1
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM KONSEP KUHP 2010 I Nyoman Ngurah Suwarnatha Dosen Kopertis Wilayah VIII dpk pada Universitas Pendidikan Nasional Denpasar
Abstract: The Law No. 3 Year 1997 on Juvenile Court, here in after referred to Juvenile Court Act is alegal policy established by the legislature in order to realize the justice that provides legal protection and best interests of the child. In terms of crime and punishment against children there is a difference in treatment and differences in threat with adults. In 2010 the concept of the Criminal Code criminal type is set wider than the Juvenile Court Act. With the formulation of the concept of the New Penal Code as a national recodification effort in preparing the formulation of the clauses relating to sentencing for the child should be referred to the Juvenile Court Act that will not overlap or contradict each other. Key words: Child; Criminal and Criminalization. Pendahuluan Negara Indonesia merupakan salah satu diantara negara-negara berkembang di dunia. Sebagai negara berkembang, Indonesia melaksanakan pembangunan di segala bidang. Hakikat pembangunan adalah suatu proses perubahan terus-menerus untuk menuju pada suatu peningkatan kehidupan masyarakat. Pembangunan akan menimbulkan perubahan-perubahan baik secara langsung maupun tidak langsung yang berpengaruh terhadap keseimbangan masyarakat dalam segala aspek kehidupan. Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tentram, tertib, dan dinamis dalam pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai. 1 Hal tersebut menunjukkan bahwa pembangunan Indonesia tidak hanya mengejar kemajuan sandang, pangan maupun papan atau kepuasan memiliki rasa aman, bebas menyatakan pendapat, memperoleh keadilan, melainkan juga bertujuan untuk keselarasan, keserasian. Antara kedua hal terebut termasuk didalamnya pembangunan dan pembaharuan hukum nasional dan peningkatan kualitas penegakan hukum bagi seluruh masyarakat.
1
St. Harum Pudjiarto RS., 1996, Memahami Politik Hukum di Indonesia (UU No. 3 Tahun 1971), Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, hal. 1.
2
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 Pembaharuan hukum pidana merupakan permasalahan serius yang dihadapi oleh
bangsa Indonesia terutama dalam mengupayakan terbentuknya hukum pidana nasional yang sesuai dengan tatanan nilai masyarakat Indonesia dan perkembangan zaman. Pembaharuan di bidang hukum tidak hanya berarti pembaharuan peraturan perundang-undangan tetapi juga mencakup pembaharuan sistem hukum secara keseluruhan, yaitu pembaharuan materi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Masalah pembaharuan hukum dan keadilan berkaitan dengan sistem politik, sistem sosial dan sistem ekonomi. Hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum yang berdasarkan pada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemennya. Produk hukum nasional masih banyak memiliki kelemahan-kelemahan karena masih adanya pengaruh-pengaruh politik hukum kolonial.2 Produk hukum yang dirasakan tidak adil secara yuridis empiris merupakan produk hukum yang sia-sia, sebab hakekat hukum adalah hukum yang bekerja dalam masyarakat dan untuk keadilan masyarakat luas. Secara yuridis hukum itu harus sah, karena keberlakuannya harus didukung oleh masyarakat dan sesuai dengan nilai-nilai dan cita-cita hidup masyarakat serta memiliki relevansi dengan tradisi hukum masyarakat itu sendiri. Hukum pidana yang berlaku di Indonesia saat ini adalah hukum warisan kolonial Balanda yang berdasarkan asas konkordansi diberlakukan di Indonesia. Dalam konteks inilah pembaharuan hukum pidana menjadi sangat urgen, yaitu sebagai upaya menyerasikan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat kedalam hukum pidana Indonesia. Urgensi pembaharuan hukum pidana Indonesia juga dikemukakan oleh Sudarto yang mengemukakan adanya tiga alasan penting dalam rangka penyusunan hukum nasional yaitu alasan politis, alasan sosiologis dan alasan praktis. Apabila diperinci lebih lanjut tiga alasan yang dikemukakan oleh Sudarto di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Alasan Politis Adalah wajar bahwa Indonesia sebagai negara merdeka mempunyai hukum (pidana) yang bersifat nasional, yang didasarkan pada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. 2. Alasan Sosiologis Urgensi pembentukan hukum (pembaharuan hukum) (pidana) nasional didasarkan pada keharusan, bahwa hukum nasional itu harus didasarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia sendiri. Hukum nasional haruslah mencerminkan kultur masyarakat Indonesia. 3. Alasan Praktis 2
H. Zainuddin Ali, 2007, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 51.
3
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 Alasan ini mengisyaratkan, bahwa hukum nasional itu harus dapat dipahami oleh masyarakatnya sendiri. Alasan ini didasarkan pada kenyataan, bahwa hukum pidana yang sekarang berlaku di Indonesia secara resmi menggunakan bahasa Belanda, sementara dalam perkembangannya sangat sedikit masyarakat (termasuk para penegak hukum) yang mempunyai kemampuan berbahasa Belanda.3 Perlu kiranya digaris bawahi, bahwa sekalipun suatu aturan hukum sudah
memenuhi tuntutan keberlakuan secara yuridis, aturan hukum itu tidak akan dapat berlaku secara efektif dalam masyarakat apabila tidak memenuhi tuntutan keberlakuan secara sosiologis dan secara filosofis. Hal ini disebabkan, hukum yang baik sehingga dapat efektif diterapkan dalam masyarakat selalu menuntut persyaratan keberlakuan secara yuridis, sosiologis, filosofis dan bahkan secara historis.4 Pembaharuan hukum pidana sebenarnya bukan masalah baru, tetapi dalam situasi sekarang ini penekanan terhadap kedua masalah tersebut dirasakan sebagai suatu tuntutan dan harapan masyarakat luas terhadap suatu pembaharuan hukum yang didasarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia serta mencerminkan kultur masyarakat Indonesia. Pembaharuan hukum pidana bukan masalah yang sederhana karena menyangkut masalah yang sangat luas dan kompleks karena meliputi pembaharuan sistem hukum secara keseluruhan, yaitu pembaharuan materi hukum, struktur hukum, budaya hukum termasuk keseluruhan sistem politik, sosial dan ekonomi serta pembaharuan etika hukum dan pendidikan ilmu hukum. Usaha dan kebijakan untuk melakukan pembaharuan hukum pidana yang lebih baik pada hakekatnya merupakan tujuan dari upaya penanggulangan kejahatan. Upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari usaha penegakan hukum khususnya penegakan hukum pidana. Oleh sebab itu dapat juga dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan
penegakan
hukum
(law
enforcement
policy).
Disamping
itu
upaya
penanggulangan kejahatan lewat pembentukan undang-undang merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social defence) dan usaha untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Jadi, kebijakan atau politik hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan atau politik sosial (social policy). Makna dan hakekat pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri. Sehingga atar 3
Tongat, 2001, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Djambatan, Jakarta, hal. 25-26. 4 Jimly Asshiddiqie, 1996, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: Studi tentang Bentuk-bentuk Pidana Dalam Tradisi Hukum Fiqh dan Relevansinya Bagi Usaha Pembaharuan KUHP Nasional, Angkasa, Bandung, hal. 160.
4
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek sosio-politik, sosio-filosofik, sosio-kultural atau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum). Ini berarti, makna dan hakekat pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan berbagai aspek tersebut. Artinya, pembaharuan hukum pidana juga pada hakekatnya harus merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaharuan terhadap berbagai aspek kebijakan yang melatar belakanginya.5 Pada perkembangan dewasa ini semakin banyak terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak secara perorangan maupun secara bersama-sama dilakukan dengan orang dewasa. Kondisi ini sangat memprihatinkan, karena banyak anak-anak yang harus berhadapan dengan proses peradilan. Keberadaan anak-anak dalam tempat penahanan dan pemenjaraan bersama orang-orang yang lebih dewasa mengakibatkan anak-anak berada dalam situasi rawan menjadi korban berbagai tindak kekerasan. Anakanak dalam kondisi demikian disebut dengan anak yang berkonflik dengan hukum (children in conflict with the law). Anak yang berkonflik dengan hukum dapat didefinisikan sebagai anak yang disangka, dituduh atau diakui sebagai pelaku tindak pidana yang melanggar undang-undang hukum pidana. Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia, merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa. Selain itu anak sebagai bagian dari keluarga merupakan buah hati, penerus dan harapan keluarga. Hukum pidana anak dan pengadilan anak diperlukan sebagai salah satu sarana perlindungan anak yang terganggu keseimbangan mental dan sosialnya. Masalah perlindungan hukum bagi anak merupakan bagian integral dari pembangunan nasional dan juga menjadi sarana tercapainya tujuan pembangunan nasional, yaitu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 dengan wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam ketertiban pergaulan internasional yang damai, adil dan merdeka. Kebijakan hukum pidana dan pemidanaan anak diperlukan sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Pengertian Anak Dalam Hukum Pidana Ditinjau dari aspek yuridis pengertian anak dalam hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig / person under age), orang yang 5
Barda Nawawi Arief, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 27.
5
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
dibawah umur sering disebut juga anak dibawah pengawasan wali (minderjarig ondervoordij). Bertitik tolak pada aspek tersebut ternyata dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana Indonesia tidak ada ketentuan batas usia anak. Anak dalam pemaknaan yang umum mendapat perhatian tidak saja dalam ilmu pengetahuan (the body of knowledge), tetapi dapat ditelaah dari sisi pandang sentralistis kehidupan. Seperti agama, hukum dan sosiologi yang menjadikan pengertian anak semakin rasional dan aktual dalam lingkungan sosial.6 Menurut Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UU Pengadilan Anak) dalam Pasal 1 angka 1, yang dimaksud dengan anak adalah “Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”. Pengertian anak dalam lapangan hukum pidana diletakkan dalam pengertian anak yang bermakna penafsiran hukum secara negatif. Dalam arti seorang anak yang berstatus sebagai subyek hukum yang seharusnya bertanggung jawab terhadap tindak pidana (strafbaar feit) yang dilakukan oleh anak itu sendiri, ternyata karena kedudukannya sebagai seorang anak yang berada dalam usia belum dewasa diletakkan sebagai seseorang yang mempunyai hak-hak khusus dan perlu mendapat perlindungan khusus menurut ketentuan hukum yang berlaku. 7 Pengertian anak dalam hukum pidana lebih mengutamakan pada pemahaman terhadap hak-hak anak yang harus dilindungi karena anak berdasarkan kodratnya mempunyai akal dan fisik yang masih lemah dan di dalam sistem hukum dipandang sebagai
subyek hukum
yang
dicangkokkan
dari
bentuk
pertanggung
jawaban,
sebagaimana layaknya seorang subyek hukum yang normal. Asas-asas Pengadilan Anak Asas-asas pengadilan anak meliputi: adanya pembatasan umur anak; pengadilan anak merupakan kompetensi absolut dari peradilan umum; pengadilan anak memeriksa anak dalam suasana kekeluargaan; pengadilan anak mengharuskan adanya splitsing perkara; bersidang dengan hakim tunggal dan hakim anak ditetapkan oleh ketua Mahkamah Agung RI; penjatuhan pidana yang lebih ringan dari pada orang dewasa; diperlukan kehadiran orang tua, wali atau orang tua asuh serta diakuinya pembimbing kemasyarakatan; adanya kehadiran penasehat hukum; dan penahanan anak lebih singkat dari pada orang dewasa.
6
Maulana Hassan Wadong, 2000, Pengantar Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta, hal. 1. 7 Ibid, hal 20.
6
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 Dalam ketentuan UU Pengadilan Anak dikenal adanya pembatasan umur untuk
dapat diadili pada sidang anak. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak bahwa anak yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin dapat dihadapkan pada sidang anak. Konkretnya, batas umur minimal adalah 8 (delapan) tahun dan batas umur maksimal adalah 18 (delapan belas) tahun. Latar belakang pembentuk undang-undang menentukan batas umur minimum dan maksimum karena pada umur tersebut secara psikologis anak dapat dianggap sudah mempunyai rasa tanggung jawab. Hukum acara pengadilan anak mengacu pada UU No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP (Kitab Hukum Acara Pidana) dan oleh karena status pelakunya maka pengadilan anak adalah kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan peradilan umum. Menurut Pasal 3 dan Pasal 40 UU Pengadilan Anak, sidang pengadilan anak bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara anak nakal dan hukum acara yang berlaku diterapkan pula dalam acara pengadilan anak. Dalam sidang anak diperlukan pemeriksaan dengan suasana kekeluargaan. Dengan
suasana
demikian
diharapkan
anak
dapat
mengutarakan
perasaannya,
peristiwanya, latar belakang kejadian secara jujur, terbuka tanpa tekanan dan rasa takut. Menurut Pasal 42 ayat (1) UU Pengadilan Anak penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan dan selanjutnya menurut Pasal 6 UU Pengadilan Anak mengatur bahwa hakim, penuntut umum, penyidik dan penasehat hukum serta petugas lainnya dalam sidang anak tidak memakai toga atau pakaian dinas. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU Pengadilan Anak mengharuskan adanya splitsing perkara, apabila seorang anak melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang dewasa atau dengan anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia maka anak tersebut harus disidang pada sidang anak dan sidang dewasa diajukan ke sidang orang dewasa atau mahkamah militer. Pidana penjara terhadap anak nakal sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 2 huruf a UU Pengadilan Anak paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum orang dewasa dan apabila tindak pidana tersebut diancam dengan pidana mati atau seumur hidup maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak itu paling lama 10 (sepuluh) tahun serta bila anak tersebut belum berumur 12 (dua belas) anak hanya dapat dijatuhi tindakan berupa menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja sesuai ketentuan Pasal 24 ayat (1) huruf b UU Pengadilan Anak dan bila anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati
7
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
atau seumur hidup maka anak dijatuhkan salah satu tindakan dari ketentuan Pasal 24 UU Pengadilan Anak, hal tersebut diatur dalam Pasal 26 ayat (1), (2), (3) dan (4) UU Pengadilan Anak. Menurut Pasal 1 angka 11, Pasal 56 ayat (1), (2) huruf a dan b UU Pengadilan Anak diperlukan kehadiran orang tua, wali atau orang tua asuh serta diakuinya pembimbing kemasyarakatan dalam pengadilan anak. Dilihat dari redaksional Pasal 51 UU Pengadilan Anak kehadiran penasehat hukum tidak bersifat imperatif karena tidak ada kata wajib atau harus melainkan berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum sehingga dalam prakteknya ditafsirkan sebagai fakultatif. Akan tetapi, dilain pihak apabila kita bertitik tolak penasehat hukum wajib hadir dalam sidang anak sebagaimana diatur dalam Pasal 57 ayat (1) dan (2), Pasal 58 ayat (1)dan (2) UU Pengadilan Anak yang menentukan pula kewajiban kehadiran penasehat hukum maka sebenarnya UU Pengadilan Anak menginginkan eksistensi penasehat hukum secara imperatif. Ketentuan mengenai penahanan untuk orang dewasa sesuai dengan ketentuan KUHAP maka penahanan dalam pengadilan anak sesuai dengan UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak lebih singkat. Pada pengadilan anak untuk penahanan diatur melalui ketentuan Pasal 44 sampai dengan Pasal 50 UU Pengadilan Anak. Jenis Pidana dan Tindakan Bagi Anak Nakal Berlakunya UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak antara lain telah menetapkan apa yang dimaksud anak. Undang-undang itu berlaku lex specialis terhadap KUHP (WvS), khususnya berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anak. 8 Menurut UU Pengadilan Anak terhadap anak nakal dapat dijatuhkan pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan atau tindakan. Dalam Pasal 23 ayat (2) UU Pengadilan Anak beberapa pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap anak nakal, yaitu pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda atau pidana pengawasan. Berbeda dengan orang dewasa, pidana penjara bagi anak nakal lamanya ½ (satu per dua) dari ancaman orang dewasa atau paling lama 10 (sepuluh) tahun. Kecuali itu, pidana mati dan penjara seumur hidup tidak dapat dijatuhkan terhadap anak. Mengenai pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak yang melakukan tindak pidana menurut Pasal 27 UU Pengadilan Anak paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa. Seperti pidana penjara dan kurungan maka
8
Bambang Waluyo, 2004, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 26.
8
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
penjatuhan pidana denda terhadap anak nakal paling banyak juga ½ (satu per dua) dari maksimum ancamam pidana denda bagi orang dewasa. UU Pengadilan Anak mengatur pula ketentuan yang relatif baru yaitu apabila pidana denda tersebut ternyata tidak dapat dibayar maka diganti dengan wajib latihan kerja. Undang-undang menetapkan demikian sebagai upaya untuk mendidik anak yang bersangkutan agar memiliki ketrampilan yang bermanfaat bagi dirinya. Mengenai pidana pengawasan dijatuhkan kepada anak yang melakukan tindak pidana berdasar ketentuan Pasal 30 UU Pengadilan Anak adalah sebagai berikut: lamanya pidana pengawasan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun; pengawasan terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari di rumah anak tersebut dilakukan oleh Jaksa; dan pemberian bimbingan dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Dalam Pasal 23 ayat (3) terhadap anak nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi. Sedangkan beberapa tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal dalam Pasal 24 ayat (1) UU Pengadilan Anak adalah mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh; menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja atau menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Apabila dibandingkan dengan konsep KUHP 2010, maka pengenaan tindakan yang dapat dikenakan terhadap anak tanpa menjatuhkan pidana pokok berupa pengembalian kepada orang tua, wali, atau pengasuhnya; penyerahan kepada Pemerintah; penyerahan kepada seseorang; keharusan mengikuti suatu latihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; pencabutan surat izin mengemudi; perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; perbaikan akibat tindak pidana; rehabilitasi; dan/atau perawatan di lembaga.9 Aspek Pemidanaan Anak Menurut Konsep KUHP 2010 Batasan usia anak yang dapat dipidana dalam konsep KUHP 200 adalah anak yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggung jawabkan, sedangkan pidana dan tindakan bagi anak hanya berlaku bagi anak yang berumur 12 (dua belas) tahun dan maksimum 18 (delapan belas) tahun. Penentuan batas umur 12 (dua belas) tahun didasarkan pada pertimbangan psikologis yaitu kematangan emosional, intelektual, dan mental anak. Seorang anak di bawah umur 12 (dua belas) tahun tidak dapat dipertanggung jawabkan secara pidana. Batas umur maksimum 18 (delapan belas) tahun untuk dapat diajukan ke pengadilan anak, adalah 9
Lihat Ketentuan Pasal 129 ayat (2) RUU KUHP 2010.
9
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
sesuai dengan umur kedewasaan anak, agar bagi mereka dapat diterapkan ketentuan mengenai anak. Batasan usia anak dalam konsep KUHP 2010 berbeda dengan yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Pengadilan Anak, yaitu bahwa anak yang berumur 8 (delapan) tahun melakukan tindak pidana dapat dipertanggung jawabkan secara pidana. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyatakan batas usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana adalah 12 tahun. Mahkamah Konstitusi berpendapat, batas umur minimal 12 tahun lebih menjamin hak anak untuk tumbuh berkembang dan mendapatkan perlindungan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi sejalan dengan yang dicantumkan dalam konsep KUHP 2010 mengenai batas usia anak yang dapat dimintakan pertanggungjawaban jika melakukan tindak pidana. Jenis sanksi yang digunakan dalam konsep KUHP 2010 terdiri dari jenis pidana dan tindakan. Apabila diperinci, pidana bersifat pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok bagi anak terdiri dari:10 a. Pidana verbal : 1. pidana peringatan; atau 2. pidana teguran keras; b. Pidana dengan syarat: 1. pidana pembinaan di luar lembaga; 2. pidana kerja sosial; atau 3. pidana pengawasan; c. Pidana denda; atau d. Pidana pembatasan kebebasan: 1. pidana pembinaan di dalam lembaga; 2. pidana penjara; atau 3. pidana tutupan. Sedangkan pidana tambahan terdiri atas:11 a. perampasan barang-barang tertentu dan/atau tagihan; b. pembayaran ganti kerugian; atau c. pemenuhan kewajiban adat. Sanksi tindakan untuk anak dalam hal anak memenuhi ketentuan Pasal 40 konsep KHUP 2010 yang menyatakan setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menderita
gangguan
jiwa,
penyakit
jiwa
atau
retardasi
mental,
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenakan tindakan; dan memenuhi ketentuan Pasal 41 konsep KUHP 2010 yang menyatakan setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana kurang dapat dipertanggungjawabkan karena
10 11
Lihat Ketentuan Pasal 116 (1) RUU KUHP 2010. Lihat Ketentuan Pasal 116 (2) RUU KUHP 2010.
10
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa, atau retardasi mental, pidananya dapat dikurangi atau dikenakan tindakan. Tindakan terhadap anak berupa : 12 a. perawatan di rumah sakit jiwa, b. penyerahan kepada pemerintah, atau c. penyerahan kepada seseorang. Tindakan dapat dikenakan terhadap anak tanpa menjatuhkan pidana pokok yang berupa :13 a. b. c. d. e. f. g. h. i.
pengembalian kepada orang tua, wali, atau pengasuhnya, penyerahan kepada Pemerintah, penyerahan kepada seseorang, keharusan mengikuti suatu latihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta, pencabutan surat izin mengemudi, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, perbaikan akibat tindak pidana, rehabilitasi, dan/atau perawatan di lembaga. Dalam konsep KUHP 2010 jenis pidana diatur secara lebih luas dari pada UU
Pengadilan Anak. Konsep KUHP 2010 mengatur jenis pidana verbal, yaitu jenis pidana ringan yang tidak mengakibatkan pembatasan kebebasan bagi anak. Pidana verbal terdiri atas pidana peringatan dan pidana teguran keras. Konsep KUHP 2010 juga mengatur pidana pembinaan di luar lembaga, yaitu memberikan pembinaan kepada anak, baik dalam rangka penyembuhan karena tidak atau kurang mampu bertanggung jawab pidana disebabkan sakit jiwa atau retardasi mental ataupun berupa pembinaan lainnya bagi anak yang sehat jiwanya untuk memperoleh keterampilan yang berguna bagi kehidupannya. Pidana pembinaan di luar lembaga terdiri dari: mengikuti program bimbingan dan penyuluhan yang dilakukan oleh pejabat pembina; mengikuti terapi di Rumah Sakit Jiwa; atau mengikuti terapi akibat penyalahgunaan alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Konsep KUHP 2010 mengatur juga mengenai pidana kerja sosial, ketetuan mengenai kerja sosial dalam konsep diatur sebagai berikut antara lain usia layak kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; pidana kerja sosial untuk anak dijatuhkan paling singkat 7 (tujuh) jam dan paling lama 120 (seratus dua puluh) jam. Dari ketentuan tersebut dapat dilihat bahwa pidana kerja sosial merupakan jenis alternatif pidana penjara pendek dan denda yang ringan; pidana kerja sosial ini tidak dibayar karena sifatnya sebagai pidana (work as a penalty) serta mengingat sifatnya sebagai kerja sosial 12 13
Lihat Ketentuan Pasal 129 (1) RUU KUHP 2010. Lihat Ketentuan Pasal 129 (2) RUU KUHP 2010.
11
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
misalnya di rumah sakit, lembaga-lembaga sosial, panti-panti asuhan maka pelaksanaan pidana kerja sosial ini tidak boleh mengandung hal-hal yang bersifat komersial.14 Mengenai pidana pembinaan di dalam lembaga konsep KUHP 2010 memuat ketentuan pelaksanaannya, yaitu pidana pembinaan di dalam lembaga dilakukan di tempat latihan kerja atau lembaga pembinaan yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun swasta; namun jika keadaan perbuatan anak membahayakan masyarakat, maka anak yang bersangkutan ditempatkan dalam Lembaga Pemasyarakatan Anak; lama pembinaan dalam lembaga sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun; terhadap pidana ini dapat pula dikenakan pembebasan bersyarat, yaitu paling lama setelah menjalani ½ (satu per dua) dari lamanya pembinaan yang ditentukan oleh hakim, dengan syarat berkelakuan baik. Dalam konsep KUHP 2010
pidana tutupan dapat dijatuhkan kepada anak yang
mendekati umur 17 (tujuh belas) tahun dan belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun telah ikut dalam kegiatan politik atau tindakan yang berdasarkan keyakinan yang patut dihormati. Dalam menyelesaikan perkara anak nakal putusan hakim akan mempengaruhi kehidupan selanjutnya dari anak yang bersangkutan. Oleh sebab itu hakim harus yakin benar, bahwa putusan yang diambil akan dapat menjadi salah satu dasar yang kuat untuk mengembalikan
dan
mengantar
anak
menuju
masa
depan
yang
baik
untuk
mengembangkan dirinya sebagai warga yang bertanggung jawab bagi kehidupan keluarga, bangsa dan negara.15 Sebagai upaya pembinaan dan pemberian bimbingan bagi anak nakal yang telah diputus oleh hakim, maka anak tersebut ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Di Indonesia, dasar hukum untuk mendirikan lembaga khusus bagi terpidana muda usia telah ada sejak berlakunya Wetboek van Strafrecht voor Nenderlandsch-Indie pada tanggal 1 Januari 1918.16 UU Pengadilan Anak juga telah mengatur mengenai Lembaga Pemasyarakatan Anak bahwa anak didik pemasyarakatan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak yang harus terpisah dari orang dewasa. Selain itu diatur pula mengenai anak yang ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak berhak memperoleh pendidikan dan latihan sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Pidana penjara dijatuhkan kepada anak sebagai upaya terakhir. Dalam hal anak dijatuhkan pidana penjara maka anak ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak 14
Barda Nawawi Arief, op. cit. hal. 110-111. Lilik Mulyadi, 2005, Pengadilan Anak di Indonesia Teori, Praktik dan Permasalahannya, Mandar Maju, Bandung, hal. 220. 16 Wagiati Soetodjo, 2006, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, hal. 86. 15
12
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
yang harus terpisah dari orang dewasa untuk mencegah timbulnya pengaruh buruk karena tercampurnya dengan narapiadana dewasa. Dalam lingkungan penjara yang tercampur menjadi satu tidak ada kemungkinan untuk mengadakan perbaikan kesusilaan maupun moral bagi anak pidana. Penutup Kelemahan peraturan perundang-undangan yang memberi perlindungan bagi anak yang dihasilkan oleh badan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi faktor penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Oleh karena itu peraturan perundang-undangan yang memberi perlindungan hukum bagi anak harus selaras dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia yang dijiwai sepenuhnya oleh Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Dalam hal pidana dan pemidanaan terhadap anak terdapat perbedaan perlakuan dan perbedaan ancaman dengan orang dewasa. Hal itu dimaksudkan untuk lebih melindungi dan mengayomi anak agar dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang. Selain itu, pembedaan tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan ia akan memperoleh jati diri untuk menjadi manusia yang mandiri dan bertanggung jawab. Kebijakan
hukum mengenai anak dalam proses peradilan
pidana guna
mewujudkan perlindungan hukum bagi anak maka diperlukan untuk memahami permasalahannya menurut proporsi yang sebenarnya secara meluas, dimensional dan terpadu. Sebab kebijakan hukum mengenai anak dalam proses peradilan anak adalah hasil interaksi dari adanya interrelasi antara fenomena yang saling terkait. Jika akhirnya melalui putusan hakim anak dinyatakan membutuhkan pemeliharaan dan pembinaan maka diharapkan ia mendapat fasilitas yang sesuai dengan kebutuhannya. UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak berlaku lex specialis terhadap KUHP (WvS), khususnya berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Dalam konsep KUHP 2010 jenis pidana diatur secara lebih luas dari pada UU Pengadilan Anak. Konsep KUHP 2010 mengatur jenis pidana verbal, yaitu jenis pidana yang paling ringan dan tidak mengakibatkan pembatasan kebebasan bagi anak. Konsep KUHP 2010 juga mengatur pidana pembinaan di luar lembaga, yaitu memberikan pembinaan kepada anak, baik dalam rangka penyembuhan karena tidak atau kurang mampu bertanggung jawab pidana disebabkan sakit jiwa atau retardasi mental ataupun berupa pembinaan lainnya bagi anak yang sehat jiwanya untuk memperoleh keterampilan yang berguna bagi kehidupannya.
13
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 UU Pengadilan Anak harus menjadi acuan pula dalam perumusan pasal-pasal
dalam konsep KUHP Baru sebagai upaya rekodifikasi hukum nasional yang berhubungan dengan pidana dan tindakan bagi anak. Dengan demikian tidak akan terjadi tumpah tindih ataupun saling bertentangan sehingga terciptalah suatu kebijakan hukum pidana yang dapat memenuhi upaya perlindungan bagi masyarakat dan upaya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat khususnya bagi anak.
DAFTAR PUSTAKA BUKU Ali, H. Zainuddin, 2007, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Arief, Barda Nawawi, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung. Asshiddiqie, Jimly, 1996, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: Studi tentang Bentukbentuk Pidana Dalam Tradisi Hukum Fiqh dan Relevansinya Bagi Usaha Pembaharuan KUHP Nasional, Angkasa, Bandung. Mulyadi, Lilik, 2005, Pengadilan Anak di Indonesia Teori, Praktik dan Permasalahannya, Mandar Maju, Bandung. Pudjiarto RS., St. Harum, 1996, Memahami Politik Hukum Di Indonesia (UU No. 3 Tahun 1971), Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta. Soetodjo, Wagiati, 2006, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung. Tongat, 2001, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Djambatan, Jakarta. Wadong, Maulana Hassan, 2000, Pengantar Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta. Waluyo, Bambang, 2004, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668 yang mulai berlaku pada tanggal 3 Januari 1997. Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209 yang mulai berlaku pada tanggal 31 Desember 1981. RUU KUHP 2010
14
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 KEWENANGAN GUBERNUR DALAM PEMBATALAN PERDA KABUPATEN TABANAN I Made Dedy Priyanto Fakultas Hukum Universitas Udayana [email protected]
Abstract: Regional district rules are regulations established by the legislature with the approval of the district with the head of regency. The purpose of this district is the local regulations for the implementation of government affairs in the local area so that in accordance with the state of society. There are local laws that were canceled by the Governor, namely the cancellation regulations area regulations Number 6 Year 2008 About the Use of Intellectual Property Levies Tabanan regency through Governor Decree No. 12 of 2009. However, in principle, district laws can only be canceled by the President through Presidential Regulation. Key words: cancellation, district laws, Governor. Pendahuluan Perda (selanjutnya disebut Perda) merupakan peraturan yang diberlakukan di daerahdaerah sesuai dengan wilayah. Perda provinsi berlaku untuk tingkat provinsi, sedangkan Perda kabupaten hanya diberlakukan pada kabupaten. Perda diadakan karena setiap daerah memiliki perbedaan sumber daya alam, sumber daya manusia, memiliki perbedaanperbedaan pola hidup, kebudayaan, dll, sehingga tidak dapat disamakan satu dengan yang lain dalam hal pengelolaannya. Untuk itulah penyelenggaraan pemerintahan daerah haruslah disesuaikan dengan daerah masing-masing melalui suatu kebijakan aturan yang sesuai dengan keadaan daerah setempat, aturan inilah yang disebut dengan Perda. Perda adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh dewan perwakilan rakyat daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah (pasal 1 angka 7 UU No.10 Th.2004). Fungsi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam pembentukan Perda adalah sebagai wakil dari rakyat untuk mewakili aspirasi rakyat di daerah. Hal ini demi menciptakan peraturan yang mencerminkan keadilan, kepastian hukum bagi semua pihak, baik pemerintah maupun rakyat yang dalam hal ini diwakili oleh DPR. Pembatalan Perda merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari apabila terjadi hal-hal yang membuat aturan Perda tersebut harus dibatalkan, misalnya apabila dikaitkan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi ternyata aturan Perda tersebut bertentangan atau tidak sesuai sehingga menimbulkan pertentangan yang pada akhirnya dapat mengakibatkan aturan Perda tersebut dapat dibatalkan. Pembatalan Perda kabupaten, secara
15
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
normatif dapat dibatalkan oleh Presiden yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden sebagaimana yang diatur dalam Pasal 145 ayat (3) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU Pemda) dan Pasal 158 ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pasal 145 (2) dan (3) UU Pemda menentukan bahwa Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah (sesuai dengan ayat 2 UU Pemda). Keputusan pembatalan Perda tadi ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda itu oleh Pemerintah (sesuai dengan ayat 3 UU Pemda). Pada prinsipnya, Perda hanya dapat dibatalkan oleh Presiden melalui Peraturan Presiden seperti yang telah diatur dengan tegas dan jelas pada pasal 145 ayat (3) UU Pemda. Pemerintah yang dimaksud dalam pasal 145 UU Pemda ini adalah Presiden. Walaupun Presiden memberikan kewenangan tersebut pada para Menterinya, selama aturan dalam Pasal 145 UU Pemda belum direvisi maka tetaplah menjadi kewenangan Presiden. Namun pada kenyataannya terdapat Perda yang dibatalkan oleh Gubernur. Pembatalan perda yang dilakukan oleh Gubernur terjadi di Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali yaitu pembatalan Perda Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Milik Daerah Kabupaten Tabanan melalui Peraturan Gubernur Nomor 12 Tahun 2009. Hal ini disebabkan karena Perda ini dinilai tidak sesuai dengan Keputusan Gubernur Bali Nomor 597/01-A/HK/2008 Tentang Penetapan Evaluasi Rancangan Perda Kabupaten Tabanan Tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Milik Daerah. Hal ini menggambarkan bahwa Perda harus tunduk kepada Keputusan Gubernur padahal Keputusan Gubernur tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Pembatalan Perda oleh Peraturan Gubernur ini merupakan suatu masalah normatif yang sangat menarik untuk dikaji. Karena disatu sisi, Gubernur merupakan “Perpanjangan tangan” dari Pemerintah Pusat, sehingga dinilai dapat menjalankan kewenangan pemerintah pusat di daerah, dalam artian Gubernur dapat dilimpahkan kewenangan-kewenangan, termasuk membatalkan Perda Kabupaten/Kota, tetapi disisi lain, kewenangan pembatalan Perda Kabupaten/Kota Tabanan bukanlah kewenangan Gubernur untuk membatalkannya, karena tidak ada payung hukum yang jelas tentang hal tersebut.
16
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
Kewenangan Daerah Otonom Karena berkaitan dengan otonomi daerah, maka pengkajian mengenai permasalahan tersebut diawali dengan Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 yang menyebutkan dalam ayat (1) nya bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.” Selanjutnya disebutkan dalam ayat (2) bahwa “Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi daerah”. Hal ini juga diatur dalam pasal 2 ayat UU Pemda. Berdasarkan penjelasan pasal 2 ayat (2) UU Pemda, yang dimaksud dengan asas otonomi dan tugas pembantuan adalah bahwa “pelaksanaan urusan pemerintahan oleh daerah dapat diselenggarakan secara langsung oleh pemerintah daerah itu sendiri dan dapat pula penugasan oleh pemerintah provinsi ke pemerintah kabupaten/kota dan desa atau penugasan dari pemerintah kabupaten/kota ke desa” sehingga berdasarkan pasal ini, dapat dikatakan bahwa Pemerintah Kabupaten Tabanan mempunyai wewenang untuk menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan secara mandiri atau disebut juga dengan otonomi daerah. Pengertian otonomi daerah dapat dilihat pada pasal 1 angka 5 UU Pemda yang menyebutkan otonomi daerah adalah “hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Wewenang tersebut mencakup wewenang untuk mengelola kekayaan milik daerah, khususnya kabupaten tabanan. Membahas
sumber
wewenang
sangatlah
berkaitan
erat
dengan
prinsip
penyelenggaraan pemerintahan yakni prinsip dekonsentrasi, tugas pembantuan dan desentralisasi karena berdasarkan prinsip dekonsentrasi dan desentralisasi terjadi pelimpahan dan penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah otonom. Berdasarkan pasal 1 angka 8 UU Pemda dekonsentrasi adalah “pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu”. Melalui prinsip dekonsentrasi ini dilakukan “pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabatnya atau aparatmya di
17
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
daerah untuk melaksanakan wewenang tertentu dalam menyelenggarakan urusan pemerintah pusat di daerah”17. Pada hakikatya, alat pemerintah pusat ini, melaksanakan “pemerintahan sentral di daerah-daerah dan berwenang mengambil keputusan sendiri sampai tingkat tertentu berdasarkan kewenangannya” 18. Untuk itu alat yang bersangkutan bertanggungjawab langsung terhadap pemerintah pusat yang memikul semua biaya dan tanggungjawab terakhir mengenai urusan-urusan dekonsentrasi tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa urusanurusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh aparat pemerintah pusat (seperti Gubernur) di daerah tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Dalam penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi, ditentukan bahwa tujuan diselenggarakan dekonsentrasi adalah: a. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan pembangunan, dan pelayanan terhadap kepentingan umum; b. Terpeliharanya komunikasi sosial kemasyarakatan dan sosial budaya dalam sistem administrasi negara; c. Terpeliharanya keserasian pelaksanaan pembangunan nasional; d. Terpeliharanya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tugas pembantuan, dalam pasal 1 angka 9 UU Pemda adalah “penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu”. Dasar pemikiran untuk dilaksanakannya tugas pembantuan ini, karena tidak semua urusan pemerintahan dapat diserahkan kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya. Jadi, beberapa urusan pemerintahan masih merupakan urusan pemerintah pusat, akan tetapi adalah berat sekali bagi pemerintah pusat untuk melaksanakan urusan yang masih menjadi wewenangnya berdasarkan dekonsentrasi karena : Terbatasnya kemampuan perangkat pemerintah pusat di daerah. Dari segi daya guna dan hasil guna, kurang dapat dipertanggungjawabkan apabila semua urusan pemerintah pusat di daerah harus dilaksanakan sendiri oleh aparatnya di daerah karena hal itu akan memerlukan tenaga dan biaya yang sangat besar jumlahnya. Dari segi sifatnya, berbagai urusan pemerintah pusat sangat sulit untuk dilaksanakan dengan baik tanpa keikutsertaan pemerintah daerah. 19
17
H. Andi Mustari Pide,1999, Otonomi Daerah Dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI, Gaya Media Pratama, Jakarta, hal. 30. 18 Amrah Muslimin, 1982, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, hal. 4. 19 Y.W. Sunindhia dan Ninik Widiyanti, , 1987, Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan Di Daerah, PT. Bina Aksara, Jakarta, hal. 117.
18
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
Untuk itulah UU Pemda memberikan kemungkinan/ alternatif bagi penyelenggaraan pemerintahan di daerah untuk melaksanakannya sesuai dengan asas tugas pembantuan. Dalam penjelasan umum Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan ditentukan bahwa tujuan diterapkannya prinsip tugas pembantuan adalah untuk ”memperlancar pelaksanaan tugas dan penyelesaian permasalahan serta membantu pengembangan pembangunan bagi daerah dan desa”. Kemudian prinsip yang penting untuk dikaji dalam pembahasan ini adalah desentralisasi karena prinsip ini menyebabkan adanya daerah otonom dan melalui prinsip ini dilakukan penyerahan wewenang pemerintahan kepada daerah otonom, khususnya wewenang untuk mengelola kekayaan milik daerah kabupaten. Secara etimologis istilah desentralisasi berasal dari bahasa latin yaitu “de = lepas, dan centrum = pusat, sehingga dapat diartikan melepaskan dari pusat. Dari sudut pandang ketatanegaraan, yang dimaksud desentralisasi adalah pelimpahan kekuasaan pemerintah dari pusat kepada daerah-daerah yang mengurus rumah tangganya sendiri (daerah otonom)” 20. Berdasarkan pasal 1 angka 6 UU Pemda, daerah otonom merupakan “kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Penyerahan wewenang ini dimaksudkan “memberikan kesempatan kepada aparat daerah termasuk wakil-wakil rakyatnya untuk berpartisipasi di dalam merencanakan dan melaksanakan berbagai kebijakan pembangunan tanpa harus mendapat arahan dan atau diarahkan oleh pusat”21. Kewenangan untuk mengatur sendiri urusan pemerintahan mengandung makna bahwa daerah, dengan inisiatif sendiri dapat membentuk peraturan-peraturan yang berwujud Perda. Hal ini merupakan prinsip otonomi daerah dimana negara dalam hal ini memberikan kewenangan ke daerah-daerah otonom untuk mengurus sendiri pemerintahannya. Namun disisi lain, berdasarkan prinsip Negara Kesatuan, maka hanya terdapat satu kekuasaan pemerintahan yaitu pemerintah pusat, sehingga pemerintah pusat tetap berwenang untuk turut campur dalam kegiatan sosial guna melaksanakan tugas-tugas penyelenggaraan kepentingan umum, hal ini dikenal dengan istilah Freies Ermessen. Berkenaan dengan hal tersebut, E.Utrecht menyebutkan terdapat tiga kekuasaan pemerintah daerah, yaitu: 20
Abdurrahman, 1987, Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah, PT. Media Sarana Press, Jakarta,
hal. 71. 21
A.W. Widjaja, 1992, Titik Berat Pada Daerah Tingkat II, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 21.
19
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 I. Membuat peraturan atas inisiatif sendiri, terutama dalam menghadapi soal-soal genting yang belum ada pengaturannya, tanpa bergantung pada pembuat undangundang pusat; II. Membuat aturan atas dasar delegasi, karena pembuat undang-undang pusat tidak mampu memperhatikan tiap-tiap soal yang timbul dalam pergaulan sehari-hari, sehingga penyesuaian antara peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pusat dengan keadaan yang sungguh-sungguh terjadi di masyarakat menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah. III. Kewenangan untuk menafsirkan sendiri aturan perundang-undangan yang dibuat oleh pusat. 22 Dasar pemikiran untuk dilakukan penyerahan wewenang untuk menyelenggarakan
urusan pemerintahan kepada daerah otonom berdasarkan desentralisasi adalah: a. Kemampuan pemerintah berikut perangkatnya yang ada di daerah terbatas; b. Wilayah negara sangat luas, terdiri lebih dari 3000 pulau-pulau besar dan kecil; c. Pemerintah tidak mungkin mengetahui seluruh dan segala macam kepentingan dan kebutuhan rakyat yang tersebar di seluruh pelosok negara; d. Hanya rakyat setempatlah yang mengetahui kebutuhan, kepentingan, dan masalah yang dihadapi dan hanya mereka yang mengetahui bagaimana cara yang sebaikbaiknya untuk memenuhi kebutuhan tersebut; e. Dilihat secara hukum, Undang-undang Dasar 1945 pasal 18, menjamin adanya daerah dan wilayah. Sebagai konsekuensinya pemerintah diwajibkan melaksanakan asas desentralisasi dan dekonsentrasi. f. Adanya sejumlah urusan pemerintahan yang bersifat kedaerahan dan memang lebih berdayaguna dan berhasilguna jika dilaksanakan oleh daerah; g. Daerah mempunyai kemampuan dan perangkat yang cukup memadai untuk menyelenggarakan urusan rumah tangganya maka desentralisasi dilaksanakan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. 23 Dengan adanya penyerahan urusan pemerintah ini, maka berdasarkan pasal 3ayat (3) UU Pemda, pemerintah daerah termasuk pemerintah kabupaten Tabanan mempunyai kewenangan wajib dan pilihan karena dalam pasal ini ditentukan bahwa “Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan”. Berdasarkan penjelasan pasal 3 ayat (3) UU Pemda, yang dimaksud dengan urusan wajib adalah urusan yang sangat mendasar yang berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar warga negara antara lain: a. Perlindungan hak konstitusional; b. Perlindungan kepentingan nasional, kesejahteraan masyarakat, ketentraman dan ketertiban umum dalam kerangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan 22
Ridwan, HR, 2002, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, hal.16. Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 1994, Hukum Administrasi Pemerintahan Di Daerah, Sinar Grafika Jakarta, hal. 33. 23
20
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 c. Pemenuhan komitmen nasional yang berhubungan dengan perjanjian dan konvensi internasional.
Kemudian dalam penjelasan pasal ini juga ditentukan bahwa yang dimaksud dengan urusan pilihan adalah “urusan yang secara nyata ada di daerah dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah”. Sehubungan dengan ini dalam pasal 14 ayat (1) UU Pemda ditentukan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p.
Perencanaan, dan pengendalian pembangunan; Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat; Penyediaan sarana dan prasarana umum; Penanganan bidang kesehatan; Penyelenggaraan pendidikan; Penanggulangan masalah sosial; Pelayanan bidang ketenagakerjaan; Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; Pengendalian lingkungan hidup; Pelayanan pertanahan; Pelayanan kependudukan dan catatan sipil; Pelayanan administrasi umum pemerintahan; Pelayanan administrasi penanaman modal; Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Kemudian yang menjadi urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan berdasarkan ayat (2) pasal ini meliputi “urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan”. Dari uraian sebelumnya dapat dikatakan bahwa retribusi pemakaian kekayaan milik daerah kabupaten tabanan merupakan urusan pilihan bagi Pemerintah Kabupaten Tabanan, sehingga Bupati Kabupaten Tabanan memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan sehubungan dengan retribusi pemakaian kekayaan milik daerah kabupaten tabanan. Bersifat pilihan disini diartikan bahwa seandainya Bupati Kabupaten Tabanan tidak melakukan pungutan retribusi terhadap kekayaan milik daerah, maka hal tersebut tidaklah serta-merta menjadi kewenangan Provinsi, melainkan tetap menjadi kewenangan kabupaten karena kekayaan milik kabupaten, hanya saja rakyat kabupaten tabanan dibebaskan dari pungutan retribusi tersebut.
21
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
Konstruksi Perda Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat dikatakan bahwa melalui desentralisasi dilakukan penyerahan urusan pemerintahan kepada pemerintah daerah dengan maksud agar penyelenggaraan urusan tersebut menjadi efektif dan efisien. Dalam praktek, kedua istilah ini sering digunakan secara bersama-sama dan terkadang disamakan dengan istilah berhasil guna dan berdaya guna. Efektif mengandung makna ”terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki” 24. Sehingga, perda Retribusi pemakaian kekayaan milik daerah kabupaten tabanan dapat dikatakan efektif atau berhasil guna jika urusan tersebut telah dilakukan sesuai dengan perencanaan misalnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mendasari pembuatan perda tersebut. Kemudian pada istilah efisiensi yang disebut juga berdaya guna, terjadi perbandingan antara hasil nyata yang dicapai dengan pengorbanan yang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten tabanan dalam rangka melakukan urusan terkait dengan Retribusi pemakaian kekayaan milik daerah kabupaten tabanan seperti pengorbanan pikiran, tenaga, waktu, ruang, dan benda termasuk uang. Maksudnya, perda Retribusi pemakaian kekayaan milik daerah kabupaten tabanan akan dikatakan efisien apabila hasil yang dicapai secara nyata mengorbankan pikiran, tenaga, waktu, ruang, dan benda/uang yang paling sedikit/ seefisien mungkin. Prajudi Ato Sudirdjo menyebutkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan pemerintahan yaitu: (1). Efektifitas, artinya kegiatannya harus mengenai sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan atau direncanakan; (2). Legimitas, artinya kegiatan administrasi negara jangan sampai menimbulkan heboh oleh karena tidak dapat diterima masyarakat setempat atau lingkungan yang bersangkutan; (3). Yuridikitas, adalah syarat yang menyatakan bahwa perbuatan para pejabat administrasi negara tidak boleh melawan atau melanggar hukum dalam arti luas; (4). Legalitas, merupakan syarat yang menyatakan bahwa tidak satupun perbuatan atau keputusan administrasi negara yang boleh dilakukan tanpa dasar atau pangkal suatu ketentuan undang-undang (tertulis) dalam arti luas; bila sesuatu dijalankan dengan dalih “keadaan darurat” maka kedaruratan itu wajib dibuktikan kemudian; bilamana kemudian tidak terbukti, maka perbuatan tersebut dapat digugat dipengadilan; (5). Moralitas, adalah salah satu syarat yang paling diperhatikan oleh masyarakat; moral dan ethik umum maupun kedinasan wajib dijunjung tinggi; perbuatan tidak senonoh, sikap kasar, kurang ajar, tidak sopan, kata-kata yang tidak pantas, dan sebagainya wajib dihindarkan; (6). Efisien, wajib dikejar seoptimal mungkin; kehematan biaya dan produktivitas wajib diusahakan setinggi-tingginya; 24
Sundarso, 1988, Organisasi dan Metode, Karunika , Jakarta hal. 96.
22
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 (7). Teknik dan teknologi yang setinggi-tingginya wajib dipakai untuk pengembangan atau mempertahankan mutu prestasi yang sebaik-baiknya. 25 Pembatalan Perda oleh Gubernur ini dimaksudkan demi terciptanya efisiensi waktu,
biaya, serta mengembalikan kewenangan otonomi daerah pada proporsi yang sebenarnya, dalam artian Perda Kabupaten/Kota dinilai tidak memerlukan Peraturan Presiden dalam pembatalannya, karena hal tersebut memerlukan banyak biaya, waktu yang panjang, serta proses yang tidak sederhana. Namun dalam doktrin hukum dikenal asas a contrario actus yang berarti bahwa suatu peraturan hanya dapat dibatalkan oleh peraturan sejenis atau yang lebih tinggi. Sementara Peraturan Gubernur tidak dapat dikatakan sebagai peraturan sejenis atau peraturan yang lebih tinggi sebab Peraturan Gubernur merupakan produk eksekutif sedangkan Perda merupakan produk hukum legislatif dan eksekutif. Indonesia adalah negara hukum sebagaimana yang telah ditegaskan sejak negara ini didirikan (sesuai dengan pasal 1 ayat 3 UUD 1945). Konsekuensi dari penerapan prinsip negara hukum ini adalah pengaturan seluruh aktivitas masyarakat dalam koridor hukum. Dalam negara hukum diperlukan pembagian kekuasaan untuk membagi beban kerja dan tanggung jawab. Montesquieu dalam bukunya yang berjudul De L’esprit Des Lois mengajarkan bahwa kekuasaan harus dibedakan menjadi tiga yakni: a. Kekuasaan legislatif atau membuat perundang-undangan yang dipegang oleh parlemen. b. Kekuasaan eksekutif yang menjalankan pemerintahan yang dipegang oleh pemerintah. c. Kekuasaan yudisial atau kehakiman, yakni badan yang menjalankan hukum yang telah dibuat oleh parlemen. 26 Kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudisial ini berada pada level pusat maupun level daerah. Salah satu kekuasaan yang berada di level daerah adalah kekuasaan dalam membentuk Perda. Perda merupakan suatu produk hukum yang dibuat bersama oleh badan legislatif dan eksekutif di daerah. Pengaturan secara normatif mengenai Perda dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan dapat dilihat dalam Pasal 7 ayat (1)
Undang-
undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Perda yang mengklasifikasikan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut : a.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 25
Ibid, dikutip dari Prajudi Atmosudirdjo, 1983, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 79-80. 26 Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana I Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan & Batas Berlakukan Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 170-171.
23 b. c. d. e.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Perda. Perda meliputi Perda provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi
bersama dengan gubernur, Perda kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota serta Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. Dalam Stufenbautheorie dikatakan bahwa “peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari norma yang berada di puncak piramid, dan semakin ke bawah semakin ragam dan menyebar.”27 Dengan demikian Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden menjadi pedoman dari penyusunan Perda sehingga Perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan-peraturan tersebut. Berdasarkan hierarki sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undangundang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maka Perda merupakan salah satu bentuk Peraturan Perundang-undangan yang harus disusun berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik. Adapun asas-asas tersebut meliputi asas: a. Yang dimaksud dengan asas "kedayagunaan dan kehasilgunaan" adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara b. Kejelasan rumusan; Yang dimaksud dengan asas "kejelasan rumusan" adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. c. Keterbukaan. Yang dimaksud dengan asas "keterbukaan" adalah bahwa dalam proses Pembentukan Peraturan Perundang-Kejelasan tujuan; Yang dimaksud dengan "kejelasan tujuan" adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. d. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; Yang dimaksud dengan asas “kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat” adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan
27
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 62.
24
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang. e. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; Yang dimaksud dengan asas "kesesuaian antara jenis dan materi muatan" adalah bahwa dalam Pembentakan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis Peraturan. Perundang-undangannya. f. Dapat dilaksanakan; Yang dimaksud dengan asas "dapat dilaksanakan" adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis. g. Kedayagunaan dan kehasilgunaanundangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan. Agar Perda itu berfungsi maka ia harus memenuhi syarat berlakunya hukum sebagai
kaidah yakni: a)
Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan. b) Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. Artinya, kaidah itu dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan) atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat. c) Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi. 28 Kewenangan Negara Terhadap Daerah Otonom Macam-macam urusan pemerintahan membawa konsekuensi pada perlunya pengaturan. Atas dasar itu pemerintah mau tidak mau harus mengeluarkan peraturan baik yang sifatnya mengikat secara umum artinya mengikat setiap orang maupun peraturan yang jangkauan berlakunya hanya mengikat individu-individu.29 Hal inilah yang diistilahkan sebagai public policy (kebijakan publik). Public policy (kebijakan publik) adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah dengan tujuan tertentu demi kepentingan masyarakat. Jika suatu pemerintah negara melakukan pelayanan dengan beorientasi kepada public interest atau public needs maka yang harus dipikirkan oleh pemerintah itu ialah how to serve the public, sehingga pemerintah itu bertindak sebagai
28 29
H. Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 94. Johanes Usfunan, 2002, Perbuatan Pemerintah yang Dapat Digugat, Djambatan, Jakarta, hal. 17.
25
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
public servant (pelayanan masyarakat) yang menyelenggarakan public service (layanan publik).30 Kebijakan publik dapat berupa peraturan perundang-undangan yang terkodifikasi secara formal dan legal. Setiap peraturan dari tingkat “Pusat” atau “Nasional” hingga tingkat Desa atau Kelurahan adalah Kebijakan Publik. 31 Tiga kelompok kebijakan publik: 32 1. Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum, atau mendasar, yaitu kelima peraturan yang disebut diatas 2. Kebijakan publik yang bersifat mesa atau menengah, atau penjelas pelaksanaan. Kebijakan ini dapat berbentuk Peraturan Menteri, Surat Edaran Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati dan Peraturan Walikota. Kebijakannya dapat pula berbentuk Surat Keputusan Bersama atau SKB antar Menteri, Gubernur, dan Bupati atau Walikota. 3. Kebijakan publik yang bersifat mikro adalah kebijakan yang mengatur pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan diatasnya. Bentuk kebijakannya adalah peraturan yang dikeluarkan oleh aparat publik di bawah Menteri, Gubernur, Bupati dan Walikota. Menilik dari adanya pengelompokan kebijakan publik ini maka Peraturan Gubernur berada pada tingkat menengah. Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah mengkategorikan Peraturan Gubernur ini sebagai produk hukum daerah dimana dikatakan bahwa “Produk hukum daerah adalah Peraturan yang diterbitkan oleh kepala daerah dalam rangka pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah.” Peraturan Gubernur merupakan produk hukum yang bersifat mengatur dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Good governance berkenaan dengan penyelenggaraan tiga tugas dasar pemerintah yaitu: 1. Menjamin keamanan setiap orang dan masyarakat (to guarantee the security of all person and society itself). 2. Mengelola suatu struktur yang efektif untuk sektor publik, sektor swasta dan masyarakat (to manage an effective framework for the public sector, the private sector and civil society). 3. Memajukan sasaran ekonomi, sosial dan bidang lainnya sesuai dengan kehendak rakyat (to promote economic, social and other aims in accordance with the wishes of the population). 33
30
Solly Lubis, 2007, Kebijakan Publik, Mandar Maju, Bandung, hal. 9. Riant Nugroho D., 2006, Kebijakan Publik Untuk Negara-negara Berkembang Model-model Perumusan, Implementasi dan Evaluasi, Elex Media Komputindo Gramedia, Jakarta, hal 30-31. 32 Ibid., hal 31. 31
26
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
Untuk mewujudkan good governance ini maka pemerintah wajib mengeluarkan produk hukum yang menjamin kesejahteraan rakyat. F.A.M.Stroink dan J.G.Steenbeek menyebutkan bahwa hanya ada dua cara organ pemerintahan memperoleh wewenang yaitu atribusi dan delegasi. Mengenai atribusi dan delegasi disebutkan bahwa “atribusi berkenaan dengan penyerahan suatu wewenang baru sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang dari wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain, jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi)”. 34 Selain itu dalam praktek terjadi pula pelimpahan wewenang berdasarkan mandat, yaitu pelimpahan kewenangan yang tidak disertai dengan pelimpahan tanggung jawab, sehingga yang dilimpahkan hanyalah pekerjaannya saja sedangkan dalam penyelesaian pekerjaan tersebut tetap atas nama pemberi mandat. Terkait dengan adanya pembatalan Perda Kabupaten Tabanan Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Milik Daerah Kabupaten Tabanan maka pembatalan tersebut seharusnya dilakukan melalui Peraturan Presiden karena menjadi kewenangan Presiden yang didapat secara atributif, yaitu diberikan kewenangan oleh Undang-undang. Hal ini didasarkan pada Pasal 158 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah yang dijabarkan sebagai berikut: (1) Perda yang telah ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkan. (2) Dalam hal Perda bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, Menteri Keuangan merekomendasikan pembatalan Perda dimaksud kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. (3) Penyampaian rekomendasi pembatalan oleh Menteri Keuangan kepada Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Berdasarkan rekomendasi pembatalan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri mengajukan permohonan pembatalan Perda dimaksud kepada Presiden.
33
Addink Reader dalam H. Muladi, 2009, Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, hal. 67. 34 Ridwan H.R, op.cit, h. 75.
27
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 (5) Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (6) Paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Perda dimaksud. (7) Jika provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dengan alasan-alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. (8) Jika keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. (9) Jika Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Perda dimaksud dinyatakan berlaku. Dengan demikian pembatalan Perda merupakan kewenangan Presiden yang
ditetapkan melalui Peraturan Presiden. Walaupun Presiden menyerahkan kewenangan tersebut pada Menteri Dalam Negeri, namun pada pelaksanaan pembatalan perda haruslah tetap atas nama Presiden, karena penyerahan kewenangan tersebut hanyalah bersifat mandat. Sedangkan gubernur tidak memiliki kewenangan dalam pembatalan Perda kabupaten, dikarenakan kedudukan Gubernur disini bukanlah sebagai perpanjangan tangan/ wakil dari pemerintah pusat. Selain itu Gubernur tidak dapat menangani pembatalan Perda kabupaten karena pembatalan perda kabupaten terkait dengan kepentingan umum dari seluruh rakyat di kabupaten tersebut, sehingga tidak dilimpahkan secara delegasi kepada Gubernur. Retribusi pemakaian kekayaan milik daerah Kabupaten Tabanan adalah menjadi tanggung jawab Kabupaten Tabanan karena hal tersebut berdampak lokal, dalam artian dampak yang ditimbulkan hanyalah dalam lintas batas regional di daerah kabupaten tabanan saja, hal ini dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, halaman 577 yang membagi urusan pajak dan retribusi daerah. Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka hanya ada satu kekuasaan pemerintahan yang terletak pada pemerintah pusat yang kemudian diberikan secara desentralisasi dan dekonsentrasi pada daerah. Artinya, sewaktu-waktu kewenangan daerah dapat ditarik kembali oleh pemerintah pusat sebagai pemegang kewenangan penyelenggaraan negara. Hal ini dapat dilihat pada pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan
28
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
menurut Undang-undang Dasar” kemudian, terkait dengan pencabutan kewenangan daerah otonom oleh pusat dapat dilihat pada pasal 6 UU Pemda. Penutup Gubernur tidak dapat membatalkan perda kabupaten, karena Gubernur tidak memiliki kewenangan untuk itu. Kewenangan membatalkan perda merupakan kewenangan Presiden yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden. Desentralisasi dan Dekonsentrasi bukanlah penyerahan kewenangan sepenuhnya terhadap daerah yang dikepalai oleh Kepala Daerah/ Gubernur. Pengawasan preventif dan represif terhadap perda hendaknya tetap dilakukan. Pengawasan preventif berarti pengawasan sebelum perda tersebut diberlakukan sehingga apabila terdapat hal-hal yang bertentangan dengan pembentukan perda dapat dicegah pemberlakuannya. Preventif dapat dilakukan dengan merevisi, serta memeriksa/ evaluasi sebelum perda ditetapkan dalam rapat paripurna. Evaluasi perda dapat dilakukan oleh Gubernur, dan/atau Menteri Dalam Negeri sebelum perda itu ditetapkan, hal ini akan mengurangi kerugian yang ditimbulkan apabila setelah ditetapkan, baru diketahui kejanggalannya. Pengawasan represif, dilakukan setelah perda ditetapkan/ diberlakukan. Pengawasan ini dapat dilakukan oleh semua lapisan masyarakat, yaitu untuk mengetahui apakah perda tersebut efektif dan efisien untuk diberlakukan, apakah perda tersebut telah memenuhi asas keadilan dan kepastian hukum, dan faktor-faktor lain untuk menguji keberlakuan perda tersebut, sehingga apabila perda tersebut tidak layak untuk diterapkan, dapat diajukan laporan untuk membatalkan perda tersebut.
DAFTAR PUSTAKA BUKU Abdurrahman, 1987, Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah, PT. Media Sarana Press, Jakarta. Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana I Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teoriteori Pemidanaan & Batas Berlakukan Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
29
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
A.W. Widjaja, 1992, Titik Berat Pada Daerah Tingkat II, Rajawali Pers, Jakarta. Amrah Muslimin, 1982, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung. H. Andi Mustari Pide, 1999, Otonomi Daerah Dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI, Gaya Media Pratama, Jakarta. Y.W. Sunindhia dan Ninik Widiyanti, 1987, Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan Di Daerah, PT. Bina Aksara, Jakarta. Ridwan, HR, 2002, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta. Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 1994, Hukum Administrasi Pemerintahan Di Daerah, Sinar Grafika Jakarta,. Sundarso, 1988, Organisasi dan Metode, Karunika, Jakarta. H. Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Johanes Usfunan, 2002, Perbuatan Pemerintah yang Dapat Digugat, Djambatan, Jakarta. Solly Lubis, 2007, Kebijakan Publik, Mandar Maju, Bandung. Riant Nugroho D., 2006, Kebijakan Publik Untuk Negara-negara Berkembang Modelmodel Perumusan, Implementasi dan Evaluasi, Elex Media Komputindo Gramedia, Jakarta. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Milik Daerah Kabupaten Tabanan. Peraturan Gubernur Bali Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Pembatalan Perda Kabupaten Tabanan Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Milik Daerah Kabupaten Tabanan.
30
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 TANGGUNG JAWAB HUKUM DALAM TAHAP PRAKONTRAKTUAL PADA SENGKETA KONTRAK BISNIS Emmy Febriani Thalib Grapari Telkomsel [email protected]
Abstract: The existence of the "Agreement" or often referred as "contract" in the present much needed by community, especially in the era of globalization. Many people all around the globe making the business as a sector that supports the income of economy, where such bussiness actions are always use a contracts, both nationally and internationally. Legal issues will arise if prior agreement is valid and binding on the parties (negotiation process) one of the parties have committed acts that harm others. What are the forms of liability to such parties in the event of loss if the party who feels aggrieved is entitled to sue for compensation of damages or not. Key words: precontractual, liability, compensation of damages Pendahuluan Hukum kontrak merupakan bidang hukum yang sangat penting di era globalisasi terutama dalam mendukung kegiatan di sektor perdagangan dan transaksi bisnis internasional. Dalam konsep kontinental, penempatan pengaturan perjanjian pada Buku III KUH Perdata tentang Hukum Perikatan mengindikasikan bahwa perjanjian memang berkaitan dengan masalah Harta Kekayaan (Vermogen). Pengertian perjanjian ini mirip dengan contract pada konsep Anglo-American yang selalu berkaitan dengan bisnis. Di dalam pola pikir Anglo-American, perjanjian dalam bahasa Belanda overeenkomst dan dalam bahasa Inggris disebut agreement yang mempunyai pengertian lebih luas dari contract, karena mencakup hal-hal yang berkaitan dengan bisnis atau bukan bisnis. Untuk agreement yang berkaitan dengan bisnis disebut contract, sedangkan untuk yang tidak terkait dengan bisnis hanya disebut agreement. 35 Black’s Law mengartikan perjanjian adalah hubungan antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan tertentu (“An agreement between two or more persons which creates an obligation to do or not to do a particular thing”). 36 KUH Perdata mengatur syarat sahnya dari suatu perjanjian, seperti yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata yaitu: 35
Peter Mahmud Marzuki, Batas-batas Kebebasan Berkontrak, Jurnal Yuridika, Vol. 18 No.3, Mei Tahun 2003, hal. 195-196. 36 Huala Adolf, 2006, Dasar-Dasar Hukum Perjanjian Internasional, Rafika Aditama, Bandung, hal.1
31
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 a. b. c. d.
Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan Suatu pokok persoalan tertentu Suatu sebab yang halal
Sedangkan menurut sistem hukum Common Law suatu kontrak merupakan bagian dari hukum privat, khususnya tentang kewajiban (the law of obligation). Suatu kontrak dikatakan sah menurut Common Law apabila memenuhi unsur-unsur : a. Merupakan agreement, yang didasarkan adanya offer-acceptance b.Terdapat an Intention to create legal relation Para pihak harus sungguh-sungguh menunjukkan bahwa mereka memang bermaksud membuat ikatan hukum dan menaati serta melaksanakan ikatan tersebut. c. Didukung dengan consideration yang cukup37 Menurut Fox sebagaimana dikutip oleh I.B Wyasa Putra, sistem hukum di dunia didunia seperti tersebut diatas memiliki kesamaan aturan pokok yaitu : 38 1) 2) 3) 4)
Diakuinya freedom of contract (party autonomy) Diakuinya prinsip pacta sund servanda Diakuinya kekuatan mengikat dari praktek kebiasaan dan Diakuinya prinsip overmacht
Suatu kontrak harus dibuat menurut prosedur dan teknik yang benar. Prosedur yang benar diperlukan untuk menentukan sahnya kontrak, dan teknik yang benar diperlukan untuk membuat kontrak yang efektif dan efisien, menjamin kepastian dan keamanan bisnis, namun tidak mengabaikan fleksibilitas bisnis untuk secara progresif merespon perkembangan keadaan dan kebutuhan.39 Ruang Lingkup Dalam Tahap Prakontraktual Tahap prakontraktual pada dasarnya merupakan tahap dimana terjadi penawaran serta penerimaan, menurut ketentuan UNIDROIT, kata sepakat saja sudah cukup melahirkan kontrak. Negosiasi merupakan tahapan paling penting dalam proses prakontraktual, mengingat dalam negosiasi terjadi pertukaran pendapat antara para pihak untuk mencapai suatu kesepakatan. Dokumen yang penting dalam proses praktontraktual antara lain adalah nota kesepahaman atau yang biasa disebut dengan MoU sebagai “preliminary agreement”
37
Ida Bagus Wyasa Putra, 2005, “Konsep dan Teknik Berkontrak Menurut Tradisi Common Law”, Seminar ICCD 16 April 38 Ibid. 39 Ida Bagus Wyasa Putra, 2000, Aspek-aspek Hukum Perdata Internasional Dalam Transaksi Bisnis Internasional, Refika Aditama, Bandung, hal. 67
32
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
atau kesepakatan awal yang berisi kesanggupan para pihak untuk membuat sebuah kontrak detail. Dokumen yang termasuk kedalam tahapan prakontraktual menurut Ricardo Simanjuntak antara lain : Memorandum of Understanding, Letter of Intent serta Letter of Comfort. Menurut Hikmahanto Juwana, penggunaan istilah MoU harus dibedakan dari segi teoritis dan praktis. Secara Teoritis, dokumen Mou tidak mengikat secara hukum agar mengikat secara hukum harus dilanjuti dengan perjanjian. 40. Kesepakatan dalam MoU lebih bersifat ikatan moral. Beliau menganalogikan MoU sebagai lembaga “pertunangan” bukan lembaga “perkawinan.” Secara praktis, Hikmahanto Juwana membagi pemahaman MoU menjadi dua yaitu hanya mengikat secara moral karena harus dilanjuti dengan perjanjian serta pemahaman bahwa MoU disejajarkan dengan perjanjian. Munir Fuady mengartikan MoU sebagai perjanjian pendahuluan yang nantinya akan diikuti dan dijabarkan dalam perjanjian detail lainnya. 41 Seringkali negosiasi bahkan nota kesepahaman tidak terwujud menjadi sebuah kontrak nyata yang memuat pertukaran hak dan kewajiban antara para pihak karena masih masuk dalam tahapan prakontraktual. Tanggung Jawab Hukum Prakontraktual Permasalahan hukum dalam tahap prakontraktual akan timbul jika sebelum perjanjian tersebut sah dan mengikat para pihak (proses perundingan) salah satu pihak telah melakukan perbuatan hukum seperti meminjam uang, membeli tanah walaupun belum ada kesepakatan final antara para pihak dan apabila telah tertuang dalam nota kesepahaman, yang menjadi permasalahan apabila salah satu pihak tidak melaksanakan subtansi yang tertuang dalam nota kesepahaman tersebut yang mengakibatkan kerugian terhadap pihak lain terkait dengan: Bagaimana bentuk tanggung jawab para pihak tersebut ketika terjadi kerugian apakah pihak yang merasa dirugikan tersebut berhak untuk menuntut ganti kerugian ataukah tidak, sehingga pihak yang merasa dirugikan seharusnya memiliki hak untuk meminta ganti rugi atas kerugian yang telah ditimbulkan oleh pihak yang lain walaupun masih dalam tahap prakontraktual. Apakah yang dapat menjadi dasar gugatan dalam hal terjadi kerugian oleh salah satu pihak.
40
Hikmahanto Juwana, 2002, Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional, Lentera Hati, Jakarta hal. 123 Munir Fuady I, 2001, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya, Bandung , hal 91 41
33
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 Sebenarnya telah timbul hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh para pihak, hal ini
terutama dalam rangka melaksanakan pinsip itikad baik dan transaksi jujur, seperti yang tertuang dalam Statute of The International Institute for The Unification of Private Law (UNIDROIT) terlebih dengan ditetapkannya Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2008 tentang Pengesahan Statute of The International Institute for The Unification of Private Law (Statuta Lembaga Internasional untuk Unifikasi Hukum Perdata) atau yang biasa disebut dengan UPICCs yang membuka lebar pintu harmonisasi hukum bagi Indonesia dalam konteks hukum kontrak internasional untuk menghilangkan hambatan pelaksanaan perdagangan dan transaksi bisnis internasional. Dalam KUH Perdata hanya disebutkan bahwa suatu persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 KUH Perdata). KUH Perdata sama sekali tidak memperhatikan proses terjadinya kontrak/perjanjian. Padahal dalam prakteknya suatu kontrak/perjanjian dapat terjadi apabila didahului dengan adanya kesepakatan dan itu diperoleh melalui proses negosiasi. KUH Perdata hanya mengatur prinsip itikad baik (good faith) pada saat pelaksanaan kontrak, padahal sebenarnya dalam tahap negosiasi itupun sudah timbul hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh para pihak demi menegakkan prinsip itikad baik dan transaksi wajar/jujur (good faith dan fair dealing). Beberapa putusan pengadilan di Indonesia tidak menerapkan asas itikad baik dalam proses prakontraktual, karena berdasarkan teori klasik jika suatu perjanjian belum memenuhi syarat hal tertentu, maka belum ada suatu perjanjian sehingga belum lahir perikatan yang memiliki akibat hukum. Dalam UPICCs, dikenal adanya prinsip larangan bernegosiasi dengan itikad buruk. Article 2.1.15 UPICCs mengatur larangan negosiasi dengan itikad buruk, yang menyatakan: (1) A party is free to negotiate and is not liable for failure to reach an agreement. (2) However, a party who negotiates or breaks off negotiations in bad faith is liable for the losses caused to the other party. (3) It is bad faith, in particular, for a party to enter into or continue negotiations hen intending not to reach an agreement with the other party. Dengan demikian tanggung jawab hukum sebenarnya sudah timbul sejak proses negosiasi atau pra kontraktual yang dalam kontrak internasional biasanya berada dalam tahapan MOU. Proses negosiasi antara para pihak walaupun belum menimbulkan kontrak/hubungan hukum antara mereka, namun telah menimbulkan tanggung jawab hukum, yaitu apabila seseorang membatalkan negosiasi tanpa alasan yang sah atau dengan
34
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
kata lain seseorang telah melakukan bad faith dan/atau unfair dealing dalam proses negosiasi, maka ia dapat dituntut pertanggung jawaban secara hukum. Menurut Robert S.Summer, bentuk itikad buruk dalam negosiasi dan penyusunan kontrak mencakup : “Negosiasi tanpa maksud yang serius untuk mengadakan kontrak, penyalahgunaan privilege untuk menggagalkan negosiasi, mengadakan kontrak tanpa memiliki maksud utnuk melaksanakannya, tidak menjelaskan fakta material dan mengambil keuntungan dari lemahnya posisi tawar pihak lain dalam kontrak.”42 Dalam menghadapi kasus tertentu yang belum diatur kejelasannya didalam UndangUndang diperlukan cara penyelesaian yang khusus pula. Dapat pula kasus tersebut telah diatur dalam perundang-undangan, tetapi substansinya terlalu umum dan abstrak. Dalam keadaan demikian, hakim berfungsi sebagai judges as laws maker.43 Sistem peradilan di Indonesia tidak menganut sistem preseden sebagaimana peradilan di negara-negara dengan sistem common law, hakim tidak berkewajiban untuk mengikuti putusan pengadilan sebelumnya. Maka terdapat kemungkinan adanya perbedaan sikap diantara para hakim dalam menilai atau menyikapi konsep prakontraktual. Terbukti dari putusan-putusan pengadilan yang lebih mengedepankan teori hukum kontrak klasik dimana Menurut teori klasik jika perjanjian belum lahir, maka suatu perikatan tidak memiliki akibat hukum bagi para pihak, akibatnya pihak yang merasa dirugikan karena percaya terhadap mitra bisnisnya tidak terlindungi dan tidak dapat menggugat ganti rugi.Sementara menurut teori hukum modern memiliki kecenderungan untuk mengabaikan formalitas kepastian hukum demi tercapainya keadilan yang substansial. Di negara-negara maju yang menganut civil law system, pengadilan memberlakukan asas itikad baik bukan hanya dalam tahap penandatanganan dan pelaksanaan saja tetapi juga dalam tahap perundingan. Dalam hukum Belgia, Perancis serta Venezuela hubungan prakontraktual umumnya diletakkan pada perbuatan melawan hukum. Di beberapa Negara seperti Cheko dan Belanda hubungan kontrak tidak terlalu diperhatikan. Hal yang sama juga terjadi di Jepang, dalam Yurisprudensi Jepang dijumpai bahwa kadang hubungan hukum dalam prakontraktual didasarkan pada perbuatan melawan hukum dan kadang pula didasarkan pada kontrak pendahuluan atau Quasi kontrak44 42
Robert S. Summer ,Good Faith in General Contract Law and the Sales Provision of the Uniform Commercial Code, Virginia Law Review, Virginia, hal 220. 43 M. Yahya Harahap, 1997, Beberapa Tinjauan tentang Permasalahan Hukum,Buku I,Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal. 184. 44 Ridwan Khairandy, 2004, Itikad Baik Dalam kebebasan Berkontrak, Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 15
35
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 Pengadilan Negeri di Inggris dan Amerika Serikat telah menerapkan doktrin
Promissory Estoppel, yaitu doktrin yang mencegah seseorang untuk menarik kembali janjinya dalam hal pihak yang menerima janji tersebut telah melakukan sesuatu perbuatan atau tidak melakukan satu perbuatan sehingga dia akan menderita kerugian jika pihak yang memberi janji menarik janji tersebut.45 Di Jerman terdapat suatu doktrin dari seorang sarjana hukum terkemuka bernama Rudolf von Jhering yaitu Culpa in Contrahendo yang mengajarkan pihak yang bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pihak tidak bersalah yang mendasarkan dirinya pada faulty impression of binding contract.46 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membedakan dengan jelas antara perikatan yang lahir dari undang-undang dengan perikatan yang lahir dari Perjanjian. Akibat Hukum perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh para pihak, karena memang perjanjian didasarkan atas kesepakatan yaitu persesuaian kehendak antara para pihak yang membuat perjanjian. Sedangkan akibat hukum suatu perikatan yang lahir dari undangundang mungkin tidak dikehendaki oleh para pihak, tetapi hubungan hukum dan akibat hukumnya ditentukan oleh undang-undang. Gugatan ganti kerugian atas dasar adanya wanprestasi diatur dalam pasal 1236 (untuk prestasi memberikan sesuatu) dan pasal 1239 KUH Perdata (untuk prestasi berbuat sesuatu). Wanprestasi (default atau non fulfilment ataupun yang disebut dengan istilah breach of contract) adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan. 47 Selanjutnya terkait dengan wanprestasi tersebut pasal 1243 KUH Perdata menyatakan bahwa : ”Penggantian biaya,rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampauinya” Apabila atas kontrak yang disepakati terjadi pelanggaran, maka dapat diajukan gugatan wanprestasi, karena ada hubungan kontraktual diantara para pihak yang menmbulkan kerugian dan pihak yang menderita kerugian. Apabila tidak terdapat hubungan kontraktual 45
Suharnoko, 2007, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Jakarta, Kencana, hal 11 Steven A. Mirmina, 1992, A Comparative Survey of Culpa in Contrahendo Focusing on its Origins in Roman, German,and French Law as well as its application in American Law, Connecticut Journal on International Law Vol. 8, hal 81 47 Subekti, Op.Cit, h.45 46
36
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
antara para pihak yang menimbulkan kerugian dan pihak yang menderita kerugian, maka dapat mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum (onrechtmatigdaad) sebelum diatur dalam Pasal 1365 BW diinterpretasi secara sempit
hanya
sebatas
perbuatan melanggar
undang-undang
(onwetmatigedaad). Interpretasi ini terkesan sangat formalistik, karena yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum hanyalah sebatas yang sudah diatur dalam undangundang. Sedangkan di luar pengaturan undang-undang meskipun merugikan orang lain bukan merupakan perbuatan melanggar hukum. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan bahwa : “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Berdasarkan definisi tersebut diatas, suatu perbuatan dapat dianggap perbuatan melawan hukum apabila memenuhi unsur-unsurnya yaitu : 48 1. 2. 3. 4.
ada perbuatan melawan hukumnya ada kesalahannya ada kerugiannya, dan ada hubungan timbal balik antara unsur 1, 2 dan 3.
Berdasarkan teori klasik jika suatu perjanjian belum memenuhi syarat hal tertentu, maka belum ada suatu perjanjian sehingga belum lahir perikatan yang memiliki akibat hukum sehingga gugatan berdasarkan wanprestasi tidak dapat dilakukan. Akan menjadi berbeda ketika terdapat perjanjian pendahuluan diantara para pihak, Apabila dalam tahap prakontaktual para pihak telah membuat sebuah nota kesepahaman, maka terdapat dua pendapat. Pendapat pertama, yang menyatakan bahwa kekuatan mengikat dan memaksa MoU sama halnya dengan perjanjian itu sendiri. Walaupun secara khusus tidak ada pengaturan tentang MoU dan materi muatan MoU itu diserahkan kepada para pihak yang membuatnya serta bahwa MoU adalah merupakan perjanjian pendahuluan, namun MoU atau nota Kesepahaman tersebut apabila telah memenuhi unsur-unsur dari pasal 1320 tentang syarat sahnya sebuah perjanjian tersebut mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa bagi para pihak untuk mentaatinya dan/atau melaksanakannya. Dan dapat digunakan gugatan atas dasar wanprestasi.
48
Riduan Syahrani, 1992, Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, hal. 273.
37
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 Pendapat kedua, dengan menitikberatkan MoU sebagai sebuah perjanjian pendahuluan
sebagai bukti awal suatu kesepakatan yang memuat hal-hal pokok, serta yang harus diikuti oleh perjanjian lain, maka walaupun pengaturan MoU tunduk pada ketentuan perikatan dalam KUH Perdata, kekuatan mengikat MoU hanya sebatas moral saja. Dengan kata lain pula MoU merupakan gentlement agreement. Jadi dalam hubungan prakontraktual dimana belum terdapat hubungan kontraktual yang menimbulkan hak dan kewajiban mengikat diantara para pihak, maka gugatan kerugian dapat didasarkan atas adanya tidakan perbuatan melawan hukum. Pasal 1365 BW melalui putusan Hoge Raad 31 Januari 1919, dalam kasus lindenbaumcohen memutuskan yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah berbuat atau tidak berbuat yang : 49 1) 2) 3) 4)
melanggar hak orang lain; atau bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku; atau bertentangan dengan kesusilaan; atau bertentangan dengan kecermatan yang patut harus diperhatikan dalam lalu lintas masyarakat terhadap diri dan barang orang lain.
Beberapa putusan pengadilan di Indonesia tidak menerapkan asas itikad baik dalam proses prakontraktual, karena berdasarkan teori klasik jika suatu perjanjian belum memenuhi syarat hal tertentu, maka belum ada suatu perjanjian sehingga belum lahir perikatan yang memiliki akibat hukum. Seperti kasus N.V Aniem melawan Said Wachidin dalam Putusan No.235/1958 Tanggal 13 Agustus 1958 yang memutuskan bahwa N.V Aniem sebuah perusahaan yang menyediakan listrik tidak wajib mengalirkan listrik untuk gedung bioskop milik Said Wachidin, meskipun Said Wachidin telah membayar biaya pemasangan instalasi listrik. Karena perjanjian antara Said Wachidin dan N.V Aniem belum memenuhi syarat hal tertentu, mereka belum sepakat mengenai kilowatt listrik yang harus disalurkan. Said Wachidin menuntut ganti kerugian atas hal tersebut berupa kehilangan keuntungan yang diharapkan karena seharusnya tergugat memasok listrik kepada penggugat. Namun gugatan Said Wachidin telah ditolak oleh Pengadilan Tinggi Surabaya. Walaupun belum terjadi hubungan kontraktual diantara para pihak tersebut, maka gugatan atas kehilangan keuntungan yang diharapkan berdasakan pengaturan yang terdapat dalam KUH Perdata, pihak yang dirugikan tidak dapat melakukan tuntutan ganti rugi. memang tidak dapat dikabulkan, namun 49
Suharnoko, Op.Cit, hal 121
ganti rugi berdasarkan kerugian nyata yang
38
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
diderita atas dasar perbuatan melawan hukum dapat dipertimbangkan. Bab I bagian IV Buku III KUHPerd hanya mengatur tentang penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, sedangkan dalam hal ini yang ada baru sebatas negosiasi prakontrak, bukan kontraknya itu sendiri. Sehingga gugatan ganti kerugian atas dasar wanprestasi tidak dapat dilakukan. Penafsiran secara luas atas pengertian perbuatan melawan hukum sejalan dengan perkembangan teori dalam hukum perjanjian atau kontrak bahwa kontrak tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik yang berarti harus memperhatikan asas kepatutan. Tujuan gugatan melawan hukum adalah menempatkan posisi penggugat kepada keadaan semula sebelum terjadinya perbuatan melawan hukum, sehingga ganti rugi yang diberikan adalah kerugian yang nyata atau reliance loss dan bukan expectation loss atau kehilangan keuntungan yang diharapkan. Penutup Proses negosiasi antara para pihak walaupun belum menimbulkan kontrak/hubungan hukum antara mereka, namun telah menimbulkan tanggung jawab hukum, yaitu apabila seseorang membatalkan negosiasi tanpa alasan yang sah atau dengan kata lain seseorang telah melakukan bad faith dan/atau unfair dealing dalam proses negosiasi, maka ia dapat dituntut pertanggungjawaban secara hukum. Dalam hubungan prakontraktual dimana belum terdapat hubungan kontraktual yang menimbulkan hak dan kewajiban mengikat diantara para pihak, maka gugatan kerugian dapat didasarkan atas adanya tindakan perbuatan melawan hukum. Sehingga ganti rugi yang diberikan adalah kerugian yang nyata atau reliance loss dan bukan expectation loss atau kehilangan keuntungan yang diharapkan. Pembaruan hukum kontrak atau perjanjian di Indonesia khususnya Buku III tentang Perikatan merupakan suatu keharusan dalam rangka mendukung dan meningkatkan pelaksanaan perdagangan dan transaksi bisnis tidak hanya secara nasional, namun juga internasional. Tidak adanya pengaturan tentang kewajiban prakontraktual dalam Buku III KUH Perdata. Pengkajian secara menyeluruh dan mendalam ketentuan UPICCs yang telah diratifikasi melakui Perpres dapat dijadikan rujukan dalam penyusunan KUH Perdata khususnya terkait dengan pengaturan hukum kontrak dalam konteks perdagangan dan transaksi bisnis untuk menciptakan kepastian hukum dan melindungi kepentingan nasional.
39
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 DAFTAR PUSTAKA
BUKU Hikmahanto Juwana, 2002, Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional, Lentera Hati, Jakarta Huala Adolf, 2006, Dasar-Dasar Hukum Perjanjian Internasional, Rafika Aditama, Bandung Ida Bagus Wyasa Putra, 2000, Aspek-aspek Hukum Perdata Internasional Dalam Transaksi Bisnis Internasional, Refika Aditama, Bandung M. Yahya Harahap, 1997, Beberapa Tinjauan tentang Permasalahan Hukum, Buku I,Citra Aditya Bhakti, Bandung Munir Fuady I, 2001, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya, Bandung Riduan Syahrani, Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung:Alumni, 1992 Ridwan Khairandy, 2004, Itikad Baik Dalam kebebasan Berkontrak, Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta Robert S. Summer ,”Good Faith in General Contract Law and the Sales Provision of the Uniform Commercial Code, Virginia Law Review, Virginia. Suharnoko, 2007, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Jakarta, Kencana PUBLIKASI ILMIAH Ida Bagus Wyasa Putra, 2005, “Konsep dan Teknik Berkontrak Menurut Tradisi Common Law”, Seminar ICCD 16 April Peter Mahmud Marzuki, Batas-batas Kebebasan Berkontrak” Jurnal Yuridika, Vol. 18 No.3, Mei Tahun 2003. Steven A. Mirmina, 1992, A Comparative Survey of Culpa in Contrahendo Focusing on its Origins in Roman, German,and French Law as well as its application in American Law, Connecticut Journal on International Law Vol 8 PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti, R Tjitrosudibio, 2007, Cetakan ke XXX, PT. Pradnya Paramita, Jakarta Konvensi Internasional UNIDROIT (International Institute for the Unification of Private Law) Indonesia, Peraturan Presiden mengenai Pengesahan Statute of The International Institute For The Unification of Private Law, Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2008 tentang Pengesahan Statute of The International Institute For The Unification of Private Law.
40
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 PENGGUNAAN KEKERASAN OLEH POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM (Suatu Kajian dalam Perspektif Psikologi Hukum) I Wayan Suardana Dinas Kehutanan Provinsi Bali
Abstract This study aims to examine the role of police in law enforcement and limit the use of force in law enforcement by the police is reviewed through the perspective of legal psychology. The police are one component of criminal justice in charge of maintaining security and public order. He also serves as law enforcement. In the process of law enforcement, the police often use violence, but violence can only be used when facing specific threats that endanger the police at the time of performing their duties and that too must be dealt with naturally or by using tools or equipment are balanced. Use of force in law enforcement should be standard on the proportionality, legality, accountability and necessities. Key words: violence, police and law enforcement.
Pendahuluan Penegakan hukum merupakan hal yang sangat esensial di negara yang berdasarkan atas hukum. Dalam hal ini negara memiliki hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi bagi para pelanggarnya melalui penegak hukum yang dilegalisasi dengan substansi hukum. Seorang pakar hukum La Bruyerre, mengatakan “dihukumnya seseorang yang tidak bersalah, merupakan urusan semua orang yang berpikir. Demikian juga pemeo hukum yang bunyinya “Under the law, it is better that ten guilty persons escape. than that one innocent man suffer” (di dalam hukum, adalah lebih baik membebaskan sepuluh orang yang bersalah, ketimbang menghukum satu orang yang tidak bersalah). 50 Salah satu faktor yang menentukan penegakan hukum adalah penegak hukum. H. Zainuddin Ali, menyebut penegak hukum atau orang yang bertugas menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas. Sebab, menyangkut petugas pada strata atas, menengah dan bawah. Artinya di dalam melaksanakan tugas penerapan hukum, petugas seyoggianya harus memiliki suatu pedoman salah satunya peraturan tertulis tertentu yang mencakup ruang lingkup tugasnya. 51 Namun secara implementatif, kekerasan yang
50
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang Legisprudence, Kencana, Jakarta, hal. 501. 51 H. Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 9.
41
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
dilakukan oleh para aparat penegak hukum khususnya polisi masih saja terjadi. Hal ini menjadi citra buruk bagi institusi kepolisian. Berdasarkan data yang dilansir Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh dari Januari-September 2009, berjumlah 7 orang yang terbagi ke dalam beberapa kasus. Diantaranya penganiayaan, penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan, penangkapan dan pengancaman, dan penangkapan dan penahanan diluar prosedur hukum, dan ancaman. Sementara kasus-kasus kejahatan berbau politik tak terungkap, seperti kasus pengeboman kantor partai dan intimidasi yang dialami masyarakat. Bahkan sepanjang bulan Nopember 2009 terjadi 3 kasus tindakan kriminalitas kepada orang asing yaitu kepala palang merah Jerman, dan penembakan staf bahasa di badan bahasa Universitas Syiah Kuala, sampai saat seperti menguap ke udara tak terungkap juga aktor sesungguhnya. Penembakan terhadap para teroris saat penangkapan oleh polisi menjadi isu hukum yang banyak mendapat perhatian dari pada aktivis HAM. Para aktivis HAM mencatat peristiwa tersebut sebagai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara. Namun di sisi lain tindakan represif dari polisi juga direspon positif oleh masyarakat yang semakin tidak percaya dengan proses peradilan. Dalam hal ini maka harus ditelaah mengenai batasan penggunaan kekerasan oleh polisi dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Peranan Polisi Dalam Penegakan Hukum Pengertian mengenai polisi dapat dilacak dari Kota “polisi” berasal dari kata politea atau negara kota, dimana pada zaman Yunani Kuno manusia hidup berkelompok-kelompok, kelompok-kelompok manusia tersebut kemudian membentuk suatu himpunan, himpunan dari kelompok-kelompok manusia inilah yang merupakan kota (polis). 52 Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia No 8 tahun 1981, sistem peradilan pidana di Indonesia terdiri dari komponen Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Negeri dan Lembaga Pemasyarakatan sebagai aparat penegak hukum. Sehingga polisi merupakan salah satu komponen dalam penegakan hukum di Indonesia. Harus diakui, masalah keamanan merupakan syarat utama mendukung terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Karena itu pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan 52
Sidik Soenaryo, 2004, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UMM Press, Malang, hal. 8.
42
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat yang menjadi sangat penting. Dengan diundangkannya UU No 2 Tahun 2002 kepolisian diharapkan dapat lebih memantapkan kedudukan dan peranan serta pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai bagian integral dari reformasi menyeluruh segenap tatanan kehidupan bangsa dan negara dalam mewujudkan masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Efektifitas peran kepolisian sebagai leading actor (aktor penentu) dalam penegakan hukum akan terus diuji sejalan dengan agenda-agenda pengembangan reformasi Polri. 53 Mengenai permasalahan aparat kepolisian di dalam penegakan hukum di tengah masyarakat guna terciptanya kesan positif dari masyarakat terhadap aparat kepolisian, Soerjono Soekanto mengatakan “kalau seorang anggota angkatan perang harus senantiasa siap tempur dan memelihara kemampuan tersebut dengan sebaik-baiknya, maka anggota polisi harus selalu siap menghadapi masalah-masalah kemasyarakatan yang merupakan gangguan terhadap keamanan.” 54 Kegagalan dalam menanggulangi kejahatan akan merupakan sasaran kritik dan celaan masyarakat, sedangkan keberhasilan menanggulangi kejahatan merupakan ancaman serius (baik fisik maupun psikis) terhadap polisi dan keluarganya. 55 Profesionalisme polisi amat diperlukan dalam menjalankan tugas sebagai penegak hukum, mengingat modus operandi dan teknik kejahatan semakin canggih, seiring perkembangan dan kemajuan zaman. Apabila polisi tidak profesional maka proses penegakan hukum akan timpang, akibatnya keamanan dan ketertiban masyarakat akan senantiasa terancam sebagai akibat tidak profesionalnya polisi dalam menjalankan tugas. Tugas polisi disamping sebagai agen penegak hukum (law enforcement agency) dan juga sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (order maintenance officer). Polisi adalah ujung tombak dalam integrated criminal justice system. 56
53
Asiah Uzia, 2010, “Polisi dan Kekerasan (Refleksi Hari Bhayangkara 1 Juli 2010)”, http://www.kontras.org/index.php?hal=opini&id=100, diakses pada 4 Januari 2010. 54 Yesmil anwar dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana Konsep, Komponen & Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Widya Padjajaran, Bandung, hal. 157. 55 Romli Atmasasmita, 2007, Teori dan Kapita Selekta Krimonologi, Refika Aditama, Bandung, hal. 118. 56 Wawasan, 2009, “Profesionalitas Polisi Dalam Penegakan Hukum”, http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=30772&Itemid=62, diakses pada 4 Januari 2010.
43
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 Untuk meningkatkan kinerja polisi dalam penegakan hukum, maka akhir-akhir ini
didengungkan mengenai reformasi kepolisian. Berbicara reformasi kepolisian ada tiga aspek utama yang harus dilakukan pembenahan. Pertama, aspek struktural yang meliputi perubahan kelembagaan kepolisian dalam ketatanegaraan, organisasi, susunan dan kedudukan. Kedua, aspek instrumental yang mencakup filosofi, doktrin, kewenangan, kompetensi, kemampuan fungsi dan Iptek. Dan ketiga, aspek kultural yang meliputi perubahan manajerial, sistem rekrutmen, sistem pendidikan, sistem material, fasilitas dan jasa, sistem anggaran, dan sistem operasional. 57 Batasan Penggunaan Kekerasan Oleh Polisi Dalam Penegakan Hukum Penyidikan oleh kepolisian merupakan fase yang penting, karena pada saat itulah Berita Acara Pemeriksaan disusun. Penyidiklah yang pertama kali bertemu dengan tersangka, saksi, serta korban dan menanyakan kejadian perkara yang mereka alami. Kesalahan dalam investigasi akan memberikan pengaruh dalam mencapai kebenaran dalam proses peradilan pidana pada tahap selanjutnya di kejaksaan maupun pengadilan. Seringkali polisi dalam melakukan investigasi menggunakan cara kekerasan (fisik maupun psikologis), hal ini justru akan merusak ingatan saksi, korban maupun tersangka. Hal ini senada dengan pendapat Frank E. Hagan yang mengatakan: Police response to mass protest has often resulted in an escalation of conflict, hostility and violence. The police violence during the Democartic National Convention in Chicago (1968) was not a unique phenemenon. We have found numerous other instances where violence had been initiated or exacerbated by police actions and attituted, although violence also has been avoided by judicious planning and supervision.58 Investigasi proses perkara pidana dapat dilakukan pada tersangka, saksi dan korban yang dilakukan oleh polisi, selain oleh jaksa maupun hakim. Proses peradilan pidana sangat menggantungkan pada hasil investigasi pada saksi, karena baik polisi tidak melihat langsung kejadian perkara. Kapardis59 menyatakan bahwa kebenaran kesaksian dipengaruhi oleh 3 hal, yaitu perhatian, persepsi, memori. Ketika terjadi suatu kejadian perkara, banyak sekali informasi yang masuk dalam kognisi saksi yang melihat kejadian tersebut. Tidak hanya informasi tentang perbuatan pelaku kejahatan, namun juga karakteristik pelaku dan situasi 57
Serambi News, 2010, “Polisi dan Harapan Semu Masyarakat”, http://www.serambinews.com/news/printit/26972, diakses pada 4 Januari 2010. 58 Frank E. Hagan, 1989, Introduction to Criminology Theories, Methods and Criminal Behavior, Nelson-Hall, Chicago, hal. 291. 59 Kapardis, A. 1997. Psychology and Law, Cambridge University Press, Cambridge.
44
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
saat kejadian juga masuk ke dalam kognisi saksi. Informasi yang datang begitu banyak, sehingga hanya sedikit yang direkam oleh saksi. Terjadi proses seleksi informasi yang disebut sebagai perhatian. Dalam proses inilah polisi seringkali menggunakan kekerasan untuk mengorek keterangan dari saksi ataupun tersangka. Kerja-kerja polisi memang sering dianggap identik dengan kekerasan. Ini tidak terhindarkan esensi dari pemolisian bukan pada apa yang dilakukan oleh polisi, namun pada apa yang potensial dilakukan oleh polisi, dalam hal ini potensi penggunaan kekerasan secara sah. Dalam negara demokrasi, di mana fungsi keamanan nasional berada di bawah wewenang sipil, polisi menjadi pemegang monopoli kekerasan (monopolists of force), khususnya kekerasan yang dilakukan terhadap warga negaranya sendiri. Dalam menjalankan tugas sehari-hari, polisi selalu ditekankan pada satu persepsi bahwa mereka adalah pemberantas kejahatan yang sedang berada dalam situasi “perang melawan kejahatan.” Persepsi ini menggiring polisi pada posisi “the invitational edge of assasination”, dimana praktek tembak di tempat terhadap tersangka yang tidak jarang mengakibatkan kematian dijustifikasi dengan angapan bahwa mereka “orang jahat” yang tidak layak hidup. Dari data yang dikumpulkan oleh Kontras sepanjang bulan Oktober-Desember 2009, tercatat 22 kasus kekerasan dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan polisi, dimana setengahnya terjadi ada bulan Desember. Kasus itu meliputi aksi tembak di tempat, penggunaan senjata secara sewenang-wenang, penyiksaan, serta kasus salah tangkap disertai penganiayaan, di mana perlakuan terhadap polisi yang melakukan pelanggaran berbedabeda. Hanya satu kasus yang mengarah pada penyelesaian pidana, sementara sisanya diselesaikan secara internal kepolisian, melalui sidang etik dan/atau disiplin. Dalam banyak kondisi, polisi dalam menjalankan tugasnya tidak harus selalu memerlukan menggunakan kekuatan. Meski penggunaan kekuatan ini sah dilakukan seperti dalam penangkapan, pencegahan dan dalam menangani insiden-insiden terkait gangguan ketertiban umum. Kendati sejumlah aturan dan pedoman dalam penggunaan kekuatan telah dimiliki kepolisian dalam rangka menjalankan kewajibannya, tetapi praktik-praktik kekerasan berlebihan masih saja terus terjadi. Peristiwa penembakan yang menyebabkan kematian terhadap Raden, Juni lalu yang diduga mencuri getah milik PT Satya Agung. Juga peristiwa penembakan yang mengakibatkan luka berat terhadap Muhib Dani, warga Seuneuam, Nagan Raya yang ditembak aparat Brimob yang melakukan pengamanan di PT
45
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
SPS, akhir April lalu. Pada saat itu, korban diketahui tidak dalam posisi mengancam keselamatan jiwa aparat Brimob dan tidak melakukan perlawanan baik secara fisik maupun dengan senjata tajam. Demikian juga dengan penanganan kasus terorisme di Aceh, salah satunya penyergapan tersangka teroris di Pegunungan Jalin yang mengakibatkan jatuhnya korban dari masyarakat sipil. Korban diberondong dalam jarak dekat bersamaan dengan tembakan peringatan. Padahal korban sama sekali tidak membawa senjata apapun. Belum lagi metodemetode penyiksaan yang dilakukan terhadap para tahanan di kantor-kantor polisi yang ditujukan untuk mendapatkan keterangan atau pengakuan. Penyiksaan seperti ini seringkali tidak diketahui publik kecuali bila media massa memberitakannya atau pihak keluarga korban membuat pengaduan kepada lembaga-lembaga hukum. Polisi seringkali bertindak semena-mena. Hal ini disebabkan adanya justifikasi tanpa proses hukum oleh kepolisian bahwa tersangka adalah pelaku. Meskipun polisi berprestasi dalam mengungkap persoalan terorisme dan kriminalitas bersenjata api di Aceh melalui kekerasan yang dilakukannya, namun hal tersebut tidak serta merta mendongkrak citra polisi di tengah masyarakat. Kesan keras dan brutal lebih tampak menonjol dalam menggambarkan pekerjaan polisi. Penggunaan kekerasan atau kekuatan berlebihan seolah telah menjadi inti dari polisi dalam menjalankan tugas-tugasnya dalam masyarakat. Tidak selayaknya pemolisian, yang hanya dibolehkan menggunakan kekuatan hanya ketika benar-benar dibutuhkan dan sampai sejauh yang dipersyaratkan dalam Undang-undang. Kekerasan tentunya hanya dapat digunakan pada saat-saat menghadapi ancaman tertentu yang membahayakan dirinya dan itupun harus dihadapi secara wajar atau dengan menggunakan alat-alat atau perlengkapan yang seimbang. Dengan kata lain, kekerasan yang digunakan bersifat normatif, bukan kekerasan secara emosional, brutal ataupun kejam. Dalam hal ini penilaian yang cepat oleh polisi tentang suatu sifat dari sebuah resiko dan sejauhmana ancaman yang terjadi sangat diperlukan, serta bagaimana cara penanganan yang sesuai untuk mengatasinya sambil memastikan agar korban atau kerusakan yang ditimbulkan tetap dapat diminimalisir. Penggunaan kekerasan termasuk dengan senjata api oleh polisi sebenarnya menjadi dua sisi mata uang. Kekerasan akan menjadi legal ketika pelaksanaannya berpedoman pada asas legalitas dan asas kewajiban serta kewenangan diskresi kepolisian untuk menilai situasi
46
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
yang dihadapi anggota polisi saat itu. Mengenai hal ini Reiss, menyatakan bahwa patokan yang dapat dipakai sebagai ukuran atau kriteria untuk menilai bahwa kekuasaan dalam bentuk kekerasan telah terjadi (digunakan) secara tidak pada tempatnya, yaitu: a. b.
c. d. e. f.
Apabila seorang polisi menyerang seseorang secara fisik dan gagal untuk melakukan penahanan; penggunaan kekuasaan yang wajar diikuti oleh penahanan; Apabila seseorang warga negara yang pada waktu ditahan tidak melakukan perlawanan, baik dengan perbuatan maupun kata-kata; kekerasan hanya digunakan jika diperlukan untuk melakukan penahanan; Apabila seorang polisi, sekalipun pada waktu itu ada perlawanan terhadap usaha penahan, masih bisa dengan mudah diatasi melalui cara-cara lain; Apabila jumlah polisi yang ada di situ dan bisa membantu dengan cara menggiring warga negara bersangkutan ke kantor, tempat penahanan atau kamar interogasi; Apabila seseorang ditahan atau diborgol dan tidak berusaha untuk lari atai melakukan perlawanan dengan kekerasan; Apabila warga negara melawan, tetapi penggunaan kekerasan masih saja berlangsung, sekalipun orang itu sudah ditundukkan. 60 Pada prakteknya, tidak semua tindakan polisi bersifat represif. Banyak tindakan
pemolisian yang dilakukan secara persuasif tanpa kekerasan. Meskipun demikian, penggunaan kekerasan tetap menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan persoalan yang disahkan oleh undang-undang. Pasal 5 KUHAP menyatakan, polisi karena kewajibannya berwenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung-jawab, di mana yang dimaksud dengan “tindakan lain” adalah tindakan untuk kepentingan penyelidikan yang tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; dilakukan atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa; dan menghormati hak asasi manusia. “Tindakan lain” inilah yang salah satu bentuk pengejawantahannya adalah kekerasan terhadap orang yang dicurigai atau tersangka. Pasal tersebut memiliki implikasi bahwa sebuah tindakan (kekerasan) yang dilakukan terhadap tersangka bisa dianggap sah pada satu situasi, namun bisa pula dianggap sebagai tindak pelanggaran hukum pada situasi yang lain. Dan di sini penilaian atas sah atau tidaknya tindak kekerasan yang dilakukan baru bisa dilakukan post-factum. Tindak kekerasan yang excessive ataupun mematikan yang dilakukan polisi terjadi salah satunya dikarenakan adanya keterbatasan kemampuan untuk melakukan pendekatan non-represif.
60
Sunarto D.M. “Alternatif Meminimalisasi Pelanggaran HAM Dalam Penegakan Hukum Pidana”, dalam Muladi, 2009, Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, hal. 139.
47
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 Penggunaan kekerasan secara berlebihan yang dilakukan polisi dapat diminimalisir
dengan menyusun aturan yang jelas mengenai prosedur teknis dalam hal melakukan penangkapan, melakukan pengejaran, menghadapi perlawanan dari tersangka, menghadapi kerumunan massa (crowd), penggunaan senjata, dan lain-lain. Di samping itu, harus ada pertanggungjawaban dan pengawasan terhadap tindakan yang diambil oleh polisi. Kontrol dan review terhadap penggunaan kekerasan ini kemudian harus diikuti dengan penegakan aturan hukum disiplin dan pidana. Jika penegakan hukum tidak dijalankan ketika terjadi penggunaan kekerasan yang berlebihan, maka tindak kekerasan semacam itu akan dilihat sebagai sesuatu yang sah oleh aparat polisi. Amnesty International dalam laporannya tahun 2004 tentang standar-standar untuk mencegah penyalahgunaan kekuatan menyebutkan empat prinsip penting HAM dalam penggunaan kekuatan pada umumnya. Yaitu, proporsionalitas (penggunaan kekuatan yang seimbang), legalitas (tindakan sah apabila sesuai dengan hukum nasional yang sesuai dengan standar HAM internasional), akuntabilitas (adanya prosedur dan peninjauan ulang penggunaan kekuatan) dan nesesitas (digunakan pada tindakan luar biasa dan benar-benar dibutuhkan). Disebutkan juga, Amnesty International tidak menentang penggunaan kekuatan yang sah secara sewajarnya oleh polisi. Namun secara khusus negara dan kepolisian diharuskan untuk terus menerus meninjau kembali masalah etika yang terkait di dalamnya. Khususnya dalam penggunaan senjata api, harus dilihat terlebih dahulu keadaan saat polisi diperbolehkan membawa senjata api, kemudian memastikan senjata api digunakan dengan benar dan menyediakan peringatan yang harus diberikan bila senjata api harus ditembakkan. Kapolri juga telah mengatur ulang tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian dengan Peraturan Kapolri (Perkap) No. 1/2009 yang membagi 6 tahapan penggunaan kekuatan, yaitu (1) kekuatan yang memiliki dampak deterent/pencegahan, (2) perintah lisan, (3) kendali tangan kosong lunak, (4) kendali tangan kosong keras, (5) kendali senjata tumpul atau senjata kimia, dan (6) kendali dengan menggunakan senjata api. Di sini disebutkan penggunaan senjata api hanya dapat dilakukan sebagai usaha terakhir dan dapat digunakan jika diperlukan untuk melindungi diri anggota polisi sendiri, orang sekitar yang tidak bersalah serta untuk memudahkan proses penangkapan. Dan jika diperlukan menembak, tembakan harus diarahkan pada bagian tubuh yang paling sedikit
48
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
mengakibatkan resiko kematian. Karena penangkapan ditujukan untuk membawa tersangka diadili di pengadilan. Penutup Polisi merupakan salah satu komponen dalam penegakan hukum di Indonesia. Karena itu pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat sebagai syarat utama mendukung terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kekerasan hanya dapat digunakan pada saat-saat menghadapi ancaman tertentu yang membahayakan diri polisi pada saat menjalankan tugasnya dan itupun harus dihadapi secara wajar atau dengan menggunakan alat-alat atau perlengkapan yang seimbang. Penggunaan kekerasan dalam penegakan hukum harus berstandar pada proporsionalitas (penggunaan kekuatan yang seimbang), legalitas (tindakan sah apabila sesuai dengan hukum nasional yang sesuai dengan standar HAM internasional), akuntabilitas (adanya prosedur dan peninjauan ulang penggunaan kekuatan) dan nesesitas (digunakan pada tindakan luar biasa dan benar-benar dibutuhkan). Pelaksanaan keamanan dan ketertiban yang merupakan tugas kepolisian memerlukan keterpaduan dan interkoneksi antara fungsi hukum di satu sisi dan moralitas di sisi lain. Oleh sebab itu pemahaman mengenai psikologi hukum bagi polisi sangat diperlukan untuk menentukan tindakan mana yang wajar dilakukan dan tidak boleh dilakukan dalam kerangka penegakan hukum termasuk dalam penggunaan kekerasan dalam pelaksanaan fungsi penertiban. Jika polisi masih juga mengandalkan kekerasan dalam menyelesaikan masalah, maka kepercayaan terhadap kepolisian akan semakin melemah yang akan berakibat pada sulitnya polisi menegakkan profesionalitas dan supremasi hukum. Oleh sebab itu pendekatan persuasif perlu diutamakan dalam penegakan hukum.
49
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 DAFTAR PUSTAKA
BUKU Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang Legisprudence, Kencana, Jakarta. H. Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Hagan, Frank E. 1989, Introduction to Criminology Theories, Methods and Criminal Behavior, Nelson-Hall, Chicago. Kapardis, A. 1997. Psychology and Law, Cambridge University Press, Cambridge. Muladi, 2009, Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung. Romli Atmasasmita, 2007, Teori dan Kapita Selekta Krimonologi, Refika Aditama, Bandung. Sidik Soenaryo, 2004, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UMM Press, Malang. Yesmil anwar dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana Konsep, Komponen & Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Widya Padjajaran, Bandung. INTERNET Asiah Uzia, 2010, “Polisi dan Kekerasan (Refleksi Hari Bhayangkara 1 Juli 2010)”, http://www.kontras.org/index.php?hal=opini&id=100, diakses pada 4 Januari 2010. Serambi
News, 2010, “Polisi dan Harapan Semu Masyarakat”, http://www.serambinews.com/news/printit/26972, diakses pada 4 Januari 2010.
Wawasan, 2009, “Profesionalitas Polisi Dalam Penegakan Hukum”, http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=3 0772&Itemid=62, diakses pada 4 Januari 2010.
50
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 THE SERVICE VILLAGE RESPONSIBILITY AGAINST THE CITY FOREST SUSTAINABLE61 I Wayan Wiasta, I Wayan Gde Wiryawan, I Nyoman Edi Irawan and Dewi Bunga Faculty of Law Mahasaraswati Denpasar University [email protected] or [email protected].
Abstract: City forest is one solution to the pollution and environmental damage in the city. City forest has a function in reducing noise, absorb particles that are harmful to health, resulting in water and so on. City forest sustainability depends on the cooperation between government and society. The cooperation is demanded service village responsibility in maintaining and preserving the city forest. The act of destroying the forest that the city will get the sanctions are based on provisions in awig-awig Key Words: service village, city forest and sustainable. Introduction City is the center of living for the community of a state. Such this place gives a great chance for any body who expects for job, education and better place for recreation. It’s been predicted in 2020, there will be 60% of the people live in the city. The development of the city from the former time till today tends to decrease the green space and change the city appearance. There are many green spaces exchanged into trading zone, dwelling houses, industrial zone, transportations needs e.g. (roads, bridges, and vehicles terminal) as well as other cities infrastructures. To stabilize between the city population growth and all of those environment problems that caused by its crowded needs the ecological concept of city development. The ecological concept of city development can be done through the city forest development. The term of “city forest” is refers to a field that filled by a group of plantation growth close together in a city territorial, either it grows on government land or proprietary right land which is defined as the city forest by the authorities as stated in the government regulation Number 63 year of 2002 concerning the city forest. The policy concerning the city forest has been regulated in article 9 Law Number 41 year of 1999 concerning Forestry 61
This paper presented at International Seminar on Globalizing World Denpasar, Bali 27-28 June 2011.
Environmental, Health and Safety Risk in a
51
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
and related to the Government Regulation Number 63 Year of 2002 concerning the City Forest. In the matter of the city forest sustainable, the derivation of policy in a form of policy at a lower government level can be done through the function of the service village 62 the principle of the service village philosophy expects the harmony relationship between the human being and its nature. In consequence of that, the service village has responsibility in city forest sustainable. So far there some basic problems with cause the quantity and the quality of the city forest become lower e.g. the conflict of interest concerning the function of the land. As usually the victory is the interest with the high economic value. Because of that reason, the city forest hasn’t got high economic value so the land that initially defined as the city forest or the land that was formerly city forest is changed as the supermarket, realestate, offices and others. In this such of problem is needed a complete involvement of the service village and the service village community to guaranty the city forest sustainable. The Function of the City Forest to Restore Environment, Healthy and Safety Environment is a space that occupied by living entities together with invaluable goods.63 such this description has become essential in the matter of to arrange and to protect the environment. In order to realize all of those does not only need every national individual, communities, businesses agencies, and legal agencies but also international bears a solemn responsibility to do a common effort together in protecting and improving the environment for present and future generation by developing the ecology concept approach for the city development. The development of the city forest can be adopted as one of the solution to restore performance of the city which has been damaged by disarrangement that tend into commercial and often neglect the environment sustainable. In the relation of that the central government has the authority through the local government to define the location for the city forest development. Defined city forest zone has to be considered with; territorial measure, the total of the population, the level of the pollution, and the city performance. The minimum size of a city forest is approximately 0,25 ( twenty fife per one hundred) hectare.
62
Stated in article 1 paragraph (4) Bali Province Government Regulation number 3 the year of 2001 concerning the Service Village, stated that service village is unite of service village community in Bali Province which have equal tradition of Hindu religion community behavior hereditarily in binding of three Hindu holy temple with its certain territorial and own property as well as to arrange their own village. 63
Otto Sumarwoto, 1991, Ekologi lingkungan hidup dan pembangunan, Djambatan, hal.48.
52
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
The percentage of the measure of a city forest at least 10 % (ten per one hundred) measured from the city territorial or has to be suitable according to city condition. The existence of the city forest has given positive contribution in increasing the quality of environment by carbon diockside absorption through chlorophyll produced by the city forest vegetation and the help of the sun shine, the formation of oxygen which is needed for all of the living entities respiration can be formed. Beside of that in the objective of increasing the quality of the environment can also be helped by keeping the existence of the green open space.64 The city forests are also functioned to increase and to control the micro climate and ecstatic value, water absorption, to stabilize the city physic, and to secure the existence of the various living entities of Indonesia. There are few types of the city forest can be established such as : 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Dwelling house city forest type is a city forest that is established on dwelling house zone functioned as oxygen producer, carbon dockside absorber, water absorber, wind defender, sound muter. It’s usually dominated with high and tall plantation combined with smaller bamboo and some grass. Industry type of city forest is a city forest that is established on industry zone and functioned to minimize the air pollution, and to mute the sound bother. Recreation type of city forest is the forest that is built in a certain zone functioned for a recreation and beautifulness dominated by beautiful and unique plantations. Uninterrupted type of city forest is a conservation forest to protect all kinds of protected germ of life Protection type of city forest is a forest to prevent erosion and land sliding, sea water abrasion, water absorbing zone, increasing land water volume, and others Safety type of city forest is a forest to increase the safety of the traffic by keeping the existence of the green open space with its plantation City forest development purposes to keep the sustainable, suitable and the balance of
the city ecosystem such as environment, social and culture. As stated by Supriadi in his book “The Law of Forestry and The Law of Agriculture in Indonesia”(Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia) that the essential function of the city forest is as the city identity, to develop germ of life, to filter the unnecessary particles e.g. all metals particles, cement, dust, to mute the sound bother, to minimize the acid rain, to absorb carbon monocside and carbon diocside, to produce oxygen, to block the wind, to prevent sea water intrusion, limited production, climate amelioration, to organize the waste, land water
64
Yengyeng Reni Herliani, 2009-01-14,15;26;24, “Penentuan Luas dan Lokasi Hutan Kota berdasarkan Kebutuhan Oksigen (Studi Kasus di Wilayah Kota Tasikmalaya), http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jbptitbpp-gdl-yengyengre-31725
53
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
sustainable, birds habitat, reduce the sense of stress, to prevent the sea water abrasion, and to increase tourism industry.65 There are some forms of the city forest which can be made such as : a. Green Space Forest. Street refreshing trees, green space under the electricity’s high power pole, green space along the trains track. Green space along the river in the city or in the country side shall be established and developed as a city forest in order to have better benefit and quality of cities environment. The trees which are planted under the high power of electricity wire and the telephone wire shall be settled lower than the wires, if there are some higher trees grow under the dangerous zone shall be arranged to cut regularly. b. City Garden Garden by means is the plantation which is planted and arranged in a particular form. Either some or whole of those trees/plantation are performed by the human being to get a beautiful certain composition of trees / plantation. Every kinds of plantation have its own characteristic either in shapes, color or structure. There are some plantations with small high long trees (candle vine trees), some trees with pyramid leave style (vine trees) and there are some trees with big round branches on leave and shadow (beringin tree). a. Garden And Yard Kind of plantation which is usually planted in the garden and the yard are the kind of fruiting trees such as mango, durian, rambutan, guava, orange, coconut and others. Here are kind of trees that might be also suit for the garden and yard that derived from less fruiting trees such as vine trees, palm trees, adenium, fillisum, fern (pakis) and many others. b. Botanical Garden, rain Forest, Zoo Botanical garden, Rain Forest, zoo can be classified into the form city garden. The plantation can be locally plant or the plant from other territorial, either from domestic area of the state or from foreign country (Soemartono 1983) stated there are some of the botanical gardens have economic value and there are also some of Botanical gardens objectified for the research/Study. c. Protected Forest The fifth part at the city is a steep standing jungle shall be settled as forest territorial because such of this territorial is anxious of land sliding. As well as with the beach territorial which is anxious of sea water abrasion shall settle to be a protected forest. d. Cemetery and Military Cemetery Normally in a cemetery are planted some kind of plantations, it seems that as the manifestation of living person never ended respect to the death person, as long as. Those trees are still strong standing in that place. Through this personification is drawn. That the life wire never he ended with the death, in the other way can be stated that the death is the beginning at the life. 66
65
Supriadi, 2010, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal.496-506. 66 Departemen Kehutanan, “Hutan Kota”, http://www.dephut.go.id/informasi/hutkot/hutkot.htm#hutkot1
54
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 The existence of the city forest is very importance for the human being living
sustainable, but factually the city forest often neglected and the function of it is often also diverted to other function. The function of the city forest at present is not any more exist, it’s often used to do irresponsible activities such as: playing foot ball, indecent activities, baggers and there are some times also filled with advertising banner. The trees of the city forest are also often used as telephone and electricity wires installations. The unbelievable activities are some times also done under the trees such as: rubbish burning, knife cut and unimportant sign of paint. As a unit of customary law community so that the service village as the first guard in case of giving guaranty of the sustainable and the right function of the city forest by giving a particular traditional punishment to whom has destroyed the city forest The Service Village and City Forest Sustainable Environment is a public property, so there is no one allowed to pollute it. 6 Environment is a public property so there is no body allowed to soil / dirty it. 67 To guaranty the function of environment so the local government and the central government must commit to hold a responsibility and to apply large scale environment policy and take the action within their jurisdiction.68 This policy implied to law obligation of the service village as the lowest level of the government structure in giving guaranty concerning to the sustainability of the function of environment. The service village in Bali is formed and based on a living philosophy. This living philosophy is giving a soul for customary law community of Bali, the philosophy called TRI HITA KARANA, the philosophy foundation of the service village has long time been adopted as the philosophy of balance relationship (the balance relationship between the human being with the God, the principle of sociological balancing or the balance relationship among the human being, and the balance relationship between human being with its environment). 69 Service village is an organization of Bali Hindu community based on a unit of together living territorial and adopting religions spirit as the foundation of the relationship pattern on social interaction of Bali’s communities. A service village is consist of 3 (three) elements 67
Sisti Sundari Rangkuti, 2000, Hukum Lingkungan dan Kebijakan Lingkungan Nasional edisi kedua, Airlangga University Press, Surabaya, hlm. 14-15 68 Ida Bagus Wyasa Putra, 2003, Hukum Lingkungan Internasional Perspektif Bisnis Internasional, Refika Aditama, Bandung, hal. 4 69 Tjok Istri Putra Astiti, 2005, Pemberdayaan Awig-Awig Menuju Ajeg Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hal. 6
55
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
e.g.: (1) element of Parahyangan ( a holy place, it’s normally in the form of holey temple of Hindu religion); (2) element of Pawongan (humanity, it consists of the village communities believing in Hindu Religion) and the last one is (3) the element of Palemahan (the village zone, in the form of territorial/village territorial which is classified into “Karang Ayahan Desa” (the land completed with the obligation for the villagers) and “Karang Guna Kaya” (the proprietary right land) which is arranged and regulated in accordance with Hindu Religion rule. 70 In the relevant of the function of “Palemahan” (village territorial), the service village is obligated to give the guaranty for city forest sustainable. The city forest sustainable needs synergy between The service Village and the legal village in preserving the environment. City forest sustainable can not be handled alone by the Government without support and participation of individuals, groups, and other organizations. To achieve a better result concerning the city forest sustainable in this case the government through Department of Forestry of Bali Province has mutually assent to joint with the service village sub-unit agencies. The service village as the manifestation of customary agency in the form of traditional, original, and specific community, a service village is led by an active and competence chosen figures and having talent concerning the city forest sustainable. It’s difference to other Province within familiar to administrative village only, but in Bali there are known two kinds of village namely legal village and service village. Service village is a unit of territorial which is formed based on equal tradition, cooperative behavior haired hereditary and bounded by the obligation of the three domestic holy temples namely Pura Desa (Desa temple), Pura Puseh (Puseh Temple) and Pura Dalem (Dalem temple).10 Service village functioned traditionally as the manifestation of the customary agency and commonly called the service village. The structure chart of the service village are : 1) the main service village council-chamber at the province level; 2) The middle service village council at the level of regent; 3) and The lowest service village council at the level of district. Service village has strategic function as the manifestation of Bali customary agency because of that the service village shall have the total support from all class of society within based on the concept of TRI HITA KARANA11 the concept of Tri Hita Karana 70
Wayan P. Windia, 2008, Menyoal Awig-Awig Eksistensi Hukum Adat dan Desa Di Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hal. 48
56
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
objectified to create harmony relationship between human being to the almighty God, harmony relationship to other human being and harmony relationship to the nature. This type of concept concretely regulated in a written traditional law which is made by the service village community. such of this concept is also found in two difference researched villages namely Renon service village and Kesiman Service village. In the written traditional law of Renon village has explicitly found the Tri Hita Karana Concept is regulated in article 5 paragraph 3 stated that : “Desa Pakraman Renon ngemanggehang pamikukuh minekadi Tri Hita Karena manut tatuaning buana agung lan tata cara agama Hindu” ( Renon Service Village has adopted the concept of Tri Hita Karana in accordance with the Universe rule and Hindu Religion rule). And in the written traditional law of Kesiman Service Village explicitly regulated in article 2 paragraph 2 stated that “Desa Pakraman Kesiman ngemanggehang dasar Tri Hita Karana manut tatwaning Bhuwana Agung” (Kesiman service Village has adopted the basic concept of Tri Hita Karana in accordance with The Universe rule). Specifically, the regulation concerning the Palemahan (environment) or city forest were not explicitly regulated in both of researched villages but it tends to underline of the service village responsibility to regulate the benefits of keeping environment sustainable. It can be perceived in articles 42 till articles 47 Renon Village written traditional law which regulate the obligation of the community to preserve front house open space and technique or strategy of planting plant, and in articles 21 of written traditional law of Kesiman Village stated that every individual or every member of the village is obligated to preserve the sense of aesthetic on any front house open space. Although, the regulation concerning the city forest traditionally is still very limited but the consciousness of the villagers regarding to the important meant of environment sustainable is very high. Evidently could be seen from the way how was the service village sub-unit chief together with his members determined a policy concerning the environment sustainable. There are many service village working programs based on environment. As for example, Renon Service village has made the program called “ Program Bumi Banten”12 (a program of preserving the environment with all kinds of plantation which can be used to support the Hindu religion ceremonial in this village) the village community is recommended to plant such needed plant on every green open space, it is not only in front house open space but also along the river, along the road and at any open space in dwelling
57
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
house zone, offices, temples, as well as in all of the community building yard. In order to realize this program The Renon Service Village coordinates with Bali Province Government, especially in the effort of maintaining the germ of the plantation. And in effort of preserving, restoring, and developing the village members have been doing twice cooperative working in a month which taken the time on the first week of the month and the last week of the month. The Kesiman Service Village has also defined a program that based on environment, it can be seen through the establishment of the program “Desa Budaya Kertalangu”13 (a service village program in the form city Garden) it’s completed with a jogging track, and many others picnic facilities. It’s located at Banjar Adat Kertalangu and it’ expected to be a sustainable representative city garden tourists object for ever. This place is built with the concept of Tri Hita Karana in the form of city garden. The involvement of the community on both of those programs is begun from the planning, accomplishing, and controlling. In the matter of controlling both of the village have formed an officer in charge to prevent and to control of any action that may causes the destroy of this program. As the executed program by all of the village members so any action that is deemed as the breach of the tradition law and may caused any damages against the environment sustainable has been mutually agreed to be given the penalty according to what has been written in both village traditional law. Either in The Renon Service Village or the Kesiman service Village written traditional law the penalty given is agreed in the form of fine, at Renon Village it’s regulated in article 48 and at Kesiman Village it’s regulated in article 78. By the application of the all of the written traditional law certainties against any actions that may cause the failure of the environment sustainable program convinced that shall be more effective, because in general Balinese community circumstances the breach of the traditional law certainties may cause disharmony between the reality life and the unreality life. In the relevant of that needs a restoring ceremonial for the disharmony. To restore the disharmony in the field of the reality life and the disharmony in the field of unreality life considered as a very heavy punishment by the villagers so the villagers will try to refrains themselves from traditional illegal actions.
58
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
Conclusion City forest is holding the most important meaning in order to stabilize the city performance, because of its various functions, such as; to restore and save the micro climate, to absorb the water and air pollution, to filter the wind, to safe the health, to create the harmony and the balance of city physic as well to support the living entities sustainable in Indonesia. To prevent any wrong action against the city forest sustainable, e.g; land function diversification, irresponsible activities such as playing foot ball under the city forest, installing banner or any means of electric and telecommunication wires and many others is absolutely needed the total involvement of the service village in the matter of city forest sustainable. The service villages in Denpasar city have been doing so many attempts in order to keep their environment, evidently can be seen on the villages development program. “The Bumi Banten Program” and “The Desa Budaya Kertalangu Program” as taken as some examples that recommended and obliged the village members to organize every open space of land by planting any kinds of plantation to support the Hindu religion ceremonial activities and to maintain the program based on environment sustainable. In the attempt of stabilizing and securing the city forest sustainable the service villages in Denpasar have regulated it in their own written traditional law included the penalty if there may be any wrong actions that causes the failure of executing their program. BIBLIOGRAPHY Astiti, Tjok Istri Putra, 2005, Pemberdayaan Awig-Awig Menuju Ajeg Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar. Otto Sumarwoto, 1991, Ekologi lingkungan hidup dan pembangunan, Djambatan. Siti Sundari Rangkuti, 2000, Hukum Lingkungan dan Kebijakan Lingkungan Nasional edisi kedua, Airlangga University Press, Surabaya. Supriadi, 2010, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Windia, Wayan P. 2008, Menyoal Awig-Awig Eksistensi Hukum Adat dan Desa Di Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar. Wyasa Putra, Ida Bagus, 2003, Hukum Lingkungan Internasional Perspektif Bisnis Internasional, Refika Aditama, Bandung.
59
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
Departemen Kehutanan, “Hutan http://www.dephut.go.id/informasi/hutkot/hutkot.htm#hutkot1
Kota”,
Yengyeng Reni Herliani, 2009-01-14,15;26;24, “Penentuan Luas dan Lokasi Hutan Kota berdasarkan Kebutuhan Oksigen (Studi Kasus di Wilayah Kota Tasikmalaya), http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jbptitbpp-gdl-yengyengre31725 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Law Number 41 year of 1999 concerning Forestry). Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002 Tentang Hutan Kota. Government Regulation Number 63 Year of 2002 concerning the City Forest. Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (Bali Province Government Regulation number 3 the year of 2001 concerning the Service Village).
60
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA TERORISME Made Emy Andayani Citra, Luh Gede Yogi Arthani dan Dewi Bunga Universitas Mahasaraswati Denpasar [email protected]
Abstract: Criminal act of terrorism is a global issue with international motives. Each country has its own methods to prevent and eradicate terrorists. Law enforcement in criminal acts of terrorism in Indonesia led to a pattern of radicalism. This is shown by the detention of a suspect or defendant who is cursive. Whereas in the Netherlands, conducted by law enforcement and deradicalism persuasive approach through an approach to religious figures. Key words : Law enforcement, terrorism and comparative. Pendahuluan Teror merupakan fenomena yang cukup tua dalam sejarah kehidupan manusia. Aksi kekerasan berbau teror dapat ditelusuri dari tulisan Xenophon (431-350) mengenai perang psikologi, kekerasan bangsa Roma yang terjadi di Spartacus pada tahun 73 M serta sejarah bagaimana Kaisar Tibeius (14-37 SM) yang berupaya menyingkirkan, membuang, merampas harta benda dan menghukum lawan-lawan politiknya.71 Aksi-aksi teror ini terus berkembang dengan metode-metode yang semakin canggih dan jangkauan serta dampak yang semakin luas. Pada Juli 2008, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Afghanistan di Kabul terkena dampak sampingan ledakan bom mobil bunuh diri di Kedubes India. Akibatnya, 5 petugas keamanan KBRI tewas dan 2 diplomat luka-luka dan 60% kaca dan pintu hancur, serta bangunan KBRI di Kabul rusak parah. 72 Ancaman akan tindak pidana terorisme juga terjadi terhadap Belanda dalam ajang piala dunia 2010. Sebelumnya dilaporkan adanya ancaman dari Abdullah Azam Saleh Al-Qahtani jika pihaknya akan menyerang tim atau fans dari Belanda untuk membalaskan penghinaan terhadap Islam di beberapa kesempatan. Judith Sluiter, koordinator ofisial keamanan antiterorisme Belanda menyatakan ancaman yang dikeluarkan Al-Qahtani harus diwaspadai, terutama ketika ancaman itu akan diwujudkan di luar negeri. 73 71
Dikdik M Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2005, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, Refika Aditama, Bandung, hal. 48. 72 Bappenas, “Pencegahan dan Penanggulangan Terorisme”, available from URL: www.bappenas.go.id/get-file-server/node/6122/, diakses pada 10 Juni 2010. 73 M Yanuar F, 2010, “Belanda Waspadai Ancaman Teroris Ofisial Keamanan Belanda Mencemaskan Keselamatan Fans dan Timnas Mereka Selama Berada di Afrika Selatan dari Ancaman Teroris”,
61
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 Aksi-aksi teorisme yang terjadi di berbagai negara, merupakan isu global dengan motif-
motif
konflik
internasional.
Sejarah
hukum
internasional
menunjukkan
internasionalisasi konsep terorisme. 74 Internasionalisasi tersebut dapat dilihat
terjadi melalui
resolusi PBB No. 1368 (2001) pada tanggal 12 September 2001 yang mengakui hak beladiri individual atau kolektif negara-negara bila ada serangan dari negara lain sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 Piagam PBB dan Resolusi PBB No. 1373 (2001) tanggal 22 September 2001 yang berisikan langkah-langkah yang harus diambil negara-negara anggota untuk memberantas terorisme.
Dewan keamanan juga meminta kepada negara-negara
anggota membuat berbagai peraturan untuk memblokir pendanaan aksi-aksi teroris, membekukan dana-dana yang berhubungan dengan teroris di negara-negara mereka. Resolusi itu juga mewajibkan negara-negara melaksanakan ketentuan-ketentuan tersebut dan melaporkan tindakan yang telah diambil kepada Dewan Keamanan. 75 Perang terhadap teroris adalah perang yang bersifat low intensity conflict yg harus dihadapi dengan strategi operasi dan taktik khusus. 76 Oleh sebab itu sangat menarik untuk membandingkan hukum acara pada penegakan hukum terhadap tindak pidana terorisme di Belanda dan di Indonesia. Istilah dan Sejarah Terorisme Istilah teror dan terorisme mulai muncul dalam kosa kata ilmiah sejak abad ke-18, namun fenomena yang ditujukannya bukanlah merupakan hal yang baru. Menurut Grant Wardlaw dalam buku Political Terrorism (1982), manifestasi Terorisme sistematis muncul sebelum Revolusi Prancis, tetapi baru mencolok sejak paruh kedua abad ke-19. Dalam suplemen kamus yang dikeluarkan Akademi Perancis tahun 1798, terorisme lebih diartikan sebagai sistem rezim teror. Kata terorisme berasal dari Bahasa Perancis le terreur yang semula dipergunakan untuk menyebut tindakan pemerintah hasil Revolusi Perancis yang mempergunakan kekerasan secara brutal dan berlebihan dengan cara memenggal 40.000 orang yang dituduh melakukan kegiatan anti pemerintah. Selanjutnya kata Terorisme
http://www.goal.com/id-ID/news/1369/piala-dunia/2010/05/20/1933403/belanda-waspadai-ancaman-teroris, diakses pada 10 Juni 2010 74 Leacock, Charles Clifton, Internationalization of Crime, Journal International Law and Politics, Vol 34., 2001, New York, hal. 263. 75 Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global Edisi Kedua, P.T. Alumni, Bandung, hal. 656. 76 Anonim, “Dilema Perang Melawan Terorisme”, http://blog.re.or.id/dilema-perang-melawanterorisme.htm, diakses pada 10 Juni 2010.
62
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
dipergunakan untuk menyebut gerakan kekerasan anti pemerintah di Rusia. 77 Sehingga dapat dikatakan jika pada awalnya definisi terorisme lebih mengarah pada tindak kekerasan yang dilakukan oleh atau terhadap negara. Banyak pendapat yang mencoba mendefinisikan terorisme, satu diantaranya adalah pengertian yang tercantum dalam pasal 14 ayat 1 The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) Act, 1984, sebagai berikut: “Terrorism means the use of violence for political ends and includes any use of violence for the purpose putting the public or any section of the public in fear.”78 Sejauh ini belum ada batasan yang baku untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan terorisme. Menurut Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut.79 Hal senada juga diungkapkan oleh Walter Lacquer dalam bukunya The Age of Terrorism yang menyatakan bahwa “tak mungkin ada sebuah definisi yang dapat mengcover ragam terorisme yang pernah muncul dalam sejarah.80 Sedangkan menurut Brian Jenkins, terorisme merupakan pandangan yang subjektif. 81 Dalam perspektif kekinian, definisi terorisme cenderung merujuk pada definisi yang dirumuskan oleh PBB, yakni sebagai berikut: Terorism is an anxiety-inspiring method of repeated violent action, employed by (semi) clandestine individual, group or state actors for idiosyncratic, criminal or political reasons, whereby-in contrast to assassination-the direct target s of attacks are not the main targets. The immediate human victims of violence are generally chosen randomly (targets of opportunity) or selectively (representative or symbolic targets) from a target population, and serve as message generators. Threat-and violence-based communication processes between terorist (organization), (imperiled) victims, and main targets are used to manipulate the main target (audience(s), turning it into a target of teror, a target of demands or target of attention, depending on whether intimidation, coercion or propaganda is primarily sought.82 Terorisme
merupakan
serangan-serangan
terkoordinasi
yang
bertujuan
membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, 77
Muhammad Mustofa, Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, Vol 2 no III, Desember 2002, hal. 30. 78 Loebby Loqman, 1990, Analisis Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan terhadap Keamanan Negara di Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 98. 79 Indriyanto Seno Adji, 2010, Terorisme, Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia, O.C. Kaligis & Associates, Jakarta, hal. 35. 80 Walter Lacquer, 1987, The Age of Terrorism sebagaimana dikutib oleh Philips J. Vermote, hal. 30. 81 Indriyanto Seno Adji, loc.cit. 82 Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, 2005, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, hal. 140.
63
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
aksi terorisme tidak tunduk pada tata cara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil. 83 Terorisme muncul pada akhir abad 19 dan menjelang terjadinya Perang Dunia I, terjadi hampir di seluruh belahan dunia. Pada pertengahan abad ke-19, terorisme mulai banyak dilakukan di Eropa Barat, Rusia dan Amerika. Mereka percaya bahwa terorisme adalah cara yang paling efektif untuk melakukan revolusi politik maupun sosial, dengan cara membunuh orang-orang yang berpengaruh. Sejarah mencatat pada tahun 1890-an aksi terorisme Armenia melawan pemerintah Turki, yang berakhir dengan bencana pembunuhan masal terhadap warga Armenia pada Perang Dunia I. Pada dekade tersebut, aksi Terorisme diidentikkan sebagai bagian dari gerakan sayap kiri yang berbasiskan ideologi. 84 Pada tahun 1937 lahir Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Terorisme (Convention for The Prevention and Suppression of Terrorism), dimana Konvensi ini mengartikan terorisme sebagai Crimes Against State. Melalui European Convention on The Supression of Terrorism (ECST) tahun 1977 di Eropa, makna terorisme mengalami suatu pergeseran dan perluasan paradigma, yaitu sebagai suatu perbuatan yang semula dikategorikan sebagai Crimes against State (termasuk pembunuhan dan percobaan pembunuhan Kepala Negara atau anggota keluarganya), menjadi Crimes against Humanity, dimana yang menjadi korban adalah masyarakat sipil. 85 Crimes against Humanity masuk kategori Gross Violation of Human Rights (Pelanggaran HAM Berat) yang dilakukan sebagai bagian yang meluas/ sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih diarahkan pada jiwa-jiwa orang tidak bersalah (public by innocent), sebagaimana terjadi di Bali. Peristiwa pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla jurusan Palembang-Medan pada tanggal 28 Maret 1981, menjadi "jihad" pertama bagi para pelaku terorisme di Indonesia. Para pelaku teror adalah kelompok Komando Jihad yang menuntut agar para rekannya yang ditahan pasca peristiwa Cicendo di Bandung, Jawa Barat, dibebaskan. Dalam peristiwa Cicendo, 14 anggota Komando Jihad membantai empat polisi di Kosekta 65 pada 11 Maret 1981 dini hari. Usai peristiwa itu, sejumlah anggota Komando Jihad ditahan dan terancam
83
Redaksi Wikipedia, 2010, “Terorisme”, http://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme, diakses pada 10 Juni
84
Ibid. Indriyanto Seno Adji, op.cit., hal. 50
2010 85
64
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
hukuman mati. 86 Fase kedua aksi terorisme di Indonesia telah memainkan modernisasi caracara teror, hal ini dilakukan dengan menggunakan bahan peledak dan senjata api. Bentuk dan Karakteristik Tindak Pidana Terorisme Bentuk pertama terorisme, terjadi sebelum Perang Dunia II, terorisme dilakukan dengan cara pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah. Bentuk kedua terorisme dimulai di Aljazair di tahun 50-an, dilakukan oleh FLN yang mempopulerkan “serangan yang bersifat acak” terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa. Hal ini dilakukan untuk melawan apa yang disebut sebagai Terorisme negara oleh Algerian Nationalist. Pembunuhan dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keadilan. Bentuk ketiga Terorisme muncul pada tahun 60-an dan terkenal dengan istilah “Terorisme Media”, berupa serangan acak terhadap siapa saja untuk tujuan publisitas. Bentuk ketiga ini berkembang melalui tiga sumber, yaitu: 1.
kecenderungan sejarah yang semakin menentang kolonialisme dan tumbuhnya gerakan-gerakan demokrasi serta HAM. pergeseran ideologis yang mencakup kebangkitan fundamentalis agama, radikalis setelah era perang Vietnam dan munculnya ide perang gerilya kota. kemajuan teknologi, penemuan senjata canggih dan peningkatan lalu lintas.
2. 3.
Namun terorisme bentuk ini dianggap kurang efektif dalam masyarakat yang ketika itu sebagian besar buta huruf dan apatis. Seruan atau perjuangan melalui tulisan mempunyai dampak yang sangat kecil. Akan lebih efektif menerapkan “the philosophy of the bomb” yang bersifat eksplosif dan sulit diabaikan. Teror atau terorisme tidak selalu identik dengan kekerasan. Terorisme adalah puncak aksi kekerasan, terorism is the apex of violence. Bisa saja kekerasan terjadi tanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan. 87 Mengenai motivasi dari aksi terorisme, AA Banyu Perwita berpendapat bahwa: Setiap aksi terorisme memiliki motivasi yang berbeda-beda tergantung pada masingmasing kondisi. Tindakan terorisme dapat didasarkan pada dua motif umum, yaitu objective driven act dan teror driven act . Objective driven act berkaitan dengan tindakan terorisme yang didasarkan pada beberapa permintaan yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Cara yang biasa digunakan 86
Anonim, 2009, “Menyimak Kiprah Terorisme di Indonesia”, http://web.pabindonesia.com/content/view/29994/61/, diakses pada 10 Juni 2010. 87 Loudewijk F. Paulus, “Terorisme”, http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_ terorisme#cite _note-0, diakses pada 10 Juni 2010.
65
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 adalah penyanderaan. Bentuk ini memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk bernegosiasi atau mengubah kebijakannya. Teror driven act didasarkan pada tindakan balas dendam, atau digunakan juga sebagai peringatan atau ancaman kekerasan yang akan terjadi jika pemerintah tidak mengubah kebijakannya. 88 Bila aksi-aksi terorisme modern dilakukan oleh individu-individu atau kelompok-
kelompok tertentu, dalam perkembangannya adapula yang dinamakan state-sponsored terorism, yaitu kebijakan dan aksi-aksi yang disponsori atau didukung secara langsung atau tidak langsung oleh suatu negara.89 Bentuk-bentuk terorisme dapat berupa state sponsored terorism, yaitu tindakan terorisme yang dilakukan oleh suatu negara untuk mencapai tujuannya dan privately based terorism, yaitu tindakan terorisme yang dilakukan oleh suatu kelompok terorisme privat.90 Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, target-target serta metode terorisme kini semakin luas dan bervariasi. Sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia (crimes against peace and security of mankind)..91 Terorisme gaya baru mengandung beberapa karakteristik: 1. ada maksimalisasi korban secara sangat mengerikan. 2. keinginan untuk mendapatkan liputan di media massa secara internasional secepat mungkin. 3. tidak pernah ada yang membuat klaim terhadap terorisme yang sudah dilakukan. 4. serangan terorisme itu tidak pernah bisa diduga karena sasarannya sama dengan luasnya seluruh permukaan bumi. 92 Berdasarkan matrik perbandingan karakteristik kelompok pengguna tindak kekerasan guna mencapai tujuannya, dapat disimpulkan ciri - ciri terorisme adalah sebagai berikut: 1. Organisasi yang baik, berdisiplin tinggi, militan. Organsisasinya merupakan kelompok - kelompok kecil, disiplin dan militansi ditanarnkan melalui indoktrinasi dan latihan yang bertahun - tahun. 2. Mempunyai tujuan politik, tetapi melakukan perbuatan kriminal untuk mencapai tujuan. 88
Anak Agung Banyu Perwita Dan Yanyan Mochamad Yani, op.cit., hal. 141. Boer Mauna, op.cit., hal. 656. 90 Ibid. 91 Mulyana W. Kusumah, Terorisme dalam Perspektif Politik dan Hukum, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, Vol. 2 no III, Desember 2002, hal. 22. 92 Redaksi Wikipedia, 2010, “Sejarah Terorisme, http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_terorisme, diakses pada 10 Juni 2010. 89
66
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 3. Tidak mengindahkan norma - norma yang berlaku, seperti agama, hukum dan lainlain. 4. Memilih sasaran yang menimbulkan efek psikologis yang tinggi untuk menimbulkan rasa takut dan mendapatkan publikasi yang luas. 93
Penegakan Hukum Dalam Tindak Pidana Terorisme Dalam rangka mencegah dan menanggulangi terorisme maka
masyarakat
internasional maupun regional serta pelbagai negara telah berusaha melakukan kebijakan kriminal (criminal policy) disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai terorisme. 94 Langkah-langkah konkrit tersebut dituangkan dalam berbagai perjanjian internasional, instrumen hukum dan penegakan hukum. Pencegahan dan penanggulangan terorisme di Indonesia telah memasuki babak baru sejak peristiwa bom Bali I, 12 Oktober 2002. Pergerakan ke arah penuntasan kasus semakin menunjukkan progresitas yang signifikan. Namun hingga kini mata rantai terorisme belum mampu diputus. Dari segi payung hukum, institusi keamanan nasional mengalami masalah karena keberadaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme belum cukup memayungi operasi pencegahan dalam bentuk operasi intelijen dan tindakan proaktif di awal. Keberadaan unit dan satuan pencegahan serta penanggulangan terorisme yang tersebar di beberapa institusi juga menjadi kendala rantai koordinasi yang belum padu di tingkat lapangan. Diskursus mengenai penegakan hukum dalam tindak pidana terorisme merupakan hal yang sangat menarik untuk dibicarakan. Interestasi ini diakibatkan karena pertautan antara karakter extra ordinary crime dari terorisme, diskresi aparat penegak hukum dan perlindungan HAM dari para pelaku. Pola penegakan hukum dalam tindak pidana terorisme di Indonesia mengarah pada suatu pola radikalisme. Hal ini ditunjukkan dengan penahanan tersangka atau terdakwa yang bersifat kursif. Penahanan ini menurut Van Bemmelem sebagai pedang yang memenggal kedua belahpihak, karena tindakan yang bengis itu dapat
93
Loudewijk F Paulus, Terorisme, , Serial Online STT No. 2289 Volume V Nomor 8 Juli Tahun 2002, http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=8&mnorutisi=2. diakses pada 10 Juni 2010. 94 Muladi, Hakekat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, Vol .2 no III Desember 2002, hal. 1.
67
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
dikenakan kepada orang-orang yang belum menerima putusan hakim, jadi mungkin juga kepada orang-orang yang tidak bersalah. 95 Yahya Harahap mengemukakan bahwa masalah penahanan adalah masalah yang paling esensial dalam sejarah kehidupan manusia. Menurutnya setiap yang namanya penahanan dengan sendirinya menyangkut nilai dan makna: 1. 2. 3.
Perampasan kebebasan dan kemerdekaan orang yang ditahan. Menyangkut nilai-nilai perikemanusiaan dan harkat martabat kemanusiaan. Menyangkut nama baik dan pencemaran atas kehormatan diri pribadi atau tegasnya setiap penahanan dengan sendirinya menyangkut pembatasan dan pencabutan sementara sebagian hak-hak asasi manusia. 96 Terkait dengan pelaksanaan penahanan bagi tersangka atau terdakwa tindak pidana
terorisme tidak diatur secara limitatif dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dalam Pasal 25 ayat (2) dinyatakan “Untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberi wewenang untuk melakukan penahanan terhadap tersangka paling lama 6 (enam) bulan.” Pengaturan mengenai penahanan juga terdapat dalam Pasal 44 a dimana atasan dapat melakukan penahanan terhadap tersangka anggota bawahannya yang ada di bawah wewenang komandonya. Mengenai alasan penahanan tidak diatur dalam Undang-undang ini sehingga pengaturan mengenai alasan penahanan dikembalikan kepada aturan umum dalam KUHAP. Penahanan hanya dapat dilakukan apabila memenuhi dua syarat yakni syarat objektif dan subjektif. Syarat objektif sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP menentukan bahwa penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal: a. b.
95 96
tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih; tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Sudibyo Triatmodjo, 1981, Potret Kehidupan Hukum, Alumni, Bandung, hal. 25. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini, Jakarta, hal. 41.
68
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, dan Pasal 48 Undangundang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambähan Lembaran Negara Nomor 3086).
Sedangkan alasan subjektif dari penahanan adalah: a. Untuk mencegah tersangka atau terdakwa akan melarikan diri. b. Untuk mencegah tersangka atau terdakwa merusak atau menghilangkan barang bukti. c. Untuk mencegah tersangka atau terdakwa mengulangi tindak pidana. Terhadap alasan subjektif ini Andi Hamzah bahwa syarat subjektif ini pada hakikatnya bukan syarat sahnya penahanan, melainkan hanya merupakan perlunya penahanan.97 Alasan subjektif dalam ketentuan hukum acara pidana di Belanda menentukan alasan penahanan sebagai berikut: a. Dimana keadaan tertentu menunjukkan kemungkinan akan larinya tersangka. b. Dimana keadaaan tertentu membuat alasan penting yang diperlukan untuk merampas kemerdekaan si pelaku demi kepentingan umum. Keadaan yang dipakai sebagai alasan penting ditetapkan dengan Undang-undang; risiko dimana tersangka akan melakukan tindak pidana (delik) yang serius (misdrijf) tidak merupakan dasar yang kuat. c. Dimana terdapat petunjuk bahwa tersangka akan merintangi pemeriksaan terkecuali apabila ia dirampas kemerdekaannya. Tak boleh dilakukan perintah penahanan hingga enam hari apabila terdapat kecenderungan bahwa tersangka bila dijatuhi hukuman akan segera memperoleh hukuman penjara yang jangka waktunya lebih singkat dari pada jangka waktu yang telah dijalani selama dalam penahanan sementara.98 Bila dibandingkan dengan hukum acara pidana di Belanda, tampaknya terdapat persamaan dalam hal syarat objektif dan syarat subjektif dari penahanan. Hanya bedanya bila di dalam KUHAP ditetapkan seseorang dapat ditahan bila melakukan delik yang diancam pidana minimal 5 tahun atau lebih, sedangkan di Belanda hanya menetapkan minimal 4 tahun. Terkait dengan ketentuan mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme maka ada tersangka atau terdakwa tindak 97
Andi Hamzah, 1983, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 113. M.L.H.C Hulsman, penyadur Soerjono Rirdjosisworo, 1994, Sistem Peradilan pidana Dalam Perspektif Perbandingan Hukum, Rajawali, Jakarta, hal 166-167. 98
69
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
pidana yang terkait dengan tindak pidana terorisme yang tidak dapat ditahan, kecuali jika penegak hukum menggunakan alasan subjektif. Hal ini disebabkan karena ada suatu delik yang ancaman pidananya kurang dari 5 tahun. Tindak pidana dimaksud adalah diatur dalam Pasal 23 yakni “Setiap saksi dan orang lain yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun.” Adapun substansi dari Pasal 32 ayat (2) tersebut adalah “Dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana terorisme dilarang menyebutkan nama atau alamat pelapor atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.” Berbeda dengan Indonesia yang telah memiliki Undang-undang khusus mengenai terorisme, Belanda justru tidak mempunyai undang-undang khusus mengenai terorisme, namun sejak dulu bagi delik politik berlaku asas inquisitoir bukan accusatoir.99 Pergeseran pemberantasan tindak pidana terorisme di Belanda telah mengarah pada upaya-upaya humanisasi yang ditunjukkan dengan metode pendekatan kepada para pemuka agama Islam. Penggalian informasi mengenai mata rantai terorisme di Indonesia dilakukan secara kursif dalam masa penahanan tersangka atau terdakwa. Sedangkan di Belanda, penggalian informasi dilakukan secara deradikalisme. Hal ini ditunjukkan dengan penggunaan penahanan sebagai sarana yang terakhir. Kepolisian di Belanda beserta agen-agennya lebih mengutamakan pola kerjasama dengan Imam dalam memberantas pemasukan aliran garis keras di sana. Glenn Schoen menerangkan contoh-contoh praktis khas Belanda dalam aturan-aturan pencegahan terorisme misalnya seorang imam mengetahui seseorang menjadi radikal. Daripada langsung melapor polisi, ia akan berbicara dulu dengan teman dan keluarga. 100 Langkah-langkah persuasif menjadi kunci utama bagi pemberantasan terorisme di Belanda dengan sasaran fundamentalisme di kalangan kaum muda. Investigasi melalui caracara persuasif yang dilakukan oleh Belanda hendaknya perlu dipertimbangkan dalam penegakan hukum di Indonesia. Hal ini dilandasi dari pemikiran bahwa negara hukum 99
Andi Hamzah, 2009, “Pokok-Pokok Pikiran Rancangan Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana”, http://jodisantoso.blogspot.com/2009/01/pokok-pokok-pikiran-rancangan-undang.html, diakses pada 10 Juni 2010. 100
Hans de Vreij, 2010, “Amerika Suka Cara Belanda Berantas Terorisme”, http://www.rnw.nl/bahasaindonesia/article/amerika-suka-cara-belanda-berantas-terorisme, diakses pada 10 Juni 2010,
70
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
Republik Indonesia adalah suatu negara dengan nurani atau negara yang memiliki kepedulian (a state with conscience and compassion). Negara hukum Indonesia bukan negara yang hanya berhenti pada tugasnya menyelenggarakan fungsi publik, bukan negara ‘by job description’, melainkan negara yang ingin mewujudkan moral yang terkandung di dalamnya. Negara hukum Indonesia lebih merupakan negara ‘by moral.’101 Dapat dikatakan bahwa institusi keamanan nasional secara kemampuan represif mempunyai keunggulan dibandingkan dengan jaringan terorisme, tetapi sulit untuk menjangkau pembangunan ideologi dan perkembangan dinamik jaringan terorisme sehingga pemberantasan akar-akar terorisme belum sepenuhnya berhasil. 102 Penegakan hukum secara radikal hanya akan menghukum teroris yang tertangkap saja, namun tidak mampu menjaring secara komprehensif mata rantai terorisme. Paham ini juga tidak dapat dihapuskan terorisme hingga ke akar-akarnya. Penutup Ancaman akan tindak pidana terorisme merupakan isu global yang dihadapi oleh semua negara termasuk Indonesia dan Belanda. Oleh sebab itu diperlukan upaya-upaya penanggulangan yang holistik dan berhasil guna. Pola penegakan hukum terhadap tersangka atau terdakwa bersifat radikalisme. Penggalian informasi dan bukti-bukti umumnya dilakukan melalui penahanan dengan cara-cara yang represif. Hal yang berbeda terjadi di Belanda dimana pola penegakan hukum dilakukan dengan cara persuasif dan secara deradikalisme. Pendekatan ini dilakukan dengan kerjasama terhadap tokoh agama Islam setempat untuk menggali informasi mengenai jaringan terorisme. Cara-cara persuasif dan deradikalisme terhadap pemberantasan tindak pidana terorisme hendaknya perlu dilakukan di Indonesia. Hal ini dapat menjadi celah untuk menjaring seluruh mata rantai terorisme sekaligus dapat menjadi sarana untuk mendidik dan mengembalikan para teroris ke jalan yang benar.
101
Satjipto Rahardjo, 2009, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Genta Publishing, Yogyakarta, hal. 92-93. 102 Bapenas, loc.cit.
71
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 DAFTAR PUSTAKA
BUKU Andi Hamzah, 1983, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta. Banyu Perwita, Anak Agung dan Yanyan Mochamad Yani, 2005, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global Edisi Kedua, P.T. Alumni, Bandung. Dikdik M Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2005, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, Refika Aditama, Bandung. Hulsman, M.L.H.C, penyadur Soerjono Rirdjosisworo, 1994, Sistem Peradilan pidana Dalam Perspektif Perbandingan Hukum, Rajawali, Jakarta. Indriyanto Seno Adji, 2010, Terorisme, Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia, O.C. Kaligis & Associates, Jakarta. Loebby Loqman, 1990, Analisis Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan terhadap Keamanan Negara di Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta. Satjipto Rahardjo, 2009, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Genta Publishing, Yogyakarta. Sudibyo Triatmodjo, 1981, Potret Kehidupan Hukum, Alumni, Bandung. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini, Jakarta. JURNAL Leacock, Charles Clifton, 2001, Internationalization of Crime, Journal International Law and Politics, Vol 34., New York. Muhammad Mustofa, Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, Vol 2 no III, Desember 2002, hal. 30. Muladi, Hakekat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III Desember 2002. Mulyana W. Kusumah, Terorisme dalam Perspektif Politik dan Hukum, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, Vol. 2 no III, Desember 2002.
72
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
INTERNET Andi Hamzah, 2009, “Pokok-Pokok Pikiran Rancangan Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana” http://jodisantoso.blogspot.com/2009/01/pokok-pokok-pikiranrancangan-undang.html, diakses pada 10 Juni 2010. Anonim, “Dilema Perang Melawan Terorisme”, http://blog.re.or.id/dilema-perang-melawanterorisme.htm, diakses pada 10 Juni 2010. _______, 2009, “Menyimak Kiprah Terorisme di Indonesia” indonesia.com/content/view/29994/61/, diakses pada 10 Juni 2010
http://web.pab-
Bappenas, “Pencegahan dan Penanggulangan Terorisme”, http://www.bappenas.go.id/getfile-server/node/6122/, diakses pada 10 Juni 2010 Hans
de Vreij, 2010, “Amerika Suka Cara Belanda Berantas Terorisme”, http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/amerika-suka-cara-belanda-berantasterorisme, diakses pada 10 Juni 2010.
Loudewijk F. Paulus, “Terorisme”, http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_ terorisme#cite _note-0, diakses pada 10 Juni 2010. _____________________, “Terorisme”, Serial Online STT No. 2289 Volume V Nomor 8 Juli Tahun 2002, http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=8&mnorutisi=2, diakses pada 10 Juni 2010. M Yanuar F, 2010, “Belanda Waspadai Ancaman Teroris Ofisial Keamanan Belanda Mencemaskan Keselamatan Fans Dan Timnas Mereka Selama Berada di Afrika Selatan dari Ancaman Teroris”, http://www.goal.com/id-ID/news/1369/pialadunia/2010/05/20/1933403/belanda-waspadai-ancaman-teroris, diakses pada 10 Juni 2010. Redaksi Wikipedia, 2010, “Terorisme”, http://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme, diakses pada 10 Juni 2010. _______________, 2010, “Sejarah Terorisme, http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_terorisme, diakses pada 10 Juni 2010. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 45. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4284
73
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
HUKUM SEBAGAI INSTRUMEN KEBIJAKAN PUBLIK DALAM MENGATUR PENGGUNAAN NARKOTIKA DI INDONESIA I Nyoman Budi Sentana Bappeda Provinsi Bali
Abstract: Law is an instrument of public policy in regulating the use of narcotics in Indonesia. The use of law as an instrument of public policy here, can be seen from the arrangement of criminalization and decriminalization of drugs, narcotics policies regarding restrictions on the storage, treatment and rehabilitation obligations to users, authorities Indonesia narcotics agency, the decision for drug addicts, the role of communities, the criminal provisions and penalties for the experimental equation and the crime is complete. Institutional policy model used in the formulation of Law Number 35 Year 2009 on Narcotics is expected to make such provision shall be effective through the imposition of sanctions for any violators. Key words: Law, instrument of public policy and narcotics. Pendahuluan Penggunaan narkotika di Indonesia bukanlah suatu tindak pidana dan juga bukan menjadi suatu hal yang dilarang. Yang menjadi tindak pidana dan dilarang adalah penyalahgunaan narkotika. Narkotika hanya dapat digunakan untuk terapi kesehatan dan kepentingan ilmu pengetahuan. Namun kenyataannya banyak terjadi penyalahgunaan narkotika. Hasil penelitian Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Universitas Indonesia pada 2005 menunjukkan sekitar 1,5 persen penduduk Indonesia atau sekitar 3,2 juta penduduk sudah menjadi penyalahguna narkoba. Dari 3,2 juta penyalahguna narkotika tersebut, 800 ribu orang di antaranya menggunakan narkotika dengan jarum suntik dan 60 persen dari jumlah pengguna narkotika dengan jarum suntik tersebut sudah terinfeksi HIV/AIDS. Setiap tahun sebanyak 15 ribu orang Indonesia juga dilaporkan meninggal dunia karena overdosis dan terinfeksi HIV/AIDS, artinya setiap hari ada 40 anak bangsa yang meninggal dunia karena kasus narkotikadan HIV/AIDS. 103 Penyalahgunaan narkotika dari tahun ke tahun semakin meningkat. Data dari Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia menyebutkan sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 telah berhasil disita narkotika seperti ganja dan derivatnya sebanyak 127,7 ton dan 787.259 batang, heroin sebanyak 93,9 kg, morfin sebanyak 244,7 gram, serta kokain
103
Redaksi Kapanlagi.com, 2007, “Lembaga Rehabilitasi Sosial Penyalahguna Narkoba Masih Terbatas”, http://www.kapanlagi.com/h/0000178692.html, diakses pada 11 Juni 2011.
74
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
sebanyak 84,7 kg. 104 Hingga tahun 2008 jumlah penyalahgunaan narkotika di Indonesia mencapai 3,6 juta orang. Jumlah pengguna narkotika ini mengalami lonjakan sejak tahun 2003 dengan capaian 3,2 juta orang per tahunnya. 105 Saat ini peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika dengan sasaran potensial generasi muda sudah menjangkau berbagai penjuru daerah dan penyalahgunanya merata di seluruh strata sosial masyarakat. Pada dasarnya narkotika sangat diperlukan dan mempunyai manfaat di bidang kesehatan dan ilmu pengetahuan, akan tetapi penggunaan narkotika menjadi berbahaya jika terjadi penyalahgunaan. Oleh karena itu untuk menjamin ketersediaan narkotika guna kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan di satu sisi, dan di sisi lain untuk mencegah peredaran gelap narkotika yang selalu menjurus pada terjadinya penyalahgunaan, maka diperlukan pengaturan di bidang narkotika. Untuk menjamin kesinambungan pembangunan nasional maka pemerintah harus membuat suatu kebijakan untuk memilah-milah mengenai narkotika yang dilarang dan mana yang diperbolehkan. Selain itu juga menentukan upaya-upaya untuk menanggulangi perdagangan dan peredaran gelap narkotika serta penyalahgunaannya. Oleh sebab itu diperlukan hukum sebagai instrumen kebijakan publik dalam mengatur penggunaan narkotika di Indonesia baik dalam substansi hukum, penegak hukum, sumber daya maupun organisasi-organisasi yang terkait dengan instrumen tersebut. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Penyalahgunaan Narkotika Narkotika baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung atau tidak langsung yang mempunyai sifat, karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif dan iritasi. Narkotika dalam pengertian opium telah dikenal dan dipergunakan masyarakat Indonesia khususnya wargaTionghoa dan sejumlah besar orang Jawa sejak tahun 1617. Selanjutnya diketahui bahwa mulai tahun 1960-an terdapat sejumlah kecil kelompok penyalahguna heroin dan kokain. Pada awal 1970-an mulai muncul penyalahgunaan narkotika dengan cara menyuntik. Orang yang menyuntik disebut morfinis. Sepanjang tahun 1970-an sampai tahun 1990-an sebagian besar
104
Badan Narkotika Nasional Repubhk Indonesia, 2005, Materi Advokasi Pencegahan Narkoba, Jakarta,
hal. 1. 105
TV One, 2009, “BNN: 3,6 Juta Warga Indonesia Gunakan Narkoba”,http://www.bnn.go.id/portalbaru/portal/konten.php?nama=Berita&op=index_berita&mn=6&smn=a, diakses pada 11 Juni 2011.
75
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
penyalahguna kemungkinan memakai kombinasi berbagai jenis narkotika (polydrug jser), dan pada tahun 1990-an heroin sangat populer dikalangan penyalahguna narkotika. Berbicara tentang kejahatan, maka secara tidak langsung berbicara tentang korban dari kejahatan tersebut. Rumusan mendasar dari suatu kejahatan adalah adanya pelaku dan korban kejahatan. Kejahatan adalah suatu hasil interaksi karena adanya interrelasi antara fenomena yang ada dan yang saling mempengaruhi. Berdasarkan definisi kejahatan tersebut, dapatlah kita ambil suatu kesimpulan, bahwa kejahatan merupakan hasil interaksi manusia. Para kriminolog sepakat, bahwa kejahatan merupakan produk dari masyarakat. Selama masyarakat masih mengadakan interaksi satu dengan yang lain selama itu pula kejahatan akan tetap muncul. Ada korban, ada kejahatan dan sebaliknya, ada kejahatan ada korban. Rangkaian kata ini menyatakan, apabila terdapat korban kejahatan, jelas terjadi suatu kejahatan. Kejahatan dalam arti luas tidak hanya yang dirumuskan dalam undang-undang, tetapi juga tindakan yang menimbulkan penderitaan dan tidak dapat dibenarkan serta dianggap jahat oleh masyarakat. Kejahatan dalam arti sempit adalah Mijsdriff atau crime yang merupakan bagian dari tindak pidana atau delict. 1.
2.
Sudut Pandang Hukum Positif Berbicara tentang hukum positif, maka kita akan menuju kepada suatu norma atau ketentuan yang berlaku pada suatu waktu tertentu pada wilayah tertentu (ius constitutum). Di dalam hukum pidana Indonesia, KUHP sebagai hukum positif, yang menjadi hoeksteen atau poros di ujung adalah pasal 1 ayat 1 KUHP, asas legalitas. Inti dari pasal tersebut adalah hanya perbuatan yang disebut tegas oleh peraturan perundang-undangan sebagai kejahatan atau pelanggaran, dapat dikenai sanksi pidana. Menurut hukum positif, suatu perbuatan dikatakan sebagai suatu perbuatan pidana atau tindak pidana jika perbuatan tersebut melawan hukum (melanggar undangundang) dan terdapat unsur kesalahan dalam diri pelaku tindak pidana tersebut. Jika unsur melawan hukum dan unsur kesalahan tersebut telah terpenuhi, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana dan pelaku dapat dikenakan sanksi pidana. Kedudukan korban dalam kejahatan menurut hukum positif tidaklah mutlak, dalam artian korban bukanlah unsur terpenuhinya rumusan suatu kejahatan atau tindak pidana. Sudut Pandang Sosiologis Berbeda halnya dengan sudut pandang hukum positif yang menyatakan, bahwa kedudukan korban bukanlah unsur mutlak terjadinya kejahatan, pandangan sosiologis memiliki pandangan yang berbeda. Dalam pandangan sosiologis, korban memilki posisi yang cukup vital dalam hubungannya dengan kejahatan. Korban adalah salah satu tolok ukur dalam menentukan kejahatan. Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai kejahatan kalau ada pihak yang dirugikan, dan pihak tersebut disebut dengan korban. Dalam sudut pandang sosiologis, sebuah perbuatan yang awalnya merupakan kejahatan bisa berubah menjadi bukan kejahatan, begitu juga sebaliknya. Proses
76
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 berubahnya suatu perbuatan dari perbuatan biasa menjadi perbuatan pidana disebut kriminalisasi, sedangkan proses berubahnya perbuatan pidana menjadi perbuatan biasa disebut dekriminalisasi. Salah satu faktor yang menyebabkan kriminalisasi atau dekriminalisasi adalah korban kejahatan. Ketika tidak terdapat korban kejahatan, suatu perbuatan yang awalnya merupakan tindak pidana bisa berubah menjadi tindak pidana, begitu juga sebaliknya. Pada sub pembahasan di atas telah disinggung, bahwa kedudukan korban dalam
kejahatan dapat ditinjau dari dua sudut pandang yaitu, sudut pandang hukum positif dan sudut pandang sosiologis. Permasalahan kedua yang akan dibahas adalah mengenai kedudukan korban tindak pidana narkotika dalam perspektif viktimologis.
Sellin dan
Wolfgang memberikan kualifikasi jenis-jenis korban kejahatan sebagai berikut: 1. 2. 3.
4. 5.
Primary victimization adalah korban individual, jadi korban disini adalah korban perorangan bukan korban kolektiv atau kelompok; Secondary victimization, maksud dari korban dengan bentuk seperti ini adalah, korbannya badan hukum atau kelompok; Tertiary victimization yang menjadi korban adalah masyarakat luas, boleh juga dikatakan, bahwa korbannya abstrak dan tidak berhubungan langsung dengan kejahatan; Mutual victimization, yang menjadi korban adalah pelaku sendiri, korban tidak menyadari bahwa dirinya adalah korban dari kejahatan yang dilakukannya sendiri; No victimization, istilah no victimization bukan berarti tidak ada korban. Korban tetap ada akan tetapi tidak dapat segera diketahui keberadannya atau posisinya sebagai korban. 106
Berbeda dengan Sellin dan Wolfgang, Stephen Schafer memiliki kriteria tersendiri dalam membagi korban kejahatan. Pembagian menurut Stephen Schafer adalah sebagai berikut: 1.
2.
3.
4.
5.
106
Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si pelaku dan menjadi korban karena potensial. Untuk itu dari aspek tanggung jawab sepenuhnya berada di pihak korban; Provocative victims, merupakan korban yang disebabkan peranan korban untuk memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek tanggung jawab terletak pada diri korban dan pelaku bersama-sama; Participating victims, hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat mendorong pelaku melakukan kejahatan. Pertanggung jawaban sepenuhnya berada di tangan pelaku; Biologically weak victims adalah kejahatan karena faktor fisik korban. Pertanggungjawabannya terletak pada masyarakat atau pemerintah setempat karena tidak memberi perlindungan kepada korban yang tidak berdaya; Socially weak victims adalah korban yang yang tidak diperhatikan oleh masyarakat bersangkutan seperti para gelandangan dengan kedudukan sosial yang lemah. Pertanggungjawabannya terletak pada penjahat atau masyarakat;
Diyan, 2009, “Korban Tindak Pidana Narkoba”, http://diyanunlam.blogspot.com/2009/05/korbantindak-pidana-narkoba.html, diakses pada 11 Juni 2011.
77
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 6.
7.
Self victimizating victims adalah korban yang dilakukan sendiri (korban semu). Untuk itu pertanggung jawabannya terletak pada korban sepenuhnya karena sekaligus sebagai pelaku; Political victims, adalah korban karena lawan politiknya. Secara sosiologis, korban ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kecuali ada adanya perubahan konstelasi politik.107
Peraturan perundang-undangan yang mengatur narkotika di Indonesia sebenarnya telah ada sejak berlakunya Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonnantie, Staatsblad Nomor 278 Jo. 536 Tahun 1927). Ordonansi ini kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika yang mulai berlaku tanggal 26 Juli 1976. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 telah diganti dengan UndangUndang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang mulai berlaku tanggal 1 September 1997. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang disahkan pada 14 September 2009 merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Pemerintah menilai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika tidak dapat mencegah tindak pidana narkotika yang semakin meningkat secara kuantitatif maupun kualitatif serta bentuk kejahatannya yang terorganisir. Namun secara substansial, UU Narkotika yang baru tidak mengalami perubahan yang signifikan dibandingkan dengan UU terdahulu, kecuali penekanan pada ketentuan kewajiban rehabilitasi, penggunaan pidana yang berlebihan, dan kewenangan BNN yang sangat besar. Kebijakan mengenai pengaturan narkotika di Indonesia memang harus dituangkan dalam bentuk hukum, hal ini dimaksudkan untuk mencapai kepastian hukum. Adapun beberapa kebijakan baru yang terkandung dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika adalah: I.
Adanya Pembatasan Penyimpanan Narkotika Masyarakat tidak diperbolehkan menyimpan narkotika untuk jenis dan golongan apapun. Pihak yang diperbolehkan melakukan penyimpanan hanya terbatas pada industri farmasi, pedagang besar farmasi, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter dan lembaga ilmu pengetahuaan. Hal ini sangat menyulitkan pengguna narkotika yang sedang melakukan pemulihan, dimana para pengguna harus mengunjungi tempat-tempat tertentu. Pembatasan ini memungkinkan para pengguna narkotika untuk mendapatkan narkotika secara ilegal.
II.
Pengobatan dan Rehabilitasi Pasien dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa narkotika yang digunakan untuk dirinya sendiri yang diperoleh dari dokter dan dilengkapi dengan 107
Ibid.
78
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 bukti yang sah. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, para pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika tidak lagi diberikan kebebasan dan atas kehendak sendiri untuk sembuh. Rehabilitasi medis dan rehabilitasi social menjadi kewajiban bagi para pecandu. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika juga mewajibkan pecandu narkotika untuk melaporkan diri mereka kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Kewajiban tersebut juga menjadi tanggung jawab orang tua dan keluarga. Rehabilitasi medis dan sosial selain dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah ataupun masyarakat yang akan diatur dalam peraturan menteri.
III.
Kewenangan BNN dan Penyelidikan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika memberikan porsi besar bagi BNN. Salah satu kewenangan BNN adalah mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran nakotika dan prusukor narkotika. Selain itu BNN dapat mempergunakan masyarakat dengan cara memantau, mengarahkan dan meningkatkan kapasitas mereka untuk melakukan pencegahan terhadap penyalahgunaan narkotika dengan cara memberdayakan anggota masyarakat. Dalam hal melakukan pemberantasan narkotika, BNN diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap penyalahgunaan, peredaran narkotika, dan prekusor narkotika beserta dengan kewenangan yang dimiliki penyelidik dan penyidik seperti penangkapan selama 3 x 24 jam dan dapat diperpanjang 3×24 jam ditambah penyadapan. Porsi kewenangan BNN yang terlalu besar seperti dalam penahanan dan penggeledahan yang tidak dimiliki oleh penyidik kepolisiaan akan menimbulkan permasalahan secara kelembagaan, dan rasa persamaan hukum bagi tersangka yang diperiksa di BNN dan kepolisian.
IV.
Putusan Rehabilitasi bagi para pecandu Narkotika Walaupun prinsip dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika adalah melakukan rehabilitasi bagi para pecandu narkotika, tetapi dalam UU ini masih menggunakan kata “dapat” untuk menempatkan para pengguna narkotika baik yang bersalah maupun yang tidak bersalah untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi. Hakim juga diberikan wewenang kepada pecandu yang tidak bermasalah melakukan tidak pidana narkotika untuk ditetapkan menjalani pengobatan dan rehabilitasi.
V.
Peran Serta Masyarakat Selain memberikan kewengan yang besar terhadap penegak hukum, khususnya BNN, Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika juga mewajibkan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan narkotika. Masyarakat dijadikan seperti penyelidik dengan cara mencari, memperoleh, dan memberikan informasi dan mendapatkan pelayanan dalam hal-hal tersebut. Dalam UU ini masyarakat tidak diberikan hak untuk melakukan penyuluhan, pendampingan dan penguatan terhadap pecandu narkotika. Peran serta masyarakat yang dikumpulkan dalam suatu wadah oleh BNN dapat menjadi suatu ketakutan tersendiri karena masyarakat mempunyai legitimasi untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan narkotika tanpa adanya hak yang ditentukan oleh Undang-Undang.
VI.
Ketentuan Pidana Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika memiliki kencederuangan mengkriminalisasi orang, baik produsen, distributor, konsumen dan
79
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 masyarakat dengan mencantumkan ketentuan pidana sebanyak 39 pasal dari 150 pasal yang diatur dalam UU tersebut. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menggunakan pendekatan pidana untuk melakukan pengawasan dan pencegahan terhadap penyalahgunaan narkotika. Penggunaan pidana masih dianggap sebagai suatu upaya untuk menakut-nakuti agar tidak terjadinya penggunaan narkotika. Hal tersebut didukung dengan diberikannya suatu kewenangan yang besar bagi BNN yang bermetafora menjadi institusi yang berwenang untuk melakukan penyadaran kepada masyarakat, melakukan penyelidikan, penyidikan, serta penuntutan dalam tindak pidana narkotika. Lebih jauh, menilai ketentuan pidana yang diatur di dalam Undang-undang Nomor
35 Tahun 2009 Tentang Narkotika sebagai berikut: a.
b.
c.
d.
Tidak mementingkan unsur kesengajaan dalam Tindak Pidana narkotika Penggunaan kata ”Setiap orang tanpa hak dan melawan hukum” dalam beberapa pasal UU No. 35/2009 dengan tidak memperdulikan unsur kesengajaan, dapat menjerat orang-orang yang memang sebenarnya tidak mempunyai niatan melakukan tindak pidana narkotika, baik karena adanya paksaan, desakan, ataupun ketidaktahuan. Penggunaan sistem pidana minimal Penggunaan sistem pidana minimal dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika memperkuat asumsi bahwa UU tersebut memang diberlakukan untuk memidanakan masyarakat yang berhubungan dengan narkotika. Penggunaan pidana minimal juga akan menutup hakim dalam menjatuhkan putusan walaupun di dalam prakteknya, hakim dapat menjatuhkan putusan kurang dari pidana minimal dan hal tersebut diperbolehkan oleh Ketua Mahkamah Agung. Kriminalisasi Bagi orang tua dan masyarakat Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika memberikan ancaman hukuman pidana (6 bulan kurungan) bagi orang tua yang sengaja tidak melaporkan anaknya yang menggunakan narkotika untuk mendapatkan rehabilitasi. Meskipun unsur ’kesengajaan tidak melapor’ tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu, unsur tersebut tidak mengecualikan orang tua yang tidak mengetahui bahwa zat yang dikonsumsi anaknya adalah narkotika. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika juga menuntut agar setiap orang melaporkan tindak pidana narkotika. UU ini memberikan ancaman pidana maksimal 1 tahun bagi orang yang tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika. Penerapan pasal ini akan sangat sulit diterapkan karena biasanya pasal ini digunakan bagi pihak-pihak yang ditangkap ketika berkumpul dengan para pengguna narkotika. Orang tersebut juga dapat dipergunakan sebagai saksi mahkota untuk memberatkan suatu tindak pidana narkotika. Pasal ini juga mengancam para pihak yang mendampingi komunitas pecandu narkotika. Pada ketentuaan peran serta masyarakat dalam BAB XIII masyarakat tidak diwajibkan untuk melaporkan jika mengetahui adanya penyalahgunaan narkotika atau peredaran gelap narkotika. Ketentuan ini menunjukan ketidak singkronan antara delik formal dengan delik materiil. Persamaan hukuman bagi percobaan dan tindak pidana selesai Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menyamakan hukuman pidana bagi pelaku tidak pidana selesai dengan pelaku tidak pidana percobaan. Tindak Pidana Narkotika adalah suatu kejahatan karena perbuatan tersebut memiliki efek yang buruk. Delik percobaan mensyaratkan suatu tindak pidana tersebjut terjadi, sehingga akibat tindak pidana tersebut tidak selesai, sehingga seharusnya
80
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 pemidanaan antara pelaku tidak pidana percobaan dan pelaku tidak pidana selesai harus dibedakan. 108
Perbedaan juga terdapat pada penyisihan barang bukti (BB), yang tadinya hanya boleh untuk pembuktian dan pengembangan ilmu dan pengetahuan, saat ini bertambah untuk pendidikan dan latihan. UU ini juga mengatur tentang penguatan lembaga Badan Narkotika Nasional (BNN) sebagai lembaga pemerintah non-departemen yang memiliki kewenangan untuk menyelidik, menyidik, mempercepat pemusnahan barang bukti, dan menyadap pihak yang terkait penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. 109 Model Kebijakan Publik Dalam Mengatur Penggunaan Narkotika di Indonesia Pengaturan mengenai penggunaan narkotika di Indonesia merupakan salah satu kebijakan dalam hukum pidana. Pola kebijakan sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika adalah model kebijakan publik kelembagaan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ciri-ciri dari model kebijakan publik kelembagaan yakni: a.
b.
c.
d.
Kebijakan publik tersebut di buat oleh pemerintah. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika merupakan produk hukum yang dibuat oleh presiden bersama DPR dimana kedua lembaga negara ini merupakan pemerintah dalam arti luas. Pemerintah melegitimasi kebijakan penggunaan narkotika. Artinya pemerintahlah yang menyatakan bahwa penggunaan narkotika tidak dilarang, sedangkan yang dilarang adalah penyalahgunaan narkotika. Pemerintah melegitimasi kebijakan ini dengan memformulasikan dan menuangkannya dalam bentuk Undang-undang. Legitimisasi tersebut menimbulkan akibat hukum dimana masyarakat secara yuridis harus menaati ketentuan tersebut. Dan setiap pelanggarannya harus dikenakan sanksi sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan pidana dalam Undang-undang tersebut. Kebijakan ini berlaku secara universal artinya keberlakuannya mencakup keseluruhan dan bagi semua orang.
Penutup Hukum merupakan instrumen dalam kebijakan publik dalam pengaturan penggunaan narkotika di Indonesia. Penggunaan hukum sebagai instrumen kebijakan publik disini dapat terlihat dari pengaturan kriminalisasi dan dekriminalisasi narkotika, kebijakan mengenai 108
Totokyuliyanto., “ Catatan terhadap UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, http://totokyuliyanto.wordpress.com/2009/11/10/catatan-terhadap-uu-no-35-tahun-2009-tentang-narkotika/, diakses pada 11 Juni 2011. 109 Anonim, 2009, “2010, Kejati Baru Terapkan UU No 35/2009”, http://www.sumeks.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1780:ruma-maida-borong-11nominasi&catid=19:berita-utama&Itemid=66, diakses pada 11 Juni 2011.
81
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
pembatasan penyimpanan narkotika, kewajiban pengobatan dan rehabilitasi bagi pengguna, kewenangan BNN, putusan bagi pecandu narkotika, peran serta masyakat, ketentuan pidana dan persamaan hukuman bagi percobaan dan tindak pidana selesai. Penggunaan hukum sebagai instrumen kebijakan publik yang efektif perlu dilakukan dengan penggunaan wewenang yang sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku, sebab dalam pengaturan narkotika melalui Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menumbulkan diskresi yang luas baik diskresi yang dapat dilakukan oleh hakim maupun BNN sebagai penyidik tindak pidana narkotika. Model kebijakan publik yang digunakan dalam merumuskan ketentuan mengenai pengaturan penggunaan narkotika di Indonesia adalah model kebijakan publik kelembagaan dimana pemerintah menetapkan kebijakan yang harus ditaati oleh masyarakat secara keseluruhan. Dan atas pelanggaran dari kebijakan tersebut akan dikenakan sanksi. Model kebijakan kelembagaan yang digunakan dalam perumusan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika diharapkan dapat membuat ketentuan tersebut berlaku efektif melalui penjatuhan sanksi bagi setiap pelanggarnya. DAFTAR PUSTAKA Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, 2005, Materi Advokasi Pencegahan Narkoba, Jakarta. Anonim, 2009, “2010, Kejati Baru Terapkan UU No 35/2009”, http://www.sumeks.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1780:ru ma-maida-borong-11-nominasi&catid=19:berita-utama&Itemid=66, diakses pada 11 Juni 2011. Diyan, 2009, “Korban Tindak Pidana Narkoba”, http://diyanunlam.blogspot.com/2009/05/korban-tindak-pidana-narkoba.html, diakses pada 11 Juni 2011. Kapanlagi.com, 2007, “Lembaga Rehabilitasi Sosial Penyalahguna Narkoba Masih Terbatas”, http://www.kapanlagi.com/h/0000178692.html, diakses pada 11 Juni 2011. TV
One, 2009, “BNN: 3,6 Juta Warga Indonesia Gunakan Narkoba” http://www.bnn.go.id/portalbaru/portal/konten.php?nama=Berita&op=index_berita& mn=6&smn=a, diakses pada 11 Juni 2011.
Totokyuliyanto., “ Catatan terhadap UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika”, http://totokyuliyanto.wordpress.com/2009/11/10/catatan-terhadap-uu-no-35-tahun2009-tentang-narkotika/, diakses pada 11 Juni 2011.
82
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Verdoovende Middelen Ordonnantie (Stbl. 1927 Nomor 278 Jo. Nomor 536). Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika. Lembaran Negara 1976/37 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1997 Tentang Narkotika. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 67 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 5062. Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 1971.
83
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 KEBIJAKAN FORMULATIF PIDANA MATI DAN PIDANA SEUMUR HIDUP DALAM KONSEP KUHP I Nengah Susrama Fakultas Hukum Unmas Denpasar
Abstract: Capital punishment and life imprisonment is a kind of criminal sanctions that stipulated in article 10 Criminal Code Concept. Existence of capital punishment and life imprisonment as a kind of criminal sanction cause in the public opinion of the pros and cons of legal expert and in society. One the one hand the sanctions are still considered necessary but on the other side is considered of contrary to the concept of rehabilitation. Capital punishment and life imprisonment are eliminate the human right to life. But the sanctions are still retained in the draft criminal code. Key Words: Policy, capital punishment, life imprisonment and criminal code concept. Pendahuluan Pada dasarnya hukum selalu berkembang. Hukum berkembang mengikuti perkembangan masyarakat. Suatu peraturan dapat mengalami perubahan, penambahan, pengurangan dan pembaharuan, karena norma-norma dan nilai-nilai dalam masyarakat mengalami perkembangan atau perubahan. Sejalan dengan perkembangan dan perubahan tersebut, hukum pidana juga tidak bisa terlepas dari kondisi yang demikian. Usaha-usaha pembaharuan dalam hukum pidana khususnya KUMP/WvS telah dilakukan oleh sebuah tim yang terdiri dari pakar-pakar hukum nasional. Dimulai dari adanya rekomendasi Seminar Hukum Nasional I tahun 1963 yang menyerukan agar rancangan kodifikasi hukum pidana nasional selekas mungkin diselesaikan, maka pada tahun 1964 dibicarakanlah konsep yang pertama. Berturut-turut kemudian ada konsep 1968, konsep 1971/1972, konsep 1982/1983, yang kemudian menjadi konsep 1987/1988. Konsep ini pun mengalami pengkajian terus-menerus, sehingga menjadi konsep 1991/1992. 110 Sampai dewasa ini menjadi konsep 1999/2000, yang menjadi dasar kajian dalam penulisan ini.
110
Barda Nawawi Arief, 1996, Kebijakan Legislative Dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Universitas Dipponegoro, Semarang, hal. 106
84
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 Jika nanti konsep 1999/2000, diterima dan dinyatakan berlaku, tentu saja telah
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang disesuaikan dengan falsafah dan kondisi alam kemerdekaan Indonesia, khususnya mengenai masalah pidana dan pemidanaan yang terkait langsung dengan masalah hak asasi manusia, yang di Indonesia realisasmya terwujud melalui ide pemasyarakatan. Namun sering dipertanyakan apakah ia, konsep 1999/2000 khsusnya masalah pidana dan pemidanaan telah menganut falsafah pidana dan pemidanaan yang dijiwai falsafah bangsa Indonesia. Mempertanyakan hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan legislative khususnya masalah pidana dan pemidanaan adalah suatu yang sangat penting. Dalam konsep 1999/2000 masih tetap mempertahankan pidana mati (Pasal 80 konsep KUHP) dan pidana seumur hidup (Pasal 64 ayat (1). Bila hal ini dikaitkan dengan ide pemasyarakatan sebagai realisasi dari pemidanaan, pidana mati dan pidana seumur hidup nampak kontradiktif (terjadi pertentangan antara norma dengan nilai), oleh karena bagaimana mungkin orang yang dieksekusi mati atau dipidana seumur hidup dapat dimasyarakatkan. Bertolak dari uraian di atas, maka permasalahannya adalah : Mengapa pidana mati dan pidana seumur hidup masih perlu dipertahankan dalam KUHP mendatang, atau apakah pidana mati dan pidana seumur hidup tidak bertentangan dengan ide pemasyarakatan?. Untuk mendapat gambaran yang jelas dan membatasi pembahasan, maka penulis membatasi pada pertimbangan-pertimbangan tentang dipertahankannya pidana mati dan pidana seumur hidup tersebut, dalam konsep 1999/2000, dikaitkan dengan konsep pemikiran tentang ide pemasyarakatan. Dengan demikian kajian disini akan dipokuskan pada sinkronisasi kebijakan formulasi pidana mati dan pidana seumur hidup dengan ide pemasyarakatan yang mencakup bagaimana konsep KUHP yang ada mengaturnya dan bagaimana sebaiknya pidana termaksud diatur. Penulisan ini bertujuan untuk mendapatkan jawaban mengenai dasar pertimbangan tentang tetap dipertahankannya pidana mati dan pidana seumur hidup dalam konsep KUHP 1999/2000, mengingat pidana tersebut nampak kontradiktif dengan ide pemasyarakatan. Dengan demikian penulisan ini akan bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran yang bersifat teoritis dalam rangka pengembangan studi ilmu hukum pidana, khususnya tentang penggunaan pidana mati dan pidana seumur hidup, Akhirnya untuk mempermudah pembahasan dan mendapatkan hasil penulisan yang lebih mendekati keilmiahan, penulis menggunakan metode pendekatan konsep, dengan bahan hukum primer yaitu konsep
85
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
1999/2000, dengan teknik penelusuran kemudian diolah secara sistematis dan disajikan secara analisis. Penanggulangan Kejahatan Melalui Sanksi Pidana Secara yuridis formal jenis pidana ditentukan dalam Pasal 10 KUHP/WvS yang merupakan produk legislatif pemerintah belanda. Dalam pasal tersebut, jenis pidana mati ditentukan sebagai pidana pokok. Setalah Indonesia merdeka ketentuan tersebut masih tetap dipertahankan melalui Undang-Undang No. 1 tahun 1946 dengan beberapa perubahan dan penyesuaian dengan alam kemerdekaan. Ini pidana mati masih tetap sebagai sarana penanggulangan kejahatan. Penologi dalam bentuk sistem pemasyarakatan, perkembangannya tidak mungkin terhindarkan karena sanksi pidana berat di dalam hukum pidana adalah pidana mati di samping pidana penjara atau kurungan. Eksistensi, pengaturan, dan pelaksanaan pidana tersebut, oleh masyarakat dirasakan sudah tidak memadai lagi, namun kenyataannya pidana mati tidak di hapus sama sekali, pidana tersebut melainkan hanya di sempurnakan atau penggunaannya sangat eksepsional. Mengenai persoalan apakah dalam kehidupan masyarakat memang seharusnya ada pidana, telah dijawab dengan pasti. Dalam kehidupan masyarakat masalah pidana tidak mungkin dihindarkan, meskipun pemidanaan merupakan alat pertahanan terakhir. Dia merupakan sarana paling akhir dan merupakan puncak dari upaya-upaya, jika upaya lain sudah tidak memadai. Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pidana merupakan cara yang paling tua, setua manusia itu sendiri. Sebagai suatu kebijakan memang ada yang mempermasalahkan, apakah kejahatan itu perlu ditanggulangi, dicegah atau dikendalikan dengan sanksi pidana. Sementara ada pendapat bahwa terhadap pelaku kejahatan atau pelanggar hukum pada dasarnya tidak perlu di kenakan sangsi pidana. Dasar pemikiran mengenai tidak perlunya pengenaan sanksi pidana adalah adanya paham determinisme yang menyatakan bahwa orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis, maupun faktor-faktor lingkungan kemasyarakatan. Dengan demikian kejahatan sebenarnya merupakan manipestasi dari keadaan jiwa seseorang yang abnormal, oleh karena itu sipelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat
86
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
dikenakan pidana. 111 Pandangan determinisme ini kemudian berlanjut pada gerakan modern mengenai kompanye anti pidana. Namun bila dikaitkan dengan pendapat Herbert I. Packer, dalam bukunya The Limits of the Criminal Sanction 112, yang dapat dikonklusikan bahwa sampai dewasa ini dan di masa yang akan datang kita tidak dapat hidup tanpa pidana, Pidana masih sangat diperlukan, bahkan di pandang sebagai alat atau sarana terbaik yang tersedia yang kita miliki untuk menanggulangi masalah kejahatan. Jadi pendapat anti pidana, dalam kontek pendapat Packer ini nampak kurang tepat, Bahkan Roeslam Saleh mengatakan, pandangan atau alam pikiran untuk menghapus pidana adalah pandangan keliru. 113 Sebagai benang merah dalam kontek pendapat tersebut, pidana mati sebagai salah satu politik kriminal sampai dewasa ini bahkan yang akan datang nampak masih tetap dipertahankan. Dalam perkembangannya manfaat dan penggunaan pidana mati tersebut memang terus dipertanyakan. Ada suatu tendensi dan kesadaran bahwa di satu sisi pidana mati di tentang karena dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan jaman, sedangkan disisi lain pidana mati masih diperlukan sebagai sarana perlindungan masyarakat. Dilihat dari dimensi politik kriminal, apabila pidana mati tetap dipertahankan sebagai salah satu sarana penanggulangan masalah kejahatan, maka kebijakan tersebut harus dilandasi alasan-alasan yang dapat dipertanggung jawabkan. Dalam kontek ini, sebagaimana dikonklusikan oleh Packer, maka pidana mati akan dapat menjadi penjamin yang utama bagi perlindungan umat manusia, jika digunakan secara hemat, cermat, dan manusiawi. Sebaliknya justru akan menjadi pengancam utama bagi umat manusia jika digunakan secara sembarangan dan sewenang-wenang. Muladi dalam bukunya Lembaga Pidana Bersyarat, menyebutkan tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan social yang diakibatkan oleh tindak pidana. Hal ini terdiri dari seperangkat tujuan pemidanaan yang harus dipenuhi, dengan catatan tujuan yang merupakan titik berat dan bersifat kasuistis. Perangkat tujuan pemidanaan yang dimaksud terdiri atas : Pencegahan (umum dan khusus) ; perlindungan masyarakat; memelihara solidaritas masyarakat; pengimbalan/perimbangan. 111
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, hal.
112
Herbert L. Packer, 1968, The Limits of The Criminal Sanction, Stanford University, hal. 364-366. Roeslan Saleh, 1978, Stelsel Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 15-16.
150. 113
87
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 Pengaruh langsung dan penjatuhan pidana itu jelas terhadap orang yang dikenai
pidana, tetapi itu baru dirasakan sungguh-sungguh olehnya kalau sudah dilaksanakan secara efektif. Dengan pemidanaan disini dikehendaki agar terpidana tidak melakukan tindak pidana lagi. (Sudarto, 1981:83). Penjatuhan pidana menjadi alternatif dalam rangka mencegah perbuatan melanggar hukum. Pidana penjara dengan pemenjaraannya dalam bentuk pengisolasian diri di balik tembok penjara, terlebih pidana mati dan pidana badan ternyata telah mengalami perubahan seiring dengan kemajuan peradaban suatu bangsa. Penghargaan terhadap citra manusia menjadi dasar utama memperlakukan sipelaku tindak pidana secara lebih manusiawi. Di Indonesia, peninjauan kembali terhadap sistem pemidanaan sebagai realisasi usaha penyesuaian dengan kondisi alam kemerdekaan, telah dilakukan sejak Indonesia merdeka, dan dalam bidang hukum pidana telah diperkuat berdasarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1946. Memperhatikan sejarah tujuan penjatuhan pidana, nampaknya dari waktu ke waktu tujuan pemidanaan ditekankan pada aspek yang berlainan. Sebelum pidana penjara dikenai, orang yang melanggar norma-norma yang berlaku dalam masyarakat atau komunitas tertentu dikenakan berupa hukuman badan bahkan sampai hukuman mati. Pidana Mati dan Pidana Seumur Hidup Dalam Konsep KUHP Kalau di telusuri sejarah bangsa kita ketika jaman majapahit berjaya, pidana penjara dan pidana kurungan sama sekali tidak dikenal. Pidana yang dijatuhkan pada orang yang bersalah adalah : pidana mati, pidana potong anggota yang bersalah, denda dan ganti rugi, ini sebagai pidana pokok. Pidana mati paling banyak dijatuhkan, seperti halnya penggunaan pidana penjara dan kurungan dewasa ini. Bagi orang yang bersalah pidana mati dan denda memberikan kesan lebih menakutkan dan mengerikan dari pidana penjara dan kurungan. Barang siapa yang tidak sanggup membayar denda ia harus menjadi hamba atau budak. Kemudian munculnya ide penggantian hukum, baik hukuman badan maupun hukuman mati sejalan dengan mengemukannya spirit humanitarianisme pada masa pencerahan orang-orang mulai menyadari bahwa ada bagian-bagian yang mengerikan dari perlakuan yang berwenang terhadap para pelanggar. Hal ini dipelopori oleh Voltaire dengan teman-temannya kaum Encyclopedist dan Beccaria. Sejak itu pula pandangan tentang
88
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
bentuk pidana berubah. Pengurungan dipandang sebagai pidana utama, dengan tujuan dapat menyesali perbuatan yang telah dilakukan, dan insaf atas kesalahannya. Penetapan sanksi pidana sebagai bagian dari usaha pencegahan dan penanggulangan kejahatan semula dikenal sebagai sarana untuk balas dendam bagi pelaku kejahatan tanpa memperhitungkan setimpal atau tidak dengan kejahatan yang dilakukan. Yang terpenting bagaimana membuat sipelaku menjadi jera dan masyarakat takut berbuat kejahatan. Kemudian pemikiran kearah perbaikan hidup pelaku kejahatan baru dikenal sejak adanya teori-teori penjatuhan pidana. Dalam garis besarnya teori-teori penjatuhan pidana dikenal : 1.
2.
3.
Teori absolut atau teori pembalasan atau disebut juga teori retributive. Menurut teori ini, pidana dimaksud untuk membalas kejahatan yang dilakukan seseorang. Jadi pidana menurut teori ini hanya semata-mata untuk pidana itu sendiri. Adanya pemidanaan karena adanya pelanggaran. Pemidanaan merupakan tuntutan keadilan dan merupakan hal yang logis. Pembenaran dari pemidanaan tersebut terletak pada perbuatan kejahatan itu sendiri. Penganut teori ini adalah seorang pujangga Jerman Immanuel Kant. Teori relatif atau teori tujuan atau disebut juga teori utilitarium. Menurut teori ini dalam garis besarnya disebutkan tujuan pemidanaan bukanlah memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu tidak mempunyai nilai, tetapi mempunyai tujuan tertentu yang bermanfaat. Pembenaran menurut teori relative terletak pada tujuan pidana yang di jatuhkan bukan karena orang tersebut jahat melainkan supaya orang tidak lagi melakukan kejahatan. Tokohnya adalah Bentham. Teori gabungan atau verenigingstheorien. Teori ini bertolak dari teori retribitifn dan teori utilitarium, yang masing-masing dilandasi oleh pemikiran yang berbeda dalam hal pemberian pidana. Teori gabungan ini mengkobinasikan kedua teori tersebut. Menurut penganut teori gabungan bahwa dasar penjatuhan pidana adalah pembalasan, akan tetapi maksud-maksud lainnya seperti pencegahan, menakutkan, memperbaiki, dan lainlainnya tidak boleh diabaikan. Dari ketiga teori tersebut Indonesia nampaknya menganut teori yang ketiga yaitu
teori gabungan. Pemidanaan dijatuhkan kepada pelaku dengan melihat pada unsur prevensi dan unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap-tiap pemidanaan. Pidana adalah pembalasan tetapi tidak boleh dijatuhkan lebih dari apa yang semestinya, ia harus seimbang dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukannya. Jadi tujuan pembalasan ataupun tujuan mempertahankan ketertiban masyarakat keduanya dipandang mempunyai nilai atau fungsi yang sama. 114
114
Soejono, 1996, Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 38.
89
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 Berdasarkan pandangan tersebut di atas, perancang konsep 1999/2000 telah berusaha
membuat keseimbangan dan sekaligus menjembatani pendapat pro dan kontra mengenai apakah pidana mati masih diperlukan dan pidana seumur hidup masih perlu dipertahankan. Pidana mati, walaupun dalam debat panjang telah dipertanyakan apakah pidana mati masih diperlukan apakah tidak bertentangan dengan ide pemasyarakatan dan sebagainya, ternyata konsep tetap mencantumkannya walaupun kedudukannya semula sebagai pidana pokok dalam KUHP digeser menjadi "pidana khusus" atau "eksepsional" (Pasal 61 Konsep) karena berbagai alasan. Menurut Barda Nawawi Arief, alasan utama dan penggeseran kedudukan pidana mati itu didasarkan pada pemikiran, bahwa dilihat dari tujuan pemidanaan dan tujuan diadakannya hukum pidana, maka pidana mati memang pada hakekatnya bukanlah sarana utama (pokok) untuk mencapai tujuan itu. Dengan kata lain pidana mati pada hakekatnya bukan sarana utama untuk mengatur dan menertibkan masyarakat dengan hukum pidana. Pidana mati hanya merupakan sarana perkecualian. Pemikiran demikian dapat diidentikkan sarana "amputasi" atau Oprasi" di bidang kedokteran yang pada hakekatnya juga bukan sarana atau obat yang utama, tetapi hanya sarana/obat terakhir sebagai perkecualian. 115 Dalam pasal 80 konsep kembali menekankan sifat kekhususan pidana mati, dengan menentukan bahwa; pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Mengingat beratnya pidana mati dan tidak mungkin dapat diperbaiki lagi apabila ada kekeliruan, maka pelaksanaannya baru dapat dilakukan setelah presiden menolak permohonan grasi yang bersangkutan (pasal 81 ayat 4). Sebagai pidana kususnya maka pidana mati diancamkan dan dijatuhkan secara sangat selektif. Dalam hubungan ini, hakim pertama-tama selalu mempertimbangkan secara mendalam apakah dalam kasus yang dihadapi dapat diterapkan pidana alternative ; "penjara seumur hidup" ataupun "penjara 20 (dua puluh) tahun". Dalam hal masih terdapat keraguan mengenai kemungkinan penggunaan salah satu pidana alternatif tersebut terhadap kasus yang bersangkutan, maka di buka kemungkinan bagi hakim untuk menjatuhkan "pidana mati bersyaraf'', yakni "penundaan pelaksanaan pidana mati" dengan masa percobaan 10 (sepuluh) tahun (Pasal82 ayat (1). Apabila masa percobaan dapat dilalui dengan baik, maka pidana mati tersebut dapat diubah menjadi salah satu pidana alternatif (Pasal 82 ayat 2).
115
Barda Nawawi Arief, op.cit., hal. 122)
90
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
Disamping itu apabila permohonan grasi terhadap pidana mati ditolak namun eksekusi pidana mati itu tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun, dan bukan karena terpidana melarikan diri, maka pidana mati tersebut dapat dirubah menjadi pidana penjara seumur hidup (pasal 83 Konsep). Pola ini dimaksudkan untuk membatasi pelaksanaan pidana mati sesuai dengan perasaan keadilan yang berkembang dalam masyarakat. Meskipun masalah pidana mati dan pidana seumur hidup telah di bahas di muka dan dasar argumentasinyapun dapat diterima dan dimengerti, tetapi jika di kaji dari dimensi filsapat pembinaan yang melandasi ide pemasyarakatan, maka masih di cantumkannya pidana mati dan pidana seumur hidup nampak terjadi "kontrakdiktif” Oleh karena bagaimana mungkin orang yang di pidana mati dan dipidana seumur hidup dapat diperbaiki dan menjadi warga yang baik dan berguna dilingkungan sosial masyarakat. Atau sebaliknya hal yang sama, bila dikaji kebijakan hukum pidana sebagai bagian dari politik kriminal, dalam tujuannya untuk menciptakan kesejahteraan sosial (social welfare), yang hanya bertumpu pada cara pembinaan terpidana dan perlindungan masyarakat, maka akan terjadi kepincangan karena semata-mata akan mengarah pada pengagungan individu atau individualisasi pidana yang terkesan memanjakan terpidana, disamping memerlukan infrastruktur dengan biaya yang mahal. Hal yang demikian ini banyak mendapat kritikan, bagaimana mungkin melakukan pembinaan atau perbaikan jika terpidana dibiarkan bebas merdeka layaknya seperti orang yang tidak sebagai terpidana. Ide pemasyarakatan menghendaki pembinaan diarahkan kepada pembinaan dan pembinaan itu sendiri merupakan bentuk umum untuk perlindungan masyarakat. Dengan demikian tidaklah mungkin bila unsur retributive harus dihapus sama sekali. George P. Fletcher mengemukakan, cacat yang cukup serius dari teori perlindungan masyarakat atau teori konsekuensi untuk perlindungan masyarakat ialah bahwa mereka (konsekuensialis) menitikberatkan perhatian kepada kebaikan (sprekulatif) yang akan terjadi dan mengabaikan pengimbalan terhadap si pelanggar. 116 Dengan hanya melihat kebaikan yang akan terjadi dari pidana yang akan dijatuhkan, maka hal ini akan mengalihkan perhatian hakim dari masa lalu, khususnya pada perbuatan yang dilakukan terdakwa, Keadaan demikian tidak hanya menyebabkan tidak jelasnya persyaratan yang diperlukan untuk suatu tindak pidana, tetapi juga lamanya pidana penjara menjadi tidak pasti. Ketidak pastian itu timbul karena penentuan lamanya pidana penjara yang dianggap patut lebih 116
Ibid., hal. 92.
91
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
tergantung dari proyeksi sifat berbahayanya si pelanggar atau pada kebutuhannya untuk melakukan pembinaan (treatment), dan pada beratnya pelanggaran yang dilakukan. Dengan demikian menurut Fletcher, tujuan perlindungan masyarakat cendrung untuk menghapuskan dua prinsip keadilan yang angat penting, yaitu : 1) bahwa hanya orang yang bersalah sajalah yang seharusnya dipidana, dan 2) bahwa luasnya pemidanaan harus sesuai atau harus proporsional dengan kejahatan yang dilakukan. 117 Dari uraian diatas jelas bahwa apabila tujuan pidana dan hukum pidana harus diorientasikan pada tujuan perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahtraan social, maka suatu teori yang hanya melihat salah satu aspek dari tujuan umum tersebut sebenarnya terlalu bersifat sepihak. Dilihat dari pendirian yang demikian, maka wajarlah apabila pembuat konsep rancangan KUHP Buku I dalam merumuskan tujuan pemidanaan masih tetap mencantumkan klasifikasi sanksi pidana dari yang paling ringan sampai yang paling berat, yaitu pidana mati dan pidana seumur hidup. Jadi perancang konsep berusaha merumuskan keseluruh aspek dari tujuan umum tersebut baik sebagai tujuan perlindungan masyarakat maupun sebagai tujuan keadilan. Jadi ide yang mendasarinya adalah ide keseimbangan. Apabila dikaitkan dengan ide pemasyarakatan, maka usaha pembuat konsep untuk mengakomodasi keseluruhan aspek dari tujuan umum pemidanaan termasuk penggunaan ancaman pidana mati dan pidana seumur hidup harus pula memperhatikan ide pemasyarakatan dengan sepuluh prinsip pokoknya secara berimbang sehingga tercipta harmonisasi sistem kebijakan penegakan hukum pidana. Kecuali Yuridis juga psikologis istilah pidana mati dan pidana seumur hidup dalam konsep nampak kurang sinkron dengan tujuan pembinaan, yang pada akhirnya timbul kesan bahwa KUHP barupun tidak dapat meninggalkan faham retributive klasik. Dilihat dari sejarahnya pembuat konsep nampaknya telah berusaha menjembatani pendapat pro dan kontra mengenai apakah pidana mati masih diperlukan dan pidana seumur hidup masih perlu dipertahankan. Ternyata bahwa pidana tersebut dapat bersifat menangkal (deterrent). Akhirnya pidana mati dan pidana seumur hidup tetap masuk dalam konsep. Pidana mati dalam konsep diatur secara khusus dan pidana seumur hidup diatur secara terbatas dan masing-masing selalu diancam secara alternatif. Hal ini dapat dipahami, di samping 117
Ibid.
sebagai
usaha
mengkompromikan
pendapat
pro
dan
kontra,
dalam
92
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
mempertahankan pidana mati dan pidana seumur hidup pembuat konsep juga berusaha memasukan ide keseimbangan antara kebijakan normative dengan kebijakan nilai. Namun demikian bila diperhatikan ketentuan pasal 64 dan pasal 65 konsep yang mengatur tentang pidana penjara seumur hidup, belum nampak adanya kemungkinan bagi terpidana seumur hidup untuk mendapat pelepasan bersyarat, setelah sisa pidana dirubah dan ditetapkan menjadi 15 (lima belas) tahun. Pasal 64 konsep, menentukan : (1) Pidana penjara dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk waktu tertentu. (2) Pidana penjara untuk waktu tertentu dijatuhkan paling lama 15 (lima belas) tahun berturut-turut atau paling singkat 1 (satu) hari, kecuali ditentukan minimum kusus. (3) Jika dapat dipilih antara pidana mati dan pidana seumur hidup atau jika ada pemberatan pidana atas tindak pidana yang dijatuhi pidana penjara 15 (lima belas) tahun, maka pidana penjara untuk waktu tertentu dapat dijatuhkan untuk waktu 20 (dua puluh) tahun berturut-turut. (4) Dalam hal bagaimanapun pidana penjara untuk waktu tertentu tidak boleh dijatuhkan lebih dari 20 (Dua puluh) tahun. Pasal 65 konsep, menentukan : (1) Jika terpidana seumur hidup telah menjalani pidana paling kurang 10 (sepuluh) tahun pertama dengan berkelakuan baik, maka sisa pidana tersebut dapat diubah menjadi pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. (2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan perubahan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan keputusan presiden. Dari ketentuan tersebut jelas, walaupun sudah terdapat terobosan dengan adanya usaha mengubah pidana penjara seumur hidup menjadi pidana paling lama 15 (lima belas) tahun sesuai dengan ketentuan pasal 65 konsep ayat (1), tetapi tidak ada pengaturan dan/atau dicantumkannya secara eksplisit, bahwa setelah terpidana seumur hidup mendapat keringanan tersebut dapat dijamin haknya untuk mendapatkan pelepasan bersyarat, sebagaimana halnya ketentuan yang terdapat dalam pasal 15 KUHP/WvS. Sedangkan terhadap pidana mati, pembuat konsep nampak telah berusaha merumuskan ide keseimbangan antara kebijakan normatif dengan kebijakan nilai dan mengakomodir pendapat kelompok yang pro dan kontra dipertahankannya pidana mati, sebagaimana telah di tentukan dalam pasal 80, pasal 81, pasal 82, pasal 83 konsep. Dalam pasal 82 konsep, misalnya telah ditentukan : pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun, jika terpenuhi persyaratan yang telah ditentukan (ayat 1). Jika terpidana selama masa percobaan sebagai dimaksud dalam ayat (1) menunjukkan sikap dan
93
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun (ayat 2). Atau sebaliknya jika selama masa percobaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) konsep ternyata tidak menunjukan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, maka pidana mati dapat dilaksanakan sesuai ketentuan (ayat (3). Jadi dalam hal pidana mati, pembuat konsep terlihat dengan jelas telah menentukan pidana mati bersyarat sebagai usaha menjembatani pandangan yang pro dan kontra tentang perlu tidaknya pidana mati. Namun demikian bila dikaji lebih jauh, bahwa jika pidana mati telah menjadi pidana seumur hidup, dan telah pula menunjukan sikap dan perbuatan yang baik apakah tidak dapat sisa pidananya dirubah menjadi 15 (lima belas) tahun seperti halnya pidana seumur hidup. Oleh karena dalam ketentuan pidana mati sebagaimana termaksud hanya menyatakan; pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun (Pasal 82 ayat (2), dan Pasal 83 konsep). Jika tidak dimungkinkan maka kesimpulannya adalah sama yakni keringanan yang diperoleh dengan menjalani sisa pidana selama 15 (lima belas) tahun untuk pidana seumur hidup dan pidana seumur hidup atau paling lama 20 (dua puluh) tahun untuk pidana mati. Selanjutnya jika
ternyata
keringanan
yang
diberikan
terhadap
pidana
mati
dimungkinkan
pelaksanaannya sama seperti pelaksanaan seumur hidup, maka akhirnya permasalahannya adalah sama yaitu tidak adanya ketentuan secara ekplisit mengatur bagaimana setelah terpidana mendapat keringanan dapat dijamin haknya untuk mendapatkan pelepasan bersyarat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketentuan pidana mati dan pidana seumur hidup dalam konsep meskipun ditentukan secara khusus dan sangat terbatas dan selalu diancamkan secara alternatif, bila dikaitkan dengan pelaksanaan pidana penjara dengan system pemasyarakatan, maka eksistensi pidana mati dan pidana seumur hidup masih tetap mem perlihatkan disharmonisasi pelaksanaan pidana penjara dengan system pemasyarakatan tersebut. Penutup Bertitik tolak dari uraian pembahasan tersebut di atas, akhirnya penulis menyimpulkan bahwa, dipertahankannya pidana mati dan pidana seumur hidup oleh perancang, dalam KUHP mendatang adalah suatu kompromi antara pendapat pro dan kontra
94
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
mengenai apakah pidana mati masih diperlukan dan pidana seumur hidup masih perlu dipertahankan. Di samping itu adanya ide keseimbangan antara kebijakan normative dan kebijakan nilai merupakan dasar bagi perancang konsep. Namun demikian, bila dikaitkan dengan ide pemasyarakatan, pidana mati dan pidana seumur hidup nampak bertentangan, karena tidak mungkin orang yang dipidana mati dan di pidana seumur hidup dimasyarakatkan. Konsep
1999/2000
nampak
sudah
cukup
maju,
namun
karena
masih
dipertahankannya pidana mati dan pidana seumur hidup, meskipun dengan berbagai pertimbangan, bila dikaitkan dengan ide pemasyarakatan nampak masih terjadi kontradiktif. Kecuali yuridis pidana tersebut dimungkinkan untuk dipergunakan, secara psikologis terkesan belum adanya kesungguhan melakukan perubahan terhadap faham retributive. Oleh karena itu sebaiknya istilah pidana seumur hidup dapat diganti dengan pidana selamalamanya 30 tahun, dan untuk pidana mati dapat diganti menjadi pidana selama-lamanya 50 tahun, dengan kemungkinan ada perubahan peringanan atau pemberatan selama proses berjalan sesuai ketentuan yang berlaku. Dengan pertimbangan jangka waktu yang lama tentu dapat menetralisir sifat berbahayanya (jahatnya) pelaku kejahatan. Di samping itu secara simbolis tidak mengurangi efek yang ditimbulkan oleh pelaku dan masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Arief Barda Nawawi, 1996, Kebijakan legislative Dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Universitas Dipponegoro, Semarang. Muljono Selamet, 1967, Perundang-undangan Majapahit, Bratara Djakarta, Jakarta. Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung. Packer Herbert L., 1968, The Limits of The Criminal Sanction, Stanford University. Saleh Roeslan, 1978, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta Ghalia Indonesia. Soedarto, 1981, Kapila Selekta Hukum Pidana, Alumni Bandung. Soejono, 1996, Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Rineka Cipta.
95
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 PERAN PSIKOLOGI DALAM INVESTIGASI KASUS TINDAK PIDANA Oleh : I Made Suryawan, SH., MH
Abstract: Nowadays, the development of psychology is getting faster, which involves almost aspects of human life. Law and psychology are the same based on the material objects which handle the human problems. Especially the relation of psychology in investigating the criminal cases is considered to be studied in order to give some important and wide sights for those who are involved in the criminal law process. It is intended to prove the material truth due to the investigation process by police officers is an important phase, since the report of investigation is arranged at that time.
I.Pendahuluan. Hubungan antara psikologi dan penegakan hukum telah berkembang dengan pesat selama tiga puluh tahun terakhir. Seiring denngan makin kuatnya penegakan hukum, para penegak hukum yang makin terdidik dengan baik dan tuntutan publik terhadap akuntabilitas, peran dari psikologi bagi konsultan dalam penegakan hukum menjadi makin meningkat. Keterlibatan psikologi dalam berbagai penegakan hukum dapat dilihat pada upaya-upaya screening,teknik penanganan situasi krisis dan manajemen stres, maupun dalam pemeriksaan di depan aparat penegak hukum terhadap yang terkait. Sejumlah kalangan menilai bahwa kesan penegak hukum di mata masyarakat adalah mereka yang otoriter, sinis, konservatif secara politik, orang yang secara sosial dan psikologis tidak sensitif. Jadi penegak hukum adalah merupakan orang-orang yang dicurigai masyarakat. Ketika orang mendengar psikologi asosiasinya masih terbatas. Masih berkisar pada tentang Intelegensi, meramal sifat orang, mengurusi orang gila dan memahaminya. Memang orang luaran tidak salah menilainya, namun perkembangan psikologi akhir-akhir ini sangat cepat, meliputi hampir semua aspek kehidupan yang melibatkan manusia. Tidak hanya luasnya jangkauan yang bisa di garap psikologi, tetapi kajian terhadap berbagai aspek kehidupan juga makin mendalam. Di Indonesia, beberapa waktu yang lalu seorang mentri menyatakan pentingnya peran serta psikologi dalam proses peradilan. .
96
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 Hukum dan psikologi memang berbeda, kalau dilihat dari sudut perbedaannya, namun
adalah sama kalau dilihat dari kesamaannya, objek materinya keduanya adalah sama yaitu sama-sama menangani masalah manusia. Berdasarkan alasan tersebut diatas maka penulis mencoba untuk melihat dan mengkaji hubungan psikologi dalam investasi kasus pidana dengan harapan dapat memberikan gambaran yang lebih penting dan luas bagi orang-orang yang terlibat dalam proses pidana agar benar-benar dapat terungkap kebenaran yang materiil.
II.Pentingnya Investigasi Dalam Perkara Pidana. Moelijatno (1982) memberikan pengertian hukum pidana sebagai keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
Menentukan perbuatan mana yang boleh dilakukan, yang dilarang, yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan,
Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan itu.
Guna melaksanakan hukum pidana, diperlukan cara-cara yang harus ditempuh agar ketertiban hukum dalam masyarakat dapat ditegakan. Cara-cara itu disebut sebagai hukum acara pidana. Tujuan dari hukum acara pidana adalah mencari dan mendapatkan kebenaran hukum material, yaitu suatu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana yang menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan untuk menentukan apakah terbukti suatu tindak pidana telah dilakukan dan orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan (Departemen Kehakiman R.I.1982). Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia no 8 tahun 1981, sistem peradilan pidana di Indonesia terdiri dari komponen Kepolisian,Kejaksaan, Pengadilan Negeri dan Lembaga Pemasyarakatan sebagai aparat penegak hukum. Investigasi dalam tulisan ini dapat dilakukan baik oleh kepolisian, jaksa, maupun hakim. Namun proses penyidikan oleh kepolisian merupakan fase yang penting, karena pada saat itulah Berita Acara Pemeriksaan
97
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
disusun. Penyidiklah yang pertama kali bertemu dengan tersangka, saksi, serta korban dan menanyakan kejadian perkara yang mereka alami. Kesalahan dalam Investigasi akan memberikan pengaruh dalam mencapai kebenaran dalam proses peradilan pidana pada tahap selanjutnya di kejaksaan maupun pengadilan. Seringkali polisi dalam melakukan investigasi menggunakan cara “kekerasan” (fisik maupun psikologis), hal ini justru akan merusak ingatan saksi, korban maupun tersangka. Investigasi proses perkara pidana dapat dilakukan pada tersangka, saksi dan korban yang dilakukan oleh polisi, jaksa maupun hakim. Tulisan ini lebih menitikberatkan pada saksi, walaupun tidak menutup kemungkinan dapat digunakan pada korban dan tersangka. Proses peradilan pidana sangat menggantungkan pada hasil investigasi pada saksi, karena baik polisis, jaksa dan hakim tidak melihat langsung kejadian perkara. Brigham dan Wolfskeil (dalam Brigham.1991) meneliti bahwa hakim dan juri di Amerika menaruh kepercayaan 90% terhadap pernyataan saksi, padahal banyak penelitian yang membuktikan bahwa kesaksian yang diberikan saksi banyak yang bias (Saders & Warnick dikutip oleh Sanders
&
Simmons,1983;Goodman,Hahn,Loftus,
&
Yarmey
dikutip
oleh
Fisher,dkk,1989). Penrod & Culter (dalam Costanzo, 2004) setiap tahun di Amerika terjadi hampir 4500 kesalahan kesaksian. Bagaimanapun saksi adalah manusia biasa, maka banyak hal mempengaruhi ketidaksesuaian antara kesaksian yang diberikan dengan fakta yang sebenarnya. Ketidaksesuaian ini dapat bersumber pada (Ancok,1995) : 1. Keterbatasan kondisi saksi dalam mengolah, merekam, dan mengingat informasi 2. Bias yang terjadi dalam persepsi penyidik di dalam menilai kebenaran kesaksian 3. Cara penggalian kesaksian oleh penyidik.
III.Peran Psikologis Dalam Investigasi.
Dari paparan di atas, diketahui bahwa memori saksi merupakan sesuatu yang rentan. Baik pada proses penyimpanan maupun pemunculan kembali banyak faktor yang mempengaruhinya, sehingga sebenarnya menjadi sesuatu yang sulit untuk memperoleh 100% kebenaran kesaksian. Untuk mengurangi hal-hal yang berpengaruh terhadap kerentanan memori saksi, diperlukan teknik agar memori saksi dapat dihadirkan secara maksimal. Dua teknik Interview investigasi yang sering dibicarakan adalah (Kapardis, 1997; Milne & Bull, 2000, Costanzo, 2004) :
98
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
1.Hipnosis Hipnosis sebenarnya adalah sudah lama digunakan orang, namun karena banyak terjadi kontroversial maka teknik ini jarang digunakan. Di Indonesia, tidak banyak psikolog yang ahli dalam menggunakan teknik hipnosis. Mungkin karena pendekatan Freud tidak terlalu berkembang di Psikologi Indonesia, walaupun sebenarnya di Jerman pengikut-pengikut Freud cukup berkembang. Oleh karena itu jarang juga psikolog yang menggunakan teknik ini. Hipnosis dapat digunakan untuk meningkatkan ingatan saksi maupun korban. Teknik hipnosis meminta saksi/korban untuk relaks, kemudian ia dalam focus state dan menjadi sangat patuh terhadap intruksi orang yang menghipnosisnya. Intruksi yang diberikan adalah meminta saksi/korban untuk kembali mengingat kejadian yang dialaminya. Ia dibimbing untuk memperhatikan hal-hal detail seperti nomor plat mobil atau wajah dari pelaku. Saksi biasanya akan mengingat informasi lebih banyak ketika ia dihipnotis dibanding dalam kondisi tidak terhipnotis. Kondisi ini disebut sebagai hypnotis hypernesia (suatu kondisi yang merupakan lawan dari amnesia) (Costanzo, 2004). Hal buruknya dengan hipnosis, walaupun lebih banyak informasi yang muncul tapi kadang informasi ini belum tentu informasi yang benar dan tepat. Kadang informasi yang muncul dipengaruhi oleh imajinasi dan fantasi dari saksi. Beberapa penelitian membuktikan bahwa teknik hipnotis tidak selalu menghasilkan informasi yang akurat dalam kesaksian (Steblay & Bothwell dalam Costanzo, 2004). Repotnya, walau informasi yang imajinatif tadi diperoleh melalui hipnotis, namun saksi sangat yakin bahwa hal itu benar. Teknik hipnotis ini walau tidak selalu digunakan pada tiap saksi, namun masih digunakan ketika informasi tentang suatu kejadian tidak ada kemajuan yang berarti. Seperti suatu kejadian di Choweilla, California (Costanzo, 2004) dimana terjadi penyanderaan bus sekolah oleh sekelompok orang bertopeng, dan kemudian melepaskan korban setelah mendapatkan uang. Saksi-saksi yang ada (supir bus dan 26 anak) tidak memberikan informasi yang berati tentang kejadian sehingga tidak dapat dilacak pelaku kejadian ini. Ketika dilakukan teknik hipnotis pada supir bis, ia dapat mengingat nomer plat kendaraan pelaku. Dan ketika dilacak pihak kepolisian ternyata benar. Saksi/korban yang sangat emosional (malu, marah) sering juga menghilangkan memorinya, dan mengatakan ia lupa. Dengan teknik hipnotis, ia merasa bebas dan dapat memunculkan ingatannya kembali (Kebbel & Wagstaff dalam Costanzo, 2004). Jadi
99
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011
hipnotis oleh ahlinya kadang dapat dilakukan untuk menemukan informasi dalam memori saksi yang tidak dapat ditemukan dengan teknik lain.
2. Wawancara Kognitif Teknik ini diciptakan oleh Ron Fisher dan Edward Geiselman tahun 1992. Tujuannya adalah untuk meningkatkan proses retrievel yang akan meningkatkan kuantitas dan kualitas informasi dengan cara membuat saksi/korban merasa relaks, dan kooperatif (Costanzo, 2004; Milne & Bull, 2000). Teknik ini juga berusaha mengurangi efek sugesti yang terjadi pada teknik hipnotis (Costanzo, 2004) Fisher (dalam costanzo, 2004) dan Milne & Bull, 2000) menyatakan bahwa ada 5 tahap dalam wawancara kognitif. Tahap tersebut adalah :
Tahap I. adalah tahap menjalin rapport (pendekatan) terhadap saksi/korban agar ia tidak cemas, merasa nyaman, membuat saksi/korban juga menjadi lebih konsentrasi. Pada tahap awal ini, ia diminta bercerita tentang kejadian tanpa dipotong oleh pewawancara. Tujuannya adalah tidak ada efek sugesti dari pewawancara.
Tahap II. event intervew similarity,adalah mengembalikan ingatan saksi pada kejadian yang dialaminya. Ia diminta menutup mata dan membayangkan kejadian yang dialaminya. Ia diminta untuk membayangkan apa yang dilihat, didengar, pikiran dan perasaannya (yang relevan) pada saat itu.
Tahap III. melakukan probing ( penggalian informasi secara lebih detail) pada gambaran dan hal-hal yang disampaikan oleh saksi. Tujuannya agar diperoleh keyakinan atas hal-hal yang relevan terkait dengan peristiwa itu direcall (diceritakan kembali) dengan urutan yang berbeda, pertama dari awal sampai akhir. Kemudian dari akhir hingga awal.
Tahap IV. saksi diminta melihat peristiwa itu dari perspektif yang beda. Misal dari perspektif pelaku atau perspektif korban. Hasil ini direkam dan dicek ulang lagi pada saksi jika mungkin ada yang dirasa keliru atau tidak tepat.
Tahap V. Saksi diminta untuk mengingat kembali informasi baru lain yang mungkin belum dimunculkan. Bisa distimulasi dengan pertanyaan detail tentang wajah, baju, logat, mobil. Misal wajah pelaku mirip siapa jika menurutmu? Jawaban saksi mungkin menyebut nama orang terkenal, misal saiful jamil atau Pong Harjatmo. Sebenarnya bukan itu yang penting, namun saksi perlu ditanya lebih detail. Mengapa mirip Saiful jamil? Apa ada ciri-ciri khusus? Apa ada kesan khusus yang kau tangkap? Dengan cara
100 JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 ini saksi akan diminta mengingat kembali informasi lebih detail tentang pelaku yang mungkin belum dilakukannya. Secara keseluruhan teknik ini membutuhkan kondisi relaks saksi/korban, memberikan berbagai kesempatan pada saksi untuk menceritakan kejadian dan tidak menggunakan pertanyaan yang menuntun atau menekan ( Fisher dalam Costanzo, 2004). Biasanya Polisi dilatih melakukan interograsi baik pada saksi/tersangka dengan cara wawancara kognitif. Padahal banyak riset membuktikan bahwa teknik wawancara kognitif dapat meningkatkan keakuratan kesaksian tanpa melakukan sugesti pada saksi (Costanzo, 2004). Geiselman (dalam Fisher, Geiselman, Amador, 1989) menemukan bahwa teknik wawancara kognitif menghasilkan 25-35 % lebih banyak dan akurat dibanding teknik wawancara standar kepolisian. Mantwill, Kohnken & Ascermann (1995) menemukan wawancara kognitif lebih menghasilkan banyak informasi dibanding wawancara terstruktur. Pada saat ini kepolisian di Inggris secara ritun mendapatkan pelatihan teknik intervew kognitif, sementara kepolisian di Amerika walau tidak rutin namun juga menggunakan teknik ini (Costanzo, 2004).
IV Penutup Proses peradilan pidana membutuhkan informasi dari saksi, korban dan tersangka, karena baik polisi, jaksa maupun hakim tidak melihat sendiri kejadian perkara. Tetapi polisi, jaksa dan hakim harus membuat keputusan berdasarkan informasi yang ada. Oleh karena itu peran saksi menjadi penting. Dalam konsep psikologi, memori saksi sangat rentan, karena banyak faktor yang menyebabkan informasi menjadi kurang akurat. Dibutuhkan teknik psikologi untuk mengurangi bias informasi yang terjadi. Dua teknik yang biasa digunakan adalah hipnosis dan wawancara kognitif. Untuk dapat melakukan kedua teknik ini dibutuhkan ketrampilan, disinilah psikologi forensic diperlukan untuk memberikan pelatihan ketrampilan tersebut. Teknik ini terutama diperlukan saat penggalian kesaksian awal (di kepolisian), karena pada saat itulah Berita Acara Pemeriksaan disusun. Hal yang membuat sulit adalah polisi selama ini sudah terbiasa melakukan interograsi dengan pertanyaan-pertanyaan yang menuntun dan menekan.
101 JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 DAFTAR PUSTAKA Ancok, D. 1995. Nuansa Psikologi Pembangunan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset. Brigham, J.C.1991. Social Psychology.New York : Harper & Collins. Costanzo, M. 2004. Psychology Applied to law. Singapore : Thomson Wadsworth. Departemen Kehakiman Republik Indonesia.1982. Pedoman Pelaksanaan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana. Jakarta: Yayasan Pengayoman. Fisher, R.P., Amador, M., & Geiselman, R.E. 1989. Field Test of The Cognitive Intervew : Enhancing the Recollection Of Actual Victims & Witnesses of Crime. Journal of Applied Psychology,74 (5), 722-727. Kapardis, A. 1997. Psychogology and Law. Cambridge : Cambridge University Press. Mantwill, M., Kohnken, G., Aschermann, E. 1995. Effect Of CognitiveIntervew on The Recall of Familiar and Unfamiliar Events, Journal of Applied Psychology, Vol. 80 (1), 68-78. Probowati, Y. 2005. Dibalik Putusan Hakim. Kajian Psikologis Hukum dalam Perkara Pidana. Surabaya : Srikandi Sanders, G.S., & Simmons, W.L. 1983. Use of Hypnosis to Enhance Eyewitness Testimony : Does it Work ? Journal of Applied Psychology, vol. 68 (1), 70-77.
102 JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 KRIMINALISASI SANTET DALAM RANCANGAN KUHP I Gusti Agung Ketut Kartika Jaya Seputra Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Bali
Abstract: Witchcraft is a crime that exists in society due to inflict suffering or death to the victim. This magical act occurred in several countries with different terms.The formulation of the offense of witchcraft had several times entered in the draft Criminal Code and discussed in various national seminars. The criminalization of witchcraft is formulated in the draft Penal Code Article 255. On one side of the criminalization of witchcraft is done because this act has caused a real loss but on the other side's refusal to declare witchcraft as a crime due to the difficulty of proof of this deed. Key words: Witchcraft, criminalization and draft Penal Code. Pendahuluan Kejahatan merupakan sebagian dari masalah manusia dalam kehidupan sehari-hari, oleh karena itu harus juga diberikan batasan-batasan tentang apa yang dimaksud dengan kejahatan itu sendiri baru kemudian dapat dibicarakan unsur-unsur lain yang berhubungan dengan kejahatan tersebut, misalnya siapa yang berbuat, sebab-sebabnya dan sebagainya.118 Kejahatan adalah suatu perbuatan anti sosial yang merugikan, tidak pantas, tidak dapat dibiarkan, yang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat. 119 Secara empiris menurut B. Simandjuntak, definisi kejahatan dilihat dari dua perspektif, pertama adalah kejahatan dalam perspektif yuridis, kejahatan dirumuskan sebagai perbuatan yang oleh negara diberi pidana. Pemberian pidana dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat perbuatan itu. Kedua, kejahatan dalam artis (perspektif) sosiologis (kriminologis) merupakan suatu perbuatan yang dari sisi sosiologis merupakan kejahatan sedangkan dari segi yuridis (hukum
positif) bukan
merupakan suatu kejahatan. 120 Kejahatan dalam arti yuridis yang dilakukan oleh masyarakat berakibat hukum terhadap pelakunya berupa penjatuhan sanksi pidana, namun kejahatan dalam arti sosiologis (kriminologis) tidak dapat dikenakan sanksi pidana. Padahal kejahatan dalam arti sosiologis (kriminologis) ini juga menimbulkan korban, salah satunya adalah santet. 118 119
120
Noach, Simanjuntak.B., dan Pasaribu I.L, 1984, Kriminologi, Tarsito, Bandung, hal. 45. B. Simandjuntak, 1981, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, Tarsito, Bandung, hal. 70. Ibid.
103 JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 Santet adalah “ilmu hitam” yang sangat merugikan dan membahayakan orang lain yang dapat dilakukan dari jarak jauh maupun jarak dekat yang biasanya sangat berakibat fatal terhadap si korban, yaitu terjangkitnya penyakit aneh secara mendadak, kegelisahan tidak menentu karena ditutup mata batinnya, bahkan hingga menyebabkan kematian pada korban. Perbuatan magis seperti santet, teluh, sihir, dan guna-guna adalah realitas sosial secara empiris yang keberadaannya diakui oleh masyarakat. Bahkan, di banyak negara seperti di Benua Afrika dikenal dengan "The Spirit of African". Di Haiti dikenal dengan Voodoo. Ada pandangan perbuatan seperti itu merupakan perbuatan yang menakutkan dan jahat. Oleh karena itu, sekaligus dapat digunakan untuk mencari keuntungan oleh anggota masyarakat untuk menangkal perbuatan magis itu dan atau untuk melakukan perbuatan magis tersebut terhadap masyarakat yang percaya terhadap adanya kekuatan magis. Rumusan mengenai delik santet sudah beberapa kali dimasukkan dalam rancangan KUHP
dan
dibahas
dalam
berbagai
seminar
nasional.
Namun
untuk
mengkriminalisasikannya memang agak sulit mengingat sulitnya pembuktian terhadap perbuatan ini. Santet Dalam Fenomena Sosial Sejak masa lampau kemampuan paranormal dan penyembuh alternatif telah dimiliki oleh nenek moyang tidaklah dapat dipungkiri lagi. Prabujayabaya, Rangga Warsita, dan juga para wali-wali antara lain Sunan Bonang, Sunan Kalijaga dan Parawali lainnya merupakan tokoh-tokoh paranormal dan penyembuh alternatif Indonesia yang ternama di samping tokoh-tokoh lainnya yang tidak dapat ditemukan satu persatu. Kemampuan-kemampuan paranormal dan penyembuh alternatif tersebut telah diwariskan oleh nenek moyang kepada anak cucunya hingga saat ini. Pada saat ini budaya berkonsultasi dengan paranormal merupakan budaya warisan nenek moyang yang masih berlaku hingga saat ini. Fenomena ini masih diyakini oleh masyarakat, terbukti beberapa media massa yang jelas dan terang-terangan memuat iklan dengan bahasa yang lebih normatif dengan sebutan "orang pintar" padahal pada hakekatnya adalah "dukun". Banyak jenis konsultasi paranormal dan penyembuh alternatif antara lain konsultasi masalah pribadi, meramal nasib, pengisian azimat untuk kekebalan atau agar berkharisma, penglaris, penyembuhan penyakit, mencari orang atau barang yang hilang, mencari sumber air atau bahan mineral dan lain-
104 JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 lain. Bahkan yang sangat ditakutkan sang paranormal melakukan penyimpangan dengan tenaga supranatural yang dimilikinya melalui praktek santet. Keberadaan santet sudah ada sejak ribuan tahun lalu, yang selalu sejalan dengan peradaban umat manusia. Adapun nama lain dari santet di berbagai daerah seperti Jawa Barat dan Banten = teluh, ganggoang, sogna, Bali = desti, teluh, tenang jana, Sumatera Barat = biring, tinggam, Irian Jaya (Papua) = suangi, Sumatera Utara = begu, ganjang, Minahasa = pandot dan masih banyak istilah-istilah lainnya. Santet merupakan ancaman yang berat dan menimbulkan besarnya kerugian. Tidak jarang orang yang diberitakan sakit atau bahkan meninggal dunia karena santet. Masyarakat tentunya yang sangat mengharapkan rasa aman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini sejalan dengan pemikiran Romli Atmasasmita yang menyatakan: Khusunya bagi pihak korban, teluh merupakan suatu malapetaka yang dapat terjadi setiap saat dan tidak di duga sebelumnya. Bahkan, bagi pihak aparat penegak hukum, teluh merupakan suatu misteri, karena tidak tampak, tidak terbukti, dan tidak dapat terdeteksi baik sebelum, pada saat dan sesudah perbuatan teluh itu dilakukan. Khususnya bagi aparat hukum, teluh merupakan suatu tantangan sekaligus penghinaan di muka umum terhadap aparat kepolisian karena ia merajalela tanpa seorang petugas pun dapat menangkap dan mengajukannya ke muka sidang pengadilan (sekalipun petugas dimaksud sudah mempunyai dugaan kuat tentang pelakunya). 121 Hukum nasional yang ada saat ini memang tidak cukup untuk menjangkau kejahatan ini (kejahatan dalam arti sosiologis). Akibatnya pelaku dapat leluasa menggunakan santet untuk menyerang orang lain. Tinjauan Psikologi Hukum Terhadap Upaya Kriminalisasi Santet Hukum pidana Indonesia menganut asas legalitas sebagaimana tercantunm dalam pasal 1 KUHP. Hal ini dirumuskan di dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi “Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undangundang, yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu”. Tindak Pidana santet adalah suatu tindakan yang dipandang masyarakat sebagai tindakan yang dapat menimbulkan kerugian dankeresahan yang berkembang di masyarakat luas, karena tindakan santet itu sendiri dapat menimbukan akibat yang jelas, yang mana akibat yang ditimbukan dapat dengan konkrit dan jelas dilihat pada korbannya, yaitu yang dapat berupa timbulnya luka pada korban santet ataupun hinggga sampai meninggalnya korban tersebut akibat tindak pidana santet tersebut.
121
89.
Romli Atmasasmita, 2007, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika Aditama, Bandung, hal.
105 JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 Tetapi para pelaku kejahatan yang melakukan santet tidak dapat dijatuhi hukuman atas dasar pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut. Dan juga tindak pidana santet menemui permasalahan dalam masalah pembuktian apabila sampai persidangan, dimana santet itu hanya dapat dibuktikan secara abstrak sedangkan dalam ilmu hukum pembuktiannya harus bersifat kongkrit atau nyata. Dan juga alat-alat bukti di dalam KUHAP tidak dapat menampung bukti-bukti dari tindak pidana santet itu sendiri. Sehingga para pelaku tindak pidana santet dapat berkeliaran bebas. Kebijakan politik hukum pidana yang masih berlaku sampai dengan saat ini berhubungan dengan masalah magis itu dapat kita lihat pada Pasal 545 - 547 KUHP. Pasalpasal itu selengkapnya berbunyi, Pasal 545 KUHP: "Barangsiapa menjadikan pencariannya untuk menyatakan peruntungan seseorang, untuk mengadakan peramalan atau penafsiran mimpi…" Pasal 546 KUHP: "Barangsiapa menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagikan jimat-jimat atau benda-benda yang dikatakan olehnya mempunyai kekuatan gaib." Pasal 547 KUHP: "Seorang saksi ketika diminta untuk diberikan keterangan di bawah sumpah menurut undang-undang dalam sidang pengadilan memakai jimat atau benda sakti…". Dalam Pasal 545 melarang penjualan benda-benda gaib nyatanya sejak lama bendabenda gaib tertentu mulai dari keris, batu mirah delima, batu anti tembak, Keong buntet, rotan nunggal, wesi kuning ramai dicari dan diperjualbelikan dengan harga yang tinggi. Sedangkan Pasal 547 melarang seseorang untuk mempengaruhi jalannya sidang pengadilan dengan menggunakan jimat dan mantra. Pasal-pasal tersebut merupakan delik formil. Tidak diperlukan adanya akibat yang timbul dari perbuatan magis dan tidak pula diperlukan apakah orang percaya atau tidak terhadap ada tidaknya kekuatan magis yang ditawarkan. Penekanan pasal tersebut menyangkut larangan atas profesi atau pekerjaan dari orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib yang bisa memberikan bantuan jasa untuk menimbulkan kesaktian yang mungkin untuk melakukan perbuatan pidana tanpa bahaya bagi dirinya sendiri yang tentunya dapat diartikan bahaya bagi orang lain juga mengadakan peramalan dan peruntungan seseorang. Memperhatikan pasal-pasal tersebut dan realitas keberadaannya secara empiris, di mana pada kenyataannya praktik menjual jasa klenik dan peramal bebas berprofesi secara terang-terangan, bahkan dilakukannya penawaran melalui iklan-iklan di pelbagai surat kabar dapat diartikan bahwa tujuan politik hukum dari pasal-pasal itu tidak efektif.
106 JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 Menurut Ronny Nitibaskara dalam bukunya “Teori, Konsep dan Kasus Sihir Tenung di Indonesia”, Pasal 545 - 547 KUHP tidak mengatur perilaku santet, harus ada dekriminalisasi atau penghapusan pasal ilmu gaib. Biarlah orang menjual belikan benda gaib dan sebagainya. Sebab secara kriminologis tidak meresahkan masyarakat. Sebaliknya harus tetap ada kriminalisasi santet dalam arti melahirkan delik baru karena dampak sosial yang ditimbulkan merupakan faktor potensial kriminogen yang cukup besar, serta keresahan masyarakat, main hakim sendiri, pelecehan agama merupakan produk sampingan yang ditimbulkannya.122 Penyusunan delik santet yang mengacu kepada perumusan yang bersifat materiil sulit untuk dilakukan karena adanya kendala pembuktian, yang dipidana bukanlah hakekat penganiayaan atau pembunuhan terselubung dan berencana yang dilakukan oleh tukang santet melainkan perbuatan-perbuatan mereka yang mengganggu ketertiban umum, karena perumusan KUHP yang tidak difokuskan kepada perbuatan santetnya tetapi lebih pada perumusan deliknya.123 Pemerintah telah mencoba untuk melakukan kriminalisasi yang ruang lingkupnya mengatur mengenai santet dalam pasal 255 Rancangan KUHP. Sehingga dimaksudkan dapat meminimalis tindakan santet tersebut. Pasal 255 Ayat (1) menyebutkan: "Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan magis, memberitahukan, menimbulkan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang…". Memperhatikan Pasal 225 Rancangan KUHP tersebut dapat dikatakan bahwa Pasal 225 Rancangan KUHP hanyalah meneruskan kebijakan politik hukum Pasal 545-547 KUHP yang lama dengan bahasa yang lebih tegas dan membatasi substansi magis hanya terhadap perbuatan menawar-nawarkan kemampuan dirinya mempunyai kekuatan magis sebagai delik formil tanpa mempermasalahkan substansi dengan mengidentifikasi perbuatan dan akibat dari perbuatan magis sebagai delik materiil. Bila santet dikriminalisasikan yang akan terjadi adalah tata cara pembuktian dalam membuktikan bahwa tindakan tersebut benar dilakukan dengan cara melakukan santet. Antara santet dengan ilmu hukum mempuyai dimensi yang berbeda antara satu dengan yang lain. Dimana santet merupakan suatu ilmu yang membutuhkan suatu kepastian materiil, 122
Ronny Nitibaskara, 1997, Teori, Konsep dan Kasus Sihir Tenung di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 34 123 Imam Bukhor,---- “Fenomena Hukum Santet dan "Mandulnya" Pasal 545 KUHP Tentang Tukang Ramal”,:, http://warteg.or.id/v4/cetak.php?id=373 , diakses pada 15 Mei 2011.
107 JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 sedangkan santet merupakan suatu dimensi yang berada didalam ruang lingkup mistis atau spiritual yang mana tidak bisa atau sulit didpatkan suatu kebenaran materiil dari tindakan santet itu sendiri. Karena ilmu hukum yang sifatnya mencari kebenaran materiil tersebut bisa menjadi celah bagi pihak-pihak tertentu terhadap kriminalisasi tindak pidana santet yang sifatnya abstrak dan dugaan-dugaan saja. 124 Menjadi pertanyaan menarik, perlukah kriminalisasi perbuatan magis tersebut diatur dalam Rancangan KUHP yang baru. Untuk mendapatkan pertimbangan perlu tidaknya perbuatan magis dikelompokkan sebagai delik yang merupakan perbuatan kejahatan berdasarkan tujuan pencegahan terhadap praktik main hakim sendiri oleh anggota masyarakat terhadap orang yang dituduh sebagai dukun santet dan praktik penipuan dengan mengaku sebagai orang yang bisa memberi jasa kepada orang lain dengan menimbulkan kematian karena mempunyai kekuatan magis, dapat dikemukakan beberapa hal yaitu: a.
b.
c.
Perbuatan magis yang dapat disebut sebagai santet, teluh, sihir dan guna-guna adalah realitas sosial secara empiris sebagai kepercayaan sebagian masyarakat yang tidak dapat disangkal keberadaannya, namun secara akademis berdasarkan ratio principle masih dipertanyakan kebenaran keberadaannya untuk dapat dimasukkan ke dalam undangundang yang akan berlaku sebagai hukum positif. Main hakim sendiri yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap pelaku yang dianggap sebagai dukun santet yang telah menimbulkan sejumlah besar korban sesungguhnya merupakan perbuatan melawan hukum dengan kekerasan yang dilakukan bersama-sama di muka umum yang telah diatur dalam Pasal 170 KUHP yang sekarang berlaku. Pasal 225 Rancangan KUHP lebih merupakan larangan terhadap menawar-nawarkan jasa praktik magis seperti yang ada dalam "Kode Etik Komunitas Paranormal" yang diberlakukan untuk mencegah adanya usaha penipuan terhadap masyarakat dengan cara memberikan harapan melalui kekuatan magis untuk menimbulkan kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, sementara tujuan kriminalisasi terhadap perbuatan menawar-nawarkan jasa praktik magis yang tidak dilengkapi dengan perlu adanya akibat magis yang timbul karena sulitnya membuktikan perbuatan magis sebagai suatu kejahatan sebagaimana disyaratkan Pasal 183 KUHAP, yaitu harus adanya alat bukti yang sah, seperti Keterangan Ahli, Keterangan Saksi atau Korban dan Keterangan Terdakwa akan lebih tepat apabila ketentuan untuk tujuan kriminalisasi tersebut dihubungkan dengan Pasal 378 KUHP yang telah merumuskan tentang tindak pidana penipuan dengan tipu muslihat. Tujuan Pasal 225 Rancangan KUHP dengan menggunakan bahasa yang lebih baru
dan tegas dapat melengkapi Pasal yang ada dalam KUHP sekarang. Jika mencermati dengan teliti perbuatan magis berupa santet, sihir, teluh dan guna-guna yang masuk dalam kelompok ilmu hitam atau black magic kalaupun secara empiris diakui sebagai ada, hal itu 124
Priyonugroho, Raden Vidi Y, Nugroho, F. Hartadi Edy, 2008, Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Santet, Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, Jakarta.
108 JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 adalah sarana dalam melakukan kejahatan tidak berbeda dengan sarana lain seperti misalnya menggunakan pisau/golok atau benda-benda lain sebagai peralatan kerja yang juga bisa dipakai sebagai sarana kejahatan. Dengan demikian seyogianya yang menjadi kriminalisasi adalah perbuatan yang merupakan kejahatan, bukan permasalahan sarana yang digunakan dalam melakukan perbuatan kejahatan itu sebagaimana yang telah diatur secara jelas dalam Bab III dan IV KUHP tentang Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh. 125 Dari sudut kriminologi, santet dapat dikonstantir sebagai perilaku menyimpang, sebab kniminologi tidak saja mempunyai sasaran penelitian hal-hal yang oleh negara atau hukum dinyatakan terlarang, tetapi juga tingkah laku yang oleh masyarakat dianggap tidak disukai, sekalipun tidak diatur oleh hukum pidana. Kenyataan menunjukkan bahwa masyanakat memang tidak menyukai kehadiran santet. Terbukti dengan adanya reaksi sosial yang keras. Kriminalisasi atas norma hukum yang muncul di masyarakat harus dilakukan secara hatihati sebelum diadopsi dalam hukum positif di Indonesia. Jimly Asshiddiqie menanggapi proses penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru pengganti KUHP warisan penjajah Belanda yang menyerap normanorma hukum yang berkembang di masyarakat, termasuk pengaturan mengenai santet, kumpul kebo, dan pencabulan. Soal kriminalisasi ini biasanya mana yang menyimpang atau tidak dasar-dasarnya sudah lengkap dalam sistem hukum kita. Jadi, sebenarnya tidak perlu ada kriminalisasi baru itu. Kalaupun ada hal-hal baru yang akan dikategorikan sebagai tindakan kriminal, seperti usulan memasukkan santet sebagai tindakan kriminal, maka hal itu harus dilakukan secara hati-hati. Karena, tindakan-tindakan semacam santet itu telah menyangkut hal-hal yang dikhawatirkan atau menimbulkan ketakutan seseorang. Selama ini santet tidak dikategorikan sebagai tindak kriminal sehingga tidak diatur dalam KUHP atau hukum positif lainnya. Dengan diadopsi dalam KUHP baru, nantinya santet termasuk tindak kejahatan. 126 Norma-norma hukum yang muncul di masyarakat sangat baik untuk dipertimbangkan atau diadopsi dalam hukum posistif di Indonesia agar hukum positif punya basis sosial yang kuat. Sebab, salah satu syarat hukum yang baik adalah selain punya landasan filosofi yang benar, sesuai cita-cita kolektif suatu masyarakat, hukum juga harus punya landasan yuridis
125
Gayus Lumbuun,---- “Catatan untuk Tb Ronny Nitibaskara Kriminalisasi Perbuatan Magis dalam KUHP?”, http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=3153&coid=3&caid=21&gid=1, diakses pada 17 Juni 2011. 126 Media Indonesia, Jumat 3 Oktober 2003, “Pemasukan Santet di KUHP Harus Cermat”,
109 JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 yang kukuh. Norma hukum yang baik harus punya landasan sosiologis yang kuat, dan karena itu norma hukum yang baik di masyarakat sebaiknya diadopsi dalam produk hukum nasional agar hukum nasional bisa berfungsi sebagai norma yang bisa dijadikan pegangan dalam kehidupan bersama. Norma hukum yang hidup itu tentunya hasil dari satu proses kajian dan penelitian mendalam dari masyarakat itu sendiri. Masuknya pasal tentang santet dalam KUHP baru merupakan hal yang baik. Ketentuan tersebut dapat mencegah masyarakat mempercayai santet dan mencegah reaksi main hakim sendiri oleh warga terhadap orang yang diduga dukun santet. 'Dari dulu selalu diributkan, apakah paku, potongan kawat, dan besi yang ditemukan di tubuh korban santet bisa menjadi bukti, dan bagaimana mencari pelakunya, akhirnya hanya menjadi fitnah belaka. Rudy Satriyo pakar hukum pidana dari UI sangat setuju jika pasal tentang santet yang berbunyi, Barangsiapa yang mengakui mempunyai kemampuan santet, maka akan dipidana, dimasukkan dalam draf KUHP baru, karena ketentuan itu tidak masuk ke wilayah bukti materil. Dengan demikian, yang menjadi subjek hukum lebih jelas, yakni orang yang mempunyai kemampuan atau berprofesi sebagai dukun santet. 'Misalnya ada orang menyatakan bisa menyantet, maka akan dipidana 127 Secara psikologi, kejahatan santet ini meresahkan masyarakat. Hal ini disebabkan karena pertanggungjawaban pelaku tidak dapat dimintakan. akibatnya masyarakat seringkali melakukan tindakan main hakim sendiri. Kriminalisasi terhadap santet juga memberikan perlindungan hukum terhadap orang yang berprofesi sebagai dukun, sebagai mereka seringkali mendapat fitnah dan penghakiman massa yang tidak manusiawi. Penutup Santet merupakan kejahatan dalam arti sosiologi (kriminologi) yang tidak dapat dipidana menurut hukum positif. Fenomena sosial ini di satu sisi diterima oleh masyarakat bahkan profesi dukun dikatakan sebagai profesi penjual jasa yang semakin mudah ditemui. Namun di sisi lain, keberadaan mereka ditolak oleh masyarakat. Hal ini disebabkan karena dukun tersebut disinyalir sebagai penyebar santet. Kejahatan ini menimbulkan kerugian bagi korban bahkan menyebabkan kematian namun tidak dapat dipidana. Kebijakan politik hukum pidana yang masih berlaku sampai dengan saat ini berhubungan dengan masalah magis itu dapat dilihat pada Pasal 545 - 547 KUHP. Namun 127
Ibid.
110 JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 pasal tersebut tidak mengatur perilaku santet. Perbuatan santet ini dirasakan sangat merugikan masyarakat dan bertendensi pada tindakan main hakim sendiri terhadap orang yang dituduh melakukan santet. Oleh sebab itu kriminalisasi santet dirumuskan dalam Pasal 255 rancangan KUHP. Santet merupakan fenomena sosial yang bersifat destruktif terhadap keseimbangan, ketertiban dan keamanan masyarakat. Oleh sebab itu diperlukan kriminalisasi terhadap santet. Kriminalisasi terhadap santet memerlukan peranan psikologi hukum dalam merumuskan delik sebagai suatu rumusan Pasal yang dapat menjaring pelaku. Oleh sebab itu penyusun KUHP memerlukan pendidikan psikologi hukum. DAFTAR PUSTAKA BUKU B. Simandjuntak, 1981, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, Tarsito, Bandung. Noach, Simanjuntak.B., dan Pasaribu I.L, 1984, Kriminologi, Tarsito, Bandung. Priyonugroho, Raden Vidi Y, Nugroho, F. Hartadi Edy, 2008, Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Santet, Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, Jakarta. Program Studi Magisrer Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum, Universitas Udayana, Denpasar. Romli Atmasasmita, 2007, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika Aditama, Bandung. Ronny Nitibaskara, 1997, Teori, Konsep dan Kasus Sihir Tenung di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. INTERNET Gayus Lumbuun,----“Catatan untuk Tb Ronny Nitibaskara Kriminalisasi Perbuatan Magis dalam KUHP?”, http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=3153&coid=3&caid=21&gid=1, diakses pada 17 Juni 2011. Imam Bukhor, ----“Fenomena Hukum Santet dan "Mandulnya" Pasal 545 KUHP Tentang Tukang Ramal”, http://warteg.or.id/v4/cetak.php?id=373 , diakses pada 17 Juni 2011. KORAN Media Indonesia, Jumat 3 Oktober 2003, “Pemasukan Santet di KUHP Harus Cermat”
111 JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I Nyoman Ngurah Suwarnatha, S.H., LL.M. Lahir di Denpasar, 17 Maret 1980. Meraih gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta pada Tahun 2002. Meraih gelar Master of Law’s di Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada Tahun 2009. Dosen Kopertis Wilayah VIII dpk pada Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Muhammadiyah Bima dari Tahun 2005 sampai dengan Tahun 2010. Dosen Kopertis Wilayah VIII dpk pada Universitas Pendidikan Nasional Denpasar dari Tahun 2010 sampai dengan sekarang. Saat ini menjabat sebagai Kepala Sekretariat Fakultas Hukum Universitas Pendidikan Nasional (UNDIKNAS) Denpasar dan Kepala Pusat Kajian Konstitusi UNDIKNAS Denpasar. Selain itu juga aktif sebagai narasumber, peneliti dan penulis di berbagai jurnal ilmiah dan media cetak. Penulis dapat dihubungi melalui e-mail: [email protected] atau di blog “hukum” melalui http://ngurahsuwarnatha.blogspot.com, No HP: 082 146 172 000 I Made Dedy Priyanto, S.H., M.Kn. Penulis dilahirkan di Padang Sambian, Denpasar pada 11 April 1984. Menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Udayana dan meraih gelar Magister Kenotariatan di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sehari-hari penulis mengabdikan dirinya sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana. Selain itu juga aktif dalam penelitian, penulisan ilmiah dan berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Beberapa tulisannya pernah dimuat dalam jurnal ilmiah. Emmy Febriani Thalib, SH Dilahirkan di Denpasar 24 Februari 1987. Menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Udayana pada tahun 2009. Saat ini tengah menyelesaikan pendidikan S2 di Program Magister Hukum Universitas Udayana. Pernah bekerja sebagai legal staf di perusahaan Landscaping dan Grapari Telkomsel. Dapat dihubungi melalui [email protected] dan 0899 316 9989. I Wayan Suardana, S.H. Dilahirkan di Bangli pada 22 Oktober 1973. Meraih gelar Sarjana Hukum di Universitas Warmadewa pada tahun 1996 dan saat ini sedang menyelesaikan pendidikan Pascasarjana (S2) konsentrasi Hukum dan Masyarakat di Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, Bali. Pengalaman kerja sebagai Polisi Hutan pada Dinas Kehutanan Provinsi Bali dimulai pada tahun 1998 yakni sebagai anggota Polisi Hutan pada Satuan Wilayah Bali Selatan di Prapat Benoa. Pada tahun 2000 menjadi anggota Polisi Hutan Teritorial Resort Polisi Hutan Penelokan. Empat tahun berikutnya menjabat sebagai Kepala Resort Polisi Hutan Penelokan, Kitamani. Sejak 2009 hingga kini menjabat sebagai staf bidang Perlindungan dan Konservasi Alam dan diperbantukan di bidang Fungsional Polisi Hutan pada Sub Bidang Kepegawaian Dinas Kehutanan Provinsi Bali. Terakhir penulis dipercaya sebagai sekretaris Tim Kajian Dinas Kehutanan Provinsi Bali dalam menangani sejumlah kasus kehutanan di Bali. Penulis juga aktif dalam berbagai penulisan ilmiah, konsultasi masalah hukum kehutanan dan bertindak sebagai narasumber.
112 JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 I Wayan Wiasta, S.H., M.H. Dilahirkan di Gianyar, 1 Januari 1957. Beralamat di Jl. Jagaraga, No. 19 Celuk, Sukawati, Gianyar. Menamatkan pendidikan Strata 1 dan Strata 2 di Fakultas Hukum Universitas Udayana. Saat ini bekerja sebagai dosen di Universitas Mahasaraswati Denpasar dan menjabat sebagai wakil dekan I Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar. Dapat dihubungi melalui Telp./Faks. [email protected] I Gede Wiryawan, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar. Menamatkan pendidikan S1 di Universitas Atmajaya Yogyakarta dan pendidikan S2 di Program Studi Ilmu Hukum Universitas Udayana, saat ini sedang menyelesaikan pendidikan doktoral di Universitas Brawijaya Malang. Selain mengajar penulis juga aktif dalam kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat. Penulis juga duduk dalam kepengurusan Dewan Pengupahan Provinsi Bali. I Nyoman Edi Irawan S.Pd., S.H. Mendapatkan gelar sarjana Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar. Selain itu juga mendapatkan gelar sarjana pendidikan. Sehari-hari aktif sebagai advokat dan legal consultant pada Prasada Bali Law Office. Penulis juga mengabdikan ilmunya pada dosen di beberapa PTS di Denpasar dan sebagai tenaga pengajar bahasa Inggris. Penulis dapat dihubungi melalui [email protected]. Dewi Bunga, S.H., M.H. Dilahirkan di Denpasar, 8 Februari 1987. Menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Udayana dan S2 di Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana dengan predikat cumlaude. Saat ini bekerja sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar, Pusat Kajian Konstitusi dan Grup Riset Guru Besar Universitas Udayana. Aktif pula sebagai narasumber hukum di pelbagai acara TV dan Radio. Berbagai tulisannya telah dimuat dalam media cetak, jurnal ilmiah serta diseminarkan baik dalam skala regional, nasional dan internasional. Pada tahun 2009 penulis pernah mendapatkan penghargaan pertama dalam Writing Competition Most UNESCO United Nations-LIPI award. Dapat dihubungi melalui [email protected] atau 081916151963. Made Emy Andayani Citra Dilahirkan di Singaraja, 28 Agustus 1964. Menamatkan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar dan S2 pada Program Magister Hukum Universitas Udayana konsentrasi Hukum Bisnis. Saat ini bekerja sebagai dosen pada Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar dan menjabat sebagai Wakil Dekan II. Aktif pada bidang penelitian dan pengabdian masyarakat. Pernah mendapatkan penghargaan sebagai dosen berprestasi baik di lingkungan civitas akademika maupun di tingkat Kopertis Wilayah VIII. Dapat dihubungi melalui 08123829184. Ni Luh Gede Yogi Arthani, S.H., M.H. Dilahirkan di Denpasar, 22 Desember 1980. Menamatkan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Udayana dan S2 pada Program Magister Hukum Universitas Udayana. Saat ini bekerja sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar. Aktif dalam bidang pengabdian masyarakat. Dapat dihubungi melalui 081337884882 atau [email protected].
113 JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 I Nyoman Budi Sentana, S.H. Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Provinsi Bali. Menamatkan pendidikan sarjana di Fakultas Hukum dan saat ini sedang menyelesaikan pendidikan pascasarjana Ilmu Hukum di Universitas Udayana Konsentrasi Hukum dan Masyarakat. Dapat dihubungi melalui 03618539950. I Nengah Susrama, S.H., M.H. Dilahirkan di Bitra pada 31 Desember 1960. Menamatkan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Univeritas Mahasaraswati Denpasar dan S2 di Magister Ilmu Hukum Universitas Indonesia Konsentrasi Hukum dan Sistem Peradilan Pidana. Bidang mata kuliah yang diampu adalah Hukum Pidana dan Ilmu Kewirausahaan di Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar. I Gusti Agung Ketut Kartika Jaya Seputra Dilahirkan di Tabanan pada 13 Juni 1968. Saat ini menjabat sebagai Kepala Sub Bidang Mutasi 1 Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Bali. Sembari melaksanakan tugasnya, penulis juga sedang menyelesaikan pendidikan Pasca Sarjana (S2) Ilmu Hukum konsentrasi Hukum dan Masyarakat di Universitas Udayana.