KONSEP IMAN MENURUT IBN TAIMIYYAH Skripsi ini Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)
Oleh Idrus Habsyi NIM: 105033101098 PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H / 2010 M.
KONSEP IMAN MENURUT IBN TAIMIYYAH
Skripsi ini Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)
Oleh Idrus Habsyi NIM: 105033101098 Dibawah Bimbingan
Dr. Syamsuri, M.Ag. NIP. 19590405 1989031 003
PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H / 2010 M.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana srata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 14 Juni 2010
Idrus Habsyi
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “Konsep Iman Menurut Ibn Taimiyyah”, yang di tulis oleh Idrus habsyi, NIM: 105033101098, telah di uji dan dinyatakan lulus dalam Sidang Munaqasyah di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 14 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I) Program Srata 1 (S1) pada jurusan Aqidah Filasafat. Jakarta, 14 Juni 2010
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota
Sekretaris
Prof. Dr. Zainun Kamaludin faqih MA. NIP. 19500804 198603 1 002
Dra. Tien Rahmatin, MA. NIP. 19680803 199403 2 002
Anggota
Penguji II
Dra. Wiwi Siti Sajaroh, MA NIP. 19690210 199403 2 004
Pembimbing
Dr. Syamsuri, M.Ag. NIP. 19590405 1989031 003
KATA PENGANTAR
Bismilahirrahmanirrahim. Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Alhamdulillâhirabbil’âlamîn, tiada kata yang pantas diucapkan melainkan mengucapkan kalimat syukur tersebut kehadirat Allah SWT, Tuhan penguasa semesta alam. Yang telah menciptakan manusia sebagai khalifah di jagat raya Shalawat serta salam mudah-mudahan selalu terlimpahkan pada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Nabi terakhir di alam semesta yang memiliki banyak jasa, membawa berita gembira pada segenap insan dalam perjalanan mereka menuju alam baka. Dengan kesehatan yang diberikan Allah SWT, penulis mendapatkan kesempatan dan kemampuan untuk menyelesaikan skripsi ini semua impian dan cita-cita penulis dapat terwujud karena adanya dukungan dari beberapa pihak yang telah dengan senang hati memberikan bantuan, bimbingan dan motivasi. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhinga kepada: 1.
Prof. Dr. Zainun Kamaludin Faqih, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN yarif Hidayatullah Jakarta, beserta para pembantu Dekan.
2. Drs. Agus Darmadji, M.Fil., selaku Ketua Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Dra. Tien Rahmatin, M.Ag., selaku Sekretaris Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
i
4. Dr. Syamsuri, M.Ag., selaku pembimbing penulis. Terima kasih atas bimbingan serta waktu luangnya yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi. 5. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, pimpinan dan
seluruh
karyawan
perpustakaan
di
lingkungan
UIN
Syarif
Hidayatullah Jakarta. 6. Pimpinan Perpustakaan Umum dan Perpustakaan Ushuluddin beserta staff, yang telah memberikan layanan berupa buku-buku selama penulis menjalani dan mengakhiri kuliah jenjang S1 ini. 7. Orang tua tercinta, Ayahanda Ali bin Idrus al-Habsyi dan Ibunda Syarifah Fadlun binti Husin al-Aththas, terima kasih atas segala pengorbanan dan do’a yang tak terhingga kepada penulis, serta dukungan moril, materil dan juga tenaga sehingga penulis dapat menyelesaikan studi yang kesemuanya itu tidak bisa terbayarkan dengan materi hanya do’alah yang dapat penulis berikan. Serta saudara-saudaraku yang tercinta, Kakakku Syarifah Fatimah Habsyi, dan Adikku Achmad Habsyi, serta temanku Marullah S.Th.I, Abdul Fatah, S.Sos.I yang selalu menemani dalam berdakwah dan juga Syakir al-Idrus serta jama’ah Majelis Dzikir Dan Ta’lim Khairul Maghfirah yang telah memberikan dukungan serta do’a kepada penulis. 8. Guru saya Al-Habib Muhammad Rizieq bin Husain Syihab dan Ustadz Muhammad Zen, yang telah memberikan banyak ilmu kepada penulis terima kasih atas bantuan dan do’anya. 9. Teman-teman Aqidah Filsafat angkatan 2005 ……..
ii
Dengan berbagai macam kekurangan yang terdapat dalam laporan penelitian ini, mudah-mudahan dapat memberikan manfaat bagi kita semua, khususnya bagi penulis. Akhirnya tiada sesuatu yang dapat penulis ucapakan, kecuali rasa terima kasih kepada para dosen yang telah memberikan pendidikan kepada kami, semoga ilmu yang penulis dapatkan dijadikan Allah SWT ilmu yang bermanfaat dan berkah. Semoga kita semua senantiasa selalu dalam bimbingan, Rahmat dan Hidayah-Nya. Âmîn Yâ Rabb al-‘Âlamîn.
Wassalâmu’alaikum Warahmatullâhi Wabarakâtuh.
Jakarta, 04 Mei 2010 penulis
Idrus Habsyi
iii
Pedoman Transliterasi ∗ Aksara Arab dan Padanannya dalam Aksara Latin Huruf Arab
ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن و ∗
Huruf Latin
Keterangan Tidak dilambangkan
B
be
T
te
Ts
te dan es
J
je
H
ha dengan garis di bawah
Kh
ka dan ha
D
de
Dz
de dan zet
R
er
Z
zet
S
es
Sy
es dan ye
S
es dengan garis di bawah
D
de dengan garis di bawah
T
te dengan garis di bawah
Z
zet dengan garis di bawah
'
koma terbalik di atas, menghadap ke kanan
G
ge
F
ef
Q
ki
K
ka
L
el
M
em
N
en
W
we
Hamid Nasuhi dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi),
2007.
iv
ه ء ي
H
ha
'
apostrof
Y
ye
Vokal
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
keterangan
a
fathah
i
kasrah
u
dammah
Tanda Vokal Latin
keterangan
ai
a dan i
au
a dan u
Tanda Vokal Latin
keterangan
â
a dengan topi di atas
î
i dengan topi di atas
û
u dengan topi di atas
Vokal Rangkap Tanda Vokal Arab
ي و Vokal Panjang (Madd)
Tanda Vokal Arab
ﺎ ﻲ ﻮ Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau Tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda ( ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
v
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya kata: اﻟﻀﱠﺮ و ر ةtidak ditulis “ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”, demikian seterusnya.
Kata Sandang Kata sandang yang dalam Bahasa Arab dilambangkan dengan huruf ()ال, dialih-aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh al-rijâl, bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân. Ta Marbūtah No
Kata Arab
Alih Bahasa
1
ﻃﺮﻳﻘﺔ
tarîqah
2
اﻟﺠﺎﻣﻌﺔ اﻻﺳﻼﻣﻴﺔ
al-jâmi’ah al-islâmiyyah
3
وﺣﺪة اﻟﻮﺟﻮد
wahdat al-wujûd
DAFTAR ISI
vi
KATA PENGANTAR …………………………………………………..…….. i PEDOMAN TRANSLITERASI ………………………………….………….. iv DAFTAR ISI ………………………………………………………………….. vii BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………………………………………
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah …………………………
5
C. Tinjauan Pustaka ………………………………………………
5
D. Tujuan Penelitian ………………………………………………
7
E. Metodologi Penelitian ………………………………………….
7
F. Sistematika Penulisan …………………………………………
8
BIOGRAFI IBNU TAIMIYYAH A. Riwayat Hidup Ibnu Taimiyah ………………………………
10
B. Karya-karya Ibnu Taimiyah ………….………………………
16
BAB III SEKILAS TENTANG IMAN A. Pengertian Iman ………………………………………………
20
1. Bertambah dan Berkurangnya Iman………………………… 24 2. Hal-Hal yang Membatalkan Iman………………………… B. Pandangan
tentang
Makna
Iman
Menurut
27 Aliran
Kalam……………………………………………………………
31
1. Murji’ah…………………………………………………….
31
2. Mutazilah……………………………………………………. 34 3. Asy’âriyah …………………………………………………. 36 BAB IV PEMIKIRAN IBNU TAIMIYYAH TENTANG IMAN
vii
A. Iman yang global dan iman yang terinci…………………………… 39 B. Amal Perbuatan Termasuk Syarat Iman…………………………… 42 C. Kritik Ibn Taimiyyah Terhadap Aliran-Aliran Kalam Tentang Makna Iman……………………………………………………………... BAB V.
48
PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………………..
55
B. Saran-saran………………………………………………………… 56 DAFTAR PUSTAKA
viii
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam agama Islam kita mengenal adanya rukun Islam dan rukun Iman dan umat Islam wajib menjalankan dan meyakini dengan sepenuh hati keduanya. Karena keduanya adalah dasar-dasar agama Islam atau Ushûl al-Dîn, yang dimana ulama sepakat bahwa umat Islam tidak boleh berbeda pendapat mengenai masalah Ushûl al-Dîn. Adapun masalah Furû’al-Dîn yakni cabang-cabang agama ulama mengatakan boleh berbeda pendapat. Kenapa ulama mengatakan tidak boleh berbeda dalam masalah Ushûl al-Dîn, karena masalah Ushûl al-Dîn ini menyangkut masalah tauhid, yakni merupakan pokok keyakinan bagi umat Islam. Selain itu tauhid juga menyangkut masalah keimanan antara sang hamba dengan Tuhan-Nya, karena keimanan merupakan sarana yang tepat bagi manusia untuk menjauhi diri dari murka Allah SWT 1 . Karena dengan adanya iman akan mendapatkan petunjuk, sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
☺
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”.
1
Husein Afandiy, Memperkokoh Aqidah Islamiyyah, (terj), Abdullah Zakiy al-Kaaf (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 11
2
Oleh karena itu, tampak jelas sekali hikmahnya, mengapa iman dijadikan prinsip umum dan kekal abadi. Juga mengapa Allah SWT tidak pernah membiarkan suatu generasi atau suatu umat dalam keadaan kosong tanpa mengutus seorang Rasul kepada mereka untuk mengajak mereka kepada iman ini, dan memperdalam akar-akar akidah ini di dalam hati mereka.2 Karena dengan iman kita mendapatkan kepuasan batin dan keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Kalau hanya mengandalkan kemampuan akal saja, kita tidak akan pernah berhasil mencapai kepuasan dan kebahagian. Sebagai bukti ialah bahwa kekacauan di dunia di mana-mana ditimbulkan oleh mereka yang tidak beriman. Banyak pemerkosaan, perampokan, pembunuhan, mati gantung diri dan kasus yang terjadi ada era globalisasi pada saat ini seperti para elit politik yang tidak segan-segan melakukan tindakan korupsi, yang mengakibatkan rakyat menjadi terdzalimi. Perilaku korup banyak menyebar bagaikan virus HIV yang teramat ganas. Justru yang memprihatinkan hal ini banyak dilakukan oleh orang-orang muslim. Seharusnya kita merasa malu karena kita adalah umat muslim. Belum lagi banyak yang melakukan perusakan moral bangsa, diantaranya banyak yang melakukan perkawinan diluar nikah. Semua itu karena orang tidak membekali diri dengan iman dan tauhid. 3 Iman juga merupakan pokok-pokok keyakinan bagi seorang hamba, seperti menyangkut iman kepada Allah dan Rasul-Nya, iman kepada malaikatmalaikat-Nya, iman kepada kitab-kitab Rasul, iman kepada adanya hari
2
Sayyid Sabiq, Aqidah Islâmiyah, (terj), Ali Mahmudi (Jakarta: Robbani Press, 2008), h.
3
Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap (Jakarta: Rineka, 1996), h. 8.
8.
3
kebangkitan, serta iman kepada qada 4 dan qadar. 5 Rukun iman tersebut harus mutlak diyakini bagi seorang muslim. Tetapi yang menjadi perdebatan para aliran-aliran Islam dan juga para ulama, ialah apakah rukun iman tersebut hanya sekedar pembenaran dalam hati saja tanpa dibarengi dengan ucapan lisan, ataukah harus dibarengi dengan lisan dan amal perbuatan. Jadi menanamkan iman ke dalam jiwa merupakan cara yang paling tepat untuk mewujudkan unsur-unsur yang baik, yang dapat melaksanakan peranannya secara sempurna dalam kehidupan, dan dapat memberikan andil yang sangat besar untuk menumbuhkan dan memperkokoh tauhid di dalam diri seseorang. Di atas sudah dijelaskan mengenai konsep iman. Ada yang menyatakan bahwa iman itu hanya pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, dan ada pula yang menyatakan bahwa iman itu pembenaran dalam hati dan di ucapkan dengan lisan serta diikuti oleh amal perbuatan., serta ada juga yang berpendapat amal perbuatan tidak termasuk dalam konsep iman. Di sini kita melihat begitu banyak perbedaan dan pertentangan pendapat yang terjadi di kalangan umat Islam, 6 yang di mana begitu banyak perbedaan pendapat sampai-sampai mazhab dengan mazhab yang lain saling mengkafirkan begitu juga dengan para ulamanya. 7
4
Qada adalah kehendak Allah yang azaly yang berkaitan dengan segala sesuatu berdasarkan putusan-Nya atas sesuatu itu. Sedangkan Qadar adalah penciptaan Allah akan segala sesuatu berdasarkan ketentuan yang sesuai dengan ilmu-Nya. Lihat Nawawi al-Bantani, Qothrul Ghoits (Indonesia: Dâr al-Ihyâ, tth), h. 13. 5 Ibn Taimiyyah, Al-Aqidah al-Wasatiyah, (Beirut : Dâr al-Arabiyyah wa an-Nasr,tth), h.5 6 Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik Dan Aqidah Dalam Islam. (terj), Abd Rahman dan Ahmad Qarib (Jakarta: Logos, 1996), h. 145. 7 Muhammad Alwî al-Mâlikî, (Mafâhim Yajib an-Tasaha (Kairo: al-Musaha Karthoum), h. 59.
4
Di antara dampak perselisihan dan penyimpangan maka para pengemban akidah terpecah-pecah menjadi beberapa aliran yang beranekaragam masingmasing aliran tersebut mencerminkan suatu warna pemikiran tertentu dan mengklaim diri sebagai kelompok yang paling benar di antaranya: aliran Khawarij, Syi’ah, Murjiah, Mu’tazilah, dan Asy’ariyah di antara perselisihan itu masalah iman 8 . Dalam sejarah pembaruan Islam Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah yang paling serius dalam mengangkat masalah iman. Ibn Taimiyyah ingin mengembalikan kepada ajaran-ajaran salaf terutama ajaran Rasulullah dan sahabatnya, dalam pandangan mengenai konsep iman ia menyatakan bahwa Iman itu tidak cukup dengan pembenaran hati dan juga lisan tetapi harus disertai amal perbuatan dia mengkritik aliran-aliran yang mengatakan iman itu cukup dengan pembenaran hati tanpa dilandasi dengan perbuatan. Menurutnya iman dan amal tidak dapat dipisahkan, ia mengatakan banyak orang yang menyatakan dengan lisannya bahwa ia telah beriman tetapi perbuatan mereka telah banyak melakukan hal-hal yang dilarang oleh syari’at, yang demikian itu bukanlah iman. 9 Ibn Taimiyyah mengatakan jika amal-amal disertakan kepada iman, dimaksudkan agar tidak ada yang beranggapan bahwa hanya dengan iman saja tanpa amal-amal salih yang merupakan keharusan bagi iman, suda cukup untuk mendapatkan janji untuk masuk ke dalam surga. Penyebutan amal-amal shalih merupakan pengkhususan terhadap nash yang sudah ada, agar dapat diketahui
8
9
Muhammad Abduh, Risâlah at-Tauhîd (Kairo: Dâr al-Manâr, 1366 H), h. 21.
Ibn Taimiyyah, al-Amar bil Ma’rûf Wa an-Nahyu An al-Munkar (Kairo: Maktaba Sunnah), h. 109.
5
bahwa pahala yang dijanjikan di akhirat, yaitu berupa surga tanpa azab, tidak akan diberikan kepada orang yang beriman dan mengerjakan amal salih. 10 Ibn Taimiyyah juga mengatakan banyak ayat-ayat di dalam al-Qur’an yang mendukung bahwa iman itu harus disertakan dengan amal perbuatan atau dengan kata lain iman tidak dapat dipisahkan dengan amal perbuatan. Berdasarkan pemikiran di atas maka penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih dalam lagi mengenai konsep iman yang dikemukakan oleh Ibn Taimiyyah oleh karena itu penulis ingi mencoba menulis skripsi dengan judul: “Konsep Iman Menurut Ibn Taimiyyah”
B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah Kiranya sangat menarik bagi penulis untuk mengungkap lebih jauh tentang
konsep iman perspektif Ibn Taimiyyah. Dengan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, penulis hanya akan membatasi pembahasan pada permasalahan konsep iman dalam pandangan Ibn Taimiyyah. Berdasarkan pembahasan masalah di atas, maka rumusannya adalah: 1. Bagaimana Ibn Taimiyyah menjelaskan dan memaparkan pendapatnya mengenai konsep iman, 2. Apakah amal perbuatan itu tergolong ke dalam konsep iman? 3. Dan apakah iman dapat bertambah dan berkurang?
C.
Tinjauan Kepustakaan
10
Ibn Taimiyyah, al-Îmân. (terj), Kathur Suhardi (Jakarta: Dâr al-Falah), h. 119
6
Penelitian pemikiran Ibn Taimiyyah bukanlah hal yang baru. Kajian dan eksplorasi terhadap figur ulama ini telah berlangsung sejak lama. Apalagi penelitian denagan mengambil sebagian pemikiran darinya, beberapa tema yang mempunyai intensitas rasional dengan karekteristik pemikirannya sudah banyak dilakukan. Mengingat beliau adalah seorang ahli teologi. Dalam dunia akademis ditemukan juga beberapa karya ilmiah yang mengkaji pemikirannya baik dalam bentuk makalah, laporan penelitian, skripsi, maupun disertasi. Terdapat beberapa nama yang berhasil menyumbangkan karyanya yang membahas tokoh ini, di antaranya adalah karya Syaikh Saîd ‘Abdul Azhim dengan bukunya yang berjudul Ibn Taimiyyah Tajdid Salafi wa Da’wah Islahiyyah.Yang dimana di dalam buku itu menjelaskan secara lengkap perjalanan Ibn Taimiyyah, serta bagaimana kiprah dan prestasi dakwah beliau, serta ciri khas metode pembaharuan dan reformasi yang diperjuangkan terutama dalam masalah akidah dan fikih. Serta kritik Ibn Taimiyyah terhadap berbagai paham dan aliran yang menyimpang Zainun Kamal dengan bukunya yang berjudul Ibn Taimiyyah Versus Para Filosof. Dan Zainun Kamal (dosen UIN) dalam disertasinya Kritik Ibn Taimiyyah terhadap Logika Aristeles yang merupakan sebuah studi yang serius terhadap pemikiran Ibn Taimiyyah mengenai logika yang di tulis dalam bahasa Indonesia. Di samping itu, Ibn Taimiyyah tidak asing lagi di kalangan mahasiswa di antaranya adalah skripsi yang ditulis oleh Himawan Priditio dalam skripsinya Kritik Ibn Taimiah dan Wittgenstein terhadap Filsafat yang dimana Ibn
7
Taimiyyah dan Wittgenstein menolak klaim-klaim metafisika dan kritik terhadap logika. Dari buku dan judul skripsi yang telah disebutkan diatas, ternyata yang membahas tentang konsep iman pemikiran Ibn Taimiyyah secara khusus belum ada. Oleh karena itu sudah pasti berbeda dengan skripsi yang telah ada. Dengan itu, penulis tidak ragu lagi dalam menulis skripsi ini.
D.
Tujuan Penelitian Secara formal, penelitian skripsi ini dibuat dalam rangka memenuhi syarat
memperoleh gelar sarjana strata satu (S-1) pada jurusan Aqidah Filsafat, fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun tujuan non formal penulisan skripsi ini adalah untuk menambah literatur tentang pemikiran Ibn Taimiyyah dengan harapan dapat merangsang kajian-kajian berikutnya. Tujuan penelitian skripsi ini adalah di antaranya: 1. Guna mengetahui lebih jauh lagi mengenai Ibn Taimiyyah dalam bidang yang sedang dikaji. 2. Untuk mendapatkan seseuatu yang berharga dalam pemikiran Ibn Taimiyyah, yakni ilmu dalam bidang yang dikaji. 3. Mengungkap seseuatu dari pemikiran Ibn Taimiyyah yang sedang dikaji, sehingga membuka ruang kritik terhadapnya.
E.
Metode Penelitian
8
Metode pengumpulan data skripsi ini mengunakan kajian kepustakaan (Library research) yaitu menghimpun data atau tulisan yang ada kaitannya dengan tema skripsi ini. Data-data tersebut diambil dari tulisan Ibn Taimiyyah sendiri yang terdokumentasi dalam bentuk kitab, baik yang berbahasa Arab maupun yang sudah diterjemahkan. Al-Iman merupakan salah satu sumber primer yang dijadikan rujukan utama dalam penulisan skripsi ini. Sedangkan tulisantulisan tentang Ibn Taimiyyah baik yang terdokumentasi dalam buku, makalah, artikel, jurnal, dan majalah yang mempunyai relevansi dengan maksud uraian skripsi ini, merupakan sumber skunder yang menjadi penunjang sumber primer. Metode pembahasan yang digunakan adalah metode deskriptif analisis. Metode ini digunakan untuk menjelaskan serta mengelaborasi pikiran-pikiran Ibn Taimiyyah yang berkenaan dengan judul ini. Kemudian menyajikannya secara kritis melalui sumber-sumber pustaka primer maupun skunder dengan menggunakan karangan-karangan Ibn Taimiyyah dan yang berkaitan dengan pembahasan konsep keimanan. Adapun pedoman teknik penulisan, penulis mengacu kepada buku ‘Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (skripsi, Tesis, dan Disertasi)’ yang diterbitkan oleh CEQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007. Pedoman transliterasi tersebut dilampirkan sebelum bab ini.
F.
Sistematika Penulisan
9
Agar penelitian skripsi ini menjadi terarah dan lebih sistematis dan menjadi standar penulisan skripsi S-1, maka penulisan ini di susun dalam lima bab yang masing-masing memiliki sub-sub bab diantaranya yaitu. Bab pertama, pendahuluan, latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tinjauan kepustakaan, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab kedua, membahas tentang biografi dan karya-karya Ibn Taimiyyah. Bab ketiga, menjelaskan gambaran umum tentang pengertian iman Bab keempat, membahas tentang konsep iman menurut Ibn Taimiyyah Bab kelima adalah penutup
BAB II BIOGRAFI IBN TAIMIYYAH
A.
Riwayat Hidup Ibn Taimiyyah Nama lengkapnya adalah Ahmad Taqiyuddîn ibn Abbâs ibn Syihâbuddîn
Abdul Mahâsin Abdul Halîm ibn Syaikh Majduddîn Abil Barakat Abd al-Salâm ibn Abî Muhammad Abdillah ibn Abî Qâsim al-Khadar ibn Muhammad ibn al Khadhar ibn Alî ibn Abdillah. Famili ini dinamakan Ibn Taimiyyah karena neneknya yang bernama Muhammad ibn al Khadhar. Beliau ketika naik haji melalui jalur Taima. Setelah ia kembali dari haji ia dapati istrinya melahirkan seorang anak wanita, yang kemudian diberi nama Taimiyyah dan keturunannya dinamai keturunan Ibn Taimiyyah, 1 sebagai peringatan bagi jalan yang dilalui oleh neneknya ketika mengerjakan haji itu. Ahmad Taqiyuddîn yang kita bicarakan sekarang ini lahir di desa Heran, sebuah desa kecil di Palestina pada tanggal 10 Rabi al-Awwal 661 H. Ahmad Taqiyuddîn tinggal di desa ini sampai ia berumur 7 tahun, lalu ia pindah ke Damsyik sampai ia wafat pada tahun 724 H. 2 Ibn Taimiyyah tumbuh di dalam keluarga yang berilmu, ayahnya Abdul Halim merupakan direktur dari madrasah Sukkariyyah, sebuah sekolah mazhab Hambali, di Damaskus keluarga Taimiyyah sendiri dikenal sebagai keluarga ulama. Pamannya Fakhr al-Dîn dan kakeknya Majd al-Dîn adalah pakar teolog
1
Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlu Sunnah Wal Jamaah (Jakarta: Pustaka Tarbiah, 2006), h.
2
Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama (Jakarta: Pustaka Tarbiah, 2005), h. 218
296
12
dan fikih Hambali, di kemudian hari Ibn Taimiyyah melanjutkan jejak keluarga sebagai penerus tradisi Hambali. 3 Di dalam lingkungan yang bagus inilah Ibn Taimiyyah tumbuh. Beliau mulai menuntut ilmu kepada bapaknya dan para ulama di Damaskus. Maka beliau mampu menghafal al-Qur’an ketika beliau masih sangat kecil, beliau dikenal sebagai sosok yang cerdas dan memiliki hafalan yang begitu kuat, dan beliau kemudian memperluas dan memperdalam disiplin-disiplin ilmu di sana, sampai terkumpulah pada diri beliau sifat-sifat seorang mujtahid sejak masih sangat muda. Ibn Taimiyyah menggantikan ayahnya sebagai direktur madrasah Sukkariyyah, setahun kemudian ia menjadi pengajar tafsir al-Qur’an di masjid Umayyah. Di akhir tahun 691 H, ia naik haji ke Mekkah dari sana ia menulis sebuah risalah yang mengungkapkan sejumlah bid’ah dalam pelaksanaan ibadah haji. Pada tanggal 17 Sya’ban 695 H, Ibn Taimiyyah mulai mengajar di Hanbaliyyah, madrasah Hanbali tertua di Damaskus, menggantikan gurunya yang telah tiada. 4 Ibn Taimiyyah, selain seorang yang alim, ia juga seorang mujahid keberaniannya luar biasa ketika ia berjuang melawan bangsa Tartar. al-Qâdhi Syihabudîn Abû al-Abas Ahmad ibn Fadhullah berkata: “Syaikhul Islam duduk bersama Sultan Ghazan saat pasukan musuh telah siap siaga, dan hati menciut karena takut menghadapinya. Sultan duduk lalu mengisyaratkan tangannya ke dadanya sembari meminta doa kepada Syaikh. Maka Ibn Taimiyyah mengangkat kedua tangannya dan berdoa, sementara Sultan mengaminkan doa tersebut”. 3
Henri Loust, Ibn Taimiyyah’, Encyclopaedia of Islam (ttp 1980), h. 951 Muhammad Sharif Khan dan Anwar Saleem, Muslim Philosophy and Philosophers (Delhi: Ashish Pubishing Housw, 1994), h. 103 4
13
Pertempuran itu terjadi pada tahun 669 H. Mereka menceritakan tentang keberanian Ibn Taimiyyah dapat dijadikan teladan oleh para patriot-patriot kenamaan. Sultan dan pasukan-pasukannya sangat takjub dengan keberaniannya menghadapi Mongolia Tartar. Ibn Taimiyyah pergi ke Syam untuk menemui penguasa Syam, dia memberi semangat kepada penduduk Syam dan menjanjikan kemenangan atas musuh-musuh mereka jika mereka sabar dan mempersiapkan segalanya. 5 Dia juga membacakan firman Allah:
☺
⌦
⌧
“Demikianlah, dan barangsiapa membalas seimbang dengan penganiayaan yang pernah ia derita Kemudian ia dianiaya (lagi), pasti Allah akan menolongnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.” (al-Hajj : 60) Ibn Taimiyyah juga pernah turun langsung pada perang Syaqhab 6 pada tahun 702 H. Latar belakangnya, karena mental pasukan sudah jatuh dan gemetar, saat itu Ibn Taimiyyah bersama beberapa sahabatnya terjun langsung dalam kancah pertempuran, dan berakhir dengan kemenangan untuk kaum muslimin, dalam perang itu pasukan Tartar banyak yang terbunuh. Sikap kepahlawanan yang ditunjukkan oleh Ibn Taimiyyah dalam mengusir bangsa Mongol, menjadikannya sebagai seorang tokoh yang penting
5
Said Abdul Azhim, Ibn Taimiyyah Pembaharu Salafi dan Dakwah Reformasi, (terj), Faisal Saleh Lc (Jakarta: Pustaka Kausar, 2005), h. 26-27 `6 Perang Syaqhab ialah peperangan yang terjadi melawan bangsa tartar.
14
dalam percaturan politik pada saat itu. Hal ini pula yang menyebabkan hampir dari seluruh hidupnya dihabiskan untuk berpolemik dengan musuh-musuhnya. Sifat kritis yang ditunjukkan oleh Ibn Taimiyyah pada dasarnya hasil dari polemik pahit yang ia alami dalam memperjuangkan kepercayaannya. Bagi Ibn Taimiyyah agama Islam telah digerogoti dari dalam oleh sufisme, panteisme, kalam, filsafat dan berbagai khurafat. Karenanya untuk meluruskan ajaran agama seorang muslim harus kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah serta perilaku kaum salaf. Ibn Taimiyyah juga menentang sebagian kaum sufi yang dengan ajarannya itu dapat membuat beku pikiran umat dan membuat umat bertaklid buta, dan umat banyak yang menggantungkan harapan bukan lagi kepada Allah. Banyak sekali dakwaan yang ditunjukkan kepada Ibn Taimiyyah, akan tetapi dengan kecerdasannya yang luar biasa dalam menjawab setiap dakwaan ia mampu meyakinkan para hakim yang mengadilinya bahwa apa yang ia kerjakan itu benar sejalan dengan ajaran al-Qur’an dan hadis. 7 Tidak puas dengan hasil pengadilan sebelumnya, lawan-lawan Ibn Taimiyyah mendesak diadakan sebuah pengadilan kembali. Kali ini yang menuntut qadhi Syafi’î dan sekali lagi mereka gagal memberangus karyanya tersebut. Sejumlah musuhnya pun pergi ke Kairo untuk mengadakan sebuah konsili baru. Konsili pun diadakan, kali ini berlangsung di benteng Mesir dan dihadiri oleh sejumlah para pejabat tinggi negara. Ibn Taimiyyah di tuduh sebagai antropomorfis dan dijebloskan ke tahanan bersama dua orang saudaranya selama satu setengah tahun.
7
Ibn Taimiyyah, al-Iman, (terj), Kuthur Suhardi (Jakarta: Darul Falah, 2007), h.13
15
Setelah bebas Ibn Taimiyyah kembali untuk menyeru memberantas bid’ah, hal ini membuat dua orang sufi berpengaruh di Mesir yakni Ibn ‘Atha’illah dan Karim al-Din al-Amuli memusuhinya, lalu pada bulan syawal dua ribuan orang sufi melakukan demonstrasi untuk menentangnya. Lalu mereka menuntut seorang hakim dari mazhab Syâfi’î untuk mengadilinya, lalu Ibn Taimiyyah dibawa ke meja pengadilan. Maka dia berkata, ’Tidak ada yang pantas dimintai pertolongan kecuali Allah dan Rasul-Nya.’ Hakim menganggap perkataannya ini tidak pantas diucapkan. Pemerintah menawarkan pilihan kepada Ibn Taimiyyah antara pulang ke Damaskus atau dijebloskan ke penjara, dia memilih yang terakhir. Alasannya karena campur tangan sebagian orang yang dengki kepadanya agar hakim menjebloskannya ke dalam penjara. 8 Selama di dalam penjara orang-orang datang untuk meminta fatwa, maka Ibn Taimiyyah memberikan fatwa dalam berbagai masalah. Pada tahun 709 H, hakim mengekstradisikannya ke Iskandaria dan dia ditempatkan di sebuah kastel yang besar dan luas milik Sultan Jasyingkir, yang sepertinya akan melenyapkannya. Para pengikut Ibn Taimiyyah mengkhawatirkan keselamatannya dari tipu daya Jasyingkir. Selama delapan bulan Ibn Taimiyyah berada di sana dan banyak orang yang mengunjunginya untuk berdiskusi dan meminta fatwa. Ketika Sultan Jasyingkir berhasil dikalahkan oleh Sultan al-Nasir, Ibn Taimiyyah dibebaskan dari penjara, Sultan sangat menghormatinya, lalu Ibn
8
Ibn Taimiyyah, al-Iman, (terj), Kuthur Suhardi (Jakarta: Darul Falah, 2007), h. 14
16
Taimiyyah menetap di Mesir, bergaul dengan orang khusus dan umum serta tempat menjadi kunjungan mereka. Para fuqaha dan hakim mengunjunginya untuk meminta maaf kepadanya atas apa yang pernah mereka perbuat terhadap dirinya. Pada tahun 712 Ibn Taimiyyah kembali ke Damaskus untuk menyertai Sultan, setelah dia berjauhan dengannya selama tujuh tahun. Pada saat kedatangannya, semua penduduk Damaskus keluar untuk menyambutnya. Mereka merasa bergembira atas kedatangannya ke Damaskus. Ibn Taimiyyah berada di sana untuk melanjutkan penyebaran ilmu dan penyusunan buku, menyampaikan fatwa kepada manusia. Ibn Taimiyyah mengeluarkan fatwa berdasarkan ijtihadnya yang terkadang sama dengan empat mazhab dan terkadang berlainan. Pada tahun 726 H ia ditangkap lagi atas perintah Sultan, dan dikurung di penjara benteng Damsyik. Banyak murid-muridnya ketika ia ditangkap dan dikurung di dalam penjara, di antara muridnya ialah Ibn Qayyîm al-Jauzîah yang nantinya akan meneruskan perjuangannya. Maka wafatlah Ibn Taimiyyah di dalam penjara pada 20 Dzulqaedah 728 H. 9 Banyak para pemimpin, tokoh masyarakat, ulama datang untuk menyaksikan jenazah beliau, setelah jenazah beliau dikeluarkan maka setiap orang berebut ingin merangkul dan memegang jenazah beliau. Jenazah beliau kemudian dibawa ke tempat peristirahatannya yang terakhir dengan penuh penghormatan, pengagungan, dan sanjungan dari para hadirin karena keilmuan, amal salih, kezuhudan, ibadah, jauh dari dunia dan hanya menyibukan diri dengan urusan akhirat.
9
Sirajudin Abbas, 40 Masalah Agama, h. 222.
17
Banyak para ulama yang mengomentari atau berkata terhadap dirinya, di antaranya adalalah al-Hafizh Ibn Hajar yang mengatakan: “Ibn Taimiyyah, menulis, mengajar, memberikan fatwa, dan beliau memperluas kajian ilmiahnya dalam disiplin berbagai ilmu, dan mengkaji secara seksama mazhab-mazhab salaf dan juga khalaf”. Berkata pula al-Hafizh al-Dzahabi: “Ibn Taimiyyah adalah seorang yang luar biasa ketika berbicara tentang suatu masalah khilafiah, beliau adalah salah seorang yang mendapatkan hak untuk berijtihad, karena pada diri beliau telah terkumpul syarat-syarat sebagai seorang mujtahid”. 10 Bagaimana perjuangan hidup Ibn Taimiyyah, tidak dipungkiri lagi. Beliau adalah seorang ‘ pejuang lapangan’ dengan segala perilaku yang meledak-ledak. Ia seorang yang sangat teguh mempertahankan aqidahnya. Tetapi juga tidak dipungkiri bahwa beliau ini juga sering dianggap sebagai tokoh yang controversial, banyak fatwa-nya yang keluar dari mazhab yang dianutnya yakni mazhad Hanbali, dan juga dikenal sebagai tokoh yang paling banyak mengkritik sufisme tak heran kalau kebanyakan para sufi mengkritiknya bahkan ada yang menyesatkannya.
B.
Karya-Karya Ibn Taimiyyah Ibn Taimiyyah adalah seorang penulis yang produktif, beliau adalah
seorang yang tidak pernah lelah hidupnya dihabiskan hanyak untuk belajar dan mengajar serta mengarang kitab. Ibn Taimiyyah telah meninggalkan warisan yang
10
Ibn Taimiyyah, Majmu Fatâwa, (terj), Izzudin karimi (Jakarta: Pustaka Azam, 2001), h.
13
18
begitu besar dan berharga bagi umat ini. Para ulama dan para pakar terus dan terus mengadakan penelitian terhadap karya-karyanya. Al-Hafizh Ibn Hajar menyebutkan dalam al-Durr al-Kamîmah, bahwa hasil karya tulis Ibn Taimiyyah mencapai lebih dari 400 buku manuskrip. Dalam Fawat al-Wafayat disebutkan bahwa karya tulis beliau mencapai 300 jilid. Bahkan al-Dzahabi menyebutkan bahwa jumlah karya Ibn Taimiyyah mencapai 500 jilid. Berikut ini adalah di antara karya tulis beliau: 1.
al-Aqidah al-Wâsitiyah. Kitab ini menjelaskan masalah aqidah dan masalah yang membuat aqidah kita menjadi rusak, di kitab ini pula Ibn Taimiyyah menjabarkan secara rinci masalah tawassul, ziarah kubur, dll
2.
al-Îmân: Kitab ini membahas secara rinci tentang masalah iman. Seperti perbedaan antara Islam dan iman, bertambah dan berkurangnya iman dan hal-hal yang dapat membuat iman menjadi rusak. Dalam kitab ini pula Ibn Taimiyyah mengkritik aliran-aliran, seperti Murji’ah, Mu’tazilah berkenaan dengan konsep iman.
3.
al-Furqân Baina Auliyâ al-Rahmân wa Auliyâ al-Syaitân: Kitab ini membahas masalah wali-wali Allah, di dalamnya di sebutkan siapa wali Allah dan bagaimana seseorang dapat disebut menjadi wali, dalam kitab itu Ibn Taimiyyah membedakan antara wali Allah dengan wali Syaitan.
4.
al-Amar bi al-Ma’rûf wa al-Nahyu ‘an al-Munkar: Kitab ini membahas tentang kewajiban menjalankan amar ma’ruf nahi munkar, 19
dan bagaimana cara menjalankan amar ma’ruf nahi munkar sesuai dengan petunjuk al-Qur’an dan al-Sunnah. 5.
al-Furqân Baina al-Haq wa al-Bâtil: Kitab ini menjelaskan dan membedakan antara yang haq dengan yang bathil.
6.
Minhâj al-Sunnah : Kitab ini dikarang oleh Ibn Taimiyyah untuk menyerang teologi Syi’ah.
7.
Huqqûqu ahl-Bait : Kitab ini membahas tentang ahl-bait (keluarga Nabi Saw) dan kemuliaan serta keutamaan ahl al-bait.
8.
Risâlah at-Taubat: Kitab ini membahas masalah taubat, bagaimana seorang hamba bertaubat kepada Allah.
9.
al-Radd Alâ al-Manthiqiyyin: Kitab ini membahas berkenaan dengan kritik yang dilontarkan oleh Ibn Taimiyyah terhadap filsafat dan logika Aristoteles.
10.
Majmû’ al-Fatâwa: Ini adalah karya monumental Ibn Taimiyyah, yang menghimpun fatwa-fatwa Ibn Taimiyyah dalam seluruh kajian atau disiplin ilmu keislaman.
11.
Ulûm at-Tafsîr : Kitab ini membahas tentang Ulûm al-Qur’ân.
12.
Syarh Hadîts Jibrîl al-Islâm wa al-Îmân : Kitab ini menjelaskan makna hadis tentang Rasulullah, ketika di tanya oleh malaikat Jibril yang kala itu Jibril menyamar menjadi manusia, hadits ini menjelaskan tentang Islam, iman, dan Ihsan.
13.
Risâlah fi Aqîdah al-Asy’ariyah wa Aqîdah al-Maturidiyah: Kitab ini membahas tentang ajaran aqidah Asy’ari dan Maturidi. 20
14.
Manasik al-Hâjj: Kitab ini membahas prtunjuk praktis yang berkenaan dengan masalah haji.
15.
Bayân al-Talaq al-Mubâh wa al-Haram. Kitab ini membahas masalah perceraian.
16.
al-Hasana wa al-Sayyiah. Kitab ini membahas masalah kebaikan dan keburukan.
17.
al-Ubûdiyah.Kitab ini membahas masalah hubungan manusia dengan Tuhan-nya.
18.
Risalah al-Aqidah al-Isfahaniyah: Kitab ini membahas masalah tauhid khususnya masalah keimanan dan pendapat al-Isfahaniyah tentang makna iman Masih banyak lagi karangan Ibn Taimiyyah, yang tidak mungkin
disebutkan semuanya di lembaran yang singkat ini. Ibn Hajar al-‘Asqalânî mengatakan bahwa karangan Ibn Taimiyyah mencapai 300 kitab.
21
22
BAB 111 SEKILAS TENTANG IMAN
A.
Pengertian Iman Menurut bahasa iman berarti pembenaran hati, sedangkan menurut istilah
iman itu ialah.
ن ِ ﻷ رْ َآﺎ َ ﻞ ِﺑﺎ َ ﻋ َﻤ َ ن َو ِ ﺴﺎ َ َو َاﻗْ َﺮا ُر ﺑِﺎ ﻟِﻠ.ﺐ ِ ْﻖ ِﺑﺎ ﻟْ َﻘﻠ ُ َْﺗﺼْ ِﺪﻳ “Membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan”. 1 Membenarkan dengan hati, menerima ajaran Rasulullah Saw. Lalu yang di maksud dengan mengikrarkan dengan lisan adalah, mengucapkan dua kalimat syahadat (tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah). Lalu yang di maksud dengan mengamalkan dengan anggota badan adalah, hati meyakini, anggota badan mengamalkan dengan beribadah sesuai dengan fungsinya 2 . Sesuai dengan firman Allah:
☺
)اﻟﻨﻮر
(٤٧ :
“Dan mereka berkata, kami telah beriman kepada Allah dan Rasul, dan kami mentaati keduanya. Kemudian sebagian mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman”. (QS. al-Nur: 47)
1 2
Agus Hasan Bashori Lc, Kitab Tauhid (Jakarta: Uii, 2001), h. 2 Abdul Hafidz, Risalah Aqidah (Jakarta: Aulia Press, 2007), h. 3-4
23
Ayat ini menafikan iman dari orang-orang yang berpaling dari ketaatan dan tidak mau memikirkannya. Ini merupakan nash al-Qur’an yang sangat jelas maknanya dan di ayat lain Allah berfirman:
☺ ☺
)ا
(٣–٢ : ﻟﻌﻨﻜﺒﻮت
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan. Kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji lagi. Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang – orang yang benar dan sesungguhnya dia juga mengetahui orang-orang yang dusta”. (QS. al-Ankabut: 2-3). Jadi sangat jelas bahwa iman itu tidak hanya membenarkan di hati, dan diucapkan dengan lisan, tetapi juga harus di ikuti oleh perbuatan. 3 Apabila seseorang membenarkan dalam hati saja tanpa pengucapan dengan lisan maka orang itu kafir, dan sebaliknya orang yang mengucapkan dengan lisan, sedangkan dia tidak membenarkan di dalam hatinya maka orang itu tergolong kedalam orang yang munafik. Adapun dengan masalah amal perbuatan apakah ia dapat mempengaruhi imannya atau tidak dan apakah dengan amal perbuatannya yang durhaka apakah ia masih disebut seorang mukmin ataukah dia bukan orang muslim.? Ini menjadi perbedaan pendapat ulama. Tetapi mayoritas ulama berpendapat bahwa apabila seseorang membenarkan di dalam hati, dan mengucapkan dengan lisan, tetapi tidak 3
Ibn Taimiyyah, al-Iman, (terj), Kathur Suhardi (Jakarta: Dâr al-Falah, 2007), h. 119
24
dibarengi dengan amal perbuatan yang baik. Maka orang itu masih dalam keadaan muslim tetapi ia bukan disebut orang mukmin. Ulama mengatakan bahwa seorang muslim yang meninggal dalam keadaan maksiat dan belum sempat bertaubat, nasibnya ditentukan oleh Tuhan. Bisa jadi dosanya diampuni atau diberi syafaat, bisa jadi pula ia disiksa dengan api neraka sesuai dengan dosa-dosanya, kemudian dikeluarkan darinya setelah dosanya bersih, lalu dimasukkan ke dalam surga. Hal itu sesuai dengan sabda Nabi Muhammad yang berbunyi:
ﻻ َﻳﺒْ َﻘﻰ ِﻓﻲ اﻟ ﱠﻨﺎ ِر َﻣﻦْ ِﻓﻰ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﱠﻠﻰ َ ﷲ ِ لا ُ ْﺳﻮ ُ ل َر َ ﺨﺪْ ِري َﻗﺎ ُ ْﺳ ِﻌﻴْ ٍﺪ َاﻟ َ ﻋﻦْ َا ِﺑﻲ َ ( ن )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري وﻣﺴﻠﻢ ِ ﻹﻳْ َﻤﺎ ِ ْﻦ ا َ ل َذ ﱠر ٍَﻩ ِﻣ ُ َﻗﻠْ ِﺒ ِﻪ ِﻣﺜْ َﻘﺎ “Seseorang yang di dalam hatinya masih tertinggal setitik iman, tidak akan tetap tinggal di dalam neraka”. (HR, Bukhori, Muslim). 4 Jadi menurut ulama, hadis tersebut sudah jelas menggambarkan bahwa seseorang itu walaupun amal perbuatannya buruk, ia masih seorang muslim yang tetap dalam beragama Islam. Tetapi bukan mukmin yang keimanan yang tinggi di sisi Allah. Sebab seseorang muslim belum tentu mukmin, dan sebaliknya seorang mukmin sudah pasti muslim. Sebab Nabi Muhammad Saw telah membagi pengertian Islam, pengertian iman, dan pengertian ihsan dalam hadis Jibril. Dalam hal ini beliau bersabda:
ﻲ َ ﻼ َة َو ُﺗﻮْ ِﺗ َﺼ ﷲ َوَا ِﻗﻴْ ُﻢ اﻟ ﱠ ِ لا ُ ْﺳﻮ ُ ﺤ ﱠﻤ ًﺪا َر َ ن َ ُﻣ ّ ﷲ َوَا َُ ﻻ ا ﻻ ٍِاَﻟ َﻪ ٍِا ﱠ َ ﻼ ُم َانْ َﺗﺸْ َﻬ ُﺪ َان َ ْﻹﺳ ِ َا ﻼ َ ْﺳ ِﺒﻴ َ ﺖ ِاَﻟﻴْ ِﻪ َ ْن اﺳْ َﺘﻌ ِ ﺖ ٍِا َ ْﺞ اْﻟ َﺒﻴ ّﺤ َ ن َو ُﺗ َ ﻀﺎ َ ﺼﻮْ َم َر َﻣ ُ اﻟ ﱠﺰ َآﺎ َة َوﺗ “Islam ialah jika engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, puasa ramadhan, menunaikan haji di jika engkau sanggup mengadakan perjalanan ke sana”. 4
Tsuraya Kiswati, al-Juwainî Peletak Dasar Teologi Rasional Dalam Islam (Jakarta: Erlangga, tth), h. 185-186
25
ﻦ ِﺑﺎﻟ َﻘ َﺪ ِر َ ﺧ ِﺮ َو ُﺗﺆ ِﻣ ِﻷ َ ْﺳﻮِْﻟ ِﻪ َواَْﻟﻴﻮْ ِم ا ُ ﻼ ِﺋ َﻜ ِﺘ ِﻪ َو ُآ ُﺘ ِﺒ ِﻪ َو َر َ ﷲ َو َﻣ ِ ﻦ ِﺑﺎ َ ن َانْ ﺗ ُﻮْ ِﻣ ُ ﻹﻳْ َﻤﺎ ِ َا ﺷ ﱠﺮ ُﻩ َ ﺧﻴْ َﺮ ُﻩ َو َ “Iman ialah jika engkau beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitabkitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari akhirat, beriman kepada qadar yang baik dan yang buruk”. Perbedaan ini disebutkan di dalam hadis Umar yang diriwayatkan oleh Muslim. Hadis Jibril ini menjelaskan bahwa Nabi Muhammad Saw menjadikan agama pada tingkatan. Yang paling tinggi adalah ihsan, pertengahannya adalah iman dan yang paling bawah adalah Islam 5 . Setiap muhsin adalah mukmin, setiap mukmin adalah muslim, tidak setiap mukmin adalah muhsin, dan tidak setiap muslim adalah mukmin. Jadi jelas menurut jumhur ulama bahwa iman itu berbeda dengan Islam. Mereka melihat bahwa iman dan Islam mempunyai arti masing-masing. Islam semacam pengucapan dua kalimat syahadat dengan pengakuan hati sanubari, sedangkan iman merupakan ketaatan secara totalitas kepada sang pencipta tanpa keragu-raguan terhadap-Nya, atau iman merupakan aplikasi amaliah. Tetapi ada juga sebagian ulama yang mengatakan bahwa iman dan Islam itu satu makna. Di antara ulama yang mengatakan seperti itu ialah Syaik Muhammad bin Nasr al-Marwazy, ia melihat bahwa iman dan Islam itu satu makna. Dia berpendapat bahwa iman yang disyariatkan Allah kepada hamba-Nya adalah Islam yang dijadikan sebuah agama yang diridhai-Nya sebagai padanan kafir. Allah berfirman:
5
Zein bin Ibrahim bin Sumaith, Hidayatuh al-Tâlibin fi Bayân Muhimmatuddîn (Yaman: Dâr Ilmi wa ad-Da’wa, 2007), h. 15-16
26
(٣ : )اﻟﻤﺎﺋْﺪ ة “Dan telah aku ridhai Islam sebagai agama bagi kamu”. (QS. al-Maidah: 3)
(٧ : )اﻟﺰّﻣﺮ “Dan dia tidak meridhai kekufuran bagi hamba-hamba-Nya”. (QS. al-Zumar: 7)
☺ (٢٢:)اﻟﺰّﻣﺮ “Maka apakah orang-orang yang dilapangkan hatinya oleh Allah untuk menerima Islam lalu dialah mendapat cahaya dari Tuhannya”. (QS. al-Zumar: 22) Dalam beberapa ayat tersebut terlihat betapa Allah memuji Islam sebagaimana ia memuji keimanan dan menjadikannya sebagai nama pujian dan pensucian dengan kata-Nya yang menggambarkan orang yang Islam mendapatkan cahaya dan petunjuk dari Tuhan mereka, juga mengatakan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang di ridhai-Nya. 6
a.
Bertambah dan berkurangnya iman Masalah-masalah yang erat kaitannya dengan definisi iman adalah masalah
bertambah dan berkurangnya keimanan seseorang. Di atas telah di jelaskan bahwa ada perbedaan di antara ulama dalam menentukan kata atau definisi iman, maka begitu juga dalam menentukan bobot keimanan. Ada yang mengatakan iman itu tetap
6
Harapandi Dahri, Pemikiran Teologi Sufistik Syekh Abdul Qadir Jaelani (Jakarta: Wahyu Press, 2004), h. 35-36
27
dan ada yang berpendapat bahwa iman itu bisa bertambah dan bisa juga berkurang. Perlu diketahui bahwa istilah bertambah dan berkurangnya iman itu hanya di kenal oleh mereka yang memasukan amal perbuatan ke dalam bagian dari iman. Sedangkan yang memandang iman hanya terdiri dari ikrar dan tasdiq tidak mengenal bertambah dan berkurangnya iman. Perihal bertambahnya dan berkurangnya iman seseorang itu, banyak nashnash yang menunjukkannya baik yang bersumber dari al-Qur’an maupun sunnah nabawiyah, di antaranya adalah firman Allah
☺
☺
☺ (٢ : )ا ﻷﻧﻔﺎل “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan Hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal”. (QS. al-Anfal: 2).
☺ (١٧٣: )اﻹﻣﺮان "(yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: "Sesungguhnya manusia Telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, Karena itu takutlah kepada mereka", Maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah
28
menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung". (QS. Ali Imran: 173) 7 . Ini merupakan penambahan jika dibacakan ayat-ayat al-Qur’an kepada mereka. Artinya, ketika ayat-ayat itu dibacakan maka maknanya bukan pembenaran mereka terhadap ayat-ayat itu ketika diturunkan. Yang demikian itu akan dirasakan orang mukmin jika ayat-ayat dibacakan kepadanya, yang menambah pemahaman alQur’an dan makna-maknanya yang berasal dari ilmu yaqin, yang sebelumnya tidak pernah dirasakan. Sehingga seakan-akan dia tidak pernah mendengar ayat tersebut kecuali pada saat itu. Lalu di dalam hatinya muncul hasrat untuk melakukan kebaikan dan ketakutan jika melakukan keburukan, yang sebelumnya tidak pernah dia rasakan. Dengan begitu, ilmunya tentang Allah semakin bertambah, begitu pula dengan kecintaannya untuk mentaati-Nya. Yang demikian itu merupakan penambahan iman. Begitu juga dengan ayat yang menyuruh jihad, perintah ini terjadi pada saat ada ancaman dari pihak musuh, dan bukan pada saat suatu ayat diturunkan. Sehingga hal itu menambah keyakinan dan tawakkal kepada Allah, keteguhan hati dalam berjihad dan kesatuan, agar mereka tidak takut kepada makhluk, tapi mereka takut hanya kepada Allah. Dan Nabi Saw bersabda dalam hadisnya 8 .
ازهﺪ اﻟﻨّﺎس ﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﻨﺲ اﻟﻘﺒﺮواﻟﺒﻠﻰ وﺗﺮك اﻓﻀﻞ زﻳﻨﺔ اﻟﻴﺎة اﻟ ّﺪ ﻧﻴﺎ واﺛﺮﻣﺎﻳﺒﻘﻰ وﻟﻢ ﻳﻌ ّﺪ ﻏﺪا ﻣﻦ اﻳّﺎ ﻣﻪ وﻋ ّﺪ ﻧﻔﺴﻪ ﻓﻰ اﻟﻤﻮﺗﻰ “Orang yang paling zuhud adalah orang yang selalu mengingat kuburan (mati) dan kebinasaan serta meninggalkan perhiasan dunia yang mewah karena memilih pahala (kehidupan akhirat) yang abadi daripada perhiasan dunia yang pasti binasa, 7
Muhammad Na’im, Iman Yang Menguatkan dan Yang Membatalkan Kajian Rinci Dari Kalimat Syahadat, (terj) Abu Fahmi, h. 124-125 8 Ibn Taimiyyah, al-Iman, (terj), Kathur Suhardi, h. 135-136
29
juga tidak menganggap bahwa hari esok adalah harinya, dan ia menganggap bahwa dirinya pasti mati”. Yang dimaksud dalam hadis ini adalah bagaimana seseorang apabila keimanannya ingin bertambah maka ia harus selalu mengingat kematian, serta tidak tertipu dengan dunia yang hanya sementara ini sampai ia melupakan akhiratnya 9 . Di samping nash-nash dan atsar tadi, maka cukup jelas bahwa keimanan seseorang dapat bertambah atau memuncak dan sebaliknya keimanan seseorang dapat berkurang.
b.
Hal-hal yang dapat membatalkan iman Di antara masalah yang sering kali mengundang perdebatan ulama, ialah
masalah kapan seseorang dinyatakan telah keluar dari agama Islam. Ada pun orangorang yang dinyatakan keluar dari Islam setelah beberapa saat berada di dalamnya (sebagai muslim), ada beberapa sebab yang menentukannya. Untuk itu ada baiknya kita kaji terlebih dahulu kaidah-kaidah yang telah dikemukakan oleh para ulama, yang tentunya bersandar pada al-Qur’an dan sunnah. Berkata imam at-Thahawi: Orang-orang Islam dan orang yang beriman selama mereka mengakui apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw serta mereka membenarkan apaapa yang di benarkan dan disabdakan oleh beliau. Kami tidak mengkafirkan seseorang pun di antara ahli-ahli kiblat dengan sebab melakukan dosa, selama ia tidak menghalalkan dosa tersebut. Dan kami tidak mengatakan dengan dosanya itu mereka telah memberi mudharat kepada imannya. Dan seorang hamba itu tidak dinyatakan keluar dari iman, melainkan dengan mengingkari hukum-hukum (konsekuensi iman) yang telah ia selami. 10 9
Nawawi, Mukhtârul Hadîts (Beirut: Dâr al-Fikr, 2006), h. 17 Thahawi, Aqidah Thahawiyah, (Beirut : Dar al-Arrabiyyah wa an-Nasr, tth), h. 350-351
10
30
Berkata juga Imam al-Juwaini: bahwasanya barang siapa yang telah mengucapkan kalimat murtad dan beranggapan bahwasanya tidak demikian dalam hatinya dan hanya karena menjilat, maka ia telah kafir secara zahir dan batin. Kecuali apabila dipaksa atau ditekan untuk mengucapkan kalimat murtad, padahal hatinya beriman, maka ia tetap dalam keadaan Islam 11 . Sesuai dengan firman Allah SWT:
⌧ ☺ ☺ ☺ ⌧
⌧ (١٠۶ )اﻟﻨﺤﻞ
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (Dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (Dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar”. (QS. al-Nahl:104). Sebagaimana yang telah dinyatakan di atas, sesungguhnya iqrar dan tashdîq dua kalimat syahadat itu merupakan kunci dan pintunya iman dan Islam. Maka dari itu orang bisa dianggap keluar dari iman dan Islam apabila daripadanya lahir perkataan, perbuatan, dan i’tikad yang membatalkan ikrâr dan tashdîq terhadap dua kalimat syahadat, yang pada hakekatnya mempunyai makna mentauhidkan Allah swt, baik dalam rubûbîyyah-Nya, dalam asmâ dan sifât-Nya.
11
tth), h. 52
Alwi ibn Abdul Qadir as-Segaf, at-Tawasut wa al-Iqtisad (Kairo: al-Musaha Karthoum,
31
Di antara hal-hal yang dapat membatalkan iman seseorang, atau yang dapat mengantarkan seseorang kepada kemurtadan dapat dirinci menjadi tiga bagian, yakni: Murtad dalam itiqad, Murtad dalam perbuatan, Murtad dalam ucapan.
1.
Murtad dalam itiqad Yang termasuk dalam murtad itiqad adalah : a. Meragukan kebenaran atau keesaan Allah swt, serta menisbatkan sifat-sifat
yang mustahil bagi Allah. Seperti Allah itu mempunyai anak, istri, dan juga Allah mempunyai sifat mengantuk, tidur, lalai, mati, dan sebagainya. Begitu juga orang yang mengaku mempunyai sifat seperti yang dimiliki Allah swt, maka kafirlah orang yang demikian dan juga kafir bagi orang yang mempercayainya. b. Meragukan kerasulan Muhammad saw, atau juga meragukan Rasul-rasul atau Nabi-nabi lainnya, terutama mereka yang namanya tercantum dalam al-Qur’an. c. Meragukan kebenaran isi al-Qur’an walaupun hanya satu ayat. d. Meragukan adanya hari akhir (kiamat). e. Meragukan adanya surga dan neraka. f. Meragukan adanya pahala, atau siksaan (azab atau pembalasan amal). 2.
Murtad dalam perbuatan Pada bagian kedua, yaitu mengenai murtad yang terjadi karena perbuatan,
seperti : bersujud kepada berhala, matahari, atau makhluk lainnya. Meminta-minta kepada makhluk Allah, memuja-muja, menganggap memiliki kekuatan (kekuasaan) selain kekuasaan Allah.
32
3.
Murtad dalam ucapan Bagian ketiga, ialah murtad dalam ucapan, hal ini sangat banyak dan tidak di
sadari oleh manusia, bahwa apa yang diucapkannya itu dapat membuat ia keluar dari Islam. Di antaranya: Mengucapkan kepada orang muslim. Hai kafir, hai Yahudi, atau hai Nasrani. Sambil beritiqad bahwa orang yang dituju itu adalah orang yang beragama Islam, maka orang yang memanggil itu menjadi kafir. Karena Nabi Muhammad Saw bersabda:
ﺣ ُﺪ ُه َﻤﺎ َ ﺧﺎ ُﻩ َﻓ َﻘﺪْ َﺑﺎ ُء ِﺑ َﻬﺎَا َ ﻞ َا َﺟ ُ ِا َذا َآ َﻔ َﺮاﻟ ﱠﺮ “Apabila seorang laki-laki mengkafirkan saudaranya yang muslim, maka kafirlah itu kembali kepada salah seorangnya”. (Riwayat Muslim) 12 Oleh karena itu, barang siapa yang mengucapkan atau mengerjakan perkaraperkara yang menunjukkan keingkaran kepada ikrar syahadatnya maka batal syahadatnya dan keluar ia dari pintu Islam. Adapun bagi orang mukmin yang melakukan perbuatan dosa, maka tidak batal imannya sekalipun dia belum bertaubat, jika tidak ada perkara-perkara yang membatalkan syahadatnya. Dan jika Allah berkehendak maka dosanya bisa saja diampuni, dan jika Allah menghendaki lain maka dia dimasukkan ke dalam neraka, lalu setelah dari neraka baru Allah memasukkannya ke dalam surga. Pernyataan ini banyak di dukung oleh hadis sahih dan al-Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah akan membebaskan dari neraka kepada orang-orang yang ada iman di dalam hatinya walau hanya sebesar zarrah, di antaranya adalah firman Allah SWT: 12
Nawawi al-Bantani, Sullâm at-Taufiq (Surabaya: Dâr al-Ilmi, tth), h. 11-12
33
⌧ ☺ ⌧ (١١۶ )اﻟﻨّﺴﺎء “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan-Nya, dan mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendakiNya. barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, Maka Sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya. (QS. al-Nisa: 114) 13
ﺳﱠﻠ َﻢ ﻻَﻳَﺒْﻘَﻰ ﻓِﻲ اﻟﻨﱠﺎ ِر َﻣﻦْ ﻓِﻰ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ َ ﷲ ِ لا ُ ْﺳﻮ ُ ل َر َ ﺨﺪْرِي ﻗَﺎ ُ ْﺳ ِﻌﻴْ ٍﺪ َاﻟ َ ﻋﻦْ َاﺑِﻲ َ (ن )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري وﻣﺴﻠﻢ واﺣﻤﺪ ِ ﻹﻳْﻤَﺎ ِ ْﻦ ا َ ل َذ ﱠر ٍَﻩ ِﻣ ُ َﻗﻠْ ِﺒ ِﻪ ِﻣﺜْﻘَﺎ “Seseorang yang di dalam hatinya masih tertinggal setitik iman, tidak akan tetap tinggal di dalam neraka”. (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad).
B.
Pandangan tentang Makna Iman Menurut Aliran Kalam Di atas kita sudah membahas pengertian iman, dan hal-hal yang dapat
membatalkan iman, tetapi di dalam merumuskan iman itu sendiri terjadi banyak perbedaan pendapat di antara masing-masing aliran-aliran kalam. Ada yang menyatakan bahwa iman itu pembenaran dengan hati dan diucapkan dengan lisan secara bersamaan. Dan ada yang memasukkan amal perbuatan ke dalam konsep iman, dan juga yang menjadi perdebatan apakah iman itu bisa bertambah dan berkurang, ataukah orang yang melakukan dosa besar itu nasih mukmin ataukah ia sudah keluar dari muslim. Pada bab ini kita melihat pandangan konsep iman dari berbagai aliranaliran kalam, yang di antaranya adalah, Murji’ah, Mu’tazilah, dan al-Asy’ariyah.
13
Muhammad Na’im Yasin, Iman yang Menguatkan dan Yang Membatalkan Kajian rinci Dua Kalimat Syahadat, (terj) Abu Fahmi, h. 154
34
1.
Murji’ah Golongan Murji’ah menganggap iman cukup dinyatakan dalam hati, iman
ialah pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, tentang Rasul-rasul dan tentang segala apa yang datang tentang Tuhan. Iman tidak mempunyai sifat bertambah dan berkurang, dan tidak ada perbedaan di antara manusia dalam hal iman, dengan kata lain tidak ada perbedaan antara iman orang yang melakukan dosa besar dan iman orang-orang yang menjalankan perintah-perintah Tuhan 14 . Murji’ah menolak amal perbuatan dimasukkan ke dalam konsep iman, karena mereka melihat bahwa Allah membedakan antara iman dan amal di dalam al-Qur’an, seperti, ‘Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih’. Mereka berpendapat bahwa Allah menyeru manusia dengan dasar iman sebelum ada amal, dan Allah juga berfirman:
☺
☺ ( ٦ : )اﻟﻤﺎﺋﺪة “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”.(QS. Al-Maidah: 6). 15 Golongan Murji’ah mengatakan sekiranya seseorang beriman kepada Allah dan rasul-Nya pada suatu pagi lalu dia meninggal sebelum sampai mengerjakan amalamal yang diwajibkan atas dirinya, maka dia mati dalam keadaan mu’min dan 14 15
Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta: Ui Press, 1983), h. 27 Ibn Taimiyyah, al-Iman, h. 114
35
termasuk penghuni surga. Hal ini menunjukkan bahwa amal bukan termasuk iman. Golongan ini bersikap pasif terhadap pelaku dosa besar, tetapi lebih dari itu mereka menetapkan bahwa dosa tidak membahayakan iman. Mereka mengatakan bahwa iman adalah pengakuan, pembenaran, keyakinan, dan pengetahuan, mereka menganggap bahwa perbuatan maksiat tidak merusak iman. Iman terpisah dari perbuatan. Di antara kelompok ini ada yang bersikap ekstrim dengan beranggapan bahwa keimanan adalah keyakinan hati. Dengan demikian, jika seseorang menyatakan kekafiran dengan lidahnya, menyembah berhala, lalu ia mati, maka ia tetap seorang mu’min yang imannya sempurna di sisi Allah. 16 Karena mereka menganggap bahwa iman tempatnya hanya di dalam hati, bukan dalam bagian yang lain dari tubuh manusia. Pendapat-pendapat ekstrim seperti yang diuraikan di atas timbul dari pengertian bahwa perbuatan atau amal tidaklah sepenting iman, yang kemudian meningkat pada pengertian bahwa hanya imanlah yang penting dan yang menentukan mukmin atau tidak mukminnya seseorang, perbuatan-perbuatan tidak mempunyai pengaruh dalam hal ini. Iman letaknya dalam hati dan apa yang ada di dalam hati seseorang tidak diketahui oleh manusia lain. Selanjutnya perbuatan-perbuatan manusia tidak selamanya menggambarkan apa yang ada dalam hatinya. Oleh karena itu ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan seseorang tidak mesti mengandung arti
16
Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, (terj), Abd Rahman dan Ahmad Qarib (Jakarta: Logos, 1996), h. 145
36
bahwa ia tidak mempunyai iman. Yang penting ialah iman yang di dalam hati. Dengan demikian ucapan dan perbuatan-perbuatan tidak merusak iman seseorang. Ajaran-ajaran seperti ini dinilai oleh para ulama sangat berbahaya, karena dapat membawa pada moral yang lemah atau dapat membawa penyimpanganpenyimpangan moral di masyarakat. 17 2.
Mu’tazilah Iman itu tidak hanya pembenaran dalam hati dan ucapan dengan lisan. Tetapi
juga oleh perbuatan, oleh karena itu bagi kaum Mu’tazilah bahwa iman itu bukanlah tasdiq, dan iman dalam arti pengetahuan pun belumlah cukup, tetapi iman itu bagi kaum Mu’tazilah ialah amal yang timbul sebagai akibat mengetahui tentang Tuhan. Menurut Abd al-Jabbar orang yang mengetahui Tuhan tetapi melawannya bukanlah mukmin. Menurut Abû Huzail yang dimaksud dengan perintah-perintah Tuhan bukanlah yang wajib saja, tetapi meliputi pula yang sunnah. Sedangkan menurut alJubba’i bahwa yang dimaksud dengan perintah Tuhan hanya yang wajib saja. Sedangkan menurut al-Nazzam yang dimaksud dengan perintah Tuhan ialah menjauhi dosa-dosa besar. 18 Selanjutnya, bagi kaum Mu’tazilah bagi orang yang melakukan dosa besar ia tidak kafir, melainkan ia fasik. Ancaman hukuman bagi orang fasik di akhirat nanti adalah siksaan di neraka kalau ia belum sempat bertaubat. Tentunya konsep ini bertentangan dengan Asy’ariyah yang mengatakan bahwa orang yang fasik bisa saja
17 18
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 29 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 147
37
masuk surga tanpa ada siksaan dikarenakan Tuhan dengan rahman-Nya bisa membatalkan siksa bagi orang yang berdosa, dan kemudian memasukkannya ke dalam surga. Asy’ariyah mengunakan dalil bahwa Allah berfirman:
(۵٣: ) اﻟﺰّﻣﺮ “Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Zumar: 53). Menurut Abd al-Jabbar, ayat ini hanyalah menganjurkan kepada orang-orang agar tidak berputus asa dari kemungkinan ampunan Allah atas dosa-dosa mereka. Kemudian kata Abd al-Jabbar pada ayat sesudahnya diperintahkan agar orang-orang itu bertaubat kepada Tuhan dan berserah diri sebelum kedatangan siksa, yaitu firman Allah:
☺ ⌧ (۵٤ : )اﻟﺰّﻣﺮ “Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu Kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi)”. (QS. alZumar: 53). Kalau memang Tuhan akan memaafkan begitu saja. Ia tidak akan menyebutnyebut kedatangan siksaan sebagai ancaman bagi mereka kalau tidak bertaubat dan
38
berserah diri. Jadi mereka itu barulah dimaafkan kalau bertaubat dan karenanya tidak ada alasan di sini untuk mengatakan bahwa orang fasik akan di maafkan begitu saja 19 . 3.
Asy’ariyah Menurut Imam Asy’arî iman itu ialah pengakuan dalam hati tentang keesaan
Allah dan tentang kebenaran rasul-rasul-Nya apa yang segala mereka bawa, lalu mengucapkan dengan lisan. Asy’arî berpendapat seperti ini dengan tujuan untuk menetapkan orang yang fasik (berdosa besar) masih disebut orang mukmin. Bukti bahwa orang fasik itu masih disebut mukmin, bahwa orang fasik masih diberlakukan seperti orang mukmin di dalam menghukuminya. Bila mereka meninggal dunia, mereka masih dikuburkan di kuburan orang muslim dan dishalatkan serta di mandikan. Asy’arî mengatakan bahwa amal perbuatan itu tidak dimasukkan ke dalam konsep iman, alasannya jika amal perbuatan dimasukkan ke dalam konsep iman adalah orang yang berdosa besar hanya sekali akan bisa menghapus kebaikankebaikan yang pernah ia kerjakan dan ia akan kehilangan atribut imannya. Menurut Asy’ariyah orang yang fasik (berdosa besar) Tuhan bisa saja membatalkan siksanya, asalkan orang yang fasik ini memiliki iman walaupun hanya sedikit, pembatalan siksa ini disebut syafa’at. Menurut Asy’arî sesungguhnya syafa’at itu dimaksudkan untuk melepaskan siksa bagi orang-orang yang telah ditetapkan mendapatkan siksa. Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad Saw:
19
Machasin, al-Qadi Abd al-Jabbar Mutasyabih al-Qur’an Dalih Rasionalitas al-Qur’an (Yogyakarta: Lkis, 2000), h. 155-157
39
ﻦ اﻟ ﱠﻨﺎ ِر َ ن ِﻣ َ ْﺟﻮ ُ ﻦ ُﻳﺨْ َﺮ َ ْن اْﻟ ُﻤﺬْ ِﻧ ِﺒﻴ ِا ﱠ “Bahwa seluruh orang-orang yang melakukan dosa akan dikeluarkan dari neraka”. 20
ن َ ﺴﻮ ُ ﺿ ُﻊ ﻟﻸ ﻧﺒﻴﺎ ِء َﻣ َﻨﺎ ِﺑ ُﺮ ِﻣﻦْ ُﻧﻮ ٍر َﻳﺠِْﻠ َ ُﻳﻮ: ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ.وروي ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒّﺎ س ﻻ َاﻗْﻌ ُﺪ ﻋﻠﻴﻪ ﻗﺎ ِﺋﻤﺎ ﺑﻴﻦ ﻳ َﺪ يْ ر ﱢﺑﻰ: اوﻗﺎل. ﺲ ﻋَﻠﻴﻪ ُ ﻋَﻠﻴﻬﺎ َو َﻳﺒ َﻘﻰ ِﻣﻨْ َﺒ ٍﺮى ﻻ َاﺟِْﻠ . ب اﻣّﺘﻰ ا ﻣّﺘﻰ ّ ﻳﺎر: ﺚ ِﺑﻰ ِاَﻟﻰ اﻟﺠ ّﻨ ِﺔ وﺗﺒﻘﻰ اﻣّﺘﻰ ﺑﻌﺪى ﻓﺎْ ﻗﻮل َ ﻣﺨﺎﻓَ َﺔ ان ُﻳﺒْ َﻌ . ْﺴﺎ َﺑ ُﻬﻢ َﺣ ِ ﺠﻞ ﻋﱢ َ ب ﻳﺎ َر ﱢ: ل ُ ﻓﺎْ ُﻗﻮ. ﻚ َ ﺤ ﱠﻤ ُﺪ ﻣﺎ ُﺗ ِﺮﻳ ُﺪ ان اﺻﻨْ َﻊ ﺑﺎْ ﱠﻣ ِﺘ َ ﻳﺎ ُﻣ: ﻓﻴﻘﻮل اﷲ ﺠ ﱠﻨ َﺔ َ ﺧﻞ اﻟ ُ ْﺧﻞ اﻟﺠ ﱠﻨ َﺔ ِﺑﺮﺣْ َﻤ ِﺘ ِﻪ و ِﻣﻨ ُﻬﻢ َﻣﻦْ َﻳﺪ ُ ْ ﻓ ِﻤﻨْ ُﻬﻢ َﻣﻦْ َﻳﺪ. ﺳ ُﺒﻮن َ ﻋﻰ ﺑﻬﻢ َﻓ ُﻴﺤﺎ َ ْﻓ ُﻴﺪ ل َﻗﺪْ ُﺑ ِﻌﺚ ِﺑﻬﻢ اﻟﻰ اﻟﻨّﺎ ِر ٍ ﺻ َﻜﺎ ًآﺎ ﺑﺮﺟﺎ ِ ﻄﻰ َ ْل َا ﺷْ َﻔ ُﻊ ﺣﺘّﻰ ُاﻋ ُ ﻓﻤﺎ َا َزا. ﻋ ِﺘﻰ َ ﺸ َﻔﺎ َ ِﺑ ﺐ َر ﱢﺑﻚ ﻓﻰ ُاﻣّﺘﻚ ﻣﻦ ِﻧﻘﻤ ٍﺔ ِ ﻀ َ ﺖ اﻟ َﻐ َ ْ ﻳﺎﻣﺤﻤّ ُﺪ ﻣﺎ َﺗﺮآ: ل ُ ن اﻟﻨّﺎرَﻟ َﻴ ُﻘﻮ َ ﺣﺘّﻰ َﻣﺎِﻟ ًﻜﺎ ﺧﺎ ِز “Ibn Abbas ra menuturkan, bahwasanya Rasulullah saw berkata menerangkan. Pada hari kiamat para nabi disediakan mimbar dari cahaya. Mereka pada duduk di atas mimbar-mimbar tersebut, hanya mimbarku yang tidak aku duduki. Aku berdiri di hadapan Tuhanku, khawatir kalau-kalau diriku dikirim ke surga, tetapi setelah itu umatku tetap berada di tempatnya. Karena itu aku memohon kepada Tuhanku cepatkanlah hisab mereka. Mereka lalu dipanggil diperintahkan datang, kemudian dihisab. Di antara mereka ada yang masuk surga karena rahmat-Nya dan ada juga yang masuk surga karena syafa’atku. Aku terus memberikan syafa’at dan pada akhirnya aku diberikan kewenangan kekuasaan menyelamatkan sejumlah orang yang sudah dikirim ke neraka, sehingga malaikat Malik berkata. Ya Muhammad engkau tidak membiarkan umatmu ditimpa murka Tuhanmu”. 21
20
Abu Hasan al-Asy’ariyyah, al-Ibânah ‘an Usûl al-Diyânah (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah, 2005), h. 85 21 Muhammad al-Mâlikî, Syaraf al-Ummah al-Muhammadiyyah (Kairo: al-Musaha Karthoum, tth), h. 234
38
BAB IV KONSEP IMAN MENURUT IBN TAIMIYYAH Sebelum kita membahas lebih dalam tentang konsep iman menurut Ibn Taimiyyah, penulis akan menguraikan apa makna iman menurut Ibn Taimiyyah. Iman menurut Ibn Taimiyyah ialah tidak cukup hanya sekedar pembenaran hati dan juga lisan, tetapi juga harus disertai amal perbuatan. Banyak orang yang menyatakan dengan lisan-nya bahwa ia telah beriman, tetapi perbuatan mereka banyak yang melakukan hal-hal yang dilarang oleh syari’at. Sesuai dengan firman Allah SWT:
)اﻟﻨّﻮر
☺ (٤٧ :
“Dan mereka berkata: "Kami Telah beriman kepada Allah dan Rasul, dan kami mentaati (keduanya)." Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman”. (QS. al-Nur : 47) Menurut Ibn Taimiyyah ayat ini menafikan iman dari orang-orang yang berpaling dari ketaatan dan tidak mau memikirkannya. Ini merupakan nash al-Qur’ân yang sangat jelas. Ibn Taimiyyah mengatakan jika amal perbuatan disertakan ke dalam iman, dimaksudkan agar tidak ada yang beranggapan bahwa hanya dengan iman saja tanpa amal salih yang merupakan keharusan bagi iman, sudah cukup untuk
39
mendapatkan janji untuk masuk ke dalam surga. Penyebutan amal-amal salih merupakan pengkhususan terhadap nash yang sudah ada, agar dapat diketahui bahwa pahala yang dijanjikan di akhirat, yaitu berupa surga tanpa azab, tidak akan di berikan kepada orang yang beriman tanpa mengerjakan amal shalih. Adapun yang dimaksud dengan iman menurut Ibn Taimiyyah bahwa iman itu harus diwujudkan dengan amal perbuatan, maksudnya ialah mengerjakan perintahperintah yang wajib. Artinya jika seseorang muslim yang meninggalkan perbuatan yang sunnah, maka yang demikian itu tidak mempengaruhi iman-nya, tetapi jika meninggalkan hal-hal yang diwajibkan maka itu sangat mempengaruhi iman-nya 1
A. Iman Yang Global dan Iman Yang Terinci Di antara manusia ada yang beriman kepada para Rasul dengan keimanan global dan menyeluruh. Adapun keimanan yang terperinci adalah sebagaian besar apa yang dibawa oleh para Rasul yang sampai kepadanya (ia mengetahuinya) meski sebagian lainnya tidak. Apa yang tidak sampai kepadanya dan ia pun tidak tahu, namun seandainya sampai kepadanya ia tentu beriman kepadanya. Inilah yang disebut beriman kepada apa yang dibawa oleh para Rasul secara global. Apabila ia mengamalkan apa yang ia ketahui, yaitu apa yang diperintahkan oleh Allah SWT, untuk dilaksanakan dengan keimanan dan ketakwaannya, sesuai dengan apa yang dianjurkan oleh al-Qur’ân dan sunnah, maka itulah yang disebut
1
Ibn Taimiyyah, al-Iman, (terj), Kathur Suhardi (Jakarta: Darul Falah), h. 104
40
dengan keimanan yang terinci. 2 Perlu diketahui bahwa setiap hamba tidak dibebani kewajiban iman yang terinci. Tetapi kata Ibn Taimiyyah apabila seseorang yang mengetahui al-Qur’an dan sunnah serta makna-maknanya, maka ia diwajibkan atas dirinya iman yang terinci, berdasarkan pengetahuannya itu, tidak seperti yang diwajibkan atas orang lain. Tetapi apabila seseorang ini meninggalkan dari keimanan yang terinci maka ia tidak akan diazab oleh Allah. Sebaliknya apabila seseorang mengamalkan keimanan yang terinci ini, maka ia telah mencapai kesempurnaan dalam agamanya, sesuai dengan firman Allah swt:
☺
⌧ ⌧
☺ (١١ : )اﻟﻤﺠﺎ د ﻟﺔ
☺
“Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapanglapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. al-Mujadalah : 11) 2
Ibn Taimiyyah, al-Furqân Baina Auliâ al-Rahmân wa Aulia al-Syaithân (Beirut: Dâr alKutub Ilmiyah, tth), h. 20
41
Ayat tersebut menegaskan bahwa orang yang beriman kepada Rasulullah Saw itu bertingkat-tingkat, sebagian mereka keimanannya itu lebih besar dari pada yang lain sesuai dengan keilmuan yang sampai kepadanya. Demikian juga dari segi amal perbuatan, maka keimanan dari padanya ini adalah amal perbuatan, jika ia mengamalkan apa yang di bawa oleh Nabi Muhammad Saw. maka itu adalah bukti keimanan yang paling besar. Jadi orang yang mencari pengetahuan secara terinci dan mengamalkannya, maka imannya lebih sempurna daripada orang yang mengetahui apa yang diwajibkan atas dirinya, namun ia tidak mengamalkan semuanya. Menurut Ibn Taimiyyah, pembenaran yang mengharuskan amal hati (seperti takut kepada Allah SWT, tawakkal, mencintai Nabi Muhammad Saw dan berharap syafaat-nya), lebih sempurna daripada pembenaran yang tidak disertai dengan amal hati. Pengetahuan yang kemudian diamalkan oleh orangnya, lebih sempurna daripada pengetahuan yang tidak diamalkan orangnya. Jika dua orang sama-sama mengetahui bahwa Allah SWT adalah haq, Rasul-Nya adalah haq, surga adalah haq, lalu pengetahuan salah seorang di antaranya mendatangkan rasa cinta kepada Allah SWT, takut kepadanya, mengharapkan surga dan lari dari neraka, sementara pengetahuan yang satunya tidak mendatangkan hal-hal itu, maka dapat diketahui bahwa pengetahuan orang yang pertama lebih sempurna. 3 Kekuatan akibat merupakan bukti dan kekuatan sebab semua ini muncul dari pengetahuan. Pengetahuan tentang apa yang dicintai mengharuskan pencariannya dan 3
Ibn Taimiyyah, al-Iman (terj), Kathur Suhardi, h. 141
42
pengetahuan tentang apa yang ditakuti mengharuskan penghindaran darinya. Jika tidak ada sesuatu yang mengharuskan, menunjukkan kelemahan apa yang diharuskan karena itulah Nabi Muhammad Saw bersabda:
ﻦ ِ ﺲ اْﻟ ُﻤﺨْ َﺒ ُﺮ َآﺎ ﻟْ ُﻤ َﻌﺎ َﻳ َ َْﻟﻴ “Sesuatu yang dikabarkan tidak seperti yang dilihat dengan mata kepala”. Karena itulah ketika Allah mengabarkan kepada Musa bahwa kaumnya menyembah anak lembu, maka beliau tidak melempar lembaran al-kitab. Tetapi ketika melihat dengan mata kepala, beliau melemparkannya, itu terjadi bukan berarti Musa menyaksikan pengabaran Allah, tapi seakurat apapun suatu pengabaran dan sebenar apapun pemberi kabar, tetap tidak seperti gambaran ketika hal itu terlihat langsung di depan mata kepala. Bahkan hatinya hanya disibukkan dengan apa yang digambarkan, meski apa yang dikabarkan itu dapat di percaya. Sebagaimana yang diketahui ketika melihat dengan mata kepala itulah tampak apa yang dikabarkan, tidak hanya sebatas pengabaran. Pembenaran ini lebih sempurna daripada pembenaran yang lainnya. 4 Jadi amal-amal hati seperti mencintai Allah dan Rasul-Nya, taat kepada Allah, berharap kepada-Nya dan lain sebagainya, semua termasuk bagian dari keimanan seperti yang diisyaratkan al-Kitab dan al-Sunnah serta kesepakatan orang-orang salaf. Maka karena itulah manusia ada yang beriman dengan terinci dan ada yang beriman secara global.
4
Ibn Taimiyyah, al-Iman (terj), Kathur Suhardi, h. 142
43
B. Amal Perbuatan Termasuk Syarat Iman Iman bagi Ibn Taimiyyah ialah pembenaran dalam hati dan pengucapan dengan lisan, serta dibarengi dengan pembuktian yakni dengan amal perbuatan. Ibn Taimiyyah menambahkan konsep iman dengan amal perbuatan, dimaksudkan agar tidak ada orang yang beranggapan bahwa hanya dengan iman saja atau hanya dengan pembenaran dalam hati saja dan pengucapan dengan lisan, seseorang sudah cukup mendapatkan janji masuk surga, tanpa mereka memperdulikan amal perbuatannya. Justru amal shalih ini merupakan keharusan bagi iman. Dan sesungguhnya iman itu tidak bisa dipisahkan dengan amal salih. 5 Sebagaimana firman Allah swt:
☺
(٣–١ : )ا ﻟﻌﺼﺮ “Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal shalih dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran, dan nasehat menasehati supaya menetapi kebenaran”. (QS. al-Ashr : 1-3)
Ayat ini jelas bahwa iman itu tidak bisa dipisahkan dengan amal perbuatan salih, atau dengan kata lain yang dikatakan orang yang beriman itu adalah orang mewujudkan amal perbuatannya yang shalih. Tidak hanya pembenaran dalam hati dan pengucapan dengan lisan, tetapi ia membuktikan imannya itu dengan amal 5
Ibn Taimiyyah, al-Iman (terj), Kathur Suhardi, h. 119
44
perbuatan. Jadi penyebutan amal salih itu merupakan pengkhususan terhadap nash yang sudah ada, agar dapat diketahui bahwa pahala yang dijanjikan di akhirat, yaitu berupa surga tanpa azab, tidak akan diberikan kepada orang yang menyatakan iman tanpa beramal. Allah telah menjelaskan di beberapa ayat, bahwa orang-orang yang benarbenar dalam perkataannya. “Aku beriman”, harus melaksanakan kewajiban. Karena banyak orang yang mengaku beriman, tetapi ia tidak melakukan kewajibannya. Sebagaimana Allah berfirman:
☺
)ا ﻟﻨﻮر
(٤٧ : “Dan mereka berkata: "Kami Telah beriman kepada Allah dan Rasul, dan kami mentaati (keduanya)." Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman”. (QS. al-Nur : 47) Oleh karenanya iman itu perkataan dan perbuatan, keduanya tidak terpisahkan, sebagaimana yang sudah diterangkan di atas. Ibn Taimiyyah mengatakan hanya semata-mata pembenaran oleh hati dan ucapan lisan, tetapi disertai benci kepada Allah dan tidak menjalankan syariat-Nya ini adalah bukan iman, sampai pembenaran oleh hati itu bergandengan dengan amal shalih 6 . 6
109
Ibn Taimiyyah, al-Amar bi al-Ma’rûf wa an al-Munkar (Kairo: Maktaba Sunnah, tth), h.
45
Jadi yang dikatakan dengan iman yang sempurna ialah pembenaran hati, serta mewujudkan dengan amal yang nyata atau secara lahir. Hal ini merupakan harga mati, mustahil di dalam hati ada iman yang sempurna tanpa amal yang lahir. Sebagai misal, ada orang yang berkata, “Di dalam hatinya ada iman seperti iman yang ada di dalam hati Abû Bakar dan Umar”. Padahal dia tidak pernah sujud kepada Allah, tidak puasa Ramadhan, lalu ia berzina. Apakah orang semacam ini adalah orang mukmin yang sempurna. Tentu saja semua orang mukmin menolak pendapat ini. Bahkan al-Isfirayainy mengatakan, sesungguhnya orang mukmin itu menjadi orang mukmin yang sebenarnya jika dia mewujudkan imannya itu dengan amal salih. Sebagaimana orang berilmu yang disebut orang berilmu sebenarnya jika ia berbuat sesuai dengan ilmu yang dimilikinya 7 , sebagaimana Allah berfirman:
☺
☺
☺ ☺ ☺ ☺
7
Ibn Taimiyyah, al-Iman (terj), Kathur Suhardi, h. 90
46
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu, adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka dan kepada Tuhan-nya lah mereka bertawakkal, yaitu orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya”. (QS. Al-Anfal: 2-4).
Lebih lanjut al-Isfayainy mengatakan, bahwa hakikat iman menurut bahasa adalah pembenaran, yang tidak dapat terwujud kecuali dengan ma’rifat dan melaksanakan apa yang diperintahkan kepadanya, atau dapat dilakukan dengan isyarat dan kepatuhan sebagai ganti dari ungkapan lewat kata-kata (artinya, bagi orang yang bisu umpamanya, dapat melakukannya dengan isyarat, sebagai ganti dari ungkapan dengan kata-kata). Adapun tentang orang yang melakukan dosa besar, Ibn Taimiyyah mengatakan, dia tidak bisa disebut sebagai kafir di dalam hatinya, kecuali jika dia orang munafik, yang dimaksud dengan orang munafik, ialah dia yang telah mengucapkan syahadat dengan lisannya tetapi masih ada di dalam hatinya keraguraguan tentang Allah dan Rasul-Nya. Maka kata Ibn Taimiyyah, orang yang seperti ini akan kekal di dalam neraka, adapun bagi orang yang fasik atau melakukan dosa besar, maka orang tersebut tidak kekal di neraka, dan Allah akan masukkan dia ke dalam surga. 8
8
Syaikh Sa’id Abdul Azhim, Ibn Taimiyyah Pembaharu Salafi dan Dakwah Reformasi, (terj), Faisal Shaleh Lc (Jakarta: Pustaka Kausar, 2005), h. 213
47
Ibn Taimiyyah mengkritik Mu’tazilah yang mengatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar dan dia belum sempat bertaubat, maka orang itu akan kekal di dalam neraka. Mu’tazilah menyebut fasik kepada orang yang melakukan dosa besar, dan orang fasik sama seperti orang munafik yang akan kekal di neraka. Kaum Mu’tazilah memakai dalil, bahwasanya Allah berfirman
⌧ (۵٣ : )اﻟﺘﻮﺑﺔ “Katakanlah: "Nafkahkanlah hartamu, baik dengan sukarela ataupun dengan terpaksa, namun nafkah itu sekali-kali tidak akan diterima dari kamu. Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang fasik”. (QS. al-Taubah : 52) Menurut kaum Mu’tazilah setelah disebutkan bahwa infaq mereka tidak akan diterima, ini menunjukkan bahwa sebab tidak diterimanya adalah kefasikan mereka. Mu’tazilah mengatakan bahwa bentuk lahiriah dari ayat ini menunjukkan bahwa penafian penerimaan itu terjadi karena kefasikan. 9 Ibn Taimiyyah mengkritik Mu’tazilah bahwa yang kekal di dalam neraka, adalah orang kafir dan orang munafik, kalau setiap orang yang melakukan dosa besar dikatakan sebagai orang fasik atau munafik dan akan kekal di neraka, lalu apa gunanya syafaat yang akan diberikan kepada Nabi Muhammad Saw kepada umatnya. Sementara Nabi Muhammad Saw apabila didatengi seseorang yang membutuhkan
9
158
Muhsin, al-Qadhi Abd Jabbar Mutasyabih al-Qur’an Dalih Rasionalitas al-Qur’an, h. 157-
48
sesuatu, maka beliau bersabda kepada para sahabat-Nya,’ Baiklah dia syafa’at 10 , niscaya kalian akan mendapat pahala, dan Allah akan memenuhi lewat lisan Nabi-nya menurut apa yang di kehendaki-Nya. Atas dasar ini maka Ibn Taimiyyah membagi kezhaliman menjadi tiga macam: Pertama; kezhaliman yang berupa kemusrikan dan tidak ada syafa’at di dalamnya., kedua; kezhaliman sebagian manusia terhadap sebagian yang lain, dengan keharusan pemenuhan hak bagi orang yang dizhalimi, yang harus di lakukan oleh orang yang berbuat zhalim., ketiga; orang yang menzhalimi dirinya sendiri, seperti sering melakukan dosa besar, orang yang seprti ini kata Ibn Taimiyyah masih dalam keadaan Islam, dan dia tetap ahli tauhid (masih dalam keadaan bertauhid) meskipun ia zhalim kepada dirinya sendiri, dan dalam hal ini dia termasuk orang yang mendapatkan syafa’at 11 .
C. Kritik Ibn Taimiyyah Terhadap Aliran Kalam Tentang Makna Iman Ibn Taimiyyah mengkritik keras terhadap golongan Murji’ah, yang menganggap bahwa iman itu hanya sekedar pembenaran dalam hati dan pengetahuannya dan menganggap bahwa iman seseorang sama semua, dan menganggap seseorang menjadi orang mukmin secara sempurna hanya dengan hatinya. Dengan gambaran ini dia dapat mencaci maki Allah dan Rasul-Nya, bahkan seseorang boleh saja menampakkan perilakunya sebagai orang yang kafir. Menurut
10 11
Ibn Taimiyyah, al-Iman (terj), Kathur Suhardi, h. 53 Ibn Taimiyyah, al-Iman, (terj), Kathur Suhardi, h. 68
49
mereka yang hatinya tidak sama dengan perlakuannya, karena seseorang tidak dapat mengetahui hati seseorang. Ibn Taimiyyah memandang pemikiran mereka ini sangat berbahaya, karena mereka tidak hanya mengabaikan amal perbuatan saja tetapi mereka juga mengabaikan
pengakuan
dengan
lisan.
Ibn
Taimiyyah
tidak
segan-segan
mengkafirkan mereka, karena sesungguhnya Iblis menjadi kafir dikarenakan kesombongan mereka tidak mau melaksanakan perintah Allah untuk sujud kepada Nabi Adam, bukan karena Iblis mendustakan pengabaran. Begitu pula Fir’aun dan kaumnya. Firman Allah tentang mereka:
☺ ⌧
⌧
(١٤ : ) اﻟﻨﻤﻞ
☺
“Dan mereka mengingkarinya Karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan”. (QS. al-Naml : 14) Ayat ini menegaskan bahwa seseorang itu menjadi kafir, karena amal perbuatannya jelas jelas sudah tidak seperti seorang muslim, walaupun di dalam hatinya mengetahui, dan ayat di atas menunjukkan bahwa Fir’aun tahu Allah menurunkan ayat-ayat dan dia termasuk makhluk Allah yang paling ingkar, karena kehendaknya yang rusak, bukan karena dia tidak mempunyai ilmu. 12
12
Ibn Taimiyyah, al-Iman, (terj), Kathur Suhardi, h. 111
50
Ibn Taimiyyah mengutip perkataan Imam Ahmad ibn Hambal yang mengatakan: Golongan Jahmiah berkata, dengan ketetapannya seseorang harus disebut mukmin. Jika dia mengakui zakat secara keseluruhan dan tidak mengeluarkan lima dirham dari dua ratus dirham yang dimilikinya, maka dia tetap mukmin. Maka dia harus mengatakan, jika dia menetapkan pengakuan kemudian main judi, menyembah kepada salib, melakukan dosa besar, namun dia tetap mengakui Allah maka dia harus disebut mukmin. Menurut Imam Ahmad ibn Hambal tentu saja ini pendapat yang batil. Ibn Taimiyyah juga mengkritik keras kaum Mu’tazilah yang mengatakan, bahwa orang yang melakukan dosa besar berarti ia telah fasik dan munafik, dan apabila ia mati sebelum bertaubat maka ia akan kekal di neraka. Ibn Taimiyyah mengatakan yang di maksud dengan orang yang munafik dan akan kekal di neraka, bukan orang Islam yang melakukan dosa besar. Tetapi orang munafik yang akan kekal di neraka ialah orang yang mengucapkan dengan lisannya syahadat dan telah mengaku beriman, tetapi di dalam hatinya masih terdapat keragu-raguan tentang keesaan Allah SWT, juga kerasulan Muhammad Saw, dan juga meragukan rukun iman. Adapun orang yang berdosa besar ia tidak dimasukkan ke dalam golongan itu. Ibn Taimiyyah berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu masih mempunyai iman walaupun hanya sedikit 13 , dan ia setelah di neraka akan di masukkan ke dalam
13
Ibn Taimiyyah, al-Iman, (terj), Kathur Suhardi, h. 186
51
surga oleh Allah SWT. Jadi orang yang berdosa besar dan belum sempat bertaubat, ia masih muslim dan tidak akan kekal di neraka. Sesuai dengan sabda Nabi Saw:
ﻻ ُﻳﺒْ ِﻘﻲْ ِﻓﻲ اﻟ ﱠﻨﺎ ِر َﻣﻦْ ِﻓﻰ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ َ ﷲ ِ ﺳﻮْل ا ُ ل َر َ ﺨﺪْ ِري َﻗﺎ ُ ْﺳ ِﻌﻴْ ٍﺪ َاﻟ َ ﻋﻦْ َا ِﺑﻲ َ ( ن )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري وﻣﺴﻠﻢ ِ ﻹﻳْ َﻤﺎ ِ ْﻦ ا َ ل َذ ﱠر ٍَﻩ ِﻣ َ َﻗﻠْ ِﺒ ِﻪ ِﻣﺜْ َﻘﺎ “Seseorang yang di dalam hatinya masih tertinggal setitik iman, tidak akan tetap tinggal di dalam neraka”. (HR, Bukhori, Muslim). Dengan begitu diketahui bahwa siapa yang memiliki iman, meskipun hanya sedikit, dia tidak akan kekal di neraka. Jika di dalam hatinya banyak kemunafikan, maka dia akan diazab di dalam neraka sebanyak kadar kemunafikan yang dimilikinya, kemudian dia akan dikeluarkan dari neraka. Karena itulah Allah SWT berfirman tentang orang-orang Arab Badui:
☺
☺ ☺
⌧
☺ ⌦
⌧
“Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami Telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi Katakanlah 'kami Telah tunduk', Karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Hujarat : 14)
52
Ibn Taimiyyah mengatakan bahwa dalam ayat ini Allah menafikan masuknya hakikat iman ke dalam hati mereka. Hal ini seperti penafian iman dari orang yang berzina, mencuri, yang tidak mencintai bagi saudaranya apa yang dia cintai bagi dirinya sendiri, dan lain sebagainya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa Ibn Taimiyyah menetapkan orang-orang yang durhaka dan yang melakukan dosa besar, tidak kekal di dalam neraka. Berarti di hadapan mereka masih terbuka pintu harapan kepada Allah. Selagi orang muslim tidak melakukan dosa syirik kepada Allah, maka harapan masih terbuka di hadapannya dan masih ada kesempatan baginya untuk menambal kekurangan dan mendorongnya kembali kepada Allah, karena Allah menerima taubat orang-orang yang berbuat keburukan14 . Adapun pandangan Asy’ariyah tentang makna iman, Asy’ari mengatakan bahwa iman itu pembenaran dalam hati dan pengucapan dengan lisan. Tetapi Asy’ari tidak memasukkan amal perbuatan ke dalam konsep iman, dengan alasan bahwa apabila amal perbuatan dimasukkan ke dalam konsep iman, dikhawatirkan nanti orang yang melakukan dosa besar hanya sekali bisa menghapus kebaikankebaikannya yang pernah ia kerjakan, dan ia akan kehilangan atribut iman. 15 Ibn Taimiyyah sependapat dengan Asy’ari, tetapi ia mengkritik pandangan Asy’ari yang mengatakan amal perbuatan tidak dimasukkan ke dalam konsep iman. Menurut Ibn Taimiyyah bahwa iman itu tidak dapat dipisahkan dari amal perbuatan, ia mengatakan bahwa banyak orang yang menyatakan dengan lisan-nya bahwa ia 14
Ibn Taimiyyah, al-Iman, (terj), Kathur Suhardi, h. 187 Tsuraya Kiswati, al-Juwaini Peletak Dasar Teologi Rasional Dalam Islam (Jakarta: Erlangga, tth), h. 185 15
53
telah beriman tetapi perbuatan mereka telah banyak melakukan hal-hal yang di larang oleh syari’at, yang demikian itu bukanlah iman. Sesuai dengan firman Allah SWT:
☺
)
( ٨ : اﻟﺒﻘﺮة “Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian pada hal mereka itu Sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman”. (QS. al-Baqarah : 8) Ibn Taimiyyah mengatakan bahwa iman tidak cukup hanya dengan lidah, tidak pula dengan pembenaran hati saja, bahkan tidak cukup dengan pengakuan lidah dan pembenaran hati secara bersama-sama. Ibn Taimiyyah mengatakan iman itu ada tiga syarat secara terpadu, yaitu: pengakuan dengan lisan, pembenaran dengan hati, dan amal dengan anggota tubuh atau mengerjakan apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, meninggalkan apa yang dilarang Allah dan Rasul-Nya 16 . Selanjutnya Ibn Taimiyyah mengatakan, bahwa Allah menafikan iman dari diri mereka dengan firman-Nya:
☺
☺ ☺
16
Ibn Taimiyyah, al-Iman, (terj), Kathur Suhardi, h. 88
54
“Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami Telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi Katakanlah 'kami Telah tunduk', Karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. al-Hujarat : 14)
)اﻟﻨّﻮر
☺ (٤٧ :
"Dan mereka berkata: "Kami Telah beriman kepada Allah dan Rasul, dan kami mentaati (keduanya)." Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman".(QS. al-Nur : 47)
⌧ ⌧ "Dan ia tidak mau membenarkan (Rasul dan Al Quran) dan tidak mau mengerjakan shalat, tetapi ia mendustakan (Rasul) dan berpaling (dari kebenaran)". (QS. al-Qiyamah: 31-32) Dengan begitu, dapat diketahui bahwa berpaling di sini bukan mendustakan, tapi berpaling dari ketaatan. Manusia harus membenarkan Rasul tentang apa yang dikabarkannya, dan harus mentaatinya tentang apa yang diperintahkannya. Di dalam al-Qur’an dan al-sunnah banyak disebutkan penafian iman dari orang yang tidak beramal, seperti disebutkannya penafian iman dari orang-orang
55
munafik. Orang yang tahu dengan hatinya, namun ia memusuhi dan menyalahi secara lahir, maka orang semacam ini sama sekali tidak disebut orang mukmin. 17
17
Ibn Taimiyyah, al-Iman, (terj), Kathur Suhardi, h. 88
55
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan kalau kita memperhatikan pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyyah, nampak sebagian besar aktivitas ilmiahnya dicurahkan untuk mengungkap penyimpangan pemikiran Islam yang ada di tengah-tengah masyarakat. Ibn Taimiyyah, juga memberikan penjelasan atas berbagai hal yang masih dianggap bisa dalam ajaran Islam. Salah satunya adalah yang berhubungan dengan konsep iman yang masih banyak disalah tafsirkan yang akibatnya iman adalah tidak sesuai dengan ajaran Islam atau dengan kata lain, iman ditempatkan bukan pada posisinya dengan akhirnya banyak penyimpangan makna iman dari ajaran Islam. Dari seluruh pembahasan skripsi ini dapat dipetik beberapa butir kesimpulan diantaranya: 1. Ibn Taimiyyah menjelaskan konsep iman adalah pembenaran dalam hati dan pengakuan dengan lisan, serta diwujudkan dengan amal perbuatan secara zhahir. Bagi Ibn Taimiyyah seseorang tidak bisa disebut orang mukmin jika hanya membenarkan dalam hati dan ucapan tanpa ada amal perbuatan. Ia menyatakan banyak orang yang menyatakan dengan lisannya bahwa ia telah beriman, tetapi mereka telah banyak melakukan hal-hal yang dilarang oleh syari’at, yang demikian itu bukanlah iman.
56
2. Ibn Taimiyyah memasukkan amal perbuatan kedalam konsep iman, agar tidak ada orang yang beranggapan bahwa iman hanya pembenaran dengan hati dan ucapan saja, tanpa adanya amal perbuatan seseorang sudah cukup mendapatkan janji masuk surga tanpa azab, tanpa mereka memperpedulikan amal perbuatan. 3. Iman itu dapat bertambah dan bertkurang. Jika seseorang menyebut nama Allah dan memuji-Nya maka itu merupakan penambahan iman, jika seseorang lupa dan lalai melakukannya maka itu merupakan pengurangannya.
B. Saran-Saran Pada akhir pembahasan ini penulis ingin menyampaikan beberapa saran antara lain: 1. Penulis menyadari bahwa skripsi ini mungkin mempunyai keterbatasan dan kekurangan. Oleh karena itu penulis menyarankan kepada pembaca agar menelaah lebih lanjut pemikiran tokoh ini. 2. Dari pembahasan penulis terhadap pokok-pokok pemikiran Ibn Taimiyyah tentang konsep iman, penulis memandang dan menyepakati pemikiran beliau dan menyarankan kepada setiap pembaca memiliki keimanan yang tidak hanya di dalam hati saja tetapi harus diwujudkan dengan amal perbuatan, kita melihat sekarang banyak orang yang memiliki ilmu begitu tinggi tetapi dia tidak mempunyai rasa takut kepada Allah SWT, mereka mengetahui bahwa korupsi itu haram, tetapi dia tetap berani korupsi. Karena dengan konsep iman
57
inilah yang telah dipaparkan oleh Ibn Taimiyyah, kita menjadi seorang muslim yang sejati yang takut kepada Allah SWT. Dengan begitu kita akan melahirkan generasi-generasi yang bertakwa kepada Allah SWT. Alangkah bahagia kalau di suatu negeri banyak orang-orang yang bertakwa kepada Allah SWT, dengan begitu tidak ada lagi kejahatan dan para koruptor yang berani korupsi. 3. Penulis juga berharap semoga kita dapat mengambil pelajaran dari konsep iman menurut Ibn Taimiyyah ini, dan dapat kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Sirajuddin. I’tiqad Ahlu Sunnah Wal Jamaah, (Jakarta : Pustaka Tarbiah, 2006). -------------------. 40 Masalah Agama, (Jakarta: Pustaka Tarbiah, 2005). Abu Zahrah, Muhammad. Aliran Politik Dan Aqidah Dalam Islam. (terj), Abd Abdul Rahman dan Ahmad Qarib, (Jakarta : Logos, 1996). Azhim, Said. Ibn Taimiyyah Pembaharu Salafi dan Dakwah Reformasi, (terj), Faisal Saleh Lc (Jakarta : Pustaka Kausar, 2005). Afandiy, Husain Memperkokoh Aqidah Islamiyyah, (terj), Abdullah Zakiy al-Kaaf (Bandung : Pustaka Setia, 1999). al-Asy’ariyyah, Abu Hasan. al-Ibânah fi Usûl al-Diyânah, (Beirut : Dar al-Kutub alIlmiah, 2005). al-Bantani, Nawawi. Qothrul Ghoits, (Indonesia : Darul Ihya, tth). ------------------------. Sullâm at-Taufiq, (Surabaya : Darul Ilmi, tth). Dahri, Harapandi. Pemikiran Teologi Sufistik Syekh Abdul Qadir Jaelani, (Jakarta : Wahyu Press, 2004). Henri Loust, Ibn Taimiyyah’, Encyclopaedia of Islam, (ttp). Hafidz, Abdul. Risalah Aqidah, (Jakarta: Aulia Press, 2007). al-Juwainî, Abd al-Malik. (al-Irsyâd ‘ala Quwati al-Adillah), (Mesir : Matba’ah alMaktaba al-Khariji, 1959). Kiswati, Tsuraya. al-Juwaini Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, (Jakarta : Erlangga, tth). al-Mâlikî, Muhammad Alwî. (Mafâhim Yajib an-Tasaha, (Kairo::al-Musaha Karthoum). ---------------------------------------. Syaraf al-Ummah al-Muhammadiyyah, (Kairo : alMusaha Karthoum, tth).
Machasin, al-Qadi Abd al-Jabbar Mutasyabih al-Qur’an Dalih Rasionalitas alQur’an, (Yogyakarta : Lkis, 2000). Muhammad Abduh, Risâlah at-Tauhîd, (Kairo: Dar al-Manar, 1366 H). Muhammad sharif Khan dan Anwar Saleem, Muslim Philosophy and Philosophers, (Delhi : Ashish Pubishing Housw, 1994). Nawawi, Mukhtârul Hadîts, (Beirut : Dar al-Fikr, 2006). Nasution, Harun. Teologi Islam, (Jakarta : UI Press, 1983). Sabiq, Sayyid. Aqidah Islamiyah, (terj), Ali Mahmudi, (Jakarta : Robbani Press, 2008). al-Segaf, Alwi ibn Abdul Qadir. at-Tawasut wa al-Iqtisad, (Kairo : al-Musaha Karthoum, tth). Thahawi, Aqidah Thahawiyah, (Beirut : Dar al-Arrabiyyah wa an-Nasr, tth). Taimiyyah, Ibn. Al-Aqidah al-Wasatiyah, (Beirut : Dar al-Arabiyyah wa an-Nasr,tth) -------------------. al-Amar bil Ma’rûf Wa al-Nahyu An al-Munkar (Kairo : Maktaba Sunnah). -------------------. al-Iman. (terj), Kathur Suhardi, (Jakarta : Darul Falah, 2007). -------------------. Majmu Fatâwa, (terj), Izzudin karimi Agus Hasan Bashori Lc, Kitab Tauhid, (Jakarta : Uii, 2001). ------------------. al-Furqân Baina Auliâ ar-Rahmân wa Aulia al-Syaithân, (Beirut : Dar al-Kutub Ilmiah, tth). Yasin, Muhammad Na’im. Iman Yang Menguatkan dan Yang Membatalkan Kajian Rinci Dua Kalimat Syahadat, (terj) Abu Fahmi, (Jakarta : Gema Insan Press, 1990). Zein bin Ibrahim bin Sumaith, Hidayatuh al-Tâlibin fi Bayân Muhimmatuddîn, (Yaman: Dar Ilmi wa ad-Da’wa, 2007). Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, (Jakarta : Rineka, 1996).