ASAS ULTIMUM REMEDIUM DALAM PEMIDANAAN ANAK NAKAL Riza Alifianto Kurniawan
Abstract The juvenile judges’ decision to sentence juvenile delinquent in prison seems not to give protection for the best interest of the child. Many facts have shown that the increasing number of juvenile delinquent cases reflects the objective of prison punishment is far from the expectation. Prison punishment decisions should then be the last option; this is in line with the “last resort” principle (ultimum remedium). This article is aimed to analyze the application of ultimum remedium principle in sentencing juvenile delinquent. Keywords: juvenile sentencing, juvenile judges, ultimum remedium.
I.
PENDAHULUAN Undang-undang No 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak sudah berlaku
selama kurang lebih satu dasawarsa. Undang Undang ini mengatur secara khusus mekanisme pemidanaan dan pemberian tindakan terhadap anak pelaku tindak pidana yang masih berusia kurang dari 18 tahun. Dengan demikian substansi Undang Undang ini lebih lengkap dibandingkan dengan pasal 45, pasal 46, dan pasal 47 KUHP Keberadaan Undang Undang Tentang Pengadilan Anak ini memberikan harapan akan tersedianya peraturan hukum yang mengkhususkan pengaturan terhadap anak nakal. Peraturan ini diharapkan mampu memberikan perlindungan terhadap anak yang menjadi pelaku tindak pidana dan anak yang melakukan perbuatan yang terlarang bagi anak menurut peraturan perundang-undangan dan menurut peraturan hukum lain yang berlaku di masyarakat. Dalam Undang Undang Tentang Pengadilan Anak terdapat pengaturan tentang batas usia anak yang menjadi kompetensi absolutnya, sanksi pidana yang dapat diancamkan, hukum acara, dan tindakan (maatregel) bagi anak nakal pelaku tindak pidana (anak nakal dan anak yang melakukan perbuatan yang terlarang bagi anak).
Departemen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya. Kritik terhadap artikel ini dapat dikirimkan melalui:
[email protected].
1
Mekanisme perlindungan dan pembinaan dalam Undang Undang Pengadilan Anak mencerminkan perlindungan kepentingan anak yang berhadapan dengan hukum. Perkara anak yang menjadi kompetensi pengadilan anak semakin lama semakin meningkat jumlah perkaranya, hal ini disebabkan selain karena faktor ekonomi dari anak tersebut juga karena tujuan pemidanaan secara umum (general deterence) yaitu mencegah masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana berjalan kurang efektif1. Perlindungan yang diberikan oleh Undang Undang Pengadilan Anak berbeda dengan Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 KUHP yang sudah dinyatakan tidak berlaku oleh Pasal 67 yang isinya adalah sebagai berikut : Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku lagi. Adanya perlindungan pada anak yang dijatuhi pidana dalam undang undang ini tercermin dalam ketentuan di bawah ini Pasal 26 ayat 1 Undang Undang Pengadilan Anak yang isinya sebagai berikut : Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa Maksimum pidana penjara yang diancamkan juga tidak boleh lebih dari ½(setengah). dari maksimum pidana penjara bagi orang dewasa. Selain itu, pidana mati juga tidak dapat dijatuhkan terhadap anak nakal sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat 2 Undang Undang Pengadilan Anak yang isi pasal selengkapnya adalah sebagai berikut : Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah : a) b) c) d)
pidana penjara; pidana kurungan; pidana denda; atau pidana pengawasan. Selain itu perlindungan yang diberikan tidak hanya dalam hukum materiil saja
tetapi juga dalam hukum formil. Sekalipun dalam Undang Undang Pengadilan Anak
1
Lihat Penelitian Ruben Achmad, “Upaya Penyelesaian Masalah Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Di Kota Palembang”, 2005.
2
diatur secara khusus hukum acara untuk pengadilan anak, namun masih memakai KUHAP sebagai hukum generalisnya. Selanjutnya penegasan tentang batas umur minimum dan maksimum dalam undang undang ini sesungguhnya merupakan bentuk perlindungan hukum terhadap anak nakal. Meningkatnya jumlah perkara anak dan recidivis anak menunjukkan pemidanaan yang diatur dalam Undang Undang Pengadilan Anak masih menunjukkan kelemahan.2 Banyaknya putusan pengadilan anak yang cenderung menjatuhkan pidana penjara daripada tindakan terhadap anak nakal, sebenarnya tidak sesuai dengan filosofi dari pemidanaan dalam hukum pidana anak. Penjatuhan pidana secara tidak tepat dapat mengabaikan pengaturan perlindungan, karena pemidanaan anak seharusnya adalah jalan keluar terakhir (ultimum remedium/the last resort principle) dan dijatuhkannya hanya untuk waktu yang singkat. Penjatuhan pidana sebagai ultimum remedium atau the last resort principle adalah salah satu bentuk perlindungan terhadap kepentingan terbaik anak. Asas ultimum remidium atau the last resort untuk pemidanaan anak juga memiliki landasan hukum dalam Instrumen-Instrumen Internasional yaitu Beijing Rules, Riyadh Guidelines, Peraturan-Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya. Ketentuan hukum internasional seperti Beijing Rules (United Nations Standard Minimum Rules For The Administration of Juvenile Justice) menegaskan bahwa Sistem peradilan bagi anak akan mengutamakan kesejahteraan anak dan akan memastikan bahwa reaksi apapun terhadap pelanggar-pelanggar hukum berusia anak akan selalu sepadan dengan keadaan-keadaan baik pada pelanggar-pelanggar hukumnya maupun pelanggaran hukumnya. Anak-anak hanya dapat dihilangkan kebebasannya harus sesuai dengan ketentuan yang ada dalam The Beijing Rules. Ditegaskan bahwa, menghilangkan kebebasan seorang anak haruslah merupakan suatu keputusan yang bersifat pilihan terakhir dan untuk masa yang minimum serta terbatas pada kasus-kasus yang luar biasa. Ketentuan demikian terdapat dalam bagian satu prinsip-prinsip umum butir ke-5 tentang Tujuan-tujuan peradilan bagi anak.
Selanjutnya dalam The Riyadh Guidelines (United Nations
Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency) butir 54 menyebutkan tidak seorang anak atau remajapun yang menjadi obyek langkah-langkah penghukuman
2
Ibid h.2
3
yang keras dan merendahkan martabat di rumah, sekolah atau institusi-institusi lain. Ditegaskan dalam Peraturan-Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya (United Nations Rules For The Protection of Juveniles Deprived of Their Liberty) bahwa, Sistem pengadilan anak harus menjunjung tinggi hak-hak dan keselamatan serta memajukan kesejahteraan fisik dan mental anak. Hukuman penjara harus digunakan sebagai upaya terakhir. Dalam The United Nations Rules for The Protection of Juvenile Deprived Of Their Liberty ini menyebutkan seperti dalam Beijing Rules bahwa perampasan kemerdekaan anak hendaknya ditempatkan sebagai usaha terakhir dan itupun untuk jangka waktu yang pendek. Perampasan kemerdekaan atas diri anak, hendaknya tetap memperhatikan penghormatan hak-hak asasi anak, yang diwujudkan dalam bentuk penyediaan tempat kegiatan yang bermanfaat demi peningkatan kesehatan dan munculnya self-respect pada diri anak dalam rangka mempersiapkan anak berintegrasi di masyarakat. Dalam kepustakaan dan doktrin ditekankan bahwa, tujuan pemidanaan yang mempunyai fungsi perlindungan dan kesejahteraan menjadi pandangan yang banyak diikuti oleh para ahli hukum pidana saat ini. Para ahli hukum pidana berpendapat bahwa pemidanaan diusahakan untuk lebih manusiawi dan menjaga harkat dan martabat dari terpidana sehingga ketika dia kembali ke masyarakat, terpidana menjadi orang yang berguna di masyarakat. Tujuan pemidanaan yang memberikan perlindungan dan kesejahteraan pada pelaku tindak pidana sesuai juga dengan tujuan pemidanaan kelompok utilitarian, yang terfokus pada segi manfaat atau kegunaannya. Dalam konteks ini, penekanannya pada situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan melalui penjatuhan pidanatersebut. Pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang dilarang itu. Pandangan ini dikatakan berorientasi ke depan (forward looking) dan sekaligus mempunyai sifat penjeraan (detterence). Seorang penulis lain, Fox berpendapat bahwa tujuan dari pemidanaan anak adalah “…to provide for welfare and healthy development of all children who come before it, including those who are charged with violating the criminal law.”3 Jadi
3
Bartollas, Clemens, Juvenile Delinquency, Sec ed, MacMillan Publishing Company, New York,1990 h.309
4
pemidanaan terhadap anak bertujuan untuk memberikan kesejahteraan dan perlindungan bagi perkembangan anak termasuk dalam anak yang dituntut karena pelanggaran hukum pidana. Dengan demikian pemidanaan terhadap anak nakal haruslah tetap memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi perkembangan fisik dan psikis anak. Instrumen-instrumen Internasional seperti Beijing Rules, Riyadh Guidelines, dan Peraturan PBB(United Nation Conventions) memberikan perlindungan bagi pelaku tindak pidana yang belum berumur 18 tahun ketika menghadapi proses peradilan sampai pemberian putusan. Berdasarkan latar belakang permasalahan yang dikemukakan di atas, dirumuskan permasalahan di bawah : 1. Apakah pemidanaan terhadap anak nakal telah mempertimbangkan asas ultimum remedium demi perlindungan terhadap kepentingan terbaik anak? 2. Apakah alternatif sanksi lain yang dapat dijatuhkan terhadap anak nakal?
II.
TUJUAN PEMIDANAAN ANAK Pada dasarnya ada 3 teori tentang tujuan pemidanaan pada umumnya yang
dikemukakan oleh beberapa sarjana yaitu4 : 1. Teori Absolut (Vergeldingstheorie) Pokok dari ajaran teori ini adalah bahwa yang dianggap sebagai dasar daripada pidana adalah sifat pembalasan (‘vergelding’ atau ‘vergeltung’). Para sarjana yang berpendapat demikian ini alam pikirannya diliputi oleh pendapat bahwa pidana adalah suatu pembalasan. Pemberian pidana dapat dibenarkan, karena telah terjadi suatu kejahatan, kejahatan dimana telah menggoncangkan masyarakat. Apabila seseorang telah melakukan kejahatan, maka karena perbuatannya itu akan menimbulkan suatu penderitaan terhadap anggota masyarakat yang lain. Untuk mengembalikan keadaan semula sebagaimana sebelum terjadi kejahatan, maka penderitaan harus dibalas dengan suatu penderitaan pula, yaitu yang terdiri dari suatu pidana (nestapa), dan pidana ini harus dirasakan sebagai suatu nestapa (‘leed’). Ajaran ini dianut oleh para Sarjana
4
Periksa Hermien Hadiati Koeswadji, Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995 hal : 7-13;Bandingkan juga dengan Bemmelen dan Van Hatum
5
Hukum pada masa awal berkembangnya hukum pidana yang masih berpendapat bahwa pemberian pidana sebagai balasan atas perbuatan pelaku tindak pidana. 2. Teori Tujuan atau Relevansi Teori ini bertujuan : a. Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (de handhaving van de maatschappelijke); b. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat daripada terjadinya kejahatan (het herstel van het door de misdaad ontstane maatschappelijke nadeel); c. Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering van de dader) d. Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de misdadiger); e. Untuk mencegah kejahatan (ter verkoming van de misdaad) Dalam kepustakaan ditegaskan bahwa teori berkembang setelah teori absolut mulai banyak ditinggalkan alasannya karena tujuan pemidanaan relevansi ini yang didasarkan pada teori absout tidak membuat para pelaku tindak pidana berkurang tetapi justru semakin bertambah. Pelaku disini diperlakukan tidak manusiawi. Mengenai pencegahan kejahatan yang dimaksud dalam huruf e dapat diperinci dalam dua aliran yang berkembang yaitu : 1. Algemene atau generale preventie (pencegahan umum) yaitu pencegahan yang ditujukan kepada masyarakat, sehingga sifat pencegahannya bersifat umum. Cara yang dilakukan oleh sarjana-sarjana yang menganut Algemene atau generale preventive ialah dengan menakut-nakuti masyarakat dengan memberikan ancaman-ancaman hukuman yang berat kepada semua pelanggar pelaku tindak pidana. 2. Bijzondere atau Speciale Preventie (pencegahan khusus), yaitu pencegahan yang ditujukan kepada si penjahat itu sendiri. Para sarjana yang menganut speciale preventie lebih mengedepankan pendidikan dan memasyarakatkan lagi para narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Cara-cara yang mereka lakukan bisa dengan memberikan pendidikan kepada para narapidana, memberikan mereka keterampilan kerja sehingga diharapkan mereka tidak mengulangi perbuatan pidana lagi.
6
3. Teori Gabungan atau Campuran (Verenigings atau Gemengde Theorien) Pemikiran dari teori ini beranjak dari kelemahan-kelemahan dari teori-teori absolut dan relatif. Kelebihan-kelebihan dari teori absolut dan relatif menjadi kekuatan dari teori ini. Diharapkan kelemahan-kelemahan dari teori absolut dan relatif menjadi hilang. Adapun kelemahan-kelemahan dari teori absolut ialah : a. Dapat menimbulkan ketidakadilan. Misalnya pada pembunuhan, tidak semua pelaku pembunuhan dijatuhi pidana mati, melainkan harus dipertimbangkan berdasarkan alat-alat bukti yang ada. b. Apabila yang menjadi dasar daripada teori ini adalah untuk pembalasan, maka mengapa hanya negara saja yang memberikan pidana? Sedangkan kelemahan-kelemahan teori tujuan adalah5 : 1. Dapat menimbulkan ketidakadilan pula. Misalnya apabila tujuan untuk mencegah kejahatan itu dengan jalan menakut-nakuti, maka mungkin pelaku kejahatan yang ringan dijatuhi pidana yang berat sekedar untuk menakutnakuti saja, sehingga menjadi tidak seimbang. Hal mana yang bertentangan dengan keadilan. 2. Kepuasan masyarakat diabaikan. Misalnya jika tujuan itu semata-mata adalah untuk memperbaiki si penjahat, masyarakat yang membutuhkan kepuasan dengan demikian diabaikan. 3. Sulit untuk dilaksanakan dalam praktek. Bahwa tujuan mencegah kejahatan dengan jalan menakut-nakuti itu dalam praktek sulit dilaksanakan. Misalnya terhadap recidivis. Anak yang berkonflik dengan hukum dapat didefinisikan sebagai anak yang disangka, dituduh, atau diakui sebagai telah melanggar undang undang hukum pidana. Majelis Umum PBB dalam Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice atau yang dikenal dengan Beijing Rules mendefinisikan sebagai berikut a child or young person who is alleged to have committed or who has been found to have committed an offence. Dalam konvensi Hak Anak/KHA (Convention On The Rights of The Child), anak yang berkonflik dengan hukum dikategorikan sebagai anak dalam situasi khusus (children in need of special protection). UNICEF mengkatagorikan anak dalam kelompok ini sebagai children in especially difficult 5
Ibid h.7-13
7
circumstances karena kebutuhan-kebutuhannya tidak terpenuhi, rentan mengalami tindak kekerasan, berada di luar lingkungan keluarga (berada pada lingkup otoritas institusi Negara), membutuhkan proteksi berupa regulasi khusus, dan membutuhkan perlindungan dan keamanan diri. Kebutuhan-kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi karena anak tersebut tidak mendapatkan perlindungan dan perawatan yang layak dari orang dewasa yang berada di lingkungan tempat di mana anak biasanya menjalani hidup. Pengaturan yang seharusnya dijadikan pedoman oleh hakim anak di Indonesia, terdapat dalam hukum positif sehingga merupakan landasan yuridis yang kuat. Penyimpangan terhadap dasar hukum sedemikian dapat bersifat fatal bagi masa depan anak. Bahkan dalam Konsideran huruf b Undang Undang Tentang Pengadilan Anak menyebutkan bahwa, untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan, baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai, oleh karena itu ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara khusus. Selanjutnya dikemukakan dalam Penjelasan Umum Undang Undang Tentang Pengadilan Anak terdapat konsep pembedaan perlakuan (individualisasi perlakuan) terhadap perkara anak. Pemberian perlindungan ini dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi anak agar masa depan anak tersebut dapat diselamatkan. Pembedaan perlakuan itu sendiri diharapkan juga mampu membina anak agar memperoleh jati diri untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Penegasan
bahwa dalam pelaksanaan hukum kepentingan anak harus
merupakan pertimbangan utama tercantum juga dalam Konvensi Hak Anak PBB di dalam prinsip ke 2 yaitu yang berbunyi : In the enactment of laws for this purpose the best interests of the child shall be paramount consideration.6 Anak pelaku tindak pidana akan tumbuh dan berpotensi menjadi penjahat dewasa di masa depan, jika tidak ditangani secara tepat. Penjatuhan pidana pada pelaku yang belum berumur 18 tahun diharapkan mencapai tiga tujuan yaitu : a. Bahwa pidana dan penanganan orang yang belum berumur 18 tahun akan lebih ditujukan pada perbaikan individu, 6
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana,Alumni,Bandung,1992 h:114
8
b. Bahwa pidana dan tindakan sedapat mungkin harus disesuaikan pada pandangan hidup yang terbatas dari pelaku yang berumur kurang dari 18 tahun, c. Bahwa dengan pidana dan tindakan, akan dicegah pengulangan kejahatan dan jumlah residivis akan berkurang. Peradilan anak (Juvenile Justice System) menurut Beijing Rules juga mempunyai tujuan (Aims of Juvenile Justice) dalam rule 5.1 yaitu : The Juvenile justice system shall emphasize the well being of the juvenile and shall ensure that any reaction to juvenile offenders shall always be in proportion to the circumstances of both the offender and the offence7. The Aims of Juvenile Justice System dalam Beijing rules ini mempunyai dua sasaran yang penting yaitu8 : 1. Memajukan kesejahteraan anak. Sasaran ini merupakan fokus utama dalam sistem hukum yang menangani perkara anak, khususnya di dalam sistem hukum
yang mengikuti model peradilan pidana
yang menekankan
kesejahteraan anak 2. Prinsip proporsionalitas. Prinsip yang merupakan alat untuk mengekang penggunaan sanksi yang bersifat menghukum dalam arti membalas sematamata (just desort) Peradilan anak sebagai bagian integral dari kebijakan keadilan sosial anak, bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anak dengan berpegang pada asas proporsionalitas. Prinsip pencerminan keadilan sosial anak ini selanjutnya tersirat pula dari berbagai ketentuan di setiap tahapan proses peradilan anak. Tuntutan agar anak tetap diperhatikan dalam proses peradilan anak dan pemberian kesempatan diskresi seluas-luasnya pada setiap tingkatan pemeriksaan merupakan cerminan dari prinsip tersebut. Di samping perlu diperhatikannya hak-hak anak dalam kontak awal anak dengan penegak hukum(polisi) dan penggunaan sarana yang berupa diversion. Hakhak anak itu antara lain 9: 1. Hak untuk diberitahukannya tuduhan (the right to be notified of the charges) 2. Hak untuk tetap diam (the right to remain silent) 3. Hak untuk memperoleh penasehat hukum (the right to counsel) 7
Ibid h: 114 Ibid h: 116 9 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana,Alumni,Bandung,1992 h: 126 8
9
4. Hak untuk hadirnya orang tua/wali (the right to the presence of a parent or guardian) 5. Hak untuk menghadapkan saksi dan pemeriksaan silang para saksi (the right to confront and cross-examine witnesses) 6. Hak untuk banding ke tingkat yang lebih atas (the right to appeal to a higher authority) Ditegaskan bahwa, pada fase ajudikasi dan disposisi, dituntut agar ada kejelasan mengenai pihak-pihak yang diberi wewenang dalam proses ajudikasi dan disposisi. Dalam hal ini terkait dengan pemberian kesempatan pada orang tua dan penasihat hukum untuk terlibat selama proses ajudikasi dan disposisi, penyediaan laporan sosial anak dan penyusunan kriteria yang jelas tentang penempatan anak dalam lembaga koreksi. Prinsip yang harus diperhatikan dalam disposisi adalah, penempatan anak di dalam lembaga koreksi harus ditempatkan sebagai usaha terakhir dan dalam jangka waktu yang pendek. Dalam instrumen internasional diatur juga beberapa konvensi yang memberikan perlindungan kepada anak yang melakukan tindak pidana. Perlindungan ini tidak hanya mengenai hak-hak normatif anak saja tetapi juga ada perlindungan terhadap anak yang akan dikenakan sanksi pidana. Perlindungan itu berupa pengenaan tindakan daripada pidana. Pidana sebagai alterantif terakhir dan jangka waktunya diusahakan sesingkat mungkin. Pemberian pembedaan perlakuan terhadap perkara anak adalah salah satu bentuk perlindungan yang diakui dalam Undang Undang Tentang Pengadilan Anak. Asas ultimum remedium atau asas yang menggunakan sanksi pidana sebagai pilihan terakhir untuk menyelesaikan perkara anak tidak dapat dilepaskan dari sistem pemidanaan dari hukum pidana anak atau dalam hal ini pemidanaan yang terdapat dalam Undang Undang Tentang Pengadilan Anak. Pemidanaan anak di sini diatur dalam pasal 22 sampai pasal 32. Pemberian sanksi terhadap anak nakal dalam undang undang ini bukan hanya dengan diberikan berupa pemidanaan tetapi juga dengan pemberian tindakan. Pemberian sanksi terhadap anak nakal yang melakukan tindak pidana dan anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan, diberikan sanksi yang berbeda. Menurut pasal 25 Undang Undang Tentang Pengadilan Anak :
10
Pasal 25 (1) Terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, Hakim menjatuhkan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24. (2) Terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf b, Hakim menjatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24. Dalam penjelasannya disebutkan : Dalam menentukan pidana atau tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak, hakim memperhatikan berat ringannya tindak pidana atau kenakalan yang dilakukan oleh anak yang bersangkutan. Disamping itu Hakim juga wajib memperhatikan keadaan anak, keadaan rumah tangga orang tua, wali, atau orang tua asuh, hubungan antara anggota keluarga dan keadaan lingkungannya. Demikian pula Hakim wajib memperhatikan laporan Pembimbing Kemasyarakatan. Selain itu, sistem pemidanaan anak dalam Undang Undang ini memuat juga sanksi pidana bersyarat, sebagaimana terdapat dalam pasal 29. Pidana bersyarat ini dapat dijatuhkan oleh hakim apabila pelaku dipidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2(dua) tahun. Alternatif lain adalah pidana pengawasan yang dapat juga dijatuhkan tetapi hanya untuk anak nakal yang melakukan tindak pidana. Pidana Pengawasan ini lama penjatuhannya paling singkat 3 bulan dan paling lama 2 tahun. Pengaturannya terdapat dalam pasal 30, yang menyebutkan : Pasal 30 (1) Pidana pengawasan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun. (2) Apabila terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, dijatuhkan pidana pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka anak tersebut ditempatkan di bawah pengawasan Jaksa dan bimbingan Pembimbing Kemasyarakatan. (3) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana pengawasan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Dalam Penjelasannya disebutkan : Yang dimaksud dengan ‘pidana pengawasan’, adalah pidana yang khusus dikenakan untuk anak yakni pengawasan yang dilakukan oleh Jaksa terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari, di rumah anak tersebut dan pemberian bimbingan yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan. 11
Memang dalam pengaturan tersebut di atas tidak secara eksplisit tercantum bahwa pemberian pidana terhadap anak nakal merupakan upaya terakhir/ultimum remedium dalam menyelesaikan perkara anak. Penjatuhan sanksi pidana atau tindakan terhadap perkara anak masih digantungkan pada putusan hakim anak. Namun dalam menerapkan hukum positif hakim tetap harus memahami doktrin dalam ilmu pengetahuan hukum (Pidana) sebagai salah satu sumber hukum. Berdasarkan beberapa dokumen putusan Pengadilan Negeri Semarang antara tahun 2002 sampai dengan 2005 ditemukan bahwa Hakim anak dalam menangani perkara anak cenderung menjatuhkan putusan yang berisi pemidanaan berupa penjara meskipun dengan jangka pendek10. Kecenderungan sedemikian bertentangan atau tidak sesuai dengan asas ultimum remidium karena pemberian pidana walaupun dalam jangka waktu pendek memberikan stigma yang buruk kepada pelaku dalam hal ini anak yang harus dilindungi kepentingannya (masa depan anak). Seharusnya, pemberian pidana penjara merupakan upaya terakhir dan berorientasi pada kesejahteraan anak. Selain dalam hukum positif, ternyata dalam Rancangan Undang Undang KUHP disebutkan dalam pasal 51 RUU KUHP tentang tujuan pemidanaan yaitu : 1. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; 2. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; 3. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;dan 4. membebaskan rasa bersalah pada terpidana11. Pandangan
yang memberikan pemidanaan
yang berorientasi kepada
kesejahteraan dan perlindungan pelaku sudah dipikirkan sampai kepada peraturan hukum yang berorientasi ke masa depan (ius constituendum). Namun untuk menyelesaikan perkara anak secara konseptual pendekatan kesejahteraan yang paling tepat dalam konteks ini adalah pendekatan restorative justice, karena pendekatan ini mencakup hal-hal sebagai berikut :
10
Sri Sutatiek, “Putusan Pengadilan Anak Sebagai Manifestasi Perlindungan Dan Kesejahteraan Anak Di Indonesia”, Disertasi, Universitas Brawijaya, Malang, 2007, hal : 93. 11 Rancangan KUHP Indonesia Pembahasan Tahun 2005
12
1. mengindentifikasi dan menentukan langkah-langkah pemulihan kerugian 2. melibatkan semua stakesholders dalam menyelesaikan perkara 3. mentransformasi relasi tradisional antara masyarakat dan pemerintah dalam merespon tindak pidana. Secara lebih rinci, Muladi menyatakan bahwa restorative justice model mempunyai beberapa karakteristik yaitu : 1. kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain dan diakui sebagai konflik; 2. titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa depan; 3. sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negoisasi; 4. restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama; 5. keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar hasil; 6. sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial; 7. masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif; 8. peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggung jawab; 9. pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik; 10. tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial, dan ekonomis; 11. stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.12 Restorative justice model diajukan oleh kaum abolisionis yang merupakan penolakan terhadap sarana koersif yang berupa sarana penal dan diganti dengan sarana reparatif. Abolosionis menganggap sistem peradilan pidana menganggap sistem peradilan pidana mengandung masalah atau cacat struktural sehingga secara realistis harus dirubah dasar-dasar struktur dari sistem tersebut. Dalam konteks sistem
12
Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995 h : 90
13
sanksi pidana, nilai-nilai yang melandasi paham abolisionis masuk akal untuk mencari alternatif sanksi yang lebih layak dan efektif daripada lembaga seperti penjara13. Restorative justice menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam keterlibatan yang langsung dari para pihak. Korban mampu untuk mengembalikan unsur kontrol, sementara pelaku didorong untuk memikul tanggung jawab sebagai langkah dalam memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam membangun meperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam membangun sistem nilai sosialnya. Keterlibatan komunitas secara aktif memperkuat komunitas itu sendiri dan mengikat komunitas akan nilai-nilai untuk menghormati dan rasa saling mengasihi antar sesama. Peranan pemerintah secara substansial berkurang dalam memonopoli proses peradilan sekarang ini. Restorative justice membutuhkan usaha-usaha yang kooperatif dari komunitas dan pemerintah untuk menciptakan sebuah kondisi dimana korban dan pelaku dapat merekonsiliasikan konflik mereka dan memperbaiki luka-luka mereka. Anak-anak yang menjadi pelaku tindak pidana harus didahulukan kepentingannya baik selama proses perkara itu berlangsung maupun waktu anak menjalani pidananya. Pendekatan restorative justice adalah pendekatan penyelesaian masalah anak yang paling sesuai untuk menyelesaikan masalah tindak pidana anak karena pendekatan ini melihat dari kesejahteraan dan perlindungan terhadap anak. Penjabaran dari prinsip-prinsip dalam instrument internasional, oleh Clement Barttolas diintrodusir 4 macam Model tujuan pemidanaan yaitu14 : 1. The Rehabilitation Model. Tujuan pemidanaan menurut Rehabilitation Model adalah atau pola-pola perilaku pelanggar untuk mengurangi kecenderungankecenderungan terjadinya kejahatan di kalangan anak muda. Ada 3 model yaitu : a. Medical Model b. Adjustment Model c. Integration Model
13
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Pemidanaan, Pidana, dan tindakan dalam rancangan KUHP, Jakarta, 2005 14 Bartollas, Clemens, Juvenile Delinquency, Second Edition, MacMillan Publishing Company, New York,1990 h : 220
14
2. The Justice Model. Tujuan pemidanaan adalah pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana adalah hak. Pemidanaan haruslah beralasan kemanusiaan merubah watak sikap dan konstitusional dalam praktek pelaksanaannya. 3. The Crime Control Model. Tujuan Pemidanaan menurut model ini adalah upaya pemecahan (penyeleseian) permasalahan yang terbaik dalam rangka melindungi masyarakat dan mencegah terjadinya kejahatan (preventif). Pemidanaannya dapat membantu mengajarkan tanggung jawab, ketekunan, kejujuran, dan mengefektifkan sistem peradilan. 4. The Logical Consequences Model. Tujuan pemidanaan menurut model ini adalah membentuk kesadaran dan mendidik juvenile delinquency untuk bertanggung jawab. Konsekuensi dari pemidanaan menurut model ini adalah pelaku dapat dibebaskan, dimasukkan sekolah khusus Juvenile Delinquency, atau diberi sanksi pidana sesuai dengan perbuatannya.
Tujuan Pemidanaan anak tercapai atau tidak, dapat tercermin dari jumlah anak nakal yang relatif tereliminasi, karena penanganan yang tepat dalam proses peradilan. Di satu pihak, jika dilihat dari jumlah anak nakal dan residivis anak yang semakin meningkat, sedangkan di lain pihak telah tersedia perangkat hukum dari tingkat internasional sampai tingkat nasional yang memadai, maka cukup beralasan adanya keraguan tentang peranan aparat penegak hukum khususnya dalam konteks ini Hakim Anak. Terkait dengan pertimbangannya tentang asas ultimum remedium dalam menjatuhkan putusan pidana penjara terhadap anak nakal.
III.
ALTERNATIF SANKSI BAGI ANAK NAKAL Asas ultimum remidium atau the last resort principle dalam peradilan anak
tidak terlepas dari peranan Hakim anak dalam mengadili perkara anak. Peranan hakim dalam peradilan anak sangat penting karena vonis dari hakim apakah akan menjatuhkan pidana(straf) atau memberikan tindakan(maatregel) menjadi hal yang penting. Dalam Undang Undang No 3 Tahun 1997 ini telah diatur juga tentang beberapa syarat hakim anak. Menurut pasal 10, salah satu syarat untuk diangkat menjadi hakim anak adalah mempunyai minat perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak. Persyaratan sedemikian, mencerminkan adanya unsur perlindungan 15
terhadap anak. Diharapkan Hakim Anak yang mengadili anak nakal dalam memberikan keputusannya, memutus dengan lebih mengedepankan dan melindungi kepentingan yang terbaik bagi anak.(the best interest of the child). Berdasarkan data yang diperoleh dari Pengadilan Negeri Semarang tahun 2002 sampai dengan tahun 2005, hakim yang memutus perkara anak nakal dengan usia antara 12 sampai belum 18 tahun cenderung memvonis pidana penjara terhadap pelakunya.15 Penjatuhan pidana penjara tersebut, memang hanya untuk waktu yang relatif singkat yaitu kurang dari 6 bulan. Pidana pokok lainnya adalah pidana denda. Namun ternyata pidana denda dianggap lebih ringan dilihat dari segi jumlahnya. Sedangkan pelaksanaan pidana yang memungkinkan terpidana menjalaninya di luar lembaga yaitu pidana bersyarat ternyata tidak atau belum banyak digunakan. Dalam
kenyataannya,
anak
pidana
yang
ditempatkan
di
lembaga
pemasyarakatan dapat menimbulkan resiko yang besar bagi anak. Mengingat bahwa kondisi di Lembaga Pemasyarakatan, baik sarana dan prasarananya sangat kurang. Lembaga Pemasyarakatan menjadi tempat berkumpulnya para narapidana yang melakukan berbagai macam kejahatan. Dengan demikian, akan sangat berbahaya bagi anak nakal yang dikumpulkan menjadi satu di tempat seperti itu. Penjatuhan pidana penjara juga memberikan stigma negatif bagi anak. Stigma negatif tersebut akan berpengaruh kepada tingkah laku anak pada masa yang akan datang, karena akan memunculkan kenakalan baru. Pemikiran ini dapat ditelaah didasarkan pada teori labeling. Menurut Labeling theory, kenakalan anak dapat muncul karena adanya stigma ”nakal” dari orang tua, tetangga, teman sepergaulan, saudara, guru, atau masyarakatnya, bahkan putusan pengadilan. Berkaitan dengan ini ada 3 proposisi teori labeling yang dapat dikaitkan dengan penerapan sistem peradilan terhadap anak nakal, yaitu16: a) seseorang menjadi penjahat bukan karena melanggar peraturan perundangundangan, melahirkan karena ia ditetapkan demikian oleh penguasa; b) tindakan penangkapan merupakan langkah awal dari proses labeling; c) labeling merupakan suatu proses yang melakukan identifikasi dengan citra sebagai devian dan subkultur serta menghasilkan rejection of the rejector.
15 16
Periksa hasil Penelitian Sri Sutatiek, loc cit h : 120 Romli,Atmasasmita, Kepenjaraan : Dalam Suatu Bunga Rampai, Armico, 1983, Bandung, h : 50.
16
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pemberian status ”tahanan anak”, ”tersangka anak”, ”terdakwa anak”, ”anak pidana”, atau ”anak negara” melalui sistem peradilan anak dapat menjadi label bagi anak. Label tersebut dapat mengakibatkan kenakalan anak yang bersangkutan pada masa yang akan datang. Kenakalan anak yang muncul setelah anak diberi label oleh negara sebagai ”anak nakal” merupakan secondary deviant. Penjatuhan pidana penjara yang kurang selektif atau mengabaikan asas ultimum remedium bertentangan dengan ketentuan ketentuan dalam The Riyadh Guidelines yang menyatakan bahwa pidana penjara hanya dapat dijatuhkan berdasarkan pertimbangan bahwa orang tua anak tersebut tidak dapat memberikan jaminan perlindungan. Juga harus dipertimbangkan tentang kondisi fisik dan psikologis anak, tempat atau lokasi perbuatan pidana tersebut dilakukan. Sealin itu dipertimbangkan juga tentang perbuatan pidana tersebut dapat membahayakan orang tua anak, dan atau membahayakan anak nakal. Sebenarnya masih banyak jenis tindakan/maatregel yang dapat diberikan agar anak nakal terhindar dari sanksi yang bersifat institusionalisasi. Tindakan-tindakan yang dimaksud adalah 17: a) tindakan/perintah perawatan, bimbingan, dan pengawasan (care, guidance, and supervision orders) b) pengawasan (probation) c) perintah kerja social (community service orders) d) pidana yang bersifat uang dang anti rugi (financial penalties, compensation and restitutions) e) perawatan lanjutan dan tindakan perawatan lainnya (intermediate treatment and other treatment orders) f) tindakan/perintah untuk ikut berpartisipasi dalam kelompok-kelompok konseling dan kegiatan lain yang serupa (orders to participate in group counseling and similar activities) g) tindakan-tindakan atau perintah yang berhubungan dengan perawatan untuk membantu perkembangan dengan tinggal di dalam masyarakat atau dalam lingkungan yang bersifat mendidik (orders concerning foster care, living communities or other educational settings) 17
Barda Nawawi Arief, op cit, h:. 118.
17
h) tindakan-tindakan lain yang relevan (other relevant orders). Dengan demikian banyak pilihan tindakan untuk ditetapkan oleh hakim anak dan berlaku secara universal di Negara-negara yang telah meratifikasi Declaration Of The Rights Of The Child dan Convention On The Rights Of The Child. Apabila filosofi pemidanaan anak dipahami secara benar oleh hakim anak, diantisipasi penjatuhan pidana penjara terhadap anak nakal dapat dieliminasi. Kenyataan bahwa hakim anak yang ada sekarang ini di Indonesia adalah hakim biasa yang merupakan hakim Pengadilan Negeri, namun yang ditugaskan di Pengadilan Anak karena diangkat sebagai hakim anak. Persyaratan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 Undang Undang Tentang Pengadilan Anak dapat saja dipenuhi tetapi hanya formalitas. Hal ini menunjukkan bahwa memang sampai saat ini belum ada hakim yang dikhususkan untuk anak nakal. Kenyataan menyedihkan dan memperihatinkan beberapa tahun lalu, terkait dengan kasus Raju yang diperlakukan sebagai orang dewasa. Oleh Karena mulai dari penahanan sampai persidangannya Raju dihadapkan dengan penegak hukum serta institusi yang disiapkan untuk adult criminal. Efek negatif pidana penjara dan keunggulan sanksi-sanksi lain selain itu bukan hanya perlu dipahami tetapi yang lebih penting adalah ditindak lanjuti dengan pemberian keputusan yang bersifat melindungi anak nakal. Kondisi sarana dan prasarana lembaga pemasyarakatan yang kurang baik, terlebih lagi lembaga pemasyarakatan yang telah menjadi pusat pengendalian peredaran narkoba di masyarakat, harus dipertimbangkan oleh hakim anak. Pemecahan masalah seperti ini dapat dicapai dengan cara mengurangi jumlah penggunaannya. Pengurangan penjatuhan pidana penjara secara berangsur-angsur dapat dilakukan dengan cara menetapkan bentuk-bentuk pidana pengganti atau alterantif, misalnya pidana bersyarat/pidana atau pidana pengawasan, pidana denda, pidana pekerjaan di luar lembaga pemasyarakatan dan tindakan-tindakan lain yang tidak mengandung unsur perampasan kemerdekaan. Namun, dalam hal pidana penjara jangka pendek tidak dapat dihindari, pelaksanaannya harus terpisah atau tersendiri dari narapidana yang dijatuhi pidana penjara untuk waktu yang lama. Juga proses pembinaannya harus bersifat konstruktif, pribadi dan dilakukan dalam lembaga terbuka (open institution).
18
IV.
PENUTUP Penjatuhan pidana penjara terhadap anak nakal sebagai ultimum remedium
seharusnya menjadi pertimbangan hakim anak. Untuk itu diperlukan pemahaman dalam menerapkan Undang Undang Tentang Pengadilan
Anak, sehingga aparat
penegak hukum, khususnya hakim anak, dapat menjamin perlindungna hukum yang mengutamakan kepentingan anak secara optimal. Hakim seharusnya mempertimbangkan putusannya dengan cermat apabila akan menjatuhkan pidana penjara terhadap anak nakal. Oleh karena menjatuhkan tindakan (maatregel) atau pidana bersyarat sesungguhnya merupakan putusan yang lebih baik menurut aspek perlindungan hukum anak.
19
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Ruben, Upaya Penyelesaian Masalah Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Di Kota Palembang, Universitas Sriwijaya, Penelitian, 2005. Atmasasmita, Romli, Kepenjaraan : Dalam Suatu Bunga Rampai, Armico, Bandung, 1983. Bartollas, Clemens, Juvenile Delinquency, Second Edition, MacMillan Publishing Company, New York,1990. Hadisuprapto, Paulus, Juvenile Delinquency : Pemahaman Dan Penanggulangannya, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997. Koeswadji, Hermien Hadiati, Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995. Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992. Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995. Rampen, Tilly A.A., Hermien Hadiati Koeswadji, Sarwirini, “Buku Ajar Hukum Pidana Anak”,Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2007. Sri Sutatiek, Putusan Pengadilan Anak Sebagai Manifestasi Perlindungan Dan Kesejahteraan Anak Di Indonesia, Disertasi, Universitas Brawijaya, Malang, 2007. Lain-lain: Rancangan KUHP Indonesia Pembahasan Tahun 2005. Undang Undang No 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak.
20