158
Hukum dan Pembangunan
ASAS TIADA KESALAHAN DALAM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DENGAN PENYIMPANGANNYA
I. Sriyanto SebagaimalUl diketahui tidak semua negara didunia merumuskan secara jelas dan tegas asas "Tiada Pidana Tanpa Kesalahan", yang dikenal sebagai prinsip umum hukum pidana. Hakekat asas ini adalah mencari hukum dan menghukum orang yang memang benar-benar dapat dipersalahkan atas suatu delik. Jika kita lihat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana [KUHPJ, asas ini dirumuskan sebaga; pertanggungjawaban berdasarkan adanya kesalahan. Namun perumusan asas tersebuJ oleh Undang-undang Pokok . Pers Tahun 1982 disimpangi, dimana asas pidana tanpa kesalahan tersebuJ dirumuskan secara fiktif dan suksesif.
Pendahuluan
I
Istilah pertanggungjawaban berasal dari kat a majemuk tanggung-jawab yang artinya adalah menanggung segala apa yang terjadi 1 yang berhubungan dengan kewajiban ataupun sesuatu perbuatan. Dengan demikian pertanggungjawaban pidana berarti sesuatu hukuman (pemidanaan) yang hams ditanggung (dijalani) oleh seseoranglkelompok orang, sehubungan dengan kewajiban ataupun perbuatannya yang melanggar hukum pidana. Akan timbul pertanggungjawaban pi dana apabila terjadi sesuatu tindak pidana. Untuk terjadinya suatu tindak pidana diperlukan adanya beberapa
W J.S. PoelWadalJuinta, Logat Keeil Bahasa Indonesia, ( Jakarta: J.D. Wolters, 1949), hal. 110. I
April 1993
•
Asas Tiada Pidana
159
syarat. Pada umumnya para sarjana menyebutkan bahwa syarat-syarat tersebut, pertama adalah adanya suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum, kedua bahwa perbuatan itu dapat dipersalahkan terhadap sipelaku, dan ketiga adalah bahwa sipelaku haruslah orang 2 yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap hukum pidana. Dari beberapa syarat untuk terjadinya suatu tindak pidana tersebut, apabila salah satu syarat saja diantaranya tidak terdapat dalam suatu perbuatan, betatapun keras atau kejamnya suatu perbuatan beserta akibat-akibatnya, perbuatan yang telah dilakukan oleh seseorang itu tidaklah dapat dikatakan sebagai suatu tindak pidana. Sebagai contoh misalnya si A melukai (menganiaya) B, namun perbuatan A itu dilakukan karen a B telah menyerangnya terlebih dahwu. Perbuatan A tersebut ' dibenarkan menurut hukum pi dana, karena perbuatan yang dilakukannya itu adalah dalam rangka membela diri, sehingga ia dapat berpegang pada ketentuan Pasal 49 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (yang selanjutnya akan disebut KUHP). Perbuatan A tersebut tidak dapat dikatakan sebagai suatu tindak pi dana, karen a perbuatan itu tidak terdapat unsur bertentangan dengan hukum sehingga tidak dapat dipersalahkan terhadapnya. Dengan demikian iapun tidak dapat dipidana. Bahkan sekalipun suatu perbuatan telah nyata atau terbukti bertentangan dengan hukum (wederrechtelijk), akan tetapiperbuatan tersebtit juga belum tentu dapat dipersalahkan kepada sipelaku. Suatu contoh klasik keputusan Hoge Raad Belanda tahun 1916 yang membebaskan dari hukuman . terhadap seorang pembantu pengusaha susu sapi, di mana ia telah menyerahkan susu sapi yang telah dicampur dengan air kepada para pelanggan susu mumi. Mencampur susu mumi dengan bahan lain yang kemudian diperdagangkan adalah merupakan suatu larangan berdasarkan Peraturan Daerah di Amsterdam dan diancam dengan hukuman 3 pidana. Namun karen a si pembantu tersebut tidak mengetahui sarna sekali bahwa susu sapi yang ia serahkan kepada para pelanggannya itu telah dicamp'-1r dengan air oleh majikannya, maka ia (si pembantu) dianggap tidak bersalah, sehingga iapun tidak dihukum. 2 Uhat~. Utrecht, Hukum Pidana 1 (Jakarta: PTPenerbitan Universitas), hal. 251 153; J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana 1 (Ons Straftrecht I), terj. Hasnan, (Bandung: Binacipta, 19S4) , hal. 99; Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana, (Bandung: Eresco). 3
Wirjono Prodjodikoro, Op.cit., hal. 64-65.
Nomor 2 Tahun XXIII
•
160
Hukum dan Pemjangur.all
Mengenai dapat atau tidaknya seseorang dipertanggungjawabkarr terhadap hukum pidana adalah tergantungdari kemampuan seseorang di dalam mempertanggungjawabkan segala perbuatan ataupun akibatakibat dari perbuatannya. Kemampuan bertanggung jawab dari seseorang tergantung pula pada keadaan jiwanya. Pada umumnya setiap orang yang telah melakukan suatu tindak pi dana selalu dianggap bahwa jiwanya adalah normal (sehat), sehingga ia dianggap matnpu mempertanggungjawabkan segala perbuatan ataupun akibat-akibatnya. Hanya apabila terdapat tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak sehat, maka Hakim barulah memerintahkan untuk mengadakan petneriksaan secara khusus mengenai keadaan jiwa 4 si terdakwa tersebut. Apabila hasil pemeriksaan dapat membuktikan bahwa keadaan jiwa siterdakwa memang tidak sehat sedemikian rupa, maka pentidanaan juga tidak dapat dijatuhkan terhadapnya. Bahkan beberapa sarjana berpendapat bahwa bila hasil pemeriksaan itu masih tetap meragu-ragukan bagi Hakim, maka adanya kemampuan bertanggungjawab dari si terdakwa dianggap tidak terbukti, sehingga ia harus dianggap tidak bersalah dan dengan sendirinya pemidanaan s terhadapnya juga harus dihapuskan. Dari uraian tersebut di atas, tampaklah bahwa kesalahan merupakan unsur utama yang akan sangat menentukan baik mengenai dapat atau tidaknya suatu perbuatan dikatakan sebagai suatu tindak pi dana, maupun mengenai dapat atau tidaknya seseorang dipertanggungjawabkan terhadap hukum pidana. Hal tersebut adalah merupakan konsekuensi logis dari dianutnya suatu asas yang tidak tertulis yang dipegang teguh di dalam hukum pidana, yaitu tiada pi dana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld). Pengertian Mengenai Kesalahan
Kitab Undang-undang Hukum Pi dana (KUHP) yang kita pergunakan sekarang ini tidak memberikan penjeJasan mengenai apa yang dimaksudkan dengan kesalahan, oleh karena itu untuk • Moeljatno, Asas-Asas Hukum PidanH. eet. pertama, (Jakarta: Bina Aksara, 1983) , hal. 168. .
Moeljatno, Ibid., 168; dan Roeslan Saleh, Pelil"'utan Pmna dan Pertangcungan Jawab Pidana (Jakarta: Centra, 1968), hal. 65. 5
April 1993
•
-----------------------------------------------------
Asas Tiada Pidana
161
rnendapatkan pengertian rnengenai kesalahan tersebut kita harus rnencari rnelalui doktrin ataupun yurisprudensi. Menurut doktrin, sedikitnya terdapat ernpat pengertian rnengenai kesalahan (J.M. van Bernrnelen, 1984: 142), yaitu: 1. Pengertian kesalahan dipakai sebagai syarat urnurn untuk dapat dipidananya seseorang atas perbuatannya. Dalarn pengertian ini, kesalahan didefinisikan sebagai suatu sifat yang dapat dicelakan terhadap sipelaku. Atau dengan perkataan lain bahwa dalarn pengertian ini kita berbicara rnengenai alasan-alasan penghapus pidana. 2. Pengertian kesalahan dipakai sebagai penjelasan dari bagian khusus suatu rurnusan tindak pidana (delik), yaitu sebagai sinonirn dari sifat tidak berhati-hati atau sebagai istilah pengganti dari sifat kealpaan!kekhilafan (rnisalnya dalarn Pasal359 KUHP), yang antara lain rnenyebutkan bahwa karena salahnya rnenyebabkan rnatinya orang lain. Lazirnnya untuk kesalahan dalarn pengertian ini dipergunakan istilah dalarn bahasa latin culpa atau di dalarn doktrin sering disebut sebagai kesalahan dalarn pengertian sernpit. 3. Kesalahan dalarn pengertian luas adalah rneliputi bentuk-bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan dan kealpaan. 4. Kesalahan yang dipergunakan sebagai istilah untuk rnenjelaskan bahwa seseorang telah rnelakukan suatu tindak pidana (dapat diduga telah rnelakukan s~atu perbuatan pidana). Dalarn hal ini kesalahan diartikan sebagai telah berbuat. Asas tiada pidana tanpa kesalahan pada urnurnnya diakui sebagai prinsip urn urn di berbagai negara, narnun tidak banyak dian tara berbagai negara itu yang rnerurnuskan secara jelas dan tegas rnengenai asas tersebut di dalarn KUHP rnereka rnasing-rnasing. Penjabaran rnengenai asas tiada pi dana tanpa kesalahan biasanya terlihat di dalarn pernbahasan rnengenai pertanggungjawaban pidana, khususnya yang 6 berhubungan dengan rnasalah kesengajaan dan kealpaan. Dalarn literatur disebutkan secra tegas bahwa kesalahan adalah suatu perbuatan yang rneliputi kesengajaan ataupun kealpaan.7 Salah satu
Barda Nawawi Arief, Perblllldingall Hukum Pidall&. eel. pertama, ( Jakarta : CV. Rajawali, 1990), hal. 99. 6
7
Wirjono Projodikoro, Op. cit,. hal. 55; dan Roeslan Saleh, Op.cit., hal. 66
Nomor 2 Tahull XXIII
162
Hukum dan Pembalfgunan
negara yang KUHP-nya menyebutkan secara tegas harus adanya unsur kesengajaan ataupun kesalahan dalam suatu perbuatan yang terhadap pelakunya dapat dipidana adalah negara Yugoslavia (1951). Terjemahan dalam bahasa Indonesia yang dirumuskan dalam Pasal 7 ayat (1) KUHP Yugoslavia tersebut adalah : Seorang pelanggar akan dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya apabila ia melakukannya dengan sengaja atau 8 dengan kealpaan. Pengertian tnengenai kesengajaan dan kealpaan inipun tidak terdapat penjelasannya di dalam KUHP kita, oleh karen a itu kiranya dapat diperoleh penjelasannya melalui doktrin, yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kesengajaan adalah willen en weten atau menghendaki dan mengetahui. Maksudnya adalah bahwa seseorang itu memang menghendaki untuk melakukan suatu perbuatan yang telah diketahuinya 9 pula akibat yang akan ditimbulkan dari perbuatannya tersebut. Memorie van Toelichting · (M.v.T.) dari KUHP memang menyebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan kesengajaan adalah Willens en Wetens tersebut (E. Utrecht, 1958: 299). Namun yang dimaksudkan mengetahui dalam hal ini adalah bahwa sipelaku di sam ping menghendaki melakukan suatu perbuatan, ia juga harus mengetahui bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan hukurn. Beberapa sarjana kurang sependapat dengan penjabaran menge nai kat a mengetahui, baik yang dimaksudkan bahwa sipelaku harus mengetahui akibat dari perbuatannya, maupun yang dimaksudkan bahwa sipelaku harus mengetahui perbuatannya itu bertentangan dengan hukum. Alasan para sarjana atas ketidak setujuannya terh dap penjabaran kata mengetahui adalah bahwa ada kemungkinan seseorang yang menghendaki melakukan suatu perbuatan itu memang tidak mengetahui akibat yang akan timbul dari perbuatannya itu, ataupun sipelaku memang tidak mengetahui bahwa perbuatannya itu 10 bertentangan dengan hukum. Pendapat beberapa sarjana tersebut kiranya memang dapat
I
Barda Nawawi Arief, Op.cit. hal 90.
Satochid Kartanegara, Hukum Pic/ana, Kumpulan Ku/iah, Lektur Mahasiswa, tanpa tahun, ha1.291. 9
10
E. Utrecht, op. cit, hal. 300.
April 1993
Asas Tiada Pidana
163
dimengerti, dan sebagai contoh dapat dikemukakan di sini adalah suatu peristiwa yang terjadi di Minangkabau pada tahun 1936, yaitu seorang mamak mendobrak pintu rumah yang terkunci di mana pada saat itu seorang kemenakan wanitanya sedang berada di dalam rumah tersebut bersama dengan seorang pria. Pintu tersebut terpaksa dibuka dengan memakai kekerasan, karena yang berada di dalam rumah itu tidak mau membukakannya. Perbuatan mamak itu dilakukan adalah karen a rasa tanggung jawabnya terhadap kemenakan wanitanya, yang menurut hukum adat setempat tidak diperbolehkan untuk kawin dengan pria tersebut. Oleh karen a itu ia (mamak) belluaksud membawa mereka berdua untuk menghadap kepada Kepala Nagari. Perbuatan mamak tersebut oleh Pengadilan Sawahlunto temyata dipersalahkan, karena dianggap telah melanggar ketentuan Pasal 167 KUHP, yaitu masuk secara melawan hukum ke dalam rumah yang ll dihuni oleh orang lain, dan iapun dihukum . Padahal sebenarnya maksud mamak tersebut adalah sangat baik, yaitu ingin menegakkan ketentuan hukum adat yang hidup dan dianut oleh masyarakat yang bersangkutan, sehingga ia tidak berfikir bahwa perbuatannya itu akan dianggap sebagai perbuatan yang melanggar hukum. Dari contoh klasik tersebut di atas, maka kiranya dapatlah dimengerti adanya pendapat yang menyatakan bahwa untuk terdapatnya suatu kesengajaan, cukuplah apabila suatu perbuatan itu memang dikehendaki untuk dilakukan oleh sipelaku. Atau juga timbulnya sesuatu akibat itu memang dikehendaki oleh sipelaku, tanpa ia (pelaku) harus mengetahui atau menyadari terlebih dahulu bahwa perbuatan atau akibatnya itu bertentangan dengan hukum. Adapun mengenai perbuatan yang dilakukan karen a kealpaan yang disadari (bewuste schuld) adalah apabila timbulnya suatu akibat dari perbuatan itu sarna sekali tidak dikehendaki oleh sipelaku, sekalipun sebenamya ia tetap menyadari bahwa kemungkinan akan timbulnya akibat yang tidak dikehendaki tersebut sipelaku telah berbuat secara berhati-hati. Dengan demikian suatu perbuatan y<mg termasuk dalam bentuk kealpaan yang disadari sebagai syarat utamanya adalah tidak terdapatnya unsur kesengajaan dalam perbuatan sipelaku. Akan tetapi walaupun sipelaku telah bertindak secara berhati-hati, temyata timbulnya akibat yang tidak dikehendaki tersebut tetap terjadi. Suatu contoh mengenai perbuatan yang termasuk dalam bentuk
II
Oemar Seno Adji, Hukusu Hakim PidanD , (Jakarta: Etlan,gga, 1980), hal. 69-70.
Now.or 2 Tahun XXIII
164
Hukum dan Pembangunan
kealpaan yang disadari (suatu bentuk khusus dari culpa) ini adaJah misalnya A mengendarai mobilnya secara agak cepat menuju ke stasion kereta api karena ia sudah agak terlambat berangkat dari rumahnya. A sebenarnya menyadari bahwa setir mobilnya sedikit rusak, namun dengan mengemudikannya secara berhati-hati dengan memilih melalui jatan yang agak sept, A berharap tidak akan terjadi sesuatu di dalam perjalannyn. Tetapi walaupun demikian, terjadinya tabrakan dengan 12 mobil lain tetnyata tidak dapat dihindarkannya. Bentuk lain l1tengenai suatu perbuatan yang dilakukan karena kealpaan, yang terhadap pelakunya juga dapat dihl1kum, adalah perbuatan yang tel'masuk dalam bentuk kealpaan yang tidak disadati (onbewuste schuld ataupun culpa lata). Terdapat kealpaan yang tidak disadari apabila sipelaku sarna sekali memang tidak menyadari adanya kemungkinan bahwa perbuatannya akan dapat menimbulkan suatu akibat yang temyata melanggar hukum. Misalnya A mengendarai sepeda motor, sedangkan ia sebenarnya belum begitu mahir dalam hal itu. Dikarenakan sesuatu hal yang mengganggu perjalanannya, menyebabkan ia menjadi gugup sehingga kendaraannya menabrak orang. Dalam hal demikian maka terdapatlah bentuk kealpaan yang 13 tidak disadari tersebut. Satu lagi bentuk kealpaan adalah apa yang disebut sebagai culpa levis, atau suatu kealpaan ringan yang pada umumnya terhadap para pelakunya tidak dikenakan pidana. •
Dengan demikian secara singkat dapat disimpulkan bahwa asas tiada pi dana tanpa kesalahan berarti tiada satu orangpun dapat dipertanggungjawabkan . terhadap hukum pidana, tanpa ia melakukan suatu perbuatan pi dana karena sengaja ataupun karena kealpaan. Dengan perkataan lain, yaitu bahwa seseorang barn dapat dipidana, hanya apabila orang tersebut benar-benar telah melakukan suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana, dan perbuatan yang dilakukannya itu hams karena kesengajaan ataupun karen a kealpaan.
lZ
E. Utrecht, Op. cit., 1958, 312.
13
Moelyatno, Op.cit, hal. 202.
April 1993
•
165
Asas Tiada Pidana
Pertanggungjawaban Pidana Secara Fiktif dan Suksesif
Pada umumnya dalam berbagai tindak pidana tertentu baik yang diatur dalam KUHP maupun yang diatur di liar KUHP (seperti tindak pi dana ekonomi, korupsi, subversi, dan lain-lain), tidak terdapat ketentuan secara khusus mengenai masalah pertanggungjawaban pidananya bagi para pelakunya. Lain halnya dengan tindak pi dana dalam bidang pers, dimana dalam bidang ini KUHP mengatur · secara khusus mengenai masalah pertanggungjawaban pidananya bagi para pelaku, khususnya bagi penerbit dan pencetak (yaitu melalui ketentuan Pasal 61 dan 62 KUHP). Mengenai pertanggungjawaban pidana bagi seorang redaktur dalam terjadinya suatu delik pers, oleh M.v.T. disebutkan bahwa pertanggungjawaban pidananya adalah berdasarkan atas ajaran biasa mengenai penyertaan (deelneming) sebagaimana dirumuskan melalui ketentuan Pasal 55 sampai dengan 60 KUHP.14 Menurut ketentuan Pasal 61 ayat (2) KUHP seorang penerbit akan dapat dituntut pi dana apabila pada waktu ia menerbitkan barang cetakan itu, orang yang melakukan kejahatan tidak dapat dituntut atau berdiam di luar negara Indonesia. Dalam hal ini pemidanaannya adalah berdasarkan ketentuan Pasal 483 KUHP yang menyatakan bahwa: Barang siapa menetbitkan suatu tulisan atau gambar yang dapat dihukum karena sifatnya, dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau kurungan selama-lamanya satu tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,- jika: 1e.
orang yang membuat tulisan atau gambar itu tidak dikenal atau tidak diberitahukan pada pelmintaan yang perlama kali setelah ada perintah perkara itu untuk dikemukakan kepada hakim; 2e. orang yang menerbitkan itu sudah mengetahui atau dapat menduga, bahwa orang yang membuat tidak dapat dituntut atau tinggal di [uar negara Indonesia pada ketika karangan atau gambar itu diterbitkan.
A.S. Wirsch. Gescbiedeoi,s vaa bet Wetboek vaa Strafncht voor Nederlaads·Illdie • {Weltervreden : J.B. Wolters. 1930). hal. 142 - 144. IC
•
Nonwr 2 Tahun XXIII
166
Hukum dan Pembangunan
Mengenai seorang pencetak, berdasarkan ketentuan Pasal 62 ayat (2) KUHP, ia dapat dituntut pidana apabila pada waktu ia mencetak sesuatu tulisan ataupun gambar yang dapat dihukum karena sifatnya, orang yang menyur'uh mencetak tidak dapat dituntut atau berdian di luar negara Indonesia. Adapun pemidanaannya adalah oerdasarkan ketentuan Pasal 484 KUHP yang menyatakan sebagai berikut: lJatang siapa mencetak sesuatu tulisan atau gam bar yang dapat dihukum akrena sifatnya, dihukum penjara selamq-lamanya satu tahun empat bulan, atau kumngan selama-lamanya satu tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,- jika: 1e.
orang yang menyumh mencetak tulisan atau gambar itu tidak dikenal atau tidak diberitahukan pada pel'mintaan yang peT1ama kali setelah ada perintah perkara itu dikemukakan kepada haldm;
2e.
orang yang mencetak itu sudah mengetahui atau dapat menduga, bahwa orang yang menyuruh mencetak itu tidak dopa! dituntut atau tinggal di luar negara Indonesia pada ketika tuusan atau gambar itu diterbitkan.
Sedangkan bagi seorang redaktur akan dapat dipertang- gungjawabkan terhadap hukum pidana berdasarkan ajaran penyertaan, apabila dalam 1S suatu delik pers ia memenuhi dua syarat: a. mengetahui ten tang masuknya tulisan yang akan dimuat; b. menyadari akan adanya sifat perbuatan pidana dalam tulisan tersebut.
Dengan diperlukannya dua syarat untuk dapat menuntut pi dana bagi seorang redaktur maka timbul pula dua kemungkinan mengenai pertanggungjawabannya terhadap hukum pidana. Kemungldnan yang pertama yaitu bahwa sekalipun seorang redaktur telah menyatakan sesuatu tulisan adalah menjadi tanggung jawabnya, namun apabila pada waktu masuk atau dimuatnya tulisan yang mempunyai sifat pidana itu temyata ia sedang tidak berada di tempat (misalnya sedang pergi ke luar
Demar Seno Adji. Hukum (Aura) Pid_a Daalam Prospebl • eet. pertama. (Jakarta: Erlangga, 1981). hal. 163. If
April 1993
167
Asas 1iDda Pidana
negeri atau sedang sakit), maka redaktur 16 dipertanggungjawabkan terhadap hukum pidana.
itu
tidak
dapat
--
Sedangkan kemungkinan yang kedua adalah merupakan kebalikan dari kemungkinan pertama. Sekalipun seorang redaktur menyatakan bahwa sesuatu tulisan adalah di luar tanggung jawab redaksi, tetapi apabila kedua syarat (mengetahui masuknya tulisan yang akan dimuat dan menyadari akan adanya sifat pidana dalam tulisan) tersebut terpenuhi, maka redaktur itu tetap dapat dipertanggungjawabkan terhadap hukum pidanaY Dimasukkannya pertnggungjawaban pidana pers dalam ajaran penyertaan dengan segala pengecualiannya bagi penerbit, pencetak, dan redaktur, pada hakekatnya adalah untuk mencari orang-orang yang memang benar-benar dapat dipersalahkan dalam terjadinya suatu delik 18 pers. Hal tersebut adalah merupakan konsekuensi atas dianutnya asas tiada pidana tanpa kesalahan dalam hukum pidana. Pada tahun 1966 lahirlah ketentuan barn dalam bidang pers di Indonesia, yaitu Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers. Undang-undang tersebut telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 tahun 1967 dan kemudian diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 (yang selanjutnya disebut sebagai Undang-undang Pokok Pers). Adapun menurut Undang-undang Pokok Pers, pertanggungjawaban terhadap hukum (tentunya termasuk di dalamnya hukum pidana) bagi seorang redaktur ditentukan didalam Pasal15 Undang-undang tersebut dengan menyatakanbahwa:
1. Pimpinan Umum berlanggung jawab atas kesel14ruhan penerbitan baik ke dalam ma14pun ke luar; -
I Asnawi Nurani, "Pembatasan Represif dan Aspek Hukum Terhadap Komunika, No.3 Tahun IV, 1983, hal. 29. 16
17
Pers",
Ibid., hal. 29.
Oemar Seno Adji, Perkembangan Delik Pen; eli IndoDes~ , (Jakarta: Erlangga, 1990), hal. 21. II
Nomor 2 Tahun XXIII
I
168
Hukum dan Pembangunan
2. Perlanggungjawaban Pimpinan Umum terhadap hukum daput dipindahkan kepada Pi'npinan Redaksi mengenai isi penerbitan (Redaksional) dan kepada Pimpinan Perusahaan mengenai soal-soal pelUsahaan; 3. Pimpinan RMaksi berlanggung ja'wab atas pelaksanaan Redaksional dan wajib melayani hak jawab dan koteksi; 4.
Pimpinan Redaksi dapat memindahkan oerlanggungjawabannya terhadap hukum, mengenai sesuatu tulisan kepada anggota redaksi yang lain atau kepada penulisnya yang bersangkutan;
5.
Dalam sesuatu tilisan terhadap hukum, Pimpinan Umum, Pimpinan Redaksi, Anggota Redaksi atau Penulisnya mempunyai hak tolak.
6.
Warlawan yang karen a pekerjaannya mempunyai kewajiban menyimpan rahasia, dalam hal ini nama, jabatan, alamat alau indititas lainnya dari orangyang menjadi sumberinfOlmasinya, mempunyai Hak Tolak;
•
•
7. Ketentuan-ketentuan ten tang Hak Tolak akan diatur oleh Pemerintah setelah mendengar perlimbangan Dewan Pers. '
Pertanggungjawaban terhadap hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 Undang-undang Pokok Pers tersebut, adalah karena Undang-undang Pokok Pers mempergunakan suatti asas bahwa apabila terjadi suatu delik pers, dalam keadaan bagaimanapun juga harus ada seorang yang dapat ditarik untuk dipertanggungjawabkan terhadap 19 hukum. Oleh karen a pada prinsipnya menurlJt Undang-undang Pokok Pers yang harus bertanggung jawab terhadap hukum atas pelaksanaan redaksional adalah pemimpin redaksi, maka berdasarkan asas tersebut di atas, seorang redaktur baik bersalah ataupun tidak, tetap hams ,
l'Marhaban Zainun, "Ketentuan Hukum Pidana Indonesia Tentang Delik Pers dan Pertanggungjawaban Pidananya", dalam Hukum & Keadilan, Nomor. 3 Tahun 11,1971, hal. 3 - 52.
April 1993
Asas Tiada Pidana
169
dipertanggungjawabkan terhadap hukum. Pertanggungjawaban semacam ini disebut sebagai pertanggungjawaban hukum secara fiktif.20 Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal15 ayat (4) U.U. Pokok Pers temyata seorang redaktur dapat memindahkan pertanggungjawabannya terhadap hukum kepada anggota redaksi yang lain, ataupun kepada penulisnya yang bersangkutan. Pertanggungjawaban semacam ini dikenal sebagai pertanggungjawaban hukum secara suksesif.21 Penutup Telah dikemukakan bahwa menurut konsep KUHP, pertanggungjawaban pi dana dalam bidang pers dimasukkan ke dalam ajaran penyertaan dengan berbagai pengecualiannya, pada hakekatnya adalah untuk mencari dan menghukum terhadap orang- orang yang memang benar-benar dapat dipersalahkan di dalam . terjadinya suatu delik pers. Pemidanaan bagi seorang penerbit berdasarkan ketentuan Pasal 61 ayat (2) KUHP juncto Pasal 483 KUHP, masih tetap dipersyaratkan terdapatnya unsur kesengajaan atau setidak- tidaknya terdapat unsur kelalaian atas keterlibatan seorang penerbit tersebut di dalam terjadinya suatu deIik pers, sebagaimana terlihat pada perumusan Pasal 283 Sub 2e KUHP. Demikian pula pemidanaan berdasarkan KUHP bagi seorang pencetak dan juga redaktur sebagaimana telah dikemukakan, tampak bahwa terdapatnya unsur kesengajaan atau setidak-tidaknya unsur kelalaian atas keterlibatan seorang pencetak atau seorang redaktur tersebut di dalam suatu delik pers, adalah mutlak diperlukan (Pasal 284 Sub 2e KUHP). D~ngan demikian dapat diambil suatu kesimpulan bahwa untuk dapat menuntut pidana terhadap seseorang berdasarkan KUHP di dalam suatu delik pers, tetap dipergunakan asas tiada pidana tanpa kesalahan, yaitu hanya menjatuhkan pidana kepada orang yang memang dapat dipersalahkan di dalam terjadinya delik pers terse~ut. Bahkan dengan tegas dinyatakan di dalam M.v.T. dari KUHP, l1ahwa KUHP tidak
20
Oemar Seno Adji, Op.cit., 1981, hal. 163.
2t
Ibid., hal. 63.
Nomor 2 Tahun XXIII
•
170
llukum dan
P~oangunan
mengenal pertanggung-jawaban pidana s ecara tlktif dan suksesif.22 Betbeda jauh bahkan kiranya dapat dikatakan bahwa pertanggungjawaban pidana dalam delik 'pets berdasarkan konsep KUHP tersebut berlawanan dengan pertanggungjawaban pidana berdasarkan konsep Undang-undang Pokok Pers. Dimana Undang-undang Pokok Pers telah dengan nyata mempergunakan pertanggungjawalYan pidana secara fiktif dan suksesif. Dengan dernikian dapat disimpulkan pula bahwa tnengenai pertanggungjawaban pi dana di dalam delik pers sebagaimana dirumuskan oleh tJndang-tindang Pokok Pers tersebut, adalah merupakan penyimpangan dari asas tiada pidana tanpa kesalahan yang selama ini dipergunakan sebagai pedoman di dalam masalah pertanggungjawaban pidana pada umumnya. Selanjutnya dapat digambarkan mengenai perbedaan antara -pertanggungjawaban pi dana di dalam delik pers berdasarkan KUHP dengan pertanggungjawaban pidana di dalam delik pers berdasarkan Undang-undang Pokok Pers sebagai berikut:
,
22
Oemar Seno Adji, Op.cit, hal. 162.
April 1993 ,
-
171
Asas Tiada Pidana
•
DAFfAR PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi. Perbandingan Hukum Pida.na, Cetakan pertama, Jakana: CV. Radjawali , 1990. Adji, Oemar Seno, Hukum Hakim Pidana, Jakarta: Erlangga, 1980.
NOtnor 2 Tahun XXIII
•
172
Hukum dan
Jakarta:
Pembangun~,
1981.
~~__. PerkembaRgan DeUk Pers dl Indonesia, 'Cetakan pertama,
Jakarta:
arlangga, 1990.
Bemmelen, J.M.van., Hukum Pidana I (OIls Strafrecht I) • .Ditenjemahkan oleh Hasnan, Cetakan pertama~ Bandung: Binacipta;
1984.
.
.
Kartanegara, Satochid, Itukum Pidanb, Kumpulan Kuliah, Bagian I, Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tahun. Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan pettamaf Jakarta: Bina Aksara, 1983. Nurani, Asnawi," Pembatasan RepresifdanAspekHukum Terhadap Pers", Komunika, Nomor 3 Tahun IV, 1983, halaman 23 ..30. Prodjodikoro, Wirdjono, Asas-asas lIukum Pidana di Indonesia, Cetakan kedua, Bandung: PT. Eresco, 1979. •
Poerwadarminta, W.J.S., Logat Keeil Bahasa Indonesia, Jakarta: J.B. Wolters, 1949. Saleh, Roeslan, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana, Jakarta: Centra, 1968. _ Utrecht, E, Hukum Pidana I, Jakarta: PT. Penerbitan Universitas, 1958.
Wirsch, A.S. Geschiedenis van het Wetboek van Nederlands-Indie, Weltevreden: J.B. Wolters, 1930.
voor
Zainun, Marhaban, "Ketentuan Hukum Pidana Indonesia Tentang Delik Pers dan Pertanggungjawaban Pidananya", Hukum & l<eadilan, Nomor 3 TahuR II, Maret-April 1971, Hal. 3-52.
........... April 1993