BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan perekonomian di Indonesia yang kian pesat saat ini, telah menghasilkan beragam jenis dan variasi barang dan/atau jasa. Adanya dukungan teknologi dan informasi menyebabkan arus transaksi barang dan/atau jasa telah mampu melintasi batas-batas wilayah negara. Hal ini menyebabkan pada akhirnya konsumen dihadapkan pada berbagai pilihan jenis barang dan/atau jasa yang ditawarkan secara variatif. Kondisi seperti ini, pada satu sisi menguntungkan konsumen, karena kebutuhan terhadap barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi dengan beragam pilihan. Namun pada sisi lain, fenomena tersebut menempatkan kedudukan konsumen terhadap produsen menjadi tidak seimbang, dimana konsumen berada pada posisi yang lemah. Karena konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang besarnya melalui kiat promosi dan cara penjualan yang merugikan konsumen.1 Setiap orang, pada suatu waktu, dalam posisi tunggal/sendiri maupun berkelompok bersama orang lain, dalam keadaan apapun pasti akan menjadi konsumen untuk suatu produk barang atau jasa tertentu. Keadaan yang universal ini pada beberapa sisi menunjukkan adanya berbagai kelemahan pada konsumen sehingga konsumen tidak mempunyai kedudukan yang “aman”. Maka dari itu,
1
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2003, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia, Jakarta, h. 12.
1
2
secara mendasar konsumen juga membutuhkan perlindungan hukum yang bersifat universal.
Mengingat
lemahnya
kedudukan
konsumen
pada
umumnya
dibandingkan dengan kedudukan produsen yang relatif lebih kuat dalam banyak hal, maka pembahasan mengenai perlindungan konsumen akan selalu terasa aktual.2 Ketidakberdayaan konsumen dalam menghadapi produsen jelas sangat merugikan kepentingan masyarakat. Pada umumnya produsen berlindung di balik standard contract atau perjanjian baku yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak, yakni antara konsumen dan produsen, ataupun melalui berbagai informasi semu yang diberikan oleh produsen kepada konsumen. Hal tersebut bukan menjadi gejala regional saja, tetapi sudah menjadi persoalan global yang melanda seluruh konsumen di dunia. Di
Indonesia,
untuk
melindungi
kepentingan
konsumen
dalam
mengonsumsi barang dan/atau jasa, maka pemerintah mengeluarkan kebijakan pengaturan hak-hak konsumen melalui undang-undang. Pembentukan undangundang
tersebut
merupakan
bagian
dari
implementasi
sebagai
negara
kesejahteraan, karena Undang-Undang Dasar 1945 di samping sebagai konstitusi politik juga dapat disebut sebagai konstitusi ekonomi yang mengandung ide negara kesejahteraan.3 Pada tanggal 20 April 1999 Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
2
Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan ke-3, Sinar Grafika, Jakarta, h.5. 3 Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan ke-1, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 6.
3
tentang
Perlindungan
Konsumen.
Undang-Undang
tentang
Perlindungan
Konsumen ini diharapkan dapat mendidik masyarakat Indonesia untuk lebih menyadari akan segala hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dimilikinya sebagai konsumen seperti terbaca dari konsiderans Undang-Undang ini, dimana dikatakan bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat, konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya, serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggungjawab. Melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pemerintah Indonesia mengatur hak-hak konsumen yang harus dilindungi. Undang-Undang Perlindungan Konsumen bukanlah anti terhadap produsen, namun sebaliknya malah merupakan apresiasi terhadap hak-hak konsumen secara universal.4 Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa klausula baku adalah setiap aturanaturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Klausula baku biasanya dibuat oleh pihak yang memiliki kedudukan lebih kuat, yang dalam kenyataannya biasa dipegang oleh pelaku usaha. Isi klausula baku sering kali merugikan pihak yang menerima klausula baku tersebut, yaitu pihak konsumen karena dibuat secara sepihak. Bila konsumen menolak klausula
4
Yusuf Sofie, 2002, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 12.
4
baku tersebut ia tidak akan mendapatkan barang ataupun jasa yang dibutuhkan, karena klausula baku serupa akan ditemuinya di tempat lain. Hal tersebut menyebabkan konsumen lebih sering setuju terhadap isi klausula baku walaupun memojokkan. Bagi para pengusaha mungkin ini merupakan cara mencapai tujuan ekonomi yang efisien, praktis, dan cepat tidak bertele-tele. Tetapi bagi konsumen justru merupakan pilihan yang tidak menguntungkan karena hanya dihadapkan pada suatu pilihan, yaitu menerima walaupun dengan berat hati.5 Az. Nasution menyatakan bahwa perjanjian dengan klausula baku terjadi dengan beberapa cara, hingga saat ini pemberlakuan perjanjian baku tersebut antara lain dengan cara-cara: 1. Pencantuman butir-butir perjanjian yang konsepnya telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak, biasanya oleh kalangan pengusaha, produsen, distributor, atau pedagang produk tersebut. Perhatikan kontrak jual beli atau sewa beli kendaraan bermotor, perumahan, alat-alat elektronik, dan lain sebagainya. 2. Pencantuman klausula baku dalam lembaran kertas yang berupa tabel, bon, kuitansi, tanda terima, atau lembaran dalam bentuk serah terima barang. Seperti lembaran bon, kuitansi, atau tanda terima barang dari toko, kedai, supermarket. 3. Pencantuman klausula baku dalam bentuk pengumuman tentang berlakunya syarat-syarat baku di tempat tertentu, seperti di area parkir,
5
Abdulkadir Muhammad, 1992, Perjanjian Baku dalam Praktik Perusahaan Perdagangan, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 6.
5
hotel, dan penginapan dengan meletakkan atau menempelkan pengumuman klausula baku. 6 Adapun klausula eksonerasi adalah klausula yang dicantumkan dalam suatu perjanjian, dimana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum.7 Pengaturan mengenai larangan pencantuman klausula eksonerasi dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Perjanjian baku dengan klausula eksonerasinya pada prinsipnya hanya memberikan keuntungan bagi pelaku usaha dan merugikan konsumen. Hal ini disebabkan klausul yang dicantumkan tidak seimbang dan tidak mencerminkan keadilan. Dominasi pengusaha lebih besar dibandingkan dengan dominasi konsumen, dan konsumen hanya menerima perjanjian dengan klausula baku tersebut begitu saja karena dorongan kepentingan dan kebutuhan. Beban yang seharusnya dipikul oleh pelaku usaha, menjadi beban konsumen karena adanya klausula eksonerasi tersebut. Pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian baku selain membuat konsumen harus memikul beban yang seharusnya dimiliki pelaku usaha, juga dapat melanggar hak-hak konsumen sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Salah
6
Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan ke-1, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 76. 7 Mariam Darus Badrulzaman, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Mariam Darus Badrulzaman I), h.47.
6
satu hak konsumen yang kemungkinan besar akan dilanggar dengan adanya pencantuman klausula eksonerasi adalah hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Adapun
cara
yang
dilakukan
oleh
pemerintah
guna
menjamin
terselengaranya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah dengan melakukan kegiatan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen. Dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
menyatakan
bahwa
pengawasan
terhadap
penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. Pengawasan oleh pemerintah terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen di Kota Denpasar dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Kota Denpasar. Pasal 233 ayat (2) Peraturan Walikota Denpasar Nomor 33 Tahun 2008 tentang Uraian Tugas Jabatan pada Organisasi Dinas Daerah (Berita Daerah Kota Denpasar Tahun 2008 Nomor 33) menyatakan bahwa Seksi Perlindungan Konsumen pada Bidang Kerjasama dan Perlindungan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Kota Denpasar memiliki tugas sebagai berikut.8 a. menyiapkan rencana kegiatan Seksi sebagai bahan penyusunan rencana kegiatan di Bidang Kerjasama dan Perlindungan;
8
Tupoksi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Kota Denpasar, URL: http://perindag.denpasarkota.go.id/index.php/profil/175/Tupoksi, diakses pada hari Jumat, 8 Oktober 2015, jam 09.15 WITA.
7
b. menyusun laporan hasil kegiatan Seksi sebagai bahan penyusunan laporan hasil kegiatan Bidang Kerjasama dan Perlindungan; c. mengatur, mendistribusikan dan mengkoordinasikan tugas-tugas bawahan sesuai dengan bidangnya masing-masing; d. memberikan petunjuk dan bimbingan teknis serta pengawasan kepada bawahan; e. memeriksa hasil kerja bawahan; f. menyiapkan bahan petunjuk teknis bimbingan dan pembinaan perlindungan konsumen dan prakter monopoli; g. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan tentang Perlindungan Konsumen kepada masyarakat, praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat industry dan perdagangan; h. melaksanakan pembinaan kepada konsumen dan produsen mengenai hak dan kewajiban konsumen dan produsen, perbuatan/perjanjian yang melanggar aturan bagi pelaku usaha serta tanggung jawab pelaku usaha; i. melakukan penyuluhan tertib niaga kepada usaha perdagangan; j. melaksanakan bimbingan perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; k. melaksanakan pembinaan kepada produsen untuk meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen; l. memberdayakan kesadaran konsumen dalam memilih, menentukan, dan menurut hak-haknya sebagai konsumen; m. melakukan pemantauan terhadap mata dagangan, kegiatan perdagangan jasa, praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat; n. melaksanakan koordinasi dalam pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen; o. melaksanakan koordinasi dengan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Nasional maupun Daerah dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat; p. mengevaluasi dan mempertanggungjawabkan hasil kerja bawahan; q. melaksanakan tugas dinas lainnya yang diberikan oleh atasan.
Berdasarkan uraian pasal tersebut dapat diketahui bahwa Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Kota Denpasar merupakan bagian dari pemerintah yang mempunyai tanggung jawab dalam mengawasi penyelenggaraan perlindungan konsumen di Kota Denpasar.
8
Saat ini di Kota Denpasar masih sering dijumpai adanya tindakan dari para pelaku usaha yang dapat menghalangi terpenuhinya hak-hak konsumen. Salah satunya adalah pencantuman klausula eksonerasi pada nota pembelian yang dilakukan oleh para pelaku usaha. Pencantuman klausula eksonerasi pada nota pembelian yang paling sering dijumpai adalah klausul yang menyatakan bahwa “barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan”. Klausul ini tentunya telah melanggar ketentuan dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sebagaimana yang telah disebutkan diatas bahwa Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Kota Denpasar merupakan bagian dari pemerintah yang mempunyai tanggung jawab dalam mengawasi penyelenggaraan perlindungan konsumen di Kota Denpasar, maka dibuatlah suatu karya tulis ilmiah dalam bentuk
skripsi
yang berjudul
“Pelaksanaan
Pengawasan
oleh Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Kota Denpasar Terhadap Pelaku Usaha yang Mencantumkan Klausula Eksonerasi pada Nota Pembelian”.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka dikemukanan rumusan masalah sebagai berikut. 1. Bagaimanakah efektifitas pelaksanaan pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Kota Denpasar terhadap
9
pelaku usaha yang mencantumkan klausula eksonerasi pada nota pembelian? 2. Apakah akibat hukum terhadap pelaku usaha yang mencantumkan klausula eksonerasi pada nota pembelian?
1.3 Ruang Lingkup Masalah Agar ruang lingkup masalah dalam skripsi ini lebih terarah dan tidak menyimpang terlalu jauh, maka ruang lingkup masalah dalam skripsi ini akan dibatasi menjadi 2 (dua) pokok pembahasan. Dalam pembahasan pertama, akan dibahas mengenai efektifitas pelaksanaan pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Kota Denpasar terhadap pelaku usaha yang mencantumkan klausula eksonerasi pada nota pembelian. Selanjutnya dalam pembahasan kedua, akan dibahas mengenai akibat hukum terhadap pelaku usaha yang mencantumkan klausula eksonerasi pada nota pembelian.
1.4 Orisinalitas Penelitian Penelitian hukum dengan judul “Pelaksanaan Pengawasan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Kota Denpasar Terhadap Pelaku Usaha yang Mencantumkan Klausula Eksonerasi pada Nota Pembelian” merupakan hasil karya asli. Sejauh observasi yang penulis lakukan baik di ruang koleksi Skripsi Fakultas Hukum Universitas Udayana maupun internet, tidak terdapat penelitian yang sama yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan baik di Fakultas Hukum Universitas Udayana dan juga di suatu
10
perguruan tinggi manapun kecuali yang secara tertulis diacu dalam penulisan penelitian ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Untuk penelitian sejenis yang serupa dengan penelitian yang diajukan, dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel I Nama Penulis
Judul Skripsi
Permasalahan yang diangkat
Putu Dewi Pramita S, 0716051154, Program Ekstensi Fakultas Hukum, Universitas Udayana, 2007.
“Pengawasan Dinas 1. Bagaimana pelaksanaan Perindustrian dan pengawasan peredaran makanan Perdagangan dalam kemasan di masyarakat Kabupaten Gianyar yang dilakukan Dinas Terhadap Peredaran Perindustrian dan Perdagangan Makanan dalam Kabupaten Gianyar dalam Kemasan dalam kaitannya dengan perlindungan Kaitannya dengan konsumen? Perlindungan 2. Kewenangan apa saja yang Konsumen” dimiliki Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Gianyar dalam mengawasi peredaran makanan kemasan di masyarakat?
I Dewa Made Nhara Prana Pradnyana, 0903005006, Fakultas Hukum, Universitas Udayana, 2013
Pelaksanaan 1. Bagaimanakan pelaksanaan Ketentuan Label ketentuan label oleh PT. Tirta Oleh PT. Tirta Mumbul Jaya Abadi pada produk Mumbul Jaya Abadi Air Minum dalam Kemasan “Yeh dan Pengawasan Buleleng”? Dinas Koperasi, 2. Bagaimanakan pengawasan yang Perdagangan dan dilakukan oleh Dinas Koperasi, Perindustrian Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Buleleng Kabupaten Buleleng terhadap Terhadap Label label produk Air Minum Dalam Produk Air Minum Kemasan “Yeh Buleleng”? Dalam Kemasan “Yeh Buleleng”
1.5 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian merupakan sesuatu yang berguna untuk menentukan hasil apa yang akan diperoleh. Dan pada penulisan suatu karya tulis ilmiah, haruslah
11
mempunyai tujuan yang dapat dipertanggungjawabkan. Tujuan penelitian meliputi tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum (het doel van het onderzoek) berupa upaya peneliti untuk pengembangan ilmu hukum terkait dengan paradigma science as a process (ilmu sebagai proses). Dengan paradigma ini ilmu tidak akan pernah mandek (final) dalam penggaliannya atas kebenaran di bidang obyeknya masing-masing. Tujuan khusus (het doel in het onderzoek) mendalami permasalahan hukum secara khusus yang tersirat dalam rumusan permasalahan penelitian. Penjelasan lebih lanjut mengenai tujuan umum dan khusus dari pembuatan skripsi ini adalah sebagai berikut. 1.5.1 Tujuan umum Penulisan skripsi bertujuan untuk: 1. Melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada bidang penelitian mengenai hukum perlindungan konsumen. 2. Melatih mahasiswa dalam usaha menyatakan pikiran ilmiah secara tertulis. 3. Mengembangkan ilmu pengetahuan hukum. 4. Mengembangkan diri pribadi mahasiswa ke dalam kehidupan masyarakat. 5. Memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S1). 6. Untuk mengetahui efektifitas pelaksanaan pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Kota Denpasar
12
terhadap pelaku usaha yang mencantumkan klausula eksonerasi pada nota pembelian. 7. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap pelaku usaha yang mencantumkan klausula eksonerasi pada nota pembelian. 1.5.2 Tujuan khusus 1. Untuk memahami efektifitas pelaksanaan pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Kota Denpasar terhadap pelaku usaha yang mencantumkan klausula eksonerasi pada nota pembelian. 2. Untuk memahami akibat hukum terhadap pelaku usaha yang mencantumkan klausula eksonerasi pada nota pembelian.
1.6 Manfaat Penelitian Dalam setiap penulisan karya tulis berupa skripsi, ada suatu manfaat yang dapat diambil. Manfaat penelitian meliputi manfaat teoritis dan manfaat praktis. Berikut ini adalah penjelasannya. 1.6.1 Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu kontribusi bagi pengembangan ilmu hukum. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat berguna sebagai bahan kajian atas bahan penelitian lebih lanjut oleh mahasiswa.
13
1.6.2 Manfaat praktis Penelitian ini dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan permasalahan sejenis oleh pihak Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Kota Denpasar, maupun badan pemerintahan lainnya yang memiliki tugas dan kewenangan di bidang perlindungan konsumen.
1.7 Landasan Teoritis dan Hipotesis 1.7.1 Landasan teoritis Landasan teori merupakan dasar pemikiran teoritis yang digunakan untuk menjelaskan fenomena hukum yang sedang terjadi. Landasan teoritis dapat memberikan petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada suatu pengetahuan ilmiah.9 Seiring dengan pilar utama negara hukum, yaitu asas legalitas, maka berdasarkan prinsip ini tersirat bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintah adalah peraturan perundang-undangan. Secara teoritik, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Indroharto mengatakan bahwa pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Di sini lahirlah atau diciptakan suatu wewenang baru.10
9
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, h.12. Ridwan HR, 2011, Hukum Administrasi Negara, Cet. ke-7, Rajawali Pers, Jakarta, h.
10
101.
14
Menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten). Dalam kaitannya dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregelen) dan mengelola sendiri (zelfbesturen), sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan
pemerintahan
sebagaimana
mestinya.
Vertikal
berarti
kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan negara secara keseluruhan.11 Teori kewenangan atribusi erat kaitannya dengan kewenangan yang dimiliki oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemetintah Kota Denpasar dalam melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen di Kota Denpasar. Kewenangan yang dimiliki oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Kota Denpasar dalam melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen di Kota Denpasar, didasarkan pada ketentuan Pasal 233 ayat (2) Peraturan Walikota Denpasar Nomor 33 Tahun 2008 tentang Uraian Tugas Jabatan pada Organisasi Dinas Daerah (Berita Daerah Kota Denpasar Tahun 2008 Nomor 33), yang menyatakan bahwa Seksi Perlindungan Konsumen pada Bidang Kerjasama dan Perlindungan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Kota Denpasar memiliki tugas sebagai berikut.12 a. menyiapkan rencana kegiatan Seksi sebagai bahan penyusunan rencana kegiatan di Bidang Kerjasama dan Perlindungan; 11
Ibid, h. 100. Tupoksi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Kota Denpasar, URL: http://perindag.denpasarkota.go.id/index.php/profil/175/Tupoksi, diakses pada hari Jumat, 8 Oktober 2015, jam 09.15 WITA. 12
15
b. menyusun laporan hasil kegiatan Seksi sebagai bahan penyusunan laporan hasil kegiatan Bidang Kerjasama dan Perlindungan; c. mengatur, mendistribusikan dan mengkoordinasikan tugas-tugas bawahan sesuai dengan bidangnya masing-masing; d. memberikan petunjuk dan bimbingan teknis serta pengawasan kepada bawahan; e. memeriksa hasil kerja bawahan; f. menyiapkan bahan petunjuk teknis bimbingan dan pembinaan perlindungan konsumen dan prakter monopoli; g. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan tentang Perlindungan Konsumen kepada masyarakat, praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat industry dan perdagangan; h. melaksanakan pembinaan kepada konsumen dan produsen mengenai hak dan kewajiban konsumen dan produsen, perbuatan/perjanjian yang melanggar aturan bagi pelaku usaha serta tanggung jawab pelaku usaha; i. melakukan penyuluhan tertib niaga kepada usaha perdagangan; j. melaksanakan bimbingan perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; k. melaksanakan pembinaan kepada produsen untuk meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen; l. memberdayakan kesadaran konsumen dalam memilih, menentukan, dan menurut hak-haknya sebagai konsumen; m. melakukan pemantauan terhadap mata dagangan, kegiatan perdagangan jasa, praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat; n. melaksanakan koordinasi dalam pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen; o. melaksanakan koordinasi dengan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Nasional maupun Daerah dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat; p. mengevaluasi dan mempertanggungjawabkan hasil kerja bawahan; q. melaksanakan tugas dinas lainnya yang diberikan oleh atasan.
Pasal 233 ayat (2) Peraturan Walikota Denpasar Nomor 33 Tahun 2008 tentang Uraian Tugas Jabatan pada Organisasi Dinas Daerah secara tidak langsung telah memberikan kewenangan kepada Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Kota Denpasar untuk mengawasi penyelenggaraan
16
perlindungan konsumen di masyarakat, termasuk di dalamnya mengawasi tindakan pelaku usaha yang mencantumkan klausula eksonerasi pada nota pembelian. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Pada bagian penjelasan Pasal 1 angka 2 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dijelaskan bahwa di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir. Konsumen sebagai pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk perlu mendapatkan perlindungan hukum. Sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ditegaskan bahwa perlindungan konsumen bertujuan sebagai berikut. a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
17
b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hakhaknya sebagai konsumen; d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. Istilah “perlindungan konsumen” berkaitan erat dengan perlindungan hukum. Maka dari itu, di dalam perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan hak-hak lainnya dari konsumen yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen. Secara umum dikenal ada empat hak dasar konsumen yang diakui secara internasional, yaitu: 1. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety); 2. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed); 3. Hak untuk memilih (the right to choose); 4. Hak untuk didengar (the right to heard).13
13
Shidarta, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT Gramedia Widisarana, Indonesia, h. 20.
18
Empat hak dasar konsumen tersebut telah diakomodasikan dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan hak-hak konsumen adalah sebagai berikut. a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa; b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau sebagaimana mestinya; i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Selain hak-hak konsumen tersebut, Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) juga mengatur hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, yakni tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak sesungguhnya merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat dan sebagai (merupakan bagian dari) hak konsumen.14
14
Zulham, op.cit, h. 51.
19
Kewajiban pelaku usaha sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut. 1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. 2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan. 3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. 4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. 5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan. 6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. 7. Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Itikad baik dari pelaku usaha kepada konsumen sangat menentukan terlaksananya perlindungan konsumen di masyarakat. Pelaku usaha dalam menjalankan usahanya menjual barang dan/atau jasa harus selalu memperhatikan setiap ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Salah satu ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang harus diperhatikan dan ditaati oleh pelaku usaha adalah ketentuan mengenai pencantuman klausula baku yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) yang menyatakan bahwa:
20
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Pada penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 menyatakan bahwa larangan dalam pasal
tersebut dimaksudkan untuk
menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Adanya kedudukan yang setara antara konsumen dengan pelaku usaha tersebut nantinya akan menjamin hak-hak konsumen sehingga perlindungan konsumen dapat terselenggara dengan efektif. 1.7.2 Hipotesis Hipotesis merupakan jawaban sementara dari permasalahan yang diajukan.
21
Bambang Sunggono menyatakan: hipotesis pada dasarnya adalah dugaan penelitian tentang hasil yang akan didapat. Tujuan ini dapat diterima apabila cukup data untuk membuktikan. Apabila peneliti tidak memiliki opini atau dugaan tentang jawaban permasalahan penelitiannya, maka penelitian ini tidak ada hipotesisnya.15 Berdasarkan pengertian tersebut di atas, maka dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut. 1. Pelaksanaan pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Kota Denpasar terhadap pelaku usaha yang mencantumkan klausula eksonerasi pada nota pembelian terlaksana dengan efektif, tidak akan ada lagi pelaku usaha di Kota Denpasar yang mencantumkan klausula eksonerasi pada nota pembelian. 2. Akibat hukum yang ditimbulkan terhadap pelaku usaha yang mencantumkan klausula eksonerasi pada nota pembelian dapat diterapkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Kota Denpasar kepada pelaku usaha terkait, penerapan larangan pencantuman klausua eksonerasi pada nota pembelian dan/atau dokumen lainnya dapat terlaksana dengan efektif.
1.8 Metode Penelitian 1.8.1 Jenis penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum empiris. Penelitian empiris mengungkapkan hukum yang hidup (living
15
Bambang Sunggono, 2003, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 109.
22
law) dalam masyarakat melalui perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat.16 Jenis penelitian empiris digunakan pada penelitian ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: 1. Adanya kesenjangan antara ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mengatur mengenai larangan pencantuman klausula eksonerasi pada suatu dokumen dan/atau perjanjian, dengan kenyataan yang ada di lapangan (Kota Denpasar). 2. Menggunakan landasan teoritis, serta menggunakan data primer dan data sekunder. 1.8.2 Sifat penelitian Penelitian hukum empiris menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi: 1. Penelitian yang sifatnya eksploratif (penjajakan atau penjelajahan). Penelitian eksploratif umumnya dilakukan terhadap pengetahuan yang masih baru, masih belum adanya teori-teori, atau belum adanya informasi tentang norma-norma atau ketentuan yang mengatur tentang hal tersebut, atau kalaupun sudah ada masih relatif sedikit, begitu juga masih belum adanya dan/atau sedikitnya literatur atau karya ilmiah lainnya yang menulis tentang hal tersebut. 2. Penelitian yang sifatnya deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian secara umum, termasuk pula didalamnya penelitian ilmu hukum, bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu
16
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet. I, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 155
23
individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. 3. Penelitian yang sifatnya eksplanatoris. Penelitian eksplanatoris sifatnya menguji hipotesis yaitu penelitian yang ingin mengetahui pengaruh atau dampak suatu variabel terhadap variabel lainnya atau penelitian tentang hubungan atau koreksi suatu variabel. Dari 3 (tiga) sifat penelitian tersebut diatas, dalam penelitian ini menggunakan sifat penelitian eksplanatoris, yaitu sifatnya menguji hipotesis yang telah diajukan di atas. 1.8.3 Data dan sumber data Untuk menunjang permasalahan yang diajukan maka data diperoleh dari: 1. Data primer/lapangan yaitu data yang didapat langsung dari para responden dan informan sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan pada: a. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Kota Denpasar sebagai responden; dan b. Beberapa konsumen di Kota Denpasar sebagai informan. 2. Data sekunder/kepustakaan yaitu data yang diperoleh melalui peraturan perundang-undangan maupun pendapat-pendapat para sarjana hukum dan tulisan-tulisan ilmiah yang ada kaitannya dengan masalah yang dibahas.
24
1.8.4 Teknik pengumpulan data Dalam penelitan hukum empiris ini digunakan 2 (dua) teknik pengumpulan data, yaitu: 1. Teknik Studi Dokumen Studi dokumen merupakan teknik awal yang digunakan dalam setiap penelitian ilmu hukum, baik dalam penelitian hukum normatif maupun dalam penelitian hukum empiris, karena meskipun aspeknya berbeda namun keduanya adalah penelitian ilmu hukum yang selalu bertolak dari premis normatif. Studi dokumen dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian. 2. Teknik Wawancara (interview) Wawancara merupakan salah satu teknik yang sering dan paling lazim digunakan dalam penelitian hukum empiris. Dalam kegiatan ilmiah, wawancara dilakukan bukan sekedar bertanya pada seseorang, melainkan dilakukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada responden maupun informan. Agar hasil wawancara nantinya memiliki nilai validitas dan reabilitas, dalam berwawancara peneliti menggunakan alat berupa pedoman wawancara atau interview guide. Teknik wawancara umumnya digunakan dalam penelitian yang sifatnya deskriptif, namun dapat juga digunakan dalam penelitian eksploratif
dan
eksplanatoris
pengambilan data lainnya.
yang
digabung
dengan
teknik
25
1.8.5 Teknik penentuan sampel penelitian Penentuan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik non probability sampling. Dalam teknik ini tidak ada ketentuan pasti mengenai berapa sampel yang harus diambil agar dapat dianggap mewakili populasinya. Teknik non probability sampling digunakan dalam hal: 1) data tentang populasi sangat langka atau tidak diketahui secara pasti jumlah populasinya. 2) penelitian bersifat studi eksploratif atau deskriptif. 3) tidak dimaksudkan untuk membuat generalisasi tentang populasinya. Adapun bentuk dari non probability sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling dan snowball sampling. Pada purposive sampling penarikan sampel dilakukan berdasarkan tujuan tertentu yaitu sampel dipilih atau ditentukan sendiri oleh si peneliti, yang mana penunjukan atau pemilihan sampel didasarkan pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi kriteria dan sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama dari populasinya. Selanjutnya pada snowball sampling penarikan sampel dilakukan berdasarkan penunjukkan atau rekomendasi dari sampel sebelumnya. Sampel pertama yang diteliti ditentukan sendiri oleh si peneliti yaitu dengan mencari key informan (informan kunci) ataupun responden kunci yang dianggap mengetahui tentang penelitian yang dilakukan oleh si peneliti. Penelitian dilakukan pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Kota Denpasar, sehingga yang menjadi responden kunci dalam hal ini
26
adalah pihak Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Kota Denpasar selaku
pihak
yang
melakukan
pengawasan
terhadap
penyelenggaraan
perlindungan konsumen di Kota Denpasar. 1.8.6 Teknik pengolahan dan analisis data Dalam pengolahan dan analisis data pada penelitian ini digunakan analisis data kualitatif. Pada analisis kualitatif ini data yang dikumpulkan adalah data naturalistik yang terdiri atas kata-kata (narasi), data sukar diukur dengan angka, bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus sehingga tidak dapat disusun ke dalam struktur klasifikasi, hubungan antar variabel tidak jelas, sampel lebih bersifat non probabilitas, dan pengumpulan data menggunakan pedoman wawancara dan observasi. Dengan analisis kualitatif, data primer dan data sekunder akan dihubungkan dengan permasalahan yang terjadi dan dilakukan interpretasi untuk memecahkan permasalahan yang ada di lapangan.