Ayu Prameswary
Jazz. Hujan. Pierre.
fortherosebooks
Jazz. Hujan. Pierre. Oleh: Ayu Prameswary Copyright © 2010 by Ayu Prameswary
Penerbit fortherosebooks
Desain Sampul: Simplicated Design (
[email protected])
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
Untukmu, Hujan.
Tetesan
Desember, Malam Itu Ketika Hujan Turun Di Hari Hujan Suara Hujan Menatap Hujan Hujan Pagi Hari Jazz, Hujan, dan Pierre Rumah Awal Tahun Satu Hari Bandara Bulan Merah Sepotong Kenangan Gadis Danau Jalan Menuju Pulang Natal
DESEMBER, MALAM ITU
Di depan gereja St. Maria, Allen Aku menunggumu di sana, Seusai misa malam Natal. -Mia
Sehelai notes bertuliskan pesan pendek itu kutemukan terselip dalam buku novel yang baru saja kubeli di flea market siang tadi. Sebuah pesan penantian. Entah kenapa aku merasa dekat dengan isi pesan tersebut, hingga membuatku membacanya berulang kali. “Hot Cappuccino. Maaf lama menunggu.” Suara pramusaji kafe tempatku berdiam sekarang membuyarkan lamunan sesaat. Ia meletakan cangkir berisi cappuccino pesananku di atas meja dan memberikan senyumnya. “Terima kasih.” Ucapku membalas senyumnya sembari mengisyaratkan bahwa dia sudah bisa pergi meninggalkanku. Sementara hujan yang siang tadi sempat berhenti mulai merintik lagi di luar sana, aku kembali melamunkan pesan itu, melupakan novel yang awal tadi berniat kubaca. Sesekali menyeruput cappuccino yang mulai kehilangan hangatnya. Gereja St. Maria itu tidak jauh dari tempat tinggalku. Mungkin inilah yang membuatku penasaran. Tapi... entahlah. Apakah mereka sudah bertemu? Apakah 1
pesan ini sampai pada Allen, atau tertahan dalam hati Mia? Drrrttt...drrrttt... Lagi-lagi lamunanku buyar. Kali ini oleh getar ponsel yang kuletakan di sebelah cangkir capuccino. Sepenggal nama berpendar dalam layarnya. Ah, nama yang kutunggu. “Renna...” sapanya lembut. Aku tersenyum. Lembutnya kali ini mengisyaratkan apakah? “Karis... bagaimana?” tanyaku dengan harap cemas. “Aku tidak tahu Renna. Pekerjaanku banyak sekali, bahkan sepertinya malam Tahun Baru pun aku tidak bisa pulang.” Karis mulai mengeluh, mengharapkan pengertian dariku. Aku tidak mengharapkan ucapan itu dari Karis. Sudah dua Desember kuisi oleh pertengkaran dengan Karis. Dan keduanya disebabkan oleh hal yang sama, Karis yang tak bisa pulang karena pekerjaan. Haruskah Desember ketiga kuisi lagi dengan hal itu? Aku tidak ingin berdebat dengan Karis. Mungkin, kalau kulakukan, air mata yang akan keluar, bukan rasa marah dan kecewa. Maka, kuhentikan percakapanku dengan Karis. Drrttt... drrttt.... Ponsel itu bergetar lagi. Tidak kuhiraukan. Aku meraih novel yang sempat terlupa. Mencoba menyerapnya baris demi baris. Tapi hanya ada Karis dalam kepala, tidak mengijinkan hal lain singgah barang sebentar. Tidak juga isi novel yang sudah lama kucari dan baru kutemukan hari ini. Ponsel itu terus bergetar. Berhenti sebentar. Bergetar kembali. Dan aku hanya memandanginya. Di luar, hujan turun semakin deras, menghadirkan kepulan uap dari cangkircangkir minuman yang terhidang di atas meja, yang tersebar dalam ruangan kafe ini. Aku mengangkat tangan kananku, mengisyaratkan bahwa aku menginginkan segelas cappuccino lagi. Ah, sebuah ide melintas dalam kepalaku. Kuambil ponsel yang sudah berhenti bergetar itu, menuliskan pesan pendek untuk Karis.
Karis, aku menunggumu di depan gereja St. Maria pada malam Natal... Setelahnya, kumatikan ponselku. 2
Desember selalu saja menghadirkan dingin. Tidak terkecuali malam ini. Aku merapatkan jaket sembari menyusupkan kedua tanganku dalam sakunya. Mencoba menghalau dingin. Kususuri taman kota yang terisi oleh beberapa keluarga dan pasangan kekasih yang mencoba menghabiskan malam Natal bersama. Sementara angin berhembus merontokkan daun-daun dari rantingnya. Mungkin, hujan akan turun. Sebentar lagi aku akan tiba di depan St. Maria. Menuju tempat itu dari rumahku memang tidak jauh. Hanya melewati taman kota, maka, sampailah. Bangunan lama bercat putih yang bernuansa natal sudah tampak depan mataku. Di depan gerbangnya tertempel sebuah spanduk bertuliskan ucapan hari Natal. Sementara, di depan area gereja, terdapat sebuah pohon besar berhiaskan lampu warna-warni dan ornamen Natal. Pohon itu dipagari oleh bangku semen yang tersusun mengitarinya. Aku mendekati pohon itu, menikmati keindahannya. Kemudian duduk di bangku semen tersebut. Kuputuskan menunggu Karis di sini, ditemani kidung Natal yang terdengar dari dalam gereja. Sejak pesan pendek yang kukirimkan dalam kafe dua hari lalu, ponselku sama sekali tidak kuaktifkan. Aku tidak ingin, tidak bisa, menerima balasan dari Karis yang mungkin berisi penolakan. Jika kami harus bersama, dia pasti akan datang malam ini. Jika memang sebaliknya, maka biarlah itu yang terjadi. Aku terus menekankan hal itu dalam hati.
Dillanjutkan setelah beli bukunya, ya ;)
3