PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016
ISSN: 2355-987X
ASPEK HUKUM PERDATA DALAM PENYIARAN DAN PENAYANGAN IKLAN DI TELEVISI DI TVRI SUMUT Sri Hidayani Fakultas Hukum Universitas Medan Area ABSTRACT Television is one of the broadcasters in the form of broadcasts as set out in Article 1 paragraph 1 of Law 32 of 2002 on Broadcasting which reads "Broadcast is a message or series of messages in the form of voice, images or sounds and images or graphic form, character , either interactively or not that can be received via the broadcast receiving device ". The existence of the television broadcast is a broadcast medium that uses sound to influence public opinion. As a result of the implementation of the television broadcasting which is the Public Broadcasting also obtain funds based ads created by advertisers on the television. Basically an agreement will be implemented when the parties have agreed on the main points of the agreement they are doing and they agreed that the signing will be forwarded in an agreement that has been agreed upon by each party. Agreement between the advertiser and the LPP TVRI SUMUT be made in written form. In which each party has the right and obligation. In this case the advertiser is obligated to pay for the ads that have been broadcast by the LPP TVRI SUMUT and the LPP TVRI SUMUT required to provide a report on the advertisers as evidence has completed its obligations. In an agreement in the event of a dispute sometimes promised. In terms of advertisement broadcasting agreement with the LPP TVRI SUMUT in case of disputes settled amicably if not completed resolved through the courts but, until now unheard of in default. key words: agreement, defaults, broadcasting and advertising ABSTRAK Televisi merupakan salah satu lembaga penyiaran dalam bentuk siaran sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran yang berbunyi “Siaran adalah pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat interaktif maupun tidak yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran”. Keberadaan siaran televisi adalah suatu media penyiaran yang mempergunakan suara untuk mempengaruhi opini publik. Sebagai akibat pelaksanaan penyiaran tersebut televisi yang merupakan Lembaga Penyiaran Publik juga memperoleh dana berdasarkan iklan yang dibuat oleh pengiklan pada pihak televisi. Pada dasarnya suatu perjanjian akan dilaksanakan apabila para pihak telah sepakat pada hal pokok mengenai perjanjian yang mereka perbuat dan sepakat mereka tersebut diteruskan dalam suatu penandatanganan akan perjanjian yang telah disepakati oleh masing-masing pihak. Perjanjian antara pihak pengiklan dan pihak LPP TVRI SUMUT dibuat dalam bentuk tertulis. Yang mana masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban. Dalam hal ini pihak pengiklan wajib membayar atas iklan yang sudah disiarkan oleh pihak LPP TVRI JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM UMA
1
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016
ISSN: 2355-987X
SUMUT dan pihak LPP TVRI SUMUT wajib memberikan laporan pada pihak pengiklan sebagai bukti telah menyelesaikan kewajibannya. Dalam sebuah perjanjian adakalanya terjadi perselisihan dalam hal yang dijanjikan. Dalam hal perjanjian penyiaran iklan dengan pihak LPP TVRI SUMUT jika terjadi perselisihan diselesaikan secara musyawarah jika tidak selesai diselesaikan melalui pengadilan namun, sampai saat ini belum pernah terjadi wanprestasi Kata Kunci : Perjanjian. Wanprestasi, Penyiaran, Periklanan.
A. PENDAHULUAN Didalam masyarakat yang sedang berkembang seperti sekarang ini, kebutuhan manusia akan semakin kompleks jika dibandingkan dengan kebutuhan manusia pada zaman dahulu dimana manusia hanya membutuhkan makan dan tempat tinggal untuk kelangsungan hidup sendiri dan keluarganya. Sebagai suatu proses dinamis, pendidikan akan senantiasa berkembang dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan yang terjadi dilingkungan pada umumnya. 1Dalam perkembangan selanjutnya semakin terasa bagi mereka bermacam-macam kebutuhan yang harus mereka penuhi, seperti kebutuhan akan tempat tinggal, pakaian, pengetahuan, hiburan dan lain sebagainya. Di dalam kegiatan pemasaran dan distribusi produk barang atau jasa dilakukan secara seefektif mungkin oleh pelaku usaha atau produsen karena hal ini dimungkinkan agar dapat tercapai masyarakat yang sangat majemuk. Semua cara pendekatan diupayakan sehingga dapat menimbulkan berbagai dampak, termasuk keadaan yang menjurus pada tindakan yang bersifat negatif bahkan tidak terpuji yang berawal dari itikad buruk. Adapun dampak buruk yang lazim terjadi antara lain menyangkut kualitas atau mutu barang, informasi yang tidak jelas bahkan menyesatkan, pemalsuan dan sebagainya. Iklan televisi ini telah menjadi fenomena tersendiri sekaligus menambah
deretan panjang daftar menu masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya. Tak jarang seorang konsumen harus mencoba beberapa produk terlebih dahulu sebelum ia menentukan produk apa yang cocok, setelah ia lelah berfantasi dengan harapan semoga apa yang dilihat dilayar kaca sesuai dengan keinginan dan keyataannya, namu harapan yang ada tidak serta merta dapat dirasakannya. Membahas tentang iklan Sumartono mengemukakan bahwa: Industri periklanan di Indonesia mengalami perkembangan yang pesat setelah adanya deregulasi pemerintah di bidang pertelevisian pada tahun 1989. Munculnya televisi-televisi swasta di Indonesia yang secara kondisional di izinkan untuk menayangkan iklan-iklan komersial menyebabkan industri periklanan harus mengaselerasi diri untuk mengimbangi perkembangan yang ada.2
Syamsul Arifin, “Metode Penulisan Karya Ilmiah dan Penelitian Hukum”, Medan Area University Press, 2012. Hal.1
Sumartono, “Terperangkap Dalam Iklan (Meneropong Imbas Pesan Iklan Televisi)”. ALFABETA,Bandung. 2002.Hal 2
1
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
Dalam menayangkan iklan para pelaku usaha harus memilih pada siaran atau pihak televisi mana yang akan menayangkan iklan mereka tersebut. Dalam hal ingin menayangkan iklan maka pihak televisi dan pelaku usaha mengadakan sebuah bentuk perjanjian. Karena, dalam hal ini harus terpenuhinya hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. R. Subekti dalam bukunya hukum perjanjian mengatakan perjanjian harus dianggap dilahirkan pada saat dimana pihak yang melakukan penawaran (efferte) 2
FAKULTAS HUKUM UMA
2
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 menerima yang termasuk dalam surat tertentu, sebab detik itulah dapat dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan. Bahwasannya mungkin ia tidak membaca surat itu, hal itu menjadi tanggung jawab sendiri, ia dianggap sepantasnya membaca surat-surat yang diterimanya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.3 Lukman santoso mengatakan perjanjian adalah suatu peristiwa ketika seseorang berjanji kepada orang lain atau ketika orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal dalam perjanjian itu timbul hubungan hukum antara dua orang tersebut/perikatan. Perjanjian ini sifatnya konkrit.4 Dalam hal ini yang melakukan perjanjian adalah pelaku usaha yang akan menayangkan iklan dengan pihak pertelevisian yang mana berdasarkan Undangundang No.8 tahun 1999 pasal 1 angka 3 disebutkan bahwa: Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Secara umum hubungan antara pihak pelaku usaha dengan pihak televisi sebagai pihak penayang iklan merupakan hubungan yang terus menerus dan berkesinambungan. Hubungan tersebut terjadi karena keduanya saling menghendaki dan mempunyai tingkat ketergantungan yang cukup tinggi antara Prof. R.Surbekti , “Hukum Perjanjian “, Intermasa, Jakrata,1979 Hal 29 4 Lukman Santoso,”Hukum Perjanjian Kontrak”, Cakrawala, Yogyakarta.2012 Hal 8 3
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X yang satu dan yang lain. Dari hubungan yang saling berkesinambungan dalam hal penayangan iklan hanya terbatas pada aktifitas. Hubungan pemasangan iklan diatas tidak dapat dipisahkan keberadaanya dengan ketentuan-ketentuan umum tentang perjanjian karena sebelum menayangkan iklan harus membuat terlebih dahulu perjanjian, sebagaimana diatur dalam Buku III KUH Perdata. Salah satu isi Buku III KUH Perdata Pasal 1320 yaitu: 1. Adanya kesepakatan antara kedua belah pihak yang berangkutan; 2. Cakap dalam membuat suatu perikatan; 3. Karena suatu hal tertentu dan; 4. Karena suatu sebab yang halal. Dengan adanya bunyi Pasal 1320 KUH Perdata tersebut maka kesepakatan dalam perjanjian pemasangan iklan tidak terlepas dari hal-hal yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. TINJAUAN PUSTAKA Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi : “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih”. 1. Menurut R.Subekti, perjanjian adalah: “ Suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”. 2. Menurut Wirjono Prodjodikorso perjanjian adalah: “Suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”. Untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi ketentuan-ketentuan yang
FAKULTAS HUKUM UMA
3
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu: 1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya 2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian 3. Mengenai suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal. Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subjektif karena, mengenai orang-orangnya atau subjektifnya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif karena mengenai perjanjian sendiri oleh objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara, perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:5 1. Perjanjian timbal-balik. Perjanjian timbal-balik adalah perjanjian yang menimbulkan keajiban pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual beli. 2. Perjanjian Cuma-Cuma dan Perjanjian atas beban Perjanjian dengan Cuma-Cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya Hibah. Perjanjian atas beban adalah perjanjian terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. 3. Perjanjian bernama dan Perjanjian tidak bernama Perjanjian bernama (khusus) adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya ialah perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undangundang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian bernama terdapat dalam Bab V Salim H.S. “Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak,” Cet. II. Sinar Grafika, 2004.Hal.17-20 5
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X sampai dengan XVIII KUH Perdata. Diluar perjanjian bernama tumbuh perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata, tetapi terdapat didalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas, lahirnya perjanjian ini adalah berdasarkan azas kebebasan mengadakan perjanjian yang berlaku di dalam hukum perjanjian, salah satu contoh dari perjanjian ini adalah perjanjian sewa beli. 4. Perjanjian campuran Sehubungan dengan perbedaan diatas perlu dibicarakan perjanjian campuran. Perjanjian campuran adalah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa-menyewa), tetapi menyajikan makanan (jual-beli) dan juga memberikan pelayanan. Terhadap perjanjian campuran itu ada berbagai paham: a. Mengatakan bahwa ketentuanketentuan mengenai perjanjian khusus diterapkan secara analogis sehingga setiap unsur dari perjanjian khusus tetap ada. b. Mengatakan bahwa ketentuanketentuan yang dipakai adalah ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang paling menentukan. c. Mengatakan bahwa ketentuanketentuan undang-undang yang diterapkan terhadap perjanjian campuran itu adalah ketentuan undang-undang yang berlaku untuk itu. 5. Perjanjian obligator Perjanjian obligator adalah perjanjian antara pihak-pihak yang mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan). Menurut KUH Perdata, perjanjian jual beli saja belum mengakibatkan beralihnya hak milik dari FAKULTAS HUKUM UMA
4
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 penjual kepada pembeli. Untuk beralihnya hak milik atas bendanya masih diperlukan satu lembaga lain, yaitu penyerahan perjanjian jual belinya dinamakan perjanjian obligator karena membebankan kewajiban kepada para pihak yang melakukan penyerahan. Penyerahannya sendiri merupakan perjanjian kebendaan. 6. Perjanjian kebendaan Perjanjian kebendaan adalah perjanjian hak atas benda dialihkan/ diserahkan kepada pihak lain. 7. Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Rill Perjanjian konsensual adalah perjanjian diantara kedua belah pihak yang telah tercapai penyesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan.Menuntut KUH Perdata, perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan hukum mengikat (Pasal 1338 KUH Perdata). Namun demikian di dalam KUH Perdata ada juga perjanjian-perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadi penyerahan barang. Misalnya perjanjian penitipan barang (Pasal 1694 KUH Perdata), pinjam pakai ( Pasal 1740 KUH Perdata). Perjanjian yang terakhir ini dinamakan perjanjian Rill yang merupakan peninggalan Hukum Romawi. 8. Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya a. Perjanjian liberatoir yaitu perjanjian para pihak yang membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan hutang Pasal 1438 KUH Perdata. b. Perjanjian pembuktian yaitu perjanjian antara para pihak untuk menentukan pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka. c. Perjanjian untung-untungan, misalnya perjanjian asuransi Pasal 1774 KUH Perdata. d. Perjanjian publik yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik karena JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X salah satu pihak bertindak sebagai penguasa, misalnya perjanjian ikatan dinas dan perjanjian pengadaan barang pemerintah (keppres No.29 Tahun 1984). Ketidak cakapan ini juga ditentukan oleh undang-undang demi kepentingan orang yang ditaruh dibawah pengampunan itu sendiri. Menurut Pasal 1330 KUH Perdata diatas bahwa wanita bersuami pada umumnya adalah tidak cakap untuk bertindak dalam hukum, kecuali kalau ditentukan lain oleh undangundang. Ia bertindak dalam lalu lintas hukum harus dibantu atau mendapat izin dari suaminya. Hal ini mengingat bahwa kekuasaan sebagai kepala rumah tangga adalah besar sekali, seperti yang kita kenal dengan istilah marital macht. Dalam hal perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh mereka yang tergolong tidak cakap ini, pembatalan perjanjian hanya dapat dilakukan oleh mereka yang dianggap tidak cakap itu sendiri, sebab undang-undang beranggapan bahwa perjanjian ini dibatalkan secara sepihak yaitu oleh pihak yang tidak cakap itu sendiri, akan tetapi apabila pihak yang tidak cakap itu mengatakan bahwa perjanjian itu berlaku penuh baginya, akan konsekwensinya adalah segala akibat dari perjanjian yang dilakukan oleh mereka yang tidak cakap dalam arti tidak berhak atau tidak berkuasa adalah bahwa pembatalnnya hanya dapat dimintakan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan. Pembatalan terhadap orang-orang tertentu dalam hal kecakapan membuat suatu perjanjian sebagaimana dikemukakan Pasal 1330 KUH Perdata tersebut kiranya dapat kita mengingat bahwa sifat dari peraturan hukum sendiri pada hakekatnya selalu mengejar dua tujuan yaitu rasa keadilan di satu pihak dan ketertiban hukum dalam masyarakat dipihak lain. Bilamana dari sudut tujuan hukum yang pertama ialah mengejar rasa keadilan memang wajarlah apabila orang yang membuat suatu perjanjian dan FAKULTAS HUKUM UMA
5
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 nantinya terikat oleh perjanjian itu harus pula mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi akan tanggung jawab yang harus dipikulkan dan tujuan yang satu inilah akan sulit diharapkan apabila orangorang dibawah umur atau orang sakit ingatan atau pikiran yang pada umumnya dapat dikatakan sebagai umum atau tidak dapat menginsyafi apa sesungguhnya tanggung jawab itu. Pembatasan termaksud diatas itu kiranya sesuai apabila dipandang dari sudut tujuan hukum dalam masyarakat yaitu mengejar ketertiban hukum dalam masyarakat, dimana seseorang yang membuat perjanjian itu pada dasarnya berarti juga mempertaruhkan harta kekayaannya itu. Dimana kenyataan yang demikian itu tidaklah terdapat pada orangorang yang tidak dibawah pengampunan atau orang-orang yang tidak sehat pikirannya, ataupun pada diri orang-orang yang masih dibawah umur. Selanjutnya syarat yang ketiga untuk sahnya perjanjian adalah adanya hal tertentu yang diperjanjikan maka ini berarti bahwa apa yang diperjanjikan harus cukup jelas dalam arti barang atau benda yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya (Pasal 1333 ayat 1 KUH Perdata) dengan pengertian bahwa jumlahnya barang tidak menjadi syarat, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan. Syarat ketiga ini menjadi penting terutama dalam hal terjadinya perselisihan diantara kedua belah pihak guna dapat menetapkan apaapa saja yang menjadi hak dan kewajiban dari pada pihak-pihak dalam perjanjian yang mereka buat itu. “ jika prestasi itu kabur, sehingga perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan maka dianggap tidak ada objek perjanjian. Akibat tidak dipebuhinya syarat ini, perjanjian itu batal demi hukum”.6 Akhirnya selalu syarat untuk sahnya suatu perjanjian itu. Pasal 1320
ISSN: 2355-987X KUH Perdata menyebutkan sebagai syarat keempat ialah adanya suatu sebab yang halal. Dengan sebab ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian itu sendiri. Atau seperti dikemukakan R.Wirjono Prodjodikoro yaitu: “ azas-azas hukum perjanjian, bahwa dengan pengertian causa adalah bukan hal yang mengakibatkan hal sesuatu keadaan belaka. Dalam pandangan saya, causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu persetujuan, yang menyebabkan adanya persetujuan itu”.7 Selaku suatu causa dalam perjanjian, haruslah berupa causa yang halal, dalam arti bahwa isi perjanjian itu harus bukan sesuatu hal yang terlarang. “ Sebagai contoh dari suatu perjanjian yang mengandung causa yang terlarang adalah sipenjual hanya bersedia menjual pisaunya kalau sipembeli membunuh orang”. Sehubungan dengan perbedaan syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian telah penulis kemukakan terlebih dahulu, yaitu syarat subjektif dan syarat objektif. Maka apabila syarat subjektif yang tidak dipenuhi maka terhadap perjanjian dapat dibatalkan sedangkan dalam hal syarat objektif yang tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi hukum.Dengan perkataan lain, bahwa bila syarat subjektif tidak terpenuhi maka dapat dituntut pembatalannya, sedangkan bila syarat objektif yang tidak dipenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum.
PEMBAHASAN Pengertian dan Pemahaman Terhadap Periklanan Peranan pemasaran sangat besar dalam meningkatkatkan penjualan produk barang atau jasa. Apalagi dalam era perdagangan bebas, para pelaku usaha dituntut untuk memproduksi barang atau Wirdjono Prodjodikoro, “Azas-azas Hukum Perjanjian”, Sumur Bandung, 1984. Hal 36 7
Abdulkadir Muhammad, “Hukum Perikatan”, Alumni, Bandung.1982.Hal 94 6
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM UMA
6
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 jasa yang kompetitif di dipasaran domestik maupun internasional. Itu berarti para produsen atau pelaku usaha dituntut lebih bersikap kreatif dalam meningkatkan penjualan produknya. Dalam mewujudkan pemasaran produk yang kompetitif dipasaran, para pelaku usaha memerlukan suatu sarana atau media yang efektif agar produk barang atau jasa dan dipergunakan oleh konsumen. Disinilah peran periklanan sangat berarti sebagai media informasi dan merupakan suatu kebutuhan untuk menjembatani antara konsumen dan pelaku usaha antar suatu produk barang atau jasa sehingga produk yang diproduksi oleh pelaku usaha dapat dikenal pemasaran. Menurut Ahmadi Miru dalam bukunya yang berjudul Hukum Perlindungan Konsumen mengatakan bahwa : “Iklan adalah salah satu bentuk informasi yang merupakan alat bagi produsen untuk memperkenalkan produknya kepada masyarakat agar dapat mempengaruhinya kecenderungan masyarakat untuk menggunakan atau mengkonsumsi produknya.8 Sedangkan menurut Alo Liliweri dalam bukunya Dasar-dasar Komunikasi Periklanan yang dikutip Sumartono mengatakan bahwa“apabila ditinjau dari prespektif komunikasi, iklan dianggap sebagai tekhnik penyampaian pesan yang efektif dalam penjualan produk”.9 Oleh karenanya dalam aktifitas perpindahan informasi tentang suatu produk yang diiklankan kepada khalayak tentunya harus mengandung daya tarik sehingga mampu menggugah perasaan khalayak. Tidak ada yang menyangkal bahwa iklan televisi adalah salah satu pilihan untuk menarik perhatian pemirsanya, karena daya tarik televisi selain terletak pada unsur kata-kata, music dan sound effect juga adanya unsur visual Miru Ahmadi, “Hukum Perlindungan Konsumen”, PT.Raja Grafindo Persada,Jakarta. 2004. Hal 20 9 Sumartono Op Cit Hal;7
ISSN: 2355-987X berupa gambar, yang mana gambar tersebut yang merupakan gambar hidup mampu menimbulkan kesan yang mendalam pada penonton, dan dapat dikatakan kekuatan audio visualnya terasa amat ampuh dalam menyajikan pesanpesan yang demonstratif. Karenanya tidaklah mengherankan jika banyak perusahaan membelanjakan uangnya untuk mengiklankan produknya melalui media televisi, sehingga iklan televisi tidak hanya menjadi tontonan masyarakat tetapi telah menjadi komoditas sehari-hari dan sebagian besar kebutuhan atau keinginan pemirsa yang seakan-akan terjawab tuntas didalam sajian iklan televisi. Secara umum iklan televisi dibagi kedalam berbagai kelompok yaitu: 1. Iklan spot, merupakan materi iklan televisi secara jelas, langsung dan berisi informasi tentang produk dan suatu perusahaan, yang dilakukan untuk mencapai tingkat penjualan yang maksimal atas sesuatu produk iklan jenis ini bersifat komersial murni. 2. Iklan tidak langsung, merupakan iklan yang berisi informasi tentang sesuatu produk atau pesan tertentu dari suatu perusahaan atau lembaga pemerintah yang disampaikan secara tidak langsung kedalam materi program siaran lain (seperti variety show, teledrama, berita dan lain-lain). Iklan jenis ini bersifat tidak komersial murni. 3. Public service announcement, adalah materi iklan televisi yang berisi informasi tentang suatu kegiatan atau pesan-pesan sosial yang dilakukan untuk mencapai tingkat perhatian yang maksimal untuk berpatisipasi atau bersimpati terhadap kegiatan-kegiatan atau masalah tertentu.10
8
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
10
Ibid .Hal. 23
FAKULTAS HUKUM UMA
7
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 Menurut Sumartono tujuan dari suatu kegiatan periklanan adalah:11 1. Menyadarkan para konsumen dan memberi informasi tentang suatu barang,jasa atau ide. 2. Menimbulkan suatu perasaan suka akan barang, jasa ataupun ide yang disajikan kepada konsumen dengan memberikan preferensi kepadanya, 3. Meyakinkan konsumen akan kebenaran tentang apa yang dianjurkan dalam iklan suatu produk.
Dengan demikian inti periklanan adalah menemukan ide yang releven untuk konsumen, sehubungan dengan isi dan kegunaan pesan, sehingga calon konsumen tergerak untuk bertindak. Karena ide yang ditonjolkan dalam iklan haruslah bersifat seleksi daya tarik yang menguntungkan, tanpa mengkesampingkan aspek kualitas suatu produk. Jenis-Jenis Iklan Secara teoritis umumnya iklan terdiri atas dua jenis: pertama iklan standar, dan kedua iklan layanan masyarakat. Jika kemudian terdapat jenisjenis yang lain, maka itu merupakan perluasan dari kehadiran kedua jenis iklan tersebut, demikian dinyatakan Alo Liliweri dalam Bukuny Dasar-dasar Komunikasi Periklanan.12 Yang dimaksud dengan iklan standar adalah iklan yang ditata secara khusus untuk keperluan memperkenalkan barang, jasa pelayanan untuk konsumen melalui sebuah media massa. Tujuan iklan standar adalah merangsang motif serta minat para pembeli atau para pemakai. Karena akibat iklan telah merangsang 11
Ibid.Hal 5
Alo Liliweri, “Dasar-dasar Komunikasi Periklanan”, Citra Aditya, Bandung.1992. Hal 31 12
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X pembeli melalui daya tariknya yang besar, maka iklan menggugah minat, perasaan konsumen dan mengambil sikap terhadap barang atau jasa yang ditawarkan tersebut. Sebagian besar iklan standar pesanpesannya ditata secara professional oleh lembaga periklanan. Kehadiran lembaga seperti ini, sangat dibutuhkan oleh para pemasang iklan yaitu mempunyai barang, jasa, ide serta gagasan yang ingin ditawarkannya itu. Sedangkan jenis iklan layanan masyarakat adalah iklan yang bersifat nonprofit, jadi iklan tidak mencari keuntungan akibat pemasangan kepada khalayak. Hal ini berbeda dengan iklan standar, yang mengharapkan dari pemasangan iklannya menggaet keuntungan atas penjualan barang produksinya. Umumnya iklan layanan masyarakat, bertujuan memberikan informasi dalam rangka pelayanan dengan mengajak masyarakat untuk berpatisipasi, bersikap positif terhadap pesan yang disampaikan. Dan iklan layanan masyarakat tidak terlalu terikat pada penetapan yang ketat, perancangan pesan yang rumit, pemilihan media yang sesuai, sampai pada ketentuan khalayak sasaran serta pemilihan tempat dan juga waktu yang benar-benar pas. Pengaturan Hukum Tentang Periklanan Undang-undang tentang Periklanan tidak diatur secara spesifik, sekalipun iklan memainkan peranan yang penting dalam kehidupan masyarakat. Hingga saat inipun belum ada peraturan perundangundangan yang secara tegas dan langsung melindungi kepentingan konsumen dari isi dan makna iklan itu sendiri, khususnya hal-hal yang menyangkut janji atau keunggulan produk yang dicanangkan melalui iklan. Dalam undang-undang Perlindungan Konsumen, berkaitan dengan periklanan menegaskan laranganlarangan tertentu yang telah diatur, seperti pada pasal 17 Undang-undang FAKULTAS HUKUM UMA
8
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 Perlindungan Konsumen N0.8 Tahun 1999 melarang produksi iklan oleh pelaku usaha periklanan yang: a. Mengelabui konsumen mengenai kualitas,kuantitas,bahan kegunaan dan barang atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan atau jasa. b. Mengelabui jaminan atau garansi terhadap barang dan atau jasa. c. Memuat informasi yang keliru, salah atau tidak tepat mengenai barang dan atau jasa. d. Tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang dan atau jasa. e. Mengeksploitasi kejadian dan atau seseorang tanpa izin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan. f. Melanggar etika dan atau ketentuan peraturan perundangundangan mengenai periklanan. Disamping itu ada beberapa pasal dalam Undang-undang perlindungan konsumen mengatur mengenai periklanan walau agak samar diantaranya: Pasal 9 (mengiklankan penawaran barang dan atau jasa secara tidak benar atau menyesatkan), Pasal 10 ( mengiklankan barang dan atau jasa yang dengan harga khusus atau memberikan hadiah dan seterusnya dengan maksud untuk tidak memenuhinya). Namun yang terpenting dari ketentuan tentang periklanan dalam Undang-undang No.8 Tahun 1999 ini adalah termuat dalam pasal 20 yang berbunyi sebagai berikut: “Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.” Mengingat iklan sangat penting dalam kehidupan masyarakat, dan ditengah-tengah kekosongan undangundang periklanan, akan lebih hormat kirannya bila kaidah atau norma ditegakkan melalui organisasi profesi JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X periklanan. Akhirnya pada tahun 1981 dalam Konvensi Periklanan yang diselenggarakan pada tanggal 17 september 1981 dibentuklah Tata Krama dan Tata Cara Periklanan yang terdiri dari 5 (lima) Bab pengertian-pengertian pokok dan 2 (dua) lampiran. Dalam Bab pertama (I), memberi batasan bahwa periklanan sebagai sarana komunikasi dan pemasaran, memegang peranan penting dalam pembangunan yang dilaksanankan bangsa Indonesia. Kemudian dalam Bab Kedua (II) tata karma menentukan asas-asas umum periklanan yang terdiri dari : iklan harus jujur, bertanggung jawab, dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, iklan tidak boleh menyinggung perasaan dan merendahkan martabat Negara, agama, susila adat, budaya, suku dan golongan serta iklan harus dijiwai oleh asas persaingan yang sehat. Selanjutnya, Bab ini mengatur tentang iklan obatobatan, vitamin dan mineral, kosmetik, alat kesehatan, alat dan fasilitas kebugaran, promosi dari rumah kerumah, undian dan hadiah langsung, kursus dan lowongan kerja serta identifikasi pribadi. Khusus menyangkut tata cara Bab Ketiga (III) dicantumkan berbagai hubungan antar unsur yang berkepentingan dalam periklanan antara lain hubungan antara pelaku periklanan dengan pemerintah, pelaku periklanan dengan konsumen antara pengiklan dengan perusahaan iklan dan media iklan. Dan Bab yang terpenting bagi kepentingan konsumen adalah Bab IV dan Bab V, masing-masing tentang penerapan dan prosedur pengawasan serta bobot pelanggaran dan pengenaan sanksi. Dengan adanya ketentuan tersebut dapat diketahui apakah suatu iklan merupakan kreatifitas kompetitif atau semu belaka. Hak dan Kewajiban Para Pihak Pada dasarnya suatu perjanjian akan dilaksanakan apabila para pihak telah sepakat pada hal pokok mengenai perjanjian yang mereka perbuat dan FAKULTAS HUKUM UMA
9
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 sepakat mereka tersebut diteruskan dalam penandatangan akan perjanjian yang telah mereka sepakati. Yang mana sebelum penandatanganan perjanjian untuk membuat penyiaran dan penayangan iklan pada LPP TVRI SUMUT pihak pengiklan terlebih dahulu harus membuat order atau PO (Purchise Order) pada pihak LPP TVRI SUMUT sesuai dengan Rete Card atau daftar harga/Tarif Iklan yang diinginkan yang terlampir dalam skripsi, setelah ada jawaban dan persetujuan dari pihak LPP TVRI SUMUT maka keluarlah perjanjian kerja sama yang nantinya harus ditanda tangani para pihak. Jika iklan yang akan disiarkan terkait kesehatan atau makanan dan obatobatan harus dilengkapi dengan surat izin dari BPOM dan harus sesuai dengan Surat Edaran dari LPP TVRI SUMUT mengenai persyaratan program acara kesehatan yang terlampir dalam skripsi. Setelah itu lalu ditanda tangani perjanjian dan dilakukanlah hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yang melakukan perjanjian untuk penyiaran dan penayangan iklan tersebut. Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran tidak ada mengatur Hak dan Kewajiban antara pihak televisi dengan perusahaan yang akan memasang iklan pada suatu media penyiaran seperti Televisi khususnya pada LPP TVRI SUMUT. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran hanya mengatur tentang hak siar sebagaimana terdapat dalam Pasal 43 yang berbunyi: 1. Setiap mata acara yang disiarkan wajib memiliki hak siar; 2. Dalam menayangkan acara siaran, lembaga penyiaran wajib mencantumkan hak siar; 3. Kepenilikan hak siar sebagaimana dimaksud ayat (2) harus disebutkan secara jelas dalam mata acara; 4. Hak siar dalam setiap mata acara siaran dilindungi berdasarkan JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam bunyi pasal diatas jelas bahwa hubungan antara pihak pemasang iklan dan Televisi diatur di Luar UndangUndang No.32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran dan diatur berdasarkan kesepakatan para pihak baik pemasang iklan maupun pihak LPP TVRI SUMUT. Namun setiap orang atau pihak yang hendak menyelenggarakan penyiaran wajib terlebih dahulu memiliki izin penyelenggaraan.13 Dalam perjanjian pemasangan iklan di LPP TVRI SUMUT perihal hak dan kewajiban pihak disebutkan dalam sebuah bentuk perjanjian yang telah dibuat dan disepakati oleh masing-masing pihak baik dari pihak pengiklan maupun dari pihak LPP TVRI SUMUT. Bagi pihak pengiklan sebelumnya wajib mengajukan permohonan ke pihak LPP TVRI SUMUT dalam bentuk Purchise Order sebuah produk iklan yang mana setelah permohonan tersebut diterima maka dibuatlah subuah bentuk perjanjian yang dibuat oleh masing-masing pihak yang mana dalam hal ini bagian Pengembangan Usaha Iklan yang ada di LPP TVRI SUMUT yang memproses namun tetap diawasi oleh kepala direksi. Akibat Hukum Jika Terjadi Wanprestasi Didalam setiap pekerjaan timbal balik selalu ada 2 (dua) macam subjek hukum, yang masing-masing subjek hukum tersebut mempunyai hak dan kewajiban secara bertimbal balik dalam melaksanakan perjanjian yang mereka perbuat. Perjanjian penyiaran iklan di LPP TVRI SUMUT merupakan suatu perjanjian bertimbal balik kedua subjek hukumnya yaitu pihak pengiklan dan pihak LPP TVRI SUMUT. Didalam perjanjian, tidak terkecuali perjanjian Judhariksawan, “Hukum Penyiaran”, PT.Raja Grafindo Persada,Jakarta. 2010. Hal.65 13
FAKULTAS HUKUM UMA
10
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 penyiaran dan penayangan iklan televisi pada LPP TVRI SUMUT ada kemungkinan salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian atau tidak memenuhi isi perjanjian sebagaimana yang telah mereka sepakati bersama. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan atau lebih jelas apa yang merupakan kewajiban menurut perjanjian yang mereka perbuat, maka dikatakan bahwa pihak tersebut wanprestasi, yang artinya tidak memenuhi prestasi atau yang menjadi kewajiban yang diperjanjikan. Wirjono Prodjodikoro mengatakan: “Wanprestasi adalah berarti ketiadaan suatu prestasi dalam hukum perjanjian, berarti suatu hal harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian. Barang kali dalam bahasa indonesia dapat dipakai istilah pelaksanaan janji untuk prestasi dan ketiadaan pelaksanaan janji untuk wanpretasi”.14 Wanprestasi (kelalaian) seorang debitur dapat berupa (empat) macam : 1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya 2. Melaksanakan apa yag diperjanjikan, tetapi tidak sebagaimana diperjanjikan 3. Melaksanakan apa yang diperjanjikan, tetapi terlambat 4. Melaksanakan sesuatu menurut perjanjian tidak boleh dilaksanakannya.15 Adapun kemungkinan bentukbentuk wanprestasi sesuai dengan bentukbentuk wanprestasi sebagaimana yang dikemukakan oleh Subekti , meliputi: 1. Tidak melaksanakan apa yang disanggupi akan dilakukannya. Misalnya dalam suatu perjanjian penyiaran dan penayangan iklan pada LPP TVRI SUMUT Wirdjono Prodjodikoro, “Azas-azas Hukum Perjanjian”, Sumur Bandung, 1984.Hal 44 15 Subekti, “Hukum Perjanjian”, Cetakan XI, Penerbit PT.Intermasa, Jakarta,1987.Hal 23 14
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X disepakati untuk memakai sistem pembayaran secara bertahap yaitu diberikan 20% (dua puluh persen) dibayar setelah surat perjanjian disepakati oleh kedua belah pihak.Tetapi setelah pihak televisi menyiarkan iklannya ternyata 20% tersebut juga belum dilunasi oleh pihak pengiklan, walaupun pihak televisi telah mengirimkan tagihannya kepada pihak terkait. Namun, biasanya ada tempo jangka waktu yang telah diberikan oleh pihak LPP TVRI SUMUT dalam menyelesaikan hal tersebut agar tidak sampai terjadinya wanprestasi seperti yang telah dipaparkan. 2. Melaksanakan apa yang diperjanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan. Misalnya dalam suatu perjanjian penyiaran dan penayangan iklan televisi pada LPP TVRI SUMUT disepakati untuk membayar panjar. Panjar diberikan sebesar 20% setelah perjanjian disetujui. Kenyataan kemudian, sisa pembayaran selanjutnya belum dibayar oleh pihak pengiklan kepada pihak Televisi sementara produk telah diiklankan. Dalam kasus ini walaupun pihak pengiklan telah membayar panjar untuk awal penyiaran dan penayangan iklan iklan pada pihak televisi , tetapi sisanya tidak dibayarnya, pihak pengiklan berarti telah wanprestasi untuk sebagian kewajibannya dalam perjanjian penyiaran dan penayangan iklan televisi ini. Namun, pada penyiaran iklan pada LPP TVRI SUMUT sistem pembayaran untuk iklan yang hanya sekali siar biasanya dilakukan pada tahap awal secara tunai bisa melalui transfer, namun untuk iklan yang penayangan lebih dari sekali namun sampai 3 (tiga ) FAKULTAS HUKUM UMA
11
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 bulan biasanya pembayaran panjar dilakukan dan sisanya dilakukan setelah iklan selesai dilakukan agar menghindari terjadinya 16 wanprestasi. 3. Melaksanakan perjanjian yang diperjanjikan, tetapi terlambat Misalnya dalam suatu perjanjian penyiaran dan penayangan iklan pada LPP TVRI SUMUT disepakati untuk memakai sistem termin dalam pembayaran penayangan iklan, yaitu setelah masa penyiaran iklan selesai. Tetapi setelah penyiaran iklan habis, pihak pengiklan tidak segera melaksanakan pembayaran tetapi baru melaksanakan pembayaran setelah lewat waktu yang diperjanjikan. Dalam kasus ini walaupun akhirnya pihak pengiklan memenuhi juga kewajibannya setelah lewat waktu dari waktu yang diperjanjikan, tetapi karena terlambat sudah dapat dikatakan pihak pengiklan melakukan wanprestasi. Sehingga apabila pihak televisi tidak dapat menerima pembayaran dengan alasan keterlambatan, dia dapat mempermasalahkan pihak pengiklan telah melakukan wanprestasi karena terlambat memenuhi kewajibannya. Namun, pihak televisi selalu memberikan dispensasi agar hal tersebut dapat diselesaikan secara musyawarah. 4. Melaksanakan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukanya Misalnya dalam kasus ini pihak televisi tidak menyiarkan dan menayangkan iklan secara lengkap 16
Hasil Wawancara dengan pihak LPP TVRI SUMUT bagian Pengembangan Usaha Bapak Herry Fristanto pada hari Kamis, 14 Maret 2013
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X atau ditayangkan tapi bukan pada jam yang diperjanjikan. Maka dalam kasus ini dapat dikatakan pihak televisi telah melakukan wanprestasi dan pihak pengiklan dapat mengajukan tuntutan wanprestasi atas perbuatan pihak televisi tersbut. Namun, pada kenyataannya jika terjadi hal-hal yang diluar dugaan seperti mati lampu atau terjadi bencana alam yang mana dalam hal untuk menyiarkan iklan tidak dapat ditayangkan sesuai dengan yang disepakati yang bukan menjadi kehendak dari pihak televisi maka pihak pengiklan harus dapat menerimanya dan tidak dapat menuntut karena hal tersebut bukan hal yang 17 disengaja. Dalam hal jika terjadi wanprestasi, maka pihak lain sebagai pihak yang menderita kerugian dapat memilih antara beberapa kemungkinan yaitu: 1. Pihak yang dirugikan menuntut pelaksanaan perjanjian 2. Pihak yang dirugikan menuntut ganti rugi 3. Pihak yang dirugikan menuntut pelaksanaan perjanjian disertai ganti rugi 4. Pihak yang dirugikan menuntut pembatalan perjanjian. 5. Pihak yang dirugikan menuntut pembatalan perjanjian disertai dengan ganti rugi. Beberapa kemungkinan penuntutan dari pihak yang dirugikan tersebut diatas bagi suatu perjanjian timbal-balik oleh ketentuan pasal 1266 KUH Perdata diisyaratkan apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya dapat dimintakan pembatalan perjanjian kepada hakim. Dengan demikian pasal 17
Hasil Wawancara dengan pihak LPP TVRI SUMUT bagian Pengembangan Usaha Bapak Herry Fristanto pada hari Kamis, 14 Maret 2013
FAKULTAS HUKUM UMA
12
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 1266 KUH Perdata dalam perjanjian penyiaran dan penayangan iklan televisi pada LPP TVRI SUMUT apabila salah satu pihak wanprestasi maka pihak yang dirugikan dapat menempuh upaya hukum. Dalam kenyataannya pada bentuk perjanjian penyiaran dan penayangan iklan televisi pada LPP TVRI SUMUT ini seperti yang ada dalam contoh bentuk perjanjian yang terlampir apabila timbul perselisihan diantara mereka maka para pihak menyelesaikan melalui: 1. Dilakukan penyelesaian secara musyawarah dan mufakat dan jika belum selesai; 2. Dilakukan lewat pengadilan dimana perjanjian dibuat dalam hal ini Pengadilan Negeri Medan. Berakhirnya Perjanjian Penyiaran dan Penayangan Iklan Televisi pada LPP TVRI SUMUT. Seperti diketahui secara umum bahwa berakhirnya suatu perjanjian itu ada 10 (sepuluh) yaitu: 1. Karena pembayaran 2. Karena penawaran pembayaran tunai 3. Karena penyimpanan atau penitipan 4. Karena pembaharuan hutang 5. Karena perjumpaan hutang 6. Karena percampuran hutang 7. Karenanya musnanhnya barang terutang 8. Karena pembebasan hutang 9. Karena pembatalan 10. Karena lewat waktunya. Simpulan 1. Perjanjian pemasangan iklan pada LPP TVRI SUMUT dilaksankan secara tertulis melalui francise order dimana didalam Purchise Order disebutkan produk iklan, tanggal penayangan, jumlah order, jumlah spot, tarif iklan serta tata cara pembayaran. Pelaksanaan pembayaran dilakukan dalam perjanjian pemasangan iklan di JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X LPP TVRI SUMUT dituangkan dalam suatu bentuk perjanjian secara tertulis dimana ditentukan di dalamnya bahwa pelaksanaan pembayaran dilakukan berdasarkan sepakat para pihak, baik itu tata cara pembayaran maupun jumlah pembayaran dan syarat-syarat pelaksanaan pembayarannya. Pembuatan perjanjian dalam rangka pelaksanaan pembayaran tersebut telah dapat memenuhi kepastian hukum dan juga dapat mengantisipasi keadaan-keadaan yang timbul dibelakang hari. 2. Jika terjadi wanprestasi dalam hal perjanjian penyiaran dan penayangan iklan diselesaikan melalui musyawarah dan mufakat namun jika tidak selesai melalui jalur pengadilan sesuai dengan kesepakatan para pihak yang dibuat dalam perjanjian, namun sampai saat ini belum pernah terjadi wanprestasi dalam perjanjian penayangan iklan yang dibuat pada LPP TVRI SUMUT. 3. Yang menjadi hak dan kewajiban para pihak adalah bagi pengiklan mengenai pembayaran dan bagi pihak LPP TVRI SUMUT adalah menyiarkan dan menayangkan iklan sesuai keinginan pengiklan dan membuat bukti laporan kepada pihak pengiklan jika iklan tersebut sudah selesai ditayangkan. Saran 1. Kepada para pihak yang melakukan perjanjian penyiaran iklan di LPP TVRI SUMUT hendaknya kesepakatan para pihak dibuat kedalam suatu perjanjian dimana di dalamnya diterangkan hak dan kewajiban para pihak serta akibat-akibat hukum dari tidak dipenuhinya prestasi oleh salah satu pihak. 2. Kepada pihak televise karena iklan merupakan suatu keadaan dari FAKULTAS HUKUM UMA
13
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 pengenalan suatu produk hendaknya dapat memilih mana iklan yang dapat ditampilkan dimuka umum melalui televisi agar iklan yang ditampilkan tidak menyesatkan masyarakat dan bertentangan dengan norma-norma kehidupan dalama masyarakat. 3. Apabila terjadi perselisihan hendaknya para pihak yang terlibat dalam perselisihan tersebut dapat menyelesaikannya diluar pengadilan melalui musyawarah dan mufakat,yang diharapkan jangan sampai terjadi perselisihan dalam penyiaran iklan di televisi,yang mana dapat merugikan masing-masing pihak nantinya. DAFTAR PUSTAKA Abdulkadir Muhammad, “Hukum Perikatan”, Alumni, Bandung.1982. Alo Liliweri, “Dasar-dasar Komunikasi Periklanan”, Citra Aditya, Bandung.1992. Judhariksawan, “Hukum Penyiaran”, PT.Raja Grafindo Persada,Jakarta. 2010. Lukman Santoso,”Hukum Perjanjian Kontrak”, Cakrawala, Yogyakarta.2012.
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X Miru Ahmadi, “Hukum Perlindungan Konsumen”, PT.Raja Grafindo Persada,Jakarta. 2004. Munir Fuady, “Hukum Kontrak”, Citra Aditya Bakti, Bandung,2001. Salim H.S. “Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak,” Cet. II. Sinar Grafika, 2004. Sumartono, “Terperangkap Dalam Iklan (Meneropong Imbas Pesan Iklan Televisi)”. ALFABETA,Bandung. 2002. Syamsul Arifin, “Metode Penulisan Karya Ilmiah dan Penelitian Hukum”, Medan Area University Press, 2012. Surbekti R, “Hukum Perjanjian “, Intermasa, Jakrata,1979. Wirdjono Prodjodikoro, “Azas-azas Hukum Perjanjian”, Sumur Bandung, 1984. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
FAKULTAS HUKUM UMA
14
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016
ISSN: 2355-987X
TINJAUAN HUKUM PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS TANAH INBRENG DAN BANGUNAN
Oleh : RAFIQI Fakultas Hukum Universitas Medan Area ABSTRACT In Country have people and industrial pay to country, Inbreng pajak In Indonesia must count adaption Indonesia, a Enterprenuer must register Indonesia. Pasiva and Aktiva inbreng in Industrial must give account According to the prevailing stipulation the selling and buying on land. Keywords : Pajak, Inbreng I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya, dalam menjalankan suatu usaha tidak diwajibkan bagi seorang Pengusaha untuk mendirikan sebuah badan usaha. Hal tersebut merupakan suatu pilihan bagi Pengusaha untuk menentukan bentuk dari penyelenggaraan usaha yang cocok untuk kegiatan usaha yang dijalankannya. Namun, untuk beberapa jenis usaha tertentu yang memang diwajibkan menurut peraturan perundang-undangan harus berbentuk badan usaha yang merupakan badan hukum. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas dapat dirumuskan permasalahn sebagai berikut : 1. Bagaimana perlakuan perpajakan atas tanah inbreng tanah dan bangunan 2. Bagaimana proses inbreng tanah dan bangunan II. PEMBAHASAN A. Perlakuan atas Perbuatan Hukum atas Tanah Inbreng Sesuai ketentuan UU PPh, harta inbreng yang diterima oleh perusahaan bukanlah penghasilan yang dikenai pajak alias bukan termasuk objek PPh. Di sisi lain, bagi pihak yang menyerahkan harta inbreng, pengeluaran JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
tersebut juga tidak termasuk biaya. Meskipiun pernyataan ini tidak secara eksplisit disebutkan dalam UU PPh, namun dengan mengaitkannya pada prinsip taxability-deductibility maupun prinsipnon taxability-non deductibility yang dianut oleh UU PPh, maka perlakuan ini secara logis dapat diterima.Selain itu, dalam neraca pihak yang menyerahkan harta inbreng, penghapusan (write-off atau disposal) atas harta tersebut akan tergantikan dengan sebuah aktiva baru berupa penyertaan modal atau investasi (long term investment). Dengan kata laintransaksi tersebut tidak secara langsung mempengaruhi laporan laba rugi pada tahun yang bersangkutan. Pengaruh terhadap laporan laba rugi dapat terjadi manakala diperoleh keuntungan akibat transaksi tersebut. Dalam hal ini, maka objek PPh pun muncul. Menurut UU PPh keuntungan tersebut merupakan penghasilan yang termasuk sebagai objek PPh. Bagi perusahaan yang menerima harta inbreng, keuntungan misalnya dapat diperoleh ketika harga pasar harta (aktiva) yang di-inbreng lebiih besar ketimbang nilai saham yang diterbitkan (diberikan) kepada pihak yang menyerahkan hartainbreng. Sementara jika sebaliknya, dimana harga pasar wajar dari harta FAKULTAS HUKUM UMA
15
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 inbreng lebih kecil daripada nilai saham yang diterbitkan, maka keuntungan tersebut berada di pihak yang menyerahkan harta inbreng. keuntungan tersebut harus dihitung dan dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh masing-masing pihak yang bertransaksi. Jika terjadi kerugian misalnya karena harga pasar harta lebih tinggi daripada jumlah setoran modal yang diakui (kerugian bagi pihak yang menyerahkan harta inbreng) atau karena harga pasar harta lebih rendah dari jumlah setoran modal yang harus diakui (kerugian bagi perusahaan penerimainbreng), maka pada dasarnya kerugian tersebut dapat diakui sebagai biaya bagi pihak yang bersangkutan. Bagi perusahaan penerima inbreng , kerugian baru dapat dibebankan apabila harta yang diterimanya dipergunakan untuk kegiatan usaha. Jika tidak, maka kerugian tersebut tidak dapat dibiayakan secara fiskal. Masih mengenai PPh, khusus bagi pihak yang menyerahkan harta inbreng berupa tanah atau bangunan, akan dikenai kewajiban menyetor PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah bangunan (PPh TB). Penyetoran PPh iini wajib dilakukan tanpa melihat apakah yang bersangkutan meraup laba atau menderita keuntungan karena PPh yang harus disetor adalah sebesar 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak, yaitu nilai tertinggi antara nilai pengalihan atau NJOP tanah atau bangunan. Jika pihak yang menyerahkan harta inbreng dikenai kewajiban untuk menyetor PPh TB, maka begitu pula perusahaan yang penerima hartainbreng akan dikenai kewajiban untuk menyetor Bea Perolehan Hak atas Tanah atau Bangunan (BPHTB) dengan jumlah yang sama, yaitu 5% dari nilai tertinggi antara NJOP dengan nilai pengalihan. Mengenai PPN/PPn BM. maka transaksi inbreng pun dapat menjadi salah satu objek yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN/PPn BM. Apakah harta yang diinbreng-kan tersebut merupakan barang dagangan ( inventory) atau bukan, maka JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X PPN/PPh BM pada dasarnya tetap dapat dikenakan atas transaksiinbreng tersebut. Hal ini dapat dimaklumi karena sebagaimana diketahui, kata "Penyerahan Barang Kena Pajak" yang dimaksud dalam UU PPN tidaklah meluluberupa transaksi penjualan. Melihat pada ketentuan yang ada dalam pasal 1A UU PPN, pada dasarnya yang tidak termasuk dalam pengertian kata " penyerahan barang kena pajak" adalah (a) Penyerahan Baranng Kena Pajak (BKP) kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam UU Hukum Dagang; (b) Penyerahan BKP untuk jaminan hutang piutang; dan (c) Penyerahan BKP dari kantor pusat ke cabang dalam hal pengusaha telah mendapatkan izin pemusatan (sentralisasi). Dengan melihat ketiga kelompok penyerahan tersebut, dapat dipastikan bahwa penyerahan harta dalam rangka inbreng termasuk sebagai penyerahan BKP. Bahkan jika ingin lebih sepesifik lagi seperti yang ditegaskan dalam pasal 1A ayat (1) UU PPN, maka salah satu yang termasuk dalam pengertian kata " Penyerahan Barang Kena Pajak" adalah penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian. Dengan demikian, jika harta yang diinbreng tersebut adalah barang dagangan, maka pengenaan PPN/PPn BM-nya dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 4 huruf a UU PPN/PPn BM. Sesuai dengan memori penjelasannya, penyerahaninbreng tersebut dapat tertuang PPN/PPn BM apabila memenuhi syarat sebagai berikut: a. Harta yang di-inbreng merupakan BKP. Secara umum sebenarnya UU PPN menganggap bahwa semua barang adalah BKP, kecuali kelompok barang tertentu yang disebutkan dalam Pasal 4A UU PPN dan Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000; b. Penyerahan (inbreng) harta dilakukan dalam Daerah Pabean, yaitu wilayah negara Republik Indonesia; dan FAKULTAS HUKUM UMA
16
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 Pengusaha yang menyerahkan harta inbreng telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau seharusnya telah dikukuhkan menjadi PKP. Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi PKP adalah pengusaha yang jumlah peredaran bruto atau omzet-nya dalam satu tahun buku telah melebihi Rp600.000.000,00. Ketiga syarat di atas bersifat komulatif, maksudnya jika salah satu syarat atau lebih tidak terpenuhi maka atas penyerahan harta dalam rangka inbreng tidak terutang PPN. Kemudian jika harta yang diserahkan bukan barang dagangan, melainkan harta (aktiva tetap perusahaan), maka PPN tetap dapat dikenakan berdasarkan ketentuan Pasal 16D UU PPN. Pengenaan PPN menurut ketentuan ini hanya dapat terjadi apabila memenuhi syarat komulatif berikut ini; 1. Pengusaha yang menyerahkan harta inbreng sudah dikukuhkan menjadi PKP. 2. Saat perolehan harta yang diinbreng tersebut, pengusaha yang bersangkutan telah dikenai PPN. 3. PPN yang dibayar pada saat perolehan harta tersebut menurut ketentuan perpajakan dapat dikreditkan. Jika PPN tersebut tidakdapat dikreditkan, maka saat inbreng tidak terutang PPN Pasal 16D. Tetapi jika tidak dapat dikreditkannya PPN tersebut hanya karena Faktur Pajak-nya cacat, maka saat inbreng dapat terutang PPN Pasal 16D sepanjang kedua syarat a dan b terpenuhi. c.
B. Proses Inbreng Tanah Menurut Pasal 37 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, Akta Jual Beli (AJB) merupakan bukti sah (selain risalah lelang, jika peralihan haknya melalui JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X lelang) bahwa hak atas tanah dan bangunan sudah beralih kepada pihak lain. AJB dibuat di hadapanPejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau Camat untuk daerah tertentu yang masih jarang terdapat PPAT. Secara hukum Peralihan Hak atas tanah dan bangunan tidak bisa dilakukan di bawah tangan. Langkah pertama yang harus dilakukan untuk melakukan jual beli tanah dan bangunan (untuk selanjutnya hanya disebut jual beli) adalah dengan mendatangi kantor PPAT untuk mendapatkan keterangan mengenai proses jual beli dan menyiapkan persyaratan untuk proses jual beli tersebut. Sebelum dilakukan jual beli PPAT akan menerangkan langkah-langkah dan persyaratan yang diperlukan untuk melaksanakan jual beli. Kepentingan lainnya adalah untuk menyerahkan asli sertifikat terlebih dahulu untuk dilakukan pengecekan terhadap kesesuaian data teknis dan yuridis antara sertifikat dan buku tanah yang ada di kantor pertanahan. Pemeriksaan sertifikat ke BPN dilakukan oleh PPAT yang bertujuan untuk mengetahui bahwa objek jual beli tidak dalam sengketa hukum, dalam jaminan, sita atau blokir dari pihak lain. Dimana jika ada catatan di dalam buku tanah yang ada di BPN maka penjual berkewajiban terlebih dahulu untuk menbersihkan catatan tersebut. Jika catatan tersebut berupa blokir maka blokir tersebut harus diangkat terlebih dahulu. Tanpa proses ini jual beli tidak bisa dilaksanakan. Menyerahkan SPPT PBB dan bukti pembayarannya Berkas lainnya yang harus diserahkan kepada PPAT adalah Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB) dan bukti pembayarannya. Penyerahan SPPT PBB sebelum jual beli dilakukan juga diperlukan untuk memastikan bahwa tidak ada tunggakan pembayaran PBB dan FAKULTAS HUKUM UMA
17
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 menghitung biaya-biaya dan pajak-pajak yang menjadi kewajiban masing-masing pihak. Dimana penghitungan biaya-biaya tersebut bisa dilakukan berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Menyerahkan pihak
dokumen-dokumen
diperlukan jika sertifikat atas nama istri dan yang meninggal adalah suami (misalnya). Dalam hal suami atau istri tidak bisa menandatangani AJB
para
Dokumen-dokumen para pihak perlu diserahkan kepada PPAT sebelum dilakukan penandatanganan akta jual beli, hal ini bertujuan supaya PPAT bisa menyiapkan AJB-nya terlebih dahulu sehingga pada saat hari yang disepakati untuk penandatanganan AJB bisa dilakukan dengan segera. Dokumen yang disiapkan oleh penjual: 1. Asli sertifikat 2. Asli SPPT PBB tahun terakhir dan bukti pembayaran 3. Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dan dokumen lainnya mengenai tanah dan bangunan, jika objek jual beli berupa tanah dan bangunan 4. Fotokopi KTP dan KK suami dan istri 5. Fotokopi surat nikah, jika sudah menikah. Jika penjual belum menikah diperlukan surat pernyataan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan belum menikah 6. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) 7. Fotokopi Surat Keterangan Kematian (dalam hal pemilik sudah meninggal) 8. Fotokopi Surat Keterangan Waris yang dilegalisir oleh kelurahan Dokumen yang disiapkan oleh pembeli: 1. Fotokopi KTP dan KK 2. Fotokopi NPWP Dalam hal salah satu pihak suami atau istri meninggal dunia Jika suami atau istri ada yang meninggal dunia maka harus ada persetujuan untuk menjual dari ahli waris tanpa melihat nama yang tercantum di dalam sertifikat, apakah atas nama suami atau atas nama istri. Artinya persetujuan ahli waris tetap JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X
Ikatan tali perkawinan menyebabkan terjadinya percampuran harta antara suami dan istri. Maka dalam hal menjual diperlukan persetujuan suami atau istri. Jika suami atau istri karena sesuatu dan lain hal tidak bisa ikut hadir pada saat penandatanganan AJB maka wajib ada surat persetujuan menjual yang dibuat di hadapan notaris, minimal surat persetujuan tersebut dilegalisir. Lain hal jika ada perjanjian kawin yang menyatakan pemisahan harta maka tidak diperlukan persetujuan suami atau istri. Sebab lainnya adalah harta yang diperoleh sebelum pernikahan sehingga tidak termasuk harga gonogini. Untuk menentukan objek jual beli ini merupakan harga gonogini atau bukan, bisa dilihat dengan membandingkan tanggal pernikahan dengan tanggal diperolehnya objek jual beli. Jika tanah dan bangunan diperoleh sebelum tanggal pernikahan atau sesudah perceraian maka harta tersebut bukan merupakan harta gonogini. Penandatanganan Akta Jual Beli Jika semua syarat-syarat yang diperlukan sudah dilengkapi, seperti dokumendokumen di atas, penjual sudah menerima haknya, pajak-pajak sudah dibayarkan, biaya AJB sudah diterima PPAT maka dilakukan penandatanganan AJB dengan dihadiri oleh dua orang saksi yang pada umumnya karyawan kantor PPAT tersebut. Balik nama sertifikat Balik nama sertifikat diajukan oleh PPAT pembuat AJB ke kantor pertanahan setempat. Proses balik nama ini memakan waktu kurang lebih dua minggu. Teknisnya adalah nama yang ada di sertifikat pada awalnya dicoret dan FAKULTAS HUKUM UMA
18
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 digantikan oleh pembeli dengan mencantumkan dasar peralihannya, yakni nomor dan tanggal AJB beserta PPAT yang membuatnya. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan dalam UU No.28 tahun 2007 tentang KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan). Untuk menentukan saat PKP melaksanakan kewajiban membayar pajak, penentuan saat pajak terutang menjadi sangat relevan. Tanpa diketahui saat pajak terutang, tidak mungkin ditentukan bilamana PKP wajib memenuhi kewajiban melunasi utang pajaknya. Untuk menentukan saat pajak terutang sangat erat kaitannya dengan penentuan saat tim-bulnya utang pajak. Sebagai pajak objektif, PPN menganut ajaran materiil timbulnya utang pajak yaitu utang pajak timbul karena undangundang. Dengan kata lain dapat dirumuskan bahwa utang pajak timbul karena adanya tatbestand yang diatur dalam undang-undang, yaitu sejak adanya suatu ke-adaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak. Dengan rumusan yang lebih sederhana, dapat ditentukan bahwa utang PPN mulai timbul sejak adanya objek pajak. Ajaran materiil timbulnya utang pajak dianut oleh suatu jenis pajak yang mekanisme pemungutan pajak-nya menggunakan self assessment system. Mekanisme pemungutan PPN menggunakan sistem ini, sehingga timbulnya utang pajak ditentukan berdasarkan ajaran materiil. Dari ketentuan Pasal 11 UU PPN 1984 dapat disimpulkan bahwa pajak terutang: 1) pada saat penyerahan BKP atau JKP 2) pada saat impor BKP 3) pada saat dimulai pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean 4) pada saat pembayaran dalam hal : JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X a) pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP atau JKP b) pembayaran dilakukan sebelum dimulai pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. 5) pada saat lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Tempat Pajak Terutang Berdasarkan Pasal 12 UU PPN 1984 ditetapkan bahwa pajak terutang di : 1) Tempat tinggal atau tempat kedudukan; dan 2) Tempat kegiatan usaha dilakukan, atau 3) Tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak ; 4) Tempat BKP dimasukkan, dalam hal impor ; 5) Tempat orang pribadi atau badan terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam hal pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean ; atau 6) satu tempat atau lebih yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai tempat pemusatan pajak terutang atas permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak. Ketentuan Pasal 12 UU PPN 1984 tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000, yang menetapkan bahwa : a. Tempat pajak terutang untuk Penyerahan di dalam Daerah Pabean. Pajak terutang di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha dilakukan, yaitu di tempat pengusaha dikukuhkan atau seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. b. Tempat pajak terutang untuk impor BKP adalah ditempat BKP dimasukkan ke dalam Daerah Pabean. c. Tempat pajak terutang untuk pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam daerah Pabean adalah di tempat orang FAKULTAS HUKUM UMA
19
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 pribadi atau badan yang memanfaatkan, terdaftar sebagai Wajib Pajak. d. Tempat pajak terutang untuk kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak di dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan adalah di tempat bangunan didirikan. e. Tempat pajak terutang bagi PKP yang dikukuhkan di KPP Wajib Pajak Besar, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP335/PJ/2002 tanggal 1 Juli 2002 dipusatkan di KPP Wajib Pajak Besar yang menerbitkan surat pengukuhan. f. Tempat pajak terutang ditentukan lain oleh Direktur Jenderal Pajak atas permintaan tertulis dari wajib pajak atau secara jabatan. Berdasarkan ketentuan ini maka dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-525/PJ./2000 tanggal 6 Desember 2000 ditetapkan bahwa PKP orang pribadi yang mem-punyai tempat tinggal yang tidak sama dengan tempat kegiatan usahanya, terutang pajak hanya ditempat kegiatan usahanya, sepanjang PKP tersebut tidak melakukan kegiatan usa-ha apapun di tempat tinggalnya.Dalam hal PKP memiliki lebih dari satu tempat kegiatan usaha dalam wilayah satu KPP, berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-02/PJ.9/1998 tanggal 4 Mei 1998 ditegaskan pengukuhannya disatukan di kantor pusatnya. Beberapa PKP tertentu ditetapkan bahwa pada dasarnya terutang di tempat kantor pusatnya dikukuhkan sebagai PKP dengan beberapa pengecualian : a. Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP394/PJ./2003 tanggal 31 Desember 2003 yang telah diubah dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-73/PJ/2004 tanggal 14 April 2004, tentang Tempat Terutangnya Pajak Bagi PKP Yang JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X Dikukuhkan di KPP Wajib Pajak BUMN ditetapkan sebagai berikut : 1) Wajib Pajak yang terdaftar pada KPP yang mengelola Wajib Pajak BUMN yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP dan atau melakukan ekspor BKP, wajib dikukuhkan sebagai PKP di KPP dimaksud dan pajak terutang di tempat PKP dikukuhkan. Dikecualikan dari ketentuan ini bagi PKP BUMN yang : melaksanakan proyek atau tender dari Pemerintah daerah atau panitia pemberi proyek atau tender di daerah tertentu yang mengharuskan PKP peserta proyek atau tender dikukuhkan sebagai PKP di KPP lokasi tempat kegiatan usaha ; atau 2) mempunyai lebih dari 200 (dua ratus) tempat kegiatan usaha termasuk antara lain cabang, lokasi usaha, perwakilan, unit pemasaran dan sejenisnya termasuk distrik, dan tidak memiliki Sistem Informasi Akuntasi yang terhubung antara pusat dengan cabang maupun antar cabang (on line). Bagi BUMN yang tidak melakukan pemusatan tempat pajak terutang dimaksud, wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Kepala KPP BUMN. b. Bagi BUMN yang sudah terlanjur dikukuhkan sebagai PKP oleh KPP selain yang mengelola Wajib Pajak BUMN, maka KPP ini wajib melakukan pencabutan Pe-ngukuhan PKP tersebut paling lambat tanggal 31 Januari 2004. c. Dalam hal telah dilakukan pencabutan Pengukuhan PKP yang dilakukan oleh KPP selain yang mengelola Wajib Pajak BUMN, tetapi PKP yang bersangkutan belum melaporkan seluruh kegiatan usahanya secara terpusat untuk Masa Pajak Januari FAKULTAS HUKUM UMA
20
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016
d.
1) 2)
e.
f.
2004 sampai dengan Agustus 2004 di KPP BUMN, maka PKP tempat pemusatan wajib melakukan pembetulan SPT Masa PPN tersebut dengan menggabungkan kegiatan seluruh ccabang yang pengukuhannya telah dicabut. PKP yang melakukan pemusatan tempat PPN terutang tetapi pengukuhan-nya di KPP selain KPP BUMN belum dicabut, tidak wajib melaporkan ke-giatan usaha ke KPP BUMN dengan syarat : masih menyampaikan SPT Masa PPN di KPP selain KPP BUMN ; Menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Kepala KPP BUMN bahwa telah menyampaikan SPT Masa PPN di KPP selain KPP BUMN. PKP BUMN yang dibebani kewajiban untuk melakukan pemusatan PPN terutang di KPP BUMN, wajib melaksanakannya paling lambat tanggal 31 Agustus 2004. Bagi PKP BUMN yang tidak melaksanakan kewajiban pemusatan tempat PPN terutang yang dibebankan kepadanya, dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Keputusan Direktur Jenderal tersebut diatas secara tidak langsung meng-anulir salah satu diktum Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-515/ KEP/2000 sebagaimana telah diubah dengan Nomor KEP-337/PJ./2002 tanggal 2 Juli 2002, khusus bagian yang mengatur tentang tempat pajak terutang bagi BUMN. (2) Badan Usaha Milik Daerah bagi Wajib Pajak BUMD yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP ter-utang pajak dan wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP di KPP di wilayah kerjanya. (3) Wajib Pajak Penanaman Modal Asing Wajib Pajak Penanaman Modal Asing dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu : JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X (a) Wajib Pajak Penanaman Modal Asing yang tidak “masuk bursa”, yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP di KPP Penamaman Modal Asing sebagai tempat pajak terutang ; (b) Khusus bagi Wajib Pajak PMA yang berkedudukan di Kawasan Berikat Pulau Batam, Kawasan Pulau Bintan, dan kawasan Pulau Karimun, atas permohonan Wajib Pajak diberi kemudahan untuk mendaftarkan diri dan melaporkan usahanya pada KPP setempat sebagai tempat pajak terutang. (4) Wajib Pajak Badan dan Orang Asing (BADORA) untuk seluruh Wajib Pajak Badan (BUT) dan Orang Asing yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP di KPP BADORA sebagai tempat pajak terutang ; (5) Seluruh wajib pajak yang telah mendapat ijin emisi saham dari Badan Pengawas Pasar Modal yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP di KPP Masuk Bursa, kecuali Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai PKP di KPP tempat Wajib Pajak ini berkedudukan ; (6)
Wajib Pajak besar sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP263/PJ/2002 tanggal 8 Mei 2002 yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP, pajak terutang dan wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP di KPP Wajib Pajak Besar.
DAFTAR PUSTAKA S. Munawir, Liberty, Jogjakarta, 1992
FAKULTAS HUKUM UMA
21
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016
ISSN: 2355-987X
Gunadi,dkk, Perpajakan, Lembaga Penerbit FE_UI, Jakarta, Edisi Revisi,1999 Wirawan dan Richard Burton, SH,PT.Salemba Empat, Jakrta, 2001 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU No. 13/2003”); Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang no. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (“UU No. 28/2007”); Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang No. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (“UU No 36/2008”); dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. KEP.231/MEN/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum (“Kepmenakertrans No. 231/2003”) Peraturan Menteri Keuangan No. 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai (“PMK 68/2010”).
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM UMA
22
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016
ISSN: 2355-987X
BENTURAN KEPENTINGAN TIDAK LANGSUNG OLEH DIREKTUR DALAM MENGELOLA PERSEROAN TERBATAS Marsella Fakultas Hukum Universitas Medan Area
[email protected] ABSTRAK Lahirnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disingkat UUPT). diharapkan memberi jalan keluar bagi perseroan terbatas sebagai badan hukum untuk menghadapi tuntutan perkembangan ekonomi zaman ini. Tuntutan yang dihadapi perseroan terbatas adalah mengenai transaksi yang dilakukan oleh organ-organnya, khususnya oleh direktur perseroan terbatas dengan pihak lain yang mempunyai hubungan dekat dengan direktur perseroan terbatas tersebut yang menimbulkan benturan kepentingan. bahwa tindakan seperti self dealing, menerima hadiah atau manfaat termasuk segala bentuk penyuapan dan kick-back fee, menjajakan pengaruh (influence pedding), memanfaatkan aset perseroan untuk kepentingan pribadi (using employer’s propety for private advantage) dan memanfaatkan informasi rahasia (using confidential information) merupakan beberapa bentuk Benturan Kepentingan. Faktorfaktor yang menimbulkan Benturan Kepentingan adalah faktor internal yaitu merupakan transaksi Benturan Kepentingan dilakukan di dalam peseroan untuk kepentingan pribadi yang dilakukan oleh direktur, sedangkan faktor eksternal merupakan transaksi Benturan Kepentingan dilakukan oleh direktur untuk keuntungan pribadinya sendiri bukan untuk keuntungan perseroan, melainkan dilakukannya secara diam-diam dan kolusi.. Pengaturan tentang Benturan Kepentingan memang telah diatur dalam Pasal 99 UUPT, namun tidak menjelaskan bentuk-bentuk Benturan Kepentingan oleh direktur dan kapan seorang direktur dapat dinyatakan melakukan transaksi yang menimbulkan Benturan Kepentingan. Tidak tegasnya pengaturan tentang standard terjadinya benturan kepentingan dan standard tanggungjawab direktur di dalam UUPT menyebabkan pengambil keputusan tidak dapat berbuat banyak dalam membuat, menimbang dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku terjadinya benturan kepentingan tersebut. Kata Kunci : Benturan Kepentingan Tidak Langsung, Direktur Perseroan Terbatas. ABSTRACT Birth of Law Number 40 Year 2007 regarding Limited Liability Company (hereinafter referred to as the Company Law). is expected to provide a solution to the limited liability company as a legal entity to deal with the demands of economic development today. Demands faced limited liability company is about transactions conducted by the relevant organs, in particular by the director of a limited liability company with others having a close relationship with the director of a limited liability company that raises a conflict of interest. that actions such as self dealing, accepting gifts or benefits include all forms of bribery and kick-back fee, peddling influence (influence pedding), utilizing company assets for personal benefit (using employer's propety for private advantage) and take advantage of confidential information (using confidential information) is some form of Conflict of Interest. Factors that cause the Conflict of Interest is the internal factors are derived from transactions Conflict of Interest is done inside the company may for personal benefit of its directors, while external factors are transactions Conflict of Interest made by the director to gain own private not for profit company, but do it in silence -diam and collusion. the arrangement of the Conflict of Interest is already provided for in Article 99 JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM UMA
23
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016
ISSN: 2355-987X
of the Company Law, but did not explain the forms of Conflict of Interest by the director and when a director can commit a transaction that causes the Conflict of Interest. Not specifically about setting a standard conflict of interest standards and director responsibilities within the Company Law led to the decision maker can not do much to make, weigh and impose sanctions on perpetrators of such conflicts of interest. Keywords: Conflict of Interest Indirect, Director of the Limited Liability Company.
I.
PENDAHULUAN Krisis moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 memperlihatkan bukti itu. Perusahaanperusahaan besar yang dulu begitu kuat, ternyata hancur lebur oleh sistem pengelolaan yang tidak baik, misalnya penggunaan dana untuk investasi jangka panjang sementara dana itu diperlukan perusahaan untuk kegiatan jangka pendek, pengucuran dana bank yang berlebihan kepada perusahaan yang dalam satu kelompok. Cara menggunakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) oleh direktur-direktur bank swasta yang mengelola perseroannya, telah memberi gambaran betapa sikap bertanggung jawab itu amat jauh dari yang diharapkan. Pemerintah pun menerima beban dari Bankbank yang menyerap dana harus dilikuidasi, perseroan-perseroan yang masih dalam satu kelompok dengan bank diambil alih kepemilikan dan pengelolaan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).18 Banyak di antara perseroanperseroan yang berada dalam penguasaan BPPN merupakan Perseroaan Terbuka. Bapepam merespon kebutuhaan BPPN untuk mendapat koridor hukum di dalam melakukan segenap upaya yang ditujukan untuk pemulihan ekonomi sekaligus memberdayakan pemegang saham minoritas/independen dalam proses pengambilan keputusan. Pasal 82 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal menyatakan : Bapepam dapat mewajibkan emiten atau Perusahaan Publik untuk memperoleh 18
Irsan Nasarudin dan Indra Surya, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2004), Hal. 245.
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
persetujuan mayoritas pemegang saham independen apabila emiten atau Perusahaan Publik tersebut berbenturan dengan kepentingan ekonomis pribadi direktur, komisaris atau pemegang saham utama emiten atau Perusahaan. Hal ini untuk mengantisipasi perbuatan pihak-pihak tertentu yang mengandung benturan kepentingan secara langsung maupun tidak langsung yang dilakukan direktur. Di sisi lain pemberlakuan ketentuan ini sejalan dengan prinsip good corporate governance atau tata kelola perusahaan yang baik untuk membantu terciptanya hubungan yang kondusif dan dapat dipertanggungjawabkan di antara elemen dalam perusahaan yaitu Komisaris, Dewan Direksi dan para pemegang saham.19 Memang Undang-undang PT menyebutkan direksi dan juga komisaris bertanggungjawab secara terbatas sepanjang tindakan tersebut berada dalam wewenang (intra vires). Namun, pertanggungjawaban dapat dimintakan kepada pengurus jika tindakan pengurus tersebut merupakan tindakan di luar kewenangan (ultra vires),20 yang bertentangan dengan ketentuan hukum dan tindakan itu menimbulkan kerugian bagi perseroan. Sebagai pengurus perseroan, direksi mempunyai kekuasaan dan dengan kekuasaannya yang sangat besar itu pasti 19
Forum for Corporate in Indonesia (FCGI), Seri Tata Kelola Prusahaan (corporate governance) jilid II dalam Peranan Dewan Komisaris dan Komite Audit dalam Pelaksanaan Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan), (Jakarta : FCGI,), Hal. 16. 20 Munir Fuady, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999), Hal. 10. (selanjutnya disebut Munir Fuady I).
FAKULTAS HUKUM UMA
24
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 ada kemungkinan akan merugikan perseroan yang pada akhirnya akan merugikan pemegang saham sebagai pihak yang paling berkepentingan terhadap Perseroaan.21 Kekuasaan tersebut bisa saja dipergunakan secara tidak tepat, karena kesengajaan atau kelalaian direktur dipergunakan untuk kepentingan pribadinya. Dalam hal ini direktur tidak langsung melakukan, tetapi menyuruh dan memberi saran (informasi) kepada PT “XX” yang merupakan perseroan keluarga direktur PT “YY”, untuk membeli barang di PT. “YY”, dengan harga murah dan mendapat potongan harga, yang sebenarnya PT. “XX” pemegang saham terbesar yang dimiliki sang direktur tadi dan masih kepunyaan keluarganya. Direktur PT. “YY” secara tidak langsung melakukan perbuatan atau tindakan dengan tidak nyata dia yang melakukannya atau berbuat secara langsung, tetapi dia memberikan keringanan-keringanan dalam cara pembayarannya dan dalam jangka waktu jatuh tempo yang dibuat oleh manager PT.”YY’ atas informasi direktur tadi. Setiap transaksi yang dilakukan antara direktur perseroan dengan perseroan lainnya, baik dilakukan secara langsung oleh direktur yang bersangkutan, ataupun secara tidak langsung, misalnya lewat saudara-saudaranya maupun teman atau kroninya. Krusial transaksi berbentuk self dealing ini adalah adanya benturan kepentingan antara kepentingan direktur itu sendiri dengan kepentingan perseroan.22 Agar dapat mencegah perbuatan atau pun tindakan benturan kepentingan secara langsung maupun tidak langsung yang dilakukan direktur, maka sistem common law yang dianut Amerika memiliki prinsip corporate opportunity sebagai konsekuensi dari pemberlakukan prinsip fiduciary duty. Doktrin corporate opportunity mengajarkan bahwa direktur harus lebih mengutamakan kepentingan
ISSN: 2355-987X perseroan terhadap transaksi yang menimbulkan benturan kepentingan. Seorang direktur tidak boleh mengambil keuntungan-keuntungan tersembunyi atau teselubung dari suatu transaksi perseroan.23 Bila perseroan maupun pribadi direktur sama-sama dapat melakukan suatu transaksi bisnis yang tentunya dapat membawa keuntungan (profit), maka transaksi tersebut harus diberikan kepada perseroan, karena kepentingan perseroan mestilah lebih didahulukan dari pada kepentingan pribadi direktur. Undang-undang Perseroan Terbatas tidak dengan tegas mengakui berlakunya prinsip corporate opportunity ini, tetapi terdapat indikasi yang mengarah kepada pengakuan prinsip tersebut. Pada Pasal 99 ayat (1) menentukan, anggota Direksi tidak berwenang mewakili perseroan jika mempunyai kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan perseroan.24 Tetapi pada kenyataan benturan kepentingan tidak langsung oleh direktur dalam mengelola perseroan sulit untuk dibuktikan bahwa dibalik perbuatan dan tindakan itu dilakukan oleh direktur. Sampai saat ini belum ada hukum positif yang secara normatif mengatur tentang akibat hukum dari benturan kepentingan tidak langsung oleh direktur dalam mengelola perseroan terbatas. Pengadilan negeri belum pernah memutus perkara yang berhubungan dengan benturan kepentingan ini, sehingga oleh hakim belum ada hukum positif dan belum ada putusan pengadilan yang berhubungan dengan benturan kepentingan ini. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran dikemudian hari apabila diadakan perubahan terhadap UU No. 40 Tahun 2007 Tentang PT. Atas hal inilah penulis ingin meneliti lebih lanjut mengenai benturan kepentingan tidak langsung oleh direktur 23
Prasetya dalam Irsan Nasarudin dan Indra Surya, Op. Cit., Hal. 252. 22 Munir Fuady I, Op. Cit., Hal. 6.
Ibid., Hal. 5. Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Dalam Corporate Law Dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002), Hal. 245. (selanjutnya disebut Munir Fuady II).
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM UMA
24
21
25
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016
ISSN: 2355-987X
dalam mengelola perseroan, mengenai permasalahan: 1. Faktor-faktor yang menimbulkan Benturan Kepentingan tidak langsung oleh direktur terhadap eksistensi Perseroan Terbatas. 2. Bagaimanakah kedudukan hukum direktur dalam Benturan Kepentingan tidak langsung. 1. Pengertian Perseroan Terbatas Perseroan terbatas pada zaman Hindia Belanda dikenal dengan nama “Naamloze Vennootshap”, yang berarti “tanpa nama” maksudnya dalam hal pemberian nama perusahaan tidak memakai salah satu nama anggota persero, melainkan menggunakan nama perusahaan berdasarkan tujuan dari usahanya,25 sedangkan pada istilah di Inggris yang isinya hampir mendekati dengan istilah perseroan terbatas yaitu “Company limited by shares”. Perseroan terbatas ini juga di Jerman, Australia dan Swiss disebut Aktiengesellschaft dan di Perancis disebut “Societe anonyme”. 26
sementara atau memberhentikan Direksi dan Komisaris, menetapkan kebijakan umum perseroan terbatas yang akan dijalankan oleh Direksi dan menetapkan kewenangan atau hal-hal lainnya yang tidak diserahkan kepada Direksi dan Komisaris. 3. Adanya pengurus, yang dinamakan dengan Direksi dan pengawas, yang dinamakan Komisaris yang juga merupakan organ Perseroan Terbatas, yang tugas kewenangan dan kewajibannya diatur lebih lanjut dalam anggaran dasar PT atau keputusan Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disingkat dengan RUPS. Berbeda dengan Pasal 1 ayat (1) UU PT Nomor 40 Tahun 2007, “PT yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya”. Berdasarkan pengertian UUPT, maka sebagai badan hukum perseroan harus memenuhi unsur-unsur adalah :27
Dalam Pasal-pasal Kitab Undangundang Hukum Dagang, yang selanjutnya disingkat dengan KUHD yang mengatur mengenai PT, tidak ditemukan pengertian PT, akan tetapi dari Pasal 36, 40, 42 dan 45 KUHD dapat disimpulkan bahwa suatu PT mempunyai unsur-unsur sebagai berikut : 1. Adanya kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pribadi masing-masing pendiri perseroan terbatas (pemegang saham) dengan tujuan untuk membentuk sejumlah modal sebagai jaminan bagi semua perikatan PT. 2. Adanya pemegang saham (persero) yang tanggung jawabnya terbatas pada jumlah nilai nominal saham yang dimiliknya. Para pemegang saham sebagai organ perseroan terbatas yang memegang kekuasaan yang tertinggi dalam PT, yang berwenang mengangkat, memberhentikan
a. Badan Hukum. Setiap perseroan adalah badan hukum, artinya badan yang memenuhi syarat keilmuan sebagai pendukung kewajiban dan hak, antara lain memiliki harta kekayaan sendiri terpisah dari harta kekayaan pendiri atau pengurusnya. Dalam KUHD tidak satu pasal yang menyatakan perseroan sebagai badan hukum, tetapi dalam UUPT secara tegas dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) bahwa perseroan adalah badan hukum. b. Didirikan berdasarkan perjanjian. Setiap perseroan didirikan berdasarkan perjanjian, maksudnya harus ada sekurang-kurangnya dua orang yang sepakat mendirikan perseroan, yang dibuktikan secara tertulis yang tersusun
25
Rachmadi Usman, Op.Cit, Hal. 47. Purwosutjipto dalam Rachmadi Usman, Ibid, Hal. 47.
67.
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM UMA
26
27
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, Hal. 26
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 dalam bentuk Anggaran Dasar, kemudian dimuat dalam akta pendirian perseroan, yang dibuat di muka Notaris. Setiap pendiri wajib mengambil bagian saham pada saaat perseroan didirikan. Ketentuan ini adalah asas dalam pendirian perseroan. c. Melakukan kegiatan usaha. Setiap perseroan melakukan kegiatan usaha yaitu kegiatan dalam bidang perekonomian (industri, jasa dan dagang) yang bertujuan mendapat keuntungan atau laba. Melakukan kegiatan usaha, supaya kegiatan usaha itu sah harus mendapat izin usaha dari pihak yang berwenang dan didaftarkan dalam daftar perusahaan menurut undang-undang yang berlaku. d. Modal dasar. Setiap perseroan harus mempunyai modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham. Modal dasar disebut juga modal statuter, dalam bahasa inggris disebut authorized. Modal dasar merupakan harta kekayaan perseroan sebagai badan hukum, yang terpisah dari harta kekayaan pribadi pendiri, organ perseroan, pemegang saham. Menurut Pasal 32 ayat (1) UUPT, modal dasar perseroan sekurang-kurangnya Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). e. Memenuhi persyaratan undang-undang. Setiap perseroan harus memenuhi persyaratan undang-undang perseroan dan peraturan pelaksanaannya. Unsur ini menunjukan bahwa perseroan menganut sistem tertutup (closed system) Kemudian Pasal 7 ayat (4) UUPT menyatakan : “Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan”. Dari bunyi Pasal 1 ayat 1 Joncto Pasal 7 ayat 4 UUPT, bahwa badan usaha yang berbentuk PT merupakan badan hukum. Namun tidak berarti setiap badan hukum adalah PT. UUPT secara tegas menyatakan bahwa PT merupakan suatu badan hukum yaitu suatu badan yang dapat bertindak dalam lalulintas hukum sebagai subjek hukum dan memiliki kekayaan yang JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X dipisahkan dari pengurusnya.
kekayaan
pribadi
KUHD tidak secara tegas menyatakan PT sebagai badan hukum, namun bila kita perhatikan ketentuan Pasal 40 ayat 2 dan Pasal 45 ayat 1 KUHD, PT juga merupakan badan hukum. Pasal 40 ayat 2 KUHD menyatakan bahwa para pemegang saham tidak bertanggungjawab untuk lebih daripada jumlah penuh sahamsaham itu”. Kemudian Pasal 45 ayat 1 KUHD menyatakan bahwa “tanggungjawab para pengurus adalah tak lebih daripada untuk menunaikan tugas yang diberikan kepada mereka dengan sebaik-baiknya merekapun karena segala perikatan dari perseroan, dengan diri sendiri tidak terikat kepada pihak ketiga”. Bentuk PT adalah salah satu usaha yang paling banyak dipergunakan dalam dunia usaha di Indonesia, karena mempunyai sifat atau ciri yang khas yang mampu memberikan manfaat yang optimal kepada usaha itu sendiri sebagai asosiasi modal untuk mencari untung dan laba.28 PT dapat dibagi dalam beberapa macam adalah : 1. PT tertutup adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1ayat 1 UUPT yaitu perseroan adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaanya.29 PT tertutup merupakan suatu perseroan yang belum pernah menawarkan sahamnya kepada publik melalui penawaran umum. 2. PT Terbuka menurut UUPT adalah suatu PT yang modal dan sahamnya telah memenuhi syarat-syarat tertentu, dimana saham-sahamnya dipegang oleh banyak orang/banyak perusahaan,30 PT yang 28
I.G. Ray Widjaya, Op. Cit, Hal. 142 Ibid, Hal. 140 30 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Modern, (Bandung : 29
FAKULTAS HUKUM UMA
27
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016
ISSN: 2355-987X
modal dan pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu, atau PT yang melakukan penawaran umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal.31 Salah satu ciri dari PT Terbuka adalah perlunya keterbukaan (disclosure) atas informasi perusahaan kepada publik, sehingga hukum pun mengatur masalah perusahaan Terbuka, termasuk tentang keterbukaan informasi ini secara sangat detail.32 PT Terbuka atau Perusahaan Go Public berdasarkan Undang-undang Pasar Modal Nomor 8 tahun 1995, yang selanjutnya disingkat dengan UUPM. UUPM memberikan batasan dalam Pasal 1 ayat 22 bahwa Perusahaan publik adalah ”PT yang sahamnya dimiliki sekurangkurangnya oleh 300 (tiga ratus) pemegang saham dan memiliki modal setor sekurangkurangnya Rp. 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah) atau suatu jumlah pemegang saham dan modal disetor yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah”. Direksi merupakan suatu organ yang didalamnya terdiri dari satu atau lebih Direktur. Dalam hal perseroan memiliki lebih dari satu orang Direktur dalam Direksi, maka salah satu anggota Direkturnya diangkat sebagai Direktur Utama (Presiden Direktur).33 Istilah Direksi atau Direktur dalam beberapa bahasa disebut dalam bahasa Inggris : Director, bahasa Belanda : Directie, Directeur atau Raad Van Berstuur, bahasa Perancis : Directoire atau Directeur, dan bahasa Spanyol adalah Director.34 Direksi adalah organ perseroan pemegang kekuasaan eksekutif di perseroan. Direksi mengendalikan operasi perseroan sehari-hari dalam batas-batas yang ditetapkan oleh UUPT, anggaran dasar
dan RUPS serta di bawah pengawasan Dewan Komisaris. Tugas dan fungsi utama Direksi adalah menjalankan roda manajemen perseroan secara menyeluruh. Dengan demikian, setiap anggota Direksi haruslah orang yang berwatak baik, berpengalaman, mempunyai kompetensi menduduki jabatan dan melaksanakan setiap kegiatan semata-mata untuk kepentingan perseroan.35 Menurut Munir Fuady ada 4 (empat) macam Direktur perseroan, yaitu sebagai berikut :36 1. Direktur biasa, yakni Direktur yang dipilih oleh RUPS atau anggaran dasar. Inilah Direktur yang paling lazim dan banyak sekali terdapat dalam praktek. 2. Direktur de facto, yaitu Direktur yang tidak dipilih oleh RUPS atau anggaran dasar. 3. Direktur substitusi atau Direktur pengganti yang sifatnya sementara atau yang ditugaskan khusus untuk perbuatan tertentu. 4. Direktur bayangan (shadow director), yaitu Direktur yang bertugas hanya menjadi pajangan belaka, dimana setiap pekerjaan dilakukan atas suruhan pihak lain, atau bahkan pihak lain yang melakukan tugas-tugas Direksi. Misalnya Direksi yang diangkat dengan perjanjian trustee, yang dalam hal ini lebih tepat disebut sebagai “Direktur boneka”. PEMBAHASAN FAKTOR-FAKTOR BENTURAN KEPENTINGAN TIDAK LANGSUNG OLEH DIREKSI Seorang Direktur perseroan dikatakan telah mempunyai Benturan Kepentingan, jika terjadi hal-hal sebagai berikut : 1. Berperkara di pengadilan mewakili perseroan, tetapi pihak lawan ada hubungannya dengan Direktur.
Citra Aditya Bakti, 2002), Hal. 51. (selanjutnya disebut Munir Fuady III). 31 I.G. Ray Widjaya, Loc. Cit, Hal. 141. 32 Munir Fuady III, Op. Cit, Hal. 51. 33 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaya, Op. Cit., Hal. 98. 34 Munir Fuady I, Op.Cit, Hal. 49.
Mas Achmad Daniri, Good Coeporate Governance Konsep dan Penerapannya Dalam Konteks Indonesia, (Jakarta : Gloria Printing, 2005), Hal. 129. 36 Ibid, Hal. 51.
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM UMA
35
28
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016
ISSN: 2355-987X
2. Seorang Direktur tidak boleh mengambil keuntungankeuntungan tersembunyi atau terselubung dari suatu transaksi perseroan (Corporate Opportunity). 3. Terjadinya transaksi untuk pribadi (Self Dealing) Seorang Direktur dalam menjalankan tugasnya di Perseroan tidaklah boleh melakukan Benturan Kepentingan, sebab, jika terjadi tindakkan Direktur disangsikan tidak objektif lagi dan tidak melaksanakan kepentingan Perseroan. Karena itu, jika seseorang melakukan transaksi yang mengandung Benturan Kepentingan dikatakan bahwa Direktur tersebut telah melanggar prinsip fiduciary duties yang berlaku kepadanya. Undang-undang PT menentukan bahwa anggota Direktur tidak berwenang mewakili perseroan apabila : 37 1. Terjadi perkara di depan pengadilan antara perseroan dengan anggota Direksi bersangkutan; atau 2. Anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan perseroan. Di dalam anggaran dasar ditetapkan yang berhak mewakili perseroan apabila terdapat benturan kepentingan dari anggota Direksi, akan tetapi dalam anggaran dasar tidak menetapkan hal tersebut, maka RUPS dapat mengangkat 1 (satu) orang pemegang saham atau lebih untuk mewakili perseroan, di samping itu Komisaris juga diangkat untuk melaksanakan tugas tersebut, karena Komisaris pun dapat ditunjuk oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau anggaran dasar untuk menjalankan tugastugas tertentu dari perseroan. 38 Pada umumnya pemegang saham independen adalah pemegang saham publik atau pemegang saham minoritas yang harus mendapatkan perlindungan
hukum, dan Peraturan Bapepam Nomor IX.E.1. merupakan penghormatan hak dan perlindungan kepentingan pemegang saham minoritas. Ketentuan mengenai transaksi benturan kepentingan tertentu menunjukkan bahwa peraturan UUPT menjunjung hak dan perlindungan pemegang saham suatu perseroan berdasarkan asas kesetaraan. Setiap pemegang saham secara hukum dinyatakan berhak untuk ikut menentukan kebijakan perseroan berkaitan dengan pengambilan keputusan dalam RUPS yang teramat penting dan membawa bagi kepentingan pemegang saham. Secara prinsip Peraturan Bapepam Nomor IX.E.1. ini bertujuan, sebagai berikut : 1. Melindungi kepentingan pemegang saham independen yang umumnya merupakan pemegang saham minoritas dari perbuatan yang melampaui kewenangan Direksi dan Komisaris serta pemegang saham utama dalam melakukan transaksi benturan kepentingan tertentu.39 2. Mengurangi kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan oleh Direksi, Komisaris atau pemegang saham untuk melakukan transaksi yang mengandung benturan 40 kepentingan tertentu. 3. Melaksanakan prinsip kerterbukaan dan penghormatan terhadap hak pemegang saham berdasarkan asas kesetaraan, persetujuan pemegang saham independen yang mewakili lebih dari 50% saham yang ada merupakan keharusan. 41 Faktor-faktor yang timbul dari benturan kepentingan yang dilakukan Direktur secara langsung maupun tidak langsung, sebagai berikut : a. Faktor Internal. Transaksi benturan kepentingan dilakukan di dalam peseroan untuk
37 38
Pasal 99 ayat (1). Pasal 97 ayat 1 huruf a dan b UUPT.
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
39
Pasal 82 ayat (2) UUPM Jo. Peraturan Nomor IX.E.1. 40 Ibid. 41 Pasal 86 ayat (1) UUPM.
FAKULTAS HUKUM UMA
29
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016
ISSN: 2355-987X
kepentingan perseroan yang dilakukan oleh Direktur, dimana transaksi benturan kepentingan tertentu tetap dapat dilakukan dan sah bila mengikuti Peraturan IX.E.1 angka 2 yaitu : “harus terlebih dahulu mendapat persetujuan oleh pemegang saham independen”. Peraturan Nomor IX.E.1 angka 9 dan 10 mensyaratkan bahwa RUPS untuk transaksi yang benturan kepentingan dapat dilakukan sampai 3 (tiga) kali, sebagai berikut : 1. RUPS Pertama : a. Harus dihadiri pemegang saham independen yang mewakili lebih dari 50% saham yang dimiliki oleh pemegang saham independen. b. Harus disetujui oleh pemegang saham independen yang mewakili lebih dari 50 % saham pemegang saham indepeden.42 2. Dalam hal RUPS pertama tidak tercapai korum, maka RUPS kedua harus segera dilakukan, adalah : a. Dihadiri oleh pemegang saham independen yang mewakili oleh saham yang dimiliki oleh pemegang saham independen. b. Disetujui oleh pemegang saham independen yang mewakili lebih dari 50% saham yang dimiliki oleh pemegang saham independen. c. Pemberian suara dapat dilakukan langsung oleh pemegang saham atau kuasanya. 43 3. Dalam hal korum RUPS kedua tidak tercapai, maka RUPS ketiga harus dilakukan, RUPS, adalah : 44 a. Mendapatkan persetujuan dari Bapepam. b. Telah diumumkan kepada masyarakat. c. Disetujui pemegang saham independen yang mewakili lebih
dari 50% saham yang dimiliki oleh pemegang saham independen yang hadir. Jika dalam RUPS yang ketiga tidak juga mendapat persetujuan pemegang saham independen, maka transaksi tidak boleh diajukan kembali dalam jangka waktu 12 bulan sejak tanggal penolakan. 45
Setiap rencana transaksi yang mengandung benturan kepentingan, harus diungkapkan terlebih dahulu, karena informasi itu merupakan panduan penting bagi pemegang saham atau investor, untuk mengambil keputusan. Semua transaksi yang tersebut harus diungkapkan dua hari hari setelah transaksi dilakukan. 46
b. Faktor Eksternal. Transaksi benturan kepentingan dilakukan oleh Direktur untuk keuntungan pribadinya sendiri bukan untuk keuntungan perseroan, melainkan dilakukannya secara diam-diam, dimana perbuatan yang tidak dilandasi itikad baik oleh Direktur tadi, seperti contoh : 1. Tindakan anggota Direktur yang mengakibatkan perseroan membeli barang atau tanah dan bangunan dari pihak lain dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang wajar, atau menjual harta kekayaan perseroan kepada pihak lain dengan harga yang jauh lebih rendah dari harga yang wajarnya, sehingga Direktur tadi memperoleh keuntungan pribadi dari transaksi tersebut,47 maka hal itu merupakan salah satu perbuatan yang tidak dilandasi dengan itikad baik. 2. Transaksi self dealing yang tidak langsung dan keuntungannya untuk kepentingan Direktur sendiri yang semua dilakukan dengan diam-diam dan berkolusi misalnya:
42 Angka 9 Alinea 1, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor KEP32/PM/2000 Tentang Perubahan Peraturan Nomor IX.E.1 tentang Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu, selanjutnya disingkat Peraturan Nomor IX.E.1 43 Ibid,Angka 9 Alinea 2. 44 Ibid, Angka 10.
Ibid, angka 11. Irsan Nasarudin dan Indra Surya, Op.Cit, Hal. 250. 47 Ibid, Hal. 38.
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM UMA
45 46
30
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 a) Transaksi antara anggota famili dan teman-temannya dari Direksi dengan perseroan. b) Transaksi antara 2 (dua) perseroan dengan Direktur yang sama. c) Transaksi antara perseroan dengan perseroan yang lain dalam perusahaan mana pihak mempunyai kepentingan finansial tertentu yang dilakukan oleh Direktur secara pribadi. d) Transaksi antara perusahaan induk (holding) dengan anak perusahaan. e) Transaksi orang dalam (Insider Trading) di dalam perseroan yang dilakukan oleh Direktur secara tidak langsung. 48 3. KEDUDUKAN HUKUM DIREKTUR TERHADAP BENTURAN KEPENTINGAN TIDAK LANGSUNG Kepengurusan perseroan merupakan pengurusan sehari-hari, dilakukan oleh Direksi. Keberadaan Direksi dalam perseroan merupakan keharusan perseroan, wajib memiliki Direksi karena perseroan sebagai ”artifical person” tidak dapat berbuat apa-apa tanpa ada bantuan dari anggota Direksi sebagai “natural person”, oleh karena itu Direksi mempunyai tugas dan tanggungjawab serta wewenang,49 dimulai sejak perseroan memperoleh status badan hukum, diwajibkan Direksi perseroan “mendaftarkan akta pendirian atau anggaran dasar perseroan (dan perubahanperubahannya) yang telah disahkan (dan disetujui) oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia beserta surat Keputusan pengesahaannya, (dan perubahanperubahan anggaran dasar perseroan lainnya yang cukup hanya dilaporkan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia),50 dalam suatu daftar perseroan,51
ISSN: 2355-987X dalam jangka waktu enam puluh hari sejak pendaftaran dilakukan, Direksi berkewajiban untuk mengumumkan akta pendirian atau anggaran dasar perseroan yang telah disahkan dan disetujui oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Berita Negara.52 Kelalaian dalam proses pendaftan pendirian perseroan dapat menjadi gugur dan dapat diajukan kembali.53 Direksi menurut UUPT merupakan organ perseroan yang bertanggung- jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan dengan ketentuan Anggaran Dasar.54 Organ yang didalamnya terdiri dari satu atau lebih anggota, yang dikenal dengan sebutan Direktur.55 Dalam perseroan memiliki lebih dari satu orang Direktur dalam Direksi, maka salah satu anggota Direktur diangkat sebagai Direktur Utama (Presiden Direktur).56 UUPT secara umum menyatakan bahwa suatu perseroan sekurangkurangnaya harus diurus oleh satu orang atau lebih anggota Direksi, dengan pengecualian bagi perseroan yang bidang usahanya melakukan pengerahan dana masyarakat, perseroan yang menerbitkan surat pengakuan utang atau perseroan terbatas terbuka, harus memiliki sekurangkurangnya dua orang anggota Direksi.57 Tidak ada pembatasan mengenai
Munir Fuady II, Op. Cit., Hal. 208. I. G Ray Widjaya, Op.Cit, Hal. 209. 50 Pasal 9 ayat (1) UUPT. 51 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perseroan (selanjutnya disingkat dengan UU WDP), Pasal 1 Huruf (a) mengenai “Daftar Perusahaan adalah daftar
cacatan resmi yang diadakan menurut atau berdasarkan ketentuan undang-undang ini dan/atau peraturan-peraturan pelaksanannya, dan memuat hal-hal yang diwajibkan oleh setiap perusahaan serta disahkan oleh pejabat yang berwenang dari kantor pendaftaran perusahaan”. 52 Pasal 21 ayat (1) UUPT. 53 Pasal 10 ayat (8) UUPT 54 Pasal 1 ayat (1) UUPT. 55 Penyebutan istilah Direktur ini merupakan terjemahan dari kata Director, dan saat ini sudah lazim dipergunakan dalam penyebutan anggota Direksi dalam Anggaran Dasar Perseroan. 56 Istilah Direktur Utama merupakan istilah yang juga berangkat dari kebiasaan praktek dan telah diakui penggunaannya oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. 57 Pasal 92 ayat 3 UUPT.
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM UMA
48 49
31
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 keanggotaan Direksi dalam perseroan dan tidak hanya Warga Negara Indonesia, melainkan juga Warga Negara Asing yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Departemen Tenaga Kerja yang dapat menjadi anggota Direksi perseroan.58 UUPT mensyaratkan bahwa anggota Direksi haruslah orang-perseorangan. Selanjutnya orang-perseorangan tersebut adalah mereka yang cakap untuk bertindak dalam hukum, tidak pernah dinyatakan pailit oleh pengadilan, maupun yang menjadi anggota Direksi atau Komisaris perseroan lain dan belum pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pengangkatannya.59 Meskipun masa jabatan keanggotaan masing-masing anggota Direksi telah ditentukan dalam anggaran dasar perseroan,60 namun ketentuan tersebut tidaklah membatasi hak dari RUPS untuk setiap saat memberhentikan salah satu atau lebih anggota Direksi sebelum berakhirnya masa jabatan yang ditentukan dalam anggaran dasar,61 baik dengan mengangkat penggantinya yang baru maupun dengan hanya memberhentikan keanggotaan Direksi yang bersangkutan saja, selama dan sepanjang syarat minimum jumlah anggota Direksi, sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar maupun peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku, tetap dipertahankan.62 Keputusan RUPS tersebut hanya dapat diambil setelah 58 Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1995, selain itu juga Departemen Tenaga Kerja mengeluarkan daftar bidang usaha dan jabatan yang terbuka dalam bidang usaha tertentu bagi Warga Negara Asing. 59 Pasal 93 UUPT. 60 Pasal 94 ayat (2) dan (3) UUPT menyatakan Untuk pertama kali pengangkatan anggota Direksi dilakukan oleh pendiri dalam akta pendirian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b. dan (3) Anggota Direksi diangkat untuk jangka waktu tertentu dan dapat diangkat kembali. 61 Pasal 91 ayat (1) menyatakan bahwa pemberhentian tersebut harus disertai dengan alasan. 62 Pasal 79 ayat (2) UUPT.
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X anggota Direksi yang hendak diberhentikan tersebut diberikan kesempatan untuk membela diri maupun menyatakan pendapatnya dalam RUPS.63 Selain pemberhentian oleh RUPS tersebut di atas, UUPT memungkinkan juga dilakukannya skorsing atau pemberhentian sementara anggota Direksi, baik oleh RUPS maupun oleh Komisaris perseroan.64 Pemberitahuan mengenai pemberhentian sementara tersebut wajib disampaikan secara tertulis kepada anggota Direksi yang bersangkutan. Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pemberhentian sementara harus diselenggarakan RUPS,65 untuk mencabut keputusan pemberhentian sementara tersebut. Dalam RUPS, anggota Direksi yang bersangkutan diberikan kesempatan untuk membela diri.66 Jika dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari, RUPS tidak diselenggarakan, maka pemberhentian sementara tersebut menjadi batal demi hukum, dan anggota Direksi yang diberhentikan sementara tersebut menjabat kembali sebagai anggota Direksi perseroan dengan segala hak dan kewajibannya. Selama masa perberhentian sementara tersebut, anggota Direksi berkenaan tidak diperkenankan untuk menjalankan tugasnya sebagai anggota Direksi.67 Tanggung jawab direktur pada dasarnya dilandasi oleh dua prinsip yang penting68, yaitu prinsip yang lahir karena tugas dan kedudukan yang dipercayakan oleh perseroan kepadanya (fiduciary duty)69 dan prinsip yang merujuk kepada kemampuan serta kehati-hatian tindakan direksi (duty of skill and care). Kedua prinsip ini menuntut direktur untuk 63
Pasal 91 ayat (2) UUPT. Pasal 92 ayat (1) UUPT. 65 Pasal 91 ayat (4) UUPT. 66 Pasal 91 ayat (1) UUPT. 67 Pasal 92 ayat (7) UUPT. 68 Winardi, Asas-asas Manejemen, (Bandung : Alumni, 1983), Hal. 144. 69 Munir Fuady, Perseroan Terbatas – Paradigma Baru, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), Hal. 81. 64
FAKULTAS HUKUM UMA
32
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016
ISSN: 2355-987X
bertindak secara hati-hati dan disertai dengan itikad baik semata-mata untuk kepentingan dan tujuan perseroan.70 Hubungan kerja antara direktur dan perseroan yang memberikan pekerjaan adalah hubungan yang berdasarkan kepercayaan (fiduciary duty).71 Direktur dalam melakukan tugasnya harus menggunakan wewenang yang dimilikinya untuk tujuan yang patut. Direktur tidak dapat atau tidak boleh memperoleh keuntungan untuk dirinya pribadi, bila keuntungan ini diperoleh karena kedudukannya sebagai direktur perseroan tersebut.72 Oleh karena itu berdasarkan prinsip kepercayaan ini, maka direktur harus berbuat bonafide untuk kepentingan perseroan secara keseluruhan.73 Direktur tidak boleh memperoleh keuntungan pribadi karena posisi yang dijabatnya. Di antara tindakan direktur yang dapat merugikan perseroan adalah transaksi self dealing dan ajaran corporate opportunity. Pada prinsipnya ada 2 (dua) fungsi utama dari direktur suatu perseroan yaitu sebagai berikut :74 1. Fungsi Manajemen, dalam arti direktur melakukan tugas memimpin perusahaan. Fungsi manajemen ini dalam hukum Jerman disebut dengan Geshaftsfuhrungsbefugnis, dan 2. Fungsi representasi, dalam arti direktur mewakili perusahaan di dalam dan di luar pengadilan. Prinsip mewakili perusahaan di luar pengadilan menyebabkan perseroan sebagai badan hukun akan terkait dengan transaksi atau kontrak-kontrak yang dibuat oleh
direktur atas nama dan untuk kepentingan perseroan. Fungsi representasi ini dalam hukum Jerman disebut dengan Vertretungsmancht. Prinsip fiduciary duty berlaku bagi direktur dalam menjalankan tugasnya, baik dalam menjalankan fungsinya sebagai manajemen maupun sebagai representasi dari perseroan. Sepanjang sejarah penerapan teori fiduciary duty ini, muncul beberapa pedoman dasar bagi direktur dalam menjalankan fiduciary duty terhadap perseroan yang dipimpinnya. Pedoman dasar tersebut adalah sebagai berikut :75 1. Fiduciary Duty merupakan unsur wajib (mandatory element) dalam hukum perseroan. 2. Dalam menjalankan tugasnya, seorang direktur tidak hanya harus memenuhi unsur itikad baik, tetapi juga harus memenuhi unsur tujuan yang layak (proper purpose). 3. Pada prinsipnya direktur dibebani prinsip fiduciary duty terhadap perseroan, bukan terhadap pemegang saham. Karena itu, hanya perusahaanlah yang dapat memaksakan direktur untuk melaksanakan tugas fiduciary tersebut. 4. Akan tetapi, dalam menjalankan fungsinya sebagai direktur, secara umum ia juga harus memperhatikan kepentingan stakeholders, seperti pihak pemegang saham dan buruh perusahaan. 5. Sungguhpun menyandang tugas sebagai direktur, direktur tetap bebas dalam memberikan suara dan pendapat sesuai dengan keyakinan dan kepentingannya dalam setiap rapat yang dihadirinya. 6. Direktur tetap bebas dalam mengambil keputusan sesuai dengan pertimbangan bisnis dan sense of business yang dimilikinya. Bahkan pihak pengadilan tidak boleh ikut campur mempertimbangkan sence of business dari seorang direktur. 7. Dalam hal-hal dimana terdapat Conflict of Interest, seorang direktur dilarang atau setidak-tidaknya dibatasi atau
70
Chatmarrasjid Ais, Menyingkap Tabir Perseroan (Piercing The Corporate Veil), Kapita Selekta Hukum Perusahaan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000), Hal. 6. 71 Black’s Law Dictionary. 72 Chatmarrasjid Ais, Pengaruh Doktrin piercing The Corporate Veil dalam Hukum Perseroan Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22 No. 6 Tahun 2003, Hal. 12. 73 Rudhi Prasetya, Kedudukan Mandiri dan Pertanggungajawaban Terbatas dari Perseroan Terbatas, (Surabaya : Airlangga University Pres, 1983), Hal. 9. 74 Ibid., Hal. 32.
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
75
Ibid Hal. 61.
FAKULTAS HUKUM UMA
33
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016
ISSN: 2355-987X
diawasi dalam menjalankan tugasnya. Pengawasan tersebut misalnya dengan memberlakukan prinsip keterbukaan informasi (disclousre) terhadap setiap transaksi yang ada Conflict of Interest. Di samping itu, prinsip fiduciary duty direktur perseroan akan sangat terasa eksistensinya tatkala direktur melakukan hal-hal sebagai berikut :76 1. Transaksi dengan perseroan (self dealing) 2. Transaksi kesempatan perseroan (corporate opportunity) 3. Transaksi yang mengandung benturan kepentingan (Conflict of Interest) 4. Transaksi orang dalam (insider trading) Pada dasarnya direktur hanya berhak dan berwenang untuk bertindak atas nama dan untuk kepentingan perseroan batas-batas yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku dan anggaran dasar perseroan. Setiap tindakan yang dilakukan oleh direktur di luar kewenangan yang diberikan tersebut tidak mengikat perseroan. Ini berarti direktur memiliki limitasi dalam bertindak atas nama dan untuk kepentingan perseroan. Keempat prinsip tersebut pada hakekatnya menunjukkan bahwa direktur perseroan dalam menjalankan tugas kepengurusannya harus senantiasa : 1. Bertindak dengan itikad baik 2. Senantiasa memperlihatkan kepentingan perseroan dan bukan kepentingan pemegang saham semata. 3. Kepengurusan perseroan harus dilakukan dengan baik, sesuai dengan tugas dan kewenangn yang diberikan kepadanya dengan tingkat kecermatan yang wajar, dengan ketentuan bahwa direktur tidak diperkenankan untuk memperluas maupun mempersempit ruang lingkup geraknya sendiri. 4. Tidak diperkenankan untuk melakukan tindakan yang dapat
menyebabkan benturan kepentingan antara kepentingan perseroan dengan kepentingan direktur. 77 Keempat hal di atas menjadi penting artinya, karena keempat hal tersebut mencerminkan bahwa antara direktur dan perseroan terdapat suatu bentuk hubungan saling ketergantungan, dimana : 1. Perseroan bergantung pada direktur sebagai organ yang dipercayakan untuk melakukan pengurusan perseroan. 2. Perseroan merupakan sebab keberadaan direktur, tanpa perseroan maka tidak pernah ada direktur.78 Pada dasarnya direktur merupakan organ kepercayaan perseroan yang akan bertindak mewakili perseroan dalam segala macam tindakan hukumnya untuk mencapai tujuan dan kepetingan perseroan. Ada 2 (dua) hal yang berkaitan erat dengan prinsip kepercayaan direktur tersebut, pertama, direktur adalah trustee bagi perseroan (duty of loyalty and good faith). Kedua, direktur adalah agen bagi perseroan dalam mencapai tujuan dan kepentingannya (duty of care and skill).79 Tugas dan tanggung jawab direktur tersebut adalah tugas dan tanggung jawab direksi sebagai suatu organ, yang merupakan tanggungjawab kolegial sesama anggota direksi terhadap perseroan.80 Direksi tidak secara sendiri-sendiri bertanggung jawab kepada perseroan. Ini berarti setiap tindakan yang diambil atau dilakukan oleh salah satu atau lebih anggota direksi akan mengikat anggota direksi lainnya. Namun ini tidak berarti tidak diperkenankan terjadinya pembagian tugas di antara anggota direksi perseroan demi pengurusan perseroan yang efisien.81 Dalam beberapa kejadian, seorang direktur dapat dianggap telah melanggar
76
Ibid., Hal. 62.
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
77
Fred B G Tumbuan, Tanggungjawab Direksi dan Komisaris serta RUPS Perseroan Terbatas menurut UU No. 1 Tahun 1995, Makalah Kuliah S2 Hukum Universitas Indonesia, Tahun ajaran 2001-2002, Hal. 20. 78 Ibid., Hal. 6. 79 Paul L. Davies, Op. Cit, Hal. 589-599. 80 Fred BG Tumbuan, Loc. Cit., Hal. 11. 81 Ibid.
FAKULTAS HUKUM UMA
34
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016
ISSN: 2355-987X
duty of care jika dalam menghadapi suatu persoalan yang kompleks dan rumit, ia tidak mencari pendapat ahli untuk memberikan masukan dalam mengambil keputusan terhadap persoalan yang dihadapinya. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari prinsip duty of care tersebut. Di negara yang menganut common law system acuan yang dipakai adalah standard of care atau standard kehatihatian. Apaila direktur telah bersikap dan bertindak melanggar standard of care, maka direktur tersebut dianggap telah melanggar duty of care-nya. Sebagai contoh dari standar kehatihatian itu antara lain sebagai berikut:82 a. Direktur tidak boleh melakukan kegiatan-kegiatan atas beban biaya perseroan, apabila tidak memberikan sama sekali atau memberikan sangat kecil manfaat kepada perseroan bila dibandingkan dengan manfaat pribadi yang diperoleh oleh direktur yang bersangkutan. Namun demikian hal ini dapat dikecualikan, apabila dilakukan atas beban biaya representasi jabatan dari direktur yang bersangkutan berdasarkan keputusan RUPS. b. Direktur tidak boleh menjadi pesaing bagi perseoran yang dipimpinnya, misalnya dengan mengambil sendiri kesempatan bisnis yang seyogianya disalurkan kepada dan dilakukan oleh perseroan yang dipimpinnya, akan tetapi kesempatan bisnis itu disalurkan kepada perseroan lain yang didalamnya terdapat kepentingan pribadi direktur tersebut. c. Direktur harus menolak untuk mengambil keputusan mengenai suatu hal yang diketahui atau sepatutnya diketahuinya akan mengakibatkan perseroan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku sebagai perseroan diancam dikenakan sanksi oleh otoritas yang berwenang,
misalnya dicabut izin usahanya atau digugat oleh pihak lain. d. Direktur dengan sengaja atau karena kelalaiannya telah melakukan atau telah tidak cukup melakukan upaya atau tindakan yang perlu diambil untuk mencegah timbulnya kerugian bagi perseroan. e. Direktur dengan sengaja atau karena kelalaiannya telah tidak melakukan atau telah tidak cukup melakukan upaya atau tindakan yang perlu diambil untuk meningkatkan keuntungan perseorangan. Untuk mengetahui apakah di Indonesia berlaku prinsip fiduciary duty ini, perlu dicermati beberapa pasal dari UUPT, yaitu sebagai berikut : Pasal 97 yang berbunyi : Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1). Pasal 84 yang berbunyi sebagai berikut: (1) Anggota Direksi tidak berwenang mewakili Perseroan apabila: a. terjadi perkara di pengadilan antara Perseroan dengan anggota Direksi yang bersangkutan; b. anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan. (2) Dalam hal terdapat keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang berhak mewakili Perseroan adalah: a. anggota Direksi lainnya yang tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan; Sebenarnya indikasi berlakukanya prinsip fiduciary duty ini justru ada dalam ketentuan Pasal 92 ayat (1) UUPT menegaskan bahwa setiap anggota direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Tugas untuk memperdullikan (duty of care) dimaksudkan disini, bahwa pengurus perseroan diharapkan untuk berhati-hati sehingga terhindar dari perbuatan kelalaian yang merugikan pihak lain.
82
Sutan Remy Sjahdeini, Tanggung Jawab Pemegang Saham Perseroan Pailit, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 14, Juli 2001, Hal. 100.
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM UMA
35
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016
ISSN: 2355-987X
Berdasarkan ketentuan Pasal 97 ayat (1) UUPT tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa Pasal itu mengandung prinsip fiduciary duties, yang terdiri dari 3 (tiga) faktor penting, yaitu :83 1. Prinsip yang merujuk kepada kemampuan dan kehati-hatian tindakan direksi (duty skill dan care). Unsur yang perlu diperhatian sebelumnya berkenaan dengan tindakan direksi adalah apakah dalam menjalankan tugas dan fungsi yang diamanatkan kepadanya, direksi sudah melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan kemampuan dan kehati-hatian, di samping itu apakah orang yang memiliki keahlian tertentu dan mempunyai kesamaan kualifikasi telah melakukan tindakan dalam prosisinya sebagai direktur ataukah dijalankan semata-mata untuk kepentingan bisnis pribadinya dan apakah setiap tindakan yang diambil berangkat dari keyakinan akan dilakukan semata-mata demi kepentingan perusahaan. 2. Prinsip yang merujuk pada itikad baik direktur untuk bertindak semata-mata demi kepentingan dan tujuan perseroan (duty of loyalty). Keputusan bisnis diambil dengan dasar ketulusan dan itikad baik sepenuhnya, dalam situasi tertentu dapat membebaskan direktur dari pertangungjawaban secara pribadi, sekalipun tindakannya itu mengakibatkan kerugian bagi perusahaan, karena kesalahan perhitungan, akibat adanya force majure yang memang terjadi di luar kemampuan manusia ataupun terhadap faktor kesalahan lainnya yang menyebabkan kegagalannya tersebut, kecuali kerugian tersebut termasuk kategori akibat kelalaian berat (gross neglience). Konsep pemikiran ini
dijasikan penyeimbangan dalam penerapan prinsip duty of skill and care sebagaimana dikenal dalam business judgement principle. 3. Prinsip untuk tidak mengambil keuntungan pribadi atas opportunity yang sebenarnya milik atau diperuntukkan bagi perseroan (no sevret profit ruledoctrine of corporate opportunity). Pelaksanaan tugas direktur terkadang tidak luput dari adanya pertentangan kepentingan, karena adanya persamaan bidang usaha antara direktur secara pribadi dengan pihak ketiga lainnya. Dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai bentuk kompetisi yang tidak adil. Dengan asumsi bahwa direktur hanya mengetahui informasi rahasia-rahasia, misalnya informasi yang menyangkut transaksi perdagangan dari perseroan tempat ia berada, atas pengetahuan yang diketahuinya, ia dapat mengetahui kelemahan atau keunggulan perseroan yang bersifat rahasia tersebut, dan justru dipergunakan untuk lebih memajukan perseroan yang dimilikinya. Tugas dan pertanggungjawaban direktur kepada perseroan dan pemegang saham perseroan telah dimulai sejak perseroan memperoleh status badan hukum.84 Dalam melaksanakan kepengurusan terhadap perseroan tersebut, direktur tidak hanya bertanggung jawab terhadap perseroan dan para pemegang saham perseroan saja, melainkan juga terhadap pihak ketiga yang berhubungan hukum baik langsung maupun tidak langsung dengan perseroan.85 Tugas dan pertanggungjawaban direktur terhadap pihak ketiga terwujud dalam kewajiban direktur untuk melakukan keterbukaan (disclosure) terhadap pihak ketiga, atas setiap kegiatan perseroan yang dianggap dapat mempengaruhi kekayaan perseroan.
83
Bambang Kesowo, Kedudukan Direksi : Suatu Tinjauan Berdasarkan konsep Fiduciary Duties, Makalah Dalam Panel Diskusi Hubungan Antara Pemegang Saham, Direksi dan Komisaris : Hak, Wewenang dan Tanggungjawabnya, Jakarta, 12 Juni 1995, Hal. 8.
Ketentuan Pasal 7 ayat 2 UUPT. Ahmad Yani & Gunawan Widjaya, Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000), Hal. 104.
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM UMA
84 85
36
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016
ISSN: 2355-987X
Kedudukan yang bersifat fiduciary, yang dalam UUPT sampai batas-batas tertentu diakui, menyebabkan tanggung jawab dari direktur menjadi sangat tinggi (High degree). Direktur tidak hanya bertanggung jawab terhadap ketidakjujuran yang disengaja (dishonestly), tetapi secara hukum ia juga bertanggung jawab terhadap tindakan missmanagement, kelalaian atau gagal atau tidak melakukan sesuatu yang penting bagi perusahaan. Contoh dari tindakan direktur yang bertentangan dengan tugas fiduciary duties adalah :86 1. Jika direktur secara diam-diam memiliki benturan kepentingan dengan perseroan. 2. Jika direktur menghalang-halangi pemegang saham minoritas untuk mengajukan derifative suit. 3. Jika direktur dengan sengaja tanpa alasan yang sama (willfull refusal) tidak datang ke repat direksi sehingga rapat direksi tidak dapat dilangsungkan karena tidak memenuhi kourum rapat Dalam melaksanakan tugas fiduciary duties, seorang direktur harus melakukan tugasnya :87 1. Dilakukan dengan itikad baik (bonafides). 2. Dilakukan dengan propers purpose. 3. Dilakukan tidak dengan kebebasan yang tidak bertanggung jawab (unfettered discretion). 4. Tidak memiliki benturan tugas dan kepentingan (conflict of duty and interest). Dalam civil law system, jika direktur melanggar salah satu aturan hukum atau anggaran dasar perseroan, maka pada umumnya direktur langsung bertanggung jawab secara hukum tanpa perlu mempertimbangkan standart tentang kadar kesalahannya. Sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 99 ayat 1 UUPT, direksi bertanggung jawab penuh terhadap
pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Berdasarkan ketentuan Pasal 92 UUPT, terdapat 2 (dua) unsur pokok yang harus diperhatikan oleh direktur perseroan dalam menjalankan tugas kepengurusan perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1) UUPT, yaitu melakukan kepengurusan perseroan, yaitu mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Unsur-unsur tersebut ialah :88 1. Kepentingan maksud dan tujuan perseroan 2. Itikad baik dan penuh tanggung jawab Kedua unsur tersebut harus dipenuhi common law system, acuan yang dipakai adalah standard of care atau standar kehatihatian. Apabila direktur telah bersikap dan bertindak melanggar standard of care, maka direktur dianggap telah melanggaar duty of care-nya. Jadi dalam menjalankan tugasnya, direktur tidak boleh melanggar duty of care, direktur dianggap telah memenuhi kewajiban menjalankan prinsip duty of care apabila telah memenuhi beberapa persyaratan, yaitu :89 1. Membuat keputusan bisnis yang tidak ada unsur kepentingan pribadi, berdasarkan informasi yang mereka percaya didasari oleh keadaan yang tepat. 2. Secara rasional mempercayai bahwa keputusan bisnis tersebut dibuat untuk kepentingan terbaik dari perusahaan.
86 87
Munir Fuady II, Op. Cit, Hal. 82. Ibid
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan 1. faktor-faktor yang menimbulkan benturan kepentingan adalah faktor internal yaitu merupakan transaksi benturan kepentingan dilakukan di 88
Sutan Remy Sjahdeni, Op. Cit, Hal.
89
Fiduciary Director Banking Review,
425. Heidi Mandanis Shooter, Duties Demanding Cousin : Bank Liability for Unsafe or Unsound Practices, George Washington Law Januari, 1995, Hal. 180.
FAKULTAS HUKUM UMA
37
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016
ISSN: 2355-987X
dalam peseroan untuk kepentingan pribadi yang dilakukan oleh Direktur, dimana transaksi benturan kepentingan tertentu tetap dapat dilakukan dan sah bila mengikuti Peraturan IX.E.1 angka 2, sedangkan faktor eksternal merupakan transaksi benturan kepentingan dilakukan oleh Direktur untuk keuntungan pribadinya sendiri bukan untuk keuntungan perseroan, melainkan dilakukannya secara diamdiam dan kolusi. Dengan demikian, bentuk-bentuk dan faktor-faktor benturan kepentingan merupakan halhal yang harus diperhatikan secara hatihati dan harus mempertimbangkan kelangsungan perseroan. 2. Dalam UUPT telah diatur tentang kedudukan direktur dalam mengelola perseroan, termasuk tentang pengaturan benturan kepentingan. Namun, pengaturan tersebut tidak secara tegas disebutkan meskipun ada disinggung pada Pasal 99 ayat 1 huruf a dan b dan ayat 2 huruf a : “anggota Direksi tidak berwenang mewakili perseroan apabila Direksi yang bersangkutan mempunyai kepentingan bertentangan dengan kepentingan perseroan, dan pada UUPM Pasal 82 ayat 2 Jo. Peraturan Nomor IX.E.1 mengatur lebih rinci mengenai benturan kepentingan yang dapat dilakukan. Bahwa Bapepam dapat mewajibkan emiten atau perseroan publik secara sah untuk dapat melakukan
benturan kepentingan dengan memperoleh persetujuan mayoritas pemegang saham independen untuk kepentingan ekonomi perseroan. B. Saran 1. Pada bentuk dan faktor-faktor yang mempengaruhi Transaksi benturan kepentingan, terjadi karena tindakan dan pola perilaku Direktur itu sendiri secara langsung dan tidak langsung, baik itu juga dilakukan oleh orang dalam sendiri (insider trading) maupun Komisaris dalam benturan kepentingan melakukan transaksi, sehingga diharapkan etika (dalam arti sempit mengenai baik dan buruk) sebagai subyek hukum yaitu salah satunya persoon sangat diperlukan dalam mengelola perseroan. 2. Diharapkan agar Direktur dalam melakukan transaksi benturan kepentingan lebih mengutamakan kepentingan perseroan dari pada kepentingan pribadinya sendiri. Peraturan IX.E.1 dan UUPM telah lebih rinci mengaturnya meskipun belum secara sempurna dan tegas. Direktur dapat dipersalahkan apabila melakukan transaksi yang menimbulkan benturan kepentingan, karena melakukan tindakan melanggar fiduciary of duties, kepercayaan (Truste) yang diberikan untuk mengelola perseroan kepada Direktur tidak dijalankan dengan suatu itikad baik. Kapita Selekta Hukum Perusahaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000. Daniri, Mas Acmad, Good Coeporate Governance Konsep dan Penerapannya Dalam Konteks Indonesia, Jakarta : Gloria Printing, 2005. Fuady, Munir, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999. --------------, Doktrin-Doktrin Dalam Corporate Law Dan Eksistensinya Dalam Hukum
DAFTAR PUSTAKA Buku: Bambang Kesowo, Kedudukan Direksi : Suatu Tinjauan Berdasarkan konsep Fiduciary Duties, Makalah Dalam Panel Diskusi Hubungan Antara Pemegang Saham, Direksi dan Komisaris : Hak, Wewenang dan Tanggungjawabnya, Jakarta, 12 Juni 1995, Hal. 8. Ahmad Yani & Gunawan Widjaya, Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000), Hal. 104 Ais, Chatamarrasjid., Menyingkap Takbir Perseroan (Piercing The Corporate Veil) JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM UMA
38
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002. --------------, PengantarHukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Modern, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002. -------------, Perseroan Terbatas – Paradigma Baru, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003. Muhammad, Abdul Kadir., Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999. Nasarudin, Irsan., dan Indra Surya, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, Kencana, Jakarta, 2004. Nasution, Bismar, Penerapan Prinsipp Fiduciary Duty dari Direktur dan Komisaris, Bahan kuliah Hukum Perusahaan Magister Hukum USU, Medan, 1995. Prasetya, Rudhi., Kedudukan Mandiri dan Pertanggungajawaban Terbatas dari Perseroan Terbatas, Airlangga University Pres, Surabaya, 1983. Yani, Ahmad., dan Gunawan Wijaya, Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000. Widjaya, I. G. Ray., Hukum Perusahaan, Megapoin, Jakarta, 2000. Winardi, Asas-asas Manejemen, Penerbit Alumni, Bandung, 1983.
ISSN: 2355-987X
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor KEP-32/PM/2000 Tentang Perubahan Peraturan Nomor IX.E.1 Tentang Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu. Majalah, Harian, Buletin dan Jurnal : Sutan
Remy Syahdeini, Tanggung Jawab Pemegang Saham Perseroan Pailit, Jurnal Hukum Bisnis.
Situs Internet : Sri Indrastuti Hadiputranto dan Susanti Suhendro, Transaksi Benturan Kepentingan : Sebuah Perbandingan, (www.yahoo.com : Artikel, diakses 22 April 2013). High Court of Australia, www.Court.gov.au/media/Doylev-Asic.pdf.
Peraturan-peraturan: Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan.
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM UMA
39
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016
ISSN: 2355-987X
KEKUATAN SUMPAH LI’AN MENURUT FIQH ISLAM Oleh Riswan Munthe Fakultas Hukum Universitas Medan Area Abstraksi Sebagai umat Islam yang menjalani kehidupan dalam berumah tangga harus berdasarkan aturan yang sudah ada dalam fiqh Islam. Masalah perceraian sudah sering terjadi bagi suami dan istri, seorang suami atau seorang isteri tidak dapat begitu saja melakukan perceraian, sebab perceraian pada dasarnya menurut ketentuan hukum Islam tetap terlarang terkecuali didukung oleh alasan. Banyaknya alasan perceraian yang diatur dalam fiqh Islam yaitu ‘ila’, zhihar, li’an, khulu’, fasakh, syiqaq, dan nusyuz. Salah satu alasan cerai ialah karena li’an, yaitu suami menuduh istrinya berzina dengan laki-laki lain atau tidak mengakui anak yang ada dalam kehamilan isterinya bukan anak sah. Maka karena itu harus ada punya 4 orang saksi yang melihat peristiwa itu. Lalu ia bersumpah dan mengucapkan kata-kata “sesungguhnya saya akan dilaknat Allah jika ia berdusta. Oleh karena itu alasan karena li’an bukan sembarangan, jadi harus mampu mempertanggungjawabkan secara syariat Islam. Kata kunci: kekuatan sumpah, li’an, fiqh Islam . yang boleh ditempuh, manakala bahtera A. PENDAHULUAN kehidupan rumah tangga tidak dapat lagi Perceraian merupakan bagian dari dipertahankan keutuhan dan perkawinan, sebab tidak ada perceraian 91 kesinambungannya. tanpa adanya perkawinan terlebih dahulu. Berdasarkan literatur dalam kitab Perkawinan merupakan awal dari hidup fiqh Islam, bahwa sebenarnya banyak hal bersama antara seorang pria dengan yang menjadi penyebab putusnya sebuah seorang wanita yang diatur dalam perkawinan. Penyebab putusnya suatu peraturan perundang-undangan dalam perkawinan antara lain talak, ‘ila’, zhihar, suatu Negara, sedangkan perceraian li’an, khulu’, fasakh, syiqaq, dan merupakan akhir dari kehidupan bersama 90 nusyuz.92 suami isteri tersebut. Setiap orang Menurut A. Faud Said, dikutip menghendaki agar perkawinan yang oleh Abdul Manan yang dimaksud dengan dilaksanakannya itu tetap utuh sepanjang perceraian adalah putusnya perkawinan masa kehidupannya, tetapi tidak sedikit antara suami dan isteri karena tidak perkawinan yang dibina dengan susah terdapat kerukunan dalam rumah tangga panyah itu berakhir dengan suatu atau sebab lain seperti mandulnya istri perceraian. atau suami.93 Perceraian pada prinsipnya Masalah perceraian sudah semakin dilarang dalam Islam, ini dapat dilihat sering terjadi, apabila suami istri sudah pada isyarat Rasulullah SAW, bahwa talak merasa tidak cocok lagi dan tidak dapat atau perceraian adalah perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah SAW. Karena itu, isyarat tersebut menunjukkan 91 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di bahwa talak atau perceraianmerupakan Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, alternatif terakhir, sebagai pintu darurat 1997, halaman 268. 92
90
Abdul Manan. 2006. Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana, halaman 443.
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
Mahmud Yunus Daulay, Nadlrah Naimi, Fiqih Muamalah, Ratu Jaya, Medan, 2011, halaman 37. 93 Abdul Manan. Op.Cit.., halaman 443.
FAKULTAS HUKUM UMA
40
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 mempertahankan keutuhan dan keharmonisan dalam rumah tangga maka perceraian dianggap sebagai jalan keluar terbaik dari masalah itu dan diharapkan terjadi ketertiban dan ketentraman antara kedua belah pihak, dan masing-masing dapat mencari pasangan yang cocok sehingga dapat mencapai apa yang dicitacitakan. Masalah perceraian yang dengan secara li’an, karena persoalan ini begitu ragam keberadaannya, tergantung motif yang melatarbelakangi. Oleh karena itu sangat penting untuk memahami persoalan ini, agar mengetahui kriteria-kriteria yang menjadi persoalan dalam proses perceraian tersebut.94 Li’an adalah perceraian disebabkan suami mendapati istrinya berzina dengan laki-laki lain, tetapi ia tidak punya 4 orang saksi, atau tidak mengakui sah kehamilan istrinya, lalu ia bersumpah dan mengucapkan kata-kata “sesungguhnya saya akan dilaknat Allah jika ia berdusta”.95 Meskipun Islam mensyariatkan perceraian tetapi bukan berarti agama Islam menyukai terjadinya perceraian dari suatu perkawinan. Perceraian tidak boleh dilaksanakan setiap saat yang dikehendaki. Perceraian walaupun diperbolehkan tetapi agama Islam tetap memandang bahwa perceraian adalah sesuatu yang bertentangan dengan asasasas hukum Islam. Tulisan ini akan membicarakan tentang kekuatan sumpah li’an menurut fiqh Islam, yang tentu saja akan merujuk kepada Alqur’an dan Hadis. A. Definisi Li’an Secara etimologis li’an ialah jauh dari rahmat Allah.96Li’an adalah mashdar Dodik handoko.“Perceraian Kerena Li ’an”. melalui http://situscoplug.blogspot.com/20 11/12/perceraian-karena-lian.html, di akses pada tanggal 20 Oktober 2015. 95 Asmuni, Hukum Kekeluargaan Islam Azas Pembinaan Keluarga Menuju Kehidupan Yang Harmonis, Duta Azhar, Medan:, 2004, halaman 265. 96 ibid 94
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X dari kata kerja laa’ana, yulaa’inu, li’aana terambil dari kata alla’nu yang berarti kutukan, jauh atau laknat.97Kata li’an ini berasal dari kata al-la’nu, yaitu ucapan seorang suami sebagai berikut “aku bersaksi kepada Allah bahwa aku benarbenar melihat isteriku telah berzina.”Kalau ada bayi yang lahir dan ia yakin bahwa itu bukan anaknya. Ucapan itu hendaklah diulanginya empat kali, kemudian ditambah pada kelima dengan, “laknat Allah akan menimpaku sekiranya aku dusta dalam tuduhanku ini”.98 Dalam terminologi Islam li’an ialah perceraian disebabkan suami mendapati istrinya berzina dengan laki-laki lain, tetapi ia tidak punya 4 orang saksi, atau tidak mengakui sah kehamilan istrinya, lalu ia bersumpah dan mengucapkan kata-kata “sesungguhnya saya akan dilaknat Allah jika ia berdusta”.99 Berdasarkan definisi yang sederhana tersebut terdapat beberapa kata kunci yang akan menjelaskan hakikat dari perbuatan li’an itu, yaitu sebagai berikut: 1. Kata “sumpah”, kata ini menunjukkan bahwali’an itu adalah salah satu bentuk dari sumpah atau kesaksian kepada Allah yang jumlahnya lima kali. Empat yang pertama kesaksian bahwa ia benar dengan ucapannya dan kelima kesaksian bahwa laknat Allah atasnya bila dia berbohong. 2. Kata “suami” yang dihadapkan kepada istri, hal ini mengandung arti bahwa li’an berlaku antara suami istri dan tidak berlaku di luar lingkungan keduanya. Orang yang tidak terikat dalam tali pernikahan saling melaknat tidak disebut dengan istilah li’an. 3. Kata “menuduh berzina”, yang mengandung arti bahwa sumpah yang dilakukan oleh suami itu adalah bahwa 97
Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, Dina Utama, Semarang, 1993, halaman 163. 98 Yaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga., Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2005, halaman 343. 99 Asmuni. Op.Cit.., halaman 265.
FAKULTAS HUKUM UMA
41
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 istrinya berbuat zina, baik ia sendiri mendapatkan istrinya berbuat zina atau menyakini bahwa bayi yang dikandung istrinya bukanlah anaknya. Bila tuduhan yang dilakukan suami itu tidak ada hubungannya dengan zina atau anak yang dikandung, tidak disebut dengan li’an. 4. Kata “suami tidak mampu mendatangkan empat orang saksi”. Hal ini mengandung arti bahwa seandainya dengan tuduhannya itu suami mampu mendatangkan empat orang saksi sebagaimana dipersyaratkan waktu menuduh zina, tidak dinamakan dengan li’an, tetapi melaporkan apa yang terjadi untuk diselesaikan oleh 100 hakim. Berdasarkan Kompilasi Hukum Islamdi Indonesia, pada Pasal 162 disebutkan bahwa li’an terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau sudah lahir dari istrinya, sedangkan istri menolak tuduhan dan atau mengingkari tersebut. Dalam penjelasan yang agak rinci Sayyid Sabiq sebagaimana yang di kutip oleh Abdul Manan mengemukakan bahwa dalam fiqh Islam li’an dibagi kepada dua macam yaitu : a) Suami menuduh istrinya berbuat zina, tetapi ia tidak mempunyai empat orang saksi laki-laki yang dapat menguatkan kebenaran tuduhannya. Jika ada laki-laki yang menzinai seorang perempuan, suaminya melihat dan istri mengakui telah berbuat zina dengan laki-laki tersebut serta suami yakin dengan pengakuan istrinya, maka dalam hal ini tidak ditempuh dengan carali’an tetapi lebih bagi diselesaikan perceraiannya dengan talak biasa, bukan mengadakan mula’anah. b) Suami tidak mengakui kehamilan istrinya sebagai beninya. Dalam hal
ISSN: 2355-987X ini boleh bermula’anah jika merasa ia belum pernah mencampuri istrinya tetapi secara nyata ia hamil, atau ia merasa mencampurinya tetapi baru setengah tahun lalu atau juga telah lewat setahun, sedangkan umur kandungannya tidak sesuai.101 Pelaksanaan li’an hanya sah apabila dilakukan di hadapan sidang Pengadilan Agama sebagimana yang disebutkan dalam Pasal 128 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.Menurut Ijma’ para ulama disamping syarat tersebut, juga harus mempunyai akal sehat dan sudah dewasa bagi pihak-pihak yang melakukan li’an. Seseorang yang menuduh orang lain berzina, sedangkan ia tidak memiliki saksi yang cukup, maka yang menuduh itu wajib dijatuhi hukuman 80 kali deraan. Tetapi kalau yang menuduh itu suaminya sendiri, maka ia boleh lepas dari hukuman tersebut dengan jalan li’an. Artinnya, bahwa suami yang menuduh istrinya berzina itu boleh memilih antara dua perkara, yaitu didera sebanyak 80 kali deraan atau me-li’an istrinya.102 B. Dasar Hukum Li’an Manakala seorang suami menuduh istrinya berbuat zina, sedangkan tuduhan tersebut tidak ditunjang oleh saksi yang kuat dan cukup adil maka kepadanya harus disiksa dengan 80 pukulan. Dasar hukum li’an bagi suami yang menuduh istrinya berbuat zina, antara lain yaitu: 1. Al-qur’an surat an-Nuur ayat 4 Allah SWT berfirman sebagai berikut: Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik atau muhshan (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kalian terima kesaksian mereka buat selama-
100
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Kencana, Jakarta, 2007, halaman 288-289.
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
101
Abdul Manan, Op Cit, halaman 461. Yaikh Hasan Ayyub. Op.Cit.., halaman 343. 102
FAKULTAS HUKUM UMA
42
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik” 2. Al-qur’an surat An-Nuur ayat 6-7, Allah SWT berfirman sebagai berikut:103 Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. “Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika dia termasuk orangorang yang berdusta.”104 Berdasarkan tuduhan suaminya ini, istri dapat menyangkal dengan sumpah kesaksian sebanyak 4 kali bahwa suaminya itu berdusta dalam tuduhannya, dan pada sumpah kesaksiannya yang kelima istri tersebut bersumpah bahwa dia bersedia menerima marah (laknat) dari Allah jika suaminya benar dalam tuduhannya. Dasar hukum penyangkalan istri terhadap tuduhan suaminya juga dijelaskan dalam al-qur’an. Al-qur’an surat An-Nuur ayat 8 dan 9 Allah berfirman sebagai berikut:105 Artinya: “Istrinya itu dapat dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya 4 kali atas nama Allah bahwa suaminya itu sungguhsungguh termasuk orang-orang yang dusta. “Dan (sumpah) yang kelima bahwa laknat Allah (akan ditimpakan) atasnya jika suaminnya termasuk orang-orang yang dusta.” Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam perceraian karena li’an juga diatur dalam Pasal 125 yang menyatakan bahwa 103
Djamaan Nur, Op. Cit.., halaman
104
Asmuni. Op. Cit.., halaman 266. Djamaan Nur. Op. Cit.., halaman
164. 105
ISSN: 2355-987X li‘an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamanya. Selain dari Pasal 125 tersebut, perceraian secara li’an juga diatur dalam Pasal 126 menyatakan bahwa li‘an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut. Alasan untuk melakukan perceraian yang dibenarkan o1eh perundang-undangan, dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 menyatakan bahwa: Perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut: a. Salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, penjudi, pemadat, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan . b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ada izin pillak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuanya. c. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu phak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang berat, yang membahayakan pihak lain. e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri. f. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran serta tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga atau dalam keluarga. g. Suami melanggar taklik perkawinan. h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga. Sedangkan tata cara dalam alasan li’an diatur pada Pasal 127 menyatakan bahwa:
165.
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM UMA
43
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 Tata cara li‘an diatur sebagai berikut : a. Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran anak tersebut, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata "laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta". b. Isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah empat kali dengan kata "tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar", diikuti sumpah kelima dengan kata-kata "murka Allah atas dirinya bila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar". c. Tata cara pada huruf a dan b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. d. Kalau tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap tidak menjadi li‘an. C. Akibat Hukum Li’an Para ahli fiqh Islam sepakat bahwa perceraian dengan li’an merupakan perceraian yang berlaku untuk selamalamanya dan suami istri yang ber-li’an tidak boleh kawin atau rujuk lagi seumur hidup.106 Bilamana li’an terjadi maka perceraian itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suami terbebas dari kewajiban memberi nafkah.107Apabila mereka mempunyai anak dari akibat perceraian dengan li’an maka anak tersebut dihubungkan kepada ibunya, anak tersebut terputus hubungan dengan suami yang me-li’an itu, ia tidak wajib memberi nafkah kepada anak tersebut serta tidak ada hak anak tersebut untuk mewarisi harta yang me-li’an ibunya.108 106
Abdul Manan. Op Cit.., halaman
464. 107 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari UndangUndang No. 1 Ttahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2004, halaman 164 108 Abdul Manan. Op.Cit.., halaman 465.
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X Tentang kapan terjadi li’an sebagaimana para ahli Hukum Islam mengatakan sejak selesainya pengucapan li’an, maka sejak itu pula suami dan istri tersebut harus dipisahkan. Sebagian yang lain mengatakan bahwa terjadinya pemisahan suami istri itu sejak putusan pengadilan diucapkan oleh Hakim. Pendapat yang terakhir ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan as Tsauri.Tampaknya pendapat yang terakhir ini pula yang diikuti oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Akibat li’an yang diucapkan oleh suami adalah: 1. Suami lepas dari had qadaf atau lepas dari hukuman lantaran menuduh istrinya berzina tanpa disertai dengan dukungan empat orang saksi 2. terkena hukuman 100 kali dera 3. Suami istri bercerai untuk selamalamanya (ba’in kubra) 4. Kalau istri ternyata hamil dari akibat zina tersebut maka anak yang dikandungan istri tersebut bukan anak suaminya.109 Proses pemeriksaan perkara perceraian peradilan agama memiliki azas kewajiban seorang Hakim untuk mendamaikan pihak-pihak yang berperkara, sangat sejalan dengan tuntutan dan ajaran Islam. Islam selalu menyuruh menyelesaikan setiap perselisihan dan persengketaan melalui pendekatan islah (fa aslihu baina akhwaikum). D. Kekuatan Sumpah Li’an menurut Fiqh Islam Pengertian sumpah sesuai dengan yang dirumuskan oleh Sudikno Mertokusumo, sebagaimana di kutip oleh Chatib Rasyid, Syaifuddin menyatakan bahwa : Sumpah adalah sebagai pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji 109
Mustafa Kamal Pasha, Dkk, Fikih Islam, PT. Citra Karsa Mandiri, Yogyakarta, 2003, halaman 297.
FAKULTAS HUKUM UMA
44
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 atau keterangan dengan mengingat akan sifat Maha Kuasa dari pada Tuhan dan percaya, bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum olehNya.110 Menurut M. Yahya Harahap menyatakan bahwa: Sumpah sebagai alat bukti, adalah suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan: a. Agar orang yang bersumpah dalam memberikan keterangan atau pernyataan itu, takut atas muka Tuhan, apabila dia berbohong; b. Takut kepada murka atau hukuman Tuhan, dianggap sebagai daya pendorong bagi yang bersumpah untuk menerangkan yang sebenarnya.111 Berdasarkan pengertian di atas,jadi sumpah merupakan tindakan yang bersifat religius yang digunakan dalam persidangan pengadilan. Sehubungan dengan hal tersebut, sumpah sebagai alat bukti berbeda dengan sumpah/janji yang diucapkan saksi sebelum memberikan keterangan di depan Majelis Hakim. Dari ketentuan ini dapat disimpulkkan bahwa sumpah ada dua macam yaitu:112 1) Sumpah untuk berjanji melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang disebutkan sumpah promissoir. 2) Sumpah untuk memberikan keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu itu benar demikian atau tidak, yang disebut 110
Chatib Rasyid, Syaifuddin, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktik pada Peradilan Agama, UII Press, Yogyakarta, 2009, halaman 113. 111 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, halaman 745. 112 Abdul Manan. Op.Cit., halaman 263.
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X dengan sumpah assertoir atau comfirmatoir. Adapun sumpah sebagai alat bukti terbagi kepada tiga macam, yaitu :113 1. Sumpah pelengkap atau tambahan (supletoir eed) Sumpah pelengkap sebagaimana diatur dalam Pasal 182 R.Bg/Pasal 1940 KUH perdata adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya. Syarat formil sumpah pelengkap atau tambahan adalah :114 a. Untuk menambah atau menguatkan pembuktian yang belum mencapai batas minimal. b. Bukti yang ada baru bernilai sebagai bukti pemulaan, para pihak tidak mampu lagi menambah alat bukti yang ada dengan alat bukti lain. c. Sumpah dibebankan atas perintah hakim. d. Sumpah diucapkan di depan sidang pengadilan, baik secara in person atau oleh kuasa dengan surat kuasa istimewa. Syarat materiil sumpah tambahan atau pelengkap adalah : 1) Isi lafaz sumpah harus mengenai perbuatan yang dilakukan sendiri oleh pihak yang bersumpah. 2) Isi sumpah harus berkaitan langsung dengan pokok perkara. 2. Sumpah pemutus atau menentukan (decisoir eed) Makna sumpah pemutus memiliki daya kekuatan memutuskan perkara atau mengakhiri perselisihan. Jadi, sumpah pemutus mempunyai sifat dan daya litis decisoir, yang berarti dengan pengucapan sumpah pemutus akan terjadi beberapa hal yaitu :
113
Chatib Rasyid, Syaifuddin. Op.Cit., halaman 114. 114 Ibid.
FAKULTAS HUKUM UMA
45
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 a. Dengan sendirinya mengakhiri proses pemeriksaan perkara. b. Diikuti dengan pengambilan dan menjatuhkan putusan berdasarkan ikrar sumpah yang diucapkan. c. Undang-Undang melekatkan kepada sumpah pemutus tersebut nilai kekuatan pembuktian sempurna, mengikat, dan menentukan.115 Sumpah pemutus berdasarkan Pasal 183 R.Bg/ Pasal 1930 KUH perdataadalah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak kepada lawannya.Sumpah pemutus ini dapat dibebankan atau diperintahkan kepada salah satu pihak meski tidak ada alat bukti permulaan. Dengan perkataan lain, sumpah pemutus dapat dimintakan oleh salah satu pihak kepada pihak yang lain agar mengucapkan sumpah sesuai dengan rumusan atau lafaz sumpah yang dikehendaki. Syarat materiil sumpah pemutus adalah:116 1) Isi lafaz sumpah harus mengenai perbuatan yang dilakukan sendiri atau dilakukan sendiri atau dilakukan bersama oleh kedua belah pihak. 2) Isi sumpah harus mempunyai kaitan langsung dengan pokok perkara. 3. Sumpah penaksir (aestimatoir eed) Sumpah penaksir adalah sumpah yang diperintahkan oleh Hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti kerugian.Ketentuan mengenai sumpah penaksir ini diatur dalam Pasal 182 R.Bg/ Pasal 155 HIR/ Pasal 1940 BW. Syarat formil sumpah penaksir adalah: a) Untuk menambah atau menguatkan pembuktian yang belum mencapai batas minimal. b) Bukti yang ada baru dinilai sebagai bukti permulaan, para pihak tidak 115
M. Yahya Harahap. Op.Cit.., halaman 750. 116 Chatib Rasyid, Syaifuddin. Op.Cit.., halaman 115.
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X mampu lagi menambah alat bukti yang ada dengan alat bukti lain. c) Sumpah dibebankan atas perintah hakim. d) Sumpah diucapkan di depan sidang pengadilan, baik secara in person atau oleh kuasa dengan surat kuasa istimewa. Syarat materiil sumpah penaksir adalah : 1) Isi lafal sumpah harus mengenai perkiraan jumlah kerugian yang diderita oleh orang yang bersumpah. 2) Isi sumpah harus berkaitan langsung dengan pokok perkara. Penerapan bukti sumpah dalam perkara gugatan cerai alasan zina yang diajukan oleh pihak tidak mengalami kesulitan, karena Undang-Undang Peradilan Agama tersebut sudah memberikan kemungkinan kepada istri untuk membuktikan perbuatan zina yang dituduhkan suami dengan alat bukti sumpah. Hanya saja alat bukti sumpah yang diperbolehkan adalah terbatas pada alat bukti sumpah menentukan. Penerapan alat bukti sumpah tambahan dalam hal gugat cerai karena alasan zina adalah untuk menjaga agar pihak istri tidak terlalu menggampangkan urusan perceraian, sebab kalau sumpah penentu yang diterapkan maka perkara pun cepat selesai. Hakim disini hanya sebagai penonton dan tidak mempunyai peran apaapa selain dari mensahkan saja gugatan perceraian yang diajukan.Di samping itu juga untuk berjaga-jaga sumpah penentu tidak disalahgunakan oleh pihak istri yang tidak jujur, di persidangan cukup bersumpah maka selesailah perkara yang diajukan kepada Pengadilan Agama.117 Proses pemeriksaan cerai talak dengan li’an, setelah Pemohon dan Termohon melakukan jawab menjawab, dilakukan proses pembuktian. Bila tidak diketemukan alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 164 HIR jo Pasal 284 R.Bg selain bukti sumpah, pada 117
Abdul Manan, Op Cit.., halaman
464.
FAKULTAS HUKUM UMA
46
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 Pengadilan Agama pembuktian dengan sumpah li’an, hal ini sebagaimana yang diatur pada Undang-Undang Pengadilan Agama Pasal 87 menyatakan bahwa : (1) Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu pihak melakukan zina, sedangkan pemohon atau penggugat tidak dapat melengkapi bukti-bukti dan termohon atau tergugat menyanggah alasan tersebut, dan Hakim berpendapat bahwa permohonan atau gugatan itu bukan tiada pembuktian sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti tidak mungkin lagi diperoleh baik dari pemohon atau penggugat maupun dari termohon atau tergugat, maka Hakim karena jabatannya dapat menyuruh pemohon atau penggugat untuk bersumpah. (2) Pihak termohon atau tergugat diberi kesempatan pula untuk meneguhkan sanggahannya dengan cara yang sama. Pasal 88 menyatakan bahwa : (1) Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) dilakukan oleh suami, maka penyelesaiannya dapat dilaksanakan dengan cara li'an. (2) Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) dilakukan oleh istri maka penyelesaiannya dilaksanakan dengan hukum acara yang berlaku. Sumpah pemutus yang akan dilafalkan mengenai perbuatan sepihak yang dilakukan oleh pihak yang diminta untuk bersumpah tidak dapat dikembalikan kepada lawannya. Di dalam pembuktian dengan alat bukti sumpah pemutus terkandung nilai pembuktian sempurna, mengikat dan menentukan, karenanya penilaian terhadap sumpah pemutus dimaksud dapat berdiri sendiri tanpa bantuan alat bukti lain. Dalam penilaian terhadap alat bukti sumpah ini, Sudikno Mertokusumo, menyebutkan bahwa: meski sumpah pemutus tersebut JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X telah terbukti kemudian alat bukti palsu dalam putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, tetapi sumpah tersebut tetap tidak dapat dilumpuhkan. Dengan kata lain, bahwa sumpah pemutus tidak dapat diajukan bukti lawan.118 Permohonan cerai talak karena alasan zina, dimana suami tak memiliki bukti-bukti atas tuduhannya itu, Hakim Pengadilan Agama dapat menyuruh suami yang menuduh istrinya berzina itu untuk bersumpah secara li’an. Sebelum diperintahkan untuk bersumpah li’an, terlebih dahulu sang istri punya kesempatan untuk menyanggah tuduhan zina dari suaminya. Apabila istri tidak menyanggahnya dan malah mengakuinya, maka dengan sendirinya pengakuan itu adalah bukti kuat adanya zina.Tuduhan yang tidak disanggah itu dapat dianggap diterima, sehingga cukup alasan bagi Hakim untuk menceraikan mereka dengan alasan salah satu pihak telah berzina.119 Namun bila sebaliknya, yaitu jika istri menyanggahnya dan suami tidak dapat mengandalkan bukti-bukti lain selain pengakuan istrinya, maka ketiadaan pembuktian itu tidak boleh membuat Hakim tidak punya jalan keluar. Dalam keadaan demikian, Hakim dapat memerintahkan suami untuk bersumpah secara li’an, sedangkan istrinya juga diberi kesempatan untuk bersumpah menyanggah tuduhan itu. Sumpah li’an dilakukan oleh suami dengan menyatakan bahwa “demi Allah ia bersumpah, bahwa istrinya telah berbuat zina dan anak yang dilahirkan adalah bukan anak saya”. Sumpah itu dinyatakan sebanyak 4 kali oleh suami, dan pada sumpah kelima suami menyatakan “siap menerima laknat Allah jika ia berdusta atau berbohong”. Demikian sebaliknya, istri juga dapat melakukan sumpah balik (sumpah nukul), bahwa “demi nama Allah ia bersumpah bahwa ia tidak berbuat zina dan anak yang 118
Chatib Rasyid, Syaifuddin. Op.Cit, halaman 115. 119 Dodik handoko. “Perceraian Kerena Li’an”. Loc.Cit.
FAKULTAS HUKUM UMA
47
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 saya lahirkan adalah anaknya”. Sumpah itu dinyatakan istri juga sebanyak 4 kali dan pada sumpah kelima ia menyatakan “siap menerima laknat Allah jika tuduhan suaminya itu benar”.120 Kekuatan sumpah li’an menurut fiqh Islam menjadikan selamanya haram untuk bersatu kembali.121 Jika sumpah li’an sudah diucapkan maka kedua bekas suami istri tersebut tidak dibenarkan untuk rujuk dalam masa iddah dan tidak pula dibenarkan untuk kembali mengadakan pernikahan walaupun dengan akad nikah yang baru. Kedua suami istri tersebut harus mencari pasangan lain kalau pun sudah penuh dengan penyesalan.122 Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa perceraian secara li’an diketegorikan ke dalam sumpah pemutus karena alat bukti sumpah ini merupakan kekuatan pembuktian sempurna, mengikat, dan menentukan. Masalah perceraian secara li’an sulit untuk menghadirkan empat orang saksi dengan sumpah pemutus menentukan semua apa yang diperkarakan tersebut. Kekuatan sumpah perceraian li’an apabila suami isteri melakukan li’an, maka berlakukan pada keduanya hukumhukum berikut ini : 1. Keduanya harus diceraikan. 2. Keduanya haram ruju’ untuk selama-lamanya. 3. Wanita yang ber-li’an berhak memiliki mahar. 4. Anak yang lahir dari isteri yang bermula’anah, harus diserahkan kepada sang isteri (ibunya). 5. Isteri yang bermula’anah berhak menjadi ahli waris anaknya dan begitu juga sebaliknya. Kekuatan sumpah li’an yang dilakukan oleh suami istri tersebut hanya sah apabila dilakukan di hadapan sidang 120
Ibid. Suparman Usman, Hukum Islam Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, PT. Gaya Media Pratama, Jakarta, 2001, halaman 18. 122 Asmuni. Op. Cit, halaman 267. 121
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X Pengadilan Agama dalam hal ini Hakim memberikan kepada suami istri untuk mengucapkan sumpah li’an di muka persidangan. Apabila sumpah li’an sudah dilaksanakan oleh suami istri tersebut maka menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamanya sebagaimana ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 125. Kemudian hubungan suami isteri menjadi haram untuk selamanya dan dianalogikan terhadap adanya hubungan darah. Oleh karena itu akibat hukum li’an lebih berat dari pada talak ba’in kubra, karena talak walaupun ba’in kubra, setelah adanya muhalil antara bekas suami isteri tersebut dapat bersatu kembali. Perceraian secara li’an diketegorikan talak atau fasakh. Dalam masalah ini perceraian yang dihasilkan dari li’an adalah termasuk fasakh, bukan talak, karena dengan adanya li’an kedua suami istri menjadi haram berkumpul kembali dalam suatu ikatan perkawinan, sebagaimana antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memiliki hubungan darah (muhrim). E. Simpulan Meskipun perceraian sesuatu perbuatan yang dibenci oleh Allah SWT, tetapi kegiatan itu yang diperbolehkan. Namun tetap berpedoman kepada fiqh Islam yang memberikan aturan alasanalasan perceraian, banyak alasan perceraian yang diperbolehkan berbagai macam ragam dan bersumber pada aturan ketetapan dari al-qur’an dan hadis sebagai dasar dalam melakukan perceraian. Perceraian dengan alasan li’an mempunyai kekuatan sumpah dalam khazanah fiqh Islam yang menjadikan haram untuk bersatu atau berkumpul selamanya dan tidak akan terangkat kembali dengan suatu keadaan apapun. Apabila sumpah li’an sudah dilaksanakan oleh suami dan isteri tersebut maka putus perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamanya dan tidak ada rujuk. Daftar Pustaka A. Buku-Buku FAKULTAS HUKUM UMA
48
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 Asmuni, 2004, Hukum Kekeluargaan Islam Azas Pembinaan Keluarga Menuju Kehidupan Yang Harmonis, Duta Azhar, Medan. Chatib Rasyid, Syaifuddin, 2009, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktik pada Peradilan Agama, UII Press, Yogyakarta. Hasan Ayyub, Yaikh, 2005, Fikih Keluarga, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta. Idris Ramulyo, Mohd, 2004, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari Undang-Undang No. 1 Ttahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, PT. Bumi Aksara, Jakarta. Kamal Pasha, Mustafa, Dkk, 2003, Fikih Islam, PT. Citra Karsa Mandiri, Yogyakarta. Manan, Abdul, 2006, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana, Jakarta. Nur, Djamaan, 1993, Fiqih Munakahat, Dina Utama, Semarang. Rofiq, Ahmad, 1997, Hukum Islam Di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Syarifuddin, Amir, 2007, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Kencana, Jakarta. Usman, Suparman, Hukum Islam AsasAsas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, PT. Gaya Media Pratama, Jakarta. Yunus Daulay, Mahmud, Nadlrah Naimi, 2011, Fiqih Muamalah, Ratu Jaya, Medan. Yahya Harahap, M, 2010, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta. B. Peraturan Perundang-Undangan Kompilasi Hukum Islam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 1989 tentang Peradilan Agama. C. Website Dodik handoko.“Perceraian Kerena Li’a n”. Melalui http://situscoplug.b logspot.com/2011/12/perceraia n-karena-lian.html , di akses
pada tanggal 20 Oktober 2015.
FAKULTAS HUKUM UMA
49
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016
ISSN: 2355-987X
MONOPOLI DALAM ISLAM
Oleh : ELVIRA DEWI GINTING NIDN 202 9078101 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Abstrak Monopoli sebagai anak keturunan dari ekonomi kapitalis dengan pandangan hidup liberalnya,banyak ditentang oleh masyarakat. Sebab monopoli ternyata membawa dampak negatif bagi kompetisi pasar yang sehat. Pada pasar monopolis produsen-produsen lain tidak akan dapat bertahan., bahkan yang lebih buruk produktifitas dengan sengaja diturunkan demi tujuan politis, yaitu mengatur harga agar maksimal. Maka dengan sendirinya akan terjadi kelangkaan akan barang (scarcity) dan dampaknya akansangat dirasakan oleh masyarakat (konsumen). Islam dengan sistem ekonominya mencoba untukmementahkan ideologi monopolistik dengan memunculkan berbagai konsep baru yang bertentangan dengan sistem ekonomi kapitalis. Kata Kunci : Monopoli, Islam, ekonomi A. LATAR BELAKANG Persaingan dipandang sebagai hal yang positif dan sangat esensial dalam dunia usaha. Para pelaku usaha akan berlomba-lomba untuk terus menerus memperbaiki produk dan melakukan inovasi atas produk yang dihasilkan untuk memberikan yang terbaik bagi pelanggan. Dari sisi konsumen, mereka akan mempunyai pilihan dalam membeli produk dengan harga murah dan kualitas terbaik. Seiring dengan berjalannya usaha para pelaku usaha mungkin lupa bagaimana bersaing dengan sehat sehingga munculah persaingan-persaingan yang tidak sehat dan pada akhirnya timbul praktek monopoli. Dengan adanya pratek monopoli pada suatu bidang tertentu akan membawa kehancuran bagi perusahaan kecil dan akan membuka kesempatan untuk mengeruk keuntungan yang sebesarbesarnya bagi kepentingan sendiri. Monopoli membunuh persaingan bebas, menyebabkan inflasi dan akhirnya menyebabkan terjadinya pengangguran. JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
Baik pekerja maupun konsumen samasama tertindas. Disini monopoli diartikan sebagai kekuasaan menentukan harga, kualitas dan kuantitas produk yang ditawarkan kepada masyarakat. Masyarakat tidak pernah diberi kesempatan untuk menentukan pilihan, baik mengenai harga, mutu maupun jumlah. Secara etimologi, monopoli berasal dari bahasa Yunani, yaitu “monos”, yang artinya satu atau sendiri, dan “polein” yang artinya menjual atau penjual. Berdasarkan etimologi monopoli tersebut dapat diartikan bahwa monopoli adalah kondisi dimana hanya ada satu penjual yang menawarkan satu barang dan jasa tertentu.123 Monopoli merupakan suatu “historical accident”, karena monopoli tersebut terjadi karena tidak sengaja, dan berlangsung karena proses alamiah, yang ditentukan oleh berbagai faktor terkait di mana monopoli itu terjadi. Dalam hal ini penilaian mengenai pasar
123
Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal.6
FAKULTAS HUKUM UMA
50
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 yang bersangkutan yang memungkinkan terjadinya monopoli sangat relevan.124 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang disebut dengan monopoli adalah situasi pengadaan barang dagangannya tertentu (di pasar lokal atau nasional) sekurang-kurangnya sepertiganya dikuasai oleh satu orang atau satu kelompok, sehingga harganya dapat dikendalikan.125 Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Edisi Kedua yang disusun oleh Christopher Pass dan Bryan Lowes, monopoli adalah suatu jenis struktur pasar (market structure) yang mempunyai sifatsifat sebagai berikut:126 1. Satu perusahaan dan banyak pembeli, yaitu suatu pasar yang terdiridari satu pemasok tunggal dan menjual produknya pada pembeli-pembeli kecil yang bertindak secara bebas tetapi berjumlah besar; 2. Kurangnya produk substitusi, yaitu tidak adanya produk substitusiyang dekat dengan produk yang dihasilkan oleh perusahaan monopoli (elastisitas silang permintaan/ cross elasticity demand adalah nol); 3. Pemblokiran pasar untuk dimasuki, yaitu hambatan-hambatan untuk masuk (barrier to entry) begitu ketat sehingga tidak mungkin bagi perusahaan baru untuk memasuki pasar yang bersangkutan (pasar persaingan sehat), baik rintangan alamiah maupun rintangan dari pemerintah (policy-generated barriers to competition) Melihat pengertian monopoli yang dikutip dari berbagai sumber diatas, dapat dirumuskan bahwa suatu kegiatan
124 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaya, Seri Hukum Bisnis: Anti Monopoli, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2006), hal.12 125 Ibid, hal.7 126 Hermansyah, Pokok-pokok Hukum Persaingan Usaha, ( Jakarta: Kencana, 2008), hal.39.
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X monopoli dalam kegiatan ekonomi, mempunyai ciri-ciri:127 1. Hanya ada satu penjual. Dalam monopoli, hanya ada satu penjual barang atau jasa yang menguasai produksi keseluruhan komoditi tertentu. Oleh karena itu, keseluruhan pasar dilayani oleh perusahaan tunggal, dan untuk tujuan praktis, perusahaan disamakan dengan industri 2. Kekuatan penjual atau produsen untuk menentukan harga.Kemampuan untuk memberikan dampak pada syarat dan kondisi dari kegiatan jual-beli sehingga harga dari produk ditetapkan oleh perusahaan (harga tidak ditentukan oleh pasar seperti yang terjadi pada pasar persaingan sempurna). Walaupun kekuatan pasar monopolt inggi, tetapi tetap dibatasi oleh permintaan dari pasar. Konsekuensi dari monopoli adalah peningkatan harga akan mengakibatkan hilangnya sebagian konsumen. 3. Tidak ada barang pengganti terdekat atau mirip (close substitute). Ini dikarenakan perusahaan memproduksi komoditas tertentu, dan barang dan atau jasa yang diperjualbelikan merupakan barang dan atau jasa yang masih jarang. 4. Tidak ada atau sangat sedikit perusahaan lain yang dapat memasuki pasar tersebut karena banyaknya hambatan atau rintangan berupa keunggulan perusahaan. 5. Diskriminasi harga: penetapan harga kepada satu konsumen yang berbeda dari harga kepada konsumen lain di dalam segmen 127
Suhasril dan Mohammad Taufik Makarao, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia, (Bogor: GhaliaIndonesia, 2008), hal.31
FAKULTAS HUKUM UMA
51
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 pasar yang berbeda atas suatu barang dan atau jasa yang sama dengan alasan yang tidak terkait dengan biaya produksi. Monopoli muncul pada masa krisis moneter yang berlanjut pada krisis ekonomi yang melanda Indonesia dipertengahan tahun 1997, menyadarkan pemerintah pada waktu itu akan betapa lemahnya dasar ekonomi Indonesia. Hal ini dikarenakan pemerintah Indonesia di era Orde Baru mengeluarkan berbagai kebijakan yang kurang tepat pada sektor ekonomi sehingga menyebabkan pasar menjadi terdistorsi.128 Pasar yang distorsi mengakibatkan harga yang terbentuk dipasar tidak lagi merefleksikan hukum permintaan dan penawaran secara rill, dimana proses pembentukan harga dilakuka secara sepihak oleh pengusaha atau produsen. Kedudukan monopoli yang ada lahir karena adanya fasilitas yang diberikan oleh pemerintah serta ditempuh melalui praktik bisnis yang tidak sehat. Pasar monopoli memiliki karakteristik diantaranya yaitu :129 1. Dalam pasar banyak penjual dan pembeli. 2. Terdapat kebebasan bagi perusahaanperusahaan untuk masuk dan keluar dari industri. 3. Perusahaan-perusahaan menghasilkan produk yang terdiferensiasi. Dengan adanya persaingan usaha yang tidak sehat dapat membawa dampak buruk bagi konsumen karena monopoli memiliki aspek negatif. Aspek negatif dari monopoli adalah sebagai berikut:130 1. Monopoli membuat konsumen tidak mempunyai kebebasan memilih produk sesuai dengan kehendak dan keinginan mereka. Jika penawaran sepenuhnya 128
Ditha Wirardiputra, Pengantar Hukum Persaingan Usaha, Modul untuk Retooling Program Under Employee Graduates at Priority Disciplines Under TPSDP, Tahun 2006, hal.4 129 Teddy Herlambang, Ekonomi Manajerial dan Strategi Bersaing, (Jakarta: Raja Grafindo, 2002), hal.247 130 Ibid, hal.41
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X dikuasai oleh seorang produsen, secara praktis para konsumen tidak punya pilihan lain. Dengan kata lain, mau tidak mau konsumen harus menggunakan produk satu-satunya itu. 2. Monopoli membuat posisi konsumen menjadi rentan di hadapan produsen. Ketika produsen menempati posisi sebagai pihak yang lebih dibutuhkan daripada konsumen, terbuka peluang besar bagi produsen untuk merugikan konsumen melalui penyalahgunaan posisi monopolistiknya. Antara lain, menjadi bisa menentukan harga secara sepihak, secara menyimpang dari biaya produksi riil. 3. Monopoli juga berpotensi menghambat inovasi teknologi dan proses produksi. Dalam keadaan tidak ada pesaing, produsen lantas tidak memiliki motivasi yang cukup besar untuk mencari dan mengembangkan teknologi dan proses produksi baru. Akibatnya, inovasi teknologi dan proses produksi akan mengalami stagnasi. B. Rumusan Masalah Permasalahan yang ingin dibahas adalah bagaimana kegiatan monopoli dalam konsep Islam? C. Pembahasan Dalam mempertahankan hidup manusia diberi kebebasan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Kebebasan merupakan unsur dasar manusia dalam mengatur dirinya untuk memenuhi kebutuhan yang ada, selama tidak berbenturan dengan kepentingan orang lain. Sebab jika manusia melanggar batas kebutuhan antara sesamanya maka akan terjadi konflik.131 Dalam aturanaturan syari’at Islam menuntut dan mengarahkan kaum muslimin untuk melakukan tindakan sesuai dengan apa yang dibolehkan dan dilarang oleh Allah SWT. Demikian pula dalam 131
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomiu Islam Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Ekonisia, 2000), hal.1
FAKULTAS HUKUM UMA
52
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 melaksanakan aktivitas ekonomi, nilainilai Islam senantiasa menjadi landasan utamanya. Siapa saja yang ingin bermuamalah dibolehkan kecuali yang dilarang. Hal ini memberikan ruang dan gerak yang luas bagi umat Islam untuk melakukan aktivitas ekonominya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup.132 Meskipun Islam memberikan kesempatan yang luas bagi kaum muslimin untuk menjalankan aktivitas ekonominya, namum Islam menekankan adanya sikap jujur, yang dengan kejujuran itu diharapkan dapat dijalankannya sistem ekonomi yang baik. Sebab Islam sangat menentang adanya sikap kecurangan, penipuan, praktek pemerasan, pemaksaan dan semua bentuk perbuatan yang dapat merugikan orang lain.133 Apalagi, saat ini kehidupan manusia semakin lama dihadapkan kepada situasi yang sulit, dimana munculnya kelangkaan (scarcity) sumber daya yang semakin terbatas. Di sisi lain hasrat dan kebutuhan manusia untuk mencari kepuasaan pribadinya semakin banyak dan kompleks seiring dengan perkembangan zaman.134 Dengan situasi ini pihak yang lemah hanya mampu untuk mempertahankan hidupnya agar tetap survive. Sangat berat bagi mereka untuk meningkatkan income dan taraf hidup. Sementara di sisi lain pihak yang memiliki peran ekonomi kuat dengan pola perilaku aneh dan ekstrim yang tidak pernah diikuti dengan nilai-nilai ketuhanan tidak merasa puas menambah dan menumpuk harta dan kekayaan untuk kepentingan pribadi masing-masing. Ini disebabkan karena orientasi ekonominya sudah melenceng dimana ekonomi yang dipahami sebagai jawaban untuk memenuhi 132 Imam Subhan, Siasat Gerakan Kota dan Jalan Untuk Masyrakat Baru, (Yogyakarta: Labda2003), hal.29 133 Huzaimah T. Yanggo, Problematika Hukum Islam, Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), hal 92 134 Siti Adningsi,Ekonomi Mikro,(Yogyakarta:BPEF, 1999), hal 1
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X keberlangsungan hidup ternyata banyak diinterpretasikan sebagai pencarian untung semata (profit motif) dan penimbunan harta sebanyak-banyaknya dalam mempergunakan otoritas ekonomi sehingga memunculkan sistem yang tidak seimbang.Maka di sinilah kejujuran dan keadilan perlu dijaga, sebab acapkali situasi ini menimbulkan ketidakadilan dimana para penumpuk harta tidak lagi mempertimbangkan norma-norma dan kemanusiaan, mereka hanya mengikuti hawa nafsu yang tamak dan merusak bumi. Monopoli di dalam bahasa Arabnya dikenal dengan istilah “alIhtikar“, yaitu secara bahasa adalah menyimpan makanan, adapun secara istilah adalah : “Seseorang membeli makanan ketika harganya tinggi untuk diperjualbelikan, tetapi dia tidak menjualnya pada waktu itu, justru malah ditimbunnya agar menjualnya dengan harga yang lebih tinggi.”( Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim : 10/ 219 ) Fathi ad-Duraini mendefinisikan ihtikar dengan tindakan menyimpan harta, manfaat atau jasa, dan enggan menjual dan memberikannya kepada orang lain yang mengakibatkan melonjaknya harga pasar secara drastis disebabkan persediaan barang terbatas atau stok barang hilang sama sekali dari pasar, sementara rakyat, negara, ataupun hewan (peternakan) amat membutuhkan produk, manfaat, atau jasa tersebut. Al-Ihtikar menurut ad-Duraini, tidak hanya menyangkut komoditas, tetapi manfaat suatu komoditas dan bahkan jasa dari pembeli jasa dengan syarat, “embargo” yang dilakukan para pedagang dan pemberi jasa ini bisa memuat harga pasar tidak stabil, padahal komoditas, manfaat, atau jasa tersebut sangat dibutuhkan oleh masyarakat, negara, dan lain-lain. Misalnya, pedagang gula pasir di awal Ramadhan tidak mau menjual barang dagangannya, karena mengetahui bahwa pada minggu terakhir bulan Ramadhan
FAKULTAS HUKUM UMA
53
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 masyarakat sangat membutuhkan gula untuk menghadapi lebaran. Dengan menipisnya stok gula di pasar, harga gula pasti akan naik. Ketika itulah para pedagang gula menjual gulanya, sehingga pedagang tersebut mendapat keuntungan (profit) yang berlipat ganda.135 Adiwarman Karim mengatakan bahwa al-Ihtikar adalah mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi, atau istilah ekonominya disebut dengan monopoly’s rent.136 Sedangkan yang dimaksud dengan monopoli dalam istilah ekonomi adalah hak menguasai secara tunggal perdagangan dimana pihak lain tidak boleh ikut campur, sehingga monopolis (pemegang hak monopoli) dapat melakukan produksi dan penawaran harga sekehendaknya.137 Monopoli juga merupakan suatu bentuk pasar dimana hanya ada satu firma saja dan firma tersebut menghasilkan barang yang tidak mempunyai barang pengganti yang sangat dekat.138Pemegang hak monopoli memiliki hak untuk memproduksi barang-barang usahanya sesuai dengan kehendaknya, sehingga di saat tertentu bisa saja stok yang ada dalam perusahaan ditahan dan tidak dipasarkan dengan maksud untuk menaikkan harga dan meningkatnya permintaan dari konsumen, sehingga akan meningkatkan kelangkaan suatu barang. Pada tanggal 5 Maret 1999 Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-undang No. 5 tahun 1999, tentang larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dan 135
Abdul Aziz Dahlan (ed),Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru 1996), hal.655 136 Adiwarman Karim,Ekonomi Mikro Islam, (Jakarta: IIIT Indonesia, 2000), hal.154 137 Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: ARKOLA, 1994), hal.482 138 Sadono Sakirno,Pengantar Teori Mikro Ekonomi, (Jakarta: PT. Radja Grafindo, 2001), hal. 261
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X pada pasal 1 disebutkan bahwa Monopoli adalah : “Penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang atau atas penggunaan jasa tertentu oleh suatu pelaku atau suatu kelompok pelaku usaha”. Di tengah krisis ekonomi yang berkepanjangan yang menimpa negara Indonesia, khususnya umat Islam, banyak sekali orang-orang yang ingin memperoleh keuntungan dengan jalan yang tidak halal, yaitu tidak sesuai dengan peraturan-peraturan dalam Islam. Misalnya saja, masalah penimbunan barang pokok telah banyak sekali terjadi karena ingin mempeoleh keutnngan yang lebih untuk pribadinya sendiri, sedangkan orang-orang yang berada di kalangan bawah menjadi rugi karenanya. Oleh karena itu, banyak sekali penguasa yang mengeruk keutungannya dengan cara ihtikar (penimbunan) khususnya makanan pokok, jenis sekali ini sangat menguntungkan mereka karena dengan menimbun barang poko tersebut. Mereka memaksa masyarakat untuk membeli dengan harga 2 kali lipat, karena barang yang ada di pasaran sudah habis dan para konsumen mau tidak mau harus membelinya dari mereka. Oleh karenanya, ihtikar sangat dilarang oleh agama Islam karena sangat merugikan orang-orang kecil dan hukumnya berdosa. Eksistensi monopoli dalam suatu kegiatan ekonomi dapat terjadi dalam berbagai jenis, ada yang merugikan dan ada yang menguntungkan perekonomian dan masyarakatnya. Oleh karena itu pengertian masing-masing jenis monopoli yang dilarang karena merugikan masyarakat dan mana yang ikut memberikan kontribusi positif bagi kesejahteraan masyarakat. Adapun jenisjenis monopoli tersebut sebagai berikut:139 1. Monopoli yang terjadi karena dikehendaki oleh Undang-undang
139
Susan Widiya ningsi, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 2002), hal.236-239
FAKULTAS HUKUM UMA
54
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 Pasal 33 UUD 1945 menghendaki adanya monopoli negara untuk menguasai bumi dan air berikut kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Serta cabangcabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Selain itu undangundang juga memberikan hak istimewa dan perlindungan hukum dalam jangka waktu tertentu atas hasil riset dan inovasi yang dilakukan sebagai hasil pengembangan teknologi yang bermanfaat bagi umat manusia. 2. Monopoli yang lahir dan tumbuh secara alamiah karena didukung oleh iklim dan lingkungan usaha yang sehat. Monopoli bukanlah merupakan suatu perbuatan jahat atau terlarang apabila kedudukan monopoli tersebut melalui kemampuan prediksi dan naluri bisnis yang profesional. Kemampuan sumber daya manusia yang profesional, kerja keras dan strategi, bisnis yang tepat dalam mempertahankan posisinya akan membuat suatu perusahaan memiliki kinerja yang unggul sehingga tumbuh secara cepat dengan menawarkan suatu kombinasi antara kualitas dan harga barang dan jasa sebagaimana dikehendaki oleh konsumen. Dalam posisinya tersebut, perusahaan mampu beroperasi dan mengelola sedemikian rupa berbagai komponen masukan sehingga dalam industri dimana ia berada, biaya rata-rata perunit produksi menurun tajam pada tingkat produksi selanjutnya dan semakin besar skala produksi perusahaan tersebut. 3. Monopoli yang diperoleh melalui lisensi dengan menggunakan mekanisme kekuasaan Monopoli ini terjadi dengan adanya kolusian antara para pelaku usaha dengan birokrat pemerintah. Kehadirannya menimbulkan distorsi ekonomi karena mengganggu bekerjanya mekanisme pasar yang efesien. Umumnya monopoli melalui lisensi berkaitan erat dengan para pemburu ekonomi yang mengganggu keseimbangan pasar untuk kepentingan mereka. Berbagai kelompok JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X usaha yang dekat dengan pusat kekuasaan dalam pemerintahan pada umumnya memiliki kecendrungan melakukan perbuatan-perbuatan tercela. 4. Monopoli karena terbentuknya struktur pasar akibat perilaku yang tidak jujur Sifat-sifat dasar manusia yang menginginkan keuntungan besar dalam waktu yang singkat dan dengan pengorbanan dan modal yang sekecil mungkin atau sebaliknya, dengan menggunakan modal yang sangat besar untuk memperoleh posisi dominan guna menggusur para pesaing yang ada. Unsurunsur yang mempengaruhi perilaku para pelaku usaha tersebut manifestasinya dalam praktik bisnis sehari-hari adalah sedapat-dapatnya menghindari munculnya pesaing baru, karena munculnya pesaing atau rivalitas dalam berusaha, akan berakibat menurunkan tingkat keuntungan. Hal ini dapat terjadi karena kualitas dan kuantitas dan kebijakan harga tidak lagi ditentukan oleh suatu pelaku usaha atau satu perusahaan saja, tetapi juga dipengaruhi oleh apa yang dilakukan oleh para pesaingnya. Islam melarang persaingan tidak sehat dan menutup semua jalan yang menuju kearahnya. Islam tidak membenarkan monopoli. Ada diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: “tidak menimbun melainkan berdosa”, terutama sekali monopoli atas bahan makanan atau bahan kebutuhan sehari-hari, semuanya itu dilarang oleh Islam. Barang dan jasa yang menjadi kebutuha rakyat tidak pernah dibenarkan untuk dimonopoli.140 Para ulama berbeda pendapat tentang hukum monopoli (ihtikar), dengan perincian sebagai berikut:141 140 Muhammad Sharif Chaudry, Prinsip Dasar Sistem Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2012), hal.359 141 Chuzaimah T.yanggo, Problematika Hukum Islam kontemporer, (Jakarta: L.Siak,1997), hal.103
FAKULTAS HUKUM UMA
55
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 1. Haram secara mutlak (tidak dikhususkan bahan makanan saja), hal ini didasari oleh sabda Nabi SAW: َاطئ ِ َم ِن احْ تَك ََر فَ ُه َو خ Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa. (HR. Muslim 1605) Menimbun yang diharamkan menurut kebanyakan ulama fikih bila memenuhi tiga kriteria: a. Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga untuk masa satu tahun penuh.Kita hanya boleh menyimpan barang untuk keperluan kurang dari satu tahun sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah SAW. b. Menimbun untuk dijual, kemudian pada waktu harganya membumbung tinggi dan kebutuhan rakyat sudah mendesak baru dijual sehingga terpaksa rakyat membelinya dengan harga mahal. c. Yang ditimbun (dimonopoli) ialah kebutuhan pokok rakyat seperti pangan, sandang dan lain-lain. Apabila bahan-bahan lainnya ada di tangan banyak pedagang, tetatpi tidak termasuk bahan pokok kebutuhan rakyat dan tidak merugikan rakyat. maka itu tidak termasuk menimbun. 2. Makruh secara mutlak, Dengan alasan bahwa larangan Nabi SAW berkaitan dengan ihtikar adalah terbatas kepada hukum makruh saja, lantaran hanya sebagai peringatan bagi umatnya.Haram apabila berupa bahan makanan saja, adapun selain bahan makanan, maka dibolehkan, dengan alasan hadits riwayat Muslim di atas, dengan melanjutkan riwayat tersebut yang dhohirnya membolehkan ihtikar selain bahan makanan, sebagaimana riwayat lengkapnya, ketika Nabi SAW bersabda: َ ِعيد ِ َم ِن احْ تَك ََر فَ ُه َو خ َ ََ س ِعي ٍد فَإِنَّكَ تَحْ ت َ ِك ُر قَا َ َاطئ فَ ِقي َل ِل ْ ُ َ َ إِ َّن َم ْع َم ًرا الَّذِي َكانَ يُ َح ِدِّث َهذا ال َحدِيث َكانَ يَحْ تَ ِك ُر Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa. Lalu Sa'id ditanya,"Kenapa engkau lakukan JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X ihtikar?" Sa'id menjawab, "Sesungguhnya Ma'mar yang meriwayatkan hadits ini telah melakukan ihtikar!' (HR. Muslim 1605) Imam Ibnu Abdil Bar mengatakan: "Kedua orang ini (Said bin Musayyab dan Ma'mar (perowi hadits) hanya menyimpan minyak, karena keduanya memahami bahwa yang dilarang adalah khusus bahan makanan ketika sangat dibutuhkan saja, dan tidak mungkin bagi seorang sahabat mulia yang merowikan hadits dari Nabi SAW dan seorang tabi'in [mulia] yang bernama Said bin Musayyab, setelah mereka meriwayatkan hadits larangan ihtikar lalu mereka menyelisihinya (ini menunjukkan bahwa yang dilarang hanyalah bahan makanan saja). 3. Haram ihtikar disebagian tempat saja, seperti di kota Makkah dan Madinah, sedangkan tempat-tempat lainnya, maka dibolehkan ihtikar di dalamnya, hal ini lantaran Makkah dan Madinah adalah dua kota yang terbatas lingkupnya, sehingga apabila ada yang melakukan ihtikar salah satu barang kebutuhan manusia, maka perekonomian mereka akan terganggu dan mereka akan kesulitan mendapatkan barang yang dibutuhkan, sedangkan tempat-tempat lain yang luas, apabila ada yang menimbun barang dagangannya, maka biasanya tidak mempengaruhi perekonomian manusia, sehingga tidak dilarang ihtikar di dalamnya.Monopoli hukumnya haram berdasarkan dalildalil sebagai berikut :142 Dalil Pertama : Firman Allah subhanahu wa ta’ala : ُ َِو َم ْن ي ُِردْ فِي ِه بِإ ِ ْل َحا ٍد ب ب أ َ ِل ٍيم ٍ عذَا َ ظ ْل ٍم نُ ِذ ْقهُ ِم ْن “ Dan barang siapa yang bermaksud di dalamnya ( Mekkah ) melakukan kejahatan secara lalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih.” ( Qs alHajj : 25 )
142
Yusuf Qardawi, Halal Haram Dalam Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 2003), hal.756-762
FAKULTAS HUKUM UMA
56
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 Berkata ath-Thobari di dalam tafsirnya (9/131 ) : “ Yang dimaksud melakukan kejahatan di dalamnya adalah melakukan monopoli makanan di Mekkah. “ Dalil Kedua : Hadist Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ومن شاق، من ضار ضاره الله،ال ضرر وال ضرار شق الله عليه “ Tidak boleh memberikan madharat kepada diri sendiri dan kepada orang lain, barang siapa yang memberikan madharat kepada orang lain, maka Allah akan memberikan madharat kepadanya, dan barangsiapa yang memberikan beban kepada orang lain, maka Allah akan memberikan beban kepadanya.“ ( HR. Daruquthni (3/ 77 ) Berkata Ibnu Sholah : “ Hadist ini dinisbatkan kepada Daruquthni dari berbagai jalan yang kesemuanya menguatkannya dan menjadikan hadist ini hasan. Mayoritas ulama menerimanya dan dijadikan sebagai sandaran dalam hukum. “ Dalil Ketiga : Hadist Ma’mar bin Abdullah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : َاطئ ِ َم ِن احْ تَك ََر فَ ُه َو خ “ Barangsiapa menimbun barang, maka ia berdosa.” (HR Muslim (1605). Walaupun demikian, para ulama berbeda pendapat tentang monopoli yang dilarang dalam hadist di atas:143 Pendapat Pertama : Monopoli yang diharamkan hanya pada makanan saja, selain makananan dibolehkan. Ini pendapat Hanafiyah dan Syafi’iyah. Dalilnya bahwa Sa’id bin Musayyib perawi hadist di atas, ketika ditanya, “Kenapa engkau melakukan penimbunan ?” Sa’id menjawab : “Sesungguhnya Ma’mar yang meriwayatkan hadits ini telah melakukan penimbunan(selain makanan)“. Ini 143
ISSN: 2355-987X menunjukkan bahwa yang dilarang adalah menimbun makanan. Pendapat Kedua : Monopoli yang diharamkan adalah pada semua jenis barang yang bisa merugikan masyarakat, khususnya pada barang-barang yang menjadi kebutuhan umum masyarakat, seperti makanan pokok, cabe, bawang, bensin dan lain-lainnya. Berkata Imam al-Baghawi di dalam Syarhu as-Sunnah(8/179) : “Imam Malik dan Imam at-Tsauri mengharamkan monopoli pada semua barang “ Kriteria Monopoli Yang Dilarang Menimbun barang yang diharamkan menurut mayoritas ulama bila memenuhi beberapa kriteria di bawah ini : Pertama : Monopoli yang dilarang adalah jika penimbun membelinya dari pasar umum. Adapun jika menimbun dari sawahnya sendiri atau dari hasil kerjanya sendiri maka hal itu dibolehkan. Berkata Ibnu Qudamah di dalam al-Mughni ( 4/ 154 ) : “ Jika dia mengambil barang dari tempat lain atau dari sawahnya sendiri dan menyimpannya, maka tidak termasuk menimbun yang dilarang. “ Di dalam Mushannaf Abdu Rozaq ( 14885 ) dengan sanad shahih bahwa Thowus menyimpan bahan makanan hasil panen sawahnya selama dua sampai tiga tahun, untuk dijualnya ketika harga barang naik. Kedua : Monopoli yang dilarang adalah jika dia membeli barang tersebut ketika harganya mahal, untuk kemudian dijual lagi dengan harga yang lebih tinggi. Seperti orang membeli bensin banyakbanyak menjelang harga naik, untuk disimpannya dan menjualnya dengan harga tinggi. Kalau membeli ketika harga murah dan barangnya berlimpah di masyarakat dan menyimpannya untuk dijual dengan harga lebih mahal karena kebutuhan hidupnya, maka ini tidak termasuk monopoli yang dilarang.
Ibid,
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM UMA
57
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 Berkata Imam Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim (11/ 41): “ Monopoli yang diharamkan adalah jika seseorang membeli makanan ketika harganya mahal dengan tujuan untuk dijual lagi, dia tidak menjualnya langsung, tetapi disimpannya terlebih dahulu agar harganya lebih mahal. Adapun jika dia membeli makanan tersebut pada waktu harga murah, kemudian menyimpannya dan menjualnya ketika harga tinggi, karena dia membutuhkan ( uang ) untuk makan, ataupun jika seseorang membeli makanan tersebut kemudian dijualnya lagi, maka perbuatan-perbuatan tersebut tidak termasuk dalam monopoli, dan tidak diharamkan. “ Ketiga : Monopoli yang dilarang adalah jika dia menimbun untuk dijual kembali. Adapun jika ia menimbun makanan atau barang untuk kebutuhan pribadi atau keluarga, tanpa ada niat menjualnya bukan termasuk monopoli yang dilarang. Berkata al-Baji di dalam alMuntaqa ( 5/15 ) : “ Monopoli itu adalah menimbun barang dagangan dan mengambil untung darinya. Adapun menyimpan bahan makanan ( untuk keperluan sendiri ), maka tidak termasuk monopoli. “ Di dalam hadist Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu bahwa beliau berkata : ًَََة ُ انَ َر ُ َِلَّ َم يَحْ ب َ س نَفَقَةَ أَ ْه ِل ِه َ صلَّى اللَّهُ َعلَ ْي ِه َو َ َو َُ اللَّ ِه ُ ُ ي ِم ْن ت َْم ِر ِه َمجْ َعلَ َما َِ اللَّ ِه ق ب ا م ل ع ي م ث ، ْج ِ َ َ َ َ َّ َ “ Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyimpan makanan untuk keluarganya selama setahun, adapun sisa dari kurmanya dijadikan sebagai harta Allah ( untuk dinfakkan).” ( HR. Abdur Rozaq di dalam al Mushannaf (14451). Hadist yang serupa juga diriwayatkan Bukhari (2904 )dan Muslim (1757). Keempat : Monopoli yang dilarang adalah menimbun barang pada waktu masyarakat membutuhkan barang tersebut. Adapun menimbun barang yang JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X banyak beredar di masyarakat untuk persiapan musim paceklik maka itu dibolehkan. Nabi Yusuf alaihi as-salam pernah melakukan penyimpanan bahan makanan secara besar-besaran pada musim panen untuk persiapan menghadapi musim paceklik di masa mendatang, dan ini tidak mempengaruhi pasar, sebagaimana disebutkan al-Qur’an: صدْت ُ ْم فَذَ ُروهُ ِفي َ َقَا ََ ت َْز َرعُون َ َ ْب َع ََِِينَ دَأَبًا َف َما َح ْ ْ ُ ُ ً َ َْبُ ِل ِه إِ َّال قَ ِل َبْع ِشدَاد ُ َ َيًل ِم َّما تَأ ُكلونَ ث َّم يَأتِي ِم ْن بَ ْع ِد ذَلِك ْ َيأ ْ َّ ً َ ُ ُ ُ َ َ َّ َّ صَُونَ ث َّم َيأْتِي ِم ْن ت ا م م يًل ل ق ال إ ن ه ل م ت م د ق ا م ل ك َن ْح ِ ِ َّ ِ َ ِ ُ ْ ْ ُ َ َص ُرون ُ ََّبَ ْع ِد ذلِكَ َعام فِي ِه يُغَاث ال ِ اس َوفِي ِه يَ ْع “Yusuf berkata: "Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan. Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan di masa itu mereka memeras anggur." ( Qs Yusuf : 47-49 ) Berkata al-Qurtubi di dalam tafsirnya ( 9/204 ) : “ Ayat di atas menunjukkan kebolehan menimbun makanan sampai waktu yang dibutuhkan. “ Berkata Ibnu Hazm di dalam alMuhalla ( masalah 1568 ) : “ Menimbun barang ketika masih melimpah tidaklah berdosa, bahkan sebaliknya dia telah melakukan kebaikan, karena kalau barang dijual semuanya, nanti cepat habis, sehingga tidak ada persediaan dan masyarakat tidak memilikinya lagi, hal itu akan merugikan kaum muslimin. Kelima : Monopoli yang dilarang adalah menimbun barang-barang yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat seperti pangan, sandang, minyak dan lainlain. Adapun menimbun barang-barang yang bukan kebutuhan pokok masyarakat dan barang tersebut banyak di tangan para FAKULTAS HUKUM UMA
58
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 pedagang, serta tidak merugikan masyarakat, maka hal ini dibolehkan 4. Boleh ihtikar secara mutlak, Mereka menjadikan hadits-hadits Nabi SAW yang memerintahkan orang yang membeli bahan makanan untuk membawanya ke tempat tinggalnya terlebih dahulu sebelum menjualnya kembali sebagai dalil dibolehkahnya ihtikar, seperti dalam hadits: َي اللَّهُ َع َْ ُه َما َقا ََ َرأَيْتُ الَّذِينَ يَ ْشتَ ُرون ُ َع ْن اب ِْن ِ ع َم َر َر َ ض َّ َّ َّ ً َّ ال َ َ ُ َاز علَ ْي ِه ه ل ال ى ل ص ه ل ال َ و َ ر د ه ع ى ل ع ة ف ج ِ ِ ُ َ َ َ ام ُم ِ َ َ َْ َ ط َع َ َّ َ َّ َل َم يَ َْ َه ْونَ أ ْن يَبِيعُوهُ َحتى يُؤْ ُووهُ إِلى ِر َحا ِلـ ِه ْم َ َو Dari Ibnu Umar r.a. beliau berkata: "Aku melihat orang-orang yang membeli bahan makanan dengan tanpa ditimbang pada zaman Rosulullah SAW mereka dilarang menjualnya kecuali harus mengangkutnya ke tempat tinggal mereka terlebih dahulu."(HR. Bukhori 2131, dan Muslim 5/8). D. Simpulan Monopoli adalah kondisi dimana hanya ada satu penjual yang menawarkan satu barang dan jasa tertentu. Monopoli membunuh persaingan bebas, menyebabkan inflasi dan akhirnya menyebabkan terjadinya pengangguran. Baik pekerja maupun konsumen samasama tertindas Monopoli dalamkonsep Islam hukumnya haram karena menimbun barang-barang yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat untukdisimpan. Barang yang disimpandanditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga untuk masa satu tahun penuh.Menimbun barangdengantujuanuntuk dijual, kemudian pada waktu harganya membumbung tinggi dan kebutuhan rakyat sudah mendesak baru dijual sehingga terpaksa rakyat membelinya dengan harga mahal. DAFTAR PUSTAKA
ISSN: 2355-987X Aziz
Dahlan, Abdul (ed).Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ikhtiar Baru. 1996. Hermansyah.Pokok-pokok Hukum Persaingan Usaha. Jakarta: Kencana. 2008. Herlambang, Teddy. Ekonomi Manajerial dan Strategi Bersaing. Jakarta: Raja Grafindo. 2002. Karim,Adiwarman.Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: IIIT Indonesia. 2000. Margono, Margono. Hukum Anti Monopoli. Jakarta: Sinar Grafika 2009. Qardawi, Yusuf.Halal Haram Dalam Islam. Surabaya: Bina Ilmu. 2003. Sakirno, sadono, Pengantar Teori Mikro Ekonomi. Jakarta: PT. Radja Grafindo. 2001. Sharif Chaudry, Muhammad.Prinsip Dasar Sistem Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana. 2012. Subhan, Imam. Siasat Gerakan Kota dan Jalan Untuk Masyrakat Baru. Yogyakarta: Labda 2003. Sudarsono, Heri. Konsep Ekonomiu Islam Suatu Pengantar. Yogyakarta: Ekonisia. 2000. Suhasril dan Taufik Makarao, Mohammad. Hukum Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia. 2008. T.Yanggo, Huzaimah. Problematika Hukum Islam, Kontemporer. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1997. Yani, Ahmad &Widjaya, Gunawan.Seri Hukum Bisnis: Anti Monopoli. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2006. Widiya ningsi, Susan. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo. 2002. Wiradiputra, Wirardiputra. Pengantar Hukum Persaingan Usaha, Modul untuk Retooling Program Under Employee Graduates at Priority Disciplines Under TPSDP. Tahun 2006.
Adiningsih, Siti.Ekonomi Mikro. Yogyakarta:BPEF. 1999. Al-Barry, Dahlan.Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: ARKOLA, 1994.
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM UMA
59
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016
ISSN: 2355-987X
IMPLEMENTASI PRINSIP CEPAT, SEDERHANA DAN BIAYA RINGAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA HUBUNGAN INDUSTRIAL DI INDONESIA Maswandi Fakultas Hukum Universitas Medan Area
[email protected] ABSTRACT The genesis of law No. 2 of 2004 Concerning Industrial Relations Dispute Settlement can not be separated from the Indonesian government’s efforts to meet the aspirations of people who crave the industrial relations dispute settlement to avoid protracted and can be completed as simple as possible and at a low cost. Aspirations of the people is of course not independent due during the industrial relations dispute settlement through Law No. 22 of 1957 on the Settlement of Labour Dispute take quite some time until many years and involve many agencies and require no small cost, so that the judicial settlement of disputes with the principle of last, simple and low cost as desired Law 48 of 2009 instead of Law No. 4 of 2004 on Judicial Power has not done well. Keywords : Principles Fast, Simple and Cost Lightweigh, Industrial Relations Disputes. I. PENDAHULUAN Pasal 2 ayat 4 UU No. 48 Tahun 2009 sebagai pengganti UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan “Peradilan dilakukan dengan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan”, jadi semua sengketa dalam ruang lingkup peradilan menganut prinsip ini, apakah Peradilan Umum yang didalamnya terdapat pengadilanpengadilan khusus diantaranya adalah Pengadilan Hubungan Industrial, atau peradilan-peradilan lain seperti Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer yang keseluruhannya berada di bawah Mahkamah Agung. Dengan demikian setiap badan peradilan tetap akan menerapkan prinsip cepat, sederhana dan biaya ringan ini dalam proses penanganan perkara sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (4) UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dengan adanya prinsip-prinsip tersebut dimaksudkan agar para pihak yang bersengketa memperoleh JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
kemanfaatan, kepastian hukum serta keadilan dalam menyelesaikan perkara di pengadilan terutama Pengadilan Hubungan Industrial. Prinsip cepat dimaksudkan agar dalam penanganan perkara dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat, memang berapa lama waktu singkat itu tidak ditentukan dalam peraturan manapun, namun dapat dirasakan sesuai dengan rasa kepatutan dimasyarakat, sehingga tidak memakan waktu yang lama dan berlarut-larut seolah-olah perkara yang dihadapi tidak berujung. Sedangkan prinsip sederhana berkaitan dengan bukti dan instansi yang terkait dalam penyelesaian sengketa itu sendiri yang memiliki tujuan agar dalam proses persidangan tidak berbelit-belit dan mudah diselesaikan sehingga dengan sendirinya penerapan prinsip cepat dapat terlaksana. Sementara mengenai prinsip biaya ringan tergantung dari kedua prinsip sebelumnya yaitu jika dalam penanganan perkara dapat diselesaikan dengan cepat FAKULTAS HUKUM UMA
60
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 dan tidak berbelit-beli dengan pembuktian dan proses perkara yang sederhana dengan tidak banyak melibatkan instansi lain, maka dengan sendirinya biaya akan ringan, apalagi diperjelas didalam ketentuan bahwa dalam penanganan perkara tidak dikenakan suatu pembayaran apapun. Jadi terhadap biaya ringan selain dari apakah penanganan perkara tersebut cepat dan tidak berbelitbelit, baik terhadap proses maupun pembuktiannya, terhadap penanganan perkaranya tidak dikenakan biaya apapun atau dengan biaya yang murah. Mengenai biaya ini biasanya dalam setiap beracara di pengadilan pasti diperlukan, apalagi dalam menangani perkara hubungan industrial secara tegas dinyatakan dalam Pasal 58 UUPPHI pihak-pihak yang berperkara tidak dikenakan biaya yang nilai gugatannya dibawah Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta). Sebelum adanya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Pemungutan Biaya Perkara, pembayaran biaya perkara langsung melalui pengadilan yang bersangkutan, tetapi setelah adanya Surat Edaran tersebut dikeluarkan pembayaran biaya perkara dibayarkan melalui bank yang telah ditunjuk oleh pengadilan yang bersangkutan. Salah satu pertimbangan hukum lahirnya Undang-Undang Nomor : 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UUPPHI) pada huruf b menyebutkan bahwa “Dalam era industrialiasasi, masalah perselisihan hubungan industrial menjadi semakin meningkat dan kompleks, sehingga diperlukan institusi dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang Cepat, Tepat, Adil dan Murah”. Adanya kata Cepat dan Murah membuktikan bahwa undangundang ini telah mengakomodir prinsip JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X Cepat dan Biaya Ringan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat 4 UU No. 48 Tahun 2009 sebagai pengganti UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, sedangkan terhadap prinsip Sederhana dapat dilihat secara normatif dalam Pasal 83 UUPPHI yang menentukan bahwa setiap gugatan cukup hanya melampirkan risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi. Dengan demikian secara normatif UUPPHI telah mengimplementasi ketiga prinsip tersebut sekaligus. Penerapan prinsip cepat, sederhana dan biaya ringan sebagaimana tercantum dalam pertimbangan dan norma hukum disebabkan karena penyelesaian sengketa hubungan industrial sebelum berlakunya UU PPHI ini melalui UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dapat memakan waktu yang cukup lama (tidak cepat) dan berbelit-belit (tidak sederhana). Di katakan lama disebabkan tidak terdapatnya pengaturan pembatasan waktu dalam penyelesaian sengketa hubungan industrial ini, sehingga kadangkala bisa memakan waktu sampai bertahun-tahun bahkan puluhan tahun, dan mengingat tidak adanya pembatasan waktu ini, tidak menapik kemungkinan dalam penyelesaian sengketa hubungan industrial ini bagaikan tidak berujung dan tidak berakhir. Sementara dikatakan berbelit-belit disebabkan banyaknya lembaga yang terlibat dalam penyelesaian sengketa hubungan industrial ini, mulai dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4-D), Lembaga Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4-P), Menteri Tenaga Kerja, Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) dan Mahkamah Agung. Lama dan berbelit-belitnya penyelesaian sengketa hubungan FAKULTAS HUKUM UMA
61
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 industrial ini tentu akan merugikan semua pihak, terutama bagi pekerja/buruh itu sendiri yaitu selain pekerja tidak dapat menikmati hak-haknya yang telah bekerja pada perusahaan/majikan selama bertahun-tahun atau puluhan tahun, pekerja juga dalam berperkara mengeluarkan biaya yang tidak ringan karena harus bolak balik menghadiri persidangan dan mengurus perkaranya. Dengan demikian boleh dikatakan penyelesaian sengketa hubungan industrial ini ternyata bertentangan dengan prinsip cepat, sederhana dan biaya ringan, untuk itulah keberadaan UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI ini sangat diperlukan. Masyarakat Indonesia tentu merasa bergembira dengan lahirnya UU-PPHI, terutama pemerintah, pengusaha/majikan dan pekerja/buruh yang sangat berharap dengan keberadaan UU-PPHI ini agar dapat menyelesaikan sengketa hubungan industrial dalam waktu yang singkat dan tidak berbelit-belit serta biaya yang ringan. Menurut ketentuan dari undangundang ini ditentukan bahwa jangka waktu penyelesaian sengketa hubungan industrial secara teori sudah harus selesai dalam jangka waktu 110 hari (± 3 bulan 10 hari) mulai dari Mediasi melalui Dinas Tenaga Kerja (Pasal 15) selesai selama 30 hari, Pengadilan Hubungan Industrial (Pasal 103) selesai selama 50 hari, sampai pada Mahkamah Agung (Pasal 115) selesai selama 30 hari. Namun dalam praktiknya ternyata kasus-kasus yang berkaitan dengan hubungan industrial khususnya dalam sengketa Pemutusan Hubungan Kerja memakan waktu yang lama dan berbelit-belit, seperti misalnya dalam kasus perkara Nomor : 76/G/2007/PHI.Mdn antara Erwin Sihombing lawan PT Rimba Melati, perkara ini memakan waktu sudah 8 (delapan) tahun dan sampai saat sekarang JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X inipun masih belum diputus oleh Mahkamah Agung atas Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh perusahaan/majikan, jadi seolah-olah terhadap kasus hubungan industrial khususnya terhadap perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak memiliki batas waktu sebagaimana berlakunya UU No. 22 Tahun 1957. Kalaulah demikian berarti prinsip cepat, sederhana dan biaya ringan sebagaimana yang diinginkan menurut UU No. 48 Tahun 2009 dalam praktiknya tidak terlaksana juga sesuai dalam pertimbangan hukum UU-PPHI sebagaimana mestinya. Jadi implementasi prinsip cepat, sederhana dan biaya ringan dalam penyelesaian sengketa ketenagakerjaan (sengketa hubungan industrial) di Indonesia boleh dikatakan belum terlaksana. Sejatinya prinsip ini memberi keuntungan bagi pihak-pihak yang berperkara namun antara teori dengan praktik (das sein en das sollen) sangat bertentangan satu sama lain, secara teori normatif sesuai dengan prinsip cepat, sederhana dan biaya ringan dalam penyelesaian sengketa perkara hubungan industrial diharapkan dapat selesai dalam waktu yang singkat dan murah, namun praktiknya ternyata tidaklah demikian, sehingga menimbulkan kekecewaan bagi individu atau kelompok masyarakat khususnya bagi tenaga kerja yang menginginkan kepastian hukum yang cepat dan tidak berlarut-larut. TUJUAN PENULISAN Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui tentang penerapan prinsip cepat, sederhana dan biaya ringan sebagaimana yang ditentukan dalam UU No. 48 Tahun 2009 sebagai pengganti UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman dalam kaitannya dengan
FAKULTAS HUKUM UMA
62
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 penyelesaian sengketa hubungan industrial di Indonesia. URAIAN TEORETIS Pemahaman Terhadap Prinsip Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan. Prinsip (asas) adalah sesuatu yang dapat kita jadikan sebagai alas, sebagai dasar, sebagai tumpuan, sebagai tempat untuk menyandarkan, untuk mengembalikan sesuatu hal yang hendak kita jelaskan.144 Sementara itu menurut Satjipto Rahardjo mengartikan prinsip itu berfungsi sebagai jantungnya peraturan hukum dan ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum, yang berarti bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut.145 Sedangkan Sudikno Mertukusumo berpendapat bahwa prinsip itu bukanlah peraturan hukum konkret, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkret yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundangundangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkret tersebut.146 Sementara itu perkataan cepat merupakan sesuatu yang berkaitan dengan waktu atau “dalam tenggang waktu yang pantas” mengacu pada “tempo”, cepat atau lambatnya, penyelesaian suatu perkara pengertian sederhana mengacu pada “complicated” penyelesaian suatu perkara yaitu tidak 144
Mahadi, Filsafat Hukum, Suatu Pengantar, Alumni, Bandung, 1991, hlm. 19. 145 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 85, 146 Sudikno Mertukusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2005, hlm. 34.
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X berbelit-belit baik terhadap instansi yang menanganinya maupun terhadap buktibukti dalam penangan perkara, sedangkan perkataan “biaya ringan“ mengacu pada banyak atau sedikitnya biaya yang harus dikeluarkan oleh para pencari keadilan dalam menyelesaikan sengketanya didepan peradilan. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Materil Republik Indonesia”. Sedangkan tujuan Negara Hukum Materil (welvaarstaats) atau Negara kesejahteraan (verzorgingstaats) sebagaimana yang telah disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu Negara melindungi seluruh warga Negara Indonesia, menjaga ketertiban umum dan mewujudkan keadilan sosial. Prinsip cepat menunjuk kepada jalannya peradilan, terlalu banyak formalitas merupakan hambatan bagi jalannya peradilan. Dalam hal ini bukan hanya jalannya peradilan dalam pemeriksaan di muka persidangan saja, tetapi juga penyelesaian berita acara pemeriksaan di persidangan sampai dengan penandatanganan oleh Hakim dan pelaksanaannya atau pengiriman dan pemberitahuan berkas banding (kasasi) pada para pihak. Tidak jarang perkara tertunda-tunda sampai puluhan tahun karena saksi tidak datang atau para pihak bergantian tidak datang, bahkan perkaranya sampai dilanjutkan oleh para ahli warisnya. Dapat disimpulkan bahwa cepatnya proses peradilan akan meningkatkan kewibawaan pengadilan dan menambah
FAKULTAS HUKUM UMA
63
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 kepercayaan masyarakat kepada pengadilan. Prinsip sederhana adalah acara yang jelas, mudah difahami dan tidak berbelitbelit, dan cukup one stop service (penyelesaian sengketa cukup diselesaikan melalui satu lembaga peradilan). Semakin sedikit dan sederhana formalitas-formalitas yang diwajibkan atau diperlukan dalam beracara di muka pengadilan, semakin baik. Terlalu banyak formalitas yang sukar difahami, sehinggga memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran, kurang menjamin adanya kepastian hukum dan menyebabkan keengganan atau ketakutan untuk beracara di muka pengadilan. Sementara itu prinsip biaya ringan dalam beracara di pengadilan maksudnya agar para pihak dalam berperkara dapat memikul dan menjangkaunya, sehingga para pihak dapat memperoleh kepastian hukum dan keadilan sekaligus. Biaya yang tinggi akibat proses yang lama kebanyakan menyebabkan pihak yang berkepentingan enggan untuk mengajukan tuntutan hak kepada pengadilan, akhirnya ketika terjadi peristiwa hukum, pihak yang merasakan dalam berperkara memerlukan biaya yang besar tidak akan mau mengajukan perkaranya ke Pengadilan sebagai upaya mencari keadilan. Jadi ketiga prinsip ini, yaitu cepat, sederhana dan biaya ringan merupakan asas yang tidak dapat dipisahkan. Adanya prinsip biaya ringan disebabkan karena dalam penyelesaian perkara tidak berbelit-belit karena baik institusi dan bukti-bukti dalam penyelesaiannya harus sederhana, sedangkan sederhananya suatu perkara tidak terlepas dari seberapa lama waktu yang diberikan oleh ketentuan secara normatif, sehingga ketiga prinsip ini saling mendukung satu sama lainnya, dan yang lebih menariknya lagi bahwa JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X prinsip ini tidak kalah pentingnya dengan prinsip-prinsip lain yang terdapat dalam Pasal 4 ayat (2) UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Adapun makna dan tujuan prinsip cepat, sederhana dan biaya ringan bukan hanya sekedar menitik beratkan unsur kecepatan dan biaya ringan. Bukan berarti pemeriksaan perkara dilakukan bagaikan sulap dengan menyebut bim salabin atau abra kadabra lalu selesai. Tentu tidak demikian maknanya, asas ini bukan bertujuan untuk menyuruh Hakim agar memeriksa dan memutus perkara dalam tempo satu hari atau dua hari saja. Tujuan asas ini adalah suatu proses yang relative singkat dan tidak memakan jangka waktu lama sampai bertahuntahun sesuai dengan kesederhanaan hukum acara itu sendiri. Apa yang sudah memang sederhana, jangan dipersulit oleh Hakim ke arah proses yang berbelit-belit dan tersendat-sendat, selain dari itu ketiga prinsip inipun bukan mutlak tergantung dari Hakim dalam proses persidangan, akan tetapi tidak terlepas juga proses administrasi peradilan itu sendiri. Sementara bagi Hakim dalam hal ini yang dituntut adalah untuk dapat melakukan penerapan asas ini ialah sikap “moderasi”. Tidak cenderung secara ekstrim melakukan pemeriksaan yang tergopoh-gopoh tak ubahnya sebuah mesin, sehingga jalannya pemeriksaan meninggalkan harkat dan derajat kemanusiaan. Tetapi jangan pula ada kesengajaan untuk dilambat-lambatkan. Lakukan pemeriksaan yang seksama dan wajar, rasional dan objektif dengan cara memberi kesempatan yang berimbang dan sepatutnya kepada masing-masing
FAKULTAS HUKUM UMA
64
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 pihak yang berperkara sesuai asas “Audi Et Alteram Paterm”.147 Dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang dimaksud dengan sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efesien dan efektif. Sedangkan biaya ringan adalah biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat. Namun demikian, asas sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara di pengadilan tidak mengenyampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan keadilan. Sengketa Hubungan Industrial Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, jadi hubungan industrial ini adanya keterkaitan secara tripartit, yaitu Pengusaha sebagai pemberi pekerjaan dan kesejahteraan, Buruh sebagai pekerja dengan menerima upah dan memiliki kewajiban dan Pemerintah sebagai pihak yang mewakili masyarakat dengan menetapkan peraturan perundangundangan ketenagakerjaan serta melakukan pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran peraturan, sehingga ketiga komponen ini saling berinteraksi satu sama lainnya Interaksi antara pemerintah, pengusaha dan pekerja dalam membina hubungan kerja yang seimbang
147 Audi Et Alteram Paterm merupakan suatu asas yang mengandung arti bahwa seorang Hakim yang mengadili suatu perkara harus mendengarkan keterangan kedua belah pihak, lihat M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta 2005, hlm, 71.
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X dan harmonis inilah yang disebut dengan Hubungan Industrial.148 Keterkaitan adanya sengketa dalam hubungan industrial di awali karena terdapatnya suatu perbedaan pendapat antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh disebabkan karena adanya perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.149 Jadi dalam melaksanakan hubungan industrial ini, pihak pengusaha dan organisasi pengusahanya mempunyai fungsi untuk menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, dan memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara luas, demokratis, dan berkeadilan. Demikian pula dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruhnya dalam melaksanakan hubungan industrial mempunyai fungsi untuk menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, meningkatkan etos kerja, mengembangkan ketrampilan dan keahliannya serta memajukan perusahaan.150 Dalam menjalankan fungsi masingmasing dari pengusaha dan pekerja ini sebagaimana yang telah ditentukan, kadangkala dilanggar oleh salah satu pihak dan akibatnya tentu akan menimbulkan suatu perselisihan (sengketa) diantara mereka. Pihak yang 148
Supomo Suparman, Hukum Acara Peradilan Hubungan Industrial, Jala Permata Aksara, Jakarta, 2009, hlm, 3. 149 Lilik Mulyadi dan Agus Subroto, Penyelesaian Perkara Pengadilan Hubungan Industrial Dalam Teori Dan Praktik, PT Alumni, Bandung, 2011, hlm. 30. 150 Ugo & Pujiyo, Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm, 4.
FAKULTAS HUKUM UMA
65
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 merasa haknya dilanggar dapat menuntut haknya tersebut, demikian sebaliknya. Akhirnya para pihak tidak lagi sependapat dan menganggap hubungan antara mereka tidak harmonis lagi, maka masing-masing pihak yang merasa dirugikan akan menggunakan haknya mengajukan perkaranya ke pengadilan hubungan industrial, jadi adanya perbedaan pendapat yang melahirkan ketidak harmonisan hubungan diantara pengusaha dan pekerja atau serikatnya masingmasing didalam ruang lingkup perusahaan dan melimpahkan perkaranya melalui Pengadilan Hubungan Industrial inilah yang disebut dengan Sengketa Hubungan Industrial.151 Teori Kepastian Hukum Tujuan hukum adalah selain dari memberi manfaat bagi masyarakat juga dapat mewujudkan suatu keadilan, hukum juga bertujuan untuk menciptakan adanya suatu kepastian, lahirnya UU No. 2 Tahun 2004 tidak terlepas dari tujuan hukum itu sendiri yaitu menjamin adanya suatu kepastian, apalagi peraturan yang selama ini yaitu UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, belum dirasakan adanya suatu kepastian, sehingga prinsip cepat, sederhana dan biaya ringan yang harus dijadikan dasar dalam penyelesaian sengketa hubungan industrial sebagaimana yang diinginkan menurut UU No. 48 Tahun 2009 tidak pernah terwujud. Pemahaman terhadap teori kepastian hukum ini mulai muncul di abad 19 yang dikenal dengan Aliran Positivistik yaitu terpisahnya secara tegas antara hukum yang berlaku (das sein) dengan hukum yang seharusnya (das sollen), hukum dipandang identik dengan undang-undang, jadi hukum itu harus ditetapkan dengan pasti, tegas dan 151
Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm, 104.
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X nyata.152 Bagi pengikut paham ini menyebutkan bahwa tidak ada hukum selain hukum yang positif yaitu hukum yang didasarkan pada otoritas yang berdaulat (sovereign), arti berdaulat disini bahwa hukum berasal dari pemerintah sebagai pihak yang berkuasa untuk membuat undang-undang, hal ini sejalan dengan ungkapan dari John Austin yang menyebutkan hukum adalah perintah (command) yaitu sesuatu yang jelas dan tegas keberadaannya, yang merupakan suatu produk dari kekuatan politik berasal dari penguasa (pemerintah). Penguasa sebagai pihak yang berdaulat untuk melakukan suatu perintah dengan menerbitkan undang-undang untuk wajib dipatuhi oleh masyarakat, jika tidak akan diberi sanksi, sebagaimana yang diungkapkannya : “the evil which will probably be incured in case a command be disobyed or in case a duty be broken, is frequently called a sanction, or an enforced by the cance of incurring the evil”.153 Sementara menurut Lili Rasjidi154 yang mencoba untuk merumuskan inti dari pandangan John Austin adalah sebagai berikut : 1. Hakekat dari hukum adalah perintah. Semua hukum positif adalah perintah dari yang berkuasa. 2. Hukum terpisah dari moral. 3. Kedaulatan adalah berada pada dunia politik atau sosiologis karenanya tidak perlu dipersoalkan sebab dianggap sebagai suatu yang telah ada dalam kenyataan. 152
Muhammad Erwin, Filsafat Hukum, Refleksi Kritis Terhadap Hukum, PT Raja Grafindo Persada, 2012, hlm.153. 153 Jhon Austin, The Province of Jurisprudence Determined, Wilfrid E. Rumble Ed, Cambridge, University Press, 1995, hlm. 22. 154 Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm. 42.
FAKULTAS HUKUM UMA
66
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 4. Ajaran John Austin tidak memberi tempat bagi hukum yang hidup dalam masyarakat. Dalam kaitannya dengan penyelesaian sengketa hubungan industrial, tidak terdapat suatu kepastian hukum, hal mana tidak diaturnya beberapa ketentuan yang dapat mendukung prinsip cepat, sederhana dan biaya ringan, meskipun ada ketentuan yang mendukung prinsip tersebut diantaranya adalah tidak adanya upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi dalam penyelesaian sengketa hubungan industrial ini dan terdapatnya batas waktu tertentu terhadap putusan perkara yang ditangani oleh Hakim baik di Pengadilan Hubungan Industrial dan di Mahkamah Agung.dengan demikian teori kepastian hukum sangat relevan sebagai pisau analisis untuk membahas tulisan ini. Jadi keberadaan UU No. 2 Tahun 2004 ini, jelas merupakan peraturan yang memberikan suatu kepastian bagi pencari keadilan, teruma bagi pekerja dan pengusaha, karena dengan keberadaan undang-undang ini tidak ada lagi kekhawatiran yang selama ini dirasakan bahwa penyelesaian sengketa PHK tidak memiliki batas waktu yang jelas, seperti bak kata slogan yang menyebutkan penyelesaian sengketa PHK bagaikan “penantian yang tak berujung”, dengan adanya suatu kepastian hukum akhirnya keberadaan undang-undang ini dapat memberikan kemanfaatan bagi pemerintah, masyarakat dan individu, persoalannya sekarang, apakah di dalam praktiknya UU No. 2 Tahun 2004 ini benar-benar telah memberikan suatu kepastian hukum bagi pencari keadilan. PEMBAHASAN Prinsip Cepat Dalam Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial Menurut UU-PPHI
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X Setiap orang akan mendambakan adanya suatu kepastian dalam penyelesaian sengketa dan tidak akan ada yang berkeinginan dalam penyelesaian sengketa apapun baik dalam ruang lingkup pidana maupun perdata penyelesaiannya berlarut-larut. Khusus dalam penyelesaian sengketa Hubungan Industrial didalam Pasal 57 UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI menyebutkan : “Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang ini”, jadi UUPPHI merupakan peraturan khusus, dikatakan khusus dapat dilihat dari Pasal 55 UUPPHI menyebutkan “Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum”. Jadi Pasal 55 dan 57 ini dapat ditafsirkan bahwa hukum acara yang berlaku dalam penyelesaian sengketa Hubungan Industrial adalah Hukum Acara Perdata (lex generalis) dan Hukum Acara PPHI (lex specialis). Berhubung hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Peradilan Umum, sementara sumber hukum yang dijadikan dasar dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku umum itu adalah : 1. HIR (Herziene Indonesisch Reglement), yaitu hukum acara perdata yang berlaku untuk daerah Jawa dan Madura. 2. RBg (Rechtsreglement Buitengewesten), yaitu hukum acara perdata yang berlaku untuk daerah luar Jawa dan Madura. 3. BW (Burgelijke Wetboek voor Indonesia) atau Kitab Undang-Undang
FAKULTAS HUKUM UMA
67
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 Hukum Perdata, khususnya tentang Pembuktian. 4. UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 5. UU No. 2 Tahun 1986 Jo. UU No. 8 Tahun 2004 Jo. UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum. 6. UU No. 14 Tahun 1985 Jo. UU No. 5 Tahun 2004 Jo. UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. 7. Yurisprudensi (putusan Hakim yang diikuti dengan putusan Hakim lainnya). Maka dengan serta merta dalam penanganan sengketa Hubungan Industrial ketentuan hukum acara perdata yang berlaku umum tersebut dengan sendirinya berlaku, selain dari UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI. Jadi semua peraturan perundang-undangan tersebut saling isi mengisi satu sama lainnya, mulai dari gugatan, pemeriksaan perkara, putusan, upaya hukum yaitu berupa upaya hukum biasa seperti Banding, Kasasi dan Perlawanan (verzet), dan upaya hukum luar biasa seperti Peninjauan Kembali (rekecivil) dan eksekusi. Menurut ketentuan Hukum Acara Perdata yang berlaku secara umum, proses penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan Hubungan Industrial dapat dilihat dari mulai gugatan, banding, kasasi, perlawanan (verzet) dan peninjauan kembali (PK), ironisnya dalam proses ini tidak ditentukan batas waktu penyelesaian perkara, sehingga jika berpedoman kepada ketentuan Hukum Acara Perdata umum ini penanganan perkara memakan waktu yang lama sampai bertahun-tahun. Hal ini dijadikan dasar lahirnya UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI yang berlaku secara khusus, yaitu mengkhususkan hal-hal yang tidak ada ditentukan dalam ketentuan umum, misalnya tidak adanya upaya hukum banding dalam penanganan perkara yang JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X berkaitan dengan Perselisihan Hak dan Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), kemudian ditentukannya batas waktu penyelesaian disemua tingkat, misalnya di Pengadilan Hubungan Industrial ditentukan bahwa Hakim sudah harus memutus perkara selama 50 (lima puluh) hari kerja (Pasal 103 UUPPHI), sedangkan di Mahkamah Agung selama 30 (tiga puluh) hari kerja (Pasal 115 UUPPHI), jadi dalam tenggang waktu 80 (delapan puluh) hari kerja ditambah dengan proses perkara di Dinas Tenaga Kerja (tripartit) selama 30 (tiga puluh) hari kerja (Pasal 15 Jo. Pasal 25 UUPPHI), maka dalam tenggang waktu 110 (seratus sepuluh) hari kerja sengketa hubungan industrial sudah harus berakhir. Kenyataannya, kebanyakan perkara hubungan industrial yang berkaitan dengan perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja memakan waktu yang cukup lama, misalnya dalam perkara Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Erwin Sihombing selaku pekerja yang telah di PHK oleh PT Rimba Melati dalam perkara nomor : 76/G/2007/PHI.Mdn, dimana pekerja yang mengalami kecelakaan kerja telah mengakibatkan telunjuk jari sebelah kiri pekerja putus karena terpotong oleh mesin pemotong kaleng, sehingga pekerja tidak dapat bekerja seperti biasanya.pada bulan pertama sampai dengan bulan ketiga perusahaan masih memberi gaji, namun pada bulan ke empat dan seterusnya perusahaan tidak lagi memberi gaji, dengan demikian secara hukum perusahaan telah melakukan PHK secara sepihak tanpa memberi hak-hak berupa pesangon dan uang jasa pekerja yang sudah bekerja selama 8 (delapan tahun) yaitu sejak tahun 1999 sampai dengan 2007. Berhubung perusahaan telah mem PHK pekerja, maka pada bulan Mei 2007 FAKULTAS HUKUM UMA
68
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 pekerja mengajukan gugatan ke PHI dan Hakim PHI telah memberikan keputusannya pada bulan Juli 2007 dengan mengabulkan tuntutan dari pekerja, lalu perusahaan Kasasi ke Mahkamah Agung dan Hakim Mahkamah Agung telah memutus pada bulan Maret 2008 dengan menguatkan putusan PHI, lalu atas putusan Kasasi dari Mahkamah Agung tersebut perusahaan mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung pada tahun 2009 dan sampai saat sekarang ini Mahkamah Agung dalam perkara Peninjauan Kembali tersebut belum mengeluarkan putusannya (± sudah 8 tahun). Jika dilihat dari kasus tersebut yang memakan waktu sudah 8 tahun, jelas prinsip cepat sebagaimana yang diinginkan dari undang-undang tidak tercapai, berlakunya asas prorogasi yaitu suatu asas meniadakan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi dengan cara melompati dan langsung ke Mahkamah Agung guna mempercepat penyelesaian suatu perkara sebenarnya merupakan salah satu asas yang mendukung prinsip cepat. Mekanisme terhadap proses penyelesaian dengan memberlakukan asas prorogasi ini dalam praktiknya terhadap penyelesaian sengketa hubungan industrial perlu dipertahankan guna mendukung prinsip cepat. Semula asas prorogasi ini hanya berlaku untuk golongan Eropah di zaman kolonial dahulu, namun saat sekarang ini sudah ada keberanian pemerintah untuk memberlakukan asas prorogasi ini melalui undang-undang sebagaimana yang diatur menurut UU No. 2 Tahun 2004, tidak dibenarkannya banding dan langsung kasasi terhadap putusan Hakim PHI secara normatif telah ditentukan dalam Pasal 110 UUPPHI yang menyebutkan bahwa “Putusan PHI pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan hak dan JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X perselisihan pemutusan hubungan kerja asas inilah yang mendukung prinsip cepat sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat 4 UU No. 48 Tahun 2009 sebagai pengganti UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Prinsip Sederhana Dalam Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial Menurut UU-PPHI Kesederhanaan dalam penyelesaian sengketa apapun dapat dilihat dari 2 (dua) dimensi, yaitu dilihat dari persyaratannya dan dilihat dari seberapa banyak institusi yang berwenang dalam menanganinya. UUPPHI secara normatif telah mengatur tentang persyaratan untuk mengajukan gugatan, salah satu pihak yang mengajukan setiap gugatan harus melampirkan risalah penyelesaian sengketa yang ditangani baik melalui Mediator maupun Konsiliator.155 Pasal 83 ayat (1) UUPPHI menyebutkan : “Pengajuan gugatan yang tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui Mediasi atau Konsiliasi, maka Hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan Penggugat”, jadi bilamana dalam sengketa hubungan industrial terutama yang berkaitan dengan perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja, salah satu pihak, apakah pihak pekerja atau pihak perusahaan yang mengajukan gugatannya, cukup dengan melampirkan risalah yang dikeluarkan oleh Mediator atau Konsiliator manakala dalam penyelesaian melalui Konsiliasi atau Mediasi tidak tercapai kata sepakat, dan hal ini merupakan suatu persyaratan 155
Mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, sedangkan Konsiliator adalah seseorang yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator berdasarkan keputusan Menteri Tenaga Kerja, Lihat Pasal 1 angka 12 dan 14 UUPPHI.
FAKULTAS HUKUM UMA
69
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 baik bagi para pihak yang bersengketa maupun bagi Hakim PHI untuk dapat menyelesaikan dan memutus gugatan yang diajukan padanya, jika risalah dari Mediator dan Konsiliator ini tidak ada, maka Hakim tidak dibenarkan dan harus mengembalikan gugatan tersebut kepada Penggugat. Terbitnya risalah dari Mediator atau Konsiliator ternyata tidak berdiri sendiri, ternyata sebelum Mediator atau Konsiliator menerbitkan risalahnya sebagai lampiran dalam gugatan, Mediator atau Konsiliator dalam menyelesaikan sengketa secara tripartit ini terlebih dahulu menerima risalah penyelesaian bipartit yang ditanda tangani oleh para pihak yang bersengketa, jika tidak maka Mediator atau Konsiliator harus mengembalikan berkasnya kepada para pihak untuk dilengkapi, risalah mana didalamnya termuat : 1. Nama lengkap dan alamat para pihak. 2. Tanggal dan tempat perundingan. 3. Pokok masalah atau alasan perselisihan. 4. Pendapat para pihak. 5. Kesimpulan atau hasil perundingan, dan 6. Tanggal serta tandatangan para pihak yang melakukan perundingan. Setelah Mediator atau Konsiliator menerima risalah ini, barulah mereka dapat menindak lanjuti dan menyelesaikan perselisihan para pihak secara tripartit, sehingga boleh dikatakan risalah yang ditandatangani para pihak menjadi dasar bagi Mediator atau Konsiliator untuk menerbitkan risalahnya, sedangkan risalah Mediator atau Konsiliator ini dijadikan dasar pula bagi Hakim dalam menangani perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja. Terkaitnya kedua perselisihan ini disebabkan karena baik perselisihan hak maupun perselisihan pemutusan hubungan JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X kerja disebabkan karena kedua perselisihan ini tidak berakhir pada Pengadilan Hubungan Industrial tingkat pertama saja, akan tetapi masih terdapat upaya hukum lain yaitu kasasi dan peninjauan kembali, sehingga kedua perselisihan ini menjadi barometer dalam prinsip sederhana. Pasal 56 UUPPHI menyebutkan bahwa PHI bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus : 1. Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak. 2. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan. 3. Di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja. 4. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Dilihat dari dimensi institusi yang berwenang dalam penanganan perselisihan hubungan industrial, maka prinsip sederhana berlaku pada perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja karena sengketa ini hanya berakhir pada PHI saja, jadi tidak banyak institusi lain yang terlibat, sedangkan terhadap perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja tidak berlaku prinsip sederhana ini, karena putusan Hakim PHI bukanlah putusan yang terakhir dan masih dibenarkan para pihak mengajukan upaya hukum lain berupa kasasi dan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung, dengan demikian prinsip sederhana tidak berlaku dalam perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja karena dalam penyelesaian sengketa hubungan industrial ini banyak melibatkan instansi yaitu PHI, Mahkamah Agung proses kasasi dan Mahkamah Agung dalam proses peninjauan kembali, ditambah lagi FAKULTAS HUKUM UMA
70
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 dengan proses eksekusi yang melibatkan Kantor Lelang Negara.
juga
Prinsip Biaya Ringan Dalam Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial Menurut UU-PPHI Pasal 58 UUPPHI menyebutkan bahwa “Dalam proses beracara di Pengadilan Hubungan Industrial, pihakpihak yang berperkara tidak dikenakan biaya termasuk biaya eksekusi yang nilai gugatannya dibawah Rp. 150.000.000,(seratus lima puluh juta rupiah)”, ketentuan ini berkaitan dengan penghasilan atau gaji dari pekerja, adalah suatu hal yang mustahil bilamana penghasilan pekerja mengacu kepada upah minimum provinsi (UMP) di Sumatera Utara misalnya yang saat sekarang ini sebesar Rp. 1.625.000,mengajukan gugatan dengan nilai melebihi 150.000.000,-, kecuali pekerja mengajukan gugatan secara kolektif sebanyak 5 sampai dengan 10 orang, nilai gugatan bisa mencapai lebih dari Rp. 150.000.000,-, sehingga bilamana pekerja yang semula mengajukan perkaranya secara kolektif melalui Dinas Tenaga Kerja (Mediator atau Konsiliator), maka setelah risalah Mediator atau Konsiliator terbit dan tidak diterimanya risalah tersebut oleh salah satu pihak, maka pihak pekerja akan mengajukan perkaranya tidak secara kolektif dan memecahnya kadang sampai 2 atau 3 perkara dengan nilai gugatan dibawah Rp. 150.000.000,-, tujuannya guna menghindari biaya, ironis memang. Ketentuan ini jelas menghalangi bagi pekerja untuk mengajukan perkaranya secara kolektif, dan untuk mengatasinya biasanya pekerja akan memecah perkaranya agar nilai gugatannya tidak mencapai Rp. 150.000.000,-, ironisnya lagi bilamana pekerja memecah perkaranya menjadi 3 JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X bagian, putusannya masing-masing akan berbeda, ada putusan Hakim PHI yang mengabulkan gugatan pekerja dan ada pula yang menolak gugatan pekerja, sehingga terkesan tidak ada suatu kepastian hukum bagi Hakim yang memutus suatu perkara. Hal ini bisa saja terjadi mengingat dalam prinsip penanganan perkara di Indonesia tidak mengenal prinsip stare decisi seperti yang berlaku di negara-negara yang menganut sistem hukum anglo saxon,156 Hakim tidak harus tunduk pada putusan Hakim yang lain, meskipun dalam pokok perkaranya (fundamentum petendi) adalah sama. Jadi dengan adanya pembatasan nilai gugatan, maka dengan serta merta pekerja harus membatasi pula kolektivitas mereka untuk mengajukan gugatan dengan nilaii gugatan dibawah Rp. 150.000.000,-. Setelah gugatan dimasukkan ke PHI, maka dalam jangka waktu 50 hari kerja sejak sidang pertama dimulai Hakim PHI sudah harus menyelesaikan perkaranya, sementara untuk sidang pertama dimulai waktunya dihitung selambat-lambatnya 7 hari hari kerja sejak Penetapan Majelis Hakim, dengan demikian berarti ketika gugatan dimasukkan, maka dalam jangka waktu 57 hari kerja Hakim PHI sudah memutus perkaranya. Namun siapa menyangka ternyata dalam waktu yang singkat tersebut, proses perkara persidangan yang harus dilalui para pihak sekurangkurangnya 8 (delapan) kali persidangan, yaitu mulai dari sidang pembacaan 156
Stare decisis atau presedent merupakan salah satu prinsip yang berlaku di negara-negara yang menganut sistem hukum anglo saxon atau common law, dimana putusan Hakim dalam kasus yang sama, harus diputus sama pula seperti yang pernah diputus pada masa lalu. Lihat https//ngobrolinhukum. wordpress.com. di akses pada tanggal 18 November 2015.
FAKULTAS HUKUM UMA
71
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 gugatan Penggugat, jawaban Tergugat, Raplik Penggugat, Duplik Tergugat, Pembuktian Penggugat, Pembuktian Tergugat, Kesimpulan (konklusi) dan Putusan Hakim. Jadi selama delapan kali bersidang para pihak harus bolak balik memenuhi persidangan di PHI, hal demikian tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit bagi kedua belah pihak. Memang secara teori, terhadap sengketa hubungan industrial yang nilai gugatannya tidak mencapai Rp. 150.000.000,- tidak dipungut biaya sepeserpun, namun mengingat prosedur persidangan yang memakan waktu sampai delapan kali sidang dan pengetahuan penanganan perkara yang tidak semua pekerja memahaminya, maka kadangkala si pekerja selain tidak paham dalam berperkara, pekerja juga disibukkan dengan mencari nafkah karena PHK, adalah sesuatu hal yang tidak mungkin bagi pekerja secara terus menerus menghadapi perkaranya untuk bersidang di PHI tanpa lagi memperhatikan yang lain untuk memberi nafkah bagi keluarganya, sehingga kadangkala pekerja akan menggunakan jasa pihak lain untuk menyelesaikannya, hal demikian juga tentu memerlukan biaya, apalagi dalam penyelesaian tersebut menggunakan jasa Advokat tentu pakai biaya yang tidak sedikit, dengan demikian secara praktik penyelesaian sengketa hubungan industrial ini jelas memerlukan biaya yang tidak ringan. Selain dari itu, jika perkara sudah diputus oleh Hakim PHI dan bilamana salah satu pihak tidak menerimanya, maka bagi pihak yang tidak terima dapat mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Demikian pula terhadap putusan kasasi dari Mahkamah Agung juga tidak diterima oleh salah satu pihak, tentu pihak yang tidak terima masih dibenarkan untuk mengajukan JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X peninjauan kembali ke Mahkamah Agung melalui PHI, kemudian eksekusi yang dilakukan oleh PHI dengan melibatkan Kantor Lelang Negara. Jadi jika dilihat dalam proses sengketa hubungan industrial ini yang melibatkan banyaknya instansi dan lamanya waktu yang dibutuhkan, hal demikian secara simultan akhirnya membawa pengaruh bagi pekerja dalam penggunaan biaya selain dari biaya perkara, tentu juga tidak terlepas biaya ebutuhan keluarga dalam masa tunggu dari penyelesaian perkara tersebut. Simpulan dan Saran Simpulan 1. Sengketa hubungan industrial mengadili 4 (empat) perselisihan yaitu Perselisihan Hak, Perselisihan Kepentingan, Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja dan Perselisihan Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam satu perusahaan. Prinsip cepat secara normatif hanya berlaku terhadap penyelesaian perselisihan kepentingan dan perselisihan serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan saja karena terhadap perkara ini tidak diatur upaya hukum lain seperti Kasasi dan Peninjauan Kembali, sedangkan dalam perkara perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja masih dapat dilakukan upaya hukum Kasasi dan Peninjauan Kembali, meskipun UUPPHI menentukan jangka waktu penyelesaian perkara di tingkat pertama (PHI), di Mahkamah Agung (kasasi), namun UUPPHI tidak ada mengatur jangka waktu penyelesaian perkara di Mahkamah Agung dalam proses Peninjauan Kembali dan tidak ada juga mengatur proses administrasi pengiriman berkas kasasi dari PHI ke Mahkamah Agung serta tidak ada mengatur sanksi bagi Hakim yang memutus perkara melebihi waktu yang
FAKULTAS HUKUM UMA
72
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 ditentukan, sehingga prinsip cepat tidak terlaksana sebagaimana mestinya. 2. Kesederhanaan dalam sengketa hubungan industrial dapat dilihat dari 2 dimensi yaitu dimensi persyaratan pembuktian dan dimensi tidak banyaknya instansi yang terlibat, dan meskipun persyaratan untuk mengajukan perkara hubungan industrial sangat sederhana yaitu cukup berupa risalah yang diterbitkan dari Mediator atau Konsiliator, Hakimsudah dapat memproses perkara yang diajukan padanya, namun dalam proses penyelesaian sengketa hubungan industrial ini banyak melibatkan instansi lain diluar PHI yaitu mulai Dinas Tenaga Kerja, Mahkamah Agung dalam perkara Kasasi, Mahkamah Agung dalam proses Peninjauan Kembali dan Kantor Lelang Negara dalam proses eksekusi, sehingga dengan banyaknya terlibat beberapa instansi tersebut menjadikan prinsip sederhana ini menjadi tidak sederhana lagi. 3. Proses persidangan PHI yang harus dijalankan oleh pekerja dan perusahaan sekurang-kurangnya 8 (delapan) kali bersidang ditambah dengan masa tunggu dalam proses perkara Kasasi dan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung yang tidak ada ketentuan batas waktunya, kemudian masa tunggu proses administrasi Kasasi dan Peninjauan Kembali yang juga tidak ada batas waktunya, maka rangkaian banyaknya persidangan dan lamanya jangka waktu proses Kasasi, Peninjauan Kembali sampai kepada eksekusi tentu secara simultan kesemuanya itu memerlukan biaya yang tidak sedikit, sehingga boleh dikatakan secara teori tidak terdapat biaya dalam penanganan perkara, namun dalam praktiknya pekerja akan JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, dengan demikian prinsip biaya ringan inipun tidak terlaksana. Saran UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial keberadaannya tidak sepenuhnya melaksanakan prinsip cepat, sederhana dan biaya ringan disebabkan karena tidak terdapatnya beberapa aturan normatif yang harus dicantumkan agar prinsip cepat, sederhana dan biaya ringan dapat terlaksana dengan baik. Untuk itu sudah waktunya pemerintah merevisi undang-undang ini dengan mencantumkan peraturan secara normatif, diantaranya : 1. Ketentuan tentang batas waktu pengiriman berkas secara administrasi dari Pengadilan Hubungan Industrial ke Mahkamah Agung dalam proses kasasi terhadap perkara perselisihan hak dan perseisihan pemutusan hubungan kerja. 2. Ketentuan batas waktu pengiriman berkas administrasi dari PHI ke Mahkamah Agung dalam proses Peninjauan Kembali. 3. Dibuat aturan normatif bahwa dalam sengketa hubungan industrial tidak dibenarkan untuk mengajukan Peninjauan Kembali, karena dengan tidak adanya aturan ini dalam praktiknya para pihak dapat mengajukan proses Peninjauan Kembali. 4. Dibuatnya aturan normatif agar diberikan sanksi bagi pegawai administrasi yang lama mengirimkan berkas kasasi dan peninjauan kembali, dan bagi Hakim yang memutus perkara melebihi waktu yang ditentukan. 5. Adanya aturan normatif terhadap batas waktu penyelesaian perkara Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung, jika terdapat aturan yang membenarkan untuk Peninjauan Kembali. FAKULTAS HUKUM UMA
73
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016
DAFTAR PUSTAKA Austin, John The Province of Jurisprudence Determined, Wilfrid E. Rumble Ed, Cambridge, University Press, 1995. Erwin, Muhammad, Filsafat Hukum, Refleksi Kritis Terhadap Hukum, PT Raja Grafindo Persada, 2012. Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta 2005, hlm, 71. Mahadi, Filsafat Hukum, Suatu Pengantar, Alumni, Bandung, 1991. Mertukusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2005. Mulyadi, Lilik dan Agus Subroto, Penyelesaian Perkara Pengadilan Hubungan Industrial Dalam Teori Dan Praktik, PT Alumni, Bandung, 2011. Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990. Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986. Suparman, Supomo, Hukum Acara Peradilan Hubungan Industrial, Jala Permata Aksara, Jakarta, 2009. Saleh, Mohammad dan Lilik Mulyadi, Serawut Wajah Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012. Sutedi, Adrian, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009. Ugo & Pujiyo, Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm, 4. JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X Saleh, Mohammad dan Lilik Mulyadi, Serawut Wajah Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012. UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). UU No. 48 Tahun 2009 sebagai pengganti UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
FAKULTAS HUKUM UMA
74
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016
ISSN: 2355-987X
Diversi Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Studi Pada Polres Stabat , Kejaksaan Negeri Stabat dan Pengadilan Negeri Stabat) Oleh: Irma Fatmawati Lidya Rahmadani Hasibuan Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Panca Budi ABSTRAK Anak sebagai generasi penerus bangsa kadangkala tidak dapat menghindar dari pengaruh lingkungan berupa faktor-faktor sosial yang mengakibatkan seorang anak melakukan tindak pidana yang dapat merugikan banyak pihak. Anak yang melakukan pelanggaran hukum atau tindak kriminal sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar dirinya. Oleh sebab itu haruslah dijadikan pertimbangan jika seorang anak pelaku tindak pidana bukanlah semata-mata pihak yang harus dihukum dengan proses peradilan. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalam hal ini belum mengatur tentang konsep restorative justice dan diversi dalam Pengadilan Anak. Konsep restorative justice dan diversi merupakan konsep yang memberikan perlindungan dan asas kepentingan yang terbaik bagi anak. UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak secara substantif telah mengatur konsep restorative justice dan diversi untuk anak yang berhadapan dengan hukum. Dalam pasal 7 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2012 menyatakan bahwa penegak hukum wajiban melakukan diversi dengan pendekatan restorative justice terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Oleh sebab itu penelitian ini menitik beratkan pada proses peradilan pidana anak oleh para penegak hukum sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 11 Tahun 2012. Penegak hukum yang menjadi sasaran sekaligus menjadi lokasi penelitian adalah Polres Stabat, Kejaksaan Negeri Stabat dan Pengadilan Negeri Stabat. Kata kunci : restorative justice, diversi, sistem peradilan anak A. Latar Belakang Anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan (Huruf b Bagian Consideran UU No. 32 Tahun 2002). Norman K. Dezin memaknai anak dengan definisi lain :“Children are social objects-objects without intrinsic meaning. To be defined as a child is to be a child. All social objects, wether ephemeral like JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
democracy and believe in God, or concrete like chairs, typewriters or people are social products. Their spesific meaning arises out of behaviors people direct toward them” (= Anak adalah objek sosial tanpa makna intrinsik. Dapat didefinisikan seorang anak adalah seorang anak. Semua objek sosial seperti demokrasi dan kepercayaan kepada Tuhan, atau sesuatu yang nyata seperti kursi, mesin tik atau manusia adalah produk sosial. Makna spesifik timbul dari prilaku manusia yang langsung ke arah mereka) (1973). FAKULTAS HUKUM UMA
75
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 Berdasarkan data awal terdapat lebih dari 7000 (tujuh ribu) anak sebagai pelaku tindak pidana masuk proses peradilan setiap tahun. Pada Juli 2010 terdapat 6.273 (enam ribu dua ratus tujuh puluh tiga) anak yang berada di Tahanan dan Lapas di seluruh Indonesia, 3.076 (tiga ribu tujuh puluh enam) anak dengan status tahanan, 3.197 (tiga ribu seratus sembilan puluh tujuh) anak dengan status narapidana dan 56 (lima puluh enam) anak dengan status anak negara (Harian Orbit, 11 Maret 2013). Hal ini menunjukkan bahwa pemidanaan yang diatur dalam UndangUndang Pengadilan Anak masih lemah. Banyaknya putusan pengadilan anak yang cenderung menjatuhkan pidana penjara terhadap anak nakal, sebenarnya tidak sesuai dengan filosofi dari pemidanaan dalam hukum pidana anak.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan yang akan diteliti adalah pengaturan hukum restorative justice dan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak dan penerapan restorative justice dan diversi pada pengadilan anak di Polres Stabat, Kejaksaan Negeri Stabat dan Pengadilan Negeri Stabat.
C. Pembahasan KOMNAS Anak pada tahun 2011 menerima 1.851 pengaduan anak yang berhadapan dengan hukum (anak sebagai pelaku tindak pidana) yang diajukan ke pengadilan. Angka ini meningkat dibanding pengaduan pada tahun 2010, yakni 730 kasus. Hampir 52 persen dari angka tersebut adalah kasus pencurian diikuti dengan kasus kekerasan, perkosaan, narkoba, perjudian, serta penganiayaan. Hampir 89,8 persen kasus anak yang berhadapan dengan hukum JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X berakhir dengan pemidanaan atau diputus pidana dan Pengadilan Negeri Stabat merupakan pilot project dilaksanakannya diversi sebelum berlakunya UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Restorative justice (Keadilan Restoratif) adalah penyelesaian perkara pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan (Pasal 1 angka 6). Secara konseptual melalui pendekatan ini respon terhadap ”kerusakan” yang terjadi dari suatu perbuatan yang dikualifikasi sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh anak lebih ditekankan pada bagaimana memulihkan keadaan semula, bukan untuk melakukan pembalasan terhadap si anak sebagai pelaku (Distia Aviandri, Jurnal Pledoi Volume I, 2013). Perkembangan konsep restorative justice (keadilan restoratif), praktek sistem peradilan pidana anak yang telah diterapkan selama ini sebagaimana diatur dalam UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, diwarnai dengan sejumlah kritik atas beberapa kelemahan dan disfungsi normatif yang rawan mencederai hak anak. UU No. 3 Tahun 1997 tersebut direformasi, sehingga lahirlah UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UUSPPA) yang telah diundangkan (pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332) tanggal 30 Juli 2012 dan mulai berlaku setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Lahirnya UU-SPPA ini diharapkan dapat mengisi ruang keadilan sebagaimana konsep restorative justice (keadilan FAKULTAS HUKUM UMA
76
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 restoratif), sehingga keadaan anak tetap bermartabat sebagaimana hak asasinya (Anshori, Jurnal Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya, fh.umsurabaya.ac.id, akses 21 Februari 2014). Diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana . Ide diversi ini muncul dengan pertimbangan yang layak untuk menghindari stigma (cap jahat) pada anak, maka setiap saat dalam tahapan – tahapan system peradilan anak, penegak hukum system peradilan pidana anak (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, maupun pihak Lembaga Pemasyarakatan), diberikan wewenang untuk mengalihkan proses peradilan kepada bentuk – bentuk kegiatan, seperti penyerahan pembinaan oleh orang tua/walinya; peringatan; pembebanan denda/restitusi; pembinaan oleh departemen social atau lembaga social masyarakat maupun konseling (Marlina, 2010). Restorative justice (Keadilan Restoratif) dan diversi menjadi dasar dari pembaharuan sistem peradilan pidana dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana anak, yang dapat dilihat di dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang bertujuan untuk menghindari anak pelaku tindak pidana dari jerat hukuman atau pemidanaan, kedua konsep tersebut merupakan hal baru bagi masyarakat Indonesia. Konsep restorative justice dan diversi dalam pelaksanaannya melibatkan pihak ketiga di dalam penyelesaian masalah antara anak yang melakukan dan anak yang menjadi korban dalam tindak pidana tersebut, dengan melibatkan masing-masing keluarga mereka, serta pihak-pihak lain, dengan tujuan proses penyelesaian perkara diusahakan agar JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X anak pelaku tindak pidana jauh dari proses pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana. Ketentuan baru ini telah sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak dan Beijing Rules yang menekankan bahwa upaya diversi harus diprioritaskan dalam penanganan anak, hal ini berguna untuk menjauhkan anak dari penyelesaian dengan sistem peradilan pidana yang cenderung memberikan dampak negatif bagi anak (Arief, 2008). Restorative justice memiliki tanggapan atau reaksi terhadap perilaku delikuensi anak tidak akan efektif tanpa adanya kerjasama dan keterlibatan dari korban, pelaku dan masyarakat. Prinsip yang menjadi dasar ialah bahwa keadilan paling baik terlayani, apabila setiap pihak menerima perhatian secara adil dan seimbang, aktif dilibatkan dalam proses peradilan dan memperoleh keuntungan secara memadai dari interaksi mereka dalam sistem peradilan anak (Hadisuprapto, 2006). Restorative justice dengan welfare approach dianggap sebagai penghukuman modern yang lebih manusiawi untuk model penghukuman terhadap anak. Prinsip restorative justice merupakan hasil eksplorasi dan perbandingan antara welfare approach dengan justice approach yang digagas oleh John Braithwaite yang dikenal sebagai reintegrative shaming karena model ini menggeser nilai filsafati penanganan anak: (a) dari penghukuman menuju ke rekonsiliasi; (b) dari pembalasan terhadap pelaku menuju ke penyembuhan korban; (c) dari pengasingan dan kekerasan menuju ke peransertaan dan kekerabatan masyarakat keseluruhan; dan (d) dari destruktif yang negatif menuju ke perbaikan, pemberian maaf yang sarat dengan limpahan kasih ((Hadisuprapto, 2003).
FAKULTAS HUKUM UMA
77
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 Dalam UU No. 3 Tahun 1997 terdapat prinsip-prinsip restorative juctice, tetapi tidak terdapat ketentuan yang tegas mengenai diversi (penyelesaian di luar proses). Bahkan dikatakan Barda Nawawi Arief (2008) bahwa di beberapa negara lain, mediasi penal dimungkinkan untuk tindak pidana yang dilakukan oleh anak dan untuk kasus KDRT (kekerasan dalam rumah tangga – domestic violence). Di Indonesia, ketentuan mediasi penal itu tidak terdapat dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak maupun dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang KDRT. Pengaturan dalam UU No. 11 Tahun 2012 sudah memasukkan diversi dari tingkat penyidikan, penuntutan sampai pengadilan, dimana apabila tercapai kesepakatan perdamaian antara pihak pelaku dan korban maka perkara akan dihentikan. Putusan pengadilan diupayakan berupa tindakan sedangkan pemidanaan sebagai ultimum remedium. Terdapat banyak anak yang menderita akibat pemenjaraan anak, terutama mereka yang ditempatkan di penjara dewasa :1. Efek Psikologis Kartini Hartono (2007) dalam tulisanya yang berjudul Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan) menyatakan bahwa dampak yang ditimbulkan dari pemenjaraan anak ini tidak hanya terbatas pada dampak fisik saja. Melainkan terdapat juga dampak psikologis yang kadang justru terasa lebih berat. Anak-anak yang hidup di penjara akan selalu mempunyai pengalaman masa kecil yang buruk, hidupnya akan selalu terbayang kekerasan dan ini akan berakibat buruk bila ia sudah dewasa nantinya. Karena watak dan pribadi seorang dewasa tidak dapat tidak JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X selalu dipengaruhi oleh pengalamanpengalaman masa lalu, khususnya pengalaman pada masa kanak-kanak. Jadi pengalaman masa kanak-kanak akan sangat berpengaruh bagi perkembangan dewasa nantinya. 2. Kematian dan Cedera Fisik Cedera fisik khususnya disebabkan karena kehidupan yang keras di penjara, perkelaian antara terpidana, penyiksaan yang dilakukan oleh sipir penjara maupun sesama terpidana yang berakibat bekas luka, mutilasi, patah tulang bahkan cacat permanen. 3. Masalah Perkembangan yang Lain Karena terpidana anak lebih banyak menghabiskan waktunya dalam penjara maka kesempatan mereka untuk sekolah yang layak juga tidak ada.Selain karena terbatasnya ruang gerak, pendidikan mereka juga lebih dibatasi pada keenganan untuk belajar yang diakbitkan oleh lingkungan yang keras. Kesulitan menempatkan diri dalam masyarakat, akan menyebabkan kenakalan remaja dan masalah disiplin. Banyak dari mantan terpidana anak yang menjadi terpidana dewasa karena mereka tidak mampu berbaur dengan masyarakat dan ditolak oleh lingkungannya (Rochaeti, 2008). Dengan pemberlakuan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada 1 Agustus 2014 diharapkan semua pihak yang terlibat memahami rangkaian Pasal dalam Undang-Undang ini dalam perspektif kepentingan yang terbaik bagi anak dengan mengedepankan keadilan subtantif. Jika anak diperlakukan dengan baik, kebaikannya akan menjadi sumbangan besar dalam tatanan kehidupan masyarakat yang jauh lebih besar.
FAKULTAS HUKUM UMA
78
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016
D.
Hasil Penelitian
Wawancara mendalam di kota Stabat dilakukan di dua lembaga Pengadilan Negeri Stabat dan Polresta Stabat. Pada kedua lembaga ini wawancara mendalam melibatkan; 1. Dua orang Hakim Anak yang bertugas pada tahun 2014. 2. Seorang Kepala Reskrim Anak. 3. Seorang Kepala Seksi Bimbingan Anak Didik Polresta Stabat; dan 4. Lima orang Juru Penydik Anak di Polresta Stabat. Dari hasil wawancara dan kuisioner yang diberikan kepada Narasumber dapat disimpulkan bahwa penerapan Diversi dan Restorative Justice sudah berjalan pada beberapa kasus anak. Tetapi pelaksanaan Diversi dan Restorative Justice terdapat banyak kendala, diantaranya minimnya pengetahuan Penyidik Anak tentang prosedur Diversi dikarenakan sosialisasi yang terlambat. Kurangnya fasilitas pendukung untuk penerapan Diversi ini juga menjadi pengahambat yang tidak bisa dihindari seperti tidak adanya ruang khusus anak di lembaga Kepolisian. Dan pola pikir masyarakat yang masih awam, dimana masyarakat masih berasumsi bahwa anak yang melakukan kejahatan tetap harus dihukum tidak boleh di restorative begitu saja seperti apa yang diperintahkan UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Pada Lembaga Pengadilan Negeri Stabat sudah menerapkan proses Diversi dan Restorative Justice sesuai dengan Perintah UU SPPA. Sarana dan prasarana juga sudah mendukung. Ada beberapa putusan yang dikeluarkan hakim anak Pengadilan Negeri Stabat yang mana putusan Diversi memerintahkan seorang anak dengan kasus mencuri untuk diberikan bimbingan karena kejahatan yang dilakukan tidak terlalu berat dan JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X hukuman dibawah 5 Tahun. Dan ada 3 putusan Diversi yang sudah dikeluarkan PN Stabat sampai bulan Mei Tahun 2015.
E. Simpulan dan Saran Pada kesempatan ini kesimpulan yang di dapat bahwa Restorative Justice dan Diversi sudah diterapkan di wilayah Pengadilan Negeri Stabat dan Polresta Stabat berdasarkan Hasil wawancara dan kusioner serta data yang di peroleh dari hasil penelitian. Hanya saja pelaksanaan nya mengalami keterlambatan dikarenakan lambatnya sosialisasi penerapan Restorative Justice dan Diversi ini sehingga waktu pelaksanaan tidak sesuai dengan amanat undang undang. Seperti pada bagian kesimpulan,Tim Peneliti hanya dapat memberikan saran perlunya sosialisasi dan pengawasan serta fasilitas yang lebih intensif terhadap pelaksanaan Restorative Justice dan Diversi di wilayah Pengadilan Negeri dan Polresta lainnya. Daftar Pustaka A. Buku Barda Nawawi Arief, 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni. Bismar Siregar,1986. Hukum Dan HakHak Anak, Jakarta: Rajawali Press. HB.Sutopo, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Sebelas Maret University Press, Surakarta. John E.B Myers, 2006. Child Protection in America: Past, Present and Future, New York: Oxford University Press. Maidin Gultom, 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Bandung: PT. Refika Aditama. Marlina, 2009.Peradilan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep FAKULTAS HUKUM UMA
79
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 Diversi dan Restorative Justice, Bandung: PT. Refika Aditama. Marlina, 2010.Pengantar Konsep Diversi Dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana, Stabat: USU Press. Norman K. Dezin, 1973. Children and their Cartakers, New Jersey: Transaction Books Rutgers University. Rini Utami Azis, 2006. Jangan Biarkan Anak Kita Berperilaku Menyimpang, Solo: Tiga Serangkai. Sudarto, 2006.Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni. Sumaryono, 1995.Etika Profesi Hukum, Yogyakarta: Kanisius. Travis Hirschi, 2009. Causes of Delinquency, New Jersey: Transactional Publisher. Wagiati Soetodjo, 2008. Hukum Pidana Anak, Bandung: PT. Refika Aditama. Winarni.Surachamad, 1985, Dasardasar Teknis Research Pengantar Metodologi Ilmiah, Tarsito, Bandung.
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X B. Makalah dan Artikel Apong Herlina, Makalah Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), 2012 Tempo, “Stabat Kota Tertinggi Anak yang Berkonflik Dengan Hukum”http://www.tempo.co diakses pada hari Minggu tanggal 03 Maret 2013 pukul 11.00 wib Anggara, “Tujuan Pemidanaan” dalam http://anggara.files.wordpres s.com. diakses pada hari Minggu tanggal 03 Maret 2013 pukul 11.00 wib Riza Alifianto Kurniawan, “Asas Ultimum Remedium Dalam Pemidanaan Anak Nakal” dalam http://journal.lib.unair. ac.id diakses pada hari Minggu tanggal 03 Maret 2013 pukul 11.00 wib C. Perundang –Undangan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak
FAKULTAS HUKUM UMA
80
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016
ISSN: 2355-987X
IMPLEMENTASI CRIMINAL POLICY TERHADAP PERTANGGUNG JAWABAN KEJAHATAN KORPORASI Arie Kartika Fakultas Hukum Universitas Medan Area Abstrak Tidak hanya persoon, korporasi juga dapat dipidana karena korporasi sudah sebagai subjek hukum dan korporasi juga mendapat keuntungan dari apa yang telah dilakukan pengurusnya. Dalam hal ini hukum yang diberlakukan harus jelas untuk pemberian pemidanaan. Implementasi criminal policy sangat berperan didalam bervariasinya modus operandi dan luasnya kejahatan korporasi. Kejahatan korporasi adalah suatu perbuatan yang dilakukan korporasi. Penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui dua sarana, yakni sarana penal dan sarana non penal. Tiga teori yang tepat dalam sistem pertanggungjawaban korporasi adalah identifikasi teori, teori pertanggungjawaban pengganti dan teori pertanggungjawaban mutlak. Abstract Not only persoon, corporate can also condemnation because corporation is as the subject of law and corporate also get benefit of what has been done managers.in this case law imposed must be fought to give the punishment. The implementation of criminal policy so important role and the breadth of corporate crime. Prevention may be was conducted with two facilities, using penal and non penal. Three theory exact in corporate responsibility system are identification theory, vicarious liability theory ang strict liability.
Keywords : criminal policy, vicarious liability, corporate responsibility.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu perubahan yang sangat berpengaruh didalam kehidupan masyarakat adalah perkembangan di bidang ekonomi, namun bukan berarti bidang tersebut dapat berjalan sendiri tanpa bantuan dari bidang-bidang lainnya, seperti hukum, politik, sosial dan lainnya (bagaikan suatu sistem yang tidak bisa dijalankan secara parsial). Titik berat pembangunan setelah krisis ekonomi melanda Indonesia adalah JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
pembangunan di bidang ekonomi. Kejahatan pun selalu berkembang seiring dengan perkembangan manusia. Alasan ekonomi cenderung menjadi prioritas setiap orang dalam melakukan kejahatan, dan tidak saja secara pribadi tetapi juga marak melakukan suatu tindak pidana dibalik dan dengan mengatasnamakan korporasi (badan hukum/ perusahaan). Jenis-jenisnya pun beraneka ragam, modus operandi yang dilakukan juga semakin bervariasi. Korporasi banyak memberikan kontribusi yang besar dalam FAKULTAS HUKUM UMA
81
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 perkembangan suatu Negara kearah yang positif, misalnya pemasukan Negara dalam bentuk pajak maupun devisa, dan membuka lowongan pekerjaan untuk masyarakat. Namun di sisi lain, korporasi juga tidak jarang menimbulkan dampak negatif, seperti pencemaran lingkungan hidup, pengurasan sumberdaya alam, manipulasi pajak, persaingan secara curang, eksploitasi terhadap para pekerja, penipuan terhadap konsumen dan juga seperti menghasilkan produk-produk yang membahayakan konsumen. Karena cakupan yang luas dan cenderung bertahan lama dampak negatif akan mendominasi dibanding-kan dampak positifnya, maka hukum sebagai pengatur dan pengayom masyarakat luas sudah seharusnya memberikan perhatian dan pengaturan yang tegas terhadap segala aktifitas korporasi. Sebagai salah satu dimensi kehidupan bangsa Indonesia, Hukum Indonesia adalah suatu kebutuhan mendasar yang didambakan kehadirannya sebagai alat pengukur kehidupan, baik dalam kehidupan individual, kehidupan sosial maupun kehidupan bernegara. Keberadaan hukum menjadi sangat mendesak pada saat ini, di tengah-tengah situasi transisional menuju Indonesia sebagai Negara Maju. Hukum Pidana adalah salah satu hukum positif di Indonesia. Dari isi atau materi yang diatur, hukum kepidanaan terdiri atas hukum pidana umum dan pidana khusus. Pengaturan Hukum Pidana dapat diberlakukan untuk Kejahatan Korporasi.
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X Salah satu jenis pidana khusus adalah Hukum Pidana Ekonomi, yakni hukum pidana yang berlaku pada bidang perekonomian Indonesia, yaitu semua kegiatan yang menyebabkan kerugian atau kelemahan perekonomian Negara. 157 Dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia, pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana dilangsungkan melalui tiga sistem, pertanggungjawaban korporasi, yaitu (1) pengurus korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggungjawab, (2) korporasi sebagai pembuat, maka pengurus yang bertanggungjawab, dan (3) korporasi sebagai pembuat dan yang 158 bertanggungjawab. Sehubungan dengan masalah ini, maka tujuan pemidanaan menurut Muladi dalam Hukum Pidana Ekonomi adalah untuk memperbaiki kerusakan, baik yang bersifat individual maupun yang bersifat sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana.159 Dalam kerangka ini maka tujuan pemidanaan harus berorientasi pada pandangan integratif, yang terdiri dari beberapa tujuan pemidanaan yang harus dipenuhi. Melihat kerugian yang ditimbulkan dari pelanggaran ataupun kejahatan terhadap perkembangan ekonomi, maka tujuan pemidanaan serta pemilihan sanksi pidana harus mendapatkan evaluasi, dan penggunaan hukum pidana sebagai pencegah 157
Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), hal. 41. 158 Setiyono, Kejahatan Korporasi, (Malang: Bayumedia Publishing, 2009), hal. 2. 159 Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materil Indonesia di masa datang, Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar UNDIP, 1990.
FAKULTAS HUKUM UMA
82
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 (preventif), mengendalikan sekaligus menanggulangi kejahatan di bidang ekonomi tetap harus dipertahankan. Penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui dua sarana, yakni sarana penal dan sarana non penal. Melalui dua sarana tersebut tidak sedikit yang berpendapat bahwa penanggulan secara non penal lebih efisien dalam penyelesaiannya. Contoh kasus misalnya pencemaran lingkungan hidup, bahwa akibat dari pencemaran lingkungan mungkin lebih cepat teratasi dengan tindakan yang bersifat administratif. Namun dengan menggunakan sarana non penal juga memiliki kelemahan. Pertama, yakni hubungan struktural bawahan atasan dalam korporasi mudah sekali menimbulkan tanggung jawab moral yang tidak adil. Kedua, efek publisitas cenderung melebar dan tidak terkendali, contoh kasus Bank Century, yang mana jajaran staf yang sebenarnya tidak mengetahui apa-apa tentang ulah direksi. Upaya kriminalisasi terhadap perbuatan-perbuatan korporasi dapat dilihat dengan adanya usaha untuk memasukkan korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam rancangan KUHP. Hal tersebut sampai saat ini masih merupakan Ius Constituendum. Hal yang tampak dalam tindakan-tindakan badan legislatif sampai saat ini adalah pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam berbagai peraturan perundang-undangan di luar KUHP, misalnya Undang-Undang tentang Narkotika dan Psikotropika,
ISSN: 2355-987X pemberantasan tindak pidan korupsi, dan sebagainya.160 Sehubungan dengan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal, mempunyai dua masalah sentral, yakni masalah penentuan (1) perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan (2) sanksi apa yang seharusnya dikenakan kepada si pelaku pelanggaran atau kejahatan. Memilih dan menetapkan pidana sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan korporasi tentu harus memperhitungkan faktor-faktor yang mendukung bekerjanya hukum pidana dalam kenyataan, termasuk motifmotif kejahatan korporasi yang bersifat ekonomis. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, akan dikaji mengenai bagaimana Implementasi Criminal Policy Terhadap Pertanggungjawaban Kejahatan Korporasi. B. Rumusan Masalah Dari uraian yang telah disampaikan dalam latar belakang di atas, maka permasalahan yang mendasari penulisan ini adalah sebagai berikut: Bagaimana Implementasi Criminal Policy terhadap Pertanggungjawaban Kejahatan Korporasi? C. Tujuan Penulisan Terkait dengan judul dan permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini, maka tujuan penelitian ini yaitu sebagai berikut, Mengetahui tentang Implementasi Criminal Policy terhadap
160
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
Ibid
FAKULTAS HUKUM UMA
83
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 Pertanggungjawaban Korporasi.
ISSN: 2355-987X
Kejahatan
D. Manfaat Penelitian Diharapkan penulisan ini dapat memberikan manfaat baik yang bersifat praktis maupun teoretis. Dari segi teoretis, hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran serta pemahaman dan pandangan baru serta dapat menjadi bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan konsep-konsep ilmiah yang ada. Dengan penulisan ini juga diharapkan dapat memperkaya pemahaman akademisi di bidang ilmu hukum, khususnya hukum pidana mengenai implementasi pertanggungjawaban ( penal policy ) terhadap kejahatan Korporasi. Manfaat dari segi praktis, diharapkan penulisan ini dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap strategi penegakan hukum kejahatan korporasi seiring perkembangan perekonomian yang semakin pesat saat ini. E. Metode Penulisan 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal karena penelitian ini dilakukan dengan cara menganalisa hukum yang tertulis dari bahan pustaka atau data sekunder yang lebih dikenal dengan nama dan bahan acuan dalam bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum. JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
2. Data dan Sumber Data Dalam penyusunan yang digunakan dalam penulisan ini, data dan sumber data yang digunakan adalah : a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan Peraturan Perundang-Undangan yang berkaitan dengan Korporasi. b. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yaitu hasil karya para ahli hukum berupa buku-buku, pendapat-pendapat para sarjana yang berhubungan dengan penelitian ini. c. Bahan Hukum tersier atau bahan hukum penunjang, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan/atau bahan hukum sekunder, yaitu Kamus Hukum, dan lain-lain. 3. Tehnik Pengumpulan Data Teknik Pengumpulan Data yang dipergunakan di dalam penelitian ini adalah dengan cara “Penelitian Kepustakaan” (Library Research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara pengumpulan Literatur dengan sumber data berupa bahan hukum primer dan ataupun bahan hukum sekunder yang ada hubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
FAKULTAS HUKUM UMA
84
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 4. Analisis Data Di dalam penulisan ini yang termasuk ke dalam tipe penelitian hukum normatif, pengelolaan data pada hakikatnya merupakan kegiatan untuk melakukan analisis data terhadap permasalahan yang dibahas. Hal ini dilakukan dengan menganalisa bahanbahan yang diperoleh dari peraturan produk perundang-undangan, buku, dan karya ilmiah serta bahan dari internet yang berkaitan erat dengan “Implementasi Criminal Policy Terhadap Pertanggungjawaban Kejahatan Korporasi” yang kemudian dianalisa secara induktif kualitatif. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi 1. Pengertian Korporasi dan Kejahatan Korporasi Pengertian Korporasi tidak lepas kaitannya dari bidang hukum perdata, yakni sebagai badan hukum (rechtpersoon). Pengertian Badan Hukum berdasarkan Pasal 1653 KUH Perdata adalah himpunan dari orang sebagai perkumpulan itu diadakan atau diakui oleh pejabat umum, maupun perkumpulan itu diterima sebagai diperolehkan, atau telah didirikan untuk maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan UndangUndang dan kesusilaan yang baik. Adanya Badan Hukum untuk menunjukan suatu badan yang diberi status sebagai subjek hukum, disamping subjek hukum yang berwujud manusia alamiah (natuurlijk persoon). Badan hukum dianggap bisa menjalankan segala JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X tindakan hukum dengan segala harta kekayaan yang timbul dari perbuatan itu. Pemikiran untuk menunjuk subjek khusus yang berupa badan hukum adalah karena ingin kerja sama untuk memperoleh keuntungan dan membagi resiko jika sewaktu-waktu timbul kerugian. Bahkan salah satu alasan lainnya untuk memudahkan dalam menunjuk siapa subjek hukum yang harus bertanggung jawab di antara sedemikian banyak orangorang yang terhimpun dalam badan tersebut, yaitu secara yuridis mengonstruksikannya cukup dengan menunjuk badan itu sebagai subjek hukum yang harus bertanggungjawab.161 Pengertian korporasi dalam hukum pidana positif kita lebih luas dari pengertian badan hukum sebagaimana dalam konsep itu. Beberapa peraturan perundang-undangan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merumuskan pengertian korporasi yang beraneka ragam. Misalnya Pasal 1 butir 21 UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika memberikan pengertian Korporasi adalah kumpulan yang terorganisasi dari orang dan atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.162 Tidak hanya persoon, korporasi juga dapat dipidana karena korporasi sudah sebagai subjek hukum dan korporasi juga mendapat keuntungan dari apa yang telah dilakukan pengurusnya. Korporasi merupakan badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban anggota masing-masing. 161
Setiyono.Op.Cit., hal. 3. Lihat Pasal 1 Butir 21, UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika 162
FAKULTAS HUKUM UMA
85
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 Penempatan korporasi sebagai subjek dalam hukum pidana tidak lepas dari modernisasi sosial, modernisasi sosial dampaknya pertama harus diakui bahwa semakin modern masyarakat itu semakin kompleks sistem sosial, ekonomi dan politik yang terdapat disitu maka kebutuhan akan sistem pengendalian kehidupan yang formal akan menjadi semakin besar pula.163 Kejahatan korporasi adalah suatu perbuatan yang dilakukan korporasi yang dapat dijatuhi hukuman oleh Negara, berdasarkan hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana. 164Kejahatan korporasi merupakan salah satu bentuk white collar crime. Bentuk-bentuk kejahatan korporasi ini sangat beraneka ragam dan pada umumnya bernilai ekonomis. Kejahatan korporasi dilakukan untuk kepentingan korporasi (crimes for corporation) dan korporasi yang sengaja dibentuk dan dikendalikan untuk melakukan kejahatan (criminal corporation). 2. Pemidanaan dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pemidanaan adalah penjatuhan hukuman kepada perbuatan pidana. Istilah teori pemidanaan berasal dari Inggris, yaitu comdemnation theory. Perbuatan Pidana merupakan perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang
ISSN: 2355-987X dan diancam pidana.165 Penentuan sanksi pidana dalam hukum pidana terkait dengan empat aspek: yakni yang pertama, penetepan perbuatan yang dilarang; kedua, penetapan ancaman sanksi pidana terhadap perbuatan yang dilarang; ketiga, tahap penjatuhan pidana pada subjek hukum; keempat, tahap pelaksanaan pidana. Keempat aspek tersebut terkait antara satu dengan lainnya dan merupakan satu jalinan dalam wadah sistem hukum pidana. 166 Beberapa teori pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi adalah sebagai berikut: 167 1) Teori Fiksi, menurut teori ini kepribadian hukum atau kesatuan-kesatuan lain daripada manusia adalah hasil khayalan. Kepribadian yang sebenarnya hanya ada pada manusia. Badan hukum tidak dapat menjadi subjek hokum, tetapi diperlukan seolah-olah badan hukum itu manusia. 2) Teori Konsesi, teori ini menyatakan dengan tegas bahwa badan hukum dalam Negara tidak memiliki kepribadian hukum kecuali kalau dipekernankan oleh hukum, dan ini berarti Negara. 3) Teori Zweckvermogen, menurut teori ini hak milik badan-badan hukum dapat diperuntukan dan 165
163 Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hal.43. 164 Setiyono.Op.Cit., hal. 22.
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
HS.Salim, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum,(Jakarta: Raja Grafindo Persada,2012), hal 7. 166 Ibid., hal 82. 167 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia. (Bandung:Citra Aditya Bakti, 2010), hal. 102-103.
FAKULTAS HUKUM UMA
86
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 mengikat secara sah pada tujuan-tujuan tertentu tetapi adalah milik tanpa subjek tanpa pemilik. 4) Teori Ihering, menurut teori ini bahwa subjek-subjek hak badan hukum adalah manusia secara nyata ada dibelakang (anggotaanggota badan hukum) dan mereka yang mendapatkan keuntungan dari badan hukum yang diberi kepribadian tersebut. 5) Teori Realitas atau Organik, teori ini menekankan pada pribadi-pribadi hukum yang nyata sebagai sumber kepribadian hukumnya. Sistem hukum menjatuhkan hukuman atau pidana adalah menyangkut tentang perbuatan-perbuatan apa yang diancam dengan pidana. Haruslah terlebih dahulu telah tercantum secara tegas dalam undang-undang pidana, artinya jika tidak ada undang-undang yang mengatur, maka pidana tidak dapat dijatuhkan. Bab I Pasal 1 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ada asas yang disebut “nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenale”, yang pada intinya menyatakan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali sudah ada ketentuan undangundang yang mengatur sebelumnya. Menurut Ketentuan Hukum Pidana para pelaku tindak pidana itu pada dasarnya dapat dibedakan atas beberapa kategori, yakni: 1. Pelaku utama. 2. Pelaku peserta. 3. Pelaku pembantu.
ISSN: 2355-987X Pertanggung jawaban pidana dalam istilah asing disebut juga dengan criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang tersangka atau terdakwa diminta pertanggung jawabannya atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dijatuhkan pidana bagi pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu harus memenuhi unsur-unsur yang telah di tentukan dalam Undang-Undang. Seseorang akan dipertanggung jawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk tindak pidana yang dilakukannya. Dan dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan. Berdasarkan hal tersebut maka pertanggungjawaban pidana, terdiri atas tiga unsur yaitu:168 a. Kemampuan bertanggung jawab; b. Kesalahan dalam arti luas, sengaja dan/ atau kealpaan; c. Tidak ada alasan pemaaf.
168
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
Muladi, .Op.Cit., hal. 63.
FAKULTAS HUKUM UMA
87
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 Terkait dengan pelaksanaan kewajiban, hukum pidana baru dapat diterapkan jika:169 a) Sama sekali tidak dilakukan kewajibannya; b) Tidak melaksanakan kewajibannya tersebut dengan baik sebagaimana mestinya, yang dapat berarti: (1) Kurang melaksanakan kewajibannya; (2)Terlambat melaksanakan kewajibannya; (3) Salah melaksanakan kewajibannya baik sengaja maupun tidak; c) Menyalahgunakan pelaksanaan kewajiban. Kewajiban adalah paksaan yang harus dilaksanakan oleh pemegangnya, sedangkan larangan adalah hal yang tidak boleh dilakukan. Penjelasan di atas memuncul pertanyaan bagaimana pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korporasi. Masalah utama terhadap pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korporasi adalah ketidakjelasan siapa pelaku yang seharusnya bertanggung jawab. Karena ada beberapa sistem pertanggungjawaban pidana korporasi; (1) pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab (ketika pengurus yang melakukan kejahatan maka pengurus yang bertanggungjawab), (2) korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang 169
Alvin Syahrin. http://alviprofdr. Blogspot.com/2013/01/ pertanggungjawabankorporasi-dalam. html # more. Diakses pada pukul 13.50 WIB. Tanggal 8 April 2014.
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X bertanggungjawab, dan (3) korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab mengandung makna bahwa kepada pengurus korporasi dibebankan kewajiban tertentu. Kewajiban yang dibebankan itu sebenarnya merupakan kewajiban dari korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam dengan pidana. Dasar pemikiran dari konsep ini yaitu korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap suatu pelanggaran, melainkan selalu pengurusla yang melakukan delik itu. 170 Korporasi sebagai pembuat dang pengurus yang bertanggungjawab berkenaan dengan pandangan bahwa apa yang dilakukan oleh korporasi merupakan apa yang dilakukan oleh alat perlengkapan korporasi menurut wewenang berdasarkan anggaran dasarnya. Orang yang memimpin korporasi bertanggungjawab secara pidana, terlepas dari apakah dia mengetahui atau tidak mengenai dilakukannya perbuatan itu. Prinsip ini hanya berlaku untuk pelanggaran saja. 171 Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggungjawab menunjukkan bahwa untuk beberapa delik tertentu ditetapkannya pengurus saja sebagai yang dapat dipidana ternyata tidak 170 Alvi Syahrin, http://alviprofdr .blogspot.com/2013/02/pertanggungjawabanpidana -korporasi-oleh.html. Diakses Pada pukul 13.00 WIB. Tanggal 22 Desember 2013. 171 Ibid
FAKULTAS HUKUM UMA
88
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 cukup. Dalam delik ekonomi bukan mustahil denda yang dijatuhkan sebagai hukuman kepada pengurus, jika dibandingkan dengan keuntungan yang telah diterima oleh korporasi dengan melakukan perbuatan itu, atau kerugian yang ditimbulkan dalam masyarakat, atau yang diderita saingannya, keuntungan dan/atau kerugian itu lebih besar jumlahnya daripada denda yang dijatuhkan sebagai pidana. Dipidananya pengurus tidak memberikan jaminan yang cukup bahwa korporasi tidak sekali lagi melakukan perbuatan yang telah dilarang oleh Undang-Undang itu.172 3. Doktrin Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Beberapa doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi adalah sebagai 173 berikut: a. Doktrin Strict Responsibility (Pertanggungjawaban Mutlak) Pertanggung- jawaban yang dibebankan kepada pelaku yang bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan lagi adanya kesalahan. b. Doktrin Vicarious Responsibility (Pertanggung-jawaban Pengganti) Pembebanan atau pelimpahan dari pertanggungjawaban pidana yang dilakukan seseorang kepada korporasi. c. Doktrin of Delegation
172
Ibid Agus Budianto, Delik Suap Korporasi di Indonesia. (Bandung: Karya Putra Darwati, 2012), hal. 67. 173
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X Pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi dengan adanya pendelegasian wewenang dari seseorang kepada orang lain untuk melaksanakan kewenangan yang dimiliki. d. Doctrine of Identification Pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi dengan cara mengidentifikasi tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan langsung, mempunyai status atau otoritas tertentu dari korporasi. Hal yang di identifikasi adalah per-buatan, pelaku, pertanggung-jawaban, serta kesalah korporasinya. e. Doctrine of Aggregation Doktrin yang memung-kinkan agregasi atau kombinasi kesalah dari sejumlah orang untuk di atributkan kepada korporasi sehingga korporasi dapat di bebani pertanggungjawaban f. Doctrine of Corporate Culture Pertanggungjawaban yang dapat dibebankan kepada korporasi apabila berhasil ditemukan bahwa seseorang yang telah melakukan perbuatan melanggar hukum memiliki dasar yang rasional untuk menyakini bahwa anggota korporasi yang memiliki kewenangan telah FAKULTAS HUKUM UMA
89
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 memberikanya izin untuk dilakukanya tindakan tersebut. Berdasarkan doktrin vicarious responsibility, korporasi dan juga pengurus juga dapat secara bersama-sama dimintai pertanggungjawabannya dengan merujuk kepada anggaran dasar korporasi tersebut. Teori-teori serta doktrin-doktrin mengenai pertanggung-jawaban pidana korporasi tersebut di atas merupakan hal yang saling melengkapi dan bukan saling menghilangkan. B. Kebijakan Penal dan Non Penal dalam Penanggulangan Kejahatan Korporasi a. Kebijakan Penal Istilah “kebijakan” yang diterjemahkan dalam bahasa inggris “policy” dan dalam bahasa belanda “politiek” sedangkan untuk penggunaan istilah “penal” diartikan sebagai penggunaan hukum pidana. Jika dirangkai dalam penggunaan bahasa singkat kita, kebijakan hukum pidana bisa disebut sebagai “politik hukum pidana” yang merangkum pokok bahasan politik hukum pidana adalah satu bagian dari ilmu hukum.174 Teori Kebijakan Kriminal sebagaimana di kemukakan oleh G. Petter Hoefnagles bahwa Kebijakan Kriminal adalah175 “ suatu usaha yang rasional dari pemerintah dan masyarakat 174
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan dan Kekerasan ( Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hal. 65. 175 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 46.
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X dalam melakukan penanggulangan kejahatan. Politik kriminal dalam pengertian praktis adalah segala usaha yang rasional dari masyarakat untuk menaggulangi kejahatan. Usaha ini meliputi aktivitas dari pembentukan undang-undang, kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan aparat eksekusi pemidanaan. Aktivitas badan-badan tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan satu sama lain sesuai dengan fungsinya masing-masing. Oleh karena itu, kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy). Kebijakan hukum pidana dapat mencakup ruang lingkup kebijakan di bidang hukum pidana materiil, di bidang hukum pidana formal dan bidang hukum pelaksanaan pidana. Penanggulangan lewat jalur kebijakan penal, diartikan satu usaha penanggulangan kejahatan yang menitik beratkan pada sifat “revresif” yakni: (penindasan/ pemberantasan/ penumpasan) setelah kejahatan itu terjadi. Marc Ancel menyatakan bahwa “modern criminal science” terdiri dari tiga komponen “criminology”, criminal law, dan penal policy. Lebih lanjut disebutkan beliau “penal policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk member pedoman tidak hanya kepada pembuat Undang-Undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan Undamg-Undang dan juga
FAKULTAS HUKUM UMA
90
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 kepada para penyelenggara atau 176 pelaksana putusan pengadilan. Menurut Solly Lubis Politik Hukum adalah kebijaksanaan Politik yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku, mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara. 177 Menurut Sudarto, Politik Hukum adalah usaha mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat; dan kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan mencapai apa yg dicita-citakan.178 Pengertian diatas menyatakan bahwa pelaksanaan politik hukum pidana merupakan satu wujud pilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan dayaguna. Dalam kesempatan lain beliau menyatakan, bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti, usaha mewujudkan peraturan perundangundangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan dating. 179 Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) adalah
ISSN: 2355-987X masalah penentuan:180 (a) perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindakan pidana itu, dan (b) sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. Kebijakan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach). Upaya penanggulangan kejahatan mempergunakan hukum pidana pada hakikatnya merupakan suatu usaha penegakan hukum, artinya secara politik atau kebijakan hukum pidana, itu merupakan satu bagian kebijakan dalam penegakan hukum (law inforcement policy), sedangkan proses perumusan atau pembuatan hukumnya (UndangUndang) pidana menjadi bagian terintegral bagi usaha melindungi masyarakat (social welfare) yang disebut sebagai bagian kebijakan atau politik sosial (social policy),yang dapat diartikan bahwa kebijakan sosial itu segala usaha yang rasional dalam pencapaian kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan 181 masyarakat. 1) Dasar dalam Menetapkan Perbuatan sebagai Tindak Pidana Hukum pidana berpokok pada perbuatan yang dapat dipidana dan ada pidananya. Perbuatan yang dapat dipidana itu merupakan obyek ilmu
176
Ibid. hal.23. M. Solly Lubis. Serba-serbi Politik &Hukum. ( Jakarta: PT Sofmedia, 201), hal. 51. 178 Barda Nawawi Arief. Ibid.hal. 26 179 Ibid 177
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
180
Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. (Bandung: Alumni, 1984), hal 160. 181 Barda Nawai Arief, Ibid. hal.28
FAKULTAS HUKUM UMA
91
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 pengetahuan hukum pidana dalam arti luas, dan harus dibedakan: 182 a. Perbuatan jahat sebagai gejala masyarakat dipandang secara kongkrit sebagaimana terwujud dalam masyarakat adalah perbuatan manusia yang menyalahi norma-norma dasar masyarakat. Ini adalah pengertian perbuatan jahat dalam arti kriminologis. b. Perbuatan jahat dalam arti hukum pidana, yaitu sebagaimana terwujud in abstracto dalam peraturan-peraturan hukum pidana. Moeljatno mendefinisikan perbuatan pidana sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut.183 Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja diingat bahwa larangannya ditujukan kepada perbuatan, yaitu menurut Van Hamel dikatakan sebagai suatu gerakan yang menampakkan diri sebagai pernyataan dari kehendak dan menyebabkan akibat-akibat di alam nyata.184 Atau merupakan suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, kelakuan orang disini atau tingkah laku didefinisikan oleh Duyker sebagai “gerakan yang berarti, yaitu gerakan dimana ada suatu hubungan antara satu subyek dengan sekelilingnya. Di sini subyek bertindak 182
Sudarto. Hukum Pidana, Jilid IA. (Semarang: Fakultas Hukum Undip, 1975), hal 30. 183 Andi, Hamzah. Hukum Pidana dan Acara Pidana. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986). 184 Sudarto, Op.Cit, hal 34.
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X dalam suatu hubungan maka ia selalu mempunyai beberapa alternatif. Dimana tingkah laku itu berpangkal pada alternatif tersebut. 2) Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang (di luar KUHP) yang berhubungan dengan Korporasi Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Pasal 155, ketentuan mengenai tanggung jawab Direksi dan/atau Dewaan Komisaris ataskesalahan dan kelalaiannya yang diatur dalam Undang-Undang ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Tentang Hukum Pidana. 2. Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 yo. No 10/ 1998 Tentang Perbankan Pasal 46 (1) Barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka… tanpa izin usaha dari menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17 diancam dengan pidana penjara. (2) dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, yayasan atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang member perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya. Pasal 47 ayat (2) FAKULTAS HUKUM UMA
92
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 Anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank atau pihak terafilasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana. Penjelasan, yang dimaksud dengan pegawai bank adalah semua pejabat dan karyawan bank. 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan Pasal 95 ayat (3) Setiap orang atau badan yang memberikan data, informasi, dan atau laporan, yang berkaitan dengan penjaminan simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 7 yang tidak benar, palsu, dan/atau menyesatkan, dipidana dengan pidana penjara serta denda 4. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 yo. Perpu No. 1 Tahun 2004 Tentang Kehutanan Pasal 78 ayat (14) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurus, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 dari pidana yang dijatuhkan. 5. Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 yo. No. 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan Pasal 70
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X (1) setiap anggota organ yayasan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, dipidana dengan pidana penjara (2) selain pidana penjara anggota organ yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga dikenakan pidana tambahan berupa kewajiban mengembalikan uang, barang atau kekayaan yayasan yang dialihkan atau dibagikan. 6. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Pasal 130 (1) dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 111,.. sampai dengan Pasal 126 dan Pasal 129 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusannya, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan 3 (tiga) kali dari pidana denda dalam pasal-pasal tersebut. (2) selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: a. Pencabutan izin usaha; dan/atau b. pencabutan status badan hukum. Pasal 135 Pengurus industry Farmasi yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal dipidana dengan pidana penjara. 7. Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolahan Lingkungan hidup FAKULTAS HUKUM UMA
93
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 Pasal 100 (1) setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi atau baku mutu gangguan, dipidana dengan pidana penjara (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali. Pasal 109 Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara Pasal 1 Angka 32 Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum Pasal 116 (1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: a. badan usaha; daan/atau b. orang yang member perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. (2) apabila tidak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X terhadap pemberian perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama. Dari beberapa Undang-Undang yang disebutkan diatas disimpulkan bahwa korporasi sudah diakui sebagai subjek hukum, tetapi tetap saja manusianya, bukan korporasinya yang dipidana.
b. Kebijakan Non Penal (Non Penal Policy) Kebijakan Kriminal meliputi ruang lingkup dengan menggunakan hukum pidana (penal policy) dan menggunakan upaya nonpenal. Dengan menggunakan upaya non penal dapat meliputi bidang yang sangat luas yakni di seluruh sektor kebijakan sosial. Tujuan utama dari upaya nonpenal adalah guna memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Upaya keseluruhan kegiatan preventif non penal itu memiliki kedudukan strategis dalam memegang posisi kunci yang seyogianya terus diintensifkan dan diefektifkan. Kerangka teori yang dirangkum dari pendapat Peter Hofnagel dalam kebijakan pencegahan dan penanggulangan kejahatan sebagaimana halnya dikemukakan oleh Barda Nawawi yakni:
FAKULTAS HUKUM UMA
94
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 1. Penerapan hukum pidana (criminal law application); 2. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment); 3. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemindanaan lewat media massa (influencing views of society on crime and punishment mass media). Maka kebijakan non penal ini lebih kearah pencegahan terhadap timbulnya suatu kejahatan dengan melalui pendekatan non penal yang adalah pendekatan terhadap kejahatan tanpa menggunakan sarana pemidanaan. Penerapan kebijakan non penal lebih menitikberatkan terhadap tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Sasaran utamanya bagaimana kebijakan itu mampu menangani faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan tindak pidana korporasi dengan upaya preventif agar semua pihak bisa bergerak dan bersinergi terhadap permasalahanpermasalahan sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat meningkatkan kejahatan korporasi. Namun timbul permasalahan dalam kasus kejahatan korporasi apabila digunakan dengan sarana nonpenal yakni kejahatan korporasi umunya terungkap setelah adanya kerugian, maka kelemahan sarana non penal disini dianggap belum dapat mengoptimalkan dengan pendekatan sosial. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X Berdasarkan pembahasan terhadap permasalahan yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan implementasi criminal policy terhadap kejahatan korporasi yakni menggunakan sarana penal dan sarana non penal menjadi pilihan dalam pemidanaan terhadap kejahatan korporasi. Ketentuan pidana dalam Undang-Undang (di luar KUHP) yang berhubungan dengan korporasi/ atau hukum pidana khusus diluar KUHP ternyata bervariasi. Penegakan hukum dalam kejahatan korporasi dipengaruhi karena adanya ketidakjelasan (multi tafsir) dan tidak konsistennya pemidanaan yang diberikan. Penanaggulangan atau sanksi pidana terhadap korporasi haruslah secara selektif. Dalam memilih dan menetapkan tentu harus memperhitungkan faktorfaktor yang mendukung bekerjanya hukum pidana dalam kenyataan, termasuk motif-motif kejahatan korporasi yang bersifat ekonomis. Dengan teori identifikasi (identification theori) merupakan salah satu cara menarik pelaku kejahatan korporasi ke pengadilan. Teori ini bekerja dengan mengidentifikasi terlebih dahulu siapa yang melakukan kejahatan/ kesalahan, kemudian setelah diketahui pelakunya selanjutnya diidentifikasi apakah directing mind (orang yang diberi wewenang) untuk bertindak atas nama korporasi, maka baru dapat dinyatakan korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana. Selanjutnya dengan teori pertanggungjawaban pengganti (vicarious liablity), yakni suatu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh FAKULTAS HUKUM UMA
95
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 orang lain, yang mana dalam hal ini apabila karyawan atau pekerja yang melakukan tindak pidana maka yang bertanggungjawab adalah pimpinannya. Dan penanggulangan yang terakhir dengan teori pertanggungjawaban mutlak (strict liability), yakni pertanggungjawaban pidana dibebankan kepada pelaku tindak pidana tertentu, tanpa perlu dibuktikan ada tidaknya unsur kesalahan (baik itu kesengajaan ataupun kelalaian, unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan dalam pembebanan pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan, tetapi cukup dibuktikan bahwa perbuatan pidana telah dilakukan. Sedangkan dalam masalah penanggulangan kejahatan korporasi dengan sarana non penal dapat dicontohkan dengan salah satu kasus, yakni kasus pencemaran lingkungan hidup, yang mana pencemaran lingkungan hidup dapat diatasi dengan cara pemberian sanksi administratif bagi para pejabat. Munurut Tri Maryono dalam Kejahatan Korporasi, menyatakan sanksi sosial dapat berlaku efektif, artinya setiap pelaku pencemaran harus diumumkan secara gencar di tengah masyarakat luas. Penulis menyimpulkan bahwa pernyataan tersebut guna menyadarkan pelaku dengan menimbulkan rasa malu akibat moral yang buruk. B. Saran Adapun saran yang dikemukakan dalam penulisan ini adalah perlu adanya perubahan dalam penetapan yang diberikan untuk sanksi terhadap kejahatan korporasi. Penegakan hukum JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X dengan menggunakan hukum pidana yang mana sudah seharusnya Asas Primum Remedium diberlakukan dengan tegas, sehingga tujuan pemidanaan dengan teori deterrence (bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah seseorang supaya tidak melakukan kejahatan, dan bukan sebagai sarana pembalasan masyarakat) dan social defence (perlindungan sosial) dapat tercapai, tetapi harus tetap disertai ganti rugi dan memegang kehati-hatian dikarenakan berdampak sangat besar terhadap kehidupan msyarakat. DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku Agus Budianto. Delik Suap Korporasi di Indonesia. Bandung: Karya Putra Darwati, 2012. Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana . Jakarta; Kencana, 2008. Hamzah, Andi. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986. Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011. M. Solly Lubis. Serba-serbi Politik & Hukum. Jakarta: PT Sofmedia, 2011. Muhammad Abdulkadir . Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010. Muladi dan Barda Nawawi Arief. TeoriTeori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni, 1984. Muladi dan Dwidja Priyatno. Pertanggungjawaban Pidana FAKULTAS HUKUM UMA
96
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016 Korporasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010. Mulyadi, Mahmud. Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penangan Kejahatan Kekerasan. Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008. Salim, HS. Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012. Sudarto. Hukum Pidana, Jilid IA. Semarang: Fakultas Hukum Undip. Setiyono. Kejahatan Korporasi.Malang: Bayumedia Publishing, 2009 B. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
ISSN: 2355-987X Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 yo. Perpu No. 1 Tahun 2004 Tentang Kehutanan Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 yo. No. 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolahan Linkungan hidup C. Internet Alvin Syahrin. http://alviprofdr. Blogspot.com/2013/01/ pertanggungjawaban-korporasi-dalam. html # more. Diakses pada pukul 13.50 WIB. Tanggal 8 April 2014. Alvi Syahrin, http://alviprofdr .blogspot.com/2013/02/ pertanggung jawabanpidana-korporasi-oleh.html. Diakses Pada pukul 13.00 WIB. Tanggal 22 Desember 2013.
FAKULTAS HUKUM UMA
97
PENEGAKAN HUKUM/ NOMOR 5/ VOLUME 3/MEI 2016
ISSN: 2355-987X
PETUNJUK PENULISAN Jurnal ilmiah Fakultas Hukum UMA ”PENEGAKAN HUKUM” menerima naskah berupa hasil penelitian/ tesis/desertasi atau artikel ilmiah yang orisinal dan belum pernah dipublikasikan di media lain. Naskah diketik dengan jarak 1,5 spasi di kertas ukuran A4, tidak lebih dari 15 halaman dalam format Ms.Words menggunakan tipe huruf Times New Roman dengan ukuran font “12”. Naskah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Jika naskah ditulis dalam bahasa Indonesia maka abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan sebaliknya. Sistematika penulisan : Untuk hasil penelitian dan artikel ilmiah diawali dengan judul nama penulis (tanpa gelar akademik) kata kunci (maksimum 5 kata) abstrak (tidak lebih dari 100 kata yang memuat latar belakang, tujuan atau ruang lingkup tulisan, diketik dalam huruf miring/Italics), bahasan utama (dibagi dalam beberapa sub judul) Penutup dan daftar pustaka. Cara penulisan daftar pustaka disusun secara alfabetis sebagai berikut : Nama belakang,nama depan, tahun penerbitan, judul (ditebalkan), alih bahasa (bila ada), penerbit, kota
JURNAL ILMU – ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM UMA
98