DAMPAK MENONTON TAYANGAN ANAK TERHADAP PERILAKU ANAK-ANAK DI SD KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA
Arga Cinintya Dewi 1 Daru Purnomo 2; Dewi Kartika Sari 3
ABSTRACT Television is one medium that brings about impact on children. The more widespread this time broadcast television, the greater the possibility of the effects of the television message. What is conveyed by the television turned out to have a major influence on children. Especially for children, besides the presence of television broadcasts could be used as a tool to play, as well as a loyal friend when they feel lonely or have no activity. In fact they tend to find something fun for themselves. In children, the component organisms (of mind) is still unstable. That is, the messages TV footage provides a fast or slow memory affects behavior caused. In other words, as the characters the children will imitate what he had seen on television. This means, in accordance with the theory of television viewing will become a model modeling the behavior of children. This study aimed to describe the behavior of children watching a show on child behavior. the second is to know the impact of watching a child's impressions of the behavior of elementary school children Kristen Satya Discourse Salatiga. The research method used is the type of quantitative research and analysis explanatif used product moment correlation test. The results of this study showed that there was watching the effects are more likely to show a child prosocial behavior compared to antisocial behavior. Impact of child's viewing behavior display stronger prosocial behavior occurs in heavy viewers viewers viewers compared to light viewers. Viewing behavior can affect the child's impressions 21.6% audience prosocial behavior whereas heavy viewers in the audience light 15.5% viewer is able to influence prosocial behavior. Keywords: Watching Impressions Child Behavior, Child Behavior, Cultivation Theory, Heavy and Light Viewer Viewer
1. PENDAHULUAN Televisi adalah media audio-visual yang memiliki daya jangkau yang luas tanpa mengenal batas geografis, sistem politik, sosial, dan budaya masyarakat, sekaligus
1
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi
2
Staff Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi
3
Staff Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi
memiliki daya tarik yang dapat mempengaruhi sikap, pandangan, gaya hidup, orientasi dan motivasi masyarakat (Effendy, 2003). Televisi saat ini adalah sarana elektronik yang paling digemari dan dicari orang. Dari semua media komunikasi yang ada, televisi merupakan media yang paling berpengaruh pada kehidupan manusia. Sebanyak 99% orang Amerika memiliki televisi di rumahnya” (Ardiannto & Erdinaya, 2005:125). Saat ini televisi telah menjangkau lebih dari 90 persen penduduk di negara berkembang. Televisi telah menjadi media yang keberadaannya sangat ditentukan oleh kendali pemakainya. Artinya, televisi adalah sarana yang berisi tayangan-tayangan. Meskipun Melvin De Fleur menyatakan bahwa televisi mampu mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat. Makin maraknya siaran televisi saat ini, makin besar pula kemungkinan efek yang ditimbulkan dari pesan yang disampaikan televisi tersebut. Bagi anak-anak, kehadiran siaran televisi selain bisa dijadikan sebagai alat bermain, juga sebagai salah satu teman setia ketika mereka merasa kesepian atau tidak punya kegiatan. Bahkan mereka cenderung mencari sesuatu yang menyenangkan bagi dirinya. Pada anak-anak komponen organisme (daya pikir) masih labil. Artinya, pesan-pesan tayangan televisi memberikan memori yang cepat atau lambat mempengaruhi perilaku yang ditimbulkan. Dengan kata lain sebagaimana karakter anak-anak akan meniru apa yang telah dilihatnya di televisi. Artinya, tayangan televisi sesuai dengan teori modeling akan menjadi model perilaku anak-anak. Banyak artikel-artikel ataupun penelitian-penelitian yang menyebutkan bahwa selama ini banyak tayangan televisi yang cenderung dikenal membuat efek buruk (antisosial), seperti film kartun Jepang, seperti Sailor Moon, Dragon Ball, dan Magic Knight Ray Earth. Temuan ini sejalan dengan temuan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), yang juga mencatat bahwa film kartun bertemakan kepahlawanan lebih banyak menampilkan adegan anti sosial (63,51%) dari pada adegan pro sosial (36,49%). Membaca hasil penelitian tersebut, maka sangat mungkin anak-anak akan terpengaruh oleh tayangan-tayangan yang mampu menciptakan moralitas yang buruk. Namun tidak semua tayangan memberikan efek antisosial, ada juga tayangan yang bermutu. Sebuah penelitian ilmiah yang dilakukan oleh American Psichological Association (APA) pada tahun 1995 mengungkapkan bahwa tayangan yang bermutu akan mempengaruhi seseorang untuk berperilaku baik. Sedangkan tayangan yang kurang bermutu akan mendorong seseorang untuk berperilaku buruk. Bahkan, penelitian itu menyimpulkan bahwa hampir semua perilaku buruk yang dilakukan orang adalah hasil dari pelajaran yang
mereka
terima
dari
media
semenjak
usia
anak-anak.
(http://tegarku.wordpress.com 31-7-2009: 9.37pm). Dengan demikian, tayangan televisi dapat berisi muatan positif (prososial) maupun negatif (antisosial). Kesemuanya akan memiliki dampak yang berbeda-beda.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut, ” Seberapa besar dampak menonton tayangan anak terhadap perilaku anak-anak SD Kristen Satya Wacana Salatiga?”
Tujuan Penelitian 1. Menggambarkan perilaku menonton tayangan anak terhadap perilaku anak 2. Menjelaskan dampak menonton tayangan anak terhadap perilaku anak-anak SD Kristen Satya Wacana Salatiga.
2. LANDASAN TEORI Televisi Sebagai Komunikasi massa Komunikasi massa yang paling sederhana dikemukakan oleh Bittne (Rakhmat, seperti yang disitir Komala, dalam Karlinah, dkk.1999), yakni : komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang (mass comunication is messages comunicated through a mass medium to a large number of people).
Para
ahli
komunikasi
berpendapat
bahwa
yang
dimaksudkan
dengan
komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa (Effendy, 2007). Everett M. Rogers mengatakan ada beberapa komponen dalam komunikasi massa yang harus diperhatikan yaitu, source, message, chanel, dan receiver. Kemudian komponen tersebut dirinci kembali menjadi lima bagian oleh Wilbur Schramm, yaitu : source (sumber), encoder (komunikator), signal (tanda), decoder (komunikan), desrination (tujuan). Semua komponen tersebut harus ada pada setiap proses komunikasi. Kelima komponen tersebut sesuai dengan paradigma Harold D. Lasweel yakni “who-says what-in with channel-to whom-with what effect”. Yang menggambarkan secara sederhana namun dapat dijadikan pedoman dasar untuk memahami apa yang disebut sebagai komunikasi tersebut mengingat betapa banyaknya definisi yang diberikan oleh para ahli.
Peranan Televisi dan Perubahan Perilaku a. Teori Jarum Hipodermik Teori peluru ini merupakan konsep awal sebagai effek komunikasi massa yang oleh para teoritis komunikasi tahun 1970-an dinamakan pula hypodermic needle theory yang dapat diterjemahkan sebagai teori jarum hipodermik. Teori ini ditampilkan pada tahun 1950-an setelah peristiwa penyiaran kaleidoskop stasiun radio CBS di Amerika berjudul “The Invasion From Mars”. Wilbur Schramm pada tahun 1950 an itu mengatakan bahwa seorang komunikator dapat menembakkan peluru komunikasi yang begitu ajaib kepada khalayak yang pasif tidak berdaya. Tetapi pada tahun 1970 an
Scrhamm meminta pada khalayak peminatnya agar teori peluru komunikasi itu tidak ada, sebab khalayak yang menjadi sasaran media massa itu ternyata tidak pasif. Teori ini, sebagaimana diuraikan Denis McQuail dan Sven Windahl (dalam Communication
Models:
For
the
Study
of
Mass
Communications,
1981:
42)
mengandaikan keterlibatan tiga elemen, yakni (1) stimulus atau rangsangan dalam wujud pesan- pesan atau informasi; (2) organisme yang tidak lain merupakan khalayak yang berkedudukan sebagai penerima pesan; dan (3) respons yang merupakan efek yang dipastikan muncul sebagaimana yang dikehendaki oleh pemberi pesan. Ringkasnya adalah khalayak yang diberlakukan layaknya organisme biologis akan menyajikan tanggapan yang pasti sesuai dengan rangsangan yang disemburkan oleh sumber yang memberikan informasi. Jalinan stimulus- organisme-respons (S-O-R) pun dengan sendirinya akan tertata dengan rapi.
b. Teori Stimulus – Respon ( S-R) Teori Stimulus – respon adalah model komunikasi yang paling dasar. Model ini dipengaruhi disiplin ilmu psikologi khususnya yang beraliran behavioristik. Model ini menggambarkan hubungan stimulus -respon. Model ini menunjukan komunikasi sebagai ”aksi – reaksi ” yang sangat sederhana. Model S-R mengasumsikan bahwa kata-kata verbal ( lisan-tulisan), isyarat-isyarat non verbal, gambar-gambar, dan tindakan – tindakan tertentu akan merangsang orang lain untuk memberikan respons dengan cara tertentu. Sehingga proses ini dianggap sebagai pemindahan atau pertukaran gagasan atau informasi. Proses ini bersifat timbal balik dan mempunyai
banyak
efek.
Setiap
efek
dapat
mengubah
tindakan
komunikasi
(communication act) berikutnya. Teori/Model S-R menjelaskan bahwa seseorang selalu memberi tanggapan atas rangsangan yang dihadapinya. Prinsip S-R ini merupakan dasar dari teori jarum hipodermik,
teori
klasik
mengenai
terjadinya
efek
media
massa
yang
sangat
berpengaruh. Dalam teori ini isi media dipandang sebagai obat yang disuntikan ke dalam pembuluh darah audience, yang kemudian diasumsikan akan bereaksi seperti yang diharapkan Stimulus dalam teori S-R ini adalah sumber (source), pesan (message), saluran (chanel), dan sasaran (receiver) (Azwar,2007:71). Efek-efek penyampaian pesan yang terjadi pada komunikan antara lain mengbah opini, sikap, perilaku, kognisi, afeksi, dan konasi( Efendi,2003:225). Proses dari teeori S-R ini bersifat timbal balik dan mempunyai banyak efek, namun penelitian ini dibatasi pada apakah intensitas menonton tayangan anak berefek terhadap perubahan perilaku anak-anak khususnya perilaku prososial.
c. Teori Kultivasi Teori kultivasi dikembangkan untuk menjelaskan dampak menyaksikan televisi pada persepsi, sikap dan nilai orang-orang. Teori ini berasal dari riset jangka panjang dan ekstensif yang dilakukan oleh George Gebrner beserta para koleganya di Annenberg School of communication di University of pennsylvania. Gerbner dan para koleganya mulai dengan argumentasi bahwa televisi telah menjadi ”tangan budaya” utama masyarakat Amerika. Televisi telah menjadi anggota keluarga yang penting, anggota yang paling banyak bercerita dan paling sering.” (Severin dan Tankard,2001:349). Awalnya Gebrner melakukan penelitian tentang indikator budaya di pertengahan tahun 60-an, untuk memepelajari pengaruh menonton televisi. Ia ingin mengetahui dunia nyata seperti yang dibayangkan, dipersepsikan oleh penonton televisi. Penelitian yang dilakukan itu lebih menekankan pada dampak. ( Nurudin,2007:167) Teori kultivasi menyatakan bahwa media, khususnya televisi, memiliki pengaruh yang kuat dalam mengubah persepsi individu tentang realita. Teori kultivasi berpendapat bahwa televisi sangat bertanggungjawab dalam hal perkembangan persepsi tentang norma dan realitas dari hari ke hari (Gerbner, Gross, Morgan & Signorielli, 1990). Televisi telah menjadi media dimana banyak orang mengembangkan peran dan perilaku yang terstandardisasi. Dunia simbolis yang ditampilkan media, terutama media televisi, akan membentuk dan memelihara (cultivate) konsepsi audience mengenai dunia nyata. Atau dengan kata lain, membentuk dan mempertahankan konstruksi audience mengenai realitas. Teori Kultivasi memiliki beberapa asumsi pokok ( Wood, 2004:249) yaitu: 1. Televisi merupakan media unik. 2. Televisi membentuk budaya mainstream. 3. Televisi menanamkan asumsi tentang hidup secara luas, ketimbang memberikan opini dan sikap yang lebih spesifik. Televisi memang bicara banyak tapi menghindari detail. 4. Semakin banyak seseorang menghabiskan waktu untuk menonton televisi, semkin kuat kecenderungan orang tersebut menyamakan realitas televisi dengan realitas sosial. 5. Penonton Ringan (light viewer) cenderung menggunakan jenis media dan sumber informasi yang lebih bervariatif baik komunikasi bermedia maupun sumber personal), sementara penonton berat (heavy viewer) cenderung mengandalkan televisi sebagai sumber informasi mereka. 6. Perkembangan teknologi baru memperkuat pengaruh televisi. Asumsi terakhir menyatakan bahwa perkembangan teknologi baru memperkuat pengaruh televisi. Asumsi
ini
diajukan
Gerbner
pada
tahun
1990
setelah
menyaksikan
perkembangan teknologi komunikasi yang luar biasa. Asumsi ini mengandung
keyakinan bahwa teknologi pendukung tidak akan mengurangi dampak televisi sebagai sebuah media, malahan pada kenyataanya akan meneguhkan dan memperkuat.
d. Social Learning Teori Teori ini dikemukakan oleh Albert Bandura pada tahun 1977. Teori ini paling populer yang menjelaskan bahwa pada anak-anak terjadi proses pembelajaran setelah melihat contoh (observational learning). Diterapkan secara khusus pada pembelajaran agresi melalui TV. Dalam perjalannya teori ini dipakai untuk melihat efek media secara umum. Menurut Bandura, belajar terjadi karena peniruan (imitation). Kemampuan meniru respons orang lain adalah penyebab utama belajar. Orang dapat memperoleh pola-pola perilaku baru melalui pengamatan terhadap orang-orang lain. Model yang ditiru tidak harus berupa bentuk hidup. Penyajian simbolik atau piktorial (acara TV, misalnya) juga berfungsi sebagai sumber peniruan. Peniruan juga dilakukan terhadap kata-kata kasar yang ada dalam adegan TV berupa agresif secara verbal. Studi social learning melihat bahwa munculnya perilaku akibat meniru tersebut tergantung pada sejumlah faktor, seperti kemampuan si pelaku, adanya kesempatan untuk menerapkan perilaku tersebut, dan motivasi.
Perilaku Prososial dan Anti Sosial Tingkah laku prososial (prosocial behavior) adalah suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin bahkan melibatkan suatu risiko bagi orang yang menolong. Menurut David O. Sears, dkk (1994), altruisme adalah tindakan suka rela yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan apapun kecuali mungkin perasaan melakukan kebaikan. Istilah altruisme (altruism) kadang-kadang digunakan secara bergantian dengan tingkah laku prososial, tetapi altruisme yang sejati adalah tingkah laku yang merefleksikan pertimbangan untuk tidak memetingkan diri sendiri demi kebaikan orang lain. Sedangkan perilaku prososial mempunyai cakupan yang lebih luas dari altruisme. Bila digambarkan dalam bentuk gambar, maka prososial adalah sebuah lingkaran yang besar. Dalam lingkaran terdapat beberapa lingkaran yang lain, salah satunya adalah altruisme. Perilaku prososial mencakup kategori yang lebih luas, meliputi segala bentuk tindakan yang dilakukan atau direncanakan untuk menolong orang lain, tanpa memperdulikan motif-motif si penolong. Model prososial yang lebih berpengaruh dari yang disediakan oleh media, adalah model yang disediakan oleh orang tua. Psikiater Robert Coles (1997) menyatakan bahwa kuncinya adalah dengan mengajarkan anak
untuk menjadi “baik” dan untuk berpikir mengenai orang lain selain dari diri sendiri. Anak-anak belajar dengan mengobservasi apa yang dilakukan dan dikatakan orang tua mereka dalam kehidupan sehari-hari. Coles yakin bahwa masa sekolah dasar adalah masa yang penting di mana anak dapat mengembangkan atau gagal mengembangkan suatu kesadaran. Tanpa model dan pengalaman yang tepat, anak-anak dapat dengan mudah bertumbuh menjadi remaja yang egois dan kasar dan kemudian menjadi orang dewasa yang sama tidak menyenangkannya. Menurut Mussen, dkk (1979), mengungkapkan bahwa aspek-aspek perilaku prososial meliputi : a. Kerjasama (Cooperation) Melakukan suatu pekerjaan dengan baik dan bersama-sama serta memiliki tujuan yang sama b. Menolong Sesama ( Helping) Suatu sikap perilaku untuk menolong orang lain yang sedang berada dalam kesulitan dan berbuat baik terhadap orang lain. c. Berbagi ( Sharing) Berbagi perasaan dengan orang lain baik dalam keadaan suka atau duka yang dinampakan karena adanya rasa yang dimiliki. d. Dermawan ( Generocity) Memberikan
secara
sukarela
sebagian
barang
pada
orang
lain
yang
membutuhkan. e. Kejujuran ( Honesty) Tidak berbuat curang pada orang lain dengan tulus dan mengandung kebenaran. Perilaku Anti sosial adalah kepribadian seseorang yang menunjukkan ketidakacuhan, ketidak-pedulian, dan/atau permusuhan yang seronok kepada orang lain, terutama yang berkaitan dengan norma sosial dan budaya. Orang yang antisosial biasanya blak-blakan dan tidak memedulikan hak dan perasaan orang lain. Istilah antisosial secara formal disebut penyimpangan kepribadian yang antisosial (antisocial personality disorder). Orang dengan penyimpangan ini, kebanyakan laki-laki, memiliki pengendalian emosi negatif yang rendah, rasa empatinya sedikit, dan biasanya merasa kosong atau hampa. Perilaku anti sosial adalah orang non sosial yang tidak mengetahui apa yang dituntut oleh kelompok sosial sehingga berperilaku yang tidak memenuhi tuntutan sosial. Oleh karena itu, mereka tidak diterima oleh kelompok dan terpaksa menggunakan sebagian besar waktu mereka untuk berada seorang diri.
Menonton Tayangan Anak Dalam penelitian ini variabel menonton Tayangan anak dapat diukur dari beberapa aspek dibawah ini (Yuli Ardiyanto,2007):
a. Perhatian Tingkat ketertarikan terhadap tayangan anak yang menjadi target perilaku anakanak. Misalnya ketika sebuah stimulus berupa perilaku muncul, sejauh mana stimulus itu di respon. Respon tersebut berupa tersiratnya perhatian individu kepada media. b. Penghayatan Pemahaman terhadap informasi yang disajikan dalam tayangan tersebut. Adanya usaha individu untuk memahami dan menyimpan informasi itu menjadi pengetahuan
bagi
dirinya.
Misalnya
bagaimana
individu
menghayati
dan
menyimpan stimulus yang diberikan oleh tayangan anak berupa perilakuperilaku yang bersifat prososial maupun anti sosial dapat mempengaruhi sikap atau perilaku anak-anak. c. Durasi Lamanya selang waktu individu mengexplorasi tayangan anak. Misalnya berapa lama ia akan menghabiskan waktunya untuk menonton anak sehingga dapat mempengaruhi dirinya d. Frekuaensi Banyaknya pengulangan dalam mengkonsumsi tayangan anak atau seberapa sering individu menonton anak
Kerangka Pikir Penelitian
Gambar 1 Kerangka Berpikir
Proses Produksi Film / Program Tayang
Televisi Menghibur
Perilaku
Perilaku
Mendidik
Prososial
Antisosial
Memberi Informasi Mempengaruhi
DAMPAK menonton
Anak- Anak
Tayangan Anak-Anak
Desain Penelitian
Tayangan anak (X) -
Perhatian Penghayatan Durasi Frekuensi
Perilaku anak-anak (Y)
Prososial
Anti Sosial
Hipotesis. Berdasarkan kerangka berpikir penelitian maka hipotesis yang dikembangakan adalah sebagai berikut: Ho:
Tidak hubungan yang signifikan dampak menonton tayangan anak terhadap perilaku anak-anak berdasar intensitas menonton tayangan anak
Ha:
Ada hubungan yang signifikan dampak menonton tayangan anak terhadap perilaku anak-anak berdasar intensitas menonton tayangan anak
3. METODOLOGI PENELITIAN Pendekatan dan Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah kuantitatif, dimana menggambarkan atau menjelaskan suatu masalah yang hasilnya bisa digeneralisasikan. Karena itu menuntut sampel yang reseprentatif dari populasi, operasionalisasi konsep, serta alat ukur yang valid dan realible (Kriyantono, 2006). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksplanatif. Disini peneliti ingin mengetahui kondisi atau situasi tertentu terjadi atau yang mempengaruhi terjadinya sesuatu. Peneliti ingin menjelaskan mengapa fenomena itu terjadi dan apa pengaruhnya. Dengan kata lain peneliti ingin menjelaskan hubungan dua variabel atau lebih. Kuantitatif eksplanatif dibagi menjadi dua sifat : komparatif (membandingan variabel satu dengan yang lainnya yang sejenis) dan asosiatif (menjelaskan hubungan korelasi antar variabel). Dalam perkembangannya, metode survei memungkinkan menggunakan wawancara sebagai instrumen riset disamping kuesioner. Tujuannya adalah untuk memperdalam analisis dan interpretasi data. Namun wawancara ini bukan termasuk wawancara yang mendalam yang dijumpai pada metode kualitatif. Wawancara pada survei digunakan sebatas untuk mengembangkan kuisioner yang diisi responden. Mulyana (2001) menyebutnya sebagai wawancara terstruktur, dimana yang susunan pertanyaannya sudah disiapkandan pilihan jawaban-jawabannya sudah disediakan ( Kriyantono, 2006:60-61). Penelitian ini termasuk dalam kuantitatif eksplanatis yang bersifat asosiatif dimana menjelaskan apakah ada hubungan tayangan Anak-Anak terhadap perilaku anak-anak.
Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di SD Kristen Satya Wacana Salatiga. Sebab sekolah ini mempunyai siswa dengan usia yang heterogen. SD Kristen Satya Wacana Salatiga merupakan sekolah yang muridnya terdiri dari berbagai suku bangsa di Indonesia, sehingga cocok untuk menanamkan konsep pluralitas berbangsa. Selain itu di SD Kristen
Satya
Wacana
Salatiga
menggunakan
konsep
belajar
sambil
bermain.
(kesekretariatan SD Kristen Satya Wacana) Alasan peneliti mengambil lokasi penelitian ini karena sesuai dengan target tayangan anak-anak yaitu anak usia 7-12 tahun. Anak usia 7-12 tahun merupakan anak usia SD.
Populasi dan Sampel Alasan pemilihan anak-anak sebagai objek penelitian adalah karena sesuai dengan target pemirsa dari tayangan anak-anak
yaitu anak-anak yang berumur antara 7-12
tahun. Dalam penelitian ini responden akan dibatasi untuk anak-anak usia 7-12 tahun hal ini dikarenakan “ingatan anak pada usia 8-12 tahun ini mencapai intensitas paling besar, dan paling kuat. Daya menghafal dan daya memorisasi adalah paling kuat. Dan anak mampu memuat jumlah materi ingatan paling banyak” (Kartono, 2007:138). Jadi diperkuat oleh pernyataan tersebut anak-anak dapat dijadikan responden untuk mengisi kuisioner. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah keseluruhan siswa SD Kristen Satya Wacana Salatiga. Suatu penelitian jika populasinya terlalu besar maka yang diteliti hanyalah sebagian dari populasi tersebut. Dalam penelitian ini yang dimaksud adalah seluruh murid SD Kristen Satya Wacana Salatiga yang berjumlah 440 siswa. Sebagian dari populasi yang akan diteliti disebut sampel.
Sampel adalah sebagian anggota
populasi yang diambil menurut prosedur tertentu, sehingga dapat mewakili populasinya (Supramono, 2005). Adapun penentuan jumlah sampel tersebut didasarkan pendapat Roscoe (dalam Supramono et al, 2003:54), bahwa jumlah sampel atau ukuran sampel yang layak diteliti adalah berkisar antara 30-500. Jadi jumlah sampel yang diambil peneliti sebanyak 70 orang responden sudah dapat dikatakan layak. menurut
tingkat
frekuensi
melihat
tayangan
Sebanyak 70 responden akan dipilih anak
dalam
satu
minggu
yang
dikelompokkan kedalam dua jenis kategori penonton yaitu kelompok Heavy Viewer (menonton > 4 kali dalam minggu) dan kelompok light viewer (menonton 1-4 kali dalam satu
minggu).
Pengambilan
sampel
dengan
menggunakan
Propotioned
Random
Sampling, teknik ini digunakan bila populasi mempunyai anggota atau unsur yang tidak homogen dan berstrata secara proposional. Tabel 1 Sampel Penelitan Intensitas Menonton 1-4 kali seminggu
Jumlah Anak yang menonton 19 orang
> 4 kali seminggu
51 orang
72,9%
70 orang
100%
Jumlah
Dalam % 27,1%
Sumber : data primer, diolah 2010
Teknik Pengumpulan Data 1. Kuesioner adalah suatu instrument dengan menggunakan daftar pertanyaan yang harus dijawab atau dikerjakan sendiri oleh orang-orang yang menjadi subjek observasi. 2. Observasi atau pengamatan dilakukan pada kegiatan-kegiatan yang dilakukan secara bersama. 3. Studi Pustaka dengan membaca literature dan catatan dari kuliah.
Aras Pengukuran Konsep Konsep yang digunakan adalah intensitas menotnon tayangan anak dan perilaku prososial anak-anak. Kedua konsep tersebut akan diukur pada aras ordinal dengan menggunakan seperangkat indikator empirik yang telah disiapkan. Sesuai dengan indikator empiric yang digunakan, maka pengukuran konsep-konsep tersebut akan disusun menurut skala likert untuk setiap pertanyaan atau pernyataan yang berkaitan dengan pokok-pokok yang diteliti. Setiap indikator empirik dinyatakan dalam bentuk pertanyaan dengan empat kategori jawaban yaitu sangat setuju, setuju, tidak setuju, serta sangat tidak setuju, yang akan diberi skors 4,3,2,1. Skors tertinggi diberikan pada kategori jawaban yang paling sesuai dengan persoalan yang diteliti. Konsep yang berada pada aras abstrak perlu dioperasionalkan agar dapat diukur secara empirik. Berkenaan dengan hal itu, dibuat indikator empirik yang terletak pada jenjang empirik pula. Indikator-indikator empirik yang terletak pada jenjang empirik tidak secara langsung mengukur makna suatu konsep. Suatu upaya untuk mengkaitkan konsep dengan indikator empirik diperlukan epistemik correlation. Menurut Nordholf (Ihalauw, 2000 : 54) epistemic korrelation adalah suatu pernyataan eksplisit yang mentautkan secara kausal antara konsep dengan indicator empiric
tertentu yang
menurut nalar diduga mampu mengukur konsep itu secara cepat. Teknik Analisis Data Teknik analisis yang digunakan adalah teknik deskriptif kuantitatif yaitu kegiatan mengumpulkan data dan kemudian menggunakan tenik-teknik statistik untuk mencari hubungan variabel sehingga sampai pada kesimpulan-kesimpulan berupa hubunganhubungan antar variabel.
a. Uji Statistik Deskriptif Statistik deskriptif digunakan untuk menggambarkan dan menganalisis suatu keadaan yang terjadi, serta mengolah data dan disajikan dalam bentuk kata-kata, tabel dan gambaran keadaan. Dari paparan statistik deskriptif dapat diketahui seberapa besar pengaruh tayangan anak terhadap perilaku anak-anak. b. Uji Validitas Valid
menunjukkan
derajat
ketepatan,
yaitu
ketepatan
antara
data
yang
sesungguhnya terjadi pada obyek dengan data yang dapat dikumpulkan oleh peneliti ( Sugiyono 2005 : 1 ). Dalam penelitian ini, validitas diuji dengan dengan menggunakan teknik corrected item total correlation. Sebagai kriteria pemilihan item berdasar korelasi item total, biasanya digunakan batasan rxy >0,30.
Setelah dilakukan Uji Validitas
dengan menggunakan teknik corrected item total correlation dengan program SPSS 16 hasil terdapat 57 butir item valid dan 11 butir item tidak valid. c. Uji Realibilitas Uji reliabilitas menunjukkan sejauh mana pengukuran itu dapat memberikan hasil yang relatif tidak berbeda bila dilakukan pengukuran kembali terhadap subyek yang sama. Pengujian dilakukan dengan teknik perhitungan koefisien alpha (a). Kriteria yang digunakan adalah Jika r alpha positif dan r alpha > tabel, maka butir soal tersebut reliabel. Realibilitas suatu konstruk variabel dikatakan baik jika memiliki nilai cronbach’s alpha > dari 0,6 (Nugroho, 2005: 72). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa semua variabel memiliki Cronbach Alpha diatas 0.6 sehingga dapat dikatakan reliabel. d. Uji Hipotesa Hipotesis dalam penelitian ini diuji dengan menggunakan uji korelasi product moment. Seluruh perhitungan dilakukan dengan menggunakan bantuan program SPSS Versi 16.0 for Windows.
Hipotesis penelitian diterima jika p < 0,05 dan sebaliknya
hipotesis penelitian ditolak jika nilai p > 0,05.
4. ANALISIS DAN PEMBAHASAN Karakteristik Variabel a.
Menonton Tayangan Anak Variabel menonton tayangan anak memiliki rata-rata sebesar 3,11 dengan standar deviasi 0,36, nilai rata-rata tersebut terletak pada kategori setuju. Ini menunjukkan bahwa rata-rata responden setuju dengan pernyataan-pernyataan yang diajukan untuk mengungkap tayangan menonton anak. Berdasar rata-rata perhatian, durasi, frekuensi dan penghayatan maka dapat dilihat bahwa responden paling menyetujui butir-butir item yang mengungkap penghayatan dengan rata-rata terbesar 3,24, sementara rata-rata paling rendah adalah durasi sebesar 2,65. Namun demikian, rata-rata keempat sub variabel pembentuk variabel menonton tayangan anak berada pada kategori setuju. Ini menunjukkan bahwa responden rata-rata menyetujui
butir-butir
yang
mengungkap
perhatian,
durasi,
frekuensi,
dan
penghayatan. Data ini sekaligus mencerminkan bahwa responden memperhatikan dan menghayati tayangan anak yang mereka tonton. b.
Perilaku Prososial Variabel perilaku prososial memiliki rata-rata sebesar 3,45 dengan standar deviasi 0,263. Menurut kriteria yang sudah ditetapkan, nilai rata-rata sebesar 3,45 terletak pada kategori sangat setuju. Ini menunjukkan bahwa rata-rata responden sangat setuju dengan pernyataan-pernyataan
yang diajukan untu mengungkap
perilaku prososial. Berdasar rata-rata kerjasama, menolong sesama, empati, kejujuran, dan dermawan maka dapat dilihat bahwa responden paling menyetujui
butir-butir item yang mengungkap kejujuran dengan rata-rata terbesar 3,55, sementara rata-rata paling rendah adalah dermawan sebesar 3,34. Namun demikian, rata-rata kelima sub variabel pembentuk variabel perilaku prososial berada pada kategori sangat setuju. Ini menunjukkan bahwa responden rata-rata menyetujui butir-butir yang mengungkap kerjasama, menolong sesama, empati, kejujuran, dan dermawan. Data ini sekaligus mencerminkan adanya perilaku prososial yang baik pada responden, tampak dari kesetujuannya pada aspek-aspek perilaku prososial yang diungkap dalam penelitian ini. c.
Perilaku Antisosial Variabel perilaku antisosial memiliki rata-rata sebesar 1,62 dengan standar deviasi 0,37. Menurut kriteria, nilai rata-rata sebesar 1,62 terletak pada kategori sangat tidak setuju. Ini menunjukkan bahwa rata-rata responden sangat tidak setuju dengan pernyataan-pernyataan yang diajukan untuk mengungkap perilaku antisosial. Berdasar rata-rata egois, berbohong, mencuri, mencelakakan, dan berkata kotor maka dapat dilihat bahwa responden paling tidak menyetujui butir-butir item yang mengungkap perilaku mencuri dengan rata-rata terkecil 1,49. Namun demikian, rata-rata kelima sub variabel pembentuk variabel perilaku antisosial berada pada kategori sangat tidak setuju. Ini menunjukkan bahwa responden ratarata
sangat
berbohong,
tidak
menyetujui
mencuri,
butir-butir
mencelakakan,
dan
yang
mengungkap
berkata
kotor.
Data
perilaku ini
egois,
sekaligus
mencerminkan bahwa responden memiliki perilaku antisosial yang rendah, tampak dari ketidaksetujuannya pada aspek-aspek perilaku antisosial yang diungkap dalam penelitian ini. Berdasar nilai rata-rata perilaku prososial sebesar 3,45 dan nilai rata-rata perilaku antisosial sebesar 0,16, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku prososial lebih dominan dibanding perilaku antisosial.
d.
Perilaku Lingkungan Berdasar rata-rata total diketahui bahwa rata-rata yang diperoleh sebesar 3,26. Menurut kriteria, rata-rata tersebut tergolong sangat setuju. Artinya, rata-rata anak-anak sangat setuju dengan pernyataan yang diajukan dalam angket. Data in menunjukkan bahwa lingkungan di sekitar anak-anak cenderung memiliki perilaku prososial yang baik.
Dari gambaran perilaku lingkungan disekitar subjek dapat
dikatakan bahwa lingkungan disekitar subjek cendrung memiliki perilaku yang prososial dibanding perilaku antisosial.
Uji Hipotesis Tabel 2 Uji Korelasi Product Moment Variabel
Keterangan
Bebas
Kategori Penonton Heavy Viewer
Light Viewer
Menonton
Pearson Correlation
.460**
.394
Tayangan
Sig. (1-tailed)
.000
.048
Anak
N
51
19
Sumber : data primer, diolah 2010 Berdasarkan hasil perhitungan uji korelasi satu arah kelompok penonton heavy viewer diperoleh koefisien korelasi antara menonton tayangan anak dan perilaku prososial sebesar 0,460 dengan p < 0,05 yang berarti ada hubungan positif dan signifikan. Demikian juga pada kelompok light viewer diperoleh koefisien korelasi sebesar 0,394 dengan singifikansi sebesar 0,048 yang berarti ada hubungan positif dan signifikan. Hal ini menujukan bahwa semakin tingginya perilaku menonton tayangan anak maka akan semakin tinggi pula tingkat prososial perilaku anak. Sebaliknya semakin jarang menonton tayangan anak akan semakin rendah pula perilaku prososial anak. Besarnya variasi menonton tayangan anak dapat menjelaskan perilaku prososial penonton heavy viewer sebesar 21,6% (diperoleh dari r2) dan sisanya sebesar kelompok
penonton
light
78,4 % dijelaskan oleh faktor lain, sedangkan pada viewer,
perilaku
menonton
tayangan
anak
dapat
menjelaskan perilaku prososial sebesar 15,5% (diperoleh dari r2) dan sisanya sebesar 84,5 % dijelaskan oleh faktor lain. Dengan demikian, dampak menonton tayangan anak pada perilaku prososial lebih besar terjadi pada kelompok penonton yang tergolong penonton berat (heavy viewer) dibanding kelompok penonton light viewer. Hasil uji korelasi selengkapnya dapat dilihat pada lampiran.
Pembahasan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif antara menonton tayangan anak dengan perilaku prososial anak. Menonton yang dimaksud didalam penelitian diukur dengan dengan menggunakan empat indikator yaitu perhatian, durasi, frekuensi, dan penghayatan. Menurut hasil perhitungan menunjukkan bahwa responden tergolong memperhatikan dan menghayati tayangan anak yang mereka tonton. Sedangkan perilaku prososial dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan lima indikator yaitu kerjasama, menolong sesama, empati, kejujuran, dan dermawan. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa responden memiliki prilaku prososial yang baik. Dari dua variabel tersebut terlihat adanya hubungan menonton tayangan anak dengan
perilaku prososial anak. Tinggi perilaku menonton diikuti dengan meningkatnya perilaku prososial. Tayangan anak seperti Bocah Petualang, Laptop Si Unyil, Jalan Sesama, Citacitaku, Dora The Explorer, Star Kids yaaIyalah, Anak Pemberani, Backyardigans, dan Go Diego,
Go!
Merupakan
tayangan
yang
diperuntukkan
kepada
anak-anak
yang
didalamnya dipenuhi dengan muatan-muatan pendidikan, kepahlawanan, dan hiburan. Tayangan-tayangan tersebut akan sangat mempengaruhi anak-anak dalam bertindak. Oleh karena muatan didalamnya berupa muatan prososial seperti kerjasama, menolong sesama, empati, kejujuran, dan dermawan maka tingginya perilaku menonton tayangan anak-anak akan mempengaruhi perilaku prososial anak. Namun pengaruhnya bagi perilaku prososial tidak begitu kuat karena masih kuatnya pengaruh lingkungan keluarga yang mempengaruhi perilaku prososial anak-anak Besarnya dampak menonton tayangan anak pada kelompok heavy viewer adalah sebesar 21,6% dan sisanya sebesar 78,4 % dijelaskan oleh faktor lain, sedangkan pada kelompok penonton light viewer, perilaku menonton tayangan anak dapat menjelaskan perilaku prososial sebesar 15,5% dan sisanya sebesar 84,5 % dijelaskan oleh faktor lain. Dengan demikian, dampak menonton tayangan anak pada perilaku prososial lebih besar terjadi pada kelompok penonton yang tergolong penonton berat (heavy viewer) dibanding kelompok penonton light viewer. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa dampak perilaku menonton tayangan anak terhadap perilaku prososial lebih besar terjadi pada anak-anak yang menonton lebih dari 4 kali dalam satu minggu atau yang tergolong heavy viewer dibanding anak yang menonton kurang dari 4 kali (light viewer). Hasil ini semakin memperkuat dugaan bahwa ada dampak yang nyata perilaku menonton tayangan anak pada perilaku prososial anak. Hasil ini menunjukkan bahwa menonton tayangan anak bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi perilaku prososial anak. Banyak faktor yang turut mempengaruhi perilaku prososial anak, salah satunya adalah faktor lingkungan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lingkungan disekitar mereka (teman-teman) memiliki perilaku prososial yang baik. Menurut pengakuan anak-anak, lingkungan sekitar mereka cenderung memiliki perilaku prososial yang baik. Keadaan ini juga akan mempengaruhi perilaku subjek untuk berperilaku prososial juga. Faktor lain yang turut mempengaruhi perilaku prososial adalah faktor keluarga. Dari beberapa wawancara yang dilakukan penulis kepada wali murid SD Lab Salatiga jelas sekali bahwa faktor keluarga dan lingkungan berperan penting dalam mengajarkan perilaku anak. Hampir semua wali murid mengajarkan perilaku-perilaku prososial di lingkungan rumah. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Eleanor E. Maccoby, seorang psikolog dan mengajar di Stanford University, yang mengatakan bahwa begitu kuatnya efek
televisi pada anak-anak sehingga membuat berubahnya perilaku anak-anak tersebut. Namun, hasil penelitian ini justru tidak sejalan dengan teori kultivasi yang menyatakan bahwa media, khususnya televisi, memiliki pengaruh yang kuat dalam mengubah individu, karena di Indonesia peran keluarga terutama orang tua dalam mendidik anak masih begitu kuat. Teori kultivasi berpendapat bahwa televisi sangat bertanggung jawab dalam hal perkembangan persepsi tentang norma dan realitas dari hari ke hari (Gerbner, Gross, Morgan & Signorielli, 1990).
5. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik beberapa kesimpulan yakni : 1.
Responden rata-rata memperhatikan dan menghayati tayangan anak yang mereka tonton. Sedangkan pada variabel perilaku prososial, responden memiliki rata-rata yang tinggi, artinya responden memiliki perilaku prososial yang baik. Berdasar data perilaku lingkungan, diketahui lingkungan memiliki perilaku prososial yang baik.
2.
Dampak menonton tayangan anak lebih cenderung kepada perilaku prososial dibanding kepada perilaku antisosial. Dampak perilaku menonton tayangan anak terhadap perilaku prososial lebih kuat terjadi pada penonton heavy viewer dibanding pada penonton light viewer. Perilaku menonton tayangan anak dapat mempengaruhi 21,6% perilaku prososial penonton heavy viewer sedangkan pada penonton light viewer mampu mempengaruhi 15,5% perilaku prososial.
3. Penelitian justru mengritisi teori kultivasi di Negara Barat peran televisi terutama untuk anak- anak, ia akan menggangap apa yang ada di televisi adalah realita sesungguhnya di sekitar mereka. Semakin sering anak menonton tayangan – tayangan yang bermuatan prososial maka ia akan juga berperilaku prosial. Semakin banyak seseorang menghabiskan waktu untuk menonton televisi, semkin kuat kecenderungan orang tersebut menyamakan realitas televisi dengan realitas sosial. Dunia nyata (real world) di sekitar penonton disamakan dengan dunia rekaan media tersebut ( symbolic word). Dengan kata lain penonton mempersepsi apapun yang ada di
dunia
televisi
dengan
dunia
sesungguhnya.
Namun
teori
ini
tidak
menggeneralisasikan pengaruh tersebut berlaku untuk semua penonton, melainkan lebih cenderung pada penonton dalam kategori berat (heavy viewer).
Tetapi teori
kultivasi tidak berlaku di Indonesia, karena pada kenyataannya peran keluarga lebih dominan untuk mempengaruhi perilaku seseorang.
6. PENUTUP Sebagai
penutup,
maka
berdasar
kesimpulan
hasil
penelitianini,
peneliti
mengajukan saran kepada orang tua untuk lebih selektif dalam memilihkan program tayangan anak, Karena tidak semua tayangan anak berdampak positif pada anak. Tayangan TV terbukti cukup efektif dalam membentuk dan mempengaruhi prilaku anakanak lantaran media ini sekarang telah berfungsi sebagai sumber rujukan dan wahana peniruan. Tayangan TV akan berdampak positif bagi pembentukan moralitas anak-anak jika cara pemanfaatan dilakukan secara benar. Televisi sebagai produk teknologi sejatinya bersifat netral. Bisa berdampak positif atau negatif tergantung bagaimana penggunaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ardianto, E & Erdinaya, Lukiati Komala. 2005. Bandung : Simbiosa Rekatama Media.
Komunikasi Massa Suatu Pengantar.
Ardiyanto, Yuli. 2007. Hubungan Antara Intensitas menonton Film Porno dengan Perilaku Sexsual Remaja Selama Pacaran. Skripsi ( tidak diterbitkan). Salatiga : Fakultas Psikologi UKSW Effendy, O. U. 2003. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya Effendy, O. U. 2007. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Gerbner, G, Gross, L., Morgan, M., & Signorielli, N. 1986. living With Television : The Dynamics of The Cultivation Process. Hildale, NJ : Laurence Erlbaum Kartono, Kartini. 2007. Psikologi Anak. Bandung : Mandar Maju. Kriyantono, Rakhmat. 2006. Riset Komunikasi. Sidoarjo : Kencana Prenada Media. Mulyana
Deddy. 2005. Rosdakarya.
Konteks
–Konteks
Komunikasi.
Bandung
:
PT.
Remaja
Mussen, H.P., Conger, J.J., & Kangan, J. (1979). Child Development and Personality. New York : Harper and Row Publisher. Nurudin, 2007. Pengantar Komunikasi Massa, Rajawali Pers, Jakarta. Sears, David O, 1994. Psikologi Sosial. Jakarta : Penerbit Erlangga. Severin, Werner J., Tankar, James. W. Jr. Teori Komunikasi : Sejarah, Metode & Terapan di dalam Media Massa, (5 ed). Jakarta : Prenada Media Sugiyono,2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alvabeta. Supramono, 2005. Metode Penelitian Bisnis. Salatiga: FE-UKSW. Rahkmat, Jalaluddin,2007. Psikologi Komunikasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.