Atmosfer Menyenangkan Tunjang Prestasi Mahasiswa FKH UNAIR NEWS – Fakultas Kedokteran Hewan tak pernah berhenti menciptakan inovasi. Para mahasiswanya pun terkenal kreatif dan memiliki pemikiran brilian. Selama ini, sistem perkuliahan memang dibuat senyaman mungkin. Interaksi dengan dosen, praktek yang sesuai, dan peralatan penunjang nan komplit menjadi kunci kesuksesan di sana. Berikut sejumlah potret yang diambil oleh dua fotografer Pusat Informasi dan Humas Helmy Rafsanjani dan Yudira Pasada Lubis. [Best_Wordpress_Gallery id=”85″ gal_title=”FKH2″]
FKH Didukung Fasilitas dan SDM yang Unggul UNAIR NEWS – Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) memiliki banyak peneliti yang telah membuat penemuan aplikatif untuk masyarakat. Fasilitas yang lengkap menjadi faktor penentu. Berikut sejumlah potret di sudut-sudut fakultas ini. Helmy Rafsanjani dan Yudira Pasada Lubis, dua fotografer Pusat Informasi dan Humas, menyajikan sedikit gambaran tentang fakultas ini. Misalnya, keberadaan hewan-hewan yang siap dijadikan materi penelitian dan bahan perkuliahan, rumah sakit hewan yang umumnya menerima pasien anjing atau binatang peliharaan lain, serta suasana perkuliahan yang akrab melalui diskusi dosen dan mahasiswa. [Best_Wordpress_Gallery id=”84″ gal_title=”fkh1″]
Tiga Guru Besar Baru UNAIR Akan Dikukuhkan UNAIR NEWS – Rektor Universitas Airlangga akan mengukuhkan tiga guru besar baru, Rabu (24/5). Ketiga guru besar tersebut menjadi bukti bahwa UNAIR melahirkan ilmuwan-ilmuwan baru untuk mengabdikan diri kepada masyarakat. Ketiga guru besar yang akan dikukuhkan adalah Prof. Dr. R. Tatang Santanu Adikara, M.Sc., drh (Fakultas Kedokteran Hewan), Prof. Dr. Drs. H. Widi Hidayat, M.Si., Ak., CA., CMA (Fakultas Ekonomi dan Bisnis), dan Prof. Dr. I Dewa Gede Ugrasena, dr., Sp.A (K) (Fakultas Kedokteran). Sebelum dikukuhkan, Pusat Informasi dan Humas (PIH) UNAIR menggelar jumpa pers bersama ketiga guru besar yang dihadiri para awak media, Selasa (23/5). Dalam jumpa pers yang dipimpin langsung Sekretaris PIH Dr. Bimo Aksono, mereka memaparkan tentang materi orasi ilmiah. Prof. Tatang menyampaikan ringkasan orasi berjudul “Peran Akupunktur dalam Ilmu Anatomi dan Kesejahteraan Masyarakat”. Tatang yang juga Guru Besar FKH aktif ke-26 menggunakan soft laser untuk pada titik-titik akupunktur pada hewan yang ia sebut dengan laserpunktur. “Laserpunktur bisa digunakan untuk meningkatkan kesehatan hewan, peningkatan produktivitas berat badan, produksi susu, peningkatan stamina hewan-hewan pacu dan paduan, dan juga peningkatan kemampuan reproduksi,” tutur Guru Besar UNAIR ke-456 dalam jumpa pers tersebut. Konsep ke depan, laserpunktur dapat digunakan untuk mempersiapkan jenis-jenis unggulan asli ras Indonesia.
Ada pula Prof. Widi yang menyampaikan orasi berjudul “Optimalisasi Kinerja Entitas melalui Sinergi Internal dan Eksternal Audit”. Dalam jumpa pers tersebut, Guru Besar FEB aktif ke-21 menyampaikan bahwa entitas pemerintah dan bisnis perlu bersinergi demi perbaikan tata manajemen. “Agar proses audit internal dan eksternal tidak menjadi beban,” tegas Guru Besar UNAIR ke-457. Terakhir, Prof. Ugrasena juga menyampaikan orasi berjudul “Strategi Meningkatkan Kesintasan Kanker pada Anak dalam Situasi yang Penuh Tantangan”. Guru Besar FK aktif ke-107 itu menyebutkan, angka sintas yang rendah pada anak dengan penyakit kanker. Ugrasena yang juga Guru Besar UNAIR ke-458 mengidentifikasi setidaknya ada sembilan yang membuat angka sintas tersebut rendah. Di antaranya adalah keterlambatan tiba di fasilitas medis, keterbatasan finansial, keterbatasan tenaga, ketersediaan macam obat yang minim, malnutrisi, dan keterbatasan kapasitas tenaga medis. Penulis: Defrina Sukma S Editor: Nuri Hermawan
Eksplorasi Rektal, Satu Keahlian Mahasiswa Kedokteran Hewan MEMBICARAKAN tentang Universitas Airlangga, rasanya tidak afdol jika tidak menengok salah satu fakultasnya yang berdiri di kampus C. Ya, Fakultas Kedokteran Hewan tampil dengan 1001
keunikan yang menarik untuk ditelisik. Mulai dari “mini zoo” dengan berbagai hewannya, kandang hewan coba, serta Teaching Farm yang berada di wilayah Kabupaten Gresik yang digunakan mahasiswa untuk praktikum lapangan, juga Rumah Sakit Hewan Pendidikan, serta ilmunya yang spektakuler. Teori (ilmu) dalam perkuliahan serta praktikum yang tak hanya membahas tentang kehewanan, lebih dari itu mahasiwa FKH juga belajar banyak tentang ekonomi kewirausahaan, kesehatan lingkungan, kesehatan masyarakat, ilmu penyakit satwa aquatik, obat-obatan, dan fisiologis yang tak jarang juga belajar mengenai ilmu kedokteran manusia. Satu dari 1001 yang unik dari kemampuan mahasiswa Kedokteran Hewan UNAIR yang menarik untuk dibahas adalah kemampuan indera perasa dalam mendiagnosa sesuatu yang tanpa melibatkan indera penglihatan. Mahasiswa sering menyebutnya sebagai Eksplorasi Rektal. Kegiatan salah satu praktikum wajib bagi mahasiswa semester VII ini dilakukan di Kandang Hewan Coba FKH, dan tak jarang juga dilakukan di Teaching Farm di Gresik. Untuk bisa melaksanakan Eksplorasi Rektal ini dituntut memiliki kemampuan tinggi dan bisa menyingkirkan rasa jijik jauh-jauh. Bagaimana tidak? Ketika tangan para praktikum harus memasuki rektum hewan, contohnya sapi, terlebih dahulu harus membersihkan kotoran yang ada didalamnya. Kemudian harus bisa mendiagnosa organ reproduksi serta kelainan-kelainan yang terjadi di dalamnya. Otomatis, hanya tangan saja yang masuk, dan mata tidak bisa melihat apa yang ada di dalam dan yang terpegang oleh tangan. Kemampuan intuisi dan perasaan hebat inilah yang harus dimiliki sebagai salah satu skill mahasiswa FKH. Namun sebenarnya tidak semata hanya masalah perasaan, tentu harus dikaitkan dengan teori yang telah diperoleh sebelum melakukan praktikum. Jadi bukan ilmu perdukunan. Belum lagi jika hewan yang akan di-Rectal memiliki temperamen
tinggi, sehingga sulit dikendalikan. Kemampuan mengendalikan hewan ini pun juga wajib dimiliki mahasiswa Kedokteran Hewan, dengan tetap memperhatikan konsep Animal Welfare, tanpa menyakiti hewan. Karena hewan coba juga punya hak-hak yang harus dipenuhi oleh para praktikan (mahasiswa praktik) dan sejawat yang menggunakan sebagai media pendidikan. Keselamatan diri sendiri tetap menjadi prioritas utama, namun untuk mahasiswa Kedokteran Hewan, rasanya belum “lengkap” kalau belum merasakan bagaimana disepak atau ditendang sapi sebagai “salam perkenalannya”. Apalagi praktikum Eskplorasi Rektal ini sering dilakukan pada hewan besar seperti sapi, kuda, kerbau dan hewan besar lainnya yang digunakan untuk kepentingan Inseminasi Buatan (IB), Diagnosa Kebuntingan, atau hanya sekedar pemeriksaan reproduksi hewan tersebut.
fisiologis
patologis
organ
Untuk bisa melakukan Eksplorasi Rektal dengan baik, memang tak cukup hanya sekali mencoba. Tetapi diperlukan berulang kali praktik atau percobaan agar dapat melakukan teknik dengan benar. Peralatan penunjang seperti baju pelindung Cattle Pack, sepatu boots, dan sarung tangan (glove) khusus, perlu digunakan untuk mencegah sesuatu hal yang tidak diinginkan. Itu belum lagi dengan persoalan bau kandang. Harus berani kotor. Setiap hari bertemu pasien (hewan) dengan berbagai temperamen, dan bertemu pemilik hewan dengan berbagai latar belakang, menjadi kegiatan rutin harian mahasiswa FKH. Dari realitas seperti itu, jangan heran jika tidak semua mampu melakukan teknik Eksplorasi Rektal. Untuk itu sebagai mahasiswa FKH patut berbangga jika dapat menguasai ilmu tersebut, sebab teknik ini sering dilakukan di lapangan untuk melaksanakan Inseminasi Buatan pada ternak, membantu peternak untuk meningkatkan kualitas kehidupan ekonomi dan membantu pemerintah dalam menggalakan program swasembada daging bagi masyarakat Indonesia.
Jadi, pekerjaan mulia tidak dilihat dari banyaknya materi yang dihasilkan, namun seberapa besar pekerjaan tersebut bermanfaat bagi masyarakat, meski pekerjaan tersebut tidak mudah. Begitulah professi dokter hewan digambarkan. (*) Editor: Bambang Bes
Pengembangan Kajian Virologi Merupakan Kebutuhan Nasional UNAIR NEWS – Berbicara mengenai penyakit zoonosis (menular dari hewan ke manusia, atau sebaliknya), yang disebabkan oleh virus, tak dapat dilepaskan dari bidang Ilmu Virologi. Salah satu pakar di bidang Ilmu Virologi adalah Prof. Dr. drh Suwarno, M.Si, Wakil Dekan III Fakultas Kedokteran Hewan UNAIR. Suwarno merupakan produk asli didikan Airlangga. Pasalnya, jenjang Sarjana, Magister, dan Doktoral, dia tempuh di UNAIR. Setelah lulus S3 pada 2005, Suwarno dikukuhkan menjadi Guru Besar di bidang Ilmu Virologi dan Imunologi Fakultas Kedokteran Hewan pada 2014. Puluhan penelitian telah dilakukan oleh Suwarno. Bahkan, karena getol dalam penelitiannya terkait bidang Ilmu Virologi, Suwarno mendapatkan julukan “Dokter Rabies”. Pasalnya, penyakit zoonosis seperti Rabies dan Avian Influenza sudah menjadi objek utama dalam berbagai penelitiannya. Walaupun konsentrasi utama umumnya berupa kajian virus pada hewan, namun tidak menutup kemungkinan, virus yang ada pada manusia layaknya Demam Berdarah dan Japanese Enchepalities juga menjadi bagian dari penelitian.
“Hampir semua penyakit itu penyebabnya adalah virus. Makanya, ilmu yang kami geluti sangat bermanfaat bagi masyarakat dan juga pemerintah, termasuk di bidang penanggulangan Avian Influenza,” kata dia. Yang jelas, semua yang dilakukannya adalah bentuk sumbangsih pada negara. Diharapkan, kerugian akibat wabah atau bala penyakit di Indonesia dapat terus berkurang berkat semakin banyaknya penelitian yang solutif. Penelitian Suwarno telah menghasilkan beberapa produk dalam bentuk kit diagnostik. Salah satu produknya diberi nama “ONRAW-IB-Varian”. ONRAW diambil dari nama panggilannya yang dibaca terbalik. ONRAW merupakan kit diagnostik untuk infeksi Bronchitis Varian yang mulai diproduksi pada 2014. Sedangkan untuk penangkal Rabies, Suwarno menciptakan Kit Diagnostik ELIVE Tua Rabies pada 2013 dan Seed Vaksin Rabies, SWN-JOL-007 yang diproduksi oleh PT Sanbe Farma pada 2012. Sit vaksin rabies tersebut dibuat untuk penanganan khusus hewan yang berisiko menimbulkan Rabies. Misalnya, Anjing, Kucing, dan Kera. Suwarno juga aktif dalam publikasi internasional. Beberapa judul di antaranya, “Homology and Phylogenetic Analysis of Nucleotide Sequence of Omp2a Gene of Brucella abortus Local Isolates. Journal of Veternary Advances” yang dirilis pada 2014, dan “Production and Characterization Egg Yolk Derived Anti-Hemaglutinin Antibody (IgY) as immunoterapy Agent on the Chicken Infected by Avian influenza A/H5N1 Virus. Journal of Veterinary Advances” yang dipublikasikan pada 2013. Berkat penelitian dan pengabdiannya pada masyarakat, Guru Besar FKH sejak tahun 2014 tersebut memeroleh beragam penghargaan. Di antaranya, peringkat III tingkat nasional dengan produk kit miliknya bernama ELISA Avian Influenza, diberikan oleh Ditjen Dikti pada 2013. Selain itu, Suwarno juga merupakan dosen berprestasi baik di tingkat FKH UNAIR,
dan dianggap sebagai dosen yang sukses melaksanakan pengabdian masyarakat yang aplikatif. (*) Penulis: Dilan Salsabila Editor: Rio F. Rachman
Cegah Antraks, Stop Datangkan Hewan dari Kawasan Endemis UNAIR NEWS –Wabah antraks kembali santer terdengar setelah sejumlah warga di Yogyakarta terjangkit penyakit tersebut dalam waktu yang bersamaan. Ditemui di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, pakar zoonosis Dr. Mustofa Helmi Effendi, dr., DTAPH, mengatakan, antraks adalah suatu penyakit yang ditularkan lewat spora pada bakteri Bacillus anthracis. Spora sendiri biasa ditemukan di permukaan tanah. “Penularan antraks sendiri itu paling penting dari spora. Tanpa spora secara signifikan tidak terjadi antraks, jadi kalau misalkan antar manusia itu tidak bisa. Jadi harus ada spora. Spora inilah cikal bakal yang akan menular pada manusia. Sekarang tinggal kita cari tahu spora itu ada di mana dan tanah mana yang ada spora,” tandas Helmi. Menurut Helmi, indikasi terjangkitnya penyakit antraks pada hewan bisa diketahui dengan keluarnya darah pada lubang-lubang alami seperti kuku dan mata. Namun, gejala indikasi terjangkitnya antraks pada hewan ternak juga bisa ditandai dengan kematian mendadak pada hewan ternak. “Sekarang perubahan gejala klinis, tidak disertai keluarnya
darah tapi kematian mendadak pada hewan. Nah, kalau ada kematian mendadak maka kita harus jadi suspect priority pada penyakit antraks,” tuturnya. Helmi mengimbau agar masyarakat segera mengubur atau membakar bangkai hewan yang terjangkit antraks. Ia tidak menyarankan manusia untuk membedah bangkai hewan ternak yang terjangkit antraks karena bisa menjadi sumber penyakit menular. Penyakit antraks bisa ditularkan melalui sentuhan kulit, makanan, dan juga melalui pernapasan. Kebanyakan penularan wabah antraks ditularkan kepada manusia melalui antraks kulit (Cutaneous Anthrax). Ada kemungkinan penderita antraks pernah melakukan interaksi dengan hewan yang terinfeksi antraks. Pada beberapa kejadian ditemukan kasus penderita antraks yang mengalami penularan melalui inhalasi atau pernapasan. “Kejadiannya penyakit antraks yang Jateng kemarin, tidak hanya tipe cutanius, tapi paling banyak di inhalasi. Dari nafas ke paru-paru lalu menyebar ke darah terus ditemukan bakteri antrak dalam cairan spinal,” terang Helmi. Ciri-ciri manusia yang terjangkit antraks bisa diketahui dengan indikasi ruam-ruam berwarna hitam di kulit serta rasa mual, pusing, dan suhu badan meningkat. Jika sudah terindikasi seperti itu, masyarakat diimbau untuk segera pergi ke rumah sakit untuk memastikan gejala dan proses penyembuhan. Meski demikian, antraks bisa dicegah dengan berbagai cara. Yakni, dilarang memotong dan mengonsumsi hewan yang sakit dan pahami betul pengolahan daging yang sempurna. “Serta, patuhi regulasi pemerintah. Jangan mendatangkan hewan dari daerah endemis antraks. Cara yang paling utama dalam mencegah penyebaran antraks adalah dengan tidak bersentuhan langsung dan mengonsumsi daging dari daerah endemis antraks,” pungkasnya. Penulis : Faridah Hari
Editor: Defrina Sukma S
Toxo Kit, Generasi Baru Uji Toksoplasma UNAIR NEWS – Tim Dosen Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Airlangga kembali membuat sebuah inovasi. Kali ini, Tim yang terdiri dari Prof. Dr. Lucia Tri Suwanti, drh., M.P., Dr. Mufasirin, drh., M.Si, Prof. Dr. Suwarno, Prof. Dr. Dewa Ketut Meles, drh., MS., Dr. Hani Plumeriastuti, drh., M.Kes, dan rekan asal Mataram yakni Drs. Zainul Muttaqin, membuat dan mengembangkan sebuah produk alat diagnosa toksoplosma. Alat tersebut diberi nama “Toxo Kit”. Pertama kali dibuat dan diteliti pada tahun 2014, sampai saat ini alat tersebut masih dalam proses pengembangan. “Pembuatan alat ini dilatarbelakangi oleh banyaknya kebutuhan alat diagnosa, salah satunya toksoplasma,” ujar Mufasirin. “Semua biaya dan dana penelitian Toxo Kit dibiayai oleh Kemenristek Dikti, dalam rangka peningkatan mutu dosen,” imbuhnya. Selama ini, pengujian adanya toksoplasma lebih sering menggunakan alat diagnosa bernama “Uji ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay)”. Namun, untuk mengetahui hasil uji, Uji ELISA dianggap memakan waktu yang lama yaitu dua hari. Sedangkan, hasil dari uji penggunaan Toxo Kit hanya membutuhkan waktu 10 hingga 15 menit. Cara kerja alat Toxo Kit ini hampir sama dengan alat penguji kehamilan (Test pack). Pertama, darah pasien diambil, kemudian diendapkan, dan diteteskan ke dalam alat Toxo Kit. Setelah beberapa saat akan diketahui hasil. Jika hasil cenderung
positif, maka garis yang keluar adalah dua garis. Sementara jika cenderung negatif, maka hanya ada satu garis yang akan keluar pada alat tersebut. Toxo Kit mengandung antigen yang bekerja menangkap material yang ada di sampel atau antibodi. Kemudian dilengkapi dengan kandungan sinyal reaksi, yakni suatu materi yang akan bereaksi. Jika hasil sampel menunjukkan nilai positif, sinyal reaksi akan berubah warna. Toxo Kit memiliki sensitivitas atau keakuratan sebanyak 73.5% dan spesifitas 66,7%. “Alat ini belum bisa dikomparasikan dengan uji toksoplasma yang konvensional, memang standarnya menggunakan Uji ELISA, namun Toxo Kit ini hadir digunakan sebagai alternatif awal sebagai diagnosa adanya toksoplasma,” tandas Mufasirin. Dengan adanya Toxo Kit ini, Mufasirin dan tim berharap, kit tersebut dapat membantu masyarakat dalam diagnosa toksoplasma yang dianggap mahal dan memakan waktu lama. Ke depan, Mufasirin dan tim juga berusaha mengoptimalisasikan alat tersebut dengan meningkatkan keakuratan dan spesifitas “Kita juga sudah berkomunikasi dengan salah satu produsen kimia untuk produksi alat ini. Mereka memiliki standar tersendiri untuk sebuah alat yang akan di produksi. Maka dari itu kita akan memperbaiki kualitas agar tidak banyak berubah ketika diproduksi massal,” terang Wakil Dekan II FKH UNAIR tersebut. Selain itu, Mufasirin dan tim berencana untuk mengembangkan kit ini menjadi alat yang multiguna. Tidak hanya bisa mendeteksi Immuniglobulin G, tapi juga Immunoglobulin M. Sehingga mampu mendeteksi lebih dari satu macam penyakit.(*) Penulis : Faridah Hari Editor : Dilan Salsabila
Peternakan Bisa Berkembang, Tapi… UNAIR NEWS – Salah satu penyebab peternakan di Indonesia kurang berkembang adalah manajemen pengelolaan yang masih tradisional. Hal itu disampaikan oleh dosen Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga Dr. Trilas Sardjito, drh., M.Si, saat diwawancarai oleh tim UNAIR NEWS. Manajemen pengelolaan tradisional yang dimaksud adalah rencana-rencana untuk mengembangkan peternakan, misalnya pengembangbiakan, nutrisi makanan, dan pengetahuan peternak. Pengelolaan yang masih tradisional itu diakibatkan oleh paradigma peternak yang memandang bahwa peternakan merupakan usaha sampingan atau sekadar investasi jangka pendek. Sehingga bukan tak mungkin peternakan itu berjalan tanpa perencanaan. “Pengelolaannya masih tradisional. Peternakannya belum sebagai usaha, tetapi masih sebatas tabungan saja. Itu yang nggak bisa. Misalnya, kalau anaknya mau nikah, maka sapi itu dijual. Itu yang bikin nggak bisa (berkembang),” tutur Trilas. Selain faktor paradigma, perkembangan peternakan juga dipengaruhi oleh ketersediaan pakan, terutama rumput dan konsentrat. Ketersediaan rumput bergantung pada musim, sementara harga konsentrat di Indonesia berkisar di angka enam ribu rupiah. Dibandingkan Tiongkok, harga konsentrat di Negeri Tirai Bambu dengan kualitas yang sama berada di angka Rp 2.500,00. Sedangkan, pemerintah tak memberi subsidi terhadap pakan ternak. Akibatnya, peternak hanya memberi pakan berupa rumput nirkonsentrat. Selanjutnya, selain paradigma dan pakan, faktor ketiga adalah pengetahuan yang dimiliki peternak. Menurut Trilas,
pengetahuan peternak selama ini didapat secara turun temurun dari keluarga atau lingkungan sekitarnya yang terlebih dulu memelihara hewan ternak. Akibatnya, ilmu pengetahuan terbaru di bidang peternakan jarang didapat oleh para peternak tradisional. “Padahal sekarang kondisinya sudah tidak sama dengan kondisi leluhurnya. Berarti perlu kreasi, nah itu yang tidak tersampaikan ke peternak. Itu yang tahu adalah perguruan tinggi, tapi perguruan tinggi untuk turun juga susah karena butuh biaya. Kita turun kan berarti harus meninggalkan urusan akademis dan membutuhkan fasilitas. Kita sih siap saja dan tidak bisa kalau di sana hanya sehari karena harus berkelanjutan,” ujar ahli inseminasi buatan FKH UNAIR. Apabila pemerintah ingin mencapai swasembada pangan sebelum tahun 2045, maka ketiga faktor itu perlu diperbaiki secara bersama oleh pemerintah, peternak, dan akademisi perguruan tinggi. Akibatnya, menurut Trilas, peternak bisa jadi tak memahami masa biakan hewan yang mereka ternakkan. “Kalau rata-rata hanya untuk sampingan, ya, mereka berpikir beranak atau tidak ya terserah. Yang penting diberi makan, ya, sudah. Peternak kita itu seperti itu,” tutur Trilas. (*) Penulis: Defrina Sukma S. Editor: Nuri Hermawan
Wisudawan
Terbaik
S2
FKH,
Diyah Jalani Studi Cukup Lima Tahun
S1-S2
UNAIR NEWS – Diyah Ayu Candra, drh., M.Vet, terhitung cepat dalam merampungkan studinya di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Ia berhasil menyelesaikan studi profesi dan Program Master-nya dalam waktu satu setengah tahun saja. Dan akhirnya, Diyah dinobatkan sebagai wisudawan terbaik S-2 FKH UNAIR dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,93. “Pada saat semester I dan II, saya mengikuti program Pendidikan Profesi Dokter Hewan. Jadi ibaratnya saya melakukan double degree antara program Profesi dan S-2 sampai akhir Maret 2016,” ujar Diyah. Dengan waktu yang relatif singkat itu, tentu, alumnus SMA Negeri 2 Sidoarjo ini harus pandai-pandai memanfaatkan waktu, mengingat tanggungjawab perkuliahan yang tak sedikit. Diluar kegiatan kuliah ia juga memiliki pekerjaan sampingan: menjadi guru les privat untuk murid SD, SMP, dan SMA. “Saya ingin melatih rasa percaya diri saya dalam hal mengajar sekaligus mengamalkan ilmu. Kebetulan, saya juga bercita-cita menjadi dosen,” tutur perempuan asal “Kota Udang” ini. Perjuangannya dalam merampungkan studi cukup berliku. Ia rela waktu istirahatnya hanya sekitar tiga jam, karena dipotong pengerjaan tesis. Ia berusaha semaksimal mungkin mengerjakan revisi tesis yang diberikan dosen pembimbing dan pengujinya. “Saya berusaha untuk mengerjakan revisi tesis semaksimal mungkin. Semua yang disarankan dosen pembimbing dan penguji, saya kerjakan sebaik mungkin, karena beliau lebih berpengalaman. Saya rela tidur sehari hanya tiga jam untuk menyelesaikan revisi agar cepat selesai. Semua seakan sudah menjadi makanan sehari-hari. Jadi saya ambil hikmahnya, mungkin Allah memberi cobaan seperti itu untuk melatih
kesabaran saya,” kata Diyah. Dalam penelitiannya berjudul “Hubungan Sistem Manajemen Produksi terhadap Kelayakan Usaha Peternakan Sapi Perah Anggota Koperasi Susu Sidoarjo”, ia meneliti tentang pola usaha peternakan rakyat. Menurutnya, banyaknya kegagalan peternak sapi perah disebabkan oleh pengelolaan dan manajemen. Kedepan, setelah studi S-2, ia ingin mencapai cita-citanya sebagai dosen. Ia juga ingin bisa terjun ke dunia kewirausahaan dengan mengolah susu sapi perah menjadi produk olahan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Diyah membagi tipsnya suksesnya kepada mahasiswa adik kelasnya. Mahasiswa harus fokus pada tujuan awal ketika memutuskan melanjutkan studi. Selain harus pandai-pandai mengatur waktu, juga harus memiliki rencana dan target yang jelas. “Buat rencana dan target yang jelas dan harus berkomitmen untuk mencapai target tersebut tepat waktu,” kata wanita kelahiran Sidoarjo, 27 Mei 1993 ini. Dalam menjalani studi profesi dan S-2 yang hanya ditempuh 1,5 tahun, Diyah telah menyiapkan judul tesis sejak semester II. Ia melakukan sidang proposal tesis pada awal semester III. Apalagi penelitian yang dilakukan itu selesai sekitar dua bulan saja. “Alhamdulillah saya bisa mengikuti ujian tesis sebelum yudisium dilaksanakan,” katanya. (*) Penulis: Binti Q. Masruroh Editor: Defrina S. S.
Fermentasi Jerami Padi Dukung
Swasembada Indonesia
Daging
di
UNAIR NEWS – Kebutuhan konsumsi protein hewani bagi masyarakat Indonesia semakin hari terus meningkat. Sayangnya, untuk memenuhi konsumsi tersebut hingga saat ini pemerintah masih “menambalnya” dengan impor daging karena jumlah populasi sapi di Indonesia belum sebanding dengan jumlah pertambahan penduduk setiap tahunnya. Untuk itu diperlukan upaya penambahan jumlah ternak, khususnya sapi, untuk mencapai swasembada daging di Indonesia. Demikian disampaikan Prof. Dr. Mirni Lamid, drh., MP, dalam orasi ilmiah pengukuhannya sebagai Guru Besar, hari Sabtu (10/12), di Aula Garuda Mukti, Rektorat UNAIR. Dalam mengiringi jumlah populasi ternak, khususnya sapi, dipandang penting adanya inovasi bioteknologi pakan. Untuk itu, Guru Besar FKH UNAIR ini menyampaikan orasinya dengan tema “Peran Bioteknologi Pakan Ternak terhadap Pertambahan Berat Badan Sapi sebagai Upaya Pemenuhan Konsumsi Daging nasional”. Menurut Mirni, untuk meningkatkan populasi sapi di Indonesia, kendala yang dihadapi peternak umumnya masalah kualitas pakan, dimana di Indonesia sangat bergantung pada musim. Ketika musim penghujan, kebutuhan pakan tidak menjadi kendala, sebab rumput banyak tersedia. Namun muncul masalah ketika musim kemarau, sedangkan rumput merupakan makanan pokok sapi, disamping konsentrat sebagai makanan pelengkap. Ia sukses mengembangkan enzim dalam penelitiannya untuk menghasilkan kualitas pakan yang mampu menambah berat badan sapi. Kelompok enzim lignoselulase atau fibrolase itu merupakan produk riset Mirni dan timnya yang diberi nama Excelzyme 2. Keunggulan Excelzyme 2 ini dapat menurunkan kandungan serat kasar, sehingga meningkatkan nilai nutrisi limbah pertanian dan agroindustri.
Hasil riset Mirni dan tim yang dilakukan sejak 2008 hingga sekarang, penggunaan probiotik ML-08 (Bacillus pumilus sp dan Actinobacillus sp) mempunyai kemampuan untuk mendegradasi bahan pakan berserat tinggi. Fermentasi jerami padi menggunakan probiotik ML-08 mampu meningkatkan 3 protein kasar sebesar 3.5% dengan penurunan serat kasar sebesar 4%. Hal ini membuktikan bahwa fermentasi jerami padi dapat digunakan untuk pakan penggemukan sapi potong. ”Terobosan enzim ini sudah pernah dilakukan sejak tahun 2010. Kami mengembangkan apa yang disebut integrated farming, dimana pemanfaatan limbah nanti merupakan suatu siklus yang akan bergulir dan menjadi suatu produk pangan lagi,” ucapnya. Prof. Mirni menggunakan complete feed atau paket lengkap. Keunggulannya, lengkap ini bisa tersedia sepanjang waktu, terutama pada musim kemarau dengan memanfaatkan bahan baku lokal yang ada di daerah. Ini membuka peluang bagi peternak yang umumnya berada di desa. Selain itu, penggunaan produk ini akan mampu meningkatkan pertambahan berat badan sapi, sehingga pendapatan peternak juga akan meningkat. “Ini membuktikan bahwa seandainya peternak mau mengelola ternak sapinya, maka tidak kalah penghasilannya dengan yang diperoleh ketika ia bekerja di kota. Ini memberi peluang, bukan saja pendapatan peternak meningkat tetapi juga dalam rangka membantu upaya swasembada pemerintah dalam rangka konsumsi daging di Indonesia,” katanya. (*) Penulis: Binti Quryatul Masruroh Editor: Bambang Bes