Halaman 69 Aplikasi Teori Metabahasa Makna Alami dalam Kajian Makna
❏ Mulyadi ❏ Rumnasari K. Siregar
APLIKASI TEORI METABAHASA MAKNA ALAMI DALAM KAJIAN MAKNA Mulyadi dan Rumnasari K. Siregar Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Politeknik Negeri Medan Abstract This article describes the method of natural semantic metalanguage theory in meanings of words in Indonesian. Sample of the words are some Indonesia verbs, nouns, and adjectives. The purposes are to explain several basic concepts of the theory and some of research procedures. Semantic properties of a word are explored by means of syntactic and semantic evidences. The result of explication showed that the theory of natural semantic metalanguage could simplify the complex meanings of words which were related semantically in order to understand their similarities and difference. Key words: semantic primitives, polysemy, universal syntax of meaning, semantic property
1. PENGANTAR Sejak awal perkembangan linguistik, makna kurang mendapat perhatian dari para ahli bahasa. Bloomfield (1933), misalnya, berpendapat bahwa makna merupakan butir paling lemah dalam linguistik sehingga lebih tepat dimasukkan dalam disiplin lain seperti sosiologi dan psikologi. Chomsky (1955), seperti disitir oleh Wierzbicka (1996b: 7), juga menghindari makna dalam ancangan sistem formalnya. Bahasa dibatasinya sebagai rangkaian simbol yang tidak bisa ditafsirkan dan hanya dihasilkan oleh kaidah produksi seperti bahasa komputer. Pandangan Chomsky tentang makna tercermin dalam kutipan berikut: “if it can be shown that meaning and related notions do play a role in linguistic analysis, then … a serious blow is struck at foundations of theory linguistic” (1955: 141 via Wierzbicka 1996b: 7—8). Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pada periode 1970-an barulah makna mendapat tempat yang layak dalam teori linguistik. Telaah empiris tentang makna ini terdapat dalam teori Natural Semantic Metalanguage (Metabahasa Makna Alami, selanjutnya disingkat MMA). Tulisan ini akan menyajikan perspektif MMA dalam kajian makna dengan mendeskripsikan konsep dasar dan model aplikasinya pada data bahasa Indonesia. Teori MMA mempunyai dua keunggulan untuk aplikasi praktis. Pertama, MMA dapat diterima oleh semua penutur jati karena parafrase maknanya dibingkai dalam sebuah metabahasa yang bersumber dari bahasa alamiah. Kedua, MMA selalu terbuka untuk penyesuaian dan modifikasi terhadap representasi maknanya.
LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
2. KONSEP DASAR DALAM TEORI “MMA” Pelopor utama teori MMA adalah Anna Wierzbicka, ahli semantik keturunan Polandia yang menjadi dosen di Universitas Nasional Australia. Bersama beberapa koleganya—antara lain Cliff Goddard, Felix Ameka, Hilary Chappell, dan Jean Harkins, Wierzbicka selama bertahuntahun mengembangkan MMA melalui penelitian semantik lintas bahasa. Teorinya diawali dengan penyelidikan makna asali (semantic primitives) secara empiris melalui metode coba dan ralat (trial and error) dan temuannya kemudian diterbitkan dalam buku Semantic Primitives (1972). Dalam daftar publikasinya (periksa
) tampaknya fase penelitian Wierzbicka berlanjut hingga kini dengan tetap mempertahankan tujuan dasar dari rancangan penelitiannya, yaitu menyelidiki makna asali universal, menghindari fitur dan pemarkah artifisial, menolak sistem representasi logis, dan mempercayai bahasa alamiah sebagai satu-satunya sistem eksplanatori dalam representasi makna (Wierzbicka 1996b: 31). Asumsi dasar dalam teori MMA berhubungan dengan prinsip semiotis yang menyatakan bahwa analisis makna akan menjadi diskret dan tuntas, dalam arti makna kompleks apa pun dapat dijelaskan tanpa perlu berputar-putar dan tanpa residu dalam kombinasi makna diskret yang lain (Goddard 1994: 2, 1996a: 24, Wierzbicka 1996a: 10). Namun, agar diskret dan tuntas analisis maknanya harus menggunakan perangkat makna asali sebagai elemen akhir, yaitu sebuah perangkat makna tetap yang diwarisi manusia sejak lahir. Asumsinya, makna sebuah
Volume II No. 2 Oktober Tahun 2006 Universitas Sumatera Utara
Halaman 70 ❏ Mulyadi ❏ Rumnasari K. Siregar kata merupakan konfigurasi dari makna asali, bukan ditentukan oleh makna yang lain dalam leksikon. Penting diketahui bahwa gagasan makna asali bukanlah sebuah konsep baru dalam literatur semantik. Pada Abad ke-17 keberadaan makna ini sudah diakui oleh para ahli seperti Descartes, Pascal, Arnauld, dan Leibniz (periksa Goddard 1994: 2, Wierzbicka 1996b: 12). Arnauld (1662/1964: 86—87 via Goddard 1994: 2), misalnya, mengatakan bahwa: “It is impossible to define all words. In defining we employ a definition to express the idea which we want to join to defined word; if we then wanted to defined 'the definition', still other words would be needed—and so on to infinity. Hence, it is necessary to stop at some primitive words which are not defined.” Aristoteles (1937: 141 via Wierzbicka 1996b: 10) juga mengemukakan hal senada. Menurut Aristoteles, sebuah definisi haruslah dibuat dengan menggunakan istilah yang dapat dimengerti, bukan dengan istilah yang acak. Jika tidak digunakan istilah yang lebih dapat dimengerti, definisi tersebut akan sukar dipahami. Ide Wierzbicka tentang makna asali diilhami oleh ceramah Andrzej Boguslawski di Universitas Warsawa pada tahun 1965. Boguslawski ketika itu berpendapat bahwa makna asali yang gagal diancangi di dalam filsafat sehingga dianggap utopia dapat direalisasikan dalam linguistik (Wierzbicka 1996b: 13). Namun, harus diakui bahwa Wierzbicka adalah orang pertama yang menaruh perhatian terhadap gagasan makna asali dalam teori semantik. Dia dan teman-temannya secara intensif mengeksplorasi makna asali dari berbagai bahasa. Pada tahun 1972 baru empat belas makna asali yang berhasil ditemukannya dan sebelas di antaranya terbukti efektif dalam analisis makna (Goddard 1996a: 24, Wierzbicka 1996b: 31). Pada tahun 1980 jumlahnya menjadi 15, tetapi sejumlah makna lain disebut sebagai kandidat yang mungkin dimasukkan pada fase berikutnya (Goddard 1996a: 24). Dalam Lokakarya Semantik di Adelaide tahun 1986 Goddard mengusulkan beberapa makna asali yang baru. Proses perluasan ini terbukti memudahkan analisis makna pada berbagai ranah semantis dan memungkinkan untuk memformulasikan eksplikasi makna yang lebih menarik dan secara intuitif dapat dimengerti. Pada tahun 1996 jumlahnya 55 elemen (Goddard 1996a: 24—37, Wierzbicka 1996b: 35—111). Pada tahun 2004 menjadi 60 karena adanya tambahan elemen BODY, TRUE, HAVE, NOW, BELOW sementara TOUCH dan LONG sebagai kandidat (dalam http://www-personal.une.edu.au/~cgoddard). LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
Aplikasi Teori Metabahasa Makna Alami dalam Kajian Makna Perangkat makna tersebut tampak pada tabel di bawah ini. Tabel Perangkat Makna Asali Substantives I, YOU, SOMEONE/PERSON, PEOPLE, SOMETHING/THING, BODY Mental THINK, KNOW, WANT, predicates FEEL, SEE, HEAR, SPEECH: SAY, WORD, TRUE Actions, events, DO, HAPPEN, MOVE, and movement (TOUCH) Existence and THERE IS, HAVE possession Life and death LIVE, DIE Determiners THIS, THE SAME, OTHER Quantifiers ONE, TWO, ALL, MANY/MUCH, SOME Evaluators GOOD, BAD Descriptors BIG, SMALL, (LONG) Time WHEN/TIME, AFTER, BEFORE, A LONG TIME, A SHORT TIME, FOR SOME TIME, NOW, (MOMENT) Space WHERE/PLACE, HERE, ABOVE, BELOW; FAR, NEAR; SIDE, INSIDE Logical IF, NOT, CAN, BECAUSE, Concepts MAYBE Intensifier, VERY, MORE augmentor Taxonomy, KIND OF, PART OF partonomy Similarity LIKE Konsep dasar lain dalam teori MMA ialah polisemi, yang dipahami sebagai bentuk leksikon tunggal untuk mengekspresikan dua makna asali yang berbeda. Di antara dua makna asali itu tidak terdapat hubungan komposisi (nonkomposisi) sebab masing-masing mempunyai kerangka gramatikal yang berbeda. Misalnya, dalam bahasa Yankunytjatjara konsep BERPIKIR dan MENDENGAR diwujudkan pada verba kulini (Wierzbicka 1996b: 25—26). Dalam bahasa Indonesia, verba menonton merupakan ekspresi dari MELIHAT dan MEMIKIRKAN (Mulyadi 2000: 81). Seperti halnya makna asali, polisemi juga bukanlah konsep baru (Goddard 1996a: 29, Beratha 1997: 113), kecuali cara mengidentifikasi eksponen dari makna asali. Pada tingkatan yang sederhana, eksponen dari makna asali yang sama mungkin menjadi polisemi dengan cara yang berbeda pada bahasa yang berbeda. Goddard (1996a: 29) memberi contoh makna kedua dari
Volume II No. 2 Oktober Tahun 2006 Universitas Sumatera Utara
❏ Mulyadi ❏ Rumnasari K. Siregar eksponen mukuringanyi INGIN dalam bahasa Yankunytjatjara menyerupai like, be fond of, dan need dalam bahasa Inggris padahal ranah penggunaannya berbeda dengan ranah want bahasa Inggris. Menurut Goddard (1996a: 31), ada dua hubungan nonkomposisi yang paling kuat, yakni hubungan pengartian (entailment-like relationship) dan hubungan implikasi (implicational relationship). Hubungan pengartian diilustrasikan pada MELAKUKAN/TERJADI dan MELAKUKAN PADA/TERJADI. Contohnya, jika X MELAKUKAN SESUATU PADA Y, SESUATU TERJADI PADA Y. Hubungan implikasi terdapat pada eksponen TERJADI dan MERASAKAN; contohnya, jika X MERASAKAN SESUATU, SESUATU TERJADI PADA X. Berikutnya adalah konsep aloleksi. Konsep aloleksi diusulkan pertama kali oleh Cliff Goddard pada Simposium Semantik di Canberra pada tahun 1992 (Wierzbicka 1996b: 26—27) untuk menerangkan beberapa bentuk kata yang berbeda dalam konteks komplementer mengekspresikan sebuah makna tunggal. Gagasan aloleksi berperan penting dalam ancangan MMA, terutama untuk bahasa infleksi. Ada beberapa tipe aloleksi. Pertama, aloleksi posisional untuk menerangkan kata I dan me bahasa Inggris. Keduanya mempunyai makna yang sama, kecuali posisinya: I sebelum verba dan me di posisi lain. Kedua, aloleksi kombinatorial untuk menjelaskan hubungan ‘someone’ dengan ‘person’. Berkombinasi dengan determiner dan kuantifier, ‘people’ berfungsi sebagai aloleks ‘someone’ (mis. ‘this someone’ = ‘this person’, ‘the same someone’ = ‘the same person’, ‘two someones’ = ‘two person’, dsb.). Juga berlaku untuk ‘something’ dan ‘thing’ (mis. ‘this something’ = ‘this thing’, ‘the same something’ = ‘the same thing’, ‘two somethings’ = ‘two things’). Ada pula aloleksi kasus. Misalnya, dalam bahasa Yankunytjatjara subjek verba kulini BERPIKIR, wangkanyi BERKATA, dan palyani MELAKUKAN memilih kasus ergatif, sedangkan mukuringanyi INGIN memilih kasus nominatif. Tipe aloleksi lain ialah aloleksi infleksi. Dalam kalimat seperti ‘I did something’ seperti (1a), kata did secara semantis kompleks (DO + kala lampau). Namun, jika diparafrase isi semantis kala lampaunya, maknanya menjadi ‘at some time before now’, seperti (1b). Dalam konteks ini, pilihan bentuk did menjadi automatis dan aloleksis. (1) a. I did something. b. At some time before now, I did/*do something.
LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
Halaman 71 Aplikasi Teori Metabahasa Makna Alami Dalam Kajian Makna Tipe aloleksi terakhir dinamakan aloleksi portmanteau, yaitu sebuah kata tunggal (morfem, frasem) mengekspresikan kombinasi makna asali. Contohnya, dalam bahasa Inggris can’t adalah kombinasi CAN + NOT. Dalam catatan Goddard (1996a: 28—29), banyak bahasa mempunyai aloleksi portmanteau pada bentuk negasi dan kadang-kadang berkombinasi dengan beberapa elemen lain. Kata noli dalam bahasa Latin, umpamanya, merupakan kombinasi TIDAK INGIN dan AKU MELAKUKAN. Konsep dasar selanjutnya ialah sintaksis makna universal (SMU). SMU dikembangkan oleh Wierzbicka pada akhir tahun 1980-an sebagai perluasan dari sistem makna asali (Goddard 1996a: 24). Dalam teori MMA makna dipahami sebagai struktur yang sangat kompleks, terdiri atas komponen berstruktur seperti ‘aku menginginkan sesuatu’, ‘ini baik’, atau ‘kau melakukan sesuatu yang buruk’. Kalimat seperti ini disebut SMU. Jadi, SMU adalah kombinasi dari butir-butir leksikon makna asali yang membentuk proposisi sederhana sesuai dengan perangkat morfosintaksisnya. Unit dasar SMU dapat disamakan dengan “klausa”, dibentuk oleh substantif dan predikat, serta beberapa elemen tambahan sesuai dengan ciri predikatnya. Contoh pola SMU antara lain ialah (2) a. Aku melihat sesuatu di tempat ini. b. Sesuatu yang buruk terjadi padaku. c. Jika aku melakukan ini, orang akan mengatakan sesuatu yang buruk tentang aku. d. Aku tahu bahwa kau orang yang baik. Pola kombinasi yang berbeda dalam SMU mengimplikasikan gagasan pilihan valensi. Contohnya, elemen MELAKUKAN, selain memerlukan “subjek” dan “komplemen” wajib (seperti ‘seseorang melakukan sesuatu’), juga “pasien” (seperti ‘seseorang melakukan sesuatu pada seseorang’). Begitu pula, MENGATAKAN, di samping memerlukan “subjek” dan “komplemen” wajib (seperti ‘seseorang mengatakan sesuatu’), juga “pesapa” (seperti ‘seseorang mengatakan sesuatu pada seseorang’), atau “topik” (seperti ‘seseorang mengatakan sesuatu tentang sesuatu’), atau “pesapa” dan topik” (seperti ‘seseorang mengatakan sesuatu pada seseorang tentang sesuatu’). Tiga konsep dasar di atas, yaitu makna asali, polisemi, dan sintaksis makna universal sangat relevan diterapkan pada bahasa Indonesia. Konsep aloleksi hanya cocok untuk bahasa yang memiliki infleksi dan kasus. Hubungan ketiga konsep tersebut dalam kajian makna diringkas dalam skema di bawah ini.
Volume II No. 2 Oktober Tahun 2006 Universitas Sumatera Utara
Halaman 72 ❏ Mulyadi ❏ Rumnasari K. Siregar
Aplikasi Teori Metabahasa Makna Alami dalam Kajian Makna
makna asali polisemi
makna asali
3. APLIKASI TEORI “MMA“ Dalam tulisan ini, teori MMA diterapkan pada beberapa data bahasa Indonesia untuk menjelaskan model aplikasinya. Dalam analisis makna diikuti prosedur penelitian berikut: (1) menentukan makna asali dari kata-kata yang akan dianalisis, (2) mencari polisemi yang tepat dari maknanya, (3) mengungkapkan properti semantis yang lain di dalam makna kata tersebut disertai bukti-bukti sintaksis dan semantis, (4) membandingkan properti semantis kata-kata yang dianggap bertalian untuk memperlihatkan persamaan dan perbedaan maknanya, dan (5) membentuk SMU berdasarkan properti semantis yang ditemukan, dan (6) memparafrase atau mengeksplikasi makna kata-kata tersebut. Dalam prosedur pertama, penentuan makna asali sebuah kata sangat penting agar dapat dideskripsikan maknanya dengan tepat. Sebagai ilustrasi, kata-kata seperti mempercayai, menduga, mengkhayal, dan mendambakan mempunyai makna asali MEMIKIRKAN. Semua kata tersebut mensyaratkan pikiran. Begitu pula, MELIHAT menurunkan makna memandang, menatap, menonton, mengawasi, memeriksa, dan melayat. BERGERAK menerangkan makna berjalan, berlari, terjun, menyelam, dan berenang. MENGATAKAN mengungkapkan makna memohon, berjanji, membantah, memerintah, melarang, dan memuji. Dalam bahasa Indonesia, ada kemungkinan sebuah makna asali menderivasi sejumlah makna lain sehingga terdapat tingkatan makna. Misalnya, makna asali MELAKUKAN antara lain menurunkan makna ‘mengambil’, ‘memberi’, ‘memegang’, ‘membawa’, ‘memotong’, ‘merusak’, dan ‘memukul’. Dari makna ‘mengambil’ dapat dijelaskan makna mencuri, menculik, merampok, menjarah, merebut, mengadopsi, memungut, dan menyita. Makna ‘memberi’ mewadahi makna menyerahkan, mewariskan, menyumbang, membeli, membayar, menjual, dan mengajar. Makna ‘membawa’ terdapat pada mengangkat, membopong, menggendong, memikul, mengusung, menggotong, dan menjunjung. Makna ‘memotong’ memayungi LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
sintaksis makna universal
makna
makna membelah, menebas, menebang, menyayat, menyembelih, menggorok, dan memancung. Makna ‘merusak’ melekat pada menggempur, membongkar, merombak, mendobrak, dan menjebol. Makna ‘memukul’ diekspresikan oleh kata menghantam, menghajar, menggebuk, meninju, menampar, menggebrak, dan menerjang. Prosedur yang kedua adalah pencarian polisemi. Prosedur ini boleh dikatakan merupakan kunci untuk membuka tabir makna kata. Dikatakan demikian sebab polisemi merupakan dasar pembentukan SMU, tentunya setelah diungkapkan dan dibandingkan properti semantis lain di dalam makna kata-kata tersebut. Contohnya, MENGATAKAN dapat berpolisemi dengan TERJADI untuk menggambarkan situasi semantis bahwa seorang penutur mengatakan sesuatu pada petutur karena ia menginginkan suatu peristiwa terjadi pada petutur. Makna kata-kata seperti memohon, meminta, menuduh, dan menuntut diwakili oleh polisemi ini. Lagi, makna MELIHAT dapat berpolisemi dengan MERASAKAN, MEMIKIRKAN, MENGETAHUI, dan MENGATAKAN (lihat Mulyadi, 2000). Pertimbangan semantisnya adalah bahwa orang akan MELIHAT sesuatu atau seseorang jika ia MERASAKAN sesuatu atau MEMIKIRKAN sesuatu. Begitu pula, orang akan MELIHAT sesuatu atau seseorang apabila ia ingin MENGETAHUI sesuatu atau ingin MENGATAKAN sesuatu. Prosedur ke-3 dan ke-4 bertalian erat dengan prosedur ke-5. Butir penting yang menghubungkan ketiganya adalah properti semantis. Sebagai contoh, dari eksplorasi yang dilakukan (lihat Mulyadi 1998: 134—148, 2004: 185—198) verba ujaran seperti memohon, meminta, menuduh, dan menuntut tetap memiliki perbedaan semantis kendatipun dibentuk oleh polisemi MENGATAKAN/TERJADI. Jelasnya, memohon berciri sopan, impersonal, dan formal, sedangkan meminta berciri langsung, personal, dan informal. Misalnya, seorang suami lazimnya akan meminta istrinya untuk melakukan sesuatu. Namun, jika mereka bercerai, dia akan memohon, bukan meminta, katakanlah, agar dia diizinkan melihat anaknya.
Volume II No. 2 Oktober Tahun 2006 Universitas Sumatera Utara
❏ Mulyadi ❏ Rumnasari K. Siregar Lebih jauh, dalam memohon penutur menahan diri dari anggapan bahwa orang yang ditujunya (petutur) harus memenuhi permohonannya (terbentuk dalam SMU ‘aku tidak ingin mengatakan bahwa kau harus melakukan sesuatu’). Penutur lebih menginginkan sesuatu terjadi (‘aku ingin sesuatu terjadi’) daripada petutur melakukan sesuatu. Jadi, memohon berfokus pada keadaan yang diinginkan. Dalam meminta, penutur menginginkan hasil tertentu melalui tindakan petutur. Namun, karena penutur menganggap petutur enggan memenuhi permintaannya, penutur akan mengemukakan alasan yang meyakinkan mengapa petutur harus memenuhi permintaannya (‘aku berpikir bahwa ada alasan yang baik mengapa kau harus melakukan sesuatu’). Perbedaan makna di antara memohon dan meminta dapat dijustifikasi pula pada latar sintaksis. Misalnya, (3) a. Mbah Wiryo memohon pada Sutal untuk membebaskan Arif. b. *Mbah Wiryo memohon Sutal untuk membebaskan Arif. (4) a. Amir meminta uang pada ibunya. b. *Amir meminta ibunya uang. Dari contoh di atas tampak bahwa dalam bahasa Indonesia orang yang dimohon melakukan sesuatu tidak dapat menempati slot objek langsung. Hal ini merefleksikan perbedaan sikap penutur pada petutur dan menunjukkan bahwa orang tidak mengatakan apa yang diinginkannya secara terus terang. Demikian pula, orang yang diminta melakukan sesuatu tidak bisa diberi status objek langsung. Apa yang diminta harus dikatakan secara langsung, dan posisi yang tepat adalah pada objek langsung. Makna menuduh dan menuntut mengimplikasikan tindakan yang buruk. Apabila X menuduh Y, hal ini didasarkan pada anggapan bahwa Y melakukan sesuatu yang buruk; misalnya menuduh seseorang mencuri, berbohong, atau mengintip. Kata menuntut juga demikian. Di samping itu, dengan menuduh atau menuntut seseorang, penutur mengetahui bahwa orang tersebut akan merasakan sesuatu yang buruk. Perhatikan kalimat berikut: (5) Dia menuduh dua pemain AC Milan menerima suap. (6) Warga menuntut agar terdakwa dihukum seberat-beratnya. Perbedaan menuduh dengan menuntut terletak pada fakta bahwa dalam menuntut penutur mempunyai kewenangan atau alasan yang kuat dalam mengatakan sesuatu, tetapi dalam menuduh LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
Halaman 73 Aplikasi Teori Metabahasa Makna Alami Dalam Kajian Makna persyaratan demikian tidak terpenuhi. Misalnya, jaksa menuntut terdakwa, bukan jaksa menuduh terdakwa. Komponen kewenangan ini dirumuskan dalam SMU ‘X tahu bahwa X orang yang dapat mengatakan ini’. Setelah properti semantis kata-kata di atas berhasil diungkapkan dan dibandingkan satu sama lain, prosedur berikutnya adalah memparafrase maknanya, seperti dicontohkan di bawah ini. memohon X mengatakan sesuatu pada Y X mengatakan ini karena X ingin sesuatu terjadi X tidak ingin mengatakan bahwa Y harus melakukan sesuatu X mengatakan sesuatu seperti ini meminta X mengatakan sesuatu pada Y X mengatakan ini karena X ingin sesuatu terjadi X berpikir bahwa ada alasan yang baik mengapa Y harus melakukan sesuatu X mengatakan sesuatu seperti ini menuduh X mengatakan sesuatu pada Y X mengatakan ini karena X ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Y X tahu bahwa Y akan merasakan sesuatu yang buruk karena ini X mengatakan sesuatu seperti ini menuntut X mengatakan sesuatu pada Y X mengatakan ini karena X ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Y X tahu bahwa X orang yang dapat mengatakan ini X tahu bahwa Y akan merasakan sesuatu yang buruk karena ini X mengatakan sesuatu seperti ini Model aplikasi lain diilustrasikan pada kata-kata seperti gembira, bangga, lega, dan kecewa yang mempunyai makna asali MERASAKAN, dan makna ini berpolisemi dengan MEMIKIRKAN. Alasannya, orang yang merasakan emosi tertentu berarti mempunyai pikiran tertentu tentang situasi khusus, dan situasi ini direpresentasikan dalam perangkat komponen kognitif: ‘X memikirkan sesuatu seperti ini: …’ Pikiran yang dimaksud melibatkan acuan pada tindakan atau peristiwa, sesuatu yang ‘baik’ atau ‘buruk’, dan ‘ingin’ atau ‘tidak ingin’. Bagaimana mengeksplorasi properti semantisnya? Orang Indonesia merasa gembira kalau memperoleh hadiah atau uang, bertemu dengan teman lama, atau menikahkan anggota keluarganya. Rasa bangga muncul selain karena
Volume II No. 2 Oktober Tahun 2006 Universitas Sumatera Utara
Halaman 74 ❏ Mulyadi ❏ Rumnasari K. Siregar
Aplikasi Teori Metabahasa Makna Alami dalam Kajian Makna
kelebihan yang ada pada diri pengalam (misalnya, bangga mempunyai mobil, bangga mendapat juara satu di sekolah), juga karena kelebihan orang lain yang bertalian dengan dirinya; misalnya, bangga mempunyai anak pintar atau bangga mempunyai istri cantik. Kata gembira dan bangga mempunyai ciri temporal yang sama. Dalam maknanya terdapat batas temporal. Ketidakberterimaan kalimat (7) menjelaskan bahwa gembira dan bangga hanyalah peristiwa sesaat, dan acuan temporal ini dimarkahi oleh elemen ‘sedang’ (terbentuk dalam SMU ‘sesuatu yang baik sedang terjadi’).
orang mengetahui ini orang mengatakan sesuatu yang baik tentang aku karena ini aku menginginkan ini karena ini, X merasakan sesuatu yang baik.
(7) ??Sejak kejadian itu, ia gembira/bangga terus.
kecewa X memikirkan sesuatu seperti ini: sesuatu yang baik akan terjadi aku menginginkan ini setelah ini, X memikirkan sesuatu seperti ini: aku tahu sekarang: ini tidak terjadi karena ini, X merasakan sesuatu yang buruk
Perbedaannya ialah bahwa pada kata gembira terdapat SMU ‘aku ingin orang mengetahui ini’ untuk menjelaskan bahwa pengalam ingin menunjukkan perasaanya kepada orang lain. Cara yang biasa dilakukan ialah dengan mengundang teman, tetangga, dan kerabat untuk makan bersama di rumah. Pada kata bangga terdapat pola sintaksis universal ‘orang mengatakan sesuatu yang baik tentang aku’. Komponen ini menjelaskan bahwa orang merasa bangga jika orang lain memuji dirinya. Selanjutnya, makna lega berorientasi pada peristiwa masa mendatang. Dalam hal ini, ada kesamaan lega dengan kecewa. Perbedaannya terletak pada peristiwa yang diharapkan. Kalimat (8) menjelaskan bahwa orang yang lega berpikir tentang sesuatu yang buruk yang akan terjadi, tetapi ia kemudian mengetahui bahwa hal itu tidak terjadi. Oleh karena itu, orang tersebut merasakan sesuatu yang baik. Sebaliknya, orang yang kecewa mengharapkan sesuatu yang baik, tetapi peristiwa itu tidak terjadi. Akibatnya, orang tersebut merasakan sesuatu yang buruk. (8) a. X lega/??kecewa karena peristiwa yang buruk tidak terjadi. b. ??X lega/kecewa karena peristiwa yang baik tidak terjadi. Bandingkan makna keempat kata tersebut di bawah ini. gembira X memikirkan sesuatu seperti ini: sesuatu yang baik sedang terjadi aku menginginkan ini aku ingin orang mengetahui ini karena ini, X merasakan sesuatu yang baik.
lega X memikirkan sesuatu seperti ini: sesuatu yang buruk akan terjadi aku tidak menginginkan ini setelah ini, X memikirkan sesuatu seperti ini: aku tahu sekarang: ini tidak terjadi karena ini, X merasakan sesuatu yang baik
Dengan teknik analisis yang sama katakata seperti guru, dokter, dan petani yang dikenal sebagai kata profesi dalam bahasa Indonesia juga dapat diparafrase maknanya. Makna ketiga kata ini berpadanan pada elemen ‘seseorang’, ‘ingin’, dan ‘melakukan’. Namun, terdapat ciri semantis masing-masing. Pada kata guru terdapat elemen ‘mengetahui’ sebagai ciri terpenting; pada kata dokter terdapat elemen ‘merasakan’; dan pada kata petani elemen ‘mati’. Perhatikan parafrase maknanya di bawah ini. guru (X adalah guru) X adalah seseorang Jika kau ingin mengetahui sesuatu, kau menginginkan orang ini Setelah ini, orang ini akan melakukan sesuatu Orang ini mengatakan sesuatu padamu Sekarang, kau mengetahui sesuatu karena orang ini X adalah seseorang seperti orang ini dokter (X adalah dokter) X adalah seseorang Jika kau merasakan sesuatu yang buruk, kau menginginkan orang ini Setelah ini, orang ini akan melakukan sesuatu padamu Sekarang, kau merasakan sesuatu yang baik karena orang ini X adalah seseorang seperti orang ini
bangga X memikirkan sesuatu seperti ini: sesuatu yang baik sedang terjadi LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
Volume II No. 2 Oktober Tahun 2006 Universitas Sumatera Utara
❏ Mulyadi ❏ Rumnasari K. Siregar petani (X adalah petani) X adalah seseorang Orang ini melakukan sesuatu di suatu tempat Tidak ada jenis orang lain di tempat ini Semua orang menginginkan orang ini Jika tidak ada orang seperti orang ini, semua orang dapat mati X adalah seseorang seperti orang ini
4. SIMPULAN Teori MMA menggunakan konsep makna asali, polisemi, aloleksi, dan sintaksis makna universal dalam analisis makna. Cirinya ialah membatasi makna kata dengan menggunakan teknik parafrase. Skenario semantis disusun dari perangkat makna asali dan melalui perangkat itu dapat diungkapkan persamaan dan perbedaan makna kata. Deskripsi maknanya bersifat tuntas dan tidak berputar-putar. Linguis adakalanya bersikap skeptis terhadap munculnya suatu teori baru. Ini bukan sikap yang bijak. Untuk menilai sebuah teori dan mengetahui manfaat teori itu bagi kepentingan ilmu pengetahuan, teori tersebut perlu diuji pada sebuah bahasa. Teori MMA terbukti dapat digunakan untuk mengungkapkan fenomena semantis bahasa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Beratha, N. L. S. 1997. “Basic Concepts of a Universal Semantic Metalanguage”. Linguistika, 110—115. Bloomfield, L.1933. Language. London: George Allen & Unwin. Givon, T. 1975. “Cause and Control: On the Semantics of Interpersonal Manipulation”. Dalam Kimball (ed.) 1975. Syntax and Semantics, 4: 59—89. New York: Academic Press. Givon, T. 1984. Syntax: A Functional-Typological Introduction. Vol. 1. Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins. Givon, T. 1990. Syntax: A Functional-Typological Introduction. Vol. 2. Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins. Goddard, C. 1994. “Semantic Theory and Semantic Universal”. Dalam C. Goddard (con.) 1996. Cross-Linguistic Syntax from a Semantic Point of View (NSM Approach), 1—5. Australia: Australian National University.
LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
Halaman 75 Aplikasi Teori Metabahasa Makna Alami Dalam Kajian Makna Goddard, C. 1996a. “Building a Universal Semantic Metalanguage: the Semantic Theory of Anna Wierzbicka”. Dalam C. Goddard (con.) 1996. Cross-Linguistic Syntax from a Semantic Point of View (NSM Approach), 24—37. Australia: Australian National University. Goddard, C. 1996b. “Grammatical Categories and Semantic Primes”. Dalam C. Goddard (con) 1996. Cross-Linguistic Syntax from a Semantic Point of View (NSM Approach), 38—57. Australia: Australian National University. Mulyadi. 1998. “Struktur Semantis Verba Bahasa Indonesia”. (Tesis). Program Magister Linguistik Universitas Udayana. Mulyadi. 2000. “Struktur Semantis Verba Penglihatan dalam Bahasa Indonesia”. Linguistik Indonesia, 2: 77—89. Mulyadi. 2004. “Verba Ujaran dalam Bahasa Indonesia”. Dalam Tyrhaya Zein, dkk (peny.). 2004. Bahasa, Sastra, dan Budaya dalam Untaian Karya, 185—198. Medan: USU Press. Wierzbicka, A. 1987. English Speech Act Verbs: A Semantic Dictionary. Sydney: Academic Press. Wierzbicka, A. 1988. “The Semantics of Causative Constructions in a Cross-Linguistic Perspective”. Dalam A. Wierzbicka (ed.) 1988. The Semantic of Grammar, 237— 255. Amsterdam/ Philadelphia: John Benjamins. Wierzbicka, A. 1990. “The Semantic of Emotion: Fear and Its Relatives in English”. Australian Journal of Linguistics, 10:359— 375. Wierzbicka, A. 1996a. “The Syntax of Universal Semantic Primitives”. Dalam C. Goddard (con.) 1996. Cross-Linguistic Syntax from a Semantic Point of View (NSM Approach), 6—23. Australia: Australian National University. Wierzbicka, A. 1996b. Semantics: Primes and Universals. Oxford: Oxford University Press.
Volume II No. 2 Oktober Tahun 2006 Universitas Sumatera Utara