165
ATURAN PERGAULAN PRIA & WANITA DALAM ISLAM
165
Banyak bangsa di dunia, selama berabad-abad telah meragukan kedudukan wanita sebagai manusia. Bahkan bangsa Romawi yang dikenal sebgaai bangsa maju pada zamannya, aktif mengadakan seminar-seminar untuk membahas tabiat dan karakter wanita, apakah ia tergolong suatu benda ataukah sejenis manusia? Apakah wanita itu hanya sebagai materi kesenangan atau ia tergolong makhluk hidup yang memiliki watak dan sifat manusiawi? Seminar-seminar semodel itu terus berlanjut, mendiskusikan tabiat dan karakter wanita sampai berabad-abad setelah munculnya Islam. Di Roma diadakan seminar-seminar gereja pada abad pertengahan untuk membahas hakikat wanita yang sebenarnya. Apakah nyawa wanita itu seperti nyawa pria? Ataukah ia memiliki nyawa seperti binatang? Pada akhirnya seminar-seminar itu berkesimpulan bahwa wanita tidak memiliki nyawa. R.H. Lauer dalam bukunya Social problems and the Quality of Life (IOWA: Wm.C Brown, 1978:360) menyatakan bahwa Aristoteles menyebut wanita sebagai manusia yang belum selesai, yang tertahan perkembangan tingkat bawah. Kemudian dalam Rig Weda:10, 95, 15 dinyatakan “Tidak boleh menjalin persahabatan dengan wanita. Pada kenyataannya hati wanita adalah sarang serigala”. Tidak begitu berbeda jauh dengan para pendahulunya, pada saat ini pun akibat pengaruh pemikiran Kapitalisme-sekularisme dan Sosialisme-komunisme banyak bangsa yang merendahkan posisi dan martabat wanita. Di samping itu, hubungan yang terjadi di antara wanita dan pria selalu mengarah pada hubungan jinsiyah (hubungan yang hanya memandang kepada kelelakian dan kewanitaan semata, hubungan yang mengarah pada aspek seksualitas) sebagaimana ajaran Sigmund Freud yang mengatakan bahwa karakter potensi seksual manusia adalah sebagaimana karakter kebutuhan jasmaniyah, artinya jika tidak dipenuhi maka akan mengakibatkan pada kegelisahan dan kematian. Sehingga tidak heran jika dalam masyarakat Barat dan masyarakat yang sepemikiran dengan Barat, hal-hal yang mendukung untuk mengarah pada hubungan jinsiyah antara wanita dan pria dibudidayakan serta wajib ada. Dengan hal itu, faktor-faktor yang dapat membangkitkan gharizah na’u (naluri seksualitas manusia), yaitu fakta fisik dan pemikiran-pemikiran yang mengadung makna jinsiyah (ke arah seksualitas) tidak pernah lepas dari aktivitas sehari-hari kehidupan masyarakatnya. Akibatnya, tidak heran dari mulai cara berpakaian, isi novel, iklan, tempat-tempat hiburan sampai film (anak-anak atau dewasa) selalu mengarah pada ekspose hubungan ini. Dampak bagi masyarakat model ini adalah tingkat kasus kejahatan seksual sangat tinggi, contohnya Barat. Amerika memiliki kasus perkosaan sampai memasuki 114 orang per 100.000 penduduk setiap tahun (United Nations Development Programme, Human development Report 1991:176, New York: Oxford University Press), 21 % wanita Amerika pernah diperkosa sejak usia 14 tahun. Melihat laporan-laporan tahun terakdir, disimpulkan bahwa pemerkosaan terjadi 10 kali lipat dari data yang masuk. Sementara itu, Dr. Kinsey, seorang peneliti masalah sosial Amerika Serikat, . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
mendapat laporan yang sangat mencengangkan, yaitu 95 % masyarakat AS berkelakuan tidak senonoh. Dr. Annie Besant, seorang sosiolog terkemuka Barat berkomentar pesimis tentang nasib wanita, “Di Barat ribuan wanita memenuhi jalan setiap malamnya”. (bandingkan dengan kehormatan wanita yang sangat dijunjung tinggi oleh Islam, antara lain ketika seorang muslimah di kota Amuria, yaitu wilayah antara Irak Utara dan Syam, dinodai oleh seorang pembesar Romawi, maka Khalifah Mu’tashim, pemimpin Islam saat itu, kontan mengerahkan tentaranya untuk membalas pelecehan tersebut. Bukan saja si Pejabat yang digempur, tetapi juga kerajaan Romawi. Banyaknya bala tentara yang dikirim pada saat itu, dalam sebuah riwayat disebutkan, ”kepala” pasukan beradaAmmuriah sedangkan ekornya berada di Baghdad. Dan untuk membayar penghinaan tersebut 30.000 tentara musuh tewas dan 30.000 lainnya berhasil ditawan. Subhanallah). Selain itu, akibat rusaknya pemikiran masyarakat Barat ini dalam memenuhi naluri seksualitasnya, yaitu menyebarnya wabah AIDS. Berdasarkan data statistik WHO tahun 1991 saja terdapat 1,2 juta masyarakat dunia dilanda AIDS dan 12 juta dinyatakan sero-positif, dan 1juta diantaranya adalah bayi yang tidak berdosa. Pada tahun 1992 naik lagi menjadi 10 juta, dan lagi-lagi Amerika menempati peringkat teratas, yaitu sekitar 2 juta, 1,3 Afrika, dan 1 juta Asia. Demikianlah kondisi dimana pemikiran manusia sangat jauh tersesat dalam memandang hubungan pria dan wanita. Hal ini tentu saja akan berbeda dengan pandangan Islam baik prinsip maupun rinciannya. Lalu bagaimanakah Islam memandang kedudukan pria dan wanita dalam kehidupan ini? serta bagaimanakah pandangan Islam tentang hubungan antara keduanya? Pria dan Wanita Dalam Islam Islam merupakan sistem hidup yang khas bagi manusia dan pasti sesuai dengan fitrah manusia. Islam sebagai suatu pola dan sistem hidup memiliki perbedaan yang besar, mendasar, dan bertentangan dengan sistem dan pola hidup lainnya (Kapitalisme/sekularisme, sosialisme-komunisme, atau agama lainnya). Berkaitan dengan hal itulah maka Islam telah mewajibkan kepada seluruh kaum muslimin untuk hidup berada di bawah naungan aturan yang terdapat di dalam Islam. Dan sebagai konsekuensi logis dari keimanan seorang muslim dituntut untuk menjadikan hanya Islam sebagai satu-satunya miqyas Al A’mal (standar perbuatan), asasul hayah (landasan kehidupan), dan qaidah wa qiyadah fikriyah (acuan berfikirnya) di dalam kehidupan. Sebab Islam tidak hanya menyangkut tentang masalah keyakinan dan peribadahan belaka, melainkan juga memberikan aturan hukum dalam mengatur kehidupan manusia, baik individu, keluarga, dan masyarakat, serta memberikan juga pemecahan/solusi terhadap setiap problematika kehidupan manusia. Dalam pandangan Islam, Allah SWT. menciptakan manusia terdiri dari pria dan wanita dengan fitrah yang khas dan berbeda dengan hewan. Wanita adalah manusia, demikian pula pria. satu dengan lainnya dari sisi kemanusiaannya adalah sama. Begitu pula dari sisi ini, satu sama lainnya tidak memiliki kelebihan sebagaimana firman Allah SWT.:
166
167
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari keorang laki-laki dan seorang perempuan. Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya semuali-mulianya kalian di sisi Allah SWT. adalah yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti” (QS.Al Hujurat:13). Allah SWT. telah mempersiapkan keduanya untuk berperan dalam kancah kehidupan sebagai insan dan menjadikan keduanya hidup berdampingan secara pasti dalam satu masyarakat, sebagaimana firmanNya: “...Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan ada bagian dari apa yang mereka usahakan...” (QS. An Nisaa’:32). Allah SWT. telah menjadikan kelestarian komunitas manusia tergantung pada perpaduan dan keberadaan pria dan wanita dalam setiap masa dan generasi suatu masyarakat, sebagaimana firmanNya: “Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak” (QS.Nisaa’:1). Oleh karena itu, tidak dibenarkan dalam Islam jika hanya memperhatikan salah satu di antara keduanya, karena keduanya adalah manusia yang dilengkapi dengan segala kekhususan sebagai manusia serta sendi-sendi kehidupan yang sama. Allah SWT. telah menciptakan apada setiap pria dan wanita potensi kehidupan (hajatun ‘udlawiyah dan gharizah). Di samping itu, Allah SWT. telah menciptakan pula bagi keduanya kekuatan berfikir dengan kadar yang sama, karena Allah menciptakan akal adalah untuk manusia, yaitu pria dan wanita. Demikian pula Al Islam telah mendudukan akal sebagai tempat bergantung bagi pengamalan syariatNya (manathut taklif), maka apa yang dibebani untuk mengamalkan-nya adalah manusia. Firman Allah SWT.: “Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?” (QS. Al Qiyamah:36). Atas dasar tersebut, maka pria dan wanita memiliki hak dan kewajiban, serta tanggung jawab bersama. ketika hak dan kewajiban itu bersifat manusiawi (insaniyah) maka akan dijumpai adanya persamaan hak dan kewajiban, persamaan dalam memikul tanggung jawab sehingga keduanya sama-sama sepenanggungan. Bertolak dari hal ini, Islam tidak membedakan pria dan wanita dalam mengajak manusia kepada keimanan dan menjalankan syariatNya. Allah SWT. berfirman: 167
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan kepada seluruh umat manusia...” (QS. Saba:28). Dengan demikian jelaslah bahwa Islam telah mempersamakan keduanya dalam berbagai kewajiban ibadah, dakwah, tata hukum muamalah (Al bai’/jual-beli, . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
ijarah/pengupahan, kafalah/ tanggungan, jaminan, halawah/pelimpahan pembayaran hutang, al rahn/pergadaian, Al shulhu/aqad damai, ‘ariyah/pinjammeminjam)dllnya. Islam juga akan menjatuhkan hukuman dan sanksi kepada keduanya atas tindakan pelanggaran mereka terhadap hukum Allah SWT., tanpa membedakan jenis keduanya. Perhatikan firman Allah SWT. dalam QS. 24:2, 5:33, 38, 2:178, dll. Jadi, manusialah yang dijadikan Allah sebagai sasaran keharusan mengamalkan syariat, tidak hanya laki-laki saja, atau wanita saja, tetapi keduanya. Allah SWT. akan meminta pertanggung jawaban manusia dan Allahlah yang berwenang menentukan manusia apakah berada dalam surga ataukah neraka. Perbedaan Pria dan Wanita Dalam Islam Apabila hak, kewajiban, dan pertanggungjawaban syara’ menyangkut tabiat wanita selaku wanita, baik kedudukan, fungsi, ataupun posisi wanita dalam masyarakat; atau menyangkut tabiat pria selaku pria tentang kedudukan, fungsi, dan posisinya dalam masyarakat maka dalam hal ini hak dan kewajiban , serta pertanggungjawaban syara’ akan berbeda antara keduanya. Permasalahannya disini tidak menyangkut penanganan atas manusia secara umum, melainkan terhadap jenis manusia yang memiliki tabiat dan sifat kemanusiaan yang berbeda satu sama lain. Sehingga penanganannya pun harus dikhususkan untuk setiap jenis manusia dan tidak dapat digeneralisasikan sebagai sesama manusia. Oleh sebab itu, kesaksian wanita atas kasus yang terjadi di tengah kelompok pria dalam masyarakat, baru akan sama dengan derajat kesaksian seorang pria apabila kesaksian tersebut diberikan atas dua orang wanita. Misalnya kesaksian waniat terhadap hak-hak dan muamalah (lihat QS.2:282). Demikian pula kesaksian dalam piutang (al dain, jual beli, kredit/al qardl, pegadaian, merebut milik orang lain/ghasab, dll. Sedangkan untuk kasus khusus yang terjadi di kalangan wanita (tindak kriminal di lingkungan wanita), yang ditempat itu tidak terdapat laki-laki, maka kesaksian dari wanita yang ada di situ harus diterima. Walaupun sebenarnya kesaksian atas masalah ketentuan hukum (hudud) dan tindakan kriminal (jinayat) tidak dapat diterima. Akan tetapi haram hukumnya untuk menyembunyikan kesaksian dalam masalah apapun (perhatikan Qs.2:183). Ijtima’ dan Ikhtilath Pria dan Wanita Dalam Islam Ikhtilath (percampuran) adalah berkumpulnya pria dan wanita dalam keadaan tercampur-baur dan terjadinya interaksi diantara mereka, seperti makanminum bersama-sama. Dengan demikian, terdapat dua unsur di dalamnya, yaitu ijtima (berkumpul) dan ‘alaqat (interaksi). Berkumpul saja tidak dapat dinamakan ikhtilath, sehingga seorang wanita yang berada di smaping seorang laki-laki di kendaraan umum (bis kota, angkot, pesawat, KA, dll) tidak dinamakan ikhtilath. Berinterasi saja tanpa terjadinya ijtima’ (berkumpul) tidak dinamakan ikhtilath, misalberbicara lewat telepon. Oleh sebab itu untuk dinamakan ikhtilath haruslah terjadinya ijtima’ (berkumpul) pria dan wanita, yang di dalamnya terjadi pula interaksi (bercampur baur). Inilah kenyataan mengenai ikhtilath. Hukum syara’ yang berhubungan dengan ikhtilath wajib diterapkan sesuai dengan kenyataan ini. Apabila kenyataan ini sesuai dengan hukum syara’, maka ia menjadi hukum yang telah ditetatpkan dan bila tidak 168
169
169
sesuai maka tidak ada ketetapan hukum di sana. Adapun berkumpulnya pria dan wanita, maka dalil-dalai syar’iy yang menyangkut hubungan pria dan wanita berdasarkan dalalatul iltizam (makna yang ditunjukkan lafadz/mafhum muwafaqah) adanya larangan secara umum. Antara lain diharamkan bagi pria untuk melihat aurat wanita yang bukan mahramnya, sekalipun hanya rambutnya. Larangan tersebut bersifat mutlak, baik diiringi dengan syahwat atau tidak. Demikian pula bagi wanita untuk membuka auratnya di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya, walaupun yang terbuka itu sebatas leher. Larangan ini bersifat umum, baik dilihat pria ataupun tidak. Hukum syara’ rtelah mewajibkan pula kepada pria dan wanita untuk menahan pandangannya dan diharamkan pula bagi wanita untuk melakukan perjalanan seorang diri tanpa mahramnya sekalipun untuk melakukan ibadah haji. Syara’ menetapkan bahwa setiap wanita dalam shalat dimasjid berada di belakang shaf pria dan terpisah. Tetapi dalam pengajian, Rasulullah SAW. telah memenuhi permintaan kaum wanita, karena permohonan wanita: “Kami telah dikalahkan kaum pria, maka berikanlah (pengajian khusus) untuk kami pada suatu hari”. Hadits ini menjelaskan bahwa ketika kaum pria dan wanita sedang bersama-sama mendengar pengajian Rasulullah SAW., kaum wanita tidak dapat mendengar (dengan baik) karena terhalang pria yang berada di shaf depan sehingga kaum wanita meminta kepada Rasulullah SAW. agar memberikan pengajian (khusus bagi mereka) pada suatu hari. Hukum syara’ juga tidak membolehkan kesaksian wanita dalam perkara pidana (jinayat). Dalil tentang hukum-hukum tersebut di atas menunjukkan bahwa berdasarkan dalalatu al iltizam agar kaum wanita dipisahkan dari kehidupan pria. Kaum pria tidak dibolehkan bergaul (dengan cara berkumpul) dengan kaum wanita. Di samping itu bentuk kehidupan kaum muslimin di masa Rasulullah saw. terpisah antara pria dan wanita. Pemisahan ini memiliki adanya larangan berkumpulnya lakilaki dan wanita.. Jadi dalil umum hukum syara’ yang berkaitan dengan hubungan laki-laki dan wanita menunjukkan secara pasti dan tidak samar tentang pemisahan pria dan wanita. karena dalil-dalil tersebut datang dalam bentuk qath’iy tsubut dan dalalahnya, baik dari Al Qur-an maupun hadits mutawatir. sehingga pemisahan antara pria dan wanita bagi kaum muslimin merupakan hal yang telah diketahui sebagai ma’lumun minad diini bidharurah (diketahui dengan sendirinya sebagai suatu urusan agama yang penting dan bermakna wajib) karena kuatnya dalil-dalil tersebut tidak memerlukan komentar lagi. Sesungguhnya syara’ telah menetapkan bagi kaum muslimin adanya kehidupan khusus dan umum (bermasyarakat). Adanya kehidupan khusus, syara’ telah menunjukkan dalil-dalil tertentu yang menunjukkan adanya ketentuan berkehidupan seperti ini serta dalil-dalil yang berkaitan dengannya. Adapun dalildalil yang menunjukkan adanya kehidupan khusus adalah bahwa lingkungan rumah tangga telah dijadikan sebagai kehidupan khusus. Syara’ telah mengharuskan meminta izin ketika seseorang hendak memasuki rumah yang bukan miliknya. hal ini membuktikan adanya kehidupan khusus. Berkaitan dengan hal itu, dalil-dalil yang menyebutkan lafadz buyut (rumah-rumah) merupakan petunjuk dan bukti adanya kehidupan khusus tersebut. Adapun yang dimaksud dengan rumah adalah penghuni dan keadaan rumah tangga, dan bukan bangunan atau gedungnya. Allah SWT. berfirman: . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
“(dan) tanyalah (penduduk) kampung/negeri itu....” (QS. Yusus:82). Kalimat “Tanyalah kampung negeri itu” yang dimaksudkan adalah penduduknya. demikian pula lafadz rumah di dalam dalil tersebut, maksudnya adalah penghuni rumah dan keadaan kehidupan dalam rumah itu (kehidupan khusus). Katakata buyut (rumah) dalam berbagai ayat-ayat Al-Qur’an Al-Karimseperti dalam: “...Janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu...” (QS.An Nuur:27). “...Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah...” (QS.An Nisaa:15). “...Di rumahmu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu...” (QS.An Nuur:61). Lafadz rumah (buyut) dalam ayat-ayat tersebut di atas dan yang lainnya menunjukkan adanya kehidupan khusus. dengan demikian kaum muslimiin memiliki kehidupan khsusus sesuai dengan nash-nash yang ada. Kehidupan khusus ini mempunyai indikasi yang menunjukkan perbedaan kehidupan tersebut dengan kehidupan lainnya yang mempunyai hukum-hukum yang khusus pula. Adapun indikasi itu adalah perintah untuk meminta izin ketika hendak memasuki rumah kepada orang yang berwenang untuk memberi izin (penghuni rumah), sebgaimana firman Allah SWT.: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu...”(QS.An Nuur:27). Ayat tersebut di atas berarti melarang memasuki rumah dan juga melarang secara umum terhadap semua hal yang berkaitan dengan larangan masuk tersebut, berdasarkan dalalatul iltizam. Kasus larangan memasuki rumah mengharuskan larangan terhadap seluruh hal yang berkaitan dengannya, seperti makan, minum, berbicara, memberikan pelajaran, dll yang memerlukan izin masuk ke dalamnya. Maka selama adanya larangan masuk ke dalam rumah selama itu pula terdapat larangan serupa yang berkaitan dengan larangan masuk, sebab: “Larangan terhadap sesuatu mengharuskan adanya larangan terhadap hal-hal yang berkaitan dengannya” Jadi, berdasarkan dalalatul iltizam/mafhum muwafaqah telah ditetapkan bahwa hukum kehidupan khusus adalah tahrim (terlarang) terhadap segala sesuatu, termasuk larangan memasukinya dan segala perkara yang berkaitan dengannya. Jadi firman Allah SWT: “...Janganlah kamu memasuki rumah...” memiliki makna pula: Janganlah kamu bercakap-cakap dengan penghuninya, janganlah kamu makanminum, dan janganlah kamu melakukan sesuatu apapun yang berkaitan dengan larangan masuk ke dalam rumah. Karena larangan masuk berarti larangan terhadap semua hal yang berkaitan dengannya. Oleh sebab itu, agar dibolehkan memasuki (suatu rumah) dan semua hal yang berkaitan dengannya diperlukan adanya nash syara’ yang membolehkan masuk serta yang berkaitan dengannya. karena dalil pelarangannya bersifat umum, sedangkan keumuman dalil tetap berlaku selama tidak terdapat dalil yang mengkhususkannya. Oleh sebab itu, harus diperoleh nash syara’ yang membolehkannya sehingga terlepas dari keumuman dalil. dan selama 170
171
belum diperoleh nash syara’ yang mengkhususkan maka tidak dibenarkan adanya pengecualian dari dalil yang bersifat umum, yaitu yang melarangnya. Syara’ telah menetapkan kebolehan memasuki rumah di samping menetapkan kebolehan makan (di rumah) orang-orang tertentu, juga menjelaskan kebolehan kunjungan silaturahmi, kebolehan melihat aurat wanita muhrim (dalam bats tertentu), berbicara dengan mereka, dll.nya yang termasuk dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh nash tentang kehidupan yang bersifat khusus. Atas dasar inilah (yang sudah ditetapkan syara’ tentang kebolehannya) dibolehkan beberapa hal dalam kehidupan khusus, yang berarti dikecualikan dari larangan memasuki rumah sehingga termasuk pada bagian nash yang membolehkan. hal-hal yang tidak disebutkan oleh nash syara’ tidak dikecualikan dari larangan. diizinkan masuk berarti dibolehkan untuk masuk. Adapun kebolehan masuk ini bukan disebabkan oleh adanya izin akan tetapi karena syara’ telah menentukan atas kebolehannya, tidak termasuk hal-hal yang menyangkut keperluan untuk memasuki rumah, karena syara’ telah membolehkan masuk rumah dengan izin, dan tidak membolehkan selain dari itu. Maka kebolehan tersebut khusus untuk memasuki rumah sebab larangan tersebut mengharuskan adanya keumuman nash, akan tetapi adanya izin untuk memasuki rumah itu tidak mencakup dibolehkannya makan dan minum, sebab dalil yang melarang bersifat umum. Adapun dalil tentang dibolehkannya memasuki rumah bersifat khusus terbatas hanya boleh memasuki rumah karena terdapat nash tentang hal tersebut yang ada (boleh masuk rumah) tidak mencakup hal yang lain. Sehingga dalaltul iltizam tidak berlaku di sini. Demikian pula syara’ telah menetapkan dibolehkannya makan, minum bagi orang-orang tertentu sesuai dengan firman Allas swt.: “...Dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama mereka) di rumah kamu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang lakilaki, di rumah saudara-saudaramu yang perempuan, di rumah bapak kamu yang laki-laki, di rumah saudara ibumu, di rumah saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara ibumu yang perempuan, di rumah yang kamu memiliki kuncinya atau di rumah kawan-kawanmu. tidak ada halangan bagimu makan bersama-sama mereka atau sendirian” (QS.An Nuur:61).
171
Nash ini berlaku bagi mereka setelah adanya izin memasuki rumah untuk makan, minum. Berarti nash ini adalah pengecualian bagi mereka untuk memasuki rumah. Sedangkan izin untuk makan, kepada mereka dibolehkan pula untuk berkumpul (ijtima’) dalam jamuan makan. jadi khusus menyangkut jamuan makan dan hanya menyangkut jamuan maka; hanya berlaku bagi mereka saja tidak termasuk orang lain. Hal ini ditinjau dari segi dalalahnya. Demikian pula perintah syara’ untuk bersilaturahmi, perintah tersebut menunjukkan kebolehan berkumpul dengan wanita-wanita yang masih ada hubungan famili (uli arham), apabila mereka datang untuk bersilaturahmi, sekalipun mereka yang datang itu paman atau kemenakan dll, selama mereka termasuk orangorang yang diperintahkan bersilaturahmi. Begitu pula syara’ telah membolehkan para kerabat melihat aurat mahramnya, dibolehkan pula bagi wanita mahram menampakkan sebagian auratnya terhadap sesama mahramnya. hal ini menunjukkan dibolehkan berkumpul dengan mereka dalam kehidupan rumah tangga (khusus). Jadi, mereka setelah mendapat izin untuk masuk dibolehkan . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
berkumpul dengan wanita mahramnya. dengan demikian setiap orang yang termasuk di dalam nash, yang dibolehkan melakukan sesuatu selain memasuki rumah, maka mereka dibolehkan sebatas apa yang ditentukan nash. Sebab ini merupakan pengecualian berdasarkan nash. dan sesuatu yang tidak disebutkan oleh nash maka tidak boleh melakukannya. Bertemunya pria dan wanita yang tidak ada hubungan mahram dalam kehidupan khusus secara mutlak diharamkan, sebab termasuk dalam nash yang melarangnya dan tidak terdapat nash yang mengecualikannya. Oleh sebab itu hukumnya haram. Jadi ikhtilath dalam kehidupan khusus diharamkan dan tidak dibolehkan kecuali terhadap orang-orang yang oleh syara’ dibolehkan dalam kondisi-kondisi tertentu. dalam kehidupan khusus (rumah tangga) diharamkan berkumpul seorang pria dengan wanita berdasarkan dalil yang khusus, disamping yang umum yang menjelaskan terpisahnya kehidupan pria dan wanita. Adapun kehidupan masyarakat yang bersifat umum berdasarkan dalil-dalil yang umum jelas tidak membolehkan bertemunya pria dan wanita, malahan masingmasing harus terpisah. Namun demikian, syara’ telah menjelaskan hukum yang khusus menyangkut masing-masing urusan pria dan wanita, di samping hukum yang menyangkut keduanya. Syara’ telah membolehkan dalam masalah interaksi, sperti hubungan bisni/ekonomi, muamalah, dll, baik dari wanita maupun pria tanpa adanya perbedaan seperti halnya syara’ telah membolehkan bagi keduanya melakukan aktivitas jual-beli, sewa menyewa, wakalah (pemberian kuasa), hibah, syuf’ah/prioritas membeli, wakaf, syirkah, wasiat, dan hiwalah/pengaliahn piutang; masing-masing dibolehkan untuk memiliki apa yang diinginkannya, serta mengembangkan miliknya, menuntut ilmu, ketreampilan dalam industri, termasuk mengajar. Syara’ juga telah mewajibkan jihad bagi laki-laki dan membolehkannya untuk wanita, mewajibkan shalat Jum’at bagi laki-laki dan membolehkannya bagi wanita, sunah shalat berjamaah bagi laki-laki dan membolehkannya bagi wanita, mewajibkan laki-laki untuk mencari nafkah dan mubah bagi wanita, mewajibkan haji bagi laki-laki sementara wajibnya atas wanita terikat dengan syarat adanya mahram atau sekelompok wanita. Syara’ melarang wanita menjadi penguasa (khalifah, muawin, dll) dan membolehkannya bagi laki-laki. Syara’ mewajibkan wanita berjilbab dan laki-laki tidak. Syara’ menetapkan aurat laki-laki tidak sama dengan aurat wanita. Syara’ tidak membolehkan kesaksian wanita dalam urusan jinayat (pidana) dan mebolehkannya dalam perkara huquq dengan ketentuan kesaksian dua wanita sebanding dengan satu laki-laki. Syara membolehkan baik laki-laki maupun wanita, masing-masing untuk berjalan-jalan, melihat pemandangan, berbicara, mengucapkan selamat, bermain, berlari, dan segala sesuatu yang termasuk hal-hal umum yang menyangkut pria dan wanita. Hukum-hukum yang disebutkan di atas, pada kenyataannya diperuntukkan bagi kehidupan bersifat umum. Apabila tidak dapat dihindari bertemunya pria dan wanita, seperti dalam bisni dan muamalah lainnya maka dia dibolehkan bertemu dengan laki-laki untuk tujuan tersebut. Sebab dengan dibolehkannya jual-beli dan muamalah lainnya itu berarti dibolehkan juga untuk berkumpul, karena dalil tentang kebolehan (jual beli dan muamalah lainnya itu) mencakup pertemuan
172
173
keduanya selama kebolehan itu bersifat umum. Hal ini tidak tremasuk kategori berikhtilath atau disebut sebagai ikhtilath yang dibolehkan syara’. Berdasarkan hal inilah, maka pertemuan (berkumpulnya) pria dan wanitadalam kehidupan yang bersifat khusus mutlak diharamkan, baik pertemuan itu didapati ikhtilath (interaksi) ataupun tidak, kecuali hal-hal yang nash syara’ telah membolehkannya, baik berupa perbuatan mubah, wajib, atau sunnah, seperti halnya silaturahmi atau pertemuan antarkeluarga mahram. Adapun dalam kehidupan yang bersifat umum, maka pertemuan (berkumpulnya) pria dan wanita untuk melakukan suatu hal yang dibolehkan syara’ maka diperbolehkan, seperti dalam kegiatan perdagangan, pertanian, industri, serta sejenisnya. hal tersebut diperbolehkan sekalipun di dalamnya terjadi ikhtilath, yaitu berkumpulnya pria dan wanita dalam keadaan bercampur baur dan berinteraksi, karena dibolehkan dalam hal-hal semacam ini berarti dibolehkannya pertemuan pria dan wanita untuk tujuan tersebut atau disebabkan oleh hal-hal yang tidak mungkin dilaksanakan tanpa adanya pertemua pria dan wanita. Oleh karena itu, dalil yang membolehkan aktivitas tersebut di atas merupakan dalil pula untuk membolehkan bercampurnya pria dan wanita. Adapun apabial terdapat suatu kegiatan yang diharamkan syara’, seperti judi atau sesuatu yang tidak mengahruskan adanya pertemuan pria dan wanita, seperti berjalan-jalan dan bermain-main, maka pertemuan itu adalah berdosa, baik terjadi interaksi diantara mereka atau tidak. Sebab pertemuan dalam kedaan tersebut berdosa berdasarkan dalil-dalil umum yang mengharamkan adanya pertemuan antara pria dan wanita. Dengan demikian terjadinya pertemuan merupakan dosa sebab tidak ada dalil yang mengecualikan dari ketentuan tersebut, seperti yang terjadi pada jual-beli. Jadi, semua bentuk pertemuan pria dan wanita adalah berdosa, kecuali jika ada dalil yang membolehkannya pertemuan tersebut. Maka dalil tersebut tidak berlaku dalam kehidupan umum dan tidak berlaku dalam kehidupan khusus secara mutlak kecuali dalam keadaan tertentu yang menurut syara’ dibolehkan.
173
Ketentuan Pergaulan Laki-Laki dan Wanita Dalam Islam 1. Keharusan bagi pria dan wanita untuk menundukkan pandangan, kecuali dalam adanya tujuan meminang, proses belajar-mengajar, pengobatan, proses peradilan dalam rangka memberikan kesaksian, dll. 2. Keharusan bagi wanita untuk mengenakan busana muslimah, yaitu pakaian yang menutupi seluruh badannya kecuali muak dan telapak tangan, dengan model busana muslimah yang diperintahkan syara’. 3. Tidak dibolehkan bagi wanita bepergian sendirian tanpa mahram sejauh perjalanan sehari semalam. Berkaitan dengan hal ini Rasulullah SAW. bersabda: “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bepergian sejauh perjalanan sehari semalam, kecuali disertai mahramnya”. 4. Tidak dibolehkan untuk berkhalwat (bersepi-sepi), kecuali adanya mahram bagi wanita tersebut. Berkaitan dengan hal ini Rasulullah SAW. bersabda: “janganlah seorang pria berkhalwat dengan seorang wanita kecuali bersama mahram wanita itu” 5. Bagi seorang wanita yang sudah bersuami maka dilarang seorang isteri kelaur rumah tanpa seizin suaminya. . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
6. Adanya pemisahan kehidupan pria dan wanita dan tidak tercampur baur, sebagaimana halnya shaf-shaf wanita dalam shalat, yaitu terpisah dari shaf pria. 7. Larangan untuk bertabarruj, yaitu memperlihatkan ‘perhiasan’ dan kecantikannya pada pria yang bukan mahramnya. 8. Anjuran Islam untuk segera menikah bagi yang mampu, bagi jika tidak maka diperintahkan untuk iffah (menjaga kesucian diri). 9. Hubungan muamalah, ta’awun antara pria dan wanita dilakukan pada kehidupan umum. 10. Islam memerintahkan pria dan wanita untuk bertaqwa kepada Allah SWT. sebagai kendali internal. 11.Islam memerintahkan untuk menjauhi tempat-tempat yang diharamkan dan memungkinkan terjadinya perkara yang haram. Islam merupakan agama yang diturunkan Allah SWT. untuk mengatur kehidupan mansuia. Cukup dengan berpegang teguh kepada ajaran Islam, seorang muslim dapat mengarungi kehidupannya dan memecahkan setiap problematika kehidupannya. Aturan Islam yang lengkap dapat menjamin keselamatan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat. Sejarah telah membuktikan hal ini, lebih dari sepuluh abad aturan Islam telah mampu mengatur kehidupan manusia dengan keadilan luar biasa. Syariat Islam mampu menjamin ketentraman hidup manusia, sehingga orang-orang non-Islam pun tentram hidup dalam naungannya. Sudah seharusnya kaum muslimin kembali mengkaji, menelaah, mengamalkan, dan menjaga ajaran Islam dengan sebaik-baiknya. Akhirnya hanya kepada Allah SWT. kita bergantung, semoga Allah memberi kita petunjuk untuk senantiasa berada dalam keridlaanNya.
174