ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
30
BAB II FILOSOFI PENGATURAN TINDAK PIDANA DIBIDANG TRANSPLANTASI ORGAN DAN/ATAU JARINGAN TUBUH MANUSIA
1.
Aspek Kemanusiaan dan Konsepsi Hak dalam Transplantasi Organ dan/atau Jaringan Tubuh Manusia.
Hakikat dan Konsep tentang Hak Asasi Manusia
a.
Di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara terdapat proses interaksi antar manusia sebagai makhluk sosial. Untuk menjaga ketertiban dalam proses interaksi tersebut, negara mengatur berbagai aspek kehidupan masyarakat. Diantara pelbagai aspek kehidupan, negara memiliki kewajiban untuk mengatur tentang Hak Asasi Manusia. Hal ini juga dikemukakan oleh Muladi dalam bukunya Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana sebagai berikut : Diantara sekian banyak aspek kehidupan yang paling menonjol dan harus dihadapi negara bangsa (nation-state) ini adalah isu tentang Hak-hak Asasi manusia (termasuk dalam hal ini isu demokrasi dan demokratisasi). Isu tentang Hak Asasi manusia (HAM) terutama terarah pada tingkatan (gradasi) komitmen negara-negara bangsa dalam mengimplementasikan hak-hak dasar manusia dalam kehidupan sosial politik negara bangsa bersangkutan.26 Dalam Hukum Positif di Indonesia, hakikat Hak Asasi Manusia, diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165 untuk selanjutnya disingkat
26
Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik Dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, h. Viii (selanjutnya disebut Muladi I).
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
31
UU No. 39/1999), khususnya pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1 yang menentukan : Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar yang dimiliki oleh manusia sejak berada di dalam kandungan, lahir dan menjadi bagian dari masyarakat. Terkait dengan hak dasar, menurut Philipus M. Hadjon, dalam kepustakaan berbahasa Indonesia maupun hukum positif tidak membedakan natural rights, human rights, dan fundamental rights. 27 Philipus M. Hadjon menjelaskan sebagai berikut: Dalam konsep Barat, pada abad XVIII populer hak yang masuk kelompok natural rights yang meliputi: life, liberty, and property (Philipus M. Hadjon, op.cit.). Apa yang menjadi hak hanyalah mencakup apa yang kodrati. Hak hanya meliputi civil liberties dan rights to have. Pada abad XIX dengan pengaruh sosialisme lahir hak-hak partisipasi. Pada abad XX hak-hak kodrat dan human rights dikonversi menjadi hak-hak hukum sehingga disebut fundamental rights. Hak-hak tidak hanya mencakup apa yang kodrati dan apa yang manusiawi (what is human). Pada abad ini lahir hak-hak sosial (sociale grondrechten). Hak-hak ini berbeda dengan hak-hak klasik yang menekankan kebebasan. Inti hak sosial adalah rights to receive. Makna to receive dalam konteks ini adalah to receive from the state. Dengan paparan di atas hak warganegara untuk memperoleh pelayanan kesehatan merupakan salah satu bentuk hak sosial dalam fundamental rights, sehingga mengandung makna rights to receive.28
27
Philipus M. Hadjon, “Hak warga Negara Untuk Memperoleh Pelayanan Kesehatan Yang Layak”, disampaikan dalam Seminar Nasional Hukum Kesehatan, yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah, Surabaya, 22 Oktober 2011, h.1. 28
Desertasi
Ibid.
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
32
Di dalam konteks tentang hak warga negara memperoleh pelayanan kesehatan yang layak menurut Philipus M. Hadjon bermakna sebagai salah satu bentuk hak sosial dalam fundamental rights. Pembahasan Hak Asasi Manusia juga semakin menonjol seiring dengan globalisasi dan kemajuan teknologi. Hal ini juga diungkapkan secara jelas oleh Muladi sebagai berikut : Permasalahan lingkungan hidup, demokratisasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan issue internasional dan bahan perbincangan yang menonjol dalam dekade terakhir. Hal ini memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh, karena dimensi pengaruhnya dalam kehidupan internasional dan nasional sangat besar. Era globalisasi, terutama karena kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi menuntut pelbagai negara untuk mengkaji permasalahan tersebut secara intensif.29 HAM (human rights) yang secara universal diartikan sebagai ―those rights which are inherent in our nature and without which we cannot live as human being‖.30 Purnadi Purbacaraka dan A. Ridwan Hakim juga menjelaskan bahwa hak asasi ialah hak dasar dalam kehidupan manusia yang pada hakikatnya harus dipunyai oleh setiap orang tanpa terkecuali siapapun dia orangnya.31 Memang telah menjadi pandangan dunia (world view), bahwa Hak Asasi Manusia itu muncul di Barat. Hal ini pernah diungkapkan oleh P.R. Baehr (1989) bahwa tidak ada keraguan ide perlindungan hak asasi manusia pertama-tama dirumuskan di barat. Prinsip-prinsip atau dasar-dasar dari hak asasi manusia ini terlihat dengan prinsip Barat. Pengertian hak asasi manusia yang diberikan oleh Jan 29
Muladi I, op.cit., h. 1.
30
Ibid.
31
Purnadi Purbacaraka dan A. Ridwan Hakim, Filsafat Hukum Pidana Dalam Tanya Jawab, Rajawali, Jakarta, h. 22.
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
33
Martenson : Human right could be generally defined as those rights which are inherent in our nature and without which we can not live as human being. Bahwa HAM itu diartikan sebagai hak yang melekat pada sifat manusia, yang tanpa hak tersebut, manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.32 Namun pembahasan tentang Hak Asasi Manusia bukan merupakan suatu hal yang baru di Indonesia secara khusus maupun di dunia secara umum. Pembahasan dimulai dengan piagam PBB yang memandang betapa pentingnya HAM dalam rangka mempromosikan kemajuan masyarakat dan standar kehidupan yang lebih baik dalam kemerdekaan yang lebih luas (to promote social progress and better standards of life in large freedom), bangsa-bangsa di dunia melalui PBB telah mengumumkan Deklarasi Universal tentang HAM (Universal Declaration of Human Rights) pada tahun 1948. Selanjutnya pada tahun 1966 muncul International Bill of Human Rights yang lain sebagai kelengkapan Deklarasi tersebut yakni (1) Internasional Covenant on Civil and Political Rights. Dokumen internasional tentang Hak Asasi Manusia dapat pula ditemukan dalam pelbagai dokumen Internasional, baik dalam bentuk perjanjian internasional, pelbagai standard, model perjanjian (model treaty), pedoman (guidelines) dan lainlain yang dikoordinasikan perumusannya oleh PBB. Pelbagai usaha yang dilakukan oleh PBB ternyata mendapatkan tanggapan positif dari berbagai negara atau kelompok negara di dunia. Dalam hal ini dapat dicatat adanya Asia Pacific Workshop on Human Rights Issue di Jakarta (1993), yang kemudian dilanjutkan dengan Pertemuan Regional untuk Asia menyongsong 32
Yesmil Anwar dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana – Reformasi Hukum Pidana, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2008, h. 283.
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
34
Konferensi Dunia tentang HAM di Bangkok pada April 1993 dan puncaknya adalah World Conference on Human Rights pada bulan Juni 1993 di Wina, yang menghasilkan apa yang dinamakan Vienna Declaration and Programme of Action.33 Bilamana dilihat perkembangan HAM dari sejarahnya, dokumen-dokumen paling awal yang memasuki HAM adalah Bill of Rights (Inggris, 1688), Declaration of the Rights of Man and of the Citizen (Perancis, 1789) dan Bill of Rights (Amerika, 1791).34 HAM telah muncul pada akhir abad 17 dan abad 18 karena mengingat peradaban di Barat dapat diketahui adanya ―Dark Ages‖ (V-IX), ―Middle Ages‖ (XII – XIV), Enlightenment/Renaissance‖ (XIV – XVI) dan ―Modern‖.35 Pembahasan tentang Hak Asasi Manusia timbul sebagai suatu pembebasan individu (dari kegelapan/keterikatan ke pencerahan/pembebasan) 36 Semangat dan keberhasilan kebangkitan serta pembebasan individu yang bisa ditandai sejak Masa Pencerahan (enlightenment) merupakan motor pendorong penting bagi berkembangnya apa yang kemudian dikenal sebagai hak-hak asasi manusia. Kebangkitan individu sebagaimana dikemukakan di atas memerlukan legitimasi yang diberikan oleh pengakuan terhadap adanya sejumlah kemerdekaan dasar yang tak dapat dihambat begitu saja oleh kekuasaan apapun. Pasal 1
33
Muladi I, op.cit., h. 1-2.
34
Muladi (ed.), Hak Asasi Manusia – Hakekat, Konsep Dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum Dan Masyarakatnya, Refika Aditama, Bandung, 2007, h. 217 (selanjutnya disebut Muladi II). 35 Ibid., h. 218. 36
Desertasi
Ibid.
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
35
―Declaration of the Rights of Man and of the Citizen‖ Perancis mengatakan ―Men are born and remain free in respect if rights‖.37 Hikmahanto Juwana dalam tulisannya yang berjudul “Pemberdayaan Budaya Hukum Dalam Perlindungan HAM Di Indonesia; HAM Dalam Perspektif Sistem Hukum Internasional” menjelaskan bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) dipercayai sebagai memiliki nilai universal. Nilai universal berarti tidak mengenal batas ruang dan waktu. Nilai universal ini yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai produk hukum nasional di berbagai negara untuk dapat melindungi dan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan nilai universal ini dikukuhkan dalam instrumen internasional, termasuk perjanjian internasional dibidang HAM, seperti International Covenant on Civil and Political Rights; International Covenant on Economic; Social and Cultural Rights; International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination; Convention on the Elimination of All Forms Discrimination against Women; Convention against Torture and Other Cruel, In human or Degrading TREATMENT or Punishment; Convention on the Rights of the Child; dan Convention concerning the prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour.38 Perkembangan Hak Asasi Manusia sampai pada era globalisasi ini memunculkan perkembangan dan perubahan yang dapat dibagi dalam tiga generasi yaitu generasi pertama meliputi hak-hak sipil dan politik. Generasi kedua meliputi hak-hak sosial, ekonomi dan budaya. Akhirnya generasi ketiga memuat sejumlah
Desertasi
37
Ibid., h. 219.
38
Ibid., h. 70.
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
36
hak-hak kolektif, seperti : hak atas perkembangan/kemajuan (development); hak atas kedamaian; hak atas lingkungan yang bersih; hak atas kekayaan alam dan hak atas warisan budaya.39 Hendarmin Ranadireksa sebagaimana dikutip oleh Suwandi dalam tulisan yang berjudul ―Instrumen dan penegakan HAM di Indonesia‖ memberikan definisi tentang hak asasi manusia yaitu pada hakikatnya adalah seperangkat ketentuan atau aturan untuk melindungi warga negara dari kemungkinan penindasan, pemasungan dan atau pembatasan ruang gerak warga negara oleh negara. Artinya, ada pembatasan-pembatasan tertentu yang diberlakukan pada negara agar hak warga negara yang paling hakiki terlindung dari kesewenang-wenangan kekuasaan.40 Menurut Slamet Marta Wardaya dalam tulisannya berjudul “Hakikat, Konsepsi dan Rencana Aksi Nasional HAM” menjelaskan bahwa konsep HAM di Indonesia bukan saja terhadap hak-hak mendasar manusia, tetapi ada kewajiban dasar manusia sebagai warga negara untuk mematuhi peraturan perundangundangan, hukum tak tertulis, menghormati HAM orang lain, moral, etika, patuh pada hukum internasional mengenai HAM yang telah diterima bangsa Indonesia, juga wajib membela terhadap negara, sedangkan kewajiban bagi pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM yang telah diatur berdasarkan peraturan perundangan dan hukum internasional HAM yang diterima oleh Indonesia.41
39
Desertasi
Ibid., h. 219 – 220.
40
Ibid., h. 39.
41
Ibid., h.6.
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
37
Terkait dengan salah satu Hak Asasi Manusia yaitu hak untuk hidup yang merupakan hak prinsipiil dalam kehidupan manusia, diantaranya diwujudkan dalam bentuk hak untuk memperoleh kehidupan yang sehat. Hak untuk hidup secara bebas dan sehat merupakan ratio legis dari adanya berbagai pengaturan hukum dalam bidang kesehatan. Pengaturan hukum kesehatan di Indonesia salah satu tujuannya adalah untuk mewujudkan hak dasar setiap warga masyarakat untuk memperoleh kehidupan yang sehat. Dua buah hak dasar dalam pelayanan kesehatan yakni : hak dasar sosial, dan hak dasar individual. Apabila dihubungkan kedua hak dasar dalam pelayanan kesehatan ini, dengan hak pasien sebagai perwujudannya maka keduaduanya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Pada umumnya hak dasar sosial ini menyediakan infrastruktur bagi terwujudnya hak dasar individual. Jika dikaitkan dengan hak pasien maka dapat disimpulkan bahwa hak pasien ini tidak bersifat limitatif melainkan banyak bergantung pada sarana dan prasarana yang tersedia dan yang juga bersifat limitatif.42 Sebagaimana dalam Statuta WTO disebutkan adanya The Right to Health (hak atas kesehatan), Freddy Tengker menjelaskan bahwa hak atas pemeliharaan kesehatan dalam arti luas diakui umum sebagai hak sosial, satu dan lain karena pemeliharaan
kesehatan
(termasuk
pelayanan
kesehatan)
sebagai
sistem
memberikan ruang dan peluang kepada setiap orang untuk berpartisipasi dalam kesempatan-kesempatan yang diberikan, disediakan atau ditawarkan oleh pergaulan hidup. Sesungguhnya hak atas pemeliharaan kesehatan mempunyai jangkauan yang 42
Desertasi
Freddy Tengker, Hak Pasien, Mandar Maju, Bandung, 2007, h. 178.
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
38
luas sekali jika dibandingkan dengan hak atas pelayanan kesehatan, yang pada hakikatnya merupakan hak orang sakit, setidak-tidaknya hak orang yang mencari pelayanan kesehatan. Dalam Pasal 25 Universal Declaration of Human Rights tercantum ketentuan-ketentuan yang menyangkut hak-hak atas pemeliharaan kesehatan, yang secara tak langsung berkaitan dengan hak atas pelayanan kesehatan, sebagai berikut : 1. Setiap orang berhak atas suatu taraf hidup, yang layak bagi kesehatan dan kesejahteraan diri dan keluarganya, termasuk di dalamnya pangan, pakaian, papan dan pelayanan kesehatan serta pelayanan sosial lainnya yang mutlak diperlukan. Hak-hak ini mencakup hak atas tunjangan dalam hal terjadi pengangguran, sakit, cacat, kehilangan mitra kawin karena kematian, usia lanjut atau kehilangan mata pencaharian, yang disebabkan oleh situasi dan kondisi di luar kehendak yang bersangkutan. 2. Ibu dan anak mempunyai hak atas pemeliharaan dan bantuan khusus. Semua anak, baik yang sah maupun di luar kawin, menikmati perlindungan sosial yang sama. Selain itu, dalam tahun 1961 Dewan Eropa telah menandatangani Piagam Sosial Eropa, yang Pasal 11 berbunyi sebagai berikut : Agar terjamin tanpa halangan pelaksanaan hak atas perlindungan kesehatan, maka pihak-pihak yang mengadakan persetujuan ini, bekerja sama dengan organisasi-organisasi pemerintah maupun swasta, mengambil langkah-langkah dengan tujuan, antara lain : 1. sejauh mungkin menghilangkan penyebab-penyebab yang menjadikan keadaan kesehatan rakyat memburuk; 2. agar memperhatikan sektor penyuluhan dan pendidikan sedemikian rupa, sehingga kesehatan masyarakat dan tanggung jawab pribadi dalam bidang kesehatan meningkat; 3. sedapat-dapatnya, mencegah timbulnya penyakit-penyakit menular, penyakit-penyakit endemis, dan penyakit-penyakit yang setara dengan itu.43 Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan 43
Desertasi
Ibid., h. 56-58.
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
39
kesehatan, mencegah dan mengobati penyakit, serta memulihkan kesehatan perorangan, kelompok ataupun masyarakat. Dari pengertian di atas menggambarkan bahwa pelayanan kesehatan mencakup semua upaya yang ditujukan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan mengobati penyakit, serta memulihkan kesehatan perorangan atau masyarakat, sedangkan upaya yang dilakukan tersebut dapat diselenggarakan sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi. Selanjutnya, pelayanan medis merupakan suatu upaya atau kegiatan untuk mencegah, mengobati penyakit, serta memulihkan kesehatan atas dasar hubungan antara pelayanan medis dan individu yang membutuhkan.44 Hak dasar setiap warga masyarakat untuk memperoleh kehidupan yang sehat melalui pelayanan kesehatan ini dapat dilihat dari penjelasan umum UndangUndang Kesehatan sebagai berikut : Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tercantum jelas cita-cita bangsa Indonesia yang sekaligus merupakan tujuan nasional bangsa Indonesia. Tujuan nasional tersebut adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi serta keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan nasional tersebut diselenggarakanlah upaya pembangunan yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh terarah dan terpadu, termasuk di antaranya pembangunan kesehatan. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, setiap kegiatan dan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, perlindungan, dan berkelanjutan yang sangat 44
Marcel Seran dan Anna Maria Wahyu Setyowati, Dilema Etika dan Hukum Dalam Pelayanan Medis, Mandar Maju, Bandung, 2010, h. 7.
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
40
penting artinya bagi pembentukan sumber daya manusia Indonesia, peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa, serta pembangunan nasional. Upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya pada mulanya berupa upaya penyembuhan penyakit, kemudian secara berangsurangsur berkembang ke arah keterpaduan upaya kesehatan untuk seluruh masyarakat dengan mengikutsertakan masyarakat secara luas yang mencakup upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bersifat menyeluruh terpadu dan berkesinambungan. Perkembangan ini tertuang ke dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) pada tahun 1982 yang selanjutnya disebutkan kedalam GBHN 1983 dan GBHN 1988 sebagai tatanan untuk melaksanakan pembangunan kesehatan. Selain itu, perkembangan teknologi kesehatan yang berjalan seiring dengan munculnya fenomena globalisasi telah menyebabkan banyaknya perubahan yang sifat dan eksistensinya sangat berbeda jauh dari teks yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Pesatnya kemajuan teknologi kesehatan dan teknologi informasi dalam era global ini ternyata belum terakomodatif secara baik oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Perencanaan dan pembiayaan pembangunan kesehatan yang tidak sejiwa dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992, yaitu menitikberatkan pada pengobatan (kuratif), menyebabkan pola pikir yang berkembang di masyarakat adalah bagaimana cara mengobati bila terkena penyakit. Hal itu tentu akan membutuhkan dana yang lebih besar bila dibandingkan dengan upaya pencegahan. Konsekuensinya, masyarakat akan selalu memandang persoalan pembiayaan kesehatan sebagai sesuatu yang bersifat konsumtif/pemborosan. Selain itu, sudut pandang para pengambil kebijakan juga masih belum menganggap kesehatan sebagai suatu kebutuhan utama dan investasi berharga di dalam menjalankan pembangunan sehingga alokasi dana kesehatan hingga kini masih tergolong rendah bila dibandingkan dengan negara lain. Untuk itu, sudah saatnya kita melihat persoalan kesehatan sebagai suatu faktor utama dan investasi berharga yang pelaksanaannya didasarkan pada sebuah paradigma baru yang biasa dikenal dengan paradigma sehat, yakni paradigma kesehatan yang mengutamakan upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif. Dalam rangka implementasi paradigma sehat tersebut, dibutuhkan sebuah undang-undang yang berwawasan sehat, bukan undang-undang yang berwawasan sakit. Pada sisi lain, perkembangan ketatanegaraan bergeser dari sentralisasi menuju desentralisasi yang ditandai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang tersebut memuat ketentuan yang menyatakan bahwa bidang kesehatan sepenuhnya diserahkan kepada daerah masing-masing yang setiap
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
41
daerah diberi kewenangan untuk mengelola dan menyelenggarakan seluruh aspek kesehatan. Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 yang mengatur tentang pembagian urusan antara pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Berdasarkan hal tersebut, UndangUndang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan perlu disesuaikan dengan semangat otonomi daerah. Oleh karena itu, perlu dibentuk kebijakan umum kesehatan yang dapat dilaksanakan oleh semua pihak dan sekaligus dapat menjawab tantangan era globalisasi dan dengan semakin kompleksnya permasalahan kesehatan dalam suatu Undang-Undang Kesehatan yang baru untuk menggantikan UndangUndang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Keberadaan undang-undang tentang kesehatan tersebut di atas bilamana mengacu pada pendapat Muladi tentang doktrin dasar dari hukum sebagai berikut : Hukum selalu mengandung hak dan kewajiban. Yang terakhir ini sering dirumuskan sebagai restriksi dan limitasi. Atas dasar pemikiran partikularistik relatif di atas restriksi dan limitasi tersebut adalah sebagai berikut : a. Harus menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain (respects for the rights and freedoms of others); b. Harus menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum (the generally accepted moral code); c. Harus menghormati ketertiban umum (public order); d. Harus menghormati kesejahteraan umum (general welfare); e. Harus menghormati keamanan umum (public safety); f. Harus menghormati keamanan nasional dan keamanan masyarakat (national and social security); g. Harus menghormati kesehatan umum (public health); h. Harus menghindarkan penyalahgunaan hak (abuse of right); i. Harus menghormati asas-asas demokrasi; j. Harus menghormati hukum positif.45 Jelas bahwa keberadaan undang-undang kesehatan yang dikaitkan dengan adanya Hak Asasi Manusia yaitu karena hukum harus menghormati kesehatan umum (public health). Di dalam hal ini, hukum tidak hanya mengatur tentang kesehatan individu melainkan juga kesehatan masyarakat.
45
Desertasi
Muladi I, op.cit., h. 8 – 9.
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
42
Menurut Hassan Suryono dalam tulisannya yang berjudul “Implementasi Dan Sinkronisasi HAM Internasional dan Nasional” menjelaskan bahwa pelaksanaan hak asasi manusia perlu adanya ketentuan yang normatif dan komitmen moral dari pelaksanaannya. Peraturan normatif ini berupa ketentuanketentuan yang memuat hak dan kewajiban baik kepada masyarakat maupun Pemerintah, sedangkan komitmen moral berupa perjuangan yang tulus ikhlas dan peduli untuk memperjuangkan hak dan kewajiban orang lain sesuai dengan perundang-undangan hak asasi manusia.46 Oleh karenanya berkaitan dengan upaya untuk mewujudkan kesehatan umum (public health) maka setiap orang berhak untuk memperoleh pelayanan pengobatan yang seoptimal mungkin. Di dalam proses penyembuhan penyakit yang diderita harus memperoleh pelayanan pengobatan yang prima. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menyediakan segala bentuk sarana dan prasarana yang memadai bagi pelayanan pengobatan yang optimal. Hal ini diwujudkan salah satunya melalui kegiatan transplantasi sebagaimana diatur dalam pasal 64 UU No. 36/2009 yang menentukan : (1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan melalui transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, implan obat dan/atau alat kesehatan, bedah plastik dan rekonstruksi, serta penggunaan sel punca. (2) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersialkan. (3) Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun.
Agar pelaksanaan hak asasi manusia dapat efektif, perlu adanya peninjauan kembali terhadap komponen substansi dan kultur dengan mengadakan sinkronisasi 46
Desertasi
Muladi II, op.cit., h. 87.
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
43
dan interpretasi terhadap dokumen hak asasi manusia universal dan nasional sehingga ditemukan harmonisasi dari keduanya. Harmonisasi peraturan hak asasi manusia dapat terjadi bilamana tercipta suatu gerakan moral antara pembuat undang-undang, pemegang peran dan birokrat pelaksananya.47 Melalui pendapat ini menunjukkan bahwa kriminalisasi perdagangan organ tubuh yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia tidak akan merefleksikan adanya kepentingan hak asasi manusia bila tanpa dibarengi dengan adanya harmonisasi antara substansi hukum dan struktur hukum serta budaya (kultur) hukum. Sependapat dengan Firdaus dalam tulisannya yang berjudul “Implikasi Pengaturan HAM Dalam UUD Terhadap Ius Constituendum” mengungkapkan bahwa norma yang terkandung dalam UUD merupakan sumber hukum (rechtsgulle) bagi aturan yang ada di bawahnya. Konstruksi ini mempunyai makna bahwa norma-norma yang ada dalam UUD harus mengalir dalam perundangundangan di bawahnya, apakah berupa norma original atau norma jabaran yang lebih konkrit. Norma tersebut dapat mengalir begitu saja dalam perundangundangan yang lebih rendah atau perundangan yang lebih rendah dapat memberikan norma tafsiran dari norma yang lebih tinggi tersebut.48 Oleh karenanya ketentuan tentang transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia yang terdapat dalam undang-undang kesehatan harus mengacu pada norma yang terkandung dalam UUD. Terlebih lagi jelas bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia. Setiap orang berhak atas taraf hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan diri
Desertasi
47
Ibid., h. 89.
48
Ibid., h. 12.
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
44
dan keluarganya sebagaimana Pasal 25 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa. Negara mengakui hak setiap orang untuk memperoleh standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental.49
b.
Hakikat dan Jenis Transplantasi Organ dan/atau Jaringan Tubuh Manusia. Sebagaimana telah dijelaskan dalam sub bab sebelumnya bahwa hak untuk
hidup sehat merupakan salah satu perwujudan dari adanya Hak Asasi Manusia. Hal ini juga dijabarkan secara eksplisit pada bagian konsiderans huruf a UU No. 36/ 2009 sebagai berikut : “Bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia yang merupakan salah satu sarana pengobatan dalam bidang kesehatan juga merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dimiliki oleh setiap orang. Agar memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif tentang transplantasi tersebut, sebelumnya perlu diketengahkan tentang hakikat, makna serta jenis-jenis transplantasi. Tranplantasi organ, selain terkait dengan upaya kesehatan yang sangat berkorelasi dengan adanya hak asasi pada setiap manusia, keberadaan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia merupakan suatu upaya yang pada hakikatnya bertujuan untuk keselamatan umat manusia maupun meningkatkan ilmu 49
Ari Yunanto dan Helmi, Hukum Pidana Malpraktik Medik – Tinjauan dan Perspektif Medikolegal, ANDI, Yogyakarta, 2010, h. 89.
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
45
kesehatan dan kedokteran pada umumnya. Hal ini telah dijelaskan dalam bagian konsiderans huruf a PP No. 18/1981 yang menjelaskan sebagai berikut : Bahwa dalam pengembangan usaha kesehatan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, perlu adanya pelbagai upaya agar usaha tersebut di atas diselenggarakan dengan baik, antara lain dengan kegiatan melakukan bedah mayat anatomis serta transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia yang bertujuan untuk keselamatan umat manusia maupun meningkatkan ilmu kesehatan dan kedokteran pada umumnya. Melalui ketentuan ini maka nampak bahwa pada hakikatnya, transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia setidaknya berkaitan dengan : 1. Perwujudan dari upaya pelayanan kesehatan sebagai bagian dari hak untuk hidup sehat yang berkorelasi dengan hak asasi manusia; 2. Perwujudan dari upaya bertujuan untuk keselamatan umat manusia; 3. Perwujudan dari upaya untuk meningkatkan ilmu kesehatan dan kedokteran pada umumnya. Secara lebih lanjut pengertian transplantasi telah diatur dalam Pasal 1 huruf e PP No. 18/1981 yang menentukan sebagai berikut: “Transplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan alat dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh sendiri atau tubuh orang lain dalam rangka pengobatan untuk menggantikan alat dan atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik”. Sementara pengertian transplantasi yang serupa ada di dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 23/1992 yang menentukan : “Transplantasi adalah rangkaian tindakan medis untuk memindahkan organ dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain atau tubuh sendiri dalam rangka pengobatan untuk menggantikan organ dan atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik”.
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
46
Bilamana dicermati kedua definisi yang diberikan tersebut terdapat kesamaan makna akan tetapi memiliki beberapa perbedaan antara lain : 1. Perbedaan istilah medis atau kedokteran yang digunakan di dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 23/1992 digunakan istilah “rangkaian tindakan medis” sedangkan dalam Pasal 1 huruf e PP No. 18/1981 menggunakan istilah “rangkaian tindakan kedokteran”. 2. Perbedaan istilah organ atau alat. Di dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 23/1992 menggunakan istilah “organ” sementara dalam Pasal 1 huruf e PP No. 18/1981 menggunakan istilah “alat tubuh”. Tidak jelas apakah perbedaan istilah tersebut hanyalah merupakan perbedaan nama saja atau terdapat perbedaan substansif karena hanya PP No. 18/1981 yang menjelaskan tentang definisi dari alat tubuh manusia sementara UU No. 23/1992 maupun UU No. 36/2009 sama sekali tidak memberikan pengertian yang jelas dan eksplisit tentang pengertian dari organ. Terlepas dari adanya perbedaan istilah alat tubuh dan organ tubuh tersebut, menurut ketentuan PP No. 18/1981, terdapat perbedaan makna yang mendasar antara alat tubuh (organ tubuh) dengan jaringan tubuh manusia. Pasal 1 huruf c PP No. 18/1981 menentukan, ”Alat tubuh manusia adalah kumpulan jaringan-jaringan tubuh yang dibentuk oleh beberapa jenis sel dan mempunyai bentuk serta fa‟al (fungsi) tertentu untuk tubuh tersebut”. Sedangkan mengenai pengertian jaringan tubuh manusia telah diatur pada Pasal 1 huruf d PP No. 18/1981 yang menentukan, ”Jaringan adalah kumpulan sel-sel yang mempunyai bentuk dan fa‟al (fungsi yang sama dan tertentu)”. Dari kedua makna yang berbeda ini, maka istilah transplantasi
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
47
organ dan/atau jaringan tubuh manusia dapat dipahami sebagai 2 (dua) kegiatan medis yang berbeda, yaitu transplantasi organ di satu sisi dan/atau transplantasi jaringan di sisi yang lain. Pada praktiknya, dalam transplantasi dapat dilakukan pengambilan (eksplantasi) maupun penempatan (implantasi) secara bersamaan, baik organ tubuh dan jaringan tubuh maupun hanya organ tubuh atau hanya jaringan tubuh saja tergantung pada jenis dan kebutuhan transplantasi. Sebagai contoh konkret, organ/alat tubuh manusia seperti kornea mata, ginjal, hati, jantung, paruparu, tangan dan kaki. Sedangkan jaringan tubuh manusia dapat berupa jaringan otot, sel punca, dan sebagainya. Demikian pula tidak dapat diketahui perbedaan yang jelas antara kata “medis” dan “kedokteran” mengingat baik UU No. 23/1992, UU No. 36/2009 maupun PP No. 18/1981 tidak menjelaskan tentang pengertian tersebut. Berkaitan dengan Transplantasi Organ Dan/Atau Jaringan Tubuh Manusia, menurut M. Jusuf Hanafiah : Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia merupakan tindakan medik yang sangat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan fungsi organ tubuh yang berat. Ini adalah terapi pengganti (alternatif) yang merupakan upaya terbaik untuk menolong pasien dengan kegagalan organnya, karena hasilnya lebih memuaskan dibandingkan dengan terapi konservatif.50 Keberadaan pengobatan melalui transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh memang bukan merupakan hal yang baru dalam bidang medis. E. Bernadette McKinney, William J. Winslade, dan T. Howard Stone menjelaskan sebagai berikut:
50
M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan Edisi 3, EGC, Jakarta, 1999, h. 111.
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
48
Organ transplantation is often the last resort in treating end-stage organ failure. Although donor organs remain scarce and organ transplants are usually performed in special centers that have the skilled personnel and technology needed to carry out the procedures and care for transplant patients, organ transplantation is considered a standard of care; it is no longer dismissed as experimental or unproven.51 Freddy Tengker menjelaskan bahwa transplantasi alat-alat tubuh (human organs),
terutama
dalam
beberapa
dekade
belakangan
ini,
mengalami
perkembangan dan kemajuan yang tiada taranya. Transplantasi tersebut ialah mengeluarkan (eskplantasi) alat-alat tubuh tertentu, baik yang berpasangan maupun tidak, dan yang selalu demikian dimasukkan (implantasi) atau dipindahkan kepada orang lain, yang karena penyakitnya sangat membutuhkan alat-alat tubuh tersebut. Transplantasi ginjal yang dilakukan di berbagai negara Barat misalnya, sebagian besar berasal dari ginjal donor yang telah meninggal dunia (kadavemeren). Alat-alat tubuh ini pada umumnya berasal dari pasien-pasien yang setelah mengalami cedera otak berat, dinyatakan meninggal dunia sesuai dengan tolok-ukur yang dianut secara umum dewasa ini (brain-death).52 Lebih lanjut juga dijelaskan bahwa permintaan akan alat-alat tubuh manusia dewasa ini jauh melebihi penawaran, sebagaimana dapat dilihat dari besarnya jumlah pasien yang namanya terdaftar pada apa yang dikenal dengan “waiting list‖ transplantasi.53
51
E. Bernadette McKinney, William J. Winslade, dan T. Howard Stone, “Offender Organ Transplants: Law, Ethics, Economics, And Health Policy”, 9 Hous. J. Health L. & Pol'y 39, Houston Journal of Health Law & Policy, 2008, h. 3. 52 53
Desertasi
Freddy Tengker, op.cit., h. 27. Ibid.
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
49
Pelaksanaan transplantasi sebagai suatu kegiatan medis yang telah berlangsung lama di dunia kesehatan juga diungkapkan oleh M. Jusuf Hanafiah sebagai berikut : Walaupun transplantasi organ dan atau jaringan itu telah lama dikenal dan hingga dewasa ini terus berkembang dalam dunia kedokteran, namun tindakan medis ini tidak dapat dilakukan begitu saja, karena masih harus dipertimbangkan dari segi non medik, yaitu dari segi agama, hukum, budaya, etika dan moral. Kendala lain yang dihadapi Indonesia dewasa ini dalam menetapkan terapi transplantasi, adalah terbatasnya jumlah donor keluarga (Living Related Donor, LRD) dan donasi organ jenazah. Karena itu diperlukan kerjasama saling mendukung antara para pakar terkait (hukum, kedokteran, sosiologi, pemuka agama, pemuka masyarakat), dengan pemerintah dan swasta.54 Oleh karenanya masalah transplantasi yang merupakan kegiatan dalam bidang medis juga memiliki berbagai aspek non medis yang harus diperhatikan diantaranya adalah aspek hukum. Menurut pendapat Ranee Khooshie Lal Panjabi: The issue of organ transplantation is riddled with contradictions and paradoxes. Almost everyone on this planet applauds the scientific advance that would give a renewed life to desperately ill patients. However, a majority of people on this planet would be leery of participating in the process by donating an organ, unless a loved-one needed it. A majority of people on this planet have cultural, societal and religious traditions that find it repugnant to desecrate the bodies of their dead relatives for organ harvesting. Additionally, even those who applaud the science abhor the merchandizing of organs because it reduces the gift of life to a mere purchase of life.55 Pandangan tersebut di atas menjelaskan bahwa walaupun transplantasi organ tubuh merupakan sebagai suatu kemajuan dalam dunia medis akan tetapi ternyata
54
Ibid.
Ranee Khooshie Lal Panjabi, “The Sum Of A Human's Parts: Global Organ Trafficking In The Twenty-First Century”, 28 Pace Envtl. L. Rev. 1, Pace Environmental Law Review, Pace University School of Law, 2010, h.1. 55
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
membawa
kompleksitas
pengaturan
untuk
dapat
50
melaksanakan
kegiatan
transplantasi tersebut. Menurut “Transplantasi
Djaja Organ
Surya Dan
Atmadja, Aspek
dalam
tulisannya
Medikolegalnya”
yang
menjelaskan
berjudul bahwa
Transplantasi dapat dilakukan pada diri orang yang sama (auto transplantasi), pada orang yang berbeda (homotransplantasi) ataupun antar spesies yang berbeda (xenotransplantasi). Transplantasi organ biasanya dilakukan pada stadium terminal suatu penyakit, dimana organ yang ada tidak dapat lagi menanggung beban karena fungsinya yang nyaris hilang karena suatu penyakit. 56 Dari penjelasan tersebut menunjukkan bahwa terdapat 3 jenis transplantasi yaitu auto transplantasi, homotransplantasi dan xeno-transplantasi. Selain dari pendapat tersebut di atas, jenis-jenis transplantasi menurut M. Jusuf Hanafiah dapat dibagi sebagai berikut : 1. Autograft, yaitu pemindahan dari satu tempat ke tempat lain dalam tubuh itu sendiri. 2. Allograf, yaitu pemindahan dari satu tubuh ke tubuh lain yang sama spesiesnya. 3. Isograft, yaitu pemindahan dari satu tubuh ke tubuh lain yang identik, misalnya pada kembar identik. 4. Xenograf, yaitu pemindahan dari satu tubuh ke tubuh lain yang tidak sama spesiesnya.57 Di dalam penjelasan umum Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1981 juga membedakan berbagai transplantasi sebagai berikut : Kita mengenal berbagai macam transplantasi seperti transplantasi kulit akibat kebakaran yang berasal dari tubuh penderita sendiri yang disebut “autotransplantasi”, transplantasi kornea yaitu pemindahan selaput bening mata yang merupakan bagian dari permukaan bola mata kepada seorang buta akibat 56
Djaja Surya Atmadja, ―Transplantasi Organ Dan Aspek Medikolegalnya”, diakses dari http://en.netlog.com/djajasurya/blog/blogid=3757162, diunduh pada tanggal 4 April 2011, h. 2. 57
Desertasi
M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, op.cit., h. 111.
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
51
kerusakan kornea (karena luka bakar, kemasukan benda halus) dan trakoma transplantasi ginjal, jantung, dan lain-lain. Pada umumnya transplantasi alat tubuh diambil dari orang yang baru meninggal dunia dan transplantasi itu harus dilakukan tidak lama sesudah penderita meninggal dunia. Sebab kalau sudah lama meninggal dunia, maka alat dan atau jaringan tubuh ikut mati dan tidak dapat dipergunakan lagi. Transplantasi ginjal dapat juga dilakukan dengan ginjal yang diambil dari tubuh manusia yang masih hidup. Penjelasan ini menunjukkan bahwa transplantasi dapat dilakukan dari tubuh penderita sendiri maupun dari tubuh orang lain. Untuk transplantasi yang menggunakan alat tubuh dari orang lain dapat diambil pada orang yang masih hidup bahkan pada orang baru meninggal. Di dalam penjelasan umum Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1981 mengungkapkan bahwa dengan transplantasi, ilmu kedokteran membuktikan bahwa manusia yang meninggal duniapun masih dapat berbuat amal soleh terhadap saudara-saudaranya yang sedang menderita penyakit. Hal ini semakin menunjukkan bahwa transplantasi berfungsi sebagai usaha pengobatan (Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1981). Sejalan dengan M. Jusuf Hanafiah, jenis-jenis transplantasi juga dikemukakan oleh Soekidjo Notoatmodjo dalam bukunya “Etika dan Hukum Kesehatan” sebagai berikut : Berdasarkan sifat pemindahan organ atau jaringan tubuh yang dipindahkan ke tubuh yang lain, transplantasi dibedakan menjadi : a. Autograft Yaitu pemindahan organ jaringan atau organ dari satu tempat ketempat lain dalam tubuh pasien sendiri. Misalnya, operasi bibir sumbing, dimana jaringan atau organ yang diambil untuk menutup bagian yang sumbing diambil dari jaringan tubuhnya sendiri, misalnya dari pantat atau dari pipi si pasien sendiri. b. Allograft Pemindahan jaringan atau organ dari tubuh ke tubuh yang lain yang sama spesiesnya, yakni antara manusia dengan manusia. Transplantasi allograft yang sering terjadi dan tingkat keberhasilannya tinggi antara lain: transplantasi ginjal dan kornea mata. Di samping itu juga sudah terjadi
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
52
transplantasi hati, meskipun keberhasilannya belum tinggi. Transfusi darah sebenarnya juga merupakan bagian dari transplantasi ini, karena melalui transfusi darah bagian dari tubuh manusia yakni darah dari seseorang (donor) dipindahkan untuk menggantikan darah orang dan pada tubuh orang lain (recipient). c. Xenograft Pemindahan jaringan atau organ dari satu tubuh ke tubuh lain yang tidak sama spesiesnya, misalnya antara spesies manusia dengan binatang. Yang sudah terjadi contohnya pencangkokan hati manusia dengan hati baboon, meskipun tingkat keberhasilannya masih kecil. Organ atau bagian-bagian tubuh yang diambil dari seseorang atau “donor” dan dipindahkan untuk menggantikan tubuh orang lain ini, dibedakan menjadi dua : 1. Diambil donor hidup, misalnya : Kulit Ginjal Darah Sumsum tulang 2. Diambil dari donor mati (jenasah), misalnya : Jantung Hati Ginjal Kornea mata Paru-paru Pankreas58 Menurut M. Jusuf Hanafiah, dari segi hukum, transplantasi organ, jaringan dan sel tubuh dipandang sebagai suatu usaha mulia dalam upaya menyehatkan dan mensejahterakan manusia, walaupun ini adalah suatu perbuatan yang melawan hukum pidana yaitu tindak pidana penganiayaan. Tetapi karena adanya alasan pengecualian hukuman, atau paham melawan hukum secara material, maka perbuatan tersebut tidak lagi diancam pidana, dan dapat dibenarkan.59
58
149. 59
Desertasi
Soekidjo Notoatmodjo, Etika Dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, h. 148 – M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, op.cit., h. 112.
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
53
Disamping berbagai pandangan yang telah dikemukakan di atas, Chrisdiono M. Achadiat juga menjelaskan pandangannya tentang transplantasi organ atau jaringan tubuh manusia sebagai berikut : Pada transplantasi dalam keadaan biasa (artinya donor bukan terpidana mati), segi mediknya sendiri sebenarnya paling sederhana, bila dibandingkan dengan segi-segi moral, agama dan hukum. Secara medis, jenis transplantasi yang paling potensial menimbulkan masalah adalah homologous, yakni pemindahan organ dari satu orang kepada orang lain. Transplantasi homologous ini bisa dilakukan dari donor yang sudah meninggal atau jenazah. Iptek kedokteran masa kini telah mampu mengatasi hampir keseluruhan reaksi negatif pada resipien, melalui suatu prosedur pemeriksaan yang cermat, tissue typing (uji kecocokan jaringan) dan obat-obatan golongan imunosupresif yang semakin canggih. Jenis transplantasi yang lain ialah autologous, yaitu donor dan resipien adalah orang yang sama, dan heterologous, yaitu donor dan resipien berbeda spesies (misalnya tulang rawan hewan untuk mengganti katup jantung manusia). Jenis terakhir adalah organ yang didonorkan adalah buatan manusia, tetapi jenis ini disebut sebagai implant, bukan transplantasi. Meskipun iptek kedokteran telah sedemikian maju, tapi harus tetap diingat bahwa sampai detik ini hanya ada tiga jenis organ yang dapat dipindahkan dari donor hidup, artinya setelah pemindahan organ (transplantasi) itu si donor tetap hidup atau tidak kehilangan fungsi organ yang telah dipindahkan itu. Ketiga organ itu ialah kulit, ginjal, dan sumsum tulang. Selain ketiga organ itu, dapat dipastikan bahwa transplantasi akan mengakibatkan kematian donor atau paling sedikit kehilangan fungsi organ tersebut.60 Secara lebih jelas, dibedakan 3 (tiga) kategori transplantasi sebagai berikut : 1. Transplantasi autologous, yakni pemindahan organ tubuh dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh lainnya, pada orang yang sama, misalnya pemindahan kulit paha ke tangan atau wajah. Dalam hal ini donor dan resipien adalah orang yang sama. 2. Transplantasi homologous, yakni pemindahan organ tubuh dari satu orang kepada orang lain. Donor bisa dalam keadaan hidup ataupun dalam keadaan sudah meninggal. Contoh transplantasi homologous dari donor yang sudah meninggal ialah kornea mata. 3. Transplantasi heterologous, yakni pemindahan organ dari spesies yang berbeda, misalnya tulang rawan hewan untuk mengganti katup jantung
60
Chrisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran Dalam Tantangan Zaman, EGC, Jakarta, 2004, h. 195.
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
54
manusia, jika organ yang dipasang pada resipien adalah buatan manusia, tidak disebut sebagai transplantasi, melainkan implant.61 Pada hakikatnya, transplantasi organ tidak hanya dilihat pada suatu proses pengobatan saja akan tetapi karena melibatkan pemindahan organ tubuh dari seseorang ke orang lain maka akan menyebabkan adanya keterikatan batin antara pihak-pihak yang terlibat dalam proses tersebut. David M. Frankford dalam tulisannya yang berjudul “Dehumanizing A Most Human Practice” menjelaskan sebagai berikut: Thus the transfer of an organ is not the mere exchange of a thing but instead is freighted with deep meaning that makes sense to the participants. In the gift exchange, reciprocal bonds are created between donor, recipient, and in the case of donation at death, kin; in a real sense, participants often see a partial merger of selves, as, for example, the heart and real or imagined blood of the (deceased) donor inhabits the recipient. Donor, recipient, and kin frequently become a ―we,‖ as reflected in some of the language the participants use to describe the experience, a phenomenon Fox and Swazey (1992: 32-42) appropriately use the word ―animism‖ to describe because the participants understand the organ to be a partial transfer of ―me‖ into ―you,‖ and vice versa, in a culturally generated exchange that both creates and reaffirms a common humanity (cf. Sandel 1998).62 Terkait dengan masalah transplantasi, Muhammad Djumhana lebih menggunakan istilah pencangkokan juga sependapat bahwa seiring dengan perkembangan bioteknologi, transplantasi atau pencangkokan dapat dilakukan dari organ manusia maupun dari organ binatang. Hal ini dikemukakan sebagai berikut : Masalah yang tidak boleh dilupakan pula adalah pencangkokan organ dan berasal dari organ binatang. Saat ini ahli transplantasi manusia atau xenotransplantasi telah hampir mampu mencangkokkan organ tubuh babi transgenik ke tubuh manusia. Kondisi seperti ini perlu penelaahan yang dalam 61
Ibid., h. 201.
62
David M. Frankford, “Dehumanizing A Most Human Practice”, Journal of Health Politics, Policy & Law, 36 J. Health Pol. Pol'y & L. 763, Duke University Press, August, 2011, h. 2.
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
55
dari kita semua, karena hal itu menyangkut kepercayaan agama, etika, dan hukum.63 Michael Davies juga mengutarakan adanya transgenic transplantation sebagai suatu perkembangan baru dalam bidang transplantasi sebagai berikut : Recently the debate surrounding transplantation has resurfaced. There is now the possibility, in addition to cadaver transplantation and live donor transplantation, of what is known as ‗transgenic‘ transplantation. Recent reports indicate that developments in genetic engineering have resulted in the development of mammals (pigs being the ‗best‘ so to speak) that can be ‗harvested‘ for major organs to transplant into human beings. Recently the development of transgenic pig hearts and kidneys by Imutran has been considered by the Nuffield Council on Bioethics. The Council‘s report accepted that there were on average in any given year around 5,000 people waiting for dikidneys, and 300 plus waiting for new hearts. The report recommended that the development of transgenic organs was a way to alleviate the anguish of the shortfall of organs for those patients, but ‗in the context of a careful regulatory framework‘ (Mark Wolpert quoted in ‗Pig transplants win ethical backing‘, New Scientist, 9 March 1996, p.4).64 Pengembangan melalui transgenic transplantation dilakukan untuk mengurangi daftar tunggu (waiting list) mengingat keterbatasan organ tubuh yang tidak sebanding dengan jumlah pasien yang sangat membutuhkan organ tubuh untuk dilakukan tindakan transplantasi. Transplantasi yang melibatkan organ dari binatang bukan merupakan hal yang sederhana karena itu maka pemerintahan Inggris telah membentuk The Xenotransplantation Interim Regulatory Authority untuk memonitor perkembangan permasalahan yang timbul dari kegiatan transplantasi tersebut.65 63
Muhammad Djumhana, Hukum Dalam Perkembangan Bioteknologi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, h. 171. Michael Davies, Texbook On Medical Law 2nd Edition, Blackstone Press Limited, London, 1998, h. 384. 64
65
Desertasi
Ibid.
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
56
Menurut Michael Davies, jenis transplantasi organ dapat timbul dari 3 hal yaitu : 1. Melalui transgenic transplants; 2. Melalui live donor transplants; 3. Melalui donation from the deceased.66 Selain itu menurut JK Mason and RA McCall Smith dalam Buku “Law and Medical Ethics‖ Edisi ke-3, menjelaskan tentang perkembangan transplantasi dan macam transplantasi yaitu : Heterotransplantation or xenografting – that is, the successful transplantation of organs from one species to another – is currently a pratical impossibility. A well-publicised attempt to transplant a baboon‘s heart into a human neonate was made in 198467but so doomed to failure was the manœuvre that it is better discussed under experimental treatment in chapter 17. Autotransplantation, or the resiting of portions of the same body, is effectively limited to skin grafting and poses only the difficulties of highly comples surgery.68 Menurut John Devereux, pembagian jenis transplantasi adalah sebagai berikut: Transplants are traditionally divided into two categories : 1. Inter-vivos (ie, from one live person to another); 2. Cadaveric (ie, the removal of an organ or tissue from a person after that person has died for transplantation into a living person). In addition, it is common to distinguish between a transplant of : 1. Regenerative tissue (ie, tissue which, even if removed, will ‗grow back‘); 2. Non-regenerative tissue (ie, tissue which, once removed, will not ‗grow back‘)69
66
Ibid.
67
L L Hubbard „The Baby Fae Case (1987) 6 Med Law 385.
68
Mason and McCall Smith, Law And Medical Ethics, Third Edition, Butterworths, Edinburgh, 1991, h. 300. 69
John Devereux, Australian Medical Law, Second Edition, Cavendish Publishing, New South Wales, 2002, h. 421.
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
57
David Price dalam tulisannya yang berjudul : “End-Of-Life Treatment Of Potential Organ Donors: Paradigm Shifts In Intensive And Emergency Care” bahkan menjelaskan bahwa di negara Inggris permasalahan dan perhatian pemerintah tidak hanya meliputi kegiatan transplantasi saja melainkan juga memperhatikan kepentingan pihak pendonor. Selengkapnya dapat dikutip: The House of Lords Report of the European Union Committee Increasing the Supply of Donor Organs within the European Union recommended that the Government should take steps to ensure that, for a person who has clearly stated their desire to donate organs, it is recognised legally that it is in their best interests to facilitate donation through the appropriate maintenance of their organs prior to or immediately after death. The recent legal guidance produced by the Department of Health on NHBD (referred to in detail subsequently) endorses the notion that some continuation of life-prolonging treatment or modifications to clinical care can potentially be seen as being in the best interests of such a patient lacking decision-making capacity. There is a need for a change of emphasis here. It should be recognised that wishes regarding organ donation (and other post-mortem practices) are themselves properly part of the consideration of the proper treatment and best interests of the living, and their end-of-life care in particular.70 Pelaksanaan transplantasi di Amerika Serikat juga melibatkan komite yang akan memberikan persetujuan terlebih dahulu atas keinginan seseorang untuk mendonorkan organ tubuhnya kepada orang lain yang tidak dikenal sebagaimana dijelaskan oleh Rebekah Morrissey sebagai berikut: Doctors and medical ethicists often struggle to determine why an otherwise healthy individual would undergo the risks of surgery to donate a kidney to a complete stranger. The skepticism of physicians is due largely to the rareness of altruistic donation, which accounts for less than one percent of live donations in the United States. For example, a physician in Boston began researching the motivations behind organ donation from strangers after encountering a patient who asked if he could go out and find his own kidney donor. The physician met with a transplant board to determine whether it would even be ―morally 70
David Price, “End-Of-Life Treatment Of Potential Organ Donors: Paradigm Shifts In Intensive And Emergency Care”, 19 Med. L. Rev. 86, Medical Law Review, Oxford University Press, 2011, h. 4.
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
58
appropriate‖ to approve such a transplant. Under the ALDR, healthy people wishing to donate kidneys will not meet the skepticism and questioning common under existing law, and those who need transplants will receive them more quickly.71 Permasalahan yang sangat kompleks juga dijabarkan oleh Mason dan McCall Smith sebagai berikut: It will be evident that organs can be provided for transplantatian by the living or by the dead. Living donation offers many technical advantages – tissue compatibility can be measured at leisure, the operation can be elective rather than done in an emergency and the warm anoxic time can approach zero. Potential cadaver donors are widely available and transplantation of their organs provides a source of satisfaction in that waste material is being put to life-saving use. On the other hand, their availability is capricious, both donor and recipient operations must take on the character of emergency surgery and the total efficiency of the graft cannot be guaranteed. Recognition of brain stem death, however, introduces the possibility of a variation on cadaver donation – the ‗beating heart donor‘ – which bridges the gap between the living and the conventional dead and carries with it many of the advantages of both types of donor. The legal and ethical limitations of all three methods deserve consideration.72 Pandangan dari Mason dan McCall Smith tersebut di atas menunjukkan pentingnya aspek hukum dan etika ikut mengatur dalam pelaksanaan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia. Oleh karena itu berbagai pandangan di atas semakin membuka cakrawala tentang luasnya pembahasan tentang transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia yang tidak hanya menjadi ruang lingkup dan kajian dari aspek medis atau kedokteran saja melainkan juga merupakan kajian dari aspek hukum, etika dan moral.
71
Rebekah Morrissey, “Giving Life: Increasing Organ Donation And Creating An Altruistic Organ Donation Registry”, 42 McGeorge L. Rev. 635, McGeorge Law Review, University of the Pacific, McGeorge School of Law, 2011, h. 3. 72
Mason and McCall Smith, Law And Medical Ethics, Third Edition, Butterworths, Edinburgh, 1991, h. 301 – 302.
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
c.
59
Transplantasi Organ dan/atau Jaringan Tubuh Manusia dalam Norma Etika, Norma Agama dan Norma Hukum. Kehidupan manusia pada hakikatnya merupakan suatu kehidupan bersama
di dalam suatu organisasi teratur yang dinamakan masyarakat, yaitu suatu kehidupan bersama yang menghasilkan kebudayaan. Betapapun terkebelakangnya tingkat peradaban sekelompok manusia atau masyarakat, pada umumnya kehidupannya teratur dan tertib baik di dalam arti yang tegas maupun samar-samar. Hal ini terutama disebabkan oleh karena pada hakikatnya manusia mempunyai hasrat untuk hidup secara pantas (behoorlijk). Kenyataan lain yang dapat dijumpai adalah bahwa ada kekuatan-kekuatan yang menyebabkan bahwa manusia dapat hidup dengan teratur di dalam masyarakat, dan kekuatan-kekuatan tersebut berwujud sebagai kaedah-kaedah (atau norma-norma) yang merupakan petunjukpetunjuk atau pedoman tentang bagaimana orang harus berlaku, kaedah-kaedah mana sebenarnya merupakan suatu takaran terhadap perbuatan-perbuatan atau tingkah laku manusia.73 Manusia sebagai makhluk sosial yang menjadi bagian dari masyarakat memerlukan berbagai norma untuk mengatur perilakunya. Kehidupan manusia dalam masyarakat diatur oleh beberapa norma, diantaranya norma agama, norma etika, dan norma hukum.74 Persamaan dan perbedaan antara ketiga norma tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : Persamaannya ialah ketiga norma tersebut 73
Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Cetakan Keempat, UI Press, Jakarta, 1983, h. 3. 74
Pitono Soeparto et al (ed.), Etik Dan Hukum di Bidang Kesehatan, Edisi Kedua, Airlangga University Press, Surabaya, 2006, h. 129.
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
60
mengatur perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Sedangkan perbedaannya terletak dalam siapa pembuatnya, kekuatan mengikatnya, sifat dan macam sanksinya bila dilanggar, waktu berlakunya, dan siapa yang mengawasi dan menilai bila dilanggar75. Oleh karena itu maka terkait dengan kegiatan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia kiranya dapat diamati dari ketiga norma tersebut. 1. Norma Etika Etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas akhlak.76 Kata etik (ethics) berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos, yang berarti akhlak, adat kebiasaan, watak, perasaan, sikap, yang baik, yang layak. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1988), etika adalah : 1. ilmu tentang apa yang baik, apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral; 2. kumpulan atau seperangkat asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; 3. nilai yang benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Menurut Kamus Kedokteran, etika adalah pengetahuan tentang perilaku yang benar dalam satu profesi. Istilah etika dan etik sering dipertukarkan pemakaiannya dan tidak jelas perbedaan antara keduanya. Dalam buku ini, yang dimaksud dengan etika adalah ilmu yang mempelajari azas akhlak, sedangkan etik adalah seperangkat asas atau nilai yang berkaitan dengan akhlak seperti dalam Kode Etik. Istilah etis biasanya digunakan untuk menyatakan sesuatu sikap atau
Desertasi
75
Ibid.
76
Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1988, h. 1953.
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
61
pandangan yang secara etis dapat diterima (ethically acceptable) atau tidak dapat diterima (ethically unacceptable, tidak etis).77 Etika ialah suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku mansuia, manusia yang dapat dinilai baik dan manusia yang dapat dinilai buruk, dengan memperlihatkan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat dicerna akal pikiran. Sesuatu yang berhubungan dengan keutamaan etika tidak cukup dengan diketahui, tetapi ditambah dengan melatih dengan mengamalkannya serta mencari jalan untuk menjadikan orang berperilaku utama dan baik. Etika yang tertua adalah etika kedokteran, yang merupakan prinsip moral atau asas akhlak yang selayaknya diterapkan oleh para dokter dalam hubungannya dengan pasien, teman sejawat, dan masyarakat pada umumnya.78 Ahli filsafat hukum telah mengadakan pembedaan yang jelas antara etika dan hukum. Etika adalah bidang yang menyangkut moralitas aspirasi (morality of aspiration) dan hukum adalah yang berkaitan dengan moralitas kewajiban (morality of duty). Etika mengatur sesuatu yang sebaiknya dilakukan oleh manusia. Terhadap perilaku yang tidak etis selayaknya diberikan sanksi yang sudah ditentukan sebelumnya oleh dirinya sendiri dan teman sejawatnya. Sebaliknya hukum memberikan batasan untuk bertindak yang ditentukan oleh masyarakat. Apabila dilanggar orang tersebut berisiko untuk mendapat sanksi eksternal seperti hukuman atau pencabutan ijin prakteknya. Walaupun ada perbedaan antara 77
M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir (selanjutnya disingkat M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir II), Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan Edisi 4 , EGC, Jakarta, 2007, h. 2. 78
A. Dinajani S. Abidin Mahdi, Quo Vadis Kliniko Mediko Legal Indonesia, FKUI, Jakarta, 2008, h.1.
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
62
etika dan hukum, kedua disiplin itu tetap saling tergantung. Etika dan hukum mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk mengatur tertib dan tenteramnya pergaulan hidup.79 Di dalam pekerjaan profesi (yang salah satunya adalah dokter) sangat dibutuhkan etik profesi dalam memberikan pelayanan kepada publik. Etik Profesi merupakan seperangkat perilaku anggota profesi dalam hubungannya dengan orang lain. Pengamalan etika membuat kelompok menjadi baik dalam arti moral.80 Sejalan dengan hal tersebut, menurut Hermien Hadiati Koeswadji yang menggunakan istilah etika medis menjelaskan batasan rumusan pengertian etika medis dari empat segi yaitu segi arti, fungsi, isi dan bentuk. Selengkapnya menurut Hermien Hadiati Koeswadji dapat dijabarkan sebagai berikut : Pertama mengenai arti. Etika medis atau kode etik, atau “medical ethies” ataupun juga “beroepskode” harus diartikan sebagai pedoman perilaku bagi pengemban – pelaksana profesi medis. Etika sendiri dalam kaitan artinya dengan filsafat – disamping logika dan estetika – dapat diartikan dalam dua hal, yaitu (1) syarat-syarat yang diperlukan untuk memberikan batasan bagi yang disebut sebagai perbuatan yang benar – baik, dan (2) yang disebut sebagai “summum bonum”, yaitu batasan-batasan untuk sesuatu yang dapat dikatakan baik – benar.81 Dengan demikian maka etika dapat diartikan dalam kaitannya dengan profesi tidak lain daripada suatu consensus, suatu kesepakatan bersama antara pendapat para ahli dalam menentukan hal-hal yang berhubungan dengan standard profesional.82 Dalam artinya yang demikian tadi, maka etika sangat erat hubungannya dengan (1) perilaku yang berisikan hak dan kewajiban berdasarkan perasaan moral, dan (2) perilaku yang sesuai dengan dan – atau untuk mendukung standard profesi.83
Desertasi
79
Ibid., h. 1 - 2.
80
M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir II, op.cit., h. 2.
81
Encyclopedia Americana, Edisi 1978, Vol. 21, h. 776.
82
Black‟s Law Dictionary, op. cit., h. 653.
83
Ibid.
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
63
Adapun mengenai fungsi etika medis adalah sebagai pedoman perilaku bagi para pengemban profesi medis dalam kedudukannya dalam lingkup dunia medis, hal mana kemudian dapat diartikan analog dengan peraturan sikap dan perilaku lain dalam lingkup masyarakat. Dengan demikian maka kode etik sebagai kode profesi mengandung faset yang penting dalam rangka pendekatan kepada pasien dan bersifat normatif. Namun kode etik bukan merupakan satusatunya faset terpenting, sebab masih lebih penting norma etik umum yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Norma etik masyarakat dapat mempengaruhi norma etik medis, karena masyarakat pengemban profesi medis adalah juga merupakan salah satu sub sistem dalam keseluruhan sistem masyarakat, sehingga besar kemungkinannya norma etik masyarakat mempengaruhi norma etik medis. Antara norma etik masyarakat dengan norma etik medis saling pengaruh-mempengaruhi. Dengan perkataan lain nilai pandangan hidup yang dicerminkan oleh etik medis merupakan pelambang martabat dan nilai yang dianut oleh dunia profesi medis dalam suatu masyarakat tertentu.84 Adapun mengenai isi (materi) Kode Etik Kedokteran di Indonesia, dapat dipisahkan antara mukadimah dan batang tubuh yang berisikan ketentuan pasalpasal yang mengatur tentang hak dan kewajiban dokter secara umum, terhadap pasien, terhadap teman sejawatnya, dan terhadap dirinya sendiri. Seringkali perumusan suatu peraturan itu selain telalu umum juga bersifat samar-samar, dan apabila dalam hal yang demikian maka untuk dapat memahami, menghayati, dan kemudian mengamalkannya peraturan tersebut orang harus melihat pada latar belakang timbulnya – terjadinya peraturan tersebut. Latar belakang atau rasio diciptakannya sesuatu peraturan itu pada umumnya dapat kita ketahui dari bab konsiderans, atau preambule, atau pun mukadimah.85 Lebih lanjut dijelaskan oleh M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, Etik profesi kedokteran merupakan seperangkat perilaku para dokter dan dokter gigi dalam hubungannya dengan pasien, keluarga masyarakat, teman sejawat dan mitra kerja. Rumusan perilaku para anggota profesi disusun oleh organisasi profesi bersamasama pemerintah menjadi suatu kode etik profesi yang bersangkutan. Tiap-tiap jenis tenaga kesehatan telah memiliki Kode Etiknya, namun Kode Etik tenaga kesehatan
84
Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Dan Masalah Medik, Airlangga University Press, Surabaya, 1984, h. 67 – 68. 85
Desertasi
Ibid., h. 68.
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
64
tersebut mengacu pada Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).86 Pada asasnya hubungan dokter – pasien dalam transaksi terapeutik itu bertumpu pada dua macam hak asasi, yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri (―the right to self-determination‖) dan hak atas informasi (―the right to information‖) sebagaimana yang telah diuraikan dalam bab terdahulu. Antara dokter dan pasien timbul hak dan kewajiban timbal balik, dan apabila hak dan kewajiban ini tidak dipenuhi oleh salah satu pihak yang sudah saling bersepakat untuk mengadakan transaksi tadi, maka wajarlah apabila pihak yang lain -- terutama yang merasa dirugikan – menggugat. Dengan demikian maka dasar untuk mempermasalahkan tidak dipenuhinya hak dan kewajiban dalam hubungan dokter dan pasien itu bertolak dari hubungan keperdataan yang dijamin oleh hak asasi manusia individual. Hak atas informasi dan hak untuk menentukan nasib sendiri itu dijamin oleh dokumen-dokumen internasional, seperti The Universal Declaration of Human Rights tahun 1948, The United Nation International Covenant on Civil and Political Rights tahun 1966, The European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedom tahun 1953, maupun dalam Patient‘s Bill of Rights dari Association of American Hospitals tahun 1972, dan yang pada umumnya diakui oleh dunia/negara-negara beradab.87 Disamping etika medis dijelaskan dari segi arti, fungsi, isi, juga dapat dilihat dari bentuknya yaitu berupa KODEKI itu sendiri merupakan isi materi dari Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tanggal 23 Oktober 1969, Surat
Desertasi
86
M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir II, op.cit., h. 3.
87
Hermien Hadiati Koeswadji, op.cit., h. 69.
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
65
Keputusan yang merupakan pernyataan tentang berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia bagi semua pengemban profesi medik yang menjalankan profesinya di Indonesia. Etika medis itu sebagai sub sistem nilai ikut dipengaruhi dan ditentukan oleh sistem nilai yang ada disekelilingnya yang akan selalu berubah dan berkembang sesuai dengan tuntutan kebutuhan medis pada saat yang bersangkutan sesuai dengan dinamika perubahan masyarakat. Maka sebagai sub sistem nilai ia juga harus memperhitungkan sistem nilai masyarakat, etika masyarakat yang dalam perkembangan
ilmu
pengetahuan
juga
harus
diikutsertakan
dalam
mempertimbangkan sistem nilai yang berlaku. Oleh karenanya maka adaptasi dan perubahan sistem nilai itu sendiri perlu mempunyai mekanisme alat pengaturan perubahannya, setidak-tidaknya suatu tolak ukur bagi pengukuran standard yang berlaku pada waktu dan masalah yang bersangkutan. Ditinjau dari segi ini, maka etika medis yang berstatus sebagai sub sistem dalam seluruh kaitannya dengan sistem masyarakat harus memenuhi beberapa hal, yaitu : (1) status hukum (“legal status”); (2) isi dan peraturan yang mengatur tentang cara mengisi dan mengubah isi; (3) petunjuk atau peraturan tentang cara melaksanakan isi; (4) peraturan yang memuat sanksi terhadap pelanggaran atasnya, termasuk di dalamnya tentang bagaimana cara penanganannya; dan (5) penetapan secara tegas suatu organ atau badan atau dewan yang mengakui dan menganut sistem/sub sistem tersebut (misalnya ikatan profesi, dewan pertimbangan kode etik kedokteran, dan lain sebagainya).88
88
Desertasi
Ibid., h. 70.
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
66
Pada era kemajuan teknologi juga menyebabkan perkembangan yang sangat pesat dibidang biologi dan ilmu kedokteran. Perkembangan tersebut telah membuat etika kedokteran tidak mampu lagi menampung keseluruhan permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan.89 Oleh karena itu telah dikembangkan bioetika. Menurut M. Jusuf Hanafiah sebagai berikut : Bioetika berasal dari kata bios yang berarti kehidupan dan ethos yang berarti norma-norma atau nilai-nilai moral. Bioetika atau bioetika medis merupakan studi interdisipliner tentang masalah yang ditimbulkan oleh perkembangan dibidang biologi dan ilmu kedokteran baik skala mikro maupun makro, masa kini dan masa mendatang (Bertens, 2001). Bioetika mencakup isu-isu sosial, agama, ekonomi dan hukum bahkan politik. Bioetika selain membicarakan bidang medis, seperti abortus, eutanasia, transplantasi organ, teknologi reproduksi buatan, dan rekayasa genetik, membahas pula masalah kesehatan, faktor budaya yang berperan dalam lingkup kesehatan masyarakat, hak pasien, moralitas penyembuhan tradisional, lingkungan kerja, demografi, dan sebagainya. Bioetika memberi perhatian yang besar pula terhadap penelitian kesehatan pada manusia dan hewan percobaan.90 Di dalam pandangan ini dijelaskan bahwa transplantasi organ tubuh manusia termasuk dalam bidang kajian dalam bioetika. Semakin jelas ditunjukkan bahwa transplantasi organ yang merupakan hasil perkembangan dibidang biologi dan ilmu kedokteran tidak hanya menjadi pokok bahasan dalam bidang kedokteran melainkan juga merupakan kajian interdisipliner yang juga meliputi kajian etika, agama dan bidang hukum. Hal senada juga dikemukakan oleh Derek Morgan sebagai berikut : There are indeed suggestions that the veery basis of ethical inquiry and the knowledge available to us have changed radically,91although Gilian Rose once 89
M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir I, loc. cit.
90
M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir II, op.cit., h. 3 – 4.
91
Nietzsche, F, eg, Beyonce Good and Evil, Hollingdale, RJ (Trans), 1973, Harmondsworth: Penguin, section 32; Gilligan, C, In a Different Voice: Psychological Theory and Women‘s Development, 1982, Cambridge, Mass: Harvard UP, comprehensively criticized by O‟Neill, O (with
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
67
roundly denounced this analysis as evidencing ‗despairing rationalism without reason‘. (Rose, G, Mourning Becomes the Law: Philosophy and Representation, 1996, Cambridge: CUP) Thus, Bruce Jennings has observed that moral decision making within medicine (As, incidentally, in other professional and public organizational settings) is becoming increasingly institutionalized and subject to formalized procedures and constraints. Across a broad range in the landscape of contemporary medicine, such as human subjects research, organprocurement and transplantation, assisted reproduction, the rationing of health care and the forgoing of life sustaining treatment: …..ethical choice and agency are now embedded as never before in a network of explicit rules and formal procedures and processes for making decisions. These rules stipulate (within certain limits) what types of decision may be made, how they may be made, by whom, and with the assistance of what resources (Jennings, B, ‗Possibilities of consensus: towards democratic moral discourse‘ (1991) 16 J Medicine and Philosophy 447). Thus, science and medicine are increasingly drawn and driven into ethical debate which raises the clash between scientific method (small, step by step approaches and trial and error and answering small questions) and philosophical, metaphysical and ethical questions.92 Pembahasan secara norma etika memang tidak dapat dilepaskan dari pelaksanaan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia sebagai suatu bentuk perkembangan teknologi dalam bidang kedokteran. Transplantasi merupakan upaya terakhir untuk menolong seorang pasien dengan kegagalan fungsi salah satu organ tubuhnya. Dari segi etika kedokteran, tindakan ini wajib dilakukan jika ada indikasi, berlandaskan beberapa pasal dalam KODEKI, yaitu : Pasal 2 Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi. Pasal 7d Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup commentary by Nussbaum, M), Justice, gender and international boundaries‟, in Nussbaum, M and Sen, A (eds), The Quality of Life, 1993, Oxford: Claredon, pp 303-35; Lyotard, J-F, The PostModern Condition: A Report on Knowledge, 1979, Manchester: Manchester UP. 92
Derek Morgan, Issues in Medical Law and Ethics, Cavendish Publishing Limited, London, 2001, h. 19 – 20.
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
68
insani. Pasal 10 Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut. Bertitik tolak dari pasal-pasal tersebut di atas, para dokter harus menguasai, mengembangkan, dan memanfaatkan iptek transplantasi untuk kemaslahatan pasien dan keluarganya. Pasal-pasal tentang transplantasi dalam PP No. 18/1981, pada hakikatnya
telah
mencakup
aspek
etik,
terutama
mengenai
dilarangnya
memperjualbelikan alat atau jaringan tubuh untuk tujuan transplantasi ataupun meminta kompensasi material lainnya. Namun, timbul pertanyaan jika tidak boleh diperjualbelikan atau diganti rugi, timbul permasalahan caranya meningkatkan jumlah donor. Demikian pula perihal imbalan non-materiil yang masih dipertanyakan kebolehannya. Misalnya, meminta narapidana menjadi donor dan kepadanya diberikan pengurangan masa pidana atau remisi sebagai imbalan. Agaknya transaksi ini bukan mustahil dilaksanakan karena tidak ada yang dirugikan, bahkan saling menguntungkan.93 Dari segi etik, transplantasi wajah telah mengundang banyak kritik dari pakar bioetika, psikolog, psikiater dan lain-lainnya. Bagi yang pro menyatakan bahwa transplantasi wajah sangat membantu resipiens dalam penampilannya ditengah-tengah masyarakat. Bagi yang kontra, merasa amat berat bagi resipiens mengemban pemakaian wajah orang lain yang telah meninggal, dampaknya terhadap keluarga donor dan resipiens dan masalah kepribadian resipiens yang tidak sesuai dengan donor sehingga menyulitkan adaptasi terhadap 93
Desertasi
M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir II, op.cit., h. 126.
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
69
wajah baru. Penerimaan masyarakat sekitar merupakan hal yang penting pula, jangan sampai resipiens dikucilkan, bahkan sebaliknya masyarakat harus menunjukkan rasa simpati dan menghibur mereka yang mempunyai masalah. Di Indonesia, transplantasi wajah (face off) telah dilakukan pertama kali pada seorang wanita bernama Siti Nurjazila (Lisa) berusia 22 tahun, di RS. Soetomo, Surabaya pada tahun 2006, oleh tim yang dipimpin dr. M. Syaifuddin Noer, Sp. BP. Wajah Lisa menderita cedera berat dan rusak, diduga karena ulah suaminya yang kasar. Pada operasi face off ini kulit diambil dari punggung pasien sendiri dan memerlukan pembedahan bertahap. Karena rumitnya transplantasi wajah ini, dari segi medis, etik, dan hukum masih memerlukan pembahasan lanjutan.94 Bahkan menurut Bruce Jennings sebagaimana disampaikan oleh Derek Morgan juga menjelaskan terjadinya pergeseran permasalahan dalam epistemologi yang semula membahas tentang hubungan dari rasionalitas menjadi moralitas sebagai focus kajian dalam norma etika. Selengkapnya disampaikan : Jennings argues that there has been an important recent shift away from epistemological questions about the relationship between a rational, knowing subject and a nationally knowable, objective morality as the primary focus of ethical theory, towards an approach which aims to understand morality ‗as a socially embedded practice‘. These transformations have important consequences for the ways in which we conceptualise and even describe the setting of a legal framework and the establishment of ethical standards for regulating scientific and tehnical societies.95 Sandra H. Johnson dan Robert L. Schwartz dalam bukunya Bioethics and Law In a Nutshell, menjelaskan sebagai berikut:
Desertasi
94
Ibid., h. 127.
95
Derek Morgan, op.cit., h. 20.
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
70
While there has been a constant effort to increase the number of organs available, certain restrictions on retrieval of human organs for transplantation depress the supply below what it could be. Public policy rests on several ethical principles that form significant boundaries on the supply of human organs, at least at this time. First, organs are to be treated as a matter of personal property or personal integrity and not as commons owned by the public upon death. Second, life-sustaining organs cannot be relinquished by or taken from living persons. Third, payment for organs presents risk to the moral fabric of the transplantation system.96 Pandangan ini semakin memperjelas bahwa kajian norma etika dalam transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia merupakan kajian yang menitikberatkan pada moralitas. Kajian ini bilamana diimplementasikan dalam bidang transplantasi akan memunculkan bahwa kegiatan transplantasi sebagai suatu upaya pengobatan yang bertujuan untuk keselamatan umat manusia sangat terkait dengan etika dan moralitas sebagai panduannya. Aspek kemanusiaan menjadi orientasi utama dalam setiap kegiatan transplantasi yang tidak boleh dilepaskan dari unsur etika dan moralitas. 97 Di dalam bioetika terdapat berbagai asas : 1. Asas menghormati perorangan (principle respect of person); 2. Asas manfaat (principle of beneficence); 3. Asas keadilan (principle of justice); 4. Asas tidak merugikan (principle of non maleficence); 5. Asas kejujuran (principle of veracity) 6. Asas kerahasiaan (principle of confidentiality)98 96
Sandra H. Johnson dan Robert L. Schwartz, Bioethics and Law In a Nutshell, West, Thomson Reuters, St. Paul-Minnesota, 2009, h. 193.
Desertasi
97
Chrisdiono M. Achadiat, loc.cit.
98
Pitono, loc. cit.
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
71
Berbagai asas ini dapat diterapkan dalam pembahasan transplantasi dalam norma etika mengingat salah satu pokok bahasan dalam bioetik adalah transplantasi organ dan tubuh dijabarkan ada 6 Pokok Bahasan dalam Bioetika yaitu penelitian biomedis, eutanasia, transplantasi organ dan jaringan tubuh, implant, bedah plastik dan rekonstruksi, transfusi darah, bedah mayat, abortus, rekayasa genetika dan teknologi reproduksi buatan kesehatan jiwa, pengobatan tradisional.99 Bahkan dapat dijelaskan bahwa penegakan hukum pidana selalu bersentuhan dengan moral dan etika. Hal ini paling tidak didasarkan atas 4 (empat) alasan : (1) Sistem peradilan pidana secara khas melibatkan penggunaan paksaan atau kadang-kadang bahkan kekerasan (coercion) dengan kemungkinan terjadinya kesempatan untuk menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power); (2) Hampir semua professional dalam penegakan hukum pidana merupakan pegawai pemerintah (public servant) yang memiliki kewajiban khusus terhadap publik yang dilayani; (3) Bagi setiap orang, etika dapat digunakan sebagai alat guna membantu memecahkan dilema etis yang dihadapi seseorang dalam kehidupan professionalnya (enlightened moral judgment); dan (4) Dalam kehidupan profesi sering dikatakan bahwa ‖a set of ethical requirements are as part of its meaning‖.100. Perlu pengaturan baik secara hukum maupun bioetika karena menurut pandangan Frans Magniz – Suseno sebagaimana dikutip oleh A. Dinajani S. Abidin Mahdi sebagai berikut :
99 100
Desertasi
Ibid. Muladi II, op.cit., h. 103.
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
72
Profesi medis mengalami pengosongan terus-menerus dari unsur etis. Hal ini disebabkan oleh adanya dua tendensi. Pertama, kemajuan teknologi perawatan kesehatan yang terus berkembang pesat, kedua komersialisasi praktek profesi medis. Dua tendensi tersebut cenderung menyingkirkan perhatian terhadap tuntutan-tuntutan etika medis.101 Empat prinsip dasar moral bioetika sebagaimana dikemukakan oleh Rustadi Sosromihardjo yang dikutip oleh A. Dinajani S. Abidin Mahdi adalah : prinsip berbuat baik, prinsip tidak merugikan, prinsip menghormati otonomi pasien, dan prinsip keadilan. Sebagai prinsip dasar moral, keempat prinsip tersebut akan mengalami perubahan nuansa sejalan dengan perubahan penalaran dan kehidupan sosial masyarakat.102 Lara Rosen, Aidan R. Vining, David L. Weimer dalam tulisannya
yang
berjudul
“Addressing
The
Shortage
Of
Kidneys
For
Transplantation: Purchase And Allocation Through Chain Auctions‖ menjelaskan bahwa permasalahan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia dalam norma etika dapat dijelaskan : “…commodification may raise ethical concerns related to two key social values: human dignity and altruism‖.103 Eurepan
Commission
juga
kompleksitasnya permasalahan etika
menjelaskan
tentang
banyak
dan
dalam hal transplantasi organ dan/atau
jaringan tubuh manusia sebagai berikut: There are many complex and sensitive ethical issues in this area, and it became clear that several of these aspects are dealt with differently in different countries. The main areas in the field of ethics and organ transplantation are: 101
A. Dinajani S. Abidin Mahdi, Quo Vadis Kliniko Mediko Legal Indonesia, FKUI, Jakarta, 2008, h.3. 102
Ibid., h. 4.
103
Lara Rosen, Aidan R. Vining , dan David L. Weimer , “Addressing The Shortage Of Kidneys For Transplantation: Purchase And Allocation Through Chain Auctions‖ , 36 J. Health Pol. Pol'y & L. 717, Journal of Health Politics, Policy & Law, Duke University Press, 2011, h. 4.
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
73
Donation - donation should be voluntary and altruistic with legal and ethical contexts clearlydefined. Consent – Member States should ensure that there is a legal basis for ensuring valid consent or objection to organ donation. Financial gain - Measures should be taken to prohibit financial gain, except full reimbursement of expenses for medical or social costs to remove disincentives to donation. Organ trade – Organ trafficking should be banned as should any trade in people for thepurpose of organ retrieval. Patients with transplanted organs from unknown or uncontrolled origin should be offered follow-up care. Anonymity and Confidentiality - Data from donors and recipients should be protected, provided that traceability is ensured, except in the case of a living donor with a close relationship to the recipient. Transparency, Equity and Accessibility - All transplant systems rules (allocation, access to transplant services, activity data, etc.) should be made public and be properly controlled. Any unjustified discrimination in the access to transplant waiting lists and/or therapeutic procedures should be avoided. Due to basic differences in the geographic and organizational structures in Member States, such rules need to be established and followed nationally. Cooperation between Member States should be stressed. Efficient systems for information to the population, patients and professionals should be put in place. Cooperation between all groups involved (public, media, professionals, etc) should be stressed. Death certification - Organ retrieval from the deceased may take place only after death certification. Death certification should be a matter of national legally binding rules that should be made public.104 Penjelasan di atas menunjukkan bahwa transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia juga merupakan permasalahan etika perlu mendapatkan perhatian secara bersama.
2. Norma Agama Selain mengkaji dari norma etika sebagaimana dipaparkan di atas, pembahasan tentang kegiatan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia 104
European Commission, Directorate-General Health and Consumer Protection, “Organ Donation and Transplantation Policy Option At EU Level – Consultation Document‖, http://ec.europa.eu/health/ph_threats/human_substance/oc_organs/consultation_paper.pdf, 27 Juni 2006
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
74
juga dapat dikaji dalam norma agama. Pada prinsipnya semua agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa pada dasarnya tidak melarang transplantasi ini, asal penentuan mati dan penyelenggaraan jenazah terjamin sehingga tidak terjadi penyalahgunaan. Dengan transplantasi, ilmu kedokteran membuktikan bahwa manusia yang meninggal dunia pun masih dapat berbuat amal saleh terhadap saudara-saudaranya yang sedang menderita penyakit. Jelaslah bahwa transplantasi berfungsi sebagai usaha pengobatan. Di dalam prinsip syariah, tidak ada perselisihan dalam hal boleh atau tidaknya transplantasi organ ataupun jaringan, mengingat transplantasi organ merupakan suatu tuntutan, kebutuhan dan alternatif medis modern. Di dalam simposium Nasional II mengenai masalah “Transplantasi Organ” yang telah diselenggarakan oleh Yayasan Ginjal Nasional pada tangal 8 September 1995 di arena PRJ Kemayoran, telah ditandatangani sebuah persetujuan antara lain wakil dari PB NU, PP Muhammadiyah, MUI disetujui pula oleh wakil-wakil lain dari berbagai kelompok agama di Indonesia. diperbolehkannya transplantasi organ tersebut juga ditegaskan oleh Dr. Quraisy Syihab bahwa; “Prinsipnya, maslahat orang yang hidup lebih didahulukan.” selain itu KH. Ali Yafie juga menguatkan bahwa ada kaedah ushul fiqh yang dapat dijadikan penguat pembolehan transplantasi yaitu “hurmatul hayyi a‘dhamu min hurmatil mayyiti” (kehormatan orang hidup lebih besar keharusan pemeliharaannya daripada yang mati). Lebih rinci, masalah transplantasi dalam kajian hukum syariah Islam diuraikan menjadi dua bagian besar pembahasan yaitu, Pertama : Penanaman organ/jaringan tubuh yang diambil dari tubuh yang sama. Kedua : Penanaman
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
75
organ/jaringan yang diambil dari individu lain yang dirinci lagi menjadi dua persoalan yaitu : penanaman organ/jaringan yang diambil dari individu orang lain baik yang masih hidup maupun sudah mati, dan penanaman organ/jaringan yang diambil dari individu binatang baik yang tidak najis/halal maupun yang najis/haram.105 Sesuai dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) ternyata tidak semua pemberian donor dibenarkan melainkan adanya tindakan-tindakan yang diatur dalam 7 (tujuh) fatwa hasil Musyawarah Majelis Ulama Indonesia tanggal 27 Juli 2010 antara lain: 1. membolehkan asas pembuktian terbalik dalam kasus hukum tertentu misalnya untuk pembuktian kekayaan seseorang yang diduga diperoleh secara tidak sah; 2. membolehkan pilot yang sedang bertugas tidak berpuasa di bulan Ramadan. Bagi yang terbang terus-menerus dapat mengganti puasa dengan fidyah, sementara yang temporal bisa mengganti dengan puasa di lain hari; 3. mengharamkan kawin kontrak atau nikah wisata; 4. operasi ganti kelamin tanpa ada alasan alamiah dalam diri yang bersangkutan sesuai regulasi Kementerian Kesehatan diharamkan. Pengharaman ini juga berlaku bagi tenaga medis yang melakukan. Namun MUI membolehkan penyempurnaan alat kelamin; 5. mengharamkan donor sperma dan bank sperma. Namun Bank Air Susu Ibu dibolehkan; 6. mengharamkan donor organ jika pendonor masih hidup. Pendonor harus sudah meninggal, sukarela dan tidak komersial. Sementara donor organ binatang dibolehkan jika tak ada pilihan lain; 7. mengharamkan pemberitaan, penyiaran dan penayangan aib orang. Pengecualian hanya demi kepentingan umum seperti untuk penegakan hukum. MUI kembali mengeluarkan fatwa haram tentang pencangkokan atau transplantasi organ tubuh yang dilakukan dengan unsur hibah, wasiat dengan meminta atau tanpa imbalan, atau melalui bank organ tubuh. Donor organ tubuh
105
http://buyung30.wordpress.com/2009/02/27/sejarah-transplantsi-dan-hukum-donor-jaringantubuh-menurut-islam/, ‖Sejarah Transplantasi Dan Hukum Donor Jaringan Tubuh Menurut Islam‖, diunduh tanggal 5 Mei 2011, h. 4.
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
76
diperbolehkan jika sang pendonor telah meninggal dunia dan disaksikan kematiannya oleh dokter atau ahli.106 Melalui Fatwa dari MUI ini menujukkan bahwa transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia hanya diperbolehkan dengan ketentuan bahwa pendonor telah meninggal dunia. Tidak diperbolehkan melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari organ tubuh pendonor yang masih hidup. Transplantasi organ yang berasal dari organ binatang masih diperbolehkan sepanjang tidak ada pilihan lain. Pemberian donor juga didasarkan pada sukarela dan tidak bersifat komersial. Oleh karenanya Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia juga mengharamkan jual beli organ tubuh. Namun pada akhirnya perubahan sikap dari MUI tersebut diklarifikasi dan ternyata terjadi perbedaan penafsiran dan pemahaman, khususnya dari segi medis, yaitu tingkat keamanan bagi pendonor yang hidup saat akan mendonorkan organ tubuhnya. Pada akhirnya, hal ini telah diselesaikan melalui komunikasi para pakar medis dengan pihak MUI. Hasilnya, fatwa haram bagi pendonor hidup untuk mendonorkan organ tubuhnya akan diperbaharui dalam fatwa MUI berikutnya. Hal ini membuktikan bahwa persoalan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia dari sisi agama (islam) relatif tidak ada masalah yang mendasar. Sementara dalam pandangan agama lain, yaitu agama katolik, sebagaimana yang dikemukakan oleh William P. Saunders yang telah diterjemahkan oleh Yesaya adalah bahwa pada umumnya Gereja Katolik memperkenankan transplantasi organ tubuh. Dalam Evangelium Vitae, Bapa Suci Yohanes Paulus II menyatakan bahwa 106
http://metronews.fajar.co.id/read/99891/10/mui-haramkan-cangkok-organ-tubuh, “MUI Haramkan Cangkok Organ Tubuh”, 28 Juli 2010.
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
77
ada kepahlawanan harian, yang terdiri dari amal perbuatan berbagi sesuatu, besar atau kecil, yang menggalang kebudayaan hidup yang otentik. Teladan amal perbuatan yang secara khas layak dipuji seperti itu ialah pendermaan organ-organ, yang dilaksanakan melalui cara yang dari sudut etika dapat diterima, dengan maksud menawarkan kemungkinan kesehatan dan bahkan hidup sendiri kepada orang sakit, yang kadang sudah tidak mempunyai harapan lain lagi” (No. 86). Ajaran ini menggemakan Katekismus Gereja Katolik: “Transplantasi sesuai dengan hukum susila dan malahan dapat berjasa sekali, kalau bahaya dan resiko fisik dan psikis, yang dipikul pemberi, sesuai dengan kegunaan yang diharapkan pada penerima” (No. 2296). Guna memahami ajaran ini dengan lebih baik, marilah bergerak selangkah demi selangkah. Perlu dicatat bahwa masalah ini pertama kali dibahas dengan jelas oleh Paus Pius XII pada tahun 1950-an, dan kemudian disempurnakan sesuai dengan kemajuan-kemajuan yang berhasil dicapai dalam bidang medis. Pertama-tama, dibedakan antara transplantasi organ tubuh (termasuk jaringan) dari seorang yang telah meninggal dunia ke seorang yang hidup, versus transplantasi organ tubuh (termasuk jaringan) dari seorang yang hidup ke seorang lainnya. Dalam kasus pertama, yaitu apabila donor organ tubuh adalah seorang yang telah meninggal dunia, maka tidak timbul masalah moral. Paus Pius XII mengajarkan, “Seorang mungkin berkehendak untuk mendonorkan tubuhnya dan memperuntukkannya bagi tujuan-tujuan yang berguna, yang secara moral tidak tercela dan bahkan luhur, diantaranya adalah keinginan untuk menolong mereka
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
78
yang sakit dan menderita.107 Lebih lanjut dijelaskan oleh William P. Saunders bahwa : Transplantasi organ tubuh dari seorang donor hidup ke seorang lainnya jauh lebih rumit. Kemampuan untuk melakukan transplantasi ginjal yang pertama kali pada tahun 1954 menimbulkan suatu debat sengit di antara para teolog. Debat berfokus pada prinsip totalitas - dimana dalam keadaan-keadaan tertentu seorang diperkenankan untuk mengorbankan salah satu bagian atau salah satu fungsi tubuhnya demi kepentingan seluruh tubuh. Sebagai contoh, seorang diperkenankan mengangkat suatu organ tubuh yang sakit demi memelihara kesehatan seluruh tubuhnya, misalnya mengangkat rahim yang terserang kanker. Namun demikian, para teolog ini berargumentasi bahwa seorang tidak dapat dibenarkan mengangkat suatu organ tubuh yang sehat dan mendatangkan resiko masalah kesehatan di masa mendatang apabila hidupnya sendiri tidak berada dalam bahaya, misalnya pada kasus seorang mengorbankan sebuah ginjal yang sehat untuk didonorkan kepada seorang yang membutuhkan. Operasi yang demikian, menurut mereka, mendatangkan pengudungan yang tidak perlu atas tubuh dan karenanya amoral. Sebagian teolog lainnya beragumentasi dari sudut pandang belas kasih persaudaraan, yaitu bahwa seorang yang sehat yang mendonorkan sebuah ginjal kepada seorang yang membutuhkan, melakukan suatu tindakan pengorbanan yang sejati demi menyelamatkan nyawa orang. Kemurahan hati yang demikian sesuai dengan teladan Tuhan Sendiri di salib, dan merefleksikan ajaran-Nya pada saat Perjamuan Malam Terakhir, ―Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabatsahabatnya‖ (Yoh 15:12-13). Menurut para teolog ini, korban yang demikian secara moral dapat diterima apabila resiko celaka pada donor, baik akibat operasi itu sendiri maupun akibat kehilangan organ tubuh, proporsional dengan manfaat bagi si penerima. Bergerak dari alasan ini, para teolog yang “pro-transplantasi” mempertimbangkan kembali prinsip totalitas. Mereka mengajukan argumentasi bahwa meski transplantasi organ tubuh dari donor hidup tidak melindungi keutuhan anatomis atau fisik (yakni adanya kehilangan suatu organ tubuh yang sehat), namun sungguh memenuhi totalitas fungsional (yakni terpeliharanya fungsi dan sistem tubuh sebagai suatu kesatuan). Sebagai contoh, seorang dapat mengorbankan satu ginjalnya yang sehat (adanya kehilangan dalam keutuhan anatomis) dan masih dapat memelihara kesehatan dan fungsi tubuh yang layak dengan ginjal yang tersisa; donor yang demikian secara moral diperkenankan. Tetapi, dengan alasan yang sama, seorang tidak dapat mengorbankan satu matanya untuk diberikan kepada seorang buta, sebab tindakan yang demikian menganggu fungsi tubuhnya. 107
William P. Saunders, ”Transplantasi Organ dan Tubuh‖, Yesaya (terjemahan), diakses dari http://www.indocell.net/yesaya/pustakaz/id454.htm, diunduh tanggal 5 Mei 2011, h. 1.
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
79
Paus Pius XII setuju dengan pemahaman belas kasihan ini dan juga tafsiran yang lebih luas dari prinsip totalitas; sebab itu beliau memaklumkan transplantasi organ tubuh dari seorang donor hidup secara moral diperkenankan. Bapa Suci menggarisbawahi point bahwa donor mempersembahkan korban diri demi kebaikan orang lain. Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan point ini, “… Setiap transplantasi organ tubuh bersumber dari suatu keputusan yang bernilai luhur : yakni keputusan untuk memberi satu bagian dari tubuhnya sendiri tanpa imbalan demi kesehatan dan kebaikan orang lain. Di sinilah tepatnya terletak keluhuran tindakan ini, suatu tindakan yang adalah tindakan kasih sejati. Bukan sekedar memberikan sesuatu yang adalah milik kita, melainkan memberikan sesuatu yang adalah diri kita sendiri….” (Amanat kepada Partisipan dalam Kongres Transplantasi Organ, 20 Juni 1991, No. 3). Namun demikian, transplantasi organ tubuh dari seorang donor hidup kepada seorang yang lain wajib memenuhi empat persyaratan: (1) resiko yang dihadapi donor dalam transplantasi macam itu harus proporsional dengan manfaat yang didatangkan atas diri penerima; (2) pengangkatan organ tubuh tidak boleh mengganggu secara serius kesehatan donor atau fungsi tubuhnya; (3) perkiraan penerimaan adalah baik bagi si penerima, dan (4) donor wajib membuat keputusan dengan penuh kesadaran dan bebas dengan mengetahui resiko yang mungkin terjadi.108 Selain itu dari sudut pandang Agama Hindu transplantasi organ tubuh manusia diperkenankan dengan dasar alasan kemanusiaan secara sukarela untuk menolong nyawa manusia lain, yang tidak diperkenankan menjadikan organ tubuh manusia sebagai objek jual beli secara komersial. Tindakan transplantasi harus didahului dengan serangkaian prosedur yang harus dilalui oleh pasien, selain prosedur test kesehatan terdapat prosedur yang wajib dilakukan oleh pasien yaitu membuat persetujuan secara tertulis tentang kesediaannya menjalani transplantasi organ. Agama Hindu tidak melarang umatnya untuk melaksanakan transplantasi organ tubuh dengan dasar yajna (pengorbankan tulus iklas dan tanpa pamrih) untuk kesejahteraan dan kebahagiaan sesama umat manusia. Transplantasi sebagai salah satu bentuk pelaksanaan ajaran Panca Yajna terutama Manusa Yajna serta 108
Desertasi
Ibid., h. 2 – 4.
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
80
disesuaikan dengan adat desa setempat karena Agama Hindu sangat fleksibel dan mengikuti perkembangan zaman.109 Menurut ajaran Hindu transplantasi organ tubuh dapat dibenarkan dengan alasan, bahwa pengorbanan (yajna) kepada orang yang menderita, agar dia bebas dari penderitaan dan dapat menikmati kesehatan dan kebahagiaan, jauh lebih penting, utama, mulia dan luhur, dari keutuhan organ tubuh manusia yang telah meninggal. Tetapi sekali lagi, perbuatan ini harus dilakukan di atas prinsip yajna yaitu pengorbanan tulus iklas tanpa pamrih dan bukan dilakukan untuk maksud mendapatkan keuntungan material. Alasan yang lebih bersifat logis dijumpai dalam Kitab Bhagawadgita II.22 sebagai berikut: “Wasamsi jirnani yatha wihaya nawani grihnati naro‘parani, tatha sarirani wihaya jirnany anyani samyati nawani dehi” Artinya : seperti halnya seseorang mengenakan pakaian baru dan membuka pakaian lama, begitu pula Sang Roh menerima badan-badan jasmani yang baru, dengan meninggalkan badan-badan lama yang tiada berguna. Kematian adalah berpisahnya Jiwatman atau roh dengan badan jasmani ini. Badan Jasmani atau sthula sarira (badan kasar) terbentuk dari Panca Maha Bhuta (apah = unsur cair, prethiwi = unsur padat, teja = unsur sinar, bayu = unsur udara dan akasa = unsur ether) ibarat pakaian. Apabila badan jasmani (pakaian) sudah lama dan rusak, kita akan membuangnya dan menggantikannya dengan pakaian yang baru (Heri, 2008). Prinsip kesadaran utama yang diajarkan dalam agama Hindu adalah bahwa badan identitas kita yang sesungguhnya bukanlah badan jasmani ini, melainkan adalah 109
Made Wirnata, ”Transplantasi Organ Dari Pandangan Agama Hindu, Masalah Etika dan Moral, Aspek Hukum, Aspek Etika Kedokteran”, diakses dari http://wirnursing.blogspot.com/2009/07/trasplantasi-organ.html, diunduh tanggal 5 Mei 2011.
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
81
Jiwatman (roh). Badan jasmani merupakan benda material yang dibangun dari lima zat (Panca Maha bhuta) dan akan hancur kembali menyatu ke alam makrokosmos dan tidak lagi mempunyai nilai guna. Sedangkan Jiwatman adalah kekal, abadi, dia tidak mati pada saat badan jasmani ini mati, senjata tidak dapat melukaiNya, api tidak bisa membakarNya, angin tidak bisa mengeringkan-Nya dan air tidak bisa membasahi-Nya.Wejangan Sri Kresna kepada Arjuna dalam Bhagawadgita: “Engkau tetap kecil karena sepanjang waktu engkau menyamakan dirimu dengan raga jasmani. Engkau berpikir, “Aham dehasmi”, „aku adalah badan‟, pikiran ini menyebabkan engkau tetap kecil. Tetapi majulah dari aham dehasmi ke aham jiwasmi, dari aku ini raga ke aku ini jiwa, percikan Tuhan (Heri, 2008). Berkat kemajuan dan bantuan teknologi canggih dibidang medis (kedokteran), maka sistem pencangkokan organ tubuh orang yang telah meninggalpun masih dapat dimanfaatkan kembali bagi kepentingan kemanusiaan. Dialog spiritual Sri Kresna dengan Arjuna dalam kitab Bhagawadgita dapat ditarik suatu makna bahwa badan jasmani ini diumpamakan sebagai pakaian sementara bagi roh (atman) yang tidak kekal, mudah rusak dan hancur, yang kekal adalah jiwatman. Oleh karena itu, ajaran Hindu tidak melarang umatnya untuk melaksanakan transplantasi organ tubuh dengan dasar yajna (pengorbankan tulus iklas dan tanpa pamrih) untuk kesejahteraan dan kebahagiaan sesama umat manusia. Demikian pandangan agama Hindu terhadap transplantasi organ tubuh sebagai salah satu bentuk pelaksanaan ajaran Panca Yajna terutama Manusa Yajna (Heri, 2008).
110
Setelah membahas
dari pandangan berbagai agama, pada hakikatnya norma agama tidak melarang 110
Desertasi
Ibid., h. 11 – 12.
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
82
adanya transplantasi organ dan atau jaringan tubuh manusia dengan tujuan demi kemaslahatan umat manusia.
3. Norma Hukum Hukum tegas mengatur perbuatan-perbuatan manusia yang bersifat lahiriyah, dan hukum mempunyai sifat untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan-kepentingan para warga masyarakat. Khususnya di dalam menciptakan keseimbangan tersebut bukanlah berarti bahwa tujuan daripada hukum adalah semata-mata untuk menghilangkan konflik dalam masyarakat. Hal ini tidak mungkin terpenuhi, oleh karena konflik merupakan gejala yang ada di dalam setiap masyarakat.111 Hukum bertujuan untuk menetralisir atau mengalihkan konflik tersebut ke arah suatu keseimbangan yang dapat diterima oleh masyarakat. 112 Tujuan pokok dari hukum adalah untuk menciptakan ketertiban, oleh karena ketertiban merupakan syarat terpokok daripada adanya suatu masyarakat yang teratur, hal mana berlaku bagi masyarakat manusia di dalam segala bentuknya. Dengan demikian maka pengertian-pengertian manusia, masyarakat dan hukum, merupakan pengertianpengertian yang tidak dapat dipisah-pisahkan.113 Disamping ketertiban, maka hukum juga bertujuan untuk mencapai keadilan yang pada hakikatnya berakar pada 111
Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Cetakan Keempat, UI Press, Jakarta, 1983, h. 4 (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I). 112
Ibid.
113
Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Peladjaran Tata Hukum Indonesia, Penerbit P.D. Aksara, Djakarta, 1971, h. 41.
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
83
kondisi yang pada suatu waktu tertentu diinginkan oleh sesuatu masyarakat yang tertentu. Biasanya konsepsi tentang keadilan tersebut baru menonjol apabila wargawarga masyarakat menghadapi hal-hal yang dirasakan tidak adil.114 Di dalam hal ini hukum bertugas agar supaya warga-warga dan golongan-golongan dalam masyarakat merasa dirinya mendapat penghargaan yang sewajarnya dari fihak-fihak lain, dan agar supaya setiap warga maupun golongan tidak merasa dirugikan karena tindakan-tindakan dari fihak-fihak lain.115 Agar tercapai ketertiban dalam masyarakat, maka diusahakan untuk mengadakan kepastian di dalam pergaulan antar manusia di dalam masyarakat.116 Norma Hukum adalah ketentuan-ketentuan yang kompleks mengenai kehidupan dan penghidupan manusia dalam pergaulan sehari-hari, yang berlaku pada waktu dan tempat tertentu. Norma tersebut harus ditaati baik sebagai perseorangan maupun dalam hubungan bermasyarakat. Terhadap aturan-aturan tersebut seorang harus menyesuaikan tingkah-laku, tidak peduli apakah ia mengakui atau tidak aturan-aturan itu. Norma hukum yang dimaksudkan terbatas pada tingkah laku manusia saja dan yang ada hubungannya dengan tingkah laku tersebut.117 Dalam hukum sebagai suatu kesatuan sistem terdapat (1) elemen kelembagaan
114
Soerjono Soekanto, Beberapa Faktor Sosial-Budaya yang mempengaruhi Keadilan Dalam Praktek Penegakan Hukum di Indonesia, dimuat dalam Madjalah Fakultas Hukum U. I., nomor 2/1972, 1972 (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto II). 115
Selo Soemardjan, Peranan Ilmu-ilmu Sosial Dalam Pembangunan, Pidato Ilmiah Dies Natalis U.I. ke XXII, Humas, U.I., Djakarta, 1972. 116
Soerjono Soekanto I, op.cit., h. 4 - 5.
117
S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Alumni Ahaem – Petehaem, Jakarta, 1986, h. 28
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
84
(elemen institusional); (2) elemen kaidah aturan (elemen instrumental); (3) elemen perilaku para subjek hukum yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan itu (elemen subjektif dan kultural).118 Di dalam suatu negara betapa baiknya suatu peraturan perundang-undangan jika tidak disertai dengan jaminan pelaksanaan hukum yang baik niscaya pembangunan hukum akan menjadi sia-sia. Pembangunan hukum barus benar-benar mampu mewujudkan jaminan atas terciptanya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia (Sila 5), pembangunan hukum harus mampu menjamin hak kodrat dan hak asasi manusia (Sila 1 dan 2), serta mampu menjamin persatuan dan kedaulatan rakyat (Sila 3 dan 4). Pelaksanaan pembangunan hukum akan dapat berjalan dengan baik apabila ditunjang hukum dan aparat penegak hukum yang memiliki landasan nilai-nilai serta norma yang bersumber dari nilai-nilai dan pandangan hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila (Kaelan, 2001:252). Pancasila sebagai base-values masih belum sepenuhnya menjadi kenyataan. Sebagai goal-values baru sila ketuhanan dan persatuan yang sudah menjadi kenyataan namun nilai-nilai kemanusiaan, kerakyatan dan keadilan masih jauh dari kenyataan (Arief Sidharta, 2000:184).119 Terkait dengan pembahasan tentang transplantasi yang merupakan bagian pula dari hukum kesehatan terdapat persamaan dan perbedaan antara norma etika dan norma hukum sebagaimana dikemukakan oleh M. Jusuf Hanafiah sebagai berikut :
118
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2009, h. 3. 119
Desertasi
Muladi II, op.cit., h. 33.
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
85
Persamaan etik dan hukum 1. Sama-sama merupakan alat untuk mengatur tertibnya hidup bermasyarakat. 2. Sebagai objeknya adalah tingkah laku manusia. 3. Mengandung hak dan kewajiban anggota masyarakat agar tidak saling merugikan. 4. Menggugah kesadaran untuk bersikap manusiawi. 5. Sumbernya adalah hasil pemikiran para pakar dan pengalaman para anggota senior. Perbedaan etik dan hukum 1. Etik berlaku untuk lingkungan profesi, hukum berlaku untuk umum. 2. Etik disusun berdasarkan kesepakatan anggota profesi, hukum disusun oleh badan pemerintah. 3. Etik tidak seluruhnya tertulis, hukum tercantum secara terinci dalam kitab undang-undang dan lembaran/berita negara. 4. Sanksi terhadap pelanggaran etik berupa tuntutan, sanksi terhadap pelanggaran hukum berupa tuntutan. 5. Pelanggaran etik diselesaikan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang dibentuk oleh Komisi Kedokteran Indonesia dan atau oleh Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK), yang dibentuk oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI), pelanggaran hukum diselesaikan oleh Pengadilan. 6. Penyelesaian pelanggaran etik tidak selalu disertai bukti fisik, penyelesaian pelanggaran hukum memerlukan bukti fisik.120 Etika medis mempunyai tugas pokok untuk memahami nilai-nilai manusiawi yang perlu dipertahankan dan dikembangkan dalam pelayanan kesehatan dan pelayanan medis. Etika itu berusaha memahami prinsip-prinsip dasar kehidupan manusia yang tidak boleh dilupakan oleh orang-orang yang bergerak dalam bidang medis, yang berurusan dengan kehidupan, kesehatan dan kematian manusia. Etika medis merupakan bagian dari etika yang secara khusus memperhatikan pelaksanaan dan perencanaan pelayanan medis, semangat yang mendasarinya mencoba memahami pelayanan medis yang dilakukan oleh para dokter dan perawat. Etika medis yang cikal bakalnya bersumber pada ajaran 120
Desertasi
M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir II, op.cit., h. 5 – 6.
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
86
Hippocrates (460-377 SM), asas pokoknya terhadap pasien adalah tidak menimbulkan
mudarat
(non
maleficence),
kepercayaan
dan
kerahasiaan
(confidentiality) dan menghormati kehidupan manusia.121 Menurut Kartono Muhamad, bahwa etika kedokteran pada dasarnya berdasarkan pada prinsip beneficence, primum non nocere, adil, jujur dan menghargai otonomi pasien. Prinsip beneficence (berbuat bagi kebaikan orang lain) adalah prinsip yang menyatakan bahwa apapun yang dilakukan oleh seorang dokter adalah untuk kebaikan pasien.122 Prinsip jujur mengharuskan dokter untuk tidak membohongi pasien, serta mengkonsultasikan kepada yang lebih ahli jika tidak sanggup mengatasi sendiri. Prinsip adil adalah menuntut dokter untuk tidak membedakan perlakuan kepada pasien atas dasar tingkat sosial, suku, bangsa, ekonomi, agama dan pandangan politik, usia ataupun jenis kelamin. Sedangkan, prinsip menghargai otonomi pasien meminta dokter untuk memberi informasi yang jujur agar pasien dapat mengambil keputusan tentang diri dan kemudian dokter menghormati keputusan itu.123 Sebaliknya menurut hukum sebagaimana dikemukakan George Hurvitch yang dikutip oleh Hermien Hadiati Koeswadji menyatakan sebagai berikut : “Law is an attempt to realize in a given environment the idea of justice …, through unilateral imperative attributive regulation based on a determined link between
Desertasi
121
Marcel Seran dan Anna Maria Wahyu Setyowati, op.cit., h. 8.
122
Ibid., h. 8-9
123
Ibid., h. 9.
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
87
claims and duties‖.124 Hukum yang berusaha untuk mewujudkan keadilan akan menjadi pedoman dalam bertingkah laku. Hukum dalam wujudnya yang demikian tadi merupakan pedoman tingkah laku sebagai perwujudan ideal dari kebudayaan manusia yang bersifat abstrak.125 Hukum mengandung suatu larangan atau perintah serta memiliki ciri pokok yaitu adanya sanksi sebagaimana dikemukakan oleh Hans Kelsen dalam bukunya yang berjudul General Theory of Law and State yaitu : ―Law is the primary norm which stipulates the sanctions‖.126 Sandra H. Johnson dan Robert L. Schwartz dalam Bioethics and Law In a Nutshell menjelaskan pandapatnya sebagai berikut: Legal and ethical issues relating to organ transplantation arrange themselves around two distinct but related considerations. The first is the question of the supply of organs, involving the retrieval of human organs and efforts to increase the supply of transplantable organs. The second is the question of how scarce human organs should be allocated or distributed for transplantation.127 Menurut Hermien Hadiati Koeswadji, di dalam pembahasan mengenai fungsi hukum dan masalah medik (kesehatan) pada pokoknya terdapat 3 (tiga) pengertian yang konkrit dari hukum, yaitu : 1. Hukum dalam arti adil (keadilan) 2. Hukum dalam arti undang-undang atau peraturan (tertulis). Lazim disebut Hukum Obyektif.
Desertasi
124
Hermien Hadiati Koeswadji, op.cit., h. 4.
125
Ibid. h. 7.
126
Hans Kelsen, General Theory of Law And State, 1949, h. 61.
127
Sandra H. Johnson dan Robert L. Schwartz, op.cit., h. 192.
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
88
3. Hukum dalam arti hak. Lazim disebut Hukum Subyektif. 128 Dilihat dari segi hukum, dalam arti baik sebagai adil (keadilan), sebagai peraturan perundang-undangan, maupun sebagai hak, pada asasnya bila dikaitkan dengan hak-hak dasar yang telah melekat pada diri manusia sejak lahirnya, hukum medik (kesehatan) bertumpu pada dua dasar asasi. Dasar yang pertama ialah hak atas pemeliharaan kesehatan (‗the right to health care‘), dan yang kedua ialah hak untuk menentukan nasib sendiri (‗the right to self–determination‘ atau zelfbeschikkingsrecnt‘). Dari kedua dasar tumpuan hukum medik itu pula maka apabila pembicaraan dan membahas hukum dan masalah medik, tidak dapat dilepaskan dari hak manusia dalam kesehatan. Hak manusia dalam kesehatan itu oleh Harold Himsworth dirumuskan sebagai ‗an expectation in respect to matters affecting the interests of the individuals within a particular society which the consensus of opinion in that society accept as justifiable‘.129 Lebih lanjut menurut Hermien Hadiati Koeswadji : Mengenai fungsi hukum, pada pokoknya ada tiga, yaitu : (1) berfungsi menjaga keamanan masyarakat; (2) berfungsi melaksanakan (menerapkan) ketertiban dan peraturan perundang-undangan, serta (3) berfungsi menyelesaikan sengketa. Sedangkan kalau kita berbicara mengenai fungsi hukum dalam hubungannya dengan masalah medik (kesehatan), akan sangat erat hubungannya dengan melaksanakan ketertiban dan peraturan perundang-undangan. Titik berat daripada tujuan pelaksanaan profesi dokter tidak lagi terletak pada segi penyembuhan („curing‟), tetapi lebih menitikberatkan pada segi pemeliharaan („caring‟), dan bahkan rehabilitasi. Kata „caring‟ mencakup pengertian yang lebih luas daripada sekedar penyembuhan („curing‟), dimana penyembuhan
128
Hermien, loc. cit.
129
Norman Fost, ‘Human Rights in Health’, dalam Pediatrics, Vol. 58, No. 4, Oktober 1976 h. 634, dikutip dari Harold Himsworth, ‘The Human Right to Life : its Nature and Origin‘, in Hilton et. al. (eds.) : Ethical Issues in Human Genetics, New York, Plenum Press, 1973.
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
89
(„curing‟) bersifat represif, sedang pemeliharaan („caring‟) bersifat represif dan preventif.130 Menurut Leoped Pospisil sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto, dasar-dasar hukum adalah sebagai berikut : a. Hukum merupakan suatu tindakan yang berfungsi sebagai pengendalian sosial. Agar supaya dapat dibedakan antara hukum dengan kaedah-kaedah lainnya, dikenal adanya empat tanda hukum atau attributes of law. b. Tanda yang pertama dinamakannya attribute of authority, yaitu bahwa hukum merupakan keputusan-keputusan dari fihak-fihak yang berkuasa dalam masyarakat, keputusan-keputusan mana ditujukan untuk mengatasi ketegangan-ketegangan yang terjadi di dalam masyarakat. c. Tanda yang kedua disebut attribute of intention of universal application yang artinya adalah bahwa keputusan-keputusan dari orang-orang yang mempunyai daya jangkau yang panjang untuk masa-masa mendatang. d. Attribute of obligation merupakan tanda ketiga yang berarti bahwa keputusan-keputusan penguasa harus berisikan kewajiban-kewajiban fihak ke satu terhadap fihak ke dua dan sebaliknya. Dalam hal ini semua fihak harus masih di dalam keadaan hidup. e. Tanda keempat disebut dengan attribute of sanction menentukan bahwa keputusan-keputusan dari fihak yang berkuasa harus dikuatkan dengan sanksi yang didasarkan pada kekuasaan masyarakat yang nyata.131 Di dalam membicarakan hukum dan masalah medik (kesehatan), hukum mempunyai peran dan fungsi yang penting sesuai dengan tujuan daripada hukum itu sendiri, yaitu untuk menjaga ketertiban dan ketenteraman masyarakat. Dalam pengertian „menjaga ketertiban dan ketenteraman‟ itu tersimpul fungsi hukum yang meminjam istilah yang dipergunakan oleh Roscoe Pound sebagai alat untuk mengontrol apakah hukum sudah ditepati sesuai dengan tujuannya. Dalam fungsinya sebagai alat untuk ‗social engineering‘ hukum dalam hubungannya dengan menyelesaikan masalah medik (kesehatan) sangat erat berkait dengan
Desertasi
130
Hermien Hadiati Koeswadji, op. cit. h. 9.
131
Soerjono Soekanto I, op.cit., h. 16.
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
90
kepentingan diadakannya hukum tersebut untuk merubah masyarakat sesuai dengan tujuannya.132 Menurut Hermien Hadiati Koeswadji, hukum medik (kesehatan) dapat didekati dari segi hukumnya yaitu : Pertama-tama, hukum medik (kesehatan) dari segi hukum perdata, hukum pidana, dan hukum administrasi. Keduanya hukum medik (kesehatan) dapat juga didekati dari segi obyeknya. Pendekatan dari segi obyek dapat ditinjau dari sudut-sudut kesehatan lingkungan (‗millieuhygiene‘), pelaksanaan profesi, pemeliharaan preventif, dan hukum medik internasional. Ketiga, hukum medik (kesehatan) dapat didekati dari segi subyeknya, yaitu pasien, dokter, dan pemerintah. Ketiga cara pendekatan terhadap studi ilmiah hukum medik (kesehatan) tersebut tidak menutup kemungkinan diadakannya pendekatan kombinasi atau gabungan.133 Hukum pada umumnya diartikan sebagai keseluruhan kumpulan peraturanperaturan tertulis dan kaidah-kaidah dalam suatu masyarakat sebagai susunan sosial, keseluruhan peraturan tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan memberikan sanksi bila dilanggar. Tujuan pokok dari hukum ialah menciptakan suatu tatanan hidup dalam masyarakat yang tertib dan sejahtera di dalam keseimbangan-keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban di dalam masyarakat, diharapkan kepentingan manusia akan terlindung.134 Permasalahan mengenai mengapa bidang kesehatan perlu diatur oleh hukum, disebabkan karena pembangunan bidang kesehatan ditentukan oleh 3 (tiga) faktor, yaitu : 132
Hermien Hadiati Koeswadji, op. cit., h. 11 - 12.
133
Ibid., h. 12 – 13.
134
Pitono Soeparto et al (ed.), Etik Dan Hukum di Bidang Kesehatan, Edisi Kedua, Airlangga University Press, Surabaya, 2006, h. 129.
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
91
-
perlunya perawatan kesehatan diatur dengan langkah-langkah/tindakan konkret oleh pemerintah; - perlunya pengaturan hukum dilingkungan sistem perawatan kesehatan; - perlunya kejelasan yang membatasi antara perawatan kesehatan dan tindakan medis tertentu. Ketiga faktor tersebut memerlukan hukum untuk melindungi pemberi dan penerima jasa pelayanan kesehatan, agar ada kepastian hukum dalam melaksanakan tugas profesinya.135 Hukum kesehatan mencakup segala peraturan dan aturan yang secara langsung berkaitan dengan pemeliharan dan perawatan kesehatan yang terancam atau kesehatan yang rusak. Hukum kesehatan juga mencakup penerapan hukum perdata umum dan hukum pidana umum yang berkaitan dengan hubungan hukum dalam pelayanan kesehatan. Health law is the body of rules which relate directly to the care of health, as the application of general civils, criminal and administrative law (van der Mijn, 1984).136
2.
Perkembangan Pengaturan Tindak Pidana Dibidang Transplantasi Organ dan/atau Jaringan Tubuh Manusia dalam Hukum Positif di Indonesia. Sebagaimana telah dijelaskan dalam sub bab terdahulu bahwa pada
hakikatnya transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia merupakan suatu teknologi medis untuk penggantian organ tubuh atau jaringan tubuh pasien yang tidak berfungsi dengan organ atau jaringan tubuh dari individu lain. Sejak kesuksesan transplantasi yang pertama kali berupa ginjal dari donor kepada pasien gagal ginjal pada tahun 1954, perkembangan dibidang transplantasi maju dengan
Desertasi
135
Ibid., h. 129 – 130.
136
Ibid, h. 132.
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
92
pesat. Kemajuan ilmu dan teknologi memungkinkan pengawetan organ, penemuan obat-obatan anti penolakan yang semakin baik sehingga berbagai organ dan jaringan dapat ditransplantasikan. Dewasa ini bahkan sedang dilakukan uji klinis penggunaan hewan sebagai donor. Dibalik kesuksesan dalam perkembangan transplantasi organ muncul berbagai masalah. Semakin meningkatnya pasien yang membutuhkan transplantasi, penolakan organ, komplikasi pasca transplantasi, dan resiko yang mungkin timbul akibat transplantasi telah memunculkan berbagai pertanyaan tentang etika, legalitas dan kebijakan yang menyangkut penggunaan teknologi itu.137 Secara historis, perkembangan transplantasi diawali pada tahun 600 SM di India, Susruta telah melakukan transplantasi kulit. Sementara jaman Renaissance, seorang ahli bedah dari Italia bernama Gaspare Tagliacozzi juga telah melakukan hal yang sama. John Hunter (1728 – 1793) adalah pioneer bedah eksperimental, termasuk bedah transplantasi. Dia mampu membuat kriteria teknik bedah untuk menghasilkan suatu jaringan transplantasi yang tumbuh di tempat baru. Akan tetapi sistim golongan darah dan sistim histokompatibilitas yang erat hubungannya dengan reaksi terhadap transplantasi belum ditemukan. Pada abad ke-20, Wiener dan Landsteiner menyokong perkembangan transplantasi dengan menemukan golongan darah sistem ABO dan system Rhesus. Saat ini perkembangan ilmu kekebalan tubuh makin berperan dalam keberhasilan tindakan transplantasi. Perkembangan teknologi kedokteran terus meningkat searah dengan perkembangan teknik transplantasi. Ilmu transplantasi 137
Desertasi
modern makin berkembang dengan
Djaja Surya Atmadja, loc.cit.
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
93
ditemukannya metode-metode pencangkokan, seperti : a. Pencangkokkan arteria mammaria interna di dalam operasi lintas koroner oleh Dr. George E. Green. b. Pencangkokkan jantung, dari jantung kera kepada manusia oleh Dr. Cristian Bernhard, walaupun resepiennya kemudian meninggal dalam waktu 18 hari. c. Pencangkokkan sel-sel substansia nigra dari bayi yang meninggal ke penderita Parkinson oleh Dr. Andreas Bjornklund.138 Hal ini merupakan titik awal perkembangan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia secara modern. Sejak saat itu berbagai organ dan/atau jaringan tubuh manusia mulai ditransplantasikan untuk menggantikan organ yang rusak, meliputi : transplantasi kornea, ginjal, jantung, paru, liver, muka, tangan, bahkan penis. Menurut Djaja Surya Atmadja, sejarah perkembangan transplantasi organ dari waktu ke waktu dapat dideskripsikan sebagai berikut :139 Tabel 4. Perkembangan Transplantasi Organ dan/atau Jaringan Tubuh Manusia di Dunia.
Desertasi
NO.
ORGAN
DOKTER
TAHUN
KETERANGAN
1.
Kornea
Eduard Zirm
1905
2. 3.
Paru - paru Ginjal
James Hardy -
1960 1950
4.
Jantung
1967
5. 6.
Liver Tangan
Christian Barnard Thomas Strazl -
Memindahkan kornea pada korban kecelakaan kerja Resipien : Pasien Ca Paru Resipien : Ruth Tucker, Chicago, survive 5 tahun Resipien : Luois Washkansky. Donor jenazah kll Survive 400 hari Resipien : Clint Hallam, New Zealand
138
Ibid.
139
Ibid.
1967 1998
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
7.
Uterus
-
2000
8.
Muka
-
2005
9.
Penis
-
2005
94
Di Arab Saudi, Resipien : Pasien HPP, survive 99 hari Resipien : Isabelle Dinoire, Perancis, korban penyerangan Labrador. Donor : bunuh diri (hanging) Di China, Resipien : pria 44 tahun kehilangan sebagian penis. Donor: anak muda, 23 tahun, MBO.
Transplantasi organ dan jaringan tubuh manusia merupakan tindakan medik yang sangat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan fungsi organ tubuh yang berat. Ini adalah terapi pengganti (alternatif) yang merupakan upaya terbaik untuk menolong pasien dengan kegagalan organnya, karena hasilnya lebih memuaskan dibandingkan dengan yang lain dan hingga dewasa ini terus berkembang dalam dunia kedokteran. Namun sebagaimana pula telah dipaparkan bahwa tindakan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia tersebut tidak hanya sematamata merupakan kajian dalam ilmu kedokteran melainkan juga menyangkut aspek etika, agama serta hukum. Pembahasan dalam penelitian disertasi ini akan lebih memfokuskan pada aspek hukum dengan membahas berbagai perkembangan pengaturan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh manusia di Indonesia.
a.
Pengaturan dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai Landasan Konstitusional. Perkembangan pengaturan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh
manusia di Indonesia, diawali dari UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi dalam hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
95
Perundang-undangan (selanjutnya disingkat UU No. 12/2011).140 Secara lengkap Pasal 7 ayat (1) UU No. 12/2011 menentukan : Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Disamping Pasal 7 ayat (1) UU No. 12/2011, di dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 12/2011 juga menentukan : ”Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundangundangan”. Hal ini menunjukkan bahwa UUD 1945 tidak hanya sebagai sumber dari segala sumber hukum, melainkan sebagai sumber landasan filosofis yang menentukan arah rasional pengaturan berbagai ketentuan
yuridis termasuk
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Tak terkecuali pengaturan terkait transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagai suatu tindakan medis pada umumnya maupun sebagai suatu bentuk tindak pidana pada khususnya. Pembahasan tentang transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia merupakan manifestasi dari upaya peningkatan kesehatan masyarakat. Oleh karenanya maka pokok pembahasan akan menyentuh pada persoalan kesehatan secara umum/makro.
140
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 No. 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234.
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
96
Persoalan kesehatan secara umum pada pokoknya adalah persoalan kesejahteraan masyarakat secara umum. UUD 1945 merupakan sumber hukum tertinggi sekaligus sumber nilai filosofis yang memberi landasan moral dalam setiap pengaturan ketentuan perundang-undangan di Indonesia. Terdapat 2 (dua) hal pokok dalam UUD 1945, yaitu pembukaan (Preambule) dan batang tubuh. Dalam pembukaan (Preambule) UUD1945 menentukan sebagai berikut : Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Berpijak dari pembukaan (Preambule) UUD 1945 sebagaimana tersebut di atas, terdapat 4 (empat) hal mendasar yang merupakan dasar filosofis pengaturan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia, baik dalam konteks tindakan medis maupun dalam konteks tindak pidana di Indonesia, yaitu : 1. Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
97
peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. 2. Bahwa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. 3. Bahwa untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. 4. Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Penjelasan-penjelasan dari 4 (empat) hal mendasar tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut : ad.1.
Kalimat pembuka dalam pembukaan (Preambule) UUD 1945 ini merupakan jiwa atau roh serta semangat dalam pengaturan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia. Pada hakikatnya, transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh merupakan rangkaian tindakan medis untuk memindahkan organ dan/atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain atau tubuh sendiri dalam rangka pengobatan untuk menggantikan organ atau jaringan tubuh yang tak berfungsi dengan baik.
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
98
Berpijak dari pengertian transplantasi tersebut, maka ada 2 (dua) hal pokok yang menjadi kata kunci dalam transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia, yaitu hak individual (recipient) yang menderita suatu penyakit untuk memperoleh kesembuhan melalui pelayanan kesehatan berupa tindakan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh serta hak individu (pendonor) secara kemanusiaan untuk mendonorkan organ dan/atau jaringan tubuhnya guna membantu sesama yang membutuhkan pertolongan berupa pengobatan penyakit. Dalam pembukaan (preambule) UUD 1945 inilah hak dasar individu berupa Kemerdekaan (kebebasan) baik untuk menentukan kesehatannya (nasibnya) maupun hak individu sebagai sesama manusia untuk membantu sesamanya diakui dan dilindungi sebagai perwujudan dari nilai filosofis sebuah kemerdekaan suatu bangsa. Namun hak individu untuk mendapatkan kesehatan tersebut juga dibatasi dengan suatu aturan (hukum) bahwa eksploitasi (penjajahan) dalam segala bentuk terkait pelaksanaan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia harus dihapuskan. Kalimat pembuka dalam pembukaan (preambule) UUD 1945 inilah yang menjadi landasan filosofis pengaturan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia, baik dalam konteks sebagai tindakan medis maupun dalam konteks kriminalisasi jual beli organ dan/atau jaringan tubuh manusia. ad.2.
Hal mendasar berikutnya yang erat kaitannya dengan hak individu untuk memperoleh
kesehatan
yang
telah
digariskan
dalam
pembukaan
(preambule) UUD 1945 adalah tujuan utama dari kemerdekaan itu sendiri yaitu menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
99
Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Kesehatan individu adalah manifestasi dari kesejahteraan dan kemakmuran suatu bangsa yang tiada lain telah menjadi cita-cita dan tujuan hakiki dari kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia sebagai sarana pengobatan dan penyembuhan penyakit mutlak memerlukan pengaturan yuridis guna mewujudkan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia yaitu mewujudkan rakyat Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Kata kuncinya adalah kemakmuran yang merupakan landasan filosofis pengaturan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia. Kemakmuran yang diartikan sebagai upaya peningkatan kesehatan individu melalui praktik transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia. ad.3.
Landasan filosofis yang juga penting serta mendasar dalam pengaturan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia adalah perlindungan terhadap segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Kalimat dalam pembukaan (preambule) UUD 1945 ini mengandung 2 (dua) makna penting, yaitu upaya perlindungan terhadap segenap dan seluruh rakyat Indonesia serta upaya mewujudkan kesejahteraan umum. Perlindungan terhadap segenap individu merupakan kewajiban hakiki dari pemerintah yang merdeka dan berdaulat. Demikian juga upaya mewujudkan kesejahteraan umum juga merupakan tugas dan kewajiban pemerintah sebagai pembuktian atas kemandirian serta kemampuan sebagai sebuah bangsa yang merdeka dan
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
100
berdaulat. Dalam praktik transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia, selain merupakan tindakan medis yang sangat kompleks juga melibatkan banyak pihak yang tentu juga memiliki kompleksitas persoalan. Setidaknya terdapat 4 (empat) subyek hukum yang terkait dalam pelaksanaan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia, yaitu donor, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal termasuk keluarga dan para ahli warisnya, penerima donor (recipien), dokter, dan masyarakat. Keempat subyek hukum tersebut merupakan satu entitas yang tak terpisahkan. Masing-masing memiliki hak dan kewajibannya sendirisendiri yang dalam pelaksanaannya tidak jarang menimbulkan benturan kepentingan. Oleh karenanya, demi mewujudkan tercapainya hak dan kewajiban para subyek hukum dalam praktik transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia diperlukan peran aktif pemerintah guna terciptanya perlindungan bagi seluruh rakyat (pihak-pihak yang terlibat dalam transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia). Bentuk perlindungan pemerintah terhadap praktik transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia adalah membentuk peraturan perundang-undangan terkait pelaksanaan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia. Melalui peraturan perundang-undangan, baik dibidang kesehatan secara umum maupun dibidang transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia secara khusus diharapkan terwujud perlindungan hukum yang konkret, baik terhadap hak dasar penerima donor organ dan/atau jaringan tubuh (recipien) untuk hidup sehat dan sembuh dari suatu penyakit maupun
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
101
hak dasar pendonor organ dan/atau jaringan tubuh untuk membantu sesama berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan maupun perlindungan terhadap eksploitasi fisik dari pihak ketiga yang tidak bertanggung jawab atas pelaksanaan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia. Sebagai landasan filosofis, perlindungan terhadap individu dalam hal ini perlindungan hukum merupakan kata kunci dalam pengaturan yuridis terkait praktik transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia. Pengaturan yuridis ini tercermin dalam peraturan perundang-undangan dibidang kesehatan dengan lahirnya Undang-undang Kesehatan maupun ketentuan dibidang transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia secara khusus. Upaya perlindungan hukum lewat pengaturan yuridis ketentuan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia juga diarahkan untuk mewujudkan tingkat kesejahteraan umum, yaitu masyarakat Indonesia yang bebas dari suatu penyakit tertentu berkat upaya medis berupa transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia. ad.4.
Hal mendasar terakhir dalam pembukaan (Preambule) UUD 1945 adalah kelima sila yang merupakan dasar utama pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu Pancasila. Pancasila merupakan salah satu landasan
filosofis
pembentukan
serta
perkembangan
pengaturan
transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia. Sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, Indonesia memiliki dasar falsafah yang berbeda terhadap negara-negara merdeka dan berdaulat lainnya. Dalam konteks perkembangan pengaturan dibidang kesehatan pada umumnya dan
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
102
pengaturan dibidang transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia pada khususnya, Pancasila menjadi landasan filosofis pembentukan peratuan perundang-undangan pada bidang-bidang tersebut. Terlebih dalam Pasal 2 UU 12/2011 menentukan secara tegas bahwa Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara. Secara khusus pada sila pertama, yaitu ”Ketuhanan Yang Maha Esa”; sila kedua, yaitu ”Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”; dan sila kelima, yaitu ” Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Indonesia sebagai negara yang mengakui dan percaya bahwa agama merupakan sarana vertikal dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan, maka lahirnya ketentuan yuridis dibidang transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia merupakan pembuktian dari nilai-nilai moral yang bersumber pada ajaran agama. Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia merupakan bukti kemajuan peradaban manusia dibidang teknologi medis. Selain bukti kemajuan teknologi, juga bukti bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan sebagai makhluk sosial yang mengandung arti harus hidup berdampingan dan saling tolongmenolong. Dibalik nilai peradaban berupa kecanggihan dan kemajuan teknologi ternyata tindakan medis transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia merupakan bentuk konkret perintah Tuhan yang nyata dilaksanakan oleh umat manusia, yaitu saling tolong-menolong antar umat manusia. Saat dimana penderita penyakit kronis membutuhkan pengobatan berupa transplantasi (penggantian) organ dan/atau jaringan tubuh, maka disaat yang sama ada individu lain yang rela dengan tulus berdasarkan
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
103
semangat kemanusiaan untuk mendonorkan bagian organ dan/atau jaringan tubuhnya demi kesembuhan dari penyakit yang diderita oleh sesamanya. Hal ini merupakan landasan filosofis pengaturan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia dari segi moral, etika, dan agama berdasarkan sila pertama Pancasila. Masih terkait dengan nilai moral dan agama dalam konteks landasan filosofis pengaturan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia adalah nilai kemanusiaan sebagaimana terkandung dalam sila kedua Pancasila. Kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung makna bahwa nilai-nilai kemanusiaan tetap didasari pada prinsip keadilan dan prinsip peradaban. Oleh karenanya, pengaturan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh di Indonesia, sekalipun bersumber pada hak-hak dasar individu namun tetap dibatasi oleh nilai moral dan nilai peradaban. Upaya kriminalisasi terhadap praktik jual beli organ dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia merupakan pembuktian pembatasan kebebasan berupa hak individu seseorang terhadap nilai-nilai moral, etika, dan agama yang terwadahi dalam falsafah Pancasila, khususnya sila kedua. Upaya perlindungan hukum terhadap praktik transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia lewat perangkat peraturan perundang-undangan yang menjamin hak individu untuk sehat dan sembuh dari penyakit serta upaya perlindungan terhadap masyarakat dari eksploitasi dalam konteks jual beli organ dan/atau jaringan tubuh manusia pada akhirnya demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang merupakan sila kelima Pancasila. Pancasila dan UUD
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
104
1945 merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dan menjadi dasar sekaligus landasan filosofis perkembangan dan pengaturan dibidang transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia dari waktu ke waktu. Keempat hal mendasar yang terkandung dalam pembukaan (preambule) UUD 1945 merupakan dasar sekaligus prinsip yang menjadi landasan filosofis dalam perkembangan pengaturan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia. Prinsip-prinsip dasar yang menjadi landasan filosofis tersebut kemudian diaplikasikan secara konkret dalam batang tubuh UUD 1945. Pasal demi pasal dalam batang tubuh UUD 1945 menjadi landasan dan dasar filosofis pembentukan serta perkembangan pengaturan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia. Sebagaimana diketahui bersama terdapat banyak pihak yang terlibat dalam proses transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, mulai dari si pendonor, si resipien, dokter dan masyarakat. Terdapat berbagai kompleksitas persoalan maupun kompleksitas alasan, kepentingan, dan motif dalam transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia. Motif kemanusiaan dan motif komersial (perdagangan) yang melatarbelakangi praktik transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia. Apabila dua motif tersebut dikesampingkan, sesungguhnya secara kodrati dua kepentingan dan motif tersebut telah diakui dan dilindungi sebagai prinsip dari hak individu sebagaimana diatur pada Pasal 28 (A) UUD 1945 yang menentukan, ”Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Ketentuan ini merupakan kunci utama landasan filosofis pengaturan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia. Dasar
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
105
filosofis inilah yang digunakan sebagai pertimbangan, baik pertimbangan umum maupun pasal demi pasal dalam setiap peraturan perundang-undangan dibidang kesehatan pada umumnya maupun dibidang transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia pada khususnya. Dalam konteks motif kemanusiaan maupun motif komersial, eksistensi individu yang menderita suatu penyakit kronis yang mengharuskan dilakukannya tindakan medis berupa transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh guna mempertahankan hidupnya, maka ketentuan dalam Pasal 28 (A) UUD 1945 merupakan justifikasi untuk melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh secara ekstrim dengan cara apapun dan bagaimanapun. Sebaliknya dari sisi eksistensi si pendonor dengan motif komersial (perdagangan) sekalipun, ketentuan Pasal 28 (A) juga menjadi justifikasi, khususnya dalam arti mempertahankan hidup dan kehidupannya, seseorang ”berhak” melakukan apapun tak terkecuali memperdagangkan organ dan/atau jaringan tubuhnya guna proses transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh orang lain yang sedang menderita suatu penyakit dan memerlukan organ dan/atau jaringan tubuh tersebut. Selain itu, dalam konteks hidup sehat, ketentuan Pasal 28 (H) ayat 1 UUD 1945 menentukan, ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan”. Ketentuan ini juga berperan melatarbelakangi lahirnya pengaturan dibidang transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia. Transplantasi merupakan upaya medis terstruktur dan sistematis yang merupakan bagian dari pelayanan kesehatan yang dijamin oleh pemerintah melalui sarana dan prasarana kesehatan, mulai dari rumah sakit maupun dokter dan para medis. Guna mewujudkan
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
106
kesejahteraan lahir dan batin yang merupakan amanat pembukaan UUD 1945, dan Pasal 28 (H) ayat 1 UUD 1945, maka pengaturan dibidang kesehatan, khususnya transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia sangat dibutuhkan. Lingkungan hidup yang sehat tidak saja dalam artian tempat, namun juga keadaan lahiriah seseorang yang sehat, yaitu terbebas dari suatu penyakit tertentu yang hanya bisa terwujud dengan tindakan medis tertentu berupa transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh. Hal lain yang juga dapat menjadi dasar serta landasan filosofis pengaturan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia secara komprehensif dan berimbang, terdapat di Pasal 28 (D) ayat 1 yang menentukan, ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Kedua ketentuan pasal dalam UUD 1945 harus dilihat dalam konteks prinsip keadilan, prinsip kesetaraan dan keseimbangan, serta prinsip kemanfaatan. Tidak dapat dipungkiri, dalam perkembangan pengaturan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia, secara faktual ditemukan adanya motif komersial berupa jual beli organ dan/atau jaringan tubuh manusia. Hal ini terjadi bukan tanpa alasan mengingat tingginya permintaan akan organ dan/atau jaringan tubuh yang tidak diimbangi dengan ketersediaan organ dan/atau jaringan tubuh manusia. Faktor kebutuhan ekonomi juga menjadi pemicu maraknya jual beli organ dan/atau jaringan tubuh manusia dimana hal tersebut juga terjadi di berbagai negara lain. Menurut Antonia J. Cronin dan James F. Douglas dijelaskan sebagai berikut: The traditional legal rule has been that the human body cannot be a property. At common law, it is well established that there can be no property in a corpse. This means that a body or body parts cannot generally be stolen. This principle
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
107
has come under increasing scrutiny in recent years as a result of growing scientific, medical, and possible commercial and criminal considerations. In R v Kelly, the Court of Criminal Appeal held that body parts (in that instance, anatomical specimens) could acquire the attributes of property for the purposes of section 4 of the Theft Act 1968 if skilled work had been performed on them. According to Rose LJ, ‗the common law does not stand still. It may be that if, on some future occasion, the question arises, the courts will hold that human body parts are capable of being property for the purposes of section 4, even without the acquisition of different attributes, if they have a use or significance beyond their mere existence. This may be so if, for example, they are intended for use in an organ transplant operation‘. This statement carries the suggestion that the unlawful misappropriation of a donor organ might in future be perceived as theft. Indeed, it may be that only the absence of any legal challenge to the ‗unconditional donation‘ principle has prevented that conclusion from being drawn already by the courts.141 Dalam konteks perlindungan hukum terhadap individu, tidak dapat dipilah-pilah motif apakah yang melatarbelakanginya, baik motif kemanusiaan maupun motif komersial mutlak memerlukan suatu pengaturan yuridis yang komprehensif dan mencerminkan prinsip keadilan bagi semua individu agar terwujud hak-hak dasar dan kodrati yang telah diamanatkan, baik dalam pembukaan maupun batang tubuh UUD 1945. Pelaksanaan UUD 1945 meliputi berbagai aktivitas, mulai dari konsolidasi norma hukum hingga praktiknya, serta meningkatkan pemahaman segenap komponen bangsa, baik penyelenggara negara maupun warga negara.142 Prinsipnya, pembukaan (preambule) maupun batang tubuh UUD 1945 beserta dasar falsafah Pancasila merupakan landasan filosofis yang utama dan merupakan bagian prinsip-prinsip hukum, moral, etika, dan agama dalam perkembangan pengaturan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia di
141
Antonia J. Cronin dan James F. Douglas, “Directed And Conditional Deceased Donor Organ Donations: Laws And Misconceptions”, 18 Med. L. Rev. 275, Medical Law Review, Oxford University Press, 2010, h. 5. 142
Desertasi
Jimly Asshiddiqie, op.cit., h. 26.
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
108
Indonesia, baik dalam konteks transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagai bagian dari pelayanan kesehatan dengan segala hubungan hukumnya maupun dalam konteks transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh dalam kaitannya dengan kriminalisasi terhadap jual beli organ dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia.
b.
Pengaturan Transplantasi Organ dan/atau Jaringan Tubuh dalam Berbagai Peraturan Perundang-Undangan tentang Kesehatan. Pasca kemerdekaan tahun 1945 yang ditandai dengan adanya UUD 1945
dan Pancasila sebagai landasan falsafah dan prinsip dasar berbangsa dan bernegara, maka semua ketentuan dan peraturan perundang-undangan dilahirkan dengan satu tujuan utama yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial sebagaimana digariskan dalam pembukaan UUD 1945. Kesehatan merupakan suatu hal penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya bagi suatu negara yang merdeka dan berdaulat seperti Indonesia. Pada awal pengaturan dibidang kesehatan, transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia belum mendapat perhatian serius atau bahkan belum cukup dikenal secara luas dan umum sebagai suatu metode penyembuhan penyakit. Berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kesehatan pasca kemerdekaan Republik Indonesia adalah sebagai berikut :
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
109
1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan (selanjutnya disingkat UU No. 9/1960)143 Sebelum berlakunya dan diundangkannya UU No. 9/1960 peraturan yang berlaku dibidang kesehatan adalah "Het Reglement of de Dienst der Volksgezondheid" (Staatsblad 1882 No. 97). Peraturan ini merupakan produk kolonial Belanda pada masa itu, oleh karenanya secara substansial maupun semangat pengaturannya dirasakan sudah tidak sejalan dengan cita-cita revolusi nasional. Dalam pembahasan ini sengaja tidak disinggung dan dibahas sebagai bagian dari perkembangan pengaturan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia karena tidak relevan lagi dengan perkembangan hukum nasional secara umum. Selain itu peraturan peninggalan kolonial Belanda tersebut dianggap tidak sejalan dengan alam kemerdekaan Indonesia maupun perkembangan ilmu pengetahuan secara umum. Bahkan dalam bagian konsiderans huruf c UU No. 9/1960 telah secara eksplisit menyatakan bahwa Het Reglement of de Dienst der volksgezondheid tidak sesuai lagi dengan citacita dan revolusi nasional Indonesia dan karena itu perlu dicabut. Selengkapnya pada bagian konsiderans UU No. 9/1960 menentukan : a. bahwa kesehatan rakyat adalah salah satu modal pokok dalam rangka pertumbuhan dan kehidupan bangsa, dan mempunyai peranan penting dalam penyelesaian revolusi nasional dan penyusunan masyarakat sosialis Indonesia; b. bahwa kesejahteraan umum termasuk kesehatan, harus diusahakan sebagai pelaksanaan cita-cita bangsa Indonesia yang tercantum dalam mukadimah Undang-undang Dasar; Menimbang pula: a. bahwa perlu ada dasar-dasar hukum untuk usaha kesejahteraan rakyat khusus dalam bidang kesehatan; 143
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 2068.
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
110
b. bahwa perlu ditetapkan Undang-undang tentang Pokok-pokok Kesehatan agar dapat diselenggarakan kesehatan rakyat sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia; c. bahwa peraturan perundang-undangan tentang kesehatan yang berlaku sekarang yang dimaksud dalam "Het Reglement of de Dienst der Volksgezondheid" (Staatsblad 1882 No. 97) tidak sesuai lagi dengan cita-cita revolusi Nasional Indonesia dan karena itu perlu dicabut. Tidak hanya dalam bagian konsiderans, tetapi dalam penjelasan umum UU No. 9/1960 juga menjelaskan sebagai berikut : Bagi suatu masyarakat sosialis Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera, soal kesehatan merupakan suatu unsur yang sangat penting. Berhubung dengan itu, maka perlu ditetapkan suatu Undang-undang tentang Pokokpokok Kesehatan yang sesuai dengan dasar-dasar negara kita serta sesuai pula dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Peraturan yang sampai sekarang berlaku, yakni "Het Reglement op de Dienst der Volksgezondheid" dengan peraturan-peraturan pelaksanaannya, yang tidak sesuai lagi dengan alam kemerdekaan dan hasrat pembangunan bangsa Indonesia, perlu segera diganti dengan suatu Undang-undang Pokok sebagai landasan bagi peraturan-peraturan kesehatan selanjutnya. Dalam Undang-undang ini dimuat ketentuan-ketentuan umum tentang pengertian mengenai kesehatan berdasarkan ilmu kedokteran modern, yang dipakai pula oleh Organisasi Kesehatan Sedunia dalam Konstitusinya tahun 1946. Selain pada bagian konsiderans dan penjelasan umum UU No. 9/1960, di dalam peraturan peralihan yang diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UU No. 9/1960 juga menentukan : Pelaksanaan Undang-undang ini diatur dengan peraturan-peraturan perundangan yang dalam waktu 1 tahun berangsur-angsur membatalkan ketentuan-ketentuan menurut "Het Reglement op de Dienst der Voksgezondheid" dan peraturan-peraturan lain berdasarkan "Het Reglement op de Dienst der Volksgezondheid" tersebut. Bilamana dicermati dalam konsiderans maupun penjelasan umum UU No. 9/1960, maka sangat maka sangat jelas terlihat latar belakang pengaturan UU No. 9/1960. Semangat dan cita-cita yang terkandung dalam UU No. 9/1960 tidak saja dalam konteks pengaturan kesehatan secara hakiki, akan tetapi
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
111
pengaturan kesehatan yang lebih pada aspek perjuangan atau revolusi pasca penjajahan dan pasca kemerdekaan. Beberapa hal yang penting yang terkandung, baik dalam penjelasan umum maupun pada pertimbangan UU No. 9/1960 adalah bahwa kesehatan bukan hanya hal penting atau modal pokok dalam pembangunan nasional, melainkan merupakan poin krusial guna penyelesaian revolusi nasional. Hal ini karena situasi dan kondisi Indonesia pasca kemerdekaan tahun 1945 masih harus dihadapkan pada situasi konflik dan perpecahan nasional, sehingga perjuangan mengisi kemerdekaan masih harus dihadapkan pada situasi meningkatkan persatuan bangsa untuk mencapai kemerekaan hakiki dalam arti yang sesungguhnya. Hal penting selanjutnya ialah bahwa kesehatan merupakan bagian dari kesejahteraan umum yang harus diupayakan pencapaiannya sebagaimana terkandung dalam cita-cita bangsa yang diamanatkan oleh pembukaan UUD 1945. Selain itu, pengaturan UU No. 9/1960 diharapkan sebagai dasar hukum bagi pengaturan undang-undang dibidang kesehatan lainnya. UU No. 9/1960 lahir dalam situasi revolusioner, dimana upaya pembangunan kesehatan rakyat lebih ditekankan pada upaya pencapaian tingkat kesejahteraan umum dan peletakan dasar hukum untuk pengaturan perundang-undangan dibidang kesehatan lainnya. Di dalam UU No. 9/1960 memang tidak diatur secara eksplisit tentang transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia. Namun berbagai prinsip dan hak dasar bagi setiap manusia untuk memperoleh hak pelayanan pemeliharaan kesehatan telah diatur dalam Undang-Undang tersebut.
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
112
Sebagaimana tertuang dalam penjelasan umum maupun pertimbangan UU No. 9/1960, bahwa UU No. 9/1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan ini dilahirkan guna memberi dasar bagi lahirnya peraturan perundang-undangan dibidang kesehatan lainnya. Sebagai dasar lahirnya peraturan dibidang kesehatan lainnya, maka pengaturan yuridis tentang transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia bersumber dari ketentuan dalam UU No. 9/1960. Walaupun tidak secara spesifik mengatur tentang transplantasi organ dan atau jaringan tubuh manusia, namun ada beberapa ketentuan dalam UU No. 9/1960 yang menjadi dasar lahirnya peraturan tentang transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia, yaitu : 1. Pasal 1 UU No. 9/1960 yang menentukan: “Tiap-tiap warganegara berhak memperoleh
derajat
kesehatan
yang
setinggi-tingginya
dan
perlu
diikutsertakan dalam usaha-usaha kesehatan Pemerintah.” Ketentuan Pasal 1 ini menunjukkan adanya hak dari warga negara untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, memperoleh pemeliharaan-pemeliharaan kesehatan yang sebaik-baiknya, berperan aktif dalam semua usaha kesehatan yang dilakukan Pemerintah. 2. Pasal 2 UU No. 9/1960 menentukan : “Yang dimaksud dengan kesehatan dalam Undang-Undang ini ialah yang meliputi kesehatan badan, rohani (mental) dan sosial, dan bukan hanya keadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan.”
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
113
Ketentuan ini diperjelas dalam penjelasan Pasal 2 UU No. 9/1960 yang menyatakan bahwa
kesehatan mengandung arti
keadaan sejahtera
(wellbeing). 3. Pasal 3 ayat (2) UU No. 9/1960 menentukan: ”Pengertian dan kesadaran rakyat tentang pemeliharaan dan perlindungan kesehatan adalah sangat penting untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.” Ketentuan ini diperjelas dengan penjelasan Pasal 3 ayat (2) UU No. 9/1960 yang menyatakan tiap-tiap usaha kesehatan yang dijalankan oleh Pemerintah tidak akan mencapai maksudnya jikalau tidak ada pengertian dan kesadaran dipihak rakyat. Sebaliknya jika ada keinsyafan dan kesadaran, seluruh masyarakat dapat diikut-sertakan secara efisien dalam usaha-usaha kesehatan. Melalui ketentuan ini ditunjukkan bahwa usaha kesehatan tidak hanya menjadi tanggung jawab dari pemerintah semata, melainkan juga membutuhkan peran aktif dari masyarakat. 4. Pasal 4 UU No. 9/1960 menentukan : Pemerintah memelihara dan mempertinggi derajat kesehatan rakyat dengan menyelenggarakan dan menggiatkan usaha-usaha dalam lapangan : a) pencegahan dan pemberantasan penyakit, b) pemulihan kesehatan, c) penerangan dan pendidikan kesehatan pada rakyat, d) pendidikan tenaga kesehatan, e) perlengkapan obat-obatan dan alat-alat kesehatan, f) penyelidikan-penyelidikan, g) pengawasan, dan h) lain-lain usaha yang diperlukan. Di dalam penjelasan Pasal 4 UU No. 9/1960 menjelaskan :
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
114
Dalam pasal ini diperinci dalam garis-garis besar usaha-usaha preventif, kuratif dan lain-lainnya. Untuk mewujudkan hak setiap warga-negara akan kesehatan Pemerintah mengadakan usaha-usaha seperti terperinci garis-garis besarnya dalam pasal ini. Usaha-usaha ini dilaksanakan dengan memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnik dalam bidang kesehatan. Ketentuan ini menunjukkan bahwa pemerintah memiliki tugas untuk menyelenggarakan berbagai usaha untuk mewujudkan hak warga negara akan kesehatan yang salah satunya adalah terkait dengan pencegahan dan pemberantasan penyakit dengan memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknik dalam bidang kesehatan. Ketentuan Pasal 4 ini menjadi penghubung dan bukti bahwa pemerintah memiliki tugas untuk senantiasa meningkatkan usaha pemberantasan penyakit yang selalu berkembang diantaranya melalui transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia.
Mengingat
transplantasi
merupakan
satu
perkembangan
pengobatan medis yang digunakan untuk menyembuhkan suatu penyakit. 5. Pasal 12 UU No. 9/1960 menentukan secara lebih spesifik sebagai berikut : (1) Pemerintah menyelenggarakan penyelidikan-penyelidikan tentang keadaan kesehatan rakyat. (2) Penyelidikan ini meliputi statistik, penyelidikan laboratorium, penyelidikan masyarakat, bedah mayat dalam keadaan darurat serta percobaan hewan dengan mengingat perkembangan ilmu pengetahuan termasuk ilmu tenaga atom. Dari ketentuan ini sangat jelas menunjukkan bahwa dimungkinkannya berbagai penyelidikan yang terkait dengan usaha kesehatan masyarakat mengingat adanya perkembangan ilmu pengetahuan. Berbagai pasal dalam UU No. 9/1960 tersebut menjadi landasan berpijak bagi lahirnya peraturan perundang-undangan dibidang kesehatan pada umumnya dan
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
115
lahirnya peraturan terkait transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia pada khususnya. Secara khusus, Pasal 12 UU No. 9/1960 mengatur tentang Penyelidikan Kesehatan Rakyat, termasuk bedah mayat dalam keadaan darurat dikaitkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Ketentuan inilah yang menjadi entry point pengaturan terkait transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia. Kegiatan medis berupa transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia pada masa itu dianggap sebagai bagian kegiatan penyelidikan pemerintah dalam rangka pengembangan kesehatan rakyat. Oleh karenanya, dengan dasar ketentuan tersebut, pada perkembangannya dirumuskanlah suatu peraturan perundang-undangan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan/atau Jaringan Tubuh Manusia (selanjutnya disingkat dengan PP No. 18/1981). Walaupun butuh waktu yang relatif lama sejak dilahirkannya UU No. 9/1960, namun PP No. 18/1981 hingga saat ini masih tetap berlaku dan dipertahankan sebagai satu-satunya peraturan tehnis, khususnya terkait praktik transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia.
2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (selanjutnya disingkat UU No. 23/1992)144 Lahirnya UU No. 23/1992 merupakan wujud nyata tanggung jawab pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Peningkatan derajat kesehatan merupakan salah satu komponen dalam upaya mewujudkan 144
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3495.
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
116
cita-cita kemerdekaan, yaitu memajukan kesejahteraan umum. Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia merupakan suatu bentuk upaya kesehatan. Oleh karena itu, perlu diadakan pengaturan secara hukum guna mewujudkan derajat kesehatan masyarakat melalui upaya kesehatan, salah satunya lewat transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia. Sejak berlakunya UU No. 9/1960, persoalan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia belum bahkan tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah, namun UU No. 9/1960 meletakkan dasar dan prinsip bagi lahirnya peraturan perundang-undangan dibidang kesehatan lainnya, termasuk bagi lahirnya PP No. 18/1981 yang secara khusus mengatur transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia. Namun eksistensi PP No. 18/1981 sebagai suatu peraturan tehnis belum mendapat payung hukum yang kuat sebagai pegangan dan landasan bagi pengaturan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia. UU No. 23/1992 tentang Kesehatan, merupakan peraturan
pertama
ditingkat
Undang-undang
yang
mengatur
tentang
transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia. Di dalam konsiderans UU No. 23/1992 dapat diuraikan secara lengkap sebagai berikut : a. bahwa kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 melalui pembangunan nasional yang berkesinambungan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; b. bahwa pembangunan kesehatan diarahkan untuk mempertinggi derajat kesehatan, yang besar artinya bagi pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia Indonesia dan sebagai modal bagi pelaksanaan pembangunan nasional yang pada hakikatnya adalah pembangunan
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
117
manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia; c. bahwa dengan memperhatikan peranan kesehatan di atas, diperlukan upaya yang lebih memadai bagi peningkatan derajat kesehatan dan pembinaan penyelenggaraan upaya kesehatan secara menyeluruh dan terpadu; d. bahwa dalam rangka peningkatan derajat kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud butir b dan butir c, beberapa undang- undang dibidang kesehatan dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan kesehatan; e. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, perlu ditetapkan Undang-undang tentang Kesehatan. Pertimbangan-pertimbangan dalam UU No. 23/1992 tersebut secara lebih detail diuraikan dalam penjelasan umum sebagai berikut : Cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam rangka mencapai cita-cita bangsa tersebut diselenggarakan pembangunan nasional di semua bidang kehidupan yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh, terpadu, dan terarah. Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Pembangunan kesehatan pada dasarnya menyangkut semua segi kehidupan, baik fisik mental maupun sosial ekonomi, Dalam perkembangan pembangunan kesehatan yang selama ini terjadi perubahan orientasi, baik tata nilai maupun pemikiran terutama mengenai upaya pemecahan masalah dibidang kesehatan yang dipengaruhi oleh politik, ekonomi sosial budaya, pertahanan dan keamanan serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan orientasi tersebut akan mempengaruhi proses penyelenggaraan pembangunan kesehatan. Di samping hal tersebut dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan perlu memperhatikan jumlah penduduk Indonesia yang besar, terdiri dari berbagai suku dan adat istiadat, menghuni ribuan pulau yang terpencar-pencar dengan tingkat pendidikan dan sosial yang beragam. Penyelenggaraan Pembangunan kesehatan meliputi upaya kesehatan dan sumber dayanya, harus dilaksanakan secara terpadu dan berkesinambungan guna mencapai hasil yang optimal. Upaya kesehatan yang semula
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
118
dititikberatkan pada upaya penyembuhan penderita secara berangsur-angsur berkembang kearah keterpaduan upaya kesehatan yang menyeluruh. Oleh karena itu, pembangunan kesehatan yang menyangkut upaya peningkatan kesehatan (promotif) pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) harus dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan, dan dilaksanakan bersama antara Pemerintah dan masyarakat. Peran serta aktif masyarakat termasuk swasta perlu diarahkan, dibina dan dikembangkan sehingga dapat melakukan fungsi dan tanggung jawab sosialnya sebagai mitra pemerintah. Peran pemerintah lebih dititik beratkan pada pembinaan, pengaturan, dan pengawasan untuk terciptanya pemerataan pelayanan kesehatan dan tercapainya kondisi yang serasi dan seimbang antara upaya kesehatan yang dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat termasuk swasta. Kewajiban untuk melakukan pemerataan dan peningkatan pelayanan kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat, tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah. Keberhasilan pembangunan diberbagai bidang dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat dan kesadaran akan hidup sehat. Hal ini mempengaruhi meningkatnya kebutuhan pelayanan dan pemerataan yang mencakup tenaga, sarana, dan prasarana baik jumlah maupun mutu. Karena itu diperlukan pengaturan untuk melindungi pemberi dan penerima jasa pelayanan kesehatan. Dalam memberikan kepastian dan perlindungan hukum untuk meningkatkan, mengarahkan dan memberi dasar bagi pembangunan kesehatan diperlukan perangkat hukum kesehatan yang dinamis. Bagi pemberi jasa pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman hasil produksi rumah tangga yang masih dalam pembinaan pemerintah, pelaksanaan hukum diberlakukan secara bertahap. Perangkat hukum tesebut hendaknya dapat menjangkau perkembangan yang makin komplek yang akan terjadi dalam kurun waktu mendatang.Untuk itu perlu penyempurnaan dan pengintegrasian perangkat hukum yang sudah ada. Pada hakikatnya di dalam UU No. 23/1992 mengatur tentang berbagai hal antara lain : 1. asas dan tujuan yang menjadi landasan dan pemberi arah pembangunan kesehatan yang dilaksanakan melalui upaya kesehatan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi orang sehingga
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
119
terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal tanpa membedakan status sosialnya; 2. hak dan kewajiban setiap orang untuk memperoleh derajat kesehatan yang optimal serta wajib untuk ikut serta di dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan; 3. tugas dan tanggung jawab pemerintah pada dasarnya adalah mengatur, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan serta menggerakkan peran serta, masyarakat; 4. upaya
kesehatan
dilaksanakan
secara
menyeluruh,
terpadu,
dan
berkesinambungan melalui pendekatan peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit, dan pemulihan kesehatan; 5. sumber daya kesehatan sebagai pendukung penyelenggaraan upaya kesehatan, harus tetap melaksanakan fungsi dan tanggung jawab sosialnya dengan pengertian bahwa sarana pelayanan kesehatan harus tetap memperhatkan golongan masyarakat yang kurang mampu dan tidak sematamata mencari keuntungan; 6. ketentuan pidana untuk melindungi pemberi dan penerima jasa pelayanan kesehatan bila terjadi pelanggaran terhadap Undang-undang. Dasar dan prinsip pemikiran bahwa kesehatan adalah salah satu unsur dari kesejahteraan umum yang harus diwujudkan demi peningkatan derajat kesehatan masyarakat merupakan landasan filosofis utama lahirnya peraturan perundang-undangan dibidang kesehatan, termasuk UU No. 23/1992 secara umum dan lahirnya peraturan yang bersifat teknis dibidang transplantasi organ
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
120
dan/atau jaringan tubuh manusia secara khusus. Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia merupakan suatu upaya pengobatan untuk pemulihan kesehatan. Oleh karena itu, sebagai bagian dari upaya pemulihan kesehatan, perlu diadakan pengaturan secara khusus dan komprehensif terkait pelaksanaan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia. Hal inilah yang melatarbelakangi lahirnya UU No. 23/1992 yang mengatur tentang aspek dan dimensi kesehatan masyarakat secara umum dan aspek perkembangan teknologi dibidang kesehatan, tak terkecuali masalah transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia. Dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan masyarakat tersebut, perlu diadakan suatu pengaturan dibidang kesehatan yang modern sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan pembangunan kesehatan. Dalam pertimbangan UU No. 23/1992 huruf d ditegaskan bahwa dalam rangka peningkatan derajat kesehatan masyarakat, Undang-undang dibidang kesehatan dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan kesehatan, oleh karenanya perlu dibentuk UU No. 23/1992 yang didalamnya juga mengatur tentang transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia. Beberapa ketentuan dalam UU No. 23/1992 yang terkait dengan masalah transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia yang krusial untuk dikaji adalah sebagai berikut : 1. Pasal 1 angka 5 UU No. 23/1992 yang menentukan pengertian transplantasi yaitu : ”Transplantasi adalah rangkaian tindakan medis untuk memindahkan organ dan/atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
121
atau tubuh sendiri dalam rangka pengobatan untuk menggantikan organ dan/atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik.” Tidak terdapat perbedaan mendasar antara pengertian dasar transplantasi, antara PP No. 18/1981 maupun dalam UU No. 23/1992, kecuali perbedaan dalam pemahaman terkait rangkaian perbuatan medis dan kedokteran. Pasal 1 huruf e PP No. 18/1981 menentukan bahwa transplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran, bukan rangkaian tindakan medis seperti diuraikan dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 23/1992. Selain itu, ada perbedaan istilah yang cukup mencolok, pada Pasal 1 huruf e PP No. 18/1981 disebutkan transplantasi alat tubuh, sedangkan pada Pasal 1 angka 5 UU No. 23/1992 digunakan istilah transplantasi organ tubuh. Selebihnya, baik PP No. 18/ 1981 maupun UU No. 23/1992 memiliki persamaan dalam subyek, obyek, maupun tujuan transplantasi. Keduanya mengakui adanya kemungkinan donor hidup maupun donor yang sudah meninggal. 2. Pasal 2 UU No. 23/1992 yang menentukan: ”Pembangunan kesehatan diselenggarakan berasaskan perikemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata, perikehidupan dalam keseimbangan, serta kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri.” Hal lain yang berbeda dalam UU No. 23/1992 dengan pengaturan dalam UU No. 9/1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan dan dalam PP No. 18/1981 adalah asas dan tujuan yang melandasi pengaturan tentang kesehatan pada umumnya. Asas dan tujuan merupakan landasan filosofis, baik dalam
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
pengaturan
dibidang
kesehatan
pada
umumnya
122
maupun
dibidang
transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh pada khususnya. Setidaknya terdapat 6 (enam) asas dan tujuan yang melatarbelakangi pengaturan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia sesuai UU No. 23/1992, yaitu : 1. Asas peri-kemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 2. Asas manfaat. 3. Asas usaha bersama dan kekeluargaan. 4. Asas adil dan merata. 5. Asas peri-kehidupan dalam keseimbangan. 6. Asas kepercayaan pada kemampuan dan kekuatan sendiri. Secara lengkap pemahaman dan pengertian masing-masing asas dan tujuan tersebut sesuai penjelasan Pasal 2 UU No. 23/1992 adalah sebagai berikut : Pembangunan kesehatan harus memperhatikan berbagai asas yang memberikan arah pembangunan kesehatan, dan dilaksanakan melalui upaya kesehatan sebagai berikut : a. Azas peri-kemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dilandasi atas perikemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan tidak membeda-bedakan golongan, agama, dan bangsa. b. Azas manfaat berarti memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dan peri-kehidupan yang sehat bagi setiap warga negara. c. Azas usaha bersama dan kekeluargaan berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan dilaksanakan melalui kegiatan yang dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat dan dijiwai oleh semangat kekeluargaan. d. Azas adil dan merata berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat.
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
123
e. Azas peri-kehidupan dalam keseimbangan berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dilaksanakan seimbang antara material dan spiritual. f. Azas kepercayaan pada kemampuan dan kekuatan sendiri berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri dengan memanfaatkan potensi nasional seluas-luasnya. 3. Pasal 3 UU No. 23/1992 yang menentukan: “Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal.” Dalam penjelasannya diuraikan sebagai berikut : Mewujudkan derajat kesehatan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan keadaan kesehatan yang lebih baik dari sebelumnya. Derajat kesehatan masyarakat yang optimal adalah tingkat kondisi kesehatan yang tinggi dan mungkin dapat dicapai pada suatu saat sesuai dengan kondisi dan situasi serta kemampuan yang nyata dari setiap orang atau masyarakat dan harus selalu diusahakan peningkatannya secara terus menerus. 4. Pasal 4 UU No. 23/1992 yang menentukan: ”Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal.” Ketentuan ini jelas menunjukkan adanya hak bagi setiap orang untuk memperoleh kesehatan yang optimal atau semaksimal mungkin. 5. Pasal 5 UU No. 23/1992 yang menentukan: ”Setiap orang berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan perseorangan, keluarga, dan lingkungannya.” 6. Pasal 6 UU No. 23/1992 yang menentukan:”Pemerintah bertugas mengatur, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan.” Dalam penjelasan diuraikan sebagai berikut :
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
124
Penyelenggaraan upaya kesehatan dilakukan secara serasi dan seimbang oleh pemerintah dan masyarakat termasuk swasta. Agar penyelenggaraan upaya kesehatan itu berhasil guna dan berdaya guna, maka pemerintah perlu mengatur membina, dan mengawasi baik upayanya maupun sumber dayanya. 7. Pasal 7 UU No. 23/1992 yang menentukan: ”Pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat.” Dalam penjelasan diuraikan sebagai berikut : Upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat adalah merata dalam arti tersedianya sarana pelayanan diseluruh wilayah sampai daerah terpencil yang mudah dijangkau oleh seluruh masyarakat, termasuk fakir miskin, orang terlantar, dan orang kurang mampu. 8. Pasal 9 UU No. 23/1992 yang menentukan: ”Pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.” Ketentuan pasal ini semakin memperjelas bahwa pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat agar masyarakat dapat memperoleh usaha kesehatan yang optimal. Secara garis besar, lahirnya UU No. 23/1992 telah memberikan landasan filosofis yang cukup komprehensif terhadap perkembangan pengaturan bidang kesehatan maupun bidang transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia. Secara spesifik, ketentuan Bab II tentang Asas dan Tujuan, ketentuan Bab III tentang Hak dan Kewajiban, serta ketentuan Bab IV tentang Tugas dan Tanggung Jawab telah memberikan arah dasar pembangunan kesehatan secara makro. Salah satu keunggulan dari UU No 23/1992 yang harus diakui, disamping terdapat kelemahan fundamental khususnya terkait pengaturan
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
125
transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia adalah diletakkannya prinsip dan dasar berupa asas dan tujuan yang bersumber pada hak dan kewajiban berupa hak individu untuk mendapatkan kesehatan secara optimal yang ternyata mutlak untuk diwujudkan oleh pemerintah sebagai tugas dan tanggung jawab yang juga diatur dalam UU No. 23/1992. Di dalam kaitannya dengan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia, UU No. 23/1992 lebih mendasar dalam melakukan pengaturan daripada PP No. 18/1981. Harus diakui sebagai peraturan yang bersifat tehnis, PP No. 18/1981 lebih luas mengatur tentang transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia, namun hanya pada tataran permukaannya saja. Sedangkan UU No. 23/1992 lebih mendasar dan menyentuh level filosofis dalam pengaturan-pengaturannya. Beberapa ketentuan tersebut diantaranya : 1. Pasal 33 UU No. 23/1992 yang menentukan : (1) Dalam penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh, transfusi darah, implan obat dan atau alat kesehatan, serta bedah plastik dan rekonstruksi. (2) Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh serta transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk tujuan komersial. Dalam penjelasan ayat 2 diuraikan : Mengingat bahwa organ dan/atau jaringan tubuh termasuk darah merupakan anugrah Tuhan Yang Maha Esa, maka organ dan/atau jaringan tubuh termasuk darah tersebut dilarang untuk dijadikan sebagai objek untuk mencari keuntungan atau komersial melalui jual beli. Larangan ini diperlukan untuk menjamin bahwa organ dan/atau jaringan tubuh termasuk darah yang akan dipindahkan betul-betul dimaksudkan untuk penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan, oleh karena itu transplantasi organ dan/atau jaringan dan transfusi darah hanya dapat dilakukan untuk tujuan kemanusiaan semata-mata. Darah dalam
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
126
pengertian transfusi darah dalam pasal ini, tidak termasuk pengertian produk plasma darah. Di samping kelebihannya, ketentuan Pasal 33 UU No. 23/1992 ini juga sekaligus kelemahan dalam pengaturan terkait transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia. Kelebihan dari ketentuan Pasal 33 ini dibandingkan dengan ketentuan tehnis yang terdapat pada PP No. 18/1981 adalah pada penegasan terkait tujuan diadakannya transplantasi yang kemudian dijadikan sebagai prasyarat dilakukannya transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, yaitu untuk penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Hal ini sangat positif untuk pelaksanaan transplantasi itu sendiri dengan ditetapkannya tujuan secara lebih tegas akan menciptakan kepastian hukum dalam upaya penegakannya. Namun disisi lain, Pasal 33 ayat 2 UU No. 23/1992 menjadi titik awal permasalahan mendasar seputar pelaksanaan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia. Disebutkan bahwa transplantasi dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk tujuan komersial. Pada akhirnya akan menjadi pokok kajian dalam disertasi ini adalah tidak diatur dan tidak dirumuskan secara konseptual dan komprehensif terkait batasan arti dari tujuan kemanusiaan dan tujuan komersial. 2. Pasal 34 UU No. 23/1992 yang menentukan : (1) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana kesehatan tertentu. (2) Pengambilan organ dan/atau jaringan tubuh dari seorang donor harus memperhatikan kesehatan donor yang bersangkutan dan ada persetujuan donor dan ahli waris atau keluarganya.
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
127
(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan transplantasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Ketentuan ini secara khusus memberikan perhatian terhadap donor sebelum pelaksanaan transplantasi dilakukan. Faktor kesehatan dan kesiapan donor menjadi penting dan menjadi syarat pelaksanaan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia. Selain ketentuan dalam Pasal 33 dan Pasal 34 UU No. 23/1992, ketentuan pada Bab X tentang Ketentuan Pidana, khususnya Pasal 80 dan Pasal 81 merupakan bagian terpenting dalam pokok kajian perkembangan pengaturan, khususnya terkait tindak pidana dibidang transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia. Dibandingkan dengan ketentuan pidana sebagaimana diatur pada Bab IX Pasal 20 PP No. 18/1981, ketentuan pidana dalam UU No. 23/1992 mengalami lompatan perkembangan yang sangat fundamental. Secara rinci ketentuan-ketentuan tersebut menentukan hal-hal sebagai berikut : 1. Pasal 80 UU No. 23/1992 yang menentukan : (3) Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan dengan tujuan komersial dalam pelaksanaan transplantasi organ tubuh atau jaringan tubuh atau transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). 2. Pasal 81 UU No. 23/1992 yang menentukan: (1) Barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan segaja : a. melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1); ................ dipidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp. 140.000.000,00 (seratus empat puluh juta rupiah). (2) Barang siapa dengan sengaja :
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
128
a. mengambil organ dari seorang donor tanpa memperhatikan kesehatan donor dan atau tanpa persetujuan donor dan ahli waris atau keluarganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2); ................ dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 140.000.000,00 (seratus empat puluh juta rupiah). 3. Pasal 85 UU No. 23/1992 yang menentukan: “(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80, Pasal 81, dan Pasal 82 adalah kejahatan.” Dari beberapa ketentuan pidana tesebut dalam Pasal 80, Pasal 81, dan Pasal 85 UU No. 23/1992 terlihat terdapat upaya serius dari pemerintah selaku pembentuk undang-undang untuk melakukan upaya pengawasan secara serius terhadap pelaksanaan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia. Hampir 11 (sebelas) tahun pasca lahirnya PP No. 18/1981 sebagai satu-satunya peraturan pada waktu itu yang mengatur transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, pemerintah mengambil langkah represif dengan melakukan kriminalisasi terhadap praktik transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia. Kriminalisasi tersebut khususnya terhadap komersialisasi tujuan dilakukannya transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia. Terhadap hal inilah yang menjadi isu sentral penulisan disertasi ini terkait dengan berbagai aspek di dalamnya. Tidak saja dalam konteks komersialisasi antara donor dengan recipient, tetapi hubungan hukum dengan tenaga kesehatan yang melakukan transplantasi maupun dalam konteks prasyarat pelaksanaan pengambilan organ dan/atau jaringan tubuh manusia dalam transplantasi menjadi poin pengaturan
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
129
ketentuan pidana dalam UU No. 23/1992. Keseriusan pembentuk Undangundang dalam kriminalisasi pengaturan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia juga tampak dari perbedaan penjatuhan sanksi pidana, yaitu dalam UU No. 23/1992 pidana penjara dan denda dijatuhkan secara kumulatif dan alternatif, demikian juga dari lamanya sanksi juga mengalami perbedaan signifikan. Hal ini disebabkan terjadi pergeseran jenis tindak pidana. Pasal 20 PP No. 18/1981 jelas dan tegas mengklasifikasikan sebagai tindak pidana pelanggaran dengan ancaman pidana kurungan maksimal 3 (tiga) bulan atau denda maksimal Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah), sedangkan menurut Pasal 85 UU No. 23/1992 jelas ditegaskan bahwa jenis tindak pidana terhadap pelanggaran ketentuan-ketentuan pidana dalam UU No. 23/1992 adalah kejahatan dengan ancaman pidana penjara dan denda sebagaimana diatur pada Pasal 80 dan Pasal 81 UU No. 23/1992 di atas. Perkembangan pengaturan inilah yang menjadi dasar perkembangan pengaturan terkait transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia dalam periode selanjutnya di Indonesia. Dengan berlakunya UU No. 23/ 1992, maka UU No. 9/1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan dinyatakan dicabut berdasarkan ketentuan Pasal 89 UU No 23/1992. Sedangkan PP No. 18/1981 sebagai peraturan pelaksana dari UU No. 9/1960 tetap berlaku sebagai peraturan pelaksana sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti dengan peraturan yang baru sesuai ketentuan Pasal 87 UU No. 23/1992.
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
130
3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disingkat UU No. 36/2009)145 Perkembangan pengaturan terkait transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia telah memasuki babak baru. Babak baru tersebut ditandai dengan lahirnya UU No. 36/2009. Perkembangan dalam dunia kesehatan, khususnya terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan dunia kedokteran dan tuntutan perkembangan zaman melatarbelakangi lahirnya UU No. 36/2009. Hampir 20 (dua puluh) tahun lamanya sejak lahirnya UU No. 23/1992, Indonesia berkutat pada ketentuan-ketentuan yang terbatas jangkauan maupun pemahamannya, khususnya dalam bidang kesehatan. Dalam konteks perkembangan pengaturan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia, dirasakan sangat terbatas. Pengaturan yuridis yang ada terkait transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia hanya dalam UU No. 23/1992 dan peraturan pelaksanaannya dalam PP No. 18/1981. Lahirnya UU No. 36/2009, diharapkan memberikan perkembangan positif, baik bagi kemajuan dibidang kesehatan pada umumnya maupun dibidang transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia pada khususnya. Pada sisi perkembangan prinsip, dasar, dan landasan filosofis, UU No. 36/2009 telah mengakomodasi segala kepentingan yang terkait dalam upaya pembangunan aspek kesehatan. Secara lengkap berkaitan dengan aspek filosofis dapat diketahui dari pertimbangan UU No. 36/2009 maupun dalam penjelasan umum, yaitu : 145
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1441, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063.
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
131
a. bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional; c. bahwa setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan negara; d. bahwa setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan kesehatan dalam arti pembangunan nasional harus memperhatikan kesehatan masyarakat dan merupakan tanggung jawab semua pihak baik Pemerintah maupun masyarakat; e. bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan, dan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu dicabut dan diganti dengan UndangUndang tentang Kesehatan yang baru; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Kesehatan. Penjabaran dari pertimbangan tersebut secara lengkap diuraikan dalam penjelasan umum UU No. 36/2009 sebagai berikut : Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tercantum jelas cita-cita bangsa Indonesia yang sekaligus merupakan tujuan nasional bangsa Indonesia. Tujuan nasional tersebut adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi serta keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan nasional tersebut diselenggarakanlah upaya pembangunan yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh terarah dan terpadu, termasuk diantaranya pembangunan kesehatan. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
132
Oleh karena itu, setiap kegiatan dan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, perlindungan, dan berkelanjutan yang sangat penting artinya bagi pembentukan sumber daya manusia Indonesia, peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa, serta pembangunan nasional. Upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya pada mulanya berupa upaya penyembuhan penyakit, kemudian secara berangsurangsur berkembang ke arah keterpaduan upaya kesehatan untuk seluruh masyarakat dengan mengikutsertakan masyarakat secara luas yang mencakup upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bersifat menyeluruh terpadu dan berkesinambungan. Perkembangan ini tertuang ke dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) pada tahun 1982 yang selanjutnya disebutkan kedalam GBHN 1983 dan GBHN 1988 sebagai tatanan untuk melaksanakan pembangunan kesehatan. Selain itu, perkembangan teknologi kesehatan yang berjalan seiring dengan munculnya fenomena globalisasi telah menyebabkan banyaknya perubahan yang sifat dan eksistensinya sangat berbeda jauh dari teks yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Pesatnya kemajuan teknologi kesehatan dan teknologi informasi dalam era global ini ternyata belum terakomodatif secara baik oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Perencanaan dan pembiayaan pembangunan kesehatan yang tidak sejiwa dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992, yaitu menitikberatkan pada pengobatan (kuratif), menyebabkan pola pikir yang berkembang di masyarakat adalah bagaimana cara mengobati bila terkena penyakit. Hal itu tentu akan membutuhkan dana yang lebih besar bila dibandingkan dengan upaya pencegahan. Konsekuensinya, masyarakat akan selalu memandang persoalan pembiayaan kesehatan sebagai sesuatu yang bersifat konsumtif/ pemborosan. Selain itu, sudut pandang para pengambil kebijakan juga masih belum menganggap kesehatan sebagai suatu kebutuhan utama dan investasi berharga di dalam menjalankan pembangunan sehingga alokasi dana kesehatan hingga kini masih tergolong rendah bila dibandingkan dengan negara lain. Untuk itu, sudah saatnya kita melihat persoalan kesehatan sebagai suatu faktor utama dan investasi berharga yang pelaksanaannya didasarkan pada sebuah paradigma baru yang biasa dikenal dengan paradigma sehat, yakni paradigma kesehatan yang mengutamakan upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif. Dalam rangka implementasi paradigma sehat tersebut, dibutuhkan sebuah undang-undang yang berwawasan sehat, bukan undang-undang yang berwawasan sakit. Pada sisi lain, perkembangan ketatanegaraan bergeser dari sentralisasi menuju desentralisasi yang ditandai dengan diberlakukannya UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
133
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang tersebut memuat ketentuan yang menyatakan bahwa bidang kesehatan sepenuhnya diserahkan kepada daerah masing-masing yang setiap daerah diberi kewenangan untuk mengelola dan menyelenggarakan seluruh aspek kesehatan. Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 yang mengatur tentang pembagian urusan antara pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Berdasarkan hal tersebut, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan perlu disesuaikan dengan semangat otonomi daerah. Oleh karena itu, perlu dibentuk kebijakan umum kesehatan yang dapat dilaksanakan oleh semua pihak dan sekaligus dapat menjawab tantangan era globalisasi dan dengan semakin kompleksnya permasalahan kesehatan dalam suatu Undang-Undang Kesehatan yang baru untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Ada dua hal yang merupakan penekanan lahirnya UU No. 36/2009, yaitu pengakuan bahwa kesehatan bukan lagi unsur penting dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat melainkan diakuinya kesehatan sebagai hak asasi manusia. Hal ini tentu mengandung makna dan arti filosofis yang sangat mendasar. Hal lain yang juga merupakan bagian penting dalam lahirnya UU No. 36/2009 adalah lahirnya UU No. 36/2009 disebabkan oleh karena UU No. 23/1992 tentang kesehatan dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan, dan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Hal ini tentu sejalan dengan materi pembahasan penulisan disertasi ini. Lahirnya UU No. 36/2009 bukan semata-mata mengikuti perkembangan aspek kesehatan secara substansial saja, tetapi lebih jauh lagi mengingat tuntutan dan perkembangan hukum yang sedemikian rupa di masyarakat. Perkembangan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia sangat pesat.
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
134
Sejak lahirnya UU No. 23/1992 hingga lahirnya UU No. 36/2009, perkembangan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia sangat luar biasa, baik dari aspek perkembangan medis apalagi dari sisi perkembangan pengaturan yuridisnya. Maraknya aktifitas medis berupa transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia dengan berbagai macam fenomena yang terjadi, tak terkecuali dengan maraknya jual beli organ dan/atau jaringan tubuh manusia menyebabkan lahirnya UU No. 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Lemahnya perangkat hukum, berupa peraturan perundang-undangan yang ada ditambah semakin meningkatnya jumlah kebutuhan terhadap pengobatan melalui transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia yang tidak seimbang dengan ketersediaan jumlah organ dan/atau jaringan tubuh menyebabkan tingginya penyelewengan dan pelanggaran yang terjadi. Masalah ini telah menjadi masalah serius, bukan hanya di tingkat nasional, namun juga di dunia internasional. Bahkan isu komersialisasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia di seputar pelaksanaan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia mengakibatkan negara-negara di dunia berkumpul di Istanbul pada tahun 2008 dan sepakat mencetuskan The Declaration of Istanbul on organ trafficking and Transplant Tourism yang pada intinya melahirkan prinsip yaitu : 1. National government, working in collaboration with international and non-governmental organizations, should develop and implement comprehensive programs for the screening, prevention and treatment of organ failure, which include: 2. Legislation should be developed and implemented by each country or jurisdiction to govern the recovery of organs from deceased and living
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
3. 4. 5.
6.
135
donors and the practice of transplantation, consistent with international standards. Organs for transplantation should be equitably allocated within countries or jurisdictions to suitable recipients without regard to gender, ethnicity, religion, or social or financial status. The primary objective of transplant policies and programs should be optimal short- and long-term medical care to promote the health of both donors and recipients. Jurisdictions, countries and regions should strive to achieve selfsufficiency in organ donation by providing a sufficient number of organs for residents in need from within the country or through regional cooperation. Organ trafficking and transplant tourism violate the principles of equity, justice and respect for human dignity and should be prohibited. Because transplant commercialism targets improverished and otherwise vulnerable donors, it leads inexorably to inequity and injustice and should be prohibited. In Resolution 44.25, the World Health Assembly called on countries to prevent the purchase and sale of human organs for transplantation.
Fakta inilah yang juga mendorong pemerintah melahirkan suatu ketentuan baru yang diharapkan dapat menjawab perkembangan, tuntuan, dan kebutuhan hukum masyarakat sebagaimana digariskan, baik dalam pertimbangan maupun penjelasan umum UU No. 36/2009. Namun ironisnya, prinsip-prinsip sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Istanbul tersebut di atas hanya prinsip ke 6 (enam) menyangkut organ trafficking dan transplant tourism yang diadopsi oleh UU No. 36/2009, khususnya tentang larangan jual beli organ dan/atau jaringan tubuh manusia dengan dalih apapun yang memiliki konsekuensi sanksi pidana. Sebagaimana dibahas dalam latar belakang permasalahan, seharusnya prinsip-prinsip yang terkandung dalam Deklarasi Istanbul tersebut menjadi dasar filosofis urgensi pengaturan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia secara khusus dan komprehensif, khususnya menyangkut perlindungan hukum maupun medis bagi pendonor maupun penerima donor sebagaimana
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
136
diamanatkan dalam Deklarasi Istanbul. Seyogyanya, prinsip-prinsip dalam Deklarasi Istanbul tersebut secara simultan dan komprehensif menjadi dasar pengaturan secara umum dalam UU No. 36/ 2009 maupun secara khusus dalam Undang-Undang yang secara khusus dan komprehensif mengatur tentang transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia. Secara rinci terkait prinsip maupun filosofis lahirnya UU No. 36/2009 dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan dalam UU No. 36/2009, yaitu : 1. Pasal 2 UU No. 36/2009 yang menentukan : ”Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan peri-kemanusiaan, keseimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif dan norma-norma agama.” Dalam Penjelasannya diuraikan sebagai berikut : Pembangunan kesehatan harus memperhatikan berbagai asas yang memberikan arah pembangunan kesehatan dan dilaksanakan melalui upaya kesehatan sebagai berikut : a. asas perikemanusiaan yang berarti bahwa pembangunan kesehatan harus dilandasi atas perikemanusiaan yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa dengan tidak membedakan golongan agama dan bangsa. b. asas keseimbangan berarti bahwa pembangunan kesehatan harus dilaksanakan antara kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik dan mental, serta antara material dan sipiritual. c. asas manfaat berarti bahwa pembangunan kesehatan harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dan perikehidupan yang sehat bagi setiap warga negara. d. asas perlindungan berarti bahwa pembangunan kesehatan harus dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada pemberi dan penerima pelayanan kesehatan. e. asas penghormatan terhadap hak dan kewajiban berarti bahwa pembangunan kesehatan dengan menghormati hak dan kewajiban masyarakat sebagai bentuk kesamaan kedudukan hukum.
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
137
f. asas keadilan berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada semua lapisan masyarakat dengan pembiayaan yang terjangkau. g. asas gender dan nondiskriminatif berarti bahwa pembangunan kesehatan tidak membedakan perlakuan terhadap perempuan dan laki-laki. h. asas norma agama berarti pembangunan kesehatan harus memperhatikan dan menghormati serta tidak membedakan agama yang dianut masyarakat. 2. Pasal 3 UU No. 36/2009 yang menentukan: ”Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis.” Di dalam bagian dari penjelasan Pasal 3 menjelaskan sebagai berikut: Mewujudkan derajat kesehatan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan keadaan kesehatan yang lebih baik dari sebelumnya. Derajat kesehatan yang setinggi-tingginya mungkin dapat dicapai pada suatu saat sesuai dengan kondisi dan situasi serta kemampuan yang nyata dari setiap orang atau masyarakat. Upaya kesehatan harus selalu diusahakan peningkatannya secara terus menerus agar masyarakat yang sehat sebagai investasi dalam pembangunan dapat hidup produktif secara sosial dan ekonomis. 3. Pasal 4 UU No. 36/2009 yang menentukan : “Setiap orang berhak atas kesehatan.” Penjelasan Pasal 4 adalah: ”Hak atas kesehatan yang dimaksud dalam pasal ini adalah hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dari fasilitas pelayanan kesehatan agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.”
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
138
4. Pasal 5 UU No. 36/2009 yang menentukan : (1) Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya dibidang kesehatan. (2) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. (3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. 5. Pasal 6 UU No. 36/2009 yang menentukan : ”Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan.” 6. Pasal 7 UU No. 36/2009 yang menentukan : ”Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab.” 7. Pasal 8 UU No. 36/2009 yang menentukan : ”Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.” 8. Pasal 9 UU No. 36/2009 yang menentukan : (1) Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaannya meliputi upaya kesehatan perseorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan berwawasan kesehatan. 9. Pasal 10 UU No. 36/2009 yang menentukan : “Setiap orang berkewajiban menghormati hak orang lain dalam upaya memperoleh lingkungan yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial.”
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
139
10. Pasal 11 UU No. 36/2009 yang menentukan : “Setiap orang berkewajiban berperilaku hidup sehat untuk mewujudkan, mempertahankan, dan memajukan kesehatan yang setinggi-tingginya.” 11. Pasal 12 UU No. 36/2009 yang menentukan : ”Setiap orang berkewajiban menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan bagi orang lain yang menjadi tanggung jawabnya.” Berangkat dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan UU No. 23/1992. Perbedaan signifikan terletak pada asas dan tujuan. Pada UU No. 36/2009 terdapat beberapa asas baru, yaitu asas perlindungan, asas penghormatan terhadap hak dan kewajiban, asas gender, asas nondiskriminatif, dan norma-norma agama. Hal yang menarik adalah dimasukkannya norma agama sebagai asas yang menentukan arah pengaturan kesehatan di Indonesia. Secara filosofis, pengaturan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia apabila dikaitkan dengan UU No. 36/2009 menitikberatkan pada aspek hak. Secara tegas pemahaman hak disini adalah hak asasi manusia. Secara prinsip, manusia sebagai makhluk Tuhan dilahirkan secara sehat dan sempurna. Oleh karenanya, kesehatan merupakan hak yang bersifat kodrati. Wujud dari upaya untuk menciptakan kesehatan tersebut adalah segala daya upaya dalam rangka pengobatan maupun pemulihan kesehatan harus diupayakan bahkan dilindungi. Tak terkecuali transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia sebagai bentuk tindakan medis guna penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Secara tidak langsung, penambahan dan pengembangan asas dan tujuan dalam UU No. 36/2009
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
140
membawa dampak terhadap pengaturan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia. Sejauh mana dampak terhadap pengaturan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia sesuai UU No. 36/2009 dapat dilihat dari pengaturan dalam pasal-pasal sebagai berikut : 1. Pasal 64 UU No. 36/2009 yang menentukan : (1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan melalui transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, implan obat dan/atau alat kesehatan, bedah plastik dan rekonstruksi, serta penggunaan sel punca. (2) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersialkan. (3) Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun. 2. Pasal 65 UU No. 36/2009 yang menentukan : (1) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu. (2) Pengambilan organ dan/atau jaringan tubuh dari seorang donor harus memperhatikan kesehatan pendonor yang bersangkutan dan mendapat persetujuan pendonor dan/atau ahli waris atau keluarganya. (3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 3. Pasal 66 UU No. 36/2009 yang menentukan : “Transplantasi sel, baik yang berasal dari manusia maupun dari hewan, hanya dapat dilakukan apabila telah terbukti keamanan dan kemanfaatannya.” 4. Pasal 67 UU No. 36/2009 yang menentukan : (1) Pengambilan dan pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan serta dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
141
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengambilan dan pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Apabila dicermati ketentuan-ketentuan tersebut di atas, tidak terdapat suatu perbedaan mendasar dalam pengaturan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia. Perubahan yang dimaksud hanyalah perkembangan transplantasi organ dari aspek medis saja, khususnya adanya teknologi penggunaan sel punca dan transplantasi sel yang berasal dari hewan sebagaimana dimaksud pada Pasal 64 ayat (1) dan Pasal 66 UU No. 36/2009. Perkembangan dan perubahan yang mencolok adalah pada ketentuan Pasal 64 ayat (3) UU No. 36/2009, ketentuan ini merupakan penegasan sekaligus menterjemahkan ketentuan dan makna komersial sebagaimana diatur pada Pasal 64 ayat (2) UU No. 36/2009. Perkembangan pengaturan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia dari sisi hukum pidana, dalam periode lahirnya UU No. 36/2009 bertitik tolak pada pengaturan dalam ketentuan Pasal 64 dan Pasal 192 UU No. 36/2009 yang menentukan : Pasal 192 UU No. 36/2009 yang secara eksplisit menentukan sebagai berikut: “Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ dan/atau jaringan tubuh dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
142
Ketentuan Pasal 64 UU No. 36/2009 seakan-akan secara mala per se melarang jual beli organ dan/atau jaringan tubuh dengan dalih apapun. Hal ini sebagai reaksi atas maraknya komersialisasi dalam arti jual beli organ dan/atau jaringan tubuh manusia yang terjadi di masyarakat. Desakan dunia internasional juga memberi pengaruh atas sikap tegas pemerintah selaku pembentuk Undangundang. Ketentuan Pasal 64 ayat (3) UU No. 36/2009 ini tentu membawa pengaruh terhadap berlakunya PP No. 18/1981. Sebagaimana diketahui, saat berlakunya UU No. 23/1992 tentang Kesehatan, PP No. 18/1981 tetap berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 87 UU No. 23/1992. Bahkan saat berlakunya UU No. 36/2009, dimana berlakunya UU No. 23/1992 telah tegas dinyatakan dicabut dan tidak berlaku sesuai ketentuan Pasal 204 UU No. 36 / 2009, namun PP No. 18/1981 yang sudah berlaku selama 30 (tiga puluh) tahun masih dinyatakan berlaku sesuai ketentuan Pasal 203 UU No. 36/2009. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 64 ayat (3) UU No. 36/2009 mengakibatkan ketentuan pada Pasal 19 PP No. 18/1981 menjadi tidak berlaku. Larangan jual beli organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada Pasal 64 ayat (3) sinkron dengan larangan yang sama dalam Pasal 17 PP No. 18/1981. Perbedaannya dalam PP No. 18/1981 terdapat pengecualian sepanjang untuk kegiatan penelitian ilmiah atau kegiatan lain yang ditetapkan oleh Menteri sesuai Pasal 19 PP No. 18/1981. Namun berdasarkan ketentuan Pasal 64 ayat (3) UU No. 36/2009 sudah tidak boleh lagi karena larangan tersebut tanpa pengecualian apapun
sehingga
dalih
apapun
juga
sepanjang
konsepnya
adalah
memperjualbelikan organ dan/atau jaringan tubuh manusia adalah dilarang.
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
143
Ketentuan ini tidak diimbangi dengan pengaturan secara jelas dan komprehensif tentang makna dan batasan terkait jual beli yang dimaksud. Selain itu, ketentuan pada Pasal 64 ayat (2) UU No. 36/2009 terkait tujuan kemanusiaan dan larangan komersialisasi dalam pelaksanaan transplantasi organ juga tidak jelas. Ketentuan tersebut diperberat lagi dengan dijadikannya larangan-larangan sebagaimana tersebut dalam rumusan delik sebagaimana diatur pada ketentuan Pasal 192 UU No. 36/2009. Perhatian dan konsentrasi terhadap larangan jual beli organ sebagaimana dimaksud dalam UU No. 36/2009 ternyata juga tidak diimbangi dengan pengaturan dalam hubungan dengan syarat kewenangan dan persyaratan persetujuan yang mutlak harus dilakukan sebelum transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh dilaksanakan, termasuk ketentuan terkait perlindungan hukum bagi para pihak, khususnya pendonor dan penerima donor. Khusus menyangkut perlindungan bagi pendonor, dalam Pasal 34 ayat 2 UU No. 23/1992 juncto Pasal 65 ayat 2 UU No. 36/2009 diatur tentang keharusan untuk memperhatikan kesehatan pendonor dalam pelaksanaan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia. Bahkan dalam Pasal 81 ayat 1 huruf a dan ayat 2 huruf a diatur sanksi pidana terhadap pelanggaran atas keharusan tersebut. Namun dalam UU No. 36/2009, khususnya Pasal 65, syarat kewenangan dokter dan rumah sakit, keharusan memperhatikan kesehatan pendonor, dan kewajiban adanya persetujuan dari pendonor dan/atau ahli waris/keluarga masih tetap diberlakukan, akan tetapi sudah tidak diatur lagi sanksi pidana terhadap pelanggaran ketentuan-ketentuan tersebut. Artinya, telah terjadi dekriminalisasi terhadap ketentuan-ketentuan terkait syarat kewenangan
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
144
dokter/rumah sakit, keharusan memperhatikan kesehatan pendonor dan kewajiban adanya persetujuan dari pendonor dan/atau ahli waris atau keluarga sebelum transplantasi dilakukan. Ketentuan ini justru penting menjadi perhatian pemerintah, namun terlewatkan dalam pengaturan UU No. 36/2009. Hal-hal inilah yang akan menjadi isu utama dalam pembahasan dan analisis terkait aspek hukum pidana dalam disertasi ini. Bagian penting dalam perjalanan pasang surut pengaturan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia adalah periode saat lahirnya UU No. 36/2009 dan masih tetap dipertahankannya PP No. 18/1981 sebagai satu-satunya peraturan pelaksana dari beberapa Undangundang kesehatan yang pernah berlaku Indonesia. Hal ini karena kedua peraturan perundang-undangan tersebut banyak menimbulkan pro kontra di tengah gencarnya isu global terkait praktik transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia. Kedua peraturan perundang-undangan tersebut akan menjadi pokok kajian dalam disertasi ini dalam kaitannya dengan pembahasan aspek hukum pidana.
4) Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan/atau Jaringan Tubuh Manusia (selanjutnya disingkat PP No. 18/1981) Setelah lahir dan berlakunya UU No. 9/1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan, dua puluh satu tahun kemudian lahirlah PP No. 18/1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
145
dan/atau Jaringan Tubuh Manusia. Lahirnya PP No. 18/1981 merupakan konsekuensi dari berlakunya UU No. 9/1960 sebagai satu-satunya ketentuan yuridis dibidang kesehatan pasca kemerdekaan Indonesia. Sekalipun dalam UU No. 9/1960 tidak diatur bahkan tidak disinggung perihal transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia secara khusus, namun harus diakui bahwa pembentukan PP No. 18/1981 berdasarkan dan bersumber pada UU No. 9/1960. Latar belakang dan semangat lahirnya PP No. 18/1981 tidak lain daripada untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pengembangan ilmu pengetahuan
dan
teknologi
medis
guna
mewujudnyatakan
cita-cita
kemerdekaan bangsa yaitu memajukan kesejahteraan umum seperti termaktub dalam pembukaan
(preambule) UUD 1945. Semangat, cita-cita, dan latar
belakang lahirnya PP No. 18/1981 tersebut menjadi landasan filosofis pengaturan tentang transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia. Berkaitan hal-hal tersebut, dalam pertimbangan pembentukan PP No. 18/1981 maupun dalam penjelasan umum PP No. 18/1981 sangat jelas diuraikan beberapa pertimbangan mendasar lahirnya PP No. 18/1981, yaitu : a. bahwa dalam pengembangan usaha kesehatan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, perlu adanya pelbagai upaya agar usaha tersebut di atas diselenggarakan dengan baik, antara lain dengan kegiatan melakukan bedah mayat anatomis serta transplantasi alat dan/atau jaringan tubuh manusia yang bertujuan untuk keselamatan umat manusia maupun meningkatkan ilmu kesehatan dan kedokteran pada umumnya; b. bahwa untuk melaksanakan maksud tersebut pada huruf a di atas, perlu diadakan ketentuan-ketentuan tentang bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis serta transplantasi alat dan/atau jaringan tubuh manusia dengan Peraturan Pemerintah.
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
146
Selain itu, dalam penjelasan umum PP No. 18/1981, khususnya huruf c terkait transplantasi alat dan/atau jaringan tubuh diuraikan dasar-dasar pertimbangan lahirnya PP No. 18/1981 sebagai berikut : Transplantasi alat dan/atau jaringan tubuh manusia ialah pemindahan alat dan/atau jaringan tubuh yang masih mempunyai daya hidup dan sehat untuk menggantikan alat dan/atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik. Kita mengenal berbagai macam transplantasi seperti transplantasi kulit akibat kebakaran yang berasal dari tubuh penderita sendiri yang disebut “auto-transplantasi”, transplantasi kornea yaitu pemindahan selaput bening mata yang merupakan bagian dari permukaan bola mata kepada seorang buta akibat kerusakan kornea (karena luka bakar, kemasukan benda halus) dan trakoma transplantasi ginjal, jantung, dan lain-lain. Pada umumnya transplantasi alat tubuh diambil dari orang yang baru meninggal dunia dan transplantasi itu harus dilakukan tidak lama sesudah penderita meninggal dunia. Sebab kalau sudah lama meninggal dunia, maka alat dan/atau jaringan tubuh ikut mati dan tidak dapat dipergunakan lagi. Transplantasi ginjal dapat juga dilakukan dengan ginjal yang diambil dari tubuh manusia yang masih hidup. Semua agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa pada dasarnya tidak melarang transplantasi ini, asal penentuan mati dan penyelenggaraan jenazah terjamin sehingga tidak terjadi penyalahgunaan. Dengan transplantasi, ilmu kedokteran membuktikan bahwa manusia yang meninggal dunia pun masih dapat berbuat amal saleh terhadap saudarasaudaranya yang sedang menderita penyakit. Jelaslah bahwa transplantasi berfungsi sebagai usaha pengobatan. Adanya Peraturan Permerintah ini diperlukan untuk menjamin bahwa pengambilan alat dan/atau jaringan tubuh manusia yang akan dipindahkan, betul-betul untuk maksud pengobatan untuk menolong penderita. Peraturan Pemerintah ini diperlukan juga untuk memberikan perlindungan hukum kepada pelaksana bedah mayat anatomis, bedah mayat klinis dan pelaksana transplantasi. Berpijak dari pertimbangan dan penjelasan umum PP No. 18/1981 tersebut di atas, dapat ditarik benang merah pertimbangan filosofis maupun tujuan dilahirkannya peraturan yang bersifat teknis dalam PP No. 18/1981, diantaranya : 1. dalam rangka pengembangan usaha kesehatan;
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
147
2. peningkatan kesehatan terhadap masyarakat; 3. keselamatan umat manusia; 4. meningkatkan ilmu kesehatan dan kedokteran pada umumnya; 5. jaminan perlindungan hukum terhadap hak pasien untuk memperoleh pengobatan dan hak pendonor untuk menolong sesamanya; 6. jaminan perlindungan hukum bagi pelaksana transplantasi alat dan/atau jaringan tubuh manusia. Secara filosofis, lahirnya PP No. 18/1981 ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara optimal melalui peningkatan derajat kesehatan. Aplikasinya melalui pengaturan yuridis yang secara komprehensif diharapkan dapat memberikan perlindungan, baik terhadap keselamatan individu (umat manusia) maupun jaminan perlindungan hukum terhadap hak individu memperoleh kesembuhan melalui pengobatan (transplantasi alat dan/atau jaringan tubuh manusia) dan jaminan atas hak individu (pendonor) untuk menolong sesamanya. PP No. 18/1981 ini merupakan satu-satunya peraturan tentang transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia yang paling lengkap hingga saat ini. Hal ini bukan disebabkan PP No. 18/1981 merupakan peraturan yang bersifat teknis, namun karena hingga saat ini belum ada pengaturan yuridis lainnya, termasuk undang-undang yang benar-benar secara komprehensif dan detail mengatur tentang transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia. Selain itu, PP No. 18/1981 memiliki keunikan, baik secara substansial maupun daya berlakunya. Secara substansial, PP No. 18/1981
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
148
merupakan peraturan teknis pertama dan satu-satunya yang berlaku di Indonesia hingga saat ini, oleh karenanya banyak dijumpai hal-hal yang saling bertentangan dan tidak jelas secara hukum. Termasuk di dalamnya diatur sanksi pidana yang sangat krusial dalam PP No. 18/1981 tersebut. Sedangkan terkait daya berlakunya, sejak lahirnya PP No. 18/1981 hingga saat ini sudah terjadi dua kali pergantian Undang-undang dibidang kesehatan, yaitu UU No. 23/1992 dan UU No. 36/2009. Uniknya, UU No. 9/1960 yang melatarbelakangi lahirnya PP No. 18/1981 telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku berdasarkan Pasal 89 UU No. 23/1992 dan akhirnya UU No. 23/1992 juga telah dicabut berdasarkan Pasal 204 UU No. 36/2009 tentang kesehatan. Walaupun ketentuan perundang-undangan yang melandasi PP No. 18/1981 telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, namun PP No. 18/1981 tetap dinyatakan sah pemberlakuannya. Hal ini berdasarkan ketentuan pada Bab XI tentang ketentuan peralihan Pasal 87 UU No. 23/1992 maupun berdasarkan ketentuan pada Bab XXI tentang ketentuan peralihan Pasal 203 UU No. 36/2009. Lahirnya PP No. 18/1981 merupakan tonggak sejarah perkembangan pengaturan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia. PP No. 18/1981 memberikan inspirasi terhadap lahirnya pengaturan terkait transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia dalam suatu ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya dari
PP
No. 18/1982. Untuk pertama kalinya istilah transplantasi alat dan/atau jaringan tubuh manusia dipakai dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu melalui PP No. 18/1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
149
Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan/atau Jaringan Tubuh Manusia. Secara umum, ada beberapa ketentuan dalam PP No. 18/1981 yang menarik diketengahkan sebagai bagian penting dan mendasar dalam perkembangan pengaturan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia. Beberapa ketentuan tersebut diantaranya ialah sebagai berikut : 1. Pasal 1 PP No. 18/1981 menentukan: Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: a. Bedah mayat klinis adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan cara pembedahan terhadap mayat untuk mengetahui dengan pasti penyakit atau kelainan yang menjadi sebab kematian dan untuk penilaian hasil usaha pemulihan kesehatan; b. Bedah mayat anatomis adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan cara pembedahan terhadap mayat untuk keperluan pendidikan di bidang ilmu kedokteran; c. Alat tubuh manusia adalah kumpulan jaringan-jaringan tubuh yang dibentuk oleh beberapa jenis sel dan mempunyai bentuk serta fa‟al (fungsi tertentu untuk tubuh tersebut); d. Jaringan adalah kumpulan sel-sel yang mempunyai bentuk dan fa‟al (fungsi) yang sama dan tertentu; e. Transplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan alat dan/atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh sendiri atau tubuh orang lain dalam rangka pengobatan untuk menggantikan alat dan/atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik; f. Donor adalah orang yang menyumbangkan alat dan/atau jaringan tubuhnya kepada orang lain untuk keperluan kesehatan; g. Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang bahwa fungsi otak, pernafasan, dan atau denyut jantung seseorang telah berhenti; h. Ahli urai adalah dokter atau sarjana kedokteran yang diakui telah memperoleh ilmu urai; i. Museum anatomis dan patologi adalah tempat menyimpan jaringan dan alat tubuh manusia yang sehat dan yang sakit yang diawetkan untuk tujuan pendidikan ilmu kedokteran; j. Bank alat dan jaringan tubuh adalah suatu unit kedokteran yang bertugas untuk pengambilan, penyimpanan, dan pengawetan jaringan dan alat tubuh manusia untuk transplantasi dan penggantian (subsitusi) dalam rangka pemulihan kesehatan.
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
150
Mengawali pembahasan dalam kaitan ini, menarik untuk dikaji dari pengertian transplantasi sebagaimana diatur pada Pasal 1 huruf e PP No. 18/1981. Dari definisi transplantasi sesuai Pasal 1 huruf e PP No. 18/1981 sebagaimana tersebut di atas, terdapat 3 (tiga) hal penting yang menjadi dasar pengaturan yuridis transplantasi alat dan/atau jaringan tubuh manusia. Ketiga hal tersebut ialah, subyek, obyek, dan tujuan transplantasi. Berkaitan dengan subyek dalam transplantasi, yaitu terdapat tiga subyek hukum yang terkait dalam kegiatan transplantasi, yaitu dokter, pendonor, dan pasien (recipient). Ketiga subyek hukum ini merupakan pihak yang memegang posisi strategis dalam perkembangan pengaturan transplantasi alat dan/atau jaringan tubuh di Indonesia. Posisi strategis dan peran penting dari para subyek hukum tersebut adalah dalam konteks hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam pelaksanaan transplantasi alat dan/atau jaringan tubuh manusia. Sedangkan terkait obyek dalam transplantasi, sesuai ketentuan Pasal 1 huruf e PP No. 18/1981, adalah pemindahan alat dan/atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh sendiri atau tubuh orang lain. Dari perspektif obyek transplantasi, dapat diketahui bahwa dalam ketentuan yuridis yang ada (dalam hal ini PP No. 18/1981) maupun dalam perkembangan pengaturan transplantasi selanjutnya, bahwa kegiatan transplantasi dapat dilakukan atau bersumber dari 2 (dua) hal, yaitu tubuh sendiri atau dikenal dengan istilah transplantasi ‖autologus‖ dan tubuh orang lain atau dikenal dengan istilah transplantasi ‖alogenik‖. Sebagaimana diketahui, dikenal 4 (empat) jenis transplantasi ditinjau dari sudut penerima, yaitu transplantasi autologus, transplantasi
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
151
alogenik, transplantasi singenik, dan transplantasi xenograft. Sesuai ketentuan PP No. 18/1981, transplantasi xenograft yaitu perpindahan dari satu tubuh ke tubuh lain yang tidak sama speciesnya tidak dikenal bahkan tidak diatur. Selain hal-hal tersebut, dari perspektif obyek transplantasi, dalam definisi tidak diatur secara tegas dan jelas terkait donor, apakah donor yang masih hidup atau donor jenazah atau dikenal dengan istilah kadaver transplantasi. Artinya, sesuai PP No. 18/1981, di Indonesia dimungkinkan untuk dilakukannya transplantasi, baik dari donor yang masih hidup (sehat) maupun donor yang sudah meninggal (jenazah/mayat). Namun tujuan dilakukannya transplantasi alat dan/atau jaringan tubuh manusia diatur secara limitatif, artinya dibatasi hanya untuk tujuan pengobatan guna menggantikan alat dan/atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik. Sepintas tujuan ini sangat mulia, namun yang belum jelas pengaturannya hingga saat ini adalah terkait cara perolehan alat dan/atau jaringan tubuh manusia. Selain cara perolehan, motif perolehan juga menjadi perdebatan dari berbagai sudut pandang, baik etika, moral, agama, maupun hukum. Motif komersial dan kemanusiaan ibarat seperti dua sisi mata uang yang memiliki kesamaan. Hal lain yang menarik dicermati adalah ketentuan Pasal 1 huruf j PP No. 18/1981 tentang definisi bank alat dan/atau jaringan tubuh. Sebagai suatu unit khusus yang mempunyai fungsi untuk pengambilan, penyimpanan, dan pengawetan jaringan atau alat tubuh manusia, tentu merupakan suatu hal yang penting dan vital dalam pelaksanaan transplantasi alat dan/atau jaringan tubuh manusia. Sekalipun diatur eksistensinya dalam ketentuan umum
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
PP
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
152
No. 18/1981, namun dalam kenyataannya dalam ketentuan pasal demi pasal dalam PP No. 18/1981 tidak diatur secara tegas dan jelas, bahkan secara riil, keberadaan bank alat atau jaringan tubuh manusia yang didirikan oleh pemerintah di Indonesia belum ada hingga saat ini, kecuali yang didirikan secara sporadis dan dikelola oleh swasta. Belum adanya lembaga yang melakukan fungsi khusus untuk pengambilan, penyimpanan, dan pengawetan jaringan atau alat tubuh manusia tentunya semakin mempersulit penyediaan organ tubuh. Bahkan menyebabkan masyarakat yang ingin mendonorkan organ tubuhnya tidak menerima informasi yang memadai. 1. Pasal 10 PP No. 18/1981 menentukan : (1) Transplantasi alat dan/atau jaringan tubuh manusia dilakukan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan huruf b. (2) Tata cara transplantasi alat dan/atau jaringan tubuh manusia diatur oleh Menteri Kesehatan. 2. Pasal 11 PP No. 18/1981 menentukan : (1) Transplantasi alat dan/atau jaringan tubuh manusia hanya boleh dilakukan oleh dokter yang bekerja pada sebuah rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan. (2) Transplantasi alat dan/atau jaringan tubuh manusia tidak boleh dilakukan oleh dokter yang merawat atau mengobati donor yang bersangkutan. 3. Pasal 12 PP No. 18/1981 menentukan : ”Dalam rangka transplantasi penentuan saat mati ditentukan oleh 2 (dua) orang dokter yang tidak sangkut paut medik dengan dokter yang melakukan transplantasi.” 4. Pasal 13 PP No. 18/1981 menentukan : “Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, Pasal 14, dan Pasal 15 dibuat di atas kertas bermaterai dengan 2 (dua) orang saksi.”
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
153
5. Pasal 14 PP No. 18/1981 menentukan : ”Pengambilan alat dan/atau jaringan tubuh manusia untuk keperluan transplantasi atau Bank Mata dari korban kecelakaan yang meninggal dunia, dilakukan dengan persetujuan tertulis keluarga yang terdekat.” 6. Pasal 15 PP No. 18/1981 menentukan : (1) Sebelum persetujuan tentang transplantasi alat dan/atau jaringan tubuh manusia diberikan oleh calon donor hidup, calon donor yang bersangkutan terlebih dahulu diberitahu oleh dokter yang merawatnya termasuk dokter konsultan mengenai sifat operasi, akibat-akibatnya, dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. (2) Dokter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus yakin benar, bahwa donor yang bersangkutan telah menyadari sepenuhnya arti dari pemberitahuan tersebut. 7. Pasal 16 PP No. 18/1981 menentukan : ”Donor atau keluarga donor yang meninggal dunia tidak berhak atas sesuatu kompensasi material apapun sebagai imbalan transplantasi.” 8. Pasal 17 PP No. 18/1981 menentukan : ”Dilarang memperjual-belikan alat dan/atau jaringan tubuh manusia.” 9. Pasal 18 PP No. 18/1981 menentukan : ”Dilarang mengirim dan menerima alat dan/atau jaringan tubuh manusia dalam semua bentuk ke dan dari luar negeri.” 10. Pasal 19 PP No. 18/1981 menentukan : ”Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18 tidak berlaku untuk keperluan penelitian ilmiah dan keperluan lain yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.” 11. Pasal 20 PP No. 18/1981 menentukan :
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
154
(1) Pelanggaran atas ketentuan dalam Bab II, Bab III, Bab V, Bab VI, Bab VII dan Bab VIII, diancam dengan pidana kurungan selamalamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,00 (tijuh ribu lima ratus rupiah). (2) Disamping ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat pula diambil tindakan administratif. Secara keseluruhan dari PP No. 18/1981 tersebut terdapat 6 (enam) bab dan 12 (dua belas) pasal yang secara spesifik mengatur tentang transplantasi alat dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia. Sebagai satu-satunya ketentuan tehnis terkait pelaksanaan transplantasi alat dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia, tentu ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam PP No. 18/1981 memiliki arti penting dan posisi strategis dalam perkembangan praktik transplantasi alat dan/atau jaringan tubuh manusia pada umumnya maupun bagi perkembangan pengaturan yuridis terkait transplantasi alat dan/atau jaringan tubuh manusia pada khususnya. Secara substansial, pengaturan transplantasi alat dan/atau jaringan tubuh manusia dalam PP no. 18/1981 diatur mulai Bab V Pasal 10 sampai Pasal 13. Dalam Pasal 10 ayat 1 PP No. 18/1981 secara garis besar ditentukan tentang syarat pelaksanaan transplantasi alat dan/atau jaringan tubuh manusia, yaitu harus mendapat persetujuan tertulis dari penderita (dalam hal ini si donor) dan atau keluarganya yang terdekat. Artinya, sistim perizinan berupa persetujuan tertulis sebagai syarat mutlak pelaksanaan transplantasi dianut oleh Indonesia. Sistim dan syarat perizinan/persetujuan ini bersifat ”mutlak terbatas”, artinya sekalipun persetujuan dari penderita dan atau keluarga dalam pelaksanaan transplantasi merupakan keharusan, namun dalam hal-hal tertentu sebagaimana
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
155
diatur pada pasal 2 huruf b juncto pasal 10 ayat 1, persetujuan penderita dan atau keluarga dapat dikesampingkan. Dalam praktik hampir tidak dijumpai dan tidak dimungkinkan pelaksanaan transplantasi tanpa adanya persetujuan dari penderita dan atau keluarganya. Selain aspek sistim perizinan, sebagaimana diketahui dalam pelaksanaan transplantasi melibatkan berbagai pihak (subyek hukum) mulai dari dokter, pendonor, recipien, dan masyarakat. Oleh karena itu, pengaturan transplantasi alat dan/atau jaringan tubuh sangatlah kompleks. Kompleksitas persoalan tersebut karena adanya benturan antara aspek etika, moral, agama, dan hukum. Sebagai peraturan pertama yang mengatur pelaksanaan transplantasi alat dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia, tentu PP No. 18/1981 berupaya melakukan pengaturan secara komprehensif, yaitu dengan mengakomodasikan nilai moral dan etika dalam pasal-pasal PP No. 18/1981. Ketentuan Pasal 11, 12, 13 PP No. 18/1981 merupakan ketentuan yang mengatur tentang eksistensi dokter sebagai subyek hukum dalam transplantasi alat dan/atau jaringan tubuh manusia. Selain syarat kualifikasi dokter dan rumah sakit yang boleh melakukan tindakan transplantasi sebagaimana diatur pada Pasal 10 ayat (1), juga diatur perihal moral dan etika dokter dalam hubungannya dengan pasien. Pasien yang dimaksud adalah, si donor (baik hidup maupun yang sudah meninggal) maupun si penerima donor (recipient) dalam konteks pelaksanaan transplantasi. Dalam Pasal 10 ayat (2) PP No. 18/1981, tegas diatur bahwa transplantasi tidak boleh dilakukan oleh dokter yang merawat si donor. Hal ini tentu mengandung suatu pertimbangan moral dan etika, khususnya untuk menghindari konflik kepentingan yang mungkin
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
156
terjadi. Bahkan secara eksplisit diakui bahwa donor yang sudah meninggal dapat mendonorkan (sebagai subyek) alat dan/atau jaringan tubuhnya sebagaimana diatur pada Pasal 12 PP No. 18/1981. Namun secara moral dan etika, diatur bahwa penentuan saat meninggal sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 huruf g PP No. 18/1981 tidak boleh melibatkan dokter yang bersangkut paut dengan pelaksanaan transplantasi. PP No. 18/1981 membuktikan diri bahwa sebagai satu-satunya peraturan tehnis berupaya untuk memadukan antara pertimbangan etika, moral, agama, dan hukum. Hal lain yang juga menarik dicermati dalam PP No. 18/1981 adalah pengaturan tentang donor meninggal dunia karena korban kecelakaan. Pada Bab VI Pasal 14 PP No. 18/1981 diatur tentang pengambilan alat dan/atau jaringan tubuh manusia untuk transplantasi maupun bank mata dari korban kecelakaan yang meninggal dunia dilakukan dengan persetujuan tertulis dari keluarga terdekat. Hal ini kembali ditegaskan pengaturannya untuk donor yang masih hidup tetap mutlak memerlukan persetujuan tertulis dari yang bersangkutan sebelum transplantasi alat dan/atau jaringan tubuh dilaksanakan, sebagaimana diatur pada Bab VII Pasal 15 ayat 1 PP No. 18/1981. Tidak hanya persetujuan tertulis sebagai syarat pelaksanaan transplantasi, melainkan juga kewajiban memberikan penjelasan dan pemahaman kepada si donor tentang segala hal terkait pelaksanaan dan akibat yang mungkin timbul dalam pelaksanaan transplantasi. Dalam istilah kedokteran dikenal dengan istilah ”informed consent‖. Hal ini diatur pada Pasal 15 ayat (1) dan (2) PP No. 18/1981. Hal menarik berikutnya ialah terkait pengaturan Pasal 16 PP No. 18/1981, dimana
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
157
diatur bahwa donor atau keluarga donor yang meninggal dunia ”tidak berhak” atas sesuatu kompensasi material apapun sebagai imbalan transplantasi. Sebagaimana diuraikan di depan, dalam perkembangan pengaturan transplantasi alat dan/atau jaringan tubuh manusia, hal yang sulit diatur adalah terkait cara perolehan dan motif yang melatarbelakangi dilakukannya transplantasi dalam kaitannya dengan si donor. Apabila dicermati secara gramatikal, ketentuan Pasal 16 PP No. 18/1981 hanya diperuntukkan bagi donor atau keluarga donor yang sudah meninggal. Permasalahan yang ada adalah berkaitan dengan donor yang masih hidup. Hal inilah yang secara mendasar menjadi persoalan krusial yang belum terpecahkan hingga saat ini. Pada bagian lain ketentuan Bab VIII Pasal 17 PP No. 18/1981 mengatur perbuatan yang dilarang, yaitu memperjualbelikan alat dan/atau jaringan tubuh manusia. Secara sederhana tentu ketentuan ini menjadi jawaban atas pertanyaan yang muncul sehubungan pengaturan Pasal 16 PP No. 18/1981. Baik, donor hidup maupun yang sudah meninggal dilarang memperjualbelikan alat dan/atau jaringan tubuhnya. Namun apabila dikaji secara mendalam, apakah kompensasi material yang dimaksud Pasal 16 PP No. 18/1981 identik dengan pengertian jual beli sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 PP No. 18/1981. Demikian pula sebaliknya, apakah jual beli diartikan sebagai imbalan dalam bentuk kompensasi material. Persoalan ini merupakan persoalan yang sangat sensitif dan berdampak terhadap berbagai macam aspek, baik aspek moral, etika, agama, dan hukum. Terkait masalah hukum, menarik dikaji ketentuan pada Bab VIII Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19 dan Bab IX Pasal 20 tentang ketentuan pidana. Jual beli
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
158
alat dan/atau jaringan tubuh manusia adalah perbuatan yang dilarang dan mempunyai konsekuensi pidana. Dalam perkembangan pengaturan transplantasi alat dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia, masalah ini tidak kunjung mendapatkan solusi penyelesaiannya. Selain tidak atau belum jelas batasan jual beli, komersialisasi, kompensasi, dan lain-lain istilah, juga belum diaturnya secara komprehensif perihal cara perolehan alat dan/atau jaringan tubuh manusia selain melalui donor. Di lain pihak, kebutuhan akan alat dan/atau jaringan tubuh manusia untuk keperluan transplantasi tidak sebanding dengan ketersediaan alat dan/atau jaringan tubuh manusia. Ketentuan Pasal 18 PP No. 18/1981 juga mendeskripsikan betapa ketatnya larangan jual beli terhadap alat dan/atau jaringan tubuh manusia sehingga perlu diatur pula larangan kegiatan pengiriman maupun penerimaan alat dan/atau jaringan tubuh manusia ke dan dari luar negeri. Hal ini merupakan bentuk pembatasan ruang gerak terhadap larangan jual beli alat dan/atau jaringan tubuh manusia dalam skala global/internasional. Namun larangan tersebut dikecualikan terhadap keperluan penelitian ilmiah dan keperluan lain yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Dengan kata lain, larangan terhadap praktik jual beli alat dan/atau jaringan tubuh manusia berdasarkan PP No. 18/1981 tidak bersifat mutlak, melainkan terdapat pengecualiannya sebagaimana diatur pada Pasal 19 PP No. 18/1981. Ketentuan
ini
dalam
perkembangan
pengaturan
selanjutnya
dianggap
menimbulkan celah dan berpotensi disalahgunakan. Tentunya semua ini disebabkan lemahnya pengaturan terkait cara perolehan alat dan/atau jaringan
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
159
tubuh manusia beserta ketidakjelasan batasan pengertian antara motif kemanusiaan dan motif komersial (jual beli). Keunikan PP No. 18/1981 yang lain diakhiri dengan ketentuan pada Bab IX Pasal 20 tentang ketentuan pidana. Dalam ketentuan Pasal 20 secara tegas disebutkan bahwa jenis tindak pidana dalam PP No. 18/1981 adalah pelanggaran bukan kejahatan. Pelanggaran terhadap larangan dalam PP No. 18/1981, termasuk larangan-larangan dalam transplantasi alat dan/atau jaringan tubuh manusia diancam dengan pidana kurungan atau denda. Bahkan dalam Pasal 20 ayat (2) PP No. 18/1981, dimungkinkan ditambahkan tindakan administratif disamping ancaman pidana pokok berupa kurungan atau denda. Terlepas dari persoalan materiil pidana yang diatur dalam Pasal 20 PP No. 18/ 1981, pengaturan sanksi pidana dalam suatu peraturan yang kedudukannya lebih rendah dari Undang-undang adalah suatu masalah besar dan prinsip untuk dibahas. Pada hakikatnya, sanksi pidana secara hakiki adalah bentuk perampasan terhadap hak kebebasan individu. Oleh karenanya, pengaturannya hanya bisa melalui Undang-undang, bukan melalui Peraturan Pemerintah seperti PP No. 18/1981. Namun situasi saat itu sangat dilematis mengingat Undangundang yang menjadi dasar berlakunya PP No. 18/1981 sama sekali tidak mengatur tentang transplantasi apalagi larangan-larangan dalam transplantasi sebagai tindak pidana. Selain itu, saat lahirnya PP No. 18/1981 belum ada ketentuan yuridis yang melarang adanya muatan ketentuan pidana dalam produk selain Undang-Undang. Oleh karena itu, saat pembentukan PP No. 18/1981, pemerintah berhasrat mengatur segala hal dan aspek terkait transplantasi, tak
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
160
terkecuali aspek hukum pidana. Hal ini tentu tidak dapat dibenarkan karena adanya ketentuan Pasal 15 UU No. 12/2011 yang menentukan bahwa muatan materi mengenai ketentuan pidana hanya dapat diatur dalam Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, bukan dalam Peraturan Pemerintah.
c.
Pengaturan Transplantasi Organ dan/atau Jaringan Tubuh Manusia dalam Perspektif Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Setelah dibahas tentang berbagai pengaturan transplantasi organ dan/atau
jaringan tubuh manusia melalui peraturan perundang-undangan dibidang hukum kesehatan, maka tindakan transplantasi tersebut juga dapat dikaji dari perspektif perdagangan orang. Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa pada tahun 2007, Pemerintah Indonesia telah memberlakukan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (selanjutnya disingkat UU No. 21/2007). Di dalam UU No. 21/2007 yang kajian utamanya adalah tentang tindak pidana perdagangan orang memiliki keterkaitan dengan tindakan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia sebagai suatu bentuk eksploitasi. Pembahasan tentang transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia juga dikaitkan dengan UU No. 21/2007 karena hal ini dimasukkan dalam rumusan delik (tindak pidana) dalam UU No. 21/2007. Dalam perkembangan pengaturan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia, mulai saat berlakunya PP No. 18/1981 hingga lahirnya UU No. 23/1992, masalah tindak pidana dibidang
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
161
transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia sudah mulai dimunculkan ke permukaan. Tindak pidana yang dimaksud ialah dalam kaitan dengan pelaksanaan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia antara donor dengan recipien maupun dengan tenaga kesehatan dalam pelaksanaan transplantasi tersebut. Selain itu pelanggaran atas syarat pelaksanaan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia juga menjadi elemen tindak pidana, baik dalam PP No. 18/1981 maupun dalam UU No. 23/1992. Karakteristik tindak pidana perdagangan orang dalam hubungannya dengan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia dalam UU No. 21/2007 adalah terkait peranan pihak ketiga dalam upaya melakukan eksploitasi terhadap seseorang untuk dijadikan sebagai obyek mendatangkan manfaat secara ekonomis terhadap orang/pihak ketiga tersebut. Dalam pertimbangan UU No. 21/2007 terlihat jelas maksud pembentukan UU No. 21/2007, yaitu : a. bahwa setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hakhak asasi sesuai dengan kemuliaan harkat dan martabatnya yang dilindungi oleh undang-undang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak, merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia, sehingga harus diberantas; c. bahwa perdagangan orang telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik bersifat antarnegara maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan negara, serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia; d. bahwa keinginan untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana perdagangan orang didasarkan pada nilai-nilai luhur, komitmen nasional, dan internasional untuk melakukan upaya pencegahan sejak dini, penindakan terhadap pelaku, perlindungan korban, dan peningkatan kerja sama;
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
162
e. bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perdagangan orang belum memberikan landasan hukum yang menyeluruh dan terpadu bagi upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan orang; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Secara lebih terperinci, penjelasan umum UU No. 21/2007 menentukan sebagai berikut : Perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia. Perdagangan orang juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Bertambah maraknya masalah perdagangan orang di berbagai negara, termasuk Indonesia dan negara-negara yang sedang berkembang lainnya, telah menjadi perhatian Indonesia sebagai bangsa, masyarakat internasional, dan anggota organisasi internasional, terutama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Berdasarkan bukti empiris, perempuan dan anak adalah kelompok yang paling banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lain, misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan itu. Pelaku tindak pidana perdagangan orang melakukan perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan orang untuk tujuan menjebak, menjerumuskan, atau memanfaatkan orang tersebut dalam praktik eksploitasi dengan segala bentuknya dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban. Bentuk-bentuk eksploitasi meliputi kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, dan praktik-praktik serupa perbudakan, kerja paksa atau pelayanan paksa adalah kondisi kerja yang timbul melalui cara, rencana, atau pola yang dimaksudkan agar seseorang yakin bahwa jika ia tidak melakukan pekerjaan tertentu, maka ia atau orang yang menjadi tanggungannya akan menderita baik secara fisik maupun psikis. Perbudakan adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Praktik serupa perbudakan adalah tindakan menempatkan seseorang dalam kekuasaan orang lain sehingga orang tersebut tidak mampu menolak suatu pekerjaan yang secara melawan hukum diperintahkan oleh orang lain itu kepadanya, walaupun orang tersebut tidak menghendakinya. Tindak pidana perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak, telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan baik terorganisasi maupun tidak terorganisasi. Tindak pidana perdagangan orang bahkan melibatkan tidak hanya perorangan tetapi juga korporasi dan penyelenggara negara yang
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
163
menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya. Jaringan pelaku tindak pidana perdagangan orang memiliki jangkauan operasi tidak hanya antarwilayah dalam negeri tetapi juga antarnegara. Ketentuan mengenai larangan perdagangan orang pada dasarnya telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 297 KUHP menentukan mengenai larangan perdagangan wanita dan anak laki-laki belum dewasa dan mengkualifikasikan tindakan tersebut sebagai kejahatan. Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menentukan larangan memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual. Namun, ketentuan KUHP dan Undang-Undang Perlindungan Anak tersebut tidak merumuskan pengertian perdagangan orang yang tegas secara hukum. Disamping itu, Pasal 297 KUHP memberikan sanksi yang terlalu ringan dan tidak sepadan dengan dampak yang diderita korban akibat kejahatan perdagangan orang. Oleh karena itu, diperlukan undang-undang khusus tentang tindak pidana perdagangan orang yang mampu menyediakan landasan hukum materiil dan formil sekaligus. Untuk tujuan tersebut, undang-undang khusus ini mengantisipasi dan menjerat semua jenis tindakan dalam proses, cara, atau semua bentuk eksploitasi yang mungkin terjadi dalam praktik perdagangan orang, baik yang dilakukan antarwilayah dalam negeri maupun secara antarnegara, dan baik oleh pelaku perorangan maupun korporasi. Undang-Undang ini mengatur perlindungan saksi dan korban sebagai aspek penting dalam penegakan hukum, yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dasar kepada korban dan saksi. Selain itu, Undang-Undang ini juga memberikan perhatian yang besar terhadap penderitaan korban sebagai akibat tindak pidana perdagangan orang dalam bentuk hak restitusi yang harus diberikan oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang sebagai ganti kerugian bagi korban, dan mengatur juga hak korban atas rehabilitasi medis dan sosial, pemulangan serta reintegrasi yang harus dilakukan oleh negara khususnya bagi mereka yang mengalami penderitaan fisik, psikis, dan sosial akibat tindak pidana perdagangan orang. Pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang merupakan tanggung jawab Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, dan keluarga. Untuk mewujudkan langkah-langkah yang komprehensif dan terpadu dalam pelaksanaan pencegahan dan penanganan tersebut perlu dibentuk gugus tugas. Tindak pidana perdagangan orang merupakan kejahatan yang tidak saja terjadi dalam satu wilayah negara melainkan juga antarnegara. Oleh karena itu, perlu dikembangkan kerja sama internasional dalam bentuk perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan/atau kerja sama teknis lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penyusunan Undang-Undang ini juga merupakan perwujudan komitmen Indonesia untuk melaksanakan Protokol PBB tahun 2000 tentang Mencegah, Memberantas dan Menghukum Tindak Pidana Perdagangan Orang, khususnya Perempuan dan Anak (Protokol Palermo) yang telah ditandatangani Pemerintah Indonesia.
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
164
Berpijak dari pertimbangan dan penjelasan umum UU No. 21/2007 secara jelas tampak bahwa lahirnya UU tersebut sebagai konsekuensi penerapan dan pelaksanaan Hak Asasi Manusia secara hakiki, dimana terdapat pengakuan serta penghormatan kebebasan individu terhadap tekanan dan pemaksaan dalam segala bentuk. Secara spesifik, UU No. 21/2007 ini diproyeksikan untuk kaum perempuan dan anak-anak, namun dalam praktiknya ditujukan secara umum dalam konteks perdagangan orang. UU No. 21/2007 merupakan bagian dari perkembangan pengaturan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia, khususnya dalam aspek tindak pidana. Tindak pidana dibidang transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia menurut UU No. 21/2007 dikategorikan dalam sebuah perumusan delik yaitu bagian dari eksploitasi. Secara detail, beberapa ketentuan pasal terkait transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia yang terdapat dalam UU No. 21/2007 adalah : 1. Pasal 1 UU No. 21/2007 menentukan: 1. Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. 2. Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang ini. 3. Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau men-transplantasi organ dan/atau jaringan
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
165
tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immaterial. Dari ketentuan-ketentuan tersebut terlihat bahwa transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia masuk dalam pengertian eksploitasi sebagaimana diatur pada Pasal 1 angka 3 UU No. 21/2007. 2. Bentuk atau penerapan tindak pidana dalam konteks eksploitasi diatur dalam ketentuan-ketentuan khusus sebagai berikut : Pasal 2 UU No. 21/2007 menentukan : (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). (2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 3 UU No. 21/2007 menentukan : Setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Pasal 4 UU No. 21/2007 menentukan: Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
166
sedikit Rp.120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Berdasarkan ketentuan-ketentuan tindak pidana sebagaimana tersebut di atas, karakteristik tindak pidana dibidang transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia ialah dalam kaitan dengan pihak ketiga, dalam hal ini ialah pihak yang
melakukan
perekrutan,
pengangkutan,
penampungan,
pengiriman,
pemindahan atau penerimaan seseorang. Ketentuan dalam UU No. 21/2007 murni terkait kejahatan yang dilakukan pihak-pihak diluar donor dan recipien dalam hubungan medis. Begitu tingginya praktik transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia dilakukan sebagai upaya penyembuhan penyakit yang tidak diimbangi dengan ketersediaan organ dan/atau jaringan tubuh dan tidak adanya pengaturan secara komprehensif terkait cara perolehan dan motif perolehan organ dan/atau jaringan tubuh manusia mengakibatkan munculnya pihak ketiga yang memanfaatkan peluang dan kesempatan ini. Kesempatan ini digunakan sebagai celah mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin dengan cara/perbuatan yang melawan hukum, yaitu melakukan eksploitasi. Apabila dicermati perkembangan yang terjadi, pihak ketiga yang mengambil kesempatan berupa keuntungan finansial tidak saja pihak-pihak yang disebutkan dalam UU No. 21/2007, namun yang saat ini banyak dijumpai adalah perantara atau makelar penyediaan organ dan/atau jaringan tubuh manusia. Fenomena ini sering dijumpai dimasyarakat bahkan berkembang pesat melalui dunia maya yaitu situssitus yang secara terbuka dan berani menawarkan bahkan mencarikan dan menjualkan organ dan/atau jaringan tubuh manusia. Pihak ketiga ini belum masuk
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
167
secara khusus bahkan belum tersentuh secara serius sebagai pihak yang beritikad jahat yang harus dikenakan sanksi pidana yang setimpal dengan perbuatan jahatnya. Pembahasan seputar bentuk kejahatan dan rumusan tindak pidana dibidang transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia yang melibatkan pihak ketiga sebagaimana diatur dalam UU No. 21/2007 seyogyanya dipisahkan dari pembahasan tindak pidana dibidang transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia dalam konteks hubungan medis antara donor dan recipien yang diatur, baik dalam PP No. 18/1981 maupun dalam ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam UU No. 23/1992. Perbedaan mendasar terkait pengaturan ketentuan pidana antara keduanya akan dibahas secara komprehensif dalam kajian hukum pidana secara khusus dalam bab selanjutnya. Setidaknya, UU No. 21/2007 tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan pengaturan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia di Indonesia. Sekalipun secara substansial tidak mengatur persoalan praktik transplantasi dalam arti umum, namun UU No. 21/2007 memberikan wawasan baru akan bahaya dan ancaman terhadap penyimpangan praktik transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh di masyarakat. Hal ini akan terus terjadi dan berkembang pola, modus, karakteristik dan perkembangannya seiring dengan semakin tingginya kebutuhan masyarakat terhadap suatu metode pengobatan atau penyembuhan penyakit melalui transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh yang tidak diimbangi dengan mekanisme pengaturan cara perolehan organ secara mudah lewat perangkat aturan hukum yang memadai dan komprehensif.
Desertasi
TRANSPLANTASI ORGAN DAN .....
MARTIN SURYANA