PENDAHULUAN Audit pada organisasi nirlaba sangat dibutuhkan karena laporan keuangan organisasi merupakan salah satu sarana untuk memenuhi akuntabilitas yang dituntut oleh para stakeholders (pemberi dana/penyumbang, penerima jasa, karyawan, pemerintah). UU nomor 28 tahun 2004 pasal 52 menyebutkan bahwa yayasan yang memperoleh bantuan negara, batuan luar negeri dan/atau pihak lain sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih dalam 1 tahun buku atau mempunyai kekayaan diluar harta wakaf sebesar Rp 20.000.000.000,00 wajib diaudit oleh akuntan publik. Untuk itu auditor harus mengerti karakteristik suatu organisasi nirlaba agar mereka dapat mengetahui perlakuan profit pada organisasi nirlaba, sehingga tidak disamakan dengan organisasi bisnis. Pada tahun 2009 berdasarkan data Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia terdapat 21.569 organisasi nirlaba yang terdaftar secara resmi dan berbentuk badan hukum. Kinerja ribuan sektor nirlaba tersebut belum secara transparan dilihat oleh masyarakat. Kondisi ini disebabkan karena minimnya penggunaan teknologi informasi pada sektor nirlaba sebagai sarana berinteraksi dengan
masyarakat
(http://www.indonsiango.org/en/articles-and-
opinions/articles/1125-penerapan-teknologi-informasi-menuju-akuntabilitassektor-nirlaba). Menurut Grey Rooney, Civil Society Progam advisor ACCES dalam Abidin menyatakan bahwa sedikit sekali perhatian dan usaha yang dilakukan untuk membentuk organisasi nirlaba yang memiliki akuntabilitas di hadapan konstituen dan masyarakat luas. Demi menjaga kelangsungan organisasi dalam 1
memberikan layanan publik bahkan memperluas bidang pelayanannya, maka organisasi perlu dikelola dengan baik. Kinerja perlu dinilai dari tahun ke tahun demi perbaikan berkelanjutan dan sebagai bentuk akuntabilitas pada pihak yang berkepentingan terhadap perkembangan organisasi nirlaba tersebut (Hardiyani, 2009). Setiap organisasi nirlaba memiliki tujuan yang sama yaitu tidak berorientasi mencari surplus dalam aktivitas organisasinya. Surplus tetap diperlukan oleh organisasi nirlaba namun besarnya mendekati nol atau tidak defisit dan tidak surplus. Peranan organisasi nirlaba juga sangat dibutuhkan dalam masyarakat, karena aktivitas yang dilakukan untuk melayani masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan organisasi nirlaba (ONL) disebut sebagai organisasi yang memiliki karakteristik unik. Dengan keunikan yang dimiliki tersebut maka ONL mempunyai perlakuan akuntansi yang berbeda seperti yang tercantum dalam PSAK No. 45. Dalam PSAK No. 45, ONL memiliki transaksi tertentu yang jarang atau bahkan tidak pernah terjadi dalam organisasi bisnis, misalnya penerimaan sumbangan. Penyumbang/donatur merupakan aset utama bagi ONL, namun penyumbang bukan pemilik organisasi nirlaba. Menurut Fakih (2000) dalam Assa’di et al. (2009), ONL khususnya LSM mengalami ketergantungan yang cukup kuat terhadap lembaga donor. Pada awal tahun 1970 dana yang diperoleh ONL bersumber dari hibah dan lembaga donor internasional. ONL tidak pernah membagi laba dalam bentuk apapun kepada pendiri atau pemilik entitas.
2
Dalam penelitiannya pada konteks rumah sakit nirlaba, Leone dan Van Horn (2005) membuat hipotesis yang mereka sebut dengan zero profit and loss avoidance hypothesis. Hipotesis ini menyatakan bahwa pengurus rumah sakit nirlaba mempunyai insentif untuk mengelola surplus mendekati nol dan menghindari kerugian yang terjadi dalam rumah sakit nirlaba. Pengurus rumah sakit memiliki insentif dalam mengelola surplus karena pengurus mengutamakan misi ONL yaitu melayani masyarakat bukan mencari surplus yang tinggi. ONL yang memiliki surplus mendekati nol menunjukkan bahwa organisasi tersebut tidak berorientasi terhadap laba. Surplus positif yang tinggi dapat mempengaruhi donatur/penyumbang dalam membuat suatu keputusan untuk memberikan sumbangan
karena
donor
mempersepsikan
organisasi
tersebut
tidak
mengalokasikan seluruh sumbangan ke aktivitas organisasi. Surplus yang negatif atau berada dibawah nol dapat diartikan bahwa kelangsungan hidup organisasi nirlaba tersebut terancam atau bahkan dapat menyebabkan kerentanan keuangan. Temuan empiris Leone dan Van Horn (2005) serta Trussel dan Greenlee (2000) mendukung hipotesis tersebut. Meski demikian, penelitian yang dilakukan oleh Tuckman dan Chang (1992) terhadap beberapa sampel rumah sakit nirlaba di luar negeri menemukan bahwa ONL membutuhkan surplus untuk menyediakan sarana bagi masyarakat yang kurang mampu dan memanfaatkan surplus tersebut untuk menghadapi ketidakpastian dan risiko dimasa yang akan datang. Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian Permanasari (2011) yang mengatakan bahwa dengan melakukan pengujian terhadap rasio surplus margin dalam ONL di Indonesia terbukti adanya fenomena zero-profit constraint 3
hypothesis yang terindikasi awal dalam organisasi di Indonesia. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Permanasari (2011) yaitu terletak pada data yang digunakan. Dalam penelitian ini menggunakan data yang berupa laporan keuangan tahunan organisasi nirlaba yang telah diaudit dan menggunakan jumlah data yang lebih banyak. Penulis tertarik meneliti kembali untuk menambah temuan empiris mengenai surplus organisasi nirlaba di Indonesia mengingat penelitian mengenai surplus pada organisasi nirlaba di Indonesia sepengetahuan penulis masih jarang dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku surplus organisasi nirlaba di Indonesia. Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat menambah bukti empiris mengenai pengelolaan surplus ONL di Indonesia, memberikan informasi kepada penyumbang/donatur sebelum memberikan sumbangannya, dapat bermanfaat bagi masyarakat dalam memahami ONL dan memberikan informasi kepada pihak lain yang berkepentingan.
TELAAH TEORITIS Organisasi nirlaba Menurut Hardiyani (2009) organisasi nirlaba adalah organisasi yang didirikan oleh perorangan ataupun sekelompok orang yang secara sukarela memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari kegiatannya. Menurut PSAK No.45 tahun 2007 organisasi nirlaba memperoleh sumber daya dari sumbangan para anggota dan
4
para penyumbang lain yang tidak mengharapkan imbalan apapun dari organisasi tersebut. (IAI, 2007: 45.1). Dana ONL bersumber baik dari pihak kedua maupun pihak ketiga. Sumber dana diperoleh dari pihak kedua, dimana penyumbang/pendonor menerima manfaat dari ONL tersebut. Misalnya universitas maupun sekolah yang berbentuk yayasan serta rumah sakit. Sedangkan dana yang berasal dari pihak ketiga, penyumbang/pendonor tidak menerima manfaat dari dana yang disumbangkan melainkan yang menerima manfaat adalah masyarakat. Seperti, lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat dan gereja (Nainggolan, 2005). Organisasi nirlaba ini memiliki ciri – ciri sebagai berikut (IAI,2007:45.2): a. Sumber daya entitas Sumber daya entitas berasal dari para penyumbang yang tidak mengharapkan pembayaran
kembali
atau manfaat ekonomi
yang
sebanding dengan jumlah sumber daya yang diberikan.
b. Menghasilkan barang/jasa tanpa bertujuan menumpuk laba Menghasilkan barang/jasa tanpa bertujuan menumpuk laba, kalau suatu entitas menghasilkan laba, maka jumlahnya tidak pernah dibagikan kepada para pendiri atau pemilik entitas tersebut. c. Tidak ada kepemilikan Tidak ada kepemilikan seperti lazimnya pada organisasi bisnis, dalam arti bahwa kepemilikan dalam organisasi nirlaba tidak dapat dijual, dialihkan atau ditebus kembali atau kepemilikan tersebut tidak mencerminkan 5
proporsi pembagian sumber daya entitas pada suatu likuidasi atau pembubaran entitas.
Rasio Surplus Margin Rasio surplus margin merupakan surplus (defisit) yang dibagi dengan total pendapatan. Organisasi nirlaba memiliki insentif untuk meminimalkan surplus dan menghindari kerugian. Donatur dapat melihat bahwa jika ONL memiliki surplus maka ONL tersebut tidak memaksimalkan tujuan sosialnya (program). Rasio surplus margin yang kurang dari nol menunjukkan bahwa pengeluaran melebihi pendapatan, dan rasio surplus margin yang lebih besar dari nol menunjukkan
bahwa
pendapatan
melebihi
pengeluaran
(http://nccsdataweb.urban.org/).
Surplus Margin Ratio=
(
)
Zero Profit and Loss Avoidance Hypothesis ONL memiliki tujuan sosial seperti, menyediakan pelayanan sosial bagi masyarakat
yang kurang mampu. Untuk membiayai aktivitasnya ONL
memperoleh dana dari sumbangan para donatur/penyumbang. Dalam konteks rumah sakit nirlaba, Leone dan Van Horn (2005) mengatakan manajer memiliki insentif untuk mengelola surplus mendekati nol dan menghindari kerugian. Mereka berasumsi bahwa rumah sakit nirlaba diharapkan memaksimalkan kegiatan sosialnya dengan menggunakan sebagian besar dananya sehingga surplus 6
yang dihasilkan mendekati nol. Jika surplus yang dihasilkan negatif maka pengurus memiliki insentif meningkatkan surplusnya mendekati nol untuk menghindari kerugian. Hal ini kemungkinan besar disebabkan jika surplus yang dicapai meningkat terus menerus akan mengancam status ONL yang bebas pajak. Pelaporan surplus ONL memberikan informasi kepada pihak luar khususnya kepada donatur/penyumbang agar donatur/penyumbang mengetahui pemanfaatan dana. Menurut Frank et al (1990) dalam Leone dan Van Horn (2005) bahwa donor potensial mempertimbangkan profitabilitas sebagai kriteria penting ketika
membuat
keputusan
untuk
memberikan
dana
pada
ONL.
Donatur/penyumbang akan sedikit memiliki kemungkinan untuk memberikan donatur kepada ONL jika surplus yang dihasilkan tinggi sehingga donatur tidak melihat ONL membutuhkan dana untuk melakukan kegiatannya. ONL
memaksimalkan
tujuan
sosial
untuk
menunjukkan
kepada
penyumbang/donatur bahwa dana yang disumbangkan itu benar – benar dipakai untuk kepentingan masyarakat dan surplus yang dihasilkan relatif rendah, berbeda dengan organisasi bisnis manajer memaksimalkan laba untuk menarik para investor agar tertarik untuk berinvestasi ke perusahaan tersebut. Untuk mencapai surplus mendekati nol manajer meminimalkan pendapatan diluar donatur dalam melaporkan pendapatan (Leone dan Van Horn, 2005). Agar ONL dapat terus bertahan untuk melakukan kegiatannya, organisasi nirlaba membutuhkan surplus. Surplus tersebut akan digunakan sebagai dana internal untuk masa yang akan datang (Tuckman dan Chang, 1992).
7
Dalam kenyataannya organisasi nirlaba tidak selalu memperoleh surplus bahkan kerugian pun akan dialami sehingga menyebabkan kerentanan keuangan (financial vulnerability) yang akhirnya akan mengakibatkan kebangkrutan jika terjadi terus – menerus (Greenlee dan Trussel, 2000). Penelitian mengenai surplus yang dilakukan di luar negeri mengasumsikan bahwa organisasi nirlaba dikatakan mengalami kebangkrutan jika organisasi tersebut selama tiga tahun berturut – turut melaporkan kerugian bersih (Gilbert, Menon, dan Schwartz, 1990 dalam Greenlee dan Trussel, 2000). Terkadang hal ini disebabkan karena manajer kurang memiliki kemampuan dalam mengelola surplus atau tidak memiliki cukup aset yang digunakan untuk memenuhi kewajibannya dan pemborosan dalam pemakaian aset.
Penelitian Terdahulu tentang Surplus Margin Ratio Menurut Tuckman dan Chang (1992) ada 3 kelompok yang membahas perilaku ONL. Sekelompok penulis mengasumsikan bahwa pengeluaran ONL harus sama dengan pendapatan yang diterima oleh ONL yang berakibat sama dengan nol (Scanlon, 1980). Kemudian kelompok kedua dari para ahli mengasumsikan bahwa fungsi utama dari surplus ONL sebagai persediaan dana internal untuk investasi dimasa yang akan datang (Hansman,1986), serta kelompok peneliti melihat surplus sebagai salah satu item yang memberi kepuasan kepada pembuat keputusan dalam organisasi nirlaba (Weisbrod, 1988 dalam Tuckman dan Chang, 1992).
8
Namun beberapa ONL mengakumulasikan surplus dalam jumlah yang besar dan mengindikasikan bahwa organisasi tersebut bertujuan komersial, sehingga menjamin organisasi berubah status menjadi tidak bebas terhadap pajak. Untuk itu donatur membutuhkan informasi mengenai bagaimana sumbangan itu digunakan oleh ONL. Ekuitas yang diakumulasikan ini oleh pembuat keputusan akhirnya akan digunakan untuk kegiatan yang mendukung misi dari organisasi nirlaba (Tuckman dan Chang, 1992). Begitu juga pada Organisasi Blue Cross Blue Shield (BCBS) yang mempunyai rencana untuk meningkatkan surplusnya dengan meningkatkan tarif asuransi di beberapa Negara dari tahun ke tahun, hal ini dilakukan oleh organisasi Blue Cross Blue Shield untuk perlindungan solvabilitas (Aspen, 2010). Penelitian serupa juga dilakukan oleh Bickelman (2010), dalam hal ini konteksnya pada rumah sakit yang berada di Massachusetts. Terdapat beberapa sampel rumah sakit yang melakukan akumulasi sumber keuangan. Pengurus rumah sakit mengakumulasi sumber keuangan untuk mempertahankan kegiatan operasi dan untuk menghadapi peristiwa keuangan yang tak terduga. Sumber keuangan ini memungkinkan rumah sakit untuk membiayai pengeluaran utama seperti pengembangan sistem, investasi dalam teknologi baru dan layanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam pengelolaan keuangan ONL ini, pengurus/manajer melakukan praktek manajemen laba. Manajemen laba dilakukan oleh beberapa organisasi nirlaba di Amerika dengan tujuan agar surplus yang dihasilkan pada laporan keuangan mendekati nol (balance). Laporan keuangan yang dilaporkan kepada 9
pendonor/penyumbang membuktikan bahwa ONL tersebut telah menjalankan misinya sebagai organisasi yang mengutamakan kegiatan dalam pelayanannya untuk masyarakat. Leone dan Van Horn (2005) berasumsi bahwa rumah sakit nirlaba berusaha memaksimalkan tujuannya untuk mengelola surplusnya mendekati nol. Sehingga rumah sakit nirlaba diharapkan dapat menggunakan sumber dayanya untuk tujuan filantropinya. Ukuran profitabilitas berfungsi sebagai kemampuan pengurus organisasi untuk mempertahankan ONLnya agar tetap beroperasi. Pengurus memiliki insentif untuk meningkatkan surplusnya mendekati nol dan menghindari kerugian. Hal ini kemungkinan besar disebabkan jika surplus yang dicapai akan meningkat terus menerus akan mengancam status ONL yang bebas pajak Hasil penelitian yang dilakukan Permanasari (2011) membuktikan ada indikasi awal terjadinya fenomena zero-profit constraint hypothesis pada organisasi nirlaba di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan pergerakan surplus organisasi nirlaba yang bergerak mendekati nol dari tahun sebelumnya ke tahun berikutnya. Besarnya
surplus
yang
dihasilkan
oleh
ONL
mempengaruhi
penyumbang/donatur untuk memberikan sumbangannnya. Menurut Frank et al (1990) dalam Leone dan Van Horn (2005) jika surplus yang dihasilkan ONL meningkat terlalu tinggi maka tujuan ONL belum tercapai dalam melakukan kegiatan filantropinya. Namun jika surplus negatif yang dihasilkan dari tahun ke tahun mengindikasikan bahwa ONL mengalami kerentanan keuangan (Tuckman
10
dan Chang, 1991). Surplus ONL mendekati nol ada indikasi bahwa zero profit and loss avoidance hypothesis dalam ONL.
METODE PENELITIAN Sampel Sampel yang digunakan dalam penelitian ini hanya 75 organisasi nirlaba dengan 259 laporan keuangan yang memiliki laporan keuangan dengan tahun pelaporan yang berurutan dan data laporan keuangan ONL yang telah diaudit. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang berupa laporan keuangan organisasi nirlaba dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2010. Sumber data diperoleh dari pusat data UKSW karena di Indonesia belum ada basis data mengenai indikator keuangan organisasi nirlaba. Sehingga data yang digunakan dalam penelitian ini masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah ONL di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini memiliki nilai satuan mata uang dan ukuran oragnisasi yang berbeda sehingga perhitungan surplus dihitung dengan menggunakan rasio surplus margin. Untuk menghitung rasio surplus margin dapat dihitung menggunakan rumus: Surplus Margin Ratio=
(
)
11
Selanjutnya penulis mencari surplus margin ratio (rasio surplus margin) masing-masing ONL dari laporan keuangan yang sudah didapat untuk mengetahui rasio surplus margin yang dihasilkan oleh masing-masing ONL tersebut.
Langkah Analisis a. Statistik deskriptif Analisis statistik deskriptif adalah statistik yang berfungsi untuk mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap objek yang diteliti melalui data sampel atau populasi sebagaimana adanya (Sugiyono, 2011). b. Analisis crosstabs Analisis crosstabs dalam penelitian ini dilakukan dua kali analisis. Analisis crosstabs digunakan untuk menyajikan data dalam bentuk tabel silang yang terdiri antara baris dan kolom. Analisis crosstabs yang pertama dilakukan untuk mengetahui perubahan rasio surplus margin antara tahun sebelumnya (T0 ) dengan tahun berikutnya (T1 ). Rasio surplus margin pada saat T0 dibandingkan dengan rasio surplus margin pada saat T1 . Rasio surplus margin pada saat T1 menurun, jika rasio surplus margin saat T1 baik positif maupun negatif lebih kecil daripada rasio surplus margin saat T0 . Demikian juga sebaliknya rasio surplus margin saat T1 meningkat, jika surplus margin saat T1 lebih besar dari pada surplus margin saat T0 . Dari hasil crosstabs tersebut dapat diketahui berapa banyak organisasi nirlaba yang mengalami penurunan atau peningkatan surplus dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, data laporan keuangan ONL 12
yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai data laporan keuangan dengan tahun yang berurutan agar dapat dibandingkan. Analisis crosstabs yang kedua dilakukan untuk melihat perilaku surplus ONL. Pada tahap kedua crosstabs akan menganalisis seberapa banyak ONL yang memiliki surplus mendekati nol dan menjauhi nol. Hal itu dapat diketahui dengan membandingkan rasio surplus margin tahun sebelumnya (T0 ) dengan rasio surplus margin tahun berikutnya (T1 ). Namun nilai rasio surplus margin tahun berikutnya menggunakan nilai absolut. Rasio surplus magin dikatakan mendekati nol jika T0 lebih besar daripada T1 (Permanasari, 2011). Dalam analisis crosstabs dilakukan uji chi-square yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara rasio surplus margin saat T0 dengan rasio surplus margin saat T1. Dari analisis crosstabs yang telah dilakukan maka dapat diketahui perubahan surplus pada organisasi nirlaba di Indonesia. Jika kecenderungan surplus ONL bergerak mendekati nol dari tahun sebelumnya ke tahun berikutnya maka terjadi zero profit and loss avoidance hypothesis pada ONL.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN Dalam bagian ini akan dibahas hasil analisis terhadap data penelitian. Data yang didapat untuk penelitian ini sebanyak 75 organisasi nirlaba dengan 259 laporan keuangan yang memiliki laporan keuangan dengan tahun yang berurutan. Pengujian statistik yang pertama digunakan dalam penelitian ini yaitu uji statistik deskriptif. Uji statistik deskriptif ini dilakukan untuk mengetahui 13
gambaran umum mengenai variabel yang akan diteliti. Berikut ini adalah hasil analisis statistik deskriptif: Tabel 1. Statistik Deskriptif Rasio Surplus Margin N Rasio surplus margin
259
Valid N (listwise)
259
Min -3,8494
Max 3,3793
Stdev 0,5149057
Mean 0,068831
Median 0,0982
Sumber: Hasil Pengolahan data, 2012 Dari tabel statistik deskriptif ini terlihat bahwa variasi data sangat tinggi. Ini bisa terlihat dari nilai tingginya rentang nilai minimum dan maksimum serta nilai standar deviasi. Temuan ini mengindikasikan bahwa surplus ONL sampel sangat bervariasi dengan surplus negatif yang cukup banyak. Dalam konteks ini, penggunaan nilai mean rentan terhadap nilai ekstrim. Nilai median (9,82%) dan nilai mean (6,87%) menunjukkan ONL sampel memperoleh surplus yang cukup rendah. Hal ini dapat dibandingkan dengan temuan Permanasari (2011) yang mana memiliki nilai mean sebesar 8,95%. Setelah dilakukan uji statistik deskriptif, selanjutnya dilakukan pengujian crosstabs. Uji crosstabs digunakan untuk mengetahui seberapa besar ONL yang mengami peningkatan rasio surplus margin dari tahun sebelumnya (T0 ) ke tahun berikutnya (T1 ). Berikut tabel hasil perhitungan crosstabs peningkatan dan penurunan rasio surplus margin:
14
Tabel 2 T0*T1 Crosstabulation Meningkat atau Menurun T1 Meningkat Negatif Positif Total Pearson Chi-square Df Sig. Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2012 T0
Total
Menurun 45 49 94
7 82 89
52 131 183 35,972a 1 0,000
Dari hasil uji crosstabs pada tabel 2 dapat diketahui bahwa ONL memiliki rasio surplus margin pada saat T0 negatif terdapat 52 laporan keuangan. Dari hasil tersebut 45 laporan keuangan diantaranya mengalami peningkatan dan selebihnya mengalami penurunan. Rasio surplus margin yang positif pada saat T0 berjumlah 131 laporan keuangan, 49 laporan keuangan diantaranya mengalami peningkatan dan 82 laporan keuangan mengalami penurunan. Dari tabel diatas diperoleh pula nilai chi-square sebesar 35,972 yang menunjukkan ada hubungan antara rasio surplus margin tahun sebelum (T0) dengan tahun berikutnya (T1 ). Hubungan tersebut ditunjukkan dengan nilai asymp signifikan 0,000 < 0,05 (5%). Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa ada indikasi ONL di Indonesia yang memiliki rasio surplus margin negatif pada saat T0 cenderung akan meningkatkan surplus pada saat T1 , sedangkan ONL yang memiliki rasio surplus margin positif saat T0 cenderung akan menurunkan surplusnya pada tahun berikutnya. Hasil penelitian ini mendukung temuan Leone dan Van Horn (2005) yang menyatakan bahwa pengurus ONL memiliki insentif untuk mengelola surplus ONL mendekati nol. Namun temuan ini tidak mendukung temuan Bickelman (2010) dan Aspen (2010) yang menyatakan bahwa surplus ONL 15
diakumulasi untuk mempertahankan kegiatan operasi dan untuk menghadapi peristiwa keuangan yang tak terduga. Uji crosstabs yang kedua dilakukan untuk mengetahui seberapa banyak ONL yang memiliki rasio surplus margin positif atau negatif pada saat T0 yang mendekati nol maupun yang menjauhi nol pada saat T1 . Berikut di sajikan tabel hasil dari uji crosstabs: Tabel 3 T0*T1 Crosstabulation Mendekati Nol atau Menjauhi Nol T1 Total Mendekati nol Menjauhi nol T0
Negatif Positif
Total Pearson Chi-square Df
29 70 99
23 61 84
52 131 183 0,082a 1
Sig. Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2012
0,775
Pada tabel 3 memapaparkan rasio surplus margin dikatakan mendekati nol apabila nilai absolut T1 lebih kecil daripada nilai rasio surplus margin saat T0 . Pada saat T0 negatif terdapat 52 laporan keuangan, 29 laporan keuangan diantaranya memiliki rasio surplus margin mendekati nol dan 23 laporan keuangan memiliki rasio surplus margin yang menjauhi nol pada tahun berikutnya (T1). Pada saat rasio surplus margin T0 positif terdapat 131 laporan keuangan, sebanyak 70 laporan keuangan diantaranya memiliki rasio surplus margin yang mendekati nol saat T1 dan sebanyak 61 laporan keuangan ONL memiliki rasio surplus margin menjauhi nol pada saat T1 . Diketahui pula nilai chi-square dengan nilai sebesar 0,082 dengan nilai signifikansinya sebesar 0,775 sehingga lebih 16
besar dari tingkat signifikasi yang digunakan dalam penelitian ini sebesar 0,05 (5%). Dapat dikatakan antara variabel T0 tidak ada hubungan dengan variabel T1 . Dilihat dari jumlah laporan keuangan ONL yang memiliki rasio surplus margin mendekati nol, jumlahnya lebih besar jika dibandingkan dengan ONL yang memiliki rasio surplus margin yang menjauhi nol. Dengan demikian dapat diketahui bahwa ONL di Indonesia yang memiliki rasio surplus margin positif atau negatif pada saat T0 diduga terdorong untuk mengelola surplusnya mendekati nol pada tahun berikutnya (T1 ). Hal ini mengindikasikan bahwa ONL mengelola surplusnya karena jika surplus ONL terlalu tinggi maka akan merugikan ONL sendiri . Hal tersebut menyebabkan donatur akan mempertimbangkan kembali untuk memberikan sumbangan terhadap ONL. Selain itu ada indikasi bahwa ONL melakukan tax planning sehingga surplus yang dihasilkan relatif rendah. Hasil penelitian ini sesuai dengan temuan Leone dan Van Horn (2005) yang menyatakan ONL memiliki insentif untuk mengelola surplusnya mendekati nol dan menghindari kerugian.
KESIMPULAN, KETERBATASAN PENELITIAN dan SARAN Dari hasil pengujian crosstabs yang pertama dapat disimpulkan bahwa ONL di Indonesia yang memiliki rasio surplus margin negatif saat T0 cenderung untuk meningkatkan surplusnya pada saat T1 , sedangkan ONL yang memiliki rasio surplus margin positif saat T0 memiliki kecenderungan untuk menurunkan surplus. Hal ini memberikan indikasi awal bahwa organisasi nirlaba di Indonesia berusaha akan meningkatkan surplusnya jika ONL memiliki surplus negatif dan 17
juga akan menurunkan surplusnya ketika memiliki surplus positif. Temuan ini konsisten dengan temuan Leone dan Van Horn (2005) yang menyatakan ONL memiliki insentif untuk mengelola surplusnya mendekati nol dan menghindari kerugian. Hasil pengujian crosstabs kedua menyatakan bahwa ONL yang memiliki rasio surplus margin negatif saat T0 akan meningkatkan surplusnya mendekati nol saat T1 , sebaliknya saat rasio surplus margin pada T0 bernilai positif maka ONL akan berusaha menurunkan surplusnya pada saat T 1 mendekati nol atau sama dengan nol. Penelitian ini menemukan bukti bahwa ONL di Indonesia telah meminimalkan surplusnya dalam mengelola dananya dan tidak berorientasi terhadap surplus. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan oleh Leone dan Van Horn (2005) dengan hipotesisnya zero profit and loss avoidance hypothesis. Dari hasil pengujian surplus dapat disimpulkan bahwa zero profit and loss avoidance hypothesis terindikasi awal terjadi dalam ONL di Indonesia. Sesuai dengan hasil empiris yang ditemukan, maka penelitian ini memberikan penegasan terhadap penelitian sebelumnya bahwa terjadi fenomena zero profit and loss avoidance hypothesis pada ONL di Indonesia, memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa ONL memiliki karateristik yang berbeda dengan
organisasi
bisnis
dimana
ONL
menjaga
surplusnnya.
Bagi
penyumbang/donatur bermanfaat untuk menilai pemanfaatan dana dan sebagai pertimbangan dalam memberikan dananya untuk ONL.
18
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan diantaranya data yang digunakan masih relatif sedikit, karena basis data mengenai laporan keuangan ONL masih sedikit. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya ONL di Indonesia, hanya 75 ONL yang dapat dijadikan sampel. Perbedaan tahun laporan keuangan yang beraneka ragam menyebabkan ketidakstabilan keuangan. Saran untuk penelitian selanjutnya yaitu data yang digunakan dalam penelitian lebih banyak sehingga hasilnya lebih relevan, sebaiknya laporan keuangan organisasi nirlaba menggunakan tahun pelaporan yang tahunnya sama dan dimiliki oleh semua organisasi nirlaba, meneliti terjadi zero profit and loss avoidance hypothesis di Indonesia pada lembaga pendidikan sehingga dapat diketahui apakah zero profit and loss avoidance hypothesis terjadi pada lembaga pendidikan.
19
Daftar Pustaka
Abidin, Hamid, ”Membongkar Kejujuran dan keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia”, Kritik dan Otokritik: 60-70. Assa’di, Husain, Arya Hadi Darmawan dan Soeryo Adiwibowo, 2009, “Independensi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di tengah Kepentingan Donor”, Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi manusia, Vol. 03, No. 02, 231-358. Bickelman, Ellen, 2010, “Study of the Reserves, Endowments, and surpluses of Hospitals in Massachusetts”, Massachusetts Division of Health Care Finance and Policy: 1-66. Greenlee, Janet S. dan John M. Trussel, 2000, “Predicting the Financial Vulnerability of Charitable Organizations”, Nonprofit Management and Leadership, Vol. 11, No. 2, 199-210. Hardiyani, Puspita R., 2009, Profil Kinerja Keuangan Organisasi Nirlaba di Indonesia. Skripsi Program S1 Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana (tidak dipublikasikan). Ikatan Akuntansi Indonesia, 2007, Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan, Pelaporan Keuangan Organisasi Nirlaba No. 45. Leone, Andrew J. and R. Lawrence Van Horne, 2005, “How do Nonprofit Hospitals Manage Earnings?”, Journal of Health Economics 24 (4) : 815-837. Muljono, Djoko, 2009, TAX PLANNING – Menyiasati Pajak dengan Bijak, Andi Offset, Yogyakarta. Nainggolan, Pahala, 2005, Menajemen Keuangan Lembaga Nirlaba, USCSATUNAMA, Yogyakarta. Permanasari, Dika Prima, 2011, Analisis Rasio Surplus Margin dalam Organisasi Nirlaba Di Indonesia. Skripsi Program S1 Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana (tidak dipublikasikan). Pemerintah Republik Indonesia, Undang – Undang No 28 Tahun 2004 tentang Yayasan. Sugiono, 2011, Statistika untuk Penelitian, Alfabeta, Bandung. 20
Suratno, Eddy, 2008, “Strategi Perencanaan Pajak”, Jurnal Media Akademik, Vol.2, No.1, Februari 2008: 78-88. Tuckman dan Chyril F. Chang, 1992, Nonprofit Equity: “A Behavioral Model and Its Policy Implication”, The Association for Public Policy Analysis and Management,Vol. 11, No. 1, 76-87 (1992). _______, 2010, “How Much Is Too Much? Have Nonprofit Blue Cross Blue Shield plans Amassed Exessive Amounts of Surplus?” , Medical Benefit, 10-11. http://www.indonsiango.org/en/articles-and-opinions/articles/1125-penerapanteknologi informasi-menuju-akuntabilitas-sektor-nirlaba diakses 20 September 2011,Jam 16.43. http://nccsdataweb.urban.org/swfcharts/grapher.php?ein=010219904&ratio=surpl us. national centre for charitable statistics. diakses 21 September 2011,Jam11.30.
21