BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Saat ini salah satu fenomena yang semakin sering muncul di Jakarta adalah
perceraian. Fakta yang ada tidak semua pernikahan berjalan dengan lancar, tidak sedikit pernikahan berakhir di perceraian. Berdasarkan Pengadilan Agama Tinggi (PA) di wilayah Jakarta, pada tahun 2010 tercatat sebanyak 6.541 perceraian, sedangkan di tahun 2011 sebanyak 8.199 perceraian dan di tahun 2012 merekap sebanyak 8.784 perceraian (Edy, 2012). Jika ditelaah secara mendalam, penyebab perceraian semakin meningkat disebabkan oleh ketidaksiapan dalam menghadapi berbagai permasalahan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga dan kurang pahamnya tentang hakikat tujuan pernikahan (Luthfan, 2014). Terkait dengan perceraian yang marak terjadi diketahui usia pertama individu yang melangsungkan pernikahan adalah perempuan berusia 22 tahun dan laki-laki berusia 25 tahun (Badan Pusat Statistik, 2012). Dari usia tersebut dapat dilihat bahwa usia pertama yang menikah berada pada masa perkembangan emerging adults. Istilah emerging adults dicetuskan pertama kali oleh Arnett (2013), dimana masa emerging adults adalah tahap perkembangan baru dalam kehidupan diantara remaja dan dewasa muda sehingga diberikan label “Emerging adulthood”. Berdasarkan dari fenomena yang ada dapat dilihat bahwa pada usia tersebut, menurut Arnett dan Fishel (2013) perjalanan kehidupan pada emerging adults terutama pada aspek percintaan sebagian besar melalui 2 tahap yaitu exploring dan landing. Pada usia 22-25 tahun emerging adults memasuki tahap exploring yaitu proses mencari cinta, mencintai, kehilangan cinta dan menemukan cinta yang baru, namun pada tahap ini emerging adults sudah mencari sesuatu yang lebih intim dan abadi yaitu dengan mencari “belahan jiwa” seperti seseorang yang istimewa dan tepat bagi dirinya serta terlihat adanya kehidupan pernikahan yang membahagiakan. Kemudian pada usia 26-29 tahun, emerging adults memasuki tahap landing yang mana pada tahap ini kebanyakan emerging adults sudah membuat keputusan penting yang akan membentuk struktur kehidupan individu dewasa seperti menginginkan kehidupan pernikahan.
Sebelum emerging adults memasuki jenjang pernikahan, emerging adults telah memiliki persepsi tentang pernikahan dari sudut pandang dirinya. Salah satu faktor penting yang menyebabkan emerging adults begitu mudah mempersepsikan dirinya untuk memutuskan menikah yaitu faktor finansial, dimana merasa bahwa sudah dapat hidup mandiri dan kebutuhan ekonomi yang sudah dapat dipenuhi sendiri, sehingga menjadi alasan terbesar emerging adults memutuskan segera membina rumah tangga (Arnett dan Fishel, 2013). Selain itu, terdapat salah karakteristik emerging adults yang dapat mempengaruhi persepsi kesiapan menikah yaitu sense of possibilities. Pada masa ini, emerging adults percaya akan memiliki kesempatan yang baik dalam hidupnya dan percaya akan menemukan jodoh seumur hidupnya. Sehingga, dapat dilihat bahwa emerging adults memiliki pandangan yang optimis terhadap kehidupan pernikahan nantinya. Pernikahan merupakan momen yang dinanti oleh setiap individu. Namun, perlu diketahui bahwa dalam kehidupan pernikahan berbeda dengan kehidupan ketika lajang, dimana seseorang tidak lagi bertanggung jawab hanya untuk dirinya sendiri melainkan untuk saling berbagi ikatan, tanggung jawab, dan bahkan identitas diri dengan pasangannya (Sarnoff & Sarnoff, 1989 dalam William, Sawyer & Wahlstrom 2006). Hal ini turut disampaikan oleh Wakil Menteri Agama Prof. Dr. H Nazaruddin Umar menyampaikan untuk mencegah peningkatan perceraian setiap pasangan harus memahami, bahwa menikah itu tidak mudah karena setiap pasangan membutuhkan kesiapan mental dan memiliki kematangan secara psikis (Nawawi, 2013). Artinya, resiko perceraian sebenarnya dapat dihindari, salah satu caranya yaitu dengan individu telah merasa siap untuk menjalani pernikahan. Persepsi kesiapan menikah merupakan persepsi individu tentang seberapa siap individu tersebut untuk menjalani pernikahan dari segi emosional, seksual, finansial dan keseluruhan kesiapan menikah. Artinya, individu yang sudah lebih merasa siap untuk menikah maka individu tersebut tidak hanya sekedar merasa siap untuk menikah melainkan siap untuk memasuki kehidupan pernikahan (Holman dan Li, 1997) dan dapat terhindar dari faktor-faktor pemicu perceraian. Salah satu faktor pemicu perceraian yang tertinggi ialah ketidakharmonisan rumah tangga. Menurut Edy (2012), jumlah data kasus tertinggi penyebab pasangan bercerai salah satunya adalah faktor ketidakharmonisan yaitu kurangnya komunikasi, seperti suka mengkritik satu sama lain,
tidak adanya keintiman dan mengabaikan masalah (Destriyana, 2014). Melalui penelitian Bornstein dan Bornstein (1986 dalam Alayi, Gatab & Khamen, 2011), menunjukkan bahwa pasangan meyakini masalah komunikasi dapat menyebabkan kekacauan dalam hubungan. Selain itu, berdasarkan hasil survei yang diperoleh dari masyarakat, masalah komunikasi merupakan bagian tersulit dalam suatu hubungan (Cunningham, Braiker, & Kelley, 1982 dalam Burleson & Denton, 1997). Sedangkan, untuk tercapainya hubungan yang harmonis dengan pasangan, komunikasi merupakan bagian yang terpenting dalam suatu hubungan. Menurut Baugh dan Humphries (2010), komunikasi merupakan kunci kuat dalam menghasilkan hubungan yang harmonis. Seperti yang telah dijelaskan oleh penelitian Epstein, Warfel dan Johnson (2005), untuk menghasilkan hubungan yang harmonis dan menghasilkan hubungan romantis jangka panjang yang paling penting untuk dimiliki individu pada suatu hubungan adalah komunikasi. Sehingga pada penelitian ini, peneliti memfokuskan pada keterampilan komunikasi. Keterampilan komunikasi adalah cara untuk menempuh dan mencapai tujuan dalam berkomunikasi seperti mendengarkan secara aktif, berbicara efektif, kemampuan dalam resolusi konflik, dan komunikasi yang mencakup perilaku verbal dan non-verbal (Westerop, 2002). Dengan meningkatkan keterampilan komunikasi akan menghasilkan komunikasi yang efektif dengan pasangan (Meeks, Hendrick & Hendrick, 1998). Selain itu, dengan meningkatkan keterampilan komunikasi pasangan yang belum menikah dapat meningkatkan stabilitas dan kebahagiaan dalam kehidupan pernikahan nantinya (Epstein, Warfel & Johnson, 2005). Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa individu yang memiliki keterampilan komunikasi yang baik dapat membuat individu tersebut akan lebih merasa siap untuk memasuki kehidupan pernikahan nantinya. Menurut Epstein, et al (2013) manfaat individu memiliki keterampilan komunikasi yang baik terhadap pasangan adalah dapat menghasilkan keberhasilan hubungan romantis jangka panjang, kestabilan hubungan, kepuasan hubungan dan kebahagian sebelum menikah. Hal tersebut dijelaskan oleh Holman dan Li (1997) bahwa keterampilan komunikasi dapat menghasilkan kualitas komunikasi dengan pasangan dan cara berinteraksi dengan pasangan dalam menjalin suatu hubungan yang dimana hal tersebut dapat mempengaruhi persepsi individu akan kesiapan menikah. Holman dan Li (1997), melihat bahwa salah satu faktor penting untuk melanjutkan
hubungan ke arah pernikahan adalah “interactional processes” yaitu kualitas individu dalam berkomunikasi dengan pasangannya untuk memahami pengembangan hubungan dalam hal menuju pernikahan. Dalam penelitiannya, kualitas komunikasi dapat menghasilkan persetujuan bagi individu tersebut dengan pasangan untuk menuju pernikahan. Persetujuan tersebut dapat dicapai melalui berbicara dan saling berbagi kepada pasangan (Holman & Li, 1997). Oleh karena itu, individu yang dapat menghasilkan kualitas komunikasi yang baik maka akan semakin tinggi tingkat persetujuan, sehingga hal tersebut dapat membuat individu menjadi lebih merasa siap untuk menikah. Hal ini didukung oleh penelitian Meeks, Hendrick dan Hendrick (1998), bahwa memiliki keterampilan komunikasi sangat diperlukan dalam proses interaksi dengan pasangan, dimana hubungan tersebut dapat menghasilkan kualitas komunikasi yang efektif seperti menghasilkan pengungkapan yang afektif dan kemampuan pemecahan masalah yang efektif, sehingga dapat menjadi indikator keseluruhan yang kuat dari hubungan yang memuaskan karena berkontribusi terhadap interaksi yang lebih bermanfaat, sehingga dapat menghasilkan lebih besar resolusi konflik, tingkat keintiman yang lebih tinggi, kepuasan dengan pasangan dan kepuasan bagi individu itu sendiri. Dari berbagai penjelasan yang ada dapat disimpulkan bahwa keterampilan komunikasi yang dimiliki individu dan persepsi kesiapan menikah memiliki keterkaitan. Berdasarkan penelitian Holman dan Li (1997), mengemukkan bahwa komunikasi secara signifikan berkaitan dengan kesiapan menikah, sehingga dengan memiliki komunikasi yang tinggi maka semakin tinggi tingkat persepsi individu akan kesiapan menikah. untuk itu dirasa perlu melakukan penelitian lebih jauh guna melihat bagaimana peranan keterampilan komunikasi dalam memprediksi persepsi kesiapan menikah pada emerging adults di Jakarta.
1.2 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah yang telah dikemukakan, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah keterampilan komunikasi berperan dalam memprediksi persepsi kesiapan menikah pada emerging adults?
1.3 Tujuan penelitian Tujuan penelitian adalah mengetahui seberapa besar peranan keterampilan komunikasi dalam memperdiksi persepsi kesiapan menikah pada emerging adults di Jakarta.