BAB II TEKNIK CETAK SABLON DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN PSIKOMOTOR PADA MATA PELAJARAN KETERAMPILAN DI KELAS XI SLB/B
A. Pembelajaran Keterampilan Di Kelas XI SLB B Keterampilan merupakan ilmu teknologi terapan yang sangat penting dan dibutuhkan dalam kehidupan manusia, karena manusia memerlukan keterampilan sebagai alat untuk mengembangkan atau menggunakan pola pikir di dalam kehidupannya. Mata pelajaran keterampilan disajikan kepada peserta didik agar kelak mereka dapat mengembangkan kemampuan diri untuk berkreatifitas dengan cara yang positif. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar keterampilan pada siswa tunarungu ini disusun sebagai landasan pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan tersebut, selain itu dimaksudkan pula untuk mengembangkan pola berfikir dalam menuangkan ide atau gagasan yang mengikuti perkembangan zaman sesuai dengan kebutuhan yang memiliki pangsa pasar yang diharapkan dapat mendorong masyarakat untuk menjadi seorang wiraswasta yang berhasil. Ny. SA Bratanata (1975 : 107) mengemukakan : “Bahwa pendidikan keterampilan bagi anak tunarungu sangat berguna dalam kehidupannya, baik itu mengenai kehidupan sosial ekonominya maupun kepribadiannya”. Keterampilan juga bisa dijadikan peluang usaha jika dilihat dari sisi perekonomian dengan dukungan ketekunan, kemauan kuat dan kerja keras. Selain
1
itu keterampilan juga bisa memberikan alternatif ataupun solusi dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat luas. Dengan pendidikan keterampilanpun semua potensi yang ada pada anak dapat tersalurkan atau dirubah untuk bertambah maju seperti mengenai sikap, nilai, emosi, kesanggupan, kemauan dan intelektualnya. Mata pelajaran keterampilan berdasarkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SMALB/B bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sbb : 1. Memahami konsep dan pentingnya seni budaya dan keterampilan. 2. menampilkan sikap apresiasi terhadap seni budaya dan keterampilan. 3. menampilkan kreativitas melalui seni budaya dan keterampilan. 4. menampilkan peran serta dalam seni budaya dan keterampilan dalam tingkat lokal, regional, maupun global. Sedangkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar kelas XI SLB/B adalah sbb: Tabel 2.1 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar semester 1 kelas XI SLB/B Standar Kompetensi Seni Rupa
Kompetensi Dasar
1. Mengevaluasi karya dan seni rupa.
1.1 Menilai keunikan gagasan, teknik, dan bahan dalam karya seni rupa Nusantara. 1.2 Menunjukan sikap apresiasif atas keunikan gagasan dan bahan dalam karya seni rupa Nusantara. 1.3 Merancang/membuat karya seni kriya tekstil dengan 2
mempertimbangkan teknik dan corak seni rupa Nusantara. 2. Mengevaluasi karya seni rupa
2.1 Menunjukan sikap apresiasif atas keunikan gagasan dan bahan dalam karya seni rupa Nusantara dan Mancanegara. 2.2 Mampu berekspresi secara estetik dan kreatif dalam wujud karya seni grafis (printmaking)
B. Perkembangan Psikomotor Hasil belajar peserta didik dapat dikelompokkan menjadi tiga ranah, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Ranah ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain secara eksplisit. Apapun mata pelajarannya selalu mengandung tiga ranah itu, namun penekanannya berbeda. Mata pelajaran yang menuntut kemampuan praktik lebih menitik beratkan pada ranah psikomotor sedangkan mata pelajaran yang menuntut kemampuan teori lebih menitik beratkan pada ranah kognitif, dan ranahranah tersebut selalu mengandung ranah afektif. Ranah kognitif berhubungan dengan kemampuan berpikir, termasuk di dalamnya kemampuan menghafal, memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai. Ranah psikomotor adalah ranah yang berhubungan dengan aktivitas fisik, misalnya lari, melompat, melukis, menari, memukul, dan sebagainya. Untuk jenjang Pendidikan SMA, mata pelajaran yang banyak berhubungan dengan ranah psikomotor adalah pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan, seni budaya, fisika, kimia, biologi, dan keterampilan. Dengan kata lain, kegiatan 3
belajar yang banyak berhubungan dengan ranah psikomotor adalah praktik di aula/lapangan dan praktikum di laboratorium. Dalam kegiatan-kegiatan praktik itu juga ada ranah kognitif dan afektifnya, namun hanya sedikit bila dibandingkan dengan ranah psikomotor. Berkaitan dengan psikomotor, Bloom (1979) berpendapat bahwa ranah psikomotor berhubungan dengan hasil belajar yang pencapaiannya melalui keterampilan manipulasi yang melibatkan otot dan kekuatan fisik. Singer (1972) menambahkan bahwa mata pelajaran yang berkaitan dengan psikomotor adalah mata pelajaran yang lebih beorientasi pada gerakan dan menekankan pada reaksi– reaksi fisik dan keterampilan tangan. Keterampilan itu sendiri menunjukkan tingkat keahlian seseorang dalam suatu tugas atau sekumpulan tugas tertentu. Buttler (1972) membagi hasil belajar psikomotor menjadi tiga, yaitu: specific responding, motor chaining, rule using. Pada tingkat specific responding peserta didik mampu merespons hal-hal yang sifatnya fisik, (yang dapat didengar, dilihat, atau diraba), atau melakukan keterampilan yang sifatnya tunggal, misalnya memegang raket, memegang bed untuk tenis meja. Pada motor chaining peserta didik sudah mampu menggabungkan lebih dari dua keterampilan dasar menjadi satu keterampilan gabungan, misalnya memukul bola, menggergaji, menggunakan jangka sorong, dll. Pada tingkat rule using peserta didik sudah dapat menggunakan pengalamannya untuk melakukan keterampilan yang komplek, misalnya bagaimana memukul bola secara tepat agar dengan tenaga yang sama hasilnya lebih baik.
4
Menurut Mills (1977), pembelajaran keterampilan akan efektif bila dilakukan dengan menggunakan prinsip belajar sambil mengerjakan (learning by doing). Leighbody (1968) menjelaskan bahwa keterampilan yang dilatih melalui praktik secara berulang-ulang akan menjadi kebiasaan atau otomatis dilakukan. Sementara itu Goetz (1981) dalam penelitiannya melaporkan bahwa latihan yang dilakukan berulang-ulang akan memberikan pengaruh yang sangat besar pada pemahiran keterampilan. Lebih lanjut dalam penelitian itu dilaporkan bahwa pengulangan saja tidak cukup menghasilkan prestasi belajar yang tinggi, namun diperlukan umpan balik yang relevan yang berfungsi untuk memantapkan kebiasaan. Sekali berkembang maka kebiasaan itu tidak pernah mati atau hilang. Sementara itu, Gagne (1977) berpendapat bahwa kondisi yang dapat mengoptimalkan hasil belajar keterampilan ada dua macam, yaitu kondisi internal dan eksternal. Untuk kondisi internal dapat dilakukan dengan cara (a) mengingatkan kembali bagian dari keterampilan yang sudah dipelajari, dan (b) mengingatkan prosedur atau langkah-langkah gerakan yang telah dikuasai. Sementara itu untuk kondisi eksternal dapat dilakukan dengan (a) instruksi verbal, (b) gambar, (c) demonstrasi, (d) praktik, dan (e) umpan balik. Dalam melatihkan kemampuan psikomotor atau keterampilan gerak ada beberapa langkah yang harus dilakukan agar pembelajaran mampu membuahkan hasil yang optimal. Mills (1977) menjelaskan bahwa langkah-langkah dalam mengajar praktik adalah (a) menentukan tujuan dalam bentuk perbuatan, (b) menganalisis keterampilan secara rinci dan berurutan, (c) mendemonstrasikan keterampilan disertai dengan penjelasan singkat dengan memberikan perhatian
5
pada butir-butir kunci termasuk kompetensi kunci yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan dan bagian-bagian yang sukar, (d) memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mencoba melakukan praktik dengan pengawasan dan bimbingan, (e) memberikan penilaian terhadap usaha peserta didik. Edwardes (1981) menjelaskan bahwa proses pembelajaran praktik mencakup tiga tahap, yaitu (a) penyajian dari pendidik, (b) kegiatan praktik peserta didik, dan (c) penilaian hasil kerja peserta didik. Guru harus menjelaskan kepada peserta didik kompetensi kunci yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas tertentu. Kompetensi kunci adalah kemampuan utama yang harus dimiliki seseorang agar tugas atau pekerjaan dapat diselesaikan dengan cara benar dan hasilnya optimal. Sebagai contoh, cara memegang rakel pada materi cetak sablon, kompetensi kuncinya adalah kemampuan peserta didik memegang rakel pada screen. Dengan cara ini, tenaga yang dikeluarkan hanya sedikit namun hasilnya optimal.
C. Teknik Cetak Sablon Dalam Mata Pelajaran Keterampilan Pelajaran keterampilan cetak sablon merupakan mata pelajaran yang praktis, artinya keterampilan cetak sablon merupakan suatu mata pelajaran yang tidak hanya dilakukan dengan teori saja karena keterampilan cetak sablon adalah sebuah ilmu terapan yang mutlak dipraktekan secara kontinu, sehingga dengan cepat atau lambat seseorang akan menjadi mahir dalam mempraktekan cetak sablon.
6
Cetak sablon berasal dari kata screen printing yang apabila diartikan secara harfiah yakni screen yang berarti saringan dan printing yang berarti mencetak, jadi screen printing ialah mencetaka dengan menggunakan saringan. Cetak sablon juga mempunyai arti lain, yakni kegiatan mencetak grafis yang dilakukan secara manual oleh tenaga manusia, menurut Guntur Nusantara, A.Md. Graf (2007 : 1) menyatakan bahwa : “Cetak sablon merupakan bagian dari ilmu grafika terpan yang bersifat praktis, jika diuraikan secara verbal, cetak sablon dapat diartikan sebagai kegiatan cetak mencetak grafis dengan menggunakan kain gasa, biasa disebut screen, pada bidang yang menjadi sasaran cetak. Gambar yang tercetak pada objek cetak akan sesuai dengan model atau klise yang terdapat pada screen” Selain cetak sablon, ada teknik cetak lain, yakni cetak offset. Cetak offset merupakan suatu sistem cetak yang menggunakan acuan berupa lembaran alumunium yang dikenal dengan sebutan plat atau kertas yang disebut dengan master. Sistem cetak ini menggunakan prinsip tolak-menolak antara air dan minyak Apabila dibandingkan, cetak sablon dan cetak offset mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Hasil cetak mesin memiliki kecepatan, ketepatan dan akurasi gambar yang cukup tinggi, sementara pada cetak sablon hasil cetaknya sangat relatif, artinya sangat tergantung kepada tenaga manusia yang mengerjakannya. Akan tetapi bukan berarti mencetak dengan menggunakan mesin akan jauh lebih unggul, pasalnya ada beberapa pekerjaan cetak sablon yang tidak dapat dilakukan oleh mesin yang artinya dikerjakan secara manual. Hal ini terjadi karena offset hanya dapat mencetak pada bidang datar yang berbanding terbalik dengan cetak sablon yang aplikasinya dapat diterapkan pada berbagai bidang dengan syarat permukaan bidang tersebut rata.
7
Teknik cetak sablon yang akan dijadikan bahan penelitian adalah teknik cetak sablon yang sesuai dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar kelas XI yakni sebagai berikut : 1. Materi Proses 1 a. Siswa dapat mengidentifikasi alat-alat dan bahan yang diperlukan selama proses cetak sablon, yang terdiri dari : 1) Alat-alat cetak sablon : screen, rakel, meja sablon, catok screen, lakban kertas, treckpen, rapido, tinta AFDECK, kodak trees/kertas kalquur, gunting, cutter, kertas HVS, pensil, kaca bening 5 mm, busa, kain
hitam,
papan,
sprayer,
timer/pengatur
waktu,
hair
dryer/pengering, lampu TL, lampu merah, kamar gelap dan penggaris. 2) Bahan-bahan cetak sablon : kayu profile dan kain monyl (untuk membuat screen); obat afdruck yang terdiri dari kromatin, gelatin, teksol, diasol, super emulsion, super X dan ulano untuk membuat lapisan cetakan; cat sablon/tinta sablon, pigmen biasa/ terfin, orient, master, quaret, GL, PVC, daiyo dan aqua ink; pengencer/pelarut cta sablon M4, M3, terfin dan air biasa; bahan yang akan disablon, seperti : kain, kaos, kertas, plastik, kaca, kayu dan besi. b. Siswa dapat merancang/membuat gambar yang direncanakan dalam bentuk klise/negative film yang prosesnya terdiri dari : 1)
Masing-masing peserta diberi tugas membuat gambar sesuai rencana pada kertas HVS dengan menggunakan pensil.
8
2)
Gambar dijiplak menggunakan kertas kalquur atau kertas film atau kodak trees dengan menggunakan tinta rafido atau tinta afdeck.
c. Proses pencetakan. 1) Pertama siapakan screen pada meja sablon. 2) Persipkan tinta atau cat, pengencer tinta atau cat, rakel, media yang akan dicetak. 3) Lakukan pencetakan percobaan agar tidak terjadi kesalahan atau kegagalan pada proses pencetakan, misalnya tidak tepatnya posisi gambar pada media cetak, salah penggunaan cat, tidak sesuainya penggunaan screen dengan media cetak (misalnya screen untuk mencetak pada media kertas dipakai untuk media kain yang mengakibatkan
hasil
pencetakan
menjadi
kurang
maksimal.
Pencetakan percobaan dilakukan pada bahan atau media yang sejanis dengan bahan yang akan dijadikan media cetak, misalnya bila media yang akan digunakan adalah kain, maka kita gunakan kain yang tidak terpakai untuk percobaan, setelah hasil percobaan berhasil maka lakukan pencetakan yang sebenarnya. d. Proses penghapusan screen. 1) Larutkan soda api, kaporit, dengan air bersih, dengan perbandingan 1:0,5:1. 2) Setelah campuran tersebut larut, laburkan cairan tersebut kepermukaan screen bagian luar dan dalam secara merata selama 30 menit dengan menggunakan sikat yang terbuat dari nylon atau sikat bekas.
9
3) Setelah screen didiamkan selama 30 menit lalu basuh dengan air bersih dengan cara disemprot. Jika emulsi atau lapisan obat afdruck telah terlepas berarti screen dalam keadaan kosong. 4) Lalu keringkan dengan cara di lap dan dipanaskan dengan temperatur sedang agar screen tidak rusak. 2. Materi Proses 2 a. Siswa dapat mengerjakan cara pembuatan teknik cetak sablon pada proses penyemiran sampai dengan proses penimbulan gambar. Proses tersebut terdiri dari : 1) Membuat cetakan, pertama membuat bingkai kayu dengan panjang yang disesuaikan dengan gambar, tinggi 4 cm dan lebar 3 cm, besar cetakan yang dibuat disesuaikan dengan gambar yang telah dibuat. 2) Penyemiran screen. Siapkan obat afdruck, penggaris, screen yang akan digunakan dan desain gambar. Lakukan penyemiran atau pelaburan screen ditempat teduh, setelah penyemiran dilakukan, screen harus segera dibawa kekamar gelap untuk proses pengeringan. 3) Proses pengeringan. Siapkan pengering (hair dryer atau kompor), papan biasa yang sudah dilapisi kain hitam, kaca bening 5 mm, desain gambar (klise atau negative film), kain penutup dan pengatur waktu. Lakukan pengeringan screen dikamar gelap dengan menggunakan kompor berapi biru atau dengan menggunakan hair dryer. Gunakan kompor dengan api biru yang sebelumnya dilapisi dengan plat seng, hal ini dimaksudkan agar panas api tidak langsung mengenai kain
10
monyl. Bila menggunakan hair dryer arahkan hair dyer secara merata kepada seluruh bagian screen dengan menggunakan suhu yang panas (letakan hair dryer + 10 cm dari permukaan screen). Setelah pengeringan dilakukan, maka lakukanlah penyinaran. 4) Penyinaran. Sebelum dilakukan penyinaran kita harus mempersiapkan kain penutup, kaca, desain gambar, screen, busa, papan yang disusun secara vertikal, dimana papan berada pada posisi paling bawah, lalu busa, screen, desain gambar, kaca dan kain hitam sebagai penutup bagian gambar yang akan dan sudah disinari. Lama penyinaran dengan cahaya matahari adalah 30 detik tetapi bila kita melakukan penyinaran dengan menggunakan cahaya lampu TL (Neon) penyinaran dilakukan selama 7-8 menit.Contoh : Gambar 2.1 Proses Penyinaran Tahap Pertama Sumber cahaya matahari/lampu TL
Kain Penutup Kaca Desain Gambar Screen Busa Papan
11
Gambar 2.2 Proses Penyinaran Tahap Kedua Kain penutup dibuka Sumber cahaya matahari/lampu TL
Kaca Desain Gambar Screen Busa Papan
Gambar 2.3 Proses Penyinaran Tahap Ketiga Tutupkan kembali kain hitam setelah dilakuka penyinaran Sumber cahaya matahari/lampu TL
Kain Penutup Kaca Desain Gambar Screen Busa Papan
12
5) Proses penimbulan gambar pada screen. Setelah dilakukan penyinaran pisahkan screen dari kain penutup, kaca, desain gambar, busa dan papan. Proses berikutnya bawa screen ketempat teduh (terlindung dari cahaya kuat) lalu semprot screen dengan menggunakan sprayer dengan teliti, setelah gambar timbul(menjadi sebuah pola cetakan sesuai rencana) lalu keringkan screen dengan menggunakan kain halus yang menyerap air, hal ini dilakukan agar tidak ada air yang masih menutupi pori-pori cetakan pada screen langkah selanjutnya keringkan kembali dengan cara dijemur atau dipanaskan agar screen benar-benar kering.
D. Konsep Dasar Tunarungu Definisi anak tunarungu menurut Donal F. Moores adalah orang yang kehilangan kemampuan mendengarkan pada tingkat 70 dB atau lebih sehingga tidak mengerti atau memahami pembicaraan orang lain dengan atau melalui pendengarannya sendiri tanpa menggunakan alat bantu dengar. Untuk memperjelas tentang anak tunarungu perlu ditunjang oleh teori-teori sebagai berikut : Bandi Delphie (2006 : 102) yang dikutip dari Gregory S. et al. (1998:45-47) pengertian hendaya pendengaran adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar sebagian atau seluruhnya, diakibatkan tidak berfungsinya sebagian atau seluruh indera pendengaran. Ketunarunguan pada seseorang memunculkan dampak luas yang akan menjadi gangguan pada kehidupan diri yang bersangkutan. Arthur Borthroyd (1961) dalam buku Edja Sadjaah menjelaskan berbagai dampak yang ditimbulkan
13
sebagai akibat ketunarunguan mempengaruhi dalam hal : masalah persepsi auditif, masalah bahasa, dan komunikasi, masalah intelektual dan kognitif, masalah pendidikan,, masalah sosial, bahkan masalah vokasional. Selain itu ketunarunguan berdampak luas dan komplek terhadap anak dan keluarganya bahkan akan mempengaruhi sikap-sikap masyarakatnya. Pakar
pendidikan
anak
tunarungu
seperti
Daniel
Ling
(1976)
mengemukakan bahwa ketunarunguan memberikan dampak inti yang diderita oleh yang bersangkutan yaitu gangguan/hambatan perkembangan bahasa. Hambatan perkembangan bahasa memunculkan dampak-dampak lain yang sangat komplek lainnya seperti aspek pendidikan, hambatan emosi-sosial, perkembangan intelegensi dan akhirnya hambatan dalam aspek kepribadian. Artinya dampak inti yang diderita menimbulkan/mengait pada dampak lain yang mengganggu kehidupannya. Selanjutnya dilihat dari kemampuan intelektual merekapun memiliki potensi yang relatif sama, yaitu ada yang pintar, sedang-sedang saja dan kurang pintar. Disayangkan bahwa kelainan yang ada padanya tidak diketahui oleh orang dekatnya karena tidak nampak sehingga tidak terabaikan. Biasanya sikap dan perilaku acuh tak acuh/tak menurut perintah dan oleh orang lain sering disalah tafsirkan, menyebabkan orang didekatnya sering merasa jengkel dan marah. Ahli psikologi berpendapat bahwa anak gangguan pendengaran memiliki intelegensi yang kemampuan potensinya tidak jauh berbeda dengan intelegensi anak pada umumnya. Kemampuan fungsionalnya kurang mendapat kesempatan dan upaya yang tidak optimal. Sedangkan ahli lain seperti Mmac Kone dkk (1993)
14
dalam Edja Sadjaah (1995), menjelaskan bahwa rendahnya hasil tes intelegensi anak gangguan pendengaran disebabkan oleh gangguan bicaranya, oleh karena melalui tes non verbal hasilnya mendekati skor anak normal, maka semakin tinggi pula gangguan bahasa/bicara anak gangguan pendengaran yang selanjutnnya membawa dampak terhadap hasil-hasil/prestasi akademiknya. Selanjutnya ahli lain seperti Pintner dalam Edja Sadjaah, melengkapi bahwa kemampuan intelegensi gangguan pendengaran dalam hal kemapuan motorik; bidang mekanikal; intelegensi konkrit tidak mendapat hambatan yang berarti bahwa anak gangguan pendengaran memiliki kemampuan intelegensi nonverbal hendaknya mendapat kesempatan yang banyak agar hambatan dalam aspek kognisi ini masih bisa diupayakan. Telah diungkapkan bahwa anak tunarungu mengalami hambatan dalam perkembangan bahasa/bicaranya sebagai akibat kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian seluruhnya alat pendengarannya, sehingga menyebabkan kekurangan atau kehilangan dalam kemampuan mendengar. Kemudian untuk mencapai peningkatan kemampuan mendengar bagi anak yang masih mempunyai sisa pendengaran, maka perlu dibantu dengan penggunaan Alat Bantu Dengar (ABD), dimana kemampuan daya dengar ukurannya dihitung dalam dB (Decibell) sesuai ukuran yang diamaksud oleh penciptanya Graham Bell. Dengan demikian terdapat penggolongan klasifikasi anak tunarungu dalam derajat kecacatannya atau kehilangan kemampuan daya dengar. Menurut Empu Driyanto, Thufiq Boesoeri, Tatang S (1981 : 3), klasifikasi anak tunarungu sebagai berikut :
15
1. Cacat dengar ringan (Mild Hearing Loss), yaitu derajat cacat dengar dengan hitungan dB antara 26 dB – 40 dB. Dalam kondisi anak mengalami sedikit kerusakan untuk mendengar suara bisik. 2. Kelompok cacat dengar dengan derajat antara 41 dB – 55 dB, dalam kelompok ini anak mengalami kesulitan dalam penerimaan pembicaraan normal, terutama nada-nada tinggi, sehingga perlu menggunakan Alat Bantu Dengar. 3. Cacat dengar sedang berat (Moderate Severe Hearing Loss), yaitu kelompok cacat dengar dengan derajat antara 56 dB – 70 dB. Dengan kondisi ini anak sudah mulai kesulitan dalam menangkap pembicaraan keras, Pemakaian Alat Bantu Dengar akan sangat membantu. 4. Cacat dengar berat (Severe Hearing Loss), yaitu kelompok cacat dengar dengan derajat antara 71 dB – 90 dB. Anak hanya mengerti teriakan atau pembicaraan yang diperkeras pada jarak yang dekat sekali, pengalaman mendengar sangat kurang karena untuk merangsang bunyi sangat sukar dan penggunaan Alat Bantu Dengar sangat diperlukan. 5. Cacat dengar terberat (Profonund Hearing Loss), yaitu kelompok cacat dengar dengan derajat diatas 91 dB. Dalam kondisi ini sama sekali tidak dapat mengerti pembicaraan orang lain sekeras apapun, walaupun rangsang suara sangat diperlukan. Untuk lebih jelas tingkat derajat ketunarunguan Merry Hyde menguraikan segagai berikut :
16
Tabel 2.2 Tingkat Ketunarunguan Rata-rata Kehilangan Pendengaran dB 20 – 40
Tingkat Ketunarunguan Ringan (MILD)
40 – 65
Sedang (Moderete)
65 – 95
Berat (Severe)
95 +
Sangat Berat/nyata
17
Kemampuan Untuk Memahami Percakapan - Tidak selalu bereaksi bila disapa - Mengalami kesulitan dalam melangsungkan percakapan. - Mengalami kesulitan dalam melangsungkan percakapan bila tidak menatap wajah lawan bicara. - Mengalami kesukaran untuk menangkap suara pada jarak jauh. - Mengalami kesukaran untuk mendengar dalam lingkungan bising. - Pemakaian ABM akan bermanfaat. - Akan sedikit memahami percakapan bila menatap wajah lawan bicara yang bersuara keras. - Kemampuan untuk menangkap percakapan yang wajar sehari-hari hampir tidak mungkin. - Tidak mungkin melangsungkan percakapan wajar sehari-hari. - Pemakaian ABM masih akan bermanfaat - Sama sekali bergantung pada penglihatan.