AZKIA
Jurnal Aktualisasi Pendidikan Islam Vol. 7. No. 1, Juli 2012 Penanggung Jawab
A.Hamid Mahmud
Wakil Penanggung Jawab
Nufiar
Ketua Penyunting
Masbur Ismail
Wakil Ketua Penyunting
Hadini
Dewan Penyunting
Warul Walidin Ak Syahbuddin Gade Nurdin Manyak Bukhari Muslim Rusdin Pohan
Penyunting Pelaksana
Abd. Wahid
Tata Usaha
M. Djuned Basyah Abdul Manaf Ridhwan Abdullah Yusmadi Abdullah Grafis/Setting
Armia Thalib
Alamat Redaksi STIT Al-Hilal Sigli Jl. Lingkar Keunire Kec. Pidie Kab. Pidie, Telp. 0653-23467
Abdul Manaf 1 Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan pada Madrasah/Sekolah Hadini 19 Tafsir Pendidik dalam Pemikiran M. Quraish Shihab Hayati 34 Pengembangan Kurikulum dan Korelasinya dengan Fungsi Sekolah Heliati 47 Kelemahan Metodologi Pendidikan Islam Ismail Muhammad 59 Idealita Material dalam Rancangan Kurikulum Pembelajaran Bahasa Arab Masbur 68 Partisipatori Aliran Rekonstruksionisme dalam Menata Kesetaraan Pendidikan Kontemporer Nia Wardhani 81 Metode Targhib dan Tarhib dalam Perspektif Pendidikan Islam Nurdin Manyak 98 Kompetensi Mahasiswa PPL PGMI IAIN Ar-Raniry Tahun 2011/2012 dalam Proses Belajar Mengajar 110
Pedoman Penulisan
MANAJEMEN SARANA DAN PRASARANA PENDIDIKAN PADA MADRASAH/SEKOLAH Abdul Manaf STI Tarbiyah Al‐Hilal Sigli Jl. Lingkar Keuniree, Sigli Provinsi Aceh Email:
[email protected] ABSTRACT Infrastructure Management education is education as an integral component of a complete and integrated system to facilitate the learning process. Perform planning, identifying infrastructure available concerning both the quantity and quality, to determine the needs, priorities scale preparation, determination of the source of funding, and to make proposals, this activity involves teachers, supervisors, and committees. Utilization of educational facilities such as space, furniture, and other work supporting facilities used to achieve educational goals. Maintenance of educational facilities carried out continuously and periodically according to the type of educational facilities exist, they are carried by all components of madrassas / schools including committees and community. Kata kunci : Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan. Pendahuluan Manajemen Sarana dan prasarana pendidikan memiliki peran penting dalam pencapaian tujuan pendidikan baik bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Perencanaan pengadaan, pemanfaatan dan pemeliraharaan sarana dan prasarana pendidikan merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kajian manajemen pendidikan. Sarana dan prasarana pendidikan pada madrasah ibtidaiyah merupakan suatu komponen yang menentukan terlaksananya kegiatan belajar mengajar pada madrasah ibtidaiyah bersamaan dengan komponen pendukung yang Lainnya. Proses belajar mengajar dapat berlangsung jika ada pendidik, peserta didik, alat pendidikan dan lingkungan pendidikan yang mendukung. Semua faktor adalah merupakan sebuah siklus dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan. 1
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
Pendidikan yang ideal sebagaimana yang dimaksud dalam Undang‐ Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu banyak komponen pendidikan yang merupakan sebagai satu kesatuan sistem yang lengkap dan terpadu untuk menggerakkan pembelajaran kepada manusia secara sempurna sehingga pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkan dapat berjalan sebagaimana yang telah direncanakan. 1 Salah satu komponen tersebut adalah sarana dan prasarana pendidikan yang memadai. Lebih tegas lagi dalam pasal 42 bahwa “setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan”. Sedangkan pada ayat 2 menekankan bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolahraga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berekreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. Penjelasan di atas sejalan dengan pandangan Mulyasa yang menyatakan bahwa: Sarana pendidikan adalah peralatan dan perlengkapan yang secara langsung dipergunakan dan untuk menunjang proses pendidikan, khusus‐ nya dalam proses belajar mengajar, seperti gedung, ruang kelas, meja, kursi serta alat‐alat dan media pengajaran”. Adapun yang di‐maksud pra‐ sarana pendidikan atau pengajaran dalam proses pembelajaran, seperti halaman sekolah, kebun seko‐lah, taman sekolah dan jalan menuju sekolah. Prasarana yang diman‐faatkan secara langsung untuk proses belajar mengajar di sekolah, seperti taman seko‐lah untuk pembelajaran biologi, halaman sekolah sekaligus sebagai lapangan olah raga dan lain sebagainya. 2 Komponen–komponen sebagaimana yang disebutkan di atas merupakan sarana pendidikan yang mutlak harus ada dan mempunyai standar, di samping prasarana yang lainnya, sebagai penunjang dalam pembelajaran, hal 1Undang‐Undang Nomor 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Depdiknas) 2Mulyasa, E, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007).
2
______ Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan pada Madrasah/Sekolah (Abdul Manaf) ini, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 1 poin 8 yaitu : Standar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. 3 Hal tersebut dijabarkan secara detil dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Pada BAB II Standar Sarana dan Prasarana SD/MI dan dibahas tentang Standar Prasarana dan sarana pada Poin D yaitu menyangkut dengan ketentuan Prasarana dan Sarana untuk SD/MI. Secara operasionalnya diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2007 Tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh satuan pendidikan dasar dan Menengah sebagaimana termuat dalam poin 4,e. tentang Rencana Kerja Sekolah /Madrasah, yaitu Rencana kerja tahunan memuat ketentuan yang jelas pada item 4 yaitu mengenai sarana dan prasarana. Rencana kerja Sekolah/Madrasah yang dimaksud sesuai dengan pendapat Gunawan (2005:5) adalah sebagai berikut: Administrasi Sarana dan Prasara Pendidikan adalah merupakan seluruh proses kegiatan yang direncanakan dan diusahakan secara sengaja dan bersungguh‐sungguh serta pembinaan secara kontinyu terhadap benda‐ benda pendidikan, agar senantiasa siap pakai (ready for uses) dalam proses pembe‐lajaran, sehingga proses pembelajaran semakin efektif dan efesien guna membantu tercapainya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. 4 persaingan kualitas pendidikan semakin ketat, desain pendidikan harus lebih fokus pada perberdayaaan semua potensi sekolah, memantapkan manajemen pendidikan yang transparan, pengambilan keputusan yang aspiratif dan akuntabel, pembelajaran yang berkualitas dan menyenangkan, dan partisipasi masyarakat yang aspiratif. Senada dengan pendapat para ahli di atas, Daryanto berpendapat bahwa: 3Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005, tentang Standar NasionalPendidikan, www.parlemen.ri./E3.pdf. didownload, 5 Maret 2011. 4Gunawan, Ary (2005). Administrasi Sekolah (Administrasi Pendidikan Micro) Jakarta: PT. Rineka Cipta.
3
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
Keadaan lingkungan Sekolah tempat belajar turut mempengaruhi tingkat keberhasilan belajar, kualitas guru, metode mengajarnya, kesesuaian kurikulum dengan kemampuan Siswa, keadaan fasilitas/perlengkapan di lembaga Sekolah, keadaan ruangan, jumlah Siswa per lokal, pelaksanaan aturan/tata tertib di lembaga Sekolah dan sebagainya, semua ini turut mempengaruhi keberhasilan belajar Siswa. 5 Di samping itu, Qanun Aceh Nomor 05 Tahun 2008 tentang Penyeleng‐ garaan Pendidikan, Bab XII, tentang pengelolaan Pendidikan bagian satu, pasal 55, ayat 1 dan 2, dengan bunyinya: (1) Pengelolaan pendi‐dikan kedinasan di bawah kementerian /lembaga vertikal menjadi tanggung jawab instansi yang bersangkutan sesuai ketentuan yang berlaku. (2) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat memberi bantuan pembiayaan dan bantuan sarana prasarana kepada Instansi pengelola pendi‐dikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 6 Kedudukan administrasi pendidikan dalam organisasi pendidikan dapat diartikan sebagai kegiatan memberi bantuan dalam mengelola manusia, dan mengelola harta benda organisasi penyelenggaraan kegiatan‐kengiatan pendidikan ke arah suatu tujuan yang terhimpun dalam organisasi., agar dapat mendorong tercapainya tujuan pembelajaran secara efektif dan efesien yang pada akhirnya berdampak pada pencapaian tujuan sekolah. Perencanaan Sarana dan Prasarana Pendidikan Untuk menghindari kesalahan dalam memahami maksud sarana dan prasarana pendidikan, Mulyasa berpendapat sebagai berikut: sarana pendidikan adalah peralatan dan perlengkapan yang secara langsung dipergunakan dan untuk menunjang proses pendidikan, khususnya dalam proses belajar mengajar, seperti gedung, ruang kelas, meja, kursi serta alat‐alat dan media pengajaran”. Adapaun yang dimaksud prasarana pendidikan atau pengajaran dalam proses pembelajaran, seperti halaman sekolah, kebun sekolah, taman sekolah dan jalan menuju sekolah. Prasarana yang dimanfaatkan secara langsung untuk proses belajar mengajar di sekolah, seperti taman sekolah untuk pembelajaran biologi, halaman sekolah sekaligus sebagai lapangan olah raga dan lain sebagainya. Menyangkut dengan manajemen, lebih lanjut Murniati menyatakan bahwa: Manajemen merupakan kegiatan mengatur berbagai sumber daya, 5 Daryanto, M., Administrasi Pendidikan., (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal. 32 6Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2008, Tentang Penyelenggaraan Pendidikan, Pemerintah Aceh. Banda Aceh
4
______ Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan pada Madrasah/Sekolah (Abdul Manaf) baik manusia maupun material, dalam rangka melakukan berbagai kegiatan suatu organisasi untuk mencapai tujuan secara optimal. 7 Manajemen sarana dan prasarana dengan ruanglingkup pembahasannya yaitu melaku‐kan perencanaan terhadap kebutuhan, pengadaan, penyimpa‐ nan, inventarisasi, pemeliharaan, penghapusan, dan pengawasan, untuk dapat memahami manajemen dengan baik dan benar, sebelumnya diper‐ lukan adanya persamaan persepsi tentang pengertian manajemen sarana dan prasarana, fungsi manajemen sarana dan prasarana, proses manajemen sarana dan prasarana. Rohiat menyatakan bahwa: Manajemen sarana dan prasarana adalah kegiatan yang mengatur untuk mempersiapkan segala peralatan/ material bagi terselenggaranya proses pendidikan di sekolah. Manajemen sarana dan prasarana dibutuhkan untuk membantu kelancaran proses belajar mengajar. Sarana dan prasarana pendidikan adalah semua benda bergerak dan tidak bergerak yang dibutuhkan untuk menunjang kegiatan belajar mengajar, baik secara langsung maupun tidak langsung. Manajemen sarana dan prasarana merupakan keseluruhan proses peren‐canaan pengadaan, pendayagunaan, dan pengawasan sarana dan prasarana yang digunakan agar tujuan pendidikan di sekolah dapat dicapai dengan efektif dan efesien. Kegiatan manajemen sarana dan prasarana meliputi (1) perencanaan kebutuhan, (2) pengadaan, (3) penyimpanan, (4) penginventarisasian, (5) pemeliharaan, dan (6) penghapusan sarana dan prasarana pendidikan. 8 Untuk mengatur dan mempersiapkan segala peralatan dan material yang dibu‐tuhkan sebagai penunjang demi lancarnya proses kegiatan belajar mengajar di sekolah/ madrasah perlu adanya sumber daya manusia yang mempunyai kapasitas tentang itu. Pengalaman yang dimiliki seseorang baik dalam bidang ilmu pengetahuan maupun dalam keahlian (SDM) akan berpengaruh besar dalam melakukan perencanaan kebutuhan, pemanfaatan sarana dan prasarana pendidikan. Ilmu manajemen mengupas tentang usaha‐usaha manusia dalam memanfaat‐ kan semua potensi yang ada secara optimal guna mencapai tujuan yang diharapkan, demikian pula dalam bidang pendidikan pada tingkat madrash Ibtidaiyah guna mencapai tujuan lembaga pendidikan tersebut perlu ditetap‐ kan praktek‐praktek manajemen. 7Murniati, A. R, Manajemen Stratejik Peran Kepala Sekolah dalam Pemberdayaan,
(Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2008), hal. 18. 8Rohiat, Manajemen Sekolah Teori Dasar dan Praktek, (Bandung: 2009), Refika Aditama, 2009), hal. 26.
5
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
Dubrin dalam rasima menegaskan bahwa: “Sumber daya yang dimaksudkan dalam manajemen dapat dibagi ke dalam empat bentuk yaitu: 1. Human Resourse, adalah manusia yang diperlukan untuk menjalankan pekerjaan. 2. Finansial resourse, merupakan uang yang dipergunakan manajer dan organisasi untuk meembiayai pekerjaan guna mencapai tujuan organisasi; 3. Physical Resourse, merupakan barang dan bangunan termasuk bahan baku, ruang kantor, fasilitas produksi, dan peralatan kantor yang dipergunakan untuk beroperasinya suatu organisasi; 4. Informasional resourse, meru‐pakan data yang dipergunakan manajer dan organisasi sebagai dasar pertimbangan untuk menja‐lankan pe‐ kerjaan dalam mencapai tujuan organisasi. 9 Kemampuan manajerial kepala sekolah dalam mengoperasionalkan, menggerakkan sumberdaya manusia secara maksimal dan mendayagunakan sarana dan prasarana secara efektif, kesemuanya itu adalah sebagai faktor penunjang dalam meningkatkan kualitas keluaran pendidikan. Atmodiwirio menyatakan bahwa: “kepala sekolah adalah seorang guru (jabatan fungsional) yang diangkat untuk menduduki jabatan struktural (kepala Sekolah). Ia adalah pejabat yang ditugaskan untuk mengelola sekolah”. 10 Semakin kompleknya kebutuhan dalam menyelenggarakan pendidikan, semakin besar akan kebutuhan sarana dan prasarana pendidikan, semakin majunya pengetahuan maka semakin sistematis penataan dan pendekatan yang diperlukan. Oleh karena itu, kepala sekolah harus menjadikan kebutuhan terhadap penerapan manajemen dan menjalankan fungsi‐ fungsinya dalam bidang pendidikan. Lebih lanjut, Suryobroto berpendapat bahwa: Pada garis besarnya manajemen sarana dan prasarana meliputi lima hal yakni: a) Penentuan kebutuhan, b) Proses Pengadaan, c) pemakaian, d) Pengurus dan pencatatan, e) Pertanggung jawaban. 11 Dalam hal ini Bafadal menawarkan beberapa kriteria perencanaan pengadaan perlengkapan sekolah sebagai berikut: 9
Dubrin dalam Rasima, Manajemen Perpustakaan Akper Aceh Selatan, tidak diterbitkan, hal. 11. 10Atmodiwirio, Soebagio, Manajemen Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Ardanizya Jaya, 2005), hal. 161. 11Suryobroto, B., Manajemen Pendidikan di Sekolah, (Jakarta: PT Rineka Cipta. 2005), hal. 24.
6
______ Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan pada Madrasah/Sekolah (Abdul Manaf) 1. Perencanaan perlengkapan sekolah itu merupakan proses menetapkan dan memikirkan. 2. Objek pikir dalam perencanaan perlengkapan sekolah adalah upaya memenuhi sarana dan prasarana pendidikan yang dibutuhkan sekolah. 3. Tujuan perencanaan perlengkapan sekolah harus memenuhi prinsip‐ prinsip: a. Perencanaan perlengkapan sekolah harus betul‐betul merupakan proses intelektual; b. Perencanaan didasarkan pada analisis kebutuhan melalui studi komprehensif mengenai masyarakat sekolah dan kemungkinan pertumbuhannya serta prediksi populasi sekolah. c. Perencanaan perlengkapan sekolah harus realitis, sesuai dengan kenyataan anggaran. d. Visualisasi hasil perencanaan perlengkapan sekolah harus jelas dan rinci, baik jumlah, jenis, merek, dan harganya. 12 Kriteria diatas perlu ditaati, disamping itu ada beberapa langkah perencanaan, pengadaan, perlengkapan yang perlu di perhatikan. Lebih lanjut Bafadal (2008:29), berpendapat bahwa ada beberapa langkah perencanaan pengadaan perlengkapan pendidikan disekolah, yaitu sebagai berikut: a) Menampung semua usulan pengadaan perlengkapan sekolah yang diajukan setiap unit kerja sekolah dan atau menginvestasikan kekurangan perlengkapan sekolah. b) Menyusun rencana kebutuhan perlengkapan sekolah untuk peiode tertentu, misalnya untuk satu triwulan atau satu tahun ajaran. c) Memadukan rencana kebutuhan yang telah disusun dengan perlengkapan yang telah tersedia sebelumnya. Dalam rangka itu, perencana atau panitia pengadaan mencari informasi tentang perlengkapan yang telah dimiliki oleh sekolah. salah satu cara adalah dengan jalan membaca buku inventaris atau buku induk barang, Berdasarkan panduan tersebut lalu disusun rencana kebutuhan perlengkapan, yaitu membuat daftar semua per‐ lengkapan yang dibutuh‐kan disekolah. d) Memadukan rencana kebutuhan dengan dana atau anggaran sekolah yang telah tersedia. Apabila dana yang tersedia tidak mencukupi untuk pengadaan kebutuhan ini maka perlu dilakukan seleksi terhadap semua kebutuhan perlengkapan yang telah direncanakan, dengan melihat 12Bafadal,
Ibrahim., Manajemen Perlengkapan Sekolah Teori dan Aplikasinya, (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2005), ..., hal. 27..
7
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
urgensi setiap perlengkapan tersebut. semua perlengkapan yang urgen segera didaftar. e) Memadukan rencana (daftar) kebutuhan perlengkapan dengan dana atau anggaran yang ada. Apabila ternyata masih melebihi dari anggaran yang tersedia perlu dilakukan seleksi lagi dengan cara membuat skala peioritas. f) Penetapan rencana pengadaan akhir. Sucipto, Basuki Mukti berpendapat bahwa Tidak dapat kita pisahkan antara Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dengan sarana dan prasarana guna menyukseskan pendidikan di sekolah. Maka hal utama yang harus dilakukan dalam pengelolaan perlengkapan sekolah adalah pengadaan sarana dan prasarana. 13 e. Tujuan Pengadaan Sarana dan Prasarana Aktivitas pertama dalam manajemen sarana prasarana pendidikan adalah pengadaan sarana prasarana pendidikan. Pengadaan perlengkapan pendidi‐ kan biasanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan per‐ kembangan pendidikan di suatu sekolah menggantikan barang‐barang yang rusak, hilang, di hapuskan, atau sebab‐sebab lain yang dapat di per‐tanggung jawabkan sehingga memerlu‐kan pergantian, dan untuk menjaga tingkat persediaan barang setiap tahun dan anggaran mendatang. f. Langkah‐langkah Perencanaan Pengadaan Sarana dan Prasarana Kebutuhan akan sarana dan prasarana di sekolah haruslah direncanakan. Sebagai manajer pendidikan, kepala sekolah haruslah mempunyai proyeksi kebutuhan sarana dan prasarana untuk jangka panjang, jangka menengah, jangka pendek. Proyeksi kebutuhan akan sarana dan prasana sekolah dibuat dengan mempertim‐bangkan dua aspek, ialah kebutuhan aspek pendidikan di satu pihak dan kemampuan sekolah di pihak lain. g. Pemerolehan Sarana dan Prasarana Sekolah Setelah rencana pengadaan sarana dan prasarana dibuat langkah berikut‐ ya yakni pengadaan sarana dan prasarana sesuai dengan kebutuhan sekolah. Pengadaan sarana dan prasrana ini, bisa dilakukan dengan pembelian, meminta sumbangan, pengajuan bantuan ke pemerintah (untuk sekolah‐ sekolah negeri) dan pengajuan kepihak yayasan (untuk sekolah‐sekolah swasta), pengajauan ke komite sekolah (dewan sekolah), tukar menukar dengan sekolah lain dan menyewa. Sucipto, Basuki Mukti, Administrasi Pendidikan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta: Depdikbud, 2004). 13
8
______ Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan pada Madrasah/Sekolah (Abdul Manaf) Tim yang di tunjuk untuk melakukan pengadaan sarana dan prasarana sekolah hendaknya membuat daftar ceklis tentang berbagai jenis sarana dan prasarana yang akan di adakan, semua spesifikasi teknis, standar kualitas akan mudah direalisasi dan dikontrol. Oleh karena itu, agar spesifikasi teknis, standar kualitas dan utilitas sarana dan prasarana yang proses pengadaan‐ nya dengan meminta sumbangan atau bantuan dari peme‐rintah tidak mengalami deviasi, perlu dibuat proposal yang jelas. Sebelum proposal diselesaikan, tim yang ditunjuk oleh sekolah melakukan survey baik terhadap harga, merek dan kualifikasi barang yang dibutuhkan sebagai kajian banding atas berbagai jenis barang dengan merk dan spesi‐ fikasi teknisnya, sehingga jenis barang yang akan diminta dapat diketahui kelebihan dan kekurangannya (standar kualitasnya). Kemam‐puan sekolah sangat menentukan dalam merumuskan kebutuhan‐ nya sendiri (termasuk di dalamnya sarana dan prasarana sekolah), dengan memenuhi aspek utilitas dan memenuhi syarat standar kualitas. Pemanfaatan Sarana dan Prasarana Pendidikan Manajemen Aset Madrash/sekolah merupakan upaya untuk mengelola sarana‐prasarana sekolah agar nilai gunanya tidak merosot. Kata ”pemanfa‐ atan” adalah serangkaian kegiatan terencana dan sistematis yang dilakukan secara rutin maupun berkala, jadi anjuran untuk memanfaatkan sarana dan prasarana pendidikan dimuat dalam peraturan pemerintah Nomor 2 tahun 1993 tentang Sistem Pendidikan Dasar dan Menengah menegaskan bahwa ”guru wajib mengunakan perangkat atau sarana pendidikan seperti laboratorium untuk kegiatan proses belajar mengajar dan dibarengi dengan peningkatan frekwensi penggunaan secara maksimal.” berdasarkan peraturan pemerintah tersebut menggunakankan sarana pendidikan merupa‐kan kewajiban. Bafadal (2008:42) menawarkan bahwa ”ada tiga hal pokok yang perlu dilakukan oleh personil sekolah yang akan memakai perlengkapan disekolah, yaitu: (a) Memahami petunjuk penggunaan per‐lengkapan pendidikan. (b) Menata per‐lengkapan pendidikan. (c) Memelihara, baik secara kontinyu maupun berkala terhadap perlengkapan pendidikan. 14 Beberapa hal berikut adalah sebagai upaya yang harus dilaksanakan dengan baik dan benar agar bangunan tetap terjaga kondisinya, sebagaimana termuat dalam buku IV tentang petunjuk manajemen asset yang dikeluarkan
14Ibid., hal. 42
9
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
dbe (2010) 15 sebagai berikut: Perletakan papan tulis, perletakan perabotan meja, Hindarkan meletakkan sesuatu barang berat dengan cara dibanting atau digeser dengan keras di atas permukaan lantai keramik, membuka, menutup pintu dan jendela, diusahakan tidak membanting atau menarik dengan keras, pembersihan lantai yang kotor, karena sampah bertebaran atau bekas‐bekas noda lengket, tanah/pasir yang terbawa alas kaki, Matikan lampu yang masih menyala setelah selesai jam kegiatan belajar mengajar berakhir, kaca jendela harus selalu dibersihkan pada bagian luar/dalam, Selesai menggunakan KM/WC, jangan lupa menutup/mematikan kran air yang mengalir, siram closet atau lantai KM/WC sampai bersih. Melatih semua personel tersebut mengoperasikan dan merawat perlengkapan pendidikan itu sesuai dengan petunjuk teknis yang telah disediakan. Memotivasi semua personel yang telah dilatihnya itu agar selalu menggunakan perlenggkapan pendidikan berdasarkan petunjuk teknis yang telah disediakan. Melakukan pengawasan dan pembinaan secara terus menerus terhadap kegiatan penggunaan perlengkapan pendidikan oleh personil sekolah. anmen Pemeliharaan Sarana dan Prasarana Pendidikan Aset sekolah, baik gedung, dan lingkungannya merupakan wahana belajar yang perlu diperlakukan sebagai “amanah” yang perlu dikelola dengan baik. Manajemen sekolah sepenuhnya bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan pemeliharaan baik dalam bentuk perumusan, rincian pekerjaan, tugas serta kegiatan adalah berdasarkan pada hirarkis organisasi, orang‐ orang yang memiliki kesanggupan dan kemampuan melaksanakannya sebagai prasyarat bagi terciptanya kerjasama yang harmonis dan optimal untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Kelancaran operasional pemeliharaan dilakukan sesuai dengan prosedur yang sudah ditetapkan dan dibutuhkan organisasi pelaksana dengan ketentuan: 1. Seluruh personil mempunyai tugas, tanggung jawab, dan wewenang yang jelas dan terukur. 2. Seluruh personil merupakan bagian dari manajemen sekolah, komite sekolah, wali murid dan masyarakat sekitarnya yang dianggap memiliki kepedulian dan pengalaman serta memahami permasalahan dibidang bangunan gedung beserta sarana penunjangnya. Pengertian dan Acuan Manajemen aset sarana‐prasarana sekolah, di dounlod pada tanggal 20 Mai 2011. 15dbe.rti.org/publications/index,
10
______ Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan pada Madrasah/Sekolah (Abdul Manaf) 3. Seluruh personil tersebut siap untuk mengabdikan tenaga, waktu dan pikiran demi tujuan dalam menjaga, memelihara dan merawat gedung sekolah. Secara makro manajemen aset ini menyangkut kegiatan inventarisasi atau penyusunan database sarana‐prasarana sekolah, penyusunan program pemeliharaan, perawatan, perbaikan dan pembangunan (kembali) gedung sekolah, perangkat dan lingkungannya. Secara mikro, manajemen aset sekolah di tingkat sekolah sendiri menyangkut upaya pemeliharaan dan perawatan kecil yang dilakukan oleh warga sekolah sendiri (siswa, guru, penjaga, komite sekolah, masyarakat sekitar). Pemeliharaan perlengkapan sekolah, seperti perabot dan peralatan kantor, serta pengajaran dilakukan pemeliharaan secara kontinyu dan berkala agar selalu dalam keadaan siap pakai. Sarana dan Prasarana sekolah yang difokuskan untuk didata dan dilakukan kegiatan pemeliharaannya terutama: ruang kelas, ruang guru, ruang pimpinan, perpustakaan, laboratorium (IPA), ruang UKS, tempat ibadah, jamban (KM/WC), gudang, ruang sirkulasi dan tempat bermain/olah raga. Tujuan kegiatan pemeliharaan Sarana dan Prasarana adalah: (a) Untuk Memelihara prasarana secara berkelanjutan; (b) Adanya jaminan terhadap kualitas prasarana; (c) Adanya keuntungan yang berkelanjutan dari hasil pemanfaatan prasarana. Dengan kata lain, pemeliharaan Sarana‐Prasarana sekolah dan lingkungannya dimaksudkan untuk: (a) Untuk mengoptimalkan pemakaian dan umur bangunan, jika dilihat dari faktor ekonomis bahwa memelihara adalah untuk mencapai efisiensi penggunaan anggaran perawatan. (b) menjamin kesiapan operasional penggunaan gedung dan penunjangnya, sehingga kegiatan yang dilakukan dapat optimal. (c) menjamin keandalan bangunan melalui kegiatan pengecekan secara rutin dan teratur. (d) menjamin keselamatan orang atau siswa yang menggunakan gedung beserta sarana penunjangnya. Beberapa tindakan awal yang perlu dilakukan ialah sebagai berikut: a. Membangkitkan rasa memiliki sekolah kepada seluruh siswa. b. Membina siswa untuk disiplin dengan cara yang efektif dan di terima oleh semua siswa. c. Memupuk rasa tanggung jawab kepada siswa untuk menjaga dan memelihara keutuhan dari sarana dan prasarana gedung sekolah yang ada. Siswa dilibatkan dalam hal kegiatan positif yaitu: (1) Regu piket harian (2) Kegiatan Jumat bersih (3) Lomba kebersihan kelas setahun (atau enam bulan) sekali.
11
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
d. Sarana dan prasarana gedung sekolah disiapkan secara prima sehingga tidak mudah rusak jika digunakan secara benar. e. Memberikan arahan/pengaruh yang dapat menyebabkan guru dan kepala sekolah tergerak untuk melaksanakan tugas dan kegiatannya secara bersama‐bersama melakukan upaya pemeliharaan. f. Melakukan pembinaan dan kerjasama dengan masyarakat di luar sekolah. Kegiatan pemeliharan ini dapat dikatagorikan menurut kurun waktu yaitu: 1. Pemeliharaan sehari‐hari Kegiatan pemeliharaan rutin harian dan mingguan terutama ialah untuk memelihara kebersihan dengan menyapu, melap, mengepel, merapikan dan sebagainya, termasuk juga kegiatan mencatat kalau ada peralatan, sarana prasarana yang menunjukkan tanda‐tanda akan rusak, sehingga dapat mengusulkan tindakan perawatan sejak dini. 2. Pemeliharaan berkala Pada prinsipnya kegiatan pemeliharaan dilakukan agar setiap sarana dan prasarana itu senantiasa siap pakai (ready to use) dalam proses/kegiatan belajar mengajar. Aktivitas, kreatifitas serta masa tanggung jawab adalah kunci optimalisasi daya pakai dan daya guna setiap barang untuk kelancaran pemakaian. Daryanto memberikan gambaran pedoman pelaksanaan administrasi sebagai berikut: 1. Hendaknya kepala sekolah tidak menyembunyikan dirinya secara langsung dengan urusan pelaksanaan administrasi peralatan dan per‐ lengkapan pengajaran. 2. Melakukan sistem pencatatan yang tepat sehingga mudah dikerjakan. 3. Administrasi peralatan dan perlengkapan pengajaran harus senantiasa ditinjau dari segi pelayanan untuk turut memperlancar pelaksanaan pogram pengajaran. 4. Kondisi‐kondisi di atas akan terpenuhi jika administrator mengikut sertakan semua guru dalam perencanaan, seleksi, distribusi dan peng‐ gunaan serta pengawasan peralatan dan perlengkapan pengajaran yang semuanya mendorong mereka untuk memikirkan proses paling tepat dalam melayani kebutuhan mereka. 16
16Daryanto, M, Administrasi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal. 53. 12
______ Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan pada Madrasah/Sekolah (Abdul Manaf) Agar tercapainya tujuan pendidikan sebagaimana yang diharapkan, diperlukan memanfaatkan berbagai sarana dan prasrana sebagai sumber belajar. a. Penyimpanan Sarana dan Prasarana Penyimpanan merupakan kegiatan pengurusan, penyelenggaraan dan pengaturan persediaan sarana dan prasarana dalam gudang, untuk terhindar dari kerusakan sebelum dipakai. Untuk melakukan penyimpanan ada beberapa prinsip administrasi pe‐ nyimpanan peralatan dan perlengkapan sarana dan prasarana pendidikan menurut Kasan adalah: 1. Semua alat dan perlengkapan harus disimpan ditempat‐tempat yang bebas dari faktor perusak, seperti panas, lembab, lapuk dan serangga. 2. Mudah dikerjakan, baik untuk menyimpan maupun yang keluar. 3. Mudah didapat bila sewaktu‐waktu diperlukan. 4. Semua penyimpanan harus diadministrasikan menurut ketentuan bahwa persediaan lama harus lebih dulu dipergunakan. 5. Harus diadakan iventarisasi secara berkala 6. Tanggung jawab untuk pelaksanaan yang tepat dari tiap‐tiap pe‐ nyimpanan harus dirumuskan secara terperinci dan dipahami dengan jelas oleh semua pihak yang berkepentingan. b. Inventarisasi sarana dan prasarana 17 Inventaris dilakukan untuk penyempur‐naan pengurusan dan pengawasan terhadap barang milik negara/swasta, inventaris juga memberikan masukan yang sangat berharga bagi efektivitas pengelolaan sarana dan prasarana. Dengan adanya SARC (school asset report card) sebagai hasil dari inven‐ tarisasi atas asset sarana prasarana sekolah maka tiap ruang kelengkapan sarana prasarananya sudah terdata. Sebaiknya copy dari SARC itu ditempel di tiap ruang, dan kepada peggunanya (siswa, guru) perlu menggunakan data tersebut untuk memotivasi kegiatan pemeliharaan rutin. Untuk itu proses inventarisasi aset dalam pemanfaatan SARC perludilakukan dilakukan sosialisasi kepada semua pemangku kepentingan, terutama untuk para pengguna yaitu siswa dan guru. 1. Pengadministrasi barang inventaris Pengadministrasian barang inventaris dibuat dalam buku‐buku: (a) Buku untuk barang inventaris, mencatat semua barang inventaris milik negara dalam lingkungan sekolah menurut urutan tanggal penerimaan (b) Buku golongan barang inventaris, buku pembantu untuk mencatat barang in‐ 17Kasan, Tholib, Teori dan Aplikasi Administrasi pendidikan, (Jakarta; Studio Press,
2000), hal. 101.
13
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
ventaris menurut golongan barang yang ditentukan. (c) Buku catatan barang inventaris, untuk mencatat semua barang habis pakai seperti kapur tulis, pensil, dll. (d) Laporan triwulan mutasi, barang inventaris daftar untuk mencatat jumlah bertambah dan berkurangnya barang inventaris sebagai akibat dari mutasi yang terjadi dalam triwulan yang bersangkutan. (e) Daftar inventaris, tempat mencatat semua barang inventaris menurut golongan barangnya (f) Klasifikasi dan kode barang inventaris . Tujuan penggolongan barang dengan pengklarifikasian serta pemberian kode atau simbol pada daftar inventaris adalah untuk memudahkan dalam mencari dan menemukan kembali barang tersebut, dan lebih efektif dan efisien dalam mengurus barang‐barang Membuat simbul atau bentuk lambang, sandi, atau kode adalah sebagai pengganti nama atau uraian bagi tiap golongan, kelompok atau jenis barang agar dapat memudahkan dalam mengingat dan mendapatkan kembali barang yang diinginkan. Daftar barang inventarisasi adalah suatu dokumen yang berisi jenis dan jumlah barang baik barang bergerak atau barang tidak bergerak, seperti: (1) Kartu inventarisasi ruangan, (2) Kartu inventarisasi barang, (3) Buku inventrisasi. Semuanya harus ada suatu pengendalian dan pemanfaatan secara efektif dan efesien. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007, Peng‐ apusan Sarana dan Prasarana Pendidikan, ialah pelepasan suatu barang dari pemilikan tanggung jawab pengurusannya oleh pemerintah. Penghapusan barang inventaris sekolah berarti pelepasan barang dari daftar inventaris yang ada disekolah sesuai dengan peraturan dan tata cara yang belaku. 18 Lebih lanjut Gunawan meawarkan Syarat‐syarat penghapusan yaitu (a) Keadaan barang rusak berat dan tidak dapat diperbaiki lagi (b) Biaya perbaikan lebih besar sehingga terjadi pemborosan (c) Kegunaan barang tidak seimbang dengan biaya pemeliharaan (d) Barang tidak sesuai lagi dengan kondisi zaman (e) Penyusutan barang terlalu besar (f) Barang jika disimpan akan rusak (g) Barang sudah dicuri, musnah karena bencana alam Kategori barang, inventaris yang bisa dihapus yaitu: (a) Barang rusak berat, tua atau berlebih (b) Gudang/kantor sekolah rusak berat (c) Barang dicuri atau terbakar. Tata cara penghapusan barang inventaris ditetapkan dalam undang‐ undang perbenda‐haraan Indonesia dan harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam undang‐undang tersebut. 18 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007, Tentang Standar
Pengelolaan Pendidikan Dasar dan Menengah.
14
______ Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan pada Madrasah/Sekolah (Abdul Manaf) Pelaksanaan penghapusan terlebih dahulu harus ditinjau layak atau tidak untuk dipakai, kegiatan tersebut dilakukan oleh panitia yang bertugas untuk meneliti, menilai barang‐barang yang dihapuskan. c. Pengawasan Sarana dan Prasarana Pendidikan, perlu mendapat pengawasan yang ketat, pemeriksaan dan penilaian terhadap pelaksanaan pengololaan sarana dan prasarana pendidikan sekolah untuk menghindari penyimpangan, penggelapan atau penyalahgunaan. Pengawasan harus dilakukan secara objektif, pengawasan dilakukan atas atas dasar bukti‐bukti yang ada. Apabila dari hasil pengawasan ternyata terdapat kekurangan‐kekurangan, maka kepala sekolah wajib melakukan tindakan perbaikan dan penyelesaian. d. Pengorganisasian kegiatan pemeliharaan sarana dan prasarana pen‐ idikan Beberapa pilihan untuk penanganan pemeliharaan gedung dan sarana penunjang secara efektif dapat dilakukan melalui: (a) Keterlibatan guru dan siswa, (b) Kegiatan gotong royong/swadaya masyarakat/komite sekolah/ wali murid.(c) Pekerja harian lepas/ musiman/ tenaga ahli yang relevan. (d) Pekerja harian tetap, antara lain: penjaga sekolah Dengan melibatkan unsur‐unsur dari manajemen sekolah, siswa komite sekolah, wali murid dan masyarakat adalah bertujuan untuk menciptakan kesadaran dalam mensikapi keadaan disekitarnya khususnya berkaitan dengan kondisi sarana prasarana yang dipergunakan untuk kegiatan rutinitas belajar mengajar. (1) Keterlibatan guru dan murid untuk mem‐ angkitkan dan menanamkan rasa memiliki sekolah kepada murid, Membina murid untuk belajar disiplin dengan cara yang efektif dan di terima oleh semua murid, Memupuk rasa tanggung jawab, mencerminkan budaya kepada murid untuk menjaga dan memelihara keutuhan dan kebersihan dari lingkungan dan gedung sekolah (2) Kegiatan gotong royong/swadaya masyarakat/komite sekolah/wali murid untuk Menanamkan rasa memiliki sekolah kepada masyarakat, bahwa gedung sekolah adalah milik masyarakat dan harus dijaga dan dirawat sendiri oleh masyarakat. Mengumpulkan dan mengelola dana pemeliharaan, Mengumpulkan, mengelola dan menjaga peralatan dan perlengkapan pemeliharaan, Mem‐ erikan pendidikan dan pemahaman kepada masyarakat tentang tata cara pemeliharaan gedung sekolah secara baik dan benar serta dapat me‐ aksanakan pemeliharaan secara kontinyu atau insidentil apabila diperlukan
15
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
DAFTAR KEPUSTAKAAN Atmodiwirio, Soebagio, Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: Ardanizya Jaya, 2005. Bafadal, Ibrahim, Manajemen perlengkapan sekolah Teori dan Aplikasinya, Jakarta : PT Bumi Aksara, 2008. Daryanto, M. , Administrasi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2005. dbe.rti.org/publications/index, Pengertian dan Acuan Manajemen aset sarana prasarana sekolah, di dounlod pada tanggal 20 Mai 2011. Gunawan, Ary, Administrasi Sekolah (Administrasi Pendidikan Micro), Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005. ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐(2002). Dasardasar Administrasi Sarana Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. http//Imronfauzi.wordpress.com. www.p2kp.org/pustaka/file/infra/buku Administrasi Sarana Dan Prasarana Pendidikan, didounlod pada tanggal 20 Mai 2011 Kasan, Tholib Teori dan Aplikasi Administrasi pendidikan, Jakarta: Studio Press. Murniati, A. R, Manajemen Stratejik Peran Kepala Sekolah dalam Pemberdayaan, Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2008. Mulyasa, E. Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2007. Moleong, J. Lexi., Metodelogi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rodas Karya, 2008. Rohiat, Manajemen Sekolah teori dasar dan Praktek, Bandung: Refika Aditama, 2009. 16
______ Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan pada Madrasah/Sekolah (Abdul Manaf) Rasima, Manajemen Perpustakaan Akper Aceh Selatan, tidak diterbitkan, 2007. Sagala, Syaiful, Memahami Organisasi Pendidikan, Bandung. Cv. Alfabeta, edisi Revisi, 2009. Sucipto, Basuki Mukti, Administrasi Pendidikan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta: Depdikbud, 2004. Suryobroto, B., Manajemen Pendidikan di Sekolah, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005. Undang‐Undang Nomor 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas. Peraturan pemerintah Nomor 2 tahun 2003, Tentang sistem Pendidikan Dasar dan Menengah, www.parlemen.ri./E3.pdf. didownload, 15 April 2011. Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan, www.parlemen.ri./E3.pdf. didownload, 5 Maret 2011. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 24, Tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana Pendidikan. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007, Tentang Standar Pengelolaan Pendidikan Dasar dan Menengah. Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2008, Tentang Penyelenggaraan Pendidikan, Pemerintah Aceh. Banda Aceh. www.sttrcepu.ac.id/p2m/download/E3.pdf. Panduan P2M Standar Sarana Dan Prasarana, didownload, 23 Mai 2011.
17
TAFSIR PENDIDIK DALAM PEMIKIRAN M. QURAISH SHIHAB Hadini STIT PTI Al‐Hilal Sigli Jl. LIngkar Keuniree Sigli Provinsi Aceh Email:
[email protected] ABSTRACT Aspects of educators as one of the key elements of the system of Islamic education is an element of the role is a vital position. This is because of its role as the spearhead that determine the direction of future educators. Therefore, an understanding of history educators in the perspective of Islamic education is a necessity. Therefore, education is done with no students will understand the concept of object can be fatal. Of course, it must be grounded in an understanding of the Qur'an and the Hadith the prophet, because he is the source of absolute truth. Meanwhile, in the understanding of course it can not be separated from the study and interpretation of the excavation by the scholars. In Indonesia, the presence of commentators such as Professor. Dr. M. Quraish Shihab, MA deemed appropriate to be used as a reference in understanding the concept of education based on the Quran. In his mind, found some ideas on the concept of educators, such as the concept of the nature of the task and the main role of teachers, educators principles based on Islam, and the implications of the concept and its translation into practice educators educate. Kata Kunci: Tafsir, Subjek Didik, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA Pendahuluan Pembicaraan guru sebagai salah satu profesi sebenarnya bukanlah merupakan pembicaraan baru. Ia telah berjalan dalam waktu yang telah lama, bahkan sejak masa mesir kuno sudah terlihat bagaimana guru memainkan peranan penting dalam mewarnai system masyarakatnya, di mana guru‐guru yang merupakan filosof menjadi pedoman bagi pemimpin Negara dalam menjalankan tanggung jawab kenegaraannya. Dalam sejarah kegemilangan Yunani, tokoh‐tokoh seperti Socrates, Plato dan Aristoteles adalah guru‐guru yang mempengaruhi sejarah perjalanan Yunani. Aristoteles misalnya, adalah guru dari Iskandar Zulkarnain (356‐423 18
______ Tafsir Pendidik dalam Pemikiran M. Quraish Shihab (Hadini) SM) yang menjadi Kaisar Yunani, oleh karena itulah Aristoteles disebut sebagai guru pertama, sedangkan Al‐Farabi disebut sebagai guru kedua, karena ia paling mengetahui tentang falsafah Aristoteles. 1 Dalam perspektif pendidikan Islam, Pendidik merupakan salah satu pilar yang terdapat dalam system pendidikannya. Posisi guru dalam system pendidikan berada pada posisi yang vital, mengingat begitu besarnya peran dan jasa guru bagi perkembangan peradaban manusia, sehingga Islam memberikan penghormatan dan penghargaan yang tinggi kepada guru. Adanya penghormatan yang tinggi yang diberikan Islam terhadap guru terlihat dalam sebuah syair yang sudah popular dalam kalangan pendidikan Islam, syair tersebut berbunyisebagai berikut: “berdirilah kamu bagi seorang guru dan hormatilah dia, hampir saja kedudukan guru itu mendekati peran rasul.” Peran pendidik yang penting ini sebenarnya dikarenakan oleh peran‐ nya sebagai ujung tombak yang menentukan arah jarum masa depan anak. Mengingat peran sentral pendidik tersebut, maka setiap pendidik harus memahami peranan dan tanggung jawabnya secara sungguh‐sungguh, sebab jika tidak, masa depan anak akan bisa berubah menjadi suram, karenanya pemahaman tentang tugas dan peran serta seluk beluk yang berkaitan dengan keguruan mutlak harus difahami, Dalam rangka memahami tugas dan peran pendidik tersebut, tentu saja pemahaman tersebut harus berusaha memahaminya dengan merujuk kepada sumber yang autentik. Sementara berbicara mengenai sumber kebenaran yang autentik tentu saja ia adalah Al‐Qur’an dan Hadis nabi. Persoalannya adalah, bahwa konsep guru atau pendidik yang terkandung dalam Al‐Qur’an dan Hadis pada dasarnya tidaklah bisa dipahami begitu saja secara mentah‐mentah. Ia hanya akan bisa dipahami melalui beberapa perangkat ilmu yang harus dimiliki. Sementara yang memiliki perangkat ilmu tersebut tentu saja ahli tafsir. Dalam mengkaji konsep subjek didik, kiranya langkah yang tepat jika mufassir semacam Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA dijadikan sebagai rujukannya, mengingat ia merupakan salah satu mufassir tanah air yang kompeten yang ada untuk saat ini. Persoalan yang menjadi kajian dalam tulisan ini adalah melihat apa‐ saja pemikiran‐pemikiran Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA mengenai objek pendidik. bagaimana bentuk‐bentuk pemikirannya menyangkut Tugas pendidik, bagaimana relevansinya dengan pandangan para pakar pendidikan 1Lihat, Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologis dan Pendidikan, cet III, (Jakarta: Al Husna, 2002), hal. 228.
19
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
saat ini, dan yang lebih penting lagi, bagaimana implikasi konsep Pendidik dalam praktek pendidikan. Biografi Singkat Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, pada 16 Februari 1944. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang, ia melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang, sambil nyantri di pondok pesantren Darul Hadits Al Faqihiyyah. Pada tahun 1958 ia berangkat ke Kairo, Mesir, dan diterima di kelas II Tsanawiyah Al‐Azhar. Pada tahun 1967 ia meraih gelar Lc pada Fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir dan Hadis Universitas Al‐Azhar. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama, dan tahun 1969 meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang tafsir Al‐Qur’an dengan tesis berjudul AlI’jaz AlTasyri’iy li AlQur’an Al Karim. Setelah berhasil meraih gelar MA, ia sempat kembali ke tanah air. Ia sempat menduduki beberapa jabatan penting seperti pembantu Rektor bidang Akademik dan kordinator Kopertais, ia juga sempat melakukan berbagai kegiatan penelitian. Selanjutnya pada tahun 1980, Quraish Shihab kembali ke Kairo dan kembali melanjutkan pendidikannya di almamaternya yang lama, Universitas Al‐Azhar. Pada 1982, dengan Disertasi berjudul Nazhm AlDurar li Al Biqa’iy, Tahqiq wa Dirasah, ia berhasil meraih gelar Doktor dalam Ilmu‐ilmu Al‐Qur’an dengan yudisium summa cum laude disertai penghargaan tingkat I (mumtaz ma’a martabat alsyaraf al‘ula). 2 Sekembalinya ke Indonesia, sejak 1984, Quraish Shihab mulai sibuk dengan berbagai jabatan‐jabatan penting, baik di Kampus, di Kemasyarakatan dan di lembaga kenegaraan. Beberapa jabatan penting yang pernah ia jabat di Perguruan Tinggi adalah sebagai Rektor, sementara di lembaga kenegaraan ia pernah diangkat menjadi Menteri Agama. Adapun di lemabaga‐lembaga kemasyarakatan ia pernah menjadi ketua pusat MUI dan pengurus ICMI. Selain itu, ia tercatat sebagai penulis yang produktif dan menjadi pembicara di berbagai stasiun televisi. Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA tergolong seorang mufassir yang komplit pada saat ini. Oleh karenanya, Howard M Federspiel 3 ketika mengkaji tokoh‐tokoh tafsir di Indonesia yang dimulai dari Mahmud Yunus hingga masa M. Quraish Shihab mengatakan bahwa Quraish merupakan tokoh yang paling terdidik dari hampir seluruh pakar tafsir sebelumnya. 2Lihat, M. Quraish Shihab, Membumikan AlQur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, cet XVIII, (Bandung: Mizan, 1998)
3Lihat, Howard M Federspield, Kajian AlQur’an di Indonesia: Sejak Mahmud Yunus
Hingga M. Quraish Shihab, cet I, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 295.
20
______ Tafsir Pendidik dalam Pemikiran M. Quraish Shihab (Hadini) Tafsir Guru Menurut M. Quraish Shihab Dalam berbgai buku yang di tulis oleh M. Quraish Shihab, terdapat beberapa pandangan mengenai aspek penting yang berkaitan dengan guru atau pendidik yang didasari dari Al‐Qur’an, Hadits nabi dan pemikiran pakar‐ pakar Islam. Beberapa aspek penting mengenai guru dalam pandangan Quraish yaitu mengenai tugas dan peranan pendidik, Objek pendidik dan prinsip‐prinsip dalam mendidik 1. Tugas‐Tugas Pendidik/Guru. Menurut M. Quraish Shihab, guru merupakan orang yang bertugas untuk melanjutkan tugas nabi Muhammad yang bertindak sebagai orang yang “menyucikan” dan “mengajarkan” manusia. Ini dimaksudkan agar manusia mampu menjadi hamba dan khalifah dalam rangka memakmurkan bumi sesuai dengan konsep yang ditetapkan oleh yang memberi tugas, yang dalam hal ini adalah Allah. Menurut Quraish, yang mengutip pendapat Muhammad Qutb, kata “menyucikan” berbeda dengan kata “mengajarkan”. “menyucikan dapat diidentikkan dengan mendidik, sedangkan “mengajar “ tidak lain kecuali sekedar mengisi benak anak didik dengan pengetahuan yang berkenaan dengan fisika dan metafisik. 4 Dari pemikiran ini, mendidik tentu lebih luas dan lebih sempurna daripada mengajar. Mendidik merupakan aktifitas untuk mendewasakan dan mengembangkan seluruh potensi manusia secara totalitas, sementara “mengajar” hanya sebatas memenuhi dan mengisi otak anak didik dengan ilmu pengetahuan. Dalam prakteknya, aktifitas mendidik memposisikan anak didik sebagai subjek. Sehingga dalam pelaksanaannya manusia diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan nilai‐nilai dan moralitas serta menganggap tugasnya sebagai pendidik merupakan bentuk dari ibadah yang transenden. Apabila diperhatikan, tanpaknya gagasan Quraish sesuai dengan prinsip‐prinsip yang ada pada ESQ (Emotional Spiritual Quotient). Ary Ginanjar Agustian mengatakan bahwa ESQ yang ditemukan oleh Daniel Golleman, Danah Djohar dan Ian Marshal tersebut merupakan kemampuan untuk memberi makna ibadah dalam setiap perilaku dan kegiatan melalui langkah‐langkah dan pemikiran fithrah, menuju manusia seutuhnya (hanif)
4Lihat,Q.S An‐Namlu: 2
21
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
dan pola pemikiran integralistik (tawhidi). 5 ESQ merupakan gabungan antara EQ dan SQ. EQ adalah kecerdasan yang berhubungan antar sesame manusia secara horizontal, sedangkan SQ adalah kecerdasan yang berhubungan dengan Tuhan secara vertikal. Semantara itu SQ yang dimaksudkan di sini berbeda dengan SQ menurut Danah Djohar dan Ian Marshal, sebab SQ yang mereka kembangkan hanya merupakan proses pemaknaan melalui God Spoot, yang lepas dari agama yang bersifat transenden, sementara itu, SQ menurut perspektif Islam adalah proses pemaknaan yang dilandasi nilai‐nilai spiritualitas agama. ESQ merupakan kecerdasan yang lebih penting dari IQ, IQ yang tinggi belum bisa menjamin seseorang hidup sukses, Ia perlu dibantu oleh kecerdasan ESQ. Jika dicontohkan, maka guru yang mempunyai ESQ adalah guru yang mengajar dengan motivasi untuk membantu mengembangkan potensi orang lain, sehingga orang lain bisa meraih kebahagiaan dan terhindar dari kebodohan, sekalipun secara finansial pekerjaan sebagai guru kurang prospektif. Ia mampu memaknai pekerjaannya sebagai ibadah, demi kepentingan ummat dan kecintaannya kepada Allah, ia mau memahami problema‐problema lingkungan sekolah yang tidak memungkinkan ia meraih fianansial yang lebih besar. Ia berprinsip bekerja demi Allah, bukan karena faktor luar lainnya. Jadi, dalam hal ini setiap guru harus selalu melatih dan mengembangkan ESQ pada dirinya. Sementara itu aktivitas “mengajar” dalam prakteknya memposisikan murid sebagai objek. 6 Hal ini sebenarnya merupakan konsep tabularasa yang dikembangkan oleh John Locke yang mengibaratkan murid seperti kertas putih yang dapat ditulis sekehendak hati guru, di mana murid hanya 5Ary
Ginanjar, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ Emotional, Spiritual Quotient: Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, cet XIII, (Jakarta: Arga Wijaya Persada, 2003), hal. 57 6Salah
satu kelemahan guru dalam pembelajaran pada umumnya adalah adanya guru yang menganggap anak sebagai objek, sehingga antara guru dan anak terdapat jarak yang renggang. Guru yang baik seharusnya menjadikan anak sebagai subjek yang sama dengan dia. Gejala guru yang menganggap anak sebagai objek tampaknya di Indonesia telah menjadi fenomena yang cukup menggejala. Hal ini sebagaimana diakui oleh Nurhadi seorang dosen Pascasarjana UNM. Dalam sebuah tulisannya ia mengatakan: “proses belajar mengajar di Indonesia menempatkan anak didik sebagai objek, yang dominan justru guru, anak dituntut untuk menghafal mata pelajaran yang begitu banyak, alasannya yaitu kurikulum…dijadikan sebagai tujuan, bukan sebagai alat… Lihat, Nurhadi, “Agar Pendidikan Tidak Menjadi Mimpi Buruk” Harian Republika,edisi Sabtu, 3 Januari 2004.
22
______ Tafsir Pendidik dalam Pemikiran M. Quraish Shihab (Hadini) dianggap sebagai barang yang pasif. Konsep seperti ini jelas‐jelas dapat mengurangi peran vital pendidikan. Apabila dicermati, pendapat Quraish di atas tampaknya secara tidak langsung merupakan kritikan kepada guru atau pendidik sekarang ini yang pada umumnya cenderung mengorientasikan tugasnya sebagai “pengajar” bukan sebagai “pendidik”. 2. Pemikiran tentang Objek Guru Dari segi objek pendidik atau guru, menurut Quraish Shihab ia pada dasarnya mempunyai cakupan yang luas. Pendidik menurutnya meliputi orang tua, sekolah dan masyarakat. Jadi, ia tidak hanya guru sebagaimana yang difahami kebanyakan orang. Quraish bahkan menyayangkan kebanyakan orang yang menganggap bahwa pendidik itu hanya tugas guru di sekolah, sehingga terkadang membuat sebahagian orang tua, bahkan masyarakat melepaskan tanggung jawabnya sebagai orang yang membunyai tugas sebagai pendidik. Quraish berpendapat bahwa pendidik yang paling utama adalah keluarga. Sedangkan guru di sekolah dan masyarakat hanya merupakan perpanjang tanganan orang tua untuk mendidik anaknya. Quraish bahkan mengatakan bahwa sekalipun sekolah dapat melaksanakan tugas pendidikan dengan baik, ia tidak akan mampu mendewasakan manusia, lebih‐lebih untuk mencapai tujuan pendidikan. 7 Jadi guru pada dasarnya adalah semua manusia. Adapun pembagian istilah tugas pendidikan orang tua, guru dan masyarakat hanya merupakan pengklasifikasian saja, namun yang paling berperan di antara semuanya adalah keluarga. Begitu besarnya peran orang tua sebagai pendidik utama bagi manusia, sehingga banyak tulisan Quraish yang berbicara menyangkut guru ditekankan pada peran orang tua. Sementara itu lebih jauh Quraish merincikan bahwa tokoh yang paling penting memainkan peranan sebagai guru adalah ibu. Indikator peran sentral ibu dianalisis oleh Quraish melalui pendekatan semantik dengan menyorot kata ibu yang dalam bahasa Arab disebut dengan umm. Menurur Quraish, dalam al‐Qur’an ibu dinamai dengan umm, yang dari akar kata yang sama dibentuk kata imam (pemimpin) dan ummat,di mana kesemua kata tersebut bermuara pada makna “yang dituju” atau “yang diteladani”. Umm atau ibu, dengan melalui perhatiannya kepada anak serta keteladanannya, serta perhatian anak kepadanya, dapat 7M. Quraish, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, cet. XV, (Bandung: Mizan, 1999), hal. 273
23
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
menciptakan pemimpin‐pemimpin, bahkan membina ummat. Sebaliknya, jika yang melahirkan tidak berfungsi sebagai umm, maka ummat akan hancur dan pemimpin yang diteladani tidak akan muncul 8 . Analisis semantic yang dilakukan Quraish tampaknya mendukung sebuah ungkapan Al‐Qur’an yang menyatakan bahwa kewajiban anak untuk berbakti pada orang tua, khususnya ibu diletakkan pada urutan kedua setelah kewajiban taat kepada Allah. Penghormatan ibu yang melebihi penghormatan terhadap bapak, oleh sebagian orang dikarenakan penderitaan yang dialami ibu dalam pembinaan manusia yang begitu berat. Namun, menurut Quraish, hal itu bukan merupakan alasan utama mengapa ibu mendapat posisi yang lebih dari bapak untuk mendapat penghormatan, akan tetapi ia terletak pada beban ibu yang bertugas untuk menciptakan pemimpin ummat. Fungsi inilah yang membuat ibu lebih utama. Untuk mendukung fungsi ini, menurut Quraish, Allah memberikan potensi yang berbeda dengan bapak, baik dari struktur biologis maupun struktur psikologis. Salah satu potensi psikologis dari ibu adalah sikap keibuannya, dengan potensi ini wanita selalu mendambakan seorang anak untuk menyalurkan rasa keibuannya. Kemudian, Quraish yang menyitir pendapat psikolog menyatakan bahwa, bagi anak, khususnya balita sangat membutuhkan peran ibu. 9 Tentunya dengan adanya potensi keibuan pada setiap wanita tersebut, maka hasrat anak akan tersalurkan. Namun apabila anak kehilangan sifat keibuan berupa kasih sayang, maka anak bisa akan mengalami ketimpangan kepribadian, sebab, anak bagaimanapun kecilnya ia mempunyai jiwa, perasaan dan kepribadian. Meskipun ibu mempunyai peranan yang besar di dalam keluarga, Quraish berpendapat bahwa hal tersebut tidak mengharuskan seorang ibu terus menerus di dalam rumah dan tidak mengikuti perkembangan zaman. Pada saat yang sama, tidak berarti bahwa mereka harus menelusuri jalan yang ditempuh oleh bapak. Untuk mendukung argumen tersebut, Quraish mengutip perkataan seorang pemikir dari Perancis Maurice Bardeche yang mengatakan: “ janganlah hendaknya kaum ibu meniru kaum bapak, karena jika demikian, akan lahir jenis ketiga dari manusia”. 10 8Ibid, hal. 258 9M.
Quraish Shihab, Wawasan AlQur’an: Tafsir Maudhu’I Atas Pelbagai Persoalan Ummat, cet II, (Bandung: Mizan: 1996), hal.313 10M. Quraish, Lentera…, hal. 259
24
______ Tafsir Pendidik dalam Pemikiran M. Quraish Shihab (Hadini) Di sini Nampak bahwa dalam memandang wanita, Quraish terlihat menempatkannya secara proporsional dan mempunyai pandangan yang moderat. Ia tidak cenderung pada satu sisi tugas secara ekstrim, meski mengakui peran penting ibu di rumah, namun tidak berarti bahwa peran tersebut menghambat tugas penting lain di luar keluarga. Sikap moderat Quraish juga tampak ketika ia merekomendasikan pemikiran tokoh barat kontemporer dalam rangka memperjelas dan memperkuat pandangannya terhadap pendidikan Islam. 3. Pemahaman Prinsip‐prisip Pendidikan Islami bagi Pendidik. Secara aplikatif, terutama dalam pelaksanaan pendidikan di dalam keluarga, Quraish menekankan bahwa orang tua harus dapat menyelami dimensi psikologis anak, yaitu dengan cara bersikap sesuai dengan perkembangan bakat, minat dan kecenderungannya. Dalam hal ini Quraish mengecam orang tua yang memperlakukan anak dengan tidak tidak memperhatikan perkembangan aspek psikologik mereka, dalam sebuah ungkapannya ia mengatakan: “…ada orang tua yang atas nama cinta mengarahkan anaknya ntuk menjadi seperti dirinya; membebaninya dengan beban yang tidak ter‐ jangkau oleh dunia anak‐anak, bahkan bertentangan dengan bakat dan kecenderungannya. Dengan bangga seorang ayah dan ibu memamer‐ kan kemampuan anak yang saat itu berada bukan dalam dunianya dan bukan pada usianya. Sang anak ketika itu sedang dibunuh oleh orang tuanya sendiri. Bahkan ada orang tua yang memperlakukan anaknya yang dewasa sekalipun seperti itu mereka memaksakan pilihannya; sekolah, jodoh, bahkan memaksa menceraikan istri yang dicintai sang anak. Anak bukanlah kelanjutan sifat, profesi atau kepribadian ibu bapaknya. Mencintainya adalah menumbuh kembangkan bakat dan kepribadiannya, karena cinta adalah hubungan mesra antara dua pribadi dengan dua ‘aku’ yang berbeda”. 11 Menurut Quraish, anak pada dasarnya mempunyai potensi dan kecenderungan berupa bakat, minat dan lainnya yang beragam. Maka seorang guru yang arif tidaklah memaksakan kehendaknya sendiri yang berbeda dengan potensi dan kecenderungan anaknya, guru yang arif adalah guru yang memahami potensi dan kecenderungan anak ddiknya, kemudian mengarahkan dan membina potensi yang ada tersebut. 11Ibid, hal. 263.
25
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
Selanjutnya, kecaman Quraish di atas didukung oleh sebuah hadits yang dikutipnya yang menceritakan bahwa seorang yang bernama Umm al Fadhl menceritakan pengalamannnya. Di mana ia pernah menimang seorang bayi, rasul kemudian mengambil bayi itu dan menggendongnya, tiba‐tiba bayi itu terkencing dan membasahi pakaian rasul. Umm al Fadhl kemudian merengut bayi tersebut dengan kasar dari gendongan rasul, rasulpun segera menegurnya dengan berkata “pakaian yang kotor ini dapat dibersihkan dengan air, tapi apa yang dapat menghilangkan kekeruhan jiwa sang anak akibat rengutanmu yang kasar?.” 12 Dalam menjelaskan hadits ini, Quraish menjelaskan bahwa sikap tersebut menunjukkan rasul tidak ingin rasa rendah diri atau berdosa menyentuh jiwa anak tersebut terbawa hingga ia dewasa. Ungkapan Quraish di atas jelas sekali menegaskan akan pentingnya orang tua memahami psikologi anak sehingga mereka dapat memperlakukan dan menyikapi anak dengan tepat. Sebagai orang tua, ia harus dapat menyelami sisi terdalam dari anak, ia tidak dibenarkan untuk melihat anak menurut perspektif dan kacamatanya sendiri. Di sini juga tanpak bahwa Quraish menekankan perlunya orang tua untuk memperhatikan azas psikologis dalam melaksanakan pendidikan terhadap anak. Sebab, apabila salah, maka perkembangan anak akan dapat berakibat fatal di kemudian hari. Adanya seorang pendidik yang dapat menyelami sisi‐sisi terdalam dari anak didiknya di samping dirinya sendiri ( Quantum teaching), ini sesuai dengan prinsip‐prinsip yang ada dalam konsep EQ (Emotional Quotient) yang‐akhir‐akhir ini semakain ramai diperbincangkan, di mana EQ merupakan sebuah potensi dari manusia yang harus dikembangkan. Hal ini sesuai dengan pendapat para ilmuan yang dikutip Quraish yang mengatakan bahwa 90% dari rasa rendah diri yang diderita orang dewasa, disebabkan oleh faktor‐faktor perlakuan yang dialami sebelum dewasa. 13 Atas dasar itu Quraish menawarkan beberapa kiat yang harus dilakukan dalam mendidik anak. Di antaranya seperti tidak membedakan perlakuan anak dengan orang dewsa, misalnya memberi salam kepada anak. Menurut Quraish, member salam kepada anak setidaknya dapat member dua dampak positif pada perkembangan jiwanya, yaitu menanamkan rasa rendah hati dan menanamkan rasa percaya diri akibat penghormatan yang diperolehnya. 12Ibid, hal. 263. 13Ibid, hal. 263.
26
______ Tafsir Pendidik dalam Pemikiran M. Quraish Shihab (Hadini) Kiat lainnya, yaitu penyesuaian pembebanan. Quraish menganjurkan untuk mengamalkan hadits nabi yang mengatakan bahwa untuk membantu perkembangan anak, seorang pendidik harus menerima usahanya sekalipun kecil, tidak membebaninya dengan beban yang berat dan tidak pula memakinya dengan melukai hatinya. 14 Kebenaran pernyataan nabi di atas tanpaknya sesuai dengan sebuah syair dari Dorothy Law Nolte yang mendukung pernyataan tersebut. Dalam syairnya ia mengatakan sebagai berikut: Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri Jika anak dibesarkan dengan hinaan, ia belajar menyesali diri Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belaja percaya diri Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai Jika anak dibesarkan dengan sebaikbaiknya perlakuan, ia belajar keadilan Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya Jika anak dibesarkan dengan kasih saying dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan. 15 Dari penjelasan Quraish di atas, tampak bahwa ia menekankan aspek motivasi sebagai aspek eksternal yang dapat menentukan keberhasilan pendidikannya, bukan dengan merendahkan kepribadiannya, karena akan berakibat buruk bagi perkembangan jiwa anak. Selain itu Quraish juga tampaknya ingin mengatakan bahwa pendidik harus dapat memperlakukan anak didiknya sesuai dengan tingkat dan kecenderungan yang dimiliki si anak, artinya, Quraish menekankan agar setiap pendidik perlu memper‐ hatikan prinsip individual defferences. Menarik pula mengomentari hadis yang dikutip oleh Quraish di atas, di mana ia berisikan nilai‐nilai pendidikan yang telah jauh mendahului teori psikologi pendidikan modern. Ajaran menerima usaha anak walaupun kecil misalnya, ini akan dapat meningkatkan kepercayaan diri si anak terhadap kemampuannya serta dapat menyalurkan kebutuhannya untuk diakui oleh orang lain, atau dalam teori kebutuhan Maslow dinamakan dengan esteem of 14Ibid, hal. 264. 15L ihat, Gordon Dryden dan Jeanette Vos, The Learning Revolution: To Change the Way the Word Learn, Publishing by the Learning Web, USA, 1999, p 22
27
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
needs, kebutuhan untuk diakui dan kebutuhan terhadap penghargaan dari orang lain atau esteem of needs merupakan hirarki keempat dari lima tingkat kebutuhan manusia dari teori kebutuhan menurut Abraham H Maslow. Adapun lima hirarki dari teori kebutuhan Maslow tersebut yaitu, pertama; basic need, atau kebutuhan fisiologis, kedua, safety of needs atau kebutuhan rasa aman, ketiga; belonging of love needs atau kebutuhan untuk mencintai dan dicintai, keempat; esteem of needs atau kebutuhan untuk dihargai orang lain, dan kelima; self of actualization. 16 . Sehingga anak senantiasa mempunyai kekuatan untuk menyelesaikan tugas lainnya. Dengan memaafkan kekeliruannya, ini tentunya akan membuat anak untuk tidak menjadi rendah diri, tetapi terdorong untuk memperbaiki kekeliruannya. Sementara dengan tidak membebani anak dengan tugas yang berat, potensi anak akan dapat berkembang dengan normal. Di sini pendidik tentunya harus mengenali latar belakang, kemampuan dan kecenderungan anak yang berbeda‐beda, dengan kata lain pendidik harus memahami prinsip individual defferences. Selanjutnya dengan tidak memaki anak, tentunya ia tidak akan mengalami rasa rendah diri yang dapat menyebabkan potensi yang dimilikinya menjadi terhambat. 17 Meski penjelasan tentang guru atau pendidik yang difokuskan Quraish pada aspek keluarga, namun bukan berarti bahwa Quraish mengabaikan tugas guru atau pendidik di sekolah atau masyarakat. Quraish agaknya ingin menekankan bahwa selain peran keluarga begitu penting, hendaknya prinsip‐prinsip pendidik dalam keluarga juga hendaknya dapat di‐ transformasikan bagi guru yang ada di sekolah atau di masyarakat. Ini artinya bahwa guru dan masyarakat harus dapat memposisikan dirinya sebagai orang tua, atau ayah dan ibu bagi orang lain, sehingga setiap manusia 16Lihat,
Sarlito W Sarwono, Berkenalan dengan Aliranaliran dan TokohTokoh Psikologi, cet III, (Jakarta: Bulan Bintang, 2000), hal 169‐171 17Jalaluddin Rakhmat yang mengutip dari buku Bobby DePotter menyebut bahwa pada 1982, Jack Canfield seorang ahli tentang self esteem (harga diri), melaporkan hasil penelitian, di mana seratus anak diserahkan kepada seorang peneliti selama satu hari. Peneliti bertugas mencatat berapa banyak komentar negatif dan positif yang diterima anak selama satu hari. Canfield menemukan bahwa rata‐rata setiap anak menerima 460 komentar negatif atau kritik dan hanya 75 komentar positif atau suportif, itu berarti enam kali lebih banyak komentar negatif daripada positif. Untuk umpan balik negatif yang terus menerus ini sangat mematikan. Setelah beberapa tahun di sekolah, terjadilah learning shutdown (kebuntuan belajar). Anak menghambat pengalaman belajarnya secara paksa. Pada akhir sekolah dasar kata belajar dapat membuat banyak siswa tegang dan takut.Lihat, Jalaluddin Rakhmat, SQ for Qids: Mengembangakan Kecerdasan Spiritual Anak Sejak Dini, (Bandung: Mizan, 2007), hal. 15
28
______ Tafsir Pendidik dalam Pemikiran M. Quraish Shihab (Hadini) mempunyai rasa tanggung jawab untuk menunjang tugas penghambaan dan kekhalifahan manusia lain Begitupun tanggung jawab mendidik dalam menunjang tugas penghambaan dan kehkalifahan manusia lain tersebut tidaklah bisa di‐ lakukan secara temporer, melainkan harus dengan usaha yang terprogram secara terus menerus dan berkesinambungan. Hal ini sebagaimana yang ia tegaskan dalam sebuah pernyataannya yang mengatakan sebagai berikut: “selain anak didik dituntut belajar sepanjang hayat, para pendidik juga dituntut untuk mengajar sepanjang hayat, sebagaimana diisyaratkan dalam surat Al Ashr tentang perintah saling mewasiati atau ajar mengajar, dan tentang yang haqq atau kebenaran, di mana arti kebenaran di sini adalah ilmu pengetahuan. 18 Dengan demikian, bagi Quraish Shihab proses pendidikan tidak mempunyai kata akhir, ia terus menerus berlangsung selama ia masih hidup. Hal ini dilandasi dari Firman Allah, sebagaimana ia fahami dari surat Al Ashr, di mana di dalamnya terkandung isyarat untuk saling mengembangkan ilmu pengetahuan secara terus menerus. Kesimpulan Dari kajian tentang konsep pendidik yang ditemukan dari berbagai literature‐literatur yang ditulis oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA ditemukan berbagai konsep tentang pendidik. Secara garis besarnya pemikiran Quraish menyangkut konsep pendidik meliputi aspek tugas utama pendidik, objek pendidik dan prinsip‐prinsip pendidik yang Islami yang harus dimiliki oleh seorang pendidik. Menyangkut tugas‐tugas sebagai pendidik, Quraish membagi tugas utama dalam dua bentuk, yaitu tugas “mengajar” (yu’allim) dan tugas “menyucikan” (yuzakkihim). Menurutnya “mengajar” berarti merupakan proses mentransfer ilmu pengetahuan dari seorang pendidik kepada si murid. Jadi ia hanya sebatas pada proses pemindahan ilmu dari otak pendidik yang ditumpahkan ke otak anak didik saja. Selanjutnya, dari konsep tersebut ia berimplikasi pada pendekatan mengajar yang memandang anak didik sebagai objek pendidikan saja. Sementara dalam konsep tugas guru dalam artian “menyucikan”, ia tidak hanya sebatas pada transfer ilmu pengetahuan, melainkan lebih luas lagi, yaitu tugas untuk memanusiakan manusia dengan internalisasi nilai yang mulia, dalam prakteknya tugas ini menganggap anak sebagai subjek yang harus dikembangkan. 18M. Quraish, Lentera…, hal. 178
29
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
Sementara dari segi objek pendidik Quraish membaginya menjadi tiga kelompok, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Namun yang menarik adalah Quraish membedakan adanya hirarki kekuatan pengaruh dari ketiga pendidik tersebut, di mana pendidikkan pertama yang paling berpengaruh menurutnya adalah keluarga, sementara sekolah dan masyarakat hanyalah merupakan perpanjang tanganan pendidikan dalam keluarga. Sementara, dalam keluarga, ibu merupakan unsur yang paling berpengaruh terhadap pendidikan anak, karena didukung oleh potensi keibuannya. Bahkan untuk mencetak pemimpin ke depan, ia ditentukan oleh peran ibu, hal ini sebagai‐ mana difahami Quraish melalui pemahaman semantik terhadap kata umm yang akar katanya bisa berarti ibu dan pemimpin. Adapun menyangkut prinsip‐prinsip pendidikan, Quraish ber‐ pendapat bahwa seorang pendidik harus memahami potensi dan ke‐ cenderungan anak yang selanjutnya pendidik mengarahkan potensi itu, kemudian, pendidik harus bisa menyesuaikan pembebanan terhadap anak didik, pendidik tidak boleh membebani anak di luar kemampuannya, selanjutnya, selalu memberi motivasi, bukan makian, dan yang terakhir dari tugas mendidik adalah terus berlangsung sepanjang masa.
30
______ Tafsir Pendidik dalam Pemikiran M. Quraish Shihab (Hadini) DAFTAR KEPUSTAKAAN Ary Ginanjar, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ Emotional, Spiritual Quotient: Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, cet XIII, Jakarta: Arga Wijaya Persada, 2003. Gordon Dryden dan Jeanette Vos, The Learning Revolution: To Change the Way the Word Learn, Publishing by the Learning Web, USA, 1999. Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologis dan Pendidikan, cet III, Jakarta: Al Husna, 2002. Howard M Federspield, Kajian AlQur’an di Indonesia: Sejak Mahmud Yunus Hingga M. Quraish Shihab, cet I, Bandung: Mizan, 1996. Jalaluddin Rakhmat, SQ for Qids: Mengembangakan Kecerdasan Spiritual Anak Sejak Dini, Bandung: Mizan, 2007. M. Quraish Shihab, Membumikan AlQur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Cet. XVIII, Bandung: Mizan, 1998. ‐‐‐‐‐, Wawasan AlQur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Ummat, cet II, Bandung: Mizan: 1996. ‐‐‐‐‐, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, cet. XV, Bandung: Mizan, 1999. Nurhadi, “Agar Pendidikan Tidak Menjadi Mimpi Buruk” Harian Republika,edisi Sabtu, 3 Januari 2004. Sarlito W Sarwono, Berkenalan dengan Aliranaliran dan TokohTokoh Psikologi, cet III, Jakarta: Bulan Bintang, 2000.
31
PENGEMBANGAN KURIKULUM DAN KORELASINYA DENGAN FUNGSI SEKOLAH Hayati Universitas Serambi Mekkah Bathoh Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh Email:
[email protected] ABSTRACT School or educational institution not only as a means of obtaining knowledge, but it is a treasure of the development of civilization, whose function is passed all the potential of the younger generation. Among them are: develop intelligence, training skills, fostering the perfect personality, sensitive to social and cultural transmission as well as develop essential values as a basis of human life is the man of God on this earth. Schools can work well if it is supported by a curriculum that meets the aspirations of the community and the users. Pendahuluan Sekolah merupakan salah satu elemen pendidikan yang membantu dalam pembentukan anak serta perbaikan pendidikan mereka. Ketika Sekolah memiliki niat baik serta metode‐metode yang benar, yang dikelola oleh badan pendidikan yang sungguh‐sungguh, akan menghasilkan generasi yang sadar yang meyakini tujuan bangsa. Di sisi lain tatkala sekolah me‐ ngabaikan tugas dan tanggung jawab mereka, maka nilai‐nilai bangsa akan runtuh dan prilaku generasi mendatang akan mudah terpengaruh hal‐hal negatif. Pendidikan di sekolah bukan hanya ditentukan oleh usaha murid secara individual atau berkat interaksi murid dan guru dalam proses belajar mengajar, melainkan juga oleh interaksi murid dengan lingkungannya. Anak itu berbeda‐beda bukan hanya karena berbeda bakat atau pembawaannya akan tetapi mereka berbeda karena membawa kebudayaan rumah tangga‐ nya, yang mempunyai corak tertentu bergantung pada status sosial, agama nilai‐nilai yang dijalankan orang tuanya. Mengutip Pendapat Djohar, pendidikan harus berorientasi pada pembangunan yang berwawasan kemanusiaan yang menekankan perhatian terhadap manusia sebagai individu secara utuh, tidak hanya terbatas pada dimensi psikologis, motorik 32
______ Pengembangan Kurikulum dan Korelasinya dengan Fungsi Sekolah (Hayati) atau pengetahuan saja, namun pada keutuhan antropologis anak didik sebagai manusia, dalam arti, sebagai pribadi dengan segala karakteristik fisik dan psikisnya serta karakter sosial budayanya. Fokus pendidikan yang diarahkan pada pembangunan kemanusiaan meliputi cara memperlakukan sasaran pendidikan, yaitu individu anak dalam proses pendidikan yang manusiawi, sistem‐sistem pendidikan yang dilaksanakan, manajemen pen‐ didikan, penyelenggaran pendidikan termasuk kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan. Fungsi Sekolah Di dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional pada pasal 13 ayat 1 disebutkan bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal dan informal yang dapat saling melengkapi dan mem‐ perkaya satu sama lainnya. Peranan sekolah sebagai lembaga yang membantu lingkungan keluarga, maka sekolah bertugas mendidik dan mengajar, serta memperbaiki dan memperhalus tingkah laku anak didik yang dibawa dari keluarganya. Se‐ mentara itu, dalam perkembangan kepribadian anak didik, peranan sekolah dengan melalui kurikulum, antara lain sebagai berikut: a. Anak didik belajar bergaul sesama anak didik, antara guru dengan anak didik, dan antara anak didik dengan orang yang bukan guru (karyawan) b. Anak didik belajar menaati peraturan‐perturan sekolah. c. Mempersipkan anak didik untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna bagi agama, bangsa dan negara. 1 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pem‐ bentukan kecerdasan (pengertian), sikap dan minat sebagai bagian dari pembentukan kepribadian, dilaksanakan oleh sekolah. Fungsi sekolah sebagaimana dirinci oleh Suwarno 2 dalam bukunya Pe‐ ngantar Umum Pendidikan adalah sebagai berikut: a. Mengembangkan kecerdasan pikiran dan memberikan pengetahuan. Selain bertugas untuk mengembangkan pribadi anak didik secara me‐ nyeluruh, fungsi sekolah yang lebih penting sebenarnya adalah menyampai‐ kan pengetahuan dan melaksanakan pendidikan kecerdasan. Fungsi sekolah 13Lihat, Danah Zohar, Ian Marshall, Spiritual Intellegnce, (Great Britain: Bloomsbury, 2000), hal. 109. 14Arif Rohman dan teguh Wiyono, Education Policy in Decentralization Era, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 90.
33
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
dalam pendidikan intelektual dapat disamakan dengan fungsi keluarga dalam pendidikan moral. b. Spesialisasi Di antara ciri semakin meningkatnya masyarakat adalah semakin bertambahnya diferensiasi dalam tugas kemasyarakatan dan lembaga sosial yang melaksanakan tugas tersebut. Sekolah mempunyai fungsi sebagai lembaga sosial yang spesialisasinya dalam bidang pendidikan dan pengajaran. c. Efisiensi Sekolah atau pelaksanaan pendidikan dan pengajaran dalam ma‐ syarakat menjadi lebih efisiensi dengan alasan sebagai berikut: 1) Seumpama sekolah tidak ada, sedangkan pekerjaan mendidik hanya dipikul oleh keluarga, maka hal ini tidak akan efisien, karena orang tua selalu sibuk dengan pekerjaannya, serta banyak orang tua tidak mampu melaksanakan pendidikan dimaksud.2). Pendidikan sekolah dilaksanakan dalam program yang tertentu dan sistematis. 3) Di sekolah dapat dididik sejumlah besar anak secara sekaligus. d. Sosialisasi Sekolah mempunyai peranan yang penting di dalam proses sosialisasi membantu perkembangan individu menjadi makhluk sosial, makhluk yang dapat beradaptasi dengan baik di masyarakat. Sebab bagaimanapun pada akhirnya dia berada di masyarakat. e. Konservasi dan Transimisi Kultur. Fungsi lain dari sekolah adalah memelihara warisan budaya yang hidup dalam masyarakat dengan jalan menyampaikan warisan budaya tadi (transmisi kultur) kepada generasi muda, dalam hal ini tentunya adalah anak didik. f. Transisi dari rumah ke masyarakat Ketika berada dalam keluarga, kehidupan anak serba menggantungkan diri pada orang tua, maka memasuki sekolah di mana ia mendapat kesempatan untuk melatih berdiri sendiri dan tanggung jawab sebagai persiapan sebelum ke masyarakat. 3 Menurut Suwarno, fungsi sekolah yang utama ialah pendidikan intelektual, yakni “mengisi Otak” anak dengan berbagai macam pengetahuan. 15Dalam istilah pendidikan, antara mendidik dan mengajar dapat dibedakan pengertiannya. Mendidik tidak hanya berupa proses pemberian ilmu pengetahuan kepada anak didik, tetapi lebih jauh berupa pemberian nilai. Sedang mengajar hanya diartikan sebagai proses pemberian ilmu pengetahuan kepada anak didik, tidak menyangkut nilai. 16 Zahara Idris, DasarDasarKkependidikan, (Bandung: Angkasa, 1981), hal. 69.
34
______ Pengembangan Kurikulum dan Korelasinya dengan Fungsi Sekolah (Hayati) Sekolah dalam kenyataannya masih mengutamakan latihan‐latihan mental formal, yaitu suatu tugas yang pada umumnya tidak dapat dipenuhi oleh keluarga atau lembaga lain. Oleh sebab memerlukan tenaga khusus di‐ persiapkan untuk itu, yakni guru. Dalam pendidikan Formal yang biasanya memegang peranan utama ialah guru dengan mengontrol reaksi dan respon murid. Anak‐anak biasanya belajar di bawah tekanan dan bila perlu paksaan tertentu dan kelakuannya dikuasai serta diatur dengan berbagai aturan. Kurikulum pada umumnya juga ditentukan oleh petugas pendidikan, guru atau orang dewasa lainnya akan tetapi bukan oleh murid sendiri. Tidak selalu bahan itu menarik minat anak atau fungsional dalam kehidupan anak itu. Maka guru berusaha menarik minat anak, menggunakan paksaan atau macam‐macam motivasi ektrinsik. 4 Sedangkan fungsi sekolah yang dikemukakan oleh S. Nasution: a. Sekolah mempersiapkan anak untuk suatu pekerjaan Anak yang telah menamatkan sekolah diharapkan sanggup melakukan pekerjaan sebagai mata pencaharian atau setidaknya mempunyai dasar untuk mencari nafkah. Makin tinggi pendidikan, makin besar harapan memperoleh pekerjaan yang baik. Ijazah masih tetap dijadikan syarat penting untuk suatu jabatan.walaupun ijazah itu sendiri tidak menjamin kesiapan sesorang untuk melakukan pekerjaan tertentu. Akan tetapi dengan ijazah yang tinggi seorang dapat memahami dan menguasi pekerjaan kepemimpinannya atau tugas lain yang dapat dipercayakan kepadanya. Memiliki ijazah perguruan tinggi merupakan bukti akan ke‐ sanggupan intelektuanya untuk menyelesaikan studinya yang tidak mungin dicapai oleh orang yang rendah kemampuannya. b. Sekolah memberikan keterampilan dasar Orang yang sekolah setidak‐tidaknya pandai membaca, berhitung, menulis, yang diperlukan untuk menghadapi masyarakat yang sekmakin modern. Selain itu dipereh juga sejumlah pengetahuan seperti sejarah, geografi, kesehatan, kewarganegaraan, fisika, kimia, bahasa dan lain‐lain yang membekali anak untuk melanjutkan pelajarannya, atau memperluas pan‐ dangan dan pemahamanannya tentang masalah‐masalah dunia. c. Sekolah membuka kesempatan memperbaiki nasib Sekolah sering dipandang sebagai jalan mobilitas sosial. Melalui pendidikan orang dari golongan rendah dapat meningkat ke golongan yang lebih tinggi. Orang tua mengharapkan anak‐anaknya mempunyai nasib yang lebih baik dan karena itu berusaha untuk menyekolahkan anaknya jika mungkin sampai memperoleh gelar dari suatu perguruan tinggi. Gelar akademis
35
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
sangat membantu untuk menduduki tempat terhormat dalam dunia pekerjaan. Mereka yang telah menduduki tempat yang tinggi memandang pendidikan tinggi sebagai syarat mutlak untuk mempertahankan status sosialnya. d. Sekolah menyediakan tenaga pembangunan Bagi negara‐negara yang sedang berkembang pendidikan dipandang sebagai alat yang paling ampuh untuk menyiapkan tenaga yang terampil dan ahli dalam segala sektor pembangunan. Kekayaan alam hanya mengandung arti bila didukung oleh keahlian. Maka karena itu manusia merupakan sumber utama bagi pembangunan negara. e. Sekolah membantu memecahkan‐masalah‐masalah sosial Masalah‐masalah sosial diharapkan dapat diatasi dengan mendidik generasi muda untuk mengelakkan atau mencegah penyakit‐penyakit sosial seperti kejahaatan, pertumbuhan penduduk yang melewati batas, pengrusakan lingkungan, kecelakaan lalu lintas, narkotika dan sebagainya. f. Sekolah Transmisi Kebudayaan Demi kelangsungan hidup bangsa dan negara, kepada generasi muda disampaikan nilai‐nilai yang dijujung tinggi oleh bangsa itu. Setiap warga negara diharapkan menghormati pahlawannya, menjunjung tinggi nilai‐ nilai luhur yang diwariskan nenek moyang dan dengan demikian me‐ resapkan rasa kesatuan dan persatuan bangsa. g. Sekolah membentuk manusia yang sosial Pendidikan diharapkan membentuk manusia sosial, yang dapat bergaul dengan sesama manusia sekalipun berbeda agama, suku‐suku bangsa pendirian, dan sebagainya. Ia juga harus dapat menyesuaikan diri dalam situasi sosial yang berbeda. h. Sekolah merupakan alat transformasi kebudayaan Sekolah terutama perguruan tinggi diharapkan menambah pengetahuan dengan mengadakan penemuan‐penemuan baru yang dapat membawa perubahan masyarakat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan yang besar di dunia ini. Sekolah dapat digunakan untuk merekonstruksi masyarakat bahkan dapat mengontrol perubahan –perubahan itu dengan cara “sosial engineering”. i. Sekolah sebagai tempat penitipan anak Sekolah juga dipandnag sebagai tempat penitipan anak khususnya anak pra sekolah. Seperti PAUD, Play Group dan taman kanak‐kanak. j. Sekolah merupakan sarana memilih jodoh
36
______ Pengembangan Kurikulum dan Korelasinya dengan Fungsi Sekolah (Hayati) Sambil menunggu waktunya sampai umur untuk dapat dinikahkan. 5 Dalam kaitanya dengan pengembangan kurikulum, peran dan tanggung jawab sekolah dalam mengembangkan kurikulum adalah sebagai berikut: a. Berkolaborasi dengan sekolah lain untuk membentuk tim pengembang SKKD tingkat kecamatan dan mengembagkan SKKD sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah. Hal ini dapat dilakukan dalam kelompok kerja guru (KKG) atau musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) Kecamatan. b. Membentuk tim pengembang SKKD tingkat sekolah bagi yang mampu melakukannya. c. Mengembangkan SKKD sendiri bagi yang mampu dan memenuhi kriteria untuk melakukannya. d. Mengidentifikasi kompetensi sesuai dengan perkembangan peserta didik dan kebutuhan daerah yang perlu dikembangkan ke dalam kurikulum. e. Memohon bantuan dinas kabupaten dan kota dalam proses penyusunan kurikulum. f. Menguji kelayakan kurikulum Prosedur Pengembangan SSKD di yang diimplementasikan di sekolahnya, melalui analisis kualitas isi, analisis kompetensi dalam kaitannya dengan peningkatan prestasi belajar peserta didik. g. Memberikan masukan kepada dinas pendidikan kabupaten dan kota, dinas pendidikan provinsi, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), dan pusat kurikulum depatemen pendidikan nasional, berkaitan dengan efek‐ tifitas dan efisiensi kurikulum, berdasarkan kondisi aktual di lapangan. h. Menerapkan kurikulum (melaksanakan pembelajaran sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan sekolah baik bantuan sendiri maupun yang disusun oleh sekolah lain. i. Memperbaiki, dan meningkatkan kualitas kurikulum dan kualitas pem‐ belajaran secara terus menerus dan berkesinambungan. 6 Untuk memberi kemudahan kepada guru dan kepala sekolah dalam melakukan pengembangan SKKD di sekolah, perlu dipahami prosedurnya, baik yang mencakup perencanaaan, pelaksanaan, evaluasi maupun revisi. Perubahan kurikulum merupakan salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan agar dapat mencapai ke‐ unggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi seperti yang digariskan dalam haluan negara. Dengan demikian perubahan kurikulum diharapkan dapat menyelesaikan berbagai permasalahan yang sedang dihadapi oleh dunia pendidikan dewasa ini. Terutama dalam me‐ Suwarno, Pengantar Umum Pendidikan, (Jakarta: Aksara, 1985), hal. 70. 18 Ibid., hal. 70.
17
37
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
masuki era globalisasi yang penuh dengan berbagai macam tantangan. Lebih dari itu perubahan dan penyempurnaan kurikulum diharapkan mampu membawa bangsa dan negara ke luar dari krisis multidensional, terutama krisis mental dan moral. Hal ini dimunginkan karena salah satu kelebihan kurikulum yang disempurnakan adalah memberikan kesempatan yang lebih luas terhadap sekolah dan daerah dalam pengembangan SSKD. Sekolah dan daerah yang mempunyai kemampuan mandiri dapat menyusun kurikulum dan mengembangkan SKKD yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya. Pengembangan Kurikulum dan Fungsi Sekolah Kurikulum merupakan acuan mengajar dan sekaligus landasan pembentukan kepribadian dan karakter anak didik. Kurikulum merupakan inti sebuah sekolah. Menurut Doll, menegaskan bahwa kurikulum itu adalah perencanaan yang ditawarkan, bukan yang diberikan, karena pengalaman. Menurut Westmeyer menekankan bahwa pengembangan kuri‐kulum itu harus didasarkan pada hasil analisis terhadap berbagai kebutuhan siswa. Kurikulum menurut Sukmadinata memiliki beberapa karakteristik , yaitu: 1. Kurikulum sebagai suatu substansi, yakni bahwa kurikulum adalah sebuah rencana kegiatan belajar para siswa di sekolah, yang mencakup rumusan‐ rumusan tujuan, bahan ajar, proses kegiatan pembelajaran, jadwal evaluasi hasil belajar. 2. Kurikulum sebagai sebuah sistem, yakni kurikulum merupakan rangkaian konsep tentang berbagai kegiatan pembelajaran yang masing‐masing memiliki keterkaitan dengan yang lain. 3. Kurikulum merupakan sebuah konsep yang dinamis, yakni kurikulum merupakan konsep yang terbuka dengan berbagai perubahan dan terbukaan. Allan A. Glatthorn menjelaskan tiga variabel penting dalam pengelolaan dan pengembangan sekolah dan menjadi bagian integral dari hidden curriulum: a. Variabel organisasi, yaitu kebijakan penguasaan guru dan pengelompokan siswa untuk proses pembelajaran; team teaching, promosi kenaikan kelas, kemampuan, dan pemfokusan kurikulum. b. Variabel sistem sosial, yakni suasana sekolah yang tergambar dari pola‐ pola hubungan semua komponen sekolah. c. Variabel budaya, yakni dimensi sosial yang terkait dengan sistem ke‐ percayaan nilai‐nilai, dan struktur kognitif. Faktor yang penting di‐ kembangkan dalam budaya ini adalah: rumusan tujuan sekolah yang jelas, pengelolaan administrasi yang tinggi, penguatan pelayanan kepada siswa dan pemberian hadiah kepada siswa yang berprestasi. 38
______ Pengembangan Kurikulum dan Korelasinya dengan Fungsi Sekolah (Hayati) Menurut Abdurrahman Shaleh, kurikulum adalah perangkat standar program pendidikan yang dapat mengantarkan siswa untuk menjadi kompeten dalam berbagai bidang kehidupan yang dipelajarinya. Kurikulum sebagai salah satu komponen pendidikan sangat berperan dalam mengantarkan pada tujuan pendidikan yang diharapkan. Untuk itu kurikulum merupakan kekuatan utama yang mempengaruhi dan membentuk proses pembelajaran. Kesalahan dalam penyusunan kurikulum akan menyebabkan kegagalan suatu pendidikan dan penzoliman terhadap peserta didik. Dalam pendidikan Islam ada upaya‐upaya untuk mentransfer dan menanamkan nilai‐ nilai agama (ilahiah) sebagai titik sentral tujuan dan proses pendidikan Islam. Oleh karena itu, al‐Syaibany 7 memberikan kerangka dasar yang jelas tentang kurikulum Islam, yaitu: 1. Kurikulum harus memuat nilai‐nilai agama, karena nilai agama ini menjadi target tertinggi, karena bersumber dari Al‐Qur’an dan hadits. 2. Memiliki dasar Falsafah. Falsafah ini memberikan pedoman bagi tujuan pendidikan Islam secara filosofis, sehingga tujuan, isi dan organisasi kurikulum mengandung suatu kebenaran dan pandangan hidup dalam bentuk nilai‐nilai yang diyakini sebagai suatu kebenaran, baik ditinjau dari segi ontologi, epstemologi, maupun aksiologi. 3. Dasar Psikologis. Dasar ini memberikan landasan dalam perumusan kurikulum yang sejalan dengan ciri‐ciri perkembangan psikis peserta didik, sesuai dengan tahap kematangan dan bakatnya, memperhatikan kecakapan pemikiran dan perbedaan perorangan antara satu peserta didik dengan lainnya. Banyak sinyal al‐Qur’an tentang bentuk kurikulum pendidikan islam, diantaranya muatan materi yang mampu menyesuaikan perkembangan zaman. Muatan filosofis materi mampu memprediksi apa yang akan terjadi, muatan materi sistematis, mudah dicerna dan di‐ laksanakan muatannya menyentuh seluruh aspek kemanusiaan (jasmani, akal dan alqalb) dan lain sebagainya. 4. Dasar sosial. Dasar ini memberikan gambaran bagi kurikulum pendidikan Islam yang tercermin pada dasar sosial yang mengandung ciri‐ciri masyarakat Islam dan kebudayaannnya, baik dari segi pengetahuan, nilai‐ nilai ideal, cara berpikir dan adat kebiasaan, seni dan sebagainya. Dalam rangka menyusun kurikulum al‐Abrasyi mengatakan perlu memperhatikan prinsip‐prinsip, di antaranya: 1) Bermanfaat bagi pendidikan jiwa dan kehidupan manusia pada umumnya; 2) Sesuai dengan perkembangan siswa; 3) Fungsi ilmu untuk ilmu; 4) Kejuruan dan 19S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksaran 1995), hal. 14.
39
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
keterampilan untuk mencari penghidupan; 5) Bermanfaat untuk membuka jalan untuk mencari ilmu‐ilmu lain. Sedangkan prinsip‐prisipnya asy‐Syaibani adalah 1) Agamis (bermuatan agama) untuk pembentukan akhlak dan spiritual; 2) Universal dan seimbang (pembinaan pribadi manusia dalam segala aspeknya secara seimbang; 3) Sesuai dengan bakat, minat, kemampuan serta keperluan siswa dan masyarakat; 4) Sejalan dengan perkembangan dan perubahan zaman; 5) Saling keterkaitan antara satu mata pelajaran dengan lainnya. Kewenangan Sekolah Sejalan dengan desentralisasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah yang sedang bergulir, dalam penerapan kurikulum sekolah diberi kewenangan yang sangat leluasa terutama dalam hal‐hal sebagai berikut: 1. Menyusun dan mengembangkan kurikulum, khususnya program pem‐ belajaran dan proses pembelajaran untuk meningkatkan hasil belajar pesera didik bersama‐sama dengan komite sekolah dan dewan pendidikan. Penyususnan program pembelajaran memperhatikan standar nasional, baik isi, kompetensi, maupun standar lulusan yang dikeluarkan oleh Badan Standar nasional Pendidikan (BSNP) 2. Managemen sekolah menggambarkan kadar otonomi sekolah de‐ sentralisasi pendidikan. Dalam hal ini sekolah dapat memilih diantara tiga kemungkinan, yaitu (1) mandiri, 2) bergabung dengan sekolah lain, 3) menggunakan SKKD yang dikembagkan oleh BNSP Depdiknas. 3. Membuat perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban; pe‐ nerapan kurikulum tidak lepas dari accountability yang dapat dilihat dari perencanaan sekolah dan pencapaiannya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan pendesainan kurikulum pendidikan perlu memperhatikan tingkat satuan pendidikan serta geografis keberadaan suatu satuan pendidikan. Hal ini disebabkan, bila melihat pada tujuan pendidikan adalah untuk membentuk anak didik atau hasil lulusan dari satuan pendidikan mampu bekerja di wilayah mereka masing‐masing. Maka pendesaian kurikulum harus melihat pada tingkat dan tataran peserta didik. Kesimpulan Sekolah menjadi jalan utama kemajuan dan perkembangan umat manusia, sekolah merupakan sumber pencerahan ideologi dan kematangan intlektual, selain itu sekolah adalah pokok paling signifikan dalam pe‐ nyelamatan orang‐orang dari kebodohan serta keburukan. Pendidikan Juga memanusiakan manusia.
40
______ Pengembangan Kurikulum dan Korelasinya dengan Fungsi Sekolah (Hayati) Pendidikan diprogram atau direncanakan dalam suatu bentuk yang disebut dengan kurikulum. Secara garis besar kurikulum mengandung unsur‐ unsur: 1) ketauhidan, 2) keagamaan, 3) pengembangan manusia, 4) pe‐ ngembangan hubungan sosial dan 5) pengembangan diri sebagai individu. Pendidikan membentuk manusia menjadi berkualitas baik secara fisik, moral, personal maupun sosial. Hal ini tidak cukup hanya dengan me‐ ngembangkan dimensi kecerdasannya (IQ) saja, melainkan harus juga disertai dengan pengembangan emosionalnya yang muthmainnah dan kecerdasan spiritual (SQ). Inilah konsep pendidikan yang cepat dalam upaya membangun manusia dan masyarakat berkualitas, integritas, dinamis, kreatif dan mampu menghadapi perkembangan kemajuan dan perubahan ke arah konfigurasi kehidupan yang harmonis dan bermartabat sebagai makhluk tuhan, makhluk hidup sesama manusia dan makhluk alam semesta dan membangun budaya terbaik bagi kehidupan. Ada tiga pilat Fungsi pendidikan; Fungsi penyadaran, fungsi progresif, dan fungsi mediasi. Selain sekolah juga berfungsi sebagai mengembangkan kecerdasan pikiran dan memberikan pengetahuan, spesialisasi, efisiensi, transformasi budaya,sosial, transmisi kultur dan tran‐ smisi dari rumah ke sekolah. Di samping itu sekolah juga sebagai sarana memperbaiki nasib, memperoleh keterampilan dasar, pengembangan nilai‐ nilai budaya. Komisi Internasional bagi pendidikan abad 21 yang dibentuk oleh UNESCO melaporkan bahwa di era globalisasi ini pendidikan dilaksanakan dengan bersandar pada empat pilar pendidikan, yaitu learning to know, learning to do, to be, dan learning to live together. Dalam learning to know peserta didik belajar pengetahuan yang penting sesuai dengan jenjang pendidikan yang diikuti, dalam learning to do peserta didik mengembangkan keterampilan dengan memadukan pengetahuan yang dikuasai dengan latihan (law of practice), sehingga terbentuk suatu ke‐ terampilan yang memungkinkan peserta didik memecahkan masalah dan tantangan kehidupan. Dalam learning to be, peserta didik belajar menjadi individu yang utuh, memahami arti hidup dan tahu apa yang terbaik dan baik dilakukan , agar hidup dengan baik. Dalam learning to live together, peserta didik dapat memahami arti hidup dengan orang lain, dengan jalan saling menghormati, saling menghargai serta memahami tentang adanya saling ketergantungan (interdependency). Untuk mewujudkan sebuah sekolah atau pendidikan yang bermartabat, hendaknya melihat kepada karakter budaya bangsa itu sendiri, tidak mungkin suatu pendidikan dipaksakan sebagaimana budaya atau karakter bangsa lain. Hal ini menimbulkan kepura‐puraan dan kepalsuan dalam pendidikan. Pendidikan akan berhasil apabila dilandasi nilai‐nilai budaya setempat. 41
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
DAFTAR KEPUSTAKAAN A. Waidl, Pendidikan Yang Memahami Manusia, dalam A. Atmadi dan Y Seryaningsih, Tansformasi Pendidkan, Yogyakarta: Kanisius, 2000. Arif Rohman dan teguh Wiyono, Education Policy in Decentralization Era, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Danah Zohar, Ian Marshall, Spiritual Intellegnce, Great Britain: Bloomsbury, 2000. H.A.R Tilar, Pendidikan Baru, Pendidikan Nasional, Jakarta: Rinka Cipta, 2000. Moh Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia: Belajar dari Paulo Freire dan Kihajar Dewantara, Jogjakarya: Ar‐Ruzz Media, 2009. Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Upaya Mengaktifkan Pendidikan Agama di Sekolah, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000. Mulyasa, Kurikulum Yang Disempurnakan, Pengembangan Standar Kompetensi dan Kompetensi dasar, Bandung: Rosdakarya, 2006. Mursidin, Moral Sumber Pendidikan; sebuah Formula Pendidikan Budi Pekerti di sekolah Madrasah, Bogor; Ghalia Indonesia, 2011. Oemar Muhammad al‐Taomy al‐Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, Falsafah Pendidikan islam, terj. Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Paulo Ffreire, Politik Pendidikan: Kebudayaan Kekuasaan dan Pembebasan,Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2007. S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksaran 1995. Sudarwan Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah: Dari Unit Birokrasi ke lembaga Akademik, Jakarta: Bumi Aksara, 2007. Suwarno, Pengantar Umum Pendidikan, Jakarta: Aksara, 1985. Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007. 42
______ Pengembangan Kurikulum dan Korelasinya dengan Fungsi Sekolah (Hayati) W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN: Balai Pustaka, 1982. Zahara Idris, DasarDasarKkependidikan, Bandung: Angkasa, 1981.
43
KELEMAHAN METODOLOGI PENDIDIKAN ISLAM Heliati Fajriah Fakultas Tarbiyah IAIN AR‐Raniry Kopelma Darussalam Provinsi Aceh Email:
[email protected] ABSTRACT Islamic education is a systematic attempt to shape human beings behave, think and act in accordance with the provisions laid down by Islam for safety and happiness in this world and the hereafter. Islamic education is not just a transfer of knowledges or transfer of values but it is a character‐ building activity. (formation of character, personality) goal for potential students (potential capacity) into real capabilities (actual ability) and remain in the holy net position (fitrah) and straight to God (Hanief). Methodology of Islamic education is an important way to establish a Muslim person who is having Islam in accordance with the provisions outlined by the al‐Quran and Hadith. Kata Kunci : Transmisi, Nilai, Metodologi Pendidikan Islam Pendahuluan Tujuan pokok dari pendidikan Islam adalah mendidik budi pekerti dan pembentukan jiwa. Hasil yang ingin dicapai dari pendidikan Islam adalah menciptakan manusia beradab dalam pengertian yang menyeluruh meliputi kehidupan spiritual dan material. 1 Orang yang terpelajar dalam pandangan Islam adalah orang yang beradab, yaitu orang yang menyadari sepenuhnya tanggungjawab dirinya kepada Allah, memahami dan menunaikan keadilan terhadap diri sendiri dan orang lain dalam masyarakat, dan terus berupaya untuk meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia yang beradab. Berangkat dari pengertian di atas ada dua misi yang harus ditempuh dalam pendidikan Islam, pertama menanamkan pemahaman Islam secara komprehenship agar peserta didik mampu mengetahui ilmu‐ilmu Islam 1Al‐Attas,
Islam: The Concept of The Religion and The Foundation of Ethics and Morality, K. L : ABIM, 1976.
44
______ Kelemahan Metodologi Pendidikan Islam (Heliati) sekalugus mempunyai kesadaran untuk mengamalkannya. Pendidikan Islam tidak semata‐mata mengajarkan pengetahuan Islam secara teoritik sehingga hanya menghasilkan seorang islamolog, tetapi pendidikan Islam juga menekankan pada pembentukan sikap dan perilaku yang islami dengan kata lain membentuk manusia Islamis. Kedua, memberikan bekal kepada peserta didik agar nantinya dapat berkiprah dalam kehidupan masyarakat yang nyata, serta suvive menghadapi tantangan kehidupan melalui cara‐cara yang benar. Untuk kepentingan ini, pendidikan Islam harus mampu mengakses perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Pendidikan Islam tidak boleh mengasingkan diri dari realitas kehidupan yang senantiasa berkembang dan terus berubah sejalan dengan perkembangan peradaban manusia. Maka dalam kerangkan ini dituntut adanya stategi dan taktik dalam mengelola pendidikan Islam. Strargei ini mutlak harus disiapkan agar pendidikan Islam tidak terlibas oleh hegemoni perubahan itu sendiri. Besarnya arti pendidikan menuntut perhatian khusus. Tidak berlebihan jika posisi pendidikan seharusnya dijadikan sebagai “ good Publik”, terutama pendidikan Islam. Namun , realitas Pendidikan Islam saat ini dapat dikatakan berada pada posisi intellectual deadlock. Sistem pendidikan Islam sangat lemah dari sudut metodologi terlihat pada beberapa indikasi, yaitu pertama, minimnya upaya pembaharuan, dan kalau pun ada kalah cepat dengan perubahan sosial, politik dan kemajuan iptek. Pola berfikir umat Islam sempit. 2 Model pembelajaran pendidikan Islam terlalu menekankan pada pen‐ dekatan intelektualisme‐verbalistik dan menegasikan pentingnya interaksi edukatif dan komunikasi humanistik antara guru‐murid. Keempat, orientasi pendidikan Islam menitikberatkan pada pembentukan ‘Abdullah atau hamba Allah dan tidak seimbang dengan pencapaian karakter manusia muslim sebagai khalifah fi alardl. 3 Pada sisi lain, pendidikan Islam mengemban tugas penting, yakni bagaimana mengembangkan kualitas sumber daya manusia (SDM) agar umat Islam dapat berperan aktif dan tetap survive di era globalisasi, ternyata tidak mampu berperan. Dalam konteks ini, Indonesia sering mendapat kritik, karena dianggap masih tertinggal dalam melakukan pengembangan kualitas 2Agus Purwanto, Ayatayat Semesta : Sisisisi alQur’an yang Terlupakan, (Bandung: Mizan, 2008), hal. 23 3Abd. Rachman Assegaf, .Membangun Format Pendidikan Islam di Era Globalisasi., dalam Imam Machali dan Musthofa (Ed.), Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi, (Yogyakarta: Ar‐ Ruzz Media, 2004), Cet. I, hal. 8‐9
45
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
manusianya. Padahal dari segi kuantitas Indonesia memiliki sumber daya manusia melimpah yang mayoritas beragama Islam. Mutu pendidikan merupakan konsekuensi langsung dari suatu perubahan dan perkembangan berbagai aspek kehidupan. Tuntutan terhadap mutu pendidikan tersebut menjadi syarat terpenting untuk menjawab tantangan, perubahan dan perkembangan itu. Hal itu diperlukan untuk mewujudkan manusia cerdas dan kehidupan yang damai, terbuka dan demokrasi serta mampu bersaing secara terbuka di era global. Semua ini disebabkan karena umat Islam tidak menguasai ilmu pengetahuan baik teoritis maupun praktis. Definisi Metodologi Pendidikan Islam Metodologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua suku kata: “metodos” berarti cara atau jalan dan “logos” yang berarti ilmu. Metodologi berarti ilmu tentang jalan atau cara. Secara spesifik dapat dikatakan metodologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang cara‐cara atau jalan yang ditempuh untuk mencapai suatu tujuan dengan hasil yang efektif dan efisien. Pendidikan Islam merupakan usaha yang sistematis untuk membentuk manusia‐manusia yang bersikap, berfikir dan bertindak sesuai dengan ketentuan‐ketentuan yang digariskan oleh Agama Islam untuk ke‐ selamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Metodologi pendidikan Islam itu sendiri adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang membahas tentang cara‐cara yang dapat ditempuh untuk mencapai tujuan sesuai yang dikehendaki. Pendapat lain juga mengatakan bahwa metodologi pendidikan Islam merupakan jalan yang ditempuh untuk memudahkan pendidikan dalam membentuk pribadi muslim yang ber‐ kepribadian Islam dan sesuai dengan ketentuan‐ketentuan yang digariskan oleh al‐Qur’an dan Hadits. 4 Dapat disimpulkan bahwa metodologi pendidikan Islam merupakan jalan penting untuk membentuk pribadi muslim yang berkepribadian Islam sesuai dengan ketentuan‐ketentuan yang telah digariskan oleh sl‐Quran dan Hadits. Ruang Lingkup Metodologi Pendidikan Islam Pendidikan Islam merupakan komponen yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lain, karena pada dasarnya pendidikan Islam merupakan 4Armai
Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pres, 2002), hal. 88
46
______ Kelemahan Metodologi Pendidikan Islam (Heliati) transformasi nilai‐nilai Islam sebagai Substansi dan implikasi aspek kehidupan. Ada lima hal yang menjadi objek bahasan Pendidikan Islam, yaitu: a. Perencanaan Perencanaan adalah suatu kegiatan yang dilakukan sebelum melakukan suatu aktivitas. Menurut Gleyser, ada beberapa poin yang menjadi dasar dari perencanaan pendidikan, yaitu, pertama: Instructional Objektif , yang membicarakan tujuan pengajaran baik umum maupun khusus. Menurtu Ralp Tyler bahwa rumusan ini dapat membantu guru dalam proses belajar me‐gajar dan dalam meyiapkan evaluasi. Kedua: Entering behavior, yaitu gambaran tentang keadaan pengetahuan siswa dalam hubungan dengan tujuan khusus. ketiga: Instructional Prosedure, bagian ini harus menjelaskan interaksi yang dilakukan dalam rangka mencapai tujuan yang tekah dirumuskan. Keempat: Performance Asseement, yaitu bagian atau tahapan evaluasi untuk mengetahui ketercapaian proses belajar mengajar. b. Bahan pembelajaran Bahan juga disebut dengan materi, yaitu sesuatu yang diberikan kepada siswasaat berlangsungnya proses belajar mengajar (PBM). Bahan pengajaran dapat dibedakan menjadi beberapa kategori, yakni konsep,prinsip dan keterampilan. c. Strategi Pembelajaran Strategi atau rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus. Dengan kata lain strategi pembelajaran adalah tindakan atau taktik guru dalam menggunakan beberapa variable pembelajaran baik tujuan, bahan, metode, alat serta evaluasi. d. Media Pembelajaran Media adalah alat atau sarana untuk membantu PBM. Media dapat berarti alat atau komunikasi antara guru dan siswa untuk tercapainya tujuan pembelajaran e. Evaluasi Evaluasi atau penilaian pada dasarnya adalah memberikan pertimbangan atau nilai berdasarkan criteria tertentu. Dalam mengaplokasikan metodologi pendidikan Islam perlu memperhatikan prinsip‐prinsip dasar, antara lain mengetahui tujuan pendidikan , mengenal, memotivasi, minat, kemampuan dan latar belakang siswa serta menegakkan contoh yang baik. Sementara fungsi metodologi pendidikan Islam adalah untuk menyediakan segala fasilitas yang dapat 47
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
memungkinkan tugas pendidikan Islam berjalan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. SisiSisi Kelemahan Metodologi Pendidikan Islam Kondisi pendidikan Islam di Indonesia saat ini lebih pada goal setting yang ingin dicapai. Gambaran riil adalah lahirnya tipe mechanic student, setiap peserta didik sudah diposisikan pada orientasi pasar sehingga pendidikan bukan lagi berbasis keilmuan dan kebutuhan bakat peserta didik. Selain itu, munculnya mitologi ruang pendidikan yang dikukuhkan dengan ritual pendidikan. Artinya, anak bangsa dihadapkan pada ritual kompetisi, pemilihan sekolah favorit, penyuguhan uang “persembahan”, pemakaian seragam baru, pembelian “ramuan‐ramuan” buku‐buku paket baru, dan segudang ritual lain. Muncul, ambiguisitas kebijakan pemerintah yang sebenarnya sebagai pengelola potensi anak bangsa, namun pemerintah justru menjadi penjaga mitos pendidikan. Pemerintah dengan sangat percaya diri memilih posisi lebih berpihak pada kelangan elite, maka muncul adigium lelang pendidikan. 5 Hari ini, masalah pendidikan berkutat di mahalnya biaya, rendahnya mutu pendidikan, dan rendahnya kualitas SDM yang dihasilkan. Hal ini masih ditunjang dengan angkat tangannya pemerintah dalam bidang ini, dengan perubahan bentuk badan hukum sarana pendidikan menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), dan diterapkannya kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Pendidikan nasional hingga saat ini masih menghadapi permasalahan yang terkait dengan mutu, sedangkan mutu pendidikan sangat erat kaitannya dengan kondisi mutu sumber daya manusia (SDM). Dalam perspektif teori pembangunan, pembangunan akan sulit mencapai sasaran yang diharapkan, yaitu terjadinya perubahan yang mengarah kepada perbaikan taraf hidup rakyat, apabila kondisi SDM kurang bermutu. Indikator utama mutu SDM adalah derajat kesehatan, kemampuan, dan moralitas, sedangkan keberadaan dua indikator terakhir mutu SDM ini merupakan produk pendidikan. Berubahnya sekolah dalam bentuk badan hukum, menjadikan sekolah bebas untuk mematok harga setinggi‐tingginya sebagi alasan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Sekolah menjadi wajib untuk mencari sumber dana pendidikan sendiri. Pemerintah menjadi tidak wajib lagi untuk mensejahterakan sekolah, dan menjamin setiap warganya untuk dengan mudah mengakses pendidikan bermutu. 5Baharuddin, Ahmad, 2007, Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah, (Yogyakarta:
LkiS), hal. 7
48
______ Kelemahan Metodologi Pendidikan Islam (Heliati) Peningkatan mutu pendidikan merupakan salah satu agenda utama dalam pembangunan pendidikan nasional. Upaya peningkatan mutu pendidikan dimaksudkan untuk menjamin bahwa setiap lembaga pendidikan, dalam hal ini sekolah atau perguruan tinggi, memenuhi tingkatan mutu ter‐ tentu dan memenuhi kebutuhan serta harapan pihak‐pihak yang berkepentingan (stakeholder). Ini didasarkan atas suatu konsep yang menyatakan, bahwa mutu pendidikan akan memberi kontribusi yang signifikan pada mutu SDM, sementara sumber daya manusia yang bermutu merupakan satu faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan nasional. 6 Meskipun pendidik menyadari adanya keragaman pandangan tentang makna mutu, namun bila pendidik berbicara tentang mutu pendidikan maka pada akhirnya pendidik akan melihat hasil belajar sebagai indikatornya. Teori manajemen mutu yang diaplikasikan dalam bidang pendidikan memandang bahwa hasil belajar yang menjadi indikator pendidikan bermutu berkaitan erat dengan kondisi berbagai komponen sistem pendidikan, diantaranya adalah masukan instrumental (kurikulum) dan proses pembelajaran (implementasi kurikulum). Oleh karena itu, dalam upaya me‐ ningkatkan mutu pendidikan di sekolah diantara upaya yang perlu dilakukan adalah melalui perbaikan kurikulum dan implementasinya. Perubahan kurikulum dalam konteks perbaikan mutu pendidikan didorong oleh berbagai situsi dan tuntutan, baik yang bersifat nasional maupun global. Diantara tuntutan nasional yang mendorong pentingnya perubahan kurikulum adalah diberlakukannya otonomi daerah, sedangkan tuntutan global adalah terjadinya globalisasi dalam berbagai aspek kehidupan. Sejak awal tahun 2000, penyelenggaraan pemerintahan yang semula bersifat sentralistik telah berubah menjadi desentralistik, yang berarti telah diberikannya otonomi kepada daerah, terutama pada tingkat kebupaten/ kota. Pelaksanaan otonomi daerah ini termasuk pula dalam penyelenggaraan pendidikan. Artinya, pendidikan termasuk dalam kewenangan yang diberikan kepada daerah. Meskipun demikian, dalam pelaksanaannya de‐ sentralisasi pendidikan masih dihadapkan pada beberapa masalah antara lain masalah mutu. Masalah mutu pendidikan ini diantaranya disebabkan oleh kondisi kurikulum yang belum sesuai, sehingga perlu ada perubahan kurikulum secara total, termasuk implementasinya. Globalisasi yang telah terjadi dalam hampir semua aspek kehidupan manusia juga membawa dampak terhadap dunia pendidikan. Dampak utama 6 Bappenas‐World Bank, 2000
49
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
globalisisasi dalam bidang pendidikan adalah tuntutan untuk mempersiap‐ kan SDM yang mampu mengendalikan dan memanfaatkan perubahan‐ perubahan yang diakibatkan oleh proses globalisasi itu. Pendidikan se‐ harusnya menyiapkan peserta didik dengan kompetensi‐kompetensi yang diperlukan bagi kehidupan. Ini semua memicu perlunya dilakukan pe‐ rubahan‐perubahan dalam kurikulum. Atas dasar ini, maka dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan, baik yang disebabkan oleh terjadinya perubahan karena berlakunya otonomi daerah maupun karena terjadinya globalisasi dalam berbagai aspek kehidupan, dapat dilakukan melalui perubahan kurikulum. Kurikulum sekolah yang semula berbasis pada isi (content base) mulai tahun 2004 diubah menjadi kurikulum berbasis kompetensi (competence base). Dengan kurikulum semacam ini rumusan kompetensi yang dituangkan dalam kurikulum merupakan standar kemampuan minimal yang harus dimiliki oleh setiap keluaran sekolah yang ditetapkan secara nasional. Dalam pelaksanaannya, untuk mencapai kompetensi dasar ini disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan daerah dan sekolah masing‐masing, dan untuk men‐ capai hal itu diperlukan adanya standar yang dijadikan kriteria keberhasilan, yang terkait dengan: (1) apa yang diketahui dan dapat dilakukan oleh peserta didik, (2) program pembelajaran yang mengembangkan cara‐cara belajar, 3) program pengajaran ilmu‐ilmu dasar dan budi pekerti, dan 4) acuan pokok penilaian atau indikator penilaian. Melalui perubahan kurikulum ini standar nasional yang dimasukan untuk menjadikan pendidikan nasional unggul dan bermutu diharapkan dapat dicapai di masa yang akan datang. 7 Dalam kurikulum pendidikan umum, pendidikan agama memiliki cakupan yang tidak proporsional dan tidak dijadikan landasan bagi bidang pelajaran lainnya. Sehingga, tujuan pendidikan Nasional yang bertujuan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya masih merupakan per‐ tanyaan dengan tanda tanya besar. Hasil dari sistem pendidikan ini memang bisa melahirkan orang yang menguasai sains – teknologi, tetapi gagal dalam mewujudkan kepribadian yang Islami dan penguasaan tsaqafah Islam. Sebaliknya, mereka yang belajar di lingkungan pendidikan Agama memang menguasai tsaqafah Islam dan secara relatif sisi kepribadiannya tergarap baik. Akan tetapi di sisi lain, ia buta terhadap perkembangan sains dan 7Jurnal Tarbawi, Hujair A. H. Sanaky, Permasalahan dan Penataan Pendidikan Islam
Menuju Pendidikan yang Bermutu , NO. 1. VOL. I. 2008
50
______ Kelemahan Metodologi Pendidikan Islam (Heliati) teknologi. Akhirnya sektor‐sektor modern (industri, manufaktur, per‐ dagangan, dan jasa ) diisi oleh orang yang awam terhadap agama, sedangkan orang yang mengerti agama terkumpul di dunianya sendiri (madrasah, dosen/guru agama, Depag), tidak mampu terjun di sektor modern. 8 Permasalahan pendidikan di Indonesia secara umum, kualitas, rele‐ vansi, elitisme, dan manajemen. Berbagai indikator kuantitatif dikemukakan berkenaan dengan keempat masalah di atas, antara lain analisis komparatif yang membandingkan situasi pendidikan antara negara di kawasan Asia. Keempat masalah tersebut merupakan masalah besar, mendasar, dan multidimensional, sehingga sulit dicari ujung pangkal pemecahannya. Permasalahan ini terjadi pada pendidikan secara umum di Indonesia, termasuk pendidikan Islam yang dinilai justru lebih besar problematikanya. Pendidikan Islam juga dihadapkan dan terperangkap pada persoalan yang sama, bahkan apabila diamati dan kemudian disimpulkan pendidikan Islam terkukung dalam kemunduran, keterbelakangan, ketidak berdayaan, dan kemiskinan, sebagaimana pula yang dialami oleh sebagian besar negara dan masyarakat Islam dibandingkan dengan mereka yang non Islam. Katakan saja, pendidikan Islam terjebak dalam lingkaran yang tak kunjung selesai yaitu persoalan tuntutan kualitas, relevansi dengan kebutuhan, perubahan zaman, dan bahkan pendidikan apabila diberi “embel‐embel Islam”, dianggap berkonotasi kemunduran dan keterbelakangan, meskipun sekarang secara berangsur‐angsur banyak diantara lembaga pendidikan Islam yang telah menunjukkan kemajuan 9 . Tetapi pendidikan Islam dipandang selalu berada pada posisi deretan kedua atau posisi marginal dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia. Dalam Undang‐ Undang sistem pendidikan nasional menyebutkan pendidikan Islam merupakan sub‐sistem pendidikan nasional. Jadi sistem pendidikan itu satu yaitu memanusiakan manusia, tetapi pendidikan memiliki banyak wajah, sifat, jenis dan jenjang (pendidikan keluarga, sekolah, masyarakat, pondok pesantren, madrasah, program diploma, sekolah tinggi, institusi, universitas, dsb), dan hakekat pendidikan adalah mengembangkan harkat dan martabat manusia, memanusiakan manusia agar benar‐benar mampu menjadi khalifah 10 . Dapat disimpulkan bahwa permasalahan pendidkan Islam di Indonesia secara umum dapat dibagi kepada dua factor, yaitu faktor internal 8 Ibid
9Soeroyo, Berbagai Persoalan Pendidikan, Pendidikan Nasional dan Pendidikan Islam di Indonesia, Jurnal Ilmu Pendidikan, 1991, hal 77. 10Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003).
51
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
dan faktor eksternal. Faktor internal, pertama, meliputi manajemen pendidikan Islam yang pada umumnya belum mampu menyelenggarakan pembelajaran dan pengelolaan pendidikan yang efektif dan berkualitas. Kedua, faktor kompensasi profesional guru yang masih sangat rendah. Para guru yang merupakan unsur terpenting dalam kegiatan belaja rmengajar, umumnya lemah dalam penguasaan materi bidang studi, terutama menyangkut bidang studi umum, ketrampilan mengajar, manajemen kelas, dan motivasi mengajar. Hal ini terjadi karena sistem pendidikan Islam kurang kondusif bagi pengembangan kompetensi profesional guru. Ketiga, adalah faktor kepemimpinan, artinya tidak sedikit kepala‐kepala madrasah yang tidak memiliki visi, dan misi untuk mau ke mana pendidikan akan dibawa dan dikembangkan. Kepala madrasah seharusnya merupakan simbol keunggulan dalam kepemimpinan, moral, intelektual dan profesional dalam lingkungan lembaga pendidikan formal, ternyata sulit ditemukan di lapangan pendidikan Islam. Pimpinan pendidikan Islam bukan hanya sering kurang memiliki kemampuan dalam membangun komunikasi internal dengan para guru, melainkan juga lemah dalam komunikasi dengan masyarakat, orang tua, dan pengguna pendidikan untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas. Biasanya pendekatan yang digunakan adalah pendekatan birokratis daripada pendekatan kolegial profesional. 11 Mengelola pendidikan bukan berdasar pertimbangan profesional, melainkan pendekatan like and dislike, 12 Faktor eksternal yang dihadapi pendidikan Islam adalah pertama, adanya perlakuan diskriminatif pe‐ merintah terhadap pendidikan Islam. Pemerintah selama ini cenderung me‐ nganggap dan memperlakukan pendidikan Islam sebagai anak tiri, khususnya soal dana dan persoalan lain. Katakan saja, alokasi dana yang diberikan pemerintah sangat jauh perbedaannya dengan pendidikan yang berada di lingkungan Diknas. 13 Begitu pula dengan penyebaran guru yang tidak merata pada setiap jenjang pendidikan. Masalah kualitas guru saat ini, juga merupakan hal yang dilematis. Secara objektis jumlah guru saat ini memang kurang memadai, namun hal ini tidak dapat dipukul rata begitu saja karena ternyata jumlah yang sedikit ini salah satu indikatornya adalah masalah pemerataan guru. Idealnya dalam satu sekolah, katakanlah SD, memiliki enam orang guru kelas, dua guru bidang studi, satu kepala sekolah dan satu pesuruh, 11Ibid 12Jurnal Tarbawi, Hujair A. H. Sanaky, Permasalahan dan Penataan Pendidikan Islam
Menuju Pendidikan yang Bermutu , NO. 1. VOL. I. Jogyakarta, 2008 13Ibid
52
______ Kelemahan Metodologi Pendidikan Islam (Heliati) paling tidak sepuluh orang. Kenyataannya di banyak pedesaan, jumlah guru sekolah hanya ada sekitar 3‐4 orang. Bahkakn ada yang satu guru untuk satu sekolah, juga pesuruh. 14 Sementara itu, di daerah perkotaan yang sarana dan prasarananya bagus, terjadi penumpukan guru. Dalam satu SD dijumpai 11‐14 orang guru, termasuk diantaranya kepala sekolah. Kalau sudah seperti itu dan ditanyakan ke pejabat. Dinas Diknas, hal tersebut dikatakan logis karena SD yang disebutkan tadi merupakan SD inti sehingga mengajarnyaper bidang studi. Tentu saja jawaban tersebut sebagai pembenaran atas kebijakan mutasi guru yang lebih penting dari pada politik uang. Oleh karena itu, sampai saat ini sekolah maju di perkotaan dapat terus bertahan dengan kemajuannya, sementara sekolah yang kekurangan guru di pedesaan / daerah terpencil semakin terisolasi dan semakin terpuruk atau menurun kualitasnya. Posisi guru amat rentan. Dari segi kuantitas yang amat dilematis ( ada banyak sekolah yang kekurangan guru sementara ada banyak sekolah yang kelebihan guru) jika digeneralisasikan atau diprisentasekan memang masih banyak kekurangan guru. Setelah dikalkulasi, ternyata anggaran untuk menggaji guru kontrak menjadi hampir tiga kali lipat dari alternative lain yang tidak menjadi perhatian pendidikan sebagai panglima di negeri ini. Kesimpulan Kelemahan metodologi Pendidikan Islam hanya dapat diselesaikan jika semua pihak ikut terlibat. Keberhasilan pendidikan merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah, keluarga, dan masyarakat. Selain daripada itu sistem pembelajaran yang disebut dengan keterpaduan pembelajaran pendidikan Islam perlu dipikirkan implimentasinya, yaitu berbagai inovasi sistem pembelajaran yang melibatkan berbagai pihak dengan memanfaatkan pemberdayaan potensi yang ada di masyarakat, karena sudah saatnya Pendidikan Islam bukan hanya milik institusi pendidikan tetapi juga milik seluruh ummat Islam. Pendidikan yang bermutu dan unggul merupakan hal yang harus diperhatikan dan diupayakan untuk dicapai. Pendidikan akan menjadi sia‐sia apabila mutu proses dan lulusannya rendah. Penilaian dan pengakuan terhadap pendidikan yang mutu dan unggul atau tidak, akan lebih banyak di tentukan oleh masyarakat profesional. unggul atau tidak, akan lebih banyak di tentukan oleh masyarakat 14Benni Stiawan, Agenda Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Ar‐Ruzz Media, 2008),
hal. 89
53
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
profesional. Dengan kata lain, bahwa masyarakat profesional yang akan menjadi penilai (quality control) dari lembaga pendidikan yang ada. Kontrol dilakukan dari kemampuan para lulusan lembaga pendidikan tersebut, dengan program‐program pembelajaranya, dosen dan guru di nilai oleh masyarakat. Maka, pendidikan Islam berusaha melakukan penataan terhadap program‐program pendidikannya agar mencapai standar mutu dan unggul yaitu lulusannya memiliki kompetensi pengetahuan yang memadai, memiliki afektif yang anggun, memiliki skill untuk dapat menjawab kabutuhan masyarakat, dan dapat diserap oleh pengguna pendidikan.
54
______ Kelemahan Metodologi Pendidikan Islam (Heliati) DAFTAR KEPUSTAKAAN Al‐Attas, Islam : The Concept of The Religion and The Foundation of Ethics and Morality, K.L : ABIM, 1976 Abd. Rachman Assegaf, .Membangun Format Pendidikan Islam di Era Globalisasi., dalam Abd. Benni Setiawan, Agenda Pendidikan Nasional, Ar‐Ruzz Media, Jogyakarta, 2008 Rachman Assegaf, .Membangun Format Pendidikan Islam di Era Globalisasi., dalam Imam Machali dan Musthofa (Ed.), Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi, (Yogyakarta: Ar‐ Agus Purwanto, Ayatayat Semesta : Sisisisi alQur’an yang Terlupakan, Mizan, Bandung, 2008 Baharuddin, Ahmad, 2007, Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah, LKiS, Yogyakarta. Hujair A. H. Sanaky, Permasalahan dan Penataan Pendidikan Islam Menuju Pendidikan yang Bermutu , Jurnal Tarbawi NO. 1. VOL. I. 2008 Imam Machali dan Musthofa (Ed.), Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi, Yogyakarta: Ar‐Ruzz Media, 2004 Mastuhu, 2003, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, Insani Pres Yogyakarta. Ruzz Media, 2004 Soeroyo, 1991, Berbagai Persoalan Pendidikan, Pendidikan Nasional dan Pendidikan Islam di Indonesia, Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Problem dan Prospeknya, Volume I, Fak. Tarbiyah IAIN, Yogyakarta. Tilaar, H.A.R., 1991, Sistem Pendidikan Nasional yang Kondusif Bagi Pembangunan Masyarakat Industri Modern Berdasarkan Pancasila, Makalah Utama Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional V.
55
IDEALITA MATERIAL DALAM RANCANGAN KURIKULUM PEMBELAJARAN BAHASA ARAB Ismail Muhammad Fakultas Tarbiyah IAIN Ar‐Raniry Kopelma Darussalam, Kota Banda Aceh Email:
[email protected] ABSTRACT Key competencies learning Arabic in the Department of Arabic Language Faculty of Tarbiyah should be directed to give stock Arabic language skills (mahirat allughah) are sufficient to students, because Arabic in Indonesia is not a primary language. While the science of learning Arabic is supporting competence. The number of credits to charge the Arabic department can reach 82 credits for the program Strata 1, with a cargo of 40 credits as a matter Arabic language skills, and the rest in the form of the language sciences theory and theories of learning Arabic. Kata Kunci: Kurikulum, Bahasa Arab, Pengajaran Pendahuluan Kurikulum merupakan media yang sangat penting sebagai dasar pijakan, dalam pelaksanaan pembelajaran pada suatu institusi pendidikan. Dalam penelusuran terhadap makna kurikulum, para ahli menginterpretasi kurikulum dalam tiga pengertian yaitu, kurikulum sebagai mata pelajaran (termasuk kontennya), kurikulum sebagai pengalaman belajar dan kuri‐ kulum sebagai rencana pembelajaran. 1 Namun demikian dari sekian makna tersebut, secara tersirat dan tersurat dapat diamati bahwa pada hakikatnya inti dari kurikulum adalah materi yang direncanakan untuk disajikan kepada para pembelajar. Ketika seseorang membahas kurikulum, maka yang menjadi titik perhatian utama adalah nama mata pelajaran yang dilanjutkan dengan uraian isi dari mata pelajaran tersebut. Persoalan ini juga tidak dapat 1 Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, Teori dan PraktekPengembangan KTSP,
(Jakarta: Kencana, 2008), hal. 5.
56
______ Idealita Material dalam Rancangan Kurikulum Pengajaran… (Ismail Muhammad) dielakkan dalam mengupas dan merencanakan mata kuliah termasuk pada pengembangan kurikulum jurusan bahasa Arab di PTAI. Dasar utama dari desain mata kuliah pada suatu institusi pendidikan adalah mempedomani kepada rancangan kompetensi yang diinginkan, karena kompetensi merupakan kriteria capaian kemampuan yang diharap‐ kan pada alumni dan merupakan arah dari peningkatan kualitas dasar keberhasilan pendidikan. 2 Dengan demikian menetapkan kompetensi, juga bermakna menetapkan dan menentukan arah dari operasionalisasi pembelajaran. 3 Secara lebih khusus, sebagaimana dalam pembelajaran lainnya, rumusan kompetensi juga merupakan aspek utama yang menjadi dasar pijakan dalam pembelajaran bahasa Arab. Apa yang menjadi kompetensi utama dalam pembelajaran bahasa Arab ? Apa yang menjadi titik dasar perumusannya ? Bagaimana pula uraian materi perkuliahan yang ideal dari kompetensi tersebut? Jawaban dari beberapa pertanyaan tersebut, jawabannya akan diuraikan dalam bagian selanjutnya dari tulisan ini.
Rancangan Mata Kuliah Jurusan PBA Berdasarkan asas filosofis dan sosial, kurikulum pembelajaran bahasa Arab di Indonesia, terutama di Aceh, masih mengarah kepada penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa Agama (Islam). Asas ini adalah asas tradisional dan sudah berlangsung secara turun temurun dalam pembelajaran di dayah. Efek dari filosofi tersebut adalah pelaksanaan pembelajaran bahasa Arab yang lebih mengutamakan kemampuan membaca kitab‐kitab berbahasa Arab atau kitab kuning, karena kitab kuning merupakan dasar sumber utama ajaran Islam. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang menjadikan dunia semakin (kelihatan) kecil maka ketrampilan membaca (hanya kitab kuning) tidak lagi mencukupi dalam penguasaan ketrampilan berbahasa. Peserta didik mesti dibelajarkan, agar mereka juga mahir berbicara dan menulis ilmiah dalam bahasa Arab. Seseorang yang hanya mempunyai ketrampilan membaca, menunjukkan bahwa orang tersebut mampu me‐ nangkap ilmu, tetapi pada saat yang sama ia tidak mampu mendalaminya, karena tidak mampu bertanya untuk menggali lebih lanjut. Ilmu tersebut juga 2 Rusman, Manajemen Kurikulum (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hal. 428
3 Perlu diingat bahwa penetapan kompetensi materi dalam suatu kurikulum, sangat terikat dan tidak boleh bertentangan dengan asas‐asas philosophi pengembangan kurikulum itu sendiri. S. Nasution menyebutkan asas‐asas kurikulum adalah Filosofis, Sosiologis, Psikologis dan hakikat pengetahuan (Lihat: S. Nasution, Kurikulum dan Pengajaran, (Jakarta: Buki Aksara, 1989), hal 14).
57
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
tidak bisa ditebarkan kepada orang lain, karena ia tidak mempunyai ke‐ mampuan berbicara dan menulis, dengan bahasa mampu melewati batas wilayah bahasanya. Perkembangan asas kurikulum seperti yang digambarkan diatas, mengahruskan kurikulum juga ikut berkembang secara dinamis. Hal yang sama seharusnya diterapkan dalam pembelajaran bahasa Arab di PTAI. Kompetensi utama pembelajaran bahasa Arab di PTAI seharusnya tidak lagi hanya ditekankan pada peningkatan kualitas ketrampilan membaca, akan tetapi juga mempersiapkan mereka untuk trampil secara komunikatif (berbicara dan menulis) dalam bahasa Arab sehari‐hari, 4 apalagi kemudian mereka akan mempraktekkan ilmunya sebagai guru. Adalah sangat aneh jika seorang guru mengajar bahasa Arab, padahal ia sendiri tidak mengerti bahasa Arab. Kompetensi kedua (sebagai pelengkap) adalah memberikan kepada mahasiswa bentuk pengetahuan dari teori ilmuilmu bahasa, baik ilmu bahasa murni maupun ilmu‐ilmu yang berhubungan dengan pembelajaran bahasa. Hal ini juga merupakan ilmu penting karena menjadi pengetahuan yang akan mempermudah mereka dalam praktek pembelajaran bahasa. 5 Fakultas/Jurusan Tarbiyah yang merupakan penanggung jawab pengembangan tenaga keguruan dan kependidikan, tentu harus mendesain tujuan pembelajaran sesuai dengan arah pengembangan Fakultas/Jurusan itu sendiri. Dalam hal ini, seseorang calon guru sebelum membelajarkan orang lain tentang sesuatu, mestilah terlebih dahulu menguasai materi yang dibelajarkan dengan kompetensi yang memadai. Artinya seorang yang membelajarkan bahasa Arab mestilah seorang yang sudah menguasai bahasa Arab secara mumpuni, dan kemudian dilengkapi dengan penguasaan ilmu‐ ilmu pengetahuan bahasa sebagai pendukung dari pembelajaran bahasa tersebut. Ini bermakna bahwa aspek utama yang harus diberikan kepada mahasiswa Jurusan Pembelajaran Bahasa Arab adalah kemampuan berbahasa Arab, yang nantinya akan dibelajarkan ketika mereka berperan sebagai guru. Dalam pembelajaran pada tingkat strata satu, mahasiswa diwajibkan mengikuti perkuliahan dengan kuantitas 145‐156 SKS. Dari jumlah tersebut muatan jurusan mencapai 55 % mata kuliah. Jika jumlah SKS dari 4Fakhruddin Qabawah menyebutkan lima tujuan belajar bahasa yaini: berbicara, membaca, menangkap pesan, menulis dan menyelami budaya. (Lihat: Fakhr al‐DĪn Qabawah, AlMahᾶrᾶt alLughawīyah waUrῦbat alLisᾶn, (Beirut: Darul Fikr, 1999), hal 71). 5Abd. Majīd Sayyid Ahmad Mansur membagi ilmu bahasa modern ke dalam dua kelompok yaini, theoretical linguistics dan general linguistics. (Lihat: Abd. Majīd Sayyid Ahmad Mansur, Ilmu alLughah Nafsi (Riyadh: Jamiah al‐Malik Su’ud, 1982), hal 9‐10).
58
______ Idealita Material dalam Rancangan Kurikulum Pengajaran… (Ismail Muhammad) keseluruhan mata kuliah mencapai 150 SKS, maka muatan jurusan mencapai 84 SKS. Sehubungan dengan uraian di atas, maka pengembangan mata kuliah pada program studi bahasa Arab di Fakultas/Jurusan Tarbiyah, di lima semester pertama dapat mencapai 56 SKS, dan susunan materi dari kurikulum mestilah membelajarkan mahasiswa untuk mempunyai ke‐ trampilan berbahasa (mencakup, ilistima’, alkalam, alqiraah dan al kitabah) yang mencapai penggunaan sekurang‐kurang 5000 kata. Agar program pembelajaran berlajan baik dan dapat menghasilkan alumni yang mempunyai kualifikasi yang kompetitif, sebaiknya lembaga menjaring input mahasiswa yang telah mempunyai perbendaharaan kata sekurangnya 1000 kata, telah memahami dasar‐dasar nahwu dan sharaf. Kemudian barulah kepada mereka disajikan mata kuliah pada tingkat Perguruan Tinggi. Input mahasiswa yang tidak mempunyai 1000 kosa kata dan tidak mengetahui dasar‐dasar nahwu dan sharaf, akan mempuat pembelajaran tidak mencapai target, dan sulit mengharapkan penguasaan kompetensi yang diinginkan. Bola salju yang akan terjadi dari input yang rendah tersebut adalah kualitas alumni yang rendah, dan akan berakibat fatal yaitu akan menghasilkan calon guru yang bodoh, yang nantinya akan membuat pembelajaran bahasa Arab pada tingkat lanjut menjadi gagal. Adapun rancangan mata kuliah muatan jurusan persemester dan target penguasaan kosa kata mahasiswa, dapat diperhatikan dalam rancangan berikut. 6 I. SEMESTER I No. Mata Kuliah SKS Keterangan 1 Istima’ I 2 Membiasakan mendengar bahasa Arab dasar 2 Muhadatsah I 2 Berbicara dasar mencapai 3 Nahwu I 2 Mengkaji ulang nahwu dasar 4 Sharaf I 2 Mengkaji ulang sharaf dasar 8 Mencapai <500 kata baru II. SEMESTER II No. Mata Kuliah SKS Keterangan 1 Istima’ II 2 Membiasakan mendengar pada tingkat menengah 6Rancangan
ini bersifat tentatif, yang memungkinkan untuk berubah, sesuai
kepentingan.
59
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
2 3 4 III. No. 1 2 3 4 IV. No. 1 2 3 4
Muhadatsah II Nahwu II Sharaf II
2 2 2 8
SEMESTER III Mata Kuliah Muthalaah I
SKS Keterangan 2 Membaca pada tingkat dasar (bersyakal dan ringan) Muhadatsah III 2 Melatih ungkapan yang kian sulit dan panjang Nahwu III 2 Mengkaji nahwu lanjutan Sharaf III 2 Mengkaji sharaf (disesuaikan) 8 Mencapai <500 kata baru SEMESTER IV Mata Kuliah Muthalaah II Muhadatsah IV Insya’ I Istima’ III
SKS 2 2 2 2
5 6 7
Funnun Khat Balaghah I
8
Tarjamah I 2 (Arab – Indonesia) Arabic 2 Psikolinguistik 18
9
Melatih berbicara tingkat lanjutan Mengkaji nahwu lanjutan Mengkaji sharaf lanjutan (disesuaikan) Mencapai <500 kata baru
2 2 Met. Pembelajaran 2 Bahasa Arab
Keterangan Mulai membaca ilmiah ringan dan tanpa syakal. Berbicara dalam kajian ilmiah dan lancar Merangkai kata tingkat awal Latihan mendengar berita‐berita TV dan sinetron Fushha. Disesuaikan Mengenal Fashahah dan al‐bayan Metode‐metode tradisional dalam pembelajaran Belajar menterjemah dengan menggunakan bahas yang standar Mencapai <750 kata baru
V. SEMESTER V No. Mata Kuliah SKS Keterangan 1 Pengemb. Kurikulum 4 Berkenalan dengan teori dan dan Perencanaan pengembangan kurikulum dalam materi Bahasa Arab bahasa Arab 2 Pengemb. Sistem 2 Berkenalan dengan teori Evaluasi dalam Evaluasi Pemb. bidang bahasa Arab 60
______ Idealita Material dalam Rancangan Kurikulum Pengajaran… (Ismail Muhammad) 3 4 5 6 7
Bahasa Arab Insya’ II Balaghah II
2 2 Tsaqafah al‘Arabiyah 2 Muthalaah III 2 Media Pemb. Bahasa 2 Arab 16
VI. SEMESTER VI No. Nama Mata Kuliah 1 Metode Penelt. Pemb. Bahasa Arab 2 Tarikh wa alAdab al ‘Arabiyah 3 Balaghah III 4 Insya’ III 5
SKS Keterangan 4 Metode Penelitian ilmiah persiapan penulisan skripsi 2 Mengkaji sejarah sastra Arab 2 2
6 7
Tarjamah (Indonesia 2 – Arab) Ilmu Lughah I 2 Muthalaah IV 2
8
Insya’ IV
VII. SEMESTER VII No. Mata Kuliah 1 Ilmu Lughah II 2 Qawaid IV 3
Balaghah IV
Mengarang dalam tingkat lanjutan Belajar al‐Ma’ani Membaca ilmiah berat dan panjang Mengkaji Media pembelajaran bahasa Arab. Mencapai <750 kata
2 18
sebagai
Belajar al‐Badi’ Menulis tingkat lanjut (menuju ilmiah dan metodologis)
Menterjemahkan Bahasa Indonesia ke bahasa Arab Mengkaji dasar‐dasar ilmu bahasa Arab Membaca ilmiah (koran dan buku‐buku berat) Penulian karya ilmiah Mencapai <750 kata
SKS Keterangan 2 Mengkaji ilmu bahasa (lanjutan) 2 Persoalan Nahwu yang tinggi dan agak rumit 2 Balaghatul Quran 6 Mencapai <500 kata
Rancangan di atas menyajikan mata kuliah jurusan sebanyak 82 SKS (dari keseluruhan sekitar 150 SKS), atau 55%. Dari jumlah mata kuliah tersebut, mata kuliah yang dianggap sebagai materi untuk belajar bahasa sebanyak 40 SKS. Dan sisanya sebanyak 42 SKS merupakan ilmu‐ilmu bahasa dan Pembelajaran Bahasa Arab. Dari aspek target kosa kata, diharapkan
61
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
tercapai penguasaan kosa kata sebanyak 4250 kosakata, yang ditambah dengan 1000 kata bawaan (dari sekolah sebelumnya). Jika diamati dari aspek jumlah SKS, maka jumlah SKS untuk pembelajaran ketrampilan bahasa yang disajikan dalam rancangan diatas sudah mempunyai porsi ideal , yaitu sebanyak 40 SKS. Sisanya 26 SKS untuk penguatan ilmu‐ilmu bahasa Arab, 12 SKS untuk teori pembelajaran/ pendidikan bahasa dan 4 SKS untuk penelitian bahasa Arab. Agar pembelajaran dapat berlangsung efektif, dosen harus mengoptimalkan pembelajaran materi untuk mengantarkan mahasiswa agar mampu mengakses jumlah penggunaan kosa kata yang ditargetkan. Beberapa cara yang dapat ditempuh agar pembelajaran dapat berlangsung efektif dan kompetensi mahasiswa yang diinginkan terkuasai dengan baik, sebaiknya (a). Dosen mempunyai kompetensi yang mencukupi untuk membelajarkan mahasiswa, sesuai dengan kompetensi yang diinginkan. (b). Dosen menggunakan metode pembelajaran aktif dan menyenangkan, sehingga mereka tertarik untuk menguasi bahasa Arab. Bersamaan dengan itu dosen sebaiknya memberi banyak tugas agar mahasiswa mau belajar secara mandiri di luar kelas (c). Dosen harus memaksimalkan fungsi evaluasi pembelajaran, yaitu evaluasi untuk meningkatkan proses pembelajaran dan evaluasi untuk meniliai mahasiswa sesuai prinsip‐prinsip evaluasi. 7 Dalam mengevaluasi untuk memberi nilai, sebaiknya jika mahasiswa belum mampu dan mencapai target yang diinginkan maka haram bagi dosen untuk meluluskannya, sebab kemampuan bahasa tidak dapat dimanipulasi, karena dapat diamati secara nyata dalam keseharian. Penting diingat bahwa kurikulum akan selalu berubah, bergerak menyesuaikan diri dengan perkembangan asas kurikulum yang mengikuti kebutuhan masyarakat. 7Dalam
sistem evaluasi pembelajaran dijelaskan bahwa evaluasi pembelajaran berpegang kepada lima prinsip umum yaitu: kontinuitas, komprehensif, objektifitas, koperatif dan praktis. Evaluasi pada dasarnya mempunyai dua fungsi dasar, yaitu pertama: Menilai proses pembelajaran untuk menemukan kekurangan‐kekurangan dan mengungkap persoalan‐persoalan yang membuat belajar tidak mampu memperoleh hasil maksimal. Kekurang‐kekurangan yang ditemukan dalam pembelajaran harus dieleminir, dan problematika penghambat pembelajaran harus dicari jalan keluar secara baik. Dengan demikian kualitas proses pembelajaran akan dapat ditingkatkan. Tujuan kedua adalah mengevaluasi hasil kerja peserta didik dari pembelajaran yang telah berlangsung, untuk memberikan apresiasi dalam bentuk nilai yang diperoleh dari segala komponen penilaian. Ngalim Purwanto, Prinsipprinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran, (Bandung: Rosdakarya, 2009), cet. XV, hal. 5 dan 31).
62
______ Idealita Material dalam Rancangan Kurikulum Pengajaran… (Ismail Muhammad) Kesimpulan Kompetensi utama dari pembelajaran bahasa Arab pada jurusan pembelajaran Bahasa Arab adalah memberi bekal secara mencukupi dalam ketrampilan bahasa Arab (mahᾶrat allughah), yang mampu menggunakan sekurang‐kurangnya 5000 kosa kata. Sedangkan pembelajaran ilmu bahasa Arab adalah ilmu yang menjadi kompetensi pendukung sebagai bekal untuk menjadi guru yang berkompeten. Jumlah SKS untuk muatan jurusan bahasa Arab dapat mencapai 85 SKS untuk program Strata 1, dengan muatan 40 SKS sebagai materi belajar bahasa Arab, dan sisanya dalam bentuk teori ilmu bahasa dan pendukung pembelajaran bahasa Arab.
63
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abd. Majīd Sayyid Ahmad Mansur, Ilmu alLughah Nafsi, Riyadh: Jamiah al‐ Malik Su’ud, 1982. Fakhr al‐DĪn Qabawah, AlMahᾶrᾶt alLughawīyah waUrῦbat alLisᾶn, Beirut: Darul Fikr, 1999. Ngalim Purwanto, Prinsipprinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran, Bandung: Rosdakarya, 2009. Rusman, Manajemen Kurikulum, Jakarta: Rajawali Press, 2011. S. Nasution, Kurikulum dan Pengajaran, Jakarta: Buki Aksara, 1989. Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, Teori dan PraktekPengembangan KTSP, Jakarta: Kencana, 2008.
64
PARTISIPATORI ALIRAN REKONTRUKSIONISME DALAM MENATA KESETARAAN PENDIDIKAN KONTEMPORER Masbur Fakultas Tarbiyah IAIN Ar‐Raniry Kopelma Darussalam Kota Banda Aceh Email:
[email protected] ABSTRACT Education is a process of maturation ways of thinking, doing, acting, and appreciation in the community, this understanding can be practiced in accordance with the level of absorptive capacity possessed by every individual in achieving intellectual a mature level. Individuals can learn where ever they are, without having to perform a complicated mechanism or many problems that must be gone through. Likewise in this reconstruc‐ tionism flow, they offer equality and togetherness in obtaining a decent education for all components of society without having to look at the social status of the community. In the context of education meeting today, the need for a review of policies that have been made by the authorized range, as the container achievement of human resources that are more reliable in the future. With it, will be able to increase the enjoyment of the right to live a more decent, and can adapt to society better. For example, there are classes of models / cores, which can only be entered are children who have more skills than their parents, but for those whose parents are poor, they can not feel that the education standard. Kata Kunci: Rekontruksionisme, pendidikan Kontemporer Pendahuluan Pendidikan pada hakikatnya adalah membantu peserta didik untuk menjadi generasi yang utuh, yang pandai dalam bidang pengetahuan, bermoral, berbudi luhur, peka terhadap orang lain, beriman, dan lainnya. Pendidikan juga membawa misi untuk melibatkan peserta didik pada persoalan‐persoalan konkrit yang dihadapi dalam masyarakat. Rasanya sudah sangat sering kita dengarkan ketidakpuasan masyarakat terhadap 65
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
kinerja pendidikan nasional. 1 Kata‐kata ekstrem pun sering terlupakan; konon pendidikan nasional telah gagal menjalankan misinya untuk mem‐ bentuk manusia‐manusia yang cakap dan berkepribadian serta membangun bangsa yang berkarakter. Konon pendidikan hanya bisa menghasilkan koruptor, kolutor, provokator, dan manusia‐manusia tak berbudi lainnya. Ekstremitas tersebut tentu tidak sepenuhnya benar meskipun ada bagian yang tidak salah. Adalah benar bahwa sebagian koruptor, kolutor, provokator serta manusia‐manusia yang tidak berbudi lainnya adalah orang yang berpendidikan. Meskipun demikian, hal itu tidak berarti bahwa seluruh hasil pendidikan adalah buruk Karena Pendidikan itu sendiri merupakan sebuah proses tiada henti, sebuah proses yang selalu menyisakan berbagai per‐ soalan, meskipun ia selalu memberikan konsep‐konsep baru tentang bagai‐ mana membangun dan mengembangkan kualitas manusia. Di sini, pen‐ didikan menempati posisi penting, ketika secara “tulus” ia mejadikan manusia sebagai subyek yang merdeka, sebagai sosok yang tidak “kosong” dari pengalaman‐pengalaman yang telah dia ciptakan sendiri. Secara epistemologis, kelemahan beberapa pemikiran klasik adalah ketika ia menganggap pengetahuan sudah ada dan sudah jadi, lalu ia me‐ nempatkan “sosok guru” sebagai seseorang yang paling tahu. Sehingga tugas guru adalah mentransfer pengetahuan itu, kedalam otak peserta didik. Maka peserta didik tinggal membuka otaknya dan menerima pengetahuan itu apa adanya.filsafat Rekontruksionisme menyatakan bahwa budaya modern telah mengalami krisis. Ia berusaha merombak tata susunan lama dan membangun konsep baru mengenai pola hidup kebudayaan yang lebih bercorak modern. Keadaan sekarang merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan yang terpengaruh oleh kehancuran, kebingungan, dan keragu‐raguan. Akan tetapi, filsafat Rekontruksionisme tidak sependapat dengan “pola kerja” yang dibangun oleh Perennialisme yang mencoba “bernostalgia” dengan ke‐ budayaan abad pertengahan. Filsafat Rekontruksionisme lebih memilih pada usaha dan membina sebuah konsensus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia, restore to the original form. 2 Rekontruksionisme sebagai sebuah sistem pendidikan, berawal dari terbitnya buku John Dewey pada tahun 1920, yang berjudul Rekcontruction in Philosophy. Buku ini lalu dijadikan gerakan oleh George Counts dan Harold Rugg pada tahun 1930‐an, melalui keinginan mereka untuk menjadikan 1Kunandar, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru, (Jakarta: RajawaliGrafindo Persada, 2010), hal. 7 2 Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Tokohnya, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), hal, 10
66
______ Partisipatori Aliran Rekonstruksionisme dalam Menata Kesetaraan Pendidikan (Masbur) lembaga pendidikan sebagai media rekonstruksi terhadap masyarakat. Pada tahun 1932, George Counts (1889 – 1974) mengktik praktik‐praktik sekolah yang telah mengabdikan ketidaksamaan‐ketidaksamaan yang mencolok berdasarkan ras, kelas, dan etnik. Ia menegaskan bahwa sekolah‐sekolah menengah umum telah menjadi milik orang‐orang berkelas sosial tinggi dan keluarga yang berkecukupan. 3 Melalui tulisannya yang berjudul Dare the School Build a New Social Order, ia lalu mencoba mempertanyakan bagaimana sistem sosial dan ekonomi masyarakat pada saat itu, telah menjadi persoalan yang cukup mendasar bagi masyarakat. Maka pendidikan menurutnya, harus menjadi agen perubahan bagi rekontruksi sosial. Ia juga menkritik model pendidikan Progresifisme yang telah gagal mengembangkan sebuah teori kesejahteraan sosial dan bahkan ia menegaskan bahwa pendidikan yang berpusat pada anak (the child centered approach) tidak menjamin bagi terciptanya ketrampilan‐ketrampilan dan pengetahuan yang diperlukan dalam meng‐ hadapi abad ke‐20. Ringkasnya, kemunculan filsafat Rekontruksionisme ini berangkat dari kondisi masyarakat Amerika pada khususnya dan masyarakat industri pada umumnya, yang semakin meninggalkan sebuah tatanan dunia yang diidam‐idamkan. Perkembangan ilmu, teknologi dan industrialisasi pada satu sisi memberikan kontribusi positif bagi peningkatan kesejahteraan, akan tetapi disisi lain ia telah menimbulkan pengaruh‐pengaruh yang negatif. Masyarakat yang tenang, tentram, damai, pelan‐pelan telah tergiring pada keterasingan. Ada yang menganggap, kondisi ini karena adanya sifat loises faire, kompetisi yang terlalu berlebihan sehingga bermuara pada pemenuhan kepentingan individual dari pada kepentingan sosial, pada masyarakat Amerika. Untuk itu, perlu dilakukan perbaikan‐perbaikan di bidang ekonomi, yang semula berbentuk individual interprenurship dirubah kearah coor‐ perative yang bersendikan konsep kerja sama kolektif. Konsep ini, kemudian mampu meningkatkan taraf kehidupan masyarakat yang lebih baik. Keadaan ini, meyakinkan para pemikir pendidikan bahwa pendidikan perlu mem‐ punyai konsep dan peran yang positif dalam mengadakan rekontruksi masyarakat. Dan masyarakat yang direkontruksi ini, hendaknya lebih mengutamakan kebersamaan dari pada kepentingan‐kepentingan individu. Dari pemikiran tersebut, masih cocok digunakan argument itu dalam membangun kembali norma‐norma pendidikan yang telah jauh dari azaz kebersamaan dalam mencapai pendidikan yang sama dan layak. 3Ibid., hal, 23
67
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
Pengertian Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme Kata rekonstruksionisme dalam bahasa inggris reconstruct yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan aliran rekontruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata su‐ sunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Yaitu melakukan perombakan dan menyusun kembali pola‐pola lama menjadi pola‐pola baru. 4 Pada dasarnya aliran rekontruksionisme adalah sepaham dengan aliran perennialisme dalam mengatasi krisis kehidupan modern. Hanya saja jalan yang ditempuhnya berbeda dengan apa yang dipakai oleh peren‐ nialisme, yaitu berusaha membina suatu konsensus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia. Untuk mencapai tujuan itu, rekontruksionisme berusaha mencari kesepakatan semua orang mengenai tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan baru seluruh lingkungannya. Maka melalui lembaga dan proses pendidikan, rekontruksionisme ingin “me‐ rombak tata susunan lama, dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang sama sekali baru, dalam artian, kesetaraan dalam memperoleh pendidikan yang lebih arif. 5 Teori Pendidikan Rekonstruksionisme Teori pendidikan rekonstruksionisme yang dikemukakan oleh brameld terdiri dari Enam tesis, yaitu; 6 1. Pendidikan harus dilaksanakan disini dan sekarang dalam rangka menciptakan tata sosial baru yang akan mengisi nilai‐ nilai dasar budaya kita, dan selaras dengan yang mendasari kekuatan–kekuatan ekonomi, dan sosial masyarakat modern. sekarang peradaban menghadapi kemungkinan peng‐ hancuran diri. Pendidikan harus meresponsori perubahan yang benar dalam nurani manusia.oleh karena itu, kekuatan tehnologi yang sangat kuat harus dimamfaatkan untuk membangun ummat manusia ,bukan untuk meng‐ hancurkannya. Masyarakat harus diubah bukan melalui tidakan politik, melainkan dengan cara yang sangat mendasar, yaitu melalui pendidikan bagi
4Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara 2009), hal.45 5 Prasetya, Filsafat Pendidikan..., hal, 104 6Jalaluddin
dan Abdullah,Filsafat Pendididkan, Manusia, Filsafat dan Pendidikan, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997 ), hal. 87
68
______ Partisipatori Aliran Rekonstruksionisme dalam Menata Kesetaraan Pendidikan (Masbur) warganya, menuju suatu pandangan baru tentang hidup dan kehidupan mereka bersama. 7 2. Masyarakat baru harus berada dalam kehidupan demokrasi sejati, dimana sumber dan lembaga utama dalam masyarakat dikontrol oleh warganya sendiri.semua yang mempengaruhi harapan dan hajat masyarakat seperti, sandang, pangan, papan, kesehatan, industri dan sebagainya, semuanya akan menjadi tanggung jawab rakyat, melalui wakil‐wakil yang dipilih. Masyarakat ideal adalah masyarakat yang demokrasi. struktur, tujuan, dan kebijakan‐kebijakan yang berkaitan dengan tata aturan baru harus diakui merupakan bagian dari pendapat masyarakat. 8 3. Anak, sekolah, dan pendidikan itu sendiri dikondisikan oleh kekuatan budaya dan sosial. Menurut rekonstruksionisme, hidup beradap adalah hidup berkelompok, sehingga kelompok akan memainkan peran yang penting di sekolah. Pendidikan merupakan realisasi dari sosial (social self realization). 9 Melalui pendidikan individu tidak hanya mengembangkan aspek‐aspek sifat sosialnya melaikan juga belajar bagaimana keterlibatannya dalam pe‐ rencanaan sosial. Sehingga dari sini kita bisa lihat bahwa rekontruksi tidak mengabaikan masyarakat yang sangat berperan dalam membentuk individu. 4. Guru harus meyakini terhadap validitas dan urgensi dirinya dengan cara bijaksana yaitu dengan memperhatikan prosedur yang demokratis. Guru harus mengadakan pengujian secara terbuka terhadap fakta‐ fakta, walaupun bertentangan dengan pandangannya. 10 Guru mendatangkan beberapa pe‐ mecahan alternative dengan jelas, dan ia memperkenankan siswa‐siswanya untuk memprtahankan pandangan‐pandangan mereka sendiri. 5. Cara dan tujuan pendidikan harus diubah kembali seluruhnya dengan tujuan untuk menemukan kebutuhan –kebutuhan yang berkaitan dengan krisis budaya dewasa ini, dan untuk menyesuaikan kebutuhan dengan sains sosial. Yang penting dari sains sosial adalah mendorong kita untuk menemu‐ kan nilai‐ nilai, dimana manusia peercaya atau tidak bahwa nilai‐nilai itu bersifat universal. 6. Kita harus meninjau kembali penyusunan kurikulum, isi pelajaran, metode yang dipakai, struktur administrasi, dan cara bagaimana guru dilatih. Semua itu harus dibangun kembali bersesuaian dengan teori kebutuhan tentang sifat dasar manusia secara rasional dan ilmiah. 11 Kita harus me‐ 7Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan..., hal, 98 8Jalauddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan..., hal. 59 9Ibid, hal, 90
10 Iskandar, PenelitianTindakan Kelas, (Jakarta: Gaung Persada 2009), hal. 9 11E.
Mulyasa, Guru Profesional menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, (Bandung: Remaja Rosdakrya, 2005), hal, 31
69
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
nyusun kurikulum dimana pokok‐ pokok dan bagiannya dihubungkan secara integral, tidak disajikan sebagai suatu sekuensi komponen pengetahuan. Pandangan Para Ahli terhadap Konsep Aliran Rekontruksionisme Pandangan Ontology Dengan ontologi dapat mengetahui tentang bagaimana hakekat dari segala sesuatu, Aliran rekonsrtuksionisme memandang bahwa realita itu bersifat universal, yang mana realita itu ada dimana dan sama disetiap tempat. Menurut Noor Syam, untuk mengerti suatu realita beranjak dari se suatu yang kongkrit dan menuju kearah yang khusus menampakkan diri dalam perwujudan sebagai mana yang kita lihat di hadapan kita dan di tangkap oleh panca indra manusia seperti hewan, dan tumbuhan atau bneda lain disekeliling kita, dan realita yang kita ketahui dan kita hadapi tidak terlepas darisuatu system, selain subtansi yang dipunyai dari tiap‐ tiap benda tersebut, dan dapat dipilih melalui akal pikiran. 12 Pandangan Epistimologis Kajian epistimologis aliran ini berpijak pada pola pemikiran bahwa untuk memahami realita alam nyata memerlukan suatu azaz tahu, dalam arti bahwa tidak mungkin memahami reaalita ini tampa melalui proses pe‐ ngalaman dan hubungan dengan realita terlebih dahulu melalui penemuan suatu pintu gerbang ilmu pengetahuan. Karenanya baik indra maupun rasio sama‐sama berfungsi membentuk pengetahuan, dan akal dibawa oleh panca indra menjadi pengetahuan dalam yang sesungguhnya. 13 Pandangan Aksiologi Kajian aksiologi aliran rekonstruksionisme memandang masalah nilai berdasarkan azas‐ azas supera natural yakni menerima nilai natural yang universal, yang abadi berdasarkan prinsip nilai teologis. Hakikat manusia adalah emanasi (pancaran ) yang potensial yang berasal dari dan dipimpin oleh tuhan dan atas dasar inilah tinjauan tentang kebenaran dan keburukan dapat diketahuinya. Kemudian manusia sebagai subyek telah mempunyai potensi‐ potensi kebaikan dan keburukan sesuai dengan kodratnya. Pandangan Filsafat Rekontruksionisme tentang Pengetahuan Secara umum, filsafat Rekontruksionisme merupakan sebuah paham anti‐esensialisme, yang menekankan kepada penciptaan budaya dan sejarah.
12Ibid, hal. 88 13Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat..., hal, 69
70
______ Partisipatori Aliran Rekonstruksionisme dalam Menata Kesetaraan Pendidikan (Masbur) Filsafat Rekontruksionisme bertentangan dengan paham universal dan penjelasan biologis terhadap obyek atau kejadian. Misalnya identitas me‐ rupakan suatu diskursus kontruksionisme yang tidak berkaitan dengan benda. Artinya, identitas bukan merupakan suatu identitas universal, melainkan merupakan suatu ciptaan kultural atau secara spesifik merupakan diskursus yang kontruktif. Bagi filsafat Rekontruksionisme, yang terpenting adalah pribadi sebagai bentukan budaya, karena pribadi terbentuk dari materi budaya, seperti bahasa dan praktik budaya lainnya dalam waktu tertentu dan tempat tertentu pula. 14 Sementara ia memandang pengetahuan merupakan proses menjadi, yang pelan‐pelan menjadi lebih lengkap dan benar.Misalnya, pengetahuan siswa tentang kucing terus berkembang dari pengertian yang sederhana, tidak lengkap, dan semakin dia dewasa serta mendalami banyak hal tentang kucing, sehingga pengetahuannya tentang kucing akan semakin lengkap. Contoh lain misalnya sering terjadi seorang guru sudah berulang‐ulang menjelaskan kepada muridnya suatu bahan pelajaran, namun murid tersebut salah menangkap. Fenomena ini menguatkan klaim para penganut filsafat rekonstruktivisme yang menekankan bahwa murid telah mengkonstruksi (membentuk) sendiri pengetahuan mereka. Para penganut Rekontruksionisme berpendapat bahwa pengetahu‐ an itu adalah merupakan konstruksi dari kita yang sedang belajar. Pe‐ ngetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, tetapi merupakan konstruksi kognitif seseorang terhadap obyek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada disana dan orang tinggal mengambilnya, tetapi merupakan suatu bentukan terus menerus dari seseorang yang setiap kali mengadakan re‐ organisasi karena munculnya pemahaman yang baru Kaum Rekontruksionisme menyatakan bahwa manusia dapat me‐ ngetahui sesuatu dengan inderanya. Dengan berinteraksi terhadap objek dan lingkungannya melalui proses melihat, mendengar, menjamah, mencium dan merasakan, orang dapat mengetahui sesuatu. 15 Misalnya, dengan mengamati air, bermain dengan air, mengoperasikan air, orang membentuk pengetahuan akan air. Menurut von Glaserfeld, tokoh filsafat Rekontruksionisme di AS, pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang mempunyai pengetahuan (guru) ke pikiran orang yang belum punya pengetahuan (murid). Bahkan bila guru bermaksud untuk 125
14Sadulloh, Uyoh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfa Beta, 2003 ), hal. 15Ibid, hal.127
71
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
mentransfer konsep, ide dan pengertiannya kepada murid, pemindahan itu harus diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh murid sendiri dengan pengalaman mereka. 16 Von Glaserfeld menyebutkan beberapa kemampuan yang diperlukan untuk proses pembentukan pengetahuan, 17 seperti (1) kemampuan me‐ ngingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, (2) kemampuan mem‐ bandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan, dan (3) kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu daripada yang lain. Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman sangat penting karena pengetahuan dibentuk oleh interaksi dengan pe‐ ngalaman‐pengalaman tersebut. Kemampuan membandingkan sangat penting untuk dapat menarik sesuatu sifat yang lebih umum dari pe‐ ngalaman‐pengalaman khusus lalu dapat melihat kesamaan dan per‐ bedaannya untuk dapat membuat klasifikasi dan membangun suatu pengetahuan. Karena seseorang lebih menyukai pengalaman tertentu daripada yang lain maka muncul juga soal nilai dari pengetahuan yang kita konstruksikan. Bagi kaum Rekontruksionisme, pengetahuan bukanlah kenyataan ontologis. Malah secara ekstrem mereka menyatakan bahwa kita tidak dapat mengerti realitas (kenyataan) yang sesungguhnya. Yang kita mengerti, bila boleh disebut suatu realitas, adalah sktruktur konstruksi kita akan suatu objek. Bettencourt menyatakan memang rekonstruktivisme tidak bertujuan mengerti realitas, tetapi lebih mau menekankan bagaimana kita tahu atau menjadi tahu. Bagi rekonstruktivisme, realitas hanya ada sejauh ber‐ hubungan dengan pengamat. Lalu bagaimana dengan soal kebenaran? Bagaimana kita tahu bahwa pengetahuan yang kita bentuk itu benar? Rekontruksionisme meletakkan kebenaran dari pengetahuan dalam viabilitasnya, yaitu berlakunya konsep atau pengetahuan itu dalam penggunaan. Apakah pengetahuan itu dapat digunakan dalam menghadapi macam‐macam persoalan yang berkaitan. Semakin dalam dan luas suatu pengetahuan dapat digunakan, semakin luas kebenarannya. Dalam kaitan ini maka pengetahuan ada tarafnya, mulai dari yang berlaku secara terbatas sampai yang lebih umum. 18 Yang membatasi konstruksi pengetahuan Bettencourt menyebutkan beberapa hal yang dapat membatasi proses konstruksi pengetahuan, yaitu 16Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan..., hal, 25 17Hanafi,
Imam, Paradigma Pembelajaran Rekontruksionisme, (Bandung: Rhineka Cipta, 2005), hal. 48 18 Jalaluddin dan Abdullah idi, Filsafat Pendidikan Manusia…, hal, 110
72
______ Partisipatori Aliran Rekonstruksionisme dalam Menata Kesetaraan Pendidikan (Masbur) (1) konstruksi yang lama, (2) domain pengalaman kita, dan (3) jaringan struktur kognitif kita. Proses dan hasil konstruksi pengetahuan kita yang lalu menjadi pembatas konstruksi pengetahuan kita yang mendatang. Pe‐ ngalaman akan fenomena yang baru menjadi unsur yang penting dalam pembentukan dan pengembangan pengetahuan, dan keterbatasan pe‐ ngalaman akan membatasi pengetahuan kita pula. Dalam bidang pe‐ ngetahuan alam, misalnya, sangat jelas peranan pengalaman dan percobaan‐ percobaan dalam perkembangan hukum, teori dan konsep‐konsep ilmu tersebut. Konsep, gagasan, gambaran, teori dan lain‐lain saling berhubungan satu dengan yang lain membentuk struktur kognitif seseorang. Oleh Toulmin struktur itu disebut ekologi konseptual. Orang cenderung untuk menjaga stabilitas ekologi tersebut dengan setiap kali mencocokkan pengetahuan yang baru dengan ekologi konseptual di atas. Inilah yang juga dapat menghambat perkembangan pengetahuan Macam Macam Pendekatan Rekontruksionisme Pendektan ini juga disebut Rekontruksi Sosial karena memfokuskan kurikulum pada masalah‐masalah penting yang dihadapi dalam masyarakat, seperti polusi, ledakan penduduk, dan lain‐lain. Dalam gerakan rekontruk‐ sionisme terdapat dua kelompok utama yang sangat berbeda pandangan tentang kurikulum, 19 yakni : 1. Rekontruksionisme Koservatif Aliran ini menginginkan agar pendidikan ditujukan kepada peningkatan mutu kehidupan individu maupun masyarakat dengan mencari penyelesaian masalah‐masalah yang paling mendesak yang dihadapi masyarakat. Masalah‐masalah dapat bersifat local dan dapat dibicarakan di tingkat dasar, ada pula yang bersifat daerah, nasional, regional, dan internasional bagi pelajar tingkat dasar dan Per‐guruan Tinggi. Dalam PBM‐ nya metode problem solving memegang peranan utama dengan menggunakan bahan dari berbagai disiplin ilmu. Peranan guru ialah sebagai orang yang menganjurkan perubahan (agent of change) mendorong siswa menjadi partisipan aktif dalam proses perbaikan masyarakat. Pendekatan kurikulum ini konsisten dengan falsafah fragma‐tisme. 20 19Sukma
Dinata, Nana syaodih, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya,2006), hal. 90 20Ibid, hal, 95
73
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
2. Rekontruksionisme Radikal, Pendektan ini berpendapat bahwa banyak negara mengadakan pembangunan dengan merugikan rakyat kecil yang miskin yang merupakan mayoritas masyarakat. Elite yang berkuasa mengadakan tekanan terhadap masa yang tak berdaya melalui system pendidikan yang diatur demi tujuan itu. Golongan radikal ini menganjurkan agar pendidikan formal maupun pendidikan non formal mengabdikan diri demi tercapinya orde social baru berdasarkan pembagian kekuasaan dan kekayaan yang lebih adil dan merata. Mereka berpendapat bahwa kurikulum yang sekedar mencari pemecahan masalah social tidak memadai masa social justru merupakan indicator adanya masalah lain yang lebih mendalam mengenai struktur social baru. 21 Untuk pendirian saling bertentangan ini, baik yang konservatif maupun yang radikal mempunyai unsur kesamaan. Masing‐masing ber‐ pendirian bahwa misi sekolah, ialah untuk mengubah dan memperbaiki masyarakat. Pemberdayaan terletak pada definisi atau tafsiran tentang “perbaikan” dan cara pendektan terhadap masalah itu. Golongan konservatif bekerja dalam rangka struktur yang ada untuk memperbaiki kualitas hidup. Mereka berasumsi bahwa masalah‐masalah social adalah hasil ciptaan manusia dan karena itu dapat diatasi oleh manusia. Sebaliknya golongan radikal ingin merombak tata social yang ada dan menciptakan tata social yang baru sama sekali untuk memperbaiki system lebih efektif
Komponen – Komponnen Kurikulum Rekonstruksi Tujuan dan isi kurikulum Tujuan program pendidikan setiap tahun berubah. Misalnya dalam pendidikan ekonomi –politik, pada tahun pertama tujuannya membangun kembali dunia ekonomi politik. Maka kegiatan yang dilakukan adalah; a. Mengadakan survai secara kritis terhadap masyarakat b. Mengadakan study tentang hubungan antara keadaan ekonomi lokal, nasional serta dunia c. Mengadakan study tentang latar belakang historis dan kecenderungan– kecenderungan perkembangan ekonomi, hubungannya dengan ekonomi lokal d. Mengkaji praktek politik dalam hubungannya dengan faktor ekonomi e. Memantapkan rencana perubahan praktek politik f. Mengevaluasi semua rencana dengan kriteria apakah telah memenuhi kepentingan sebagian besar orang. 22 21Ibid. ha,l 105 22Dasim
Budimansyah, DKK, PAKEM, Pembelajaran aktif, Kreatif Efektif dan Menyenangkan, (Bandung: Ganesindo, 2009), hal. 76
74
______ Partisipatori Aliran Rekonstruksionisme dalam Menata Kesetaraan Pendidikan (Masbur) Metode Guru berusaha membantu siswa dalam menemukan minat dan kebutuhannya Sesuai dengan minat masing‐masing siswa, baik dalam ke‐ giatan pribadi atau kelompok berusaha memecahkan masaalah sosial yang dihadapi dengan kerja sama. 23 Evaluasi Dalam kegiatan evaluasi para siswa juga dilibatakan, keterlibatan mereka terutama dalm memilih, menyusun dan menilai bahan yang akan diujikan.soal yang akan diujikan dinilai terlebih dahulu baik ketepatan maupun keluasan isinya, juga keampuhan menialai pencapaian tujuan – tujuan pembangunan masyarakat yang sifatnya kualitatif. Evaluasi tidak hanya menilai apa yang dikuasi siswa, tetapi juga menilai pengaruh keggiatan sekolah terhadap masyarakat.pengaruh tersebut terutama menyangkut perkembangan masyarakat dan peningkatan taraf kehidupan masyarakat. 24 Kesimpulan Pandangan aliran rekonstruksionesme berkenyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas bersama semua umat manusia atau bangsa. Karenanya pembi‐naan kembali daya intelektual dan spiritual yang sehat akan membina kembali manusia melalui pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang benar demi generasi sekarang dan genersi yag akan datang, sehingga terbentuk alam dan dunia baru dalam pengawas‐an umat manusia. Aliran rekonstruksionesme ini memiliki persespsi bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur, diperintah oleh rakyat secara demokratis sehinga perubahan‐perubahan untuk mencapai suatu tujuan yang lebih baik akan selalu diadakan dan dijadikan realita, dan bukan dunia yang dikuasai oleh gilongan tertentu, sehingga dapat diwujutkan suatu dunia dengan potensi‐potensi teknologi.yang mampu meningkatkan kualitas pendidikan, kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanana masyarakat tanpa membedakan warna kulit, keturunan, agama dan masyarakat yang bersangkutan, akan tetapi perubahan yang digunakan untuk kepentigan bersama 23Kunandar, Guru Profesional..., hal. 287 24 . ibid, ….hal, 297
75
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
DAFTAR KEPUSTAKAAN E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, Bandunag : Remaja Rosdakarya, 2005. Jalaluddin dan Abdullah, Filsafat Pendididkan, Manusia, Filsafat dan Pendidikan, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997. Kunandar, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010. Prasetya, Filsafat Pendidikan, Bandung: Pustaka Setia, 2000. Sadulloh, Uyoh, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: Alfa Beta, 2003. Sukma Dinata, Nana Syaodih, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2006. Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
76
METODE TARGHIB DAN TARHIB DALAM PERSPEKTF PENDIDIKAN ISLAM Nia Wardhani STI Tarbiyah PTI. Al‐Hilal Sigli Jl. Lingkar Keuniree Sigli Provinsi Aceh Email:
[email protected]
ABSTRACT The success of an educator in the classroom in presenting the material in class and responded well by the students, not just the needs of teacher competence in mastering the learning materials, but there are other elements that are also reasonably determine the success of the learning process in the classroom method. A teacher must be proficient and skilled in the use of the method in the presence of his disciples. One of them is a method Tarheeb and Targhib. Both methods are very helpful teachers and students interact in towards success. In this method, the teacher can give hope a nice even prizes to students who are successful and meet the requirements without damaging cognitive learning objectives and not offend students who fail because it is done in a way that is democratic (Targhib). Meanwhile, students who fail for violating the rules of learning and cognitive ineligible to threats even punished (Tarheeb). This method in Islamic education is well known, but unfortunately the last few decades is less popular because many educators Islam itself is more like western concept that tends to disregard the affective aspects that can eliminate fithrah purpose of education itself is not the only form of human intellectual clever, but also spritual aspect needs to be built simultaneously. Besides, this method is derived from the Qur'an and Hadith Al that is definitely the truth because it fits well with the growth of the spiritual aspect of human or physical. Save The authors have urged's time we get back to the teachings and values of Islam in life, especially in the world of education to the formation of a complete human knowledge and good moral. Kata Kunci: Metode Targhib, Metode Tarhib, Pendidikan Islam 77
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
Pendahuluan Anak merupakan amanah yang diberikan Allah Swt. kepada para orang tua, dan wajib ditunaikan. Kenyataan sekarang bahwa banyak kaum ibu yang lebih memilih karir daripada pendidikan anaknya. Mereka menitipkan anak pada pembantu atau baby sister. Sebaliknya ada sebagian ibu yang mencurahkan seluruh waktunya untuk keluarga, tetapi mereka menerapkan metode pendidikan yang salah kepada anaknya. Pendidikan anak dengan metode pemberian penghargaan dan hukuman banyak disepelekan oleh para pendidik, karena sudah begitu biasa dilakukan. Sehingga ketentuan dan aturan yang ada pun dilupakan bahkan banyak yang tidak menyadari kalau hal yang dianggap sepele itu memiliki aturan. Padahal, kekeliruan pada saat menerapkan metode pendidikan ini, bisa berakibat fatal sehingga merusak kepribadian anak yang sebelumnya sudah terbentuk dengan baik. Pendidikan adalah hak anak yang menjadi kewajiban atas orang tua. Sebenarnya sifat‐sifat buruk yang timbul dalam diri anak di atas bukanlah lahir dari fitrah mereka. Sifat‐sifat tersebut terutama timbul karena kurangnya peringatan sejak dini dari orang tua dan para pendidik. Semakin dewasa usia anak, semakin sulit pula baginya untuk meninggalkan sifat‐sifat buruk. Banyak sekali orang dewasa yang menyadari keburukan sifat‐sifatnya, tapi tidak mampu mengubahnya. Karena sifat‐sifat buruk itu sudah menjadi kebiasaan yang sulit untuk ditinggalkan. Maka berbahagialah para orang tua yang selalu memperingati dan mencegah anaknya dari sifat‐sifat buruk sejak dini, karena dengan demikian, mereka telah menyiapkan dasar yang kuat bagi kehidupan anak di masa mendatang. Merupakan kesalahan besar apabila menyepelekan kesalahan‐ kesalahan kecil yang dilakukan anak, karena kebakaran yang besar terjadi sekalipun berawal dari api yang kecil. Maka bila orang tua mendapati anaknya melakukan kesalahan, seperti berkata kasar misalnya, hendaknya langsung memperingatinya. Setelah mengetahui arti penting peringatan dan perbaikan bagi anak, maka para orang tua dan pendidik harus mengerti metode yang diajarkan Rasulullah Saw. dalam peringatan dan perbaikan anak. Dalam dunia pendidikan, metode ini disebut dengan metode penghargaan (targhib) dan hukuman (tarhib). Dengan metode tersebut diharapkan agar anak didik dapat termotivasi untuk melakukan perbuatan positif dan progresif. Untuk mendidik anak agar memiliki tingkah laku dan kepribadian yang islami, maka proses belajar mengajar harus ditetapkan dengan sistem pendidikan yang ideologis, yaitu pendidikan yang didasarkan kepada Islam sebagai suatu aturan. Maka bukan saja pendekatannya kepada anak sebagai 78
______ Pendekatan Targhib dan Tarhib dalam Pendidikan Islam… (Nia Wardani) objek perubahan, namun pendidik lah faktor utama dan yang paling penting yang akan menentukan berhasil atau tidaknya tujuan pendidikan itu. Selain penguasaan terhadap metodologi atau sistem pendidikan yang baik dan benar, seorang pendidik pun harus memiliki sifat‐sifat yang telah dicontohkan Rasulullah sebagai seorang pendidik agung. Seperti tanggung jawab yang tinggi bahwa ia akan dimintai pertanggungjawaban nanti di hadapan Allah Swt. Berdasarkan paparan tersebut di atas, maka dalam hal ini penulis ingin memaparkan beberapa pokok masalah yang dianggap penting, yaitu: 1. Apa definisi Targhib dan Tarhib menurut perspektif Islam? 2. Bagaimana konsep dan keutamaan Targhib dan Tarhib dalam pendidikan Islam? 3. Bagaimana pandangan pakar muslim tentang konsep targhib dan tarhib? 4. Bagaimana prinsip pemberian Targhib dan Tarhib dalam pendidikan Islam? Pengertian Targhib dan Tarhib Menurut Perspektif Islam Secara etimologis, kata targhib diambil dari kata kerja raghaba yang berarti menyenangi, menyukai dan mencintai. Kemudian kata itu diubah menjadi kata benda targhib yang mengandung makna suatu harapan untuk memperoleh kesenangan, kecintaan, kebahagiaan. Semua itu dimunculkan dalam bentuk janji‐janji berupa keindahan dan kebahagiaan yang dapat merangsang seseorang sehingga timbul harapan dan semangat untuk memperolehnya. Secara psikologis, cara itu akan menimbulkan daya tarik yang kuat untuk menggapainya. Sementara itu istilah tarhib berasal dari kata rahhaba yang berarti menakut‐nakuti atau mengancam. Lalu kata itu diubah menjadi kata benda tarhib yang berarti ancaman hukuman 1 . Dari asal kata tersebut, maka dapat diambil pengertian bahwa yang dimaksud dengan targhib adalah janji yang disertai dengan bujukan yang membuat senang terhadap suatu yang maslahat, terhadap kenikmatan atau kesenangan akhirat yang baik dan pasti, serta suka kepada kebersihan dari segala kotoran, yang kemudian dilanjutkan dengan melakukan amal shaleh dan kebajikan dan menghindari diri dari kenikmatan selintas, temporer yang bermuatan negatif atau perbuatan buruk. Sementara tarhib ialah suatu ancaman atau siksaan sebagai akibat dari mengerjakan hal yang negatif yang mendatangkan dosa atau kesalahan yang dilarang oleh Allah atau lengah dalam menjalankan kewajiban yang diperintahkan oleh Allah Swt. 1Syahidin, Metode Pendidikan Qur’ani: Teori dan Aplikasi, (Jakarta: Mitsaka Galiza,
1999), hal. 121.
79
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
Konsep dan Keutamaan Targhib dan Tarhib dalam Pendidikan Islam Salah satu teknik atau metode pendidikan Islam adalah pendidikan dengan pemberian penghargaan (targhib) dan sanksi (tarhib). Penghargaan atau hadiah dalam pendidikan anak akan memberikan motivasi untuk terus meningkatkan atau paling tidak mempertahankan prestasi yang telah didapatnya, di lain pihak temannya yang melihat akan ikut termotivasi untuk memperoleh hal yang sama. Sedangkan sanksi atau hukuman sangat berperan penting dalam pendidikan anak sebab pendidikan yang terlalu lunak akan membentuk anak kurang disiplin dan tidak mempunyai keteguhan hati. 2 Sudah menjadi tabiat manusia memiliki kecenderungan kepada kebaikan dan keburukan. Oleh karena itu pendidikan Islam berupaya mengembangkan manusia dalam berbagai jalan kebaikan dan jalur keimanan. Demikian pula pendidikan Islam berupaya menjauhkan manusia dari keburukan dengan segala jenisnya. Jadi tabiat ini merupakan kombinasi antara kebaikan dan keburukan, maka tabiat baik perlu diarahkan dengan memberikan imbalan, penguatan dan dorongan, sedangkan tabiat buruk perlu dipagari dan dicegah. Cara pengarahan ini dikenal dalam al‐Qur’an dengan metode targhib dan tarhib. Targhib dan tarhib merupakan salah satu teknik pendidikan yang bertumpu pada fitrah manusia dan keinginannya pada imbalan, kenikmatan dan kesenangan. Metode ini pun bertumpu pada rasa takut manusia terhadap hukuman, kesulitan dan akibat buruk. Teknik imbalan (targhib) diisyaratkan Allah dalam Surat Ali Imran: 133 : ∩⊇⊂⊂∪ t⎦⎫É)−Gßϑù=Ï9 ôN£‰Ïãé& ÞÚö‘F{$#uρ ßN≡uθ≈yϑ¡¡9$# $yγàÊótã >π¨Ψy_ρu öΝà6În/§‘ ⎯ÏiΒ ;οtÏøótΒ 4’n<Î) (#þθããÍ‘$y™uρ Artinya: Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang‐orang yang bertakwa.” (Q.S Ali Imran: 133) Hukuman (punishment) dalam pendidikan Islam mempunyai porsi penting, pendidikan yang terlalu bebas dan ringan akan membentuk anak didik yang tidak disiplin dan tidak mempunyai keteguhan hati. Namun begitu sanksi yang baik adalah tidak serta merta di lakukan, apalagi ada rasa dendam. Sanksi dapat dilakukan dengan bertahap, misalnya dimulai dengan teguran, kemudian diasingkan dan seterusnya dengan catatan tidak menyakiti dan tetap bersifat mendidik. 2Ahmad
Ali Badawi, Imbalan dan Hukuman: Pengaruhnya bagi Pendidikan Anak, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hal. 4.
80
______ Pendekatan Targhib dan Tarhib dalam Pendidikan Islam… (Nia Wardani) Dalam pemberian hukuman ada tahapan yang harus diperhatikan oleh pendidik, mulai dari yang teringan hingga akhirnya menjadi yang terberat, yaitu: 1. Memberikan nasihat dengan cara dan pada waktu yang tepat. Yaitu dengan tidak memojokkan dan mengungkit‐ungkit keke‐ liruannya dengan nasihat yang panjang lebar, karena dapat membuat anak menolak terlebih dahulu apa yang akan di‐ sampaikan. Pemilihan waktu pun harus dipertimbangkan se‐ hingga anak bisa enjoy menerima masukan. 2. Hukuman pengabaian, untuk menumbuhkan perasaan tidak nyaman dan teracuhkan di hati anak. 3. Hukuman fisik, sebagai tahap akhir dengan catatan bahwa hukuman fisik (pukulan) yang diberikan tidaklah terlalu keras dan menyakitkan. 3 Rasulullah Saw. menjelaskan tahapan bagi pendidik untuk mem‐ perbaiki penyimpangan anak, mendidik, meluruskan kebengkokannya, membentuk moral dan spiritualnya menjadi tujuh seperti yang terdapat dalam buku Pendidikan Anak Dalam Islam, yaitu menunjukkan kesalahan dengan: 1. Pengarahan; 2. Ramah tamah; 3. Memberikan isyarat; 4. Kecaman; 5. Memutuskan hubungan (memboikotnya); 6. Memukul; 7. Memberi hukuman yang membuat jera. 4 Hukuman dengan memukul dilakukan pada tahap terakhir setelah nasihat dan meninggalkannya. Ini menunjukkan bahwa pendidik tidak boleh menggunakan yang lebih keras jika yang lebih ringan sudah bermanfaat. Sebab, pukulan adalah hukuman yang paling berat, karena itu tidak boleh menggunakannya kecuali jika dengan jalan lain sudah tidak bisa. Begitu pula ketika pendidik menghukum anak yang berperangai buruk di depan saudara dan temannya, maka hukuman ini akan me‐ ninggalkan bekas yang besar pada jiwa anak‐anak secara keseluruhan dan 3Irawati Istadi, Agar Hadiah dan Hukuman Efektif, (Jakarta: Pustaka Setia, 2005), hal. 94‐96. 4Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, (terj). Jamaludin Miri, (Jakarta: Pustaka Amani, 1994), hal. 316‐323.
81
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
memperhitungkan seribu kali terhadap hukuman yang akan menimpa mereka. Dengan demikian mereka bisa mengambil pelajaran darinya. Jika pendidik tahu bahwa dengan salah satu tahapan ini tidak mendapatkan hasil untuk memperbaiki anak dan meluruskan problematika‐ nya maka hendaknya beralih kepada yang lebih keras secara bertahap misalnya, dengan kecaman. Apabila belum berhasil dan tidak dianggap, maka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Yang paling utama hukuman ter‐ akhir ini dilaksanakan di hadapan keluarga atau teman‐temannya sehingga dapat dijadikan pelajaran oleh mereka. 5 Banyak sekali di jumpai dari hadis Rasulullah Saw. yang meng‐ gambarkan tentang nasihat mendidik anak yang penuh dengan kasih sayang bahkan terhadap para sahabat beliau yang sudah dewasa atau tua renta, dengan menghindari hukuman kecuali dengan terpaksa yang sebelumnya di dahului dengan peringatan. Di antaranya adalah:
ﻋﻦ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﺷﻌﻴﺐ ﻋﻦ اﺑﻴﻪ ﻋﻦ ﺟﺪﻩ ﻗﺎ ل رﺳﻮل ا ﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻡﺮوا اوﻻدآﻢ ﺑﺎ اﻝﻠﺼﻼ ة وهﻢ اﺑﻨﺎ ء ﺳﺒﻊ ﺳﻨﻴﻦ واﺿﺮﺑﻮاهﻢ ﻋﻠﻴﻬﺎ وهﻢ اﺑﻨﺎ ء ﻋﺸﺮ ﺳﻨﻴﻦ وﻓﺮﻗﻮا ﺑﻴﻨﻬﻢ ﻓﻰ اﻝﻤﻀﺎ ﺟﻊ Artinya: Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya dan dia berkata: Rasulullah bersabda: Perintahkanlah anak‐anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka jika tidak mengerjakan shalat pada usia sepuluh tahun, dan pada usia tersebut juga pisahkanlah tempat tidur mereka (laki‐ perempuan). 6 Hujjatul Islam al Ghazali berujar hendaknya para pendidik memberi nasihat kepada siswanya dengan kelembutan. Pendidik dituntut berperan sebagai orang tua yang dapat merasakan apa yang dirasakan anak didiknya, jika anak memperlihatkan suatu kemajuan, seyogyanya pendidik memuji hasil usaha muridnya, berterima kasih kepadanya dan mendukungnya ter‐ utama di depan teman‐temannya. 7 Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu membagi hukuman menjadi dua yakni: 1. Hukuman yang dilarang, seperti memukul wajah, kekerasan yang berlebihan, perkataan buruk, memukul ketika marah, menendang dengan kaki dan sangat marah; 5 Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak..., hal. 323. 6Muhammad
Nasiruddin Al‐Bayani, Shohih Jami’ Shoghir, (Beirut: Al Maktab Al
Islami, tt), hal. 1022. 7Hery Noer Ali, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), hal. 84.
82
______ Pendekatan Targhib dan Tarhib dalam Pendidikan Islam… (Nia Wardani) 2. Hukuman yang mendidik dan bermanfaat, seperti memberikan nasihat dan pengarahan, mengerutkan muka, membentak, menghentikan ke‐ nakalannya, menyindir, mendiamkan, teguran, duduk dengan me‐ nempelkan lutut ke perut, hukuman dari ayah, dan pukulan ringan. 8 Terkadang memang menunda hukuman akan lebih besar dampaknya dari pada menghukum yang dilakukan secara spontanitas. Penundaan akan membuat seseorang akan berbuat yang sama atau mengulangi kesalahan lain karena belum adanya hukuman yang dirasakan akibat kesalahan yang pernah dibuatnya. Sebaiknya tindakan ini jangan dilakukan terus menerus. Bila kita telah berusaha semaksimal mungkin dalam mendidik dengan cara lain ternyata belum juga menurut, maka alternatif terakhir adalah hukuman fisik (pukulan ) tetapi masih tetap pada tujuan semula yakni bertujuan men‐ didik. Abdullah Nasih Ulwan menyebutkan persyaratan memberikan hukuman pukulan antara lain: 1. Pendidik tidak terburu‐buru; 2. Pendidik tidak memukul ketika dalam keadaan sangat marah; 3. Menghindari anggota badan yang peka seperti kepala, muka, dada dan perut; 4. Tidak terlalu keras dan menyakiti; 5. Tidak memukul anak sebelum ia berusia 10 tahun; 6. Jika kesalahan anak adalah untuk pertama kalinya, hendaknya diberi kesempatan untuk bertobat, minta maaf dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan itu; 7. Pendidik menggunakan tangannya sendiri; 8. Jika anak sudah menginjak usia dewasa dan dengan 10 kali pukulan tidak juga jera maka boleh ia menambah dan me‐ ngulanginya sehingga anak menjadi lebih baik. 9 Namun begitu, diperbolehkannya menghukum bukan berarti pen‐ didik dapat melakukan hukuman sekehendak hatinya, terlebih pada hukuman fisik, ada anggota bagian badan tertentu yang perlu dihindari. Misalnya pada bagian muka atau mata yang berakibat cacat anak sehingga menjadi minder. Jangan pula memukul kepala, karena berbahaya untuk perkembangan otak dan syaraf yang berakibat pada gangguan kejiwaan dan mental. Oleh karena itu apabila hukuman terpaksa harus dilakukan maka pendidik hendaknya memilih hukuman yang paling ringan akibatnya. Jika hukuman badan yang 8Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Seruan Kepada Pendidik dan Orang tua, terj.
Abu Hanan dan Ummu Dzakiyyah, (Jakarta: Solom, 2005), hal. 167. 9Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak ..., hal. 325.
83
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
dijatuhkan maka pendidik memilih anggota badan lain yang lebih aman dan kebal terhadap pukulan seperti pantat dan kaki. Dalam bukunya, Armai Arief mengomentari tentang pemberian hukuman. Ada lima hal yang harus diperhatikan oleh si pendidik antara lain: 1. Tetap dalam jalinan cinta, kasih dan sayang; 2. Didasarkan kepada alasan keharusan; 3. Menimbulkan kesan di hati anak; 4. Menimbulkan keinsafan dan penyesalan kepada anak didik; 5. Diikuti dengan pemberian maaf dan harapan serta kepercayaan. 10 Adapun teknik sanksi (tarhib) diungkapkan dalam Firman Allah Swt salah satunya pada Q.S At‐Tahrim: 6 sebagai berikut: ÔâŸξÏî îπs3Íׯ≈n=tΒ $pκön=tæ äοu‘$yfÏtø:$#uρ â¨$¨Ζ9$# $yδߊθè%uρ #Y‘$tΡ ö/ä3‹Î=÷δr&uρ ö/ä3|¡àΡr& (#þθè% (#θãΖtΒ#u™ t⎦⎪Ï%©!$# $pκš‰r'¯≈tƒ ∩∉∪ tβρâsΔ÷σム$tΒ tβθè=yèøtƒuρ öΝèδttΒr& !$tΒ ©!$# tβθÝÁ÷ètƒ ω ׊#y‰Ï© Artinya: Hai orang‐orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat‐malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan‐Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (Q.S At‐ Tahrim: 6) Targhib dan tarhib dalam khasanah pendidikan Islam, menurut Al Nahlawi berbeda dari metode ganjaran dan hukuman dalam pendidikan barat. Perbedaan yang paling mendasar adalah targhib dan tarhib berdasarkan ajaran Allah Swt. yang sudah pasti kebenarannya, sedangkan ganjaran dan hukuman berdasarkan pertimbangan duniawi yang terkadang tidak lepas dari ambisi pribadi. 11 Targhib dan tarhib dalam pendidikan Islam sangat urgen diberlaku‐ kan karena ada beberapa alasan, di antaranya adalah: 1. Bersifat transenden yang mampu mempengaruhi peserta didik secara fitri. Semua ayat yang mengandung targhib dan tarhib ini mempunyai isyarat keimanan kepada Allah Swt. dan hari akhir; 10Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 2000), hal. 133. 11 Abdurrahman al Nahlawi, Usul al Tarbiyah al Islamiyah wa Asalibuha fi al bayt wa al madrasah wa al mujtama (terj) Muhammad Yusuf , (Beirut: Daar al Fikri, 2001) , hal. 287.
84
______ Pendekatan Targhib dan Tarhib dalam Pendidikan Islam… (Nia Wardani) 2. Disertai dengan gambaran yang indah tentang kenikmatan surga atau dahsyatnya neraka; 3. Menggugah serta mendidik perasaan Rabbaniyyah, seperti khauf, khusyu’, raja’ dan perasaan cinta kepada Allah Swt. 4. Keseimbangan antara kesan dan perasaan berharap akan ampunan dan rahmat Allah. 12 Dapat di mengerti bahwa metode targhib dan tarhib tersebut pada dasarnya berusaha membangkitkan kesadaran akan keterkaitan dan hubungan diri manusia dengan Allah Swt. Dengan demikian metode ini sangat cocok dikembangkan untuk membentuk anak didik yang sesuai dengan tujuan pendidikan Islam di antaranya membentuk kepribadian yang utuh lahir dan batin. Pandangan Pakar Pendidikan Muslim Tentang Targhib dan Tarhib 1. Pandangan al‐Ghazali Menurut al‐Ghazali hendaknya para pendidik memberikan nasihat kepada siswanya dengan kelembutan. Pendidik di tuntut berperan sebagai orang tua yang dapat merasakan apa yang dirasakan anak didiknya, jika anak memperlihatkan suatu kemajuan, seyogianya pendidik memuji hasil usaha muridnya, berterima kasih padanya, dan mendukungnya terutama di depan teman‐temannya. Pendidik perlu menempuh prosedur yang berjenjang dalam mendidik dan menghukum anak saat dia melakukan kesalahan. Apabila pada suatu kali anak menyalahi perilaku terpuji, selayaknya pendidik tidak membongkar dan membeberkan kesalahan‐kesalahannya itu. Mengungkapkan rahasianya itu mungkin akan membuatnya semakin berani melanggar. Jika anak mengulangi kesalahan yang sama, tegurlah dengan halus dan tunjukkan urgensi kesalahan‐ nya. Beliau juga mengingatkan bahwasanya menegur dan mencela secara berkesinambungan dan mengungkit‐ungkit kesalahan yang dilakukannya membuat anak menjadi pembangkang. Sehubungan dengan hal tersebut beliau menegaskan ”Jangan terlampau banyak mencela setiap saat karena perkataan tidak lagi berpengaruh dalam hatinya. Hendaknya pendidik atau orang tua menjaga kewibawaan nasihatnya.”
12 Abdurrahman al Nahlawi, Usul al Tarbiyah... , hal. 288.
85
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
2. Pandangan Ibnu Khaldun Ibn Khaldun mengemukakan masalah targhib dan tarhib di dalam bukunya alMuqaddimah, beliau tidak menyebutkan selain seorang pendidik harus mengetahui cara pertumbuhan akal manusia yang bertahap hingga ia mampu menjalankan pertumbuhan itu dengan pengajarannya terhadap anak didik. Ia menasihatkan agar tidak kasar dalam memperlakukan anak didik yang masih kecil, mencubit tubuh dalam pengajaran akan merusak anak didik, khususnya anak kecil. Perlakuan kasar dan keras terhadap anak kecil dapat menyebabkan kemalasan dan mendorong mereka untuk berbohong serta memalingkan diri dari ilmu dan pengajaran. Oleh karena itu pendidik harus memperlakukan anak didik dengan kelembutan dan kasih sayang serta tegas dalam waktu‐ waktu yang diutuhkan untuk itu. 3. Pandangan Ibnu Jama’ah Pemberian imbalan lebih kuat dan lebih berpengaruh terhadap pendidikan anak dari pada pemberian sanksi. Sanjungan dan pujian pendidik dapat mendorong siswanya untuk meraih keberhasilan dan prestasi yang lebih baik. Ibnu Jama’ah lebih memprioritaskan imbalan, anggapan baik, pujian dan sanjungan. Hal ini perlu dijelaskan oleh pendidik bahwa pujian itu disebabkan oleh upaya dan keunggulan siswa tersebut, sehingga siswa dapat memahaminya. Ibnu Jama’ah sangat menghindar dari penerapan sanksi yang dapat menodai kemuliaan manusia dan merendahkan martabatnya. Jadi sanksi itu merupakan bimbingan dan pengarahan perilaku serta pengendaliannya dengan kasih sayang. Sanksi perlu diberikan dengan landasan pendidikan yang baik dan ketulusan dalam bekerja, bukan berlandaskan kebencian dan kemarahan. PrinsipPrinsip Pemberian Targhib dan Tarhib Sebagaimana dipahami bahwa penggunaan metode dalam pendidikan Islam disesuaikan dengan tingkat kecerdasan, kultur, kepekaan dan pembawaan anak. Di antara mereka ada yang cukup dengan isyarat. Ada yang hanya jera apabila dengan pandangan cemberut dan marah, tetapi ada juga yang tidak mempan dengan cara‐cara tersebut, sehingga mereka harus merasakan hukuman terlebih dahulu. 13 Jadi baik hukuman atau rangsangan kepada anak didik harus dilakukan dengan sangat hati‐ hati dan penuh kecermatan dari seorang 13 Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak..., hal. 330. 86
______ Pendekatan Targhib dan Tarhib dalam Pendidikan Islam… (Nia Wardani) pendidik. Hal ini dilandasi oleh betapa Islam begitu santun dalam mendidik umatnya baik yang terdapat dalam yang kita temui dalam al‐Qur’an atau Hadis di antaranya: PrinsipPrinsip Pemberian Targhib Dalam pemberian penghargaan kepada anak didik, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pendidik, di antaranya: a. Penilaian didasarkan pada ’perilaku’ bukan ’pelaku’. Untuk membedakan antara ’pelaku’ dan ’perilaku’ memang masih sulit, terutama bagi yang belum terbiasa. Apalagi kebiasaan dan persepsi yang tertanam kuat dalam pola pikir kita yang sering menyamakan kedua hal tersebut. Istilah atau panggilan semacam ’anak shaleh’, anak pintar’ yang menunjukkan sifat ’pelaku’ tidak dijadikan alasan pemberian penghargaan karena akan menimbulkan persepsi bahwa predikat ’anak shaleh’ bisa ada dan bisa hilang. Tetapi harus menyebutkan secara langsung perilaku anak yang membuatnya memperoleh hadiah. Jadi komentar seperti ”Kamu dikasih hadiah karena sebulan ini kamu benar‐benar jadi anak shaleh”, harus diubah menjadi ”Kamu diberi hadiah bulan ini karena kerajinan kamu dalam melaksanakan shalat wajib”. Pemberian penghargaan atau hadiah harus ada batasnya Pemberian hadiah tidak bisa menjadi metode yang dipergunakan selamanya. Proses ini cukup difungsikan hingga tahapan penumbuhan ke‐ biasaan saja. Manakala proses pembiasaan dirasa telah cukup, maka pemberian hadiah harus diakhiri. Maka hal terpenting yang harus dilakukan adalah memberikan pengertian sedini mungkin kepada anak tentang pem‐ batasan ini. Penghargaan berupa perhatian Alternatif bentuk hadiah yang terbaik bukanlah berupa materi, tetapi berupa perhatian baik verbal maupun fisik. Perhatian verbal bisa berupa komentar‐komentar pujian, seperti, ’Subhanallah’, Alhamdulillah’, indah sekali gambarmu’. Sementara hadiah perhatian fisik bisa berupa pelukan, atau acungan jempol. Dimusyawarahkan kesepakatannya Persepsi umum para orang dewasa, kerap menyepelekan dan meng‐ anggap konyol celotehan anak. Bahwa anak suka bicara ceplas‐ceplos dan mementingkan diri sendiri memang lah benar, tetapi itu bisa diatasi dengan beberapa kiat tertentu. Setiap anak yang ditanya tentang hadiah yang 87
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
dinginkan, sudah barang tentu akan menyebutkan barang‐barang yang ia sukai. Maka di sinilah dituntut kepandaian dan kesabaran seorang pendidik atau orang tua untuk mendialogkan dan memberi pengertian secara detail sesuai tahapan kemampuan berpikir anak, bahwa tidak semua keinginan kita dapat terpenuhi. Distandarkan pada proses, bukan hasil Banyak orang lupa, bahwa proses jauh lebih penting daripada hasil. Proses pembelajaran, yaitu usaha yang dilakukan anak, merupakan lahan perjuangan yang sebenarnya. Sedangkan hasil yang akan diperoleh nanti tidak bisa dijadikan patokan keberhasilannya. Orang yang cenderung lebih mengutamakan hasil tidak terlalu mempermasalahkan apakah proses pencapaian hasil tersebut dilakukan secara benar atau salah, halal atau haram. 2. Prinsip‐Prinsip Pemberian Tarhib a. Kepercayaan terlebih dahulu kemudian hukuman Metode terbaik yang tetap harus diprioritaskan adalah memberikan kepercayaan kepada anak. Memberikan kepercayaan kepada anak berarti tidak menyudutkan mereka dengan kesalahan‐kesalahannya, tetapi sebalik‐ nya kita memberikan pengakuan bahwa kita yakin mereka tidak berniat melakukan kesalahan tersebut, mereka hanya khilaf atau mendapat pe‐ ngaruh dari luar. Memberikan komentar‐komentar yang mengandung kepercayaan, harus dilakukan terlebih dahulu ketika anak berbuat kesalahan. Hukuman, baik berupa caci maki, kemarahan maupun hukuman fisik lain, adalah urutan prioritas akhir setelah dilakukan berbagai cara halus dan lembut lainnya untuk memberikan pengertian kepada anak. b. Hukuman distandarkan pada perilaku. Sebagaimana halnya pemberian hadiah yang harus distandarkan pada perilaku, maka demikian halnya hukuman, bahwa hukuman harus berawal dari penilaian terhadap perilaku anak, bukan ’pelaku’ nya. Setiap anak bahkan orang dewasa sekalipun tidak akan pernah mau dicap jelek, meski mereka melakukan suatu kesalahan. c. Menghukum tanpa emosi. Kesalahan yang paling sering dilakukan orang tua dan pendidik adalah ketika mereka menghukum anak disertai dengan emosi kemarahan. Bahkan emosi kemarahan itulah yang menjadi penyebab timbulnya keinginan untuk menghukum. Dalam kondisi ini, tujuan sebenarnya dari
88
______ Pendekatan Targhib dan Tarhib dalam Pendidikan Islam… (Nia Wardani) pemberian hukuman yang menginginkan adanya penyadaran agar anak tak lagi melakukan kesalahan, menjadi tak efektif. Kesalahan lain yang sering dilakukan seorang pendidik ketika menghukum anak didiknya dengan emosi, adalah selalu disertai nasihat yang panjang lebar dan terus mengungkit‐ungkit kesalahan anak. Dalam kondisi seperti ini sangat tidak efektif jika digunakan untuk memberikan nasihat panjang lebar, sebab anak dalam kondisi emosi sedang labil, sehingga yang ia rasakan bukannya nasihat tetapi kecerewetan dan omelan yang menyakitkan. d. Hukuman sudah disepakati. Sama seperti metode pemberian hadiah yang harus dimusyawarah‐ kan dan di dialogkan terlebih dahulu, maka begitu pula yang harus dilakukan sebelum memberikan hukuman. Adalah suatu pantangan memberikan hukuman kepada anak, dalam keadaan anak tidak menyangka ia akan menerima hukuman, dan ia dalam kondisi yang tidak siap. Mendialogkan peraturan dan hukuman dengan anak, memiliki arti yang sangat besar bagi si anak. Selain kesiapan menerima hukuman ketika melanggar juga suatu pembelajaran untuk menghargai orang lain karena ia dihargai oleh orang tuanya. b. Tahapan pemberian hukuman. Dalam memberikan hukuman tentu harus melalui beberapa tahapan, mulai dari yang teringan hingga akhirnya jadi yang terberat. Untuk itu pendidik perlu merujuk kepada al‐Qur’an, seperti apa konsep tahapan hukuman yang dibicarakan di sana. Adapun Ibnu Jama’ah, sebagaimana yang dikutip syahidin dalam bukunya Metode Pendidikan Qur’ani: Teori dan Aplikasi memandang bahwa jika siswa melakukan prilaku yang tidak dapat diterima, maka pendidik dapat memberikan sanksi kependidikan dalam empat tahapan. Empat tahapan tersebut adalah: 1) Melarang perbuatan itu di depan siswa yang melakukan kesalahan tanpa menyebutkan namanya; 2) Jika anak tidak menghentikan, pendidik dapat melarangnya secara sembunyi‐sembunyi, misal dengan isyarat; 3) Jika anak tidak juga menghentikannya, pendidik dapat melarang‐ nya secara tegas dan keras, agar yang dia dan teman‐temannya menjauhkan diri dari perbuatan semacam itu; 4) Jika anak tidak kunjung menghentikannya, pendidik dapat me‐ ngusirnya dan tidak memperdulikan nya. 14 14 Syahidin, Metode Pendidikan..., hal. 212. 89
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
Yang perlu diingat, targhibtarhib harus menghasilkan buah amaliah dan perilaku yang terpuji. Perwujudan hasil tersebut dapat dilakukan melalui pengambilan 'ibrah sebuah kisah Qur’ani yang kemudian diikuti penerapan targhibtarhib. Targhibtarhib Qur’ani dan Nabawi itu disertai oleh gambaran keindahan dan kenikmatan yang menakjubkan atau pembeberan azab neraka. Untuk itu seorang pendidik dituntut untuk pandai‐pandai memilih imajinasi dan konsep Qur’ani dan Nabawi yang tepat dalam menyajikan materi tentang pahala dan azab Allah Swt. Kesimpulan Islam sebagai agama wahyu yang diturunkan Allah Swt. melalui para RasulNya sudah pasti memberikan yang terbaik kepada makhlukNya dalam menata kehidupan dunia yang serba singkat ini, terlebih akhirat yang merupakan akhir dari perjalanan manusia. Kesuksesan yang diperoleh di dua tempat tersebut sangat dipengaruhi oleh kualitas keilmuan yang dimiliki. Sementara kualitas ilmu itu sangat didasari oleh bagaimana cara ilmu itu di dapat, salah satunya adalah metode. Metode targhib dan tarhib yang telah di uraikan di atas ternyata sangat berpengaruh atau berdampak positif terhadap perkembangan dan kualitas proses belajar yang dilakukan seorang pendidik. Seorang siswa bukan saja matang dalam kualitas keilmuan yang diperoleh, tetapi mentalnya terus ditempa sehingga terbentuk akhlak yang baik sebagai seorang ilmuwan di masa mendatang. Targhib adalah janji yang disertai dengan bujukan yang membuat senang terhadap suatu yang maslahat, terhadap kenikmatan atau kesenangan akhirat yang baik dan pasti, serta suka kepada kebersihan dari segala kotoran, yang kemudian dilanjutkan dengan melakukan amal shaleh serta kebajikan dan menghindari diri dari kenikmatan selintas, temporer yang bermuatan negatif atau perbuatan buruk. Sementara tarhib ialah suatu ancaman atau siksaan sebagai akibat dari mengerjakan hal yang negatif yang mendatangkan dosa atau kesalahan yang dilarang oleh Allah atau lengah dalam menjalankan kewajiban yang diperintahkan oleh Allah Swt. Keutamaan metode targhib dan tarhib pada dasarnya berusaha membangkitkan kesadaran akan keterkaitan dan hubungan diri manusia dengan Allah Swt. Dengan demikian metode ini sangat cocok dikembangkan untuk membentuk anak didik yang sesuai dengan tujuan pendidikan Islam di antaranya membentuk kepribadian yang utuh lahir dan batin. Menurut al‐Ghazali hendaknya para pendidik memberikan nasihat kepada siswanya dengan kelembutan. Pendidik di tuntut berperan sebagai orang tua yang dapat merasakan apa yang dirasakan anak didiknya. Pendidik 90
______ Pendekatan Targhib dan Tarhib dalam Pendidikan Islam… (Nia Wardani) perlu menempuh prosedur yang berjenjang dalam mendidik dan menghukum anak saat dia melakukan kesalahan. Ibn Khaldun mengemukakan bahwa selain seorang pendidik harus mengetahui cara pertumbuhan akal manusia yang bertahap hingga ia mampu menjalankan pertumbuhan itu dengan pengajarannya terhadap anak didik. Beliau juga menasihatkan agar tidak kasar dalam memperlakukan anak didik yang masih kecil. Perlakuan kasar dan keras terhadap anak kecil dapat menyebabkan kemalasan dan mendorong mereka untuk berbohong serta memalingkan diri dari ilmu dan pengajaran. Dan adapun Ibnu Jama’ah mengatakan bahwa pemberian imbalan lebih kuat dan lebih berpengaruh terhadap pendidikan anak dari pada pemberian sanksi. Sanjungan dan pujian pendidik dapat mendorong siswanya untuk meraih keberhasilan dan prestasi yang lebih baik. Ibnu Jama’ah lebih memprioritaskan imbalan, anggapan baik, pujian dan sanjungan. Hal ini perlu dijelaskan oleh pendidik bahwa pujian itu disebabkan oleh upaya dan keunggulan siswa tersebut, sehingga siswa dapat memahaminya. Dalam pemberian targhib kepada anak didik, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan oleh pendidik, di antaranya: 1. Penilaian didasarkan pada ’perilaku’ bukan ’pelaku’. 2. Pemberian penghargaan atau hadiah harus ada batasnya. 3. Penghargaan berupa perhatian. 4. Dimusyawarahkan kesepakatannya. 5. Distandarkan pada proses, bukan hasil. Adapun Prinsip‐Prinsip Pemberian tarhib, di antaranya adalah: 1. Kepercayaan terlebih dahulu kemudian hukuman. 2. Hukuman distandarkan pada perilaku. 3. Menghukum tanpa emosi. 4. Hukuman sudah disepakati. 5. Tahapan pemberian hukuman.
91
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
DAFTAR KEPUSTAKAAN Ahmad Ali Badawi, Imbalan dan hukuman: Pengaruhnya bagi Pendidikan Anak, Jakarta: Gema Insani Pres, 2000. Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, (terj) Jamaludin Miri, Jakarta: Pustaka Amani,1994. Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 2000. Abdurrahman al Nahlawi, Usul al Tarbiyah al Islamiyah wa Asalibuha fi al bayt wa al madrasah wa al mujtama (terj), Muhammad Yusuf, Beirut: Daar al Fikri 2001. Hery Noer Ali, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999. Irawati Istadi, Agar Hadiah dan Hukuman Efektif, Jakarta: Pustaka Setia, 2005. Muhammad Nasiruddin Al‐Bayani, Shohih Jami’ Shoghir, Beirut: Al Maktab Al Islami, tt. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Seruan Kepada Pendidik dan Orang Tua, (terj) Abu Hanan dan Ummu Dzakiyyah, Jakarta: Solom, 2005. Syahidin, Metode Pendidikan Qur’ani: Teori dan Aplikasi, Jakarta: Misaka galiza, 1999.
92
KOMPETENSI MAHASISWA PPL PGMI IAIN ARRANIRY TAHUN 2011/2012 DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR Nurdin Manyak Fakultas Tarbiyah IAIN Ar‐Raniry Kopelma Darussalam Kota Banda Aceh Email:
[email protected] ABSTRACT The success of the learning process is dependent upon the ability of teachers to manage learning. Capabilities that are intent in connection with the preparation of the implementation of the learning plan, the implementation of learning and evaluation of learning. To view the success or failure of the teaching practice program implemented by the faculty at the school. This study aimed to determine the ability of the student teaching program PGMI student Academic Year 2011/2012 Faculty of Tarbiyah IAIN Ar-Raniry in formulating lesson plans, implementation of learning as well as in the evaluation of learning outcomes. Subjects were students of PGMI Year Program 2011/20012 implementing the teaching practice program. The approach used is qualitative techniques of data collection using observation techniques using data analysis techniques through deduction, reduction and display. The results showed that: the ability to teach PGMI students Academic Year 2011/2012 Faculty of Tarbiyah IAIN Ar-Raniry in formulating or designing lesson plans are very good even reached 84.90%; ability to teach PGMI students Academic Year 2011/2012 Faculty Tarbiyah IAIN ArRaniry very well, reaching 86.79% and; ability PGMI students to evaluate student learning outcomes were excellent (88.67%.) Kata Kunci: Kompetensi, Mahasiswa, PGMI dan RPP Pendahuluan Keberhasilan proses belajar mengajar sangat tergantung kepada ke‐ mampuan guru dalam mengelola pembelajaran. Kemampuan yang dimaksud adalah serangkaian kompetensi yang dimiliki oleh guru, baik yang me‐ nyangkut dengan kemampuan berinteraksi dengan siswa, kemampuan dalam memilih dan menentukan media, kemampuan dalam memilih metode pembelajaran, kemampuan dalam mendisain serta mengembangkan materi 93
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
pembelajaran. Guru yang memiliki berbagai kompetensi tersebut adalah guru professional. Persayaratan professional guru dikemukakan dalam Undang‐Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2005 yang menyatakan bahwa: Guru merupakan sebuah profesi yang menuntut suatu kompetensi, agar guru itu mampu melaksanakan tugas sebagai mana mestinya, guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidikan, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuaan untuk me‐ wujudkan tujuan pendidikan nasional. 1 Menurut Sofa bahwa kompetensi profesional guru adalah “sejumlah kompetensi yang berhubungan dengan profesi yang menuntut berbagai keahlian di bidang pendidikan atau keguruan.” 2 Kompetensi professional tersebut merupakan kemampuan dasar guru dalam pengetahuan tentang belajar dan tingkah laku manusia, bidang studi yang dibinanya, sikap yang tepat tentang lingkungan PBM dan mempunyai keterampilan dalam teknik mengajar. Agar guru mampu mengemban dan melaksanakan tanggung jawab‐ nya, maka setiap guru harus memiliki berbagai kompetensi yang relevan dengan tugas dan tanggung jawab tersebut. Dia harus menguasai cara belajar yang efektif, harus mampu membuat model silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), mampu memahami kurikulum KTSP secara baik, mampu mengajar di kelas, mampu menjadi model bagi siswa, mampu mem‐ berikan nasihat dan petunjuk yang berguna, menguasai teknik‐teknik mem‐ berikan bimbingan dan penyuluhan, mampu menyusun dan melaksanakan prosedur penilaian kemajuan belajar dan sebagainya. 3 Fakultas Tarbiyah IAIN Ar‐Raniry adalah sebagai salah satu lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) yang mempersiapkan mahasiswa‐ nya menjadi calon tenaga pendidik yang profesional. Berbagai pembinaan dilakukan agar terwujudnya maksud tersebut, maka salah satu upaya yang dilakukan oleh Fakultas Tarbiyah dalam membina dan mengupayakan mahasiswa sebagai calon tenaga pendidik yang professional adalah mewajibakan mahasiswa untuk mengikuti dan mengambil mata kuliah PPL I (micro teaching) yang dilaksanakan di fakultas sebagai persiapan awal untuk 1Presiden Republik Indonesia, UndangUndang nomor 14 tahun 2005, tentang Undangundang Guru dan Dosen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005). 2Sofa, Profesi Keguruan: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Pekerjaan Profesi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 4. 3Slameto, Belajar dan Faktor yang Mempengaruhinya, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hal. 20.
94
______ Kompetensi Mahasiswa PPL PGMI IAIN Ar-Raniry …
(Nurdin Manyak)
mengajar. Sedangkan PPL II sebagai aplikasi berbagai macam ketrampilan keguruan di sekolah‐sekolah. PPL yang dilaksanakan oleh mahasiswa Fakultas Tarbiyah khususnya Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) Fakultas Tarbiyah adalah serangkaian kegiatan yang diprogramkan bagi mahasiswa, yang meliputi latihan mengajar. Hamalik mengemukakan bahwa: Kegiatan PPL sebagai ajang untuk membentuk dan membina kom‐ petensi profesional yang dipersyaratkan oleh pekerjaan guru atau tenaga kependidikan. Sasaran yang ingin dicapai adalah pribadi calon pendidik yang memiliki seperangkat pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap, serta pola tingkah laku yang diperlukan bagi profesinya serta cakap dan tepat menggunakannya di dalam penyelenggaraan pen‐ didikan dan pengajaran, baik di sekolah maupun di luar sekolah. 4 Keberhasilan mahasiswa Program PGMI untuk memperoleh kom‐ petensi yang baik sangat ditentukan oleh seberapa besar mahasiswa tersebut mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Totalitas kompetensi guru PPL sangat ditentukan oleh kemampuan mengjaranya, baik yang berkaitan dengan keahlian dalam merancang, melaksanakan maupun mengevaluasi pembelajaran. Namun tugas pembelajran yang diterapkan oleh mahaiswa PPL Program PGMI di sekolah praktikan, tampaknya dikelola secara kurang profesional oleh sebagian mahasiswa PPL, karena masih banyak kalangan yang menilai bahwa kondisi pembelajaran di sekolah praktikan belum banyak bergeser dari sistem lama. Dari beberapa diskusi dan seminar juga diperoleh indikasi bahwa kemampuan mahaiswa PPL Program PGMI, belum menampakkan perubahan yang signifikan. Misalnya, masih ada keluhan di kalangan siswa di sekolah praktikan, bahwa mereka mengikuti pembelajaran dari mahaiswa PPL dengan bahan yang sistematikanya tidak jelas, kuliahnya monoton dan tidak dirancang dengan baik, sehingga siswa sulit mengerti. Kritikan terkini dan cukup mengusik pikiran dilontarkan Syahidin dari UPI Bandung dalam acara Seminar Internasional Pendidikan Islam di Banda Aceh, bahwa ”rendahnya mutu guru disebabkan lembaga pendidikan calon guru tidak jelas arahnya. Ini berarti penyelenggara pendidikan terutama dosen tidak mampu menjalankan fungsi manajerialnya di ruang kuliah secara profesional.” 5 4Oemar Hamalik, Psikologi Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2008), hal. 24. 5Syahiddin,”Rendahnya Kualitas Guru”, dalam Harian Serambi Indonesia, tanggal 12 November 2008, hal. :9.
95
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
Dalam kondisi seperti ini, akan segera kita rasakan bahwa citra akademik di Fakultas Tarbiyah ini belum banyak berubah. Untuk itu, perlu diadakan suatu penelitian untuk menguji apakah gejala‐gejala seperti diungkapkan di atas, sesuai dengan kenyataan. Karena sampai sejauh ini, belum ada yang menaruh perhatian khusus untuk meneliti bagaimana sebenarnya kemampuan perilaku profesional para mahasiswa PPL Program PGMI dalam mengelola pembalajaran di sekolah praktikan yang berlaku selama ini. Antara lain, belum terungkap secara jelas bagaimana langkah‐ langkah yang dilakukan mahasiswa PLL dalam mempersiapkan program pembelajaran, bagaimana implementasinya di ruang kuliah dan akhirnya bagaimana melaksanakan evaluasi hasil belajar mahasiswa. Ketiga faktor inilah yang menjadi fokus perhatian utama dalam penelitian ini. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, dapat dirumuskan beberapa masalah, yaitu: Bagaimana kompetensi mahasiswa PPL Program Studi PGMI dalam mengelolaa pembelajaran di sekolah praktikan pada Tahun Ajaran 2009/2010? Untuk lebih spesifik peran kepala sekolah dalam penelitian ini, ada beberapa indicator yang digunakan, di antaranya: 1. Bagaimanakah kemampuan mahasiswa PPL Program Studi PGMI dalam merancang rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP)? 2. Bagaimanakah kemampuan mahasiswa PPL Program Studi PGMI dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran? 3. Bagaimanakah kemampuan mahasiswa PPL Program Studi PGMI dalam melaksanakan evaluasi pembelajaran? Hasil Penelitian Dalam membahas kemampuan mahasiswa PPL dalam mengelola pembelajaran, ada tiga episode yang termasuk dalam rangkaian proses mengelola pembelajaran, yaitu: merancang rencana pelaksanaan pem‐ belajaran (RPP), melaksanakan pembelajaran dan mengadakan evaluasi hasil belajr. Dalam hal kemampuan mahasiswa PPL dalam merancang RPP, hasil analisa data mnunjukkan bahwa indikator kemampuan mahasiswa PPL dalam merancang RPP, diperoleh skor tertinggi yang dicapai oleh responden sebesar 96,57 sedangkan sedangkan skor terendah sebesar 74,41. Dalam hal kemampuan mahasiswa PPL dalam pembelajaran, dapat dijelaskan bahwa hasil analisa data menunjukkan bahwa indikator kemampuan mahasiswa PPL dalam melaksanakan pembelajaran, diperoelh 96
______ Kompetensi Mahasiswa PPL PGMI IAIN Ar-Raniry …
(Nurdin Manyak)
skor tertinggi yang dicapai oleh responden sebesar 94,57 sedangkan skorer terendah sebesar 67,96. Dari segi kemampuan dalam evaluasi hasil belajar, hasil analisa data menunjukkan bahwa indikator kemampuan mahasiswa pPL dalam melaksanakan evaluasi hasil belajr, diperoleh skor tertinggi yang dicapai oleh responden sebesar 95,37 sedangkan skro terendah sebesar 67,75. persentase masing indikator kemampuan dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar. Selanjutnya hasil analisa data juga menunjukkan bahwa indikator kemampuan mahasiswa PPL dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar, diperoleh skor tertinggi yang dicapai oleh responden 95,37 sednagkan skor terendah sebesar 67,75. Persentase masing‐masing indikator kemampuan dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar. Pembahasan Hasil Penelitian Kemampuan dalam Merancang RPP Hasil penelitian terhadap kemampuan mahasiswa PPL dalam merancang RPP yang diterapkan oleh mahasiswa PGMI di sekolah praktikan sangat tinggi. Hasil penelitian ini mengdentifikasikan bahwa indikator yang diteliti yaitu kemampuan mahasiswa PPL dalam merancang RPP sangat tinggi mencapai 84,90%. Hal ini bermakna mahasiswa PPL program PGMI mempunyai kemampuan yang sangat baik dalam merancang RPP, baik yang berkaitan dengan merencanakan indikator, pengorganisasian bahan ajar, mendesain kegiatan, merancang jenis media dan penggunaannya, me‐ rencanakan test untuk mengukur daya serap manusia dan akhirnya me‐ rencanakan tindak lanjut. Kemampuan mahasiswa PPL dalma merancang program pem‐ belajaran ini merupakan wujud profesionalisme guru dalam pengelolaan pembelajaran. Saman (1994: 123‐126) menjelaskan profil kemampuan guru yang profesional dalam merancang program pembelajaran, yaitu: “Merumuskan tujuan pembelajaran secara baik; memilih dan menyusun prosedur pembelajaran yang tepat; dan mengenal kemampuan (entry behavior) mahasiswa secara baik.” Jadi, apa yang dilakukan mahasiswa PPL ketika berada di ruang kelas, merupakan cerminan kemampuan ke‐ terampilan dan sikap seorang guru yang sebenarnya. Dari hasil analisis temuan yang dilakukan terhadap hasil laporan mahasiswa PPL dalam merancang RPP masih lemah, sekalipun hasil dari nilai yang diberikan oleh pihak sekolah sangat tinggi mencapai 84,90%. Walaupun demikian, menurut analisis penulis bahwa masih rendahnya rancangan RPP yang dibuat oleh mahasiswa PPL, hal ini dapat dilihat dari kamampuan mahasiswa dalam menganalisis indikator, merencanakan pengorganisasian 97
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
bahan ajar, mendesain kegiatan, merancang jenis media dan penggunannya, merancang metode/model pembelajaran, merencanakan test untuk mengukur. Kemampuan ini ternyata bila dianalisis satu persatu kemampuan mahasiswa dalam membuat RPP yang sebenarnya masih tergolong lemah. Hasil penelusuran ini dapat dilihat dari dokumentasi yang dikumpulkan mahasiswa PPL pada panitia penyelenggara PPL yaitu intruksional center development (IDC) Fakultas Tarbiyah IAIN Ar‐Raniry Banda Aceh. Di samping itu, dari penelusuran dokumen juga ditemukan bahwa model RPP yang digunakan oleh mahasiswa bahwa format RPP yang digunakan terkadang berbeda. Hasil penelitian ditemukan ada dua format RPP yang dirancang mahasiswa dalam pembelajaran, yaitu (1) masih ada mahasiswa PPL merancang RPP dengan model kurikulum berbasis kom‐ petensi dan (2) masih ada mahasiswa PPL merancang RPP dengan model kurikulum tingkat satuan sekolah (KTSP). Berdasarkan temuan ini dapat dipahami bahwa mahasiswa PPL dalam merancang RPP, nampaknya masih bervariasi, artinya masih menggunakan model lama (KBK) dan model baru (KTSP), hal ini sangat tergantung pihak sekolah yang menggunakannya. Apa yang dipaparkan di atas adalah sebuah gambaran kemampuan mahasiswa PPL dalam merancang program pembelajaran. Pada intinya, para mahasiswa PPL program PGMI tahun ajaran 2009/2010, ternyata mem‐ punyai kemampuan yang bagus dalam merancang program pembelajaran yang diberikan oleh pihak sekolah yang sangat tinggi, belum menjamin bahwa rancangan RPP yang dibuat oleh mahasiswa PPL itu bagus, ternyata dari hasil laporan PPL mahasiswa masih ditemukan adanya kelemahan mahasiswa dalam merancang RPP, baik yang berkaitan dengan kemampuan mahasiswa PPL dalam menganalisis indikator, merencanakan peng‐ organisasian bahan ajar, mendesain kegiatan, merancang jenis media dan penggunaannya, merancang metode/model pembelajaran, merencanakan test untuk mengukur. 1. Kemampuan dalam Melaksanakan Pembelajaran Hasil penelitian terhadap kemampuan mahasiswa PPL dalam melaksanakan pembelajaran di sekolah praktikan sangat tinggi. Hasil pe‐ nelitian ini mengidentifikasikan bahwa indikator yang diteliti yaitu kemampuan mahasiswa dalam melaksanakan pembelajaran sangat tinggi mencapai 86,79%. Hal ini bermakna mahasiswa PPL program PGMI mem‐ punyai kemampuan yang sangat baik dalam melaksanakan pembelajaran. Yang menarik, hampir semua nilai yang diberikan oleh pihak sekolah praktikan sangat baik pada mahasiswa PPL dalam mengelola pembelajaran. Peneliti tidak bisa memberikan penilaian terhadap kemampuan mahasiswa dalam mengelola pembelajaran, sebab ini merupakan penelusuran studi 98
______ Kompetensi Mahasiswa PPL PGMI IAIN Ar-Raniry …
(Nurdin Manyak)
dokumen, artinya apa yang tercatat dalam laporan mahasiswa itu hasil yang dianalisis. Dalam hal ini, peneliti mengikuti hasil laporan mahasiswa PPL, bahwa ternyata kemampuan mahasiswa PPL dalam mengelola pembelajaran sangat bagus, baik yang berkaitan dengan penguasaan bahan ajar, pengelo‐ laan kelas, menggunakan jenis media serta menggunakan model/metode pembelajaran. Untuk lebih jelas akan diterangkan berikut: a. Penguasaan materi pelajaran Dalam penyamapain materi pembelajaran, perlu adanya keterampilan komunikasi yang baik dengan mahasiswa, dari hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa PPL mampu secara baik mengkomunikasikan materi kuliah kepada mahasiswa, sehingga mudah dimengerti oleh siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Sardiman bahwa: Sebelum guru tampil di depan kelas mengelola pembelajaran, terlebih dahulu merancang pengorganisasian bahan pengajaran yang akan disampaikan dan sekaligus bahan‐bahan apa yang dapat mendukung jalannya proses pemeblajaran. Dengan modal penguasaan bahan tersebut, mahasiswa PPL dapat menyampaikan materi pelajaran secara baik dan dinamis. 6 Dalam penyajian materi pelajaran, mahasiswa PPL perlu mem‐ perhatikan terhadap karakteristik bahan pelajaran, diantaranya bahan kuliah harus sesuai dengan tujuan, berkesinambungan, disusun secara sistematis dari sederhana ke kompleks, dari yang mudah ke yang sulit dan dari materi yang konkret menuju ke yang abstrak, sehingga mahasiswa dapat memahami materi tersebut dengan baik. Guru yang akuntabel adalah guru yang siap dengan sejumlah bahan pengajaran guna membantu mahasiswa menuju penguasaan pengetahuan, sikap dan ketrampilan. Mahasiswa PPL harus menguasai bahan pengajaran wajib, bahan pengayaan dan bahan pengajaran penunjang, sesuai dengan indikator yang dirancang serta selaras dengan perkembangan mental maha‐ siswa, perkembangan ilmu dan teknologi, dengan tetap memperhatikan sumber daya yang tersedia di sekolah dan lingkungan sekitarnya. b. Mengelola kelas Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa PPL ada mengelola kelas, sehingga pembelajaran dapat berjalan secara kondusif. Hal ini sesuai dengan pendapat Ahmad Sanusi bahwa “untuk menciptakan pembelajaran yang kondusif mahasiswa PPL perlu menciptakan pengelolaan kelas yang 6 Sardiman A.M, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rajawali Press,
2009), hal. 78.
99
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
baik dnegan cara mengatur tata ruang kelas untuk pembelajaran dan menciptakan iklim pembelajaran yang serasi.” 7 Untuk mengajar di suatu kelas, mahsiswa PPL dituntut mamp[u me‐ nguasai kelas, yaitu menyesiakan kondisi yang kondusif untuk ber‐ langsungnya proses pembelajaran. Kalau belum kondusif, mahsiswa PPL harus berusaha seoptimal mungkin untuk membenahinya. Karena itu, kegiatan mengelola kelas akan menyangkut tentang tata ruang dan men‐ ciptakan iklim belajar yang kondusif dan menyenangkan. Kelas sebagai kesatuan kelompok belajar, sebaiknya berkembang menjadi kelompok belajar yang penuh kekeluargaan dan kerja sama yang edukatif yang senantiasa berusaha untuk mencapai prestasi, penuh ke‐ disiplinan efektif dalam penggunaan waktu belajar, sehingga tercipta situasi kelas yang menyenangkan dna kondusif. Di samping itu, mahasiswa PPL dituntut untuk mampu mengelola kelas, yakni menyediakan kondisi yang kondusif untuk berlangsungnya proses pembelajaran, sebab itu belum kondusif, mahaiswa PPL harus berusaha seoptimal mungkin untuk mem‐ benahinya. Karena itu, kegiatan mengelola kelas akan menyangkut dengan pengaturan tata ruang kelas yang memadai untuk pengajaran dan men‐ ciptakan iklim pembelajaran yang serasi. c. Penggunaan metode Berdasarkan data yang diperoleh dalma penelitian yang berkenaan dengan penggunaan metode menunjukkan bahwa mahasiswa PPL sering menggunakan metode yang bervariasi, hal ini tentu disesuaikan dengan tujuan pembelajaran, keadaan mahasiswa, keadaan kelas, dan adanya keserasian dengan menggunakan metode yang bervariasi dalam pem‐ belajaran. Ada pula sebagian kecildari mahasiswa PPL kurang berhasil dalam menggunakan metode pembelajaran, artinya mahasiswa PPL tersebut meng‐ gunakan metode secara menoton, misalnya selalu menggunakan metode ceramah sebagai metode andalan dalam pembelajaran, tanpa diselingi dengan metode lain, pada hal materinya tidak sesuai. Hal tersebut dapat mengurangi motivasi dalam belajar, sehingga dalam proses pembelajaran cepat membosankan. d. Penggunaan media Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya mahasiswa PPL sudah memanfaatkan media, sebab mereka menggunakan laboratorium dalam proses pembelajaran bahkan diantara mereka membuat sendiri media sesuai dengan bahan ajarnya. Jadi, dalam penggunaan media 7 Achmad Sanusi, dkk., Studi pengembangan Model Pendidikan Profesional Tenaga
Kependidikan, (Bandung: IKIP Bandung, 2008), hal. 97
100
______ Kompetensi Mahasiswa PPL PGMI IAIN Ar-Raniry …
(Nurdin Manyak)
pemeblajaran ada sebagian mahasiswa PPL yang menggunakan media dan sebagian lagi ada yang tidak memanfaatkan media, hal ini sesuai dengan materi yang diajarkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Sardiman bahwa “Penggunaan media dalam pemeblajaran sangat penting sebagai alat bentuk untuk menjelaskan pemahaman dalam pembelajaran.” 8 Pada dasarnya, penggunaan media yang baik dalam pembelajaran dapat memberikan manfaat, diantaranya dapat memperjelas atau meng‐ konkritkan pemahaman mahasiswa tentang konsep yang dipelajari, dan karena itu verbalisme dapat dihindari dan dapat membuat pemahaman mahasiswa itu lebih tepat dan cepat dimilikinya, serta pengertian yang telah dimilikinya itu dapat tahan lebih lama atau tidak segera dilupakan; cenderung menimbulkan rasa ingin tahu mahasiswa dalam belajar; dan dapat membuat situasi belajar bervariasi dan tidak membosankan. Karena itu, seorang mahasiswa PPL perlu memanfaatkan media dalam pemeblajaran sesuai dengan materi kuliah yang diajarkan. e. Kemampuan Evaluasi Hasil Belajar Hasil penelitian terhadap kemampuan mahasiswa PPL dalam me‐ laksanakan evaluasi hasil belajar di sekolah praktikan sangat tinggi. Hasil penelitian ini mengidentifikasikan bahwa indikator yang diteliti sangat tinggi mencapai 88,67%. Hal ini bermakna mahasiswa PPl program PGMI mempunyai kemampuan yang sangat baik dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahaiswa PPl mengikuti prosedur dalam memberika nilai kepada siswa, artinya sesuai dengan ke‐ mampuan siswa diberikan dan dinilai tersebut diberikan secara obyketif, artinya pada umumnya mahasiswa PPl yang melaksanakan penilaian hasil belajar siswa sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh pihak sekolah. Sekalipun, ada mahasiswa PPL yang menilai di luar prosedur yang telah ditetapkan di luar buku panduan (sekolah) jumlahnya sangat sedikit. Teknik evaluasi ini sangat penting diketahui oleh guru dalam proses pem‐ belajaran, hal ini sesuai dengan pendapat Sardiman bahwa dalam me‐ ngadakan evaluasi guru harus mampu membuat dan menjabarkan kisi‐kisi soal; membuat pembobotan terhadap item‐item soal, dan menjabarkan kontruksi tes dalam bentuk item‐item soal secara jelas dan operasional.” 9 Berdasarkan hasil penelusuran studi dokuemen, terhadap mahasiswa PPL menunjukkan indikasi bahwa mahasiswa PPL telah mengikuti ke‐ 8 Sardiman A.M., Interaksi ..., hal. 81 9 Sardiman A.M. Interaksi ..., hal. 89.
101
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
tentuan‐ketentuan pelaksanaan evaluasi hasil belajar yang digariskan oleh pihak sekolah. Mereka memberikan nilai sesuai dengan prosedur yang ber‐ laku di sekolah, artinya mahasiswa PPL dalam memberikan nilai kepada siswa sesuai dengan kemampuan yang diperoleh ketika ujian. Dalam kaitan ini, penulis tidak bisa memberikan analisis tentang kemampuan mahasiswa PPL dalam melakukan evaluasi hasil belajar, sebab dari penelusuran studi dokumen yang ada pada laporan mahasiswa PPL tidak melampirkan data tentang evaluasi ini secara lengkap. Namun demikian, kemampuan mahaiswa PPL dalam melakukan evaluasi hasil belajar ini dapat dianalisis melalui kisi‐kisi soal yang dibuat oleh mahasiswa PPL pada umumnya telah mengikuti kaedah evaluasi, di‐ mana dalam menjabarkan kontruksi tes dalam bentuk item‐item soal secara jelas dan operasional yang dirancang dari indikator‐indikator hasil belajar yang sudah dirumuskan dalam SAP. Sepatutnya prosedur pembuatan soal‐ soal tes ini sangat penting diketahui oleh guru dalam proses evaluasi hasil belajar. Hal ini sesuai dengan pendapat Sardiman bahwa “dalam mengadakan evaluasi guru harus mampu mambuat dan menjabarkan kisi‐kisi soal; membuat pembobotan terhadpa item‐item soal, dan menjabarkan kontruksi tes dalam bentuk item‐item soal secara jelas dan operasional.” 10 Dari apa yang dideskripsikan di atas, sampai kita kepada kesimpulan bahwa evaluasi hasil belajar akan dapat terungkap bagaimana daya serap siswa dan setinggi mana prestasi belajarnya. Dengan mengetahui prestasi belajar siswa, baik secara individual maupun kelompok, maka seorang guru dapat mengambil kebijakan dalam pembelajaran yang lebih konstruktif. Bagi guru (mahaiswa PPL) yang bijaksana dan memahami karakteristik siswanya akan selalu mengadakan evaluasi dalam proses pembelajaran untuk ke‐ pentingan kemajuan belajar siswanya. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa keber‐ hasilan proses belajar mengajar sangat tergantung kepada kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran. Kemampuan yang dimaksud yang berkaitan dengan penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), pelaksanaan pembelajaran dan evaluasi pembelajaran. Untuk melihat berhasil atau tidaknya program PPL yang dilaksanakan oleh pihak fakultas di sekolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Kemampuan mengajar mahasiswa Program PGMI Semester Genap Tahun Ajaran 2011/2012 Fakultas Tarbiyah IAIN Ar‐Raniry dalam merumuskan atau merancang RPP sangat bagus 10 Sardiman A.M. Interaksi ..., hal. 92.
102
______ Kompetensi Mahasiswa PPL PGMI IAIN Ar-Raniry …
(Nurdin Manyak)
bahkan mencapai 84,90%; Kemampuan mengajar mahasiswa Program PGMI Semester Genap Tahun Ajaran 2011/2012 Fakultas Tarbiyah IAIN Ar‐Raniry sangat baik, mencapai 86,79% dan; Kemampuan mahasiswa Program PGMI dalam melakukan evaluasi hasil belajar siswa sangat baik (88,67%.)
103
Jurnal Azkia Vol. 7, No. 1, Juli 2012
DAFTAR KEPUSTAKAAN Achmad Sanusi, dkk., Studi pengembangan Model Pendidikan Profesional Tenaga Kependidikan, Bandung: IKIP Bandung, 2008. Oemar Hamalik, Psikologi Belajar Mengajar, Bandung; Sinar Baru Algensindo, 2008. Presiden Republik Indonesia, UndangUndang nomor 14 tahun 2005, tentang Undangundang Guru dan Dosen, Jakarta: Sinar Grafika, 2005. Sardiman A.M, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: Rajawali Press, 2009. Slameto, Belajar dan Faktor yang Mempengaruhinya, Jakarta: Rineka Cipta, 2009. Sofa, Profesi Keguruan: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Pekerjaan Profesi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008. Syahiddin, ”Rendahnya Kualitas Guru”, dalam Harian Serambi Indonesia, tanggal 12 November 2008.
104
Pedoman Penulisan Pedoman Penulisan Tema Tulisan Judul bebas, namun harus berkaitan dengan Ilmu Pendidikan Islam. Jumlah Halaman Berkisar 12 S/D 15 Halaman Kuarto, Spasi 1,5 Dengan Program Microsoft Word dengan File doc. atau rtf. Sertakan Naskah Print Out dan Compact Disk (CD). Pengutipan Ayat dan Hadits 1. Kutipan ayat al-Qur'an harus menuliskan ayat dan terjemahnya serta mencantumkan nomor surat dan ayat. 2. Hadits ditulis secara lengkap teks dan terjemahnya serta sumbernya. Referensi 1. Menggunakan referensi lengkap dengan model footnote bukan endnote. Contoh: 1 M. Nasir Budiman, Pendidikan Islam, (Semarang: Asy-Syifa’, 1990), hal. 14. 2. Kutipan dari referensi yang sama, tanpa diselingi dengan referensi lain, cukup ditulis dengan Ibid. dan menuliskan halaman referensinya, apabila halaman yang dikutip berbeda. Contoh, Ibid., hal. 17 3. Kutipan dari referensi yang sama, namun diselingi dengan referensi lain, maka cukup ditulis: nama penulis dan sebagian judul bukunya serta halamannya saja. Contoh: M. Nasir Budiman, Pendidikan…, hal. 20. Abstrak dan Kata Kunci Abstrak dalam bahasa Inggeris, kecuali untuk tulisan yang menggunakan bahasa asing, abstrak dibuat dengan bahasa Indonesia. Kata kunci harus mewakili pesan utama tulisan, yang terdiri dari 3 kata. Identitas Penulis Identitas penulis harus menyebutkan lembaga yang beralamat (terjangkau Pos), dan harus disertai alamat email. Contoh: Khairuddin, Fakultas Syari'ah IAIN Ar-Raniry, Kopelma Darussalam Kota Banda Aceh, 23111. Email:
[email protected].
105