ASKEP DHF Ditulis pada Maret 27, 2008 oleh harnawatiaj
1.Pengertian DHF (Dengue Haemoragic fever) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk ke dalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti (betina). (Christantie Effendy, 1995). 2.Etiologi Virus dengue tergolong dalam famili/suku/grup flaviviridae dan dikenal ada 4 serotipe. Dengue 1 dan 2 ditemukan di Irian ketika berlangsungnya perang dunia keIII, sedangkan dengue 3 dan 4 ditemukan pada saat wabah di Filipina tahun 1953 – 1954. Virus dengue berbentuk batang, bersifat termolabil, sensitif terhadap inaktivasi oleh dietileter dan natrium dioksikolat, stabil pada suhu 700 C. Dengue merupakan serotipe yang paling banyak beredar. 3.Patofisiologi Fenomena patologis yang utama pada penderita DHF adalah meningkatnya permeabilitas dinding kapiler yang mengakibatkan terjadinya perembesan plasma ke ruang ekstra seluler. Hal pertama yang terjadi stelah virus masuk ke dalam tubuh adalah viremia yang mengakibatkan penderita mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegalpegal diseluruh tubuh, ruam atau bintik-bintik merah pada kulit (petekie), hyperemia tenggorokan dan hal lain yang mungkin terjadi seperti pembesaran kelenjar getah bening, pembesaran hati (Hepatomegali) dan pembesaran limpa (Splenomegali). Peningkatan permeabilitas dinding kapiler mengakibatkan berkurangnya volume plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, dan hipoproteinemia serta efusi dan renjatan (syok).
Hemokonsentrasi
(peningkatan
hematokrit
>
20
%)
menunjukkan
atau
menggambarkan adanya kebocoran (perembesan) plasma sehingga nilai hematokrit menjadi penting untuk patokan pemberian cairan intravena. Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler dibuktikan dengan ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan pericard yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus. Setelah pemberian cairan intravena, peningkatan jumlah trombosit menunjukkan kebocoran plasma telah teratasi, sehingga pemberian cairan intravena harus dikurangi kecepatan dan jumlahnya untuk mencegah terjadinya edema paru dan gagal jantung, sebaliknya jika tidak mendapatkan cairan yang cukup, penderita akan mengalami kekurangan cairan yang dapat mengakibatkan kondisi yang buruk bahkan bisa mengalami renjatan. Jika renjatan atau hipovolemik berlangsung lama akan timbul anoksia jaringan, metabolik asidosis dan kematian apabila tidak segera diatasi dengan baik. Gangguan hemostasis pada DHF menyangkut 3 faktor yaitu : perubahan vaskuler, trombositopenia dan gangguan koagulasi. Pada otopsi penderita DHF, ditemukan tanda-tanda perdarahan hampir di seluruh tubuh, seperti di kulit, paru, saluran pencernaan dan jaringan adrenal. 4.Gambaran Klinis Gambaran klinis yang timbul bervariasi berdasarkan derajat DHF dengan masa inkubasi anatara 13 – 15 hari, tetapi rata-rata 5 – 8 hari. Gejala klinik timbul secara mendadak berupa suhu tinggi, nyeri pada otot dan tulang, mual, kadang-kadang muntah dan batuk ringan. Sakit kepala dapat menyeluruh atau berpusat pada daerah supra orbital dan retroorbital. Nyeri di bagian otot terutama dirasakan bila otot perut ditekan. Sekitar mata mungkin ditemukan pembengkakan, lakrimasi, fotofobia, otototot sekitar mata terasa pegal. Eksantem yang klasik ditemukan dalam 2 fase, mula-mula pada awal demam (6 – 12 jam sebelum suhu naik pertama kali), terlihat jelas di muka dan dada yang berlangsung selama beberapa jam dan biasanya tidak diperhatikan oleh pasien. Ruam berikutnya mulai antara hari 3 – 6, mula – mula berbentuk makula besar yang kemudian bersatu mencuat kembali, serta kemudian timbul bercak-bercak petekia.
Pada dasarnya hal ini terlihat pada lengan dan kaki, kemudian menjalar ke seluruh tubuh. Pada saat suhu turun ke normal, ruam ini berkurang dan cepat menghilang, bekasbekasnya kadang terasa gatal. Nadi pasien mula-mula cepat dan menjadi normal atau lebih lambat pada hari ke-4 dan ke-5. Bradikardi dapat menetap untuk beberapa hari dalam masa penyembuhan. Gejala perdarahan mulai pada hari ke-3 atau ke-5 berupa petekia, purpura, ekimosis, hematemesis, epistaksis. Juga kadang terjadi syok yang biasanya dijumpai pada saat demam telah menurun antara hari ke-3 dan ke-7 dengan tanda : anak menjadi makin lemah, ujung jari, telinga, hidung teraba dingin dan lembab, denyut nadi terasa cepat, kecil dan tekanan darah menurun dengan tekanan sistolik 80 mmHg atau kurang. 5.Diagnosis Patokan WHO (1986) untuk menegakkan diagnosis DHF adalah sebagai berikut : a. Demam akut, yang tetap tinggi selama 2 – 7 hari kemudian turun secara lisis demam disertai gejala tidak spesifik, seperti anoreksia, lemah, nyeri. b. Manifestasi perdarahan : 1)Uji tourniquet positif 2)Petekia, purpura, ekimosis 3)Epistaksis, perdarahan gusi 4)Hematemesis, melena. c. Pembesaran hati yang nyeri tekan, tanpa ikterus. d. Dengan atau tanpa renjatan. Renjatan biasanya terjadi pada saat demam turun (hari ke-3 & hari ke-7 sakit ). Renjatan yang terjadi pada saat demam biasanya mempunyai prognosis buruk. e. Kenaikan nilai Hematokrit / Hemokonsentrasi 6.Klasifikasi DHF diklasifikasikan berdasarkan derajat beratnya penyakit, secara klinis dibagi menjadi 4 derajat (Menurut WHO, 1986) :
a.Derajat I
Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan, uji tourniquet , trombositopenia dan hemokonsentrasi. b.Derajat II Derajat I dan disertai pula perdarahan spontan pada kulit atau tempat lain. c.Derajat III Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan darah rendah (hipotensi), gelisah, cyanosis sekitar mulut, hidung dan jari (tandatanda dini renjatan). d.Renjatan berat (DSS) dengan nadi tak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur. 7.Pemeriksaan Diagnostik Laboratorium Terjadi trombositopenia (100.000/ml atau kurang) dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat dan meningginya nilai hematokrit sebanyak 20 % atau lebih dibandingkan nila hematokrit pada masa konvalesen. Pada pasien dengan 2 atau 3 patokan klinis disertai adanya trombositopenia dan hemokonsentrasi tersebut sudah cukup untuk klinis membuat diagnosis DHF dengan tepat. Juga dijumpai leukopenia yang akan terlihat pada hari ke-2 atau ke-3 dan titik terendah pada saat peningkatan suhu kedua kalinya leukopenia timbul karena berkurangnya limfosit pada saat peningkatan suhu pertama kali. 8.Diagnosa Banding Gambaran klinis DHF seringkali mirip dengan beberapa penyakit lain seperti : a.Demam chiku nguya. Dimana serangan demam lebih mendadak dan lebih pendek tapi suhu di atas 400C disertai ruam dan infeksi konjungtiva ada rasa nyeri sendi dan otot. b.Demam tyfoid Biasanya timbul tanda klinis khas seperti pola demam, bradikardi relatif, adanya leukopenia, limfositosis relatif. c.Anemia aplastik
Penderita tampak anemis, timbul juga perdarahan pada stadium lanjut, demam timbul karena infeksi sekunder, pemeriksaan darah tepi menunjukkan pansitopenia. d.Purpura trombositopenia idiopati (ITP) Purpura umumnya terlihat lebih menyeluruh, demam lebih cepat menghilang, tidak terjadi hemokonsentrasi. 9.Penatalaksanaan Penatalaksanaan penderita dengan DHF adalah sebagai berikut : a.Tirah baring atau istirahat baring. b.Diet makan lunak. c.Minum banyak (2 – 2,5 liter/24 jam) dapat berupa : susu, teh manis, sirup dan beri penderita sedikit oralit, pemberian cairan merupakan hal yang paling penting bagi penderita DHF. d.Pemberian cairan intravena (biasanya ringer laktat, NaCl Faali) merupakan cairan yang paling sering digunakan. e.Monitor tanda-tanda vital tiap 3 jam (suhu, nadi, tensi, pernafasan) jika kondisi pasien memburuk, observasi ketat tiap jam. f.Periksa Hb, Ht dan trombosit setiap hari. g.Pemberian obat antipiretik sebaiknya dari golongan asetaminopen. h.Monitor tanda-tanda perdarahan lebih lanjut. i.Pemberian antibiotik bila terdapat kekuatiran infeksi sekunder. j.Monitor tanda-tanda dan renjatan meliputi keadaan umum, perubahan tanda-tanda vital, hasil pemeriksaan laboratorium yang memburuk. k.Bila timbul kejang dapat diberikan Diazepam. Pada kasus dengan renjatan pasien dirawat di perawatan intensif dan segera dipasang infus sebagai pengganti cairan yang hilang dan bila tidak tampak perbaikan diberikan plasma atau plasma ekspander atau dekstran sebanyak 20 – 30 ml/kg BB. Pemberian cairan intravena baik plasma maupun elektrolit dipertahankan 12 – 48 jam setelah renjatan teratasi. Apabila renjatan telah teratasi nadi sudah teraba jelas, amplitudo nadi cukup besar, tekanan sistolik 20 mmHg, kecepatan plasma biasanya dikurangi menjadi 10 ml/kg BB/jam.
Transfusi darah diberikan pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal yang hebat. Indikasi pemberian transfusi pada penderita DHF yaitu jika ada perdarahan yang jelas secara klinis dan abdomen yang makin tegang dengan penurunan Hb yang mencolok. Pada DBD tanpa renjatan hanya diberi banyak minum yaitu 1½-2 liter dalam 24 jam. Cara pemberian sedikit demi sedikit dengan melibatkan orang tua. Infus diberikan pada pasien DBD tanpa renjatan apabila : a.Pasien terus menerus muntah, tidak dapat diberikan minum sehingga mengancam terjadinya dehidrasi. b.Hematokrit yang cenderung mengikat. 10.Pencegahan Prinsip yang tepat dalam pencegahan DHF ialah sebagai berikut : a.Memanfaatkan perubahan keadaan nyamuk akibat pengaruh alamiah dengan melaksanakan pemberantasan vektor pada saat sedikit terdapatnya kasus DHF. b.Memutuskan lingkaran penularan dengan menahan kepadatan vektor pada tingkat sangat rendah untuk memberikan kesempatan penderita viremia sembuh secara spontan. c.Mengusahakan pemberantasan vektor di pusat daerah penyebaran yaitu di sekolah, rumah sakit termasuk pula daerah penyangga sekitarnya. d.Mengusahakan pemberantasan vektor di semua daerah berpotensi penularan tinggi. Ada 2 macam pemberantasan vektor antara lain : a.Menggunakan insektisida. Yang lazim digunakan dalam program pemberantasan demam berdarah dengue adalah malathion untuk membunuh nyamuk dewasa dan temephos (abate) untuk membunuh jentik (larvasida). Cara penggunaan malathion ialah dengan pengasapan atau pengabutan. Cara penggunaan temephos (abate) ialah dengan pasir abate ke dalam sarang-sarang nyamuk aedes yaitu bejana tempat penampungan air bersih, dosis yang digunakan ialah 1 ppm atau 1 gram abate SG 1 % per 10 liter air. b.Tanpa insektisida Caranya adalah : 1)Menguras bak mandi, tempayan dan tempat penampungan air minimal 1 x seminggu (perkembangan telur nyamuk lamanya 7 – 10 hari). 2)Menutup tempat penampungan air rapat-rapat.
3)Membersihkan halaman rumah dari kaleng bekas, botol pecah dan benda lain yang memungkinkan nyamuk bersarang. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Dalam asuhan keperawatan digunakan pendekatan proses keperawatan sebagai cara untuk mengatasi masalah klien. Proses keperawatan terdiri dari 5 tahap yaitu : pengkajian keperawatan, identifikasi, analisa masalah (diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi). 1.Pengkajian Keperawatan Dalam memberikan asuhan keperawatan, pengkajian merupakan dasar utama dan hal penting dilakukan oleh perawat. Hasil pengkajian yang dilakukan perawat terkumpul dalam bentuk data. Adapun metode atau cara pengumpulan data yang dilakukan dalam pengkajian : wawancara, pemeriksaan (fisik, laboratorium, rontgen), observasi, konsultasi. a.Data subyektif Adalah data yang dikumpulkan berdasarkan keluhan pasien atau keluarga pada pasien DHF, data obyektif yang sering ditemukan menurut Christianti Effendy, 1995 yaitu : 1.)Lemah. 2.)Panas atau demam. 3.)Sakit kepala. 4.)Anoreksia, mual, haus, sakit saat menelan. 5.)Nyeri ulu hati. 6.)Nyeri pada otot dan sendi. 7.)Pegal-pegal pada seluruh tubuh. 8.)Konstipasi (sembelit). b.Data obyektif : Adalah data yang diperoleh berdasarkan pengamatan perawat atas kondisi pasien. Data obyektif yang sering dijumpai pada penderita DHF antara lain : 1)Suhu tubuh tinggi, menggigil, wajah tampak kemerahan. 2)Mukosa mulut kering, perdarahan gusi, lidah kotor. 3)Tampak bintik merah pada kulit (petekia), uji torniquet (+), epistaksis, ekimosis, hematoma, hematemesis, melena. 4)Hiperemia pada tenggorokan. 5)Nyeri tekan pada epigastrik.
6)Pada palpasi teraba adanya pembesaran hati dan limpa. 7)Pada renjatan (derajat IV) nadi cepat dan lemah, hipotensi, ekstremitas dingin, gelisah, sianosis perifer, nafas dangkal. Pemeriksaan laboratorium pada DHF akan dijumpai : 1)Ig G dengue positif. 2)Trombositopenia. 3)Hemoglobin meningkat > 20 %. 4)Hemokonsentrasi (hematokrit meningkat). 5)Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan hipoproteinemia, hiponatremia, hipokloremia. Pada hari ke- 2 dan ke- 3 terjadi leukopenia, netropenia, aneosinofilia, peningkatan limfosit, monosit, dan basofil 1)SGOT/SGPT mungkin meningkat. 2)Ureum dan pH darah mungkin meningkat. 3)Waktu perdarahan memanjang. 4)Asidosis metabolik. 5)Pada pemeriksaan urine dijumpai albuminuria ringan. 2.Diagnosa Keperawatan Beberapa diagnosa keperawatan yang ditemukan pada pasien DHF menurut Christiante Effendy, 1995 yaitu : a.Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses penyakit (viremia). b.Nyeri berhubungan dengan proses patologis penyakit. c.Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia. d.Kurangnya volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan permeabilitas dinding plasma. e.Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan kondisi tubuh yang lemah. f.Resiko terjadi syok hypovolemik berhubungan dengan kurangnya volume cairan tubuh. g.Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (pemasangan infus). h.Resiko terjadi perdarahan lebih lanjut berhubungan dengan trombositopenia. i.Kecemasan berhubungan dengan kondisi pasien yang memburuk dan perdarahan yang dialami pasien.
3.Perencanaan Keperawatan a.Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses penyakit (viremia). Tujuan : Suhu tubuh normal (36 – 370C). Pasien bebas dari demam. Intervensi : 5)Kaji saat timbulnya demam. Rasional : untuk mengidentifikasi pola demam pasien. 6)Observasi tanda vital (suhu, nadi, tensi, pernafasan) setiap 3 jam. Rasional : tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien. 7)Anjurkan pasien untuk banyak minum 2,5 liter/24 jam. Rasional : Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan tubuh meningkat sehingga perlu diimbangi dengan asupan cairan yang banyak. 8)Berikan kompres hangat. Rasional : Dengan vasodilatasi dapat meningkatkan penguapan yang mempercepat penurunan suhu tubuh. 9)Anjurkan untuk tidak memakai selimut dan pakaian yang tebal. Rasional : pakaian tipis membantu mengurangi penguapan tubuh. 10)Berikan terapi cairan intravena dan obat-obatan sesuai program dokter. Rasional : pemberian cairan sangat penting bagi pasien dengan suhu tinggi. b.Nyeri berhubungan dengan proses patologis penyakit. Tujuan : Rasa nyaman pasien terpenuhi. Nyeri berkurang atau hilang. Intervensi : 1)Kaji tingkat nyeri yang dialami pasien Rasional : untuk mengetahui berapa berat nyeri yang dialami pasien. 2)Berikan posisi yang nyaman, usahakan situasi ruangan yang tenang. Rasional : Untuk mengurangi rasa nyeri 3)Alihkan perhatian pasien dari rasa nyeri. Rasional : Dengan melakukan aktivitas lain pasien dapat melupakan perhatiannya terhadap nyeri yang dialami. 4)Berikan obat-obat analgetik
Rasional : Analgetik dapat menekan atau mengurangi nyeri pasien. c.Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia. Tujuan : Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi, pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan posisi yang diberikan /dibutuhkan. Intervensi : 1)Kaji keluhan mual, sakit menelan, dan muntah yang dialami pasien. Rasional : Untuk menetapkan cara mengatasinya. 2)Kaji cara / bagaimana makanan dihidangkan. Rasional : Cara menghidangkan makanan dapat mempengaruhi nafsu makan pasien. 3)Berikan makanan yang mudah ditelan seperti bubur. Rasional : Membantu mengurangi kelelahan pasien dan meningkatkan asupan makanan . 4)Berikan makanan dalam porsi kecil dan frekuensi sering. Rasional : Untuk menghindari mual. 5)Catat jumlah / porsi makanan yang dihabiskan oleh pasien setiap hari. Rasional : Untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan nutrisi. 6)Berikan obat-obatan antiemetik sesuai program dokter. Rasional : Antiemetik membantu pasien mengurangi rasa mual dan muntah dan diharapkan intake nutrisi pasien meningkat. 7)Ukur berat badan pasien setiap minggu. Rasional : Untuk mengetahui status gizi pasien d.Kurangnya volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan permeabilitas dinding plasma. Tujuan : Volume cairan terpenuhi. Intervensi : 1)Kaji keadaan umum pasien (lemah, pucat, takikardi) serta tanda-tanda vital. Rasional : Menetapkan data dasar pasien untuk mengetahui penyimpangan dari keadaan normalnya. 2)Observasi tanda-tanda syock. Rasional : Agar dapat segera dilakukan tindakan untuk menangani syok. 3)Berikan cairan intravena sesuai program dokter
Rasional : Pemberian cairan IV sangat penting bagi pasien yang mengalami kekurangan cairan tubuh karena cairan tubuh karena cairan langsung masuk ke dalam pembuluh darah. 4)Anjurkan pasien untuk banyak minum. Rasional : Asupan cairan sangat diperlukan untuk menambah volume cairan tubuh. 5)Catat intake dan output. Rasional : Untuk mengetahui keseimbangan cairan. e.Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan kondisi tubuh yang lemah. Tujuan : Pasien mampu mandiri setelah bebas demam. Kebutuhan aktivitas sehari-hari terpenuhi Intervensi : 1)Kaji keluhan pasien. Rasional : Untuk mengidentifikasi masalah-masalah pasien. 2)Kaji hal-hal yang mampu atau yang tidak mampu dilakukan oleh pasien. Rasional : Untuk mengetahui tingkat ketergantungan pasien dalam memenuhi kebutuhannya. 3)Bantu pasien untuk memenuhi kebutuhan aktivitasnya sehari-hari sesuai tingkat keterbatasan pasien. Rasional : Pemberian bantuan sangat diperlukan oleh pasien pada saat kondisinya lemah dan perawat mempunyai tanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan seharihari pasien tanpa mengalami ketergantungan pada perawat. 4)Letakkan barang-barang di tempat yang mudah terjangkau oleh pasien. Rasional : Akan membantu pasien untuk memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan orang lain. f.Resiko terjadinya syok hypovolemik berhubungan dengan kurangnya volume cairan tubuh Tujuan : Tidak terjadi syok hipovolemik. Tanda-tanda vital dalam batas normal. Keadaan umum baik. Intervensi : 1)Monitor keadaan umum pasien
Rasional : memantau kondisi pasien selama masa perawatan terutama pada saat terjadi perdarahan sehingga segera diketahui tanda syok dan dapat segera ditangani. 2)Observasi tanda-tanda vital tiap 2 sampai 3 jam. Rasional : tanda vital normal menandakan keadaan umum baik. 3)Monitor tanda perdarahan. Rasional : Perdarahan cepat diketahui dan dapat diatasi sehingga pasien tidak sampai syok hipovolemik. 4)Chek haemoglobin, hematokrit, trombosit Rasional : Untuk mengetahui tingkat kebocoran pembuluh darah yang dialami pasien sebagai acuan melakukan tindakan lebih lanjut. 5)Berikan transfusi sesuai program dokter. Rasional : Untuk menggantikan volume darah serta komponen darah yang hilang. 6)Lapor dokter bila tampak syok hipovolemik. Rasional : Untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut sesegera mungkin. g.Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (infus). Tujuan : - Tidak terjadi infeksi pada pasien. Intervensi : 1)Lakukan teknik aseptik saat melakukan tindakan pemasangan infus. Rasional : Tindakan aseptik merupakan tindakan preventif terhadap kemungkinan terjadi infeksi. 2)Observasi tanda-tanda vital. Rasional : Menetapkan data dasar pasien, terjadi peradangan dapat diketahui dari penyimpangan nilai tanda vital. 3)Observasi daerah pemasangan infus. Rasional : Mengetahui tanda infeksi pada pemasangan infus. 4)Segera cabut infus bila tampak adanya pembengkakan atau plebitis. Rasional : Untuk menghindari kondisi yang lebih buruk atau penyulit lebih lanjut. h.Resiko terjadinya perdarahan lebih lanjut berhubungan dengan trombositopenia. Tujuan : Tidak terjadi tanda-tanda perdarahan lebih lanjut. Jumlah trombosit meningkat. Intervensi : 1)Monitor tanda penurunan trombosit yang disertai gejala klinis. Rasional : Penurunan trombosit merupakan tanda kebocoran pembuluh darah.
2)Anjurkan pasien untuk banyak istirahat Rasional : Aktivitas pasien yang tidak terkontrol dapat menyebabkan perdarahan. 3)Beri penjelasan untuk segera melapor bila ada tanda perdarahan lebih lanjut. Rasional : Membantu pasien mendapatkan penanganan sedini mungkin. 4)Jelaskan obat yang diberikan dan manfaatnya. Rasional : Memotivasi pasien untuk mau minum obat sesuai dosis yang diberikan. i.Kecemasan berhubungan dengan kondisi pasien yang memburuk dan perdarahan yang dialami pasien. Tujuan : - Kecemasan berkurang. Intervensi : 1)Kaji rasa cemas yang dialami pasien. Rasional : Menetapkan tingkat kecemasan yang dialami pasien. 2)Jalin hubungan saling percaya dengan pasien. Rasional : Pasien bersifat terbuka dengan perawat. 3)Tunjukkan sifat empati Rasional : Sikap empati akan membuat pasien merasa diperhatikan dengan baik. 4)Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan perasaannya Rasional : Meringankan beban pikiran pasien. 5)Gunakan komunikasi terapeutik Rasional : Agar segala sesuatu yang disampaikan diajarkan pada pasien memberikan hasil yang efektif. 4.Implementasi Pelaksanaan tindakan keperawatan pada klien anak dengan DHF disesuaikan dengan intervensi yang telah direncanakan. 5.Evaluasi Keperawatan. Hasil asuhan keperawatan pada klien anak dengan DHF sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Evaluasi ini didasarkan pada hasil yang diharapkan atau perubahan yang terjadi pada pasien. Adapun sasaran evaluasi pada pasien demam berdarah dengue sebagai berikut : a.Suhu tubuh pasien normal (36- 370C), pasien bebas dari demam.
b.Pasien akan mengungkapkan rasa nyeri berkurang. c.Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi, pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan porsi yang diberikan atau dibutuhkan. d.Keseimbangan cairan akan tetap terjaga dan kebutuhan cairan pada pasien terpenuhi. e.Aktivitas sehari-hari pasien dapat terpenuhi. f.Pasien akan mempertahankan sehingga tidak terjadi syok hypovolemik dengan tanda vital dalam batas normal. g.Infeksi tidak terjadi. h.Tidak terjadi perdarahan lebih lanjut. i.Kecemasan pasien akan berkurang dan mendengarkan penjelasan dari perawat tentang proses penyakitnya. Sumber: 1.Sunaryo, Soemarno, (1998), Demam Berdarah Pada Anak, UI ; Jakarta. 2.Effendy, Christantie, (1995), Perawatan Pasien DHF, EGC ; Jakarta. 3.Hendarwanto, (1996), Ilmu Penyakit Dalam, jilid I, edisi ketiga, FKUI ; Jakarta. 4.Doenges, Marilynn E, dkk, (2000), Penerapan Proses Keperawatan dan Diagnosa Keperawatan, EGC ; Jakarta.
DIarsipkan di bawah: 1. ASKEP ZONE « ASKEP SINDROM NEFROTIK ASKEP BRONKITIS » Leave a Reply Name (required) Mail (will not be published) (required) Website
BLOG AUTHOR harnawatiaj CALENDER Maret 2008S S
R
K
J
S
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
M
31 « Feb
Apr »
ASUHAN KEPERAWATAN KUMPULAN ASKEP MASTER ASKEP BEAUTY WORLD KOSMETIK Blogroll hadija.wordpress.com harnawatiaj.wordpress.com mailmkes.multiply.com WordPress.com WordPress.org www.cybermq.com/ www.harunyahya.com/ www.islamway.com/ www.islamworld.com/ UROLITHIASIS Ditulis pada Maret 17, 2008 oleh harnawatiaj 1. Pengertian Ureterolithiasis adalah kalkulus atau batu di dalam ureter (Sue Hinchliff, 1999 Hal 451).
Batu ureter pada umumnya berasal dari batu ginjal yang turun ke ureter. Batu ureter mungkin dapat lewat sampai ke kandung kemih dan kemudian keluar bersama kemih. Batu ureter juga bisa sampai ke kandung kemih dan kemudian berupa nidus menjadi batu kandung kemih yang besar. Batu juga bisa tetap tinggal di ureter sambil menyumbat dan menyebabkan obstruksi kronik dengan hidroureter yang mungkin asimtomatik. Tidak jarang terjadi hematuria yang didahului oleh serangan kolik. (R. Sjamsuhidajat, 1998 Hal. 1027). 2.Etiologi Etiologi pembentukan batu meliputi idiopatik, gangguan aliran kemih, gangguan metabolisme, infeksi saluran kemih oleh mikroorganisme berdaya membuat urease (Proteus mirabilis), dehidrasi, benda asing, jaringan mati (nekrosis papil) dan multifaktor (www.detikhealth.com/konsultasi/ urologi/html, 07 Oktober 2003 Jam 09.00). Banyak teori yang menerangkan proses pembentukan batu di saluran kemih; tetapi hingga kini masih belum jelas teori mana yang paling benar. Beberapa teori pembentukan batu adalah : a.Teori Nukleasi Batu terbentuk di dalam urine karena adanya inti batu sabuk batu (nukleus). Partikelpartikel yang berada dalam larutan yang kelewat jenuh (supersaturated) akan mengendap di dalam nukleus itu sehingga akhirnya membentuk batu. Inti batu dapat berupa kristal atau benda asing di saluran kemih. b.Teori Matriks Matriks organik terdiri atas serum/protein urine (albumin, globulin, dan mukoprotein) merupakan kerangka tempat diendapkannya kristal-kristal batu. c.Penghambatan kristalisasi Urine orang normal mengandung zat penghambat pembentuk kristal, antara lain : magnesium, sitrat, pirofosfat, mukoprotein dan beberapa peptida. Jika kadar salah satu atau beberapa zat itu berkurang, akan memudahkan terbentuknya batu di dalam saluran kemih. (Basuki, 2000 hal. 63). 3. Insiden penyakit ini dapat menyerang penduduk di seluruh dunia tidak terkecuali penduduk di negara kita. Angka kejadian penyakit ini tidak sama di berbagai belahan bumi. Di
negara-negara berkembang banyak dijumpai pasien batu buli-buli sedangkan di negara maju lebih banyak dijumpai penyakit batu saluran kemih bagian atas; hal ini karena adanya pengaruh status gizi dan aktivitas pasien sehari-hari. Di Amerika Serikat 5 – 10% penduduknya menderita penyakit ini, sedangkan di seluruh dunia rata-rata terdapat 1 – 12 % penduduk menderita batu saluran kemih (Basuki, 2000 Hal. 62). 4. Patofisiologi Komposisi batu saluran kemih yang dapat ditemukan adalah dari jenis urat, asam urat, oksalat, fosfat, sistin, dan xantin. Batu oksalat kalsium kebanyakan merupakan batu idiopatik. Batu campuran oksalat kalsium dan fosfat biasanya juga idiopatik; di antaranya berkaitan dengan sindrom alkali atau kelebihan vitamin D. Batu fosfat dan kalsium (hidroksiapatit) kadang disebabkan hiperkalsiuria (tanpa hiperkalsemia). Batu fosfat amonium magnesium didapatkan pada infeksi kronik yang disebabkan bakteria yang menghasilkan urease sehingga urin menjadi alkali karena pemecahan ureum. Batu asam urin disebabkan hiperuremia pada artritis urika. Batu urat pada anak terbentuk karena pH urin rendah (R. Sjamsuhidajat, 1998 Hal. 1027). Pada kebanyakan penderita batu kemih tidak ditemukan penyebab yang jelas. Faktor predisposisi berupa stasis, infeksi, dan benda asing. Infeksi, stasis, dan litiasis merupakan faktor yang saling memperkuat sehingga terbentuk lingkaran setan atau sirkulus visiosus. Jaringan abnormal atau mati seperti pada nekrosis papila di ginjal dan benda asing mudah menjadi nidus dan inti batu. Demikian pula telor sistosoma kadang berupa nidus batu (R. Sjamsuhidajat, 1998 Hal. 1027). 5. Manifestasi Klinis Gerakan pristaltik ureter mencoba mendorong batu ke distal, sehingga menimbulkan kontraksi yang kuat dan dirasakan sebagai nyeri hebat (kolik). Nyeri ini dapat menjalar hingga ke perut bagian depan, perut sebelah bawah, daerah inguinal, dan sampai ke kemaluan. Batu yang terletak di sebelah distal ureter dirasakan oleh pasien sebagai nyeri pada saat kencing atau sering kencing. Batu yang ukurannya kecil (<5 mm) pada umumnya dapat keluar spontan sedangkan yang lebih besar seringkali tetap berada di ureter dan menyebabkan reaksi peradangan (periureteritis) serta menimbulkan obstruksi kronik berupa hidroureter/hidronefrosis (Basuki, 2000 Hal 69). 6. Tes Diagnostik
a.Air kemih 1)Mikroskopik endapan 2)Biakan 3)Sensitivitas kuman b.Faal ginjal 1)Ureum 2)Kreatinin 3)Elektrolit c.Foto polos perut (90% batu kemih radiopak) d.Foto pielogram intravena (adanya efek obstruksi) e.Ultrasonografi ginjal (hidronefrosis) f.Foto kontras spesial 1)Retrograd 2)Perkutan g.Analisis biokimia batu h.Pemeriksaan kelainan metabolik 7. Penatalaksanaan Medik a.Medikamentosa Ditujukan untuk batu yang ukurannya < 5 mm, karena batu diharapkan dapat keluar spontan. Terapi yang diberikan bertujuan mengurangi nyeri, memperlancar aliran urine dengan pemberian diuretikum, dan minum banyak supaya dapat mendorong batu keluar. b.ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsi) Alat ESWL adalah pemecah batu yang diperkenalkan pertama kali oleh Caussy pada tahun 1980. Alat ini dapat memecah batu ginjal, batu ureter proksimal, atau batu bulibuli tanpa melalui tindakan invasif atau pembiusan. Batu dipecah menjadi fragmenfragmen kecil sehingga mudah dikeluarkan melalui saluran kemih. c.Endourologi 1). PNL (Percutaneous Nephro Litholapaxy) : mengeluarkan batu yang berada di saluran ginjal dengan cara memasukkan alat endoskopi ke sistem kaliks melalui insisi kulit. Batu kemudian dikeluarkan atau dipecah terlebih dahulu. 2). Litotripsi : memecah batu buli-buli atau batu uretra dengan memasukkan alat pemecah batu (litotriptor) ke dalam buli-buli. Pecahan batu dikeluarkan dengan evakuator Ellik.
3). Ureteroskopi atau uretero-renoskopi : memasukkan alat ureteroskopi per uretram guna melihat keadaan ureter atau sistem pielokaliks ginjal. Dengan memakai energi tertentu, batu yang berada di dalam ureter maupun sistem pelvikalises dapat dipecah melalui tuntunan ureteroskopi atau uretero-renoskopi ini. 4). Ekstraksi Dormia : mengeluarkan batu ureter dengan menjaringnya dengan keranjang Dormia. d.Bedah Laparoskopi Pembedahan laparoskopi untuk mengambil batu saluran kemih saat ini sedang berkembang. Cara ini banyak dipakai untuk mengambil batu ureter. e.Bedah terbuka : 1). Pielolitotomi atau nefrolitotomi : mengambil batu di saluran ginjal 2). Ureterolitotomi : mengambil batu di ureter. 3). Vesikolitotomi : mengambil batu di vesica urinaria 4). Ureterolitotomi : mengambil batu di uretra. B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN Proses keperawatan adalah suatu sistem perencanaan pelayanan asuhan keperawatan yang terdiri dari 5 (lima) tahap (Doenges, 1998 Hal. 2), yaitu : 1.Pengkajian Pengkajian keperawatan merupakan pengumpulan data yang berhubungan dengan pasien secara sistematis. Pengkajian keperawatan pada ureterolithiasis tergantung pada ukuran, lokasi, dan etiologi kalkulus (Doenges, 1999 Hal 672). a.Aktivitas / istirahat Gejala : pekerjaan monoton, pekerjaan di mana klien terpajan pada lingkungan bersuhu tinggi, keterbatasan aktivitas / mobilitas sehubungan kondisi sebelumnya. b. Sirkulasi Tanda : peningkatan TD / nadi, (nyeri, obstruksi oleh kalkulus) kulit hangat dan kemerahan, pucat. c. Eliminasi Gejala : riwayat adanya ISK kronis, penurunan haluaran urine, distensi vesica urinaria, rasa terbakar, dorongan berkemih, diare. Tanda : oliguria, hematuria, piuruia, perubahan pola berkemih d. Makanan / cairan
Gejala : mual / muntah, nyeri tekan abdomen, diet tinggi purin, kalsium oksalat / fosfat, ketidakcukupan intake cairan Tanda : Distensi abdominal, penurunan / tidak ada bising usus , muntah e. Nyeri / kenyamanan Gejala : episode akut nyeri berat, lokasi tergantung pada lokasi batu, nyeri dapat digambarkan sebagai akut, hebat, tidak hilang dengan perubahan posisi atau tindakan lain Tanda : melindungi, prilaku distraksi, nyeri tekan pada area abdomen f. Keamanan Gejala : pengguna alkohol, demam, menggigil g. Penyuluhan dan Pembelajaran Gejala : riwayat kalkulus dalam keluarga, penyakit ginjal, ISK, paratiroidisme, hipertensi, pengguna antibiotik, antihipertensi, natrium bikarbonat, allopurinol, fosfat, tiazid, pemasukan berlebihan kalsium dan vitamin h. Pemeriksaan diagnostik Urinalisis, urine 24 jam, kultur urine, survey biokimia, foto Rontgen, IVP, sistoureteroskopi, scan CT, USG 2. Diagnosa Keperawatan Dari data-data yang didapatkan pada pengkajian, disusunlah diagnosa keperawatan. Adapun diagnosa keperawatan yang umum timbul pada batu saluran kemih adalah (Doenges, 1999 Hal 672) a.Nyeri (akut), berhubungan dengan trauma jaringan b.Perubahan pola eliminasi berkemih (polakisuria) berhubungan dengan obstruksi mekanik c.Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis pasca obstruksi i.Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan / mengingat, salah interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi 3.Intervensi Dari diagnosa yang telah disusun berdasarkan data dari pengkajian, maka langkah selanjutnya adalah menyusun intervensi. a.Nyeri (akut), berhubungan dengan trauma jaringan Tujuan : Nyeri hilang atau terkontrol.
Intervensi : 1). Catat lokasi nyeri, lamanya intensitas, dan penyebaran Rasional : membantu mengevaluasi tempat obstruksi dan pergerakan kalkulus. 2). Jelaskan penyebab nyeri Rasional : memberi kesempatan untuk pemberian analgetik dan membantu meningkatkan koping klien. 3). Lakukan tindakan nyaman Rasional : meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot, dan meningkatkan koping. 4). Bantu dengan ambulasi sesuai indikasi Rasional : mencegah stasis urine 5). Kolaborasi : pemberian obat sesuai indikasi Rasional : mengurangi keluhan b.Perubahan pola eliminasi berkemih (polakisuria) berhubungan dengan obstruksi mekanik Tujuan : Mempertahankan fungsi ginjal adekuat Intervensi : 1). Awasi pemasukan dan pengeluaran dan karakteristik urine Rasional : memberikan informasi tentang fungsi ginjal dan adanya komplikasi. 2). Tetapkan pola berkemih normal klien dan perhatikan variasi Rasional : kalkulus dapat menyebabkan eksibilitas saraf, sehingga menyebabkan sensasi kebutuhan berkemih segera. 3). Dorong peningkatan intake cairan Rasional : peningkatan hidrasi membilas bakteri, darah, dan dapat membantu lewatnya batu 4). Periksan semua urine, catat adanya batu Rasional : penemuan batu memungkinkan identifikasi tipe dan jenis batu untuk pilihan terapi. 5). Selidiki keluhan kandung kemih penuh Rasional : Retensi urine dapat terjadi, menyebabkan distensi jaringan 6). Kolaborasi : awasi pemeriksaan laboratorium Rasional : hal ini mengindikasikan fungsi ginjal c.Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis pasca obstruksi
Tujuan : Mencegah komplikasi Intervensi : 1). Awasi pemasukan dan pengeluaran Rasional : membandingkan keluaran aktual dan yang diantisipasi membantu dalam evaluasi adanya kerusakan ginjal 2). Tingkatkan pemasukan cairan sampai 3-4 liter / hari dalam toleransi jantung Rasional : mempertahankan keseimbangan cairan untuk homeostasis tindakan “mencuci” yang dapat membilas batu keluar. 3). Observasi tanda-tanda vital Rasional : indikasi hidrasi / volume sirkulasi dan kebutuhan intervensi 4). Kolaborasi : awasi Hb. / Ht., elektrolit Rasional : mengkaji hidrasi dan keefektifan / kebutuhan intervensi d.Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan / mengingat, salah interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi Tujuan : Memberikan informasi tentang proses penyakitnya / prognosis dan kebutuhan pengobatan Intervensi : 1). Kaji ulang proses penyakit Rasional : memberikan pengetahuan dasar di mana klien dapat membuat pilihan berdasarkan informasi 2). Tekankan pentingnya peningkatan masukan cairan Rasional : pembilasan sistem ginjal menurunkan kesempatan pembentukan batu 3). Kaji ulang program diet Rasional : diet tergantung tipe batu 4.Implementasi Implementasi keperawatan merupakan tahap ke ekmpat dari proses keperawatan dimana rencana perawatan dilaksanakan. Pada tahap ini perawat siap untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas – aktivitas yang telah dicatat dalam rencana perawatan pasien. Agar implementasi perencanaan ini dapat tepat waktu dan efektif terhadap biaya, perlu mengidentifikasi prioritas perawatan pasien kemudian bila telah dilaksanakan memantau
dan
mencatat
respon
pasien
terhadap
setiap
intervensi
dan
mengkomunikasikan informasi ini kepada penyedia perawatan kesehatan lainnya (Doenges, 1998 Hal 105). 5.Evaluasi Evaluasi dilakukan untuk menilai tingkat keberhasilan pelayanan asuhan keperawatan yang telah dilakukan. Dalam tahap ini, akan terlihat apakah tujuan yang telah disusun tercapai atau tidak. Pada penderita dengan ureterolithiasis, hasil evaluasi yang diharapkan meliputi : a.Nyeri hilang / terkontrol b.Keseimbangan cairan dan elektrolit dipertahankan c.Komplikasi dicegah / minimal d.Proses penyakit / prognosis dan program terapi dipahami
C. Long Barbara, Perawatan Medikal Bedah , jilid 3, Yayasan IAPK Pajajaran, Bandung, 1996 Doenges ME, dkk., Rencana Asuhan Keperawatan, edisi 3, EGC, Jakarta, 2000 Engram, Barbara, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, volume I, EGC, Jakarta , 1999 Marry Ann Matteson, Introductory Nursing Care of Adults, Sounder Company, Philadelpia Penn Sylvani, 1995 Purnomo, B. Basuki, Dasar-dasar Urolog , cetakan I, CV. Infomedika, Jakarta, 2000 Robert Prihardjo, Pengkajian Fisik Keperawatan, cetakan II, EGC, Jakarta, 1996 Wim de Jong dan Sjamsuhidayat, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta, 1998
DIarsipkan di bawah: 9. UROLOGY ZONE
http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/03/17/urolithiasis/
visit
17/12/2008.
6;35
Pudji Wiyanti.
HERNIA NUKLEUS PULPOSUS Pengertian Diskus Intervertebralis adalah lempengan kartilago yang membentuk sebuah bantalan diantara tubuh vertebra. Material yang keras dan fibrosa ini digabungkan dalam satu kapsul. Bantalan seperti bola dibagian tengah diskus disebut nukleus pulposus. HNP merupakan rupturnya nukleus pulposus. (Brunner & Suddarth, 2002) Hernia Nukleus Pulposus bisa ke korpus vertebra diatas atau bawahnya, bisa juga langsung ke kanalis vertebralis. (Priguna Sidharta, 1990) Patofisiologi
Protrusi atau ruptur nukleus pulposus biasanya didahului dengan perubahan degeneratif yang terjadi pada proses penuaan. Kehilangan protein polisakarida dalam diskus menurunkan kandungan air nukleus pulposus. Perkembangan pecahan yang menyebar di anulus melemahkan pertahanan pada herniasi nukleus. Setela trauma *jatuh, kecelakaan, dan stress minor berulang seperti mengangkat) kartilago dapat cedera. Pada kebanyakan pasien, gejala trauma segera bersifat khas dan singkat, dan gejala ini disebabkan oleh cedera pada diskus yang tidak terlihat selama beberapa bulan maupun tahun. Kemudian pada degenerasi pada diskus, kapsulnya mendorong ke arah medula spinalis atau mungkin ruptur dan memungkinkan nukleus pulposus terdorong terhadap sakus dural atau terhadap saraf spinal saat muncul dari kolumna spinal.
Hernia nukleus pulposus ke kanalis vertebralis berarti bahwa nukleus pulposus menekan pada radiks yang bersama-sama dengan arteria radikularis berada dalam bungkusan dura. Hal ini terjadi kalau tempat herniasi di sisi lateral. Bilamana tempat herniasinya ditengah-tengah tidak ada radiks yang terkena. Lagipula,oleh karena pada tingkat L2 dan terus kebawah sudah tidak terdapat medula spinalis lagi, maka herniasi di garis tengah tidak akan menimbulkan kompresi pada kolumna anterior. Setelah terjadi hernia nukleus pulposus sisa duktus intervertebralis mengalami lisis sehingga dua korpora vertebra bertumpang tindih tanpa ganjalan.
PATOFLOW :
Manifestasi Klinis Nyeri dapat terjadi pada bagian spinal manapun seperti servikal, torakal (jarang) atau lumbal. Manifestasi klinis bergantung pada lokasi, kecepatan perkembangan (akut atau kronik) dan pengaruh pada struktur disekitarnya. Nyeri punggung bawah yang berat, kronik dan berulang (kambuh).
Pemeriksaan Diagnostik 1. RO Spinal : Memperlihatkan perubahan degeneratif pada tulang belakang 2. M R I : untuk melokalisasi protrusi diskus kecil sekalipun terutama untuk penyakit spinal lumbal. 3. CT Scan dan Mielogram jika gejala klinis dan patologiknya tidak terlihat pada M R I 4. Elektromiografi (EMG) : untuk melokalisasi radiks saraf spinal khusus yang terkena. Penatalaksanaan 1. Pembedahan Tujuan : Mengurangi tekanan pada radiks saraf untuk mengurangi nyeri dan mengubah defisit neurologik. Macam : a. Disektomi : Mengangkat fragmen herniasi atau yang keluar dari diskus intervertebral b. Laminektomi : Mengangkat lamina untuk memajankan elemen neural pada kanalis spinalis,
memungkinkan
ahli
bedah
untuk
menginspeksi
kanalis
spinalis,
mengidentifikasi dan mengangkat patologi dan menghilangkan kompresi medula dan radiks c. Laminotomi : Pembagian lamina vertebra. d. Disektomi dengan peleburan. 2. Immobilisasi Immobilisasi dengan mengeluarkan kolor servikal, traksi, atau brace. 3. Traksi Traksi servikal yang disertai dengan penyanggah kepala yang dikaitkan pada katrol dan beban. 4. Meredakan Nyeri Kompres lembab panas, analgesik, sedatif, relaksan otot, obat anti inflamasi dan jika perlu kortikosteroid. Pengkajian 1. Anamnesa
Keluhan utama, riwayat perawatan sekarang, Riwayat kesehatan dahulu, Riwayat kesehatan keluarga 2. Pemeriksaan Fisik Pengkajian terhadap masalah pasien terdiri dari awitan, lokasi dan penyebaran nyeri, parestesia, keterbatasan gerak dan keterbatasan fungsi leher, bahu dan ekstremitas atas. Pengkajian pada daerah spinal servikal meliputi palpasi yang bertujuan untuk mengkaji tonus otot dan kekakuannya. 3. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosa Keperawatan yang Muncul 1. Nyeri b.d Kompresi saraf, spasme otot 2. Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri, spasme otot, terapi restriktif dan kerusakan neuromuskulus 3. Ansietas b.d tidak efektifnya koping individual 4. Kurang pengetahuan b.d kurangnya informasi mengenai kondisi, prognosis dan tindakan pengobatan. Intervensi 1. Nyeri b.d kompresi saraf, spasme otot a. Kaji keluhan nyeri, lokasi, lamanya serangan, faktor pencetus / yang memperberat. Tetapkan skala 0 – 10 b. Pertahankan tirah baring, posisi semi fowler dengan tulang spinal, pinggang dan lutut dalam keadaan fleksi, posisi telentang c. Gunakan logroll (papan) selama melakukan perubahan posisi d. Bantu pemasangan brace / korset e. Batasi aktifitas selama fase akut sesuai dengan kebutuhan f. Ajarkan teknik relaksasi g. Kolaborasi : analgetik, traksi, fisioterapi 2. Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri, spasme otot, terapi restriktif dan kerusakan neuromuskulus a. Berikan / bantu pasien untuk melakukan latihan rentang gerak pasif dan aktif b. Bantu pasien dalam melakukan aktivitas ambulasi progresif
c. Berikan perawatan kulit dengan baik, masase titik yang tertekan setelah rehap perubahan posisi. Periksa keadaan kulit dibawah brace dengan periode waktu tertentu. d. Catat respon emosi / perilaku pada immobilisasi e. Demonstrasikan penggunaan alat penolong seperti tongkat. f. Kolaborasi : analgetik 3. Ansietas b.d tidak efektifnya koping individual a. Kaji tingkat ansietas pasien b. Berikan informasi yang akurat c. Berikan kesempatan pasien untuk mengungkapkan masalah seperti kemungkinan paralisis, pengaruh terhadap fungsi seksual, perubahan peran dan tanggung jawab. d. Kaji adanya masalah sekunder yang mungkin merintangi keinginan untuk sembuh dan mungkin menghalangi proses penyembuhannya. e. Libatkan keluarga 4. Kurang pengetahuan b.d kurangnya informasi mengenai kondisi, prognosis a. Jelaskan kembali proses penyakit dan prognosis dan pembatasan kegiatan b. Berikan informasi mengenai mekanika tubuh sendiri untuk berdiri, mengangkat dan menggunakan sepatu penyokong c. Diskusikan mengenai pengobatan dan efek sampingnya. d. Anjurkan untuk menggunakan papan / matras yang kuat, bantal kecil yang agak datar dibawah leher, tidur miring dengan lutut difleksikan, hindari posisi telungkup. e. Hindari pemakaian pemanas dalam waktu yang lama f. Berikan informasi mengenai tanda-tanda yang perlu diperhatikan seperti nyeri tusuk, kehilangan sensasi / kemampuan untuk berjalan. DAFTAR PUSTAKA 1. Smeltzer, Suzane C, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth edisi 8 Vol 3, Jakarta : EGC, 2002 2. Doengoes, ME, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 2, Jakarta : EGC, 2000. 3. Tucker,Susan Martin,Standar Perawatan Pasien edisi 5, Jakarta : EGC, 1998.
4. Long, Barbara C, Perawatan Medikal Bedah, Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran, 1996. 5. Priguna Sidharta, Sakit Neuromuskuloskeletal dalam Praktek, Jakarta : Dian Rakyat, 1996. 6. Chusid, IG, Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional, Yogyakarta : Gajahmada University Press, 1993
Penanggulangan Gagal Ginjal Kronik dan Kemajuannya R.P. Sidabutar Sub. Bagian Ginjal Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RS Dr. Ciptomangunkusumo Jakarta. Gagal Ginjal Kronik adalah suatu kerusakan kekurangan fungsi ginjal yang hampir selalu tidak reversibel dan sebabnya bermacam-macam. Uremia adalah istilah yang sudah lama dipakai yang menggambarkan suatu gambaran klinik sebagai akibat gagal ginjal. Sebenarnya pada dewasa ini sudah dipahami bahwa retensi urea di dalam darah bukanlah penyebab utama gejala gagal ginjal, bahkan binatang percobaan yang diberi banyak urea secara intravena, tidak menunjukkan gejala-gejala uremia. Banyak istilah yang dalam bahasa Inggris dipakai untuk menggambarkan gagal ginjal, tetapi renal failure merupakan istilah yang lazim dipakai. Penyebab Gagal Ginjal Kronik Penyebab Gagal Ginjal Kronik dapat dibagi dua, yaitu : 1. Kelainan parenkim ginjal a. Penyakit ginjal primer Glomerulonefritis Pielonefritis Ginjal polikistik TBC ginjal
b. Penyakit ginjal sekunder Nefritis lupus Nefropati analgesik Amiloidosis ginjal 2. Penyakit ginjal obstruktip Pembesaran prostat batu, Batu saluran kencing, dll. Tahapan Gagal Ginjal Kronik Pada tahap ringan tidak ada gejala gagal ginjal kronik sampai pada suatu ketika filtrasi glomeruler (GFR) menurun sampai 10% dari normal. Kalau GFR masih di atas 25 ml/menit ekskresi zat-zat yang larut tidak berubah. Bila klirens kreatinin turun sampai antara 5 dan 20 ml/menit, ekskresi zat-zat larut mulai terganggu, tetapi pada umumnya masih mungkin memelihara kesehatan penderita dengan kualitas hidup yang baik.Bila klirens kreatinin turun sampai di bawah 5 atau 3 ml/menit, dibutuhkan penanggulangan khusus. Saat ini disebut gagal ginjal kronik berat. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dengan mengenali simtom dan tanda-tanda klinik serta pemeriksaan-pemeriksaan
khusus.
Langkah-langkah
diagnostik
bertujuan
menegakkan tahapan gagal ginjal dan etiologi gagal ginjal kronik. Pengobatan Pengobatan dapat dibagi 2 golongan: Pengobatan konservatif Pengobatan pengganti (Replacement treatment) Pada umumnya dapat dikatakan bahwa pengobatan konservatif masih mungkin dilakukan, bila klirens kreatinin lebih dari 5 ml/menit , tetapi bila sudah turun sampai kurang dari 5 ml/menit, harus ditetapkan apakah penderita tersebut mungkin diberi pengobatan pengganti. Tujuan pengobatan konservatif adalah memanfaatkan faal ginjal yang masih bisa, mencegah faktor-faktor pemberat dan di mana mungkin mencoba memperlambat progresi gagal ginjal.
Pengobatan pengganti pada dasarnya adalah dialisis dan transplantasi. Pengobatan konservatif terdiri dari: I . a. Minum yang cukup b. Pengaturan diet protein c. Pengendalian hipertensi d. Pengobatan anaemia e. Pengobatan gangguan elektrolit f. Pengobatan asidosis g. Pengobatan osteodistrofi h. Pengobatan bakteruri i. Pengobatan hiperurikaemi berat j. Pengobatan gejala saluran pencernaan k. Pengobatan gejala saraf dan otot 1. Pengobatan pruritis II . a. Menghindarkan obat nefrotoksik b. Menghindarkan kontras radiologik yang tidak amat perlu c. Menghindarkan instrumentasi yang tidak amat perlu d. Mencegah kehamilan pada penderita yang berrisiko tinggi e. Mencegah pemberian hal-hal yang toksik secara tidak sengaja Kemajuan di bidang pengobatan konservatif terutama timbul dalam : a. Pengertian yang lebih baik mengenai metabolisme protein b. Pengertian yang lebih baik mengenai hiperterrsi padagagal ginjal c. Pilihan obat yang lebih luas pada hipertensi gagal ginjal d. Pengertian yang lebih baik dan kemungkinan memberi 1,25 dihidroksi kalsiferol untuk osteodistrofi e. Pengertian yang baik mengenai timbulnya pruritus Diet rendah protein ditujukan untuk mencapai imbangan nitrogen yang positip. Metabolisme protein dapat disokong dengan pemberian protein yang mengandung asam amino essensial secara cukup. Pemberian asam amino essensial dapat dilakukan dengan diet protein nilai biologik tinggi atau pemberian substitusi semi sintetik.
Di samping itu harus diberi kalori yang cukup, yang pada umumnya dapat diberi dalam bentuk glukosa cair. Diet Giordano Giovanetti berisi 18 g protein nilai biologik tinggi. Pengertian dan pengobatan hipertensi pada gagal ginjal mengalami kemajuan yang sangat berarti. Diet rendah garam tidak boleh diberikan secara membabi buta, karena pada fase tertentu gagal ginjal kronik disertai sifat membuang natrium (salt wasting renal failure). Dalam memilih obat anti hipertensi Cermin Dunia Kedokteran No. 28, 1982 19 harus dihindari obat-obat yang merendahkan filtrasi glomeruler dan obat yang berakumulasi dalam darah yang dapat menyebabkan hipotensi .yang berlarut. Pada gagal ginjal kronik ringan, beta blocker atau prazosin dapat dipergunakan. Pada keadaan yang berat atau dalam keadaan yang gawat, 150—300 mg diasoksit intravena atau 0,9 mg/500 ml dekstrose 5% dalam tetesan intravena dapat diberi. Bila dibutuhkan diuretika untuk mencegah retensi natrium, furosemit dapat diberi 40 mg -1000 mg/hari, tetapi harus diingat bahwa pemberian yang terlalu cepat intravena dapat menimbulkan tuli sementara. Diuretika lup lain seperti bumetamit dapat juga diberikan, asam etakrinik harus diberikan lebih hati-hati.1,25 dihidroksikolkalsiferol 0,25 mikrogram perhari dapat mencegah osteodistrofi yang disebabkan resistensi terhadapvitamin D. Pruritis kadang-kadang sangat sukar dikendalikan dan penyebabnya multipel. Pruritis yang disebabkan oleh nilai perkalian kalsium dan fosfat yang tinggi dapat dihindarkan secara perlahan, dengan memberikan pengikat fosfat di dalam usus misalnya aluminium hidroksit. Bila disertai hiperurikaemia, allopurinol dapat dianjurkan. Harus pula diperhatikan, kemungkinan gatal-gatal karena kepekaan terhadap obat. Difenhidramin, lidokain intravena, radiasi ultra violet kadang-kadang dapat menolong. Walaupun sebagian penderita gagal ginjal kronik bisa subur, sebagian besar tidak subur. Sebaiknya kehamilan dicegah pada gagal ginjal sedang dan berat, karena gagal ginjal dapat menjadi progresif. Nilai kreatinin darah lebih dari 3 mg% dan gagal ginjal disertai hipertensi yang nyata, merupakan tanda-tanda risiko yang besar. Tidaklah jarang dalam memberikan sesuatu obat atau sesuatu zat, secara tidak disadari terikut zat-zat yang toksik seperti kalium dan magnesium. Dengan demikian kita memberikan obat dan zat-zat apa pun kepada penderita gagal ginjal kronik, setelah mengetahui dengan tepat komposisi daripada obat-obat dan zat tersebut.
Pengobatan Pengganti Dialisis adalah salah satu kemungkinan pengobatan pengganti. Sudah kita ketahui bahwa dialisis dapat berupa: -- Hemodialisis -- Dialisis peritoneal -- Dialisis intestinal -- Dialisis pleural -- Dialisis perikardial Dialisis pleural dan dialisis perikardial tidak mempunyai nilai klinik karena tidak praktis dan risikonya besar. Dialisis peritoneal pada mulanya hanya dianjurkan untuk gagal ginjal akut yang tidak hiperkatabolik. Sikap tersebut timbul karena dialisis peritoneal tidak seefektif hemodialisis, sehingga memerlukan waktu dialisis yang panjang. Di samping itu teknik untuk berkali-kali menusuk dinding abdomen atau menempatkan kateter permanen belum dikuasai. Tetapi kemudian kesulitan ini diatasi dengan diperkenalkannya berbagai kateter, yang dapat bertahan lama. Boen dkk 1962: mengemukakan pengalaman dengan dialysis peritoneal intermiten yang memakai sistem tertutup (1) kateter yang permanen yang kemudian menjadi standar pada penggunaan dialisis peritoneal untuk gagal ginjal kronik (5). Dialisis peritoneal intermitten terutama dengan alat-alat otomatik tertutup banyak dipergunakan tetapi tidak sebanyak hemodialisis. Pada akhir tahun tujuhpuluhan hanya sekitar 5% penderita gagal ginjal kronik yang diobati dengan cara ini. Kemajuan yang menyolok timbul setelah diperkenalkannya 20 Cermin Dunia Kedokteran No. 28, 1982 teknik baru yaitu CAPD (Chronic Ambulatory Peritoneal Dialysis) oleh Popovich.R.P., Moncrief J.W., dan Dechero J.B.(4)Pada dasarnya cara ini mereka kemukakan sebagai sistem klirens rendah dan ekuilibrium. Azas proses ini adalah membuat asites sengaja, dengan sebanyak 1,5--2 liter cairan yang komposisinya sama dengan serum normal tetapi tentunya tidak mengandung albumin (jadi cairan ini hampir sama dengan cairan dialisis peritoneal biasa). Cairan ini diganti 3 sampai 6 kali sehari. Pada tahun 1978 Oreopoulos D.G. dkk mengetengahkan pengalaman yang luas dan hasil yang memuaskan mempergunakan CAPD pada GGK. (2)
Banyak kepustakaan yang mencoba menganalisa dan membandingkan cara-cara ini dengan dialisis intermitten yang lazim dilakukan. Pada umumnya beberapa kesimpulan disetujui, yaitu: 1. CAPD diterima sebagai pengobatan pengganti terus-menerus,(continuous) sebagai alternatif pengobatan pengganti intermiten lainnya. 2. Pelaksanaannya walaupun sederhana tetap mempunyai beberapa kesulitan sebagai kesulitan sementara misalnya kelebihan glukosa dan kesulitan yang sukar dihindari seperti sklerosis peritoneal. 3. Hasil-hasil 1 sampai 2 tahun masih sangat bervariasi, sebagian mengatakan baik sebagian lain hasilnya buruk. (3) 4. Masa depan CAPD masih belum jelas, walaupun memberi harapan untuk kebebasan yang lebih luas bagi penderita serta mungkin penghematan biaya. 5. CAPD harus dipertimbangkan secara sungguh-sungguh pada penderita GGK dengan diabetes mellitus yang tergantung pada insulin dan GGK dengan kelainan kardiovaskuler yang nyata. 6. Kriteria yang tegas untuk memilih antara CAPD dan hemodialisis menahun sampai sekarang belum jelas. 7. Beberapa hal harus diingat dalam menganjurkan CAPD,yaitu: a. Agaknya akan ada pembatasan waktu efektifitas CAPD karena toleransi peritoneal. b. Sesuatu program CAPD memerlukan suatu team. c. Masih diperlukan perjalanan multi center yang lebih luas untuk menetapkan kriteria memilih CAPD. Kemajuan di hidang hemodialisis terutama terjadi pada peningkatan efisiensi, peningkatan peralatan sehingga lebih aman,mudah dan teliti. Efisiensi ditingkatkan dengan membran-membran baru, pengamanan dari gelembung udara, kebocoran membran diperoleh dengan berbagai modifikasi serta ketelitian dicapai misalnya dengan sebelumnya dapat mengatur beberapa cairan yang akan ditarik pada tiap dialisis.Dari segi komplikasi diketahui bahwa aluminium dalam dialisat memegang peranan penting dalam terjadinya dimensi dialisis.Idaman untuk sesuatu "alat dialisis" yang ditanam di dalam badan sampai saat ini belum terwujud. Pemakaian heparin pada sirkulasi di luar badan kadang-kadang dapat membawa kesulitan maka ada usaha untuk menaburi seluruh sistema sirkulasi di luar tubuh dengan antikoagulonsia.
Sehingga darah tidak membeku tetapi sifat darah sendiri tidak berubah. Teknik untuk heparinisasi minimal yang membilas sirkulasi luar tubuh diperkenalkan pula untuk membran tertentu. Survival donor mayat dan EDTA nampak pada gambar 3A danB. Survival donor hidup EDTA dan di Jakarta nampak pada gambar 4. Transplantasi Transplantasi sudah merupakan prosedur rutin. Teknik bedah tidak merupakan kesulitan lagi. Usaha pada dasarnya ditugaskan untuk meningkatkan "survival". Rejeksi lebih dipahami karena itu di kemudian hari akan terbuka jalan baru untuk melawan rejeksi. Rejeksi pada transplantasi tadinya diduga sesuatu proses arah dari sistema kekebalan tubuh resipien untuk menolak ginjal donor. Akan tetapi kemudian disadari bahwa ada juga proses yang mengurangi kemungkinan rejeksi atau inhibitor rejeksi. Imbangan kedua faktor inilah yang menentukan terjadinya atau tidak terjadinya rejeksi. Yang mendorong terjadinya rejeksi adalah : 1. Limfosit sitotoksik 2. Antibodi 3. Makrofag 4. Granulosik 5. Sel K dan sel N K 6. "Helper limfosit" Yang menghalangi rejeksi adalah: 1. Antibodi enhancing 2. Limfosit Supresor T 3. Antibodi anti idiotype 4. Imun kompleks dalam sirkulasi 5. Limfokinesis 6. Efek inhibisi makrofag 7. Prostaglandin 8. Interferon
Hemodialisis tetap merupakan pilihan utama pada GGK yang memerlukan pengobatan pengganti. Kemajuan di hidang hemodialisis terutama terjadi pada peningkatan efisiensi, peningkatan peralatan sehingga lebih aman, mudah dan teliti. SURVIVAL GINJAL DONOR MAYAT EDTA Gambar : 3 A dan 3 B Walaupun terdapat kemajuan-kemajuan seperti tersebut diatas, survival transplantasi ginjal, baik donor hidup maupun donor mayat tidak menyolok berubah. Gambar 3A, 3B, dan 4 menunjukkan survival pada kelompok The European Dialysis and Transplant Association serta Jakarta. Kesimpulan Dikemukakan dasar-dasar pengobatan gagal ginjal kronik. Kemajuan yang menyolok tidak banyak. Di bidang dialisis CAPD membuka era baru yang di tahun-tahun mendatang akan lebih jelas kedudukannya. Di bidang transplantasi pengetahuan mengenai mekanisme rejeksi lebih jelas tetapi akibatnya terhadap survival belum nyata. Survival transplantasi ginjal di Jakarta tidak banyak berbeda dengan EDTA. Kepustakaan 1. Boen ST, Mulinari AS, Dillard DH, Screbner BH. Periodic peritoneal dialysis in the management of chronic uraemia. Trans Am Soc Artif Organs 1962; 8 : 256-262. 2. Oreopoulos DG, Robson M, Izatt S et al. A simple and safe technique for continous ambulatory dialysis (CAPD). Trans Am. Soc. Artif intern Organs 1978; 24 : 484-487. 3. Oreopoulos DG. An up date on continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD). Int I Artif Organs 1980; 3 : 231. 4. Popovich RP, Moncrief JW, Dechero JB et al. The definition of a novel portable wearable equilibrium peritoneal dialysis technique. Abstracts. Trans Am Soc Artif Organs 1976;5 : 64.
5. Tenckhoff H, Schecter H. A bacteriologically safe peritoneal acces device. Trans Am Soc Artif Organis 1968; 14 : 181-186. Hipertensi Renal Made Sukahatya Sub. Bagian Ginjal -- Hipertensi Bagian llmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya. PENDAHULUAN Peranan ginjal dalam terjadinya hipertensi telah dikirakanoleh R.Bright dalam tahun 1836, akan tetapi baru menjadi konsep penting setelah percobaan klasik dari Dr. Harry Goldblatt pada tahun 1934 (3, 8, 18). Untuk masa berikutnya terjadi periode kekacauan klinik tentang hubungan ginjal dan hipertensi. Ada kelompok sarjana yang berpendapat bahwa etiologi dari semua hipertensi adalah kelainan ginjal; kelompok lain berpendapat sebaliknya yaitu bahwa ginjal jarang sekali memegang peranan dalam terjadinya hipertensi. Pada masa kini kebanyakan sarjana berpendapat bahwa antara hipertensi dan penyakit ginjal terdapat jalinan hubungan sebab-akibat yang erat sekali. Semua sebab-sebab primer dari hipertensi dapat menyebabkan kelainan ginjal akibat tingginya tekanan darah per se ; kelainan ginjal tersebut bila cukup berat, akan menyebabkan hipertensinya menetap walaupun sebab primernya dapat dihilangkan. Pemakaian obat-obat untuk menormalkan tekanan darah akan mencegah atau memperlambat kerusakan ginjal, walaupun sebab primernya tetap ada (3, 8, 12, 13, 14, 18). Sebaliknya, penyakit ginjal primer sering mengakibatkan timbulnya hipertensi.22 Dalam hubungan ini dikenal 4 hipotesa utama yaitu: 1. Ketidak sanggupan ginjal untuk merusak atau mengekskresi suatu bahan presor. 2. Ketidak sanggupan ginjal untuk menghasilkan suatu bahanantipresor. 3. Ginjal menghasilkan suatu bahan vasokonstriktor. 4. Pengaruh ginjal terhadap keseimbangan elektrolit (NA) dan air. Hipotesa yang kini paling banyak dianut oleh para klinisi adalah terdapatnya hubungan abnormal antara pengaturan eksresi garam-air dengan sistim rennin
angiotensin aldosteron; sehingga hipertensi dibedakan dalam 2 golongan yaitu: hipertensi karena renin (renin-dependent hypertension) dan hipertensi karena garam-air (volume-dependent hypertension) (4, 5, 12, 15, 17). BATASAN DAN ETIOLOGI Hipertensi renal adalah hipertensi sekunder yang disebabkan oleh kelainan parenkim ginjal dan atau pembuluh darahmginjal unilateral atau bilateral (3, 12, 18). Angka kejadiannya berkisar antara 10--20% dari semua kasus hipertensi dan yang dapat disembuhkan dengan pembedahan kurang lebih 5% http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/06_PenanggulanganGagalGinjalkronik.pdf/06_ PenanggulanganGagalGinjalkronik.html.visit, 17/12/2008, 6;54. Pudji Wiyanti KONDAS GAGAL GINJAL KRONIK (GGK) PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut , serta bersifat persisten dan irreversible. Menurut catatan medical record RS Fatmawati klien gagal ginjal kronik yang dirawat di RS Fatmawati pada periode 1 Agustus 2003 – 31 Juli 2004 berjumlah 224 orang atau 6,73% dari 3327 penderita penyakit dalam yang dirawat, adapun periode 1 Agustus 2004 – 31 Juli 2005 berjumlah 237 orang atau 6,03 % dari 3930 klien penyakit dalam yang dirawat, hal ini menunjukan penurunan jumlah penderita gagal ginjal kronis yang dirawat sebesar 0,33 %, namun demikian masalah keperawatan yang sering timbul pada gagal ginjal kronik cukup kompleks, yang meliputi : kelebihan volume cairan, perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, kecemasan, penurunan cardiac out put, gangguan mobilitas fisik, konstipasi / diare, resiko tinggi injuri perdarahan, perubahan proses pikir dan kurangnya pengetahuan.
Dalam mengatasi berbagai permasalahan yang timbul pada pasien gagal ginjal kronik, peran perawat sangat penting, diantaranya sebagai pelaksana, pendidik, pengelola, peneliti, advocate. Sebagai pelaksana, perawat berperan dalam memberikan asuhan keperawatan secara profesional dan komprehensif yang meliputi : mempertahankan pola nafas yang efektif, mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, meningkatkan asupan nutrisi yang adekuat, meningkatkan aktivitas yang dapat ditoleransi dan mencegah injury. Sebagai pendidik perawat memberikan pendidikan kesehatan, khususnya tentang perbatasan diet, cairan, dll. Perawat sebagai pengelola, yaitu perawat harus membuat perencanaan asuhan keperawatan dan bekerja sama dengan tenaga kesehatan lainnya sehingga program pengobatan dan perawatan dapat berjalan dengan baik. Peran perawat sebagai peneliti adalah menerapkan hasil penelitian di bidang keperawatan untuk meningkat mutu asuhan keperawatan. Peran perawat sebagai advocate adalah membela hak klien selama perawatan, seperti hak klien untuk mengetahui rasional penatalaksanaan medis, pemeriksaan penunjang , dan sebagainya. Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk mendapatkan gambaran lebih jelas tentang bagaimana “Asuhan Keperawatan Pada Tn. J Yang Mengalami Gagal Ginjal Kronik di Lantai Kiri IRNA B Teratai Merah RS Fatmawati Jakarta”. B. TUJUAN PENULISAN. 1. Tujuan Umum Memberikan gambaran nyata tentang pelaksanaan Asuhan Keperawatan Pada Tn.J Yang Mengalami Gagal Ginjal Kronik di Lantai Kiri IRNA B Teratai Merah RS Fatmawati Jakarta 2. Tujuan KhususUntuk mendapatkan gambaran nyata tentang : a. Pengkajian keperawatan pada klien Tn. J yang mengalami gagal ginjal kronik. b. Diagnosa keperawatan pada klien Tn. J yang mengalami gagal ginjal kronik. c. Perencanaan keperawatan pada klien Tn. J yang mengalami gagal ginjal kronik.
d. Implementasi pada klien Tn. J yang mengalami gagal ginjal kronik. e. Hasil evaluasi keperawatan pada klien Tn. J yang mengalami gagal ginjal kronik. f. Faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan asuhan keperawatan pada klien Tn. J yang mengalami gagal ginjal kronik.
C. METODE PENULISAN Metode yang digunakan dalam penyelesaian laporan kasus ini adalah : 1. Metode Deskriptif Metode deskriptif dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan, dengan cara mengumpulkan data langsung dari klien dan keluarga serta kolaborasi dengan tim kesehatan lain. 2. Metode Kepustakaan Metode kepustakaan digunakan untuk mendapatkan sumber ilmiah yang berhubungan dengan masalah yaitu dengan mempelajari buku-buku dan makalah. D. SISTEMATIKA PENULISAN Dalam penulisan laporan kasus ini penulis membuat sistematika penulisan sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Bab ini meliputi Latar Belakang Masalah, Tujuan Penulisan secara umum dan khusus, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan. BAB II TINJAUAN TEORITIS Berisikan atas dua Sub bagian pertama menguraikan tentang Konsep Dasar Gagal Ginjal Kronik meliputi Pengertian, Etiologi, Patofisiologi, Fisiologi, Tanda dan Gejala, Pemeriksaan penunjang, Komplikasi dan Penatalaksanaan Medis Sub bagian kedua menguraikan tentang Konsep Asuhan Keperawatan Pada Klien GGK yang meliputi Pengkajian, Diagnosa Keperawatan, Intervensi, Implementasi, dan Evaluasi Keperawatan.
BAB III TINJAUAN KASUS Bab ini meliputi Gambaran Kasus, Diagnosa, Perencanaan, Implementasi, dan Evaluasi Keperawatan. BAB IV PEMBAHASAN Berisikan perbandingan antara teori dan fakta yang ada pada kasus, menganalisa faktor-faktor pendukung dan menghambat dalam mengambil kasus dan menentukan alternatif pemecahan masalah dalam mengidentifikasi Asuhan Keperawatan. BAB V PENUTUP Bab ini merupakan akhir dari laporan penulis yang berisikan tentang Kesimpulan dari Bab I sampai dengan Bab IV serta Saran-Saran untuk permasalahan yang belum dapat teratasi. BAB II TINJAUAN TEORI A. KONSEP DASAR GAGAL GINJAL KRONIK 1. Pengertian Gagal ginjal kronik adalah destruksi struktur ginjal yang progresif dan terus menerus. Gagal ginjal kronik dapat timbul dari hampir semua penyakit. (Elizabeth J. Corwin, 2001) Gagal ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat persisten dan irreversibel (Arif Mansjoer, 1999). Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut (Slamet Suyono, 2001). 2. Anatomi dan Fungsi Ginjal.
a. Anatomi Ginjal. Secara normal, manusia memiliki dua ginjal ( ginjal kanan dan kiri ) setiap ginjal memiliki panjang 12 cm, lebar 7 cm, dan tebal maksimum 2,5 cm, dan terletak pada bagian belakang abdomen, posterior terhadap peritoneum, pada cekungan yang berjalan disepanjang sisi corpus vertebrae. Lemak perinefrik adalah lemak yang melapisi ginjal. Ginjal kanan terletak agak lebih rendah dari pada ginjal kiri karena adanya hepar pada sisi kanan. Sebuah glandula adrenalis terletak pada bagian atas setiap ginjal. Struktur ginjal meliputi, kapsula fibrosa pada bagian luar, korteks adalah bagian ginjal yang pucat dan berbercak-bercak oleh glomerulus, medula yaitu bagian ginjal yang berwarna gelap dan bergaris terdiri dari sejumlah papilla renalis yang menonjol kedalam pelvis, dan pembesaran pada ujung atas ureter. Setiap ginjal dibentuk oleh sekitar satu juta nefron. Nefron adalah unit struktural dan fungsional ginjal. Setiap nefron terdiri dari tubulus renalis, glomerulus, dan pembuluh darah yang menyertainya. Setiap tubulus renalis adalah tabung panjang yang bengkok, dilapisi oleh selapis sel kuboid. Tubulus renalis dimulai sebagai kapsula bowman, mangkuk berlapis ganda yang menutupi glomerulus, terpuntir sendiri membentuk tubulus kontortus proksimal, berjalan dari korteks ke medula dan kembali lagi, membentuk ansa henle, terpuntir sendiri kembali membentuk tubulus kontortus distal. Dan berakhir dengan memasuki duktus koligentes. Setiap duktus koligentes berjalan melalui medula ginjal, bergabung dengan duktus koligentes dari nefron lain. Dan mereka membuka bersama pada permukaan papila renalis didalam pelvis ureter. b. Fungsi Ginjal 1) Pengaturan cairan tubuh dan mengontrol keseimbangan asam basa. 2) Ekskresi produk akhir metabolisme. 3) Memproduksi Hormon. Selain fungsinya sebagai pengendali keseimbangan air dan kimia tubuh, ginjal menghasilkan renin dan eritropitin. Renin diproduksi oleh sel-sel tertentu dalam dinding arteriol yang dilalui darah menuju glomerulus. Renin disekresi bila tekanan darah sangat menurun sehingga jumlah darah yang melewati ginjal tidak cukup.
Hormon ini meningkatkan tekanan darah.Hormon lain yang disekresi ginjal asalah eritropoetin. Eritropoeitin disekresi oleh ginjal sebagai respon terhadap penurunan tekanan oksigen normal. Hormon ini merangsang pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang dan meningkatkan jumlah darah yang tersedia untuk pengangkutan oksigen. Fungsi ginjal yang lain memproduksi vitamin D yang aktif secara biologis. (J Gibson, 2001). 3. Etiologi Menurut Guyton (1997) penyebab GGK adalah : a. Gangguan Imunologi - Glomerulonefritis - Poliarteritis Nodusa. - Lupus Eritematosus. b. Gangguan Metabolik - Diabetes mellitus. - Amiloidosis. c. Gangguan Pembuluh Darah Ginjal. - Arterosklerosis. - Nefrosklerosis. d. Infeksi. - Pielonefritis. - Tuberkulosis. e. Obstruksi traktur Urinarius. - Batu Ginjal - Hipertropi Prostat. - Konstriksi Uretra. f. Kelainan Kongenital - Penyakit polikistik.
- Tidak adanya jaringan ginjal yang bersifat kongenital ( hipoksia renalis ).
4. Patofisiologi Menurut Price S Anderson (2000), Elizabeth Crowin (2000) dan Guyton (l997) patofisiologi gagal ginjal kronik yang disebabkan oleh hipertensi adalah sebagai berikut : Hipertensi menyebabkan penurunan perfusi renal yang mengakibatkan terjadinya kerusakan parenkim ginjal. Hal ini menyebabkan peningkatan renin dan meningkatkan angiotensin II, selanjutnya angiotensin II dapat menyebabkan dua hal yaitu : peningkatan aldosteron dan vasokonstriksi arteriol. Pada kondisi peningkatan aldosteron, akan meningkatkan reabsorpsi natrium, natrium akan meningkat di cairan ekstraseluler sehingga menyebabkan retensi air dan peningkatan volume cairan ekstraseluler. Pada vasokonstriksi arteriol terjadi peningkatan tekanan glomerulus, hal ini akan menyebabkan kerusakan pada nefron, sehingga laju filtrasi glomerulus menurun. Sebagai kompensasi dari penurunan laju filtrasi menurun, maka kerja nefron yang masih normal akan meningkat sampai akhirnya mengalami hipertrofi. Pada kondisi hipertrofi akan meningkatkan filtrasi cairan tetapi reabsorbsi cairan tubulus menurun, protein di tubulus di ekskresikan ke urine (proteinuria) yang menyebabkan penurunan protein plasma (hipoproteinemia), hipoalbuminemia, dan penurunan tekanan onkotik kapiler. Penurunan tekanan onkotik kapiler menyebabkan edema anasarka. Pada edema anasarka akan menekan kapiler-kapiler kecil dan syaraf yang akhirnya terjadi hipoksia jaringan. Penurunan GFR lebih lanjut akan menyebabkan tubuh tidak mampu membuang air, garam dan sisa metabolisme, sehingga terjadi sindrom uremia. Sindrome uremia akan meningkatkan zat-zat sisa nitrogen, akhirnya terjadi : rasa lelah, anoreksia, mual dan muntah. Patofisiologi ini dapat lebih jelas lagi dilihat pada skema berikut ( hal 10 ).
Skema Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik Karena Hipertensi http://images.google.co.id/imgres? imgurl=http://2.bp.blogspot.com/_lr5xvo3UWKY/SKU5NUtxsOI/AAAAAAAAAA
U/oGeAdIyuFsw/S220/CIMG2470.JPG&imgrefurl=http://healthreferenceilham.blogspot.com/2008/07/kondas-gagal-ginjal-kronikggk.html&usg=__oKUg9IP2LX4o3GRvOSVSlWDdd4=&h=220&w=132&sz=7&hl=id&start=15&tbnid=sXMsb 5-BzC_PsM:&tbnh=107&tbnw=64&prev=/images%3Fq%3Daskep%2Bgagal %2Bginjal%2Bkronik%26gbv%3D2%26hl%3Did%26sa%3DG. Visit 17/12/2008. 8;09/ Pudji Wiyanti
DIABETES MELLITUS A. Pengertian Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner dan Suddarth, 2002). Diabetes Melllitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Arjatmo, 2002). B. Klasifikasi Klasifikasi diabetes mellitus sebagai berikut : 1. Tipe I : Diabetes mellitus tergantung insulin (IDDM) 2. Tipe II : Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM)
3. Diabetes mellitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya 4. Diabetes mellitus gestasional (GDM) C. Etiologi 1. Diabetes tipe I: a. Faktor genetik Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA. b. Faktor-faktor imunologi Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen. c. Faktor lingkungan Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan destruksi selbeta. 2. Diabetes Tipe II Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Faktor-faktor resiko : a. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th) b. Obesitas c. Riwayat keluarga
D. Patofisiologi/Pathways
E. Tanda dan Gejala Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada DM umumnya tidak ada. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf. Pada DM lansia terdapat perubahan patofisiologi akibat proses menua, sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai kasus dengan komplikasi yang luas. Keluhan yang sering muncul adalah adanya gangguan penglihatan karena katarak, rasa
kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatan lazim. Menurut Supartondo, gejala-gejala akibat DM pada usia lanjut yang sering ditemukan adalah : 1. Katarak 2. Glaukoma 3. Retinopati 4. Gatal seluruh badan 5. Pruritus Vulvae 6. Infeksi bakteri kulit 7. Infeksi jamur di kulit 8. Dermatopati 9. Neuropati perifer 10. Neuropati viseral 11. Amiotropi 12. Ulkus Neurotropik 13. Penyakit ginjal 14. Penyakit pembuluh darah perifer 15. Penyakit koroner 16. Penyakit pembuluh darah otak 17. Hipertensi Osmotik diuresis akibat glukosuria tertunda disebabkan ambang ginjal yang tinggi, dan dapat muncul keluhan nokturia disertai gangguan tidur, atau bahkan inkontinensia urin. Perasaan haus pada pasien DM lansia kurang dirasakan, akibatnya mereka tidak bereaksi adekuat terhadap dehidrasi. Karena itu tidak terjadi polidipsia atau baru terjadi pada stadium lanjut. Penyakit yang mula-mula ringan dan sedang saja yang biasa terdapat pada pasien DM usia lanjut dapat berubah tiba-tiba, apabila pasien mengalami infeksi akut. Defisiensi insulin yang tadinya bersifat relatif sekarang menjadi absolut dan timbul keadaan ketoasidosis dengan gejala khas hiperventilasi dan dehidrasi, kesadaran menurun dengan hiperglikemia, dehidrasi dan ketonemia. Gejala yang biasa terjadi pada hipoglikemia seperti rasa lapar, menguap dan berkeringat banyak umumnya tidak ada pada DM usia lanjut. Biasanya tampak bermanifestasi sebagai sakit kepala dan kebingungan mendadak.
Pada usia lanjut reaksi vegetatif dapat menghilang. Sedangkan gejala kebingungan dan koma yang merupakan gangguan metabolisme serebral tampak lebih jelas. F. Pemeriksaan Penunjang 1. Glukosa darah sewaktu 2. Kadar glukosa darah puasa 3. Tes toleransi glukosa Kadar darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring diagnosis DM (mg/dl) Bukan DM Belum pasti DM DM Kadar glukosa darah sewaktu - Plasma vena - Darah kapiler Kadar glukosa darah puasa - Plasma vena - Darah kapiler < 100 <80
<110 <90 100-200 80-200
110-120 90-110 >200 >200
>126
>110 Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan : 1. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L) 2. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L) 3. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl G. Penatalaksanaan Tujuan utama terapi diabetes mellitus adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi komplikasi vaskuler serta neuropati. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa darah normal. Ada 5 komponen dalam penatalaksanaan diabetes : 1. Diet 2. Latihan 3. Pemantauan 4. Terapi (jika diperlukan) 5. Pendidikan H. Pengkajian ? Riwayat Kesehatan Keluarga Adakah keluarga yang menderita penyakit seperti klien ? ? Riwayat Kesehatan Pasien dan Pengobatan Sebelumnya Berapa lama klien menderita DM, bagaimana penanganannya, mendapat terapi insulin jenis apa, bagaimana cara minum obatnya apakah teratur atau tidak, apa saja yang dilakukan klien untuk menanggulangi penyakitnya. ? Aktivitas/ Istirahat : Letih, Lemah, Sulit Bergerak / berjalan, kram otot, tonus otot menurun. ? Sirkulasi Adakah riwayat hipertensi,AMI, klaudikasi, kebas, kesemutan pada ekstremitas, ulkus pada kaki yang penyembuhannya lama, takikardi, perubahan tekanan darah ? Integritas Ego Stress, ansietas
? Eliminasi Perubahan pola berkemih ( poliuria, nokturia, anuria ), diare ? Makanan / Cairan Anoreksia, mual muntah, tidak mengikuti diet, penurunan berat badan, haus, penggunaan diuretik. ? Neurosensori Pusing, sakit kepala, kesemutan, kebas kelemahan pada otot, parestesia,gangguan penglihatan. ? Nyeri / Kenyamanan Abdomen tegang, nyeri (sedang / berat) ? Pernapasan Batuk dengan/tanpa sputum purulen (tergangung adanya infeksi / tidak) ? Keamanan Kulit kering, gatal, ulkus kulit. I. Masalah Keperawatan 1. Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan 2. Kekurangan volume cairan 3. Gangguan integritas kulit 4. Resiko terjadi injury J. Intervensi 1. Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penurunan masukan oral, anoreksia, mual, peningkatan metabolisme protein, lemak. Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi Kriteria Hasil : ? Pasien dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien yang tepat ? Berat badan stabil atau penambahan ke arah rentang biasanya Intervensi : ? Timbang berat badan setiap hari atau sesuai dengan indikasi. ? Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang dapat dihabiskan pasien.
? Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen / perut kembung, mual, muntahan makanan yang belum sempat dicerna, pertahankan keadaan puasa sesuai dengan indikasi. ? Berikan makanan cair yang mengandung zat makanan (nutrien) dan elektrolit dengan segera jika pasien sudah dapat mentoleransinya melalui oral. ? Libatkan keluarga pasien pada pencernaan makan ini sesuai dengan indikasi. ? Observasi tanda-tanda hipoglikemia seperti perubahan tingkat kesadaran, kulit lembab/dingin, denyut nadi cepat, lapar, peka rangsang, cemas, sakit kepala. ? Kolaborasi melakukan pemeriksaan gula darah. ? Kolaborasi pemberian pengobatan insulin. ? Kolaborasi dengan ahli diet. 2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik. Tujuan : kebutuhan cairan atau hidrasi pasien terpenuhi Kriteria Hasil : Pasien menunjukkan hidrasi yang adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer dapat diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urin tepat secara individu dan kadar elektrolit dalam batas normal. Intervensi : ? Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan TD ortostatik ? Pantau pola nafas seperti adanya pernafasan kusmaul ? Kaji frekuensi dan kualitas pernafasan, penggunaan otot bantu nafas ? Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa ? Pantau masukan dan pengeluaran ? Pertahankan untuk memberikan cairan paling sedikit 2500 ml/hari dalam batas yang dapat ditoleransi jantung ? Catat hal-hal seperti mual, muntah dan distensi lambung. ? Observasi adanya kelelahan yang meningkat, edema, peningkatan BB, nadi tidak teratur ? Kolaborasi : berikan terapi cairan normal salin dengan atau tanpa dextrosa, pantau pemeriksaan laboratorium (Ht, BUN, Na, K)
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status metabolik (neuropati perifer). Tujuan : gangguan integritas kulit dapat berkurang atau menunjukkan penyembuhan. Kriteria Hasil : Kondisi luka menunjukkan adanya perbaikan jaringan dan tidak terinfeksi Intervensi : ? Kaji luka, adanya epitelisasi, perubahan warna, edema, dan discharge, frekuensi ganti balut. ? Kaji tanda vital ? Kaji adanya nyeri ? Lakukan perawatan luka ? Kolaborasi pemberian insulin dan medikasi. ? Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi. 4. Resiko terjadi injury berhubungan dengan penurunan fungsi penglihatan Tujuan : pasien tidak mengalami injury Kriteria Hasil : pasien dapat memenuhi kebutuhannya tanpa mengalami injury Intervensi : ? Hindarkan lantai yang licin. ? Gunakan bed yang rendah. ? Orientasikan klien dengan ruangan. ? Bantu klien dalam melakukan aktivitas sehari-hari ? Bantu pasien dalam ambulasi atau perubahan posisi DAFTAR PUSTAKA Luecknote, Annette Geisler, Pengkajian Gerontologi alih bahasa Aniek Maryunani, Jakarta:EGC, 1997. Doenges, Marilyn E, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3 alih bahasa I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, Jakarta : EGC, 1999. Carpenito, Lynda Juall, Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 alih bahasa YasminAsih, Jakarta : EGC, 1997.
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin asih, Jakarta : EGC, 2002. Ikram, Ainal, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Diabetes Mellitus Pada Usia Lanjut jilid I Edisi ketiga, Jakarta : FKUI, 1996. Arjatmo Tjokronegoro. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu.Cet 2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2002 Kanker Kolon Colorectal Cancer atau dikenal sebagai Ca. Colon atau Kanker Usus Besar adalah suatu bentuk keganasan yang terjadi pada kolon, rektum, dan appendix (usus buntu). Di negara maju, kanker ini menduduki peringkat ke tiga yang paling sering terjadi, dan menjadi penyebab kematian yang utama di dunia barat. Untuk menemukannya diperlukan suatu tindakan yang disebut sebagai kolonoskopi, sedangkan untuk terapinya adalah melalui pembedahan diikuti kemoterapi.
Gejala Mula-mula gejalanya tidak jelas, seperti berat badan menurun (sebagai gejala umum keganasan) dan kelelahan yang tidak jelas sebabnya. Setelah berlangsung beberapa waktu barulah muncul gejala-gejala lain yang berhubungan dengan keberadaan tumor dalam ukuran yang bermakna di usus besar. Makin dekat lokasi tumor dengan anus biasanya gejalanya makin banyak. Bila kita berbicara tentang gejala tumor usus besar,
gejala tersebut terbagi tiga, yaitu gejala lokal, gejala umum, dan gejala penyebaran (metastasis). Gejala lokalnya adalah : Perubahan kebiasaan buang air o Perubahan frekuensi buang air, berkurang (konstipasi) atau bertambah (diare) Sensasi seperti belum selesai buang air, (masih ingin tapi sudah tidak bisa keluar) dan perubahan diameter serta ukuran kotoran (feses). Keduanya adalah ciri khas dari kanker kolorektal Perubahan wujud fisik kotoran/feses Feses bercampur darah atau keluar darah dari lubang pembuangan saat buang air besar Feses bercampur lendir Feses berwarna kehitaman, biasanya berhubungan dengan terjadinya perdarahan di saluran pencernaan bagian atas Timbul rasa nyeri disertai mual dan muntah saat buang air besar, terjadi akibat sumbatan saluran pembuangan kotoran oleh massa tumor Adanya benjolan pada perut yang mungkin dirasakan oleh penderita Timbul gejala-gejala lainnya di sekitar lokasi tumor, karena kanker dapat tumbuh mengenai organ dan jaringan sekitar tumor tersebut, seperti kandung kemih (timbul darah pada air seni, timbul gelembung udara, dll), vagina (keputihan yang berbau, muncul lendir berlebihan, dll). Gejala-gejala ini terjadi belakangan, menunjukkan semakin besar tumor dan semakin luas penyebarannya Gejala umumnya adalah : Berat badan turun tanpa sebab yang jelas (ini adalah gejala yang paling umum di semua jenis keganasan) Hilangnya nafsu makan Anemia, pasien tampak pucat Sering merasa lelah Kadang-kadang mengalami sensasi seperti melayang Gejala penyebarannya adalah : Penyebaran ke Hati, menimbulkan gejala :
Penderita tampak kuning Nyeri pada perut, lebih sering pada bagian kanan atas, di sekitar lokasi hati Pembesaran hati, biasa tampak pada pemeriksaan fisik oleh dokter Timbul suatu gejala lain yang disebut paraneoplastik, berhubungan dengan peningkatan kekentalan darah akibat penyebaran kanker.
Faktor Resiko Siapa saja yang bisa terkena kanker kolon ini ? Berikut adalah faktor-faktor yang meningkatkan resiko seseorang terkena kanker kolon : Usia. Resiko meningkat dengan bertambahnya usia. Kebanyakan kasus terjadi pada usia 60 - 70 an, dan jarang di bawah usia 50 kecuali dalam sejarah keluarga ada yang terkena kanker kolon ini. Adanya
polip
pada
kolon,
khususnya
polip
jenis
adenomatosa.
Dengan
dihilangkannya polip pada saat ditemukan turut mengurangi resiko terjadinya kanker kolon di kemudian hari. Riwayat kanker. Seseorang yang pernah terdiagnosis mengidap atau pernah dirawat untuk kanker kolon beresiko untuk mengidap kanker kolon di kemudian hari. Wanita yang pernah mengidap kanker ovarium (indung telur), kanker uterus, dan kanker payudara memiliki resiko yang lebih besar untuk terkena kanker kolorektal. Faktor keturunan : Sejarah adanya kanker kolon khususnya pada keluarga dekat.
Penyakit FAP (Familial Adenomatous Polyposis) - Polip adenomatosa familial (terjadi dalam keluarga); memiliki resiko 100% untuk terjadi kanker kolorektal sebelum usia 40 tahun, bila tidak diobati. Penyakit lain dalam keluarga, seperti HNPCC (Hereditary Non Polyposis Colorectal Cancer) - penyakit kanker kolorektal non polip yang menurun dalam keluarga, atau sindroma Lynch Penyakit kolitis (radang kolon) ulseratif yang tidak diobati. Kebiasaan merokok. Perokok memiliki resiko jauh lebih besar untuk terkena kanker kolorektal dibandingkan bukan perokok. Kebiasaan makan. Pernah di teliti bahwa kebiasaan makan banyak daging dan sedikit buah, sayuran, serta ikan turut meningkatkan resiko terjadinya kanker kolorektal. Sedikit beraktivitas. Orang yang beraktivitas fisik lebih banyak memiliki resiko lebih rendah untuk terbentuk kanker kolorektal. Inveksi Virus. Virus tertentu seperti HPV (Human Papilloma Virus) turut andil dalam terjadinya kanker kolorektal. Bagaimana Mendeteksinya ? Kanker kolorektal dapat memakan waktu bertahun-tahun untuk berkembang, sehingga deteksi dini sangat berpengaruh terhadap kemungkinan sembuhnya. Bila Anda termasuk seseorang yang beresiko untuk terkena, ada baiknya Anda melakukan pemeriksaan screening. Pemeriksaan itu adalah : Pemeriksaan rektal dengan jari (Digital Rectal Exam), di mana dokter memeriksa keadaan dinding rektum sejauh mungkin dengan jari; pemeriksaan ini tidak selalu menemukan adanya kelainan, khususnya kanker yang terjadi di kolon saja dan belum menyebar hingga rektum. Pemeriksaan darah dalam tinja. Endoskopi. Pemeriksaan ini sangat bermanfaat karena selain melihat keadaan dalam kolon juga bisa bertindak, misalnya ketika menemukan polip endoskopi ini dapat sekaligus mengambilnya untuk kemudian dilakukan biopsi. Pemeriksaan barium enema dengan double contrast. Virtual Colonoscopy. CAT Scan. Pemeriksaan kadar CEA (Carcino Embryonic Antigent) darah.
Whole-body PET Scan Imaging. Sementara ini adalah pemeriksaan diagnostik yang paling akurat untuk mendeteksi kanker kolorektal rekuren (yang timbul kembali). Pemeriksaan DNA Tinja. Bagaimana Perawatannya ? Perawatan penderita tergantung pada tingkat staging kanker itu sendiri. Terapi akan jauh lebih mudah bila kanker ditemukan pada stadium dini. Tingkat kesembuhan kanker stadium 1 dan 2 masih sangat baik. Namun bila kanker ditemukan pada stadium yang lanjut, atau ditemukan pada stadium dini dan tidak diobati, maka kemungkinan sembuhnya pun akan jauh lebih sulit. Di antara pilihan terapi untuk penderitanya, opsi Operasi masih menduduki peringkat pertama, dengan ditunjang oleh kemoterapi dan/atau radioterapi (mungkin diperlukan).
Pembedahan Tindakan ini dibagi menjadi Curative, Palliative, Bypass, Fecal diversion, dan Open-and-close. Bedah Curative dikerjakan apabila tumor ditemukan pada daerah yang terlokalisir. Intinya adalah membuang bagian yang terkena tumor dan sekelilingnya. Pada keadaan ini mungkin diperlukan suatu tindakan yang disebut TME (Total Mesorectal Excision), yaitu suatu tindakan yang membuang usus dalam jumlah yang signifikan. Akibatnya kedua ujung usus yang tersisa harus dijahit kembali. Biasanya pada keadaan ini diperlukan suatu kantong kolostomi, sehingga kotoran yang melalui usus besar dapat dibuang melalui jalur lain. Pilihan ini bukanlah
suatu pilihan yang enak akan tetapi merupakan langkah yang diperlukan untuk tetap hidup, mengingat pasien tidak mungkin tidak makan sehingga usus juga tidak mungkin tidak terisi makanan / kotoran; sementara ada bagian yang sedang memerlukan penyembuhan. Apa dan bagaimana kelanjutan dari kolostomi ini adalah kondisional dan individual, tiap pasien memiliki keadaan yang berbeda-beda sehingga penanganannya tidak sama. Bedah paliatif dikerjakan pada kasus terjadi penyebaran tumor yang banyak, dengan tujuan membuang tumor primernya untuk menghindari kematian penderita akibat ulah tumor primer tersebut. Terkadang tindakan ini ditunjang kemoterapi dapat menyelamatkan jiwa. Bila penyebaran tumor mengenai organ-organ vital maka pembedahan pun secara teknis menjadi sulit, sehingga dokter mungkin memilih teknik bedah bypass atau fecal diversion (pengalihan tinja) melalui lubang. Pilihan terakhir pada kondisi terburuk adalah open-and-close, di mana dokter membuka daerah operasinya, kemudian secara de facto melihat keadaan sudah sedemikian rupa sehingga tidak mungkin dilakukan apa-apa lagi atau tindakan yang akan dilakukan tidak memberikan manfaat bagi keadaan pasien, kemudian di tutup kembali. Tindakan ini sepertinya sudah tidak pernah dilakukan lagi mengingat sekarang sudah banyak tersedia laparoskopi dan radiografi canggih untuk mendeteksi keberadaan dan kondisi kanker jauh sebelum diperlukan operasi. Terapi Non Bedah Kemoterapi dilakukan sebagai suatu tindakan untuk mengurangi terjadinya metastasis (penyebaran), perkembangan sel tumor, mengecilkan ukurannya, atau memperlambat pertumbuhannya. Radioterapi jarang digunakan untuk kanker kolon karena memiliki efek samping dan sulit untuk ditembakkan ke bagian yang spesifik pada kolon. Radioterapi lebih sering pada kanker rektal saja. Imunoterapi sedang dikembangkan sebagai terapi tambahan untuk kanker kolorektal. Terapi lain yang telah diujicoba dan memberikan hasil yang sangat menjanjikan adalah terapi Vaksin. Ditemukan pada November 2006 lalu sebuah vaksin bermerek TroVax yang terbukti secara efektif mengatasi berbagai macam kanker. Vaksin ini bekerja dengan cara meningkatkan sistem imun penderita untuk melawan penyakitnya. Fase ujicobanya saat ini sedang ditujukan bagi kanker ginjal dan direncanakan untuk kanker kolon. Terapi lainnya adalah pengobatan yang ditujukan untuk mengatasi metastasisnya (penyebaran tumornya). Nah selain dari terapi non bedah di atas, yang juga tak kalah pentingnya adalah Terapi Suportif. Diagnosis kanker sangat sering menimbulkan pengaruh yang sangat besar pada kejiwaan penderitanya. Karenanya dorongan dari rumah sakit,
dokter, suami/istri, kerabat, keluarga, social support group sangat penting bagi penderitanya. http://info-medis.blogspot.com/2008/09/kanker-kolon.html. Visit 17/12/2008; 7;43/ Pudji Wiyanti
CHIROSIS HEPATIS Ok you guys, pertama tama Fatty change itu tidak dapat terjadi dengan mudah, bukan karena terlalu banyak makan lemak or makanan berlemak! Fatty change itu terjadi karena akibat adanya hepatic injury (perlukaan pada hati), hepatic injury ini dapat disebabkan oleh banyak hal, diantaranya yang paling sering disebabkan oleh adanya kelainan pada metabolisme, gangguan metabolisme yang dapat menyebabkan terjadinya fatty change adalah gangguan metabolisme karbohidrat, metabolisme lemak dan metabolisme protein. Fatty change paling sering terjadi pada para penderita diabetes mellitus, karena adanya peningkatan kerja dari hati secara kronis, selain dari itu juga pada para penderita diabetes mellitus biasanya mengalami gangguan kadar lemak yang kita kenal dengan dyslipidemia (kadar lemak yang tinggi), karena yang dipergunakan untuk metabolisme bukan karbohidrat melainkan lemak, dan lemak yang dipergunakan adalah lemak yang berada di dalam otot dan di dalam hati, dimana lemak ini tidak dapat dipergunakan secara langsung akan tetapi perlu di rubah dahulu menjadi yang kita sebut sebagai FFA (free fatty acid = asam lemak bebas) dimana di dalam hati FFA ini akan dirubah menjadi glycogen (bahan yang dapat dibakar oleh sel untuk menjadi tenaga (ATP = Adenosin Triphospat)), terdapatnya peninggian FFA ini akan menyebabkan terjadinya peningkatan secara signifikan dari kadar lemak dalam darah (dalam hal ini cholesterol total, LDL, dan trigliserida), karena proses ini berjalan secara lama (kronis), secara perlahan tapi pasti sel hati akan mengalami "wear and tear" (menjadi letih dan rusak), sehingga sel hati yang rusak ini kemudian akan terisi oleh butiran-butiran lemak yang berasal dari dalam darah, sehingga penuh terisi oleh butiran lemak, jadilah yang kita sebut sebagai fatty change. Akan tetapi hal ini juga dapat disebabkan oleh karena terdapatnya kadar tinggi dari estrogen (hormon wanita) atau testosteron (hormon pria), dimana akan menyebabkan terjadinya peningkatan metabolisme glukosa dan protein yang terjadi di dalam hati, sehingga terjadi mekanisme "wear and tear" juga dan karena dengan pemberian hormon tersebut (biasanya karena terapi kesuburan atau terapi keganasan) maka akan
terjadi peninggian metabolisme glukosa baik yang akan dirubah menjadi glycogen or sebaliknya, maka akan meninggikan kadar FFA pula yang ada dalam darah, setiap kadar lemak yang tinggi (dalam bentuk FFA) akan menyebabkan terjadinya penumpukkan butiran lemak dalam sel hati, hal ini akan menyebabkan terjadinya fatty change. lain halnya bila Anda seorang alkoholisme, alkohol yang diminum akan meninggalkan asetil asetosal yang akan menjadi racun dalam darah kita, seperti yang kita ketahui hati adalah organ yang mempunyai fungsi untuk membuang racun dalam tubuh kita, sehingga terjadi penumpukkan racun tersebut dalam sel hati, sehingga menimbulkan kematian dari sel hati, sehingga akhirnya sel hati tersebut akan digantikan dengan jaringan ikat, hal inilah yang kita kenal dengan chirrosis (kekakuan/kekerasan) hati, sehingga menyebabkan terjadinya portal hypertension yang menyebabkan terjadinya penumpukkan cairan dalam rongga perut, seperti yang terjadi pada para pasien yang mengalami chirrosis hepatis kronis sehingga menyebabkan besarnya ukuran perut dari para penderita penyakit tersebut! Kadar SGPT yang tinggi disebabkan oleh adanya perlukaan pada sel hati, hal ini kita sebut sebagai hepato injury, hal ini dapat disebabkan oleh berbagai hal, diantaranya adalah terjadinya infeksi oleh virus, ataupun hal-hal yang telah saya sebutkan diatas. Akan tetapi tingginya SGPT ini tidak hanya dapat disebabkan oleh perlukaan sel hati tapi dapat juga disebabkan terjadinya perlukaan pada otot jantung, atau jaringan saluran pencernaan (usus), atau otot yang lainnya. Kadar SGOT yang tinggi disebabkan terjadinya kematian sel, baik pada sel hati, sel otot jantung, sel jaringan pencernaan, sel otot. Kita mengetahui perbedaan dari masing-masing biasanya dari keluhan dari pasien itu sendiri, bila keluhan pada dada maka kadar SGPT (ALT) dapat kita simpulkan berasal dari jantung, akan tetapi bila keluhan di daerah abdomen dapat kita perkirakan dari hati, dengan catatan dia tidak dalam keadaan setelah melakukan pekerjaan berat (lari marathon, atau pun orang yang biasa hidup dengan santai tiba-tiba harus bertani misalnya). Sedangkan kadar alkali fosfatase menunjukkan fungsi dari sel-sel di dalam hati, dimana bila ada kadar alkali fosfatase yang tinggi menunjukkan terjadinya gangguan fungsi dari sel hati, akan tetapi kita tidak dapat mengetahui mengapa yang kita ketahui adalah bila kadarnya tinggi maka fungsi dari sel hati mengalami gangguan, gangguan ini dapat menyebabkan terjadinya perlukaan dari sel hati itu sendiri sehingga menyebabkan terjadinya peninggian dari SGPT, yang
akhirnya dapat menyebabkan terjadinya kematian dari sel hati sehingga meningkatkan kadar dari SGOT, bila cukup banyak sel hati yang mengalami gangguan maka pasien tersebut akan mengalami gangguan metabolisme dari bilirubin (yang merupakan produk pemecahan dari sel darah merah yang dipecah menjadi heme dan globin, dimana heme ini akan dimurnikan menjadi 4 cincin molekul besi (Fe) dan akan di angkut ke dalam sumsum tulang untuk di daur ulang, sedangkan globin akan dipecah menjadi protein dan biliverdin (zat warna) dan biliverdin akan dipecah lagi menjadi bilirubin dalam sel hati) pada orang yang mengalami gangguan fungsi hati lebih dari 50% akan menyebabkan terjadinya icteric (kuning) karena terjadi peninggian kadar bilirubin dalam darah, dimana bilirubin ini dalam tidak berikatan (indirect) sehingga dia lebih mudah berikatan dengan lemak dan seperti yang kita ketahui dibawah kulit kita banyak sekali memiliki jaringan lemak jadi dia akan berikatan dibawah kulit kita sehingga bila kita lihat kulit kita akan menjadi berwarna kuning (warna dari billirubin). Sedangkan Gamma GT akan meninggi bila terjadi penyumbatan pada ductus hepaticus (saluran empedu), penyumbatan ini akan menyebabkan terjadinya aliran balik dari asam empedu, sehingga bila terbendung maka asam empedu ini akan berbalik ke sel hati lagi dan menyebabkan terjadinya pencernaan sel hati oleh asam empedu yang dihasilkan oleh sel hati itu sendiri sehingga menyebabkan terjadinya kerusakkan dari sel hati itu sendiri, penyumbatan ini dapat tejadi oleh karena banyak hal, diantaranya batu empedu, radang pada saluran empedu karena terkena infeksi (biasanya thypoid (tifes), hepatitis, demam berdarah, amoeba, dll) Untuk mengetahui ada atau tidaknya fatty change yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan USG, dengan gambaran echoic pada permukaan dari hati (gambar putih dengan tekstur halus). Bila Anda terkena fatty change ada beberapa hal yang dapat Anda lakukan kita dapat mencegah terjadinya perluasan dari fatty change yang terjadi dengan mengkonsumsi bahan hepatoprotector (pelindung fungsi hati) yang paling sederhana adalah Vit B6, dengan konsumsi 1-2 tablet perhari sudah cukup baik. Akan tetapi bila Anda ingin yang lebih baik, Anda dapat menggunakan cucurma (temulawak) dengan mengkonsumsi ini Anda dapat mencegah terjadinya kerusakkan lebih lanjut dari hati Anda sekaligus juga Anda dapat memperbaiki metabolisme dari karbohidrat dalam tubuh Anda, sehingga Anda dapat merasakan segar, dan lebih bertenaga.
Ada yang lain yang dapat Anda pergunakan yaitu penggunaan Spirulina (ganggang) dengan menggunakan Spirulina ini selain Anda dapat mencegah perluasan dari kerusakkan hati Anda, Spirulina ini merupakan suatu anti virus yang sangat kuat, sehingga bila yang menyebabkan terjadinya kerusakkan dari hati Anda disebabkan oleh virus, maka virus ini akan sekaligus juga dimatikan oleh Spirulina ini, selain dari itu Spirulina ini adalah satu-satunya makanan yang mengandung GABA (Gamma Amino Butiric Acid) yang merupakan neurotransmitter (bahan penyambung signal pada sistem syaraf) sehingga dapat meningkatkan tingkat konsentrasi dan stamina, juga mengandung ALA (alpha linolenic Acid) yang merupakan asam amino yang menstabilkan metabolisme protein dan glukosa dalam tubuh kita yang dapat mencegah terjadinya kerusakkan atau kemunduran fungsi berbagai macam sel dalam tubuh kita, selain dari itu dia juga mampu untuk meningkatkan kadar sel darah putih sehingga dapat juga meningkatkan daya tahan kita terhadap penyakit. Selain dari itu Spirulina ini memiliki kadar phycocyanin (zat warna hijau dan biru) dimana bahan ini merupakan bahan yang memiliki efek anti radang yang sangat kuat, sehingga dapat menghilangkan rasa nyeri yang ditimbulkan oleh radang, juga dia merupakan suatu anti kanker yang kuat (untuk mendapatkan efek tersebut Anda perlu mengkonsumsi Spirulina sebanyak 1 - 2 gram perhari) untuk mendapatkan Spirulina ini Anda dapat menghubungi Sdr.Pieter di 0817221348, dia menjual Spirulina ini. Sedang untuk menangani fatty change yang telah terjadi Anda dapat menggunakan obat yang kita sebut dengan metformin 500mg, untuk penggunaan obat ini Anda perlu menghubungi dokter yang dekat dengan Anda, memang biasanya metformin ini dipergunakan untuk mereka yang menderita diabetes, tapi pengunaan metformin pada kasus Anda bukan untuk menurunkan kadar gula darah,akan tetapi untuk menghancurkan lemak yang sudah tertimbun dalam hati Anda. Demikian pembahasan saya tentang penyakit yang Anda hadapi semoga berguna! Bila Anda bingung atau ada pertanyaan silahkan Anda PM saja saya or Anda dapat menulis email ke
[email protected], saya akan dengan senang hati menjawab semua pertanyaan Anda. http://forum.wgaul.com/showthread.php?t=37043&highlight=fatty&page=2. 17/12/2008.7;59 / Pudji Wiyanti
visit,