ARTIKEL HASIL PENELITIAN HIBAH BERSAING
ANALISIS TUGAS PERKEMBANGAN SISWA SLTA DAN PEMETAAN KINERJA GURU BK DALAM IMPLEMENTASI PROGRAM BIMBINGAN DAN KONSELING (Studi Kelayakan Pengembangan Program BK di Sekolah di DIY)
Tahun ke-1 dari Rencana 2 tahun
Ketua/Anggota Tim Fathur Rahman, M. Si (NIDN. 0024107802) Dr. Budi Astuti, M.Si (NIDN. 0008087705) Sugiyatno, M. Pd (NIDN. 0027127108)
Dibiayai oleh DIPA UNY Program Penelitian Hibah Bersaing Tahun Anggaran 2013 No. 532a/BOPTN/UN34.21/2013 Tanggal 27 Mei 2013
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA Desember 2013 1
ANALISIS TUGAS PERKEMBANGAN SISWA SLTA DAN PEMETAAN KINERJA GURU BK DALAM IMPLEMENTASI PROGRAM BIMBINGAN DAN KONSELING (Studi Kelayakan Pengembangan Program BK di Sekolah di DIY)
Oleh Fathur Rahman, Sugiyatno, dan Budi Astuti
ABSTRAK Studi pengembangan ini secara umum ditujukan untuk menghasilkan modul layanan bimbingan dan konseling berbasis advokasi perkembangan. Adapun tujuan khusus studi pengembangan modul ini, yaitu: 1) mengidentifikasi permasalahan aktual dan kebutuhan siswa yang sesuai dengan tingkat perkembangan dan kematangan psikologisnya; 2) mengevaluasi profil kinerja guru bimbingan dan konseling dalam mengelola kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah Disain metodik studi pengembangan modul ini menggunakan kerangka penelitian dan pengembangan model Borg dan Gall dengan tahapan-tahapan sebagai berikut; 1) studi pendahuluan yang mencakup penelusuran tingkat perkembangan siswa dan evaluasi profil kinerja guru BK; 2) perumusan dan pengembangan kerangka kerja serta modul bimbingan dan konseling perkembangan; dan 3) uji lapangan dan implementasi terbatas untuk menilai tingkat kelayakan dan keterpakaian modul. Provinsi DIY dipilih sebagai setting utama penelitian yang meliputi 7 sekolah menengah (SMP dan SMA) yang berstandar nasional dan forum Musyawarah Guru Pembimbing (MGP) lima kabupaten yang ada di DIY. Penelitian ini akan melibatkan partisipasi aktif konselor sekolah dan siswa sekaligus. Data-data kuantitatif yang diperoleh dari uji kompetensi dan wawancara akan dianalisis secara statistik deskriptif, sedangkan data-data kualitatif yang diperoleh akan dianalisis melalui model alir dan interaktif. Kesimpulan yang dapat diperoleh, yaitu; 1) Profil perkembangan siswa SLTA di beberapa lokasi penelitian menunjukkan level perkembangan yang belum memenuhi kriteria ideal di tahap individualitas. Perkembangan siswa SLTA yang menjadi subjek penelitian masih sebatas pada tahap Sadar Diri (level yang hanya sesuai untuk siswa SLTP), dan 2) Kinerja guru BK dan kualitas program bimbingan dan konseling dapat dikatakan masih relatif rendah dengan beberapa indikasi, yakni perencanaan yang belum komprehensif dan tidak berbasis pada asesmen kebutuhan dan permasalahan, disain yang kurang logic dan terstruktur, serta minim pelibatan dukungan lingkungan perkembangan yang ada di sekitar siswa, seperti keluarga dan masyarakat. Kata kunci; pengembangan perkembangan
modul,
bimbingan
2
dan
konseling
berbasis
advokasi
ABSTRACT This research and development generally intended to produce guidance and counseling services module based on psychological developmental advocacy. The specific objectives of this study are; 1) identify the actual problems and needs of students in accordance with the level of psychological development and psychological maturity; 2) evaluate the performance of teachers guidance and counseling in managing the activities of guidance and counseling in schools; 3) develop and formulate guidance and counseling module and field tests (test module) using the guidance and counseling framework; and 4) to publish the result of research in scientific publications Design of this study using the framework of research and development initiated by Borg and Gall. This report is the result of a preliminary study that includes level of students psychological development and evaluate the level of teacher counselor performance. Province DIY was chosen as the primary research setting that includes 7 high school is a national standard and teacher counselor working groups (MGBK) at five districts in DIY. This study will involve the active participation of teacher counselors and students as well. Quantitative data obtained from the competency test and interviews will be analyzed by descriptive statistics, while qualitative data obtained will be analyzed by flow and interactive models. The conclusion that can be obtained are; 1) the psychological development profile of high school students in several research locations has not meet the ideal criteria. The development of high school students who become the subject of research is still limited at this stage of “Conscious Self” (level appropriate for junior high school students only); and 2) the performance of teacher counselor and the quality of guidance and counseling program can be concluded to be still relatively low by some indications; that is no a comprehensive planning and not based on assessment needs and problems, illogical design and less structured , and low-involvement of the existing development environments support around students, such as family and community. Keywords; the development of module, guidance and counseling based advocacy development A. PENDAHULUAN Studi pendahuluan dalam rangka pengembangan model layanan konseling sekolah ini didasari oleh kondisi objektif yang menunjukkan beberapa kerancuan dan ketidakjelasan tujuan pengembangan sisi psikologis-afektif siswa di sekolah, serta kompetensi guru bimbingan dan konseling yang tidak cakap dalam mengatasi permasalahan siswa. Dalam beberapa kegiatan ilmiah dan serangkaian studi yang pernah dilakukan sebelumnya, terungkap beberapa fakta kegiatan layanan bimbingan dan konseling sekolah yang justru kontraproduktif terhadap perkembangan siswa itu sendiri. Kegiatan layanan bimbingan dan konseling sekolah yang berkembang di Indonesia selama ini lebih terfokus pada kegiatan-kegiatan yang bersifat administratif dan klerikal (Kartadinata, 2003), seperti mengelola kehadiran dan ketidakhadiran siswa, mengenakan sanksi disiplin pada siswa yang terlambat dan dianggap nakal. Dengan demikian, wajar apabila dalam masyarakat dan bagi siswa-siswa sendiri guru bimbingan dan konseling distigmakan sebagai polisi sekolah. Konsekuensi kenyataan ini, pada akhirnya menyebabkan layanan bimbingan dan konseling yang diselenggarakan di sekolah akhirnya terjebak dalam pendekatan tradisional dan intervensi psikologis yang berorientasi pada paradigma intrapsikis dan sindrom klinis. 3
Fenomena yang terjadi di sekolah-sekolah di Indonesia tersebut sangat kontras dengan perkembangan layanan bimbingan dan konseling di negara-negara lainnya. Perkembangan pendekatan konseling dalam ruang lingkup pendidikan (sekolah) di beberapa negara maju di dunia telah mengalami lompatan paradigmatik dari layanan konseling yang cenderung bersifat klinis menuju suatu arah baru yang berorientasi perkembangan (from clinical to developmental). Berdasarkan tuntutan yang berkembang dan refleksi atas kenyataan layanan bimbingan dan konseling tersebut, upaya pembentukan kapasitas (capacity building) guru BK melalui modul yang komprehensif berbasis advokasi perkembangan siswa sangatlah dibutuhkan. Promosi paradigma perkembangan dalam pengelolaan layanan bimbingan dan konseling diharapkan dapat menjadi solusi bagi kemandegan peran dan fungsi guru bimbingan dan konseling di sekolah. Oleh karena itu, permasalahan utama yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimanakah bentuk hipotetik dari model bimbingan dan konseling yang bernuansa advokasi perkembangan dalam memfasilitasi tahapan perkembangan siswa di sekolah. Studi pengembangan modul ini secara umum ditujukan untuk menghasilkan modul layanan bimbingan dan konseling berbasis advokasi perkembangan yang berdampak pada perbaikan dan peningkatan kinerja dan mutu layanan guru Bimbingan dan Konseling di sekolah menengah yang berorientasi pada optimasi perkembangan psikologis dan pengembangan perilaku positif siswa. Adapun tujuan-tujuan spesifik yang ingin dicapai dalam penelitian pengembangan ini, yaitu: 1. Mengidentifikasi kebutuhan pengembangan diri siswa di beberapa sekolah di DIY sesuai dengan asumsi perkembangan dan kematangan psikologisnya 2. Mengevaluasi profil dan kinerja guru bimbingan dan konseling di beberapa sekolah di DIY dalam menerapkan layanan bimbingan dan konseling 3. Mengembangkan modul layanan bimbingan dan konseling berbasis advokasi perkembangan 4. Mengujicoba modul layanan bimbingan dan konseling berbasis advokasi perkembangan melalui serangkaian kegiatan pelatihan secara terbatas B. CARA PENELITIAN Basis kerja studi ini lebih ditekankan pada pendekatan penelitian dan pengembangan (research and development) dalam disain dan operasionalisasinya. Penelitian ini didisain sebagai penelitian multiyears dalam tiga tahap yang dilakukan selama dua tahun penuh. Tahap pertama (tahun pertama) studi ini dilakukan pada 5 sekolah dan 5 organisasi musyawarah guru pembimbing (MGP) yang tersebar di lima kabupaten di Provinsi DIY. Untuk kepentingan eksplorasi perkembangan siswa dan profil kinerja guru BK, data dan informasi akan dikumpulkan dengan menggunakan teknik kuesioner, wawancara, dan kelompok fokus (focus group). Analisis kuantitatif dan kualitatif digunakan untuk menggambarkan dan merumuskan profil perkembangan siswa dan kinerja guru BK. Pada akhirnya, profil dan peta ini dijadikan dasar pijakan pengembangan modul bimbingan dan konseling berbasis advokasi perkembangan. Tahap kedua (tahun kedua) studi akan difokuskan pada strategi pengembangan modul bimbingan dan konseling berbasis advokasi perkembangan. Pada tahap ini, peneliti, konselor sekolah, dan personil pendukung lainnya satu irama dalam merencanakan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi setiap siklus. Kegiatan utama dalam tahap ini adalah perumusan modul yang lebih komprehensif. C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4
Hasil Penelusuran Inventori Tugas Perkembangan Identifikasi level tugas perkembangan siswa SMA dan sederajat yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan Inventori Tugas Perkembangan (ITP) yang terprogram secara computerized yang telah dikembangkan oleh Sunaryo Kartadinata dan kawan-kawan di UPI, Bandung. Dengan alat tersebut, tim peneliti dapat memahami dengan tepat tingkat perkembangan individu maupun kelompok, mengidentifikasi masalah yang menghambat perkembangan dan membantu peserta didik yang bermasalah dalam menyelesaikan tugas perkembangannya. ITP ini mengukur tingkat perkembangan siswa dalam 11 aspek, yaitu 1) landasan hidup religious, 2) landasan perilaku etis, 3) kematangan emosional, 4) kematangan intelektual, 5) kesadaran tanggung jawab, 6) peran sosial sebagai pria atau wanita, 7) penerimaan diri dan pengembangannya, 8) kemandirian perilaku ekonomi, 9) wawasan dan persiapan karir, 10) kematangan hubungan dengan teman sebaya, dan 11) persiapan diri untuk pernikahan dan hidup berkeluarga. Harapan ideal yang diperoleh dari ITP ini, siswa jenjang SLTA sederajat secara ideal hendaknya dapat mencapai level individualitas. Level individualitas dimaksud berarti dalam diri siswa telah terjadi peningkatan kesadaran individualitas, sadar terhadap konflik emosional antara kemandirian dengan kebergantungan, lebih toleran terhadap diri sendiri dan orang lain, mengenal eksistensi perbedaan individual, mampu membedakan kehidupan internal dan keadaan dari luar dirinya, mengenal kompleksitas diri, dan peduli terhadap perkembangan dan masalah sosial (Syamsu Yusuf & Ahmad Juntika Nurihsan, tanpa tahun). Adapun jumlah subjek penelitian yang terlibat dalam penelitian di tahun pertama ini adalah sebanyak 325 siswa SLTA sederajat yang mencakup 5 kabupaten/kota yang ada di DIY. Subjek terlibat berasal dari SMKN 3 Yogyakarta sebanyak 83 siswa, MAN Wonokromo Bantul sejumlah 67 siswa, SMAN 1 Ngemplak Sleman sebanyak 61 siswa, SMAN 1 Wates sebanyak 64 siswa, dan SMAN2 WOnosari, Gunungkidul sebanyak 50 siswa. Tabel 1. Profil Tugas Perkembangan Siswa SMKN 3 Yogyakarta (Subjek Kelas XI IT, Permesinan 1 dan 2) NO Aspek Perkembangan Tingkat Perkembangan 1 Landasan hidup religious 4,64 2 Landasan perilaku etis 4,58 3 Kematangan emosional 4,64 4 Kematangan intelektual 4,74 5 Kesadaran tanggung jawab 4,81 6 Peran sosial sebagai priat atau wanita 4,79 7 Penerimaan diri dan pengembangannya 4,71 8 Kemandirian perilaku ekonomis 4,74 9 Wawasan dan persiapan karir 4,73 10 Kematangan hubungan dengan teman sebaya 4,87 11 Persiapan diri untuk pernikahan dan hidup 4,67 berkeluarga Berdasarkan tabel 1 tersebut, rata-rata skor tingkat perkembangan siswa mencapai 4,72 dengan konsistensi jawaban rata-rata 7,54. Makna dari hasil pencapaian ini berarti rata-rata subjek di SMKN 3 Yogyakarta belum mencapai tingkat perkembangan yang diharapkan, yakni skor 6 5
yang berarti tahap INDIVIDUALITAS. JIka dilihat kecenderungan rata-rata skor 4,72 artinya subjek masih sebatas pada tahap SADAR DIRI, yaitu terbatas memahami dan mengenal diri serta belum mencapai taraf aktualisasi diri yang diharapkan sepenuhnya sesuai dengan tugas perkembangan siswa SLTA yang ideal. Tabel 2. Profil Tugas Perkembangan Siswa MAN Wonokromo Bantul (Subjek Kelas XI Agama, Bahasa, dan IPS) NO Aspek Perkembangan Tingkat Perkembangan 1 Landasan hidup religious 4,64 2 Landasan perilaku etis 4,57 3 Kematangan emosional 4,57 4 Kematangan intelektual 4,66 5 Kesadaran tanggung jawab 4,67 6 Peran sosial sebagai priat atau wanita 4,64 7 Penerimaan diri dan pengembangannya 4,75 8 Kemandirian perilaku ekonomis 4,74 9 Wawasan dan persiapan karir 4,44 10 Kematangan hubungan dengan teman sebaya 4,83 11 Persiapan diri untuk pernikahan dan hidup 4,63 berkeluarga Berdasarkan tabel 2 tersebut, rata-rata skor tingkat perkembangan siswa mencapai 4,65 dengan konsistensi jawaban rata-rata 6,40. Makna dari hasil pencapaian ini berarti rata-rata subjek di MAN Wonokromo belum mencapai tingkat perkembangan yang diharapkan, yakni skor 6 yang berarti tahap INDIVIDUALITAS. JIka dilihat kecenderungan rata-rata skor 4,65 artinya subjek masih sebatas pada tahap SADAR DIRI, yaitu terbatas memahami dan mengenal diri serta belum mencapai taraf aktualisasi diri yang diharapkan sepenuhnya sesuai dengan tugas perkembangan siswa SLTA yang ideal. Tabel 3. Profil Tugas Perkembangan Siswa SMAN 1 Ngemplak (Subjek Kelas XI IPA dan IPS) NO Aspek Perkembangan Tingkat Perkembangan 1 Landasan hidup religious 4,67 2 Landasan perilaku etis 4,70 3 Kematangan emosional 4,49 4 Kematangan intelektual 4,58 5 Kesadaran tanggung jawab 4,73 6 Peran sosial sebagai priat atau wanita 4,71 7 Penerimaan diri dan pengembangannya 4,80 8 Kemandirian perilaku ekonomis 4,71 9 Wawasan dan persiapan karir 4,63 10 Kematangan hubungan dengan teman sebaya 5,04 11 Persiapan diri untuk pernikahan dan hidup 4,71 berkeluarga 6
Berdasarkan tabel 3 tersebut, rata-rata skor tingkat perkembangan siswa mencapai 4,71 dengan konsistensi jawaban rata-rata 6,13. Makna dari hasil pencapaian ini berarti rata-rata subjek di SMAN 1 Ngemplak belum mencapai tingkat perkembangan yang diharapkan, yakni skor 6 yang berarti tahap INDIVIDUALITAS. JIka dilihat kecenderungan rata-rata skor 4,71 artinya subjek masih sebatas pada tahap SADAR DIRI, yaitu terbatas memahami dan mengenal diri serta belum mencapai taraf aktualisasi diri yang diharapkan sepenuhnya sesuai dengan tugas perkembangan siswa SLTA yang ideal. Namun demikian, pada aspek kematangan hubungan teman sebaya, skor pencapaian subjek mencapai 5,04 yang berarti sampai pada tahap SEKSAMA. Tabel 4. Profil Tugas Perkembangan Siswa SMAN 1 Wates (Subjek Kelas XI IPA 3, 4, dan 5) NO Aspek Perkembangan Tingkat Perkembangan 1 Landasan hidup religious 4,74 2 Landasan perilaku etis 4,79 3 Kematangan emosional 4,64 4 Kematangan intelektual 4,73 5 Kesadaran tanggung jawab 4,66 6 Peran sosial sebagai priat atau wanita 4,81 7 Penerimaan diri dan pengembangannya 4,83 8 Kemandirian perilaku ekonomis 4,82 9 Wawasan dan persiapan karir 4,69 10 Kematangan hubungan dengan teman sebaya 4,94 11 Persiapan diri untuk pernikahan dan hidup 4,72 berkeluarga Berdasarkan tabel 4 tersebut, rata-rata skor tingkat perkembangan siswa mencapai 4,76 dengan konsistensi jawaban rata-rata 8,38. Makna dari hasil pencapaian ini berarti rata-rata subjek di SMAN 1 Wates belum mencapai tingkat perkembangan yang diharapkan, yakni skor 6 yang berarti tahap INDIVIDUALITAS. JIka dilihat kecenderungan rata-rata skor 4,65 artinya subjek masih sebatas pada tahap SADAR DIRI, yaitu terbatas memahami dan mengenal diri serta belum mencapai taraf aktualisasi diri yang diharapkan sepenuhnya sesuai dengan tugas perkembangan siswa SLTA yang ideal. Hasil Penelusuran Wawancara Kegiatan wawancara yang dilakukan terhadap 5 orang guru BK dari SMAN 1 Wates dan SMAN 1 Ngemplak Sleman dilaksanakan dalam bentuk wawancara terarah dengan bantuan pedoman wawancara yang dikembangkan dari kisi-kisi evaluasi kinerja konselor dalam implementasi layanan BK di sekolah sebagaimana dikembangkan oleh Gysbers dan Henderson (2006; 341). Kisi-kisi pedoman wawancara dimaksud mencakup kemampuan implementasi analisis kebutuhan layanan bimbingan dan konseling, kemampuan implementasi bimbingan kelas/pelayanan dasar, kemampuan implementasi layanan responsif, kemampuan implementasi layanan perencanaan individual, dan keterlibatan dalam dukungan sistem layanan bimbingan dan konseling.
7
Adapun hasil pengumpulan data wawancara terhadap 5 orang guru Bimbingan dan Konseling tersebut sebagaimana dapat dilihat pada gambar matrik berikut ini; NO
KOMPONEN
1
Pemanfaatan analisis kebutuhan terhadap layanan bimbingan dan konseling
2
Kemampuan implementasi pelayanan dasar/bimbingan kelas
SUBJEK WAWANCARA Konselor 1
Konselor 2
Konselor 3
Konselor 4
Konselor 5
Perencanaan program bimbingan dan konseling belum memanfaatkan analisis kebutuhan, bahkan ada kecenderungan hanya menduplikasi perencanaan yang telah dilakukan oleh guru yang lain
Rancangan program yang dikembangkan merupakan hasil refleksi dari beberapa instrument yang telah dikumpulkan dari siswa. Instrumen dimaksud seperti Alat Ungkap Masalah (AUM) dan Daftar Cek Masalah (DCM) yang telah dilengkapi dengan aplikasi khusus
Merasa bahwa perencanaan program yang dilakukan kurang memuaskan, karena tidak didasarkan atas kebutuhan kongkrit dan dinamika permasalahan yang sedang dihadapi oleh siswa-siswa yang ada di sekolah
Model perencanaan tidak menggunaka n need assessment, hanya sekedar mencontoh bahan-bahan yang telah disusun oleh guru bimbingan dan konseling yang lainnya
Tidak melakukan asessmen kebutuhan sebelum membuat perencanaan program
Kegiatan pelayana n dasar hanya terbatas pada bimbinga n kelompo k, karena layanan klasikal tidak ada porsi jam pelajaran yang diberikan oleh sekolah Kegiatan bimbinga n kelas dalam size kelompo k kecil belum memuas kan dari segi penyusu nan desain pembelaj aran yang efektif
Tidak ada alokasi jam pelajaran untuk layanan bimbingan klasikal
Tersedia layanan bimbingan klasikal di sekolah, namun topic yang ada tampak belum memuaskan karena tidak sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik siswa pada umumnya, serta desain pembelajaran juga masih dianggap belum begitu efektif
Tidak ada alokasi jam pelajaran untuk layanan bimbingan klasikal
Tidak ada alokasi jam pelajaran untuk layanan bimbingan klasikal
Merasa bahwa kegiatan layanan konseling
Layanan belum terasa memuaskan
Lebih banyak disibukkan dengan kegiatan
Kelemahan kegiatan konseling
Merasa bahwa kegiatan
a.
b.
3
Kemampuan implementasi layanan responsive
8
individual, konseling kelompok belum berjalan dengan baik, karena minim keterampilan dan kegiatan BK lebih banyak disibukkan dengan hal-hal administrative
karena analisis yang muncul dalam pemecahan masalah konseling hanya berputar-putar pada aspek individu/konseli semata-mata
administrasi sekolah hingga layanan konseling belum tersosialisasikan dengan baik
yang dilakukan terletak pada pelibatan dukungan lingkungan sosial, seperti keluarga, teman sebaya atau pihak terlibat lainnya
layanan konseling individual, konseling kelompok belum berjalan dengan baik, karena minim keterampilan dan kegiatan BK lebih banyak disibukkan dengan halhal administratif Belum punya arah pemahaman yang jelas tentang layanan perencanaan individual, terutama bagaimana menelusuri orientasi bakat dan minat siswa
4
Kemampuan implementasi layanan perencanaan individual
Kegiatan ini belum memuaskan karena seringkali bingung untuk membantu karena tidak ada himpunan data yang memadai tentang gambaran siswa seutuhnya
Layanan perencanaan individual hanya terbatas implementasi penjurusan dan peminatan siswa ke kelas yang sesuai dengan kemampuan akdemiknya. Indikator yang digunakan pun terbatas hanya pada rangking kelas
Belum paham apa dan bagaimana yang dimaksud dan implementasi dari perencanaan individual
Merasa belum cukup puas dengan model penjurusan yang telah diterapkan selama ini
5
Kemampuan implementasi dukungan sistem terhadap layanan BK
Merasa bahwa sekolah belum memiliki kegiatan khusus untuk parenting dan pelibatan masyarakat sekitar
Kegiatan dukungan sistem hanya sebatas penyelenggaraa n home visit
Di sekolah kegiatan kolaboratif sama sekali tidak terjadi karena persepsi yang negative terhada layanan bimbingan dan konseling
Merasa kurang memuaskan karena belum bisa melibatkan partisipasi aktif orang tua dalam pengembang an perilaku efektif siswa
Hasil Penelusuran Focus Group Jumlah peserta yang hadir dalam kegiatan focus group sebanyak 10 orang dari 15 orang yang diundang. Dilihat dari jumlah peserta, kegiatan focus group dapat dikatakan telah memenuhi persyaratan minimal keterlibatan peserta yang berkisar antara 8-12 orang peserta (Kress & Shoffner, 2007). Peserta yang hadir, yakni 3 orang perwakilan Kabupaten Sleman, 2 orang perwakilan Kota Yogyakarta, 3 orang perwakilan Kabupaten Kulonprogo, dan 2 orang perwakilan Kabupaten Bantul. Peserta yang hadir merepresentasikan pengurus organisasi profesi Bimbingan dan Konseling sekaligus praktisi langsung sebagai guru Bimbingan dan Konseling disekolahnya masing-masing. Ditinjau dari segi usia peserta, rata-rata termasuk dalam kategori usia produktif, yakni antara 40-45 tahun dengan kualifikasi akademik S1 Bimbingan dan Konseling. Ditinjau dari karakteristik seluruh peserta yang tidak hanya sebagai guru, tetapi juga pengurus organisasi profesi di tingkat kabupaten/kota; mereka diarahkan untuk tidak berpikir reflektif tentang pola pemahaman dan tindakan pribadi semata, melainkan juga mampu mendeskripsikan 9
bagaimana pemahaman guru BK (dalam lingkungan kerja yang sama) pada umumnya tentang faktor lingkungan sosial. Adapun hasil yang teridentifikasi dari kegiatan kelompok terfokus ini, yaitu; 1. Identifikasi Pemahaman Guru BK tentang Faktor Lingkungan Sosial dalam Permasalahan Siswa; Salah satu aspek penting yang perlu dieksplorasi dalam kegiatan focus group ini adalah sejauh mana pemahaman guru BK tentang kontribusi lingkungan sosial terhadap permasalahan yang dialami oleh siswa. Pemahaman seluruh peserta tentang bentuk-bentuk lingkungan sosial yang terkait dengan masalah siswa dapat dikatakan memadai. Hal ini tercermin dari pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh peserta bahwa; i) Lingkungan sosial seperti masyarakat/lingkungan tempat tinggal siswa di rumah dapat menjadi faktor pendorong timbulnya permasalahan. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh salah seorang peserta; a. Faktor lingkungan teman sebaya sebagai bagian dari faktor sosial juga turut andil dalam pembentukan sikap dan perilaku siswa di sekolah. Salah satu partisipan dalam focus group mengungkapkan bahwa kenyataan yang terjadi di beberapa sekolah, seperti di SMAN 6 Yogyakarta bahwa fenomena kekerasan pelajar bersumber dari pewarisan nilai dan kultur genk dari satu generasi ke generasi berikutnya, termasuk pula praktik perploncoan pada saat masa orientasi siswa baru dapat menjadi pemicu kuatnya tekanan tekanan sebaya dalam mendikter perilaku dan sikap siswa di sekolah b. Istilah anak nakal terbentuk dari tanggapan miring keluarga, sekolah, dan masyarakat terhadap sikap dan perilaku anak sehari-hari. Kenyataan ini diungkapkan oleh salah seorang peserta yang mencontohkan problem yang dialami oleh pelaku bullying; c. Media dan teknologi juga menjadi lingkungan baru bagi siswa yang cenderung berdampak pada timbulnya permasalahan siswa. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh salah seorang peserta; d. Walaupun demikian, tidak seluruh guru BK memahami dengan benar bahwa permasalahan yang dihadapi oleh anak tidak hanya bersumber dari dalam diri si anak tersebut, tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan sosial. Salah seorang partisipan focus group mengungkapkan bahwa terdapat juga beberapa guru BK di beberapa sekolah di DIY yang selalu melihat permasalahan dari sudut pandang anak sendiri. 2.
IDENTIFIKASI POLA IMPLEMENTASI FAKTOR LINGKUNGAN SOSIAL YANG DILAKUKAN OLEH GURU BK; a. Salah satu praktik terbaik bagaimana faktor lingkungan sosial dikelola secara efektif dapat ditemukan pada pengalaman yang dialami beberapa sekolah di Yogyakarta. Dua diantaranya yakni seperti di SMAN 6 Yogyakarta dan MA Muallimat Muhammadiyah Yogyakarta. Kedua sekolah tersebut memiliki karakteristik yang berbeda dalam beberapa hal. Pertama, SMAN 6 pada mulanya dikenal sebagai sekolah dengan siswa-siswa yang acapkali terlibat dalam perkelahian pelajar dan beberapa tahun ini justru tampil sebagai sekolah dengan sarat prestasi akademik maupun nonakademik. Sementara itu, MA Muallimat Muhammadiyah sangat terkenal sebagai sekolah kader dengan ketajaman visi
10
sebagai sekolah berbasis nilai-nilai agama minim dari maraknya kekerasan yang terjadi antarpelajar. b. Partisipan tersebut mengakui bahwa seluruh guru yang ada di jenjang SMA di Yogyakarta tahu persis bagaimana kebijakan tersebut berpengaruh efektif untuk meredam maraknya tawuran pelajar pada saat itu. Kondisi tersebut menunjukkan kemampuan guru-guru yang ada di sekolah untuk mengelola dengan baik bagaimana faktor teman sebaya harus diintervensi sedemikian rupa agar tidak menjadi sumber pemicu berkembangnya pola interaksi sosial yang mengarah pada konformitas kelompok yang cenderung negatif sebagaimana dijelaskan pada point sebelumnya tentang pewarisan kultur genk dari satu generasi ke generasi lainnya. c. Di sisi lain terungkap pula kenyataan bahwa seringkali kebanyakan guru BK di banyak sekolah menganggap bahwa dengan predikat sebagai anak “bermasalah” Sebagian besar partisipan dalam focus group mengatakan bahwa kecenderungan di sekolah-sekolah yang ada tetap saja layanan Bimbingan dan Konseling masih senantiasa berpusat pada pendekatan-pendekatan penanganan problematika pelanggaran tata tertib sekolah dan pendisiplinan perilaku. Kegiatan yang terfokus pada pengembangan perilaku efektif dan berbasis pada pemenuhan tugas perkembangan dengan penyediaan dukungan advokasi lingkungan sosial menjadi tantangan yang sangat berat. Salah satu faktor penyebabnya adalah minimnya keterampilan dan pemahaman tentang bagaimana seharusnya layanan bimbingan dan konseling dikembangkan. Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh dari berbagai metode yang digunakan, terdapat point penting yang dapat dijadikan dasar untuk justifikasi pengembangan model yang akan dilakukan, yaitu; 1. Gambaran profil perkembangan siswa di beberapa lokasi yang dijadikan sebagai unit analisis penelitian menunjukkan bahwa tingkat perkembangan siswa belum mencapai tingkat ideal yang diharapkan. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa tahap perkembangan siswa SLTA hendaknya telah mencapai tahap individualitas. Level individualitas dimaksud berarti dalam diri siswa telah terjadi peningkatan kesadaran individualitas, sadar terhadap konflik emosional antara kemandirian dengan kebergantungan, lebih toleran terhadap diri sendiri dan orang lain, mengenal eksistensi perbedaan individual, mampu membedakan kehidupan internal dan keadaan dari luar dirinya, mengenal kompleksitas diri, dan peduli terhadap perkembangan dan masalah sosial (Syamsu Yusuf & Ahmad Juntika Nurihsan, tanpa tahun). 2. Gambaran perkembangan yang terdapat pada siswa SLTA tersebut semakin memperkuat thesis yang diungkapkan oleh Myrick (Muro & Kottman, 1995) bahwa pendekatan perkembangan harus menjadi prioritas utama dalam implementasi layanan bimbingan dan konseling dibandingkan dengan pendekatan krisis dan remedial. Belum tercapainya level individualitas dalam perkembangan psikologis siswa salah satunya bisa disebabkan oleh aksentuasi program BK di sekolah yang sangat menekankan pada pendekatan krisis dan klinikal, yakni hanya menanti datangnya permasalahan tanpa ada usaha proaktif untuk mengupayakan pencegahan dan optimalisasi tugas perkembangan. 3. Oleh karena itu, disain program yang sangat mementingkan perkembangan optimal siswa sangatlah dibutuhkan. Cakupan perkembangan dimaksud hendaknya mencakup 11 aspek 11
perkembangan (sebagaimana tercantum dalam ITP) dan cakupan ini sejalan dengan domain perkembangan yang meliputi perencanaan dan ekpslorasi karir, pengetahuan diri dan sosial, dan perkembangan pendidikan (Sciarra, 2004). 4. Temuan yang diperoleh dari wawancara dan fokus group menunjukkan persoalan besar terkait ketidakjelasan kinerja guru Bimbingan dan Konseling dan rendahnya kualitas program bimbingan dan konseling di sekolah. Problematika yang mengemuka beberapa diantaranya, yaitu tidak adanya asesmen kebutuhan dan permasalahan sebagai dasar perencanaan program bimbingan dan konseling, berbagai komponen layanan BK yang ada tidak terimplementasikan secara berimbang dan maksimal. Kondisi ini sejalan dengan temuan Sunaryo Kartadinata dan kawan-kawan (1996) bahwa layanan bimbingan dan konseling hanya sebatas kebutuhan formal daripada sebagai kebutuhan actual. Tidak jarang layanan bimbingan dan konseling hanya merupakan pekerjaan administratif yang sangat menekankan bukti fisik daripada suatu pekerjaan profesional yang menekankan proses pengembangan perilaku dengan menggunakan intervensi psikologis yang efektif. Layanan bimbingan dan konseling di sekolah masih lebih banyak menuntut pekerjaan administratif dan klerikal alih-alih sebagai layanan profesional untuk meningkatkan kesejahteraan dan kinerja siswa yang lebih baik. 5. Temuan lainnya dari penelitian ini juga menunjukkan rendahnya dukungan lingkungan sosial yang dibutuhkan oleh siswa dalam mengatasi permasalahan hidup sehari-hari. Realitas ini berbeda dengan penjelasan yang disampaikan oleh Galassi & Akos (2004; Myer, Shoffner & Brigss, 2002; Toporek, 2006; Milsom & Bryant, 2006) bahwa model konseling yang berorientasi perkembangan juga sangat memperhatikan lingkungan perkembangan siswa yang mempengaruhi perubahan-perubahan diri siswa itu sendiri. program bimbingan dan konseling juga diarahkan untuk pengembangan aset-aset eksternal yang terdiri dari; dukungan sosial, pemberdayaan, tapal batas harapan diri dan lingkungan, dukungan kesempatan. Hubungan asosiatif dan keterkaitan antara dua aspek inilah yang menjadi fokus utama pendekatan advokasi perkembangan dalam konseling. D. KESIMPULAN AKHIR Berdasarkan hasil penelitian pemetaan kebutuhan yang telah dilakukan, maka pokokpokok kesimpulan yang dapat ditarik sebagai berikut; a) Profil perkembangan siswa SLTA di beberapa lokasi penelitian menunjukkan level perkembangan yang belum memenuhi kriteria ideal di tahap individualitas. Perkembangan siswa SLTA yang menjadi subjek penelitian masih sebatas pada tahap Sadar Diri (level yang hanya sesuai untuk siswa SLTP); dan b). Kinerja guru BK dan kualitas program bimbingan dan konseling dapat dikatakan masih relatif rendah dengan beberapa indikasi, yakni perencanaan yang belum komprehensif dan tidak berbasis pada asesmen kebutuhan dan permasalahan, disain yang kurang logic dan terstruktur, serta minim pelibatan dukungan lingkungan perkembangan yang ada di sekitar siswa, seperti keluarga dan masyarakat
12
DAFTAR PUSTAKA Breu, K. & Peppard, J. (2003). Useful Knowledge for Information Systems Practice the Contribution of the Participatory Paradigm, Journal of Information Technology, 18, p. 177-193 Blocher, D. H. (1974). Developmental Counseling. New York: John Wiley & Sons Galassi, J. P. & Akos, P. (2004). Developmental Advocacy: Twenty-First Century School Counseling, Journal of Counseling and Development, Vol. 82, 2004, p. 146-157 Hurlock, Elizabeth B. (1999). Psikologi Perkembangan; Suatu Pendekatan Sepanjang Kehidupan. Jakarta: PT. Gramedia Utama. Kartadinata, S. (1999). Quality Improvement and Management System Development of School Guidance and Counseling Services, the Journal of Education, Vol. 6, December, 1999 Kartadinata, S. (2003). Bimbingan dan Konseling Perkembangan; Pendekatan Alternatif Bagi Perbaikan Mutu dan Sistem Manajemen Layanan Bimbingan dan Konseling Sekolah. Jurnal Bimbingan dan Konseling, Vol. VI/11 Mei 2003 Kiselica, M. S. & Robinson, M. (2001). Bringing Advocacy Counseling to Life; The History, Issues, and Human Dramas of Social Justice Work in Counseling. Journal of Counseling and Development, Vol. 79, Fall 2001, p. 387-397 Miles, M. B., & Huberman, A. (1992). Qualitative Data Analysis, A Sourcebook of New Methods, California: Sage Publication Milsom, A. & Bryant, J. (2006). School Counseling Departmental Web Sites; What Message Do We Send?, Professional School Counseling, 10/2, p. 210-216 Myer, J. F., Shoffner, M. F., & Briggs, M. K. (2002). Developmental Counseling and Therapy; An effective approach to Understanding and Counseling Children. Professional School Counseling, 5/3, p. 194-213. Orford, J. (1992). Community Psychology; Theory and Practice. Chicester: John Wiley and Sons. Rahman, F. (2005). VOLUNTARISME SOSIAL; Agenda Kerja Konseling Advokatif dalam Mengatasi Problem Ketidakseimbangan Sosial. Disampaikan pada Konvensi Nasional ABKIN ke-V di Semarang, Jawa Tengah Toporek, R. L. (2006). Progress Toward Creating a Common Language and Framework for Understanding Advocacy in Counseling, Counseling and Human Development Journal, 38/9. p. 1-6 Welch, K. (2004). Development Journey Through Childhood and Adolescence. Boston: Pearson Education
13