BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bisnis ritel atau eceran mengalami perkembangan cukup pesat, ditandai dengan semakin banyaknya bisnis ritel tradisional yang mulai membenah diri menjadi bisnis ritel modern maupun munculnya bisnis ritel modern yang baru. Dengan perkembangannya, pengelolaan ritel modern membutuhkan dukungan teknologi khususnya
bidang
informasi yang memungkinkan bisnis ritel mampu menyediakan produk, pekayanan, dan pemrosesan yang cepat dan memuaskan pelanggan (Utami, 2010:4). Menurut Apindo, bisnis ritel di Indonesia dapat dibedakan menjadi 2 kelompok besar, yakni ritel tradisional dan ritel modern. Namun dalam pekembangannya, retail modern memiliki pertumbuhan lebih cepat dibandingkan dengan retail tradisional. Jumlah gerai usaha ritel modern di Indonesia dalam beberapa periode terakhir dari 20072011 mengalami pertumbuhan rata-rata sekitar 17,57% per tahun (http://www.datacon.co.id). Banyak sekali jenis retail modern di Indonesia salah satunya adalah pasar modern. Saat ini di Indonesia terdapat tiga jenis pasar modern yaitu Minimarket, Supermarket dan Hypermarket. Menurut Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia pertumbuhan ritel Hypermarket mencapai 17,9% mengalami pertumbuhan yang paling tinggi dibandingkan jenis ritel lain di Indonesia yang dilihat dari perkembangan jumlah gerai selama 10 tahun terakhir (Industry Update, 2014). Hal ini diketahui dengan data yang diperoleh melalui Asosiasi Pengusaha Ritel Modern (Aprindo) berikut ini. 1
2 Gambar 1.1 Perkembangan Omset Pasar Modern Berdasarkan Jenisnya
Sumber: Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia, Media Data (Pandin, 2009:5) Berdasarkan data diatas terlihat bahwa hypermarket telah menggerogoti potensi pasar modern. Kemampuan Hypermarket menjadi Pasar Modern dengan pengumpulan omset terbesar karena Hypermarket menawarkan pilihan barang yang lebih banyak dibanding Supermarket dan Mini market, sementara harga yang ditawarkan Hypermarket relatif sama, bahkan pada beberapa barang bisa lebih murah daripada Supermarket dan Minimarket. Pada kelompok Hypermarket hanya terdapat 5 peritel yang terdiri dari Carrefour, Hypermart, Giant, Makro, dan Indogrosir serta 3 diantaranya menguasai 88,5% pangsa omset Hypermarket di Indonesia.
3 Gambar 1.2 Marketshare Hypermarket
Sumber: Media Data (Pandin, 2009:9) Berdasarkan data diatas terlihat bahwa terdapat 5 peritel pada kelompok Hypermarket dengan tiga diantaranya menguasai 88,5% pangsa omset Hypermarket di Indonesia. Tiga pemain utama tersebut adalah adalah Carrefour yang menguasai hampir 50% pangsa omset hypermarket di Indonesia, Hypermart (Matahari Putra Prima) dengan pangsa 22,1%, dan Giant (Hero Grup) dengan 18,5%. Melihat persaingan dunia ritel yang semakin kompetitif ini menuntut perusahaan untuk dapat memenuhi kebutuhan pelanggan dan menyesuaikan keinginan pelanggan sehingga perusahaan harus mampu mendeteksi apa yang menjadi kebutuhan pasar dan keinginan konsumen serta membaca dan menterjemahkan setiap perubahan situasi sebagai peluang. Hal ini dikarenakan konsumen semakin dihadapkan pada banyak pilihan yang mengakibatkan minat konsumen untuk melakukan pembelian.
4 Salah satu strategi pengusaha ritel yang sedang berkembang saat ini adalah usaha pengembangan produk dengan menggunakan merek pribadi (Private Label Brands). Private label atau yang juga dikenal dengan
store
brand
merupakan
merek
yang
dimiliki
dan
dikembangkan oleh peritel (Bao et al., dalam Wijayanti, dkk, 2013:78). Private label diperkirakan akan terus tumbuh untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Strategi pengembangan produk melalui private label ini dilakukan untuk memberikan alternatif bagi konsumen untuk mendapatkan harga yang lebih kompetitif. Corstjens and Lal dalam Susanti dan Wardiningsih (2013:182) menjelaskan bahwa produk dengan private label brand dapat membantu peritel untuk
mengendalikan
alur
konsumen
terhadap
toko
dengan
menawarkan lini produk yang eksklusif. Hal ini didasarkan pada konsumen yang memiliki persepsi berbeda-beda yang tergantung pada cara konsumen menangkap kesan yang ditampilkan oleh peritel. Persepsi konsumen yang ada akan mempengaruhi sejauh mana seseorang akan mempunyai niat untuk membeli produk tersebut. Harga merupakan faktor yang selalu menjadi pertimbangan dari konsumen dalam mengambil keputusan untuk membeli. Persepsi konsumen akan harga ini dapat disebut dengan perceived price. Perceived price didefinisikan oleh Jacoby dan Olson dalam Setiawan dan Achyar (2012:27) sebagai subjektif persepsi pelanggan terhadap harga obyektif produk. Harga juga dapat menciptakan citra dan diferensiasi. Pada umumnya konsumen dalam hal ini adalah pembeli biasanya memiliki kisaran harga tertentu dalam pembelian mereka. Konsumen tidak akan mau membeli produk jika harga berada di atas jangkauan dan akan meragukan kualitas produk ketika harga produk
5 terletak di bawah rata-rata (Cooper dalam Setiawan dan Achyar, 2012:27). Persepsi harga menjadi sebuah penilaian konsumen tentang perbandingan besarnya pengorbanan dengan apa yang akan didapatkan dari produk dan jasa (Zeithaml dalam Kusdiyah, 2012:25). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Susanti dan Wardiningsih (2013:189) menemukan bahwa persepsi harga berpengaruh signifikan terhadap Private Label Brands. Temuan penelitian tersebut menunjukkan bahwa pilihan konsumen pada private label brands Carrefour ditentukan oleh persepsi konsumen terhadap harga produk private label brands tersebut. Dalam artian bahwa konsumen telah memiliki persepsi bahwa harga produk private label brand lebih murah dari harga produk nasional. Demikian juga dengan penelitian Tih dan Lee (2013) yang juga membuktikan bahwa ada pengaruh yang signifikan perceived price terhadap store brands purchase intention. Selain harga, kualitas dari produk private label brands tersebut juga akan dipertimbangkan oleh konsumen dalam membeli produk. Sehingga persepsi konsumen akan kualitas juga diperlukan dalam menciptakan minat beli konsumen. Aaker (1991) dalam Dursun et al (2011) mendefinisikan perceived quality sebagai persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk dengan apa yang diharapkan pelanggan. Aaker juga menegaskan satu hal yang harus selalu diingat yaitu bahwa persepsi kualitas merupakan persepsi pada para pelanggan. Tih dan Lee (2013) melakukan studi pada konsumen toko yang memiliki jaringan ritel hypermarket dan membuktikan bahwa ada pengaruh yang signifikan perceived quality variance terhadap store brands purchase intention.
6 Tidak sebatas itu saja, konsumen akan membeli dari perusahaan yang mereka yakini memiliki nilai pengharapan (customer perceived value) yang paling tinggi. Perceived value dikonseptualisasikan sebagai bentuk evaluasi kognitif dari pelanggan, yang didasarkan pada dua hal, yaitu persepsi manfaat dan biaya yang dirasakan (Zeithaml dalam Setiawan dan Achyar, 2012). Penelitian Tih dan Lee (2013) menemukan bahwa ada pengaruh yang signifikan perceived value terhadap store brands purchase intention. Perusahaan yang ingin menciptakan niat beli yang lebih tinggi juga harus mampu menciptakan store brand awareness konsumen. Kesadaran merek (brand awareness) merupakan kesanggupan seorang pembeli untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa suatu merek merupakan bagian dari kategori atau produk tertentu. De Wulf et al., dalam Tih dan Lee (2013) menunjukkan bahwa store brand awareness yang tinggi akan meningkatkan kemungkinan bahwa merek akan diingat ketika datang saat melakukan evaluasi pembelian dan memungkinkan untuk menciptakan niat beli konsumen. Pada saat konsumen akan melakukan keputusan pembelian mereka akan dihadapkan pada risiko pembelian produk (perceived risk). Tingkat resiko ini akan menentukan tingkat keterlibatan konsumen terhadap pembelian produk. Perceived risk merupakan keyakinan subyektif individu tentang konsekuensi yang berpotensi negatif dari keputusannya (Samadi dan Nejadi, 2009:263). Menurut Bettman, risiko dianggap merupakan faktor penting dalam pilihan konsumen, sehingga banyak penelitian yang terkait dengan persepsi resiko dalam pembelian (Dursun et al, 2011:114). Hasil penelitian yang
dilakukan
oleh
Susanti
dan
Wardiningsih
(2013:191)
7 menemukan bahwa persepsi risiko berpengaruh signifikan terhadap Private Label Brands. Studi Tih dan Lee (2013) juga membuktikan bahwa ada pengaruh yang signifikan perceived risk terhadap store brands purchase intention. Private label brands memiliki peranan penting dalam strategi ritel. Private label brands yang kuat bisa mengurangi promosi pemasaran produk, yang berdampak pada penghematan biaya dan memungkinkan untuk harga yang fleksibel (harga rendah atau tinggi tergantung pada sasaran pelanggan). Carrefour merupakan sebuah kelompok hypermarket, dan menjadi suatu alternatif belanja pilihan bagi seluruh keluarga. Dari segi umur Carrefour lebih unggul karena sudah lebih dulu bermain di segmen ini dibandingkan dengan hypermarket lainnya. Konsep paserba merupakan konsep perdagangan eceran yang diciptakan oleh Carrefour yang dirancang untuk memuaskan para konsumen. Ditambah dengan adanya fasilitas-fasilitas pelengkap seperti snack corner, food court, parkir gratis bahkan dengan adanya garansi harga dan garansi kualitas, maka Carrefour benar-benar merupakan tempat belanja keluarga. Carrefour adalah kelompok ritel kedua terbesar setelah Wal Mart, dan dengan berkembangnya Carrefour, maka Carrefour membuat produk private label dengan kualitas yang setara dengan produk nasional. Dengan produk private label Carrefour memberikan harga yang lebih murah dengan kualitas bagus agar dapat member pilihan pada pembeli untuk selalu ingat pada Carrefour. Carrefour meluncurkan tidak kurang dari lima item tiap bulan atau 60 item tiap tahun. Menurut Adji Srihandoyo, Direktur Corporate Affairs Carrefour Indonesia, potensi private label memang sangat besar. “Kami terus menggali potensinya dari produk lokal,” . Carrefour saat
8 ini telah memiliki 2-3 ribu item produk private label dari total 40 ribu item produknya. Misalnya tisu, minuman, gula, air mineral, garam snack, biscuit, dan sabun cair cuci tangan dan masih banyak item-item lainnya.(http://swa.co.id/corporate/hypermarket-dan-minimarketmakin-kepincut-private-label) Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Perceived Price, Perceived Quality, Perceived Value, Brand awareness, Perceived Risk Terhadap Purchase Intention Private Label Brands Pada Carrefour di Surabaya”. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka permasalahan yang akan dirumuskan dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah perceived price memiliki pengaruh positif terhadap purchase intention private label brands pada Carrefour di Surabaya? 2. Apakah perceived quality memiliki pengaruh positif terhadap purchase intention private label brands pada Carrefour di Surabaya? 3. Apakah perceived value memiliki pengaruh positif terhadap purchase intention private label brands pada Carrefour di Surabaya? 4. Apakah brand awareness memiliki pengaruh positif terhadap purchase intention private label brands pada Carrefour di Surabaya?
9 5. Apakah perceived risk memiliki pengaruh positif terhadap purchase intention private label brands pada Carrefour di Surabaya 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk menganalisis pengaruh positif perceived price terhadap purchase intention private label brands pada Carrefour di Surabaya. 2. Untuk menganalisis pengaruh positif perceived quality terhadap purchase intention private label brands pada Carrefour di Surabaya. 3. Untuk menganalisis pengaruh positif perceived value terhadap purchase intention private label brands pada Carrefour di Surabaya. 4. Untuk menganalisis pengaruh positif brand awareness terhadap purchase intention private label brands pada Carrefour di Surabaya. 5. Untuk menganalisis pengaruh positif perceived risk terhadap purchase intention private label brands pada Carrefour di Surabaya. 1.4. Manfaat Penelitian Sedangkan beberapa manfaat yang penulis harapkan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini nantinya antara lain: 1.
Manfaat Praktis.
10 Sebagai referensi tambahan dan acuan bagi pihak perusahaan yaitu Carrefour
dalam
menjalankan
kebijakan
usahanya,
serta
mengetahui keunggulan bersaing yang dimiliki.
2.
Manfaat Akademis Diharapkan hasil penelitian dapat menambah pengetahuan dan informasi yang bermanfaat mengenai perceived price, perceived quality, perceived value, brand awareness, perceived risk terhadap purchase intention private label brands.
1.5. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini tediri dari 5 (lima) bab. Masingmasing bab dibagi dalam sub bab mengenai pokok pembahasan, kemudian diuraikan dengan tujuan dan permasalahan yang dibahas. Bab 1
Pendahuluan Dalam bab ini dibahas secara umum mengenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika skripsi.
Bab 2
Tinjauan Kepustakaan Bab ini merupakan penjelasan dari masalah penelitian secara teoritis, dan definisi dari para ahli, hipotesis, dan kerangka berpikir.
Bab 3
Metode Penelitian Dalam bab ini dibahas secara umum tentang desain penelitian, definisi operasional, jenis dan sumber data, pengukuran variabel, metode pengumpulan data, populasi dan sampel, teknik analisis data.
11 Bab 4
Analisis dan Pembahasan Bab ini terdiri dari deskripsi objek penelitian, analisis data, dan interpretasi.
Bab 5
Simpulan dan Saran Pada bagian ini dijelaskan tentang simpulan berdasakan analisis penelitian dan saran bagi Carrefour.