ISSN 2085 - 2541
AT-TASYRI’ Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah Vol. I, No. 3, Oktober 2009 - Januari 2010
Konsep Ekonomi Menurut Ibn Khaldūn Syamsuar Basyariah
Konsep Makanan Dalam Islam: Kajian Fiqh Mu’amalah Asmawati
Status Kepemilikan Dan Pemanfaatan Lahan Tidur Dalam Fiqh Islam Anton Jamal
Diterbitkan oleh: SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) TEUNGKU DIRUNDENG, MEULABOH ACEH BARAT
AT-TASYRI´
JURNAL ILMIAH PRODI MUAMALAH
ISSN: 2085-2541 Volume 1 Nomor 3 Oktober 2009 - Januari 2010
SUSUNAN PENGURUS JURNAL AT-TASYRI' Penanggung Jawab Syamsuar Basyariah Ketua Redaksi Asmawati Redaktur Pelaksana Fauzi Saleh Jamaluddin Thayyib Muliadi Kurdi Banta Ali Abdullah Penyunting Ahli Juhaya S. Praja Nur Ahamad Fadhil Lubis Nazaruddin AW Usamah El-Madny Muhammad Maulana Zulkarnain Abdullah Jamaluddin Thayyib Administrasi dan Tata Usaha Amrizal Hamsa Hanifuddin Jamin Setting/Layout Khairul Umami Sirkulasi M. Yunus Nurhayati Maidijar ALAMAT REDAKSI Jalan Teuku Umar Komplek Masjid Nurul Huda, Meulaboh-Aceh Barat No. 100 Telp: 0655-7551591; Fax: 0655-7551591 E-mail:
[email protected] Website: www.staidirundeng.ac.id
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ............................................................................................... Status Kepemilikan Dan Pemanfaatan Lahan Tidur Dalam Fiqh Islam (Studi Pemberdayaan Ekonomi Umat) Anton Jamal .................................................................................................... 239 Pemberdayaan Ekonomi Umat Dalam Perspektif Fiqh Modern (Penerapan Konsep Mudarabah pada Program Gerakan Masyarakat Aceh Darussalam) Fauzi Saleh ...................................................................................................... 253 Ihtikar Dalam Perspektif Hukum Islam Ida Fitriana ...................................................................................................... 269 Konsep Makanan Dalam Islam: Kajian Fiqh Mu’amalah Asmawati . ....................................................................................................... 281 Peran ’Amil Dalam Permberdayaan Lahan Perkebunan Syahril .............................................................................................................. 297 Konsep Ekonomi Menurut Ibn Kaldun Syamsuar Basyariah ....................................................................................... 315 Produksi Dalam Konsepsi Ekonomi Islam Zulkarnaini ..................................................................................................... 325 Konsep Ekonomi Islam Baihaqi A. Samad .......................................................................................... 339
KATA PENGANTAR
Islam sebagai rahmat li ‘alamin telah memberikan panduan hidup baik dalam konteks hubungan vertical kepada Allah swt maupun horizontal sesama manusia. Karena itu, panduan ke arah perbaikan dan perubahan sistem kemasyarakatan mutlak diperlukan dengan mengacu kepada al-Qur’an dan Hadith. Ini di antara yang mendorong diexsplore beberapa artikel ini dengan maksud membumikan ajaran Islam dalam kehidupan yang lebih praktis. Anton Jamal membahas tentang “Status Kepemilikan Dan Pemanfaatan Lahan Tidur Dalam Fiqh Islam, Studi Pemberdayaan Ekonomi Umat”. Produktivitas dapat diupgrade dengan melakukan intensifikasi dan eksensifikasi lahan. Islam memberikan apresiasi kepada umatnya yang aktif dan kreatif. Bentuk apresiasi terlihat bahwa Islam memberikan otoritas kepemilikan kepada siapa yang yang melakukan Ihya al-Mawat (memakmurkan kembali tanah yang terbengkalai dan tidak produktif). Fauzi Saleh menulis sisi lain dalam meningkatkan produktivitas umat melalui pemberdaan ekonomi terutama dikaitkan dengan media dan lembaga yang ada. Dalam tulisan yang berjudul “Pemberdayaan Ekonomi Umat Dalam Perspektif Fiqh Modern:Penerapan Konsep Mudarabah pada Program
Gerakan Masyarakat Aceh Darussalam” mengupas bagaimana konsep ini diterapkan terutama dalam mengcounter model ekonomi sekarang ini yang cenderung ribawi, tanpa memperdulikan nilai kearifan dan keadilan. Untuk itu, Islam melakukan semua bentuk yang dapat menghalangi kemakmuran dan kesejahteraan umat. Bentuk tersebut semacam ihtikar (menimbun) kebutuhan pokok dan tidak disalurkan dengan maksud dapat meraih keuntungan besar dengan menjual harga di atas standar harga ketika barang tersebut langka di pasaran. Hal inilah yang dibahas oleh Ida Fitriana dengan judul “Ihtikar Dalam Perspektif Hukum Islam”. Hal lain yang relevan diuraikan untuk saat ini adalah berkaitan dengan makanan yang halal dan tayyib. Asmawati secara khusus menguraikan bagaimana karakteristik makanan yang direkomendasikan Islam untuk dikonsumsi. Dalam uraiannya dalam artikel yang berjudul “Konsep Makanan Dalam Islam: Kajian Fiqh Mu’amalah”, ia mendeskripsikan secara tuntas barometer halal dan haram dalam Islam serta dampaknya dalam kehidupan baik bagi manusia secara umum maupun umat Islam secara khusus. Pemberdayaan ekonomi juga melibatkan semua unsur dan stakeholder. Tenaga kerja (’amil) dalam sebuah proses sebuah usaha merupakan hal yang urgen. Sebagai suatu sampel yang diangkat Syahril dalam tulisannya ”Peran ’Amil Dalam Permberdayaan Lahan Perkebunan” membahas bagaimana perekruitmen tenaga perkebunan Kelapa Sawit di Aceh Barat. Uraian ini paling kurang menjadi acuan untuk menerangkan tata cara merekruit tenaga kerja yang dapat menghasilkan produktivitas yang memadai dengan mengedapankan sistem yang saling menguntungkan. Uraian di atas secara keseluruhan mengerucut dan membingkai format ekonomi umat. Akan lebih menarik, bila indikator-indikator ekonomi itu dirujuk kepada beberapa ahli seumpama Ibn Khaldun. Syamsuar Basyariah dalam judulnya ”Konsep Ekonomi Menurut Ibn Kaldun” mencoba mengelaborasi konsep ekonominya dalam bentuk yang lebih komprehensif sehingga terlihat sisi-sisi menarik dari apa yang digagas Ibn Khaldun.
viii
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
Sementara Zulkarnaini menguraikan bagaimana layaknya sebauh produksi, baik sisi manfaat maddi maupun ruhi. Dalam artikelnya ”Produksi Dalam Konsepsi Ekonomi Islam”, ia mengutarakan bahwa produksi merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari keberlangsungan ekonomi umat. Produksi yang unggul dan memadai akan semakin memompa roda perekonomian dan pada klimaksnya meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan umat. Baihaqi A. Samad mengupas lebih jauh tentang ekonomi Islam secara teoritis dan probabilitas penerapannya lebih tinggi dibandingkan dengan konsep ekonomi lainnya. Konsep ekonomi Islam telah menunjukkan keampuhannya dalam tataran praktis bahkan dalam kegoncangan ekonomi global. Selanjutnya, kami segenap civitas akademika STAI Teungku Dirundeng mengucapkan terima kasih atas kontribusi tulisan yang diajukan ke meja redaksi semoga menjadi sumbangan pemikiran yang amat bermakna. Terima kasih yang tak terhingga kepada Lembaga Kajian Sosial Agama dan Masyarakat (LKAS) yang ikut membantu hingga terbitnya jurnal ini. Meulaboh, Oktober 2009 Kepala STAI – Tgk. Dirundeng dto Syamsuar Basyariah
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
ix
STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN LAHAN TIDUR DALAM FIQH ISLAM (Studi Pemberdayaan Ekonomi Umat)
Anton Jamal Dosen Prodi Mu’amalah Sekolah Tinggi Agama Islam Teungku Dirundeng Meulaboh. Memperoleh Magister (S2) dari PPs IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh dengan Konsentrasi Fiqh Modern
Abstract Islam has motivated the ummah to intensify and extensify the unexploited earth. By this way, they will reach the harvest for support their life. For that, anyone that extensify the free earth (no ownership), it is considered that belong to him. Hence, Islam appreciated anyone ferlitized and planted the earth. Nowadays, all spaces of the earth have owned. But, such the forest or jungle, if someone tries to plant in this place, so who is the owner of that space. Here, the writer tries to explain about the case.
Key words: kepemilikan, lahan tidur
Anton Jamal
A. Pendahuluan Pada hakikatnya, alam semesta beserta isinya bagaimanapun keadaannya, konkret maupun abstrak, adalah fasilitas untuk mencapai kesejahteraan umat manusia. Alam diciptakan untuk selalu memberikan yang terbaik buat keberlangsungan hidup manusia. Darinya manusia memperoleh makan, minum, perlindungan, keselamatan mata pencaharian kehidupan. Firman Allah Swt.,“Dia-lah, yang Telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu”.1 Dalam Surat yang sama Alquran menyatakan,“Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur”.2 Karena itu, sungguh beruntung negara yang memiliki wilayah hamparan luas hijau terbentang. Berbagai kekayaan alam akan muncul di sana. Minyak tanah, barang-barang tambang, serta hasil hutan lainnya dapat memberikan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Ini semua adalah nikmat Allah yang diberikan kepada manusia. Sebagai kompensasinya, manusia diminta untuk merawat dan melestarikannya. Manusia hanya diminta menjaganya agar apa yang menjadi kekayaan lam tersebut tetap lestari dan terus dapat dinikmati oleh manusia. Caranya adalah dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan alam serta menjauhkan dari hal-hal yang mengancam kepunahan alam serta isinya. Sehingga kekayaan alam yang telah diberikan menjadi lestari dan dapat dinikmati secara terus-menerus oleh umat manusia, bahkan terus di oleh Allah SWT.
1 QS. Al-Nahl/16: 10. 2 QS. Al-Nahl/16: 14.
240
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN LAHAN TIDUR DALAM FIQH ISLAM
Namun fakta yang terjadi sering sebaliknya, Dengan rakus manusia hanya mengambil untungnya saja, mengeksploitasi alam secara besar-besaran. Tanpa adanya perimbangan dengan upaya untuk melaksanakan kewajiban guna menjaga kelestarian alam, sehingga keseimbangan alam dapat terjaga. Akibatnya, potensi kekayaan alam punah, hutan semakin menggundul, pencemaran lingkungan makin terelakkan, sehingga banjir melanda, longsor menerjang, badai menghantam, hama mengganas, dan kebakaran hutan terus terjadi. B. Pembahasan Untuk menanggulangi kerusakan alam ini, dibutuhkan kesadaran dan partisipasi dan segenap elemen masyarakat. Dalam hal ini, sebenarnya pemerintah Indonesia sudah membuat aturan tentang lingkungan. Pemerintah membuat departemen khusus yang mengurus masalah ini. Secara teoritis apa yang dilakukan pemerintah membuat aturan-aturan tentang pengelolaan alam sebetulnya sudah memberikan angin segar untuk menjaga keseimbangan alam. Namun sayangnya, hal ini ternyata menimbulkan masalah baru. Sebagian rakyat merasa hidupnya terganggu dan terbelenggu. Terutama mereka yang menggantungkan hidupnya dari hutan. Mereka juga memandang adanya ketidak adilan. Mestinya mereka bisa hidup cukup dengan apa yang ada di alam sekitarnya. Akan tetapi mereka cenderung untuk tidak mendapat apa-apa dari hasil hutan yang tiap hari dijaganya. Hutanhutan dikuasai oleh para pengusaha yang dengan seenaknya mengambil hasil hutan untuk kepentingan pribadinya. Satu-satunya jalan yang mereka tempuh adalah merampas dan mencuri. Merakapun kucing-kucingan dengan polisi hutan maupun mandor. Walaupun harus berhadapan dengan laras panjang, mereka tetap melakukan aksinya. Disamping itu, ada anggapan bahwa hutan itu milik umum, semua orang bisa memanfaatkannya. Dan tentunya merekalah yang lebih berhak dari “orang-orang jauh” yang tidak pernah bergaul dengan hutan. Dari sini tampak ada tarik menarik yang cukup kuat antara pemerintah dengan rakyat, khususnya rakyat kelas bawah. Satu sisi, pemerintah, dengan aturan-aturan yang dibuatnya, menginginkan adanya kestabilan ekosistem hutan. Di pihak lain, rakyat ingin memanfaatkan karunia Tuhan yang telah di rampas pihak-pihak tertentu.
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
241
Anton Jamal
1. Status Lahan Kosong Dalam fiqh klasik, tanah kosong itu disebut al-mawat. Ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan tanah mawat ini. Sebagian mereka mengatakan, bahwa yang dimaksud adalah tanah yang tidak ada pemiliknya. Karena itu, tanah yang sudah lama ditinggalkan pemiliknya, masih digolongkan tanah mawat. Yang lain mengartikannya dengan tanah yang tidak pernah dimanfaatkan, lalu ditinggalkan pemiliknya, tidak disebut tanah mawat. Ibn Rif’ah membagi dua bentuk tanah mawat. Pertama, tanah yang tidak pernah dikelola oleh seseorang. Ini adalah bentuk asal dari tanah mawat. Kedua, tanah yang pernah dimanfaatkan oleh orang kafir, kemudian ditinggalkan. Al-Zarkasyi membagi lahan itu menjadi empat macam. Pertama, tanah yang dimiliki dengan cara pembelian, hibah, dan semacamnya. Kedua, tanah yang digunakan untuk kepentingan umum. Seperti lahan yang digunakan untuk kepentingan umum seperti pasar, jalan, dan semacamnya. Ketiga, tanah milik orang atau kelompok tertentu. Misalnya waqaf khassah (wakaf untuk komunitas tertentu), tanah desa, dan semacamnya. Keempat, tanah yang tidak dimiliki baik oleh perorangan, kelompok, ataupun umum. Inilah yang disebut dengan tanah mawat. Beberapa definisi ini sebenarnya memiliki maksud yang hampir sama, bahwa yang dimaksud mawat adalah tanah yang tidak dikelola oleh seseorang.3 Ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk dapat memperoleh hak mengelola tanah ini. Pertama, dengan cara ihya’, yakni pemanfaatan lahan yang dilakukan oleh individu. Dalam hal ini, seseorang mematok lahan untuk digarap dan difungsikan untuk kepentingan pribadinya. Orang yang telah melakukannya dapat memiliki lahan tersebut. Karena itu, orang lain tidak dibenarkan untuk mengambil alihnya. Dalam masalah ini, terjadi perbedaan pendapat di antara para pakar Fiqh. Mazhab Syafi’i menyatakan siapapun berhak mengambil manfaat atau memilikinya, meskipun tidak mendapat izin dari pemerintah. Beda halnya dengan Imam Abu Hanifah. Beliau berpendapat, ihya’ boleh dilakukan dengan catatan mendapat izin dari pemerintah yang sah. Imam Malik juga berpendapat hampir sama dengan Imam Abu Hanifah. Hanya saja ia menengahi dua pendapat itu dengan cara membedakan dari letak 3 Al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri, Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hal. 37
242
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN LAHAN TIDUR DALAM FIQH ISLAM
daerahnya. Jika tanah tersebut berada di daerah yang tidak terlalu penting bagi manusia, maka tidak perlu izin Imam. Misalnya berada di daerah padang pasir yang tidak dihuni manusia. Tapi bila berada di daerah yang dekat dengan pemukiman, atau daerah strategis yang menjadi incaran setiap orang, untuk melakukan ihya’ izin Imam sangat dibutuhkan.4 Dalam konteks sekarang, khususnya di Indonesia ini, dampak dari pendapat Imam Syafi‘i sangat besar. Karena akan memperparah terjadi kerusakan hutan. Penebangan liar, peladang berpindah atau para penambang dengan seenaknya mengeksploitasi potensi alam tanpa memperhatikan keseimbangan ekosistem yang ada di dalamnya. Karena itu yang lebih maslahah untuk saat ini adalah mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah. Semua jenis pemanfaatan hutan (dalam bentuk ihya’), harus dengan seizin pemerintah. Tanpa itu, seseorang tidak dibenarkan membuka lahan baru. Apa lagi pemerintah telah menetapkan dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3. Disebutkan bahwa bumi dan air serta kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kedua, dengan proses iqta’, yakni pemerintah memberi jatah pada orang-orang tertentu untuk menempati dan memanfaatkan sebuah lahan, adakalanya untuk dimiliki, atau hanya untuk dimanfaatkan dalam jangka waktu tertentu. Pemanfaatan dengan cara ini bisa berkonsekuensi adanya kepemilikan dan bisa juga berarti pemberian wewenang pengelolaan. Namun yang paling sering terjadilah kemungkinan kedua, yakni orang yang paling berhak atas lahan tersebut, dan bukan sebagai pemilik mutlak.5 Pada dasarnya, lahan yang boleh dimanfaatkan dengan cara ini tidak terbatas 4 Sayyid ‘Alwi ibn al-Sayyid Ahmad al-Saqqaf, Hasyiyah Tarsyih al-Mustafiddin bi Tawsyiyah Fath al-Mu‘in, (Mesir: Mustafa al-Bab al-Halaby, 1995), hal. 271. Sandaran Abu Hanifah adalah sabda Rasul saw.: “Tiada hak bagi siapapun kecuali apa yang telah ditentukan oleh imamnya”. Sementara Imam Syafi’i berargumentasi dengan sabda Rasulullah saw.: “Siapa yang menghidupkan (mengurusi) tanah yang tidak dimiliki oleh seseorang, maka dialah pemilik segala manfaatnya. Dan orang lain tidak punya hak pada tanah tersebut”. 5 Al-Nawawi, al-Majmu‘ Syarh al-Muhazzab, Juz XV, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hal. 232-233.
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
243
Anton Jamal
pada hutan saja. Tapi bisa juga berlaku untuk pemanfaatan tempat-tempat umum. Karena itu, membaginya menjadi dua bentuk. Pertama, pemerintah memberi hak pada seseorang untuk mengelola dan memfungsikan sebuah lahan di tempat umum seperti pasar, mesjid dan semacamnya. Namun tidak dengan maksud memilikinya. Ia hanya diberi hak memanfaatkan lahan tersebut, tidak lebih dari itu. Misalnya digunakan untuk tempat berdagang, untuk tempat bersantai, tempat shalat dan lainnya. Ini disebut pula dengan iqta’ irfaq. Kedua, pemerintah memberi jatah lahan pada tanah mawat untuk dikelola dan dimanfaatkan, baik itu berupa lahan tambang, ladang, kebun atau hutan. Sebagai yang dilakukan Nabi kepada sahabat Wayl.6 Kebijakan dari sini, kebijakan pemerintah Indonesia untuk memberi Hak Guna Usaha (HGU) atau Hak Pengolahan Hutan (HPH) kepada sebuah perusahaan dapat dibenarkan. Konsep ini, juga bisa berwujud dalam kebijakan pemerintah untuk melakukan transmigrasi ke daerah-daerah, dengan memberi lahan garapan pada masing-masing keluarga agar dikelola dengan tanaman produktif. Dan juga dapat dilihat dari kebijakan pemerintah yang memberi izin pengelolaan tambang pada sebuah perusahaan dalam jangka waktu tertentu. Hanya saja, pemerintah tidak boleh sembarangan memberikan dalam melakukan kebijakan ini. Pemerintah harus selektif, jangan sampai mengorbankan hak-hak rakyat ataupun kepentingan umum. Pemerintah tidak diperkenankan menggusur hak milik rakyat hanya untuk memberikan kesempatan kepada pengusaha untuk mengeksploitasi suatu lahan. Lahan milik penduduk, tanah adat, tanah pekuburan dan semacamnya merupakan tempat-tempat yang tidak boleh diserahkan kepada pengusaha untuk dikelola. Kalau ini terjadi, jelas fiqh menentangnya.7 Ketiga, dengan cara hima’. Dalam hal ini pemerintah menetapkan suatu area untuk dijadikan sebagai kawasan lindung yang difungsikan untuk kemaslahatan umum. Dalam konteks dulu, difungsikan untuk tempat 6 7
244
Ibnu Qudamah, al-Mughni, Juz V, (Mesir: Matba‘ah al-Qahirah, 1970), hal. 336. Al-Nawawi, Majmu‘, Juz XV,.., hal. 230-232
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN LAHAN TIDUR DALAM FIQH ISLAM
pengembalaan kuda-kuda milik negara, hewan zakat dan lainnya. Setelah pemerintah menentukan sebuah lahan sebagai hima al-mawat, maka lahan tersebut menjadi milik negara. Tidak seorangpun dibenarkan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadinya (melakukan ihya’), apalagi sampai merusaknya. Kawasan itu difungsikan sesuai dengan tujuan awal kebajikan tersebut. Jika lahan itu dimaksudkan untuk pengembalaan kudakuda perang, maka pemanfaatan yang boleh hanyalah untuk kepentingan kuda perang, maka pemanfaatan yang boleh hanyalah untuk kepentingan kuda perang. Bila untuk ternak zakat, maka yang berhak adalah hewan zakat. Dan begitu seterusnya. Dalam sejarah Islam dijelaskan bahwa Nabi Saw. Pernah melakukan hal semacam ini di daerah Naqi‘, seraya berkata:
“Tidak ada hak melakukan hima, kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya” Hadits ini menjelaskan bahwa tanah hima itu dimaksudkan untuk menjaga kemaslahatan masyarakat umum. Baik yang fakir ataupun yang kaya mempunyai hak yang sama terhadap lahan tersebut. Orang yang fakir dapat memfungsikan lahan tersebut sebagai daerah pengembalaan ternakternak yang mereka dapatkan dari hasil sedekah. Sedangkan si kaya memfungsikannya untuk mengembala kuda-kuda perang. Inilah yang membedakan hima di zaman Islam dengan apa yang dilakukan masyarakat Jahiliyah sebelum Islam. Kaum Jahiliyah juga mempraktikkan cara seperti ini, namun tidak untuk kepentingan umum. Manfaat dan hasil tanah tersebut diambil sendiri oleh pimpinan mereka.8 Terjadi perdebatan di kalangan para ulama tentang tanah hima setelah masa Rasul. Apakah Imam berhak melaksanakan kebijakan ini. Bersandarkan pada Hadits di atas, sebagian ulama mengatakan hima al-mawat hanya tertentu bagi Nabi. Namun mayoritas ulama berpendapat boleh dilakukan oleh selain Nabi, asalkan dilaksanakan oleh pemerintah serta dibutuhkan oleh semua masyarakat, serta bukan untuk kepentingan perutnya sendiri. Syarat lain yang harus dipenuhi untuk kebolehan melakukan hima al-mawat 8
Al-Syawkani, Nayl al-Autar, Juz V, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hal. 308-309.
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
245
Anton Jamal
adalah area yang dibuat suaka tidak membuat masyarakat merasa sempit atau terganggu, dan tanah tersebut benar-benar kosong (tidak sedang dihuni, dibuat ladang pertanian atau kebutuhan hidup lainnya). Namun yang penting, lahan tersebut dimaksudkan untuk menjaga kemaslahatan umum. Dan inilah pendapat yang unggul. Karena ternyata ini pernah dilakukan oleh khalifah Abu Bakar, ‘Umar ibn Khattab dan lainnya.9 Dalam konteks keindonesiaan, bentuk ketiga ini tertuang dalam kebijakan pemerintah untuk membuat kawasan lindung yang berfungsi sebagai daerah penyangga sebagai paru-paru kota. Kebijakan ini juga dapat kita lihat dengan penetapan beberapa kawasan sebagai hutan lindung yang berfungsi sebagai cagar alam. Dalam UU Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, pemerintah telah membagi hutan dalam tiga kelompok besar. Pertama, hutan lindung, yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan kehidupan untuk tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. Pengelola hutan ini hanya pemerintah di bawah pengawasan badan internasional yang bergerak di bidang kehutanan. Kedua, hutan konservasi, ialah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Ketiga, hutan produksi, yaitu kawasan hutan yang mempunyai tugas pokok memproduksi hasil hutan. Hutan kategori pertama dan kedua harus tetap dan selalu dipelihara kelestariannya. Siapapun tidak boleh mengotak-atiknya, bahkan samapai mengubahnya. Disamping fungsi yang sudah disebutkan agar hutan tersebut bernilai komersial dan memberikan penghasilan atau bahkan bernilai mata pencaharian warga sekitar, maka bisa dupayakan bagaimana hutan tersebut menjadi objek kawasan wisata. Untuk jenis hutan yang ketiga, warga sekitar atau siapapun baik baik secara kolektif atau secara perorangan bisa turut serta mengelolanya. Dengan demikian, hal tersebut bisa menjamin adanya kelestarian, dalam arti tidak terjadi hutan gundul. Kalau memang tidak mendapat apa yang sedang ditanam di hutan, bisa juga warga diberi hak untuk memanfaatkan lahan dengan ditanami palawija atau tanaman lain yang bisa diandalkan untuk keberlangsungan hidup. 9 Al-Bukhari, Matn al-Bukhari, Juz II..., hal. 53.
246
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN LAHAN TIDUR DALAM FIQH ISLAM
2. Pemanfaatan Hasil Hutan Kebijakan seperti ini jelas bertujuan untuk menjaga kepentingan umum, karena itu tidak ada alasan untuk melarangnya. Dan dengan pertimbangan kemaslahatan, Islam sangat mendukung dengan apa yang dilakukan pemerintah. Meskipun dalam kenyataan di lapangan tidak mesti demikian. Di sana-sini masih banyal penyelewengan dan bisa membuka jalan monopoli. Tapi yang terpenting adalah secara normatif Islam melegalisasinya. Oleh karena itu siapapun, juga dilarang mendirikan bangunan atau membuat ladang pertanian bahkan mendirikan pabrik dan sejenisnya di kawasan yang di lindungi (hima al-mawat). Konsekuensinya kalau sudah terlanjur menempatinya, dia harus mau berpindah. Kalau masih ngotot dan bersikeras pada pendiriannya, penguasa berhak menggusurnya. Larangan lain yang harus dijauhi oleh warga adalah mengambil manfaat, semisal kayu. Baik untuk memenuhi kebutuhan keluarga ataupun dijual. Nmaun demikian ini ada ukurannya. Tidak semua pemanfaatan kayu hutan dikategorikan sebagai pelanggaran. Jika yang diambil itu hanya barang (pohon, satwa dan lain-lain) yang remeh-remeh, nilai komersialnya rendah atau bahkan tidak ada, fiqh masih memberikan toleransinya. Artinya, boleh saja mengambil barang di kawasan hutan lindung tersebut selama eksisitensi barang yang diambil itu tidak hilang. Seperti mengambil ranting, daun atau akar serta barang yang kurang nyata manfaatnya atau nilai komersialnya sangat rendah. Tetapi, jika yang diambil itu barang penting, atau nilainya sangat mahal, semisal pohon langka, pohon besar dan semacamnya, maka dengan tegas fiqh melarangnya. Jadi boleh tidaknya mengambil itu dilihat dari sisi apakah akibat pengambilan itu eksisitensi dan fungsi barang tersebut akan hilang atau tidak, (min hayth al-iftiyat). Kalau tidak sampai menghilangkan eksisitensi dan fungsinya, maka ada kelonggaran untuk memanfaatkannya.10 Larangan ini juga merembet ke transaksi selanjutnya. Misalnya hasil curian atau jarahan tersebut diperjual belikan. Namun hukumnya tidak bisa dipukul 10 Wahbah Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz II, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1984), hal. 574.
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
247
Anton Jamal
samarata, masih ada klasifikasinya. Pertama, pihak pembeli memang tahu bahwa yang dibeli itu adalah barang haram, maka transaksi yang dilakukan dianggap tidak sah karena memang tidak memenuhi syarat-rukun akad jual beli. Dan hukumnya jelas haram karena membantu seseorang dalam perbuatan maksiat. Kedua, kalau orang yang membeli itu benar-benar tidak tahu bahwa barang itu adalah haram (hasil curian), dan orang yang menjual berpenampilan seperti orang baik-baik (bukan tampang kriminal), maka pihak pembeli tidak berdosa dan ia tidak akan dituntut di akhirat. Sebaliknya, jika yang menjual punya potongan pencuri atau mencurigakan, maka di akhirat tetap dihukumi sah sebab transaksinya secara zahir (kasat mata) sudah benar.11 Hal yang sama juga mesti diperhatikan demi kelestarian lingkungan adalah menghindari eksploitasi yang berlebihan. Walau telah mendapat HPH, para pengusaha tidak dibenarkan melakukan usahanya sehingga merusak ekosistem hutan. Misalnya dengan membakar, atau melakukan penebangan hingga membuat hutan menjadi gundul. Dan juga dilarang menggunakan obat-obatan yang banyak mengandung bahan kimia. Sehingga dapat mengakibatkan pencemaran baik udara maupun air. Karena semua perbuatan ini termasuk ifsad fi al-ard, yang telah dilarang oleh Alquran, “ Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”12 Dalam tafsirnya, al-Qurtubi menyatakan bahwa larangan dalam ayat ini berlaku mutlak. Artinya, Allah melarang manusia untuk merusak ekosistem alam ini. Al-dhahhak menyatakan, arti ayat ini adalah, janganlah kamu mencemarkan air, memotong pepohonan yang berbuah dan semacamnya. 13
11 Al-Malybari, I‘anah al-Talibin, Juz III, (Indonesia: Maktabah Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t), hal. 9. 12 Qs. al-A‘raf/7. 13 Al-Qurtubi, al-Jami‘, Juz IV, hal. 227
248
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN LAHAN TIDUR DALAM FIQH ISLAM
3. Wewenang Pemerintah Pemerintah mempunyai kekuasaan sangat besar untuk mengatur hutan. Dan pemerintah harus mampu menjamin kesejahteraan rakyat. Yakni dengan cara membagi-bagikan kekayaan alam kepada mereka yang membutuhkannya secara adil, bukannya menguasai untuk kepentingan pribadinya. Parameternya bukan siapa yang jauh atau dekat, tapi mereka adalah yang lebih butuh dan mampu mengelola sumber daya alam. Sehingga cita-cita dan tujuan kemaslahatan umum benar-benar terwujud nyata. Sesuai dengan kaedah Fiqh:
“Kebijakan pemerintah terhadap rakyatnya harus berdasarkan pertimbangan kemaslahatan” 14 Karena itu, sepatutnya pemerintah lebih selektif untuk menentukan pihakpihak yang diberi izin mengelola hutan. Jangan sampai memberi kesempatan pada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Yang mengeruk hasil hutan tanpa memikirkan kesimbangan lingkungan. Jika dalam pelaksanaannya pihak yang diberi kewenangan tersebut melakukan pelanggaran, misalnya merusak hutan, atau mencemari air, pemerintah berhak mencabut izin usahanya. Sebagaimana yang dilakukan Khalifah Umar kepada Bilal bib Harits yang tidak mampu mengelola dengan baik lahan yang telah diberikan oleh Rasul.15 Tidak itu saja, pemerintah juga punya hak untuk memberlakukan sanksi kepada “raja hutan” yang telah mengeksploitasi hutan demi kepentingan pribadinya. Begitu juga para pencuri kayu dari kawasan lindung, mereka juga harus dijerat hukum. Mereka dapat dikenai hukuman karena telah merusak alam. Akibat perbuatan mereka, hutan menjadi gundul, alam menjadi gersang, sungai dan pantai menjadi tercemar. Akibatnya, tanah longsor, banjir, erosi terjadi dimana-mana. Ini tentu membahayakan kehidupan manusia. Karena itu sangat pantas kalau mereka mendapat 14 Al-Sayuti, al-Asybah wa al-Nazair fi al-Furu‘, (Indonesia: al-Haramayn, t.th.), hal. 83-84. 15 Ibn Qudamah, al-Mughni..., hal. 337-338.
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
249
Anton Jamal
hukuman atas perbuatan mereka itu. Memang di antara para penebang pohon itu ada yang beranggapan bahwa alam semesta ini adalah milik negara dan digunakan atau dimanfaatkan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat. Dan mereka semua adalah rakyat yang punya bagian dari alam tersebut. Jadi, seandainya ada rakyat yang mengambil sesuatu dari kawasan hutan, maka sama saja dengan mengambil sebagian hak yang dia miliki. Karena itu pemerintah tidak berhak menjatuhkan sanksi. Anggapan semacam ini tentu tidak dapat dibenarkan. Karena pertama, setelah pemerintah menetapkan sebuah kawasan lindung, semua rakyat wajib patuh pada keputusan tersebut. Dan rakyat tidak lagi punya hak untuk memanfaatkannya. Bukankah Allah memerintahkan manusia untuk patuh pada apa yang telah diputuskan pemerintah?. Kedua, dalam teori fiqh, memang dikenal istilah syubhah, yakni terjadinya ketidakjelasan baik karena benar-benar tidak tahu atau karena ada percampuran kepemilikan. Dalam hal ini, rakyat mempunyai hak atas hutan karena hutan itu memang diperuntukkan untuk kemaslahatan rakyat. Ketika mereka mengambil kayu hutan itu bisa digolongkan sebagai tindakan syubhah. Namun, adanya syubhah ini bukan berarti hukuman akan hilang. Orang yang melakukan tindakan kejahatan dengan cara ini tetap harus menadapat hukuman. Sebab syubhah hanya bisa menggugurkan had hukuman-hukuman yang pasti dari Tuhan, seperti potong tangan, qisas dan semacamnya) dan Kaffarah (sanksi karena melanggar sumpah dan lainnya), namun tidak menggugurkan ta’zir. Karena pencuri hutan dapat dihukum dengan mengatas namakan ta’zir.16 Sudah pasti yang menjadi tolok ukur untuk memberikan sanksi adalah seberapa besar, kerusakan alam yang terjadi. Oknum yang telah menghabiskan banyak kayu hutan untuk kepentingannya sendiri, tentu harus dihukum 16 Dalam khazanah Fiqh Klasik, mereka dapat dikenakan hukuman ta’zir (hukuman yang tidak disebutkan secara langsung oleh syara‘). Sebab yang menjadi patokan dalam ta’zir adalah setiap orang yang melakukan kemungkaran, atau menyakiti serta membahayakan orang lain. Dalam hal ini, mereka telah melakukan perbuatan yang dapat membahayakan kepentingan umum. Muhammad al-Zuhayli, al-Nazariyyah al-Fiqhiyyah, (Mesir: Matba‘ah al-Qahirah), hal. 61.
250
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN LAHAN TIDUR DALAM FIQH ISLAM
lebih berat dari orang yang hanya mencuri beberapa batang kayu hutan untuk kayu bakar, serta memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Mereka tidak bisa disamakan. Apalagi dibalik, si “raja rimba” mendapat hukuman yang ringan, sementara orang kecil hukumannya berat. Sebab Alquran mengajarkan agar kadar hukuman yang diberikan kepada seseorang harus sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. C. Penutup Dari penjelasan di atas dapat di pahami, bahwa Islam adalah agama yang mengatur seluruh sisi kehidupan manusia tidak hanya yang berhubungan dengan ibadah mahdah (hubungan manusia dengan Allah Swt.), juga mengatur mu’amalah (hubungan sesama manusia). Disamping itu hukum-hukum yang sudah terdapat dalam Alquran dan Sunnah selain dapat dipahami secara tekstual juga terbuka untuk dipahami secara kontekstual. Dan fiqh adalah produk pemahaman terhadap kedua sumber hukum tersebut. Sehingga wajar, jika pemahaman-pemahaman para ulama terdahulu perlu di kaji kembali dalam konteks kekinian. Sebagaimana halnya pemahaman para ulama yang berkaitan dengan status kepemilikan dan pemanfaatan lahan tidur di atas, yang dalam bahasa fiqh lebih dikenal dengan ihya al-mawat. Akan tetapi pemahaman fiqh yang kontekstual dan kekinian tersebut tidak boleh lepas dari ruh al-tasyri‘ (maqasid al-ayari‘ah) dan bertentangan dengan dalil-dalil khusus. Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam mengatur kepemilikan dan pengelolaan lahan tidur termasuk hutan, dapat dipahami sebagai upaya untuk menjaga kemaslahatan umum yang tidak bertentangan dengan dalil-dalil khusus dan maqasid al-syari‘ah yaitu : menjaga jiwa dan harta dari ancaman bencana alam, sebagai akibat dari kerusakan yang di buat oleh sebahagian manusia.
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
251
Anton Jamal
Daftar Pustaka Al-Bukhari. Matn al-Bukhari, Juz II, Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri, Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Al-Nawawi. al-Majmu‘ Syarh al-Muhazzab, Juz XV, Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Ibn Qudamah. al-Mughni. Juz V, Mesir: Matba‘ah al-Qahirah, 1970. Al-Sayuti, al-Asybah wa al-Naza’ir fi al-Furu‘, Indonesia: al-Haramayn, t.th. Sayyid ‘Alwi bin al-Sayyid Ahmad al-Saqqaf. Hasyiyah Tarsyih al-Mustafiddin bi Tawsyiyah Fath al- Mu‘in. Mesir: Mustafa Bab al-Halaby, 1995. Al-Syawkani. Nayl al-Autar. Juz V. Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Wahbah Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Juz II. Damaskus: Dar al-Fikr, 1984. Al-Malybari. I‘Anah al-Talibin, Juz III, Indonesia: Maktabah Ihya’ al-Kutub al‘Arabiyyah, t.th.
252
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT DALAM PERSPEKTIF FIQH MODERN (Penerapan Konsep Mudārabah pada Program Gerakan Masyarakat Aceh Darussalam) Fauzi Saleh
Abstract Mudarabah is the concept based on profit and loss sharing (PLS). The concept has been applied either in Islamic World or non-moslem World as well. For Aceh especially as province applied Syariah law, the concept is precise way to upgrade to the ummah economic grade. As a case, Gema Assalam as mentioned below, should be modified with this concept. Here, the society will see how the justice of the concept in sharing the loss and profit will be applied. By this awareness, the worker and the investor will believe each other to apply the business based on mudarabah concept.
Key words: mudārabah, pemberdayaan ekonomi
Fauzi Saleh
A. Pendahuluan Kondisi daerah khususnya, tingkat kemiskinan masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam dengan penduduk 4.166.040 jiwa, penduduk miskin telah mencapai 1.223.704 jiwa (33,84 %) dari jumlah penduduk. Dilihat dari laporan terakhir dari Kabupaten/Kota keadaan Februari 2003 dengan jumlah penduduk 4.133.510 jiwa, penduduk miskin telah mencapai 60,31 %1. Kondisi demikian dapat dikatakan sudah sangat kritis dan diperlukan langkah perbaikan segera..2 Penanggulan kemiskinan dapat menitikberatkan pada pemberdayaan masyarakat sebagai pendekatan operasional, merupakan wujud komitmen pemerintah dalam merealisasikan kesejahteraan sosial bagi masyarakat yang digambarkan dalam sila kelima dari Pancasila. Pemerintah mempuyai kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui programprogram penanggulangan dan pengentasan kemiskinan. Sehingga setiap warga negara mendapatkan penghidupan yang layak sebagaimana yang tercantum dalam UUD 45 pasal 273 Untuk tujuan ini diperlukan program-program pembangunan gampong melalui upaya-upaya terobosan dalam bentuk gerakan pembangunan 1 Maksudnya mereka yang belum terpenuhi kebutuhannya baik pangan, sandang maupun papan yang merupakan salah satu dari lima kebutuhan dharurinya, yang kemaslahatanya harus diwujudkan dan dipelihara. Kelima unsur itu – kata al-Syatibi- adalah agama, jiwa, keturunan, akal dan harta. Dalam usaha mewujudkan dan memelihara lima unsur pokok itu, ia membagi kepada tiga tingkat maqasid atau tujuan syari’ah, yaitu: al-darûriyyât, al-hâjiyât dan al-tahsiniyât. Tidak terwujud daruriyat dapat merusak kehidupan dunia dan akhirat secara keseluruhan. Namun apabila dianalisis lebih jauh, ketiga tingkat itu tidak dapat dipisahkan. Tampaknya bagi al-Syatibi, tingkat hajiyat adalah penyempurna tingkat daruriyat, tingkat tahsiniyat merupakan penyempurna lagi bagi tingkat hajiyat. Sedangkan daruriyat menjadi pokok hajiyat dan tahsiniyat. (Lihat AlSyatibi, al-Muwâfaqât , Juz 2, hal 8. Menurut Asafri Jaya Bakri, jika diperhatikan Syatibi juga membagikan maslahah kepada dua bagian: dunyawiyah dan ukhrawiyah, namun ia bukanlah garis pemisah antara dua orientasi kandungan hukum Islam. Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqasid Syari’ah Menurut al-Syitibi (Jakarta: Rajawali Press, 1996), hal. 72-73), al-Syatibi, al-Muwafaqat fi usul al-Ahkam, Juz 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1451H), hal. 3-4. 2 Pemda NAD, Petunjuk Teknis Operasional Program Gema Assalam, (Banda Aceh: Pemda NAD,2003), hal. 1. 3 “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Murasa Sarkaniputra, Hutanku, Hutanmu, Hutan Kita semua, Cet. I, (Bogor: Yayasan Bina Lingkungan Gunung Salak, 2003), hal. 43.
254
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT DALAM PERSPEKTIF FIQH MODERN
yaitu Gema Assalam (Gerakan Masyarakat Aceh Darussalam). Program pembangunan gampong masa sebelumnya dalam penanggulangan kemiskinan, dengan menitikberatkan pada pemberdayaan masyarakat sebagai pendekatan operasionalnya.4 Namun dalam perjalanannya tidaklah mulus, khususnya dalam membantu percepatan penanggulangan kemiskinan melalui usaha Ekonomi Produktif masyarakat dan sekaligus dapat terbuka lapangan usaha serta menciptakan lapangan kerja.5 Sasaran dari program ini akan memberikan dampak positif kiranya bila ditunjang dengan konsep islami yang sudah terbukti kemampuannya. Penulis ingin menguraikan plus minus perjalanan program ini dan pembenahan yang diperlukan dalam etos kerjanya dengan merujuk al Qur’an, sunnah, Ahkam syari’ah, shuratic process, Pancasila, UUD 45, DNA Cromosom, tawhidi epistemology dan seterusnya, insya Allah akan tercover sebagian permasalah terutama dalam pemberdayaan Ekonomi rakyat di Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan metode komperatif antara beberapa mazhab, penulis mencoba mengungkapkan konsep Islam tentang mudarabah yang sejalan dengan perkembangan bisnis modern dan mencoba memikirkan langkah-langkah apa saja yang kiranya dapat mereformasikan pola yang sudah ada dengan merujuk kepada al-Qur’an, sunnah, Ahkam syari’ah, shuratic process (proses musyawarah), Pancasila, UUD 45, DNA Cromosom, tauhidi epistemology6 dan seterusnya. B. Sekilas tentang Gema Assalam Munculnya Gema Assalam ini dilatarbelakangi oleh keinginan Pemerintah 4 Pemda NAD, Petunjuk Teknis Operasional…, hal. 2. 5
Ibid., hal. 3.
6 Tauhidi epistemology ini dapat diartikan teori pengetahuan berdasarkan tauhid, yang karakternya: premis aksiomatiknya tidak berubah-ubah, tidak terpecah-pecah, dalam kesatuan dan sempurna dan dapat diimplementasikan secara universal kepada semua sistem. Murasa Sarkaniputra, Tauhidi Epistemologi, hal 13-24.
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
255
Fauzi Saleh
Daerah untuk memperdayakan ekonomi rakyat terutama mereka yang berada di bawah garis kemiskinan, sebagaimana yang diuraikan dalam pendahuluan di atas. Landasan pelaksanaannya didasarkan pada Keputusan Gubernur No. 24 Tahun 2002 tentang: Petunjuk Pelaksanaan Program Masyarakat Aceh Darussalam7. Di antara maksud dan tujuannya adalah membantu percepatan pelaksanaan pembangunan masyarakat gampong dengan percepatan penanggulangan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, meningkatkan kesadaran sosial, kesadaran berbangsa dan negara, mendorong pelaksanaan syari’at Islam, meningkatkan kemampuan lembaga adat dan menciptakan lapangan kerja.8 Program riil sebagai pembangunan sarana dan prasarana yaitu: air bersih, listrik dan telepon, perumahan rakyat, jalan dan jembatan, usaha ekonomi produktif, bantuan peralatan, bibit, pupuk, sarana ibadah, pendidikan, kesehatan, pos obat, pasar gampong dan kantor mukim.9 Sedangkan sasaran utamanya adalah kemukiman berpenduduk miskin dengan prioritas lokasi yang dipilih10 C. Konsep Islami dalam Berbinis Yang diberikan kepada masyarakat berupa kail, bukan ikan, yang layak dipakai dan sesuai dengan tuntunan Ilahi, sehingga usaha yang dikerjakan memiliki dimensi duniawi dan ukhrawi, dalam hal ini penulis sebut dengan konsep Islami.11 Apalagi tuntunan Ilahi-lah yang telah membuktikan 7 Surat Keputusan Gubernur NAD, tertanggaal 31 Juli 2002, hal. 1. 8 Ibid., hal. 2 9 Ibid., hal. 3 10 Ibid 11 Hal ini mengacu kepada tauhidi epistemology bahwa ghayah (tujuan) hidup setiap insan hadalah mardhatillah, maka harus dimulai dengan niat li Allah, yang disenergikan dengan kaifiat (cara) berdasarkan syari’ah. Aksioma ini diikuti oleh asumsi, yakni pelarangan atas riba, gharar, dan israf. Yang klimaksnya menghasilkan suatu komoditi yang halal dan thayyib. Murasa Sarkaniputra, Tauhidi Epistemologi, hal. 26.
256
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT DALAM PERSPEKTIF FIQH MODERN
keberhasilan dalam berbagai sektor kehidupan manusia. Memang tidak mengada-ada, bahkan sudah pernah tercatat dalam sejarah dimana tingkat kemiskinan mencapai titik nol dalam dunia Islam, yaittu di masa Umar ibn ‘Abd al-Aziz. Salah satu indikatornya ialah sulitnya menemukan orang yang bersedia menerima zakat karena tidak merasa dirinya miskin.12 Untuk mengaplikasi hal tersebut penulis hanya membahas berkenaan dengan usaha ekonomi produktif. Bagi NAD khususnya memiliki kesempatan emas – dalam kaitannya dengan penerapan syari’at Islam – untuk membentuk qanun khusus yang menetapkan bentuk-bentuk transaksi usaha Islami sebagaimana yang diamanahkan dalam ayat 2, Bagian Kelima, Pasal 9, Undang-Undang No. 44 tahun 1999.13 1. Kendala Kendala yang dihadapi dalam pembangunan suatu investasi, termasuk Gema Assalam, terdiri dari aspek: 1. Hardware, yaitu ketersediaan sarana dan prasarana yang tergolong piranti keras, seperti lahan dan infrastruktur yang cukup untuk dapat dikembangkan investasi yang disalurkan Gema Assalam. 2. Software, yaitu system informasi yang menjelaskan konsep bridging network antara Gema Assalam dengan masyarakat. 3. Orgware, yaitu terbentuknya suatu organisasi yang sehat secara evolutif. Bekerja didasarkan pada prinsip akuntabilitas, transparansi, efektif, efesien, partisipatif, sehingga menghasilkan kebijakan yang demokratis dan adil. 4. Finware, yaitu efektivitas biaya dengan tingkaat analisis investasi yang menyeluruh. 5. Ecoware, yaitu adanya lingkungan yang dapat memberikan kontribusi 12 Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, Cet. II, (Bandung: Mizan, 1994) hal 200. 13 Bunyinya: Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (maksudnya: Badan yang beranggotakan ulama, penulis) bersifat Independen yang berfungsi memberikan pertimbangan terhadap kebijakan Daerah, termasuk bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan serta tatanan ekonomi Islami MPU, Kumpulan Undang-undang, PERDA, QANUN, dan Instruksi Gubernur tentang Keistimewaan Nanggroe Aceh Darussalam, (Banda Aceh: MPU, 2002), hal. 6-7.
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
257
Fauzi Saleh
dan pengkondisian baik secara parsial/individu maupun komunitas secara kualitatif.14 Konsep mudarabah kiranya dapat memberikan solusi yang berarti dari kendalakendala di atas. Karena Hardware, Software, dan Orgware – walaupun tidak sepenuhnya – namun dapat dikatakan sudah tersedia. Sekarang konsep ini sejauh praktek yang dijalankan memang efektive dalam hal investasi. Ecoware sendiri itu akan terbentuk ketika masyarakat harus bermuamalah secara Islami, karena – mau tidak mau – harus mengikuti cara main yang diatur dalam kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya SAW. Masyarakat Aceh ada yang bekerja sebagai petani, juga ada nelayan dan pedagang. Sebelum diberikan investasikan kepada mereka, maka hendaknya didata mana di antara mereka yang paling membutuhkan investasi pemerintah berupa Gema Assalam. Yang sama sekali tidak berasaskan pertimbangan kerabat, kasih sayang seterusnya15 2. Mudârabah salah satu konsep Usaha Islami Islam mengedepankan suatu konsep Mudarabah (Profit and Loss System), yaitu suatu system usaha berbagai laba dan rugi, dimana pihak-pihak yang melakukan investasi memberikan modal, tenaga kerja, manajemen pada kesepakatan kontrak untukusaha patungan dengan prosentase nisbah ditentukan diawal kontrak.16Ia merupakan tranformasi Islam dari suatu perekonomian modern yang merupakan penggantian pranata bunga17. Konsep yang ditawarkan Islam sangat bervariasi yang sangat applicable baik bagi masyarakat kota maupun desa, petani, nelayan, pedagang atau lainnya dapat menjalankan usaha islami ini. Konsep ini memiliki prinsip-prinsip 14 Murasa Sarkaniputra, Jauhar, Vol. 3 No. 2 (Jakarta: UIN, 2002) hal. 195-196. 15 Ibn Taimiyyyah, al-Siyâsah al-Syar’iyyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah,2000), hal. 5455. 16 Murasa Sarkaniputra, Hutanku,..., hal. 46. 17 Muhammad Najetullah Siddiqi, Issues in Islamic Bank, diterjemahkan oleh Asep Hikmat Suhendi, (Bandung: Pustaka, 1984), hal. 132.
258
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT DALAM PERSPEKTIF FIQH MODERN
Ekonomika Islami, yakni: tauhid dan ukhuwwah, kerja dan produktivitas, keadilan distributive, santun lingkungan18. Yang perspektif dan produktivitas kerjanya untuk mencapai tiga sasaran; mencukupi kebutuhan hidup (isyba`), meraih laba yang wajar (irbah) dan menciptakan kemakmuran lingkungan baik sosial maupun alamiah (al-i`mar).19 Penerapan konsep Mudârabah yang kaitannya dengan Gema Assalam: a. Gema Assalam dianggap sebagai rabb al-mal (investor) yang memberikan modal kepada mudarib (dalam hal ini masyarakat yang berekonomi lemah). b. Selanjutnya si mudarib secara bebas sepenuhnya dapat berdagang dengan modal yang dipercayakan dengan cara yang dianggap paling baik dan mengambil langkah yang dianggap perlu untuk mendapatkan keuntungan maksimum c. Pihak Gema Assalam dan mudarib keduanya berhak menentukan jangka waktu kontrak kemitraan20 d. Mudarabah termasuk kontrak ghayr lazim (tidak mengikat), artinya pihak Gema Assalam dan Mudarib, keduanya berhak untuk membatalkan kontrak, demikian pendapat Hanafi, Syaf’ie dan Hanbali.21 e. Bila dalam satu modal untuk dikerjakan oleh sekian mudarib, maka hasilnya dibagikan sesuai dengan kadar perbuatan mereka.22 3. Etika Bisnis Islami Supaya bisnis dapat berjalan baik, maka hendaknya pihak investor dan mudarib mengikuti etika Islam dalam mengayun langkah bisnis, di antaranya; a. Motivasi untuk berbakti, yakni hendakya berniat untuk memberikan 18 Murasa Sarkaniputra, dkk, Tauhidi Epistemologi, (Jakarta: UIN, 2003), hal. 28. 19 Ibid., hal. 31. 20 Azalur Rahman, Economic Doctrine of Islam, diterjemahkan oleh: M Sonhadji, dkk, Jilid 3 (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hal. 386. 21 Wahbah al Zuhayli, Fiqh al-Islâm wa adillatuh, (Suriah: Dar al Fikr, 1997), Cet. VII, hal. 3929. 22 Ibid.,hal. 3930.
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
259
Fauzi Saleh
pengabdian yang diharapkan olehmasyarakatnya dan manusia secara keseluruhan. b. Ingat Kepada Allah dan prioritas utamanya, artinya kesadaran akan Allah ini, hendaknya menjadi sebuah kekuatan pemicu (driving force) dalam segala tindakannya. 23 4. Macam-macam Mudarabah a. Mudarabah Mutlaqah, yakni bentuk kerja sama antara sahib al-mal dan mudarib yang cakupannya sangat luas dana tidak ditabatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. b. Mudarabah Muqayyadah (restricted mudarabah) yaitu si mudarib dibatasi denganbatasaanjenis usaha, waktu atau tempat usaha.24 Model kedua ini kiranya lebih mudah dalam pelaksanaan Gema Assalam, karena lebih mudah dalam pengontrolan dan memiliki batasan-batasan yang dibuat untuk mencapai target. 5. Rukun Mudarabah Menurut Hanafiah ada dua rukun akad mudarabah, yaitu ijab dan qabul. Sedangkan jumhur, rukunnya ada tiga: `aqidan (pemilik harta dan pekerja), ma`qud `alayh (modal, pekerjaan dan laba), sighah (ijab dan qabul). AsySyafi’iyyah menggapnya lima: modal, pekerjaan, laba, sighah dan `aqidan 25 6. Syarat-syarat mudarabah: Rabb al-mal dan mudarib sebagai DNA-Chromosomenya mudhrabah, keduanya disyaratkan: keduanya memiliki kekuasaan untuk melakukan tawkil dan wakalah. Yang menjadi kewajiban mudarib: bersikap amanah, boleh memiliki bentuk usaha apa saja pada mudarabah mutlaqah dan investor menentukan jenis usaha tertentu pada muqayyadah, melaksanakan operasional yang layak. 23 Mustaq Ahmad, Business Ethics in Islam, diterjemahkan oleh Samson Rahman dengan judul Etika Bisnis Dalam Islam, Cet. I, (Jakarta: al-Kautsar, 2001), hal 112-114. 24 Syafi’i Antonio, Bank Syariah, Cet. VI, (Jakarta: GIP, 2001), hal. 97. 25 Wahbah al-Zuhayli, Fiqh al-Islâm wa adillatuh …, hal. 3928.
260
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT DALAM PERSPEKTIF FIQH MODERN
Sedangkan haknya: mendapatkan keuntungan sesuai perjanjian, tidak menanggung resiko bila telah menjalankan tugasnya sesuai prosedur.26 Yang menjadi kewajiban mudarib: bersikap amanah, boleh memiliki bentuk usaha apa saja pada mudarabah muthlaqah dan investor menentukan jenis usaha tertentu pada muqayyadah, melaksanakan operasional yang layak. Sedangkan haknya: mendapatkan keuntungan sesuai perjanjian, tidak menanggung resiko bila telah menjalankan tugasnya sesuai prosedur.27 Syarat pada laba a. Hendaknnya laba itu jelas kadarnya, karena bila laba itu samarsamar menyebabkan akad itu rusak28. Menurut Hanafiah, bila ada syarat yang menyebabkan samarnya kadar laba maka syarat itu bisa merusak akad mudarabah. Menurut Malikiyah, boleh mensyaratkan laba itu untuk salah satunya atau kepada orang lain. b. Laba hendaknya berbentuk bagian tertentu yang sudah masyhur, seperti: 1/3, 1/2, 1/4, dan sebagainya. Tidak boleh dalam jumlah pasti, misalnya 100 dinar.29 7. Hukum-Hukum Mudarabah a. Fasidah, bentuknya seperti kata seseorang kepada temannya: pasanglah nyala ikan, nantinya kita bagi dua. Menurut Hanafiah, Syafi’iyyah dan Hanabilah bahwa si mudarib tidak berkewajiban 26 Wahbah al-Zuhayli, Fiqh al-Islâm wa adillatuh, hal 3944-3950, Abdullah Saeed berpendapat bahwa apabila terjadi kerugian, maka investor menanggungnya sepanjang tidak terbukti bahwa mudharib menyelewengkan atau terjadi kesalahan manajemen dari dana mudhârabah berdasarkan persyaratan kontrak yang telah disepakati dengan investor.(Abdullah Saeed, Islamic Bank, diterjemahkan Muhammad Ufuqul Mubin, dkk dengan judul Bank Islam dan Bunga (Yogyakarta: pustaka Pelajar, 2003), cet. I, hal. 106. 27 Wahbah al Zuhayli, Fiqh al-Islâm wa adillatuh…hal 3944-3950, Abdullah Saeed berpendapat bahwa apabila terjadi kerugian, maka investor menanggungnya sepanjang tidak terbukti bahwa mudarib menyelewengkan atau terjadi kesalahan manajemen dari dana mudarabah berdasarkan persyaratan kontrak yang telah disepakati dengan investor.(Abdullah Saeed, Islamic Bank, diterjemahkan Muhammad Ufuqul Mubin, dkk dengan judul Bank Islam dan Bunga, Cet. I, (Yogyakarta: pustaka Pelajar, 2003), hal. 106. 28 Syams al-Din al-Sarakhsi, al-Mabsut, Juz 22, (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1414 H), cet. I 27, Wahbah al- Zuhayli, Fiqh al-Islâm wa adillatuh… hal. 3937. 29 Wahbah al-Zuhayli, Fiqh al-Islâm wa adillatuh…,hal. 3940
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
261
Fauzi Saleh
melakukan seperti akad mudarabah yang shahih. Namun bagi pekerja cukup dibayar upah saja.30 b. Sahihah. Ini merujuk kepada kondisi tangan mudarib, pekerjaan mudarib, sebagian merujuk kepada apa yang berhak dipemuroleh mudarib dari pekerjaannya dan rabb mal dari modalnya. - tangan mudarib: sepakat imam mazhab bahwa mudarib orang yang memegang amanah berupa modal yang ada pada tangannya sama dengan wadi’ah. Apabila mensyaratkan bahwa mudarib menjamin kerugian, maka syarat ini dianggap batil dan akadnya sah menurut pendapat Hanafiah dan Hanabilah. Sementara menurut Malikiyah dan Syafi’iyyah menggapnya akadnya fasid karena syarat itu menambahkan gharar yang kontradiksi dengan normalnya akad. - Tasarruf mudarib: hukumnya berbeda tergantung jenis mudarabah yang dijalankan yakni muqayyadah dan muthlaqah. - Hak-hak mudarib ada dua hal: nafaqah (biaya operasional) dari harta mudarabah dan laba yang ditentukan dalam akad. Tentang biaya operasional, ada tiga pendapat: Syafi’ie dalam salah satu pendapatnya mengatakan tidak berhak. Ibrahim al-Nakha’ie dan Hasan Basri berkata: berhak baginya baik ketika musafir atau tidak. Jumhur mengatakan: berhak nafakah ketika musafir saja. 31 8. Modal Modal: hendaknya berbentuk uang, diketahui jumlahnya, cash, diserahkan kepada mudarib.Laba: Hendaknya jelas jumlahnya, jelas prosentase pembagiannya32. Untuk menghindari perselisihan,, dalam kontrak mudarabah secara khusus ditentukan jumlah modal yan disertakan dalam bentuk sejumlah mata uang yang beredar. 33 Namun tidak boleh dianggap bahwa 30 `Alauddin Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasani, Badai` al-Shana-I`…hal.108, Wahbah alZuhayli, Fiqh al-Islâm wa adillatuh… ,hal. 3941 31 Wahbah al-Zuhayli, Fiqh al-Islâm wa adillatuh… ,hal 3957 32 Wahbah al-Zuhayli, Fiqh al-Islâm wa adillatuh., hal 3931-3940 33 Ibn Rusyd, Bidâyat al-Mujtahid wa nihâyat al-muqtashid, Juz. II, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.,), hal. 78
262
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT DALAM PERSPEKTIF FIQH MODERN
modal dalam kontrak tersebut sebagai bentuk hutang pihak mudarib kepada investor34.Alasannya adalah kalau dianggap hutang maka dimungkinkan si investor mengambil keuntungan dari hutang tersebut, dan itu adalah riba yang dipraktekkan pada masa pra-Islam35. 9. Pembagian Keuntungan dan Pertanggung jawaban Kerugian Persentase nisbah yang ditentukan ditentukan oleh: - nisbah relatif dari modalyang diberikan oleh tiap rekanan dalam proyek penggunaan-modal (capital-using project) atau . - nisbah upah relatif dari curahan tenaga kerja dalam kasus proyek penggunaan-tenagaan kerja (labour using project) . - oleh relatif dari nilai uang yang ditaruh oleh masing-masing perusahaan dalam suatu kasus proyek patungan (inter-firm supervision of the joint project).36 10. Pertanggungjawaban Kerugian Jika terjadi kerugian dalam usaha, maka hal tersebut dianggap sebagai reduksi atas modal dan ditanggung oleh pemilik modal itu sendiri. Hukuman atas gagalnya permasukan tambahan modal ini tidak sepantasnya dibebankan kepada pihak yang menjalankan usaha tersebut.37Tapi jika si mudarib melanggar persetujuan kontrak dan mengalami kerugian dalm usahanya, maka dia harus bertanggung jawab atas setiap kerugian yang dialami. 38 11. Pembagian Keuntungan Bagian keuntungan setiap pihak harus ditetapkan sesuai bagian atau prosentasi. Membagi keuntungan kepada pihak yang memperoleh modal melalui mudarabah dan kepada pemilik modal ditetapkan dengan suatu ukuran keuntungan yang sederhana, misalnya, seperdua, sepertiga, atau 34 Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz 5 (Riyad: Maktabat al-Riyad al-Hadithah, 1981), hal. 73. 35 Ahmad Saeed, Islamic Bank, hal. 94 36 Murasa Sarkaniputra, Tauhidi Epistemology, hal. 35-36 37 M. Nejatullah Siddiqi, Partnership and Profit Sharing in Islamic Law, Dana Bhakti Prima Yasa, 1996), hal 15-18
(Yogyakarta: PT.
38 Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz 5, hal. 54
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
263
Fauzi Saleh
seperempat. Apabila satu jumlah ditentukan, misalnya untuk salah satu pihak memperoleh 100.000 rupiah di luar keuntungan, atau kurang dari itu, atau lebih dari itu, dan sisanya untuk pihak lain, hal seperti ini tidak sah. Jadi pembagian keuntungan dilakukan melalui tingkat perbandingan ratio, bukan ditetapkan dengan jumlah (uang) pasti.39 D. Aksiologi Konsep Mudarabah Gema Assalam terhadap NAD: 1. Prinsip mudarabah dalam Gema Assalam ini menurut hemat penulis merupakan salah satu langkah cara meningkatkan peran masyarakat dalam pelaksanaan otonomi daerah, dimana mereka ikut bertanggung jawab dan mengelola daerahnya sendiri termasuk dalam mengembangan keuangan dana Gema Assalam sebagai salah satu asset daerah, sebagaimana yang dimaksudkan dalam UU No. 22 tahun 199 dengan Peraturan Pemerintah No. 25/200040 2. Dapat menghindari kerugian daerah, mengingat pertanggungjawaban dari konsep mudarabah ini sangat transparan. Mengingat bahwa dana Gema Assalam sebagiannya berasal dari APBN dan APBD. Namun kalau konsep mudarabah ini tidak dapat dijalankan maka akan mengakibatkan penyaluran uang yang tidak semestinya, akhirnya dikenakan tuntutan Ganti Rugi Keuangan dan Material Daerah sebagai yang tercantum dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 11 tahun 197841 3. Dengan menjadikan konsep mudarabah dapat memperdayakan ekonomi rakyat, berarti pemerintah daerah secara tidak langsung telah membantu negara dari keterpurukan ekonomi yang berkelanjutan dan mengurangi ketergantungan kepada IMF42. Karena mudarabah 39 Sarakhsi, al-Mabsût, Juz 22 (Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H), hal. 18 40 Isinya berkenaan dengan kewenangan pemerintah dan pemerintah propinsi sebagai daerah otonom yang menjadi landasan implementasi otonomi daerah telah membawa angin segar bagi pemerntah dan masyarakat daerah untuk dapat mengurus dan mengelola daerahnya sendiri. Laode Ida, Otonomi Daerah, Demokrasi Lokal dan Clean Government, (Jakarta: PSPK, 2000), cet. I, hal. 61. 41 D. J. Mamesah, Sistem Administrasi Keuangan Daerah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), cet. I, hal 158-159. 42 Sebagaimana yang terjadi pada tahun 1997, dimana pemerintah mencoba menghentikan
264
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT DALAM PERSPEKTIF FIQH MODERN
merupakan konsep ekonomi yang bebas bunga. 43 E. Penutup Gema Assalam – menurut hemat penulis – memiliki sasaran dan objek yang jelas, demikian pula pelaksanaannya. Rancangan konsepnya operasionalnya pun terasa memadai. Namun masih perlu ditingkatkan pembekalan pelaksana dari jajaran atas hingga bawah dengan etika bisnis Islami yang merupakan salah satu perwujudan pembangunan manusia seutuhnya sebagaimana tercantum dalam GBHN. Konsep mudarabah merupakan suatu alternatif yang sangat prospektif, di samping sejalan dengan penerapan syariat Islam, juga sudah teruji akan kemampuannya untuk mencapai kemajuan usaha yang qurani.
keterpurukan nilai mata uang dan inflasi. Untuk itu, perlu pinjaman besar-melalui dan dibawah pengawasan IMF. Bappenas, Menuju Konsesus Baru (Jakarta: Bappenas, 2001), hal 37. 43 Salah satu akibat yang paling serius dari bunga adalah kecenderungan endemis bank-bank untuk berlebih-lebihan dalam memberikan kredit. Penyebabnya adalah cara penciptaan uang baru tersebut dalam suatu sistem berdasarkan bunga tergantung pada operasi-opersi peminjaman bankbank komersial. Muhammad Najetullah Siddiqi, Issues in Islamic Banking, hal 112.
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
265
Fauzi Saleh
Daftar Pustaka Ahmad, R. Mustaq. Business Ethics in Islam, diterjemahkan oleh Samson, Cet.I. Jakarta: al-Kautsar, 2001. Al-Zuhayli, Wahbah. Fiqh al-Islâm wa Adillatuh. Suriah: Dar al-Fikr, 1997. Al-Syatibi. al-Muwafaqat fi ushûl al-Ahkâm. Juz 2. Beirut: Dar al-Fikr, 1451H. hal. 3-4. Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah. Jakarta: GIP, 2001. Bakri, Asafri Jaya. Konsep Maqasid Syari’ah Menurut al-Syitibi. Jakarta: RajaGrafindo, 1996. Bappenas. Menuju Konsesus Baru. Jakarta: Bappenas, 2001. Ibn Qudamah. al-Mughni. Juz 5. Riyad: Maktabat al-Riyad al-Hadithah, 1981. Ibn Rusyd. Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtasid. Juz II. Beirut: Dar alFikr, t.th. Ibn Taymiyyyah, al-Siyâsah al-Syar’iyyah. Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2000. Ida Laode. Otonomi Daerah, Demokrasi Lokal dan Clean Government. Jakarta: PSPK, 2000. Mamesah D.J. Sistem Administrasi Keuangan Daerah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995. MPU. Kumpulan Undang-undang, PERDA, QANUN, dan Instruksi Gubernur tentang Keistimewaan Nanggroe Aceh Darussalam. Banda Aceh: MPU, 2002. NAD, Pemda. Petunjuk Teknis Operasional Program Gema Assalam. Banda
266
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT DALAM PERSPEKTIF FIQH MODERN
Aceh: Pemda NAD, 2003. NAD, Surat Keputusan Gubernur, tertanggal 31 Juli 2002. Rahman, Azalur. Economic Doctrine of Islam, diterjemahkan oleh: M Sonhadji, dkk. Jilid 3. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995. Saeed, Abdullah. Islamic Bank, diterjemahkan Muhammad Ufuqul Mubin, dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Sarakhsi. Al-Mabsût. Juz 22. Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H. Sarkaniputra, Murasa, Jauhar, Vol. 3 No. 2. Jakarta: UIN, 2002. -----------. dkk. Tauhidi Epistemologi. Jakarta: UIN, 2003. -----------.Hutanku, Hutanmu, Hutan Kita semua. Bogor: Yayasan Bina Lingkungan Gunung Salak, 2003. Siddiqi, M. Nejatullah. Partnership and Profit Sharing in Islamic Law. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1996. -----------. Issues in Islamic Bank, diterjemahkan oleh Asep Hikmat Suhendi. Bandung: Pustaka, 1984. T. Agustin. S. UUD’45,amandemen ke-4 tahun 2002. Semarang: Aneka Ilmu, 2002. www.transparansi.or.id www.xs4all.nl Yafie, Ali. Menggagas Fiqh Sosial. Bandung: Mizan, 1994.
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
267
268
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
IHTIKAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Ida Fitriana Staff Pengajar STAI Teungku Dirundeng Meulaboh, Aceh Barat
Abstract Ihtikar is a form to collect the daily need and done by someone for his interest without attention the scare condition of society. The practice leads the impact for the society where they hardly find the need in market. The aim of the practice is to raise up the price when the need could not be found in the market. So, the trader will get the great profit, meanwhile, the society will face the great problem with it. Here, Islamic Law plays an important role to solve the problem
Key words: Ihtikar, Hukum Islam
Ida Fitriana
A. Pendahuluan Urgensi bisnis tidak bisa dipandang sebelah mata. Bisnis selalu memegang peranan vital dalam kehidupan sosial dan ekonomi manusia sepanjang masa. Hal ini pun masih berlaku di era kehidupan sekarang. Karena kekuatan ekonomi mempunyai kesamaan makna dengan kekuatan politik, sehingga urgensi bisnis mempengaruhi semua tingkat individu, sosial, regional, nasional dan internasional. Keterlibatan Muslim dalam dunia bisnis bukanlah merupakan suatu fenomena baru. Kenyataan tersebut telah berlangsung sejak empat belas abad yang lalu. Hal tersebut tidaklah mengejutkan karena Islam menganjurkan umatnya untuk melakukan kegiatan bisnis. Rasulullah Saw. sendiri telah terlibat di dalam kegiatan ini selama beberapa tahun. Obyek muamalah dalam Islam mempunyai bidang yang amat luas, sehingga alQur’an dan as-Sunnah secara mayoritas lebih banyak mebicarakan persoalan muamalah dalam bentuk global dan umum saja. Hal ini menunjukkan bahwa Islam memberikan peluang bagi manusia untuk melakukan inovasi terhadap berbagai bentuk muamalah yang mereka butuhkan dalam kehidupan mereka, dengan syarat bahwa bentuk muamalah hasil inovasi ini tidak bisa keluar dari prinsip-prinsip yang telah ditentukan oleh Islam. Apabila ditinjau dalam kegiatan perdagangan, banyak sekali kita melihat halhal berdampak negatif yang dilakukan oleh pedagang. Seperti melakukan penipuan, penimbuan dan segala bentuk kecurangan lainnya. Islam sangat melarang terhadap masalah ini. Islam menganjurkan dalam melakukan transaksi muamalah harus mempunyai etika (moral) dengan tujuan dapat menguntungkan kedua belah pihak, baik pembeli maupun penjual.1 B. Ihtikar dalam Perspektif Etimologi dan Terminologi Agama Menimbun (ihtikar) berasal dari kata hakara yang berarti az-zulm (aniaya) dan isa’ah al-mu’asyarah (merusak pergaulan). Dengan timbangan ihtakara, 1 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 1994), hal. 5-10.
270
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
IHTIKĀR DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
yahtakiru, ihtikar. Kata ini berarti upaya penimbunan barang dagangan untuk menunggu melonjaknya harga. Ada beberapa definisi ihtikar yang dikemukakan ulama fiqh. Imam asySyaukani (1172-1250H/1759-1824 M), mendefinisikan dengan: “penimbunan adalah penahanan barang dagangan dari peredarannya”. Imam al-Ghazali (450-505H/1058-1111 M), pakar fiqh Syafi’iyah, mendefinisikan dengan: “penimbunan adalah penyimpanan barang dagangan oleh penjual makanan untuk menunggu melonjaknya harga, dan menjualnya ketika harga melonjak”.2 Ulama Malikiyah mendefinisikan ihtikar dengan: “penimbunan adalah penyimpanan barang oleh produsen baik makanan, pakaian, dan segala barang yang boleh merusak pasar”.3 Jadi dari uraian di atas dapat diambil suatu pengertian, penimbunan ialah membeli sesuatu dan menyimpannya agar barang tersebut berkurang dimasyarakat sehingga harganya meningkat dan dengan demikian manusia akan terkena kesulitan. Penimbunan baik berbentuk uang tunai maupun bentuk barang, sangatlah bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam terminologi Islam, penimbunan harta seperti emas, perak dan yang lainnya disebut iktinaz, sementara penimbunan barang-barang seperti makanan dan kebutuhan sehari-hari disebut ihtikar. Islam juga melarang praktek penimbunan makanan pokok, yang sengaja dilakukan untuk dijual jika harganya telah melambung, pada masa kekhalifahannya. Umar bin khathab mengeluarkan sebuah peringatan keras terhadap segala praktek penimbunan barang-barang yang menjadi 2 Mustaq Ahmad, Etika Bisnis dalam Islam, terjh, Samson Rahman, Jakarta : Pustaka alKautsar, 2001, hal. 56-98 3 Ibid.
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
271
Ida Fitriana
kebutuhan masyarakat. Dia tidak membolehkan seorangpun dari kaum Muslimin untuk membeli barang-barang sebanyak-banyaknya dengan niatan untuk dia timbun.4 Babilii juga mengatakan bahwasanya proses penimbunan bukan hanya mengkorupsi komoditas yang ditimbun namun juga kekayaan yang ditimbun. Korupsi kekayaan, menurut Babili, adalah menyetop keuntungan dari barang itu untuk sampai pada orang lain. Penimbunan barang akan menghambat dan menghentikan sirkulasinya, dan akan mengakibatkan tersendatnya distribusi kekayaan. Menurut Maududi, larangan terhadap penimbunan makanan, disamping untuk memberikan pelayanan pada tujuan-tujuan tertentu, ia juga bertujuan untuk mengeliminasi kejahatan black-market (pasar gelap) yang biasanya muncul seiring dengan adanya penimbunan tersebut. Rasulullah ingin membangun sebuah pasar bebas, dengan demikian harga yang adil dan masuk akal bisa muncul sebuah pasar bebas, dengan demikian harga yang adil dan masuk akal bisa muncul dan berkembang sebagai hasil dari adanya kompetisi yang terbuka. Abu Dhar, seorang sahabat Rasulullah yang sangat kritis dalam menyikapi penimbunan harta benda ini, berkeyakinan bahwasanya penimbunan harta benda itu adalah haram, meskipun telah dibayarkan zakatnya. Yusuf Qaradawi mengatakan perbuatan menimbun menunjukkan adanya motivasi ananiyah (mementingkan diri sendiri), tanpa menghiraukan bencana dan mudharat yang akan menimpa orang banyak, asakan dengan cara itu dia dapat mengeruk keuntungan yang besar.5 1. Dasar Hukum pelarangan Ihtikar Dasar hukum dari pelarangan ihtikar, yang dikemukakan para ulama fiqh yang tidak membolehkannya adalah hasil induksi dari nilai-nilai universal 4 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999), hal. 46-49. 5 Yusuf Qaradawi, Min Hady al-Islam Fatawa Mu’asirah, juz 2, (Cairo : Dar al-Wafa’, 1995), hal. 67-80.
272
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
IHTIKĀR DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
yang dikandung al-Qur’an yang menyatakan bahwa setiap perbuatan aniaya, termasuk didalamnya ihtikar, diharamkan. Diantara ayat-ayat itu adalah firman Allah dalam surat al-Maidah yang berbunyi:
“Bertolong-tolonglah kamu atas kebaikan dan jangan bertolongtolongan atas dosa dan permusuhan”. (al-Maidah/6: 2).
Kemudian hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Tirmidhi dan Muslim dari Muammar, bahwa Nabi Saw. bersabda:
“Siapa yang melakukan penimbunan, ia dianggap bersalah”.
Selanjutnya hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, al-Hakim, Ibn Abi Syaibah dan al-Bazzaz, bahwa Nabi Saw. bersabda:
“Siapa orang yang menimbun barang pangan selama 40 hari, ia sungguh telah lepas dari Allah dan Allah lepas dari padanya”.6
2. Jenis Barang yang Haram Ditimbun Dalam masalah ini para fuqaha berbeda pendapat mengenai dua hal, yaitu jenis barang yang diharamkan menimbunnya, dan waktu yang diharamkan orang menimbun. Ulama Malikiyah, sebagian ulama Hanabilah, Abu Yusuf (731-798 M), dan Ibn ‘Abidin (1198-1252 H/1714-1836 M), keduanya pakar fiqh Hanafi, menyatakan bahwa larangan ihtikar tidak terbatas pada makanan, pakaian, dan hewan, tetapi meliputi seluruh produk yang diperlukan masyarakat. Menurut mereka, yang menjadi illat (motivasi hukum) dalam larangan melakukan ihtikar itu adalah kemudharatan yang menimpa orang banyak. 6 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz III, (Kairo: Dar al-Fath li al I’lam al-‘Arabiy, 1990), hal. 5770
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
273
Ida Fitriana
Oleh sebab itu, kemudharatan yang menimpa orang banyak tidak terbatas pada makanan, pakaian da hewan, tetapi mencakup seluruh produk yang diperlukan orang.7 al-Syawkani tidak merinci produk apa saja yang disimpan, sehingga seseorang dapat dikatakan sebagai muhtakir (pelaku ihtikar) jika menyimpan barang itu untuk dijual ketika harga melonjak. Bahkan al-Syawkani tridak membedakan apakah penimbunan itu terjadi ketika pasar berada dalam keadaan normal (pasar stabil), ataupun dalam keadaan pasar tidak stabil. Hal ini perlu dibedakan, karena menurut jumhur ulama, jika sikap para pedagang dalam menyimpan barang bukan untuk merusak harga pasar, tentu tidak ada larangan. Menurut Fathi al-Durayni, al-Syawkani memang termasuk kedalam kelompok ulama yang mengharamkan ihtikar pada seleruh benda / barang yang diperlukan oleh masyarakat banyak. Sebagian ulama Hanabilah dan al-Ghazali mengkhususkan keharaman ihtikar pada jenis makanan pokok saja. al-Ghazali berkata, “Adapun yang bukan makanan pokok dan bukan pengganti makanan pokok, seperti obat-obatan, jamu dan za’faran, tiada sampailah larangan itu kepadanya, meskipun dia itu barang yang dimakan. Adapun penyerta makana pokok, seperti daging, buah-buahan dan yang dapat menggantikan makanan pokok dalam suatu kondisi, walaupun tidak mungkin secara terus-menerus, maka ini termasuk hal yang menjadi perhatian. Maka sebagian ulama ada yang menetapkan haram menimbun minyak samin, madu, minyak kacang, keju, minyak zaitun, dan yang berlaku seperti itu. Dari penjelasan al-Ghazali ini, Yusuf Qaradawi menilai bahwa mereka (sebagian fuqaha) menganggap al-qut (makanan pokok) itu hanya terbatas pada makanan kering, seperti roti, dan nasi (beras) tanpa minyak samin dan lauk-pauk. Sehingga keju, minyak zaitun, madu, biji-bijian, dan sejenisnya dianggap di luar kategori makanan pokok.8
7
Ibid.
8 Ibid.
274
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
IHTIKĀR DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Apa yang mereka sebutkan sebagai makanan pokok itu menurut ilmu pengetahuan modern tidak cukup untuk menjadi makanan sehat bagi manusia, sebab untuk menjadi makanan sehat haruslah memenuhi sejumlah unsur pokok, seperti protein, zat lemak, dan vitamin. Jika tidak begitu, maka manusia akan menjadi sasaran penyakit karena kondisi makanan yang buruk. Pada zaman kita sekarang ini obat-obatan telah menjadi kebutuhan pokok bagi manusia, demikian pula halnya pakaian dan lainnya. Hal ini disebabkan kebutuhan manusia terus berkembang sesuai dengan perkembangan kondisi kehidupan mereka. Betapa banyak perkara yang asalnya bersifat tahsini atau kamali (pelengkap) kini menjadi kebutuhan. Begitupun sesuatu yang semula sebagai kebutuhan dapat berubah menjadi daruri (kebutuhan yang sangat pokok, yang apabila tidak terpenuhi akan menimbulkan bencana). Dengan demikian, Yusuf Qaradawi berpendapat haram menimbun setiap macam kebutuhan manusia, seperti makanan, obat-obatan, pakaian, alat-alat sekolah, alat-alat rumah tangga, alat-alat kerja, dan lainnya. Sebagai dalilnya ialah keumuman hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim :
“Tidak menimbun kecuali orang yang berbuat dosa”. (HR. Muslim).
Waktu diharamkam menimbun Mengenai waktu dihramkannya menimbun para ulama juga berbeda pendapat. Sebagian ulama memberlakukan larangan itu untuk semua waktu, tidak membedakan antara waktu sempit dan waktu sempit dan waktu lapang, karena disandarkan pada keumuman larangan. Demikianlah sikap para salaf dan wara’.9 al-Ghazali mengatakan bahwa mungkin juga waktu itu dihubungkan dengan waktu sedikitnya persediaan makanan, sedangkan manusia membutuhkannya, sehingga menunda penjualannya akan menimbulkan mudharat. Adapun jika makanan itu banyak dan berlimpah sementara 9 Ibid.
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
275
Ida Fitriana
manusia tidak memerlukan dan menginginkannya dengan harga yang murah maka pemilik makanan itu boleh menungu, dan ia tidak menunggu musim kemarau (paceklik). Maka hal ini tidak menimbulkan kemelaratan (mudharat). Apabila seseorang menyimpan ( menimbun) madu, minyak samin, minyak kacang, dan sebagainya pada waktu kemarau, maka akan mendatangkan kemelaratan, dan hal ini seyogyanya dihukumi haram. Karena yang menjadi pegangan tentang haram dan tidaknya persoalan ini adalah mendatangkan kemelaratan, dan ini dapat dipahami dengan menentukan jenis makanan tersebut. Kalaupun menimbun tidak mendatangkan kemelaratan, namun hal ini tidak lepas dari hukum makruh, karena ia menunggu faktor-faktor tertentu yang menyebabkan kemelaratan, yaitu kenaikan harga. Maka menunggu hal-hal yang membawa kemelaratan itu harus diawasi sebagaimana menunggu kemelaratan itu sendiri, meskipun tingkatnya masih dibawahnya menunggu kemelaratan itu sendiri masih dalam kategori di bawah memberi kemelaratan. Sedangkan para ahli fiqh berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan penimbunan terlarang adalah yang terdapat syarat-syarat sebagai berikut: 1. Bahwa barang yang ditimbun adalah kelebihan dari kebutuhannya berikut tanggungan untuk persediaan setahun penuh. Karena seseorang boleh menimbun persediaan nafkah untuk dirinya dan keluarganya untuk persiapan selama ini (satu tahun). 2. Bahwa orang tersebut menunggu saat memuncaknya harga barang agar ia dapat menjualnya dengan harga yang tinggi karena orang sangat membutuhkan barang tersebut kepadanya. 3. Bahwa penimbunan dilakukan pada saat dimana manusia sangat membutuhkan barang yang ditimbun, seperti makanan, pakaian dan lain-lain. Jika barang-barang yang ada di tangan pedagang tidak dibutuhkan manusia, maka hal itu tidak dianggap sebagai penimbunan, karena tidak menyebabkan kesulitan bagi manusia.
276
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
IHTIKĀR DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
4. Hukum Ihtikar Berdasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Rasulullah Saw di atas, para ulama fiqh spakat menyatakan bahwa ihtikar tergolong kedalam perbuatan yang dilarang (haram). Seluruh ulama sepakat menyatakan bahwa melakukan ihtikar itu hukumnya haram, meskipun terjadi perbedaan pendapat tentang cara menetapkan hukum itu, sesuai dengan sistem pemahaman hukum yang dimiliki mazhab masing-masing. Perbedaan pendapat itu adalah sebagai berikut : Pendapat pertama, dikemukakan oleh ulama Syafi’iyah, Hanabilah, Malikiyah, Zaydiyah, dan Zahiriyah. Menurut mereka, melakukan ihtikar hukumnya haram. Alasan yang mereka kemukakan adalah ayat dan haditshadits yang telah disebutkan di atas. Menurut para ulama Malikiyah, ihtikar hukumnya haram, dan harus dapat dicegah oleh pemerintah dengan segala cara, karena perbuatan itu memberikan mudharat yang besar terhadap kehidupan masyarakat, stabilitas ekonomi masyarakat dan negara.10 Oleh sebab itu, pihak penguasa harus segera turun tangan untuk mengatasinya, sesuai dengan kaidah Fiqh yang menyatakan :
“Hak orang lain terpelihara secara syara”. Dalam kasus ihtikar, yang paling utama dipelihara adalah hak konsumen, karena menyangkut orang banyak; sedangkan hak orang yang melakukan ihtikar hanya merupakan hak pribadi. Tatkala kepentingan pribadi bertentangan dengan kepentingan orang banyak, maka yang didahulukan adalah kepentingan orang banyak. Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa hadits yang mengatakan bahwa ihtikar merupakan suatu pekerjaan yang salah, mengandung pengertian yang dalam. Orang yang melakukan kesalahan dengan sengaja berarti telah berbuat suatu pengingkaran terhadap ajaran syara’. Mengingkari ajaran syara’ merupakan perbuatan yang diharamkan. 10 Ibid.
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
277
Ida Fitriana
C. Penutup Dari uraian diatas maka dapat dambil suatu kesimpulan bahwa penimbunan merupakan suatu hal yang sangat dilarang oleh Syara”. Karena didalamnya terdapat sifat ananiyah (mementingkan diri sendiri) tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat banyak. Islam sangat mengutamakan keadilan dalam kegiatan ekonomi umat muslim yaitu keadilan dalam bidang produksi, distribusi, dan konsumsi. Dalam kegiatan ekonomi Islam, semua pihak merasakan kepuasan tanpa menzalimi suatu pihak. Salah satu aktivitas ekonomi dalam Islam adalah bisnis (perdagangan). Islam telah menetapkan aturan-aturan umum mengenai bidang bisnis ini. Islam mengakui adanya mekanisme pasar dan harga, tetapi dalam Islam tidak sama dengan mekanisme pasar sistem ekonomi kapitalisme. Kekuatan penggerak aktivitas pasar dalam Islam adalah ta’awun (tolong menolong) dan ‘an taradin minkum (suka sama suka). Untuk memberikan keadilan kepada semua pihak, ekonomi Islam menekankan agar pedagang tidak menjual barang dengan harga yang terlalu rendah. Apabila dikaitkan dengan penimbunan, disini terdapat berbagai kecurangan yang dilakukan oleh pedagang, yaitu merugikan pihak konsumen dan yang terlebih parah adalah dapat merusak harga pasar. Oleh karena itu perlu dilakukannya intervensi dari pemerintah agar harga pasar dapat berjalan dengan normal. Pemerintah berhak memaksa pedagang untuk menjual barang itu dengan harga standar yang berlaku di pasar. Bahkan menurut mereka, barang yang ditimbun oleh para pedagang itu dijual dengan harga modalnya dan pedagang itu tidak berhak untuk mengambil untung, sebagai hukuman terhadap tindakan mereka.
278
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
IHTIKĀR DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Daftar Pustaka Ahmad, Mustaq, Etika Bisnis dalam Islam, terjh, Samson Rahman, Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2001. an-Nabhani, Taqy al-Din. Membangun sistem ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Terjh: Maghfur Wachid, Surabaya: Risalah Gusti,1996. Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah, Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999. Pasaribu, Chairuman dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 1994. Qaradawi, Yusuf, Min Hady al-Islam Fatawa Mu’asirah, juz 2, Cairo : Dar alWafa’, 1995. Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Kairo: Dar al-Fath li al I’lam al-‘Arabiy, 1990.
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
279
280
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
KONSEP MAKANAN DALAM ISLAM
Asmawati Staff Pengajar STAI Teungku Dirundeng Meulaboh, Aceh Barat
Abstract The food is an important thing to produce eneryg and support human life. In Islam, the food that we consume should be based on two point things; halal and tayyib. Halal means the food is kind of substance allowed by syari’ah and a right effort. Meanwhile, it contains the vitamin and calory to support the health and brain development.
Key words: Makanan, halal
Asmawati
A. Pendahuluan Makanan adalah salah satu hasil produksi yang paling banyak dijumpa di pasaran. Tingkat kesehatan dan keamanan makanan ini sering diabaikan oleh banyak konsumen. Perkembangan industri makanan yang cukup luas saat ini, telah mendorong produksi makanan dalam variasi bentuk dan rasa. Berjuta perusahaan produser makanan kini menggunakan bahan kimia, perisa, enzim, aroma, pewarna, hormon dan sebagainya bagi menarik daya beli konsumen. Dalam membincangkan tentang makanan, umat Islam tidak dapat lari dari membicarakan makanan yang halal dan haram. Dalam konteks ini, nass- nass Alquran dan al-Hadith serta pendapat fuqaha memberi panduan hukum bagi menentukan kategori-kategori makanan ini. Hukum yang diperoleh itu, adalah wajib diamalkan oleh umat Islam, di mana mereka wajib memilih makanan yang halal untuk dimakan dan meninggalkan makanan-makanan yang haram. Oleh itu mengetahui makanan halal dan haram adalah satu perkara yang wajib dipahami oleh umat Islam. Perhatian Islam terhadap makanan sedemikian besar, karena tidak dapat dinafikan bahwa makanan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap pertumbuhan dan kesehatan jasmaniah. Hal yang terpenting yang sering tegaskan Islam adalah pengaruh makanan terhadap perkembangan jiwa manusia (mental). Syeh Taqi Falsafi seorang ulama kontemporer, dalam bukunya Child between Heredity and Education menguatkan pendapatnya dengan mengutip pemikiran Alexis Carrel, pemenang Nobel Kedokteran dengan tulisan sebagai berikut: “Pengaruh dari campuran (senyawa) kimiawi yang dikandung oleh makanan terhadap aktivitas jiwa dan fikiran manusia tidak boleh dikesan secara sempurna, karena belum lagi diadakan eksperimen yang memandai. Namun tidak dapat diragukan bahwa perasaan manusia dipengaruhi oleh kualitas dan kuantiti makanan.” 1 1 Taqi Falsafi, Child between Heredity and Education, (Beirut: al-‘alami Library, 1969), hal. 17.
282
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
KONSEP MAKANAN DALAM ISLAM
Jika demikian, makanan mempunyai pengaruh yang cukup kuat bukan saja pada fisik (tubuh) tetapi juga jiwa dan perasaan manusia. Kenyataan ini boleh dilihat pada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa minuman keras merupakan langkah awal yang mengakibatkan langkah-langkah kepada kejahatan. Secara logik, orang yang meminum minuman keras tidak boleh meluruskan sikap dan tindakannya. Mereka tidak sadar apa saja yang dilakukannya. Hal ini disebabkan pengaruh minuman tersebut boleh merusak jiwa dan jaringan fikiran. Ini pula yang menjadi qarinah larangan terhadap melaksanakan shalat dalam keadaan mabuk. Dalam hal ini, Rasulullah Saw. mengaitkan antara terkabulnya do’a dengan makanan halal sebagaimana sabda Baginda yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: “Hai seluruh manusia, sesungguhnya Allah Maha Baik. Dia tidak menerima (sesuatu) kecuali yang baik. Dia memerintahkan kaum mukmin sebagaimana memerintahkan para Rasul dengan firman-Nya, “Wahai Rasul, makanlah rezeki yang baik yang telah Kami anugerahkan kepadamu”. (Kata perawi) Rasul kemudian menceritakan tentang seorang musafir yang kumal dan kotor menadah tangan ke langit berdo’a, “wahai Tuhan, wahai Tuhan….(tetapi) makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, barangan haram, maka bagaimana do’nya akan dikabulkan.”2 Maksud dari hadith di atas adalah perintah memakan makanan yang baikbaik setaraf dengan perintah mengerjakan amal saleh. Amal saleh itu tidak mungkin (dapat dikerjakan) kecuali dengan makan, minum, berpakaian, dan apa saja yang diperlukan oleh seorang manusia seperti tempat tinggal, kendaraan, buku-buku untuk belajar dan sebagainya. Akibatnya adalah amal saleh yang akan diterima adalah amal saleh yang dilakukan berdasarkan aturan-aturan Allah dan kesucian jiwa serta kesucian raga. Begitu pula ketika seseorang berdoa memohon kepada Allah, hendaklah ia melakukannya dalam keadaan suci lahir maupun batin. 2 Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, (Turki: al-Maktabah Islamiy, 1972), hal. 147.
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
283
Asmawati
Dalam Alquran Allah juga menjelaskan bahwa persoalan makanan mempunyai tujuan untuk menciptakan kestabilan keamanan sebagai dua sebab utama beribadah kepada Allah. Begitu antara lain kandungan firmanNya : 3
Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan yang menguasai rumah (ka’bah) ini. Tuhan yang memberi mereka penghidupan, menyelanatkan mereka dari kelaparan dan mengamankan mereka dari ketakutan. Makanan dalam Islam mempunyai perhatian yang lebih jauh dan bukanlah sekadar memenuhi tuntutan hawa nafsu saja, tetapi ia merupakan suatu ibadah sekiranya ia diniatkan karena Allah. Kesemua aturan-aturan atau undang-undang yang Allah gariskan berkaitan dengan makanan menunjukkan betapa sempurnanya ajaran Islam, betapa agung dan adilnya Allah dalam mengatur hal ehwal kehidupan manusia. B. Pengertian Makanan dalam Islam yaitu perbuatan memasukkan Makan dalam bahasa arab adalah sesuatu ke dalam mulut dan menelannya setelah dikunyah.4 Dalam sumber yang lain disebutkan sebagai proses menerima dan menggunakan bahan makanan yang diperlukan oleh makhluk untuk mengawal fungsi dan pertumbuhannya atau memperbaharui komponennya. 5 Menurut M. Quraish shihab, perkataan “akala” tidak saja digunakan dalam arti ”memasukkan sesuatu ke tenggorokan” tetapi boleh juga memberi arti segala aktivitas dan usaha.6 Misalnya firman Allah
3
Al-quran, Quraish, 106: 3-4.
4 Fuad Ifrad al-Bustani, Munjid at-Tulab, Dar al-Masytiq, Tabc in al-c Isyriah, Beirut, 1970, hal. 10 5 Marie V. Krause Katlehen, Makan, Makanan, Pemakanan dan Terapi Diet. Terj. Suriah Abd. Rahman, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1993, hal. 3 6 M. Quraish Shihab, Wawasan Alquran, Tafsir Maudhuc i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung:Mizan, 1998), hal. 138
284
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
KONSEP MAKANAN DALAM ISLAM
7
“Dan berikanlah kepada perempuan-perempuan itu maskawinmaskawin mereka sebagai pemberian wajib. Kemudian jika mereka dengan suka hatinya memberikan kepada kamu maskawinnya maka makanlah (gunakanlah) pemberian (yang halal) itu sebagai nikmat yang lezat lagi baik kesudahannya”. Tafsiran yang dinyatakan oleh beliau ialah mas kawin bukanlah sesuatu yang harus bahkan tidak lazim berupa makanan, namun demikian ayat ini menggunakan perkataaan “makan” untuk “konsumen” mas kawin tersebut yang bermaksud menggunakan mas kawin untuk membuka usaha bagi memenuhi keperluan makan. Dalam ayat yang lain pula perkataan “akala” diartikan sebagai aktivitas, yang bunyinya sebagai berikut: 8
Dan janganlah kamu makan dari (sembelihan binatang-binatang halal) yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya, karena sesungguhnya yang sedemikian itu adalah perbuatan fasik (berdosa). Potongan ayat ini difahami sebagai suatu larangan untuk melakukan aktivitas apapun yang tidak disertai nama Allah. Ini disebabkan karena kata ”makan” di sini difahami dalam arti luas yakni segala bentuk aktivitas. Penggunaan kata tersebut untuk arti aktivitas, seolah-olah menyatakan bahwa aktivitas perlu kepada kalori, dan kalori diperolehi melalui makanan. adalah jama’ bagi perkataaan yaitu apa saja yang Makanan atau dimakan oleh manusia untuk memberi kekuatan, kesegaran badan dan 7
Al-quran, An-Nisak,4: 4
8
Alquran,Al-‘An’am, 6: 121
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
285
Asmawati
sebagainya. Karena itu minuman pun termasuk dalam pengertian makanan. 9 Dalam ilmu sains tidak dibedakan antara makanan dan minuman karena kedua-duanya dimasukan di bawah proses makanan. Walau bagaimanapun istilah makanan tidak dapat lari dari menyentuh kedua-duanya yaitu makanan dan minuman.10 Ia merupakan salah satu daripada keperluan asasi manusia, di mana makanan dan minuman yang baik akan menjamin kesehatan mental dan fisikal. Keperluan akan makanan dan minuman adalah naluri semula jadi manusia dan seluruh ciptaan Allah. Sememangnya Allah telah menciptakan alam beserta isinya adalah untuk manusia memenuhi keperluannya. Apabila makan dan minum boleh dipenuhi secara sempurna maka keperluan-keperluan lainnya akan mudah dipenuhi pula. Dengan terpenuhinya keperluan lainnya peningkatan ibadah akan lebih mudah dan selesa untuk dilakukan. 1. Klasifikasi Makanan dan Minuman Kebersihan dan kesehatan adalah dua perkara penting yang digalakkan dalam kehidupan orang-orang Islam. Bahkan ia menjadi sebahagian daripada keimanan. Berdasarkan amalan itu, Islam telah menggariskan segala sesuatu yang baik, bersih dan sehat saja yang boleh dijadikan makanan dan minuman serta mengharuskan menjauhi yang buruk-buruk. Karena makanan dan minuman yang baik akan memberikan kekuatan dan kesehatan kepada manusia. Atas dasar ini turun perintah Allah Swt.: 11
”Wahai sekalian manusia, makanlah bagi kamu makanan yang halal lagi baik dari apa saja yang terdapat di bumi….” Perintah memakan makanan yang baik oleh Allah ditujukan kepada seluruh 9 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Terj. Mahyudin Syaf, (Kuala Lumpur: Pustaka al-Azhar, 1996), hal. 92. 10 Mohamed bin Jusoh, Prinsip Utama Makanan dan Minuman dalam Islam, Bahagian Hal Ehwal Konsumen, (Kula Lumpur: Jabatan Perdana Menteri, 1986), hal. 2. 11 Alquran, Al-Baqarah/2:68.
286
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
KONSEP MAKANAN DALAM ISLAM
manusia bukan kepada umat Islam saja. Ini menunjukkan bahwa makanan halal dan baik sesuai untuk semua manusia. Pada prinsipnya segala sesuatu yang ada di alam raya ini adalah halal digunakan, sehingga makanan dan minuman yang terdapat didalamnya juga adalah halal. Oleh karena itu tidak ada alasan bagi umat Islam mencari makanan selain dari standard halal dan tayyib di sisi Allah. 2. Makanan yang halal Perhatian Alquran terhadap makanan sedemikian besar, sehingga ketika berbicara tentang “perintah makan” Allah Swt memerintahkan seluruh manusia untuk memakan makanan yang halal dan tayyib. Perintah kepada makanan halal adalah untuk memastikan manusia tumbuh secara sehat baik fisikal, jiwa maupun akal. Kata “halal” berasal dari akar kata yang berarti “lepas” atau “tidak terikat”.12 Berdasarkan arti ini perkataan halal bagi umat Islam difahamkan kepada sesuatu yang dibolehkan oleh syara’. Kepatuhan kepada syara’ adalah usaha untuk melepaskan diri dari ikatan bahaya dunia dan akhirat. Dengan demikian makanan dan minuman halal adalah makanan yang dibolehkan memakannya dan dengan memakannya terlepas ikatan bahaya dunia dan akhirat. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa perintah makan mempunyai taraf yang sama dengan perintah melakukan amal saleh. Firman Allah : 13 ”Wahai para Rasul, makanlah dari yang baik (bersih dan sehat) dan berbuat amal salehlah kamu sekalian…” Ayat ini secara jelas mendahulukan perintah memakan yang baik dan halal daripada berbuat amal saleh, dan ini pula menunjukkan bahwa perbuatan amal saleh akan sia-sia apabila tidak disertai dengan memakan makanan yang memenuhi standard ini. 12 Munie Ba’ albaki, al-Mawrid, Beirut: Dar al-c Ilmi lil-Malayen, 1995), hal. 326. 13 Al-Muminun/ 23:51
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
287
Asmawati
Logikanya makanan halal adalah makanan yang telah terjamin kualitasnya dari bentuk keburukan, karena memakan makanan yang halal sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Swt akan memberikan kesehatan, terlepas dari penyakit dan keburukan di dunia. Di sisi lain pula, apabila kita memakan makanan yang halal bermakna kita telah melaksanakan perintah Allah Swt dengan demikian kita akan terlepas dari ancaman dan bahaya akhirat. Para ulama juga sepakat bahwa makanan yang digalakkan oleh Islam adalah makanan tayyib yang tidak mengandungi unsur-unsur yang merbahaya bagi kesehatan jiwa dan akal manusia. Dari segi bahasa kata tayyib berarti lezat, baik, sehat, dan mententeramkan.14 Para pakar tafsir ketika menjelaskan kata ini dalam konteks makanan menyatakan bahwa ia berarti makanan yang tidak kotor dari segi zatnya, atau tidak dicampuri benda najis (menjijikkan).15 Ada juga yang mengartikan sebagai makanan yang mengandung selera bagi yang akan memakannya dan tidak membahayakan fisikal dan akalnya.16 Berdasarkan pendapat–pendapat tersebut dapatlah kita fahami bahwa perbincangan makanan dalam Islam bukan pada masalah halal dan haram saja tetapi juga merangkum soal sekuriti atau keamanan, nilai makanan dan keseimbangan makanan. Berikut boleh disebutkan panduan cam mengenai makanan halal mengikut ajaran Islam: 17 1. Bukan terdiri daripada atau mengandungi apa-apa bahagian atau benda yang diharamkan oleh syarak, atau tidak disembelih mengikut hukum syarak 2. Bukan benda-benda najis mengikut hukum syarak 3. Disedia, diproses atau dikilangkan dengan menggunakan apa-apa alat yang bebas dari benda –benda najis mengikut hukum syarak. 14 Munie Bac albaki, al-Mawrid…,hal. 95. 15 Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Ais at-Tafsir lilkalāmi al-c Aliya al-Kabir, (Mesir: Dar al-Salamah, 1992 ), Jil. 1, hal.144. 16 Abu Jac far Muhammad Ibn Jarir al-Tabari, Tafsir at-Tabari, Dar al-Mac arif, Mesir, t.th, hal. 243. 17 Bahagian Hal Ehwal Islam Jabatan Perdana Menteri, Garis Panduan Makanan, Minuman dan Bahan Gunaan Orang Islam, Kuala Lumpur: Perniagaan Rita, 1993), hal.2-3.
288
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
KONSEP MAKANAN DALAM ISLAM
4. Masa penyediaan, pemproses atau penyimpanannya adalah tidak bersentuhan atau berdekatan dengan benda-benda haram atau najis mengikut hukum syarak. Demikian petunjuk yang diterangkan dalam Alquran tentang makanan, kesemuanya merupakan bagian yang paling fundamental dalam kehidupan manusia di dunia. Walau demikian makanan bukanlah suatu masalah yang diasingkan dari amalan saleh lainnya bahkan ia menjadi faktor utama untuk mencapai kesempurnaan ibadah bagi mendapat keridhaan Allah. 3. Makanan Yang Haram Pembahasan mengenai makanan haram mempunyai makna yang berlawanan dengan makanan halal. Makanan haram adalah makanan yang tidak dibenarkan menyentuh atau memakannya , dan bagi sesiapa yamg memakannya diberi ganjaran dosa oleh Allah Swt. Alquran menjelaskan yang perkataan dasarnya makanan haram ini dengan sebutan yang berarti yang dibenci, yang najis, buruk dan segala yang haram. Perkatan yang bermakna enak, lezat, halal , ini adalah lawan daripada perkataan 18 baik dan bagus. Merujuk pada makna di atas maka benda-benda yang tergolong dalam makna ini boleh dibincangkan sebagai berikut : 1. Benda-benda yang najis dan kotor seperti hingus, nanah, darah dan segala yang yang menjijikkan. Firman Allah 19
…Dan mengharamkan kepada mereka segala benda yang buruk 2. Benda-benda yag boleh membawa bahaya seperti benda-benda yang beracun atau benda-benda yang boleh membawa mudarat kepada 18 Louis Ma’luf, Al-Munjid fi al-lughah wa al-a’lam, (Beirut, Dar al-Masyriq, 1994), hal. 166 dan 476. 19 Al- Ac raf/7 :157
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
289
Asmawati
tubuh. Semua benda-benda ini dilarang memakannya. Mengikut alMaruzi pengharaman dikenakan ke atas benda-benda itu, karena ia memberi mudarat atau mendatangkan bahaya.20 3. Benda-benda yang memabukkan atau yang boleh menghilangkan akal seperti ganja, arak, merampok dan sejenisnya. Pengharaman ini berdasarkan hadith yang diriwayatkan oleh Muslim daripada Abdullah bin Umar: 21
Setiap yang memabukkan adalah haram. Bahkan dalam surah al-Maidah ayat 90 kata rijs menunjukkan pengharaman terhadap khamar dan sejenisnya. Kata rijs mengandung arti keburukan budi pekerti serta kerosakan moral.22 Sehingga ketika Allah menyebutkan jenis makanan tertentu sebagai rijs, maka ini bermakna makanan tersebut boleh menimbulkan keburukan budi pekerti. Tidak dapat dinafikan bahwa kesan arak, ganja, perampokan dikalangan pemuda dan pemudi masa kini telah melahirkan generasi-generasi yang tidak bermoral dan berbudi pekerti yang buruk. Secara garis besar pembahasan berkaitan dengan ayat di atas dihuraikan sebagai berikut: 1. Bangkai Bangkai adalah binatang yang mati dengan sendirinya tanpa ada suatu usaha manusia dengan sengaja seperti disembelih atau berburu.23 Mengikut pengertian fuqaha bangkai adalah tiap-tiap binatang yang telah mati dengan tidak disembelih mengikut Syarak. Dan setiap binatang 20 al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadhdhab, juz. 9, (Kairo: Matba’ah al-‘Asimah, t.th), hal. 23. 21 Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, kitab al-asyribah (30), bab kullu muskirin haramun (9)…, hal. 3391. 22 Munir Ba’albaki, al-Mawrid…, hal. 895 23 Ahmad Sonhaji Muhammad, Tafsir al-Quran : surah al-Maidah, (Singapura: al-Maktab atTijari as-Syarqi, 1965), hal. 16.
290
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
KONSEP MAKANAN DALAM ISLAM
yang mati tanpa memenuhi Syarak adalah haram untuk dimakan kecuali bangkai ikan dan belalang.24 Pernyataan ini dipertegas dengan hadith Rasulullah 25
Dihalalkan bagi kita dua bangkai yaitu bangkai ikan dan belalang Termasuk dalam katagori ini adalah semua jenis binatang yang tidak disembelih atau disembelih tetapi tidak menyebut nama Allah. Binatangbinatang yang mati dengan sendirinya seperti penyakit tua atau termakan racun juga haram dimakan kecuali jika binatang itu masih sempat disembelih dengan sisa-sisa nyawanya. Di antara tanda-tanda binatang itu masih hidup adalah darah masih mengalir dan matanya masih dapat bergerak-gerak.26 Binatang yang mati tercekik, mati dipukul, mati terjatuh, mati beradu atau diserang binatang buas juga dianggap bangkai. Hikmah yang diambil oleh pengharaman ini adalah karena Allah Swt mengetahui betapa perlunya manusia pada binatang, begitu pula Islam mengajarkan untuk memberi kasih sayang dalam pemeliharaan. Oleh karena itu tidak layak kalau manusia dibiarkan melakukan sesuka hati memukul, mencekik dan menyiksanya hingga mati. Islam melarang memakan hewan-hewan yang mati dalam keadaan seperti itu, sama sebagaimana Islam menegah perbuatan itu. Hadith rasulullah saw., “Sesungguhnya Allah telah menentukan kebaikan atas segala sesuatu. Apabila kamu membunuh, maka lakukanlah sebaik mungkin. Apabila kamu menyembelih, maka juga lakukanlah sebaik mungkin. Dan hendaklah salah seorang kamu menajamkan pisau yang akan digunakan untuk menyembelih. Sekali lagi 24 Muhammad Yusuf al-Qardawi, al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, (Mesir: Dar al-Kutub al‘Arabiyah ‘Isa al-Bāby al-Halaby, 1960), hal. 55. 25 Muhammad Yasid Abu c Abd Allah al-Qazwani.Sunan Ibn Majah. Kitab al- Atcimah (4),
bab saidul al-Maitatani wa al-jarād, hal. 3218.
26 M. Yusuf al-Qaradawi, Halal dan Haram dalam Islam (terj.), (Singapura: Pustaka Nasional Pte. Ltd, 1989), hal. 60.
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
291
Asmawati
hendaklah kamu lakukan sebaik mungkin.27 2. Darah Darah pada asalnya ialah benda yang mulia dan amat penting untuk kelangsungan hidup, karena tanpa darah manusia tidak akan dapat tumbuh dan bertahan hidup. Ketiadaan aliran darah dalam tubuh pula bererti sesuatu kehidupan itu telah mati. Adapun maksud darah yang diharamkan memakannya dalam konteks ini ialah darah yang mengalir } sewaktu penyembelihan binatang tersebut. Manakala darah ( yang membeku (beketul) seperti hati dan limpa adalah halal dimakan. Ini berdasarkan hadith Rasulullah Saw. 28
“Di halalkan bagi kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah yaitu bangkai ikan dan belalang adapun dua darah yaitu hati dan limpa”.
3. Daging Babi (khinzir) Babi adalah salah satu binatang khabaith yang sangat kotor. Ia akan memakan semua makanan yang kotor dan bernajis. Secara logik, binatang yang hidup dengan makanan yang kotor dan najis bermakna ia tumbuh dan membesar dengan zat-zat kotor itu pula. Oleh karena itu babi merupakan binatang yang dijauhi oleh Islam karena seluruh tubuhnya adalah najis mughallazah yang boleh menimbulkan pelbagai penyakit bagi pemakannya. Para pakar kesehatan dan sains mengkaji dan membuat kesimpulan bahwa pada babi terdapat pelbagai bakteri penyakit dan parasit yang sukar dihilangkan sekalipun di masak dengan suhu yang tinggi. Muhammad Wasfiy29 menyebut pelbagai parasit yang ada dalam daging babi yang sangat berbahaya, antara lain : pertama, Taenia solium, yaitu 27 Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim…, hal. 338 28 Muhammad ‘Ali al-Syawkani, Nayl al-Awtar…, juz. 8, hal. 176. 29 Muhammad Wisfiy, Al-Quran wa al-Tibb…, hal. 201-205.
292
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
KONSEP MAKANAN DALAM ISLAM
sejanis cacing parasit yang menyebabkan penyakit Taenasis. Cacing ini tidak mempunyai mulut dan ia menghisap atau menyedut sari makanan pemakan. Cacing ini boleh mencapai hingga 8 meter di dalam perut. Cacing ini pula sangat tahan dalam bentuk sist. Seterusnya sist itu akan membentuk larva di dalam daging babi. Apabila manusia memakannya daging babi yang sudah tercemar parasit ini, maka larva akan berkembang dalam usus manusia membentuk cacing dewasa. Pelbagai penyakit yang berawal dari penyakit ini antara lain sakit perut, mencret, melemahkan otot-otot dan akhirnya membawa kematian. Kedua, trichnosis, hasil kajian menunjukkan bahwa 1 gram babi mengandung 1500 parasit. Hasil kajian juga membuktikan bahwa lemak babi adalah antara jenis lemak yang sukar dihadam. D. Penutup Perniagaan dalam Islam merupakan suatu pekerjaan yang sangat mulia apabila dilakukan di atas prinsip-prinsip dan nilai-nilai perniagaan Islam. Sebagai sebuah aktivitas, perniagaan meletakkan hubungan-hubungan kemanusiaan sebagai asas yang memungkinkan umat manusia berinteraksi satu sama lain dalam suatu pergaulan yang seimbang dan saling menguntungkan bagi mencapai kebahagiaan bersama. Interaksi yang terjadi antara produsen dan konsumen di dunai perniagaan adalah interaksi yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban masingmasing pihak. Berkaitan dengan ini, adanya hak konsumen untuk mendapat perlindungan adalah tanggung jawab dan kewajiban produsen untuk memenuhinya. Adapun tanggung jawab dan kewajiban produsen berdasarkan nilai-nilai etika perniagaan Islam adalah: 1. Amanah, dimana produsen berkewajiban untuk memenuhi apa yang telah dijanjikan kepada konsumen berkaitan dengan barangan yang dikeluarkannya. Misalnya ketentuan-ketentuan yang tertulis pada produk dan iklan yang disampaikan oleh produsen. 2. Kejujuran, produsen wajib memberi maklumat yang lengkap mengenai hasil keluarannya, baik kekurangan (kecacatan), kelebihan, keselamatan juga kehalalannya. Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
293
Asmawati
3. Kewajiban produsen untuk tidak mengatakan yang tidak benar mengenai produk yang ditawarkan. Mengatakan yang tidak benar pada hakekatnya merupakan penipuan yang disengajakan dan merugikan konsumen secara material dan spritual. Keadaan ini berlaku pada saat produsen melakukan kempen dan iklan secara berlebihan. Kebiasaannya cara ini gagal untuk memberikan fakta yang sebenarnya kepada konsumen. 4. Mengeluarkan barangan yang baik. Islam tidak membenarkan mengeluarkan barangan-barangan yang membawa mafsadah (kerosakan) bagi konsumen. Seruan kepada barangan yang baik akan memberi kemaslahatan bagi konsumen dunia dan akhirat. 5. Adil, mengagihkan kekayaan dalam bentuk produk juga kewajiban produsen bagi mewujudkan persaudaraan dan keadilan sosial ekonomi yang aman dan sejahtera.
294
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
KONSEP MAKANAN DALAM ISLAM
Daftar Pustaka al-Bustani, Fuad Ifrad. Munjid al-Tullab. Beirut: Dar al-Masytiq Tabc in al-c Isyriah, 1970. al-Jazairi, Abu Bakar Jabir. Ais at-Tafsir lilkalāmi al-c Aliya al-Kabir. Jilid I. Mesir: Dar al-Salamah, 1992. al-Nawawi. al-Majmu’ Syarh al-Muhadhdhab, ‘Asimah, t.th.
juz. 9. Kairo: Matba’ah al-
al-Qaradawi, M. Yusuf. Halal dan Haram dalam Islam (terj.), Singapura: Pustaka Nasional Pte. Ltd, 1989. al-Qardawi, Muhammad Yusuf. al-Halal wa al-Haram fi al-Islam. Mesir: Dar al-Kutub al-‘Arabiyah ‘Isa al-Bāby al-Halaby, 1960. al-Tabari, Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir, Tafsir at-Tabari. Dar al-Mac arif, Mesir, t.th. Ba’ albaki, Munie. al-Mawrid. Beirut: Dar al-c Ilmi lil-Malayen, 1995. Falsafi, Taqi, Child between Heredity and Education. Beirut: al-‘alami Library, 1969. Ibn Hajjaj, Muslim. Sahih Muslim. Turki: al-Maktabah Islamiy, 1972. Ibn Jusoh, Mohamed. Prinsip Utama Makanan dan Minuman dalam Islam, Bahagian Hal Ehwal Konsumen. Kula Lumpur: Jabatan Perdana Menteri, 1986. Katlehen, Marie V. Krause. Makan, Makanan, Pemakanan dan Terapi Diet. Terj. Suriah Abd. Rahman. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1993. Ma’luf, Louis. Al-Munjid fi al-lughah wa al-a’lam. Beirut, Dar al-Masyriq, 1994. Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
295
Asmawati
Muhammad, Ahmad Sonhaji. Tafsir al-Quran : surah al-Maidah. Singapura: alMaktab at-Tijari as-Syarqi, 1965. Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah. Terj. Mahyudin Syaf. Kuala Lumpur: Pustaka alAzhar, 1996. Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Quran, Tafsir Maudhuc I atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1998.
296
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
PERAN 'ĀMIL DALAM PERMBERDAYAAN LAHAN PERKEBUNAN (Studi Kasus Permintaan Tenaga Perkebunan Kelapa Sawit di Aceh Barat) Syahril Pembantun Rektor II Universitas Teuku Umar Meulaboh
Abstract ’Āmil (worker in this context for palm plantation has a great role to succeed the actvity. Without a good participation of worker, the harvest will be lower, if it is not loss. Appearantly, it need a balance between working and wage for support their activity. As a factual thing, the writer try to analyze the condition of worker and their wage related to activity of palm plantation in West Aceh. The study at least will be a model for other places how to manage worker, working and wage altogether.
Key words: Permintaan tenaga kerja, sawit
Syahril
A. Pendahuluan Perkebunan kelapa sawit sudah menjadi komoditi pasar dunia sehingga secara bisnis memiliki prospek yang baik bagi Indonesia sebagai negara agraris dan terutama Nanggroe Aceh Darussalam yang memiliki lahan yang luas dan subur untuk komoditi ini. Selain luas lahan dan kesuburan tanah, hutan yang sebagian besar rusak karena kejahilan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan kestabilan alam terganggu sehingga sering terjadi banjir bandang seperti di Kabupaten Aceh Tenggara. Kemudian pengembangan komoditi ini menyerap tenaga kerja awam, artinya walaupun mereka tidak berpendidikan (pendidikan rendah) masih dapat ditampung karena untuk menjadi pekerja kebun tidak memerlukan sumber daya menusia yang berkualitas tinggi. Maka dari itu Kabupaten Aceh Barat memiliki masyarakat yang masih didominasi pendidikan rendah sangat baik dalam menciptakan kesempatan kerja melalui pengembangan prioritas komoditi unggulan, salah satunya kelapa sawit. B. Landasan Teoritis 1. Tingkat Suku Bunga Para ekonom menjelaskan tingkat bunga nominal (nominal interest rate) adalah tingkat bunga yang dibayarkan investor. Sedangkan tingkat bunga riil (real interest rate) adalah tingkat bunga nominal yang dikoreksi karena inflasi. Jika tingkat bunga nominal adalah 8 persen dan tingkat inflasi 3 persen maka tingkat bunga riil adalah 5 persen.1 Kenaikan tingkat suku bunga dapat menggeser pengeluaran investasi pada peralatan kapital (mesin produksi) ke penanaman dana deposito, karena hal ini akan lebih menarik dan menguntungkan. Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa perubahan tingkat suku bunga terutama akan mempengaruhi pengeluaran investasi dan selanjutnya pada tingkat output, kesempatan kerja dan tingkat harga.2
1
N. Gregory Mankiw, Teori Makro Ekonomi, (Jakarta: Erlangga, 2000), hal. 53.
2 Faried Wijaya, Perkreditan Bank dan Lembaga-lembaga Keuangan Kita, (Yogyakarta: BPFE UGM, 1991), hal. 150.
298
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
PERAN 'ĀMIL DALAM PERMBERDAYAAN LAHAN PERKEBUNAN
Dorongan untuk mengadakan investasi ditentukan oleh keuntungan yang diharapkan dari investasi baru dan besarnya tingkat bunga yang dibayar. Tingkat keuntungan yang diharapkan dari investasi baru itulah dinamakan dengan “marginal effiency of capital”. Marginal effiency of capital merupakan tingkat keuntungan yang tertinggi yang diharapkan dari sebuah tambahan dari suatu aktiva modal dari jenis itu.3 (Manullang, 1983:104). Investasi merupakan pengeluaran atas tambahan-tambahan terhadap persediaan modal (mesin, bangunan, persediaan). Investasi seperti itu dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan di kemudian hari melalui pengoperasian pabrik dan mesin. Anggaplah perusahaan meminjam untuk membeli modal (mesin dan pabrik) yang mereka pergunakan. Maka semakin tinggi suku bunga, semakin banyak perusahaan harus membayar bunga dalam setiap tahun dari laba yang mereka terima dari investasi mereka. Jadi semakin tinggi suku bunga, semakin kecil keuntungan perusahaan itu setelah membayar bunga dan semakin kecil pula keinginan untuk melakukan investasi dan sebaliknya suku bunga yang rendah membuat pengeluaran investasi menguntungkan (Dornbush,1996:135). Faktor-faktor utama yang menentukan investasi ( Sukirno, 2003: 109) adalah: a. Tingkat keuntungan investasi yang diramalkan akan diperoleh. b. Tingkat bunga. c. Ramalan mengenai keadaan ekonomi di masa depan. d. Kemajuan teknologi. e. Tingkat pendapatan nasional dan perubahan-perubahannya. f. Keuntungan yang diperoleh perusahaan-perusahaan. 2. Teori Upah Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan pengertian Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk 3 Manullang, Ekonomi Moneter, (Jakarta: Balai Aksara Yudhistira, 1983), hal. 104.
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
299
Syahril
tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/ atau jasa yang telah atau akan dilakukan.4 Menurut As'ad5 pengupahan dapat digolongkan ke dalam 3 (tiga) sistem pengupahan, yaitu: 1. Sistem upah menurut banyaknya produksi. 2. Sistem upah menurut lamanya kerja. 3. Sistem upah menurut senioritas. 4. Sistem upah menurut kebutuhan. Para pekerja dan perusahaan menetapkan upah nominal W berdasarkan upah riil sasaran ω dan ekspektasi tingkat harga P e . Upah nominal yang mereka tetapkan adalah6
W
=
ω
x
Pe
Upah Nominal = Upah Riil Sasaran x Tingkat harga yang diharapkan Setelah upah nominal ditetapkan dan sebelum tenaga kerja ditarik, perusahaan mempelajari tingkat harga actual P. Upah riil kemudian menjadi:
W/P
=
ω
x
Pe / P
Upah Riil = Upah Riil Sasaran x Tingkat harga yang diharapkan/Tingkat harga aktual Asumsi akhir dari modal upah kaku (sticky-wage model) adalah bahwa pengkaryaan ditentukan oleh jumlah tenaga kerja yang diminta perusahaan. Dengan kata lain, tawar-menawar antara pekerja dan perusahaan tidak menentukan tingkat pengkaryaan selanjutnya; apalagi, para pekerja sepakat 4 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005) hal. 144.
300
5
As'ad, Moh (2003). Psikologi Industri, (Yogyakarta: Liberty, 2003), hal. 94-101.
6
N. Gregory Mankiw, Teori Makro..., hal. 323.
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
PERAN 'ĀMIL DALAM PERMBERDAYAAN LAHAN PERKEBUNAN
memberikan sebanyak mungkin tenga kerja yang ingin digunakan perusahaan pada tingkat upah yang ditetapkan sebelumnya. Kita menggambarkan keputusan perusahaan menarik tenaga kerja dengan fungsi permintaan tenaga kerja.7
L = Ld (W / P ) yang menyatakan bahwa semakin rendah upah riil, semakin banyak tenaga kerja yang digunakan perusahaan.
Y = F (L) yang menyatakan bahwa semakin banyak tenaga kerja digunakan, semakin banyak output diproduksi. Karena upah nominal adalah kaku, perubahan yang tidak diharapkan dalam tingkat harga menjauh upah riil dari upah riil sasaran, dan perubahan upah riil ini mempengaruhi jumlah tenaga kerja yang digunakan dan output yang diproduksi.
Y = Y + α (P − Pe ) Output menyimpang dari tingkat alamiahnya bila tingkat harga menyimpang dari tingkat harga yang diharapkan. Pendapat yang lain memberika argumentasi bahwa menaikkan upah minimum berarti menaikkan pendapatan para pekerja, seperti yang dikemukakan oleh Keynes.8 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 menyebutkan setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 88 ayat 1). Untuk maksud tersebut, pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan untuk melindungi pekerja/buruh. 7 N. Gregory Mankiw, Teori Makro..., hal. 325. 8 Nazamuddin, (1998),” Dua Teori Tentang Upah dan Implikasi Ekonomi Makro”, Jurnal Ekobis, Vol.1. No.1, Mei 1998,( Banda Ace: Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala, 1998), hal. 15
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
301
Syahril
Kebijakan pengupahan itu meliputi : 1. Upah minimum. 2. Upah kerja lembur. 3. Upah tidak masuk kerja karena berhalangan. 4. Upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain diluar pekerjaannya. 5. Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya. 6. Denda dan potongan upah. 7. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah. 8. Struktur dan skala pengupahan yang proposional. 9. Upah untuk pembayaran pesangon. 10. Upah untuk perhitungan pajak penghasilan. 3. Produktivitas Tenaga Kerja Menurut Greenberg (Sinungan, 1995:3), mendefinisikan produktivitas sebagai perbandingan antara totalitas pengeluaran pada waktu tertentu dibagi totalitas masukan selama periode tersebut. Sedangkan menurut Ahmad9 (1995:12), produktivitas tenaga kerja adalah nilai produksi (Q) per satuan tenaga kerja atau Q/L. Nilai produksi didekati dengan nilai PDRB baik menurut sektor kegiatan ekonomi maupun secara total berdasarkan harga konstan. Dalam hal ini faktor produksi lainnya diwakili oleh tenaga kerja. Produktivitas tenaga kerja sangat ditentukan oleh faktor usia, masa usia produktif adalah antara 15-64 tahun. Sedangkan di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun dianggap sebagai usia non produktif atau kurang produktif. Karena usia yang terlalu muda tenaga kerja memiliki tanggung jawab yang rendah, skill juga rendah serta faktor fisik yang masih lemah. Sedang usia 64 tahun ke atas tenaga kerja sudah terlalu tua sehingga kurang mampu untuk bekerja secara optimal karena keadaan fisik yang sudah melemah (Sukotjo dan Swastha,1985:16). 9 Jamaluddin Ahmad, “Produktivitas Tenaga Kerja dan Elastisitas Kesempatan Kerja di Daerah Istimewa Aceh”. Jurnal Ilmiah Mon Mata, No. 20, Desember 1995. (Banda Aceh: Penerbit Lembaga Penelitian Unsyiah, Banda Aceh), hal. 12.
302
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
PERAN 'ĀMIL DALAM PERMBERDAYAAN LAHAN PERKEBUNAN
Produktivitas memiliki arti penting dalam pendapatan nasional atau dapat dikatakan juga GNP banyak diperoleh dengan meningkatkan keefektifan dan mutu tenaga kerja dibandingkan dengan melalui formasi modal dan pertambahan tenaga kerja. Pertumbuhan ekonomi biasanya disertai dengan terjadinya kenaikan produktivitas per pekerja, maka dapat diduga laju pertumbuhan produksi pada umumnya lebih rendah dari satu.10 Selanjutnya bila tenaga kerja digunakan sebagai masukan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi produktivitasnya adalah tingkat pendidikan, ketrampilan, manajemen, hubungan industrial, tingkat penghasilan, gizi dan kesehatan, jaminan sosial, lingkungan iklim kerja, sarana produksi, tehnologi dan kesempatan berprestasi.11 Lembaga Pusat Produktivitas Nasional (LPPN) (Sedarmayanti, 1995:73) menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi produktivitas kerja adalah; pendidikan, ketrampilan, disiplin, motivasi, sikap dan etika kerja, gizi dan kesehatan, tingkat dan penghasilan, jaminan sosial, lingkungan dan iklim kerja, hubungan industrial, tehnologi, manajemen dan kesempatan berprestasi. Kegiatan produksi dapat pula dipandang sebagai manifestasi kegiatan investasi dalam arti pengeluaran yang dibutuhkan produksi. Dalam pembahasan investasi ini tidak hanya dibatasi pengeluaran langsung untuk memperoleh faktor produksi tenaga kerja tetapi juga harus termasuk pengeluaran untuk pembentukan modal manusiawi (human capital). Semakain tinggi tingkat pendidikan semakain tinggi pula tingkat produktivitas kerja.12 (Simanjuntak, 1998:39).
10 Jamaluddin Ahmad, “Produktivitas Tenaga Kerja..., hal. 4. 11 Depnaker Propinsi Istimewa Aceh, Laporan Analisis Kebutuhan Tenaga Kerja Terampil di Propinsi Istimewa Aceh, Tahun 1996/1997, hal. 65. 12 Payaman J. Simanjuntak, Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Unirversitas Indonesia. Jakarta (1985),., hal. 39.
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
303
Syahril
Ballente dan Jackson13 berpendapat bahwa kenaikan dalam produktivitas tenaga kerja (pertambahan modal atau kemajuan tehnologi) akan menaikkan tingkat upah umumnya. Produktivitas adalah konsep sistematis yang berkaitan dengan konversi dari masukan menjadi keluaran dari suatu system yang berbeda pada suatu keadaan tertentu.14 Perkembangan produktivitas tergantung baik pada kuantitas dan kualitas input maupun output yang dihasilkan (yang menentukan harga produk yang bersangkutan), efesien dalam menghasilkan produksi , komplementaristas dengan input lainnya dan segala pertimbangan teknis ekonomis, seperti skala operasi, elastisitas substitusi, dan kemajuan tehnologi.15 4. Hipotesis Berdasarkan latar belakang, rumusan penelitian, tujuan penelitian dan beberapa penelitian sebelumnya, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut : 1. Diduga tingkat suku bunga kredit dan tingkat upah riil berpengaruh negatif, sedangkan produktivitas tenaga kerja berpengaruh positif terhadap permintaan tenaga kerja perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Barat. 2. Diduga tingkat upah riil dalam pasar tenaga kerja perkebunan kelapa sawit menuju divergen. 5. Model Analisis Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah fungsi permintaan tenaga kerja menurut McCafferty16 dengan formulasi sebagai berikut :
13 Don Bellatte and Mark Jackson, Ekonomi Ketenagakerjaan, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Unirversitas Indonesia, 1983), hal. 152. 14 E.P Adam dan R J Eber, (1986), Production and Operation Management, Concept, Model and Behavior, 3 ED, (New Jersey: Prentice Hall International Edition, 1986), hal. 58. 15 Muhammad Arsyad Anwar, dkk, Prospek Ekonomi Indonesia Jangka Pendek Sumber Daya, Tehnologi dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), hal. 221. 16 Stephen McCafferty, Macroeconomic Theory, (New York: Harper dan Row Publisher, 1990), hal. 102.
304
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
PERAN 'ĀMIL DALAM PERMBERDAYAAN LAHAN PERKEBUNAN W
L D = f (−, r , y ) ………………………………..(3.1) P
Untuk mempersempit konsentrasi penelitian maka output diganti dengan produktivitas tenaga kerja , sehingga fungsi permintaan tenaga kerja menjadi: W
L D = f (−, PTK , r ) ………….……………….(3.2) P
demikian model ekonometrik untuk permintaan tenaga kerja perkebunan kelapa sawit (perkebunan besar) di Kabupaten Aceh Barat (asumsi hubungan linier, persamaan 3.2) adalah sebagai berikut : W
LD = a 0 − a1 −+ a 2 PTK − a 3 r + e ……………………(3.3) P
Untuk menjawab hipotesis kedua dalam penelitian ini, dengan menggunakan rumus rata-rata menurut Blalock, Hubert M.Jr (1972 : 56) dengan formulasi:
w/ p w / p = ∑n
dimana : w / p = Upah riil rata-rata w/p = upah riil n = waktu Untuk melihat permintaan tenaga kerja menuju konvergen atau divergen, bila tingkat upah riil ( w / p ) tenaga kerja perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Barat mendekati atau sama dengan tingkat upah riil ratarata ( w / p ) tenaga kerja perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Barat disebut konvergen. Sebaliknya, bila tingkat upah riil ( w / p ) tenaga kerja perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Barat menjauhi atau tidak sama dengan tingkat upah riil rata-rata ( w / p ) tenaga kerja perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Barat disebut divergen. 6. Definisi Operasional Variabel a. Permintaan tenaga kerja (LD) adalah permintaan tenaga kerja perkebunan kelapa sawit (khusus tenaga kerja yang status SKU dan Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
305
Syahril
BHL) di Kabupaten Aceh Barat. (orang) b. Tingkat suku bunga (r) yang dipakai dalam penelitian ini adalah tingkat suku bunga investasi pada Bank Indonesia. c. Tingkat upah riil yang dimaksud adalah tingkat upah nominal di bagi indek implisit PDRB Kabupaten Aceh Barat. d. Produktivitas tenaga kerja yang dimaksud adalah total produksi pada perkebunan kelapa sawit dibagi dengan jumlah tenaga kerja di perkebunan kelapa sawit (khusus perkebunan besar) di Kabupaten Aceh Barat. C. Permintaan dan Produktivitas Tenaga Kerja di Aceh Barat 1. Permintaan Tenaga Kerja Permintaan tenaga kerja di perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Barat mengalami fluktuasi. Hal ini terjadi karena tidak stabil politik di Nanggroe Aceh Darussalam yaitu gangguan keamanan dari ekses konflik Pemerintahan Pusat dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang mempengaruhi terhadap aktivitas perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Barat. Pada tahun 1999 pertumbuhan permintaan tenaga kerja di perkebunan kelapa sawit menurun sebesar 0,6 persen dan selanjutnya pada tahun 2000 menurun lagi sebesar 3,42 persen, kemudian tahun 2001 menurun lagi sebesar 0,76 persen. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Grafik 4.1 dibawah ini.
306
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
PERAN 'ĀMIL DALAM PERMBERDAYAAN LAHAN PERKEBUNAN
Pada periode tahun 1995-2005 tingkat upah nominal lebih tinggi dari pada upah riil. Peningkatan tingkat upah riil seiring dengan meningkat tingkat upah nominal di perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Barat. Pada tahun 1995-1997 tingkat upah riil mendekati upah nominal, kemudian terus menjauh kesenjangan upah riil dengan upah nominal pada tahun 19982000. Seterusnya tahun 2001 terlihat sudah mendekati lagi upah riil dengan upah nominal dan mulai tahun 2002-2005 terlihat semakin menjauh. Artinya tingkat upah riil dan upah nominal selama periode 1995-2005 tidak terjadi keseimbangan, hal ini dipengaruhi oleh tinggi rendah inflasi. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Grafik 4.2 dibawah ini.
2. Poduktivitas Tenaga Kerja Produktivitas tenaga kerja perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Barat berfluktuasi, dimana pada tahun 2000 mengalami penurunan sebesar 1,17 persen dan bahkan di tahun 2001 menurun pada posisi mines yaitu -8,54. Hal ini terjadi karena di tahun 2000 dan 2001 awal terjadi konflik yang mana perusahaan-perusahaan besar perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Barat mengalami gangguan keamanan sehingga terjadi ketidakseimbangan aktivitas perusahaan. Kemudian pada tahun 2002, perkebunan besar kelapa sawit di Kabupaten Aceh Barat sudah mulai meminta penjagaan keamanan dari pihak TNI untuk pengamanan terhadap pemerasan dan intimidasi pihak Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
307
Syahril
GAM sehingga mulai tahun ini terjadi partumbuhan produktivitas tenaga kerja. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Grafik 4.3 dibawah ini.
Selama periode 1995-2005 tingkat suku bunga kredit investasi Bank Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 9,61 persen per tahun. Rata-rata pertumbuhan suku bunga investasi besar karena berhubungan dengan kebijakan monoter yang dilakukan pemerintah melalui Bank Sentral untuk menstabilkan perekonomian Indonesia yang dilanda berbagai krisis seperti yang terjadi pada tahun akhir tahun 1997 yang lebih dikenal dengan krisis moneter. 3. Pembahasan Berdasarkan analisis data didapatlah koefisien estimasi sebagai berikut: LD = 6,2972 - 0,005627 W/P + 2,8376 PTK - 0,48402 r Hasil ini diperoleh dengan menggunakan pendekatan OLS (Ordinary Least Sguares) diperoleh nilai R 2 = 0,9440 , artinya 94 % dari variabel besaran permintaan tenaga kerja oleh perkebunan kelapa sawit ini dapat dijelaskan oleh variabel independent yang tercakup dalam model, sedangkan 6 % lagi
308
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
PERAN 'ĀMIL DALAM PERMBERDAYAAN LAHAN PERKEBUNAN
dari variasi tersebut dijelaskan oleh varibel diluar model penelitian ini. Kemudian F hitung menunjukkan angka 118,915. Yang lebih besar dari 1,734 (nilai F tabel) pada tingkat signifikansi 1 % dari df (3). Artinya secara bersamasama variabel tingkat upah riil, produktivitas tenaga kerja, dan tingkat suku bunga kredit secara statistik mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap jumlah permintaan tenaga kerja oleh perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Barat. Di samping tidak terjadi heterostatisitas, penelitian ini juga memenuhi asumsi linier Klasik lainnya yaitu tidak terjadi serial atau autokorelasi. Yang ditujukan oleh nilai DW sebesar 1,1377. Dimana setelah dihitung berdasarkan test DW angka ini merupakan angka yang tidak terjadinya autokorelasi. Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel upah riil tenaga kerja bertanda negatif yaitu sebesar 0,005627 pada tingkat alpha 0,10. Temuan ini mengindikasikan bahwa upah riil tenaga kerja berkorelasi negatif dengan permintaan tenaga kerja. Artinya bila terjadi kenaikan upah riil 1 % maka akan menyebabkan penurunan permintaan tenaga kerja di perkebunan kelapa sawit sebesar 0,0056 %. Hal ini juga berarti semakin tinggi tingkat upah riil tenaga kerja maka semakin berkurang permintaan tenaga kerja. Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel produktivitas tenaga kerja bertanda positif yaitu sebesar 2,8376 pada tingkat alpha 0,05. Temuan ini mengindikasikan bahwa produktivitas tenaga kerja berkorelasi positif dengan permintaan tenaga kerja. Artinya bila terjadi kenaikan produktivitas 1 % maka akan menyebabkan peningkatan permintaan tenaga kerja di perkebunan kelapa sawit sebesar 2,84 %. Hal ini juga berarti semakin produktif tenaga kerja maka semakin meningkat permintaan tenaga kerja. Hasil ini sesuai dengan teori produktivitas tenaga kerja. Di mana menurut teori produktivitas, produktivitas berhubungan positif dengan permintaan tenaga kerja. Variabel tingkat suku bunga kredit mendapatkan hasil estimasi sebesar 0,48402 pada tingkat alpha 0,05. Dari hasil estimasi bahwa variabel tingkat Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
309
Syahril
suku bunga kredit tidak mempengaruhi terhadap permintaan tenaga kerja perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Barat. Tidak signifikan pangaruh tingkat suku bunga kredit terhadap permintaan tenaga kerja, karena perkebunan besar yang ada di Kabupaten Aceh Barat adalah cabang dari perkebunan besar daerah lain yang bantuan modal investasi dari hasil perkebunan induk. Tidak signifikannya pengaruh tingkat suku bunga kredit terhadap permintaan tenaga kerja di perkebunan kelapa sawit dikarenakan para investor lebih memperhatikan faktor keamanan daripada tinggi rendahnya tingkat suku bunga kredit. Permintaan tenaga kerja perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Barat menuju divergen karena menjauh dari rata-rata tingkat upah riil (w/p) tenaga kerja perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Barat. D. Penutup Dari analisis data dan hasil pembahasan tentang permintaan tenaga kerja oleh perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Barat, yang menggunakan data panel seperti yang diuraikan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan di antaranya : Tingkat upah riil berpengaruh negatif terhadap permintaan tenaga kerja. Atau dengan kata lain meningkatkan upah riil akan menurunkan permintaan tenaga kerja. Hasil estimasi juga menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas akan meningkatkan permintaan terhadap tenaga kerja dan sesuai dengan teori produktivitas tenaga kerja, artinya permintaan tenaga kerja berpengaruh positif terhadap permintaan tenaga kerja. Peningkatan atau penurunan tingkat suku bunga kredit tidak secara signifikan mempegaruhi permintaan tenaga kerja pada perkebunan sawit di Kabupaten Aceh Barat. Tingkat investasi di perkebunan kelapa sawit di kabupaten Aceh
310
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
PERAN 'ĀMIL DALAM PERMBERDAYAAN LAHAN PERKEBUNAN
Barat tidak hanya dipengaruhi oleh tingkat suku bunga tetapi keamanan dan perusahaan perkebunan di Aceh Barat adalah cabang sehingga akses modal dari perusahaan induk. Permintaan tenaga kerja perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Barat menuju divergen, artinya kurvanya menjauhi tingkat upah riil rata-rata.
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
311
Syahril
Daftar Pustaka Adam, EP, dan R J Eber, (1986), Production and Operation Management, Concept, Model and Behavior, 3 ED, Prentice Hall International Edition, New Jersey. Ahmad, Jamaluddin (1995). “Produktivitas Tenaga Kerja dan Elastisitas Kesempatan Kerja di Daerah Istimewa Aceh”. Jurnal Ilmiah Mon Mata, No. 20, Desember 1995. Halaman 15, Penerbit Lembaga Penelitian Unsyiah, Banda Aceh. Arsyad Anwar, Muhammad, dkk, (1995), Prospek Ekonomi Indonesia Jangka Pendek Sumber Daya, Tehnologi dan Pembangunan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. As'ad, Moh (2003). Psikologi Industri, Penerbit Liberty, Yogyakarta. Bellatte, Don and Mark Jackson. (1983). Ekonomi Ketenagakerjaan, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Unirversitas Indonesia, Jakarta. Depnaker Provinsi Istimewa Aceh, Laporan Analisis Kebutuhan Tenaga Kerja Terampil di Propinsi Istimewa Aceh, Tahun 1996/1997. Dorn Bush, Rudiger and Stanley Fisher, (1994), Makro Ekonomi, Edisi Keempat, Diterjemahkan oleh Mulyadi, Erlangga, Jakarta. Froyen, Richard T, (1995), Macroeconomics Theories and Policies, Fifth Eddition, Prentice-Hall, Companies. Singapore. Husni, Lalu (2005), Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Mankiw, N. Gregory, 2000. Teori Makro Ekonomi, Edisi Keempat, PT. Erlangga, Jakarta.
312
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
PERAN 'ĀMIL DALAM PERMBERDAYAAN LAHAN PERKEBUNAN
McCafferty, stephen, Publisher, New York
(1990), Macroeconomic Theory, Harper dan Row,
Mc Connel, Campbell R and Stanley L Brue (1989), Contemporary Labor Economics, Second Edition, Mc Graw-Hill, USA. Manullang,1983. Ekonomi Moneter, Balai Aksara, Yudhistira, Jakarta. Nazamuddin, (1998),” Dua Teori Tentang Upah dan Implikasi Ekonomi Makro”, Jurnal Ekobis, Vol.1. No.1, Mei 1998, Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh. Sedarmayanti, (1995), Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja, Ilham Jaya, Bandung. Simanjuntak, Payaman J (1985), Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Unirversitas Indonesia. Jakarta. Sukotjo, I dan Swastha B, (1985), Pengantar Ekonomi Perusahaan Modern, liberty, Yogyakarta. Sukirno, Sadono, 1985. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah dan Dasar Kebijakan, LPFE UI, Jakarta. Sukirno, Sadono, 1994. Pengantar Teori Makro Ekonomi, Grafindo Persada, Jakarta. Todaro, Michael, P., 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Edisi keenam, Erlangga, Jakarta. Wijaya, Faried, (1991), Perkreditan Bank dan Lembaga-lembaga Keuangan Kita, BPFE UGM, Yogyakarta.
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
313
314
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
Konsep Ekonomi Menurut Ibn KhaldŪn
Syamsuar Basyariah Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Tgk Dirundeng Meulaboh
Abstract Ibn Khaldūn has promoted a concept related to economic thing. According to him, the property of a state is not based on the quantity of the money that the state has, but based on the capacity to produce the luggages and the needs. The concept at least lead a view how to build the human resources beside the natural resources. Both of resources should be balance in order to stabilize the economic of the nation.
Key words: ekonomi, Ibn Khaldūn
Syamsuar Basyariah
A. Pendahuluan Manusia merasa bersyukur dan gembira karena saat ini kajian tentang ekonomi Islam semakin meluas, maraknya kajian ekonomi Islam ini, tentu akan mempengaruhi kajian mikro ekonomi seperti Akuntansi. Tradisi keilmuan ekonomi telah dimulai jauh sebelum lahirnya Adam Smith, tujuh ratus tahun bapak ekonomi konvensional menulis buku The Wealth of Nations, seorang ulama Islam bernama abu Hamid al-ghazali telah membahas fungsi uang dalam perekonomian. Tradisi keilmuan ini terus berlanjut. Dua ratus tahun setelah al-Ghazali menjelaskan peranan uang dalam perekonomian, di Tunisia, seorang ulama lain bernama Abdurrahman Ibn khaldun alias Abu Zaid menjelaskan lebih lanjut dari apa yang telah di sampaikan al-Ghazali. Ibn Khaldun menegaskan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif. Bisa satu negara mencetak uang sebanyak-banyaknya, tetapi bila hal itu bukan merupakan refleksi pesatnya pertumbuhan sector produksi, uang yang melimpah tidak akan ada nilainya. Sektor produksilah yang menjadi motor pembangun, menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan pekerja dan menimbulkan permintaan atas factor produksi lainnya. Pendapat ini menunjukkan bahwa perdagangan internasional telah menjadi bahasan utama para ulama ketika itu.1 Berbicara masalah ekonomi, meliputi kaedah yang luas, maka pembahasan dalam ilmu ekonomi terbagi pada: 1. Ekonomi sebagai usaha hidup dan pencarian manusia dinamakan economical life 2. Ekonomi dalam rencana suatu pemerintahan dinamakan political economy 3. Ekonomi dalam teori dan pengetahuan dinamakan economical science Secara lengkap, soal-soal ekonomi disebutkan oleh Nabi Muhammad saw. 1 Adiwarman Aswar Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, (Jakrta: Gema Insani Press, 2001), hal. 55
316
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
Konsep Ekonomi Menurut Ibn KhaldŪn
dalam suatu hadits yang diriwayatkan Bukhari, Muslim dan Nasa’I dari Zubair bin Auwwam, yang artinya: “ seseorang yang membawa tali pada pagi hari berangkat mencari dan mengerjakan kayu bakar ke bukit-bukit lalu menjualnya, memakannya dan menyedekahkannya lebih baik dari pada meminta-minta kepada manusia lainnya. System ekonomi dalam Islam, tidak hanya didasari dari undang-undang pemerintah, tetapi juga dilandasi dari ajaran-ajaran Islam. Memang dalam al-Quran belum dijelas secara deteil dan terperinci setiap pokok pembahasan masalah perekonomian, tetapi banyak hadis-hadis Rasullah yang membahas dan mengklasifikasikan setiap pokok permasalahan untuk memudahkan aplikasinya dalam kehidupan sosial masyarakat. Dalam hal ini, Ibn Khaldun ikut menyumbangkan pikirannya terhadap system perjalanan ekonomi secara Islami. Ibn Khaldun memperkenalkan apa yang disebut dengan lingkaran keadilan dalam komentarnya terhadap konsep ekonomi. Maka yang menjadi objek kajian dalam makalah ini adalah bagaimana konsep pemikiran Ibn Khaldun dalam bidsang ekonomi.. B. Pembahasan Ekonimi Islam selama tiga dasawarsa merupakan tema yang paling banyak mendapat perhatian dari para sarjana dan cendikiawan muslim disbanding disiplin lainnya. Gagasan ekonomi dimaksud sebagai sebagai alternatif terhadap system ekonomi kapitalis dan sosialis yang bukan saja dianggap tidak sejalan dengan jaran Islam, namun juga gagal dalam memecahkan berbagai problem ekonomi yang dihadapi terutama oleh negara-negara dunia ketiga. Sistem ekonomi Islam diharapkan dapat mencegah ketidakadilan dalam penerimaan dan pembagian sumber-sumber materi agar dapat memberikan kepuasan pada semua manusia dan memungkinkan mereka menjalankan kewajiban kepada Allah dan masyarakat. Islam mewajibkan zakat, melarang riba, mengizinkan pemilikan kekayaan pribadi, tetapi juga memberi hak kepada masyarakat untuk menyebarkan kembali kekayaan pribadi; melarang pemilikan tanah yang diluar kemampuan seseorang atau keluarganya untuk mengelolanya. Ketentuan-ketentuan ini, jika dilaksanakan, diyakini akan menciptakan suatu masyarakat yang memiliki Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
317
Syamsuar Basyariah
segala keunggulan dalam kesamaan dan keadilan, pemerataan dan kerjasama, serta dinamisme ekonomi dan pertumbuhan. 2Konsep ekonomi Islam menjaga agar nilai-nilai Islam tetap berlaku dan dapat mewujudkan risalah yang dibawa oleh Islam itusendiri. Menurut Chapra ekonomi Islam adalah ekonomi yang mewujudkan risalah Islam. Beliau menyatir pendapat al-Ghazali tentang maksud ar-Risalah sebagai upaya untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh manusia yang terletak pada : 1. mengamankan keyakinan atau agama 2. mengamankan diri manusia itu sendiri 3. mengamankan otak dan pikirannya 4. Mengamankan keturunan dan generasi mudanya 5. mengamankan harta kekayaannya3 Adapun menurut Ibn Khaldun ada prinsip-prinsip dasar yang harus dimiliki system ekonomi Islam, yaitu: 1. Tauhid ilahiyah 2. Kemakmuran dunia akhirat 3. Dimensi material dan moral 4. kemakmuran untuk semua yang bersifat jangka panjang dan sustained 5. dapat diterapkan. Sistem ini dapat dipraktekkan karena pernah diterapkan pada abad ke 5-9 di Jazirah Arab dengan sangat sukses.4 Mekanisme pasar dalam Soal-soal ekonomi ini dibicarakan juga oleh filosof Islam, Ibnu Khaldun (1332 – 1046) dalam bukunya Muqaddamah, bagian V, “Motif ekonomi timbuk karena hasrat manusia yang tidak terbatas, sedangkan barang yang memuaskan kebutuhannya itu sangat terbatas. Sebab itu, pemecah soal ekonomi haruslah dipandang dari dua sudut, sudut tenaga dan sudut penggunannya.
2 P. A. Rifa’I Hasan, “Ekonomi Islam: Gagasan, Kritik dan Harapan”, dalamUlumul Qur’an, nomor 5, tahun 1990, hal. 3. 3 Sofyan Syafri Harahap, Menuju perumusan Teori Akuntansi Islam, (Jakarta:Pustaka Kuantum, 2001), hal. 29 4
318
Sofyan Syafri Harahap, Menuju… hal. 32.
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
Konsep Ekonomi Menurut Ibn KhaldŪn
Adapun sudut tenaga terbagi menjadi: a. Tenaga untuk mengerjakan barang-barang (objek) untuk memenuhi kebutuhan sendiri (subjek) dinamakan ma’asy (penghidupan) b. Tenaga untuk mengerjakan barang-barang yang memenuhi kebutuhan orang banyak, dinamakan tamawwul (perusahaan). 5 Berdasarkan keterangan diatas, nampak jelas bahwa Ibnu Khaldun mendasarkan pemikiran ekonominya pada doktrin al-Qur’an, hal ini dapat diketahui dari perkataan Ma’isya dal al-Haqqah ayat 21, dan al-Qaria’ah ayat 7. dan kata ma’asya dalam surat Naba’ ayat 11. Semua perkataan itu adalah dipakai sebagai istilah untuk menunjukkan perlunya tenaga manusia untuk mencukupkan kebutuhan hidupnya. Ibnu Khaldun juga memasukkan perusahaan pribadi dan perusahaan umum kedalam pemabasan mekanisme pasar. Usaha tersebut digunakan bagi usaha suatu ummat. Ia mengatakan kalau usaha tersebut dipenuhi oleh kebinasaan dan kehancuran maka persaingan ekonomi atau kasab telah terjadi kezaliman. Pada bagian pertama dari uraian ekonomi Ibnu Khaldun (Ma’asyi dan Rezki) hanya diperuntukkan bagi kebutuhan sendiri sedangkan pada bagian kedua Tamawwul dan kasab bagi pekerjaan perusahaan. Tentang mata uang dalam pandangan Ibnu Khaldun memegang peranan penting kerena uang merupakan alat penghargaan proporsi mata uang dalam penglihatan Ibnu Khaldun sebagai anugrah Tuhan. Untuk itu dia menulis sebagai beriukt: “ Tuhan telah menjadikan dua barang galian yang berharga yaitu emas dan perak, menjadi nilai dalam perhubungan ekonomi sekaligus sebagai alat simpan bagi penduduk dunia”. Karena begitu pentingnya mata uang maka uang iru bisa berfungsi sebagai: 1. Alat penukar dan pengukur harga sebagai nilai usaha (almakasib) 2. Alat perhubungan atau alqaniyah 3. Alat simpanan dalam Bank-bank atau azzakhirah. 6 Pendapat Ibnu Khaldun tersebut jika dianalisa dengan kondisi kita hari ini bahwa emas dan perak yang menempati tempat ukuran standar, dapat saja diganti dengan uang kertas akan tetapi substansi dari tujuan pemanfaatan 5 Abdullah Zaki Alkaaf, Ekonomi …, hal. 209. 6 Abdullah Zaki Alkaaf, Ekonomi…hal. 211.
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
319
Syamsuar Basyariah
emas dan perak tetap memiliki nilai yang relevan serta adanya jaminan emas dan perak di dalam Bank. Uraian sistim perekonomian Ibnu Khaldun sangat luas bahkan di dalam kitab muqaddimahnya terdapat 33 pasal yang membahas tentang persoalan ekonomi, namun persoalan ekonomi di zaman kita sekarang jauh lebih luas dari pada yang diuraikan oleh Ibnu Khaldun, akan tetapi pengakuan kita kepada Ibnu Khaldun sebagai perintis jalan bagi perekonomian modern tidaklah menjadi lekang bahkan pengaruh pemikiran Ibnu Khaldun terhadap mekanisme pasar sampai ke zaman renesain Eropa. Dimana pusat pereonomian Eropa sebagaimana pernah diulas oleh Ibnu Khaldun adalah pada dua titik yaitu pertanian dan perdagangan. Dalam uraian tentang perekonomian Ibnu Khaldun serta karya-karyanya terutama di dalam bukunya Muqaddimah ditegaskan oleh Abdullah Zaki Alkaaf ”menjadi lampu ditengah-tengah kegelapan atau bintang di alam cakrawala yang telah memberi pedoman bagi teori ekonomi Eropa khususnya dan internasioanal umumnya”. Pengakuan serupa juga dilontarkan oleh M. Luthfi Jum’ah dalam bukunya Tarikh Falasifah al-Islam sebagai berikut “ Karangan Ibnu Khaldun bagian kelima dari bukunya muqaddimah khusus mengenai ilmu ekonomi dijadikan dasar bagi Karl Marx sewaktu menulis bukunya Das Kapital. Tentang permintaan dan penawaran berhubungan dengan naik turunnya harga, Ibnu Khaldun membagi barang atas kebutuhan dan kemewahan menurutnya jika satu kota berkembang dan jumlah penduduknya meningkat Perkembangan pemikiran dan penerapan ekonomi Islam sangat spektakuler, apalagi khazanah umat Islam dari fillusufnya terdahulu seperti Ibnu Khaldun, Ibnu Taimiyah, al-Ghazali dan Abu Yusuf benar dapat digali. Pemikiran tersebut jika diterapkan dalam konteks sosial sekarang akan dapat melahirkan system baru yang dapat dikaji untuk perkembangan berikutnya. Integrasi teori, konsep dan praktek perlu diperjuangkan. Sehingga ilmu yang Islami akan menopang lahirnya ilmu yang sejalan dengan nilai dan ciri Islam yang berlanjut akan melahirkan masyarakat yang Islami pula.7
7
320
Sofyan Syafri Harahap, Menuju perumusan…,hal. 39.
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
Konsep Ekonomi Menurut Ibn KhaldŪn
Kalau kita mengambil contoh dari tradisi pemikiran Islam, mukaddimahnya Ibn Khaldun dapat dijadikan teladan bagi suatu analisis emperis yang Islami. Akan teytapi sayangnya tradisi tersebut belumpernah dikembangkan lebih lanjut oleh sarjana-sarjana muslim untuk menganalisis gejala perkembangan masyarakat modern. Pada hal dalam mukaddimah terkandung analis ekonomi-politik yang tepat untuk masyarakat abad tengah.8 Demikian kesimpulan yang diambil oleh pakar ekonom Indonesia Prof. Drs. Dawam Rahardjo. Analisis Dawam tampaknya sangat beralasan mengingat konsep mekanisme pasar yang dikembangkan oleh pendahulu Ibn Khaldun yaitu Ibn Taymiyah sangat relavan dengan mekanisme pasar modern menarik untuk diperbandingkan. Konsep mekanisme pasr Ibnu Khaldun dengan konsep mekanisme pasar Ibn Taymiyah, dan Abu Yusuf. Kalau Ibn Taymiyah mempunyai satu gagasan yang jelas tentang harga dipasar bebas yang ditentukan oleh kekuatan-kekuatan sekarang yang disebut permintaan dan penewaran, maka mekanisme pasar Ibn Khaldun juga memiliki konsep yang jelas tentang permintaan dan penawaran sehubungan dengan naik turunnya harga, Ibn Khaldun membagi barangbarang berdasarkan kebutuhan dan kemewahan. Edangkan Abu Yusuf memberikan perhitungan teoritis tentang permintaan dan penawaran yang tidak memiliki batasan yang pasti tentang murah dan mahalnya harga.9 Dibidang penghasilan pajak yang turut mempengaruhi fluktuasi harga tidak luput dari perhatian Ibn Khaldun, dalam hai ini ia berkomentar “ pemerintah adalah pasar terbesar, ibu dari semua pasar, dalam besarnya pendapatan dan penerimaannya. Jika pasar pemerintah mengalami penurunan, maka adalah wajar jika pasar yang lainnya mengalami penurunannya, maka pasar yang lainpun ikut menurun, bahkan dalam agrizat yang lebih besar”.10 Dari 8
M.Dawam Rahardjo, Deklarasi Mekkah, (Bandung: Mizan, 1987), hal. 107
9 Abdul Azis Islahi, Teori Mekanisme Pasar Menurut Ibn Taymiyah, dalam Ulumul Qur’an, vol. 2, no. 2, (Jakarta: LSAF, 1989), hal. 94-96 10 Mimbar Ulama, kKebijakan Fiskal Rasulullah, (Jakarta: Sekretaiat MUI, tt), hal. 47
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
321
Syamsuar Basyariah
pernyataan tersebut, Ibn Khaldun sepertinya mengajukan diaknosa obat bagi resesi yaitu mengecilkan pajak dan meningkatkan pengeluaran pemerintah. Rekavri tersebut merupakan inovasi yang layak diimplementasikan sesuai kontemporer sehingga tidak berlebihan jika Laffer penesehat ekonomi mantan poresiden Regan mengambil konsep mekanisme pasar tersebut dari ide Ibn Khaldun Meminjam istilah Ibn Khaldun, cara hidup kita atau perubahan yang terjadi dalam cara hidup kita, dapat mempengaruhi pemikiran kita. Lingkungan sosial ekinomi lewat daya peka kita, juga berpengaruh terhadap pemikiran kita. Cara hidup yang dimaksud adalah bagaimana meningkatkan produktifitas disektor-sektor lapangan kerja. Ini artinya selama ini konsep mekanisme pasar Ibn Khaldun belum dipikirkan secara serius Dasar uraian diatas sudah dapat ditarik benang merah antara kajian ekonomi yang berwarna Islam. Pertama, kajian ekonomi Islam dalam lingkup normative, dalam arti upaya menjelaskan dasar-dasar filosofis atau normative suatu kegiatan ekonomi yang sesuai dengan tuntutan Islam. Menurut ajran baku dalam al-Quran dan hadits. Untuk melakukan hal itu, jelaslah diperlukan pengusahaan yang baik atas Islam dan ilmu ekonomi. Terutama perbandingan system ekonomi dan sejarah perkembangan pemikiran ekonomi. Dengan kajian seperti itu, agaknya dapat disusun konsep system ekonomi Islam yang ideal. Kedua, kajian ekonomi Islam hasil pemikiran atau penyelidikan para pakar ekonomi maupun sosiolog seperti Ibn Khaldun, Ibn Taimiyah, maupun Max Weber, yang dilakun secara analitis kritis, baik melalui pemeriksaan teori atau tesis yang dikemukakan maupun melalui pengujiannya terhadap kenyataan perilaku ekonomi Muslim. Awal dari sifat bahasan ibn Khaldun sabgat berbeda dengan ibn taymiyah. Menurut A.A. Islahi, pembahasan Ibn Khaldun lebih bersifat ”Sosiologi Ekonomi,” sedangkan bahsan ibn Taymiyah lebih bersifat gambaran “politik Ekonomi Islam.” Dengan pengaruh pengalamannya Ibn Khaldun lebih dulu mengedepankan teori baru menunjukkan bukti-buktinya. Jadi kajian
322
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
Konsep Ekonomi Menurut Ibn KhaldŪn
ekonominya lebih bersifat “ekonomi positif”, yang berbazis studempirik. Sedangkan Ibn Taimiyah menekankan pada praktek ekonomi yang diharapkan bagi setiap individual dan kebijakan ekonomi yang adil oleh negara. Jadi secara umum lebih bersifat normative.11 C. Kesimpulan Tatanan ekonomi harus diatur sedemikian rupa, sehingga seluruh manusia bisa memperoleh hak milik secara wajar dan menikmatinya dengan tampa melupakan Allah sebagai pemberi harta tersebut. Pelaku ekonomi Islam perlu memperhatikan tiga tujuan pokok ekonomi dalam Islam, yaitu: 1. mengutamakan prinsip-prinsip Ilahiyah (ketuhanan) 2. Memperjuangkan kebutuhan hidup duniawitampa meninggalkan keselamatan ukhrawi 3. Menciptakan kesejahteraan sosial. Ekonomi dalam Islam mengandung dasar-dasar keutamaan dan kebahagiaan serta kemakmuran bersama (kolektif) dan menghilangkan atau meminimalkan jurang pemisah antara kaum borjuis (agniya) dan kaum proletar (mustadhafin). Dalam aktifatas ekonomi Ibn Khaldun dan Ibn Taimiyah sangat menekankan adanya kerja sama dan persatuan untuk mencapai kebaikan dan bersekutu pula untuk menghilangkan penderitaan. Jadi manusia secara kodrati merupakan makhluk sosial. Pemikiran Ibn Khaldun dalam bidang ekonomi dipengaruhi oleh pemikiran al-Ghazali dan Ibn Taimiyah. Miskipun pemikiran keduanya sangat berbeda, Ibn Khaldun bersifat “ Sosiologi Ekonomi”, dan Ibn Taimiyah bersifat “politik ekonomi Islam”, akan tetapi juga terdapat sisi persamaan, seperti pertimbangan peran penting penawaran dan permintaan dalam menetapkan harga. Ibn Khaldun menyatakan bahwa keuntungan yang moderat akan 11 A.A. Islahi, Konsep Ekonomi Ibn Taimiyah, (Surabaya: PT. Bina ilmu, 1997), hal 317-318
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
323
Syamsuar Basyariah
mendorong perdagangan, sementara keuntungan yang rendah akan melesukan para pedagang dan perajin, sedang keuntungan yang tinggi akan membuat permintaan melemah. Sedang Ibn Taimiyah menyebutkan secara eksplisit beberapa elemen kompetisi dan berbagai biaya penawaran.
Daftar Pustaka A. Islahi, Konsep Ekonomi Ibn Taimiyah, Surabaya: Bina ilmu, 1997 Ulumul Qur’an, nomor 5, tahun 1990 Harahap, Sofyan Syafri, Menuju perumusan Teori Akuntansi Islam Jakarta: Gema Insani Press, 2001 Islahi, Abdul Azis, Teori Mekanisme Pasar Menurut Ibn Taymiyah. Jakarta: Pustaka Kuantum, 2001 Karim, Adiwarman. Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: GIP, 2001. Rahardjo, M. Dawam, Deklarasi Mekkah, Bandung: Mizan, 1987 Ulama, Mimbar. Kebijakan Fiskal Rasulullah. Jakarta: Sekretaiat MUI, t.th. Ulumul Qur’an, vol. 2, no. 2. Jakarta: LSAF, 1989
324
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
PRODUKSI DALAM KONSEPSI EKONOMI ISLAM
Zulkarnaini Alumni Fak. Ushuluddin, Jurusan Aqidah Dan Filsafat. S.2 diselesaikan pada pascasarjana kosentrasi Dirasah Islamiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Bekerja pada Dep. Agama Kota Banda Aceh Dan Dosen Luar Biasa IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Abstract Production plays an important role to ensure self and social interest. In Islamic economy system, the production is aimed to reach the economic justice (al‘Adalah al-Iqtisadiyah), social insurance (at- Taqaful al-Ijtima’i) and utilize the resources of economic empowering for productivity effeciently
Key words: Produksi, Ekonomi Islam.
Zulkarnaini
A. Pendahuluan Perkataan ekonomi berasal dari dari kata Yunani yaitu "oicos" dan "nomos" yang berarti rumah, dan nomos berarti aturan. Jadi ekonomi adalah aturanaturan untuk menyelenggarakan kebutuhan hidup manusia dalam rumah tangga, baik rumah tangga rakyat (volkshuishouding) maupun dalam rumah tangga negara (staathuishouding).1 Dalam bahasa Arab disebut dengan iqtishad yang artinya mengatur soal-soal penghidupan manusia dengan sehemat-hematnya dan secermat-cermatnya. 2 Ekonomi Islam adalah ekonomi yang berdasarkan pengawasan Tuhan.3 Sistem ini manusia menggunakan sarana tidak terlepas dari syari'at yang bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah. Dengan demikian cakupan ekonomi sangat luas akan tetapi secara garis besar ekonomi tersebut dapat digolongkan kepada: ekonomi sebagai usaha hidup dan pencaharian manusia (economic life), ekonomi dalam rencana suatu pemerintahan (political economi) dan ekonomi dalam teori pengetahuan (economic science).4 Ketiga cakupan ini bertujuan untuk kemakmuran manusia baik dunia dan akhirat. Dalam Islam aktifitas ekonomi seperti produksi, distribusi, kosumsi, imporexspor tidak lepas dari titik tolak ketuhanan dan tujuan akhir untuk Tuhan. Karenanya tujuan ekonomi Islam untuk membantu manusia beribadah kepada Allah, untuk lebih jelasnya tulisan ini hanya membahas produksi mrngingat produksi memegang peranan penting dalam ekonomi Islam. Pada sisi lain ekonomi Islam menempatkan self interest dan social interst sebagai tujuan, keadilan ekonomi, jaminan sosial dan pemanfaatan sumber1
Mulya Bakri, Ekonomi Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 1999), hal. 56.
2 Abdullah Zaky al-Kaaf, Ekonomi dalam persepektif Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), hal. 19. 3 Istilah yang sering digunakan dalam pengawasan adalah waskat (pengawasan melekat), dalam ekonomi Islam dimaksudkan bahwa Allah selalu hadir dalam kehidupan atau "perasaan selalu ada yang mengawasi" kata yang lebih popularnya Allah seolah-olah melihat perpuatan kita dan meskipun kita tidak dapat melihatnya. ‘Abd al-Hadi Ali Al-Najjar, Ekonomi Islam, Terj. Muslim Ibrahim, (Banda Aceh, MPU Nad, 2000), hal. 15. 4 Rustam Effendi, Dasar-dasar Ekonomi Islam, (Pekan Baru: UIR Press, 2001), hal. 13.
326
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
PRODUKSI DALAM KONSEPSI EKONOMI ISLAM
sumber daya ekonomi sebagai prinsip fundamental sistem ekonomi.5 Dalam ekonomi Islam kerja adalah kewajiban setiap orang, dan hasilnya menjadi hak milik peribadi yang dihormati dan dilindungi. Karena itu dalam ekonomi Islam ada korelasi signifikan antara keadilan dan produksi. Korelasi ini menunjukkan bahwa produksi adalah suatu keharusan dalam pandangan persepektif Agama Islam. Keharusan ini terbukti pada kisah Dzukarnayn dalam surat Al-Kahfi: 92-97.
Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain lagi). Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah bukit, dia mendapati di hadapan kedua bukit itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan (bahasanya sangat sederhana. Mereka berkata: Hai Dzulkarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Maujud itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka.? Dzulkarnain berkata: "Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhan kepadaku adalah lebih baik, maka tolonglah aku ( manusia dan alat-alat) membuat dinding antara kamu dan mereka. Berilah aku potongan-potongan besi. Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulkarnain, Tiuplah (api itu). Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun berkata: Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atas besi panas itu. Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melobanginya. Dari ayat-ayat di atas merupakan contoh lengkap dari sebuah usaha produksi dan manajer serta perancana dalam membuat dinding.6 Di samping 5 Rifat al-Mahjub, Dirasat Iqtisadiyat Islam, (kairo: Ma'had ad-Dirasat al-Islamiyah, 1987), hal. 14. 6 Thahir Abdul Mukhsin Sulaiman, Menanggulangi Krisis Ekonomi Secara Islam, (Bandung: Al-Ma'arif, 1985), hal. 139.
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
327
Zulkarnaini
itu produksi adalah sebagai prinsip kesejahteraan ekonomi yang harus menganut prinsip etika yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim dan harus berpegang pada semua yang dihalalkan Allah dan tidak melewati batas. Etika yang paling penting adalah menjaga sumber daya alam dan mensyukuri nikmat Allah, agar sumber daya alam itu tidak rusak. Rusaknya sumber daya alam itu adalah hadirnya bentuk kejahatan yang dilakukan manusia seperti pencemaran, binasanya makhluk-makhluk lain dan sebagainya. Pada sisi lain adalah rusaknya spiritual dan tersebarnya kezaliman yang keduanya tidak diridhai Allah.7 Fungsi etika dalam tujuan produksi adalah untuk meningkatkan kesejahtraan manusia tidak hanya kondisi moral, malainkan material dan moral sebagai sarana untuk mencapai tujuan di akhirat. Dalam hal ini produksi memiliki implikasi antara lain: pertama, produk-produk yang menjauhkan manusia dari nilai-nilai moral dilarang untuk diproduksi. Kedua, aspek sosial produksi ditekankan dan secara ketat dikaitkan dengan proses produksi. Ketiga, masalah ekonomi hadir bukan karena banyak berkaitan dengan kebutuhan hidup, tetapi timbul karena kamaslahatan dan kealpaan manusia dalam usahanya untuk mengambil manfaat yang sebesar-besarnya dari anugerah Allah, baik sumber alami maupun sumber manusiawi.8 Sejauh ini pandangan ekonomi Islam faktor pruduksi meliputi sumber daya alam, sumber daya manusia, modal dan manajemen, dengan demikian tugas manusia (umat Islam) bagaimana memanfaatkan keempat faktor ini untuk menciptakan kesempatan produksi, stabilitas ekonomi dan kemakmuran. B. Faktor-faktor Produksi Makna produksi adalah penghasilan.9 Produksi juga diartikan sebagai 7 Yusuf Qaradawi, (terj.) Norma dan Etika Ekonomi Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hal. 117-118. 8 Monzer Khaf, Ekonomi Islam: Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hal. 7. 9 Jhon Echol dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1996), hal. 449.
328
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
PRODUKSI DALAM KONSEPSI EKONOMI ISLAM
tindakan dalam membuat komoditi, barang-barang maupun jasa.10 Bahasa Arab menyebutkan produksi adalah "intaj" dari akar kata nataja.11 Dengan demikian makna produksi adalah usaha mengembangkan sumber daya alam agar lebih bermanfaat bagi kebutuhan manusia. Dalam ilmu ekonomi produksi diartikan sebagai usaha mengekploitasikan sumber daya agar dapat menghasilkan manfaat ekonomi. Dari definisi di atas produksi dapat diartikan dengan segala perbuatan manusia yang berbentuk dan berguna serta menghasilkan. Secara praktis makna produksi adalah setiap bentuk akfifitas yang dilakukan manusia untuk mewujudkan manfaat atau menambahnya dengan cara mengeksplorasi sumber-sumber ekonomi yang disediakan Allah, sehingga menjadi maslahat, untuk memenuhi kebutuhan manusia.12 Dari pengertian di atas produksi memiliki faktor-faktor yang satu sama lainnya memilki keterkaitan. Adapun faktor produksi adalah: 1. Sumber daya Alam (SDA) Sumber daya alam yang fundamental adalah tanah dan dianjurkan untuk diolah.13Dalam sejarah manusia sejak nabi Adam dan Istrinya Hawa telah memulai bekerja mengolah tanah (pertanian) untuk sumber produksi. Kerja dalam bentuk produksi pertanian ini tergambar dalam surat Ar-Ra’d; 4. Dan di bumi terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang. Disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian tanamtanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir. 10 Richard G. Lipsey, dkk., Pengantar Makro Ekonomi, (Jakarta: Prinarupa, Aksara, 1995), hal. 336. 11 Nazih Hamad, Mu'jam al-Mustalahat al-Fiqh Iqtisadiyah fi Lughah al- Fuqaha' (Kairo: alMa'had al- 'Alami Li al-Fikr al-Islami, 1993), hal. 74. 12 Jaribah ibn Ahmad al-Haritsi, Al-Fiqh Al-Iqtishadi Li Amiril Mukminin Umar Ibn Khattab, (Jeddah: Al-Andalus al-Khadra, 2003), hal. 37. 13 Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya. Hud/11:61.
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
329
Zulkarnaini
Dalam perkembangan sejarah perekonomian islam tanah menjadi sumber utama untuk menghidupkan negara. Pada masa pemerintahan Rasulullah banyak sahabat yang berusaha dibidang pertanian sebagai sumber penghasilan yang produktif (Ihya al-Mawat). Melihat kepada fungsinya tanah sebagai faktor utama prodouksi, maka dalam ekonomi Islam produksi tidak bisa dipisahkan dengan tanah sebagai lahan produksi.14 Konsep ekonomi Islam dalam masalah tanah yang menyangkut ada tidaknya produksi, feodalisme harus dihapuskan sebab peran feodalisme dalam penyelesaian tanah akan mendatangkan bahaya dan menghambat produksi serta mendatangkan ketidak adilan.15 Menyangkut tanah sebagai sumber dan faktor produksi Fiqh Islam mengatur tata cara pengelolaan tanah sebagai berikut: a. Islam memaksa pemilik tanah menanami tanahnya dengan alatalatnya, benihnya, binatangnya dan para pekerjanya. b. Tanah diambil dari pemilik bila ia mengabaikannya selama tiga tahun. c. Pemilik tanah dilarang menyewakan tanahnya untuk pertanian secara mutlak, termasuk bagi hasil pertanian (muzara'ah).16 Dari tata cara di atas manfaat tanah sangat tinggi dalam perencanaan strategi pertanian bagi umat Islam17 adalah: 1. Meningkatkan produksi bahan makanan, mengingat bahan makanan sangat diperlukan untuk mencukupi kebutuhan pangan penduduk yang semakin bertambah. 2. Meningkatkan produksi bahan-bahan yang dibutuhkan untuk pakaian seperti kapas, wol, pohon rami dan sutra. Produksi ini dibutuhkan untuk pakaian penduduk dalam negeri. 3. Meningkatkan produksi komoditi yang memiliki pasaran luar negeri berupa bahan-bahan makanan, dalam bentuk biji-bijian, ataupun 14 Amidar Amir, Pengantar Agro Bisnis Dalam Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hal. 57. 15 Abd Rahman Maliki, Politik Ekonomi Islam, (Bangil: al-Izzah, 2001), hal. 57. 16 Nazih Hamad, Mu'jam al-Mustalahat al-Fiqh Iqtisadiyah …, hal. 66. 17 Abd Rahman Maliki, Politik Ekonomi Islam…, hal. 92.
330
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
PRODUKSI DALAM KONSEPSI EKONOMI ISLAM
berupa bahan untuk pakaian seperti kapas dan sutra atau yang lainya. Untuk meningkatkan produksi, disamping tanah tenaga kerja merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam ekonomi Islam. 2. Tenaga Kerja (SDM) Faktor tenaga kerja al-Qur'an menganjurkan agar umat Islam harus memiliki fisik yang baik dan kerja keras dan saling tolong menolong dan berlaku baik.18 Seruan al-Qur'an ini menunjukkan bahwa setiap muslim dapat mengatur tenaga, pikiran, waktu untuk melakukan amal saleh, amal produktip karena konsep masyarakat Islam adalah masyarakat kerja. Dalam melakukan produksi kwalitas dan kwantitas produksi ditentukan oleh tenaga kerja. Karena tenaga kerja merupakan sumber kekayaan yang sangat penting di antara sumber-sumber ekonomi lainnya. Tenaga kerja harus mengambil upah atas hasil kerjanya sebanding dengan kerjanya dan manfaatnya. Dalam penentuan hasil kerja maka spesialisasi sangat dibutuhkan. Spesialisasi kerja dapat menambah kualitas dan kwantitas produksi dan akhirnya tingkat kesejahtraan masyarakat semakin tinggi pula.19 Pada dasarnya tenaga kerja ini terbagi kepada dua, yaitu: pertama, tenaga kerja ahli yang memiliki keahlian bidang tertentu seperti, guru, insinyur, dokter dan lain-lain. Tenaga kerja ini menerima upah yang tinggi. Kedua, tenaga kerja kasar yang tidak memiliki keahlian tertentu, sehingga upah yang diterimapun sedikit. Ekonomi Islam dalam persoalan produksi menempatkan tenaga ahli pada tingkat pertama, karena pengaruh terhadap hasil pruduksi sangat menentukan baik secara kwalitas maupun kwantitas.20 Disamping keahlian tenaga kerja ekonomi Islam juga mengedepankan moral dan fisik sebagai sendi penopang produksi. al-Qur'an menjelaskan 18 Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. (al-‘Ankabut: 69). 19 Ibn Khaldun, Muqaddimah, (Beirut: al-Maktabat al-Zahirah, 1980), hal. 454. 20 Afdalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bakti wakaf, 1995), hal. 257.
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
331
Zulkarnaini
kriteria tenega kerja yang baik dan sehat, firman Allah;
Berkatalah salah seorang anaknya: Hai ayahku, ambillah dia (Musa) sebagai pekerja (mengembala ternak), karena sebaik-baiknya pekerja ialah yang kuat dan jujur. (al-Qasas: 26). Ayat di atas menjelaskan bahwa kekuatan fisik (al-Qawiy) dan kejujuran (alAmin) sebagai kekuatan moral merupakan sifat yang sangat diperlukan oleh seorang pekerja yang cakap dalam proses produksi. Sifat tersebut dimiliki oleh nabi Musa dan justru karena hal itu dapat dijadikan contoh oleh tenaga kerja dalam konsep ekonomi Islam. Kejujuran juga satu unsur yang paling penting yang harus dimiliki tenaga kerja untuk meningkatkan hasil produksi. Aspek akal pikiran yang cerdas sangat diperlukan tenaga kerja untuk memahami nilai-nilai normatif dan etika kerja. Penekan aspek akal dan etika dalam produksi menunjukkan bahwa ekonomi Islam dalam segi produksi dapat membentuk sikap dan kepribadian tenaga kerja dalam melakukan kegiatan ekonomi.21 Pada sisi lain amanah dalam kontek etika kerja sangat diperlukan sebagai tanggung jawab dalam arti meberi yang terbaik kepada majikan atau perusahaan serta masyarakat. Hal ini dapat dinilai pada keyakinannya bahwa berusaha dan bekarja adalah satu kewajiban, dilaksanakannya pekerjaan dengan baik adalah ibadah dan mendapat pahala. Sedangkan niat ikhlas bekerja untuk mencari keuntungan di dunia dan akhirat. Karena itu amanah yang harus dimiliki tenaga kerha adalah amanah terhadap Allah dan amanah sesama manusia, yang tercakup dalam kegiatan ekonomi. 3. Modal Modal adalah kekayaan yang digunakan untuk memperoleh alat-alat 21 Buray. Philosophical Foundation and Ethical Foundation, (Englewood Cliffs: PrenticeHall, 1987), hal. 202.
332
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
PRODUKSI DALAM KONSEPSI EKONOMI ISLAM
produksi dan pembayaran gaji buruh untuk proses produki.22Dalam ekonomi Islam modal dalam faktor froduksi ada dua, yaitu: pertama, alat produksi, yaitu alat-alat yang dipergunakan untuk memproduksi barang dan jasa seperti mesin tekstil, traktor pertanian, dan sebagainya. Kedua, uang dan barang. Berbeda dengan alat-alat produksi, modal uang dan barang diposisikan sebagai pihak yang menerima bagian dari keuntungan apabila modal tersebut dikelola orang lain, dan pemilik modal juga menanggung resiko kerugian yang ditimbulkan akibat kerja ekonomi antara pemilik modal dan pengelola.23 Modal sebagai gaji buruh (upah pekerja), maka dasar penetapan upah pekerja adalah standar minimum.24Artinya gaji upah pekerja dapat menutupi kebutuhan minimum. Atau dengan kata lain ditentukan berdasarkan beban hidupnya tanpa memperhatikan jasa (manfaat) tenaga yang diberikan. Karena itu tata cara pemabayaran gaji tenaga kerja adalah: 1. Menghitung pengeluaran seorang buruh bersama istri, anaknya, menghitung kebutuhan minimum mereka dan yang paling penting adalah menilai keahlian dan senioritasnya. 2. Mencoba mendasarkan ganti rugi dengan mempertimbangkan buruh dalam hubungan dengan fungsinya pada proses produksi, jadi tergantung pada bagaimana jasanya memberi sumbangan terhadap produksi itu sendiri sehingga modal yang dikeluarkan tidak rugi. Beberapa ketentuan hukum Islam mengenai modal antara lain: 1. Islam mengharamkan penimbunan modal. 2. Modal tidak boleh dipinjam dan meminjamkan dengan cara riba. 3. Modal harus didapatkan dengan cara yang sama dengan mendapatkan hak milik. 4. Modal yang mencapai nisap, zakatnya wajib dikeluarkan. 5. Modal tidak boleh digunakan untuk memproduksi dengan cara boros. 22 Thahir Abdul Mukhsin Sulaiman, Menanggulangi Krisis…, hal. 98. 23 al-Sadr Muhammad al-Baqir, Iqtisaduna, (Beirut: Dar al-Ta'aruf, 1996), hal. 242. 24 Ali ibn Muhammad al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyah, (Kairo: al-Malabi, 1973), hal. 98.
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
333
Zulkarnaini
6. Pembayaran gaji buruh / pekerja harus sesuai dengan ketentuan gaji dalam Islam. Dalam ekonomi Islam pemilik modal harus berupaya memproduksikan modalnya, dan bagi yang tidak mampu menjalankan usaha, Islam menyediakan bisnis alternatif yaitu mudarabah dan musyarakah. Seandainya pemilik modal tidak siap menanggung resiko bisnis mudarabah25 dan musyarakah, Islam menganjurkan Qard al-hasan, suatu pinjaman kebajikan yang diberikan tanpa harapan keuntungan keuangan. Islam menyediakan jalan keluar agar modal tidak dicermari oleh noda penimbunan dan bungan, maka hendaknya menarik sebagian untuk zakat, infak, sedekah, didistribusikan kepada orang-orang yang membutuhkan dalam masyarakat. Kenyataan sejarah telah menunjukkan kaum muslimin pada masa Khulafaur Rasyidin terutama Usman Ibn Affan, dana zakat, infak, sedekah dan kebajikan lainnya, telah berfungsi dengan baik menekan angka kemiskinan dan membantu pedagang mndapat pinjaman produktif tanpa bunga. 4. Manajemen Produksi yang baik biasanya dilakukan dengan sistem menajemen yang baik pula. Dalam pengololaan produksi baik hasil maupun prosesnya prinsip menajemen dapat dilaksanakan: pertama, pembagian kerja yang tujuannya memperoleh hasil yang baik. Kedua, wewenang atau kebulatan perintah yaitu hak memberi perintah untuk dipatuhi. Dan setiap orang pelaksana untuk tugas tertentu hanya menerima penugasan dari satu kepala. Ketiga, kebulatan pimpinan untuk merancang program kerja pengelolaan. Keempat,
25 Sistem mudarabah dalam fiqh Islam merupakan kesepakatan antara pemilik modal dengan modal pengusaha untuk membangun usaha dagang dengan modal dari pihak pertama dan usaha pngelola dari pihak kedua. Bila usaha itu mendapat keuntungan, maka keuntungan itu dibagi sesuai prosentase yang disepakati. Seandainya usaha itu tidak mendapat untung dan tidak pula rugi, maka pemilik modal menerima modalnya secara penuh, sedangkan pengusaha tidak mendapt apa-apa selain ongkos dan biaya operasional selama pengelolaan. Bila usaha itu rugi, maka pemilik modal tidak boleh memaksa pekerja untuk memikulnya, meskipun ia mendapat prosentase untung kalau perusahaan itu mendapat keuntungan.
334
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
PRODUKSI DALAM KONSEPSI EKONOMI ISLAM
tata tertip, adalah ketentuan peraturan untuk dipatuhi.26 Kelima, kepentingan pribadi tunduk pada kepentingan umum. Keenam, imbalan untuk karyawan, artinya gaji yang diberikan dan yang diterima harus mendapat kepuasan. Ketujuh, menganut sistem the right man on the righ place. Kedelapan, herarkhi yang meliputi jalur dari pucuk pimpinan ke bawah sampai tingkat pelaksana. Kesembilan, kelayakan atau kewajaran yang tidak sepenuhnya sama maknanya dengan keadilan. Kesepuluh, stabilitas kepegawaian yang merupakan syarat pokok bagi kelancaran organisasi, yang akan berfungsi dengan baik. Kesebelas, prakarsa pimpinan terhadap kemajuan produksi. Keduabelas, kesatuan dan persatuan karyawan.27 5. Teknologi Teknologi bukan hanya mesin atau alat-alat canggih yang digunakan, melain cara menerapkan sains untuk memanfaatkan alam bagi kesejahtraan dan kenyamanan manusia. Dalam ekonomi Islam pada tataran teoritis normatif penempatan teknologi sebagai faktor pokok produksi dapat menciptakan kemaslahatan manusia. Pada tataran praktis, penggunaan teknologi sebagai faktor pokok produksi dapat mengatasi masalah kelangkaan relatif sumber daya ekonomi.28 C. Prinsip produksi Pada dasarnya prinsip produksi adalah mencapainya kesejahtraan ekonomi dalam bentuk barang dan jasa yang baik serta halal. Prinsip ini bukan hanya pada sisi material saja, tapi lebih dari itu moral sebagai sarana untuk mencapai tujuan di akhirat. Produksi dalam Islam29 meliputi: pertama produk-produk yang dihasilkan 26 Van Der Schroeff dan Willem H. Makaliwe, Menajemen dan Organisasi Perusahaan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hal. 29. 27 Suroso Imam Zadjuli, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), hal. 47. 28 Uzaer Mustafa, Teknologi Ekonomi Persepektif Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hal. 67. 29 Rustam Efendi, Dasar-dasar Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2003),
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
335
Zulkarnaini
tidak menjauhkan manusia dari kebaikan dan tidak merusak manusia. Kedua, memiliki aspek sosial produksi yang ditekankan pada kesejahtraan bersama. Ketiga, segala bentuk penimbunan terahadap barang-barang kebutuhan pokok bagi masyarakat juga dilarang sebagai perlindungan syari'at terhadap konsumen dan masyarakat. Keempat, kegiatan produksi harus memperhatikan dampak lingkungan. Setiap kegiatan produksi harus mempertimbangkan karusakan-kerusakan yang akan diakibatkannya terhadap lingkungan; udara, air. Hutan dan kerusakan atau kerugian sosial lainnya.30 D. Penutup Konsep produksi dalam persepektif Islam merupakan rumusan-rumusan atau kaedah-kaedah yang mempunyai nilai-nilai normatif sebagai landasan teoritis produksi agar tidak bertentangan dengan prinsip keadilan ekonomi dalam mencapai tujuan utama yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidup layak bagi manusia. Model produksi dalam persefektif Islam bertitik tolak dari pemberdayaan sumber daya yang tersedia secara adil dan efesien. Efesien dalam arti bahwa sumber-sumber daya telah dimanfaatkan secara maksimal sesuai dengan kebutuhan manusia baik maslahah individu dan masyarakat. Hal ini menuntut adanya kebijakan ekonomi dalam memilih jenis dan kuantitas berbagai barang yang diproduksi. Memilih jenis dan kualitas berbagai barang yang diproduksi berarti memilih lokasi/ daerah tertentu di mana sumber daya industri untuk kegiatan produksi dilaksanakan. Keadilan ekonomi yang merupakan prinsip fundamental sistem ekonomi Islam, berinteraks secara signifikan dengan keadilan dalam kegiatan produksi yang mencakup harga yang adil, upah yang adil dan laba yang adil.
hal. 71. 30 Ibid., hal. 89.
336
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
PRODUKSI DALAM KONSEPSI EKONOMI ISLAM
Daftar Pustaka Al-Mawardi, ‘Ali ibn Muhammad. Al-Ahkam al-Sultaniyah. Kairo: al-Malabi, 1973. Rahman, Afdalur. Doktrin Ekonomi Islam. Yogyakarta: Dana Bakti wakaf, 1995. al-Baqir, Al-Sadr Muhammad. Iqtisaduna. Beirut: Dar al-Ta'aruf, 1996. al-Najjar, ‘Abd Hadi Ali. Ekonomi Islam. Terj. Muslim Ibrahim, Banda Aceh, MPU Nad, 2000. al-Kaf, ‘Abd Allah Zaky. Ekonomi dalam persepektif Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2002. Amir, Amidar. Pengantar Agro Bisnis Dalam Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 2002. Malik, Abd Rahman. Politik Ekonomi Islam. Bangil: al-Izzah, 2001. Buray. Philosophical Foundation and Ethical Foundation. Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1987. Ibnu Khaldun. Muqaddimah.Beirut: al-Maktabah az-Zahirah, 1980. Echol, Jhon dan Hasan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1996. al-Harithi, Jaribah ibn Ahmad. Al-Fiqh Al-Iqtisadi li Amir al-Mukminin ‘Umar ibn Khattab. Jeddah: Al-Andalus al-Khadra. 2003. Khaf, Monzer. Ekonomi Islam: Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
337
Zulkarnaini
Bakri, Mulya. Ekonomi Pembangunan. Jakarta: Gramedia, 1999. Hamad, Nazih, Mu'jam al-Mustalahat al-Fiqh Iqtisadiyah fi Lughah al- Fuqaha' Kairo: al-Ma'had al- 'Alami Li al-Fikr al-Islami, 1993. Imam Zadjuli, Suroso, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992. Lipsey, Richard G., dkk. Pengantar Makro Ekonomi. Jakarta: Prinarupa, Aksara, 1995. Effendi, Rustam. Dasar-dasar Ekonomi Islam. Pekan Baru: UIR Press, 2001. al-Mahjub, Rifat. Dirasat Iqtisadiyat Islamiyah, 1987.
Islam. Kairo: Ma'had al-Dirasat al-
Sulaiman, Thahir Abdul Mukhsin. Menanggulangi Krisis Ekonomi Secara Islam. Bandung: Al-Ma'arif, 1985. Mustafa, Uzaer. Teknologi Ekonomi Persepektif Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 2004. Schroeff, Van Der dan Willem H. Makaliwe. Menajemen dan Organisasi Perusahaan. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983. Yusuf Qaradawi. (ter.) Norma dan Etika Ekonomi Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
338
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
KONSEP EKONOMI MENURUT PERSPEKTIF ISLAM
Baihaqi A. Samad Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh
Abstract To build the stabilized economic system, it not only needs the formal institution, but also the science-base that be more theoritcal to be implemented. To study on the economic system based on the macro of Islamic system that can be eased through the fact and concrete data. The system can be reached through empowering the sysmatic managemen and fulfilled with the economic-sosial permanent institution.. System of Islam economic is an integral aspecs to develop the prosperity life so the society will be prosperous. The principle of Islamic economy should be refered to Al-Qur’an and Hadits in order to regulate someone, unless he will exploit the natural resources based on his will. Al-Qur’an give the limit between the right and wrong. So, Islamic economy guided humanbeing to be honorer in the world and hereafter
Key words: Konsep, Ekonomi, Islam.
Baihaqi A. Samad
A. Pendahuluan Dewasa ini, dunia Islam tengah melewati salah satu masa sejarahnya yang paling kritis tetapi kreatif. Di tengah krisis --sistem kontemporer yang bebas nilai-- yakni tersebarnya faham kapitalis dan sosialis, Islam masih mampu tampil dengan kokoh untuk menetranisir nilai-nilai. Oleh karena itu, sistem ekonomi Islam perlu dibangun secara lebih sistematis untuk menciptakan sebuah kehidupan yang selamat, sejahtera, benar-benar diinginkan dalam realitas masyarakat, yakni masyarakat yang "homo-Islamicus" sebagaimana paham kapitalis dan sosialis.1 Untuk membangun sebuah sistem ekonomi mantap, tidak hanya memerlukan perangkat kelembagaan yang formal, tetapi juga membutuhkan perangkat ilmu yang lebih bernuansa teoritis untuk diterapkan. Kajian sistem ekonomi secara makro dari sebuah sistem ekonomi Islam dapat dipermudah melalui fakta dan data kongkret. Sistem ini dapat ditempuh dengan cara pemberdayaan umat lewat pengaturan manajemen yang sistematis, yang dilengkapi dengan lembaga-lembaga ekonomi-sosial yang permanen seperti zakat, wakaf, hibah, larangan riba, kerjasama ekonomi seperti qiradh, syirkah,2 mudharabah, dan lain-lain. Sistem ekonomi Islam adalah satu kesatuan dari beberapa aspek pola pengembangan kehidupan sejahtera oleh individu-individu sehingga membentuk masyarakat adil makmur. B. Definisi Ekonomi Islam Berbagai definisi tentang ekonomi yang dikemukakan para ekonom telah mewarnai sikap dan perilaku masyarakat dalam prakteknya. Dalam definisi modern, ilmu ekonomi adalah "Suatu ilmu yang membahas tentang usaha umat manusia kehidupan yang biasa".3 Ungkapan ini diperkuat oleh 1 AM. Saefuddin, Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam,
(Jakarta: Rajawali Press, 1987), hal. 20.
2 Percampuran modal dua orang atau lebih dalam suatu usaha bersama, (Al-Jurjani Al-
Hanafi, At-Ta’rifat, (Mesir: al-Maktabah Al-Misriyah, t.th.), hal. 3.
3 Saiful Azhar bin Ruslan, “Economic Principles in Islam”, Journal of Islamic Economics, IIUM, vol I, No. 1, Januari 1995, hal. 59.
340
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
KONSEP EKONOMI MENURUT PERSPEKTIF ISLAM
pendapat Robbins sebagai seorang pakar ekomomi, yaitu: "Ilmu ekonomi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang perilaku manusia sebagai hubungan antara tujuan dan sarana langka yang memiliki kegunaankegunaan alternatif.4 Dari teori tersebut dapat dipahami bahwa ilmu ekonomi adalah suatu ilmu yang termasuk ke dalam kelompok ilmu sosial. Dengan kata lain ilmu tersebut merupakan salah satu ilmu yang mempelajari perilaku sosial kemasyarakatan dalam batasan-batasan tertentu. Karena itu, ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempertemukan banyak orang yang dikendalikan oleh berbagai motif. Aspek kebudayaan dan moralitas bangsa merupakan kecenderungan positif yang mampu melahirkan bentuk-bentuk dan sistem perekonomian dunia yang handal. Akibat dari proses kebudayaan dan peradaban manusia yang beragam kemungkinan besar akan timbul perlakuan ekonomi yang kasar dan bertentangan dengan fitrah manusia sendiri. Fenomena di atas telah terjadi di negara-negara sosisalis dan kapitalis di berbagai belahan dunia Eropah. Dari berbagai penjelasan tadi, jika ditinjau dari perspektif Islam sungguh terdapat perbedaan dalam aplikasinya. Ilmu ekonomi Islam bukan ilmu yang berdiri sendiri, melainkan bagian integral dari sistem kehidupan yang sempurna yang meliputi aspek nilai normatif dan aspek nilai positif. Dengan demikian definisi yang tepat dari ilmu ekonomi Islam adalah ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami nilai-nilai Islam. Definisi tersebut tidak berarti bahwa kaum Muslimin dicegah untuk mempelajari masalah-masalah ekonomi sekuler dan kapitalis yang berkembang pesat dalam sistem pasar dunia modern hari ini. Sebaliknya mereka diilhami oleh nilai-nilai Islam yang diperintahkan syari'at untuk mempelajari masalah minoritas non-Muslim dalam sebuah negara Islam khususnya, dan mengenai manusia pada umumnya .5
4 Mannan, Teori dan Parkatek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993), hal. 11. 5 Mannan, Teori dan Parkatek ..., hal. 11.
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
341
Baihaqi A. Samad
Dari kedua definisi di atas terlihat adanya perbedaan nilai. Sebagian ahli ekonomi mendukung pandangan yang menyebutkan bahwa ilmu ekonomi adalah ilmu mengenai perilaku manusia yang berhubungan dengan kegiatan mendapatkan uang dan membelanjakan uang semakin bertambah. Tetapi penulis klasik dan pengikut mereka masa kini cenderung menyelidiki yang tersirat di belakang selubung keuangan itu dan menggambarkan masalah ekonomi dari segi yang bukan moneter. Permasalahan yang mendasar tentang perekonomian umat hari ini, bersumber dari kenyataan yang menjelaskan bahwa kita mempunyai kebutuhan dan kebutuhan tersebut pada umumnya tidak dapat dipenuhi tanpa mengeluarkan sumber daya energi manusia. Bila kita memiliki sarana yang cukup untuk memenuhi semua jenis kebutuhan, maka kesenjangan perilaku ekonomi tidak akan timbul. Perbedaan juga terlihat pada sifat dan volumenya. Pertikaian abadi antara beraneka ragam keinginan dan kurangnya sarana telah memaksa umat manusia untuk mengadakan pilihan di antara kebutuhan-kebutuhannya. Problema ini muncul guna menetapkan daftar prioritas dan kemudian mendistribusikan sumber daya manusia sedemikian rupa untuk mendorongnya mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut secara maksimum. Dalam ilmu ekonomi modern alternatif ini muncul, disebabkan karena ketergantungan pada bermacam-macam tingkah individu. Sedangkan dalam ilmu ekonomi Islam, setiap individu tidak mempunyai wewenang penuh untuk mendistribusikan sumber-sumber daya semaunya. Dalam hal ini ada suatu pembatasan moral yang serius berdasarkan ketetapan AlQur'an dan Al-Sunnah atas tenaga individu. Dari kedua definisi tadi juga telah menimbulkan kontroversi apakah ilmu ekonomi Islam mementingkan tujuan atau harus bersikap netral di antara berbagai tujuan yang diinginkan. Sementara itu ilmu ekonomi modern bersikap acuh tak acuh dengan tujuan tertentu, maka ia hanya membahas masalah-masalah ekonomi seperti apa adanya, tidak menurut yang seharusnya. Dengan kata lain ilmu ekonomi modern tidak mempersoalkan pertimbangan-pertimbangan nilai. Sebaliknya ilmu ekonomi Islam tidak dapat berdiri netral di antara tujuan yang berbeda, misalnya saja kegiatan membuat dan menjual alkohol dalam perspektif ekonomi moden masih
342
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
KONSEP EKONOMI MENURUT PERSPEKTIF ISLAM
dikatagori sebagai aktivitas ekonomi yang baik. Namun hal ini tidak boleh terjadi dalam hukum Islam. Karena, dalam banyak hal usaha ini tidak akan memajukan kesejahteraan manusia sebagai suatu kesejahteraan yang tidak dapat diukur dengan uang. C. Falsafah Ekonomi Islam Prinsip ekonomi yang berulang kali ditegaskan oleh Al-Qur'an adalah: alat produksi dan sumber daya alamiah yang mendukung kehidupan manusia. Allah telah menciptakan dan mengatur benda-benda yang ada di alam ini sesuai dengan hukum alam. Dialah yang menundukkan semua itu, agar bisa dimanfaatkan oleh manusia sesuai dengan kebutuhannya. Dialah yang menyuruh manusia untuk mengolah benda-benda itu untuk dimanfaatkan oleh manusia. Dari kenyataan di atas, dapat dipahami bahwa Allah telah meletakkan prinsip dasar dengan memberikan petunjuk yang jelas lewat al-Qur’an, agar seseorang tidak berhak untuk bertidak secara bebas dalam mengambil dan mengeksploitasi sumber-sumber daya alam ini sekehendaknya. Ia tidak berhak untuk menentukan garis pemisah antara haq dan bathil dengan seenaknya Menurut AM. Saifuddin ada tiga asas filsafat ekonomi Islam yaitu: 1. Dunia dan seluruh isinya adalah milik Allah dan menurut kepada kehendak-Nya. Hal ini seperti yang ditegaskan-Nya sendiri dalam AlQuran Surat Thaha ayat 6, “Kepunyaan-Nya apa yang ada di langit, segala yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan apa yang di bawah tanah” (Qs.. Thaha : 6). Dengan demikian, segala sesuatu milik Allah Swt. atau Allah Swt. sebagai pemilik absolut." Manusia sebagai khalifah-Nya hanya mempunyai hak untuk mengurus dan memanfaatkan alam semesta itu untuk kelangsungan hidup dan kehidupan manusia di lingkungannya. Ini berarti bahwa hak pengurusan dan pemanfaatan sumber-sumber alam dan harta kekayaan yang ada padanya terhadap manusia sangat terbatas, sesuai dengan kehendak dan
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
343
Baihaqi A. Samad
ketentuan Allah, Pemilik dan Pencipta alam semesta ini.6 Implikasi dari status pemilikan menurut Islam ialah bahwa hak manusia atas barang atau jasa itu terbatas. Hal ini sangat berbeda dengan pemilikan mutlak oleh individu pada sistem kapitalisme dan oleh kaum proletar pada sistem marxisme.7 Doktrin bahwa Allahlah pemilik dan pencipta alam semesta merupakan landasan nilai-nilai sistem ekonomi Islam. 2. Allah itu Esa, Pencipta segala makhluk, dan semua yang diciptakan tunduk kepadaNya. Manusia adalah salah satu makhluk Allah. Kepadanya diberi alat perlengkapan lebih sempurna dari makhluk-makhluk-Nya yang lain agar ia mampu melaksanakan tugas, hak dan kewajiban sebagai khalifah Allah di muka bumi. Alam ini, semua flora dan fauna diciptakan oleh Allah sebagai sumber ekonomi dan keindahan bagi umat manusia. Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sama, tapi berbeda pada rupanya. Ia menjadikannya dengan tidak ada perbedaan kelas atau strata di hadapan Allah. Perbedaannya hanya terletak pada tingkat keimanan dan ketaqwaan seseorang kepada Allah Swt.8 Implikasi dari doktrin ini telah menjalin persamaan dan persaudaraan antara umat manusia dalam kegiatan perekonomian. Dari kegiatan perekonomian telah terciptanya pergaulan yang luar biasa di antara manusia, berupa saling membantu dan bekerja sama dalam bentuk syirkah dan qiradh (profit and losssharing).9 Dalam mewujudkan hubungan kerja sama dunia usaha, prinsip persaudaraan merupakan dasar pengembangan perekonomian Islam. 6 A.M. Saifuddin, Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1987), hal. 61; Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Waqaf, (Jakarta: UI Press, 1988), hal. 5-6. 7 A.M. Saifuddin, Ekonomi dan Masyarakat ..., hal. 62.
344
8
Surat (49): 13.
9
Surat (2): 254; Surat (5): 2. At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
KONSEP EKONOMI MENURUT PERSPEKTIF ISLAM
3. Iman kepada hari Kiamat merupakan asas penting dalam sistem ekonomi Islam karena dengan keyakinan itu tingkah laku ekonomi manusia di dunia ini akan dapat terkendali, sebab ia sadar bahwa semua perbuatannya, termasuk tindakan ekonominya, akan diminta pertanggungjawaban kelak oleh Allah. Pertanggungjawaban itu tidak hanya mengenai tingkah laku (ekonomi)nya saja, tetapi juga mengenai harta kekayaan yang diamanahkan Allah kepada manusia. Iman kepada hari Kiamat akan mempengaruhi langsung tingkah laku ekonomi yang dipilihnya. Kondisi ini lebih bernilai daripada sekedar teori siklus hidup sebagai suatu barang ekonomi, karena horizon waktunya akan menjangkau keadaan setelah mati atau di balik dunia ini. Ketiga asas filsafat sistem ekonomi Islam yang dibangun –seperti yang tersebut di atas- pada dasarnya (intinya) berpangkal pada “tawhîd”. Inilah perbedaan yang sangat menonjol antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi yang berlaku di luar Islam. D. Prinsip Perdagangan dan Perniagaan dalam Islam Prinsip dasar yang telah ditetapkan Islam mengenai perdagangan dan perniagaan sangat erat hubungannya dengan nilai-nilai kejujuran, kepercayaan, dan ketulusan. Dewasa ini, di tengah arus globalisasi dan di tengah ketidak-sempurnaan pasar banyak nilai-nilai moral yang terabaikan bahkan menjurus kepada sikap hidup yang "many oriented." Islam menawarkan konsep-konsep kemaslahatan antara pihak-pihak yang terlibat dalam dunia bisnis dengan mengharamkan bentuk sumpah palsu, penetapan takaran yang tidak benar, dan sebaliknya menganjurkan untuk beri’tikad baik dalam transaksi jual beli. Penjabaran terhadap prinsip-prinsip dasar tersebut adalah sebagai berikut: 1. Sumpah Palsu Islam mengutuk semua transaksi bisnis yang menggunakan sumpah palsu yang diucapkan para pengusaha.
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
345
Baihaqi A. Samad
2. Takaran yang benar Dalam sistem perdagangan Islam, timbangan dan ukuran yang tepat dan standard benar-benar harus diutamakan. Islam telah memberikan penekanan penting dan faedah memberikan timbangan dan ukuran yang benar. mereka mengurangi. 3. I’tikad baik Islam tidak hanya menekankan agar memberikan timbangan dengan ukuran penuh, tetapi juga menganjurkan untuk beri’tikad baik. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa hubungan buruh dalam bisnis terutama timbul karena kedua pihak tidak dapat menentukan secara tertulis syarat bisnis mereka dengan jelas dan jujur. Untuk membina hubungan baik, semua perjanjian harus dinyatakan secara tertulis dengan menguraikan syarat-syaratnya, karena yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persahabatan, dan lebih dapat mencegah timbulnya keragu-raguan. Dari keterangan di atas, jelas bahwa perdagangan dan perniagaan dalam negara Islam secara mendasar berbeda dari pengertian modern tentang perdagangan dan perniagaan. Perdagangan dan perniagaan dalam Islam dikembangkan dengan nilai-nilai moral, sedangkan perdagangan dan perniagaan modern tidak demikian. Karena itu semua transaksi bisnis yang bertentangan dengan kebajikan tidaklah bersifat Islami. Negara Islam punya hak sepenuhnya untuk mengekang setiap transaksi atau praktek apa saja yang berusaha menarik keuntungan dari kebutuhan atau penderitaan rakyat miskin. 4. Sistem Monopoli Dalam sistem perekonomian Islam, sasaran keuntungan adalah untuk mencapai kemakmuran sosial yang sebanyak-banyaknya. Kemakmuran sosial ini meliputi nilai material dan nila-nilai moral. Jika dinilai dari norma kebajikan dan pemeliharaan bagi kemakmuran untuk golongan miskin, maka tidak mungkin bagi ekonomi Islam untuk menganjurkan usaha monopoli dan spekulasi. Karena dalam sistem monopoli terjadi penetapan harga yang lebih tinggi dan
346
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
KONSEP EKONOMI MENURUT PERSPEKTIF ISLAM
membatasi hasil produksi atau pemusatan suplai dalam satu tangan, maka soal eksploitasi banyak sekali dihubungkan dengan gagasan monopoli.10
Pemberlakuan sistem ekonomi pasar bebas yang kompetitif cenderung terjadinya monopoli. Kejadian seperti ini akan mengorbankan para konsumen, pekerja miskin dan masyarakat secara keseluruhan. Kondisi seperti ini akan menimbukan ketidakharmonisan antara kepentingan pribadi dan sosial, antara milik pribadi dan milik bersama.
5. Usaha Spekulatif Seperti halnya monopoli, Islam juga melarang usaha spekulatif yaitu membeli sesuatu dengan harga yang murah pada suatu waktu dan menjual barang yang sama dengan harga yang mahal pada waktu lain. Bila harga pada masa depan diharapkan lebih baik daripada harga sekarang, maka para pembeli spekulatif membelinya dengan maksud untuk menjualnya dengan harga yang lebih tinggi kelak. Demikian pula, bila harga di kemudian hari akan lebih rendah dari harga sekarang, para spekulan akan menjualnya sekarang untuk menghindarkan penjualan pada harga yang lebih rendah nantinya. 6. Pengharaman Riba Para ulama telah sepakat atas pengharaman riba. Pengertian dasar "riba" adalah pertambahan atau pertumbuhan. Sehubungan dengan perkembangan perekonomian dan perbankan hari ini permasalahan riba dilihat dari macamnya ada dua yaitu: 1. Riba Nasi`ah, yaitu tambahan yang terjadi dalam hutang piutang berjangka waktu sebagai imbalan jangka waktu tersebut. Riba ini disebut riba jahiliyah karena biasa dilakukan di zaman jahiliyah yakni masa sebelum agama Islam datang dan berkembang. Riba nasiah dilarang karena ('illatnya) mengandung unsur-unsur eksploitasi manusia atas manusia, pemerasan orang kaya terhadap 10 Mannan, Teori dan Parkatek..., hal. 291.
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
347
Baihaqi A. Samad
orang miskin.11 2. Riba Fadl, yakni tambahan yang diperoleh seseorang sebagai hasil pertukaran dua barang yang sejenis, misalnya pertukaran antara 1 gram emas dengan 2 gram emas pula, dan berbagai macam benda yang sejenis lainnya dalam ukuran yang lebih dengan pinjaman pokok (asal).12
Dari kedua macam bentuk riba tersebut di atas, barang kali ada yang perlu diambil sebagai suatu pertimbangan dalam pelaksanaan sistem perekomomian kita hari ini. Seperti yang menjadi masalah besar dalam sistem ekonomi keuangan sekarang ini, riba yang berarti tambahan sesuatu itu, samakah dengan bunga atau tidak? Lalu bagaimana kedudukan dan manfaat bank dalam masalah tersebut? Menurut Muhammad Najatullah Siddiqi, seorang pemikir sistem ekonomi Islam terkemuka, lembaga perbankan dalam perekonomian modern mempunyai peranan yang sangat penting. Dengan sarana-sarana yang diciptakannya dan kemudahan-kemudahan yang diberikannya, bank telah berhasil menjadi perantara dalam dunia keuangan, memudahkan pertukaran, membantu pembentukan modal dan kemungkinan berproduksi dalam skala massal. Di samping itu bank juga menerima simpanan dalam deposito dan rekening giro, dan bentuk-bentuk jasa lainnya.13 Melihat fungsi dan peranannya yang bermanfaat bagi manusia dalam perekonomian modern, maka lembaga perbankan itu dapat dibenarkan dipandang dari sudut ajaran Islam. Namun yang menjadi masalah adalah apakah bunga (interest) yang dipungut atau diterima oleh bank itu, termasuk ke dalam kategori riba atau bukan. 11 Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf,
Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1988., hal. 10. Ibnu Rusjd, Bidayah al-Mujtahid, Juzu’ I, hal. 128.
12 Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam...,, hal. 11. 13 Muhammad Najatullah Siddiqi, Islamic Banking, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984), hal. 58-61.
348
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
KONSEP EKONOMI MENURUT PERSPEKTIF ISLAM
Menanggapi permasalahan di atas, Abu Zahrah (Guru Besar Hukum Islam pada Universitas Al-Azhar) mengatakan bahwa rente adalah sama dengan riba nasiah yang dilarang dalam Islam. Akan tetapi karena dalam sistem perekonomian sekarang peranan bank sangat penting dan rente merupakan komponen modus operandinya, maka rente (bunga) yang dipungut atau diberi oleh bank tersebut tidak dapat dihapuskan begitu saja. Bahkan dalam keadaan dharurat atau terpaksa dibolehkan melakukan transaksi dengan bank konvensional.14 Menurut Mustafa Ahmad Az-Zaqra (Guru Besar Hukum Islam dan Hukum Perdata pada Universitas Suriah) ada dua alternatif mengenai riba dan perbankan, yaitu: Bunga hutang piutang yang bersifat konsumtif adalah riba, sedangkan bunga hutang piutang yang bersifat produktif tidak sama dengan riba nasiah.15 Sehubungan dengan usaha menghapuskan unsur-unsur riba dalam praktek bank konvensional, pihak ekonom muslim telah berupaya mengembangkan institusi keuangan perbangkan Islam dengan sistem syari’ah tanpa bunga melalui pelaksanaan mudharabah, musyarakah, murabahah dan lain-lain. Dalam sistem perbangkan syari’ah keuntungan dan resiko ditanggung bersama-sama menurut perjanjian (profit-loss sharing agreement). E. Penutup Untuk membangun sebuah sistem ekonomi mantap, tidak hanya memerlukan perangkat kelembagaan yang formal, tetapi juga membutuhkan perangkat ilmu yang lebih bernuansa teoritis untuk diterapkan. Kajian sistem ekonomi secara makro dari sebuah sistem ekonomi Islam dapat dipermudah melalui fakta dan data kongkret. Sistem ini dapat ditempuh dengan cara pemberdayaan umat lewat pengaturan manajemen yang sistematis, yang dilengkapi dengan lembaga-lembaga ekonomi-sosial yang permanen.
14 Abu Zahrah, Buhuth fi Al-Riba, (Mesir: Dar Al-Kamilah, 1970), hal. 36. 15 Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam ..., hal. 13.
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
349
Baihaqi A. Samad
Sistem ekonomi Islam adalah satu kesatuan dari beberapa aspek pola pengembangan kehidupan sejahtera oleh individu-individu sehingga membentuk masyarakat adil makmur. Prinsip ekonomi Islam sebagaimana yang ditegaskan oleh Al-Qur'an adalah: alat produksi dan sumber daya alamiah yang mendukung kehidupan manusia. Allah telah menciptakan dan mengatur benda-benda yang ada di alam ini sesuai dengan hukum alam. Dialah yang menundukkan semua itu, agar bisa dimanfaatkan oleh manusia sesuai dengan kebutuhannya. Dialah yang menyuruh manusia untuk mengolah benda-benda itu untuk dimanfaatkan oleh manusia. Dari kenyataan di atas, dapat dipahami bahwa Allah telah meletakkan prinsip dasar dengan memberikan petunjuk yang jelas lewat al-Qur’an, agar seseorang tidak berhak untuk bertidak secara bebas dalam mengambil dan mengeksploitasi sumber-sumber daya alam ini sekehendaknya. Ada tiga asas filsafat ekonomi Islam yaitu, dunia dan seluruh isinya adalah milik Allah dan menurut kepada kehendak-Nya, Allah itu Esa, Pencipta segala makhluk, dan semua yang diciptakan tunduk kepadanya dan iman kepada hari Kiamat merupakan asas penting dalam sistem ekonomi Islam. Ketiga asas filsafat sistem ekonomi Islam tersebut bersumber pada aspek ketauhidan.
350
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
KONSEP EKONOMI MENURUT PERSPEKTIF ISLAM
Daftar Pustaka Ali, Daud. Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Waqaf. Jakarta: UI Press, 1988. Al-Jurjani Al-Hanafi. At-Ta’rifat. Mesir: al-Maktabah Al-Misriyah, t.th. Ibn Ruslan, Saiful Azhar. “Economic Principles in Islam”, Journal of Islamic Economics. IIUM, vol I, No. 1, Januari 1995. Mannan. Teori dan Parkatek Ekonomi Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993. Saefuddin, AM. Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam. Jakarta: Rajawali Press, 1987. Saifuddin. Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam. Jakarta: Rajawali Press, 1987. Siddiqi, Muhammad Najatullah. Islamic Banking. Bandung: Penerbit Pustaka, 1984.
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
351
PETUNJUK PENULISAN ARTIKEL
Petunjuk Umum 1. Artikel harus merupakan produk ilmiah orisinil, belum pernah dipublikasikan di media manapun. 2. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia baku, bahasa Inggris dan bahasa Arab. 3. Isi tulisan berkaitan dalam bentuk konseptual, hasil penelitian dan terjemahan dari bahasa asing. 4. Panjang tulisan antara 15 sampai 20 halaman kwarto dengan spasi ganda. 5. Artikel diserahkan dalam bentuk print out dan soft copy Petunjuk Teknis 1. Kerangka tulisan meliputi judul, nama penulis, abstrak, kata kunci, pendahuluan, data, pembahasan serta kesimpulan. 2. Abstrak boleh dibuat dalam bahasa Inggris/Arab dengan memuat inti permasalahan dan panjang tulisan antara 250-300 kata. 3. Kata kunci bisa berbentuk kata maupun frasa maksimum 3 kosa kata. 4. Pendahuluan mencakup permasalahan, tujuan dan metodologi yang dipergunakan. 5. Data disesuaikan dengan bentuk tulisan (library research) atau (field research). 6. Pembahasan harus dilakukan secara sistematis dengan merujuk pada pendapat para ahli atau kajian yang pernah dilakukan mengenai topik yang dibahas. 7. Kesimpulan dapat berisi ungkapan singkat yang telah dibahas atau dapat
berupa ungkapan implikatif yang tertarik dan topik yang diangkat untuk diterapkan pada kondisi dan tempat tertentu. 8. Curriculum Vitae disebutkan alumni dan bidang keahlian. 9. Daftar Rujukan dalam bentuk FOOT NOTE dan hanya buku yang karyanya dikaji saja yang dimasukkan dalam daftar isi. 10. Transliterasi Arab Latin dipergunakan transliterasi sebagaimana yang terdapat dalam konkordasi Alquran yang disusun oleh Ali Audah. Catatan 1. Dewan Redaksi dapat mengubah dan mengoreksi bahasa dan istilah tanpa merubah isinya atau tanpa diberitahukan kepada penulis. Untuk kondisi tertentu naskah yang masuk akan dikembalikan untuk diadakan perbaikan seperlunya. 2. Jadwal Penerbitan "at-Tasyri’" empat kali dalam setahun.
AT-TASYRI’ adalah jurnal Prodi Mu’amalah memuat solusi problematika ekonomi kontemporer dalam perspektif hukum Islam. Jurnal ini diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Teungku Dirundeng Meulaboh bekerjasama dengan Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS) Banda Aceh.
Redaksi mengundang para penulis, peneliti dan peminat ekonomi Islam agar dapat memberikan kontribusinya dalam bentuk tulisan ilmiah. Tulisan dapat dikirim ke alamat redaksi : Jalan Teuku Umar Komplek Masjid Nurul Huda, Meulaboh-Aceh Barat No. 100 Telp: 0655-7551591; Fax: 0655-7551591 E-mail:
[email protected] Website: www.staidirundeng.ac.id