BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Tindakan nyata dari pemerintah dalam memperbaiki dan meningkatkan aspek pendidikan antara lain dengan menaikan standarisasi ujian nasional (UN) dimana ujian nasional menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia nomor 77 Tahun 2008 adalah kegiatan pengukuran dan penilaian kompetensi peserta didik secara nasional pada jenjang pendidikan menengah (Sulaimi, 2014). Pemerintah memutuskan untuk meningkatkan standarisasi nilai kelulusan ujian nasional di setiap tahunnya, dengan menaikan standarisasi nilai dimana pemerintah mengharapkan munculnya generasi muda yang lebih berkualitas kompeten dan berguna untuk pembangunan bangsa. Penambahan tiga mata pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional adalah cara lain yang diambil pemerintah. Tiga mata pelajaran tersebut adalah IPA meliputi Fisika, Kimia dan Biologi; untuk IPS ditambah Sosiologi, Ekonomi, dan Geografi sesuai dengan pernyataan Bambang Wasito Adi (Taputkab.go.id, 2013). Sebelumnya, mata ujian nasional untuk SMA hanya Matematika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia. Sesuai Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No.144 Tahun 2014, bahwa nilai kelulusan atau nilai akhir untuk semua mata pelajaran paling rendah 5,5 dengan nilai akhir yang merupakan gabungan dari nilai Ujian Akhir Sekolah (UAS) sebesar 50 % dan UN sebesar 50 % (Aminah ,2014). Pemerintah telah berupaya keras untuk memperbaiki sektor pendidikan , namun pihak yang diharapkan mendukung upaya ini, tampaknya tidak mendukung langkah yang diambil oleh pemerintah. Hal tersebut dapat membuat tekanan psikis atau pikiran yang akan menjadi kecemasan pada siswa. Padahal menjelang pelaksanaan ujian nasional adalah merupakan masa – masa yang sangat sulit bagi semua pihak, baik guru, siswa dan bahkan lembaga sekolah. Ujian nasional yang semestinya dihadapi dengan nyaman kini dihadapi dengan kecemasan, nervous, dan kekhawatiran oleh siswa, guru, kepala sekolah, bahkan kepala daerah. Maklum, ketidaklulusan siswa akan
1
2
berpengaruh pada citra dan reputasi sekolah dan pemerintah kota atau kabupaten (Napitupulu, 2009). Maka dari itu pihak guru serta lembaga sekolah sangat di harapkan untuk berusaha seoptimal mungkin dalam melakukan pembelajaran terhadap siswa secara intensif terhadap materi – materi yang mendukung keberhasilan ujian nasional (Lastina & Abidin, 2013). Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Chairil Anwar Notodipuro, mengatakan bahwa ujian nasional membuat sebagian besar siswa tingkat sekolah menengah atas (SMA) merasa cemas. Hal tersebut terungkap dari angket Kementerian yang diisi oleh siswa sebelum melaksanakan ujian (Badudu, 2012). Perbedaan daerah pun berpengaruh dalam cara mendidik siswa. Seperti contoh, di daerah perkotaan dalam hal pendidikan lebih memiliki fasilitas yang lebih lengkap dan maju hingga membuat siswa lebih mudah mendapatkan ilmu dari berbagai cara, seperti perpustakaan lebih lengkap dan banyak. Berbeda dengan di daerah yang jauh dari pusat kota, fasilitas sekolah mereka belum lengkap dan seadanya. Sehingga membuat keterbatasan siswa untuk mencari informasi lebih. Mengingat kualitas pendidikan nasional yang belum merata di seluruh Indonesia. Rasanya tidak adil jika suatu sistem pendidikan dengan standar kualitas yang berbeda harus distandarisasi dengan cara yang sama, yaitu dengan ujian nasional (Wisesa, 2014). Kualitas pendidikan di kota-kota besar, misalnya, yang sebagian besar terdapat di Pulau Jawa, jauh lebih tinggi daripada di pedalaman. Tetapi, pihak Kemendikbud tetap bersikeras ujian nasional harus dilaksanakan (Kompasiana.com, 2014). Tujuan pelaksanaan ujian nasional adalah untuk menilai kualitas pendidikan secara nasional. Ujian nasional memang sengaja didesain untuk menggambarkan tingkat pencapaian keseluruhan pendidikan, bukan untuk menggambarkan tingkat pencapaian secara individu. Padahal, kualitas pendidikan dan tingkat pencapaian di seluruh wilayah Indonesia jelas berbeda. Dapat kita lihat bahwa kualitas pendidikan (dari segi fasilitas yang tersedia, kualitas guru, dan lain-lain) di kota besar memiliki standar yang berbeda dengan kualitas pendidikan di wilayah pedalaman (Wisesa, 2014)
3
Saat ini masih sangat kurang pemerataan dan perhatian dari pemerintah dalam hal layanan pendidikan bagi anak – anak yang berada di daerah luar kota besar atau dapat disebut diluar dari pulau Jawa. Jika di kota masyarakatnya adalah orang – orang yang berkualitas dengan pola pikir yang sudah maju kedepan. Berbeda dengan masyarakat yang berada di daerah pedalaman walaupun kehidupannya sederhana, tetapi pola pikir mereka sudah memperhitungkan kemajuan bagi diri dan masyarakatnya. Mereka terus berusaha untuk mengikuti pola pendidikan dan pembelajaran yang diterapkan walaupun dengan susah payah. Di tambah mereka yang hidup di pedalaman dimana fasilitas hidup masih dari alam, maka pola pendidikan dan pembelajaran jauh berbeda dari saudara – saudaranya yang lain. Bahwa tingkat kualitas dan kemampuan masyarakat memang sangat menentukan keberhasilan proses pendidikan dan pembelajaran yang diterapkan. Tidak heran jika kemudian anak – anak di kota lebih berhasil mengikuti proses pendidikan dan pembelajaran dibandingkan anak – anak di pedalaman (Anneahira.com, 2014). Maka dengan kualitas pendidikan di tiap daerah berbeda akan tetapi soal ujian nasional untuk siswa di Jakarta dengan siswa di Papua tidak akan berbeda. Soal yang diberikan akan seragam sesuai dengan kisi – kisi ujian nasional yang telah dirilis pada tahun lalu (Afifah, 2013). Peneliti telah mengadakan wawancara dengan beberapa siswa kelas XII SMA Negeri 1 Makale dan SMA Negeri 3 Setiabudi bahwa mereka mengalami kecemasan, siswa menjadi lebih cenderung takut mendengar kata ujian nasional dan mereka juga menjadi sangat gelisah dalam belajar karena takut mereka akan tidak lulus dalam ujian nasional. Ada juga beberapa siswa jadi memiliki gangguan sulit tidur pada malam hari dan sulit berkonsentrasi dan mudah tersinggung. Kecemasan dalam menghadapi ujian nasional yang di sebabkan beberapa hal, seperti tingginya standarisasi nilai kelulusan, beratnya bahan materi yang akan di ujikan serta hasil Try Out mereka yang kurang memuaskan. Tidak hanya dari hal itu saja, kecemasan juga datang dari lingkungan sosial mereka, seperti harapan orang – orang di sekitarnya baik dari pihak keluarga, teman dan guru akan tuntuan nilai ujian nasional mereka yang harus memuaskan. Dari wawancara dengan siswa kelas XII di SMAN 1 Makale,
4
banyak dari mereka menyatakan bahwa dalam menghadapi ujian nasional mereka mengalami kecemasan dikarenakan mereka takut soal ujian nasional nanti tidak seperti yang pernah mereka pelajari karena ada beberapa materi yang belum mereka pelajari lebih dalam dikarenakan ketidak tersedianya di daerah mereka, seperti kurang lengkap perlatan laboratorium dan kelengkapan buku di perpustakaan. Tetapi untuk menangani itu mereka memutuskan untuk menggunakan waktu mereka lebih banyak belajar melalui media internet. Walau mereka juga mengeluhkan bahwa belajar melalui internet tidak sama dengan pengalaman dengan belajar langsung. Berbeda dengan siswa XII SMAN 3 Setiabudi yang mengatakan mereka cenderung menganggap kecemasan dalam menghadapi ujian nasional adalah hal yang bisa mereka atasi dengan mudah. Mereka menganggap ujian nasional bisa mereka lewati dengan mudah karena mereka merasa memiliki orang tua yang bisa mereka andalkan. Kelengkapan fasilitas tempat mereka belajar adalah bukan hal yang menguntungkan untuk mereka berbeda dengan siswa SMAN 1 Makale yang sangat mengharapkan kelengkapan fasilitas tempat mereka belajar untuk memiliki pengalaman langsung bukan hanya belajar dari teori saja. Hal ini yang juga menyebabkan kecemasan untuk siswa SMAN 1 Makale dalam menghadapi ujian nasional. . Kemampuan individu masing - masing untuk mengatasi kecemasan tergantung bagaimana dirinya menilai kecemasan yang terjadi, apa hal tersebut ( kecemasan ) menjadi suatu hal yang biasa atau suatu masalah, ancaman bagi dirinya. Terlebih lagi, apabila keadaan lingkungan siswa tersebut mempengaruhi cara siswa mengontrol perasaan cemas dalam dirinya menghadapi ujian nasional. Kecemasan yang muncul di dalam diri siswa tersebut di sebabkan dari ketidakpercayaan di dalam diri mereka disaat menghadapi ujian, yang dampaknya mengakibatkan menjadi rasa takut, malu (pandangan lingkungan sosial mereka) dan cemas yang berlebihan. Dengan bayangan pemikiran tersebut muncul kecemasan pada diri siswa dan membuat konsentrasi mereka terpecah yang mengakibatkan ketidakpercayaan di dalam dirinya sendiri sehingga muncul perilaku yang dapat merugikan ke dalam diri mereka sendiri. Stimulus yang
5
mengancam atau membahayakan dapat memunculkan reaksi ketakutan, terlebih apabila stimulus yang membahayakan itu terus menerus akan mengancam individu, maka individu ini akan mengalami kecemasan seperti yang di katakan oleh Kristianto (2009). Ketakutan tersebut bisa menjadi beban dan membuat para peserta ujian nasional tersebut merasa takut, tertekan, dan depresi menghadapi ujian nasional dan sangat tidak menutup kemungkinan akan berdampak pada gangguan psikologis jika nantinya gagal atau tidak ujian nasional tersebut (Rini, 2013). Kegagalan tersebut bisa muncul karena rasa cemas yang berlebih. Kecemasan siswa yang berlebih bisa mengakibatkan kejadian yang sangat memilukan, seperti berita siswa bunuh diri dari tahun ke tahun. Pada tahun 2013 seorang siswi SMA nekat bunuh diri dengan terjun ke Sungai Cisadane, Kota Tangerang, Banten. Diduga tidak lulus ujian nasional (Suaramerdeka.com, 2013). Serta pada kasus siswa bunuh diri karena ketakutan atau rasa cemas yang berlebih akan gagal menjalani ujian nasional yang pernah terjadi di Tabanan, Bali pada tahun 2014 lalu, seorang siswi SMP gantung diri setelah mengikuti ujian nasional. Diduga karena merasa gagal mengerjakan soal ujian matematika (Damanik, 2014). Sekretaris Jenderal, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti mengatakan siswa bunuh diri akibat tekanan ujian nasional (UN) merupakan potret kekerasan dalam pendidikan. Sejak tahun 2004-2007, korban bunuh diri berjumlah 16 orang akibat kebijakan ujian nasional (Marbun, 2014). Kecemasan adalah perasaan yang sifatnya umum, dimana seseorang merasa ketakuan atau kehilangan kepercayaan diri yang tidak jelas asal maupun wujudnya (Wiramihardja, 2007). Kondisi kecemasan ini jika tidak diminimalkan sejak awal, maka akan berpotensi buruk kepada siswa karena kecemasan yang berkepanjangan akan mempengaruhi tingkat konsentrasi siswa menjadi lebih rendah dari biasanya dan bahkan akan dapat mengakibakan terjadinya stress pada siswa yang akan menghadapi ujian nasional. Oleh sebab itu, di sinilah peran guru, lembaga sekolah dan orang di sekitar untuk meminimalisasikan kecemasan pada siswa yang akan menghadapi ujian nasional. Dari fenomena diatas, maka peneliti tertarik untuk melihat adanya gambaran perbandingan antara kecemasan siswa dalam menghadapi ujian
6
nasional di SMAN 1 Makale Toraja dengan SMAN 3 Setiabudi Jakarta. Karena terdapatnya perbedaan fasilitas dan lingkungan di antara kota Jakarta dengan kota Tana Toraja akan tetapi ujian nasional disamaratakan oleh pemerintah. Hingga menyebabkan terjadinya perbedaan kecemasan diantara kedua kota tersebut.
1.2
Rumusan Masalah Pada penelitian ini, peneliti ingin mengetahui bahwa: 1.
Gambaran kecemasan siswa menghadapi ujian nasional?
2.
Adakah perbedaan antara kecemasan menghadapi ujian nasional pada siswa SMAN 1 Makale Toraja dengan siswa SMAN 3 Setiabudi?
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan di buatnya penelitian ini untuk mengetahui adakah gambaran kecemasan siswa SMAN yang akan menghadapi ujian nasional. Serta peniliti ingin melihat adakah perbedaan kecemasan siswa SMAN dalam menghadapi ujian nasional antara siswa SMAN 1 Makale di Tana Toraja dengan siswa SMAN 3 Setiabudi di DKI Jakarta.