BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Dalam Deklarasi Kairo tahun 1994 tercantum isu kesehatan dan hak reproduksi perempuan. Hal ini menunjukkan sudah adanya perhatian dunia dalam meningkatkan derajat kesehatan perempuan yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Kesehatan perempuan harus dijaga sejak masih berusia anak-anak agar dapat melalui fungsi reproduksinya secara sehat. Pada kenyataannya hak-hak reproduksi perempuan belum sepenuhnya mendapatkan perhatian dari berbagai pihak. Masalah mendasar kesehatan perempuan telah terjadi jauh sebelum memasuki usia reproduksi (15-49 tahun). Status kesehatan perempuan semasa kanak-kanak dan remaja mempengaruhi kondisi kesehatannya saat hamil dan bersalin. Jenis makanan, tingkat pendidikan, nilai dan sikap yang dianut, sistem kesehatan yang tersedia dan bisa diakses, situasi ekonomi, serta kualitas hubungan seksualnya mempengaruhi perempuan dalam menjalankan masa-masa produksi dan masa reproduksinya (ISSA dalam Wiknjosasto dkk, 2006:14). Menurut Iskandar (WHO, 2007:60) kematian maternal merefleksikan aspek kehidupan sejak masa anak-anak. Rochat (Koblinsky dkk, 1997:233) menuliskan kematian ibu di negara-negara berkembang dan negara-negara maju memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut dapat terlihat dari perbandingan resiko yang dialami sepanjang hidup: satu dari 21 wanita di Afrika akan meninggal karena komplikasi kehamilan atau persalinan, dibandingkan 1 Universitas Sumatera Utara
hanya satu dari 9.850 wanita di Eropa Utara. Menurut Maine (Koblinsky dkk, 1997:233) bahwa kematian ibu di negara berkembang memiliki proporsi yang sangat dramatis terhadap seluruh kematian wanita pada masa reproduksi. Contohnya di Banglades, Mesir, India dan Indonesia, lebih dari satu di antara lima kematian di kalangan wanita sedangkan Amerika Serikat hanya satu dari 200 kematian pada masa reproduksi yang merupakan kematian ibu. Kematian ibu selain berpengaruh terhadap kesehatan dan kehidupan anak yang ditinggalkannya, kematian ibu juga mempunyai dampak yang lebih luas sampai di luar lingkungan keluarganya. Ibu adalah pekerja produktif yang hilang, yang memelihara dan membimbing generasi penerus, merawat para lanjut usia dan menyumbangkan stabillitas di masyarakat (Out Look, 1999). Wanita yang telah menjadi ibu sebelum usia 20 tahun terjadi di berbagai negara (Burns dkk,2000:6; UNDIESA dalam Koblinsky,1997:27). Banyak wanita ini yang tidak akan sempat memulihkan tenaga antara jarak kehamilan tanpa KB sehingga lebih sering mengalami tingkat kesehatan yang buruk dan komplikasi kehamilan dan persalinan. Sebagian besar wanita tersebut memperoleh status aman di masyarakat
dengan mempunyai banyak anak, terutama anak laki-laki. Menurut
Usman (Koblinsky,1997:27) di berbagai negara, anak perempuan berusia belasan tahun secepat mungkin ditekan untuk menikah dan mempunyai anak pertama. Contohnya, di Zaria, Nigeria, 83% anak perempuan telah menikah pada umur 14 tahun sehingga akan menjadi isteri sekaligus ibu sebelum menginjak hari ulang tahun ke 18. 2 Universitas Sumatera Utara
Perempuan tidak sepenuhnya dapat mengambil keputusan untuk menentukan jumlah anak dan keinginannya untuk hamil. Kondisi ini dipengaruhi oleh tempat di mana perempuan tersebut berada misalnya di kalangan masyarakat Mentawai di mana laki-laki yang menentukan kehamilan. Suami akan bersikeras ingin punya anak lagi bila jumlah anak laki-laki belum mencapai yang diharapkannya. Anak laki-laki merupakan pewaris harta di keluarga Mentawai. Jarak usia anak umumnya berdekatan dan kasus keguguran sudah dianggap masalah yang biasa. Kehamilan bukan sesuatu yang dirasa perlu untuk dirawat intensif, seperti periksa rutin ke tenaga medis, mengurangi pekerjaan berat, dan mengkonsumsi makanan bergizi. Perempuan yang hamil dan tidak hamil tidak mendapatkan perbedaan perlakuan. Kondisi ini diperparah dengan tidak ada tenaga medis yang bisa membantu merawat kehamilan para ibu (Kompas, 2009). Preferensi yang kuat terhadap anak laki-laki selain di masyarakat Mentawai juga terdapat di Cina, India, Nepal dan Korea. Singarimbun (1996:97) yang mengutip pendapat Yagya Kaiki mengatakan bahwa preferensi terhadap anak laki-laki di India dan Nepal tidak hanya berkaitan dengan sistem kekerabatan tetapi juga dengan kepercayaan. Nepal mempunyai nilai-nilai sosial yang penting di mana anak laki-laki mempunyai fungsi keagamaan yang menonjol karena hanya anak laki-laki yang dapat melakukan upacara kematian untuk orangtua dan upacara lainnya setelah orangtua meninggal. Upacara-upacara tersebut
menurut kepercayaan mereka mempunyai
fungsi membuka pintu akhirat.
3 Universitas Sumatera Utara
Kondisi perempuan di kalangan masyarakat mentawai menunjukkan bahwa perempuan tidak sepenuhnya mempunyai hak untuk sehat. Keinginan yang tinggi untuk memiliki anak laki-laki memaksa perempuan untuk terus hamil tanpa adanya perawatan dari tenaga medis. Perempuan yang terlalu sering melahirkan menyebabkannya kurang bisa mengontrol hidupnya, mengenyam pendidikan, dan menambah ketrampilan untuk mandiri (Burns dkk, 2000:6). Hubungan antara perempuan dan laki-laki di masyarakat Mentawai bukanlah hubungan yang seimbang karena pengambilan keputusan berada di tangan laki-laki. Menurut Abdullah (2001:86) persoalan reproduksi tidak hanya mencakup alat dan proses reproduksi, tetapi juga terkait langsung dengan hubungan-hubungan sosial yang melibatkan laki-laki dan perempuan. Hubungan ini dibingkai oleh berbagai nilai dan norma yang dibentuk dan dilestarikan oleh berbagai pihak dengan berbagai kepentingan yang menyebabkan sifat timpang atau seimbang terbentuk. Keadaan perempuan tersebut menunjukkan bahwa perempuan memiliki resiko yang tinggi terhadap kematian karena komplikasi kehamilan dan persalinan. Perempuan pada masa reproduksinya mengalami ketergantungan terhadap pihakpihak lain selain dirinya sendiri. Suami, orangtua dan mertua berhak menentukan kelahiran anak (Abdullah, 2001:96). Dari satu kehamilan ke kehamilan berikutnya, seorang wanita mungkin tidak pernah menerima pelayanan kesehatan. Kurangnya akses terhadap pelayanan dasar kesehatan ibu yang efektif dan tepat waktu merupakan masalah kritis bagi wanita di dunia ketiga dan berperan besar terhadap masalah kesehatan ibu. Fasilitas pelayanan 4 Universitas Sumatera Utara
kehamilan tidak selalu berarti pelayanan yang efektif. Berdasarkan penelitian di Zimbabwe (Government of Zimbabwe) meskipun motivasi melakukan pemeriksaan kehamilan tinggi akan tetapi sebagian besar wanita terlambat melakukannya (Koblinsky, 1997:29). Pelayanan kesehatan kadang kala juga tidak dimanfaatkan oleh perempuan karena pengaruh budaya misalnya suku Dani di desa Hubikossy Kecamatan Wamena. Masyarakat Dani memandang bahwa pertumbuhan dan kesehatan anak dalam kandungan ibu, lebih ditentukan oleh kepercayaan-kepercayaan dari dalam (perlakuan terhadap adat) daripada lingkungan (perawatan dari luar). Oleh karena itu, sebagian besar masyarakat memandang bahwa hal yang lebih penting dilakukan adalah untuk memenuhi tuntutan kepercayaan/adat daripada perawatan dari luar. Apabila kepercayaan-kepercayaan tersebut telah dilakukan sebagaimana mestinya, maka kehamilan ibu akan sehat dan lahir dengan baik (Srini dkk, 1995). Peran antara ibu dan suaminya berbeda dalam kehamilan. Ibu hamil dalam suku Dani merupakan penyumbang darah dalam proses pembuahan. Ibu akan menjaga kehamilannya dengan menjauhi larangan-larangan seperti: tidak boleh jalan malam, tidak boleh hadir dalam pesta lama-lama, tidak boleh memikul noken berat jika kehamilan sudah besar dan tidak boleh makan banyak. Selain itu, ibu hamil harus terus bergerak atau bekerja agar bayi dan ibu sehat, jalan bayi dapat terbuka sehingga proses melahirkan akan mudah. Suami merupakan penyumbang cairan pada saat proses pembuahan. Suami harus mengatur kehidupan adat dengan baik misalnya tidak boleh menjual atau memotong babi adat dan tidak boleh mencuri barang orang 5 Universitas Sumatera Utara
lain. Suami yang berbuat kesalahan atau dosa sewaktu istrinya hamil, harus mengadakan pengakuan kesalahan dihadapan para kerabat, agar istri tidak terlambat dalam proses melahirkan. Bila pengakuan dosa telah dilakukan, namun isteri tetap sulit melahirkan, dipercayai bahwa masih ada persoalan-persoalan yang dirahasiakan atau belum tuntas. Pemeriksaan kehamilan dilakukan oleh bidan asli yang disebut dengan hathaluge. Mereka khawatir bila pergi ke Puskesmas dan perut dipegangpegang akan berpengaruh buruk pada bayi. Jadi, pada suku Dani perawatan ibu hamil cukup didapatkan dari bidan lokal dan menjaga dengan baik kehidupan adat bapak sehingga bayi dalam kandungan ibu akan bertumbuh dengan sehat dan lahir dengan baik (Srini dkk, 1995). Alwi (2007) melakukan penelitian di Papua Kabupaten Timika tentang tema budaya yang melatarbelakangi perilaku ibu penduduk asli (suku Amungme dan suku Kamoro) dalam pemeliharaan kehamilan dan persalinannya. Kesimpulan dari penelitiannya adalah banyak tema budaya penduduk yang merugikan kesehatan ibu karena masih sarat dengan diskriminasi gender dan mengabaikan hak-hak reproduksi perempuan. Perilaku ibu dalam masa kehamilan, persalinan dan setelah persalinan dilandasi oleh beberapa tema budaya yang sangat diskriminatif dan kurang mendukung kesehatan ibu. Sistem pelayanan kesehatan di sebagian negara berkembang sangat menunjukkan ciri-ciri 4 terlalu, yaitu terlalu jauh dari rumah, terlalu sedikit tenaga dukun terlatih, terlalu sedikit dilatih untuk mengidentifikasi atau menangani komplikasi, dan terlalu rendah mutu pelayanan (Koblinsky dkk, 1997:28). Hal ini 6 Universitas Sumatera Utara
menyebabkan ibu kurang memiliki akses dalam menerima pelayanan kesehatan. Pemberian informasi kepada masyarakat, pelatihan tenaga kesehatan, pertolongan dengan menggunakan tenaga kesehatan yang terampil dan adanya jaminan pembiayaan kesehatan dapat menurunkan angka kematian ibu dibeberapa negara maju dan berkembang. Rukmini dan Wiludjeng (2005) meneliti tentang gambaran penyebab kematian di beberapa rumah sakit menyimpulkan bahwa kematian ibu paling banyak terjadi di usia reproduktif yaitu umur 20-30 tahun dan dengan bertambahnya paritas, ibu yang mengalami kematian, mempunyai status ekonomi yang rendah. Akses pelayanan kesehatan pada ibu masih sangat rendah, dilihat dari rendahnya antenatal, penolong pertama persalinan masih didominasi oleh dukun dan banyak persalinan masih dilakukan di rumah. Perdarahan, eklampsia dan infeksi masih merupakan penyebab kematian maternal yang terbanyak dan meningkat dengan bertambahnya paritas dan kematian maternal lebih banyak terjadi dalam waktu 24 jam post partum. Pendidikan ibu yang diteliti oleh Rukmini dan Wiludjeng kebanyakan sampai sekolah dasar dan ada yang tidak bersekolah. Selain itu, mereka tidak memiliki pekerjaan dan hanya bergantung pada penghasilan suami yang sebagian besar sebagai buruh dan tani. Pendapatan keluarga yang kecil menyebabkan berkurangnya alokasi dana untuk pembelian makanan sehari-hari sehingga mengurangi jumlah dan kualitas makanan ibu perhari yang berdampak pada penurunan status gizi yang menyebabkan anemia. Melahirkan di rumah dan ditolong oleh dukun masih merupakan pilihan
7 Universitas Sumatera Utara
utama pada studi kasus ini karena alasan ekonomi. Ibu akan dirujuk ke rumah sakit apabila dukun tidak mampu menangani komplikasi yang terjadi. Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa masih belum terpenuhinya hak-hak reproduksi perempuan. Perempuan dapat menentukan secara bebas dan bertanggung jawab mengenai kapan ia siap menikah, jumlah anak, jarak anak, menentukan waktu kelahiran anaknya dan memperoleh informasi
dan
pelayanan kesehatan. Penelitian ini ingin menganalisis hak kesehatan reproduksi perempuan dalam masyarakat. Penelitian ini dilakukan di salah satu daerah di Nias. Suku Nias merupakan salah satu suku yang menganut sistem patrilineal dalam melihat garis keturunan. Anak laki-laki adalah penerus keturunan keluarga sehingga seorang ibu sangat diharapkan untuk melahirkan anak laki-laki agar keturunan tidak terputus. Kabupaten Nias pada bulan Oktober 2008 telah dimekarkan menjadi tiga daerah otonom baru yaitu Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Barat dan Kabupaten Nias Utara. Kabupaten Nias barat terdiri dari 8 kecamatan dan salah satunya adalah Kecamatan Mandrehe. Berdasarkan hasil pendataan pada tahun 2006 (Dinkes, 2007), bahwa jumlah penduduk di wilayah Puskesmas rawat inap Mandrehe secara keseluruhan berjumlah sebanyak 48.517 jiwa, jumlah keluarga miskin kurang lebih 38 ribu jiwa. Wilayah Puskesmas rawat inap Mandrehe terdiri dari 62 Desa dan telah dimekarkan menjadi 5 wilayah kecamatan, antara lain : 1. Kecamatan Mandrehe, jumlah desa sebanyak 20 desa 2. Kecamatan Mandrehe Utara, jumlah desa sebanyak 12 desa 8 Universitas Sumatera Utara
3. Kecamatan Mandrehe Barat, jumlah desa sebanyak 16 desa 4. Kecamatan Moro’o, jumlah desa sebanyak 9 desa 5. Kecamatan Ulu Moro’o, jumlah desa sebanyak 5 desa. Berdasarkan data profil Dinas Kesehatan Kabupaten Nias Tahun 2008 (Dinkes, 2009) diperoleh angka kematian ibu maternal sebanyak 5 dari 515 jumlah lahir hidup di wilayah Puskesmas rawat inap Mandrehe. Jumlah cakupan kunjungan ibu hamil K1 933 dari 1.238 jumlah ibu hamil (75,36%) sementara itu pada kunjungan K4 menurun menjadi 771 (62,28%). Dari 1.192 jumlah ibu bersalin hanya 509 (42,70%) yang ditolong oleh tenaga kesehatan dan 527 (44,21%) yang mendapatkan pelayanan kesehatan. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa perempuan yang melahirkan tidak mendapatkan pelayanan kesehatan dari tenaga medis lebih dari setengah jumlah ibu yang bersalin. Sonjaya (2008:89) melakukan penelitian di salah satu desa di Nias menuliskan bahwa nilai anak laki-laki jauh lebih tinggi dibandingkan anak perempuan. Menurut hasil pengamatan sementara bahwa terjadi preferensi jenis kelamin anak dalam keluarga dimana keinginan untuk memiliki anak laki-laki lebih tinggi dibanding anak perempuan karena fungsi anak laki-laki tersebut dalam keluarga. Hal ini menyebabkan perempuan yang telah menikah diharapkan untuk mampu memberikan anak laki-laki dalam keluarganya sehingga ada kecendrungan untuk terus melahirkan sampai tercapai keinginan keluarga. Perempuan kemungkinan tidak memiliki hak untuk menentukan kapan akan hamil dan jumlah anak yang
diinginkan karena
kondisi lingkungannya. 9 Universitas Sumatera Utara
Penelitian ini berusaha menggali informasi tentang hak kesehatan reproduksi perempuan Nias. Berdasarkan hasil pengamatan sementara bahwa perempuan Nias tidak sepenuhnya bebas melakukan sesuatu hal yang berkaitan dengan hak kesehatan reproduksinya misalnya dengan menentukan jumlah anak yang dilahirkannya. Hal ini dipengaruhi oleh lingkungan sosial budaya dimana perempuan tersebut berada. Hubungan-hubungan dalam keluarga yang memposisikan perempuan tidak seimbang dengan laki-laki mengakibatkan terjadinya ketimpangan gender misalnya dalam pengambilan keputusan dalam keluarga dimana laki-laki yang memiliki peranan penting.
1.2.Permasalahan Berdasarkan uraian latarbelakang diatas maka permasalahan penelitian ini adalah bagaimana hak kesehatan reproduksi perempuan di Kecamatan Mandrehe Kabupaten Nias Barat Tahun 2010.
1.3.Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah menganalisis hak kesehatan reproduksi perempuan di Kecamatan Mandrehe Kabupaten Nias Barat Tahun 2010.
1.4.Manfaat Penelitian 1. Dapat memberikan masukan kepada Dinas Kesehatan, khususnya dalam meningkatkan pelayanan kepada ibu hamil dan melahirkan. 10 Universitas Sumatera Utara
2. Memperluas pengetahuan penulis tentang hak kesehatan reproduksi perempuan dan menjadi salah satu bahan acuan bagi peneliti selanjutnya. 3. Pengembangan model pemberdayaan dalam pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan berbasis perempuan Nias.
11 Universitas Sumatera Utara