Aristoteles (dalam Adler, 2003) menyatakan bahwa happiness atau kebahagiaan berasal dari kata “happy” atau bahagia yang berarti feeling good, having fun, having a good time, atau sesuatu yang membuat pengalaman yang menyenangkan. Sedangkan orang yang bahagia menurut Aristoteles (dalam Rusydi, 2007) adalah orang yang mempunyai good birth, good health, good look, good luck, good reputation, good friends, good money and goodness. Seligman (2005) menjelaskan kebahagiaan merupakan konsep yang mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas positif yang disukai oleh individu tersebut. Seligman kemudian membagi emosi positif tersebut menjadi tiga macam yaitu emosi yang diarahkan atau datang dari masa lalu, masa sekarang dan masa depan. Puas, bangga, dan tenang adalah emosi yang berorientasi pada masa lalu. Optimisme, harapan, kepercayaan, keyakinan dan kepercayaan diri adalah emosi yang berorientasi pada masa depan. Semangat, riang, gembira, ceria serta merujuk pada aktivitas yang disukai merupakan emosi positif yang berasal dari masa sekarang. . Sedangkan kebahagiaan menurut Biswas, Diener & Dean (2007) merupakan kualitas dari keseluruhan hidup manusia – apa yang membuat kehidupan menjadi baik secara keseluruhan seperti kesehatan yang lebih baik, kreativitas yang tinggi ataupun pendapatan yang lebih tinggi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan adalah suatu keadaan individu yang berada dalam aspek positif baik itu emosi positif maupun aktivitas yang disukai dan kualitas dari keseluruhan apa yang membuat kehidupan menjadi lebih baik.
Universitas Sumatera Utara
2. Aspek-aspek Kebahagiaan Menurut Seligman (2005) lima aspek utama yang dapat menjadi sumber kebahagiaan sejati, yaitu : 1. Terjalinnya hubungan positif dengan orang lain Hubungan positif atau positive relationship bukan sekedar memiliki teman, pasangan, ataupun anak, tetapi dengan menjalin hubungan yang positif dengan individu yang ada disekitar. Status perkawinan dan kepemilikan anak tidak dapat menjamin kebahagiaan seseorang. 2. Keterlibatan Penuh Keterlibatan penuh bukan hanya pada karir, tetapi juga dalam aktivitas lain seperti hobi dan aktivitas bersama keluarga. Dengan melibatkan diri secara penuh, bukan hanya fisik yang beraktivitas, tetapi hati dan pikiran juga turut serta dalam aktivitas tersebut. 3. Penemuan makna dalam keseharian Dalam keterlibatan penuh dan hubungan positif dengan orang lain tersirat satu cara lain untuk dapat bahagia, yakni menemukan makna dalam apapun yang dilakukan.
4. Optimisme yang realistis Orang yang optimis ditemukan lebih berbahagia. Mereka tidak mudah cemas karena menjalani hidup dengan penuh harapan. 5. Resiliensi
Universitas Sumatera Utara
Orang yang berbahagia bukan berarti tidak pernah mengalami penderitaan. Karena kebahagiaan tidak bergantung pada seberapa banyak peristiwa menyenangkan yang dialami. Melainkan sejauh mana seseorang memiliki resiliensi, yakni kemampuan untuk bangkit dari peristiwa yang tidak menyenangkan sekalipun.
3. Karakteristik Orang yang Bahagia Setiap orang bisa sampai kepada kebahagiaan akan tetapi tidak semua orang bisa memiliki kebahagiaan. Menurut David G, Myers (2005), ada empat karakteristik yang selalu ada pada orang yang memiliki kebahagiaan dalam hidupnya, yaitu : a. Menghargai diri sendiri Orang yang bahagia cenderung menyukai dirinya sendiri. Mereka cenderung setuju dengan pernyataan seperti “Saya adalah orang yang menyenangkan”. Jadi, pada umumnya orang yang bahagia adalah orang yang memiliki kepercayaan diri yang cukup tinggi untuk menyetujui pernyataan seperti diatas.
b. Optimis Ada dua dimensi untuk menilai apakah seseorang termasuk optimis atau pesimis, yaitu permanen (menentukan berapa lama seseorang menyerah) dan pervasif (menentukan apakah ketidakberdayaan melebar ke banyak situasi). Orang
Universitas Sumatera Utara
yang optimis percaya bahwa peristiwa baik memiliki penyebab permanen dan peristiwa buruk bersifat sementara sehingga mereka berusaha untuk lebih keras pada setiap kesempatan agar ia dapat mengalami peristiwa baik lagi (Seligman, 2005). Sedangkan orang yang pesimis menyerah di segala aspek ketika mengalami peristiwa buruk di area tertentu. c. Terbuka Orang yang bahagia biasanya lebih terbuka terhadap orang lain serta membantu oranglain yang membutuhkan bantuannya. Penelitian menunjukkan bahwa orang – orang yang tergolong sebagai orang extrovert dan mudah bersosialisasi dengan orang lain ternyata memiliki kebahagiaan yang lebih besar. d. Mampu mengendalikan diri Orang yang bahagia pada umumnya merasa memiliki kontrol pada hidupnya. Mereka merasa memiliki kekuatan atau kelebihan sehingga biasanya mereka berhasil lebih baik di sekolah atau pekerjaan. Sehingga kunci utama kebahagiaan adalah merasa bahagia yang ditandai dengan keempat karakteristik diatas.
4. Faktor –faktor yang Mempengaruhi Kebahagiaan Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kebahagiaan seseorang: a.
Budaya
Universitas Sumatera Utara
Triandis (dalam Carr, 2004) mengatakan faktor budaya dan sosial politik yang spesifik berperan dalam tingkat kebahagiaan seseorang. Hasil penelitian lintas budaya menjelaskan bahwa hidup dalam suasana demokrasi yang sehat dan stabil lebih daripada suasana pemerintahan yang penuh dengan konflik militer (Carr, 2004). Carr juga mengatakan bahwa individu yang hidup dalam budaya dengan kesamaan sosial memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi, kebahagiaan juga lebih tinggi pada kebudayaan individualitas dibandingkan dengan kebudayaan kolektivistis, dan pada individu yang hidup di negara yang sejahtera di mana institusi umum berjalan dengan efisien dan terdapat hubungan yang memuaskan antara warga dengan anggota birokrasi pemerintahan. b. Kehidupan Sosial Menurut Seligman (2005), orang yang sangat bahagia menjalani kehidupan sosial yang kaya dan memuaskan, paling sedikit menghabiskan waktu sendirian dan mayoritas dari mereka bersosialisasi. c. Agama atau Religiusitas Orang yang religius lebih bahagia dan lebih puas terhadap kehidupan daripada orang yang tidak religius (Seligman, 2005). Selain itu keterlibatan seseorang dalam kegiatan keagamaan atau komunitas agama dapat memberikan dukungan sosial bagi orang tersebut (Carr, 2004). Carr juga menambahkan bahwa keterlibatan dalam suatu agama juga diasosiasikan dengan kesehatan fisik dan psikologis yang lebih baik, yang dapat dilihat dari kesetiaan dalam
Universitas Sumatera Utara
perkawinan, perilaku social yang sehat, tidak berlebihan dalam makanan dan minuman, dan kemampuan untuk bekerja keras. d. Pernikahan Seligman (2005) mengatakan bahwa pernikahan sangat erat hubungannya dengan kebahagiaan. Menurut Carr (2004), ada dua penjelasan mengenai hubungan kebahagiaan dengan pernikahan, yaitu orang yang lebih bahagia lebih atraktif sebagai pasangan daripada orang yang tidak bahagia. Penjelasan kedua yaitu pernikahan memberikan banyak keuntungan yang dapat membahagiakan seseorang, diantaranya keintiman psikologis dan fisik, memiliki anak, membangun keluarga, menjalankan peran sebagai orang tua, menguatkan identitas dan menciptakan keturunan (Carr, 2004). Kebahagiaan orang yang menikah mempengaruhi panjang usia ini berlaku bagi pria dan wanita (Seligman, 2005). e. Usia Penelitian
yang
dilakukan
oleh
Wilson
(dalam
Seligman,
2005)
mengungkapkan kemudaan dianggap mencerminkan keadaan yang lebih bahagia. Namun setelah diteliti lebih dalam ternyata usia tidak berhubungan dengan kebahagiaan (Seligman, 2005). Sebuah penelitian otoratif atas 60.000 orang dewasa dari 40 bangsa membagi kebahgiaan dalam tiga komponen, yaitu kepuasan hidup, afek positif dan afek negatif (Seligman, 2005). Kepuasan hidup sedikit meningkat sejalan dengan betambahnya usia, afek positif sedikit melemah dan afek negatif tidak berubah (Seligman, 2005). Seligman (2005) menjelaskan hal yang berubah ketika seseorang menua
Universitas Sumatera Utara
adalah intensitas emosi dimana perasaan “mencapai puncak dunia” dan “terpuruk dalam keputusasaan” berkurang seiring dengan bertambhanya umur dan pengalaman. f.
Uang Banyak
penelitian
yang
dilakukan untuk
melihat
hubungan antara
kebahagiaan dan uang. Umumnya penelitian yang dilakukan dengan cara membandingkan kebahagiaan antara orang yang tinggal di negara kaya dengan orang yang tinggal di negara miskin. Perbandingan lintas-negara sulit untuk dijelaskan karena negara yang lebih kaya juga memiliki angka buta huruf yang lebih rendah, tingkat kesehatan yang lebih baik, pendidikan yang lebih tinggi, kebebasan yang lebih luas dan barang materil yang lebih banyak (Seligman, 2005). Seligman (2005) menjelaskan bahwa di negara yang sangat miskin, kaya berarti bisa lebih bahagia. Namun di negara yang lebih makmur dimana hampir semua orang memperoleh kebutuhan dasar, peningkatan kekayaan tidak begitu berdampak pada kebahagiaan. Seligman menyimpulkan bahwa
penilaian
seseorang
terhadap
uang
akan
mempengaruhi
kebahagiaannya lebih daripada uang itu sendiri. g. Kesehatan Kesehatan objektif yang baik tidak begitu berkaitan dengan kebahagiaan (Seligman, 2005). Menurut Seligman, yang penting adalah persepsi subjektif kita terhadap seberapa sehat diri kita. Berkat kemampuan beradapatasi terhadap penderitaan, seseorang bisa menilai kesehatannya secara positif bahkan ketika sedang sakit. Meskipun demikian, Seligman juga mengakui
Universitas Sumatera Utara
bahwa ketika penyakit yang menyebabkan kelumpuhan sangat parah dan kronis, kebahagiaan dan kepuasan hidup memang menurun. Orang yang memiliki lima atau lebih masalah kesehatan, kebahagiaan mereka berkurang sejalan dengan waktu. h. Jenis Kelamin Jenis kelamin memiliki hubungan yang tidak konsisten dengan kebahagiaan. Wanita memiliki kehidupan emosional yang lebih ekstrim daripada pria. Wanita lebih banyak mengalami emosi positif dengan intensitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Tingkat emosi rata-rat pria dan wanita tidak berbeda namun wanita lebih bahagia dan lebih sedih daripada pria (Seligman, 2005).
B. Autisme 1. Definisi Autisme Menurut Kanner (dalam Wenar, 2004), autisme adalah salah satu gangguan perkembangan pervasif yang dicirikan oleh tiga ciri utama, yaitu pengasingan yang ekstrim ( extreme isolation) dan ketidakmampuan berhubungan dengan orang lain. Kedua, kebutuhan patologis akan kesamaan. Kebutuhan ini berlaku untuk perilaku anak dan lingkungannya. Dan ketiga yaitu mutism atau cara berbicara yang tidak komunikatif termasuk ecolalia dan kalimat-kalimat yang tidak sesuai dengan situasi. Anak autis juga memiliki ketidakmampuan dalam menerjemahkan kalimat secara harafiah dan membalik kata gantinya sendiri, biasanya untuk memanggil dirinya sendiri dengan kata “kamu”.
Universitas Sumatera Utara
Menurut DSM IV-TR (APA, 2000), autisme adalah keabnormalan yang jelas dan gangguan perkembangan dalam interaksi sosial, komunikasi, dan keterbatasan yang jelas dalam aktivitas dan ketertarikan. Manifestasi dari gangguan ini berganti-ganti tergantung pada tingkat perkembangan dan usia kronologis individu. Safaria (2005) mengatakan autisme adalah ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan yang tertunda, ecolalia, mutism, pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain yang repetitif dan stereotipik, rute ingatan yang kuat, dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di dalam lingkungannya. .
Berdasarkan uraian diatas, dapat diketahui bahwa autisme adalah
gangguan perkembangan pada anak-anak yang ditandai dengan gangguan interaksi sosial seperti pengasingan diri dan ketidakmampuan berhubungan dengan orang lain, gangguan komunikasi dan bahasa seperti ecolalia, penggunaan kalimat-kalimat yang tidak sesuai dengan situasi, mutism, pembalikan kalimat atau kata, gangguan ketertarikan dan aktivitas seperti adanya aktivitas bermain yang repetitif dan stereotipe serta keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan dan kesamaan di dalam lingkungannya.
2. Gejala Autisme
Universitas Sumatera Utara
Menurut Acocella (1996) meskipun banyak tingkah laku yang tercakup dalam Isolasi Sosial Banyak anak autisme yang menarik diri dari segala kontak sosial ke dalam suatu keadaan yang disebut “extreme autistic aloneness”. Hal ini akan semakin terlihat pada anak yang lebih besar, dimana ia akan bertingkah laku seakan-akan orang lain tidak pernah ada. a. Kelemahan Kognitif Kurang lebih 70% anak autisme mengalami retardasi mental. Tetapi anak autisme sedikit lebih baik, contohnya dalam hal yang berkaitan dengan kemampuan
sensori
motor.
Terapi
yang
dijalankan
anak
autisme
meningkatkan hubungan sosial mereka tapi tidak menunjukkan pengaruh apapun pada retardasi mental yang dialami. Oleh sebab itu, retardasi mental pada anak autisme terutama sekali disebabkan oleh masalah kognitif dan bukan pengaruh penarikan diri dari lingkungan sosial. b. Kekurangan dalam hal bahasa Lebih dari setengah anak autisme sama sekali tidak berbicara, yang lainnya hanya mengoceh, merengek, menjerit atau menunjukkan echolalia, yaitu menirukan apa yang dikatakan orang lain. Beberapa anak autisme mengulang potongan lagu, iklan TV atau potongan kata yang terdengar olehnya tanpa tujuan. Menurut Wetherby & Wing (dalam Acocella, 1996) anak autisme hanya mampu berkomunikasi dengan cara terbatas. Beberapa menggunakan kata ganti dengan cara yang aneh, menyebut diri mereka sebagai orang kedua ”kamu” atau orang ketiga ”dia”. Intinya anak autisme tidak dapat
Universitas Sumatera Utara
berkomunikasi secara resiprok (dua arah), tidak dapat terlibat dalam pembicaraan normal. c. Tingkah laku streotipe Anak autisme sering melakuakan gerakan yang berulang-ulang secara terusmenerus tanpa tujuan yang jelas, seperti berputar-putar, berjingkat-jingkat dan lain-lain. Gerakan yang dilakukan berulang-ulang ini, disebabkan oleh adanya kerusakan fisiologis, karena adanya gangguan neurologis dalam diri individu tersebut. Anak autisme juga mempunyai kebiasaan menarik-narik rambut, menggigit jari, walaupun selalu menangis kesakitan akibat perbuatannya sendiri. Dorongan untuk melakukan tingkah laku yang aneh ini sangat kuat dalam diri mereka. Anak autisme juga tertarik pada hanya bagian tertentu dari sebuah objek, misalnya pada roda mainan mobil-mobilan. Anak autisme juga menyukai keadaan lingkungan dan kebiasaan yang monoton (tidak berubah), misalnya mainannya harus diletakkan pada satu tempat dan rak yang sama. Sarapannya juga harus diberikan secara berurutan, misalnya mulai dari makan telur lebih dahulu, dilanjutkan dengan vitamin dan terakhir minum. Jika anak autisme merasa ada urutan atau hal-hal yang berubah, maka anak tersebut akan marah.
3. Penyebab Autisme Sampai sekarang, autisme masih merupakan grey area dibidang kedokteran yang terus berkembang dan belum diketahui penyebabnya secara pasti (Marijani, 2003). Menurut Supratiknya (1995), autisme disebabkan faktor bawaan
Universitas Sumatera Utara
tertentu atau pengalaman yang kurang mendukung. Misalnya dibesarkan oleh ibu yang tidak responsif atau pernah mengalami trauma dengan lingkungan sosialnya. Autisme juga disebabkan oleh abnormalitas kromosom terutama fragile X. Ada pengaruh kondisi fisik pada saat hamil dan melahirkan yang mencakup rubella, sifilis, fenilketonuria, tuberus dan sklerosis. Faktor prenatal mencakup infeksi kongenital seperti Cytomegalovirus dan rubella. Faktor pasca natal yang berperan mencakup infantile spasm, epilepsi mioklonik, fenilketonuria, meningitis dan encefalis (Lumbantobing, 2001). Menurut Acocella (1996), ada tiga perspektif yang dapat digunakan untuk menjelaskan autisme, yaitu: 1. Perspektif Psikodinamika Bettelheim (1967) mengatakan bahwa penyebab dari autisme karena adanya penolakan yang dilakukan orang tua terhadap anaknya. Anak menolak orangtuanya dan mampu merasakan perasaan negatif mereka. Anak melihat bahwa tindakannya hanya berdampak kecil pada perilaku orangtua yang tidak responsif. Anak kemudian meyakini bahwa ia tidak memiliki dampak apapun di dunia, sehingga anak menciptakan ”benteng kekosongan” autisme untuk melindungi dirinya dari penderitaan dan kekecewaan.
2. Perspektif Biologis
Universitas Sumatera Utara
a. Pendekatan biologis Folstein & Butter (1977) mengadakan penelitian di Great Britain, diantara 11 pasang monozygotic (MZ) kembar dan 10 pasang dyzygotic (DZ) kembar, ditemukan 1 pasang yang merupakan gen autisme. Pada kelompok MZ, 4 dari 11 diantaranya adalah gen autis, sedangkan pada DZ tidak ada. Walaupun demikian, pada MZ kembar tidak didiagnosa sebagai autisme, hanya akan mengalami gangguan bahasa atau kognisi. b. Pendekatan kromosom Kromosom yang dapat menyebabkan autisme, yaitu sindrom fragile X dan kromosom XXY, namun kromosom XXT ini tidak menunjukkan hubungan yang sekuat sindrom fragile X. c. Pendekatan biokimia Anak-anak autisme memiliki kadar serotin dan dopamine yang sangat tinggi. Obat-obat yang dapat membantu menurunkan kadar dopamine, yaitu seperti phenothiazines yang dapat menurunkan gejala-gejala autisme. d. Gangguan bawaan dan komplikasi Ada 2 penyebab autisme, yaitu virus herps dan rubella. Autisme juga berhubungan dengan komplikasi pada saat melahirkan . komplikasi pada saat melahirkan berhubungan dengan faktor genetik, contohnya penelitian Mednick’s (dalam Acocella, 1996) dimana seorang wanita yang memiliki gen schizophrenia mengalami kesulitan yang lebih tinggi dibandingkan
Universitas Sumatera Utara
dengan wanita yang normal, dan juga berat bayi yang dilahirkan sangat rendah. e. Pendekatan neurological Penyebab autisme karena adanya kerusakan otak. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya gejala-gejala sebagai berikut : a. Karakteristik
anak
autisme
(seperti
gangguan
perkembangan bahasa, retardasi mental, tingkah laku motorik yang aneh, memiliki respon yang rendah atau bahkan Sangat tinggi terhadap stimulus sensori, menentang stimulus auditory dan visual) berhubungan dengan fungís sistem syaraf pusat. b. Sistem saraf menunjukkan abnormalitas, seperti gangguan otot, alat koordinasi, mengeluarkan air liur dan hiperaktif. c. Memiliki Electroencephalogram (EEG) yang abnormal. Penelitian
ERP
menunjukkan
tidak
adanya
respon
memperhatikan objek atau stimulus bahasa. d. Adanya keabnormalan pada bagian Cerebellum dan sistem Lymbic di otak, yang Sangay berpengaruh terhadap kognisi,
memori, emosi dan tingkah laku. Sistem
Lymbicnya lebih kecil dan bergumpal. Di beberapa area, bagian dendrit saraf anak autismo lebih pendek dan kurang lengkap.
Universitas Sumatera Utara
3. Perspektif Kognitif Teori-teori yang ada dalam perspektif ini adalah : a. Ornitz (dalam Acocella, 1996) mengatakan bahwa gangguan pada anak autisme disebabkan karena adanya masalah dalam mengatur dan menyayukan input terhadap alat perasa. Contohnya memberi respon yang rendah atau bahkan Sangay tinggi terhadap suara. b. M. Rutter (dalam Acocella, 1996) memfokuskan pada sensori persepsi, yaitu dimana anak autisme tidak memberi respon terhadap suara. Anak autisme juga mengalami gangguan bahasa, seperti Aplasia yaitu kehilangan kemampuan memakai atau memahami kata-kata yang disebabkan oleh kerusakan otak. Tetapi dalam perspektif ini menyatakan bahwa anak autisme tidak memberi respon disebabkan adanya masalah perseptual. c. Lovaas, dkk (dalam Acocella,1996) mengatakan bahwa anak autismo Sangay overselektif dalam memperhatikan sesuatu. Anak autismo hanya dapat memproses dan merespon satu stimulus dalam satu waktu, hal ini disebabkan karena adanya gangguan perseptual. d. Anak autisme tidak mampu mengolah sesuatu dalam fikiran, misalnya tidak dapat memperkirakan dan memahami tingkah laku yang mendasari statu objek.
Universitas Sumatera Utara
4. Kriteria Diagnostik Autisme Menurut DSM IV-TR (APA, 2000) kriteria diagnostik gangguan autisme adalah : a. Sejumlah enam hal atau lebih dari (1), (2) dan (3), paling sedikit dua dari (1) dan satu masing-masing dari (2) dan (3) : 1) Gangguan kualitatif dalam bidang interaksi social yang ditunjukkan paling sedikit dua dari yang berikut: a.1) Tidak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai dalam perilaku non verbal, seperti : pandangan mata, ekspresi wajah, sikap tubuh dan gerak terhadap rutinitas dalam interaksi sosial. b.1) Kegagalan dalam membentuk hubungan pertemanan sesuai tingkat perkembangannya. c.1) Kurang kespontanan dalam membagi kesenangan dan tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain. d.1) Kurang sosialisasi atau emosi yang timbal balik. 2) Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi seperti yang ditunjukkan paling sedikit dari yang berikut : a.2) Keterlambatan atau berkurangnya perkembangan berbicara (tidak menyertai usaha untuk mengimbangi cara komunikasi alternatif seperti gerak isyarat atau gerak meniru-niru). b.2) Bila bisa bicara, bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi. c.2) Mempergunakan kata berulang kali dan bahasa atau kata-kata aneh.
Universitas Sumatera Utara
d.2) Cara bermain yang kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang bisa meniru. 3) Suatu pola yang dipertahankan dan berulang-ulang dari perilaku, minat dan kegiatan. Sedikitnya harus ada satu dari gejala berikut : a.3) Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebih-lebihan. b.3) Terpaku pada satu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak fungsional. c.3) gerakan yang aneh dan berulang seperti, memukul, memutar arah jari dan tangannya. d.3) Keasyikan terhadap bagian-bagian objek yang stereotipe. b. Keterlambatan atau kelainan fungsi paling sedikit satu dari yang berikut ini, dengan serangan sebelum sampai usia 3 tahun : 1) Interaksi sosial 2) Bahasa yang dipergunakan dalam komunikasi sosial 3) Bermain simbol atau berkhayal c. Gangguan ini tidak disebabkan oleh gangguan Rett atau gangguan disintegrasi masa kanak-kanak. . C. Kebahagiaan Pada Ibu yang Memiliki Anak Autis Kebahagiaan merupakan konsep yang subjektif karena setiap individu memiliki tolak ukur yang berbeda-beda yang bisa mendatangkan kebahagiaan untuknya. Anak adalah salah satu sumber kebahagiaan dalam keluarga (Wallis,
Universitas Sumatera Utara
2005). Selain itu anak juga merupakan sumber dukungan sosial yang bisa membuat seseorang menjadi bahagia (Easton, 2006). Ketika seorang anak dilahirkan kemuka bumi kedua orangtua mereka menyambutnya dengan kebahagiaan. Namun ketika menyadari bahwa anaknya berbeda dengan anak-anak lainnya tidak sesuai dengan harapan mereka, dalam diri orangtua mulai timbul perasaan tidak percaya dan penyesalan terhadap keberadaan anak mereka tersebut (Nakita, Juli 2002). Salah satu keadaan anak yang mengalami gangguan adalah anak penderita autisme. Safaria (2005) mengatakan bahwa autisme adalah ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan yang tertunda, ecolalia, mutism, pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain yang repetitive dan stereotipik, rute ingatan yang kuat, dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan dalam lingkungannya. Menurut American Psychiatric Association (1994), kondisi autisme untuk sang anak begitu berat bagi keluarganya, karena keterbatasan yang diakibatkan oleh autisme adalah kesulitan untuk melakukan interaksi sosial, komunikasi dan perilaku repetitif, minat, tingkah laku dan aktivitas yang terbatas. Kondisi ini mempersulit pengasuhan anak tersebut, dalam kehidupan mengasuh anak autisme, orangtua khususnya ibu yang lebih sering berhadapan dengan anak, sering menghadapi situasi-situasi yang tidak menyenangkan. Situasi yang tidak menyenangkan ini seperti hubungan sosial anak yang terganggu, gangguan perkembangan dalam komunikasi dan lain sebagainya (Haditono, 1999).
Universitas Sumatera Utara
Orang tua memiliki respon dan perasaan yang berbeda saat mengetahui anaknya mengalami gangguan perkembangan. Williams & Wright (2004) mengemukakan beberapa respon yang muncul pada orang tua ketika mengetahui anak mereka mengalami gangguan perkembangan, seperti perasaan lega, rasa bersalah, kehilangan, ketakutan akan masa depan. Mangunsong (1998) menambahkan terdapat tiga tahap yang terjadi pada orang tua khusunya ibu yang memiliki anak autis. Tahap pertama, seorang ibu akan mencari tahu tahu mengenai keadaan anaknya dan mencoba memperoleh berbagai diagnosa dari dokter maupun terapis yang bisa memberikan prognosis lebih positif. Tahap kedua, seorang ibu akan mengalami emosi negatif. Ibu merasa sedih, marah, kecewa, mengalami guncangan batin, terkejut dan bahkan menyalahkan Tuhan karena memberi anak yang tidak sempurna (Leo Martin, 2010). Tahap ketiga adalah penerimaan diri. Penerimaan atas kehadiran anak yang terlahir dengan kondisi autis memang tidak mudah dan membutuhkan waktu yang lama, dan Ibu mulai mencoba bisa menyesuaikan diri dengan keadaan anak tersebut (Mangunsong, 1998). Orang tua khususnya Ibu mengalami dampak stress yang lebih berat dari Ayah karena Ibu lebih banyak terlibat dalam pengasuhan anak sehari-hari. Biasanya Ibu cenderung mengalami perasaan bersalah dan depresi yang berhubungan dengan ketidakmampuan anaknya dan Ibu lebih mudah terganggu secara emosional (Cohen & Volkmar, 1997). Tingkat stress pada Ibu yang memiliki anak autis lebih tinggi dari pada Ibu yang memiliki anak dengan keterlambatan perkembangan (Price, 2009). Bahkan tidak jarang ibu menolak
Universitas Sumatera Utara
kehadiran anaknya dengan kondisi autis bahkan sampai ada yang bertindak sangat ekstrim seperti membunuh anaknya (Santoso, 2010).
Universitas Sumatera Utara
D. Paradigma Penelitian Harapan orangtua mendapatkan anak normal
Fakta : Bisa terjadi ketidaksesuaian harapan. antara lain Lahirnya Anak Autisme
Kekecewaan
Anak sumber kebahagiaan
Autisme: ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, dan gangguan komunikasi. Ciri-ciri anak autis : tidak mampu mengadakan interaksi sosial yang seolaholah hidup dlm dunia sendiri dan gagal membangun komunikasi.
Tidak Bisa Menerima Keadaan, Sesuai Dengan Tahap yang dikemukakan Mangunsong (1998): Tahap 1 : Mencari Informasi Tahap 2 : Emosi Negatif Tahap 3 : Penerimaan Diri
Ibu : Pengasuh, pendidik utama
Kebahagiaan pada Ibu?
Penting
Bagi Ibu
Bagi Anak
Universitas Sumatera Utara