BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Katarak menurut American Academy of Ophtamology (AAO) adalah kekeruhan yang terjadi pada lensa sehingga cahaya tidak bisa difokuskan dengan tepat kepada retina.1 Katarak merupakan penyebab utama gangguan pengelihatan dan kebutaan tidak hanya di Indonesia tetapi juga di dunia (Kementrian Kesehatan (MENKES), 2015) 2. Diperkirakan lebih dari 50% kebutaan disebabkan oleh katarak. Data survey yang dilakukan MENKES menggunakan metode RAAB (Rapid Assessment of Avoidable Blindness) yang dilakukan di provinsi Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan tahun 20132014 didapatkan prevalensi kebutaan pada masyarakat > 50 tahun adalah 3.2% dan yang disebabkan oleh katarak sebanyak 71%.2 Data dari WHO mengatakan 18 juta orang mengalami kebutaan karena katarak.3 Katarak dapat dikoreksi dengan dilakukan pembedahaan, jenis bedah katarak memiliki tiga metode yaitu intracapsular cataract extraction (ICCE) memiliki beberapa kekurangan yaitu ukuran sayatan yang besar sehingga penyembuhan luka lebih lama dan lebih besar menginduksi astigmatisma, Hilangnya penghalang antara segmen anterior dan segmen posterior.4 Extracapsular cataract extraction (ECCE) memiliki keunggulan dibandingkan dengan ICCE karena ukuran sayatan yang lebih kecil sehingga menghasilkan trauma yang lebih sedikit dan induksi astigmatisma menjadi lebih kecil, adanya kapsul posterior sehingga memberikan penghalang antara
1
akuos humor dan vitreus humor.4 Fakoemulsifikasi menggunakan metode sayatan yang sangat kecil dan membuat insiden terjadinya komplikasi yang berhubungan dengan luka sayatan yang lebih rendah, penyembuhan dan rehabilitasi visual lebih cepat dari prosedur yang memerlukan sayatan yang lebih besar. Teknik ini juga menciptakan sistem relatif tertutup selama operasi, sehingga mengendalikan kedalaman bilik mata depan dan memberikan perlindungan terhadap tekanan positif vitreous dan perdarahan khoroidal. 4 Kelainan refraksi merupakan gangguan terbesar pada mata yang terjadi hingga saat ini, menurut data dari WHO tahun 2010 mengatakan bawah prevalensi kelainan refraksi sebesar 42%, dan di posisi kedua adalah katarak sebesar 33%.5 Menurut AAO Kelainan refraksi terjadi ketika sinar cahaya paralel masuk ke dalam mata tidak terfokus pada retina.6 Kelainan refraksi dibagi menjadi miopia, hiperopia, presbiopia dan astigmatisma. Astigmatisma terjadi ketika sinar cahaya tidak bertemu pada satu titik. Prevalensi astigmatisma cukup besar pada kelainan refraksi. Data dari AAO mengatakan 28% pasien umur 15-17 tahun memiliki astigmatisma sebesar 1.00 D (Dioptri), sedangkan pada African American Hispanic children umur 6 – 72 bulan sebesar 12.7%, dan astigmatisma 1.00 D lebih banyak pada kelompok usia diatas 40 tahun. Kejadian astigmatisma di negara Amerika 20% lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita.6 Menurut penelitian yang dilakukan oleh Singapore National Eye Center pada 1028 anak dengan prevalensi astigmatisma 1.00 D atau lebih besar sebanyak 19.2% dimana astigmatisma with the rule lebih banyak dibandingkan astigmatisma against the rule.6
2
Astigmatisma dapat dibagi menjadi astigmatisma kornea (keratometri), astigmatisma lentikuler, dan astigmatisma retinal. Astigmatisma dapat disebabkan oleh karena cidera pada kornea, keratoconus dan keratoglobus, serta perubahan struktur kornea karena operasi atau yang bisa kita sebut sebagai Surgicaly Induce Astigmatism (SIA).7 Salah satu operasi yang dapat menyebabkan terjadinya SIA adalah operasi katarak, hal ini disebabkan karena katarak merupakan penyakit mata tertinggi kedua. Data dari penelitian yang dilakukan oleh University of Port Harcourt Teaching Hospital tahun 2011 pada 114 mata didapati hasil total astigmatisma sebanyak 57 mata (68,7%) dengan rata-rata besar astigmatisma 1.85 D, kejadian astigmatisma pasca operasi katarak terjadi pada 75% pasien operasi katarak.8 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Indian J Ophtamol pada tahun 2003 yang dilakukan pada 60 pasien di Nepal dengan metode ECCE yang dibagi kedalam 2 group yaitu group 1 dengan jahitan continuous dan group 2 dengan jahitan terputus, pada akhir minggu ke-6 didapati data group 1 memiliki astigmatisma lebih tinggi 3,53 D dan group 2 sebesar 1.7 D.9 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Cavallini et al tahun 1996 dengan metode ECCE 12 mm dan 8 mm didapati hasil hari ke-2 sebesar 4.89 D dan 3.95 D, pada minggu ke-1 4.46 D dan 3.51 D, pada bulan ke-1 0.65 D dan 0.53 D, pada bulan ke-3 1.44 D dan 0.35 D dan pada bulan ke-6 sebesar 1.36 D dan 0.42 D.11 Metode operasi katarak yang lain adalah dengan menggunakan fakoemulsifikasi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Cavallini et al tahun 1996 dengan metode operasi fakoemulsifikasi didapati hasil hari
3
ke-2 sebesar 2.66 D, pada minggu ke-1 2.14 D, pada bulan ke-1 0.05D, pada bulan ke-3 0.36D dan pada bulan ke-6 sebesar 0.48D. Pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Cavallini et al didapati perbandingan angka astigmatisma pasca operasi katarak dengan metode ECCE dibandingkan dengan fakoemulsifikasi memiliki angka kejadian astigmatisma yang lebih tinggi pada prosedur ECCE.10 Hasil Penelitian oleh Marlinda tahun 2013 di Indonesia pada 30 pasien pasca operasi katarak dengan metode fakoemulsifikasi didapati hasil astigmatisma antara 0.5-1.22 D, sedangkan pada minggu ke-2 2.043 D pada minggu ke-4 2.056 D, pada minggu ke-8 1.101 D.11 Astigmatisma
dapat
didiagnosis
salah
satunya
dengan
menggunakan keratometri. Keratometri adalah alat utama untuk mengukur kelengkungan kornea dengan cara memfokuskan cahaya pada kornea dan diukur
refleksinya
(American
Optometric
12
Association (AOA)). Keratometri sendiri dibagi menjadi keratometri manual dan auto keratometri, menurut penelitian yang dilakukan oleh Minwook Chang et al tahun 2012 mengatakan bahwa keratometri manual memiliki tingkat akurasi paling tinggi di banding yang lain tetapi tidak ada perbedaan yang signifikan antara keratometer tersebut.13 Penelitian lain yang dilakukan oleh Reshma Ramakrishnan et al tahun 2014 juga mengatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara manual dan auto keratometri, hanya saja keunggulan auto keratometri yaitu lebih cepat dalam melakukan evaluasi dan lebih baik digunakan untuk memeriksa anak-anak.14 Berdasarkan data yang telah diperoleh mengatakan katarak masih merupakan masalah kesehatan mata yang besar dan operasi katarak banyak dilakukan diseluruh dunia dan operasi katarak dapat
4
menyebabkan
terjadinya
astigmatisma
(Surgically
Induced
Astigmatism). Peneliti ingin melihat perbandingan astigmatisma pada pasien pra dan pasca operasi katarak dengan teknik fakoemulsifikasi di rumah sakit PHC Surabaya. Peneliti memilih rumah sakit PHC Surabaya dikarenakan jumlah kasus katarak di RS PHC Surabaya periode Januari-Agustus 2016 sebanyak 603 kasus dan tersedianya data keratometri pra operasi katarakserta adanya kerja sama antara rumah sakit dengan Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Widya Mandala. 1.2 Rumusan Masalah 1
Berapa angka kejadian dan besar rata-rata astigmatisma pra operasi katarak dengan teknik fakoemulsifikasi diukur dengan keratometri di RS. PHC Surabaya ?
2
Berapa angka kejadian dan besar rata-rata astigmatisma pasca operasi katarak dengan teknik fakoemulsifikasi diukur dengan keratometri di RS PHC Surabaya ?
3
Apakah ada perbedaan astigmatisma pra dan pasca operasi katarak dengan teknik fakoemulsifikasi di RS PHC Surabaya?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui perbedaan angka kejadian dan besar rata-rata astigmatisma pra dan pasca operasi katarak dengan teknik fakoemulsifikasi di RS PHC. 1.3.2 Tujuan Khusus 1.
Mengetahui angka kejadian dan besar rata-rata astigmatisma pra operasi katarak dengan teknik fakoemulsifikasi diukur dengan keratometri di RS. PHC Surabaya.
5
2.
Mengetahui angka kejadian dan besar rata-rata astigmatisma pasca operasi katarak dengan teknik fakoemulsifikasi diukur dengan keratometri di RS PHC Surabaya.
3.
Mengetahui perbedaan astigmatisma pra dan pasca operasi katarak dengan teknik fakoemulsifikasi di RS PHC Surabaya.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1
Bagi Peneliti Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan peneliti
mengenai hasil astigmatisma pra dan pasca operasi katarak menggunakan teknik fakoemulsifikasi. Selain itu penelitian ini juga sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana kedokteran 1.4.2
Bagi Rumah Sakit Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk
membantu memberikan hasil angka kejadian dan besar rata-rata astigmatisma yang terjadi pada pasien pasca operasi katarak, yang nantinya data ini dapat menjadi suatu bahan evaluasi untuk mendapatkan hasil pasca operasi katarak yang lebih baik. 1.4.3
Bagi Institusi Pendidikan
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai refrensi untuk mahasiswa Widya Mandala Surabaya khususnya Fakultas Kedokteran. Selain itu dapat dipergunakan untuk publikasi karya ilmiah. 1.4.4
Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan mampu menambah informasi terutama kepada pasien katarak bahwa katarak dapat diperbaiki dan angka kejadian astigmatisma dapat diperkecil dengan teknik operasi fakoemulsifikasi.
6