perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ASPEK HUKUM MAGERSARI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KERATON SURAKARTA DAN ORANG YANG MAGERSARI
Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh ARDANI NIRWESTHI NIM. E 0008287
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2012
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi) ASPEK HUKUM MAGERSARI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KERATON SURAKARTA DAN ORANG YANG MAGERSARI
Oleh ARDANI NIRWESTHI NIM. E 0008287
Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta,
Juni 2012
Dosen Pembimbing
Pius Triwahyudi, S.H., M.Si. NIP. 195602121985031004
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi) ASPEK HUKUM MAGERSARI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KERATON SURAKARTA DAN ORANG YANG MAGERSARI Oleh ARDANI NIRWESTHI NIM. E 0008287 Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada : Hari Tanggal
: Kamis : 19 Juli 2012
DEWAN PENGUJI 1. Lego Karjoko, S.H.,M.H.
: ………………………………………
Ketua 2. Purwono Sungkowo Raharjo, S.H. : ……………………………………… Sekretaris 3. Pius Triwahyudi, S.H.,M.Si.
: ………………………………………
Anggota Mengetahui Dekan,
Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum. NIP. 19570203 1985032001 commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama : Ardani Nirwesthi NIM : E 0008287 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul : ASPEK HUKUM MAGERSARI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KERATON SURAKARTA DAN ORANG YANG MAGERSARI adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, Juni 2012 Yang membuat pernyataan
Ardani Nirwesthi NIM. E 0008287
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK ARDANI NIRWESTHI, E 0008287, 2012. ASPEK HUKUM MAGERSARI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KERATON SURAKARTA DAN ORANG YANG MAGERSARI. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan hukum magersari dalam sistem hukum nasional dan mengetahui implikasi sistem hukum nasional terhadap Keraton Surakarta selaku pemilik tanah dan orang yang berkedudukan sebagai magersari. Penulisan hukum ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat preskriptif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual. Jenis bahan hukum yang digunakan adalah jenis bahan hukum primer dan sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah studi kepustakaan. Analisis bahan hukum menggunakan interpretasi dengan menemukan hukum yang memberikan penjelasan yang gambling mengenai teks perundang-undangan agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa hukum sehingga memperoleh jawaban atas permasalahan yang diajukan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasulkan kesimpulan. Kesatu Kedudukan hukum magersari dalam sistem hukum nasional, zaman penjajahan tanah Keraton Surakarta diatur didalam Rijkblad Surakarta Nomor 14 Tahun 1938 kekuasaan penuh mengelola tanah Keraton mengenai tanah magersari dikelola sendiri oleh Keraton Surakarta. Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945 khusus pembentukan hukum nasional tentang tanah diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Kesatuan RI Tahun 1945. Hukum adat yang berlaku kurang bisa mengintegrasikan masyarakat sebagai satu kesatuan nasional. UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) memberikan kepastian hukum tanah yang dualisme dan pluralisme. Ketentuan tersebut menjadikan tanah Keraton yang termasuk tanah magersari menjadi milik negara. Kedua, bahwa implikasi sistem hukum nasional terhadap Keraton Surakarta selaku pemilik tanah dan orang yang berkedudukan sebagai magersari didalam UU No. 5 tahun 1960 (UUPA) masih belum cukup untuk mengatur keberadaan tanah magersari di Kota Surakarta sehingga kepastian hukum menjadi tidak jelas. Permasalahan ketidak harmonisnya mengenai pemegang hak pengelolaan tanah magersari antara pemerintah Kota Surakarta atau Keraton Surakarta, sehingga adanya pajak berganda, yaitu pajak PBB dan uang sewa atau duduk lumpur yang harus ditanggung oleh warga Baluwarti. Pajak PBB untuk pemerintah Kota Surakarta dan uang sewa atau duduk lumpur untuk Keraton Surakarta. Pengaturan tanah magersari belum jelas menjadikan orang yang magersari menjadi kesewenang-wenangan melakukan kecurangan menempati tanah magersari bukan abdi dalem Keraton Surakarta, dan diketemukan warga yang tidak punya Palilah Griya Pasiten maka tidak membayar yang ditarik oleh Negara. Oleh karena itu diharapkan adanya peraturan yang jelas dari pemerintah mengenai pengelolaan tanah magersari di Keraton Surakarta. Kata kunci : aspek hukum magersari, Keraton Surakarta dan orang yang magersari commit to user ABSTRACT
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ARDANI NIRWESTHI, E 0008287, 2012. LEGAL ASPECT OF MAGERSARI AND THE IMPLICATION TO SURAKARTA PALACE AND THOSE UNDERTAKING MAGERSARI. Faculty of Law of Sebelas Maret University. This research aims to find out the legal position of magersari in the national legal system and to find out the implication of national legal system to the Surakarta Palace as the landowner and those in position as magersari. This writing was a normative law research that was prescriptive in nature. The approach used was statute, case, and conceptual approaches. The types of law material used were primary and secondary law materials. Technique of collecting law material used was interpretation by looking for law giving the most vivid explanation about legislation text so that the norm scope can be defined relating to the law event to obtain the answer to the problem raised. Based on the result of research and discussion, the following conclusion could be drawn. Firstly, the legal position of magersari about the Surakarta Palace’s land in the national legal system had been governed in colonial age in Rijkblad Surakarta Number 14 of 1938 stating that the full authority of managing the Palace’s land on magersari land is held by the Surakarta Palace itself. After Indonesia’s independency on August 17, 1945 particularly the establishment of national legislation about land was governed in the article 33 clause (3) of RI’s 1945 Constitution. The customary law enacted could integrate inadequately the society as a national unity. The Act Number 5 of 1960 (UUPA) gave law certainty about the land with dualism and pluralism. Such the provision made the Palace’s land including into magersari land belonged to the state. Secondly, the implication of national legal system to the Surakarta Palace as the landowner and those in position of magersari in Act No.5 of 1960 (UUPA) still inadequately governed the existence of magersari land in Surakarta City so that the law certainty became vague. The problem of disharmony of magersari land management right holder between the Surakarta City Government and the Surakarta Palace, resulted in double tax, namely Land and Building Tax (PBB) and lease cost or duduk Lumpur the Baluwarti people should assume. Land and Building Tax for Surakarta city and lease tenant or duduk Lumpur for Surakarta Palace. The magersari land regulation had not been clear yet making those who performed magersari misused the land arbitrarily by occupying the magersari land not belonging to the Surakarta Palace’s abdi dalem (servant), and some people were found having no Palilah Griya Pasiten so that they did not pay the billing from the state. For that reason, it is expected a clear regulation from the government concerning the management of magersari land in Surakarta Palace. Keywords: legal aspect of magersari, Surakarta Palace and those undertaking magersari commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya” (QS. Al Baqarah: 286)
“Ketahuilah, bahwa kehidupan di dunia itu merupakan roda perputaran masa yang berubah berganti, apabila engkau memiliki watak tawakal dan ikhlas dengan apa yang telah dianugerahkan Tuhan kepadamu, engkau akan menjadi orang yang paling kaya di antara para manusia” (Sasangka Jati)
“Mereka yang berhenti belajar adalah mereka si pemilik masa lalu, mereka yang tak pernah berhenti belajar adalah mereka si pemilik masa depan” (Mario Teguh)
“Meninggal dunia itu pasti dan Hidup di dunia itu tidak pasti karena hidup di dunia hanya sementara maka janganlah lekat dengan keduniawian” (Ardani Nirwesthi)
“Ulat Sumeh Gawe Renaning Wong Akeh” (Ardani Nirwesthi)
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) dalam rangka memenuhi persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana. Penulisan hukum ini, penulis beri judul “Aspek Hukum Magersari dan Implikasinya Terhadap Keraton Surakarta dan Orang yang Magersari ”. Pada
kesempatan
ini
dengan
rendah
hati
penulis
bermaksud
menyampaikan ucapan terimakasih kepada segenap pihak yang telah memberi bantuan, dukungan serta pertolongan baik berupa materiil maupu imateriil selama penyusunan penulisan hukum ini terutama kepada : 1.
ALLAH SWT yang senantiasa menjaga dan melindungi penulis dalam setiap langkah dan mencari ridho-Nya.
2.
Nabi Muhammad SAW junjungan dan suri tauladan yang baik untuk penulis dalam menjalani kehidupan.
3.
Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4.
Ibu Wida Astuti, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik penulis.
5.
Bapak Pius Triwahyudi, S.H., M.Si. selaku Dosen Pembimbing Penulisan Hukum (Skripsi).
6.
Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret atas segala dedikasinya selama Penulis menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
7.
Ayahanda Mayor (Tek) Djoko Widodo dan Ibunda Enie Jatmikaningtyastuti, S.Pd., M.Pd, yang menjadi sumber inspirasi, kebanggaan dan pengabdian diri penulis. Terima kasih untuk kasih sayang, doa serta segenap pengertian, dukungan dan kepercayaan yang telah engkau berikan. commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
8.
digilib.uns.ac.id
Kedua kakakku Serka Dona Ifi Kharisma, S.E., M.M beserta istrinya, dan Lettu Denni Aristia Adi, S.Pd beserta istrinya yang telah memberikan nasehat, semangat dan doa untuk penulis.
9.
Teman-teman seperjuangan di Fakultas Hukum UNS, spesial untuk Atika, Alphi, Iffa, Dwi, NA, Maya, Corry, Siska, Ryan, Fathony, Trisna, Helena.
10. Teman-teman yang selalu mendengarkan curhatan penulis Puspa, Jezi, Inggrid, Adhe, Niken, Mas Adi, Mba Nira, Mas Wica, Mba Dita, Mas Satriyo. 11. Teman-teman seperjuangan waktu magang di Boyolali, yaitu Tiara, Dewi, Oki, Luvy, Vitri, Yoni, Yoga, dan teman-teman lain angkatan 2008 yang tidak bisa penulis sebut satu persatu. 12. Keluarga Besar KSP Principium FH UNS, terima kasih atas pengalaman dan suasana kekeluargaannya ada Mas Aji, Mas Haris, Mas Yovi, Mas Tejo, Mas Gatot, Mb Citra, Mb Ariyani, Miqdad, Prita, Citra Widi, Mia, Naning, Indri, Maulida, Faradina, Kiki, Danang, Dias, Indra, Rifzki, Isti, Mira, Fika, Nares, dan teman-teman lainnya yang tidak bisa penulis sebut satu persatu. 13. Pihak-pihak lain yang telah memberikan bantuan yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, mengingat kemampuan Penulis yang masih sangat terbatas. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang bersifat membangun akan Penulis terima dengan senang hati. Semoga penulisan ini dapat bermanfaat bagi sumbangan pengetahuan dan pengembangan hukum pada khususnya dan ilmu pengetahuan pada umumnya. Semoga pihak-pihak yang telah membantu penulisan ini mendapat pahala dari Allah SWT. Amin. commit to user
ix
Surakarta, 1 Juli 2012 Penulis
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ........................................................... iii HALAMAN PERNYATAAN ............................................................................ iv ABSTRAK .......................................................................................................... v HALAMAN MOTTO ......................................................................................... vii KATA PENGANTAR ……………………………………………………..….. viii DAFTAR ISI ........................................................................................................ x DAFTAR BAGAN ………..…………………………………………..……..... xii BAB I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ................................................................................... 4 C. Tujuan Penelitian .................................................................................... 5 D. Manfaat Penelitian .................................................................................. 5 E. Metode Penelitian ..................................................................................... 6 F. Sistematika Penulisan Hukum ................................................................. 11 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori ......................................................................................... 13 1. Tinjauan Tentang Prinsip-Prinsip Hukum Tanah Nasional ............... 13 2. Tinjauan Tentang Hak Atas Tanh ...................................................... 20 3. Tinjauan Tentang Hak Milik Atas Tanah Menurut Hukum Adat ..... 29 4. Tinjauan Tentang Hak Tanah Atas Keraton Surakarta ...................... 33 5. Tinjauan Tentang Tanah Magersari di Keraton Surakarta .................. 35 B. Kerangka Pemikiran ................................................................................. 37 BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kedudukan Hukum Magersari Dalam Sistem Hukum Nasional .............. 40 1. Sebelum Berlakunya Undang-Undang Nomor 5 commit to user Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria................. 40 x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria................. 44 3. Hak Pengelolaan Tanah dan Bangunan Keraton Surakarta.......... 52 B. Implikasi Sistem Hukum Nasional Terhadap Keraton Surakarta Selaku Pemilik Tanah dan Orang yang Berkedudukan sebagai Magersari................................................................................................... 55 1. Status Magersari Dengan Berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria.. 55 2. Wewenang dan Kewajiban Pemegang Tanah Hak Magersari...... 69 BAB IV. PENUTUP A. Simpulan .................................................................................................. 84 B. Saran ......................................................................................................... 86 DAFTAR PUSTAKA
commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR BAGAN Halaman BAGAN Gambar 1 Kerangka Pemikiran ………………………………………… 39
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I. PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Problematika pertanahan terus mencuat dalam dinamika kehidupan bangsa kita. Berbagai daerah di nusantara tentunya memiliki karakteristik permasalahan pertanahan yang berbeda di antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Keadaan ini semakin nyata sebagai konsekuensi dari dasar pemahaman dan pandangan orang Indonesia terhadap tanah. Kebanyakan orang Indonesia memandang tanah sebagai sarana tempat tinggal dan memberikan penghidupan sehingga tanah mempunyai fungsi yang sangat penting (Arie Sukanti Hutagalung, 2009:1). Menurut hukum adat, manusia dengan tanah mempunyai hubungan magis religius selain hubungan hukum. Hubungan itu tidak hanya antara individu dengan tanah tetapi juga antar kelompok anggota masyarakat suatu persekutuan hukum adat (Rechtgemeenschap) di dalam hubungan dengan hak ulayat (Mohammad Hatta, 2005:40). Manfaat tanah tidak hanya pada nilai ekonomisnya, tetapai juga mengandung nilai politik, sosial, dan budaya. Sehingga permasalahan yang berkaitan dengan tanah seringkali terjadi, bahkan bisa dikatakan sebagai masalah yang sulit dan rumit. Masalah pertanahan dari hari ke hari semakin mencuat dalam kehidupan masyarakat. Beberapa kondisi dalam masyarakat yang menggambarkan masalah utama bidang pertanahan dewasa ini, diantaranya semakin maraknya konflik dan sengketa tanah, semakin terkonsentrasinya pemilikan dan penguasaan tanah pada sekelompok kecil masyarakat, dan lemahnya jaminan kepastian hukum atas pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah serta masih banyaknya tanahtanah di Indonesia ini yang belum jelas status hukumnya. Di lingkungan Magersaren (magersari) istilah magersari dikenakan bagi orang kebanyakan (bukan keluarga bangsawan) yang hidup dan tinggal dalam waktu yang lama di atas tanah milik Keraton Surakarta. Sebenarnya beberapa aset keraton telah berganti kepemilikan. Di mulai oleh siapa dan bagaimana caranya to user wujudnya bisa tanah, rumah atau commit benda-benda pusaka. Isu bahwa tanah magersari
1
perpustakaan.uns.ac.id
2 digilib.uns.ac.id
akan dijual tentu saja sangat meresahkan bagi orang-orang yang menumpang hidup selama berpuluh tahun di atas tanah magersari. Apalagi adanya gesekan peraturan perundangan antara yang milik Republik Indonesia dan yang milik keraton (http://jarankepang.com/?p=75, diakses pada tanggal 8 November 2011 jam 20.13 wib). Keraton Surakarta memiliki sejumlah besar aset tanah berklasifikasi Sunan Grond yang tersebar di berbagai tempat. Tanah milik raja pribadi ini, seharusnya tak dapat semena-mena diambil alih hak kepemilikannya begitu saja. Namun faktanya, Sunan Grond termasuk, pesanggrahan-pesanggarahan dan tanah-tanah makam milik Kraton Surakarta Hadiningrat banyak yang berubah menjadi pemukiman padat penduduk. Karaton Surakarta Hadiningrat sendiri menyadari persoalan tanah merupakan masalah peka. Wilayah Kota Surakarta tidak mungkin diperluas tanpa harus berhadapan dengan pertambahan jumlah penduduk serta gelombang urbanisasi yang tidak tercegah. Akibatnya muncul semacam lapar lahan dalam masyarakat. Kecenderungan selama ini menunjukkan banyak areal yang terlihat kosong, tidak peduli milik siapa, diserobot tanpa izin menjadi pemukiman illegal (Much Bintang Arief Martoadi, Pelaksanaan Jual Beli Tanah Magersari Milik Kraton Surakarta Hadiningrat Di Desa Pesarean Kecamatan Adiwerna Kabupaten Tegal. Suatu Tesis. 2009 : hal 5). Di tengah perubahan jaman yang sedang kencang-kencangnya pandangan masyarakat terhadap kehidupan kaum priyayi pun berubah drastis. Jika dahulu masyarakat yang menumpang hidup di tanah keraton begitu taksim dan hormat karena diijinkan tinggal di sana dengan gratis atau hanya bayar uang kebersihan, sekarang mereka mudah memandang sinis karena praktek jual beli dan pindah tangan harta pusaka, rumah dan tanah keraton oleh kerabat istana yang sering mengakibatkan mereka menjadi korban pelengkap penderita. Jika mau menyalahkan tidak bisa karena sebenarnya mereka tinggal di sana berpuluh tahun hanya menumpang tinggal di tanah yang bukan milik mereka. Dan sering dituntut harus berterimakasih oleh diri mereka sendiri. Tidak menyalahkan juga tidak bisa karena mereka gatal dan tersinggung harga dirinya serta merasa dijadikan korban commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
3 digilib.uns.ac.id
(http://jarankepang.com/?p=75, diakses pada tanggal 8 November 2011 jam 20.13 wib). Sampai sekarang Keraton Surakarta masih berpolemik dengan wargawarga yang mendiami tanah dan bangunan milik Keraton, sebenarnya konsep awal Keraton Surakarta memberikan hadiah kepada para abdi dalem atau putra dalem, yakni rumah sebagai pemberian yang dikarenakan jasa-jasa mereka kepada Karaton, dengan menggunakan hak “anggadhuh” atau Keraton Surakarta hanya meminjaminya saja dan bisa menariknya kapanpun kalau Keraton Surakarta mau. Namun di kemudian hari, bangunan yang dulu ditempati oleh abdi dalem dan putra dalem sekarang telah berubah ditempati oleh ahli waris mereka. Seharusnya ketika abdi dalem atau putra dalem meninggal, hak “anggadhuh” itu selesai. Tanah dan bangunan itu kosong dan dapat ditempati oleh abdi atau putra dalem yang lain dan masih hidup di lingkungan Keraton Surakarta (GRA. Koes Isbandiyah, Kebijakan Keraton Surakarta Hadiningrat Dalam Pengelolaan tanah dan bangunan setelah Keputusan Presiden Nomor 23 tahun 1988 tentang status dan pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta di kelurahan Baluwerti. Suatu Tesis. 2008. hal. 17.) Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 telah menghadirkan peraturan-peraturan mengenai tanah yang selama ini mempunyai sifat dualisme antara tanah-tanah yang tunduk pada hukum barat dan hukum adat serta menjadi pedoman bagi pemerintah dan masyarakat (Adrian Sutedi, 2010:1), khususnya bagi Pejabat Pembuat Akta Tanah, Notaris dan pejabat lain yang berwenang dalam melaksanakan tugasnya berkaitan dengan tanah. Dalam hukum pertanahan nasional, tanah Keraton, baik Sultan Ground atau tanah magersari, tidak diatur secara pasti dan tegas dalam peraturan perundang-undangan oleh pemerintah. Secara yuridis formal, berdasarkan Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA), Sultan Ground atau tanah magersari dianggap tidak ada. Hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari Swapraja atau bekas Swapraja yang masih ada, pada waktu mulai berlakunya Undang-Undang commit user kepada Negara. Hal ini berarti No.5 Tahun 1960 (UUPA) ini hapus dantoberalih
4 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tanah Keraton beralih kepada Negara atau menjadi tanah Negara. Meski demikian, Sultan Ground memang secara nyata ada dan diakui pemerintah. Atas dasar itulah, sebagai bentuk pengakhiran kebimbangan tentang bagaimana status Karaton Surakarta Hadiningrat sehingga Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1988 tentang Status dan Pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta. Setelah keluarnya Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1988 tentang Status dan Pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta, sebenarnya memberikan peluang kepada Keraton Surakarta untuk kembali menguasai dan memiliki asetaset yang telah hilang, sebab Keppres itu memberikan wewenang untuk memiliki kepada Karaton Surakarta. Tetapi dalam Keppres itu membatasi luas wilayah karaton yang hanya dibatasi Alun-Alun Utara dan Alun-Alun Selatan serta Masjid Agung, jadi tanah dan bangunan yang berada di luar wilayah itu kemungkinan jadi bukan milik Keraton Surakarta walaupun berstatus Sunan Grond. (GRA. Koes Isbandiyah, Kebijakan Keraton Surakarta Hadiningrat Dalam Pengelolaan tanah dan bangunan setelah Keputusan Presiden Nomor 23 tahun 1988 tentang status dan pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta di kelurahan Baluwerti. Suatu Tesis. 2008. hal. 19.) Berdasarkan uraian di atas, maka menarik penulis untuk mempelajari dan mengakaji lebih dalam terkait hal tersebut dalam sebuah penulisan penelitian hukum
dengan
judul
:
“ASPEK
HUKUM
MAGERSARI
DAN
IMPLIKASINYA TERHADAP KERATON SURAKARTA DAN ORANG YANG MAGERSARI” .
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penulis merumuskan masalah untuk mengetahui dan menegaskan masalah-masalah apa yang akan diteliti sehingga dapat memudahkan penulis dalam commit to user
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengumpulkan, menyusun, menganalisis, dan mengkaji bahan secara lebih rinci. Adapun permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana kedudukan hukum magersari dalam sistem hukum nasional? 2. Bagaimana implikasi sistem hukum nasional terhadap Keraton Surakarta selaku pemilik tanah dan orang yang berkedudukan sebagai magersari ?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah hal-hal tertentu yang hendak dicapai dalam suatu penelitian. Tujuan penelitian akan memberikan arah dalam pelaksanaan penelitian. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu: 1. Tujuan Obyektif a. Mengetahui kedudukan hukum magersari dalam sistem hukum nasional. b. Mengetahui implikasi sistem hukum nasional tersebut terhadap Keraton Surakarta selaku pemilik tanah dan orang yang berkedudukan sebagai magersari 2. Mengetahui Tujuan Subjektif a. Untuk menambah wawasan, pengetahuan, dan kemampuan penulis bidang hukum administrasi Negara khususnya aspek hukum magersari dan implikasinya antara Keraton Surakarta dan orang yang magersari. b. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar akademik sarjana dalam bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. D. Manfaat Penelitian Suatu penelitian diharapkan memberikan suatu manfaat. Penulis berharap kegiatan penelitian yang dilaksanakan dalam penulisan hukum ini dapat to pihak user lain. Adapun manfaat penulisan bermanfaat bagi penulis sendiricommit maupun
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ini dikelompokkan menjadi manfaat teoritis dan manfaat praktis, yaitu sebagai berikut : 1. Manfaat Teroritis a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Agraria pada khususnya; dan b. Memperkaya referensi dan literatur kepustakaan hukum Hukum Agraria tentang aspek hukum magersari dan implikasinya terhadap Karaton Surakarta dan orang yang magersari. 2. Manfaat Praktis a. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran dan pola pikir ilmiah, serta untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh;dan b. Hasil dari penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitian-penelitian sejenis pada tahap selanjutnya dan berguna bagi para pihak yang pada kesempatan lain mempunyai minat untuk mengkaji permasalahan yang sejenis. E. Metode Penelitian Ilmu hukum mengarahkan refleksinya kepada norma dasar yang diberi bentuk konkret dalam norma-norma yang ditentukan dalam bidang-bidang tertentu. Metode Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2005:35). Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul dan hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas isu hukum yang diajukan (Peter Mahmud Marzuki, 2005:41). Untuk mendapatkan bahan hukum dan prosedur penelitian to user logika hukum mengenai aspek untuk menemukan kebenarancommit berdasarkan
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hukum magersari dan implikasinya antara karaton Surakarta dan orang yang magersari, maka digunakan metode penelitian yang sesuai. Adapun metode penelitian yang digunkan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagi berikut : 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum
normatif
atau
doctrinal
research.
Terry
Hunchinson
memperjelaskan pengertian hukum doktinal sebagai berikut, “research which provides a systematic exposition of the rule governing a particular legal category, analyses the relationship between rules, explains areas of difficulty and, perhaps, predict future development.” (Terry Hunchinson dalam Johnny Ibrahim, 2007:44). Berbeda dengan penelitian yang dilakukan di dalam keilmuan yang bersifat deskriptif yang menguji kebenaran ada tidaknya sesuatu fakta disebabkan oleh suatu faktor tertentu, penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Jawaban yang diharapkan dalam penelitian hukum adalah right, appropriate, inappropriate, atau wrong (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 35). 2. Sifat Penelitian Penelitian ini
bersifat
preskriptif
yaitu penelitian
yang
mempelajari ilmu hukum yang preskriptif yang mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2005:22). Tujuan dari penelitian ini untuk mencapai hasil yang memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya mengenai aspek hukum magersari dan implikasinya terhadap Keraton Surakarta dan orang yang magersari. 3.
Pendekatan Penelitian Menurut Peter Mahmud Marzuki dalam bukunya “Penelitian hukum”, disebutkan bahwa dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian to user (statute approach), pendekatan hukum adalah pendekatan commit undang-undang
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan
komparatif
(comparative
approach),
dan
konseptual
(conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2005:93). Adapun pendekatan yang digunakan Penulis dalam penelitian ini yaitu pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undangundang dan regulasi yang bersangkut paut dengan aspek hukum magersari dan implikasinya terhadap Kraton Surakarta dan orang yang magersari . Pendekatan kasus dengan menelaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan aspek hukum magersari dan implikasinya terhadap Kraton Surakarta dan orang yang magersari. Pendekatan konseptual beranjak dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertianpengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan aspek hukum magersari dan implikasinya terhadap Kraton Surakarta dan orang yang magersari 4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumbersumber penelitian yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Di dalam penelitian hukum ini, penulis menggunakan jenis dan sumber bahan hukum primer dan sekunder yang berkaitan dengan aspek hukum magersari dan implikasinya terhadap Keraton Surakarta dan orang yang magersari yang akan menunjang diperolehnya jawaban atas permasalahan penelitian yang diketengahkan penulis. a. Bahan hukum primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, dan catatan-catatan resmi atau risalah-risalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan atau risalah di dalam pembuatan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
9 digilib.uns.ac.id
peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah: 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria; 3) Penetapan Pemerintah No. 16/SD/1946 tentang Pemerintah di daerah Istimewa Surakarta dan Yogjakarta. 4) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai; 5) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 Tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang dapat memiliki hak milik atas tanah; 6) Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1988 Tentang Status dan Pengelolaan Kraton Kasunanan Surakarta di Kelurahan Baluwarti Kota Surakarta; dan b. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, dan jurnal-jurnal hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2005:141). 5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Prosedur pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan yaitu pengumpulan bahan dengan jalan membaca peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi maupun literaturliteratur yang erat kaitannya dengan permasalahan yang dibahas berdasarkan bahan hukum sekunder. Dari bahan tersebut kemudian dianalisis dan dirumuskan sebagai bahan penunjang di dalam penelitian ini. 6. Teknis Analisis Bahan Hukum Adapun bahan hukum yang diperoleh dari bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder dimaksud penulis uraikan dan hubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna commit user menjawab permasalahan yang telahtodirumuskan. Bahwa cara pengolahan
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bahan hukum dilakukan secara interpretasi atau penafsiran, merupakan salah satu penemuan hukum yang memberikan penjelasan yang gamblang mengenai teks perundang-undangan agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Interpretasi dibedakan menjadi
interpretasi
berdasarkan
kata
undang-undang,
interpretasi
berdasarkan kehendak pembentuk undang-undang, interpretasi sistematis, interpretasi histories, interpretasi teleologis, interpretasi antisipatoris,dan interpretasi modern ( Peter Mahmud Marzuki, 2005:106-107). Adapun metode interpretasi yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah : a. Interpretasi berdasarkan kata undang-undang Interpretasi ini beranjak dari makna kata-kata yang tertuang di dalam undang-undang. Interpretasi ini akan dapat dilakukan apabila kata-kata yang di gunakan dalam undang-undang itu singkat artinya tidak berteletele, tajam, artinya akurat mengenai apa yang dimaksud dan tidak mengandung sesuatu yang bersifat dubious atau makna ganda. Hal itu sesuai dengan karakter undang-undang sebagai perintah atau aturan ataupun larangan;dan b. Interpretasi sistematis Menurut pendapat P.W.C. Akkerman, interpretasi sistematis adalah interpretasi dengan melihat kepada hubungan di antara aturan dalam suatu undang-undang yang saling bergantung. Di samping itu juga harus dilihat bahwa hubungan itu tidak bersifat teknis, melainkan juga harus dilihat asas yang melandasinya. Landasan pemikiran interpretasi sistematis adalah undang-undang merupakan suatu kesatuan dan tidak satu pun ketentuan di dalam undang-undang merupakan aturan yang berdiri sendiri (Peter Mahmud Marzuki, 2005:111-112).
commit to user
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
F. Sistematika Penulisan Hukum Untuk memberikan gambaran umum secara menyeluruh menegnai sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum, maka penelitian menyiapkan suatu sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab, yang tiaptiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksud untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Bab
pertama
mengenai
pendahuluan.
Pada
bab
ini
penulis
mengemukakan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum. Di dalam latar belakang masalah dipaparkan adanya fakta hukum yang menjadi latar belakang masalah, yaitu aspek hukum magersari dan implikasinya terhadap Keraton Surakarta dan orang yang magersari. Rumusan masalah dimaksudkan untuk mempertegas ruang lingkup penelitian dan untuk menghindari kemungkinan penyimpangan dari permasalahan pokok yang diteliti. Tujuan penelitian dibedakan menjadi dua, yaitu tujuan obyektif dan tujuan subyektif. Manfaat penelitian terdiri atas manfaat teoritis dan manfaat praktis. Metode penelitian mencangkup jenis penelitian, pendekatan penelitian, sifat penelitian, jenis dan sumber bahan hukum, teknik pengumpulan bahan hukum, teknis analisis bahan hukum. Pada sistematika penulisan hukum akan diuraikan secara garis besar atau gambaran menyeluruh tentang hal-hal yang akan dibahas dalam penulisan hukum. Bab kedua mengenai tinjauan pustaka. Pada bab ini penulis memaparkan sejumlah landasan teori dari para pakar dan doktrin hukum berdasarkan literature-literatur yang berhubungan dengan permasalahan penelitian yang diangkat. Tinjauan pustaka dibagi menjadi dua (2) yaitu : 1. Kerangka teori, yang berisikan tinjauan mengenai : a. Tinjauan Tentang Prinsip-Prinsip Hukum Tanah b. Tinjauan Tentang Hak Atas Tanah to user c. Tinjauan Tentang Hakcommit Milik Atas Tanah Menurut Hukum Adat
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d. Tinjauan Tentang Hak Tanah atas Keraton Surakarta e. Tinjauan Tentang Tanah Magersari di Keraton Surakarta 2. Kerangka pemikiran, yang berisikan gambaran alur berpikir dari penulis berupa konsep yang akan dijabarkan dalam penelitian ini. Bab ketiga mengenai pembahasan dan hasil yang diperoleh dari proses meneliti. Berdasarkan rumusan masalah yang diteliti, terdapat dua pokok permasalahan yang dibahas dalam bab ini yaitu kedudukan hukum magersari dalam sistem hukum nasional dan implikasi sistem hukum nasional tersebut terhadap Keraton Surakarta selaku pemilik tanah dan orang yang berkedudukan sebagai magersari. Bab keempat diuraikan mengenai kesimpulan yang dapat diperoleh dari keseluruhan hasil pembahasan dan proses meneliti, serta saran yang relevan yang dapat penulis kemukakan kepada para pihak yang terkait dengan bahasan penulisan hukum ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Prinsip-Prinsip Hukum Tanah Nasional a. Asas Nasionalitas Pasal 1 UUPA (1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia. (2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. (3) Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termasuk dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi. Jadi, bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia menjadi hak dari Bangsa Indonesia, jadi tidak semata-mata menjadi hak dari para pemiliknya saja.Demikian pula, tanah di daerah-daerah dan pulau-pulau tidaklah semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan saja. Dalam pasal 3 ayat 3 ini berarti bahwa selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air dan ruang angkasa Indonesia itu masih ada pula, maka dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut. b. Asas Hak Menguasai Negara Pasal 2 UUPA (1) Atas dasara ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 UUD dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada commit to user
13
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tingkatan
tertinggi
dikuasai
oleh
Negara,
sebagai
organisasikekuasaan seluruh rakyat. Perkataan “dikuasai” bukan berarti “dimiliki” akan tetapi pengertian yang memberi wewenang kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat untuk pada tingkatan tertinggi. (2) Hak menguasai dari Negara termasud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk: a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persedian dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa. b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa. c. Menentukan dan mengatur hhubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Hak menguasai dari Negara tersebut ditujukan untuk mencapai sebesarbesarnya kemakmuran rakyat dalam arti terwujud kebahagian dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Atas dasar hak menguassai dari Negara tersebut, Negara dapat memberikan tanah kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya. Misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha dan lainnya.Dalam pelaksanaannya, hak menguasai dari Negara tersebut dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. c. Asas Pengakuan Hak Ulayat Pasal 3 UUPA “Dengan mengingat etentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakatmasyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, to user harus sedemikian rupa commit sehingga sesuai dengan kepentingan nasional
perpustakaan.uns.ac.id
15 digilib.uns.ac.id
dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.” Pasal 5 UUPA “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasioanal dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.” Hak ulayat merupakan seperangkat wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya.[2]Hak ulayat atas tanah masyarakat hukum adat sangat luas yang meliputi semua tanah yang ada di wilayah masyarakat hukum adat. 1). Kekuatan Hak Ulayat yang berlaku ke dalam Kekuatan yang dapat memaksa masyarakat hukum adat dalam menguasai masyarakat hukum adat adalah dengan memberikan kewajiban masyarakat hukum adat untuk: memelihara kesejahteraan anggota masyarakat hukumnya, dan mencegah agar tidak timbul bentrokan akibat penggunaan bersama. Dan yang menarik ialah ketika pewaris meninggalkan warisan tanpa ahli waris maka masyarakat hukum adatlah yang menjadi ahli warisnya. 2). Hubungan Hak Ulayat dengan hak-hak perseorangan Ada pengaruh timbal balik antara Hak Ulayat dengan hak-hak perseorangan yakni semakin banyak usaha yang dilakukan oleh seseorang atas suatu tanah maka semakin kuat pula haknya atas tanah tersebut.Misalnya tanah yang memiliki keratan dan semakin diakui sebagai hak milik, tiba-tiba tidak diusahakan lagi, maka tanah pribadi commit hak to user tersebut diakui kembali menjadi Ulayat.
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3). Kekuatan Hak Ulayat berlaku ke luar Setiap orang yang bukan masyarakat hukum adat suatu daerah dilarang untuk masuk limgkungan tanah wilayah suatu masyarakat hukum adat tanpa izin Penguasa hukum adatnya.Cara mendapatkan izin ialah dengan memberikan barang (pengisi adat) secara terang dan tunai. Sekalipun hak ulayat masih diakui keberadaannya dalam sistem Hukum Agraria Nasional akan tetapi dalam pelaksanannya berdasarkan asas ini, maka untuk kepentingan pembangunan tidak dibenarkan jika masyarakat hukum adat berdasarkan hak ulayatnya menolak dibukaknya hutan secara besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan proyekproyek yang besar, misalnya pembukaan areal pertanian yang baru, transmigrasi dan lainnya. d. Asas Tanah mempunyai Fungsi Sosial Pasal 6 UUPA : “Semua ha katas tanah mempunyai fungsi sosial.” Tidaklah
dapat
dibenarkan,
bahwa
tanahnya
itu
akan
dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan Negara.Tetapi dalam pada itu ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan. e. Asas Perlindungan Pasal 9 (1) jo. pasal 21 ayat 1 UUPA: “Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan pasal 1 dan 2.” Yaitu bahwa orang perseorangan atau badan hukum dapat mempunyai hak atas tanah untuk keperluan pribadi maupun commit to user usahanya.
perpustakaan.uns.ac.id
17 digilib.uns.ac.id
Pasal11 (2) UUPA : “Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat dimana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional diperhatikan, dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomi lemah.” 1). Hak milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing. 2). Pemindahan hak milik kepada orang asing dilarang (pasal 26 ayat 2). 3).Orang-orang asing dapat mempunyai tanah dengan hak pakai yang luasnya terbatas. 4).Demikian juga pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat mempunyai hak milik (pasal 21 ayat 2). 5).Dasar pertimbangan melarang badan-badan hukum mempunyai hak milik atas tanah, ialah karena badan-badan hukum tidak perlu mempunyai hak milik tetapi cukup hak-hak lainnya. 6).Boleh hak lain, asal saja ada jaminan-jaminan yang cukup bagi keperluan-keperluannya yang khusus (hak guna-usaha, hak gunabangunan, hak pakai menurut pasal 28, 35 dan 41). 7).Dengan demikian maka dapat dicegah usaha-usaha yang bermaksud menghindari ketentuan-ketentuan mengenai batas maksimum luas tanah yang dipunyai dengan hak milik (pasal 17). 8).Meskipun pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat mempunyai hak milik atas tanah, tetapi mengingat akan keperluan masyarakat yang sangat erat hubungannya dengan faham keagamaan, sosial dan hubungan perekonomian, maka diadakanlah suatu "escapeclause" yang memungkinkan badan-badan hukum tertentu mempunyai hak milik. 9).Dengan adanya "escape-clause" ini maka cukuplah nanti bila ada keperluan akan hak milik bagi sesuatu atau macam badan hukum diberikan dispensasi oleh Pemerintah, dengan jalan menunjuk badan hukum tersebut sebagai badan-badan hukum yang dapat mempunyai commit user hak milik atas tanah (pasal 21 to ayat 2).
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
10).Badan-badan hukum yang bergerak dalam lapangan sosial dan keagamaan ditunjuk dalam pasal 49 sebagai badan-badan yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, tetapi sepanjang tanahnya diperlukan untuk usahanya dalam bidang sosial dan keagamaan itu. Dalam hal-hal yang tidak langsung berhubungan dengan bidang itu mereka dianggap sebagai badan hukum biasa. f. Asas Persamaan Hak antara Laki-laki dan Perempuan Pasal 9 (2) UUPA: “Tiap-tiap warganegara Indonesia baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.” Pasal 11 (20) UUPA : “Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat diamana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
diperhatikan
dengan
menjamin
perlindungan
terhadap
kepentingan golongan yang ekonomi lemah.” Ditentukan bahwa jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasita, dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.Ketentuan ini merupakan alat untuk melindungi golongan-golongan yang lemah. Dalam hubungan itu dibuat ketentuan yang dimaksudkan mencegah terjadinya penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas dalam bidang-bidang usaha agraria. Segala usaha bersama dalam lapangan agrarian harus didasarkan atas kepentingan nasional dan pemerintah berkewajiban mencegah adanya organisasi dan usaha-usaha perseorangan dalam lapangan agrarian yang bersifat monopoli swasta.Dan tidak hanya monopoli swasta, tetapi juga usaha-usaha pemerintah yang bersifat monopoli harus commit torakyat user banyak. dicegah jangan sampai merugikan
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
g. Asas Tanah untuk Pertanian Pasal 10 (1) UUPA : “Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak ats tanh pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan tau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.” Pasal 12 UUPA : (1) Segala usaha bersama.dalam lapangan agraria didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional, dalam bentuk koperasi atau bentuk-bentuk gotong-royong lainnya. (2) Negara dapat bersama-sama dengan pihak lain menyelenggarakan usaha bersama dalam lapangan agraria. Pasal 13 UUPA : (1) Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) serta menjamin bagi setiap warga-negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. (2) Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari
organisasi-organisasi
dan
perseorangan
yang
bersifat
monopoli swasta. (3) Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-undang. (4) Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial, termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha di lapangan agraria. Pelaksanaan asas tersebut menjadi dasar hampir diseluruh dunia yang menyelenggaarakan landreform.Yaitu tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara efektif oleh pemiliknya sendiri. h. Asas Tata Guna Tanah Pasal 7 UUPA :
commit to user
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.” Untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan Negara dalam bidang agrarian, perlu adanya suatu rencana (planning) mengenai peruntukan, penggunaan dan persedian bumi, air dan ruang angkasa untuk berbagai kepentingan hidup rakyat dan Negara. 2.Tinjauan Tentang Hak Atas Tanah a. Pengertian Hak Atas Tanah Menurut Boedi Harsono, hak atas tanah merupakan hak penguasaan atas tanah yang berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolok pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah (Boedi Harsono, 2005: 283). Menurut Urip Santosa yang mengutip pendapat Soedikno Mertokusumo yang dimaksud hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada yang mempunyai hak untuk menggunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. Kata “menggunakan” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah digunakan untuk kepentingan pembangunan, misalnya rumah, toko, hotel, kantor, dan pabrik. Kata “ mengambil manfaat” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah digunakan untuk kepentingan pertanian, perikanan, peternakaan, perkebunan (Urip Santosa, 2010: 49). b. Macam Hak Atas Tanah Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUPA dinyatakan bahwa atas dasar menguasai dari negara ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai baik sendirian maupun secara bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan commit user ini memberi wewenang untuk hukum di mana hak atastotanah
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mempergunakan tanah yang bersangkutan sedemikian rupa, begitu pula bumi dan air serta ruang udara diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturanperaturan hukum lain yang lebih tinggi. Macam-macam hak atas tanah yang disebutkan dalam Pasal 16 UUPA dan Pasal 53 UUPA dikelompokkan menjadi 3 bidang, yaitu: 1) Hak atas tanah yang bersifat tetap Yaitu hak-hak atas tanah ini akan tetap ada atau berlaku selama UUPA
masih berlaku atau belum dicabut dengan
undang-undang yang baru. Macam hak atas tanah ini adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa untuk bangunan, hak membuka tanah, dan hak memungut hasil hutan. 2) Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang Yaitu hak atas tanah yang akan lahir kemudian yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Hak macam tanah ini belum ada. Berkaitan dengan hak atas tanah ini, menurut Emelan Ramelan dalam Urip Santosa menyatakan bahwa pembentukan UUPA menyadari bahwa dalam perkembangannya nanti akan sangat dimungkinkan timbulnya hak atas tanah yang baru sebagai konsekuensi dari adanya perkembangan masyarakat, hanya saja pengaturannya harus dalam bentuk Undang-Undang. 3) Hak atas tanah yang bersifat sementara Yaitu hak atas tanah yang sifatnya sementara, dalam waktu yang singkat akan dihapuskan dikarenakan mengandung sifat-sifat
pemerasan,
mengandung
sifat
feodal,
dan
bertentangan dengan jiwa UUPA. Macam hak atas tanah ini adalah Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, commit to user dan Sewa Tanah Pertanian.
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasarkan asal tanahnya, hak atas tanah dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu (Urip Santosa, 2010: 52-53) : a) Hak atas tanah yang bersifat primer. Yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah negara. Macam-macam hak atas tanah ini adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atas tanah negara, dan hak pakai atas tanah negara. b) Hak atas tanah yang bersifat sekunder. Yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah pihak lain. Macam-macam hak atas tanah ini adalah hak guna bangunan atas tanah hak pengelolaan, hak guna bangunan atas tanah hak milik, hak pakai atas tanah hak milik, hak sewa untuk bangunan, hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah Pertanian. Berdasarkan macam hak atas tanah di atas, lebih jelasnya sebagai berikut : 1) Hak milik Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan tetap mengingat ketentuan tentang hak atas tanah untuk fungsi sosial (Pasal 20 ayat (2) UUPA). Hak milik merupakan hak yang paling kuat atas tanah, yang memberikan kewenangan kepada pemiliknya untuk memberikan kembali suatu hak lain di atas bidang tanah hak milik yang dimilikinya tersebut (dapat berupa hak guna bangunan atau hak pakai, dengan pengecualian hak guna usaha), yang hampir sama kewenangan negara (sebagai penguasa) untuk memberi hak atas tanah kepada warganya (Kartini Muljadi,dkk.,2004:30). Hak milik berjangka waktu selama-lamanya (tidak dibatasi oleh jangka waktu). Selama pemegang haknya masih commit to user memenuhi syarat sebagai subyek hak milik, maka hak milik
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tersebut tetap berlaku. Sebaliknya, kalau pemegang haknya tidak lagi memmenuhi syarat sebagai subyek hak milik, maka hak milik tersebut menjadi hapus. Sifat khas dari hak milik yaitu turun temurun, terkuat, dan terpenuh. Turun-temurun artinya hak milik tidak hanya berlangsung selama hidupnya orang yang mempunyai, tetapi dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya apabila pemiliknya meninggal dunia. Terkuat menunjukkan: (a) Jangka waktu hak milik tidak terbatas. Jadi berlainan dengan hak guna usaha atau hak guna bangunan, jangka waktunya tertentu. (b) Hak yang terdaftar dan adanya “tanda bukti hak”. Hak milik juga hak yang terkuat, karena terdaftar dan yang mempunyai diberi “tanda hak milik”. Terpenuh artinya: (a) Hak milik itu memberikan wewenang kepada yang empunya, yang paling luas jika dibandingkan dengan hak lain. (b) Hak milik bisa merupakan induk daripada hak-hak lainnya. Artinya seseorang pemilik tanah bisa memberikan tanah kepada pihak lain dengan hak-hak yang kurang daripada hak milik: menyewakan, membagi hasilkan, menggadaikan, menyerahkan tanah itu kepada orang lain dengan hak guna bangunan atau hak pakai. (c) Hak milik tidak berinduk kepada hak atas tanah lain. (d) Dilihat dari peruntukannya, hak milik juga tak terbatas. Hak guna bangunan untuk keperluan bangunan saja, hak guna usaha terbatas hanya untuk pertanian sedangkan hak milik dapat digunakan untuk usaha pertanian maupun untuk bangunan. (Effendi Perangin, 1989:236-237) commit to user
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Subyek hak milik atas tanah yaitu WNI dan badan hukum. Hal demikian, sesuai dengan Pasal 21 ayat (2) UUPA yang menyatakan bahwa oleh pemerintah ditetapkan badanbadan hukum yang dapat mempunyai hak milik dengan syaratsyarat. Pemberian landasan hukum yang terkuat kepada badanbadan hukum untuk medapatkan hak milik atas tanah, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah (Supriadi, 2007: 66). Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 menyatakan
bahwa
Badan-badan
hukum
yang
dapat
mempunyai hak milik atas tanah, masing-masing dengan pembatasan yang disebut pada Pasal 1,2, dan 4 peraturan ini : (a) Bank-bank yang didirikan oleh negara (selanjutnya disebut bank negara); (b) Perkumpulan-perkumpulan
koperasi
pertanian
yang
didirikan berdasarkan Undang-Undang No. 79 Tahun 1958; (c) Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama; dan (d) Badan-badan
sosial,
Pertanian/Agraria
yang setelah
ditunjuk
oleh
mendengar
Menteri Menteri
Kesejahteraan Sosial. Hapusnya hak milik diatur dalam Pasal 27 UUPA yang menyatakan bahwa Hak Milik Hapus apabila: (a) Tanahnya jatuh kepada negara : (i) Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 UUPA; (ii) Karena penyerahan sukarela oleh pihak pemiliknya; (iii)Karena ditelantarkan; dan (iv) Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) (hilangnya kewarganegaraan) dan Pasal 26 ayat (2) UUPA. commit to user (b) Tanahnya musna.
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) Hak Guna Usaha (HGU) Hak guna usaha (selanjutnya disebut HGU) adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasasi langsung oleh Negara, dalam jangka waktu tertentu guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan (Pasal 28 UUPA). HGU merupakan hak atas tanah yang bersifat primer yang memiliki spesifikasi. Spesifikasi HGU tidak bersifat terkuat dan terpenuh, dalam artian bahwa HGU ini terbatas daya berlakunya walaupun dapat beralih dan dialihkan pada pihak lain (Supriadi, 2007:110). Penjelasan UUPA telah diakui dengan sendirinya bahwa HGU ini sebagai hak-hak baru guna memenuhi kebutuhan masyarakat modern dan hanya diberikan terhadap tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Jadi, tidak dapat terjadi atas suatu perjanjian antara pemilik suatu hak milik dengan orang lain. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Pasal 8 ayat (1), HGU diberikan untuk jangka waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang 25 tahun, dan diperbarui untuk jangka waktu 35 tahun atas permintaan pemegang hak dengan mengingat keadaan perusahannya. HGU diberikan atas tanah yang paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan tehnik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman. HGU dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, dengan cara: jual beli, tukar-menukar, penyertaan dalam modal, hibah, dan pewarisan (Pasal 16 ayat (2) PP No.40 tahun 1996). Subyek HGU diatur dalam Pasal 2 PP No. 40 Tahun 1996, dinyatakan bahwa yang dapat mempunyai HGU adalah: (a) Warga Negara Indonesia; commit to user
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(b) Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Berkaitan
dengan
subyek
HGU
di
atas,
maka
bagaimana kalau subyek pemegang HGU tersebut beralih menjadi warga negara lain atau status badan hukum tersebut berubah, yaitu yang tadinya nasional Indonesia menjadi berstatus asing atau pemilikan sebuah Perseroan Terbatas (PT) telah beralih ke tangan pihak asing. Bagaimana status HGUnya tersebut. Menurut Supriadi yang mengutip pendapat Sudargo Gautama, berlaku teori ketiga tentang status badan hukum yaitu teori tentang siapa yang memegang managing control, pengawasan atau manajemen dan kontrol atas PT bersangkutan. Dengan demikian, lebih lanjut dikatakan (Supriadi, 2007:111): Jika jatuh semua dalam tangan asing, maka dipandang Perseroan Terbatas bersangkutan ini
sebagai
sudah
berstatus asing. Dengan demikian, maka harus dilepaskan HGU yang telah dimilikinya semula sesuai ketentuan Pasal 3 PP Nomor 40 Tahun 1996. Jika tidak dilakukan pelepasan ini dalam waktu 1 tahun setelah perubahan status dari pemegangnya, maka karena hukum HGU bersangkutan menjadi hapus dan tanh menjadi tanah negara (ayat (2) dari Pasal 3). HGU mempunyai batas waktu berlakunya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 34 UUPA dinyatakan bahwa, HGU hapus karena: (a) Jangka waktunya berakhir; (b) Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuai syarat tidak dipenuhi; (c) Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu commit to user berakhir;
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(d) Dicabut untuk kepentingan umum; (e) Ditelantarkan; (f) Tanahnya musnah; (g) Ketentuan dalam Pasal 30 ayat (2). Ketentuan Pasal 34 UUPA ini diatur kembali dalam Pasal 17 PP Nomor 40 Tahun 1996, HGU Hapus karena: (a) Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya; (b) Dibatalkan hanya oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka waktunya berakhir karena: (1) tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13 dan/atau 14; (2) putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; (c) Dicabut berdasarkan UU No.20 Tahun 1961; (d) Ditelantarkan; (e) Tanahnya musnah; dan (f) Ketetapan Pasal 3 ayat (2), yaitu apabila dalam jangka waktu satu tahun HGU itu tidak dilepaskan atau dialihkan. 1) Hak Guna Usaha (HGB) Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri (Pasal 35 UUPA), dengan jangka waktu paling lama 30 tahun yang dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun atas permintaan pemegang haknya dengan
mengingat
keadaan
keperluan
dan
keadaan
bangunannya. HGB atas tanah hak milik tidak dapat diperpanjang jangka waktunya, akan tetapi atas kesepakatan dengan pemilik tanah dapat diperbaharui haknya. commit to user
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Subyek yang dapat menjadi pemegang HGB adalah: warga negara indonesia, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (Pasal 19 PP No. 40 Tahun 1996). HGB dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, peralihan HGB terjadi karena: jual beli, tukar menukar, penyertaan modal, hibah, dan pewarisan. (Pasal 34 ayat (1) dan (2) No. 40 Tahun 1996). HGB mempunyai batas waktu berlakunya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 35 PP No. 40 tahun 1996 dinyatakan bahwa, HGB hapus karena: (a) Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam perjanjian pemberiannya; (b) Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak pengelolaan atau hak milik, sebelum jangka waktunya berakhir,
karena:
(1)
tidak
terpenuhinya
kewajiban
pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, dan Pasal 32; atau (2) tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajibankewajiban yang tertuang dalam pemberian HGB antara pemegang HGB dan Hak milik atau perjanjian penggunaan tanah hak pengelolaan; atau (3) putusan pengadilan yang telah mempunyai kekeuatan hukum yang tetap; (c) Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum janghka waktu berakhir; (d) Dicabut berdasarkan UU No. 20 tahun 1961; (e) Ditelantarkan; (f) Tanahnya musnah; (g) Ketentuan Pasal 20 ayat (2) (pemegang HGB yang tidak lagi
memnuhi syaratdalam satu tahun to user melepaskancommit atau mengalihkan haknya).
yang
tidak
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(1) Hak Pakai Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang. Hak pakai diatur dalam Pasal 39-58 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996. Hak pakai berjangka waktu untuk pertama kalinya paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, dan dapat diperbaharui haknya untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. Untuk perpanjangan jangka waktu dan pembaharuan hak pakai atas tanah hak pengelolaan harus ada persetujuan tertulis terlebih dahulu pemegang hak pengelolaan. Hak pakai atas tanah hak milik tidak dapat diperpanjang jangka waktunya, akan tetapi atas kesepakatan dengan pemilik tanah dapat diperbabaharui haknya. (2) Hak Sewa Hak sewa adalah hak yang memberi wewenang untuk mempergunakan tanah milik orang lain dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewanya. Jangka waktu Hak Sewa untuk bangunan berdasarkan kesepakatan dengan pemilik tanah. Hapusnya hak ini sesuai dalam ketentuan perjanjian sewa-menyewa dalam Kitap UndangUndang Hukum Perdata (KUHPerdata). 3. Tinjauan Tentang Hak Milik Atas Tanah Menurut Hukum Adat a. Hak milik atas tanah menurut hukum adat, hak atas tanah itu dapat dibagi sebagai berikut :commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
30 digilib.uns.ac.id
1). Hak Persekutuan Hukum, yaitu hak ulayat, termasuk didalamnya ; a). Hak pembukaan tanah. b). Hak untuk mengumpulkan hasil hutan (verzamel atau kaprecht) 2). Hak-hak perseorangan, termasuk di dalamnya: a). Hak milik, b). Hak memungut hasil tanah (genotrecht), c). Hak wenang pi1ih atau hak pi1ih lebih dahulu (voorkeurrecht) d). Hakwenang beli(naastmgsrecht), e). Hak penjabat adat (amtehj-profijtrecht) b. Perbuatan-perbuatan hukum yang berwujud : 1). Pemindahan hak termasuk di dalamnya : a). menjual (lepas, gadai, tahunan), b). menukarkan, c). memberikan. 2). Perjanjian, termasuk di dalamnya : a). tanam bagi, bagi hasil (deelbouw), b). sewa, c). tanggungan, dsb. Mengingat permasalahan yang menyangkut hak atas tanah sangat luas, disini hanya dibahas, hak perorangan khususnya hak milik adat saja. Sebagai akibat adanya hak ulayat, lahirlah hak untuk anggota (warga) persekutuan hukum itu untuk memungut hasil hutan, berburu, menangkap ikan dan kemudian disusul dengan hak untuk membuka tanah hutan belukar. Dalam pembukaan tanah oleh anggota persekutuan itu, hal ini harus di beritahukan kepada kepala persekutuan hukum, juga harus memberi tanda (larangan) bahwa tanah itu akan digarap. Anggota itu mempunyai hak pilih lebih dahulu, hak wenang pilih atas tanah itu, artinya sepanjang ada tanda itu, orang lain tidak boleh membuka tanah itu (di Minahasa: kawak, apar atau palau). Sesudah beberapa hari tidak ada to user reaksi dari kawan anggotacommit terhadap tanda itu, baru tanah itu dikerjakan.
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Setiap anggota bebas untuk mengerjakan tanah tanpa ijin. Tapi oleh karena mudah timbul perselisihan, maka perlu ada campur tangan persekutuan hukum (hak pengawasan). Bentuk usaha tanah di dalam masyarakat yang primitif mempunyai sifat yang sementara saja : Setelah satu tahun atau dua panen kemudian tanah itu ditinggalkan dan penggarap membuka tanah ditempat lain yang belum pernah dibuka. Hal ini memang dari sudut kepentingan penggarap perseorangan dapat dikatakan ekonoinis dan cara usaha yang baik pula, sepanjang faktor-faktor mengijinkan, yang luas, subur tanahnya, penduduk jarang, sedikit tenaga, mudah bagi menanam padi atau jagung karena tidak membutuhkan air, dan sebagainya. Tanah yang digarap dengan cara bercocok
tanam
yang
bersifat
sementara
ini
disebut
dengan
ladang, huma, tipar, atau gaga, dll. Penggarap mempunyai hubungan dengan tanah hanya untuk satu musim saja hingga panen (hak memungut hasil). Hubungan antara orang dan tanah yang digarapnya menjadi lebih erat, kekal, penggarap seseorang itu mempunyai hak yang kekal dan kuat atau bidang tanah yang diusahakannya ialah hak milik, lebih-lebih bila menurut
kenyataannya
pemakaian
tanah
itu
sudah
kukuh-teguh,
merupakan kebun, sawah, pekarangan, empang. Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan disini bahwa pengertian hak milik atas tanah menurut hukum adat. sebelum UUPA adalah hak perorangan yang paling kuat dimana pemegangnya menpunyai wewenang yang luas terhadap tanahnya, dan hak yang berarti si empunya dapat berlaku sekehendak hatinya dengan tanah itu (sesuai yang diperlukan) asal memperhatikan beberapa pembatasan antara lain : a . Harus menghormati hak ulayat, sepanjang masih ada; b. Menghormati hak-hak pemilik tanah di sekitarnya; c. Menghormati aturan-aturan adat, misalnya kewajiban untuk membiarkan
tanahnya dipakai menggembala to user dikerjakan, ditanamcommit atau tidak dipagar;
selain
tidak
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d. Menghormati peraturan-peraturan yang diadakan oleh negara. Istilah milik berasal dan bahasa Arab; dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah biasanya dipakai kata ganti empunya”, misalnya sawahku, ladangnya, di Jawa Tengah dan Jawa Timur: duwe atau gadah, di Jawa Barat: boga atau gaduh, tetapi sekarang istilah “hak milik” itu sudah tidak asing lagi, Hak milik adat ini, pada umumnya dipegang oleh orangseorang (individu) tetapi persekutuan-hukum dapat pula mempunyainya, misalnya bila membeli tanah guna keperluan persekutuan-hukum itu (untuk pasar, sekolah, dan sebagainya). Di Jawa terdapat tanah (sawah) milik desa, hasilnya untuk memperkuat kas desa, yang disebut dengan titisara, titisarama, tititama, suksara , bondodesa , sanggan, sawah krocokan, sawah kas-desa, sawahcelengan. Sedangkan tanah ini milik persekutuan-hukum di Bali ialah druwe-desa. Tanah pekarangan di Manado kepunyaan distrik disebut kintal- ke1akeran. Famili atau bagian dari dapat pula mempunyai tanah milik, misalnya di Minangkabau yang disebut dengan harta pusaka. Untuk tanah milik yang berasal dan pembukaan tanah dinamai dalam bahasa Jawa seperti: yasan, yasa, kitri, bakalan, congkrah, trukah, patokan, sedangkan dalam bahasa sunda di sebut dengan Yasa-sorangan, pribadi, usaha. Tanah yang diperoleh karena hibah atau warisan dalam bahasa Jawa disebut dengan tilaran, pusaka, cukil, asli, sedangkan menurut bahasa Madura disebut dengan sangkolan, posak atau lar-olar di Sunda disebut dengan turunan. Berdasarkan adat ini, hak milik bisa diperoleh dengan jalan pembukaan tanah, karena timbul baru oleh pembawaan lumpur dan di Jawa Tengah dan Jawa Timur karena pemberian dari kepala desa berdasarkan hak dadal. “Turun-temurun tidak perlu kiranya untuk diuraikan karena hal itu tak lain dan tak bukan maksudnya adalah bahwa Hak Milik iti dapat terus menerus diturunkan kepada ahli waris setiap pemegangnya”. commit to user
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4. Tinjauan tentang Hak Tanah atas Keraton Surakarta Hadiningrat Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia menjadikan keadaan berubah dan tunduk pada keputusan bangsa Indonesia yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. “The enactment of the Basic Agrarian Law was intended to bridge the gap between „Western‟ law and customary law by providing for registration of individual land rights while also continuing to recognise customary land law concepts and institutions. The preamble to the BAL states: „agrarian law is dualistic in nature, given that customary law is also effective in addition to the former legal system, which is based on western law‟. (Glen Wright, 2011 : 125)” terjemahan : Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria dimaksudkan untuk menjembatani kesenjangan antara hukum nasional dan hukum adat dengan menyediakan pendaftaran hak atas tanah secara individu sehingga mengetahui mengenai konsep-konsep hukum adat tanah dan lembaga. Pembukaan Undang-Undang Pokok Agraria menyatakan : hukum agrarian bersifat dualistis, mengingat bahwa hukum adat juga masih diakui masyarakat dan berlaku secara efektif sebagai sistem hukum disamping berlakunya juga hukum nasional. Untuk selanjutnya pengaturan tanah yang merupakan daerah swapraja dalam era kemerdekaan bangsa indonesia adalah sebagai berikut 1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang dalam diktum keempat menetapkan: a) Hak-hak dan wewenang-wewenang atas tanah dan air dari swapraja atau bekas-bekas swapraja yang masih ada pada waktu berlakunya undang-undang ini hapus dan beralih kepada negara. b) Hal-hal yang bersangkutan dengan ketentuan huruf A di atas di user pemerintah (PP). atur lebih lanjut commit dengan to peraturan
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya. Undangundang ini menetapkan bahwa pencabutan hak atas tanah dilakukan dengan pembayaran ganti kerugian. Undang-undang ini sebenarnya merupakan pengaturan lebih lanjut dalam UUPA. Prinsip ini menetapkan bahwa untuk kepentingan umum, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. 3) Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 tentang pelaksanaan pembagian tanah dan pemberian ganti kerugian yang menetapkan bahwa tanah-tanah swapraja dan bekas swapraja, yang telah beralih kepada negara sebagai yang dimaksudkan dalam diktum keempat huruf A UUPA, termasuk tanah-tanah yang akan dibagikan menurut peraturan pemerintah tersebut. Di samping itu menetapkan pembagian peruntukkan tanah swapraja dan bekas swapraja, adalah sebagai berikut: sebagian untuk kepentingan pemerintah, sebagian untuk dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan. Berdasarkan ketentuanketentuan peraturan perundang-undangan tersebut dapat disimpulkan bahwa hak-hak dan wewenang atas tanah Karaton Surakarta Hadiningrat selaku bekas daerah swapraja telah dihapus UUPA. Penghapusan demikian berarti pencabutan hak dan wewenang itu tidak tergantung adanya peraturan pemerintah yang mengatur lebih lanjut penghapusan hak dan wewenang tersebut. Berkaitan dengan penghapusan hak dan wewenang atas tanah itu, berdasarkan peraturan perundang-undangan di atas, Karaton Surakarta Hadinin grat masih mempunyai dua macam hak, yakni hak pembayaran ganti kerugian atas penghapusan hak tersebut dan hak atas peruntukkan sebagian tanah yang dibagikan dalam rangka pelaksanaan land reform. Berdasarkan pendapat Dean G Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin commitDox to user maka Surat Mendagri Nomor 48/1/30 tertanggal 29 Oktober 1956
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
telah memunculkan aspirasi kerabat keraton Surakarta sehingga menimbulkan
konflik.
Adanya
peraturan
perundang-undangan
mengenai tanah Baluwarti dalam keadaan lemah. Menurut Dean G Pruitt dan Jeffrey Z Rubin tidak jelas dan tidak rincinya UndangUndang Pokok Agraria, PP Nomor 224 Tahun 1961 dan Keppres Nomor 23 Tahun 1988 dalam mengatur peralihan bekas tanah Kasunanan dan pembagiannya serta tidak adanya harmonisasi antara Undang-Undang Pokok Agraria dan PP no 38 Tahun 1963 di satu sisi dengan Keppres Nomor 23 Tahun 1988 di sisi lain telah mendorong pemerintah Kota Surakarta membentuk cara pandang yang bersifat idiosyncratic mengenai hak atas tanah Baluwarti, yang tidak cocok dengan cara pandang kerabat Keraton Surakarta. (Lego Karjoko, 2009 :39,40) 5. Tinjauan tentang Tanah Magersari di Kraton Surakarta Hadiningrat Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, magersari adalah orang yang berumah menumpang di pekarangan orang lain; orang yg tinggal di tanah milik negara dan sekaligus mengerjakan tanah itu; atau pembantu orang yang bertransmigrasi (W.J.S. Poerwadarminta, 1984 : 619). Status tanah Keraton Surakarta pada waktu sebelum merdeka dibagi dalam kelompok : 1) Domein Reck Keraton Surakarta (DRS) yaitu tahan keraton yang statusnya di bawah kekuasaan Keraton Surakarta yang tersebar dalam wilayah kekuasaan Keraton Surakarta; 2) Domein Keraton Surakarta (DKS) yaitu tanah yang menjadi milik Keraton Surakarta misalnya alun-alun utara, alun-alun selatan dan baluwarti; 3) Sunan Ground (SG) yaitu tanah yang menjadi milik Sunan; 4) Tanah leluhur yaitu tanah warisan dari Sunuhun Pakubuwono sebelumnya; commit to user
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
5) Tanah Rech Van Eigendom (RVE), yaitu tanah milik Keraton Surakarta
yang
disewakan
kepada
Belanda
dan
penguasa
perkebunan.(GRA. Koes Isbandiyah, Kebijakan Keraton Surakarta Hadiningrat Dalam Pengelolaan tanah dan bangunan setelah Keputusan Presiden Nomor 23 tahun 1988 tentang status dan pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta di kelurahan Baluwerti. Suatu Tesis. 2008. hal. 114.) Pengertian hak magersari memberi wewenang kepada abdi dalem untuk mendirikan dan mempunyai rumah di atas tanah pamijen keraton, dengan jangka waktu 3 tahun. Terciptanya hak magersari : karena pemberian pengageng parentah keraton Surakarta dengan sepengetahuan Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan. Subyek : abdi dalem. Kewajiban pemegang hak : a) Mengindahkan dengan itukad baik segala peraturan atau perintah dari parentah keraton Surakarta baik yang telah ada maupun yang akan diperintahkan. b) Berjanji : i) Menggunakan tanah untuk rumah tangga ii) Tidak akan menyewakan atau menjual iii) Bila akan memperbaiki/mendirikan bangunan harus mendapat ijin dari parentah Keraton Surakarta. Bila jangka waktu habis, dan diminta parentah keraton Surakarta sebelum habis jangka waktu pemegang hak harus bersedia: a). Mengembalikan dalam keadaan kosong dan kondisi baik b). Semua yang menempati harus pindah dari tempat tersebut. c). Tidak minta uang pesangon Selama menempati magersari harus mentaati semua aturan yang berlaku di kampung/dusun tersebut. Jangka waktu sistem magersari selama 3 tahun dan dapat diperbaharui.Hapusnya : a) Jangka waktunya berakhir commit to user b) Tanahnya diperlukan parentah keraton Surakarta
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c) Orang yang magersari meninggal dunia d) Orang yang magersari melanggar salah satu kewajiban tersebut di atas. Pembuktian : palilah griya/pasiten yang dikeluarkan pengageng parentah keraton Surakarta dengan sepengetahuan Sampeyangdalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan (SISKS). B. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran menjelaskan alur pemikiran penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menelaah dan menjabarkan serta menemukan jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian hukum ini, yaitu “Aspek hukum magersari dan implikasinya terhadap Kraton Surakarta dan orang yang magersari”. Berdasarkan kerangka pemikiran di atas menjelaskan bahwa magersari dan implikasinya terhadap Kraton Surakarta dan orang yang magersari bermula dari konsep dalam pasal 18 B ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undangundang.” Dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang mengatakan bahwa “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial". Namun terbitnya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 membuat Kraton Surakarta hampir tak mempunyai wilayah lagi hanya wilayah tempat bangunan “Kedaton/Istana Karaton Surakarta Hadiningrat” di
wilayah
Baluwarti
sekarang.
Amanat
undang-undang
yang
mengutamakan kepentingan rakyat akhirnya harus terkikis dengan kepentingan-kepentingan inventasi dan komersial yang menguntungkan segelintir kelompok sehingga kepentingan rakyat banyak yang harus seharusnya memperoleh prioritas utama akhirnya menjadi terabaikan. commit user Status dan Pengelolaan Kraton Adanya Keppres No. 23 Tahun 1988totentang
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Surakarta mengembalikan hak milik atas tanah yang dimiliki Kraton Surakarta yang pernah dihapus dan dikuasai Negara. Khusus yang mengabdi kepada kraton dan menjadi abdi dalem yang oleh Kraton Surakarta Hadiningrat diperbolehkan menempati tanah kraton tersebut dengan aturan-aturan tertentu, sedang yang mengabdi kepada pejabat kraton maupun keluarga karaton diperbolehkan tinggal dengan sistem magersari. Bahwa dalam pelaksanaannya adanya magersari seharusnya ditempati para keluarga keraton atau abdi dalam. Tetapi dalam pelaksanaannya orang-orang umum bisa menempati takut tidak ada rasa keadilan dan mungkin terjadi kesewenang-wenangan. Dalam hal ini perlu adanya aspek hukum agar adanya kedudukan hukum magersari dalam sistem hukum nasional dan implikasi sistem hukum nasional tersebut terhadap Keraton Surakarta selaku pemilik tanah dan orang yang berkedudukan sebagai magersari.
commit to user
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis dapat membuat suatu kerangka pemikiran yang diwujudkan dalam skema sebagai berikut : Status Hukum 1. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 interpretasi
2. UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria 3. PP No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai 4. Keputusan Priseden No 23 Tahun 1988 tentang Status dan Pengelolaan Keraton Surakarta di Kelurahan Baluwarti Kota Surakarta
Fakta Hukum: Tanah Keraton Surakarta 1. Kedudukan hukum tanah nasional 2. Kedudukan hukum pemilik tanah dengan pemegang magersari
Peristiwa yang terjadi : 1. Ketidakpastian aturan mengenai status hukum magersari 2. Kesewenang-wenangan
Kepastian aturan hukum magersari dan implikasinya terhadap Keraton Surakarta dan orang yang magersari
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kedudukan Hukum Magersari Dalam Sistem Hukum Nasional 1. Sebelum Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Tanah sebagai pengertian geologis-agronomis, tanah adalah lapisan lepas permukaan bumi yang paling atas. Tanah yang dimanfaatkan untuk menanami tumbuh-tumbuhan disebut tanah garapan, tanah pekarangan, tanah pertanian dan tanah perkebunan. Sedangkan yang digunakan untuk mendirikan bangunan dinamakan tanah bangunan. Menurut Herma Yulis dalam Achmad Rubaeie, tanah mempunyai arti penting karena mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan capital asset. Sebagai social asset, tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat Indonesia untuk hidup dan kehidupan, sedangkan sebagai capital asset tanah merupakan faktor modal dalam pembangunan dan tanah telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi (Achmad Rubaeie, 2007:1). Dalam perspektif sejarah pertanahan di Indonesia, pada masa swapraja, Kerajaan tradisional Keraton Surakarta Hadiningrat merupakan salah satu kerajaan jawa yang memiliki pengaturan hak atas tanah dengan pola pengklasifikasian yang unik dalam konsep kerajaan jawa pada jaman swapraja. Keunikan pola pengklasifikasian dalam pengaturan hak atas tanah tersebut dapat dilihat dari adanya bermacam-macam jenis hak atas tanah. Di Keraton Surakarta, perkembangan hak atas tanah dapat dibagi menjadi 3 (tiga) periode (Sugianto Patmo, dalam J. Sembiring, 2006:21-22): a. Masa “Apanage Stelsel” sampai masa “Reorganisasi Kompleks” tahun 1917; b. Masa setelah “Reorganisasi Kompleks” sampai masa Rijksbladen tahun 1938; commit to user c. Masa setelah Rijksbladen tahun 1938 sampai masa lahirnya UUPA.
40
perpustakaan.uns.ac.id
41 digilib.uns.ac.id
Pada masa pertama penguasaan tetinggi atas tanah ada ditangan Sunan. Secara umum tanah pada waktu itu dapat dibagi 2 (dua), yaitu: a. Tanah yang langsung dikuasai oleh Raja yang disebut dengan tanah ampilan dalem; b. Tanah yang tidak langsung dikuasai oleh Raja, yang disebut dengan tanah kejawen. Perubahan mendasar pada masa kedua adalah bahwa kekuasaan tertinggi atas tanah bukan lagi raja pribadi, tetapi negara atau lebih tegas lagi, kekuasaan tertinggi atas tanah ada ditangan Pemerintah Keraton. Selain itu dibentuk pula kelurahan secara bertahap, dan atas tanah-tanah yang ada dalam wewengkon-nya desa mempunyai hak pakai untuk selama-lamanya kaparingake gumaduh ing salawas-lawase. Pada masa ketiga, berdasarkan Rijksbladen No.10 Tahun 1938
kepada desa
diberikan hak anggaduh atas seluruh tanah yang ada di dalam wewengkonnya yang tercatat di dalam Daftar Desa. Didaerah Keraton Surakarta, tanda bukti hak yang dipunyai disebut Pikukuh. Hak-hak atas tanah yang pernah diberikan oleh pihak Keraton Surakarta seperti yang tercantum dalam Rijksblad SurakartaNo. 9 Tahun 1938 sebagaimana yang dikutip oleh Bambang Hardiyanto (1997:11) adalah: a. Wewenang Anggaduh,yaitu hak atas tanah yang diberikan kepada rakyat swapraja. b. Wewenang Anggaduh Run Temurun,yaitu hak atas tanah yang diberikan kepada rakyat swapraja secara turun temurun, tetapi sewaktu-waktu dapat diambil oleh pihak keraton. c. Tanah Lungguh, yaitu hak atas tanah yang diberikan sebagai gaji kepada Abdi Dalem, Lurah Desa beserta bawahannya. Tanah ini dikenakan landrente. d. Tanah Pituwas, yaitu hak atas tanah yang diberikan kepada Lurah beserta bawahannya yang sudah pensiun. Yang apabila Lurah atau commit to user
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bawahannya tersebut meninggal dunia, maka tanah tersebut kembali ke kas desa. Tanah ini tidak dikenakan pajak. e. Tanah Kas Desa, yaitu keseluruhan tanah sawah dan tegalan serta tanah pekarangan yang bukan untuk Lungguh, Pituwas, dan bukan untuk diberikan secara run temurun. Tanah kas desa diberikan untuk keperluan penghasilan desa. Tanah ini dikenakan pajak bumi (landrente). Keraton Surakarta menguasai dan memiliki tanah-tanah yang berada di dalam tembok keraton maupun yang berada di luar tembok keraton.
Tanah-tanah yang berada di luar tembok keraton, selain
diberikan kepada masyarakat untuk dipergunakan, ada juga yang langsung dimanfaatkan
atau dipergunakan oleh raja beserta
keluarganya. Berdasarkan peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda yang disebut Rijkblad Surakarta Nomor 13 Tahun 1938 yang menyebutkan bahwa tanah-tanah milik Keraton Surakarta diukur, dipeta tanda (tenger) dan dicatat dalam buku Kadaster Jawa. Bentuk tanda (tenger) yang diatur dalam konsep pengaturan tersebut dapat berupa tugu beton (terbuat dari beton), tugu batu (terbuat dari batu) dan dapat pula berupa berumbungan besi. Status tanah Karaton Surakarta Hadiningrat sebelum kemerdekaan Indonesia, di bagi dalam lima kelompok: a. Domein Recht Karaton Surakarta (DRS) Merupakan tanah keraton yang statusnya di bawah kekuasaan Keraton Surakarta yang tersebar di wilayah kekuasaan Keraton Surakarta. b. Domein Keraton Surakarta (DKS) Merupakan tanah yang menjadi milik Keraton Surakarta, misalnya Alun-Alun Utara, Alun-Alun Selatan, dan Baluwarti. c. Sunan Grond (SG), yaitu tanah yang menjadi milik Sunan. d. Tanah Leluhur commit to user
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Merupakan tanah yang merupakan warisan dari Sinuhun Pakubuwono yang pernah memerintah sebelumnya. Misal tanah pesanggrahan, petilasan-petilasan, dan makam-makam. e. Tanah Recht Van Eigendom (RVE) Merupakan tanah milik Keraton Surakarta yang disewakan, misalnya kepada
Belanda
dan
Isbandiyah, Kebijakan
pengusaha Keraton
perkebunan.
Surakarta
(GRA.
Hadiningrat
Koes Dalam
Pengelolaan tanah dan bangunan setelah Keputusan Presiden Nomor 23 tahun 1988 tentang status dan pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta di kelurahan Baluwerti. Suatu Tesis. 2008. hal. 114.) Apabila status tanah diatas dan dihubungkan dengan kondisi Baluwarti sekarang maka: a. Untuk tanah paringan dalem berubah menjadi tanah anggadhuh. b. Tanah palilah anggadhuh turun temurun berubah menjadi tanah anggadhuh dengan batas waktu tiga tahun. c. Tanah palilah anggadhuh berubah menjadi tanah anggadhuh dengan batas waktu tiga tahun. d. Tanah palilah magersari berubah menjadi tanah magersari dengan batas waktu tiga tahun. Menurut Umar S Kusumaharyono, sejak Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 pemerintah Kasunanan berakhir, namun dalam lingkungan Keraton Surakarta masih terselenggara suatu pemerintahan intern keraton yang disebut “Parentah Keraton Surakarta”, kemudian timbul perbedaan pendapat antara pemerintah Republik Indonesia dengan Parentah Keraton Surakarta mengenai hak atas tanah milik Parentah Keraton Surakarta yang dapat beralih dan tidak dapat beralih kepada pemerintah Republik Indonesia. Perbedaan pendapat tersebut dapat terlihat dari kutipan surat Kementerian Dalam Negeri yang ditujukan kepada Gubernur Jawa Tengah di Semarang, No.Des X/48/1/30 tertanggal 29 Oktober 1956, perihal tanah Keraton Surakarta (di Baluwarti). Di dalam surat tersebut Menteri Dalam commit anggapan to user Parentah Keraton Surakarta Negeri tidak dapat menyetujui
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tentang adanya tiga macam milik pada masa swapraja. Parentah Keraton Surakarta menganggap ada tiga macam milik, yaitu : a. Milik Kasunanan b. Milik Keraton c. Milik Sunan Prive Parentah Keraton Surakarta berpendapat bahwa setelah Negara Indonesia merdeka, hanya milik Keraton Kasunanan Surakarta (Rijk Surakarta) saja yang beralih kepada kekuasaan Negara Republik Indonesia. Tanah magersari yang termasuk tanah “milik” Keraton, sehingga pengurusannya tidak termasuk kekuasaan pemerintah Kota Surakarta. Sementara Menteri Dalam Negeri pada saat itu berpendapat bahwa berdasarkan kontrak politik Kasunanan (L.N. 1939 Nomor 614) Pasal 10 serta penjelasannya, dalam Pasal 10 ayat (1) mencantumkan perincian yang termasuk Bezitting Van Soenansat (Hak Milik Kasunanan) yang merupakan milik pribadi Soesoehoenan. Sehingga hanya terdapat 2 macam milik yaitu Milik Kasunanan dan milik Sunan prive. Gedunggedung serta tanah-tanah disekelilingnya (tanah-tanah yang pada hakikatnya disebut dengan “magersari” termasuk barang-barang milik Keraton Surakarta. Dengan demikian maka dapat disimpulkan menurut Menteri
Dalam
Negeri,
gedung-gedung
istana
dan
tanah-tanah
disekelilingnya termasuk kekuasaan Negara RI, sehingga tanah magersari yang berada di kelurahan Baluwarti adalah tanah negara. 2. Setelah Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia, khususnya pembentukan hukum nasional tentang tanah, didasarkan atas Hukum adat TAP MPR No.2 Tahun 1960 pasal 4 ayat (3). Negara Republik Indonesia merupakan Negara agraris, tidak mengherankan apabila pembangunan di bidang agraria menduduki tempat yang penting dan urgent. Urgent ini disebabkan karena pada jaman penjajahan, hukum agraria Indonesia commit to user bersifat pluralistis, dan kurang memberikan jaminan akan “kepastian
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hukum” yang dapat menghambat atau
merintangi kesatuan bangsa
Indonesia. Secara konstitusional UUD Negara Republik Indonesia 1945 memberikan landasan yang tercantum dalam pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang berbunyi : “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dengan menimbang bahwa di dalam Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya, perekonomiannya masih bercorak agraris, dengan adanya bumi, air dan ruang angkasa sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai arti sangat penting untuk membangun masyarakat adil dan makmur. Dengan demikian Negara yang menguasai bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, akan menjadi tumpuan harapan bagi masyarakat untuk melangsungkan kehidupannya. Peraturan yang tertulis ini dimaksudkan agar setiap orang dengan lebih mudah mengetahui hukum yang berlaku dan wewenang apa serta kewajiban apa yang harus dipenuhi oleh setiap warga masyarakat yang bersangkutan dengan tanah miliknya. Sedangkan penyelenggaraan pendaftaran tanah yang efisien dan effektif bertujuan supaya para pemilik tanah dengan mudah membuktikan hak atas tanah yang dimilikinya. Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) lahir pada tahun 1960, tepatnya pada tanggal 24 September 1960. Ide pembentukan UUPA lahir karena aspek persatuan dan keseragaman bagi setiap warga Negara. Hukum
adat
yang
berlaku
sebelumya
dirasakan
kurang
bisa
mengintegrasikan masyarakat sebagai satu kesatuan nasional. Dengan berlakunya UUPA maka telah terjadi apa yang dinamakan dengan revolusi hukum agrarian. Karena dengan undang-undang telah terjadi perombakan cepat yang fundamental dan menyeluruh dalam hukum agrarian Indonesia. Kedudukan UUPA adalah sebagai hukum agrarian nasional yang tidak bersifat dualistis, namun berdasarkan pada hukum adat sebagai hukum asli commit to user Indonesia.
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Selanjutnya salah satu tujuan pokok pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria tersebut adalah untuk menjamin kepastian akan tanah-tanah rakyat, yaitu : a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum Agraria Nasional yang merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagian dan keadaan bagi negara dan rakyat terutama rakyat tani dalam rangka mewujutkan masyarakat adil dan makmur. b. Meletakkan
dasar-dasar
untuk
mengadakan
kesatuan
dan
kesederhanaan dalam hukum pertanahan. c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Negara mewajibkan untuk mengatur pemilikan tanah dan penggunaannya,
hingga
semua
tanah
diseluruh
wilayah
Bangsa
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong. Hal ini diperkuat dengan dasar hukum yaitu UU No.5 Tahun 1960 UUPA Bab 1 mengenai Dasardasar dan ketentuan-ketentuan pokok pasal 2 ayat (1) dan (2) yang berbunyi : 1. Atas dasar, ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi di kuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. 2. Hak menguasai dari Negara yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk : a. Mengatur
dan
menyelenggarakan
peruntukan,
penggunaan,
persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa. b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
47 digilib.uns.ac.id
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Unifikasi hukum tanah dalam UUPA melembagakan hak-hak atas tanah sebagai berikut : a. Hak bangsa yaitu seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. (Pasal 1 ayat (2)); b. Hak menguasai dari negara yaitu bahwa atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.(Pasal 2 ayat (1)); c. Hak ulayat yaitu bahwa hak menguasai dari negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional menurut ketentuanketentuan Peraturan pemerintah. (Pasal 2 ayat (4)); d. Hak-hak perorangan (Pasal 16), terdiri dari : 1). Hak milik, 2). Hak guna usaha, 3). Hak guna bangunan, 4). Hak pakai, 5). Hak sewa, 6). Hak membuka tanah, 7). Hak memungut hasil hutan, 8). Hak-hak lain yang tidak termasuk hak tersebut di atas yang ditetapkan dengan UU dan hak-hak yang bersifat sementara sesuai commit to user
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pasal 53. (Sesuai dengan Pasal 10, maka pengertian perorangan adalah orang dan badan hukum). e. Hak Tanggungan (UU Nomor 4 Tahun 1996); Adanya UU No. 5 Tahun 1960 atau UUPA memberikan kepastian hukum tanah yang dualisme dan pluralisme hukum agraria di Negara Indonesia dan yang ada hanya hukum agraria yang bersifat nasional, yang didasarkan atas satu sistem hukum saja, yaitu sistem hukum seperti yang tercantum dalam UUPA yang pada hakekatnya UUPA tersebut bersumber atas hukum asli Indonesia, yaitu hukum Adat. Pengertian hukum adat dalam hal ini hukum adat yang bersifat dinamis. Segala sesuatu yang mengalami perubahan kearah penyempurnaan yang mengacu pada kepentingan yang lebih luas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka keberadaan hak ulayat masyarakat hukum Adat dari waktu ke waktu semakin mengalami penyempitan, bahkan tertutup kemungkinan menjurus kearah hapusnya hak tersebut dari khasanah hukum adat. Ada beberapa faktor yang menyebabkan semakin cepatnya proses pemudaran hak-hak masyarakat hukum Adat di Jawa Tengah, antara lain : a. Pengaruh lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan Undang-Undang
Pokok
Kehutanan
(UUPK)
serta
peraturan
pelaksanaan ke dua undang-undang tersebut. b. Paradigma perubahan sosial dan era globalisasi, dan c. Adanya pembatasan-pembatasan yang diserahkan oleh Negara yaitu kawasan-kawasan hutan tertentu kepada perorangan atau badan hukum untuk dikelola atau dieksploitasi. Mengenai eksistensi hukum adat di daerah Surakarta, Jawa Tengah dalam kaitannya dengan politik hukum nasional dan pembinaan hukum itu sendiri. Menurut H. Abdurachman : hukum adat di daerah Surakarta termasuk hukum yang hidup (the living law), sehingga pada dasarnya kedudukannya ditentukan sepenuhnya oleh masyarakat di mana hukum itu berlaku. Bila mana masyarakat menyatakan hukum yang bersangkutan user masih relevan, mereka commit akan tomempertahankannya apabila mereka
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menganggap sudah tidak relevan lagi maka hukum tersebut dengan sendirinya akan terkesampingkan. Perkembangan
zaman
sekarang
harus
menyadari
bahwa
masyarakat juga hidup dalam suatu ikatan kenegaraan di mana negara juga mempunyai politik hukum yang sifatnya nasional yang dalam beberapa kasus tertentu mungkin berbeda dengan ketentuan hukum Adat yang berlaku secara lokal politik hukum negara yang dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, berperan mengarahkan perkembangan ketentuan hukum yang berlaku termasuk ketentuan hukum adat yang berlaku secara lokal harus menyesuaikan diri dengan ketentuan-ketentuan tersebut. Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum nasional yang menuju kepada unifikasi hukum dan terutama dilakukan melalui pembuatan
peraturan-peraturan
perundang-undangan,
dengan
tidak
mengabaikan timbul atau tumbuh dan berkembangnya hukum kebiasaan dan pengadilan dalam pembinaan hukum. Pengambilan bahan-bahan dari hukum adat dalam menyusun hukum nasional pada dasarnya berarti penggunaan konsepsi-konsepsi dan asas-asas hukum dari hukum Adat untuk dirumuskan dalam norma-norma hukum yang memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini dan masa mendatang dalam rangka pembangunan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penggunaan lembaga-lembaga hukum Adat yang dimodernisir dan disesuaikan dengan kebutuhan zaman tanpa menghilangkan cirri dan sifat kepribadian Indonesia. Dalam memasukkan konsep-konsep dan asas-asas hukum Adat ke dalam lembaga hukum baru dan lembaga-lembaga hukum asing yang dipergunakan untuk memperkaya dan memperkembangkan hukum nasional agar tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Permasalahan mengenai commithukum to useradat memang penting seperti apa pertanahan jika dikaitan dalam
perpustakaan.uns.ac.id
50 digilib.uns.ac.id
yang dikemuakan Robert Garran dalam tulisannya “Making Land Work” menyatakan : Statutory recognition of customary law is critical because customary governance systems are currently fulfilling a gap in state administration; in many countries, the customary leaders are the only "local authorities" that the poor have genuine access to. As such, many are already fulfilling the roles of community administrator, judge, land allocator and property registrar. While in some contexts these leaders are despotic, unjust or corrupt, in other contexts they do a fairly good job of resolving conflicts and maintaining peace and equanimity in their communities. For those leaders that govern in bad faith, better integration into the state administrative system can help to limit the injustices they perpetuate, and for those leaders that govern well, their efforts can help to streamline the two legal systems into a more coherent whole. Rather than marginalize customary governance structures on the grounds that they are outdated or oppressive, governments should identify and leverage the best parts of custom and integrate customary systems as partners in effective, decentralized local governance.( Robert Garran, 2008 : 75). Terbentuknya hukum nasional yang mengandung unsur-unsur hukum adat, maka kedudukan dan peranan hukum adat itu telah terserap di dalam hukum nasional. Mengenai pengertian hukum nasional menurut Sunaryati Hartono menjelaskan : “ Pengertian hukum nasional dipakai dalam arti yang berbeda dengan pengertian hukum positif, tetapi lebih mengandung arti ius constituendum Indonesia atau sistem hukum yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia yang memplokamirkan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Karena suatu sistem selalu terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang saling berkaitan dan pengaruh mempengaruhi lagi pula terikat oleh satu atau beberapa asas tertentu, maka sistem hukum terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang sebagian saat ini sudah berfungsi tetapi sebagian besar masih harus diciptakan. Memahami sistem hukum nasional dalam prespektif politik hukum nasional maka berlakulah hukum adat disamping hukum nasional yang merupakan persoalan tersendiri yang tidak sederhana sebab dalam konsep negara kesatuan maka diperlukan hanya satu sistem hukum yang berlaku secara nasional. Dalam politik hukum diupayakan secara berangsur-angsur commit to user hukum adat diserap ke dalam sistem hukum nasional atau lebih tegas lagi
perpustakaan.uns.ac.id
51 digilib.uns.ac.id
ke dalam hukum positif yang tertulis dalam hal ini peraturan perundangundangan. Adanya UU No. 5 Tahun 1960 atau UUPA memberikan kepastian hukum tanah yang dualisme dan pluralisme hukum agraria di Negara Indonesia dan yang ada hanya hukum agraria yang bersifat nasional, yang didasarkan atas satu sistem hukum saja, yaitu sistem hukum seperti yang tercantum dalam UUPA. Pelaksanaan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria keadaan menunjukkan masih terdapat kendala, khususnya yang berkaitan dengan tanah-tanah swapraja atau bekas swapraja. Dalam hal ini, Parentah Keraton Surakarta secara de facto masih berdiri, sementara peraturan pemerintah yang berkaitan dengan tanah swapraja dan tanah-tanah bekas swapraja sebagaimana dimaksud dalam dictum keempat UUPA hingga saat ini belum ada sehingga perbedaan pendapat antara Parentah Keraton Surakarta dan Pemerintah Republik Indonesia mengenai tanah milik Keraton Surakarta yang dapat beralih dan tidak dapat beralih kepadaa pemerintah masih terjadi. Menurut Umar S Kusumaharyono, sejak Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 pemerintah Kasunanan berakhir, namun dalam lingkungan Keraton Surakarta masih terselenggara suatu pemerintahan intern keraton yang disebut “Parentah Keraton Surakarta”, kemudian timbul perbedaan pendapat antara pemerintah Republik Indonesia dengan Parentah Keraton Surakarta mengenai hak atas tanah milik Parentah Keraton Surakarta yang dapat beralih dan tidak dapat beralih kepada pemerintah Republik Indonesia. Perbedaan pendapat tersebut dapat terlihat dari kutipan surat Kementerian Dalam Negeri yang ditujukan kepada Gubernur Jawa Tengah di Semarang, No.Des X/48/1/30 tertanggal 29 Oktober 1956, perihal tanah Keraton Surakarta (di Baluwarti). Di dalam surat tersebut Menteri Dalam Negeri tidak dapat menyetujui anggapan Parentah Keraton Surakarta tentang adanya tiga macam milik pada masa swapraja. Parentah Keraton to usermilik, yaitu : Surakarta menganggap adacommit tiga macam
52 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Milik Kasunanan b. Milik Keraton c. Milik Sunan Prive Parentah Keraton Surakarta berpendapat bahwa setelah Negara Indonesia merdeka, hanya milik Keraton Kasunanan Surakarta (Rijk Surakarta) saja yang beralih kepada kekuasaan Negara Republik Indonesia. Tanah magersari yang keberadaannya berada di kelurahan Baluwarti termasuk tanah “milik” Keraton, sehingga pengurusannya tidak termasuk kekuasaan pemerintah Kota Surakarta. Sementara Menteri Dalam Negeri pada saat itu berpendapat bahwa berdasarkan kontrak politik Kasunanan (L.N. 1939 Nomor 614) Pasal 10 serta penjelasannya, dalam Pasal 10 ayat (1) mencantumkan perincian yang termasuk Bezitting Van Soenansat (Hak Milik Kasunanan) yang merupakan milik pribadi Soesoehoenan. Sehingga hanya terdapat 2 macam milik yaitu Milik Kasunanan dan milik Sunan prive. Gedung-gedung serta tanah-tanah disekelilingnya (tanah-tanah yang pada hakikatnya disebut dengan “magersari” termasuk barang-barang milik Keraton Surakarta. Dengan demikian maka dapat disimpulkan menurut Menteri Dalam Negeri, gedung-gedung
istana
dan
tanah-tanah
disekelilingnya
termasuk
kekuasaan Negara RI, sehingga tanah magersari yang berada di kelurahan Baluwarti adalah tanah negara. 3 Hak Pengelolaan Tanah dan Bangunan Keraton Surakarta Hak
pengelolaan
tanah
dan
bangunan
Keraton
Surakarta
Hadiningrat timbul, karena keluarnya Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1988 tentang Status dan Pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta. Keppres ini membalikkan pemilikan tanah dan bangunan yang dulunya dikuasai oleh Pemerintah Daerah Surakarta. Pasca keluarnya Keppres, tanah dan bangunan itu kembali dimiliki oleh Keraton Surakarta Hadiningrat. Terhadap tanah dan bangunan agar tetap lestari dan tidak commit user punah, tentunya dibutuhkan suatu to pengelolaan.
perpustakaan.uns.ac.id
53 digilib.uns.ac.id
Hak pengelolaan yang dimiliki oleh Keraton Surakarta Hadiningrat terkait dengan Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1988 tentang Status dan Pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta adalah: a. Hak atas tanah dan bangunan Keraton Surakarta Hadiningrat berikut segala kelengkapannya yang terdapat didalamnya adalah milik Keraton Surakarta Hadiningrat yang perlu dilestarikan sebagai peninggalan budaya bangsa, termasuk Masjid Agung dan Alun-Alun, yaitu AlunAlun Utara dan Alun-Alun Selatan. b. Hak untuk menggunakan bangunan untuk keperluan adat Keraton Surakarta Hadiningrat. c. Hak untuk melakukan pengelolaan dalam rangka pariwisata. d. Hak untuk menetapkan besarnya pungutan, tata cara pemungutan, pengelolaan, dan penggunaan dana hasil pungutan. Setelah keluarnya Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1988 tentang Status dan Pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta, sebenarnya memberikan peluang kepada Keraton Surakarta untuk kembali menguasai dan memiliki aset-aset yang telah hilang, sebab Keppres itu memberikan wewenang untuk memiliki kepada Karaton Surakarta. Dalam pasal 1 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1988 menyebutkan bahwa “Tanah dan Bangunan Keraton Surakarta berikut segala kelengkapannya yang terdapat didalamnya adalah milik Keraton Kasunanan Surakarta yang erlu dilestarikan sebagai peninggalan budaya bangsa”. Namun, menimbulkan polemik tersendiri bagi masyarakat yang menempati kawasan Baluwarti, yakni apakah tanah dan bangunan Keraton yang dimaksud pasal 1 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1988 tersebut hanya tanah dan bangunan yang terdapat didalam lingkungan keraton atau meliputi seluruh bangunan yang terdapat dalam kawasan Baluwarti. Benturan kepentingan mengakibatkan pihak keluarga Keraton Surakarta yang ingin melestarikan warisan budaya leluhur dan kepentingan masyarakat penduduk Baluwarti yang mayoritas merupakan commit to user keturunan para abdi dalem Keraton Surakarta yang telah secara turun
perpustakaan.uns.ac.id
54 digilib.uns.ac.id
temurun menempati kawasan Baluwarti tersebut sehingga menginginkan adanya jaminan kepastian hukum dengan mendapatkan kejalasan status hak atas tanah yang dikuasainya. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1988 tentang Status dan Pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta itu sebenarnya membuat Karaton Surakarta senang, tapi kebingungan terletak pada masyarakat Baluwarti yang menganggap ini merupakan tanah Negara dan tanah nenek moyang mereka. Sehingga banyak tanah dan bangunan yang sebenarnya milik Karaton Surakarta tanah magersari dan karena adanya pengelolaan sebelumnya yang meletakkan tanah dan bangunan yang sebenarnya milik keraton dijadikan aset negara yang memungkinkan adanya pengurusan pendaftaran hak milik secara pribadi terhadap tanah dan bangunan yang ditempati oleh warga, telah berubah dimiliki oleh pribadi atau badan hukum. Pengelolaan oleh Karaton Surakarta sendiri sebenarnya sudah sejak lama sekali terjadi atau sebelum Indonesia merdeka. Pengelolaan asset berupa tanah dan bangunan yang dimilikinya dengan cara masih sederhana. Sederhana dalam arti karena Keraton Surakarta Hadiningrat masih mempunyai kekuasaan politik yang kuat dan warga yang patuh pada Raja/Sunan, maka pencatatan pun hanya sekedar dicatat atau diberikan kepada orang yang mengabdi dan mempunyai jasa kepada Karaton Surakarta Hadiningrat. Pengumuman pemberian tanah magersari dan bangunan kepada seseorang yang berjasa kepada keraton itu diumumkan pada semacam lembaran negara/lembaran keraton, jadi bentuknya seperti pengundangan undang-undang di era sekarang. Pengelolaan tanah dan bangunan sejak dimulai adanya Keppres itu berada di tangan Pengageng Parentah Keraton Surakarta Hadiningrat. Namun sejak pemerintahan Paku Buwono XIII pengelolaan tanah dan bangunan berada di Pengageng Pasiten. Dalam memenuhi tertib administrasi pengelolaan tanah dan bangunan, Keraton Surakarta Hadiningrat mengeluarkan palilah yang diberi nama Palilah Griya commitini to user Pasiten. Sampai sekarang Keraton Surakarta Hadiningrat
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengeluarkan Palilah Griya Pasiten dengan bermacam-macam titel, yaitu Palilah Griya Pasiten dengan titel hak anggadhuh, Palilah Griya Pasiten dengan titel hak magersari, dan Palilah Griya Pasiten dengan titel hak tenggan, serta perjanjian kontrak. B. Implikasi Sistem Hukum Nasional Terhadap Keraton Surakarta Selaku Pemilik Tanah dan Orang Yang Berkedudukan Sebagai Magersari 1.
Status Magersari Dengan Berlakunya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria. Berlakukannya UUPA meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam mengatur hukum tanah dan sedapat mungkin menghilangkan sifat dualisme sehingga kesatuan hukum dapat terwujud. Bukti dari masih diperlakukannya Hukum Adat sebagai norma hukum dalam Hukum Tanah Nasional terdapat dalam Pasal 5 UUPA yang menyatakan bahwa hukum Agraria yang berlaku saat ini adalah Hukum
Adat.
Pembatasan-pembatasan
dilakukan
dalam
rangka
penyempurnaan UUPA sedapat mungkin tidak menghilangkan hukum adat. Berdasarkan ketentuan Diktum Keempat UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ( UUPA), maka hak keraton Surakarta atas tanah Kasunanan, yang terdiri dari Domein Rijks Surakarta (DRS), Domein Keraton Surakarta (DKS), Sunan grond (SG), tanah leluhur, dan tanah serta bangunan aset Keraton Surakarta yang disewa Belanda. Hanya tanah Domein Rijks Surakarta (DRS) yang sejak berlakunya UUPA menjadi hak milik negara, sedangkan yang lain tetap milik Keraton Surakarta, karena menurut diktum keempat UUPA, setelah berlakunya UUPA tanah swapraja menjadi tanah negara dan hanya tanah Domein Rijks Surakarta (DRS) yang dikuasai oleh rijk kasunanan (swapraja Surakarta). Dalam hal ini tanah magersari merupakan kawasan di daerah Baluwarti sehingga termasuk tanah DKS. Selama ini pemerintah commit to user
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
keliru meneterjemahkan status tanah Keraton Surakarta, semua tanah yang berkaitan dengan Keraton langsung menjadi milik negara. Tanah Baluwarti merupakan tanah milik Sri Susuhunan, dimana pengelolaannya didelegasikan kepada parentah Keraton Surakarta. Wewenang parentah Keraton Surakarta terhadap tanah Baluwarti adalah : a. Mengatur dan mengawasi penggunaan tanah. b. Menggunakan tanah untuk keperluan parentah Keraton Surakarta dalam melaksanakan tugasnya. c. Memberikan sebagian tanah kepada pihak ketiga dengan hak magersari, hak anggaduh, hak sewa atas bangunan, dan nenggo. d. Memberikan uang wajib tahunan dan uang sewa. Hak yang terdapat dalam parentah Keraton Surakarta terhadap tanah Baluwarti, antara lain : a. Hak Magersari adalah hak yang member wewenang kepada abdi dalem untuk mendirikan dan mempunyai rumah di atas tanah pamijem Keraton, dengan jangka waktu 3 (tiga) tahun. b. Hak Anggaduh adalah hak yang member wewenang kepada sentono dan abdi dalem tingkat tinggi untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah pamijem Keraton untuk jangka waktu yang tidak terbatas, selama tanahnya dipergunakan untuk tempat tinggal. c. Hak sewa Atas Bangunan (kontrak) adalah hak abdi dalem untuk menempati ruang atau bangunan yang digunakan untuk rumah tangga, dengan membayar sejumlah uang kepada parentah Keraton Surakarta sebagai sewa untuk jangka waktu tertentu. d. Nenggo adalah hak yang member wewenang kepada sentono untuk menempati bangunan di atas tanah pamijem Keraton dengan jangka waktu 3 (tiga) tahun. (Lego Karjoko, 2009 :45,46) Keraton
Surakarta
memiliki
sejumlah
besar
aset
tanah
berklasifikasi tanah magersari yang tersebar di berbagai tempat. Tanah milik raja pribadi ini, seharusnya tak dapat semena-mena diambil alih hak commit to user kepemilikannya begitu saja. Namun faktanya, tanah magersari termasuk,
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pesanggrahan-pesanggarahan dan tanah-tanah makam milik Kraton Surakarta Hadiningrat banyak yang berubah menjadi pemukiman padat penduduk. Karaton Surakarta Hadiningrat sendiri menyadari persoalan tanah merupakan masalah peka. Wilayah Kota Surakarta tidak mungkin diperluas tanpa harus berhadapan dengan pertambahan jumlah penduduk serta gelombang urbanisasi yang tidak tercegah. Akibatnya muncul semacam lapar lahan dalam masyarakat. Kecenderungan selama ini menunjukkan banyak areal yang terlihat kosong, tidak peduli milik siapa, diserobot tanpa izin menjadi pemukiman illegal (Much Bintang Arief Martoadi, Pelaksanaan Jual Beli Tanah Magersari Milik Kraton Surakarta Hadiningrat Di Desa Pesarean Kecamatan Adiwerna Kabupaten Tegal. Suatu Tesis. 2009 : hal 5). Peraturan UUPA masih belum cukup untuk mengatur keberadaan tanah magersari di Kota Surakarta sehingga kepastian hukumnya menjadi tidak jelas. Permasalahan lain yang berkaitan dengan keberadaan tanah magersari adalah adanya perbedaan persepsi mengenai keberadaan tanah magersari itu sendiri. Tanah magersari yang bebas dalam arti tidak sedang digunakan, tidak serta merta dapat diakui sebagai tanah negara. Hal ini membawa konsekuensi bagi pengaturan tanah magersari tidak bisa menggunakan peraturan pertanahan sesuai hukum positif. Secara yuridis, landasan hukum yang memayungi tanah Keraton Surakarta sebelumnya, yakni Reijkblad Surakarta Nomor 14 Tahun 1938. Namun tidak berlaku lagi sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria (UUPA). Pada kenyataannya, tanah yang diklaim sebagai tanah keraton adalah sangat luas dan meliputi tanah-tanah di wilayah Kota Surakarta. Tanah-tanah tersebut ada yang sudah bersertifikat hak milik walaupun masih banyak juga yang tidak bersertifikat. Untuk itu,berdasarkan data dan fakta sebelumnya, terdapat tanah-tanah yang masih dikuasai keraton dan tanahtanah
yang
sudah
oleh perseorangan.
bersertifikat secara commit to user
yuridis
dan
dipegang
perpustakaan.uns.ac.id
58 digilib.uns.ac.id
Dalam hukum pertanahan nasional, tanah Keraton, baik tanah magersari, tidak diatur secara pasti dan tegas dalam peraturan perundangundangan oleh pemerintah. Secara yuridis formal, berdasarkan UndangUndang No 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA), mengenai pengaturan tanah magersari dianggap tidak ada. Namun uniknya hanya tanah magersari saja yang dapat diberikan atau dibebani hak dan dapat dikuasai oleh pihak lain serta dapat diwariskan. Ada yang belum selesai sampai sekarang diperdebatkan di wilayah Baluwarti yakni mengenai status tanah Baluwarti sebagai tanah negara atau tanah milik Keraton Surakarta Hadiningrat. Karena status tanah yang jelas akan mempermudah pelaksanaan Palilah Griya Pasiten di lapangan. Menurut Bapak Slamet Rahardjo (salah satu penduduk Baluwarti): “di Baluwarti ini tidak semua penduduk mengakui kedudukan Keraton Surakarta Hadiningrat sebagai pemilik tanah yang sah. Pendapat yang menganggap bahwa ini tanah pemerintah adalah pendapat yang keliru, dan pada akhirnya malah akan dapat menghancurkan cagar budaya di wilayah Baluwarti Surakarta. Sebab apabila ada pendapat ini merupakan tanah negara maka akan terjadi penyerobotan atau pensertifikatan tanah oleh masyarakat.” Pendapat yang masih mendua juga membuat Keraton Surakarta Hadiningrat sedikit ragu, sebab apabila akan mulai pendataan akan muncul berita macam-macam di media massa. Mengutip pendapat KP. Edi Wirabhumi, selaku Ketua Lembaga Bantuan Hukum Keraton Surakarta Hadiningrat, menyatakan dengan tegas bahwa: “Sebenarnya hak pengelolaan keraton didasarkan kepada hak adat keraton atas tanah yang dipunyai karaton secara syah sejak berdirinya keraton, bahwa sejarah politik nasional sempat mempengaruhi politik agraria adalah hal yang wajar, tetapi sejarah politik juga berpengaruh pada posisi atau status tanah keraton. Dari sisi pengelolaan juga pasti sangat berpengaruh oleh perubahan tersebut. Keppres Nomor 23 tahun 1988 sebenarnya mengatur commit to user tentang pengelolaan keraton dimana untuk pengelolaan keraton dibentuk
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
badan pengelola keraton. Sejujurnya keppres dan badan pengelola keraton satu paket yang saling melengkapi, namun pada kenyataan badan pengelola tidak berjalan sebagaimana mestinya. Jadi pengelolaan tanah keraton seharusnya tidak terpengaruh oleh ketentuan di luar hukum adat.” Dengan melihat pendapat diatas, berarti tidak ada hambatan, apapun bentuknya. Tetapi di lapangan kondisinya berubah, banyak pendapat yang mengatakan tidak sebagaimana mestinya, misalnya tanah di Baluwarti, merupakan tanah negara. Kondisi ini juga berpengaruh pada kesadaran masyarakat untuk mendaftarkan pemilikan Palilah Griya Pasiten. Untuk memperoleh izin dalam hal menyewa atau memakai tanah keraton (magersari), terlebih dahulu harus meinta izin kepada Pengageng Pasinten merupakan lembaga adat yang mengurusi pertanahan Keraton Surakarta
yang meliputi
pengaturan
dan
perizinan.
Tanda
bukti
izin tersebut berupa pejanjian dikeluarkannya yang di dalamnya memuat klausul bahwa pemegang Magersari dilarang mendirikan bangunan permanen, tanah magersari tidak bisa diperjual belikan, dan bersedia mengembalikan tanah bila sewaktu-waktu diminta. Namun, perizinan dan syarat administrasi tetap tunduk pada aturan pemerintah setempat dalam hal ini Pemerintah Kota Surakarta walaupun untuk magersari tidak dimungkinkan mendapatkan sertifikat atas tanah tersebut. Apabila di lihat dari hukum pertanahan, Palilah Griya Pasiten mengenai magersari menganut asas pemisahan horizontal, berarti bendabenda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah menurut hukum bukan merupakan bagian tanah yang bersangkutan. Sehingga setiap perbuatan hukum mengenai hak atas tanah, tidak sendirinya meliputi benda-benda tersebut. Dalam penerapannya asas hukum ini tidak mutlak, melainkan selalu memperhatikan dan disesuaikan dengan perkembangan kenyataan dan kebutuhan dalam masyarakat yang dihadapinya. Atas dasar kenyataan sifat hukum adat itu, dalam rangka asas pemisahan horizontal tersebut, bahwa pembebanan hak tanggungan atas tanah, dimungkinkan pula commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
60 digilib.uns.ac.id
meliputi benda-benda sepanjang masih merupakan satu kesatuan dengan dengan tanah yang bersangkutan Dikaitkan dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, sebelum berlakunya UUPA, hak ulayat masyarakat hukum adat mencakup tanah-tanah di wilayah masyarakat hukum adat tersebut (desa, marga, hutan, dusun) yang meliputi tanah-tanah hak maupun tanah-tanah ulayat yaitu tanah-tanah yang belum dikuasai dan dipergunakan oleh warga setempat. Sejak berlakunya UUPA, sepanjang mengenai tanah-tanah hak secara yuridis dikonversi menjadi salah satu hak baru menurut UUPA, sedangkan terhadap tanah-tanah ulayat termasuk negara yang tercukup dalam lingkup hak bangsa Indonesia atas tanah. Hak ulayat merupakan seperangkat wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang ada dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan. Masyarakat hukum adat sebagai penjelmaan dari seluruh anggotanya yang mempunyai hak ulayat, bukan orang-perorangan. Hak ulayat ini disertai wewenang dan kewajiban yang bersifat perdata, yaitu berhubungan dengan hak bersama kepunyaan atas tanah tersebut dan bersifat publik, yaitu berupa tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur, dan memimpin peruntukan, pengusaan, penggunaan dan pemeliharaannya. Dalam perpustakaan hukum adat, hak ulayat disebut dengan nama “beschikkingsrecht”. Berdasarkan pasal 3 UUPA terhadap hak ulayat yang masih ada diakui eksistensinya oleh UUPA sepanjang hak ulayat itu masih hidup. Sementara itu pelaksanaannya dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan UUPA serta kepentingan pembangunan yang diselenggarakan dewasa ini. Sehingga untuk melindungi hak ulayat atau hak masyarakat hukum adat termasuk hak ulayat / tanah adat. Akan tetapi, apabila ditelaah kembali, terdapat ketidakjelasan dalam pengaturan-pengaturan mengenai hak ulayat (tanah adat) tersebut yang menimbulkan berbagai penafsiran yang tidak memadai dengan tujuan perlindungan tanah-tanah hak tersebut. Bahkan commit to user atas ketidak jelasan tersebut dalam impimentasinya ada kelemahan
61 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengabaikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat. Berdasarkan
peraturan
UUPA
pengaturan
mengenai
tanah
magersari milik Keraton memang tidak ada pengaturannya secara jelas. Sehingga apabila dikaitkan dalam hak-hak atas tanah magersari termasuk hak pakai karena penggunaan hak magersari dalam Keraton Surakarta hampir seperti pengaturan pada hak pakai dalam UUPA pengaturannya dapat ditemui dalam 4 (empat) pasal yaitu pasal 16, pasal 41, pasal 42, dan pasal 43 UU No 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria. Hak pakai merupakan hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang. Hak pakai dapat diberikan selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun dan pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasaan. Pengertian hak pakai tersebut menjelaskan ada beberapa kemiripan pengaturan hak magersari dalam Keraton Surakarta. Hak menggunakan dalam pengertian mempergunakan tanah (negara atau orang lain) adalah mendirikan bangunan diatasnya atau untuk kepentingan orang lain. Sedangkan memungut hasil adalah dalam pengertian untuk mendaftarkan suatu hasil. Berdasarkan ketentuan diatas, kewenangan privat yang terdapat pada tanah hak pakai adalah menggunakan dan memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau berdasarkan perjanjian pemilik Hak Milik dengan seorang. Sebenarnya hak pakai merupakan suatu “kumpulan pengertian” daripada hak-hak yang dikenal dalam hukum pertanahan dengan berbagai commit tosedikit user perbedaan berhubung dengan nama, yang semuanya dengan
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
keadaan daerah sedaerah, pada pokoknya memberi wewenang kepada yang mempunyai sebagai yang dimaksud dalam pasal ini. Dalam rangka usaha penyederhanaan sebagai yang dikemukakan dalam penjelasan umum, maka hak-hak tersebut dalam hukum agraria yang baru disebut dengan satu nama saja. Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa dalam Palilah Griya Pasiten mengenai
magersari
merupakan
tanah
milik
Keraton
Surakarta
Hadiningrat, sedangkan bangunan rumah milik yang menggadhuh atau magersari. Karena ada larangan dari pihak Keraton Surakarta Hadiningrat untuk memperjualbelikan atau menyewakan kepada pihak lain tanpa ijin dari Keraton Surakarta Hadiningrat. Maka di dalam praktek rumah itu banyak yang dijual kepada pihak lain, kemudian oleh pihak Keraton Surakarta Hadiningrat dibuatkan surat palilah baru atas nama pembeli rumah atau bangunan. Dalam Palilah Griya Pasiten hak magersari, Keraton Surakarta Hadiningrat melakukan penyerahan nyata, yakni yang menyewakan Keraton Surakarta Hadiningrat harus melakukan tindakan pengosongan serta menentukan tanah mana yang akan di sewa. Hal ini juga terjadi dalam perjanjian sewa menyewa, pihak yang menyewakan wajib melakukan penyerahan nyata, dari padanya tidak bisa dituntut penyerahan yuridis. Hal ini telah sesuai dengan kedudukan penyewa sebagai pemilik, dan tidak perlu sebagai bezitter. Karena itu tidak diperlukan penyerahan yuridis. Cukup dengan jalan menyerahkan barang di bawah penguasaan si penyewa. Selain itu pihak yang menyewakan harus juga memberikan tanah yang disewakan dalam keadaan baik dan diwajibkan pula memberi ketentraman kepada si penyewa menikmati barang, selama perjanjian berlangsung. Pihak pemakai tanah magersari harus menjaga kondisi tanah itu tetap baik dan terawat sampai berakhirnya perjanjian sewa menyewa antara Karaton Surakarta Hadiningrat dan pihak yang menggunakan tanah commit to menyewa user magersari. Adanya perjanjian sewa menjadikan tanah magersari
63 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
apakah termasuk hak atas tanah golongan hak sewa untuk bangunan atau hak pakai seperti yang diatur dalam UUPA. Dalam hak sewa merupakan hak pakai yang mempunyai sifat-sifat khusus, maka disebut tersendiri untuk bangunan-bangunan berhubung dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UUPA. Hak sewa pertanian hanya mempunyai sifat sementara (Pasal 16 jocto 53) UUPA. Negara tidak dapat menyewakan tanah karena negara bukan pemilik tanah. Berdasarkan fakta-fakta yang terjadi mengacu pada UUPA yang berideologi budaya hukum kekeluargaan dalam memaknai tanah magersari yang termasuk kawasan Baluwarti sebagai tanah negara. Sehingga Pemerintah Kota Surakarta mempunyai keinginan yang kuat atas penguasaan
tanah
magersari
yang
termasuk
kawasan
Baluwarti.
Berdasarkan pendapat Dean G Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, tingginya aspirasi Pemerintah Kota Surakarta atas hak atas tanah di kawasan Baluwarti yang termasuk tanah magersari disebabkan oleh pertama prestasi masa lalu Surat Mendagri Nomor Dox 48/1/30 tertanggal 29 Oktober 1956, perihal tanah Keraton Surakarta yang menyatakan bangunan dan tanah yang berada di Baluwarti dalam pengusaan Pemerintah Republik Indonesia. Surat Mendagri Nomor Dox 48/1/30 tertanggal 29 Oktober 1956 mendorong lahirnya Surat Walikota KDH Kotamadya Surakarta tanggal 3 Agustus 1967 Nomor 1515/T.6/VIII-67 tentang penggunaan atau pengurusan tanah negeri DKS daerah kelurahan Baluwarti. Berdasarkan SK Walikota tersebut, pengurusan tanah Baluwarti diserahkan kepada Dinas Penghasilan Daerah dan terhadap warga Baluwarti yang menggunakan tanah tersebut termasuk tanah magersari dianggap sebagai penyewa tanah kepada pemerintah daerah. Bagi penghuni tanah Baluwarti diwajibkan membuat “perjanjian sementara sewa menyewa tanah yang dikuasai pemerintah daerah kotamadya Surakarta (Lego Karjoko, 2009 : 39) dalam hal ini berlaku juga bagi orang-orang yang menggunakan tanah commit to user magersari.
64 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasarkan pendapat Dean G Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin maka Surat Mendagri Nomor Dox 48/1/30 tertanggal 29 Oktober 1956 telah memunculkan aspirasi Pemerintah Kota Surakarta atas hak atas tanah Baluwarti yang tidak realistis, artinya yang tidak konsisten dengan aspirasi kerabat keraton Surakarta sehingga menimbulkan konflik. Peraturan perundang-undangan mengenai tanah magersari yang berada di Baluwarti Kota Surakarta dalam keadaan lemah. Menurut Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z Rubin tidak jelas dan tidak rinci UUPA, PP No 224 Tahun 1961 dan Keppres No 23 Tahun 1988 dalam mengatur peralihan bekas tanah Kasunanan dan pembagiannya serta tidak adanya harmonisasi antara UUPA dan PP No 38 Tahun 1963 di satu sisi dengan Keppres No 23 Tahun 1988 disisi lain telah mendorong kerabat Keraton Surakarta membentuk cara pandang yang bersifat idiosyncratic mengenai hak atas tanah Baluwarti khususnya tanah magersari, dimana tidak ada kecocokan dengan cara pandang pemerintah Kota Surakarta dan masyarakat kawasan Baluwarti (Lego Karjoko, 2009 :46). Berdasarkan pendapat penulis apabila terjadi ketidak harmonisnya mengenai pengaturan tanah magersari di Keraton Surakarta selain kepada pemerintah
Kota
Surakarta
dan
Keraton
Surakarta,
pelimpahan
pelaksanaan sebagian kewenangan negara tersebut dapat juga dilakukan kepada
apa yang disebut badan-badan otorita, perusahaan-perusahaan
negara, dan perusahaan-perusahaan daerah dengan pemberian penguasaan tanah-tanah tertentu (magersari) dengan apa yang dikenal dengan hak pengelolaan. Hak pengelolaan merupakan hak mengusai oleh negara yang kewenangan pelaksanaanya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya. Pengertian ini dapat diartikan bahwa hak pengelolaan bukan merupakan pelimpahan hak mengusai dari negara. Hak mengusai dari negara tersebut berdasarkan ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UndangUndang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa commit to user bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di
perpustakaan.uns.ac.id
65 digilib.uns.ac.id
dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi seluruh rakyat. Hak pengelolaan dalam sistematika hak-hak penguasaan atas tanah tidak dimasukkan dalam golongan hak-hak atas tanah. Pemegang hak pengelolaan (Keraton Surakarta) memang mempunyai kewenangan untuk menggunakan tanah yang diberikan hak bagi keperluan usahanya (sistem pemungutan pajak atau sewa tanah magersari), tetapi itu bukan tujuan pemberian hak tersebut kepadanya. Tujuan utamanya adalah bahwa tanah yang bersangkutan disediakan bagi penggunaan oleh pihak-pihak lain yang memerlukan. Dalam penyediaan dan pemberian tanah, pemegang hak (Keraton Surakarta) diberi kewenangan untuk melakukan kegiatan yang merupakan sebagian kewenagan negara, misalnya karena Keraton Surakarta termasuk sebagai salah satu cagar budaya yang perlu dilindungi dan dilestarikan oleh Negara. Sehubungan dengan itu hak pengelolaan pada hakikatnya bukan hak atas tanah, melainkan merupakan “gempilan” hak menguasai oleh Negara. Bagian-bagian tanah hak pengelolaan yang dapat diberikan kepada Keraton Surakarta dengan hak pakai atau hak sewa untuk bangunan. Pemberiannya dilakukan oleh Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang berwenang atas usul pemegang hak pengelolaan yang bersangkutan (Keraton Surakarta). Sebagaimana halnya dengan tanah negara, selama dibebani hak-hak atas tanah tersebut, hak pengelolaan yang bersangkutan tetap berlangsung. Setelah jangka waktu hak pakai atau hak sewa untuk bangunan yang dibebankan itu berakhir, tanah magersari kembali dalam pengusaan sepenuhnya dari pemegang hak pengelolaan (Keraton Surakarta). Hak pengelolaan didaftarkan dan diterbitkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya. Namun, sebagai “gempilan” hak menguasai dari Negara, tidak dapat dipindahtangankan. Maka, tidak memenuhi syarat untuk dapat dijadikan tanah hak milik perseorangan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
66 digilib.uns.ac.id
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara menyebutkan bahwa kecuali jika penguasaan tanah negara dengan undang-undang atau peraturan lainnya pada waktu berlakunya peraturan pemerintah ini, telah diserahkan kepada suatu kementerian jawatan atau daerah swatantra, penguasaan atas tanah negara ada pada Mendagri. Menurut Pasal 3, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974, hak pengelolaan memberi wewenang untuk : a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan; b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya; c. Menyerahkan bagian-bagian tanah kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan pemegang hak tersebut, yang meliputi segi-segi peruntukan, penggunaan, jangka waktu dan keuangannya, dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh pejabatpejabat yang berwenang menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah sesuai dengan peraturan perundangan agrarian yang berlaku. Adanya hak pengelolaan dalam hukum tanah nasional kita tidak disebut dalam UUPA, tetapi tersirat dalam Penjelasan Umum UUPA yang menyatakan bahwa dengan berpedoman pada tujuan yang disebut diatas, negara dapat memberikan tanah yang demikian (yang dimaksudkan adalah tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lain) kepada seseorang atau badan-badan dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya dengan hak pakai atau hak sewa untuk bangunan memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu badan penguasa (Keraton Surakarta atau Pemerintah Kota Surakarta) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing (Pasal 2 ayat (4)). Berkaitan dengan hal ini, kekuasaan negara atas tanah-tanah ini pun commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
67 digilib.uns.ac.id
diperkuat dengan adanya hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, sepanjang menurut kenyataannya hak ulayat itu masih ada. Hak pengelolaan juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun; Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah; Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemabatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 disebutkan tentang objek pendaftaran tanah yang meliputi : a.
Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pengelolaan
b.
Tanah hak pengelolaan
c.
Tanah wakaf
d.
Hak milik atas satuan rumah susun
e.
Hak tanggungan
f.
Tanah negara Untuk keperluan pendaftaran hak, hak pengelolaan dibuktikan
dengan penetapan pemberian hak pengelolaan oleh pejabat yang berwenang. Hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun didaftar dengan membukukannya dalam buku tanah yang memuat data yuridis dan data fisik bidang tanah tersebut dan sepanjang ada surat ukurnya dicatat pula pada surat ukur tersebut. Berdasarkan Surat Mendagri Nomor Dox 48/1/30 tertanggal 29 Oktober 1956 mendorong lahirnya Surat Walikota KDH Kotamadya Surakarta tanggal 3 Agustus 1967 Nomor 1515/T.6/VIII-67 tentang penggunaan atau pengurusan tanah negeri DKS daerah kelurahan Baluwarti. Berdasarkan SK Walikota tersebut, pengurusan tanah Baluwarti diserahkan kepada Dinas Penghasilan Daerah dan terhadap warga Baluwarti yang menggunakan tanah tersebut termasuk tanah magersari dianggap sebagai penyewa tanah kepada pemerintah daerah. commit to user
68 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dalam
rangka
menyerahkan
kewenangan
pertanahan
pada
pemerintah kabupaten / kota, perlu kiranya dipahami makna politik pertanahan lokal dan administrasi pertanahan yang dikendalikan oleh pemerintah kabupaten/kota. Secara garis besar, politik pertanahan lokal berkaitan dengan kebijakan pemerintah lokal dalam rangka penataan tata guna tanah bagi perikehidupan sosial maupun ekonomi guna memenuhi interaksi antar individu di daerah. Dikeluarkan Berdasarkan Surat Mendagri Nomor Dox 48/1/30 tertanggal 29 Oktober 1956 bermaksud agar Pemerintah Kota Surakarta menjaga dan melestarikan cagar budaya bangunan dan tanah Keraton Surakarta. Agar tidak diklaim oleh pihak perorangan yang sewenangwenang. Namun hak pengelolaannya juga berada ditangan Keraton Surakarta karena Keraton Surakarta termasuk hak ulayat. Di dalam UUPA mengenai hak ulayat pun masih diakui eksistensinya agar dilindungi oleh Negara. Diharapkan adanya Surat Mendagri Nomor Dox 48/1/30 tidak terjadi adanya politik pertanahan dikalangan pemerintah daerah setempat. Dan pemerintah pusat yakni atas nama negara mempercayai pemerintah setempat mengelola tanah dengan baik. Kenyataan yang menyebabkan bahwa politik pertanahan tidak terlepas dari kerangka penyelenggara pemerintah secara nasional sebagai perwujudan dari negara Kesatuan Republik Indonesia. Perbedaan secara teknis mengingat perbedaan karakteristik pada masing-masing daerah memang dimungkinkan, namun tetap mempertahankan semangat hukum tanah nasional. Di samping itu, tetap dibutuhkan suatu badan yang melakukan supervise terhadap administrasi pertanahan yang dijalankan oleh pemerintah daerah agar sesuai dengan kerangka kebijakan nasional. Hal ini diperlukan agar terciptanya tertib hukum pertanahan, tertib administrasi, tertib pembangunan, tertib pemeliharaan, dan pertimbangan wawasan lingkungan hidup dapat dilaksanakan dengan semestinya. commit to user
69 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Wewenang dan Kewajiban Pemegang Tanah Hak Magersari Pengelolaan tanah dan bangunan sejak dimulai adanya Keppres Nomor 23 tahun 1988 tentang Status dan Pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta itu berada di tangan Pengageng Parentah Keraton Surakarta Hadiningrat. Namun sejak pemerintahan Paku Buwono XIII pengelolaan tanah dan bangunan berada di Pengageng Pasiten. Dalam memenuhi tertib administrasi pengelolaan tanah dan bangunan, Keraton Surakarta Hadiningrat mengeluarkan palilah yang diberi nama Palilah Griya Pasiten.
Sampai
sekarang
ini
Keraton
Surakarta
Hadiningrat
mengeluarkan Palilah Griya Pasiten dengan bermacam-macam titel, yaitu Palilah Griya Pasiten dengan titel hak anggadhuh, Palilah Griya Pasiten dengan titel hak magersari, dan Palilah Griya Pasiten dengan titel hak tenggan, serta perjanjian kontrak. Palilah Griya Pasiten adalah semacam perizinan yang dikeluarkan oleh raja untuk penggunaan tanah dan bangunan milik Keraton Surakarta Hadiningrat. Jadi tanah dan bangunan yang dimiliki oleh keraton itu diizinkan untuk digunakan oleh seseorang dengan berbagai ketentuan seperti sentana dalem dan abdi dalem keraton. Di era sekarang semakin banyak orang yang bertempat tinggal di wilayah Baluwarti, karena dulunya diajak teman atau saudara untuk bekerja di keraton sebagai abdi dalem keraton dan ini sudah berlangsung sangat lama dan banyak abdi dalem yang merasa mempunyai hubungan istimewa dengan keraton. Sebagai balas jasa/hadiah untuk abdi dalem, maka keraton mengizinkan para abdi dalem dan sanak saudaranya tinggal di lingkungan keraton sampai sekarang. Bagian Pasiten (siti artinya tanah) di Keraton Surakarta Hadiningrat adalah bagian (lembaga) yang berwenang mengurusi pertanahan milik Karaton Surakarta Hadiningrat. Adapun tugas Bagian Pasiten adalah: a. Mengurusi masalah pertanahan dan bangunan milik Keraton Surakarta Hadiningrat. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
70 digilib.uns.ac.id
b. Mengurusi permohonan ijin-ijin yang berkaitan dengan pemanfaatan tanah dan bangunan milik Keraton Surakarta Hadiningrat. c. Menerima pembayaran uang sewa tanah dan bangunan milik Keraton Surakarta Hadiningrat. Pengageng Pasiten mempunyai wewenang langsung terhadap urusan pertanahan yang menjadi milik Keraton Surakarta Hadiningrat. Wewenang Pengageng Pasiten meliputi: a. Tanah milik Karaton Surakarta Hadiningrat. b. Rumah (dalem) milik Karaton Surakarta Hadiningrat. c. Pesanggrahan milik Karaton Surakarta Hadiningrat, antara lain: Langenarjo, Paras (Pracimoharjo di Boyolali), dan Ngendromarto (Boyolali, Selo). d. Makam-makam, antara lain: Imogiri, Kotagede, Laweyan, Ngenden, Bekas Keraton Kartasura, Makam Haji, Ki Ageng Selo (Grobogan, Purwodadi), Ki Ageng Tarub (Purwodadi), dan Tegal Arum (Tegal). Pendataan tanah terbagi dalam tiga langkah kegiatan, yaitu: a. Tahap Persiapan Sosialisasi kebijakan dalam pelaksana teknis, antara lain: 1) Pemberitahuan kepada RT/RW bahwa akan ada pendataan. 2) Pertemuan langsung dengan warga Baluwarti. Karena terbatasnya dana dan personel, maka ditempuh cara pemberitahuan kepada abdi dalem yang juga magersari dengan sistem getok tular. Getok tular adalah sistem pemberitahuan di mana orang yang diberitahu pertama kemudian menyebarluaskan informasi ke warga yang lain. b. Tahap Sosialisasi Kebijakan Keraton Surakarta Hadiningrat yang berupa Palilah Griya Pasiten adalah merupakan peraturan yang dibuat oleh Keraton Surakarta Hadiningrat terhadap tanah dan bangunan milik Keraton Surakarta Hadiningrat di Baluwarti. Kepada warga Baluwarti yang commit to user selama ini memiliki surat tanah hak sewa Pemerintah Kota Surakarta
71 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
di minta oleh pihak Keraton Surakarta Hadiningrat untuk diganti dengan Palilah Griya Pasiten yang dikeluarkan oleh Keraton Surakarta Hadiningrat. Palilah Griya Pasiten adalah ijin untuk menempati tanah dan bangunan di Baluwarti dengan sistem menyewa kepada Karaton Surakarta Hadiningrat. Untuk itu kepada warga harus membayar uang duduk Lumpur/sewa tanah. Kepada warga Baluwarti yang belum memiliki buku Palilah Griya Pasiten tersebut akan diminta keterangan tentang sejarah tanah dan bangunan yang ditempatinya sehingga mereka bisa tinggal di wilayah Baluwarti. Kemudian warga tersebut diberitahu tentang peraturan baru tersebut, dan kepada mereka diharuskan memperoleh ijin dari Keraton Surakarta Hadiningrat. Buku Palilah Griya Pasiten itu berlaku selama tiga tahun, baik untuk anggadhuh turun temurun, anggadhuh, dan magersari. c. Tahap Pelaksanaan Pembagian tugas penarikan uang palilah, karena sumber daya yang terbatas dari abdi dalem, maka Keraton Surakarta Hadiningrat menggunakan abdi dalem garap (pegawai Pasiten) dibantu oleh abdi dalem anon-anon (bukan pegawai Pasiten) yang diberi surat tugas oleh Keraton Surakarta Hadiningrat. Dalam melaksanakan tugasnya, abdi dalem garap menerima pembayaran uang palilah di Kantor Pasiten. Sebelumnya abdi dalem garap membuat surat timbalan (panggilan) kepada penduduk melalui abdi dalem anon-anon. Pelaksanaan penarikan uang palilah di Baluwarti oleh Bagian Pasiten lebih digunakan sistem pendekatan pribadi, artinya kesadaran masyarakat untuk membayar perlu ditumbuhkan. Kesadaran yang dimiliki ada dua macam: 1) Kesadaran tinggi, biasanya kesadaran ini dimiliki oleh abdi dalem keraton yang bertempat tinggal di Baluwarti, sehingga tanpa diberi sosialisasi tentang Palilah Griya Pasiten pun mereka aktif sendiri. commit to user
72 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2) Kesadaran rendah, yaitu kesadaran yang dimiliki warga yang bukan abdi dalem Keraton Surakarta Hadiningrat sehingga memerlukan suatu sosialisasi. Pembayaran uang palilah menggunakan mekanisme pembayaran uang palilah adalah sebagai berikut: 1) Pembayaran secara langsung Penduduk yang mempunyai buku Palilah Griya Pasiten langsung membayar ke Bagian Pasiten. 2) Pembayaran tidak langsung Karena sungkan ke Karaton Surakarta Hadiningrat atau alasan kesibukan lain, maka mereka menitipkan uang pembayaran kepada abdi dalem bagian garap Pasiten atau orang lain. d. Tahap Pelaporan Dari pembayaran uang palilah tersebut Bagian Pasiten melaporkan ke Pengageng Parentah Karaton Surakarta Hadiningrat, berupa laporan per tiga bulan. Bermacam-macam hak yang diizinkan oleh Keraton Surakarta Hadiningrat membuat kewajiban pengguna tanah dan bangunan juga beragam. a. Palilah Griya Pasiten untuk hak anggadhuh Kewajiban/janji para pihak yang memiliki Palilah Griya Pasiten dengan titel hak anggadhuh adalah: 1)
Mengindahkan dengan tulus ikhlas, dengan iktikad baik, segala peraturan/perintah-perintah dari Parentah Karaton Surakarta, baik yang telah ada maupun yang akan diperintahkan, bagi yang menggadhuh tanah.
2)
Sungguh-sungguh hanya untuk berumah tangga.
3)
Bila akan mendirikan, memperbaiki, dan merubah serta menjual bangunan harus mendapat izin dari Parentah Karaton Surakarta.
4)
Kalau pindah (tidak menempati), tanah gadhuhan-nya harus commit to user diserahkan kembali.
73 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
5)
Tiap tahun yang menggadhuh diwajibkan membayar uang duduk lumpur kepada Parentah Karaton Surakarta.
6)
Diwajibkan
membayar
uang
kepada
Pemerintah
Republik
Indonesia, apabila ada pungutan atas tanah tersebut (PBB). b. Palilah Griya Pasiten untuk hak tenggan Kewajiban/janji pihak yang memiliki Palilah Griya Pasiten untuk hak tenggan adalah: 1) Mengindahkan dengan tulus ikhlas, dengan iktikad baik, segala peraturan/perintah-perintah dari Parentah Karaton Surakarta, baik yang telah ada maupun yang akan diperintahkan, bagi yang memiliki palilah dengan hak tenggan. 2) Sungguh-sungguh hanya untuk berumah tangga. 3) Tidak boleh menyewakan/apalagi menjual kepada orang lain, baik sebagian maupun seluruhnya. 4) Tidak boleh mengajak orang lain, kecuali anak dan istri. 5) Bersedia memperbaiki/tambal sulam kalau ada kerusakan dengan biaya sendiri serta tidak minta ganti kerugian, apabila di kemudian hari akan meminta ganti rugi segala biaya kerusakan, maka semua yang ada akan menjadi milik Keraton Surakarta Hadiningrat. 6) Tidak boleh menerima magersari. 7) Tidak boleh merubah bangunan, apabila tidak mendapat ijin dari Parentah Keraton Surakarta. 8) Apabila Parentah Keraton Surakarta akan mengambil kembali, maka pengguna harus mengembalikan rumah dalam kondisi kosong dalam keadaan baik seperti sedia kala, semua yang bertempat tinggal harus pergi dari tempat itu, dan tidak meminta pesangon atau hal-hal lain yang sejenisnya. 9) Apabila Parentah Karaton Surakarta akan mengambil kembali, maka pengguna harus mengembalikan rumah dalam kondisi kosong dalam keadaan baik seperti sedia kala, dan diberi pesangon commit to user sepantasnya.
74 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
10) Apabila ada pekarangannya, maka masih diperbolehkan untuk menanam pepohonan yang kecil-kecil. Apabila ingin menanam pepohonan yang besar harus meminta izin dari Parentah Karaton Surakarta. c.
Palilah Griya Pasiten untuk hak magersari
Dalam Palilah Griya Pasiten magersari, yang menjadi milik Keraton Surakarta Hadiningrat adalah tanah, sedangkan bangunan rumah milik pemegang palilah. Kewajiban/janji pihak yang memiliki Palilah Griya Pasiten dengan title hak magersari adalah: 1) Mengindahkan dengan tulus ikhlas, dengan iktikad baik, segala peraturan/perintah-perintah dari Parentah Keraton Surakarta, baik yang telah ada maupun yang akan diperintahkan, bagi yang memiliki palilah dengan hak magersari. 2) Sungguh-sungguh hanya untuk berumah tangga. 3) Tidak boleh menyewakan/lebih-lebih menjual kepada orang lain, baik sebagian maupun seluruhnya. 4) Apabila akan membangun/memperbaiki sebagian bangunan harus minta izin kepada Parentah Keraton Surakarta. 5) Apabila Parentah Keraton Surakarta akan mengambil kembali, maka pengguna harus mengembalikan tanah dalam kondisi kosong dalam keadaan baik seperti sedia kala, semua yang bertempat tinggal harus pergi dari tempat itu, dan tidak meminta pesangon atau hal-hal lain yang sejenisnya. 6) Apabila yang menggunakan meninggal dan digunakan bukan untuk seperti yang dijanjikan, maka yang menggunakan/ahli warisnya harus mengembalikan kepada Parentah Karaton Surakarta. 7) Apabila tidak menepati janji, walaupun hanya satu janji saja, maka palilah ini batal dan Parentah Karaton Surakarta dapat mengambil tanah yang digunakan. 8) Yang mempunyai hak magersari, diwajibkan untuk memenuhi commit to user kewajiban-kewajiban lain yang harus dilakukan dalam kehidupan
perpustakaan.uns.ac.id
75 digilib.uns.ac.id
bermasyarakat di kampung tersebut, seperti iuran kebersihan, iuran keamanan/ronda, dan PBB. 9) Palilah ini berlaku selama tiga tahun, apabila akan memperpanjang maka ada kewajiban untuk memperbaharui palilah ini. d. Perjanjian kontrak Kewajiban atau janji pihak yang memegang Palilah Griya Pasiten dengan titel hak kontrak: 1) Tanah dan bangunan hanya melulu akan digunakan untuk berumah tangga. 2) Tidak boleh merubah keadaan ruang/bangunan yang dikontrak tanpa izin Parentah Keraton Surakarta. Apabila ada perubahan dan sudah disetujui oleh Parentah Keraton Surakarta, maka segala biaya dan resiko yang timbul merupakan tanggung jawab pihak pengontrak dan pengontrak wajib memelihara dan merawat rumah seperti miliknya sendiri. 3) Pihak pengontrak diwajibkan membayar PBB untuk bangunan/ruang yang dikontrak. Untuk perbaikan seperti mengganti genting yang bocor, talang yang bocor, dan mengapur dinding serta tambalsulamtambalsulam lainnya biaya ditanggung oleh pihak pengontrak. 4) Pengontrak tidak boleh mengikutsertakan seseorang atau orang lain selain, isteri/suami, anak-anak, dan orang tuanya. 5) Pengontrak tidak diperbolehkan mengontrakkan lagi atau meminjamkan ruang bangunan itu, baik sebagian atau keseluruhan, tanpa persetujuan dari Parentah Keraton Surakarta dan menggunakan untuk keperluan sungguh-sungguh berumah tangga. 6) Pengontrak diwajibkan untuk membayar uang kontrak sesuai dengan kesepakatan antara pengontrak dan Parentah Karaton Surakarta. 7) Apabila waktu perjanjian kontrak telah berakhir dan tidak ada kesepakatan antara pengontrak dan Parentah Keraton Surakarta, maka palilah ini batal dan tidak diperpanjang. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
76 digilib.uns.ac.id
8) Apabila pengontrak telah meninggal dunia dan bangunan/ruang yang dikontrak tidak lagi ditempati suami/isteri, bangunan/ruang yang dikontraknya maka paling lambat dalam waktu satu bulan, pengontrak wajib mengembalikan kepada Parentah Keraton Surakarta. 9) Apabila pengontrak melanggar ketentuan perjanjian, maka palilah ini batal dengan sendirinya. 10) Apabila palilah ini sudah habis waktunya, tidak lagi diperpanjang atau batal, maka pengontrak dengan tulus ikhlas hati berjanji menyerahkan bangunan/ruang tersebut dalam keadaan kosong seperti semula sebelum ada palilah ini, beserta kunci-kuncinya kepada Parentah Keraton Surakarta paling lambat satu bulan sesudah habis waktunya kontrak, dan kemudian segera meninggalkan ruang/bangunan itu, tanpa mendapat pesangon dan lain-lain yang sejenis. Apabila dikaji dari segi hukum perjanjian, Palilah Griya Pasiten berupa akta di bawah tangan yang pembuktiannya apabila tanda tangan dalam akta itu dibenarkan/diakui oleh para pihak atau para pihak mengakui kebenaran dalam tanda tangan itu. Dalam hukum perjanjian ada syarat yang harus dipenuhi, yaitu: a. Sepakat untuk mengikatkan dirinya. b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian. c. Mengenai suatu hal tertentu. d. Suatu sebab yang halal. Dua syarat pertama disebut syarat subyektif, karena mengenai orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian. Dengan kata sepakat berarti ada perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian harus bersepakat, setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjianyang diadakan. Mengenai apa yang dikehendaki pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Dalam hal ini pihak Keraton Surakarta Hadiningrat sepakat dengan para pengguna tanah/bangunan di lingkungan Baluwarti untuk mengadakan sebuah perjanjian. commit to user
77 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Para pihak dalam perjanjian yang berbentuk palilah ini tentunya secara umur sudah dewasa, jadi bukan termasuk orang yang tidak cakap membuat perjanjian, seperti orang yang belum dewasa, mereka yang di taruh dalam pengampuan, dan orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan. Sedangkan syarat ketiga dan keempat dinamakan syarat obyektif, karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Pada perjanjian yang berbentuk palilah ini memperjanjikan antara Keraton Surakarta Hadiningrat dan pengguna tanah/bangunan mengenai syarat-syarat yang telah ditentukan dalam Palilah Griya Pasiten (anggadhuh, magersari, dan tenggan). Sedangkan sebab dalam perjanjian ini merupakan sebab yang hal halal, yaitu tanah dan bangunan milik Keraton Surakarta Hadiningrat. Jadi dengan terpenuhinya syarat-syarat perjanjian sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, maka Palilah Griya Pasiten (anggadhuh, magersari, dan tenggan) dapat disebut juga sebagai perjanjian. Menurut pendapat penulis, Palilah Griya Pasiten dengan titel hak anggadhuh dan magersari merupakan sebuah bentuk perjanjian sewa menyewa. Karena pemegang Palilah Griya Pasiten, dengan titel hak anggadhuh dan magersari hanya menikmati tanah yang mereka tempati. Mereka tidak boleh menjual/menyewakan tanah itu, baik sebagian atau seluruhnya. Ini tampaknya sesuai dengan pengertian sewa menyewa dalam hukum perjanjian, yaitu adanya persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan atau pemilik menyerahkan barang yang hendak di sewa kepada pihak penyewa untuk dinikmati sepenuhnya. Dalam Palilah Griya Pasiten hak magersari, Keraton Surakarta Hadiningrat melakukan penyerahan nyata, yakni yang menyewakan Keraton Surakarta
Hadiningrat
harus
melakukan
tindakan
pengosongan
serta
menentukan tanah mana yang akan di sewa. Hal ini juga terjadi dalam perjanjian sewa menyewa, pihak yang menyewakan wajib melakukan penyerahan nyata, dari padanya tidak bisa dituntut penyerahan yuridis. Hal ini commit to usersebagai pemilik, dan tidak perlu telah sesuai dengan kedudukan penyewa
78 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sebagai bezitter. Karena itu tidak diperlukan penyerahan yuridis. Cukup dengan jalan menyerahkan barang di bawah penguasaan si penyewa. Selain itu pihak yang menyewakan harus juga memberikan tanah yang disewakan dalam keadaan baik dan diwajibkan pula memberi ketentraman kepada si penyewa menikmati barang, selama perjanjian berlangsung. Untuk memperoleh izin dalam hal menyewa atau memakai tanah keraton (magersari), terlebih dahulu harus meinta izin kepada Pengageng Pasinten merupakan lembaga adat yang mengurusi pertanahan Keraton Surakarta yang meliputi pengaturan dan perizinan. Tanda bukti izin tersebut berupa pejanjian dikeluarkannya yang di dalamnya memuat klausul bahwa pemegang Magersari dilarang mendirikan bangunan permanen, tanah magersari tidak bisa diperjual belikan, dan bersedia mengembalikan tanah bila sewaktu-waktu diminta. Namun, perizinan dan syarat administrasi tetap tunduk pada aturan pemerintah setempat dalam hal ini Pemerintah Kota Surakarta walaupun untuk magersari tidak dimungkinkan mendapatkan sertifikat atas tanah tersebut. Terdapat tanah-tanah yang telah bersertifikat dan dimiliki oleh perseorangan. Tanah tersebut merupakan tanah yang pada kenyataannya tidak dapat diganggu gugat oleh pihak Keraton Surakarta karena telah ada alas hak yang sah. Jika pihak lain ingin menguasai tanah tersebut, tidak perlu izin penggunaan lahan seperti megarsari kepada Pengageng Pasinten. Namun jika ingin
mendirikan
bangunan
harus
memenuhi
persyaratan
untuk
mendapatkan Izin Mendirikan Bangun Bangunan (IMBB) dan harus ada persetujuan dari Pengageng Sasana Wilapa untuk kawasan Keraton Surakarta maupun tanah milik Keraton Surakarta. Pihak penyewa harus menjaga kondisi tanah itu tetap baik dan terawat sampai berakhirnya perjanjian sewa menyewa antara Karaton Surakarta Hadiningrat dan pihak penyewa. Pada zaman dahulu, sistem magersari ini yang membangun rumah di atas tanah, maka rumah itu biasanya berbahan dasar kayu saja. Jadi, apabila Keraton Surakarta Hadiningrat membutuhkan commit to user tanah untuk keperluan apapun, bangunan itu tinggal diangkat. Tetapi sampai
79 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sekarang, pembongkaran paksa belum pernah terjadi. Di era sekarang, hampir seluruh bangunan dibuat dari beton apabila akan membongkar juga membutuhkan biaya dan belum tentu pembongkaran itu dilakukan tanpa ganti rugi, maka biasanya Keraton Surakarta Hadiningrat mengambil jalan: memberitahukan kepada pemegang Palilah Griya Pasiten magersari, terhadap rumahnya diimbau untuk diserahkan kepada keraton. Mengenai magersari Palilah Griya Pasiten sistem, terdapat kewajiban bagi pihak penyewa untuk membayar uang sewa/uang penikmatan dan mengembalikan tanah yang disewa dalam kondisi terawat dengan baik. Pembayaran uang sewa itu tergantung jumlah luas tanah yang ditempati oleh penyewa sebesar Rp. 10.000, 00 (sepuluh ribu rupiah) per 100 m2 serta kelipatannya. Kewajiban penyewa untuk mengembalikan tanah berlaku asas, barang harus dikembalikan dalam keadaan seperti waktu diterima. Kalau barang yang di sewa berupa barang tidak bergerak, maka pada saat pengembalian kepada Keraton Surakarta Hadiningrat, semuanya harus sudah dikosongkan. Pelaksanaan Palilah Griya Pasiten banyak ditemukan kejanggalan atau mengingkari janji-janji dalam Palilah Griya Pasiten antara lain : a. Dalam Palilah Griya Pasiten tertulis tidak boleh melaksanakan jual beli atau sewa menyewa baik sebagian atau seluruhnya atas bangunan. Prakteknya, ada yang melakukan jual beli atau disewakan baik sebagian atau seluruhnya. Bahkan ada juga, prakteknya jual beli dilaksanakan di depan notaris yang dilakukan oleh para pihak antara penjual dan pembeli. b. Pada prakteknya, dilakukan juga sewa menyewa dengan menyewakan sebagian bangunan dan memungut bayaran sesuai dengan harga pasar dan tidak melaporkan hal ini kepada Bagian Pasiten. c. Pemegang magersari seringkali mengkontrakkan sebagian bangunan yang ditempatinya. Seperti dalam sewa menyewa pihak yang mengontrakkan menarik bayaran sesuai dengan harga pasar dan tidak melaporkan kepada Bagian Pasiten. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
80 digilib.uns.ac.id
d. Karena ada yang tidak memegang Palilah Griya Pasiten maka mereka tidak membayar uang duduk lumpur kepada Keraton Surakarta Hadiningrat dan bisa jadi juga mereka tidak membayar PBB yang ditarik dan ditetapkan oleh pemerintah. Kondisi ini juga berpengaruh pada kesadaran masyarakat untuk mendaftarkan pemilikan Palilah Griya Pasiten. Palilah Griya Pasiten ini penting sebab tercermin dari ungkapan Bapak Slameto Rahardjo yang bercerita: “waktu diadakan revitalisasi Alun-Alun Utara, kemudian seluruh penduduk yang mendiami wilayah itu didata oleh Dinas Tata Kota Surakarta apakah mempunyai ijin menempati dari Karaton Surakarta Hadiningrat. Yang memiliki ijin mendapat ganti rugi seharga rumah ukuran tipe 21, sedangkan yang tidak mempunyai ijin dari Karaton Surakarta Hadiningrat hanya mendapat ganti rugi sebesar satu juta rupiah”. Permohonan Palilah Griya Pasiten ini tidak sulit, sebenarnya mudah. Pendaftaran Palilah Griya Pasiten hanya cukup melampirkan: a. Kartu Tanda Penduduk b. Kartu keluarga c. Surat permohonan dari yang bersangkutan kepada Pengageng Pasiten Keraton Surakarta. Untuk bisa tetap bisa bertempat tinggal di atas tanah milik Keraton Surakarta Hadiningrat tersebut atau bisa melanjutkan kontrak atas bangunan Keraton Surakarta Hadiningrat, maka harus membuat surat permohonan yang diketahui oleh RT dan RW. Surat permohonan berisi sejarah (uraian) dari pemohon tentang statusnya sehingga bisa menempati tanah/bangunan tersebut serta kesanggupan dari pemohon akan mentaati semua peraturan yang dikeluarkan oleh Karaton Surakarta Hadiningrat. Tanah Baluwarti masih mengandung banyak arti bagi penduduk yang menempatinya: bisa merupakan tanah Negara, tanah nenek moyang mereka, dan tanah milik Keraton Surakarta Hadiningrat. Kesimpangsiuran ini terjadi ketika kantor Badan Pertanahan Nasional Surakarta mengumumkan bahwa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
81 digilib.uns.ac.id
tanah di Baluwarti merupakan tanah Negara. Kondisi ini memicu konflik antara Karaton Surakarta Hadiningrat, Kantor BPN Surakarta, dan warga Baluwarti. Adanya pengumuman tanah Baluwarti adalah tanah Negara, ada kegembiraan bagi warga Baluwarti, karena tanah dan bangunan yang telah mereka tempati berpuluh-puluh tahun dapat mereka sertifikatkan atau diperoleh SHM. Tapi bagi Keraton Surakarta Hadiningrat, ini merupakan kesedihan, sebab menurut sejarahnya di Baluwarti yang menguasai adalah keraton. Jadi menurut Keraton Surakarta Hadiningrat, yang bisa mensertifikatkan hanya pihak Keraton Surakarta Hadiningrat sendiri. Apabila hal itu disertifikatkan oleh Keraton Surakarta Hadiningrat atas nama Sinuhun, apa masyarakat Baluwarti mau menerima, karena ada yang menganggap ini tanah Negara dan tanah nenek moyang mereka. Terus, karena Keraton Surakarta Hadiningrat bukan badan hukum, apabila akan dilakukan pensertifikatan dan penarikan uang sewa atau duduk lumpur agar dianggap sah oleh masyarakat dan tidak menimbulkan pertentangan dengan masyarakat, dapat di bentuk yayasan atau semacamnya. Tapi pendirian yayasan harus jelas, ada AD/ART-nya, ada modal yayasan, ada anggota yayasan. Tentunya akan kesulitan mengumpulkan anggota yayasan yang tersebar di seluruh Indonesia. Berkaitan dengan Palilah Griya Pasiten. Banyak aturan dalam Palilah Griya Pasiten yang dinilai memberatkan warga Baluwarti, seperti kalau membangun harus ada ijin dari keraton. Jadi tidak ada IMB di wilayah Baluwarti, yang mengeluarkan IMB adalah Keraton Surakarta Hadiningrat, bukan pemkot Surakarta. Selain itu, juga tidak boleh untuk usaha, karena ini berkaitan dengan wilayah Baluwarti sebagai cagar budaya. Serta, yang paling memberatkan adalah apabila Keraton Surakarta Hadiningrat meminta tanah tersebut, warga Baluwarti harus tulus ikhlas menyerahkan dengan keadaan kosong dan tanpa imbalan apapun. Warga Baluwarti mengaitkan Palilah Griya Pasiten dengan PBB, adanya pajak berganda, yaitu pajak PBB itu sendiri dan uang sewa atau duduk lumpur yang harus ditanggung oleh warga Baluwarti. Tapi di lain tempat di commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
82 digilib.uns.ac.id
wilayah Baluwarti banyak diketemukan warga yang tidak punya Palilah Griya Pasiten dan tidak membayar yang ditarik oleh Negara. Di Pengageng Pasiten Keraton Surakarta Hadiningrat, hanya ada sedikit personel yang berpengalaman mengurusi masalah pertanahan di wilayah Baluwarti. Pada saat pertama akan dimulai, ada abdi dalem anon-anon yang juga mendapat tugas untuk melakukan pendataan dan penarikan uang sewa atau duduk lumpur. Namun, dalam pelaksanaan banyak penyimpangan, karena di lapangan beredar buku Palilah Griya Pasiten tanpa ada tanda tangan dan pengesahan dari Karaton Surakarta Hadiningrat, RT/RW, serta saksi-saksi dan banyak tidak menyetorkan uang sewa kepada Pengageng Pasiten. Selain itu keadaan penduduk di Baluwarti, juga berpengaruh sebab selain abdi dalem. Banyak juga penduduk yang bukan abdi dalem menempati wilayah Baluwarti dengan cara membeli bangunan rumah di Baluwarti. Pendatang di wilayah Baluwarti kebanyakan berasal dari suku bangsa Arab atau Santri. Padahal zaman PB X ada ketentuan, wilayah Baluwarti tidak boleh ditempat tinggali oleh penduduk selain penduduk Indonesia dan beragama Islam. Masalah tanah merupakan masalah yang sangat menyentuh keadilan karena sifat tanah yang langka dan terbatas, dan kebutuhan dasar setiap manusia. Tidak selalu mudah untuk merancang suatu kebijakan pertanahan yang dirasakan adil untuk semua pihak. Suatu kebijakan yang memberikan kelonggaran yang lebih besar kepada sebagian kecil masyarakat dapat dibenarkan apabila diimbangi dengan kebijakan serupa yang ditujukan kepada kelompok lain yang lebih besar. Sehingga perlu ada kebijakan yang berfungsi untuk mengoreksi atau memulihkan keseimbangan tersebut. Tolak ukur yang memberikan keadilan berdasarkan kebutuhan dan bukan berdasarkan kemampuan dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah di Indonesia perhatian harus lebih banyak diberikan kepada mereka yang lebih membutuhkan yang diwakili oleh sebagian terbesar lapisan masyarakat. Dihadapkan kepada kebutuhan untuk melengkapi peraturan pelaksanaan commit to user UUPA, kebijakan pertanahan baik dimulai dengan kebijakan untuk memenuhi
83 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kebutuhan yang paling mendasar, tanpa mengabaikan perlunya diciptakan kebijakan yang menunjang perkembangan kebutuhan ekonomi yang dinamis. Oleh karena itu, diharapkan adanya peraturan daerah yang mengatur mengenai
tanah magersari di
kesimpangsiuran
dan
Keraton
Surakarta supaya tidak
kesewenang-wenangan
pihak-pihak
yang
ada tidak
bertanggung jawab., hal yang menjadi pusat perhatian dari adanya kebijakan pertanahan adalah kemampuan untuk memenuhi keadilan bagi seluruh masyarakat di dalam upaya perolehan dan pemanfaatan tanah sebagai kebutuhan yang esensial.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV. PENUTUP A.Simpulan Sesuai dengan rumusan masalah dan berdasarkan hasil penelitian serta pembahasan sebagaimana dalam bab-bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Kedudukan hukum magersari dalam sistem hukum nasional zaman penjajahan Belanda hukum magersari tanah Keraton Surakarta diatur didalam Rijkblad Surakarta Nomor 14 Tahun 1938 kekuasaan penuh mengelola tanah Keraton termasuk tanah magersari dikelola sendiri oleh Keraton Surakarta. Setelah proklamasi Indonesia khusus pembentukan hukum nasional tentang tanah didasarkan atas hukum adat, sesuai dengan TAP MPR No.2 Tahun 1960 pasal 4 ayat (3) Negara Indonesia merupakan negara agraris, pembangunan bidang agraria menduduki tempat yang penting sehingga diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Kesatuan RI Tahun 1945. Hukum adat yang berlaku dirasakan kurang bisa mengintegrasikan masyarakat sebagai satu kesatuan nasional. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memberikan kepastian hukum tanah yang dualisme dan pluralisme. Ketentuan tersebut menjadikan tanah Keraton mengenai tanah magersari menjadi milik negara. Namun, peraturan perundang-undangan mengenai tanah magersari yang berada di Baluwarti Kota Surakarta tidak jelas dan tidak rinci dalam UUPA, PP No 224 Tahun 1961 dan Keppres No 23 Tahun 1988 dalam mengatur peralihan bekas tanah Kasunanan dan pembagiannya serta tidak adanya harmonisasi antara UUPA dan PP No 38 Tahun 1963 di satu sisi dengan Keppres No 23 Tahun 1988 disisi lain telah mendorong kerabat Keraton Surakarta membentuk cara pandang yang bersifat idiosyncratic mengenai hak atas tanah Baluwarti khususnya tanah magersari, dimana tidak ada kecocokan dengan cara pandang pemerintah Kota Surakarta dan masyarakat kawasan Baluwarti. commit to user
84
85 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Implikasi sistem hukum nasional terhadap Keraton Surakarta selaku pemilik tanah dan orang yang berkedudukan sebagai magersari dalam peraturan UU No. 5 tahun 1960 (UUPA) masih belum cukup untuk mengatur keberadaan tanah magersari di Kota Surakarta sehingga kepastian hukumnya menjadi tidak jelas. Permasalahan lain yang berkaitan dengan keberadaan tanah magersari adalah adanya perbedaan persepsi mengenai keberadaan tanah magersari itu sendiri. Tanah magersari yang bebas dalam arti tidak sedang digunakan, tidak serta merta dapat diakui sebagai tanah negara. Hal ini membawa konsekuensi bagi pengaturan tanah magersari tidak bisa menggunakan peraturan pertanahan sesuai hukum positif. Berdasarkan pendapat penulis apabila terjadi ketidak harmonisnya mengenai pengaturan tanah magersari di Keraton Surakarta selain kepada pemerintah Kota Surakarta dan Keraton Surakarta, pelimpahan pelaksanaan sebagian kewenangan negara tersebut dapat juga dilakukan kepada apa yang disebut badan-badan otorita, perusahaan-perusahaan negara, dan perusahaan-perusahaan daerah dengan pemberian penguasaan tanah-tanah tertentu (magersari) dengan apa yang dikenal dengan hak pengelolaan. Bagian-bagian tanah hak pengelolaan yang dapat diberikan kepada Keraton Surakarta dengan hak pakai atau hak sewa untuk bangunan. Sebagaimana halnya dengan tanah negara, selama dibebani hak-hak atas tanah tersebut, hak pengelolaan yang bersangkutan tetap berlangsung. Adanya pajak berganda, yaitu pajak PBB itu sendiri dan uang sewa atau duduk lumpur yang harus ditanggung oleh warga Baluwarti. Pajak PBB untuk pemerintah Kota Surakarta dan uang sewa atau duduk lumpur untuk Keraton Surakarta.
commit to user
86 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B.Saran Dengan adanya uraian di atas maka penulis mengemukakan saran sebagai berikut : 1.
Diharapkan adanya peraturan yang jelas mengatur mengenai tanah magersari di Keraton Surakarta supaya tidak ada kesimpangsiuran dan kesewenang-wenangan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, hal yang menjadi pusat perhatian dari adanya kebijakan pertanahan adalah kemampuan untuk memenuhi keadilan bagi seluruh masyarakat di dalam upaya perolehan dan pemanfaatan tanah sebagai kebutuhan yang esensial.
2.
Mengingat selama ini antara kerabat Keraton Surakarta dan Pemerintah Kota Surakarta kurang harmonis dalam mengatur tanah magersari dan orang yang magersari, diharapkan adanya harmonisasi yang bijak, jujur dan adil supaya tidak ada pihak yang dirugikan agar masyarakat sekitar Baluwarti juga bisa hidup sejahtera, aman dan tentram.
3.
Warga Baluwarti mengaitkan Palilah Griya Pasiten dengan PBB, adanya pajak berganda, yaitu pajak PBB itu sendiri dan uang sewa atau duduk lumpur yang harus ditanggung oleh warga Baluwarti. Tapi di lain tempat di wilayah Baluwarti banyak diketemukan warga yang tidak punya Palilah Griya Pasiten dan tidak membayar yang ditarik oleh Negara. Diharapkan orang yang magersari yang menempati tanah magersari Keraton Surakarta perlu adanya kerjasama, kesadaran dan kejujuran demi kepentingan bersama.
commit to user