Hukum dan Pembangunan
178
ASPEK LAIN DALAM TREAlMENT OF OFFENDERS Oleh : Bernad L. Tanya Secara teknis penalogis "Treatment Offenders" bermakna perlakuan yang balk atau perlaknan yang diarabkan ke arab perbaikan. Di Indonesia IstlJab Inl dikenal dengan "pemblnaan ". Menurut penulis daJam rangka pemblnaan terbadap Napl barns memperbatikan aspek nilai- nilai sosial, budaya dan faktor struktural masyarakat, selaln daripada penekanan sub-cultur penjara. Mengabaikan aspek tersebut dapat menimbulkan kerancuan pembinaan yang membuabkan ekses krimonegen dalam diri si Napi.
Treatment of offenders, dalam arti teknis penologis bermakna perlakuan yang baik atau perlakuan yang diarabkan ke arah perbaikan. Dalam istilab teknis penologis Indonesia dikenal dengan nama "pembinaan". Apa yang kita pabami perihal pembinaan ini , sesunggubnya berakar pada suatu kesadaran, bahwa seorang yang tersesat perlu diayomi dan memberinya "bekal" bidup sebagai warga yang berguna di dalam masyarakat kelak. Dan pembinaan itu dianggap berhasil, bila mereka yang sedang ataupun yang telah selesai menjalani pidana, tidak mengulangi lagi perbuatan mereka yang melawan bukum itu. Negara yang telah mengambil kemerdekaan seseorang dan yang pada waktunya akan mengembalikan orang itu ke masyarakat, tidak berhak. membuat seseorang lebih buruk atau jahat, dari pada sebelum ia dipenjarakan. Lalu apa sebenamya yang terjadi atau salah dengan pembinaan itu, hingga masih saja (dalam jumlah yang besar?) para bekas Napi, menyandang predikat "residivis", bahkan tidakjarllllg menampilkan proW
April 1992
Aspek
179
"penjabat kawakan"? Apakah mereka memang tidak mau berubah? Atau karena pemah hidup bersama dengan para penjahat, sehingga sulit untuk dirubah?, sampai-sampai ada yang pemab berkata: "the worst thing about prison is you have to live with other prisoners" .1 Sebaiknya kita jangan terlalu berapriori, sebab kita akan terjebak pada sikap subjektivisme, melihat dan menilai sesuatu dari kacamata yang asing. Lalu bagaimana seharusnya? Katakanlab anggapan tersebut di atas ada kebenarannya, pertanyaan yang sab diajukan adalab apakah penjara (dibaca LP) merupakan tempat pendidikan dan atau tempat menumbuhkan kejabatan atau setidak- tidakoya menumbuhkan kondisi kriminogen? Jawabannya bisa ya, bisa tidak; tergantung pada fakta yang dapat diajukan. Tapi yang pasti adalah bahwa tujuan "permasyarakatan" tidak seperti itu. Kalau begitu, pasti ada sesuatu yang salah perihal pembinaan itu, hingga pertanyaan-pertanyaan itu muncul ke permukaan. Mungkin ada yang menyangka, dengan mengatakan bahwa akar masalahnya karena kekurangan sarana dan prasarana pendukung dalam pelatihan Napi, serta masih mendarabdagingnya konsep penjara dalam diri para petugas. Tanpa bermaksud mengabaikan pembabasan atau persepsi yang "kJasik' tersebut, lebih dari pada itu, tulisan ini hendak menyoroti aspek yang jarang dibicarakan, adaiah pembinaan yang dikaitkan dengan sub-cultur penjara. Inilah yang saya maksudkan dalam judul di atas sebagai "aspek lain" dalam treatment of offenders. Sub-cultur Penjara Temyata di dalam penjara, seperti ditemukan oleh Irwin dan Cressey, terdapat apa yang disebut sub-cultur dan social system penjara? Sub-cultur dimaksud adalah : (1) Convict sub-euItur, yaitu budaya yang diciptakan di dalam penjara, sesuai dengan "bimbingan" para petugas. (2) Thief sub-eultur, yaitu budaya yang berorientasi pada sub-cultur jabal yang berada di luar penjara dan ditransfer ke dalam penja-
1) Lihat Gresbam M. Sykes, "The Society of Captive: A Study of Maximum Security. Dalam J.E. Sabetapy: BantuaD Hukum dan Peoyatuan Terpidana, Jakarta: FPS Bidaog Hukum VI, 19&5, bal.220.
2) sub eu llur dan sislem sosial penjara tersebut dikelemukan dan ditulis J. Irwin dan n.R. Casey dalam huku mereka Thieves, CODvicts. and Inmate Culture". Socialization in Co~ctiona1 institutional".OaJam J.E. Sahetapy, Ibid,_ b. 209.
April 1992
HuJrum dan Pembangunan
180
ra oleh para Napi. (3) Legitimate eultur, yaitu budaya yang berorientasi pada kultur yang sahih yang dianut oleh sebagian besar masyarakat. Hal ini dapat terlihat pada sistem sosial mereka yaitu: (1) langan campur urusan orang lain (sesama Napi), (2) langan berkelahi dan berseteru, (3) langan saling memeras, (4) Harus ule!, dan (5) langan jadi pengecut. Kalau demikian halnya maka dapat dikatakan bahwa, seorang Napi hidup di dalam sistem nilai sosial, budaya yang mereka anut dan junjung tinggi tersebut. Oleh karena itu, persepsi, sikap dan perilaku serta tanggapan mereka terhadap pembinaan, demikian pula terhadap petugasnya, dilihat dan ditanggapi melalui kaca mata petugasnya, dilihat dan ditanggapi melalui kaca mata atau konsepsi berdasarkan nilai dan gagasan-gagasan yang mereka anut. Mengapa demikian? Oleh karena dengan nilai atau gagasan- gagasan tersebutlah mereka hidup. Ya melalui budaya mereka, kita dapat memahami bagaimana atau lebih tepat, mengapa mereka bertingkah laku. Kalau itu benar, maka pekerjaan dalam pemasyarakatan sesungguhnya bukan sekedar kegiatan pelatihan atau memberi "bekal" dalam bentuk material, lebih dari pada itu, ia merupakan proses pendidikan alau pembinaan serla penyuluhan ke arah perbaikan kansep dan lala nilai. Dengan demikian, paling tidak ada dua hal yang menjadi konsekwensi dari pembinaan yang memperhitungkan sub-cultur dan sistem sosial penjara. Pertama, ia menyodorkan pada kita peluang, dan sekaligus tantangan. Peluang, oleh karena dengan memahami cultur dan sistem sosial penjara maka proses pembinaan semakin terarab, kalau tidak dikatakan menjadi lebih efektif. Betapa tidak, oleh karena yang terbaik untuk memahami mengapa mereka bertingkah laku adalah dengan memahami kebudayaan mereka yang sekaligus merupakan "sislem mama" mereka?
3). Meourut
Clifford
Gem . memabami
kebudayaan suatu
masyarakat/seseorang
berati
mengungkapkan kenormalan tanpa mengurangi keistimewaan. Dan cara terbaik UDtUIe memahami sualu Olasyarakat menurul Weber, adalab dengan memaharui tingkab laku anuota·anggotanya. Sedangkan cara untuk memahami tingkah laku alau lebib tepal mengapa mereka bertingkab lab adalah dengan memahami kebudayaan itu . Kepada ~sistem makna" hulah bidup man usia dan selurub lindak landuk baik secara sadar maupun tidak sadar secara terus-menerus beroticntasi . Llhat, Eka Dbarmaputra. Pancasila : Identitas dan Modernitas. Tinjauan Etis dan Budaya. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1987, b.3.
181
Aspek
Sistem makna? Ya, sehah menurut Weher, hidup manusia dan segala tindak tanduknya sesungguhnya ditandai oleh suatu upaya pencarian makna yang terus menerus. Tindak tanduk serta tingkah laku manusia senantiasa herorientasi pada makna, haik disadari maupun tidak. Tantangan, oleh karena keadaan objektif masyarakat Indonesia secara sosio kultural memiliki kemajemukan yang luar hiasa yang diikuti dengan perhedaan sitem nilai dan hudaya yang sangat herheda satu dengan yang lainnya Dan huhungan dengan proses at.1U kegiatan pemhinaan dalam penjara, yang diperhatikan tidak hanya persoalan cultur dan sistem sosial para Napi saja, letapi sistem nilai budaya para petugaspun memerJukan pemhenahan lersendiri. Coha dihayangkan, seorang Napi dengan sistem nilai sosial hudaya yang "hehas", ditangani oleh petugas yang menganut sistem nilai sosial budaya "lerpimpin", maka dapat dihayangkan hetapa "rancunya" proses pemhinaan yang dilakukan, dengan demikian dapat ditehak hasilnya. Tidak mustahil karena kerancuan itu, memhuahkan pemhinaan yang herhau kriminogen, yang sewaktu-waktu menampakan diri dalam hentuk tindak pidana baru. Kedua, karena nanlinya para Napi akan kembali hidup di tengahtengah masyarakat, maka pemhinaan yang dilakukan harus ditempatkan dalam kerangka papan nilai-nilai sosial, aspek budaya, dan faktor struktural masyarakat,4 khususnya masyarakat tempat Napi akan kembali.
4)
Faktor SOBURAL ini sangat penling oleh karena masyarakat Indonesia secara sosio cultural
memiliki kemajeruukan yang luar biasa. Disini terdapat lebih dati lima pulub kelompok elmis dan tig~ tatus babasanya, yang saw sarna lain ama! berbeda. Sislem sosialnya pun berbeda-beda, dati desa terpeocil sampai kola-kOla besar dan maju, dari masyarakat tanpa strata sampai pada masyarakat yang mempuoyai susunao yang berlapis-Iapis. Keoyataan demikian, dati sudut pandang lerlenlu "an mcmbawa peogaruh yang cutup rumit Icrhadap kebidupao bukum serta seluk beluk proses pemasyarakatan dinegeri ini. aiel:! Iearena itu, sesungguhnya bila hendak dilakukan pembinaan terhadap NAPI, kenyataan objeklif masyarakat seperti tersebut diatas harus turut dipertimbangkan dalam seliap pelcerjaan Ieita. Dan justru karena kondisi lersebullah . maka walaupun sistem pembinaan yang kita anut mempunyai keOliripan dengan treatment di negara lain, tenlu tidak dapat begitu saja diaOlbil over karena tidak dapal dipertanggungjawabkan Olenyangkut "nilai-nilai sosial aspek budaya dan faktor struktural M bangsa dan masyarakat Indonesia. Libat J.E Sahetapy, Bebarapa Asas Dalam Hukum Pidana III, FH UDANA Kupang, Desember 1989, hal. 7. Juga dapat dibandingkan dcngan Lawrence M. Friedman mengenai teori ·CullUral Territorialnya M mengenai hukum . Ia mengatakan babwa -In modern world, the bounderies bertween legal system are largely territorial. Legal power follows political lines, and is divided into jurisdiction, every independent country has its own body of law (Friedman, Legal Culture and Social Development, Dalam Sahetapy, Bant uan Hukum dan Penyantunan Terpidana, ba1.18O) M
April 1992
Hulwm dan Pembangunan
182
KaJau demikian haJnya, maka pembinaan dalam arti perbaikan persepsi, mentaJ dan keyakinan para Napi, seJain harus memperhatikan sub-cultur penjara, tidak boJeh dilupakan faktor nilai-nilai sosiaJ, aspek budaya dan faktor struktural masyarakat turut dipertimbangkan daJam pembinaan tersebut. Mengabaikan aspek-aspek tersebut, dapat menimbulkan kerancuan pembinaan yang dapat membuahkan ekses kriminogen dalam diri si Napi, sehingga tidak mustahil ia akan kembali menjadi penjahat. Kalau begitu, adakah ia merupakan syarat yang conditio sine quo non? Semoga dapat direnungkan .
.,.
ANDA MEMBUTUHKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN! Undang.undang
Peraturan Pemerintah Sekretariat Negara I Menteri-Menteri Negara Lembaga-Lembaga linggi Negar. Departemen Lembaga-Iembaga non
HUBUNGllAH rUSAT DOKUMENTASI HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA. JL CIREBON S JAKARTA, TELP. (OU) 335"3%