As’ad Umar KONSEP HALĀLAN ȚAYYIBAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM As’ad Umar* Abstract: Halāl means things that should and can be done because it is free or not bound by the provisions of the ban. Or anything that is free from worldly dangers and hereafter. Halāl food is said to be at least must meet three criteria, namely the substance halal, the manner of obtaining and the manner of processing. Țayyib food means 'healthy food, proportionate and safe'. Healthy means having sufficient and balanced nutrition. Proportional means in accordance with the needs of eaters, not excessive and not reduced. While safe means not cause disease, in other words, according to human safety and ukhrawi. This study includes qualitative research. Therefore, the data collected through the reading and study of the text (text reading) as well as interviews with people who are competent in the field of the problems that the authors studied, and then the results were analyzed using descriptive analytical techniques. The results of this study concluded that food halālan ţayyiban is all halal food for consumption, good for the soul and not harm the human body and mind, it contains substances that are needed by the human body and consumed in doses sufficient and balanced. Keywords: Halālan, Țayyiban *
Dosen tetap pada Fakultas Ekonomi UNHASY Tebuireng Jombang Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
43
As’ad Umar A. Pendahuluan Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia memerlukan harta benda untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan material, seperti kebutuhan fisik, biologis, dan sosial maupun kebutuhan spiritual seperti kebutuhan agama dan pendidikan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Islam mewajibkan manusia untuk berusaha dan bekerja keras untuk memperoleh anugerah Allah swt. dan rezekinya dengan cara yang dibenarkan oleh agama.1 Dalam mencukupi kebutuhan hidup, banyak cara yang diupayakan oleh manusia untuk memperoleh rizkinya, baik dengan cara yang syar’i maupun cara yang batil. Namun, banyak dari manusia yang tidak peduli dengan kehalalan atau keharaman harta yang mereka peroleh, baik atau buruknya harta yang mereka dapatkan. Dalam benak mereka hanyalah mencari dan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya tanpa mempedulikan cara memperolehnya, apakah sesuai dengan aturan syara’ atau menyimpang dari aturan syara’. Allah swt. berfirman:
‚Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu‛.2 Sementara Rasulullah saw. bersabda: ‚perkara yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, sedangkan diantara keduannya terdapat perkara-perkara yang tersamar (meragukan) dan banyak yang tidak mengetahuinya. Maka, barangsiapa yang menghindari perkara-perkara yang meragukan, ia pun telah 1
Masjfuk Zuhdi, Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam dan Problematikanya dalam Menghadapi Perubahan Sosial, (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1994), 197. 2 2 (al-Baqarah): 168.
44
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
As’ad Umar
membersihkan kehormatan dan agamanya, dan barangsiapa yang terjerumus dalam perkara yang meragukan, ia pun terjerumus dalam perkara yang haram. Seperti pengembala yang mengembala di sekitar tempat terlarang dan nyaris terjerumus di dalamnya‛.3 Kedua dalil di atas merupakan dasar hukum perintah bagi setiap muslim untuk hanya mengkonsumsi barang atau makanan yang halal dan baik saja dan menghindari semua barang atau makanan yang haram dan meragukan. Segala usaha yang dilakukan oleh manusia hendaknya sesuai dengan apa yang digariskan oleh Allah swt. yang tertuang dalam peraturan syariat Islam, karena dengan mengikuti petunjuk-petunjuk tersebut, hasil usaha yang manusia peroleh merupakan hasil yang halal, bersih dan diriḍai oleh Allah swt.4 Berkaitan dengan masalah tersebut, dalam penelitian ini penulis ingin mengkaji secara mendalam mengenai konsep halālan ţayyiban prespektif Islam. Selain itu, belum adanya kedudukan dan kerangka hukum (etika) yang jelas tentang masalah ini, juga menjadi motif penelitian ini. B. Pengertian Halālan Țayyiban Sebelum mengetahui pengertian halālan ţayyiban, baik menurut bahasa maupun istilah, terlebih dahulu penulis paparkan ayat-ayat al-Qur’ān yang berhubungan dengan konsep halālan ţayyiban sebagai berikut:
1. Surat al-Baqarah ayat 168:
3
HR. Bukhārī dan Muslim. Lihat Abū Zakariyā Yahyā bin Sharaf bin Hasan bin Husain Al-Nawawī, al-Arbaīn al-Nawawī, (Kairo: Dār alWafā’, 1999), 46. 4 Alkaf Idrus, Cara Termuda Mendapat Kekayaan, (Solo: CV. Aneka, 1994), 4. Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
45
As’ad Umar
ِ ِ ض ح ََلاًل طَيِّبا وًَل تَتَّبِعوا خطُو ِ َات الشَّيط ان أ َ ِ َّاس ُكلُوا ِمَّا ِِف أاْل أَر َ ُ ُ َ ا ُ يَا أَيُّ َها الن َُِّ لَ ُ أ َ ُ ٌّوو ُبِ ٌني
‚Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu‛.
Ibn ‘Abbās ra. menjelaskan bahwa ayat di atas diturunkan kepada kaum Quraisy yaitu Banī Tsaqif, Banī ‘Āmir bin Sa'sa'ah, Khuzā'ah dan Banī Mudli dimana mereka mengharamkan suatu perkara sesuai dengan kemauan mereka sendiri, memakan beberapa jenis binatang seperti bahirah yaitu unta betina yang telah beranak lima kali dan anak kelima itu jantan, lalu dibelah telinganya; dan wasilah yaitu domba yang beranak dua ekor, satu jantan dan satu betina lalu anak yang jantan tidak boleh dimakan dan harus diserahkan kepada berhala. 5 Dalam konteks ini, haram dibagi dua, yaitu haram zatnya dan haram sebabnya. Kata halalan berarti zatnya boleh dikonsumsi, dan kata tayyiban berarti baik cara perolehannya.6
2. Surat al-Māidah ayat 88: َوُكلُوا ِِمَّا َرَزَ ُ ُ اللَّ ُ َح ََلاًل طَيِّباا َواتَّ ُوا اللَّ َ الَّ ِ أَأتُ أ ِِ ُ أ ِ نُو َن ‚Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya‛. 5
Abū Ja’far Muhammad Jarīr al-Țabarī, Jāmi al-Bayān fī Ta’wīl alQur’ān, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2004), vol.3, 81. 6 Ahmad Muṣţafa al-Marāghī, Tafsir al-Marāghī, (Semarang: Taha Putra, 1999), vol. 2, 72.
46
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
As’ad Umar Ibn ‘Abbās ra. berkata bahwa ayat ini merupakan teguran kepada para sahabat Rasulullah saw. yang cenderung meninggalkan segala kesenangan dunia, mereka mengira bahwa ruhbāniyah merupakan suatu kedudukan yang akan mendekatkan mereka kepada Allah swt. dan hal itu tidak akan tercapai tanpa meninggalkan kesenangan yang berupa makanan, pakaian dan wanita. Kata halālan pada ayat di atas berarti sesuatu yang diperbolehkan oleh agama, sedangkan kata ţayyiban berarti sesuatu yang dijadikan cara/ jalan ke dunia dan akhirat.7
3. Surat al-Anfāl ayat 69: ِ ُ َ ََّ ُ لُوا ِِمَّا َنِ ت ح ََلاًل طَيِّبا واتَّ ُوا اللَّ ِ َّن الل َ َ ٌني َ أُ أ ور َرحي ٌني َ ا ‚Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang‛. Ayat di atas menjelaskan bahwa dengan rahmat dan kasih sayangnya Allah swt., Ia tidak akan menimpakan siksa kepada kaum muslimin atas tindakan yang telah dilakukan, bahkan mengampuni dan mengizinkan mereka memakan, memiliki dan menggunakan hasil dari rampasan perang. Kata halālan pada ayat di atas berarti harta yang telah ditetapkan oleh Allah swt., sedangkan ţayyiban berarti cara memperolehnya yakni cara tawanan perang atau tebusan.8
4. Surat al-Nahl ayat 114: َ ُ لُوا ِِمَّا َرَزَ ُ ُ اللَّ ُ َح ََلاًل طَيِّباا َوا أا ُ ُوا ِ أع َ َ اللَّ ِ ِ أن ُكأنتُ أ ِيَّااُ تَ أعبُ ُ و َن 7 8
Abū Ja’far Muhammad Jarīr al-Țabarī, Jāmi al-Bayān,150. Abū Ja’far Muhammad Jarīr al-Țabarī, Jāmi al-Bayān, 276. Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
47
As’ad Umar
‚Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah‛. Pada ayat di atas yang dimaksud halālan adalah yang tidak dilarang oleh agama, sedangkan ţayyiban berarti yang bisa diterima oleh selera, tidak menjijikkan sesuai ukuran dari kebiasaan/tabiat kita sendiri atau kemajuan masyarakat kita.9 Kata halālan merupakan bentuk maṣdar dari ‚halla – yahillu – hallan – wa halālan‛ yang berarti membebaskan, memecahkan, membolehkan, membubarkan.10 Sedangkan menurut istilah, Al-Raghīb Al-Aṣfahānī dalam kitab Mu’jam Mufradāt Alfāẓ al-Qur’ān memberikan definisi halāl dengan ‘hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan ketentuanketentuan yang melarangnya. Atau segala sesuatu yang bebas dari bahaya duniawī dan ukhrawī.11 Dalam ensiklopedi hukum Islam, kata halāl mengandung arti segala sesuatu yang menyebabkan seseorang tidak dihukum jika menggunakannya, atau sesuatu yang boleh dikerjakan menurut syara’.12 Sedangkan kata ‚ţayyiban‛ merupakan bentuk maṣdar dari kata ‘ţāba-yaţību-ţayyiban’ yang berarti sesuatu lezat, baik, sehat, menentramkan dan paling utama.13 Para ahli tafsīr ketika menjelaskan kata ţayyib dalam konteks perintah makan menyatakan bahwa ţayyib berarti 9
Ibid., 234. Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1999), 201. 11 Al-Raghīb Al-Asfahānī, Mu’jam Mufradāt Alfāz al-Qur’ān, (Beirut: Dār al-Fikr, t.th.), 206. 12 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Bandung: Mizan, 2004), 59. 13 Al-Raghīb Al-Asfahānī ani, Mu’jam, 24. 10
48
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
As’ad Umar makanan yang tidak kotor dari segi zatnya atau rusak (kadaluwarsa), atau dicampuri benda najis. Ada juga yang mengartikannya sebagai makanan yang mengandung selera bagi yang akan memakannya dan tidak membahayakan fisik dan akalnya.14 Menurut M. Quraish Shihab makanan yang ţayyib berarti ‘makanan yang sehat, proporsional dan aman’.15 Makanan sehat artinya memiliki gizi yang cukup dan seimbang, dalam hal ini menurut kearifan dalam memilih dan mengatur keseimbangannya. Proporsional berarti sesuai dengan kebutuhan pemakan, tidak berlebih dan tidak berkurang. Allah swt. berfirman:
ِ ِ َ ِ َوُكلُوا َوا أاَُوا َوًَل تُ أ ُِوا َُِّ ًَل ُ ُّ الأ ُ أ
‚Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah swt. tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan‛.16
Ayat di atas menjelaskan tentang anjuran untuk makan dan minum dan larangan berlebih-lebihan dalam mengkonsumsi sesuatu. Larangan berlebih-lebihan meliputi: 1. Cara memperolehnya. Misalnya, makanan yang diperoleh dengan cara yang bertentangan dengan aturan Allah swt. atau bertentangan dengan aturan manusia, seperti korupsi, mencuri, merampok, menipu, manipulasi, dan sebagainya termasuk klasifikasi berlebih-lebihan. Hal yang berlebih-lebihan seperti ini merugikan pihak lain dan merusak sistem kehidupan bermasyarakat.
14
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, ( Bandung: Mizan, 1996), cet. 4, 150. 15 Ibid., 152. 16 7 (al-A’raf): 31. Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
49
As’ad Umar 2. Cara penyajian. Misalnya, memasak makanan yang seharusnya untuk lima orang, namun memasak untuk konsumsi sepuluh orang. 3. Dalam mengkonsumsinya. Makanan yang terlalu banyak dikonsumsi bisa merugikan dan 17 membahayakan tubuh. Makanan yang terlalu banyak dikonsumsi bisa merugikan dan membahayakan tubuh. Sedangkan aman artinya tidak menyebabkan penyakit, dengan kata lain aman secara duniawī dan ukhrawī. Keamanan pangan (food safety) ini secara implisit dinyatakan dalam al-Qur’ān surat al-Māidah ayat 88:
َوُكلُوا ِِمَّا َرَزَ ُ ُ اللَّ ُ َح ََلاًل طَيِّباا َواتَّ ُوا اللَّ َ الَّ ِ أَأتُ أ ِِ ُ أ ِ نُو َن
‚Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rizkikan kepadamu, dan bertawakallah kepada Allah dan kamu beriman kepada-Nya.‛ Ayat ini memerintahkan manusia untuk mengkonsumsi makanan dalam konteks ketakwaan pada saat menjalankan perintah konsumsi makanan. Supaya manusia berupaya untuk menghindarkan makanan yang mengakibatkan siksa dan terganggunya rasa aman. Dalam Ilmu gizi, makanan yang tayyib (baik) adalah makanan yang dapat memenuhi fungsi-fungsi makanan. 18 Adapun fungsi-fungsi makanan, antara lain yaitu: 1.
Memenuhi kepuasan jiwa, seperti memberi rasa kenyang, memenuhi kebutuhan naluri, memenuhi kebutuhan sosial dan budaya.
17
Lukman Saksono, al-Qur’an dan Makanan Sebagai Obat, (Jakarta: Pustaka Karya Grafikatama, 1990), 130. 18 A. Djaeni Soedia Oetama, Ilmu Gizi Menurut Pandangan Islam, (Jakarta: Dian Rakyat, 1990), 23.
50
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
As’ad Umar 2.
Memenuhi fungsi fisiologik, seperti memberikan tenaga (energi), mendukung pembentukan sel-sel atau bagian sel untuk pertumbuhan badan (growth).
3.
Mendukung pembentukan sel-sel atau bagian-bagian sel untuk menggantikan yang rusak dan aus terpakai (maintenance). Mengatur metabolisme zat-zat gizi dan keseimbangan cairan serta asam basa (regulatory mechanism).
4.
dalam pertahanan tubuh (defence mechanism). 19 Termasuk dalam golongan ini ialah vitamin. Di samping memenuhi fungsi makanan, makanan yang tayyib juga mengandung banyak vitamin. Vitamin adalah senyawa organik yang diperlukan oleh tubuh kita untuk mengatur metabolisme tubuh agar tetap sehat dan membantu proses pertumbuhan. Tubuh kita tidak dapat memproduksi vitamin sendiri, oleh karena itu kita perlu mendapatkan vitamin dari berbagai makanan dan supplemen agar kesehatan tubuh kita tetap terjaga. Beberapa fungsi vitamin adalah sebagai berikut: 5.
Berfungsi
1.
Vitamin A, berfungsi untuk menjaga indra penglihatan, menjaga kesehatan kulit dan imunitas Tubuh.
2.
Vitamin B, berfungsi untuk menjaga sistem saraf dan fungsi jantung, dan mencegah penyakit beri-beri.
3.
Vitamin C, berfungsi untuk menjaga kesehatan gigi dan gusi serta tulang, membentuk sel-sel tubuh dan pembuluh darah, mencegah penyakit kudis, dan meningkatkan daya tahan tubuh, sebagai antioksidan.
19
Ibid., 56. Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
51
As’ad Umar 4.
5.
6.
Vitamin D, berfungsi untuk menjaga gigi dan tulang, membantu tubuh menggunakan kalsium dan phospor, dan mencegah penyakit rahkitis (pelunakan tulang pada anak-anak). Vitamin E, berfungsi untuk menjaga darah, mencegah asam lemak yang berlebihan, menjaga jaringan kesehatan kulit, mata, darah merah dan hati. Sebagai antioksidan alami, melindungi paru-paru dari polusi udara. Vitamin K, berfungsi untuk membantu metabolisme tubuh dan mencegah penyakit diabetes, menekan proses pendarahan akibat pemakain senyawa aspirin atau antibiotik berlebihan, menurunkan risiko terkena penyakit osteoporosis. 20
C. Klasifikasi Halālan Țayyiban Makanan yang halālan ţayyiban adalah segala makanan yang halal untuk dikonsumsi, baik untuk jiwa dan tidak membahayakan badan dan akal manusia, mengandung zat-zat yang diperlukan oleh tubuh manusia serta dikonsumsi dalam takaran yang cukup dan seimbang. Makanan dikatakan halāl paling tidak harus memenuhi tiga kriteria, yaitu halāl zatnya, halal cara memperolehnya, dan halal cara pengolahannya.21 1. Halal zatnya Makanan yang halal zatnya adalah makanan yang dari dasarnya halāl untuk di konsumsi, dan telah ditetapkan kehalalannya dalam al-Qur’ān dan Hadīth. Contoh makanan yang halal zatnya adalah daging 20
Ibid., 57. Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis, Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dan Syari’ah, (Malang: UIN Malang Press, 2009), 194. 21
52
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
As’ad Umar unta, sapi, ikan, ayam, kambing, buah-buahan seperti apel, kurma, anggur, dan lain sebagainya. Sedangkan makanan yang haram zatnya adalah makanan yang dari dasarnya haram untuk dikonsumsi, dan telah ditetapkan keharamannya dalam al-Qur’ān dan Hadīth. Contoh makanan yang haram zatnya adalah bangkai, darah, daging babi, dan lain-lain. Allah swt. berfirman:
ِ ِ َّم َو ََلأ َ أ َُّاضط اْلِأن ِزي ِ َوَ ا أُه َّل ِِ لغَ أِْي اللَّ ِ َ َ ِن أ َ ََِّّنَا َحَّ َم َلَأي ُ ُ الأ َ أيتَ َ َوال ِ ُ َ ََّي ٍغاا وًَل ٍغاا َ ََل ِ أ لَي ِ ِ َّن الل َ َ َ َأ َ َأ َ ٌني ور َرحي ٌني
‚Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah, tetapi Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang‛.22
2. Halal cara perolehannya Makanan yang halal cara perolehannya adalah setiap makanan yang diperoleh dengan cara yang baik dan sesuai dengan aturan syara’. Makanan akan menjadi haram apabila cara memperolehnya dengan cara yang tidak sah/batil karena hal itu bisa merugikan orang lain dan dilarang oleh syara’. Oleh sebab itu, untuk memperoleh makanan yang halal dan baik harus sesuai dengan cara-cara yang dibenarkan oleh syariat. Contoh makanan yang halal cara perolehannya adalah makanan yang diperoleh dengan cara membeli, bertani, berdagang, dan lain sebagainya. Allah swt. berfirman:
22
2 (al-Baqarah): 173. Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
53
As’ad Umar
ِ يا أَيُّها الَّ ِين آَ نُوا ًَل تَأ ُكلُوا أَ والَ ُ ي نَ ُ ِالأب اط ِل ًَِّل أَ أن تَ ُ و َن ِِتَ َاراة َ أن َ َ َ أ َ أ َأ أ َ َ ِ ِ تَ َ ٍغ اض أن ُ أ َوًَل تَ أ تُلُوا أَأ ُ َ ُ أ ِ َّن اللَّ َ َكا َن ِ ُ أ َرحي ا ا
‚Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka samasuka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu‛.23
Sedangkan makanan yang diperoleh dengan cara yang batil seperti mencuri, merampok, menyamun, menipu dan lain sebagainya. Oleh karena itu, makanan yang zatnya adalah halal bisa menjadi haram apabila cara memperolehnya dengan jalan yang haram. 3. Halal cara pengolahannya Makanan yang halal cara pengolahannya adalah setiap makanan yang cara pengolahannya sesuai dengan standart syar’i. Makanan-makanan tersebut bisa menjadi haram apabila cara pengolahanya tidak sesuai dengan syariat agama. Banyak sekali makanan yang asalnya halal tetapi karena pengolahanya yang tidak benar menyebabkan makanan itu menjadi haram. Misalnya, kambing yang mati tanpa disembelih, anggur yang diolah menjadi minuman keras. Al-Qur’ān menganjurkan agar kita mengkonsumsi makanan yang ţayyiban atau makanan yang baik. Baik dalam arti bermanfaat dan tidak mengganggu kesehatan tubuh. Kriteria baik dapat dilihat dari seberapa banyak kandungan gizi dan vitamin yang ada dalam makanan itu. Sedangkan tidak mengganggu kesehatan berarti makanan tersebut tidak menjijikkan, tidak membusuk
23
4 (al-Nisā’), 29.
54
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
As’ad Umar (rusak), dan tidak menimbulkan efek negatife bagi kesehatan tubuh.24 Allah swt. berfirman:
ِ وُِ ُّل َ الطَّيِّب ات َوَُِّ ُم َلَأي ِه ُ أ َ ِاْلَبَاا َ ُُ َ
‚dan (Allah) menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk‛.25
Makanan halālan ţayyiban bahannya dibedakan menjadi tiga macam, 26 yaitu:
dapat
1. Makanan nabati, yaitu segala jenis makanan yang bahan dasarnya berasal dari tumbuh-tumbuhan (bisa berupa akar, batang, dahan, daun, bunga, buah atau beberapa bagian dari tanaman bahkan keseluruhannya). Dari sudut pengetahuan gizi, sayuran dan buah merupakan sumber pengatur yaitu sumber mineral.27 Begitu besar nilai gizi yang terdapat dalam makanan nabati, sehingga al-Qur’ān secara eksplisit tidak melarang makanan nabati tertentu, tetapi hanya beberapa jenis atau bagian tumbuhan tertentu yang dilarang. Misalnya, tumbuhan yang bisa menghilangkan kesadaran, menghilangkan nyawa, atau merusak kesehatan. Jenis tumbuhan yang bisa menghilangkan kesadaran ialah ganja, opium, khamar, dan tumbuhan lain yang memabukkan. Jenis tumbuhan yang dapat menghilangkan nyawa ialah tumbuhan beracun. Sedangkan jenis tumbuhan yang dapat merusak kesehatan adalah tumbuhan obat yang dikonsumsi bukan pada waktunya. Semua jenis tumbuhan di atas diharamkan, jika mendatangkan 24
T. Ibrahim, Pemahaman Al-Qur’an dan Hadist, (Solo: PT.Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2004), 15. 25 7 (al-A’raf): 157. 26 A. Djaeni Soedia Oetama, Ilmu Gizi, 60. 27 A. Nain, dkk., Buku Penuntun Ilmu Gizi Umum II, (Jakarta: Direktorat Gizi Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI, 1976), cet.2, 30. Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
55
As’ad Umar bahaya kecuali khamar dan tumbuhan yang memabukkan. Sebab, meski tidak memabukkan ketika dikonsumsi sedikit, khamar tetap diharamkan karena benda dan sifatnya yang sangat menggairahkan/melenakan diri. Adapun tumbuhan beracun tidak diharamkan selama tidak membahayakan karena kadarnya sedikit atau karena dicampur dengan makanan lain. 28 2. Makanan hewani, yaitu segala jenis makanan yang bahan dasarnya adalah hewan yang halal untuk dimakan, dan banyak mengandung manfaat bagi kehidupan manusia. Misalnya daging sapi, ikan, telur, susu dan lail-lain. Allah swt. berfirman:
ِ ِ ِّ َصأي ُ الأب َ صأي ُ الأبَ أح ِ َوطَ َعا ُ ُ َ تَا اا لَ ُ أ َولل َّ يَّ َارةِ َو ُحِّ َم َلَأي ُ أ َ أُح َّل لَ ُ أ َ ا ُا أ تُ أ ُحُ ا ا َواتَّ ُوا اللَّ َ الَّ ِ ِلَأي ِ ُأ َشُو َن
‚Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu akan dikumpulkan.‛29
Dalam ayat di atas disebutkan ‘buruan laut’ maksudnya adalah binatang yang diperoleh dengan jalan usaha seperti mengail, memukat, dan sebagainya, baik dari laut, sungai, danau, kolam dan lain-lain. Sedangkan kata makanan yang berasal dari laut adalah ikan dan semacamnya yang diperoleh dengan mudah karena telah mati sehingga menggapung.30
28
Imām al-Ghazālī, al-Halal wa al-Harām, (Beirut: Dār al-Jil, 2007), cet. I, 24. 29 5 (al-Māidah): 96. 30 M. Quraish Shihab, Wawasan, 141.
56
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
As’ad Umar 3. Makanan olahan/ sintetik, yaitu segala jenis makanan atau minuman hasil proses pengolahan dengan cara atau metode tertentu. Misalnya pemasakan, pengeringan, pemanggangan, pemekatan, penyaringan, pendinginan atau pembekuan, dan sebagainya baik dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan pangan. Makanan olahan sering kali disebut dengan makanan sintetik. Di samping jenis makanan nabati dan hewani, makanan sintetik juga disebutkan secara implisit dalam al-Qur’an. Allah swt. berfirman:
ِ ِ اب تَت ِ ِ ِ ِ ََّخ ِيل و أاْلَ أ ن ك ََلَيَ ا َ َّخ ُ و َن ِ أن ُ َس َ اا َوِرأزاا َح َ ناا ِ َّن ِِف َذل َ َو أن ََثََات الن لَِ أوٍغم يَ أع ِ لُو َن ‚dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan‛.31
Ayat tersebut berbicara tentang makanan sintetik yang dibuat dari buah-buahan, sekaligus merupakan ayat pertama yang berbicara tentang minuman keras dan keburukannya. Ayat tersebut membedakan dua jenis makanan sintetik memabukkan dan jenis makanan sintetik yang baik sehingga merupakan rizki yang baik. D. Konsep Halālan Țayyiban Prinsip dasar yang ditetapkan oleh Islam bahwa asal segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah swt. adalah mubah atau boleh, tidak diharamkan, kecuali ada dalil (nāṣ) yang ṣahīh yang mengharamkannya. Sebagaimana dalam kaidah fiqih:
اْلصل ىف اْلاياء اإل اح حىت ي ل ال ليل لى مي 31
16 (al-Nahl): 67. Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
57
As’ad Umar
‚Asal segala sesuatu adalah mubah/boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya‛.32 Para ulama mendasarkan prinsip bahwa asal segala sesuatu adalah halal kepada ayat al-Qur’ān, di antaranya surat al-Baqarah ayat 29:
َِ ض ِ ُه َو الَّ ِ َخلَ َق لَ ُ أ َ ا ِِف أاْل أَر َج ايعا
‚Dia (Allah) yang menciptakan untuk kalian segala sesuatu yang ada di bumi‛.
Ayat di atas menjelaskan bahwa wilayah haram dalam Islam sesungguhnya sangat sempit, dan sebaliknya wilayah halal sangat luas. Oleh karena itu, segala sesuatu selama belum ada dalil/nas yang mengharamkan atau menghalalkannya, maka dihukumi sebagaimana hukum asal yaitu mubah/boleh. Al-Qur’ān dengan tegas telah meletakkan konsep dasar halal dan haram pada sesuatu, baik yang berhubungan dengan makanan, transaksi bisnis, atau yang lain. Semua hal yang berhubungan dengan harta benda hendaknya dilihat dan dihukumi dengan kedua kriteria halal dan haram. Masyarakat kota Mekkah yang hidup di zaman Rasulullah saw. sama sekali tidak membedakan antara bisnis dan riba. Bagi mereka keduanya adalah sama. Akhirnya al-Qur’ān membangun konsep halal dan haram dengan penegasan bahwasanya bisnis adalah dihalalkan, sedangkan riba diharamkan.33 Perbedaan antara halal dan haram bukan saja mengharuskan tujuannya mesti benar, namun sarana 32
Abdul Wahab Khalāf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 1994), cet.1, 127. 33 Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis, Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan Syariah, (Malang: UIN Malang Press, 2009), 198.
58
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
As’ad Umar untuk mencapai tujuan itu juga haruslah baik. Perintah alQur’ān untuk mencari nafkah setelah melakukan ibadah ritual, mengimpliksikan bahwa seseorang hendaknya mengikuti perilaku yang diperkenankan dan dihalalkan dalam mendapatkan penghasilan. Allah swt. berfirman:
ِ ُ يا أَيُّها الَّ ِين آَ نوا ِذَا ِ لص ََلةِ ِ ن ي وِم أ اس َع أوا ِ ََل ِذ أك ِ اللَّ ِ َوذَ ُروا َّ ِوا َ ل َُ َ اْلُ ُ َع َ أ َ َ أ َأ ِ ِ الأبَ أي َع ذَل ُ أ َخأي ٌني لَ ُ أ أن ُكأنتُ أ تَ أعلَ ُ و َن ‚Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui‛.34
Penyucian hati yang dihasilkan oleh ibadah ritual juga hendaknya menyucikan niat dan metode mereka dalam mencari nafkah dengan cara yang halal. Dalam Islam disyaratkan, untuk bisa meraih harta yang halal harus linear antara niat, proses, dan sarana yang digunakan. Dalam arti, sekalipun didahului dengan niat (motif) yang baik, akan tetapi jika proses dan sarana yang dipakai tidak dibenarkan oleh Islam, maka niscaya harta yang dihasilkan tidak akan barokah, dan haram hukumnya. Oleh karena itu pencucian hati yang dihasilkan melalui ibadah ritual seseorang, hendaknya bisa mensucikan niat dan metode (cara) mereka dalam mencari nafkah dan penghasilan.35 Dalam Islam, wilayah halal sangat luas, namun mayoritas manusia merasa kurang puas dengan hal itu walaupun jumlahnya sangat banyak, sehingga mereka banyak yang tergiur kepada perkara yang diharamkan. Mayoritas manusia ingin mendapatkan sesuatu dengan mudah, instan, tidak mau bekerja keras, hanya ingin memperoleh keuntungan saja dan tidak mempedulikan 34 35
62( al-Jum’ah): 9. Muhammad Djakfar, Hukum, 199. Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
59
As’ad Umar norma dan etika agama, sehingga banyak dari mereka yang melanggar ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum Allah. Allah swt. berfirman:
ك ُه ُ اللَّالِ ُ و َن َ َِوا اللَّ ِ َأُول َ ُ َوَ أن يَتَ َع َّ ُح
‚Dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim‛36
Para ulama mengklasifikasikan bentuk kegiatan/transaksi bisnis yang diharamkan karena merusak akidah, etika ataupun moral manusia. Di antara kegiatan/ transaksi bisnis yang diharamkan dalam Islam adalah sebagai berikut: 1. Jual beli al-Najsy yaitu adanya kesepakatan antara penjual dengan pihak ketiga untuk melakukan penawaran palsu, sehingga dapat mempengaruhi perilaku calon pembeli yang sebenarnya. 2. Jual beli al-Ghabn yaitu transaksi yang dilakukan di bawah atau di atas harga yang sebenarnya. 3. Jual beli al-Ma’dūm yaitu jual beli sesuatu yang tidak atau belum dimiliki langsung oleh penjual.37 4. Segala kegiatan/aktifitas bisnis yang mengandung unsur riba.38 Banyak sekali hadīts Rasulullah saw. yang menekankan pentingnya mencari nafkah dengan jalan yang halal, sehingga beliau menganalogikannya sebagai sesuatu yang farḍu, yang hampir sejajar nilainya dengan ibadah mahḍah. Seorang pembisnis muslim diperintahkan agar menginvestasikan modalnya dalam bisnis yang halal sekalipun mungkin akan menghasilkan laba lebih kecil 36
2 (al-Baqarah): 229. Muhammad Djakfar, Hukum, 173. 38 Syaikh Muhammad Yūsuf Qardhawī, Halal dan Haram dalam Islam, (Jakarta: PT Bina Ilmu,1980), 359. 37
60
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
As’ad Umar daripada menanam modal pada wilayah-wilayah yang diharamkan. Konsep ini jelas paradoks dengan sistem kapitalis yang lebih menekankan pada perolehan keuntungan yang sebesar-besarnya. Justru karena kering dari nilai spiritual itu, sistem kapitalis tidak memberi ruang pada moralitas. Akibatnya adalah sistem ini lebih mengutamakan tuntunan bisnis daripada tuntunan etis. Dengan kata lain dalam situasi wajar, apalagi dalam kondisi emergensi, penganut kapitalis cenderung lebih mendahulukan profit daripada kepentingan moral. Dalam masalah bisnis yang Qur’anī, bagaimanapun masalah moral dan kehalalan sangatlah ditekankan karena prasyarat ini merupakan prakondisi untuk meraih harta yang berkah.39 E. Kesimpulan Makanan yang halālan ţayyiban adalah segala makanan yang halal untuk dikonsumsi, baik untuk jiwa dan tidak membahayakan badan dan akal manusia, mengandung zat-zat yang diperlukan oleh tubuh manusia serta dikonsumsi dalam takaran yang cukup dan seimbang. Makanan dikatakan halāl paling tidak harus memenuhi tiga kriteria, yaitu halāl zatnya, halal cara memperolehnya, dan halal cara pengolahannya. Al-Qur’ān dengan tegas telah meletakkan konsep dasar halal dan haram pada sesuatu, baik yang berhubungan dengan makanan, transaksi bisnis, atau yang lain. Semua hal yang berhubungan dengan harta benda hendaknya dilihat dan dihukumi dengan kedua kriteria halal dan haram. Dalam Islam disyaratkan, untuk bisa meraih harta yang halal harus linear antara niat, proses, dan sarana yang digunakan. Dalam arti, sekalipun didahului dengan niat (motif) yang baik, akan tetapi jika 39
Muhammad Djakfar, Hukum, 204. Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
61
As’ad Umar proses dan sarana yang dipakai tidak dibenarkan oleh Islam, maka niscaya harta yang dihasilkan tidak akan barokah, dan haram hukumnya. Oleh karena itu pencucian hati yang dihasilkan melalui ibadah ritual seseorang, hendaknya bisa mensucikan niat dan metode (cara) mereka dalam mencari nafkah dan penghasilan.
BIBLIOGRAFI Amrullah, Abdul Malik Abdul Karim. Tafsir al-Azhar. Singapura: Pustaka Nasional PTE, 1999. A. Nain, dkk., Buku Penuntun Ilmu Gizi Umum II. Jakarta: Direktorat Gizi Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI, 1976. Asfahānī (al), Al-Raghīb. Mu’jam Mufradāt Alfāz alQur’ān. Beirut: Dār al-Fikr, t.th. Muhammad. Hukum Bisnis, Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan Syariah. Malang: UIN Malang Press, 2009. Dahlan , Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam. Djakfar,
Bandung: Mizan, 2004. Idrus, Alkaf . Cara Termuda Mendapat Kekayaan. Solo: CV. Aneka, 1994. Ghazālī (al), Imām. al-Halal wa al-Harām. Beirut: Dār alJil, 2007. Khalāf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama, 1994. Marāghī (al), Ahmad Muṣţafa. Tafsir al-Marāghī. Semarang: Taha Putra, 1999. 62
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
As’ad Umar Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir Arab Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif, 1999. Nawawī (al), Abū Zakariyā Yahyā bin Sharaf bin Hasan bin Husaīn. al-Arbaīn al-Nawawī. Kairo: Dār alWafā’, 1999. Oetama, A. Djaeni Soedia, Ilmu Gizi Menurut Pandangan Islam, (Jakarta: Dian Rakyat, 1990. Qardhawī (al), Muhammad Yūsuf. Halal dan Haram dalam Islam. Jakarta: PT Bina ilmu,1980. Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Quran. Bandung: Mizan, 1996. Saksono, Lukman. al-Qur’an dan Makanan Sebagai Obat. Jakarta: Pustaka Karya Grafikatama, 1990. Țabarī (al), Abū Ja’far Muhammad Jarīr. Jāmi al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2004. T. Ibrahim, Pemahaman Al-Qur’an dan Hadist. Solo: PT.Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2004. Zuhdi, Masjfuk. Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam
dan Problematikanya dalam Menghadapi Perubahan Sosial. Jakarta: CV. Haji Masagung, 1994..
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
63