BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Kemiskinan adalah suatu situasi atau kondisi yang dialami oleh seseorang atau kelompok orang, yang tidak mampu menyelenggarakan sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi. Masalah yang kompleks ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain tingkat pendapatan masyarakat, pengangguran, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi, geografis, dan lingkungan. Ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal, dan kesehatan terjadi dikarenakan kemampuan masyarakat pelaku ekonomi tidak sama, sehingga terdapat masyarakat yang tidak dapat ikut serta dalam proses pembangunan atau menikmati hasil-hasil pembagunan (Todaro,2004). Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, yang dapat dilihat di Tabel 1.1, kecenderungan jumlah penduduk miskin di Provinsi Banten dalam kurun waktu tahun 2008 hingga tahun 2015 mengalami fluktuasi. Untuk periode tahun 2008 hingga 2012, cenderung mengalami penurunan, namun pada tahun 2013 mengalami peningkatan, dan pada tahun 2014 kembali mengalami penurunan. Angka rata-rata penurunan jumlah penduduk miskin di Provinsi Banten, dalam kurun waktu tahun 2008 - 2012 adalah 4,57% per tahun, tetapi pada tahun 2013 kembali lagi mengalami peningkatan sebesar 34.600 jiwa menjadi 677.500 jiwa. Pada tahun 2014 tingkat kemiskinan terjadi penurunan kembali menjadi 649.190 jiwa dan berakhir naik kembali di tahun 2015 dengan tingkat kemiskinan sebesar 702.400 jiwa. Hal ini terjadi karena pada tahun 2015 perekonomian Indonesia belum stabil, karena ketidakstabilan tersebut tak terpisahkan dengan kenaikan penduduk secara nasional.
Tabel 1.1 Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Banten 2008-2015 Tahun
Jumlah penduduk miskin (000)
2008
816,70
2009
775,79
2010
751,00
2011
690,90
2012
642,90
2013
677,50
2014
649,19
2015
702,40
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Banten
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, jumlah penduduk miskin di Provinsi Banten tertinggi pada tahun 2008, yang mencapai 816.700 jiwa, dan yang paling rendah pada tahun 2012, yaitu sebanyak 642.900 jiwa. Dari data tersebut terlihat jelas terjadi naik turun jumlah penduduk miskin di Provinsi Banten, hal tersebut terjadi karena adanya faktorfaktor yang mempengaruhi jumlah kemiskinan. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi tingkat kemiskinan di Provinsi Banten, antara lain : (1) pertumbuhan ekonomi; (2) upah minimum; dan (3) tingkat pengangguran terbuka. Pertumbuhan ekonomi sering kali dijadikan tolak ukur
kinerja perekonomian suatu
wilayah, akan tetapi belum tentu dengan tingginya pertumbuhan ekonomi menunjukkan tingginya juga tingkat kesejahteraan rakyatnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa pertumbuhan ekonomi sangat berarti bagi pengentasan kemiskinan dan pembangunan ekonomi. Menurut Siregar dan Wahyuniarti (2008), pertumbuhan ekonomi memang merupakan syarat keharusan (necessary condition) untuk mengurangi kemiskinan. Adapun syarat kecukupannya (sufficient condition) ialah bahwa pertumbuhan tersebut efektif dalam mengurangi kemiskinan. Berikut data pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten dalam kurun waktu tahun 2008 - 2015.
Tabel 1.2 Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Banten Tahun 2008-2015 Tahun
Pertumbuhan Ekonomi (%)
2008
5,785
2009
6,02
2010
6,11
2011
6,38
2012
6,42
2013
6,11
2014
6,23
2015
5,65
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Banten
Dari Tabel 1.2, pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten tertinggi terjadi pada tahun 2012, yaitu sebesar 6,42%, dan terendah pada tahun 2015, sebesar 5,65%. Dari tabel tersebut juga terlihat terjadinya kenaikan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Banten dari tahun 2008 ke 2012, naik sebesar 0,635%, kemudian kembali menurun kembali pertumbuhan ekonomi ditahun 2013 dengan selisih 0,31%. Terjadi fluktuasi hingga tahun 2015 menjadi tahun dimana pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten terkecil di delapan tahun belakangan ini. Selain pertumbuhan ekonomi, kebijakan upah minimum, dalam hal ini upah minimum provinsi (UMP), juga berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan. Dasar hukum penetapan upah minimum adalah UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Untuk menetapkan upah minimum didasari oleh standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) merupakan komponen-komponen pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari yang dibutuhkan oleh seorang pekerja lajang selama satu bulan. Pembahasan lebih dalam mengenai ketentuan KHL, diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 17 tahun 2005 tentang Komponen dan Pentahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak. Namun, Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 17 tahun 2005 direvisi oleh Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 13 tahun 2012 tentang Perubahan Penghitungan KHL. Standar KHL terdiri dari Standar KHL terdiri dari
beberapa komponen yaitu : Makanan dan Minuman (11 items), Sandang (13 items), Perumahan (26 items), Pendidikan (2 item), Kesehatan (5 items), Transportasi (1 item), Rekreasi dan Tabungan (2 item) Selanjutnya pelaksanaan penetapan upah minimum mengacu pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum. Definisi Upah Minimum dalam peraturan ini adalah upah bulanan terendah yang terdiri atas upah pokok termasuk tunjangan tetap yang ditetapkan oleh gubernur sebagai jaring pengaman. Upah minimum terdiri dari Upah Minimum Provinsi (UMP) atau Upah Minimum Kabupaten / Kota (UMK), dan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) atau Upah Minimum Sektoral Kabupaten / Kota (UMSK). Untuk Provinsi Banten, upah minimum yang digunakan adalah Upah Minimum Provinsi (UMP), yang dilaksanakan setiap tahun melalui proses yang panjang. Mula-mula Dewan Pengupahan
Daerah
(DPD)
pengusaha mengadakan rapat,
yang
terdiri
dari
membentuk tim survei dan
birokrat, turun
akademisi, buruh, ke
lapangan
dan
mencari
tahu harga sejumlah kebutuhan yang dibutuhkan oleh pegawai, karyawan dan buruh. Setelah survei di sejumlah kota dalam provinsi tersebut yang dianggap representatif, diperoleh angka Kebutuhan Hidup Layak (KHL) - dulu disebut Kebutuhan Hidup Minimum (KHM). Berdasarkan KHL, DPD mengusulkan upah minimum regional (UMR) kepada Gubernur untuk disahkan. Komponen kebutuhan hidup layak digunakan sebagai dasar penentuan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup pekerja lajang (belum menikah). Tabel 1.3 Upah Minimum Provinsi Banten Tahun 2008-2015 Tahun
UMP(dalam ribuan rupiah)
2008
837,0
2009
917,5
2010
955,3
2011
1.000,0
2012
1.042,0
2013
1.250,0
2014
1.460,0
2015
1.600,0
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Banten Dari Tabel 1.3 upah minimum di Provinsi Banten dalam kurun waktu tahun 2008 hingga tahun 2015 megalami peningkatan setiap tahunnya, dengan angka pertumbuhan upah minimum rata-rata adalah sebesar 5,52% per tahun. Pada tahun 2008, UMP Provinsi Banten adalah sebesar Rp. 837.000,00 , dan terus mengalami peningkatan hingga tahun 2015 mencapai Rp. 1.600.000,00. Secara keseluruhan, peningkatan UMP yang terjadi dalam kurun waktu tahun 2008 hingga 2015 adalah sebesar Rp. 763.000,00 , atau mengalami peningkatan sebesar 31,3%. Salah satu aspek penting untuk melihat kinerja pembangunan selain Upah Minimum adalah efektivitas penggunaan sumber-sumber daya yang ada sehingga lapangan kerja dapat menyerap angkatan kerja yang tersedia. Pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat berarti produksi barang/jasa yang dihasilkan meningkat. Dengan demikian diperlukan tenaga kerja semakin banyak untuk memproduksi barang/jasa tersebut sehingga pengangguran berkurang dan kemiskinan yang semakin menurun. Upaya menurunkan tingkat pengangguran terbuka dan menurunkan tingkat kemiskinan adalah sama pentingnya. Jika masyarakat tidak menganggur dan memiliki penghasilan, penghasilan tersebut dapat digunakan untuk memenuhi biaya kebutuhan mereka untuk hidup. Jika kebutuhan hidupnya telah terpenuhi, sehingga tidak akan miskin, dan diharapkan tingkat pengangguran menjadi rendah (kesempatan kerja tinggi) maka tingkat kemiskinan pun akan semakin rendah. Masalah ketenagakerjaan merupakan masalah yang begitu nyata dan dekat. Bahkan, masalah ketenagakerjaan dapat menimbulkan masalah-masalah baru di bidang ekonomi maupun non ekonomi. Tingkat pengangguran yang tinggi menyebabkan rendahnya
pendapatan
yang
selanjutnya
memicu
munculnya
kemiskinan.
Menurut
(Sumarsono,2009): ”Tenaga kerja atau Sumber Daya Manusia (SDM) menyangkut manusia yang mampu bekerja untuk memberikan jasa atau usaha kerja tersebut. Tenaga kerja atau manpower terdiri dari angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja ataupun labour force terdiri dari (1) golongan yang bekerja, dan (2) golongan yang menganggur dan mencari pekerjaan” (Yarliana Yacob, 2012). Angka pengangguran adalah persentase jumlah penganggur terhadap jumlah angkatan kerja. Penduduk yang sedang mencari pekerjaan tetapi tidak sedang mempunyai pekerjaan disebut penganggur. Berdasarkan data dari BPS Provinsi Banten, yang dapat dilihat pada Tabel
1.4, tingkat pengangguran terbuka di Provinsi Banten pada tahun 2008 adalah sebesar 15,18% dari jumlah penduduk Banten yaitu 9.901.760 jiwa, berarti sekitar 657.560 jiwa penduduk Banten termasuk kedalam pengangguran terbuka. Pada tahun 2009 tingkat pengangguran terbuka mengalami penurunan sebesar 0,39% menjadi 14,79% berarti sekitar 1.446.873 jiwa penduduk Banten adalah pengangguran terbuka. Pada tahun 2010, tingkat pengangguran terbuka mengalami penurunan yaitu 0,33% menjadi 14,63% berarti sekiatar 1.451.448 jiwa penduduk provinsi Banten menyandang status pengangguran terbuka. Pada tahun 2011, tingkat pengangguran terbuka kembali mengalami penurunan sebesar 1,57% menjadi 13,06% berarti sekitar 1.437.320 jiwa penduduk Banten berstatus pengangguran terbuka. Pada tahun 2012 kembali mengalami penurunan sebesar 2,93% menjadi 10,13% berarti sekitar 1.139.518 jiwa penduduk Provinsi Banten berstatus pengangguran terbuka. Pada Tahun 2013 kembali mengalami penurunan sebesar 0,23% menjadi 9,90% berarti sekitar 1.133.796 jiwa. Pada tahun 2014 kembali mengalami sedikit penurunan sebesar 0,03% menjadi 9,87%, berarti sekitar 1.1677.621 jiwa berstatus pengangguran terbuka. Terakhir pada tahun 2015 mengalami kenaikan sebesar 0,16% menjadi 10,03% berarti sekitar 1.199.110 jiwa berstatus pengangguran.
Table 1.4 Tingkat Pengangguran Terbuka di Provinsi Banten Tahun 2008-2015 Tingkat Pengangguran
Jumlah penduduk
Jumlah penduduk
Terbuka(%)
(jiwa)
miskin (jiwa)
2008
15,18
9.901.760
1.503.087
2009
14,79
9.782.779
1.446.873
2010
13,68
10.632.166
1.451.448
2011
13,06
11.005.518
1.437.320
2012
10,13
11.248.947
1.139.518
2013
9,90
11.452.491
1.133.796
2014
9,87
11.830.000
1.167.621
2015
10,03
11.955.243
1.199.110
Tahun
Sumber: Badan Pusat Statistik
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dilihat bahwa tingkat kemiskinan di Provinsi Banten mengalami penurunan sebanding dengan tingkat pertumbuhan ekonomi di Provinsi Banten . Hal ini bisa menjadi dampak lambatnya penurunan tingkat kemiskinan di Provinsi Banten. Belum meratanya usaha pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan di seluruh provinsi di Indonesia yang mungkin menjadi penyebabnya, padahal dampak kemiskinan sangat buruk terhadap perekonomian. Untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kemiskinan di Provinsi Banten, sehingga dapat digunakan sebagai dasar kebijakan bagi pemerintah dalam usaha mengatasi kemiskinan.
1.2. 1.
Rumusan Masalah Bagaimana pengaruh parsial pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Banten tahun 2008-2015?
2.
Bagaimana pengaruh parsial upah minimum terhadap tingkat kemiskinan di
Provinsi
Banten tahun 2008-2015? 3.
Bagaimana pengaruh parsial tingkat pengangguran terbuka terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Banten tahun 2008-2015?
4.
Bagaimana pengaruh simultan pertumbuhan ekonomi, upah minimum, dan tingkat pengangguran terbuka terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Banten tahun 2008-2015?
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas maka tujuan yang akan
dicapai dalam penelitian ini adalah : 1.
Menganalisis pengaruh parsial pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Banten tahun 2008-2015.
2.
Menganalisis pengaruh parsial upah minimum terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Banten tahun 2008-2015.
3.
Menganalisis pengaruh parsial tingkat pengangguran terbuka terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Banten tahun 2008-2015
4.
Menganalisis pengaruh simultan pertumbuhan ekonomi, upah minimum, dan tingkat pengangguran terbuka terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Banten tahun 2008-2015.
1.4
Manfaat Penelitian
Adapun kegunaan yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai : 1.
Masukkan bagi pengambil kebijakan dalam menetapkan kebijakan ekonomi, khususnya kebijakan publik.
2.
Referensi bagi studi-studi selanjutnya yang berkaitan dengan pengentasan kemiskinan.
3.
Perbendaharaan kepustakaan ilmiah bagi mahasiswa khususnya mengenai pengentasan kemiskinan.
1.5
Ruang Lingkup
Ruang lingkup penulisan adalah pengaruh pertumbuhan ekonomi, upah minimum, dan tingkat pengangguran terbuka terhadap kemiskinan yang terdapat di Provinsi Banten pada tahun 20102015.
1.6
Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu adalah suatu penelitian yang telah lebih dahulu dilaksanakan dan
memiliki keterkaitan dengan penelitian baru yang sedang dilaksanakan. Tujuan dicantumkannya penelitian terdahulu adalah untuk mengetahui kerangka teori dan keilmuan yang telah digunakan oleh peneliti terdahulu, agar penelitian yang dilaksanakan dapat melengkapi dan memperkaya penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya.
Tabel 1.5 Penelitian Terdahulu No
Pengarang, Tahun,
Judul Jurnal
Kesimpulan
Yarlina Yacoub,
Pengaruh Tingkat
Tingkat
2012, hal: 1-10,
Pengangguran terhadap Tingkat
pengangguran
Jurnal Ekonomi
Kemiskinan Kabupaten/Kota di
berpengaruh
Provinsi Kalimantan Barat
signifikan
Halaman, Volume, Nama Jurnal, 1
terhadap tingkat
No
Pengarang, Tahun,
Judul Jurnal
Kesimpulan
Halaman, Volume, Nama Jurnal, kemiskinan kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat. Data empiris menunjukkan pola hubungan yang tidak selalu searah antara tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan.
2
Rusdarti & Lesta
Faktor-Faktor Yang
Berdasarkan
Karolina Sebayang,
Mempengaruhi Tingkat
simpulan maka
2013, hal: 1-9, Jurnal
Kemisiknan Di Provinsi Jawa
diperoleh
Ekonomi
Tengah
implikasi kebijakan bahwa terkait dengan belanja daerah, pemerintah daerah harus konsisten merealisasikan anggaran yang berorientasi pada peningkatan
No
Pengarang, Tahun,
Judul Jurnal
Kesimpulan
Halaman, Volume, Nama Jurnal, pelayanan publik sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat dapat meningkat yang pada akhirnya tingkat kemiskinan menurun. 3
Drs. Y Bagio
Analisis Pengaruh Jumlah
Penyebab
Mudakir, MSP, 2011,
Penduduk, PDRB, IPM,
tingginya tingkat
hal:1-27, Jurnal
Pengangguran Terhadap
kemiskinan di
Ekonomi
Tingkat Kemiskinan Di
Jawa Tengah
Kabupaten/Kota Jawa Tengah
disebabkan karena pengaruh jumlah penduduk yang terus meningkat yang tidak diikuti dengan kebijakan pemerintah dalam upaya menekan angka kelahiran. Namun tingkat kemiskinan di Jawa Tengah
No
Pengarang, Tahun,
Judul Jurnal
Kesimpulan
Halaman, Volume, Nama Jurnal, dapat ditekan dengan meningkatkan kualitas hidup manusia yang dapat dilakukan dengan meningkatkan sarana prasarana baik dari segi pendidikan, kesehatan ataupun sosial yang ada di Provinsi Jawa Tengah. 4
M. Nusrate Aziz and
The Impact of Political Regime
Corruption and
Sheela Devi D.
and Governance on ASEAN
armed conflict
Sundarasen,2015, hal:
Economic Growth
have
1-15, Journal of
countervailing
Southeast Asian
effect on ASEAN
Economies
economic growth. Polity does not appear to be a statistically significant variable for economic growth
No
Pengarang, Tahun,
Judul Jurnal
Kesimpulan
Halaman, Volume, Nama Jurnal, amongst ASEAN countries. 5
Wei-Biz Zhang, 2010,
Economy Growth with Space
Economic growth
hal:1-32, Journal of
and Fiscal Policies with
with economic
Economics
Housing and Public Goods
geography has a unique long-run stable equilibrium when the production function take on the Cobb-Douglas form and the parameter values are specified.
6
Abu N.M.
Financial Structure and
Policies that
Wahid,2010, hal: 1-
Economic Growth Link in
enhance financial
28, Journal of
African Countries: a Panel Co-
stability should
Economics
integration Analysis
also be adopted, including macroeconomic stability, prudent monetary and fiscal management and provision of adequate and efficient infrastructure.