p-ISSN 2502-4981
e-ISSN 2549-290X
Jurnal
ASUHAN IBU ANAK
&
Volume 2
|
Nomor 1
|
Februari 2017
Alamat Redaksi: STIKES ‘Aisyiyah Bandung Jl. KH. Ahmad Dahlan Dalam No. 6 Bandung 40264 Telp. (022) 7305269, 7312423 - Fax. (022) 7305269
DEWAN REDAKSI
&ANAK (JAIA)
JURNAL ASUHAN IBU
Volume 2 | Nomor 1 | Februari 2017
Pelindung: Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan ‘Aisyiyah Bandung Penanggung Jawab: Santy Sanusi, M.Kep.
Ketua: Sajodin, S.Kep., M.Kes., AIFO. Sekretaris: Diah Nurindah Sari, SKM. Bendahara: Riza Garini, A.Md.
Penyunting/Editor: Giari Rahmilasari, S.ST., M.Keb. Nurhayati, SST Perla Yualita, S.Pd., M.Pd.
Setting/Layout: Aef Herosandiana, S.T., M.Kom. Pemasaran dan Sirkulasi : Ami Kamila, SST
Mitra Bestari : DR. Intaglia Harsanti, S. Si., M.Si Ari Indra Susanti, S.ST,. M.Keb. Dewi Nurlaela Sari, S.ST., M.Keb.
Alamat Redaksi: Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan ‘Aisyiyah Jl. KH. Ahmad Dahlan Dalam No. 6, Bandung Telp. (022) 7305269, 7312423 - Fax. (022) 7305269 E-mail:
[email protected]
DAFTAR ISI 1. Pengaruh Buklet dan Ceramah Tanya Jawab terhadap Pengetahuan Mengenai Deteksi Kanker Serviks Sri Wisnu Wardani, Tita Husnitawati Madjid, Sari Puspa Dewi ...........................................
1 - 11
Cherly Marlina, Ida Widiawati, Yulinda .................................................................................................
13 - 23
Elmi Nuryati, Desi Ari Madiyanti .............................................................................................................
25 - 30
Angga Wilandika ...........................................................................................................................................
31 - 40
Neneng Widaningsih .....................................................................................................................................
41 - 51
Yusi Sofiyah, Allenidekania, Happy Hayati .......................................................................................
53 - 61
2. Pengaruh Video dalam Model TKIP terhadap Keikutsertaan Ibu Hamil Test HIV
3. Penggunaan Pembalut yang Aman untuk Kesehatan Reproduksi
4. Kajian Intervensi Pencegahan Perilaku Seksual Berisiko HIV dalam Peningkatan Self-Efficacy pada Remaja
5. Pengaruh Konseling dan Penyuluhan terhadap Kualitas Hidup Menopause
6. Edukasi Terapeutik sebagai Metode Pengendalian Infeksi pada Pasien Anak dengan Kanker
&ANAK
JURNAL ASUHAN IBU
JAIA 2017;2(1):53-61
EDUKASI TERAPEUTIK SEBAGAI METODE PENGENDALIAN INFEKSI PADA PASIEN ANAK DENGAN KANKER Yusi Sofiyah1, Allenidekania 2, Happy Hayati 2 Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia 2 Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
1
ABSTRAK Penelitian ini dilatar belakangi oleh adanya penurunan sistem imunitas pada anak kanker. Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan diterapkan pada 5 orang pasien anak kanker yang mengalami masalah penurunan sistem imunitas. Penelitian bertujuan mendeskripsikan penerapan model Adaptasi Roy dalam asuhan keperawatan pada anak kanker yang mengalami penurunan sistem imunitas. Peran peneliti yaitu membuktikan edukasi terapeutik sebagai salah satu teknik edukasi dalam pencegahan infeksi pada pasien dengan penurunan sistem imunitas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa metode pendidikan kesehatan dengan edukasi terapeutik mampu meningkatkan tingkat kepatuhan keluarga dalam pencegahan infeksi. Dalam melakukan asuhan keperawatan, diharapkan mampu melakukan edukasi terapeutik dalam melakukan tindakan pencegahan perluasan infeksi. Kata kunci : demam neutropenia, edukasi terapeutik, model Adaptasi Roy, praktik keperawatan anak Abstract
This research was motivated by the decline in the child’s immune system cancer. Role as providers of nursing care applied to 5 patients with cancer children who are having problems decline in the immune system. The study aims to describe the application of Roy Adaptation model of nursing care for children in cancer decreased immune system. The role of researchers is proving therapeutic education as one of the engineering education in the prevention of infection in patients with immune system deficiencies. The results showed that the method of health education with therapeutic education can improve the level of compliance of the family in the prevention of infection. In doing nursing care, are expected to educate the therapeutic precautions extension of infection. Keywords: children nursing practice, febrile neutropeni, Roy Adaptation model, therapeutic education
53
Yusi Sofiyah, Allenidekania, Happy Hayati
LATAR BELAKANG
METODOLOGI
Kanker merupakan salah satu penyebab kematian terbesar pada anak. Perkiraan angka kematian terkait kanker adalah 80 ribu per tahun di seluruh dunia (International of Agency for Cancer Research, 2016). Menurut data dari World Health Organization (2010), setiap tahun penderita kanker di dunia bertambah 6,25 juta orang. Dari jumlah tersebut, empat persen atau sekitar 250 ribu penderita adalah anak-anak.
Salah satu metode yang bisa digunakan untuk keluarga dan pasien dengan penyakit kronis adalah metode edukasi terapeutik. Menurut WHO (1998), edukasi terapeutik adalah pendidikan terapi untuk membantu pasien dalam memperoleh atau mempertahankan keterampilan yang mereka butuhkan untuk mengelola hidup secara optimal pada pasien dengan penyakit kronis.
Jika anak terdiagnosis kanker, maka akan menjalani pengobatan, diantaranya adalah kemoterapi. Kemoterapi adalah pengobatan pada kanker yang bertujuan untuk membunuh sel ganas dan mencegah terjadinya penyebaran sel kanker ke lokasi lain (Kline, 2011). Selain memberi manfaat untuk mematikan sel kanker, kemoterapi memiliki efek samping yang tidak dapat dihindari oleh para penderita kanker. Infeksi merupakan salah satu efek samping dari pemberian kemoterapi. Hal ini terjadi karena beberapa obat kemoterapi menimbulkan mielosupresi yang mengakibatkan penurunan neutrofil dan leukosit. Oleh karena itu, sangat penting melakukan manajemen dan pencegahan infeksi pada pasien anak yang terdiagnosa kanker dan pasca kemoterapi. Salah satu pengobatan yang dilakukan pada pasien yang mengalami neutropenia adalah dengan pemberian Antibiotik.
Selain pemberian antibiotik, pendidikan kesehatan juga penting diberikan kepada keluarga dengan anak yang mengalami neutropenia (Gelesson, Hiraishi , Ribeiro, Pereira, Gutiérrez & De Domenico, 2009). Ners Spesialis Keperawatan Anak memegang peran sebagai pendidik dan peneliti, berperan memberikan metode yang bisa digunakan untuk melakukan edukasi berdasarkan Evidence Based Practice Nursing.
&
JURNAL ASUHAN IBU
Teori Model Adaptasi Roy bertujuan untuk mempromosikan adaptasi pasien dengan merubah stimulus yang maladaptif menjadi adaptif dan memperkuat stimulus adaptif. Penerapan teori Model adaptasi Roy melalui intervensi edukasi terpaeutik pencegahan infeksi diharapkan pasien kanker mampu beradaptasi dengan kondisi penurunan sistem imunitas.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang pelaksanaan teori model Adaptasi Roy pada pasien anak kanker yang mengalami penurinan sistem imunitas melalui intervensi edukasi dengan metode edukasi terapeutik di ruang Non Infeksi RSCM. Metode yang digunakan dalam studi ini adalah studi kasus. Kasus yang diambil adalah lima kasus. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini anak kanker yang mengalami penurunan kadar neutropenia sebagai efek dari penyakit kanker dan efek pemberian kemoterapi mulai bulan Februari hingga Mei 2016. Data dikumpulkan dengan menggunakan prinsip-prinsip dasar etika penelitian yaitu respect for human dignity seperti autonomy, beneficience, nonmaleficience dan justice. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kasus 1, An. R, laki-laki usia 10 tahun, dengan diagnose AML relaps, hasil pengkajian tanggal 15 Januari 2016, data fisiologis perilaku dan stimulus menunjukan bahwa pasien mengalami nyeri perut dengan skala nyeri
ANAK | Volume 2 | Nomor 1 | Februari 2017
54
Edukasi Terapeutik sebagai Metode Pengendalian Infeksi pada Pasien Anak dengan Kanker
menggunakan Visual Analogue Scale (VAS) tujuh, makanan habis lima sampai enam sendok dalam sekali makan, muntah satu kali. Mengalami riwayat demam dengan suhu 38,3◦C, terdapat perdarahan spontan pada hidung, ptekie pada punggung dan kaki, diare sebanyak lima kali dan jumlah ANC: 0.
Diagnosis keperawatan yang ditegakan pada pasien yaitu nyeri kronis, ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan, hipertermi, risiko kurang volume cairan, kerusakan membran mukosa oral, potensial komplikasi (PK) kanker (perdarahan, anemia) dan risiko perluasan infeksi.
Intervensi yang bersifat regulator adalah memberi Antibiotik Ceftazidime 4 x 1500 mg/ IV dan Amikasin 1x 350 mg/ IV, memantau konsistensi dan frekuensi b.a.b, memantau masukan dan haluaran pasien dengan cermat, dan mempertahankan pasien di ruang isolasi. Intervensi yang bersifat kognator diantaranya adalah membantu pasien mengurangi nyeri dengan relaksasi dan distraksi,. menganjurkan ibu memberi anak makan dengan porsi sedikit tapi sering dan edukasi terapeutik cara pencegahan infeksi. Evaluasi setelah dua minggu perawatan adalah nyeri sudah berkurang, diare sudah tidak lagi, b.a.b konsistensi lembek, satu kali sehari, demam sudah tidak ada (bebas demam dua hari), tidak meningkat (0) masukan dan haluaran balans +50 ml/24 jam diuresis 3,8 ml/kg/jam, perluasan infeksi masih berisiko, dan respon pasien adaptif terhadap penurunan sistem imunitas. Kasus 2, An. A, perempuan, usia 3 tahun 4 bulan, terdiagnosa Akut Limfoblastik Leukemia (ALL) L1 Standar Risk. Dari hasil pengkajian tanggal 22 Februari 2016, data fisiologis perilaku dan stimulus didapatkan pasien mengeluh mual, makan habis ¼ porsi, suhu badan 37,9oC, kemarin b.a.b diare lima kali, dengan konsistensi cair dan 55
ampas, tiga kali ada lendir. Pagi ini baru satu kali masih cair dan ampas. Tadi malam ada muntah satu kali, ANC : 320.
Diagnosis keperawatan yang ditegakan antara lain Nyeri akut, hipertermi, risiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan, risiko kurang volume cairan dan risiko perluasan infeksi. Intervensi yang bersifat regulator antara lain, memberi Oralit 100 ml/ oral setiap kali diare, Zink1 x 20 mg / oral, Antibiotik Cefotaxime 4 x 650 mg/ IV, melakukan manajemen demam, memberi menu diet sesuai program, memantau masukan dan haluaran dengan ketat. Intervensi kognator antara lain mengajarkan cara mengurangi nyeri dengan distraksi, mengajarkan ibu manajemen demam yang bisa dilakukan oleh keluarga dan edukasi terapeutik pencegahan infeksi.
Evaluasi setelah lima hari perawatan nyeri sudah berkurang (VAS 1) pasien sudah tidak mengeluh nyeri, wajah tidak meringis, demam sudah tidak ada, suhu normal (36,5oC sampai 37,5oC), frekuensi b.a.b satu kali sehari dengan konsistensi bubur, masukan dan haluaran dengan balans positif, ANC meningkat (680), tidak terdapat infeksi baru dan respon pasien adaptif terhadap kondisi penurunan imunitas.
Kasus 3, An S, perempuan usia 4 tahun, dengan diagnosis Limfoma Maligna Nonhodgkin (LMNH). Dari hasil pengkajian data fisiologis perilaku dan stimulus, pasien demam dengan suhu 39,2oC, terdapat mukosits derajat tiga (WHO) diseluruh mulut, mengeluh nyeri pada mulut, makan tidak mau karena mulutnya sakit, porsi makan tiga sendok makan, b.a.b konsistensi cair dan ampas, dengan frekuensi tiga kali, terdapat batuk berdahak, suara napas vesikuler, ronchi dan wheezing tidak ada, TTV frekuensi napas: 26 x / mnt, frekuensi nadi 100 x /mnt, ANC 176. Intervensi yang bersifat regulator antara lain melakukan manajemen demam, inhalasi
&ANAK
JURNAL ASUHAN IBU
| Volume 2 | Nomor 1 | Februari 2017
Yusi Sofiyah, Allenidekania, Happy Hayati
dengan menggunakan NaCl 0,9% dan Ventolin, melakukan fisioterapi dada, mamberi terapi Antibiotik Ceftazidime 4 x 800 mg/ IV, Paracetamol syrup 3 x 1 ½ sendok / oral, Acetylcitein syrup 2 x 5 ml/ oral, Leucogen 1 x 75 mg, Aloclair gell 3 x, inhalasi dengan NaCl 0,9% + Ventolin 1, memantau masukan dan haluaran, mempertahankan isolasi pasien. Intervensi kognator yang dilakukan antara lain mengajarkan keluarga manajemen demam dan edukasi terapeutik cara pencegahan infeksi.
oles, Hydrocortisone Krim 2 x /hari. Intervensi yang bersifat kognator antara lain mengajarkan manajemen demam yang bisa dilakukan oleh keluarga, edukasi terapeutik pencegahan infeksi.
Kasus 4, An. Sy, laki-laki, usia 3 tahun 6 bulan, dengan diagnosa ALL High Risk. Dari hasil pengkajian data fisiologis perilaku dan stimulus, pasien mengeluh mual dan muntah, makan melaui NGT, suhu tubuh 37,8oC, bibir merah, kering, mulut terdapat mukositis, pasien mengeluh nyeri pada mulut, kulit seluruh badan ruam kehitaman, kelamin kemerahan, kering dan krusta kehitaman, ANC: 680.
Diagnosis keperawatan yang ditegakan pada An. Su antara lain ketidak efektifan bersihan jalan nafas, hipertermi, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan, gangguan pertumbuhan dan perkembangan, risiko perluasan infeksi dan gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Intervensi yang dilakukan pada An. Su yang bersifat regulator antara lain kolaborasi pelaksanaan inhalasi, manajemen demam, pemberian antibiotik Meronem 3 x 150 mg, Ventolin ½ ampul + NaCl 2 ml untuk inhalasi, makan dengan porsi sedikit tapi sering. Sementara intervensi yang bersifat kognator antara lain mengajarkan orang tua untuk melakukan stimulasi perkembangan pada anak dan melakukan edukasi terapeutik tentang cara pencegahan infeksi.
Evaluasi pasien setelah 10 hari perawatan antara lain batuk sudah hilang, sekret sudah tidak ada, frekuensi nafas 20 x/ mnt, hipertermi teratasi, diare sudah berhenti, nutrisi sudah seimbang, masukan dan haluaran: balans cairan: +32 ml/12 jam diuresis /12 jam :1,3 ml/kg/jam, tidak terjadi infeksi baru di area tubuh lain dan pasien dapat berespon adaptif terhadap kondisi penurunan sistem imunitas dan jumlah ANC sudah meningkat (690).
Diagnosis keperawatan yang ditegakan pada An Sy antara lain adalah : hipertermi, kerusakan membran mukosa oral, risiko ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan, gangguan integritas kulit, risiko perluasan infeksi. Intervensi yang dilakukan bersifat regulator adalah melakukan manajemen demam, memberi nutrisi melalui NGT, memberikan terapi NaCl 0,9% untuk dikompres pada genital, memberikan terapi Cefotaxime 4 x 750 mg/ IV, Paracetamol 3 x 5 ml/oral, NaCl 0,9% 2 x/ hari, Triamcinolone Acetonide 3 x 4 mg oles, Asam Fusidat 2 x /hari
&
JURNAL ASUHAN IBU
Evaluasi setelah tujuh hari perawatan didapatkan demam sudah teratasi, nutrisi seimbang, integritas kulit mulai membaik, perluasan infeksi masih berisiko, ANC menurun (436) dan pasien dapat beradaptasi dengan kondisi sistem imunitas yang menurun. Kasus 5, An. Su, laki-laki, usia 22 bulan, dengan diagnosis Rhabdomiosarkoma High Risk. Dari hasil pengkajian adaptasi fisiologis perilaku dan stimulus, didapatkan pasien mengalami batuk, tampak sesak dengan frekuensi nafas: 30 x/mnt, terdapat retraksi pada area subcostal, terdapat nafas cuping hidung, sekret banyak, suara paru vesikuler, terdapat ronchi, suhu : 39,6oC, makan habis ¼ porsi, ANC : 1.169,48.
Evaluasi setelah perawatan selama dua minggu adalah batuk berkurang, sekret sudah tidak ada, demam sudah tidak ada, nutrisi mulai seimbang, orang tua paham hahwa anaknya harus dilakukan stimulasi tumbuh kembang, tidak
ANAK | Volume 2 | Nomor 1 | Februari 2017
56
Edukasi Terapeutik sebagai Metode Pengendalian Infeksi pada Pasien Anak dengan Kanker
ada infeksi baru, namun pasien masih berisiko mengalami infeksi karena nilai ANC yang menurun menjadi 80. Namun pasien dapat berespon adaptif terhadap kondisinya yang mengalami penurunan sistem imunitas. Pengkajian
Dari kelima pasien kelolaan, semua pasien mengalami demam neutropenia. Berdasarkan klasifikasinya, pasien kelolaan yang mengalami demam neutropeni resiko tinggi adalah An. R, An. Su dan An. Sy yang tergolong demam neutropenia resiko rendah adalah An. S dan An. A. Pasien yang tergolong demam neutropenia risiko tinggi mengalami penurunan kadar ANC sampai hari terakhir perawatan, sementara pasien yang tergolong demam neutropenia resiko rendah mengalami peningkatan kadar ANC sampai hari terakhir perawatan. Pengkajian jumlah ANC tersebut dapat dilihat pada diagram berikut:
Diagram 1. Jumlah ANC pasien kelolaan pada awal dan akhir perawatan Prognosis kanker akan mempengaruhi kondisi pasien, termasuk kadar neutropil yang mengalami penurunan (Kline, 2011). Disamping itu, kanker yang dialami oleh anak mempengaruhi kondisi berisiko pada anak dengan neutropenia, dimana kanker cair lebih berisiko dibanding kanker padat (Hamid, Pudjo, Widjajanto & Laksono, 2013). 57
Selain itu jenis kanker yang dialami kelima pasien kelolaan menunjukan tingkat demam neutropenia yang dialami. Pasien An. R, An. Sy dan An. Su tergolong demam neutropenia risiko tinggi karena jenis kanker yang dialami berada pada tingkat High Risk serta tanda gejala yang menyertai diantaranya terdapat pneumonia, diare yang berkeanjangan dan kadar ANC yang tidak mengalami peningkatan setelah tujuh hari (NCCN Giudeline, 2014). Mual dan muntah yang dialami oleh semua pasien kelolaan terjadi sebagai efek dari pemberian kemoterapi. Dimana pemberian kemoterapi pada anak dengan kanker dapat mempengaruhi status nutrisi, karena beberapa obat-obatan antineoplastik mempunyai efek samping mual muntah dan menyebabkan mukositis, sehingga hal ini akan mempengaruhi asupan nutrisi pasien (Kline, 2011; Hockenberry & Wilson, 2009). Disamping itu, mual muntah tersebut tersebut dirasakan oleh pasien tiga hari setelah pemberian kemoterapi. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh mual dan muntah tertunda yaitu mual muntah yang terjadi 24 atau lebih jam setelah kemoterapi dan dapat berlangsung dari satu sampai tujuh hari (Roila, et. al, 2010).
Salah satu efek samping yang paling umum dari pengobatan kanker adalah mukositis, peradangan yang menimbulkan sakit dan ulserasi selaput lendir. Dimana hal ini terjadi pada empat pasien kelolaan sebagai efek samping pemberian kemoterapi. Mukositis oral merupakan konsekuensi dari efek toksin dari agen kemoterapi. Insiden dan keparahan mukositis tergantung pada kondisi pasien dan jenis pengobatan kanker. Frekuensi mukositis oral dilaporkan sekitar 65% pada anak yang sedang menjalani pengobatan kanker (Didem, Ayfer & Ferda, 2014).
Sejumlah penelitian juga menunjukkan bahwa anak-anak memiliki risiko lebih tinggi dari
&ANAK
JURNAL ASUHAN IBU
| Volume 2 | Nomor 1 | Februari 2017
Yusi Sofiyah, Allenidekania, Happy Hayati
mengalami mukositis oral daripada orang dewasa. Hal ini disebabkan oleh protokol pengobatan kemoterapi yang lebih intensif dan dosis tinggi (Didem, et al, 2014; Roila, et al, 2013).
Pasien kelolaan yang mengalami masalah oksigenasi diantaranya adalah An. S dan An. Su. Diagnosis keperawatan yang diangkat adalah ketidak efektifan bersihan jalan nafas. Hal ini sesuai dengan tanda dan gejala yang ditegakan oleh kedua pasien tersebut, diantaranya adalah batuk, terdapat sekret, frekuensi nafas yang meningkat, dan adanya retraksi, ronchi dan nafas cuping hidung pada An. Su. Hasil pemeriksaan foto thorax pada kedua pasien dihasilkan adanya Pneumonia pada saluran pernapasan pasien.
Hal ini sesuai dengan penelitian Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hamid dkk (2013) bahwa dari hasil biakan bakteri dari 135 pasien demam neutropenia terdapat biakan bakteri Pseudomonas Aeruginosa sebanyak 19% dan Klebsiella Pneumonia sebanyak 7%. Dimana Pseudomonas Aeruginosa dan Klebsiella Pneumonia adalah bakteri pada saluran pernafasan yang akan mudah masuk kedalam tubuh melalui udara. Dari kelima pasien, sebagian besar mengalami diare yang disebabkan oleh kemoterapi dan efek samping dari kemoteraapi maupun efek samping kanker yang dialami. Hal ini terjadi pada An. R, AN. A dan An. S. An. R sedang mendapatkan Hydroxiurea dimana salah satu efek sampingnya adalah diare. Sementara kemoterapi yang didapat oleh An. A dan An. S adalah 6 MP dan L Asparginase. Dari hasil penelitian Ortiz, Roldán, Acosta, Hernández, Monter, & Ángeles (2013) mengenai efek samping pemberian Vincristin dan L-Asparginase pada anak dengan ALL didapatkan bahwa L-Asparginase menyebabkan nausea pada 20% pasien (n=10) dan menyebabkan diare pada 20% pasien (n=10).
&
JURNAL ASUHAN IBU
Diagnosis Hasil pengkajian perilaku dan stimulus pada model adaptasi fisiologis, didapatkan masalah keperawatan yang muncul pada semua kasus adalah hipertermi, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan dan risiko perluasan infeksi dan masalah keperawatan yang sering muncul adalah risiko kekurangan volume cairan, kerusakan membran mukosa oral. Hipertermi yang terjadi pada semua pasien kelolaan adalah demam neutropeni yang terjadi sebagai efek dari penyakit kanker dan efek kemoterapi. Diagnosis ketidakseimbangan nutrisi yang dialami oleh kelima pasien kelolaan ditegakkan karena ada beberapa kriteria yang terpenuhi untuk menegakan diagnosis ini, diantaranya adalah kelima pasien mengalami skrining risiko nutrisi dengan nilai empat (berat). Dari kelima pasien, tiga diantaranya tergoling mengalami masalah secara aktual diantarannya adalah berat badan yang kurang dari usianya yaitu pada An. R dan An. Su dan adanya mual dan muntah yang berlebihan pada An. A. sementara diagnosis risiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan dialami oleh kedua pasien yaitu An. S dan An.Sy, karena kedua pasien ini berat badannya masih sesuai dengan usianya dan gangguan pemenuhan nutrisi terjadi karena adanya mukositis yang dialami oleh kedua pasien tersebut. Diagnosis risiko perluasan infeksi yang residen keperawatan anak tegakan pada semua pasien kelolaan, didasarkan pada semua pasien mengalami infeksi sebagai akibat dari pengobatan kemoterapi maupun sebagai akibat kanker yang dialami oleh pasien. Infeksi yang terjadi juga disebabkan oleh efek kemoterapi maupun disebabkan oleh kadar neutrofil yang berkurang. Sebagai contoh gejala infeksi yang disebabkan langsung oleh pengobatan kemoterapi adalah mukositis dan diare. Sementara gejala infeksi yang disebabkan oleh penurunan kadar neutrofil
ANAK | Volume 2 | Nomor 1 | Februari 2017
58
Edukasi Terapeutik sebagai Metode Pengendalian Infeksi pada Pasien Anak dengan Kanker
adalah pneumonia yang dialami oleh dua pasien kelolaan. Akan tetapi, karena semua pasien kelolaan mengalami neutropenia, sehingga gejala infeksi yang disebabkan oleh efek kemoterapi akan menjadi lebih berat.
Alasan lain yang mendasari residen keperawatan anak mengangkat diagnosis tersebut adalah agar dapat dilakukan intervensi yang bersifat edukasi kepada keluarga dengan tujuan agar pasien dan keluarga dapat beradaptasi dengan keadaan pasien yang mengalami demam neutropenia dan infeksi lain, juga melakukan tindakan pencegahan agar infeksi yang terjadi tidak semakin menyebar dan meluas. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Nikhita dan George (2015) bahwa keluarga dengan anak yang mengalami demam neutropenia rata-rata memiliki pengetahuan yang kurangnya tentang perawatan anaknya yang mengalami neutropenia dalam menjaga kebersihan pribadi mereka. Intervensi
Intervensi keperawatan utama yang telah dilakukan untuk mengatasi masalah keperawatan yang muncul, yaitu untuk mengatasi masalah hipertermia diantaranya adalah manajemen demam yaitu jika suhu berada diatas 38oC, maka pasien diberikan antipiretik untuk menurunkan suhu tubuh pasien. Jika suhu tubuh kurang dari 38oC, maka keluarga diajarkan untuk menurunkan panas dengan cara kompres hangat yang ditempel pada ketiak dan lipat paha. Pemantauan suhu dengan ketat dilakukan.
Selama perawatan, An. R mengalami suhu yang fluktuatif. Dalam satu hari, suhu pasien berada pada rentang antara 36,5oC sampai 37,5oC. Namun hal tersebut terjadi setelah pasien dilakukan manajemen demam. Seringkali pasien berada pada suhu lebih dari 38oC lebih dengan puncak mencapai 39,8oC. terapi antipiretik yang diberikan pada pasien adalah 59
Paracetamol 300 mg/IV. Residen keperawatan anak telah menjelaskan kepada keluarga tentang kondisi yang dialami oleh pasien yang mengalami peningkatan suhu, yakni disebabkan oleh kanker AML kambuh yang dialami oleh pasien.
Pemantauan masukan dan haluaran serta pemantauan tanda hipovolemia dilakukan secara ketat untuk mendeteksi adanya tanda dehidrasi pada pasien yang mengalami masalah risiko kurang volume cairan. Pementauan diare dilakukan dengan memantau frekuensi dan konsistensi diare yang meruakan salah satu penyebab dari kurangnya volume caitan tubuh.
Untuk diagnosis ketidakefektifan bersihan jalan nafas, intervensi yang dilakukan residen diantaranya adalah melakukan inhalasi, memantau frekuensi napas, produksi sputum, memantau hasil AGD, mengobservasi adanya sianosis, mengauskultasi bunyi paru, , memonitor tandatanda vital. Pada An. S, inhalasi dilakukan pada hari keempat perawatan. Karena pada saat itu, batuk pasien semakin berat dan menimbulkan frekuensi napas yang betambah cepat hingga mencapai 3638 kali/ menit. Pasien mendapatkan terapi O2 nasal kanul 2 liter/ menit dan inhalasi dengan NaCl 0,9% dan ventolin 1. Intervensi mandiri yang dilakukan oleh residen adalah melakukan fisioterapi dada setelah inhalasi dilakukan yang bertujuan agar sekret bisa dikeluarkan. Setelah itu, pasien dilatih untuk bisa mengeluarkan sekret dengan diajarkan cara nafas dalam Sementara pada An. Su, dari pertama dirawat, An. Su sudah mengalami ketidak efektifan bersihan jalan nafas, dengan frekuensi nafas yang mencapai 38 kali/menit. Pada hari pertama pasien dirawat, pasien sempat gelisah. Inhalasi yang dilakukan pada An. Su antara lain ventolin 1 dan NaCl 0,9%. Karena pada hari pertama pasien mengalami sesak nafas dan sekret yang banyak, pasien dilakukan inhalasi ekstra untuk mengeluarkan sekret. Intervensi mandiri
&ANAK
JURNAL ASUHAN IBU
| Volume 2 | Nomor 1 | Februari 2017
Yusi Sofiyah, Allenidekania, Happy Hayati
yang dilakukan oleh residen adalah melakukan fisioterapi dada setelah inhalasi dilakukan yang bertujuan agar sekret bisa dikeluarkan. Setelah dilakukan fisioterapi dada, sekret bisa dikeluarkan dan pasien menjadi tampak lebih tenang.
Intervensi mandiri yang dilakukan oleh residen pada diagnosis risiko perluasan infeksi antara lain observasi berbagai perubahan tanda vital, seperti suhu tubuh tidak stabil, takikardi, takipnu untuk mengidentifikasi adanya berbagai penyimpangan, melanjutkan pemberian antibiotik, pertahankan kebersihan tangan (perawat, pasien, keluarga dan pengunjung) sebagai upaya yang sangat penting dalam pencegahan infeksi, anjurkan keluarga untuk menggunakan masker sampaikan pada anak dan keluarga untuk menjaga kebersihan diri, pertahankan tehnik isolasi dan batasi pengunjung (Bulechek, Butcher, Dochterman & Wagner, 2013).
Dalam memberikan intervensi edukasi pada pasien dan keluarga, residen melakukan edukasi berdasarkan pada Evidence Based Practice Nursing dengan memberikan pendidikan kesehatan tentang cara pencegahan infeksi dengan metode edukasi terapeutik. Menurut WHO (1998), edukasi terapeutik adalah pendidikan terapi untuk membantu pasien dalam memperoleh atau mempertahankan keterampilan yang mereka butuhkan untuk mengelola hidup secara optimal pada pasien dengan penyakit kronis. Beberapa aturan penting sebelum memulai pendidikan terapi. Terapi ini terdiri dari tiga sesi edukasi yaitu sesi pertama adalah education diagnosis yang dilakukan selama wawancara individu dengan pasien, digunakan sebagai dasar untuk penentuan program edukasi yang diperlukan oleh pasien dan keluarga. Sesi kedua adalaha sesi edukasi terapi, pada sesi ini, pasien dan keluarga belajar lebih memahami penyakit mereka dan mengatasinya. Sesi yang ketiga adalah sesi evaluasi keterampilan
&
JURNAL ASUHAN IBU
yang diperoleh (Barbarot, 2012). Evaluasi
Evaluasi terhadap intervensi yang telah dilakukan adalah dengan menilai respon yang muncul dari pasien. Setelah evaluasi didapatkan pasien mampu beradaptasi dengan kondisi penurunan sistem imunitas yang dialamianya. Hal ini dibuktikan dengan demam yang turun dengan hari yang bervariasi, mukositis yang dialami berkurang, diare sudah tidak ada, ketidak efektifan bersihan jalan nafas teratasi.
Edukasi terapeutik yang dilakukan pada keluarga dan pasien dalam rangka pencegahan infeksi telah dilakukan terhadap lima pasien kelolaan. Sesuai dengan rencana, keluarga diberikan edukasi melalui tiga sesi edukasi. Proses edukasi berjalan dengan lancar dan dapat dilakukan oleh keluarga pasien. Hanya saja pada awal evaluasi sikap, keluarga kadang lupa untuk melakukan mencuci tangan dan harus selalu diingatkan oleh perawat. Pelaksanaan edukasi kepada keluarga sangat penting untuk pencegahan infeksi karena keluarga merupakan orang yang terdekat dengan pasien dan keluarga merupakan pusat perawatan bagi anak (Family Centered Care). SIMPULAN DAN SARAN
Pemberian asuhan keperawatan pada pasien anak kanker dengan masalah penurunan sistem imunitas dengan menggunakan pendekatan teori model adaptasi Calista Roy secara umum dapat diterapkan dengan baik. Tahapan asuhan keperawatan menurut model adaptasi Calista Roy dimulai dengan tahap pengkajian yang terdiri dari pengkajian perilaku dan pengkajian stimulus, penentuan masalah keperawatan, penetapan tujuan, intervensi dan evaluasi.
ANAK | Volume 2 | Nomor 1 | Februari 2017
60
Edukasi Terapeutik sebagai Metode Pengendalian Infeksi pada Pasien Anak dengan Kanker
DAFTAR PUSTAKA Barbarot. S. (2012). Practical guide to therapeutic education therapeutic. education group (get) – Nantes Organization and implementation of therapeutic education within a structure. Bulechek, G. M., Butcher, H.K., Dochterman, J. M & Wagner, C. M. (2013). Nursing Intervention Classification (NIC) Sixth Edition. Elsevier.
Didem, A., Ayfer & Ferda, O. A. (2014). The effect of chewing gum on oral mucositis in children receiving chemotherapy. Health Science Journal VOLUME 8 (2014),ISSUE 3. Hamid,S., Widjajanto,P. H & Laksono, I. S. (2013). Evaluasi sensitivitas antibiotik dengan demam neutropenia. Sari Pediatri, Vol. 15, No. 4, Desember 2013. Hockenberry, M.J., & Wilson, D. (2009). Wong’s Essensial of Pediatric Nursing. Eight Edition, St. Louis: Mosby.
International Agency of Research for Cancer. (2016). International Childhood Cancer Day: Much remains to be done to fight childhood cancer. Diunduh dari http:// www.iarc.fr/en/media-centre/pr/2016/ pdfs/pr241_E.pdf pada 30 Mei 2016.
Kline, E. (2011). The pediatric chemotherapy and biotherapy curriculum. third edition. Association Of Pediatric Hematology / Oncology Nursing. Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L & Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC) Measurement of Health Outcomes fifth edition. Elsevier Nanda., (2012). Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta: EGC 61
NCCN . (2014). Prevention and treatment of cancer related infection. NCCN Clinical Practice Guideline in Oncology (NCCN Guidelines). Nikhitha, P. M & George, L. K. (2013). A study to assess the awareness regarding neutropenia home care needs among caregivers of children with leukemia attending oncology units. International Journal Of Innovative Research & Development. Ortiz, M. I., Roldán, S. R., Acosta, M. A. E., Hernández, G. R., Monter, H. A. P & Ángeles, R. E. (2013). Side effects of vincristine and l-asparaginase in patients with acute lymphoblastic leukemia in a Mexican Pediatric Hospital. Pharmacology & Pharmacy, 2013, 4, 347-354 http://dx.doi. org/10.4236/pp.2013.43050. Roila,…....Warr. D. (2010). Clinical practice guidelines guideline update for MASCC and ESMO in the prevention of chemotherapyand radiotherapy-induced nausea and vomiting: results of the Perugia consensus conference. Annals of Oncology 21 (Supplement 5): v232–v243, DOI:10.1093/ annonc/ . World Health Organization Division Of Mental Health And Prevention Of Substance Abuse. (2010). Programme on mental health whoqol measuring quality of life. Diakses dari http://www.who.int/ mental_health/media/68.pdf Tanggal 1 Maret 2016.
______________________. (1998). Therapeutic Patient Education Continuing Education. Programmes for Health Care Providers in the Field of Prevention of Chronic Diseases. (2014 ) 224 – 227.
&ANAK
JURNAL ASUHAN IBU
| Volume 2 | Nomor 1 | Februari 2017