Review B uku
KEKERASAN A L A KAPITALISME Sebuah Telaah atas Buku Violence and D em ocratic Society Athiqah Nur Alami (Kandidiat Peneliti P2P-LIPI) Judul Buku Penulis Penerjemah Penerbit Halaman
: Violence and Democratic Society : Prof. DR. Jamil Salmi, Ph.D. : Slamet Raharjo : Kelompok Pilar Media, Februari 2005 : 292 halaman Abstract
The rise o f capitalism at the present does not mark it as a glorious ideology. Capitalism has many dark sides that we should aware. One o f the dark sides that is worth to be noticed is the emergence o f violence against human that happened to maintain the existence o f Capitalism itself The Violence has variousforms, direct violence and indirect violence. Each form o f the violence brings conseguence that is often disrespect the universal human rights.
stilah kekerasan dan kapitalisme berasal dari dua akar ilmu sosial yang berbeda. K ekerasan m erupakan istilah dalam sosiologi, sedangkan kapitalism e muncul dalam ilmu ekonom i. N am un dem ikian, kedua istilah tersebut memiliki keterkaitan karena ternyata paham kapitalism e yang kemudian berkembang tidak hanya di bidang ekonomi tapi juga politik, mempengaruhi berbagai sendi kehidupan masyarakat dunia saat ini, te rm a su k m en jad i salah satu p en y eb ab te rja d in y a k e k erasan , b aik langsung maupun tidak langsung. Teori-teori tentang kapitalisme yang berkembang pada abad k e-18, 19, dan 20 berada dalam konteks revolusi industri dan imperialisme Eropa serta perang dingin. Para teoritisi tersebut menggambarkan kapitalisme sebagai seb u ah sistem ekonom i yang
I
bercirikan m odal dim iliki oleh individu swasta dan keputusan ekonomi ditentukan oleh pasar1. Konstelasi perpolitikan dunia pasca perang dingin mengalami perubahan yang cukup signifikan. Runtuhnya komunisme di Uni Soviet dan pertumbuhan ekonomi pasar sosialis di Cina serta globalisasi, semakin memperkuat paham kapitalisme dunia. Tesis F ran cis F ukuyam a yang m entakdirkan kapitalism e sebagai “pem enang tunggal” semakin membuat yakin dunia bahwa tidak ada ideologi lain yang bisa bertahan selain k a p ita lism e . K em en an g an lib e ra lism e ekonomi dan politik serta demokrasi liberal Barat yang gemilang membuktikan bahwa
1Capitalism-Wikipedia, thefree encyclopedia yang diakses pada 3 Juli 2006.
111
liberalisme merupakan satu-satunya ideologi pemerintah yang paling tepat. N am un di b a lik k e jay a a n n y a, kapitalisme ternyata menyimpan wajah gelap yang perlu kita kritisi bersam a. Jurang pemisah masih menganga di antara retorika kem enangan kapitalism e dan sisi gelap kehidupan sehari-hari umat manusia. Di balik jargon-jargon kapitalisme, yaitu kemajuan (progress), pertum buhan (,growth ) dan kem akm uran (prosperity ), terdapat m asalah-m asalah dunia seperti kelaparan, kemiskinan, tuna wisma, buta h u ru f, re n d a h n y a tin g k a t k e seh atan , p en g an g g u ran , k etim p a n g an so sia l, peredaran obat terlarang, dan segala bentuk kekerasan.
Violence and Democratic Society yang ditulis oleh Prof. Dr. Jamil Salmi, Ph.D. ini berusaha untuk m enguak segala tabir gelap kapitalisme tersebut, dan membuka m ata p ik iran k ita bahw a k a p ita lism e bukanlah sebuah ideologi pemenang seperti yang dilontarkan oleh Fukuyama. Buku ini m engkaji k e te rk a ita n lan g su n g an tara berbagai aspek dalam tindak kekerasan yang terjadi akibat biasnya pandangan kapitalisme terhadap kekerasan tersebut. Kategorisasi bentuk kekerasan sebagai modus pelanggaran hak asasi m anusia, perangkaian secara struktural dan etis m engenai peran dan “keb erm aknaan” kekerasan m erupakan dampak akum ulasi m odal dalam sistem kapitalisme. Istila h k ek erasan dalam ranah kapitalisme yang terdapat dalam buku ini bermakna kekerasan bukanlah kecelakaan atau kesalahan, tapi justru diperlukan demi keberlangsungan kapitalism e. Kekerasan dilihat bukan dari kacamata pemerintah, tapi dari kacamata korban kekerasan. Definisi korban kekerasan, baik perorangan maupun kelo m pok ada b aik n y a m engacu pada Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan, terutama pada paragraf 1 dan 2 yaitu: “Korban berarti orang yang secara
p e ro ra n g a n dan k e lo m p o k m en d erita kerugian, termasuk cedera fisik dan mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan nyata terhadap hak dasar mereka”2. Kritik atas Pendekatan dalam Memandang Kapitalisme Profesor asal Maroko dari Institute o f Educational Panning di Rabat ini mengawali uraiannya dengan membeberkan lima jenis k a ra k te ristik p e n d ek a ta n p ersep si dan perhatian masyarakat demokratis-kapitalis yang bias, tidak benar, saling berkaitan dan salin g m ele n g k ap i d alam m em andang kekerasan. Pertama, ia mengungkapkan adanya analisis yang dangkal atau superficial atas m akna k ek erasan . M edia m assa hanya memberitakan aspek-aspek kekerasan yang paling mudah dilihat secara visual, sedangkan bentuk-bentuk kekerasan atau pelanggaran hak asasi manusia yang menurut mereka tidak lay ak d ib e rita k a n tid a k akan dim uat, meskipun kekerasan itu sangat dramatis. P e rh a tia n p u b lik h an y a te rfo k u s pada kekerasan yang instan dan sensasional yang digembar-gemborkan media massa, seperti peram pokan bank, pem bajakan pesawat. Namun demikian, tidak menaruh perhatian pada seorang kondisi im igran dari suku Indian Barat di London atau Puerto Rico di New York atau Arab di Paris yang menjadi korban kekerasan. Kedua, adanya analisis yang kurang proporsional oleh masyarakat Barat. Mereka m elebih-lebihkan w ilayah dan intensitas kekerasan yang sebenarnya tidak begitu serius atau mereka mereduksi suatu tindak kekerasan sehingga dam paknya menjadi m inim al. K etika orang m em bandingkan jum lah korban teroris, sikapnya terhadap pelaku terorisme di Eropa seperti IRA, Action Directe, B rigade M erah atau Al-Qaeda, 2Theo van Boven, Mereka yang Menjadi Korban, ELSAM, Jakarta, 2002, hlm. 6.
112
tid a k la h sam a sik ap m erek a te rh a d ap serangan yang dilakukan pemerintah Israel terhadap bangsa Palestina, Lebanon, Tunisia, dan Irak. S e te la h m e m b a n d in g k an sikap masyarakat Barat terhadap kasus kekerasan, terlihat adanya ketidakproporsionalan sikap Barat terhadap kekerasan. Tidak proporsional ini te rja d i k a re n a k o n sep te n ta n g p e rlin d u n g a n h ak asasi m an u sia yang dimaknai sempit. Ketika parlemen Prancis m em bahas k em u n g k in an p en g h ap u san p e rb u d a k an selam a ab ad k e - 19, to p ik utamanya yaitu berapa banyak kompensasi yang harus diterim a pem ilik budak jik a p e rb u d a k an d ih a p u sk a n , b u kan pada kompensasi yang harus diterima oleh para budak yang sekian tahun m enderita dan dibelenggu kebebasannya. K etiga, adanya analisis individualistik yang keterlaluan. Maksudnya yaitu hanya m em perhitungkan faktor-faktor individu yang pada kenyataannya dianggap sebagai pendekatan yang objektif. Hubungan kausal antara kekerasan yang diamati dan struktur sosial yang m elingkupinya dilenyapkan secara sistematis. Konsekuensinya analisis te rse b u t g ag al m e n e lu su ri h u b u n g an hubungan logis antara seorang individu sebagai pelaku atau korban dan kelompok atau kelas sosial darimana dia berasal. Di masa lampau, ketika Afrika dijajah Prancis, Inggris, Spanyol, dan Portugal, kaum nasionalis yang berjuang melawan penjajah digambarkan dan dituduh sebagai gangster, agitator, ekstremis, pemimpin gerombolan atau pembunuh, bukannya sebagai pejuang kebebasan. Kini, ketika kelompok oposan menentang rezim-rezim brutal di El Salvador, Guatemala atau Afrika Selatan yang terpaksa m enggunakan kekerasan, m ereka tidak p ernah d ian g g ap seb ag ai p a trio t yang menentang tatanan sosial yang represif dan tidak adil, namun sebagai teroris fanatik yang hanya bertujuan m enciptakan anarki dan keporakporandaan.
M en u ru t S alm i, k elem ah an dari analisis individualistik ini adalah kenyataan analitis yang mengesampingkan sepenuhnya b e n tu k -b en tu k k ek erasan in stitu sio n al, terutam a yang dilakukan oleh negara itu se n d iri. In d iv id u y an g m e la k sa n ak a n kekerasan dipersalahkan, tapi tidak ada seorang pun yang mendakwa pihak lain di balik layar atau dalang dari state terrorism ini. T e rlih a t m isa ln y a k e tik a sejarah memutuskan hanya ada satu tertuduh dalam pembunuhan massal My Lai yang dilakukan oleh pasukan Amerika Serikat secara biadab terh ad ap 450 o ran g p en d u d u k desa di V ietnam Selatan, y aitu Letnan W illiam Calley. Sem entara kitapun tidak pernah menentang keterlibatan AS di Vietnam. Tuduhan atas pelaku terorisme yang selam a ini b e rk e m b an g le b ih b an y ak diarahkan pada non-state actors dan jarang mengungkap pelaku state actor. Padahal m en u ru t P ro f. Ig o r P rim o ra tz d alam tulisannya berjudul "State Terrorism and Counterterrorism”3, state terrorism justru lebih berbahaya daripada non-state terrorism. Alasan p ertam a, dalam berbagai cara, state terrorism m erupakan gabungan dari aksi yang penuh kerahasiaan, tipu daya, dan kemunafikan. Ketika terlibat dalam suatu aksi terorisme — apakah pelakunya negara itu sendiri atau negara proxinya— sebuah negara akan bertindak sembunyi-sembunyi. Suatu n e g ara tid a k m en g ak u i seg a la b en tu k keterlibatan dan mengaku taat pada nilai-nilai dan p rinsip yang m engaturnya. Bahkan alasan yang digunakan ketika melakukan tindakan terorisme adalah sebagai legitimasi tindakan perang atau dalam rangka menjaga pertahanan dan keamanan negara. K edua, Primoratz mengutip tulisan Walter Laquer dalam buku "The Age o f Terrorism" yang m enyatakan bahw a tindakan tero r yang Igor P rim oratz, S ta te Terrorism and Counterterrorism, Working Paper Number 2002/3,
3 P rof.
Centre for Apply Philosophy and Public Ethics, dalam http://eprints.unim elb.edu.au/archive/00000137/01/ Primorat.pdf.
113
d ila k u k a n o leh n e g ara p o lisi dan pemerintahan tirani, bertanggung jawab atas rib u a n kali leb ih b an y ak k o rb an dan kesengsaraan ketimbang tindakan terorisme individu yang dilakukan bersama-sama. K ritik an te r a k h ir Salm i atas pendekatan dalam memahami kekerasan bahwa kekerasan dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia sering ditampilkan hanya dengan a n alisis sep ih ak atau satu sisi pandangan ideologis. Ini terlihat dalam kekhawatiran pemerintah Amerika Serikat terh ad ap upaya p e lak san aan hak asasi manusia di negerinya Ayatollah Khomeini. Iran akan tampak lebih diakui dan absah jika sikap penghargaan atas pelaksanaan hak asasi manusia tersebut diberikan kepada Syah Iran, yang m enyiksa law an-law an politiknya melalui tangan-tangan polisi rahasianya di saat Syah berkuasa. Kekerasan yang bias dan sengaja juga tampak dalam pilihan kata dan ungkapan yang digunakan oleh media massa. Perlakuan terhadap gerakan pemberontakan Palestina (Intifadha) selam a akhir tahun 1980-an adalah contoh lain yang jelas-jelas d ib e rita k a n sec a ra b ia s. O pini p u b lik A m erika S erikat yang diarahkan lebih bersimpati kepada Israel terlihat sangat nyata dalam pemberitaan media. Ketika ratusan orang Palestina dibunuh oleh tentara Israel yang ditempatkan di Tepi Barat dan Jalur G aza, p ers A m erik a S e rik a t hanya m e m b e rita k an n y a di h alam an pojok. Sementara itu kematian seorang warga Israel menjadi headline dan diliput di halaman muka. Pemberitaan tentang kematian Tirzah Poret seorang korban “terorisme” Palestina yang tidak berdosa yang dimasukkan dalam tajuk rencana Washington Post tertanggal 8 April 1988, berlawanan dengan pemberitaan yang kering dan sangat tidak berim bang tentang meninggalnya 130 orang Palestina lanjut usia di Tepi Barat.
114
Bentuk-Bentuk Kekerasan Bagian berikutnya dalam buku ini y an g sem ak in m e n arik , y a itu setelah menelaah berbagai pendekatan masyarakat k ap italis dalam m em andang kekerasan, Salm i b e ru p a y a m e n g k a te g o risa sik a n berbagai kekerasan tersebut ke dalam empat bentuk kekerasan. Di dalam merumuskan em p at b e n tu k k e k e ra sa n te rse b u t dia mensyaratkan harus memenuhi dua kriteria y an g d id a sa rk a n p a d a b e n tu k -b e n tu k kekerasan yang analitis, tidak parsial dan teliti, yaitu objektivitas ( objectivity ) dan kelengkapan yang mendalam ( exhaustivity). Bentuk kekerasan tersebut adalah kekerasan la n g su n g , k e k e ra sa n tid a k lan g su n g , kekerasan represif, dan kekerasan alienatif. B entuk kekerasan yang pertam a yaitu kekerasan langsung. Kekerasan ini merujuk pada tindakan yang menyerang fisik atau p sik o lo g is orang secara langsung. Penggunaan kekerasan langsung ini, menurut Salmi, mempunyai tiga fungsi, yaitu sebagai cara untuk mengakses sumber daya alam, sebagai cara yang efek tif untuk mencari tenaga keija, dan sebagai cara untuk menjaga kelangsungan kapitalisme hingga sekarang ini. Sepanjang catatan sejarah suatu bentuk kegiatan ekonomi, kapitalism e tidak bisa berkembang di lingkungan yang sumber daya alamnya masih perawan dan tersedia secara bebas un tu k sem ua orang. K apitalism e membutuhkan persediaan sumber daya alam (tanah, air, minyak, dan bahan mineral) yang dim iliki oleh sektor privat (swasta) atau penguasaan sumber daya alam oleh swasta seb ag ai b e n tu k p e n o la k a n terh ad ap kepemilikan atau penguasaan sumber daya alam secara kelompok. Sejarah Amerika Serikat sepanjang abad k e-18 diwarnai tindakan perampasan tanah-tanah bangsa asli orang kulit berwarna (suku Indian) oleh orang kulit putih. Sebelum
tahun 1860, penduduk Indian telah berkurang ham pir dua pertiga. M im pi suku Indian berakhir pada 18 D esem ber 1890, ketika pasukan Amerika Serikat membunuh 200 orang laki-laki, perempuan dan anak-anak di Wounded Knee. P en g g u n a an k e k e ra sa n un tu k mengontrol sumber daya alam bukan hanya terjadi di masa lampau. Di Amerika Serikat juga, suku Navajo Indian di bagian barat daya dan suku Sioux di D akota terusik oleh perusahaan-perusahaan pertambangan besar yang sangat bernafsu mengeruk batu bara dan uranium yang ada di daerah kekuasaan suku Indian itu. Begitu juga yang teijadi pada suku Aborigin di Australia, Tasmania, Selandia Baru, dan Tahiti. Fungsi untuk mencari tenaga kerja ju ga diyakini Salm i sebagai tujuan dari kekerasan langsung. Banyak pekeija di Haiti setiap tah u n n y a d ire k ru t dengan ja la n “ditangkap, dirazia, dan dipaksa”, kemudian d ik irim ke R ep u b lik D o m in ica un tu k dipekerjakan di perkebunan tebu. Fungsi ini memang banyak ditemukan di negara Dunia K etiga. B entuknya antara lain, pertam a perbudakan hutang. Di banyak negara, ketika dalam keadaan sulit, misalnya gagal panen, maka untuk bertahan hidup para petani terpaksa meminjam uang dari rentenir. Jika p anen b e rik u tn y a g ag al la g i, m ereka memasuki pintu perbudakan karena jeratan hutang. Fenomena ini banyak berkembang di India dan Bangladesh. Bentuk kedua dari keija paksa berhubungan dengan penggunaan tahanan atau narapidana sebagai tenaga keija yang “ d ik o n tra k ” o leh p e ru sah a an p eru sah a an sw asta. D i K olom bia, perusahaan-perusahaan A m erika Serikat menggunakan beribu-ribu tahanan sebagai tenaga kerja dengan gaji yang tidak masuk akal. B en tu k k e tig a y a itu b e b erap a pemerintah mengambil tenaga kerja secara paksa dan menggunakannya untuk bekeija di sektor publik tanpa digaji. Praktik ini banyak teijadi di Indonesia, Liberia, dan Pakistan.
Fungsi kekerasan langsung yang terakhir terletak pada upaya melestarikan tatan an orde k ap italism e. Pada tingkat internasional, sebagian besar negara dengan sistem ekonomi kapitalis, rezim politiknya bersifat otoriter. Kecuali di negara-negara Barat yang demokratis dan beberapa negara D unia K etiga yang belakangan ini telah mengganti pemerintahan diktatornya, dapat d iam ati b ah w a p em b u n u h an d engan kepentingan politik, pem bunuhan massal masyarakat sipil, penahanan yang semaunya sen d iri, p en cu lik an dan “p en ghilangan o ra n g ” m eru p ak an m eto d e yang biasa digunakan di seluruh dunia untuk meredakan tu n tu tan k eb eb asan dan k ead ilan yang berlebih. Salmi dapat menyimpulkan bahwa dim ensi ekonom i tu ru t b erp eran dalam sebagian besar perang dan konflik yang pecah mulai abad ke-15. Di antaranya terlihat dalam konflik Utara-Selatan. Bentuknya, antara lain p e rd a g an g a n b u d ak , p e ra n g m elaw an p e n ja ja h , p e ra n g u n tu k m em p ero leh kem erdekaan dan intervensi m iliter saat perang dingin. Jelas bahwa semua konflik itu tujuan pokoknya adalah untuk memenuhi tu ju an -tu ju an ekonom is, sep erti upaya perluasan wilayah kekuasaan, upaya untuk mengendalikan sumber daya alam, pencarian pasar-pasar baru atau peluang investasi atau kebutuhan untuk mencari tenaga keija murah. Dan penggunaan senjata dalam kekerasan langsung bukanlah sekadar cerita yang m engada-ada dalam sejarah kapitalism e. Bahkan hal ini merupakan cara yang wajar untuk m en cip tak an , m elestarik an , atau mengubah hubungan-hubungan ekonomi dan sosial yang menjadi ciri sistem produksinya. B en tu k k e k e ra sa n k e d u a y aitu kekerasan tidak langsung yang bermakna tindakan yang membahayakan manusia juga, tetapi tidak melibatkan hubungan langsung antara korban dan pihak yang bertanggung jawab atas tindak kekerasan tersebut. Salmi mengkategorikan kekerasan tidak langsung ke dalam dua jenis, yaitu
115
kekerasan yang dimediasi atau termediasi dan kekerasan dengan atau karena pembiaran. K ek erasan yang d im ed iasi atau term ediasi m erupakan hasil intervensi manusia secara sengaja terhadap lingkungan alam atau sosial yang membawa pengaruh secara tidak langsung pada manusia lain. Pokok kajian dari bentuk kekerasan ini ada em pat, y a itu p e n g aru h k o lo n ia lism e , pengaruh fisik proses produksi, pengaruh sifat hasil-hasil produksi, dan pengaruh kemajuan teknologi. S elain tin d a k a n m ilite rism e , k o lo n ialism e m em iliki p en g aru h pada k eh id u p an m a sy a ra k a t te rja ja h yang memburuk. M isalnya berupa penyebaran epidemi penyakit yang berbahaya, rusaknya keseimbangan kehidupan sosial ekonomi masyarakat setempat dan wabah kelaparan akibat supply makanan yang minim. C ontoh lain dari kekerasan yang te rm e d ia si d ap at d item u k an dalam berjalannya proses produksi. Di banyak industri, para pekerja setiap hari melakukan kontak dengan limbah produksi atau mesin yang mengancam keselamatan dan kesehatan mereka, karena mengakibatkan keracunan, alergi kulit, keguguran atau mutasi genetik, dan penyakit kronis. Proses produksi secara fisik tidak hanya berdampak pada pekeija, tapi ju g a m em baw a k o n sek u en si bagi lingkungan di luar perusahaan tersebut. K eru sak an e k o lo g is ini d a p at b eru p a kerusakan lingkungan alam dan penipisan sumber daya alam yang dapat diperbaharui. S ifa t-sifa t h a sil p ro d u k si m en cip tak an b en tu k k e k erasan yang termediasi yang lain dalam sistem ekonomi kapitalis. Karena tujuan utama perusahaan adalah memperoleh keuntungan sebanyakbanyaknya maka mereka menjual semua yang diproduksi. Ini berarti bahwa kemampuan menjual sebuah produk m enjadi kriteria pokok dalam menentukan barang dan usaha produksi. Sehingga produk yang dijual kurang memperhitungkan dampak negatif atau positif produk tersebut bagi kesehatan
116
dan keselam atan konsum en. Di negaranegara industri, terdapat hubungan yang jelas antara produk yang dikonsumsi masyarakat dan penyakit yang mereka derita. Konsumsi daging dan lemak yang berlebihan dapat menyebabkan penyakit jantung, hepatitis, dan sebagainya. Bentuk kekerasan termediasi lainnya terlihat pada dampak kemajuan teknologi. S elam a m asa p e n ja ja h a n , k eh id u p an masyarakat tradisional pedesaan di banyak n eg ara sec a ra b ru ta l b eru b ah dengan d ip e rk e n a lk a n n y a “p e rta n ia n un tu k p e rd a g a n g a n ” dan se irin g d engan menurunnya hasil pertanian dengan sistem tra d is io n a l. R ev o lu si e le k tro n ik ju g a b erd am p ak n e g a tif bagi neg ara-n eg ara b erk e m b an g , y a itu m en am b ah ju m la h pengangguran dan memperdalam jurang kaya m iskin. N am un ini tidak b erarti bahw a kemajuan teknologi itu buruk. Keburukannya tidak terletak pada teknologinya saja, tapi ju g a c ara m en g g u n ak a n n y a untuk berproduksi dan bidang apa yang seharusnya m en g g u n ak an te k n o lo g i can g g ih serta teknologi apa yang harus dikembangkan atau ditunda. Kategori kedua dari kekerasan tidak langsung menurut Salmi, yaitu kekerasan karena pembiaran. Jenis ini digambarkan dengan seseorang yang berada dalam keadaan b ah ay a n am un tid a k ada o ran g yang m en o lo n g n y a. B en tu k n y a a n tara lain kem iskinan, isu kelaparan, penderitaan k aren a sa k it se rta lin g k u n g a n kerja masyarakat miskin. Kemiskinan dan ketidakadilan sosial di negara-negara kapitalis adalah bentuk paling jelas dari kekerasan karena pembiaran. Kesenjangan pendapatan ekonomi antara negara kaya dan berkem bang merupakan aspek pertama dalam kekerasan jenis ini. Implikasi dari tingkat ketidakadilan yang tinggi ini, yang telah diteliti di sebagian besar negera-negara tersebut, adalah ternyata seb a g ia n b e sa r m a n u sia hid u p dalam kemiskinan mutlak. Untuk mengetahui asal
usul k e tid a k a d ila n di d alam ekonom i kapitalis, kita perlu melihat faktor determinan yang mempengaruhi distribusi pendapatan. Distribusi pendapatan sangat terkait dengan proses produksi. Salmi m enyitir prinsip distribusi pendapatan yang diutarakan oleh Milton Friedman dalam buku Capitalism and Freedom bahwa setiap orang seharusnya m en erim a sesu ai d en g an apa yang diproduksinya berikut alat-alat produksi yang dimilikinya. Menurut prinsip ini, pendapatan setiap individu ditentukan oleh kuantitas fa k to r p ro d u k si yang d im ilik in y a dan besarnya keuntungan yang dihasilkan oleh faktor-faktor produksi tersebut. N am un p e rm a sa la h a n n y a te rn y a ta d is trib u si kepem ilikan m odal tid ak lah adil. A gar ekonomi kapitalis dapat beroperasi maka harus memiliki pasar buruh di mana tenaga mereka dapat ditukar dengan upah. Jika alat produksi (tanah dan modal) terdistribusi secara adil, tidak akan ada perbedaan antara buruh dan pemilik alat produksi sehingga tidak ada orang yang merasa terpaksa bekeija u n tu k m e n d ap a tk a n u pah. S um ber k e tid a k a d ila n b e rik u tn y a , y a itu tid a k setaranya keuntungan yang diperoleh dari modal dan buruh. Perbedaan ini disebabkan p e m ilik a la t-a la t p ro d u k sila h yang memutuskan pembayaran untuk setiap faktor produksi. K rim in a lita s d en g an k ek erasan lan gsung ju g a m eru p ak an ak ib at dari k em isk in an di b an y ak n e g ara. Salm i m enyatakan dalam sebuah studi tentang kriminalitas menyebutkan bahwa masyarakat dengan distribusi kesehatan dan kekuasaan yang tidak adil cenderung m enghadapi m asalah k rim in a lita s yang b e sa r dan sebaliknya. Lingkungan kerja masyarakat miskin sering kali juga diwarnai dengan kekerasan karena pembiaran. B en tu k k e k e ra sa n yang k etiga menurut Salmi, yaitu kekerasan represif. Kekerasan ini merupakan kekerasan yang dilegalkan atau tidak dikenakan sanksi atas p elan g g a ra n te rh a d ap h a k -h a k d asar
masyarakat yang umumnya dilakukan oleh negara atau pemerintah. Bentuk kekerasan ini terkait dengan 3 macam hak dasar manusia, yaitu hak sipil, hak politik, dan hak sosial. U ntuk sem akin m engkonkretkan bentuk kekerasan ini, Salmi menjabarkannya ke dalam studi kasus yang berbeda-beda di berbagai negara, seperti Inggris, India, Republik Federal Jerman, Swiss, Jepang, A ustralia, Kanada, Prancis, dan Amerika Serikat. Salah satu contohnya adalah yang terjad i di A ustralia. K esejah teraan dan demokrasi di Australia ternodai oleh praktik ra sis dan r e p re s if te rh a d a p p en d u d u k Aborigin. Suku A borigin secara historis dicabut hak-hak tradisionalnya dan hak atas tanah leluhurnya. Kehidupan keseharian dan hak-hak politik mereka dibatasi. Bentuk kekerasan keempat akibat paham kapitalisme yaitu kekerasan alienatif. Kekerasan ini merujuk pada pencabutan hakhak individu yang lebih tinggi. Konsep kekerasan ini memiliki makna objektif dan m akna subjektif. D alam makna objektif, alienasi merupakan sebuah fenomena sosial dimana seorang individu tercabut haknya untuk menentukan nasib sendiri, misalnya d ito lak hak atau kesem p atan n y a untuk berperan a k tif dalam proses pem buatan keputusan tentang karakter dan orientasi kehidupan profesional serta sosial dirinya. Sedangkan dalam makna subjektif, alienasi secara esensial memiliki makna psikologis dan mengacu pada situasi dimana individu m erasa a sin g d en g an d irin y a sen d iri, kebudayaannya atau komunitasnya. Kekerasan alienatif memiliki dampak di berbagai bidang. Di antaranya pada organisasi keija modem. Di dalam organisasi yang seperti ini, setiap pekerja memiliki kekuasaan dan tanggung jaw ab yang sempit sehingga keterlibatan dan partisipasi nyata m erek a di d alam p ro se s p en g am b ilan keputusan yang bersifat global m enjadi terpinggirkan. Jenis kekerasan yang diakibatkan oleh ekonom i k ap italis ini tidak hanya
117
mempengaruhi orang yang bekerja di pabrikpabrik dan kantor modem, tapi juga orang dan komunitas yang hidup di pinggir-pinggir sistem ekonomi modem. Hal ini teijadi setiap kali perusahaan kapitalis berbenturan dengan sebuah sistem ekonomi tradisional yang sedemikian hingga membatasi dan mencegah kegiatan-kegiatan produksi dim ana pola kehidupan kultural dan sosial masyarakat yang bersangkutan tergantung padanya. Dimensi lain dari kekerasan alienatif yaitu rasisme. Rasisme bukan hanya berupa kebencian untuk mengisolasikan beberapa orang pinggiran yang mempunyai ide-ide yang menyimpang, tapi esensinya merupakan sebuah fenomena sosial dan perannya sama dengan ideologi dalam masyarakat kapitalis. S eksism e d ap at ju g a d ian g g ap sebagai sebuah bentuk rasisme. Dengan dalih adanya perbedaan psikologis dan biologis yang fundam ental antara lak i-lak i dan perempuan, hierarki sosial telah berkembang jauh sehingga menguntungkan kaum lakilaki. Perempuan khususnya ditem patkan sebagai subordinat yang berakibat pada semua aspek kehidupan sehari-hari yang biasanya berorientasi domestik. Bentuk lain dari k ek erasan a lie n atif, y aitu adanya pemujaan terhadap perilaku konsumtif yang terjadi di negara-negara industri maju. Bagian akhir buku ini disimpulkan oleh Salmi bahw a kekerasan m erupakan fenomena multisegi yang berkaitan dengan sebab-sebab khusus dan akibat-akibatnya serta merefleksikan adanya keyakinan penuh bahwa terdapat nilai-nilai hak asasi manusia yang universal. Bila sedikit membandingkan dengan teori peradaban yang dikem ukakan oleh Johan Galtung4, kategori kekerasan dibagi m enjadi kekerasan langsung, kekerasan struktural, dan kekerasan kultural. Khususnya tentang kekerasan kultural yang tampaknya tidak secara eksplisit dikem ukakan oleh
4 Johan Galtung, Studi Perdamaian, Pustaka Eureka, 2003, hlm. 431.
118
Salm i, G altu n g b e rp e n d a p a t bahw a kekerasan k u ltu ral terjad i k etika aspek budaya, ranah simbolik kita dapat digunakan untuk m en ju stifik asi atau m elegitim asi k e k e ra sa n la n g su n g atau stru k tu ra l. Kekerasan kultural merupakan kekerasan langsung yang d ilegitim asi dan dengan demikian dapat diterima di tengah-tengah masyarakat. Misalnya asumsi yang dibangun bahwa pembunuhan atas nama negara adalah benar, sedangkan atas nama individu adalah salah, sesungguhnya dapat mengaburkan realita yang teijadi. Akhir kata, buku setebal 292 halaman ini kaya akan referensi peristiw a sejarah konkret yang pernah terjadi di berbagai n e g ara seb ag ai b e n tu k dari b erb ag ai k e k e ra sa n b e se rta fa k to r-fa k to r yang m elatarbelakanginya. S truktur buku ini sangat sistematis dan dalam beberapa hal cukup netral dalam menilai bentuk-bentuk k e k e ra sa n y an g p e rn a h te rja d i dalam peradaban manusia. Meskipun subjektivitas yang menggambarkan tuntutan kesetaraan dan keadilan yang proporsional antara negara maju dan negara berkembang bahkan dengan negara Dunia Ketiga, kerap muncul dalam pemikiran Salmi. Kemudian yang menarik, buku ini dapat dijadikan kerangka berpikir untuk melakukan studi tentang kekerasan di segala lapisan masyarakat dalam situasi apa pun. Daftar Pustaka Galtung, Johan. 2003. Studi Perdamaian. Jakarta: Pustaka Eureka. Prim oratz, Igor. S ta te Terrorism and Counterterrorism, Working Paper Number 20 0 2 /3 . M elbourne: Centre for Apply Philosophy and Public Ethics, dalam http:// eprints.unimelb.edu.au/archive/00000137/ 01/Primorat.pdf. Van Boven, Theo. 2002. Mereka yang Menjadi Korban. Jakarta: ELSAM. Wikipedia. Capitalism. Yang diakses pada 3 Juli 2006