelitian ini
19
adalah jelas pada sampel penelitian. Sampel penelitian terdahulu adalah mahasiswa sedangkan sampel penelitian ini adalah siswa tingkat sekolah menengah pertama. Penelitian terdahulu mengenai kecerdasan emosinal dilakukan oleh Carmeli dkk (2007). Tujuan penelitian untuk menguji hubungan antara kecerdasan emosi dan empat aspek kesejahteraan psikologis (penerimaan diri, kepuasan hidup, keluhan somatik dan harga diri). 149 karyawan yang bekerja di lima organisasi yang berbeda (lembaga keuangan, pengadilan, industri pertahanan, perusahaan periklanan, dan perusahaan perangkat lunak) di Israel. Perbedaan dalam penelitian terdahulu adalah tempat dan sampel penelitian. Tempat penelitian terdahulu adalah perusahaan cakupan industri sedangkan penelitian yang akan dilakukan adalah bertempat di sekolah atau cakupan pendidikan . Sampel penelitian terdahulu menggunakan karyawan sedangkan penelitian ini akan dilakukan pada siswa remaja. Salami (2011) pernah meneliti kecerdasan emosi. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menguji hubungan antara The Big Five Factor Personality dan kesejahteraan psikologis remaja dengan kecerdasan emosi sebagai varibel moderator. Sampel penelitian adalah 400 remaja yang dipilih secara acak dari sekolah menengah di barat daya Nigeria. Metode penelitian menggunakan survei desain dari tipe ex post facto. Hasil penelitian menunjukan kecerdasan emosi memiliki korelasi positif dengan kesejahteraan psikologis. Interaksi antara kecerdasan emosi dan masing-masing faktor kepribadian memberikan kontribusi signifikan dalam memprediksi kesejahteraan psikologis siswa. Perbedaan dengan
20
penelitian ini adalah tujuan penelitian yang berbeda. Tujuan penelitian yang akan dilakukan adalah untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosi dan dukungan sosial dengan kesejahteraan psikologis siswa di SMP Terbuka. Selain itu yang membedakan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah subyek penelitian ini mengambil siswa remaja dengan latar belakang ekonomi yang kurang beruntung sedangkan penelitian terdahulu subyek penelitian adalah siswa remaja di sekolah menengah. Mavroveli dkk (2007) telah melakukan penelitian mengenai kecerdasan
emosi. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi hubungan antara trait dari kecerdasan emosi dengan kesejahteraan psikologis serta kompentensi sosial dalam berhubungan dengan teman sebaya pada siswa remaja di Belanda. Sampel terdiri dari 282 anak-anak (146 anak laki-laki dan 136 perempuan), berusia antara 11 sampai 15 tahun sekolah di Belanda. Hasil penelitian menunjukan bahwa kecerdasan emosi berhubungan negatif dengan depresi, keluhan somatik, gaya coping maladaptif dan sebaliknya, kecerdasan emosi behubungan positif terhadap kompetensi sosial dengan teman sebaya dan gaya coping adaptif. Perbedaan dengan penelitian terdahulu, fokus penelitian terdahulu pada trait kecerdasan emosi dan menyertakan kompetensi sosial sebagai salah satu variabel yang dipengaruhi oleh kecerdasan emosi. Pada penelitian ini fokus penelitian pada kecerdasan emosi dan hanya menyertakan satu variabel tergantung yaitu kesejahteraan psikologis. Tempat penelitian juga berbeda, penelitian terdahulu mengambil tempat di Belanda sedangkan penelitian ini akan dilakukan di Indonesia.
21
Penelitian mengenai dukungan sosial pernah dilakukan oleh Xu dkk (2010) pada sampel remaja imigran sekolah menengah di Amerika Serikat. Penelitian ini bertujuan membandingkan kesejahteraan psikologis remaja dari kelahiran luar negeri dan remaja kelahiran Amerika Serikat serta mengkaji peran keluarga dan sekolah dalam kaitanya dengan kesejahteraan psikologis remaja. Sampel penelitian 4.010 remaja di California. Hasil penelitian menunjukan bahwa interaksi positf antara dukungan keluarga dan sekolah dengan peningkatan kesejahteraan psikologis remaja. Perbedaan dengan penelitian terdahulu adalah mengukur dukungan sosial pada remaja imigran sedangkan pada penelitian ini mengukur dukungan sosial pada siswa pada siswa SMP Terbuka. Penelitian lain mengenai dukungan sosial juga datang dari Cicognani (2011). Penelitian ini menguji perbedaan usia dan gender dengan strategi coping yang digunakan oleh remaja dalam menangani stres ringan sehari-hari dan menguji hubungan sumber daya coping (self-efficacy dan dukungan sosial) serta dampak coping dengan kesejahteraan psikologis. Peserta penelitian adalah 342 remaja yang berstatus siswa sekolah asal Italia yang tinggal di kota besar Italia Utara. Hasil penelitian menunjukan bahwa dukungan sosial yang dirasakan dari keluarga dan teman-teman berkorelasi positif dan signifikan dengan kesejahteraan psikologis siswa remaja di Italia Utara. Perbedaan dengan penelitian terdahulu adalah pada penelitian terdahulu dukungan sosial dikombinasikan dengan self eficasy sebagai strategi coping yang digunakan dalam menghadapi stres ringan sedangkan dalam penelitian ini dukungan sosial akan dikombinasikan dengan kecerdasan emosi agar siswa dapat mencapai kesejehteraan psikologis.
22
Sarason dkk (1990) telah meneliti dukungan sosial. Tujuan penelitian ini adalah meriview titik konsep dukungan sosial saat ini, dan menggambarkan pendekatan teoritis yang menekankan persepsi individu tentang dukungan. Metode penelitian menggunakan studi tinjauan literatur. Hasil penelitian menyebutkan ada 3 pandangan dari teori dukunngan sosial yaitu : keterhubungan interpersonal, ketentuan sosial yang terpilih, dan rasa atas dukungan sosial. Selain itu penelitian ini mengkaji dasar teori yang membangunn persepsi seseeorang atas dukungan. Adapun hal yang menjadi dasar dalam membangun persepsi seseorang atas dukungan adalah : penerimaan, kontrol pribadi dan kompetensi personal. Perbedaan dengan penelitian terdahulu adalah metode yang digunakan dalam penelitian terdahulu adalah metode studi tinjauan literatur mengenai konsep dari dukungan sosial sedangkan penelitian yang akan dilakukan menggunakan metode kuantititaf dengan alat pengumpulan data berupa skala. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya baik menyangkut karakteristik subyek, variabel penelitian dan metode penelitian. Karakteristik subyek dalam penelitian ini adalah siswa remaja yang bersekolah di sekolah yang mempunyai program khusus yaitu SMP Terbuka di Cirebon sedangkan dalam penelitian terdahulu subyek penelitiannya pada siswa remaja sekolah menengah reguler, siswa imigran, karyawan dan mahasiswa. Penelitian ini akan meneliti tiga variabel yang mencangkup satu variabel tergantung yaitu kesejahteraan psikologis dan dua variabel bebas yaitu kecerdasan emosi dan dukungan sosial sedangkan dalam penelitian terdahulu variabel yang
23
diteliti adalah sebagai berikut :1. Kesejahteraan psikologis sebagai variabel tergantung dengan kecerdasan emosi serta The Big Five Personality sebagai variabel bebas;2. Kesejahteran psikologis sebagai variabel tergantung dengan kecerdasan emosi dan kompetensi sosial sebagai variabel bebas; 3. Kesejahteraan psikologis sebagai variabel tergantung dengan dukungan sosial dan strategi coping sebagai variabel bebas; 4. Kesejahteraan psikologis sebagai variabel tergantung dengan dukungan orang dewasa dan dukungan teman sebaya sebagai variabel bebas; 5. Kesejahteraan psikologis sebagai varibel terikat dengan kecerdasan emosi sebagai varibel bebas; 6. Kesejahteraan psikologis sebagai variabel tergantung dengan stres ekonomi sebagai variabel beba; 7. Kesejahteraan psikologis sebagai variabel tergantung dengan hubungan individu dan faktor keluarga sebagai variabel bebas; 8. Kesejahteraan psikologis sebagai variabel terikat
dengan dukungan sosial dengan variabel bebas; 9. Kesejahteraan
psikologis sebagai variabel terikat dengan kecerdasan emosi sebgai varibel bebas; 10. Kesejahteraan psikologis sebagai variabel terikat dengan keluarga, sekolah dan negara asal kelahiran sebagai varibel bebas. Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif sedangkan penelitian terdahulu ada yang menggunakan metode kualitatif dengan metode tinjauan literatur dan menggunakan metode longitudinal study. Banyak penelitian terdahulu juga telah menggunakan metode kuantitaf akan tetapi perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah pada alat pengumpul data. Alat pengumpul data penelitian ini menggunakan tiga skala yaitu skala kesejahteraan psikologis, skala kecerdasan emosi dan skala dukungan sosial
24
sedangkan pada penelitian terdahulu alat pengumpul data yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Self-Acceptance Scale dari Gough dan Bradley (1996), skala kepuasan hidup dari Diener (1985), Self-Esteem Scale dari Rosenberg (1989), Somatic Complaints Scale dari Caplan dan Jones (1975), MSCEIT dari Mayer dan Salovey (1997); 2. School Success Profile dari Bowen dan Richman (2001); 3. Trait Meta Mood Scale dari Fernandez dan Berrocal (2004), Psychological Well-being scale dari Dıaz (2006), Life Orientation Test -Revised dari Otero, (1998); 4. Trait Meta-Mood scale dari Salovey (1995), NEO-Five Factor Inventory dari Costa dan McCrae (1992), PWB scale dari Ryff (1989).;5. Skala Ketentuan Sosial dari Cutrona dan Russell (1987), Beck Depression Inventory dari Beck, Rush, Shaw dan Emery, (1979), Life Stresess Inventory for University Student dari Oral (1999); 6. Trait Emotional Intelligence QuestionnaireAdolescent Short Form dari Petrides, Sangareau, Furnham dan Frederickson, (2006), Utrechtse Coping Lijst voor Adolescenten dari Bijstra, Jackson dan Bosman (1994), Children's Depression Inventory dari Kovacs, Timbremont dan Braet (2001), Somatic Complaints List dari Oosterveld dan Terwogt (2006), Guess Who peer assessment dari Coie dan Dodge's (1988); 7. Coping Across Situations Questionnaire dari Seiffge dan Krenke (1995), Multiaspekonal Scale of Perceived Social Support dari Dahlen, Zimet dan Farley (1988), General Self-Efficacy Scale dari Sibilia, Schwarzer, dan Jerusalem (1995), Berne Questionnaire on Adolescent Subjective Well-Being dari Grob (1991).