APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DAN PENGINDERAAN JAUH UNTUK MODEL HIDROLOGI ANSWERS DALAM MEMPREDIKSI EROSI DAN SEDIMENTASI (Studi Kasus: DTA Cipopokol Sub DAS Cisadane Hulu, Kabupaten Bogor)
DIAH IRAWATI DWI ARINI
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
RINGKASAN DIAH IRAWATI DWI ARINI. Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Penginderaan Jauh untuk Model Hidrologi ANSWERS dalam Memprediksi Erosi dan Sedimentasi. (Studi Kasus: DTA Cipopokol Sub DAS Cisadane Hulu, Kabupaten Bogor). Dibimbing oleh LILIK BUDI PRASETYO dan OMO RUSDIANA. Perubahan penutupan lahan hutan di kawasan hulu suatu Daerah aliran Sungai dapat mengakibatkan terjadinya suatu dampak yang berupa tingginya nilai erosi, sedimen serta fluktuasi debit. Daerah Tangkapan Air Cipopokol merupakan salah satu daerah tangkapan air yang berada di Sub DAS Cisadane hulu yang telah mengalami banyak perubahan lahan. Pendugaan terhadap besarnya nilai erosi dan sedimen yang terjadi merupakan salah satu upaya untuk memberikan gambaran mengenai kondisi suatu DAS sehingga dapat ditentukan tindakan yang paling tepat untuk menanggulangi tingginya nilai erosi dan sedimen yang terjadi. ANSWERS (Areal Nonpoint Source Wathersed Environment Response Simulation) merupakan salah satu model hidrologi yang disebut model terdistribusi, yang didefinisikan sebagai model dimana setiap parameternya mampu mewakili variabel keruangan dan waktu. Kelebihan ANSWERS dibandingkan dengan model hidrologi lainnya adalah ANSWERS mampu mengevaluasi dan merumuskan letak tata guna lahan sesuai dengan aspek konservasi. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkombinasikan antara SIG dan Inderaja untuk diaplikasikan ke dalam model hidrologi ANSWERS, memprediksi besarnya erosi dan sedimen dengan menggunakan model ANSWERS serta memetakan tingkat penyebaran erosi dan sedimentasi. Penelitian dilaksanakan di DTA Cipopokol Sub DAS Cisadane Hulu, Kabupaten Bogor dan Laboratorium Analisis Lingkungan dan Permodelan Spasial, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata IPB, pada Bulan Juli sampai dengan Bulan Oktober 2005. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra ASTER tahun 2004, peta batas DTA, peta topografi, peta sungai, peta jenis tanah, data curah hujan dan tinggi muka air Cipopokol. Data masukan atau input yang dibutuhkan di dalam model ANSWERS terdiri dari lima bagian yaitu data intensitas hutan, jenis dan parameter tanah, jenis dan parameter penutupan lahan, jumlah dan karakteristik saluran, serta data individu elemen. Data individu elemen (yang terdiri dari baris dan kolom, jenis tanah, jenis penutupan lahan, arah aliran, kemiringan lereng, ketinggian tempat dan nomor stasiun penakar hujan) diperoleh dari hasil pengolahan peta dengan menggunakan bantuan SIG dan Inderaja (dalam bentuk raster) untuk dirubah menjadi bentuk text file sehingga dapat terbaca dalam model ANSWERS. Setelah diperoleh hasil output/keluaran model ANSWERS, tahap selanjutnya adalah melakukan pengubahan kembali data menjadi bentuk raster untuk kemudian dipetakan kelas sedimen dan erosi yang terjadi. Tahap akhir dari penelitian ini adalah melakukan simulasi penggunaan lahan yang merupakan bentuk aplikasi model ANSWERS. Hasil output dari model ANSWERS berupa nilai erosi dan sedimen yang telah dikelaskan menghasilkan penyebaran luas nilai erosi dan sedimen yang diperoleh yaitu sedimen 0-0,5 Ton/Ha seluas 19,84 Ha, sedimen 0,5-1 Ton/Ha seluas 2,24 Ha, sedimen >1 Ton/Ha seluas 0,80 Ha, erosi 0-0,5 Ton/Ha seluas 14,08 Ha, erosi 0,5-1 Ton/Ha seluas 46,08 Ha, erosi 1-5 Ton/Ha seluas 72,80 Ha, erosi 5-10 Ton/Ha seluas 3,04 Ha dan erosi > 10 Ton/Ha seluas 0,32 Ton/Ha. Hasil prediksi nilai erosi dan sedimen dari output berupa ringkasan menunjukan bahwa hasil prediksi nilai erosi dan sedimentasi DTA Cipopokol pada kejadian hujan pada tanggal 8 Januari 2005 dengan curah hujan sebesar 46,70 mm yang menjadi runoff adalah sebesar 2,428 mm/jam, rata-rata kehilangan tanah yang terjadi adalah sebesar 0,353 Ton/Ha dengan laju erosi maksimum sebesar 29,088 Ton/Ha dan laju pengendapan maksimum adalah sebesar 4,624 Ton/Ha.
Kesimpulan yang diperoleh adalah Aplikasi SIG dan Inderaja dapat dikombinasikan ke dalam model ANSWERS untuk mempermudah dalam kegiatan perolehan data. Hasil simulasi menunjukan bahwa diperlukannya kegiatan rehabilitasi lahan terutama lahan dengan kemiringan >40% yang idealnya sebagai kawasan lindung dan telah berubah fungsi menjadi peruntukan lahan lain serta diperlukannya kegiatan penyuluhan mengenai teknik konservasi tanah dan air yang tepat yang ditujukan kepada masyarakat di DTA Cipopokol dan sekitarnya mengingat sebagian besar masyarakat DTA Cipopokol dan sekitarnya merupakan penggarap lahan. Hal ini bertujuan untuk meminimalkan kerusakan lahan yang terjadi akibat penerapan teknik konservasi yang salah.
APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DAN PENGINDERAAN JAUH UNTUK MODEL HIDROLOGI ANSWERS DALAM MEMPREDIKSI EROSI DAN SEDIMENTASI (Studi Kasus: DTA Cipopokol Sub DAS Cisadane Hulu, Kabupaten Bogor)
DIAH IRAWATI DWI ARINI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
Judul Skripsi : Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Penginderaan Jauh untuk Model Hidrologi ANSWERS dalam Memprediksi Erosi dan Sedimentasi (Studi Kasus: DTA Cipopokol Sub DAS Nama
Cisadane Hulu, Kabupaten Bogor) : Diah Irawati Dwi Arini
NRP
: E 34101044
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Ketua
Anggota
Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, MSc. 131 760 841
Ir. Omo Rusdiana, MSc.F 131 849 393
Mengetahui, Dekan Fakultas Kehutanan
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS 131 430 799
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan, yang telah memberikan berkat dan kasih karunia-Nya, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konesrvasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dengan judul “Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Penginderaan Jauh untuk Model Hidrologi ANSWERS dalam Memprediksi Nilai Erosi dan Sedimentasi (Studi Kasus: DTA Cipopokol, Sub DAS Cisadane Hulu, Kabupaten Bogor)” yang disajikan dalam skripsi ini memuat mengenai metode baru yang belum pernah diaplikasikan pada model hidrologi ANSWERS oleh penelitianpenelitian sebelumnya. Model hidrologi ANSWERS banyak dipakai sebagai sebuah model simulasi yang digunakan untuk merumuskan letak tata guna lahan berdasarkan aspek konservasi. Penggunaan SIG dan Penginderaan Jauh dimaksudkan untuk mempermudah perolehan data terutama dalam bentuk data spasial yang merupakan input model ANSWERS. Pembahasan di dalam skripsi ini hanya diberikan batasan mengenai bagaimana cara mengkombinasikan antara model hidrologi ANSWERS, SIG dan Penginderaan Jauh, memprediksi besarnya nilai erosi dan sedimen, serta yang memetakan kembali hasil keluaran model menjadi bentuk peta/image. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena intu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan penelitian selanjutnya.
Bogor, Desember 2005
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyadari bahwa terlaksananya penelitian hingga penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini ijinkanlah penulis menghaturkan rasa terima kasih yang tulus kepada: 1. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, MSc dan Ir. Omo Rusdiana, MSc.F sebagai pembimbing skripsi, atas bimbingan serta arahannya, mulai dari tahap penyusunan proposal sampai dengan terselesaikannya skripsi ini. 2. Ir. Andi Sukendro, MSi dan Ir. Sucahyo Sadiyo, MS sebagi dosen penguji dari Departemen Manajemen Hutan dan Departemen Hasil Hutan. 3. Pihak Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum-Ciliwung Bogor atas data beserta fasilitas yang telah diberikan. 4. Dinas Cipta Karya, Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. 5. Bapak, ibu, Albertus Fajar Irawan dan Stevani Diah Ardita Kusuma Dewi atas doa, kasih sayang dan kepercayaannya. 6. Keluarga besar KSH 38 atas keceriaannya dan kebersamaan 7. Anak-anak Wisma Pagar Bambu (Vety, Novi, Agnes, Efni, Ria) atas doa dan semangat yang telah diberikan. 8. Teman-teman SDAF 38 (Tiara, Vivi, Aji, Ambang) atas semua bantuan, semangat dan canda tawanya. 9. Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis berharap bahwa karya ini dapat memberikan inspirasi dan pemikiran yang berkaitan dengan pengelolaan khususnya di wilayah Daerah Tangkapan Air Cipopokol, Sub DAS Cisadane Hulu. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
Bogor, Desember 2005
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Semarang, Jawa Tengah pada tanggal
25
September 1982. Merupakan anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bernardus Soenarto dan Rr. Patricia Diah Kambali Retno SIP. Pendidikan formal penulis dimulai pada tahun 1987 di TK Melati Putih Semarang dan lulus pada tahun 1989, kemudian penulis melanjutkan ke SD St. Antonius II dan lulus
pada tahun 1995, kemudian
melanjutkan pendidikan ke SLTP Maria Mediatrix Semarang dan lulus pada tahun 1998. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 4 Semarang, lulus pada tahun 2001. Pendidikan perguruan tinggi ditempuh penulis di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) tahun 2001, dengan mengambil Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan. Selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Kehutanan, penulis pernah melakukan praktek lapang yaitu Praktek Umum Kehutanan di Kawah Kamojang dan Cagar Alam Leuweung Sancang, Garut, Jawa Barat, Praktek Umum Pengenalan Hutan di BKPH Karangnunggal dan BKPH Cikatomas, KPH Tasikmalaya, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat pada tahun 2004, dan terakhir penulis menyelesaikan Praktek Kerja Lapang (PKLP) di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan pada tahun 2005. Selain kegiatan praktek lapang, penulis telah mengikuti berbagai kegiatan dan organisasi baik di dalam maupun diluar perguruan tinggi. Organisasi yang pernah diikuti penulis antara lain Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan (HIMAKOVA) dan Kelompok Pemerhati Burung (KPB) Prenjak. Selain itu, penulis aktif dalam kegiatan Keluarga Mahasiswa Katholik (KEMAKI) Fakultas Kehutanan IPB. Kegiatan yang pernah di lakukan di luar kegiatan kampus diantaranya adalah kegiatan magang di Kebun Raya Bogor dibagian Tumbuhan Obat (2002), Taman Nasional Halimun-Salak (2003) dan sebagai volunteer dalam acara Asia Europe Environment Forum (2005). Sebagai salah satau syarat untuk meraih gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis melakukan penelitian dengan judul ”Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Penginderaan Jauh untuk Model Hidrologi ANSWERS dalam Memprediksi Erosi dan Sedimentasi. (Studi Kasus: DTA Cipopokol Sub DAS Cisadane Hulu, Kabupaten Bogor) dibawah bimbingan Dr. Ir Lilik Budi Prasetyo MSc dan Ir. Omo Rusdiana, MSc. F.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... v PENDAHULUAN Latar Belakang...................................................................................... Tujuan Penelitian .................................................................................. Manfaat Penelitian ................................................................................ TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Daerah Aliran Sungai (DAS) ........................................ Konsep Dasar dan Model Hidrologi ....................................................... Konsep Dasar Hidrologi ................................................................... Model Hidrologi ................................................................................ Erosi dan Sedimentasi ........................................................................... Penutupan dan Penggunaan Lahan....................................................... Sistem Informasi Geografis (SIG) .......................................................... Pengertian SIG ................................................................................. Kemampuan SIG............................................................................... Aplikasi SIG ...................................................................................... Penginderaan Jauh (Remote Sensing) ................................................. Pengertian Penginderaan Jauh ......................................................... Kemampuan Penginderaan Jauh ...................................................... Aplikasi Penginderaan Jauh.............................................................. Keterkaitan Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh .......... Citra Advanced Spaceborne Thermal Emmision and Reflection Radiometer (ASTER) ..................................................... Karakteristik Ctra ASTER.................................................................. Aplikasi Ctra ASTER .........................................................................
1 4 4 5 6 6 8 10 12 14 14 15 17 17 17 17 18 19 20 20 22
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian.................................................................. Alat dan Bahan ...................................................................................... Metode Penelitian .................................................................................. Tahap Pengumpulan Data ................................................................ Tahap Pembangunan Basis Data...................................................... Tahap Pembangunan Data Model Hidrologi ANSWERS ................... Tahap Pengujian Model .................................................................... Tahap Pemetaan Penyebaran Kelas Erosi dan Sedimentasi ............ Tahap Analisa Indeks Sensitivitas Model .......................................... Tahap Simulasi Penggunaan Lahan..................................................
24 24 25 25 26 32 37 39 40 40
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas ...................................................................................... Iklim ....................................................................................................... Tanah dan Geologi ................................................................................ Hidrologi ................................................................................................
42 42 42 43
Karakteristik Sosial Ekonomi dan Kependudukan .................................. 43 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisa Masukan Data model ANSWERS.............................................. Penutupan Lahan DTA Cipopokol ..................................................... Parameter Penutupan Lahan DTA Cipopokol.................................... Jenis dan Parameter Tanah .............................................................. Kondisi Saluran ................................................................................. Ketinggian Tempat/Elevasi................................................................ Kemiringan Lereng............................................................................ Arah Aliran ........................................................................................ Curah Hujan dan Debit...................................................................... Analisa Keluaran Data model ANSWERS.............................................. Pengujian Model .................................................................................... Pengujian Debit Model dan Lapangan............................................... Pengujian Sedimen Model dan Lapangan ......................................... Prediksi Hasil Erosi dan Redimen DTA Cipopokol ................................. Analisa Sensitivitas Model ..................................................................... Simulasi Penggunaan Lahan ................................................................. Skenario Penggunaan Lahan ............................................................ Hasil Simulasi Penggunaan Lahan....................................................
45 45 54 55 56 58 60 61 63 65 67 67 69 70 78 81 81 84
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan............................................................................................. 88 Saran ................................................................................................... 88 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 89 LAMPIRAN ................................................................................................... 91
DAFTAR TABEL Halaman 1. Spesifikasi Kanal Citra ASTER/TERRA .................................................. 21 2. Jenis dan Sumber Data........................................................................... 25 3. Parameter Tanah dan Cara Pengukurannya ........................................... 33 4. Pengkelasan Nilai Erosi dan Sedimentasi ............................................... 39 5. Penggunaan Lahan Desa Tangkil dan Lemah Duhur .............................. 43 6. Data Jumlah dan Kepadatan Penduduk ................................................. 44 7. Luas DTA Cipopokol Berdasarkan Penutupan Lahan.............................. 46 8. Akurasi Total (Overall Classification Accuracy) ...................................... 53 9. Akurasi Kappa (Overall Kappa Statistic).................................................. 53 10. Parameter Tata Guna Lahan DTA Cipopokol .......................................... 54 11. Jumlah Elemen untuk Masing-masing Penggunaan Lahan ..................... 55 12. Parameter Tanah DTA Cipopokol............................................................ 56 13. Jumlah Elemen Saluran/Sungai .............................................................. 57 14. Luas DTA Cipopokol Berdasarkan Kelas Ketinggian ............................... 58 15. Luas DTA Cipopokol Berdasarkan Kelas Kelerengan.............................. 61 16. Jumlah Elemen Arah Aliran ..................................................................... 61 17. Data Curah Hujan dan Debit Tanggal 8 Januari 2005 ............................ 63 18. Data Curah Hujan dan Debit Tanggal 2 Agustus 2005 ............................ 64 19. Debit Limpasan Model dan Pengamatan................................................. 67 20. Sedimen Melayang Model dan Pengamatan ........................................... 69 21. Luas Prediksi Nilai Erosi dan Sedimen Menurut Kelas Lereng dan Jenis Penggunaan Lahan................................................................. 76 22. Indeks Sensitifitas Parameter terhadap Rata-rata Kehilangan Tanah ................................................................................... 78 23. Indeks Sensitifitas Parameter terhadap Jumlah Limpasan ...................... 79 24. Indeks Sensitifitas Parameter terhadap Puncak Limpasan...................... 80 25. Skenario Penggunaan Lahan .................................................................. 87 26. Hasil Simulasi Penggunaan Lahan.......................................................... 87
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Bagan Alir Sistem Kerja dalam SIG......................................................... 15 2. Peta Lokasi Penelitian............................................................................. 24 3. Proses Konversi Peta Analog menjadi Peta Digital................................. 27 4. Proses Pembuatan DEM dan Arah Aliran................................................ 28 5. Proses Pengolahan Citra ASTER............................................................ 29 6. Proses Pembangunan Model Hidrologi ANSWERS................................. 36 7. Proses Pemetaan Penyebaran nilai Erosi dan Redimen ......................... 39 8. Bagan Alir Kerangka Penelitian ............................................................... 41 9. Kelas Penutupan Lahan Berupa Hutan ................................................... 46 10. Kelas Penutupan Lahan Berupa Perkebunan.......................................... 47 11. Tipe Penutupan Lahan Berupa Lahan Pertanian..................................... 49 12. Pemanfaatan Lahan untuk Peternakan dan Pemukiman......................... 50 13. Kelas Penutupan Lahan Semak Belukar ................................................. 51 14. Peta Penutupan Lahan DTA Cipopokol Tahun 2004 ............................... 52 15. Sungai di DTA Cipopokol ....................................................................... 57 16. Kondisi sungai pada waktu hujan ............................................................ 57 17. Peta Kelas Ketinggian Daerah Tangkapan Air Cipopokol........................ 59 18. Peta Kelas Lereng Daerah Tangkapan Air Cipopokol.............................. 60 19. Peta Arah Aliran DTA Cipopokol ............................................................. 62 20. Alat Penakar Curah Hujan/ARR .............................................................. 64 21. Summary Repport Hasil Keluaran Model ANSWERS.............................. 65 22. Grafik Hydrograph Hasil Keluaran Model ANSWERS.............................. 66 23. Keluran Data Model ANSWERS berupa Data Spasial............................. 67 24. Erosi Parit yang Terjadi di DTA Cipopokol............................................... 74 25. Teknik Konservasi Tanah Berupa Teras.................................................. 74 26. Peta Penyebaran Erosi dan Sedimentasi Daerah Tangkapan Air Cipopokol ............................................................................................... 77 27. Grafik Indeks Sensitifitas Parameter terhadap Kehilangan Tanah Rata-rata ................................................................... 78 28. Grafik Indeks Sensitifitas Parameter terhadap Jumlah Limpasan............ 79 29. Grafik Indeks Sensitifitas Parameter terhadap Puncak Limpasan ........... 80 30. Overlay antara Peta RTRW dan Peta DTA Cipopokol............................. 82
DAFTAR LAMPIRAN 1. Nilai TP, FP dan P untuk berbagai tekstur tanah (parameter tanah) 2. Nilai Kekasaran Saluran untuk Sungai Alami 3. Penetapan nilai PIT dan PER untuk parameter penggunaan lahan 4. Nilai RC dan HU dan nilai kekasaran penggunaan lahan (N) 5. Input Data untuk Model Hidrologi ANSWERS 6. Hasil Output Model Hidrologi ANSWERS 7. Titik Lapangan Hasil Ground truth 8. Peta Titik Ground Truth 9. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor
PENDAHULUAN Latar Belakang Air merupakan salah satu komponen yang sangat vital bagi kehidupan makhluk hidup. Menurut keberadaannya, air dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu air permukaan dan air tanah. Ketersediaan air di bumi sangat terkait dengan adanya siklus hidrologi, dimana air yang naik ke awan melalui proses evapotranspirasi pada saat mencapai titik jenuh akan menjadi hujan yang jatuh ke permukaan bumi. Selanjutnya, melalui proses infiltrasi air akan meresap ke dalam tanah (membentuk air tanah (ground water flow) dan aliran bawah permukaan (sub surface flow)) atau langsung ke sungai, danau dan laut (membentuk air permukaan/surface flow). Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu wilayah daratan yang menerima air hujan dan mengalirkannya kembali melalui satu sungai utama menuju ke hilir/muara yaitu berupa laut atau danau. Satu DAS dipisahkan dari wilayah lain di sekitarnya oleh pemisah alam berupa topografi (seperti punggung bukit), gunung dan lain sebagainya. Ekosistem suatu DAS biasanya terbagi ke dalam tiga bagian yaitu hulu, tengah dan hilir. Ekosistem DAS khususnya bagian hulu, merupakan bagian penting karena berfungsi sebagai daerah tangkapan air (water catchment area) yang diarahkan sebagai kawasan untuk perlindungan terhadap fungsi hidrologi. Supriadi (2000) menjelaskan bahwa kawasan hulu dari suatu DAS memiliki fungsi yang sangat penting, yaitu selain sebagai tempat penyedia air untuk dialirkan ke daerah hilir, (untuk kegiatan pertanian, industri dan pemukiman (water provision for regional economy)), juga berfungsi dalam memelihara keseimbangan ekologis yaitu sebagai sistem penunjang kehidupan. Kemampuan daya dukung pemanfaatan lahan hulu bersifat terbatas, kegiatan pembangunan yang tidak terkendali di kawasan hulu dari suatu DAS seperti konversi lahan bervegetasi/berhutan serta aktifitas merubah lanskap tidak hanya akan memberikan dampak negatif di wilayah di mana kegiatan tersebut berlangsung, namun juga dapat menimbulkan dampak di daerah hilir berupa banjir dan kekeringan. Asdak (2002) menjelaskan bahwa DAS hulu seringkali menjadi fokus perencanaan pengelolaan DAS mengingat bahwa daerah hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. Daerah Aliran Sungai Cisadane merupakan salah satu DAS di Propinsi Jawa Barat yang berhulu di Gunung Gede-Pangrango dan Halimun-Salak serta
merupakan DAS penting di wilayah kerja Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) Citarum-Ciliwung bagian Utara. Saat ini, kondisi DAS tersebut dapat dikatakan cukup memprihatinkan. Potensi lahan kritis yang berhasil dipetakan oleh BPDAS Citarum-Ciliwung pada tahun 2003 menunjukan areal yang cukup luas, yaitu sebesar 12.732,2 Ha atau hampir mencapai 8% dari luas keseluruhan DAS Cisadane (156.043 Ha). Keberadaan lahan kritis ini lebih banyak disebabkan oleh adanya kegiatan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan fungsinya. Kondisi yang cukup memprihatinkan juga ditunjukkan oleh adanya fluktuasi debit, yang menunjukan perbedaan angka yang cukup signifikan. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Propinsi Jawa Barat (2010) dijelaskan
bahwa
Wilayah
Sungai
Ciliwung-Cisadane
memiliki
potensi
sumberdaya air permukaan sebesar 5,5 miliyar m3/tahun (mencakup 4 DAS yaitu DAS Ciliwung, DAS Cisadane, DAS Kali Buaran dan DAS Kali Bekasi) yang berdasarkan hasil kajian pada tahun 2001 mempunyai kondisi sangat kritis, dimana rasio aliran mantap atau perbandingan antara kebutuhan air dan ketersediaan air/kondisi debit aliran sungai yang diharapkan selalu ada sepanjang tahun, namun saat ini kondisi keempat DAS tersebut telah berbeda lebih dari 100%. Hal tersebut tentunya sangat kontras dengan kenyataan bahwa kawasan Bodebek-Punjur merupakan kawasan yang mempunyai potensi perkembangan yang sangat pesat baik dari aspek pertumbuhan penduduk maupun laju pertumbuhan ekonominya yang selalu di atas Jawa Barat (Bapeda Propinsi Jawa Barat, 2004). Daerah Tangkapan Air (DTA) Cipopokol merupakan salah satu daerah tangkapan air dari Sub DAS Cisadane hulu yang saat ini telah banyak mengalami perubahan penutupan lahan. Penutupan lahan yang idealnya sebagai kawasan resapan air, telah berubah fungsi menjadi peruntukan lain seperti pemukiman, perkebunan, lahan pertanian dan lain sebagainya. Kondisi ini membawa pengaruh yang cukup nyata bagi kemampuan tanah untuk meresapkan
air
hujan
ataupun
memperkecil
terjadinya
erosi.
Menurut
www.jatam.org (2004), saat ini luas kawasan hutan yang ada di DAS Cisadane hanya sekitar 12% dan telah telah jauh dari kondisi ideal yang ditetapkan yaitu sebesar 30% dari luas DAS. Pengurangan luas kawasan hutan di DAS Cisadane lebih banyak disebabkan oleh adanya kegiatan penebangan di daerah hulu serta perubahan penggunaan lahan akibat meningkatnya kebutuhan masyarakat akan lahan untuk pertanian dan hunian.
Perubahan penutupan lahan di suatu daerah aliran sungai khususnya lahan hutan dapat menimbulkan berbagai macam dampak diantaranya yaitu tingginya nilai erosi dan fluktuasi debit, sehingga dalam hal ini pendugaan nilai erosi dan sedimen sangat diperlukan. Salah satu metode yang digunakan untuk menduga besarnya nilai erosi dan sedimen yaitu melalui pendekatan model hidrologi. Harto (1993) menyatakan bahwa model hidrologi merupakan sajian sederhana (simple representation) dari sebuah sistem hidrologi yang kompleks. Model hidrologi Areal Nonpoint Source Watershed Environment Response Simulation (ANSWERS) yang diperkenalkan oleh Beasley dan Huggins pada tahun 1991, merupakan salah satu model hidrologi yang disebut model terdistribusi artinya memiliki parameter yang dapat mewakili variabilitas keruangan dan waktu (space and time). Keunggulan model hidrologi ANSWERS dibandingkan dengan model hidrologi lainnya adalah mampu melakukan evaluasi dan merumuskan letak tata guna lahan sesuai dengan aspek konservasi. Beberapa penelitian yang telah dilakukan
dengan
menggunakan
model
hidrologi
ANSWERS
masih
menggunakan cara yang masih sangat sederhana terutama dalam kegiatan perolehan data, sehingga diperlukan suatu metode yang dapat diaplikasikan ke dalam model hidrologi ANSWERS, metode yang dimaksud adalah Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh. Penginderaan Jauh (remote sensing) merupakan suatu teknologi yang mampu melakukan pemantauan dan identifikasi segala macam hal yang ada di permukaan bumi melalui citra satelit maupun foto udara yang diolah dengan menggunakan fasilitas Sistem Informasi Geografis (SIG). Aplikasi Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh semakin berkembang luas, mulai dari analisis dan modeling dari data-data spasial hingga inventarisasi dan pengolahan data yang sederhana. Aplikasi SIG dan penginderaan jauh diharapkan akan sangat bermanfaat untuk diterapkan dalam model hidrologi ANSWERS terutama untuk membantu dalam memperoleh masukan atau input data serta dapat memetakan penyebaran kelas erosi dan sedimentasi. Dengan kata lain teknologi penginderaan jauh dan SIG akan sangat efektif dan efisien dalam membantu memberikan gambaran mengenai kondisi DAS sehingga diharapkan dapat membantu dalam menentukan tindakan pengelolaan bagi kegiatan rehabilitasi lahan khususnya di DTA Cipopokol Sub DAS Cisadane hulu.
Tujuan Penelitian 1. Mengkombinasikan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Penginderaan Jauh dalam aplikasi model hidrologi ANSWERS. 2. Memprediksi besarnya erosi dan sedimentasi di Daerah Tangkapan Air Cipopokol dengan menggunakan model hidrologi ANSWERS. 3. Memetakan tingkat penyebaran Erosi dan sedimentasi di Daerah Tangkapan Air Cipopokol. Manfaat Penelitian Pendugaan erosi dan sedimentasi diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kondisi Daerah Tangkapan Air Cipopokol yang merupakan bagian Hulu dari DAS Cisadane sehingga dapat menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan tindakan pengelolaan selanjutnya, terutama bagi kegiatan rehabilitasi di Daerah Tangkapan Air Cipopokol Sub DAS Cisadane Hulu.
TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Daerah Aliran Sungai (DAS) Daerah Aliran Sungai (Watershed) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang menerima air hujan, menampung dan mengalirkannya melalui satu sungai utama ke laut dan atau ke danau. Satu DAS, biasanya dipisahkan dari wilayah lain di sekitarnya (DAS-DAS lain) oleh pemisah alam topografi (seperti punggung bukit dan gunung. Suatu DAS terbagi lagi ke dalam sub DAS yang merupakan bagian DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai utamanya (Dirjen Reboisasi & Rehabilitasi Lahan, 1998). Asdak (2002) menyatakan pengertian DAS sebagai suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama. Wilayah daratan tersebut dinamakan Daerah Tangkapan Air (DTA) atau Water Catchment Area yang merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam (tanah, air, dan vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam. DAS merupakan suatu wilayah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya merupakan satu kesatuan ekosistem, termasuk didalamnya hidrologi dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi sebagai penerima, penampung dan penyimpan air yang berasal dari hujan dan sumber lainnya. Sungai atau aliran sungai sebagai komponen utama DAS didefinisikan sebagai suatu jumlah air yang mengalir sepanjang lintasan di darat menuju ke laut sehingga sungai merupakan suatu lintasan dimana air yang berasal dari hulu bergabung menuju ke satu arah yaitu hilir (muara). Sungai merupakan bagian dari siklus hidrologi yang terdiri dari beberapa proses yaitu evaporasi atau penguapan air, kondensasi dan presipitasi (Haslam, 1992). Dalam mempelajari ekosistem DAS, biasanya terbagi atas daerah hulu, tengah dan hilir. Secara biogeofisik, daerah hulu, tengah dan hilir dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut (Asdak, 2002): •
Daerah hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, memiliki kerapatan drainase tinggi, kemiringan lereng besar (> 15%), bukan merupakan daerah banjir, pemakaian air ditentukan oleh pola drainase dan jenis vegetasi umumnya merupakan tegakan hutan.
•
Daerah hilir dicirikan sebagai daerah pemanfaatan, memiliki kerapatan drainase kecil, kemiringan lereng sangat kecil (< 8%), di beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan), pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi, jenis vegetasi didominasi oleh tanaman pertanian kecuali daerah estuaria yang didominasi oleh hutan bakau atau gambut.
•
Daerah tengah merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik biogeofisik DAS yang berbeda antara hulu dan hilir. Mengacu pada pengertian DAS dalam uraian tersebut, maka di dalam
suatu DAS, terdapat berbagai komponen sumberdaya, yaitu sumberdaya alam (natural capital) (terdiri dari udara/atmosphere, tanah dan batuan penyusunnya, vegetasi, satwa), sumberdaya manusia/human capital (beserta pranata institusi formal maupun informal masyarakat/social capital)) dan sumberdaya buatan/man made capital yang satu sama lainnya saling berinteraksi (interaction) (Putro et al., 2003) Dalam pengelolaannya, suatu DAS memerlukan konsep pengelolaan yang
tidak
hanya
terbatas pada
batasan
wilayah
pembangunan
atau
administrasi, melainkan berdasarkan pada batasan wilayah ekologi. Namun dalam kenyataannya, kegiatan pengelolaan DAS seringkali dibatasi oleh batasan-batasan politis atau adminstrasi (negara, provinsi, kabupaten) dan kurang
dimanfaatkannya
batas-batas
ekosistem
alamiah.
Asdak
(2002)
menyatakan bahwa beberapa aktivitas pengelolaan DAS yang diselenggarakan di daerah hulu seperti kegiatan pengelolaan lahan yang mendorong terjadinya erosi, pada gilirannya akan menimbulkan dampak di daerah hilir (dalam bentuk pendangkalan sungai atau saluran irigasi karena pengendapan sedimen yang berasal dari erosi di daerah hulu). Peristiwa degradasi lingkungan seperti di atas jelas
akan
mengabaikan
penetapan
batas-batas
politis
sebagai
batas
pengelolaan sumberdaya alam. Konsep Dasar dan Model Hidrologi Konsep Dasar Hidrologi Hidrologi didefinisikan sebagai ilmu yang berkaitan dengan air bumi, terjadinya peredaran dan agihannya, sifat-sifat kimia dan fisikanya, dan reaksinya dengan
lingkungannya
termasuk
hubungannya
dengan
makhluk
hidup
(International Glossary of Hydrology dalam Seyhan, 1990). Secara ringkas, Lee
(1990) menyatakan bahwa hidrologi adalah ilmu mengenai air dan fenomena yang berkaitan dengan air. Konsep dasar mengenai ilmu hidrologi sangat berkaitan dengan siklus hidrologi. Daur atau siklus hidrologi diberikan batasan sebagai suksesi tahapantahapan yang dilalui air dari atmosfer ke bumi dan kembali lagi ke atmosfer. Presipitasi dalam segala bentuk (salju, hujan batu es, hujan dan lain-lain) jatuh ke atas vegetasi, batuan gundul, permukaan tanah, permukaan air dan saluransaluran sungai (presipitasi saluran). Air yang jatuh pada vegetasi mungkin diintersepsi (yang kemudian berevaporasi dan/atau mencapai permukaan tanah dengan menetes saja maupun sebagai aliran batang) selama suatu waktu atau secara langsung jatuh pada tanah (through fall) khususnya pada kasus hujan dengan intensitas tinggi dan lama. Sebagian besar presipitasi berevaporasi selama perjalanannya dari atmosfer dan sebagian pada permukaan tanah. sebagian dari prsipitasi yang membasahi permukaan tanah akan berinfiltrasi ke dalam tanah dan bergerak menurun sebagai perkolasi ke dalam mintakat jenuh di bawah muka air tanah. air ini secara perlahan berpindah melalui akifer ke saluran-saluran sungai. Beberapa air yang berinfiltrasi bergerak menuju dasar sungai tanpa mencapai muka air tanah sebagai aliran bawah permukaan. Air yang berinfiltrasi juga memberikan kehidupan pada vegetasi sebagai lengas tanah. Beberapa dari lengas ini diambil oleh vegetasi dan transpirasi berlangsung dari stomata daun. Setelah bagian presipitasi yang pertama yang membasahi permukaan tanah dan berinfiltrasi, suatu selaput air yang tipis dibentuk permukaan tanah yang disebut detensi permukaan/lapis air. Selanjutnya detensi permukaan menjadi lebih tebal (lebih dalam) dan aliran air mulai dalam bentuk laminer. Dengan bertambahnya kecepatan aliran, aliran air menjadi turbulen (deras). Air yang mengalir disebut sebagai limpasan permukaan. Selama perjalanannya menuju dasar sungai, bagian dari limpasan permukaan akan disimpan pada depresi permukaan yang disebut sebagai cadangan depresi. Akhirnya limpasan permukaan mencapai saluran sungai dan menambah debit sungai. Air pada sungai mungkin berevaporasi secara langsung ke atmosfer atau mengalir kembali ke dalam laut dan selanjutnya berevaporasi. Kemudian, air ini nampak kembali pada permukaan bumi sebagai presipitasi (Seyhan, 1990)
Model Hidrologi Rauf (1994) menjelaskan bahwa model hidrologi adalah sebuah gambaran sederhana dari suatu sistem hidrologi yang aktual. Dooge dalam Harto (1993) menyatakan pengertian sistem sebagai suatu struktur, alat, skema atau prosedur, baik riil maupun abstrak, yang dikaitkan dalam satu refrensi waktu tertentu sebuah masukan atau sebab, tenaga atau informasi dengan keluaran pengaruh atau tanggapan secara menyeluruh. Tujuan penggunaan model dalam hidrologi diantaranya : (1) peramalan (forecasting), termasuk didalamnya untuk sistem peringatan dan manajemen. Peramalan memberikan maksud bahwa baik besaran ataupun waktu kejadian yang
dianalisis
memberikan
berdasar
pengertian
cara
bahwa
probabilistik, besaran
(2)
perkiraan
kejadian
dan
(prediction),
waktu
hipotetik
(hypothetical future time), (3) sebagai alat deteksi dalam masalah pengendalian. Dengan sistem yang telah pasti dan keluaran yang diketahui maka masukan dapat dikontrol dan diatur, (4) sebagai alat pengenal (identification tool) dalam masalah perencanaan (planning), (5) eksplorasi data/informasi, (6) perkiraan lingkungan akibat perilaku manusia yang berubah/meningkat dan (7) penelitian dasar dalam proses hidrologi (Harto, 1993). Pendekatan model hidrologi umumnya bertujuan untuk mempelajari fungsi dan respon suatu DAS dari berbagai masukan. Model hidrologi merupakan salah satu pendekatan yang disimulasikan dalam kegiatan pengelolaan DAS yang diformulasikan dari masing-masing perubahan tata guna lahan. Contoh beberapa model hidrologi yang berkembang saat ini diantaranya adalah Universal Soil Loss Equation (USLE) yang kemudian disempurnakan menjadi Revised Universal Soil Loss Equation (RUSLE). Dalam permodelan hidrologi metode USLE dan RUSLE termasuk model empiris yang bersifat lumped dimana parameter dan variabel masukan, keluaran dan besaran yang mewakilinya tidak memiliki variabilitas keruangan atau spatial (Harto, 1993). Selanjutnya, Beasley dan Huggins (1991) memperkenalkan model Areal
Nonpoint
Source
Watershed
Environment
Response
Simulation
(ANSWERS). ANSWERS merupakan suatu model hidrologi yang dapat digunakan untuk mengevaluasi dan merumuskan letak dari tata guna lahan yang sesuai dengan aspek konservasi dan telah memenuhi besaran parameter yang mewakili variabilitas keruangan dan waktu (space and time) atau disebut juga model
terdistribusi
yang
selanjutnya
dikembangkan
oleh
Environmental
Protection Agency (EPA) dibawah Purdue Agricultural Experiment Station. Jenis model hidrologi yang sejenis dengan model ANSWERS diantaranya Modified Universal Soil Loss Equation (MUSLE) dan Agricultural Nonpoint Source Pollution Model (AGNPS). ANSWERS merupakan model simulasi karakteristik DAS, dimana biasanya digunakan untuk mengevaluasi kondisi DAS yang didominasi oleh lahan pertanian pada saat kejadian hujan tertentu. Aplikasi utama dari model ANSWERS
adalah
simulasi
perencanaan
dan
evaluasi
strategi
untuk
mengendalikan erosi. Satu dari karakteristik model hidrologi ini adalah pendekatan distribusi parameter yang menggunakan variabel spasial yaitu topografi, tanah, tataguna lahan dan parameter lainnya yang mempengaruhi distribusi parameter DAS dalam suatu logaritma komputasi. Struktur model ANSWERS didasarkan pada hipotesis bahwa laju aliran di setiap titik di dalam DAS memiliki hubungan fungsional dengan parameterparameter hidrologi yang mengendalikannya seperti intensitas hujan, topografi, jenis tanah dan penggunaan lahan. Oleh sebab itu didalam permodelan ANSWERS, suatu DAS diekspresikan sebagai kumpulan dari setiap elemen bujur sangkar yang disebut grid yang diasumsikan homogen yang memiliki parameter hidrologi dan erosi yang sama, sehingga variabilitas ruang di dalam DAS dapat diperhitungkan (Beasley dan Huggins, 1991). Penggunaan
model
ANSWERS
untuk
menduga
nilai
erosi
dan
sedimentasi telah banyak diuji coba dan diuji akurasinya oleh pakar hidrologi seperti Beasley et al. (1982), Dilaha et al. (1982), Ginting dan Ilyas (1997) yang masing-masing dilakukan pada DAS pertanian (714 ha), DAS konstruksi (43 ha) dan DAS berhutan (77.242,8 ha) (Sukresno et al., 2002). Kelebihan model ANSWERS dibandingkan dengan model hidrologi lainnya adalah mampu menganalisa parameter distribusi yang dipergunakan dan dapat memberikan hasil simulasi akurat tarhadap sifat daerah tangkapan, mampu memberikan keluaran berupa limpasan, sedimen dari suatu DAS. Berbagai asumsi yang digunakan dalam model ini diantaranya yaitu: erosi tidak terjadi di lapisan bawah permukaan, sedimen dari suatu elemen ke elemen yang lain akan meningkatkan lapisan permukaan elemen tempat pengendapan, pada segmen saluran atau sungai tidak terjadi erosi akibat hempasan butir hujan dan penghancuran tanah dalam saluran akibat hujan diasumsikan tidak ada. Namun demikian, model ANSWERS ini masih mempunyai keterbatasan untuk diterapkan
pada DAS yang berukuran lebih besar dari 10.000 ha (Beasley dan Huggins, 1991). de Roo dalam Kusumadewi (2002) menjelaskan bahwa di dalam ANSWERS, sejumlah hujan yang turun, sebagian diintersepsi oleh kanopi vegetasi (dengan penutupan PER) sampai potensial simpanan intersepsi (PIT) terjadi. Apabila laju curah hujan yang turun lebih besar dari laju intersepsi, infiltrasi ke dalam tanah dimulai. Laju infiltrasi dipengaruhi oleh kandungan air tanah mula-mula, porositas tanah total, kandungan air tanah pada kondisi kapasitas lapang, laju infiltrasi pada saat konstan, laju infiltasi awal dan kedalaman zona kontrol infiltrasi. Penurunan laju infiltrasi secara eksponensial dan meningkatnya kandungan air tanah menyebabkan tercapainya suatu titik ketika laju hujan yang turun lebih besar dari laju infiltrasi dan intersepsi. Jika kondisi ini terjadi, air mulai mengumpul di atas permukaan dalam depresi mikro (retention storage) yang dipengaruhi oleh peubah kekasaran permukaan RC dan HU. Jika retensi permukaan melebihi kapasitas depresi mikro maka akan terjadi limpasan permukaan (dipengaruhi oleh nilai n Manning, kelerengan dan arah aliran). Laju infiltrasi tetap akan dicapai bila lama dan intensitas kejadian hujan relatif besar. Pada saat hujan reda, proses infiltrasi berlangsung sampai air dalam simpanan depresi sudah tidak tersedia lebih lama lagi. Penghancuran dan pengangkutan partikel tanah disebabkan oleh dampak butiran hujan yang jatuh atau limpasan permukaan. Ada atau tidaknya partikel tanah yang dipindahkan tergantung besarnya sedimen dan kapasitas transpornya. Air dan sedimen yang dapat mencapai elemen yang memiliki saluran, selanjutnya akan diangkut menuju outlet DAS. Sedimentasi dalam saluran terjadi ketika besarnya kapasitas transpor telah dilewati. Erosi dan Sedimentasi Erosi merupakan proses terkikis dan terangkutnya tanah atau bagianbagian tanah oleh media alami yang berupa air (air hujan). Sedangkan yang disebut sebagai sedimen adalah tanah dan bagian-bagian tanah yang terangkut dari suatu tempat yang tererosi. Faktor penentu erosi dan sedimentasi diantaranya adalah iklim, topografi dan sifat tanah serta kondisi vegetasi. Erosi tanah merupakan suatu fenomena terpindahnya bagian tubuh tanah di suatu lokasi karena bekerjanya faktor-faktor erosi, baik erosi oleh air, angin, salju, serpihan, tumbuhan, binatang maupun manusia. Selanjutnya proses-
proses utama dalam peristiwa erosi tanah oleh air dapat berupa: pemecahan agregat tanah, pengangkutan dan pengendapan masa tanah hasil pemecahan. Di daerah iklim tropis, erosi tanah sebagian besar terjadi karena hujan, dan besar kecilnya erosi tergantung pada faktor-faktor sebagai berikut (Purwowidodo, 1999): 1. Intensitas curah hujan, energi kinetik dan jumlah hujan. 2. Erodibilitas tanah yaitu mudah tidaknya pemecahan atau pengangkutan tanah oleh air hujan. 3. Topografi 4. Penutupan lahan yang meliputi jenis penggunaan lahan, persen penutupan lahan dan nilai kekeasaran permukaan. 5. Manusia sebagai pengendali dalam mengatur penggunaan lahan dan pengolahan tanah serta pengendali proses percepatan erosi. Secara deskriptif, Arsyad (1989) menjelaskan bahwa erosi merupakan akibat interaksi dari faktor iklim, tanah, topografi, vegetasi dan aktifitas manusia terhadap sumberdaya alam. Definisi lain menjelaskan erosi sebagai peristiwa berpindahnya tanah dari suatu tempat ke tempat lain dengan media alam. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan erosi tanah diantaranya yaitu karakteristik hujan, kemiringan lereng, tanaman penutup dan kemampuan tanah untuk menyerap dan melepas air ke dalam lapisan tanah dangkal. Erosi tanah memiliki kecenderungan kehilangan tanah lebih cepat dari proses erosi geologi. Erosi yang dapat ditoleransikan memiliki arti bahwa erosi dapat diabaikan sepanjang area lahan produktif. Nilai toleransi erosi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya iklim, kedalaman tanah, kondisi substrata, permeabilitas lapisan tanah dangkal dan karakteristik pertumbuhan tanaman. Dampak dari erosi tanah dapat diklasifikasikan dalam dua kategori yaitu menurunnya produktifitas lahan seiring dengan kehilangan lapisan tanah bagian atas yang subur serta terjadinya sedimentasi di sungai yang menyebabkan kerusakan saluran dan berkurangnya kapasitas tampungan Arsyad (1989) menjelaskan bahwa sedimentasi merupakan proses terangkutnya atau terbawanya sedimen oleh suatu limpasan atau aliran air yang diendapkan pada suatu tempat yang kecepatan airnya melambat atau terhenti seperti pada saluran sungai, waduk, danau maupun kawasan tepi teluk/laut. Erosi berkaitan erat dengan sedimentasi, dimana sedimentasi merupakan hasil dari proses erosi yang mengendap di bagian bawah kaki bukit, di daerah
genangan banjir, di saluran air, sungai dan waduk. Sedimentasi merupakan perpindahan dan pengendapan erosi tanah, khususnya sebagai hasil dari percepatan erosi lembar dan alur. Sedimentasi menggambarkan material tersuspensi dan diangkut oleh gerakan air dan diakumulasi sebagai bed load. Dari proses sedimentasi, hanya sebagian aliran sedimen di sungai yang diangkut ke luar DAS, sedangkan lainnya mengendap di lokasi tertentu dari sungai. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sedimentasi diantaranya jumlah dan intensitas hujan, formasi geologi dan jenis tanah, tata guna lahan, topografi, erosi di bagian hulu, limpasan, karakteristik sedimen dan hidrolika saluran. Wischmeier and Smith dalam Suhartanto (2001) menyatakan bahwa berdasarkan mekanisme pergerakannya, sedimen dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu suspended load dimana partikel sedimen bergerak tersuspensi dalam aliran air dan bed load dimana partikel sedimen bergerak secara menggelinding dan melompat. Sedangkan menurut kondisi asalnya sedimen dapat dibagi menjadi dua macam yaitu bed materials transport, dimana material berasal dari saluran itu sendiri dan wash load dimana material tidak sama dengan sedimen bed load dan ditambah oleh material dari luar saluran.
Penutupan dan Penggunaan Lahan Selama ini pengertian lahan sering diartikan sama dengan istilah tanah, dalam
kenyataannya
lahan
memiliki
pengertian
yang
jauh
lebih
luas
dibandingkan dengan tanah. Tanah merupakan benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja antara iklim dan jasad hidup terhadap suatu bahan induk yang dipengaruhi oleh relief dan waktu (Arsyad, 1989). Menurut Aldrich dalam Lo (1995) menyatakan lahan sebagai material dasar dari suatu lingkungan (situs) yang diartikan berkaitan dengan sejumlah karakteristik alami yaitu iklim, geologi, tanah, topografi, hidrologi dan biologi. Lebih lanjut dijelaskan, lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya, termasuk di dalamnya adalah akibat-akibat kegiatan manusia baik masa lalu maupun sekarang seperti reklamasi di daerah pantai, penebangan hutan, dan akibat-akibat lain yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam (Harjdjowigeno dalam Ismail, 2004).
Pengetahuan mengenai penggunaan dan penutupan lahan sangat dibutuhkan terutama dalam kegiatan perencanaan dan pengelolaan yang melibatkan sumberdaya alam. Istilah penutupan lahan (land cover) berkaitan erat dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi sedangkan penggunaan lahan (land use) lebih berkaitan erat dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Hal yang sama dikemukakan oleh Jamulya & Soenarto dalam Trenggono et al. (1999) bahwa penggunaan lahan sebagai setiap bentuk dan intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material dan spiritual. Burley dalam Lo (1995) menjelaskan penutupan lahan sebagai konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan. Konstruksi tersebut seluruhnya tampak secara langsung dari citra penginderaan jauh. Terdapat tiga kelas yang tercakup dalam penutupan lahan yaitu : (1) struktur fisik yang dibangun oleh manusia; (2) fenomena biotik seperti vegetasi alami, tanaman pertanian dan kehidupan binatang; (3) tipe pembangunan. Lillesand & Kiefer (1990) menyatakan bahwa yang menjadi dasar dalam membedakan antara penutupan lahan dan penggunaan lahan adalah bahwa Informasi penutupan lahan dapat dikenal secara langsung dengan menggunakan penginderaan jauh yang tepat, informasi tentang kegiatan manusia pada lahan (penggunaan lahan) tidak selalu dapat ditafsir secara langsung dari penutupan lahannya. Ukuran minimum suatu daerah yang dapat dipetakan dalam kelas penggunaan lahan atau penutupan lahan tergantung pada solusi dan resolusi foto udara atau citra satelit. Data mengenai penutupan lahan dapat diperoleh dengan melakukan klasifikasi citra, dimana masing-masing kenampakan yang terdapat didalam citra dapat diklasifikasikan menjadi kelas-kelas penutupan lahan. Klasifikasi lahan merupakan penyusunan lahan ke dalam kelas-kelas yang dipengaruhi oleh faktor karakteristik lahan, kualitas lahan, pengaruh dari pengelolaan
pertanian,
penggunaan
lahan,
potensi
penggunaan
lahan,
kelayakan penggunaan lahan. Contoh pengelompokan tipe penggunaan atau penutupan lahan adalah sebagai berikut: a. Lahan kekotaan atau bangunan, terbentuk oleh daerah yang digunakan secara intensif dan banyak lahan yang tertutup oleh struktur. Apabila obyek mempunyai lebih dari satu kategori, maka harus diambil kategori yang utama.
b. Lahan pertanian, dapat diartikan sebagai lahan yang penggunaannya terutama untuk menghasilkan makanan dan serabut. c. Lahan hutan, daerah yang kepadatan tajuk pohonnya (persentase penutup tajuk) 10% atau lebih, batang pohonnya dapat menghasilkan kayu atau produksi kayu lainnya dan mempengaruhi iklim atau tata air lokal. d. Air, terdiri dari sungai, kanal, danau, waduk, teluk, muara. e. Lahan basah, daerah yang permukaan air tanahnya padat, dekat atau di atas permukaan lahan hampir sepanjang tahun. f.
Lahan gundul, lahan yang kemampuannya terbatas untuk mendukung kehidupan dan vegetasi atau penutup lainnya kurang dari sepertiga luas daerahnya. Lo (1995) menjelaskan bahwa salah satu faktor penting dalam
menentukan kesuksesan pemetaan penggunaan lahan dan penutupan lahan terletak pada pemilihan skema klasifikasi yang tepat dirancang untuk suatu tujuan tertentu. Skema klasifikasi yang baik harus sederhana didalam menjelaskan
setiap
kategori
penggunaan
lahan
dan
penutupan
lahan.
Selanjutnya, pemetaan penutupan dan penggunaan lahan membutuhkan keputusan bijak yang harus dibuat dan peta hasil tidak dapat dihindari mengandung beberapa derajat informasi yang digeneralisasi menurut skala dan tujan aplikasinya. Sistem Informasi Geografis (SIG) Pengertian SIG Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu sistem yang mampu mengumpulkan, menyimpan, mentransformasikan (mengedit, memanipulasi, menyetarakan format, dan lain sebagainya) (Kartasasmita, 2001). Definisi lain yang dikemukakan oleh Jaya (2002) menjelaskan SIG sebagai sebuah sistem yang berbasis komputer, terdiri dari perangkat keras berupa komputer (hardware), perangkat lunak (software), data geografis dan sumber daya manusia (brainware), yang mampu merekam, menyimpan, memperbaharui, dan menganalisis dan menampilkan informasi yang berreferensi geografis. Widjoyo dalam Bagja (2000) menyatakan SIG sebagai suatu sistem yang mampu mendeskripsikan obyek-obyek di permukaan bumi dalam tiga hal yaitu: data spasial yang berkaitan dengan koordinat geografi (contoh: lintang, bujur,
ketinggian), data atribut yang tidak berkaitan dengan koordinat geografi (contoh: iklim, jenis tanah), serta hubungan data spasial, data atribut dan waktu. Kemampuan SIG Definisi-definisi diatas menjelaskan bahwa secara umum SIG memiliki kemampuan dalam menangani data yang berreferensi geografis yang dapat dijelaskan secara sederhana pada gambar di bawah ini: Pemasukan Data
Manipulasi dan Pengelompokan Data
Keluaran Data
Tabel Laporan Pengukuran lapangan Data digital lain Peta (tematik, topografi,dll) Citra satelit
Peta
Storage (database)
Tabel Retrieval Input: - Digitasi - Scanning - Pengetikan - Transformasi - Import
Output Processing Laporan Informasi digital (Softcopy)
Foto udara
Data lainnya
Gambar 1. Bagan alir sistem kerja dalam SIG (Prahasta, 2002 dimodifikasi) 1. Pemasukan Data Burrough dalam Bagja (2000) menjelaskan bahwa input data merupakan proses pemasukan data ke dalam sistem komputer dimana data geografis dikodekan dan diubah ke dalam format digital sehingga dapat disimpan dan dimanipulasi. Prahasta (2002) menyatakan bahwa data input memiliki fungsi dalam mengkonversi dan mentransformasikan ke dalam format yang dapat digunakan oleh SIG. Secara umum, bentuk data dalam SIG dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu data raster dan data vektor. Data raster adalah data dimana semua obyek disajikan secara sekuensial pada kolom dan baris dalam bentuk sel-sel
atau yang sering disebut sebagai pixel (picture element). Masing-masing sel mewakili suatu areal yang berbentuk segiempat dan umumnya bujursangkar. Dalam model ini, setiap obyek baik yang berbentuk titik, garis dan polygon semuanya disajikan dalam bentuk sel (titik). Setiap sel memiliki koordinat dan informasi (atribut keruangan dan waktu). Model ini umumnya dimiliki oleh data citra satelit yang sudah siap dibaca oleh komputer sehingga sering disebut dengan Machine readable data. Sedangkan Data vektor adalah struktur data yang berbasis pada sistem koordinat yang umum digunakan untuk menyajikan feature peta. Data vektor biasanya diperoleh dengan alat digitasi (Jaya, 2002). 2. Manajemen Data Prahasta (2002) menjelaskan manajemen data sebagai suatu kegiatan mengorganisasikan baik data spasial maupun data atribut ke dalam sebuah basis data sedemikan rupa sehingga mudah dipanggil, diupdate dan diedit. Setelah data diinput ke dalam SIG, data tersebut di koreksi dan diperbaiki serta dibuat topologi, yaitu menghubungkan data spasial dan data atribut sebelum disimpan untuk dianalisis. 3. Manipulasi dan Pengelompokan Data Manipulasi merupakan kegiatan menentukan informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG serta melakukan manipulasi dan permodelan untuk menghasilkan informasi yang diharapkan. Widjoyo dalam Bagja (2000) menyatakan bahwa fungsi manipulasi dan analisa data adalah memungkinkan pengguna data melakukan berbagai jenis kegiatan seperti mengubah bentuk data, melakukan perbaikan data, melakukan penampalan (overlay) data dan perhitungan aritmetik atau generalisasi tentang informasi yang diperoleh. Pada dasarnya, manipulasi dan analisis data yang terdapat dalam SIG diantaranya yaitu klasifikasi dan pengumpulan kembali sifat data, perbaikan geometri, rotasi, pemberian skala, kombinasi dan konversi, penempatan dan pembagian garis, konversi struktur data, analisis ruang dan hubungan secara statistik, pengukuran jarak dan arah, analisis statistik 4. Keluaran Data Output data adalah suatu kegiatan menampilkan atau menghasilkan keluaran seluruh atau sebagaian basis data dalam bentuk softcopy maupun Hardcopy (tabel, grafik, peta, dan lain sebagainya).
Aplikasi SIG Aplikasi
SIG
diberbagai
bidang
sampai
saat
ini
semakin
jauh
berkembang. Prahasta (2002) menjelaskan beberapa hal yang menjadi alasan bahwa konsep dan aplikasi SIG sangat menarik untuk digunakan dalam berbagai bidang ilmu yaitu SIG sangat efektif, dapat digunakan sebagai alat bantu, mampu menguraikan unsur-unsur yang terdapat di permukaan bumi ke dalam bentuk beberapa layer atau coverage data spasial, memiliki kemampuan yang sangat baik dalam memvisualisasikan data spasial dan bentuk atribut-atributnya serta dapat menurunkan data-data secara otomatis tanpa keharusan untuk melakukan interpretasi secara manual. SIG dapat diterapkan dalam berbagai bidang ilmu diantaranya yaitu dalam
bidang
perencanaan
(perencanaan
pemukiman,
transmigrasi,
perencanaan tata ruang wilayah, perencanaan kota, perencanaan lokasi dan relokasi industri, pasar, pemukiman), bidang kependudukan atau demografi, bidang lingkungan dan pemantauannya (pencemaran sungai, danau, laut, evaluasi pengendapan lumpur atau sedimen baik di sekitar danau, sungai/ pantai, permodelan pencemaran udara, limbah berbahaya), bidang sumberdaya alam (inventarisasi manajemen dan kesesuaian lahan untuk pertanian, perkebunan, kehutanan, perencanaan, tata guna lahan, analisa daerah rawan bencana alam) dan lain sebaginya.
Penginderaan Jauh (Remote Sensing) Pengertian Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah suatu cara pemantauan tentang sifat dan kondisi suatu obyek atau fenomena alam di permukaan bumi untuk mendapatkan informasi tentang obyek itu sendiri ataupun sekitarnya tanpa harus kontak langsung dengan obyek tersebut melalui suatu alat (sensor) (Kartasasmita, 2001). Kemampuan Penginderaan Jauh Penginderaan jauh memiliki kemampuan dalam melakukan pemantauan untuk mendapatkan informasi. Informasi yang diperoleh adalah merupakan kenampakan suatu obyek yang dapat dilihat melalui foto udara atau citra satelit. Informasi-informasi tersebut diantaranya bentuk topografi (mencakup pola bentuk
wilayah dan aspek lereng), pola drainase (yang mempunyai hubungan erat dengan tipe batuan dan berbagai proses tektonik di permukaan bumi dan sifat erosi yang terjadi), kenampakan proses dinamik (seperti keadaan erosi, longsoran dan proses dinamik lainnya) tipe bentuk lahan dan distribusinya, pola distribusi dan penutupan lahan atau vegetasi, pola penggunaan lahan dan distribusinya. Informasi-informasi tersebut diperoleh karena masing-masing obyek mempunyai kekhasan dalam memantulkan, menyerap, meneruskan atau memancarkan energi gelombang elektromangnetik yang datang padanya sehingga energi pantulan atau pancaran yang diterima oleh sensor dapat dipergunakan sebagai ciri pengenalan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand & Kiefer, 1990). Komponen dasar suatu sistem penginderaan jauh yang ideal ditunjukkan dengan adanya suatu sumber tenaga yang seragam, atmosfer yang tidak mengganggu, sensor yang sempurna, serangkaian interaksi yang unik antara tenaga dengan benda di muka bumi, sistem pengolahan data tepat waktu, dan berbagai penggunaan data, namun dalam kenyataannya hal tersebut jarang terpenuhi (Lillesand & Kiefer, 1990). Dalam kegiatannya, penginderaan jauh harus mempunyai alat untuk memperoleh data, tenaga penghubung dari obyek ke sensor, ada obyek ada sensor serta keluaran. Alat yang digunakan untuk memperoleh data berupa alat pengindera atau platform (pesawat terbang, satelit, pesawat ulang alik atau wahana lainnya). Sedangkan tenaga penghubung yang membawa data tentang obyek ke sensor berupa tenaga radiasi elektromagnetik. Antara tenaga dan obyek terjadi suatu interaksi, sehingga obyek, daerah/gejala di permukaan bumi dapat dikenali pada hasil rekaman dalam bentuk data penginderaan jauh yang dikumpulkan dan direkam berdasarkan variasi tenaga elektromagnetik. Hasil rekaman tersebut pada akhirnya sampai kepada pengguna data sesuai dengan tujuan masing-masing. Secara keseluruhan, penginderaan jauh disebut sebagai suatu sistem karena terdiri dari serangkaian komponen yaitu tenaga, obyek, sensor, data dan pengguna. Aplikasi Penginderaan Jauh Penggunaan data penginderaan jauh semakin populer dalam berbagai aplikasinya. Ada enam alasan yang dikemukakan oleh Sutanto dalam Pratondo (2001) mengapa penginderaan jauh semakin populer yaitu:
1. Citra menggambarkan obyek dan daerah yang mirip ujudnya dengan yang ada di permukaan bumi 2. Dari jenis citra tertentu dapat ditimbulkan gambaran tiga dimensi 3. Karakteristik obyek yang tampak oleh mata dapat diujudkan dalam bentuk citra 4. Citra dapat dibuat secara cepat meskipun untuk daerah yang sulit dijelajahi secara terestrial 5. Citra merupakan satu-satunya cara untuk pemetaan daerah bencana 6. Citra sering dibuat dengan periode ulang yang pendek sehingga memungkinkan untuk pemantauan suatu daerah Salah satu bentuk aplikasi penginderaan jauh adalah untuk menentukan bentuk-bentuk penutupan lahan yang dapat dilakukan dengan menggunakan teknik tertentu. Salah satu teknik dalam menentukan bentuk penutupan lahan adalah dengan menggunakan cara klasifikasi citra. Klasifikasi citra merupakan serangkaian tugas untuk merubah data digital menjadi kelas tertentu yang khas dan dapat memberikan informasi. Keterkaitan Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh Howard (1996) menyatakan keterkaitan SIG dan penginderaan jauh adalah
sebagai
berikut,
informasi
yang
diturunkan
dari
analisis
citra
penginderaan jauh dilakukan untuk diintegrasikan dengan data yang disimpan dalam bank data SIG. Tujuan utama integrasi penginderaan jauh dan SIG berasal dari
ahli
penginderaan
jauh.
Keinginan
ini
ditunjukkan
dalam
pertumbuhan jumlah sistem analisis citra digital berkapasitas kecil dengan kemampuan SIG. Biasanya masukkan dari data penginderaan jauh (data rekaman) pada sistem SIG harus dilengkapi dengan intervensi manusia pada analisisnya. Dalam klasifikasi dan ketepatan letak, analisis data penginderaan jauh lebih kasar dibandingkan klasifikasi yang dibutuhkan oleh para pengguna SIG. Hal ini disebabkan ukuran piksel dari data penginderaan jauh lebih kasar dari yang dibutuhkan di dalam sistem informasi geografis. Meskipun pengenalan pola dengan komputer memenuhi persyaratan beberapa kategori tematik, masalah dasar untuk sistem integrasi otomatis terletak pada perbedaan-perbedaan yang ada antara konteks spasial citra yang diperlukan interpretasi visual. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa dalam perkembangan integrasi penginderaan jauh
dan SIG adalah estimasi bahwa aliran data memiliki arah (dari sistem analisis penginderaan jauh ke sistem informasi geografis) yang sama. Aliran yang sebaliknya tidak diinginkan, tetapi juga realistis diperlukan dalam analisis penginderaan jauh. Hambatan utama terhadap pendekatan ini adalah biaya untuk membuat basis data digital SIG, tetapi hal tersebut dapat ditekan dengan cara peningkatan dan perbaikan tersedianya perangkat keras dan perangkat lunak serta peta-peta digital yang telah tersedia dalam bentuk digital. Dari hasil penginderaan jauh dapat diketahui kenampakan bumi (data real time atau data yang sebenarnya), dapat dilakukan klasifikasi sesuai dengan data yang sebenarnya kemudian dirubah dalam format SIG menjadi vektor dan diintegrasikan dengan data-data vektor lainnya hasil digitasi dari informasiinformasi geografis lainnya. Citra Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer (ASTER) Karakteristik Citra ASTER ASTER adalah citra yang memiliki resolusi lebih tinggi dibandingkan dengan citra satelit pendahulu dan sekelasnya yaitu JERS-1Optik dan Landsat serta merupakan salah satu instrumen observasi yang ada pada satelit TERRA. Satelit ini diluncurkan pada tahun 1999 dan memiliki orbit sinkron dengan matahari (sunsynchronous) dengan waktu orbit 30 menit di belakang satelit Landsat. Satelit TERRA merupakan program kerjasama internasional antara NASA, Kanada dan Jepang. Pada satelit ini NASA menempatkan instrument Clouds and the Earth’s Radiant Energy System (CERES), MODerate-resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) dan Multi-angle Imaging Spectroradiometer (MISR). Kanada menempatkan instrumen Measurements Of Pollution in The Trophosphere (MOPPIT) dan Jepang menempatkan ASTER. Tujuan utama dari ASTER adalah: 1. Memajukan penelitian fenomena geologi tentang permukaan tektonik dan sejarah geologi melalui pemetaan secara detail mengenai topografi bumi
dan
formasi
geologi
(mencakup
penelitian
penginderaan jauh). 2. Mengetahui penyebaran dan perubahan vegetasi
terapan
dan
3. Mengetahui lebih jauh interaksi/hubungan antara permukaan bumi dan atmosfer melalui pemetaan suhu permukaan 4. Mengevaluasi dampak dari emisi gas vulkanik terhadap atmosfer melalui pemantauan aktivitas vulkanik 5. Memberikan pengertian mengenai karakteristik aerosol dan klasifikasi awan 6. Memberikan pengertian mengenai peran batu karang dalam siklus karbon melalui klasifikasi karang dan pemetaan penyebaran global dari karang. ASTER memiliki daerah spektral yang cukup lebar yaitu 14 spektral band mulai dari daerah tampak sampai daerah inframerah thermal dengan resolusi spasial serta radiometrik cukup tinggi serta masih terdapat tambahan berupa teleskop yang diarahkan ke belakang untuk mendapatkan hasil stero instrument. ASTER terdiri dari tiga sub sistem yang berbeda yaitu Visible and Nearinfrared (VNIR), Shortwave Infrared (SWIR) dan Thermal Infrared (TIR). Karakteristik masing-masing sub sistem di atas dapat dilihat pada Tabel 1 berikut: Tabel 1. Spesifikasi kanal Citra ASTER/TERRA No.
Subsistem
Jumlah
No.
Kisaran spectral
Resolusi
Kanal
Band
(µm)
(m)
1
0.52 – 0.60
2
0.63 – 0.69
3N
0.78 – 0.86
3B
0.78 – 0.86
VNIR
1.
(cahaya tampak dan inframerah
4
dekat/reflektif
Kegunaan Deskripsi sumberdaya
15
air, deskripsi tanah, kerapatan tanaman
SWIR
2.
(Gelombang inframerah
6
pendek)
TIR
3.
(Gelombang Inframerah Thermal)
5
4
1.600 – 1.700
Deliniasi garis
5
2.145 – 2.185
pantai,
6
2.185 – 2.225
7
2.235 – 2.285
8
2.295 – 2.365
9
2.360 – 2.430
pertambangan)
10
8.125 – 8.475
Semua aplikasi
11
8.475 – 8.825
yang berbasis
12
8.925 – 9.275
13
10.25 – 10.95
14
10.95 – 11.65
deskripsi jenis-
30
jenis batuan, mineral (geologi dan
90
suhu permukaan
Visible and Nearinfrared (VNIR) memiliki tiga band dengan resolusi spasial 15 meter. Sub sistem ini terdiri dari dua teleskop, satu mengarah ke titik
nadir dan satu lagi ke belakang. Hal ini memungkinkan untuk menghasilkan citra stereo dari data yang hampir bersamaan Shortwave Infrared (SWIR) memiliki resolusi spasial 30 meter dan bekerja pada 6 band gelombang pendek inframerah. Kemampuan SWIR diharapkan dapat memberikan data observasi yang lebih baik untuk batu, mineral dan tumbuhan yang cukup bermanfaat untuk bidang geologi dan pertambangan. Thermal Infrared (TIR) memiliki resolusi spasial 90 meter dan 5 band pada spektrum inframerah thermal. TIR diharapkan dapat menghasilkan data temperatur dan emisi permukaan dengan presisi untuk keperluan di bidang thermal dan ekologi. Jika dibandingkan dengan sensor
ETM setelit Landsat,
untuk daerah gelombang inframerah pendek dan inframerah thermal, ASTER memiliki jumlah band lebih banyak dengan kisaran spektral yang lebih sempit untuk setiap bandnya. Aplikasi Citra ASTER Kelebihan dari citra ASTER yaitu dapat meningkatkan keakurasian hasil analisa. Berbagai aplikasi citra ASTER dalam memonitoring permukaan bumi dapat dilihat sebagai berikut: 1. Karakteristik Spektral terhadap Mineral dan Batuan Indonesia banyak memiliki sumber daya alam, sehingga memerlukan penanganan tersendiri agar dalam proses pengelolaan sumber alam tersebut tidak menimbulkan efek yang negatif atau efek sampingan terhadap alam dan lingkungan,
khususnya
terhadap
makhluk
hidup
termasuk
manusia.
Penanganan yang terencana dengan baik akan menghasilkan hasil yang baik pula. Citra ASTER diharapkan dapat memberikan bantuan solusi untuk proses persiapan pengolahan (penambangan) hingga proses paska penambangan. 2. Klasifikasi Jenis Tanah Citra ASTER dapat digunakan pula untuk memetakan jenis tanah, khususnya untuk pertanian dan perencanaan ruang dan tata kota 3. Monitoring Aktifitas Gunung Berapi Sensor VNIR dan SWIR dapat diterapkan untuk mengetahui aktifitas gunung sehingga kerusakan dan korban yang ditimbulkan oleh bencana alam dapat dihindari.
4. Pemetaan Tumbuhan di Daerah Kering dan Basah Seperti halnya satelit lain (JERS-1 dan Landsat), citra TERRA/ASTER dapat pula digunakan untuk memetakan distribusi tumbuhan di permukaan bumi, terutama untuk daerah kering dan basah dengan menggunakan sensor VNIR dan SWIR. 5. Monitoring Suhu Permukaan Laut Distribusi temperatur permukaan laut dapat diperoleh dengan mudah menggunakan citra TERRA/ASTER, atau langsung dengan menggunakan citra sensor TIR. Aplikasi dari citra ini dapat digunakan untuk mengetahui distribusi panas air laut, dimana informasi ini dapat diterapkan untuk mengetahui fenomena kelautan, termasuk distribusi tumbuhan dan ikan. 6. Monitoring Hutan Bakau Kerusakan hutan bakau, baik secara sengaja maupun karena pengaruh perubahan alam, dapat dideteksi dengan menggunakan citra TERRA/ASTER. Beberapa sensor satelit ini mempunyai kesamaan dengan JERS-1 maupun Landsat, oleh karena itu kombinasi citra satelit lain dapat digunakan untuk monitoring hutan bakau dan hutan lainnya. 7. Monitoring Kebakaran Hutan Citra TERRA/ASTER dapat memonitoring area kebakaran hutan, dimana VNIR menghasilkan liputan wilayah bakar dan kumpulan asap yang dihasilkan oleh kebakaran tersebut, SWIR menunjukkan distribusi temperatur wilayah bakar, dan TIR menunjukkan distribusi lahan bakar berdasarkan intensitas suhu permukaan lahan bakar. Warna merah dan biru pada citra menunjukkan distribusi suhu tinggi dan rendah. 8. Monitoring Suhu Permukaan Distribusi
permukaan
bumi
dapat
diturunkan
dengan
mudah
menggunakan data VNIR dan TIR citra TERRA/ASTER. Penerapan proses ini dapat digunakan untuk mengetahui fenomena kenaikan suhu yang terjadi di daerah perkotaan.
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian Permodelan
dilakukan
Spasial,
di
Laboratorium
Departemen
Konservasi
Analisis
Lingkungan
Sumberdaya
Hutan
dan dan
Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB. Sedangkan untuk kegiatan pengambilan data lapangan dilaksanakan di DTA Cipopokol Sub DAS Cisadane Hulu, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor. Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan selama 4 bulan yaitu Bulan Juli sampai dengan Oktober 2005. Berikut ini merupakan gambar peta lokasi penelitian.
Gambar 2. Peta lokasi penelitian Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer yang dilengkapi dengan paket Sistem Informasi Geografis (perangkat keras dan perangkat lunak) termasuk software Arc/Info versi 3.5.1, ArcView GIS versi 3.3, ERDAS Imagine versi 8.5, ANSWER_PLUS V1.01, Microsoft Excel 2003,
scanner. Sedangkan peralatan yang digunakan di lapangan diantaranya Global Positioning System (GPS), ring sampel, kamera dan alat tulis. Jenis dan sumber data yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini: Tabel 2. Jenis dan sumber data
No.
Jenis Data
1.
Citra ASTER/TERRA tahun 2004
2.
Peta Daerah Tangkapan Air Cipopokol
3.
Peta Jenis Tanah, Peta Administrasi Bogor
4.
Peta Geologi, Peta RTRW, Peta Curah Hujan dan Peta Iklim Kabupaten Bogor
5.
Peta Topografi, Peta Sungai Kabupaten Bogor
6. 7.
8.
Data Curah hujan, Tinggi muka air, sedimen, koordinat ground truth, foto Data parameter tanah, parameter penggunaan lahan dan parameter saluran Data jumlah penduduk dan kondisi sosial ekonomi masyarakat Desa Lemah Duhur dan Tangkil Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor
Sumber Data Lab. SDAF, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan-IPB Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum-Ciliwung Bogor Pusat Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup IPB-Bogor Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Pemerintah Kabupaten Bogor Lab. SDAF, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan-IPB Observasi lapang dan data sekunder Data sekunder dan analisis laboratorium
Biro Pusat Statistik Kabupaten Bogor
Metode Penelitian Penelitian dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu tahap pengumpulan data, tahap pembangunan basis data, tahap pembangunan data model hidrologi ANSWERS, tahap pengujian model, tahap pemetaan penyebaran nilai erosi dan sedimen, tahap analisa sensitivitas model dan tahap simulasi penggunaan lahan. Berikut ini akan dijelaskan secara lengkap teknis pelaksanaan dari masingmasing tahapan. Tahap Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan sebagai input atau masukan data untuk model ANSWERS terdiri dari dua macam data, yaitu data spasial dan data atribut. Data spasial merupakan data yang bersifat keruangan atau diperoleh dari pengolahan peta-peta tematik dan penginderaan jauh, diantaranya peta batas DTA
Cipopokol, peta jenis tanah, peta kemiringan lahan, peta arah aliran, peta ketinggian tempat atau elevasi, peta penutupan lahan, peta saluran atau sungai dan data GCP (Ground control point). Selain data spasial, data lain yang diperlukan adalah data atribut, yaitu data dalam bentuk tulisan ataupun angkaangka, diantaranya adalah data curah hujan, data tinggi muka air sungai, data parameter penutupan lahan, data parameter jenis tanah, data parameter atau karakteristik saluran atau sungai dan data kependudukan dan sosial ekonomi masyarakat. Data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh dari instansiinstansi terkait (selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2), sedangkan untuk data GCP diperoleh dengan melakukan survei lapangan. Tahap Pembangunan Basis Data Pembangunan basis data merupakan suatu proses untuk memperoleh data masukan model ANSWERS. Hasil keluaran dari pembangunan basis data adalah peta dalam bentuk raster. Data raster merupakan data dimana semua obyek disajikan pada kolom dan baris dalam bentuk sel-sel atau yang sering disebut dengan piksel. Masing-masing sel mewakili suatu areal yang berbentuk bujur sangkar, memiliki koordinat dan informasi (atribut keruangan dan waktu). Informasi inilah yang nantinya digunakan menjadi input atau masukan data untuk model ANSWERS. Tahap pembangunan basis data terdiri dari 3 kegiatan yaitu pembuatan peta digital, pembuatan DEM dan arah aliran serta pembuatan peta penutupan lahan. Proses dari masing-masing kegiatan dapat dilihat sebagai berikut: 1. Pembuatan Peta Digital Peta digital diperoleh dari konversi peta-peta analog berupa peta batas DTA, peta kontur atau topografi dan peta jenis tanah ke dalam bentuk digital dengan menggunakan scanner dan seperangkat komputer dengan software ArcView GIS 3.3. Metode yang digunakan adalah screen digitizing. Metode screen digitizing atau disebut sebagai digitasi on screen merupakan proses digitasi yang dilakukan di atas layar monitor dengan bantuan mouse dan digunakan sebagai alternatif input data digital tanpa menggunakan alat digitizer. Hasil yang diperoleh dari proses digitasi on screen untuk selanjutnya dilakukan proses transformasi koordinat. Koordinat yang dipakai adalah sistem UTM (Universal Tranverse Mercator), merupakan sistem proyeksi yang paling
dikenal dan sering digunakan. Pada penelitian kali ini pembuatan peta digital hanya dilakukan pada peta batas DTA, karena peta-peta lain seperti peta topografi, peta tanah telah tersedia dan merupakan peta digital hasil penelitian sebelumnya. Proses pengkonverisan peta-peta analog ke dalam bentuk peta digital dapat dilihat selengkapnya pada Gambar 3 di bawah ini. PETA ANALOG (batas DTA, tanah, kontur)
Scan
Screen digitizing Editing
Atributing
Transform Koordinat
Peta digital
Gambar 3. Proses konversi peta analog menjadi peta digital 2. Pembuatan DEM (Digital Elevation Model) dan Arah Aliran (Flow Direction) DEM adalah suatu citra yang secara akurat memetakan ketinggian dari permukaan bumi. DEM diperoleh dari peta topografi/kontur dengan interval 12,5 meter. Proses pembuatan DEM dilakukan dengan menggunakan software ERDAS Imagine 8.5 dengan ukuran setiap piksel 40 meter. Sama seperti halnya dengan DEM, arah aliran (flow direction) diperoleh dari pengolahan peta kontur dengan menggunakan software Arc View GIS 3.3 menjadi bentuk TIN (Triangulated Irregular Network). TIN merupakan model data topologi berbasis vektor yang digunakan untuk mempresentasikan bentuk permukaan bumi. TIN mempresentasikan bentuk permukaan bumi yang diperoleh dari titik-titik contoh yang tersebar secara tidak teratur dan feature
break line serta membentuk jaringan segitiga tidak beraturan yang saling berhubungan. Masing-masing segitiga terdiri dari 3 vertex yang mempunyai koordinat lokasi X, Y dan elevasi (Z). Setelah tersaji menjadi bentuk TIN, dengan menggunakan ekstensi hidrology modeling maka akan diperoleh output berupa peta arah aliran. Proses pembuatan DEM dan arah aliran selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 4 dibawah ini. Peta Topografi Digital TIN
Surfacing
GRID
DEM
Flow Direction
Spatial Analysis
Slope
Peta Arah aliran
Peta Ketinggian
Peta Kemiringan lereng
Arc View 3.3
Topographic Analysis
ERDAS Imagine 8.5
Gambar 4. Proses pembuatan DEM dan arah aliran 3. Pembuatan Peta Penutupan Lahan Pemetaan penutupan lahan (land cover) merupakan suatu upaya untuk menyajikan informasi tentang pola penggunaan lahan atau tutupan lahan di suatu wilayah secara spasial. Informasi mengenai penutupan lahan pada penelitian ini diperoleh dengan melakukan penafsiran citra ASTER tahun 2004. Klasifikasi penutupan lahan di wilayah penelitian dikelompokkan menjadi enam kelas yaitu hutan, semak belukar, pertanian lahan kering atau ladang, perkebunan, sawah dan pemukiman. Pengolahan citra merupakan suatu cara untuk memperoleh data mengenai penutupan lahan yang dilakukan dengan menggunakan software ERDAS Imagine 8.5. Berikut ini disajikan gambar proses pengolahan citra untuk memperoleh peta penutupan lahan:
Citra ASTER tahun 2004 Peta batas DTA Cipopokol
Koreksi Geometri Peta digital (kontur, jalan dan sungai)
overlay
Citra terkoreksi
Subset image
Citra lokasi penelitian
Cek lapangan (Ground check)
Klasifikasi citra terbimbing (Supervised Classification) Tidak Citra hasil klasifikasi
Akurasi
diterima ? Ya
Penggunaan/penutupan lahan (Land use/land cover)
Gambar 5. Proses pengolahan citra ASTER Tahap-tahap pengolahan citra secara lengkap dapat dilihat dalam penjelasan berikut ini: 1. Koreksi Geometri Secara umum, koreksi geometri didefinisikan sebagai suatu proses memproyeksikan data peta dalam suatu sistem proyeksi peta tertentu. Koreksi geometri digunakan untuk memperbaiki kesalahan posisi obyek-obyek yang terekam pada citra karena adanya distorsi-distorsi yang bersifat geometri. Tahap awal
dalam
proses
koreksi
geometri
adalah
georefrensi.
Georeferensi
merupakan proses menentukan sistem koordinat dan proyeksi ke dalam suatu peta raster (image), dimana peta yang dijadikan acuan adalah peta yang telah
terkoreksi (master map) yang dapat berbentuk citra ataupun dalam bentuk atau vektor (peta). Dalam
koreksi geometri, pengambilan titik kontrol bumi atau
disebut sebagai ground control point (GCP) harus memiliki letak yang sama antara citra yang akan dikoreksi dengan peta/citra yang menjadi acuan. Letak dan jumlah titik GCP disarankan harus menyebar secara merata di seluruh citra. Proyeksi yang digunakan adalah sistem koordinat Universal Transverse Mercator (UTM). Citra ASTER yang digunakan pada penelitian ini memiliki resolusi atau ukuran piksel sebesar 15 x 15 meter, sehingga untuk memperoleh hasil klasifikasi optimal dengan luasan wilayah penelitian yang kecil maka perlu dilakukan metode resize atau merubah ukuran piksel menjadi 10 x 10 meter. 2. Pemotongan Citra (Subset Image) Subset image atau pemotongan citra lokasi penelitian dilakukan setelah citra terkoreksi secara benar. Pemotongan citra bertujuan untuk mempermudah dalam melakukan kegiatan analisa pada citra yang akan diklasifikasi. Pemotongan citra dilakukan dengan cara membatasi citra dengan luasan wilayah penelitian dalam hal ini adalah peta batas DTA Cipopokol. Metode yang digunakan untuk pemotongan citra adalah dengan menggunakan AOI atau disebut sebagai area of interest. 3. Pengecekan Lapangan (Ground Truth) Ground truth atau pengambilan titik di lapangan merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk membantu dalam proses pengklasifikasian serta untuk meningkatkan kualitas dan ketelitan hasil penafsiran citra (akurasi). Pengambilan titik di lapangan dilakukan dengan menggunakan alat bantu berupa Global Positioning System (GPS), pengambilan titik di lapangan disarankan sebanyak mungkin dan menyebar merata serta mampu mewaklili dari setiap kelas penutupan lahan yang akan dibuat. 4. Klasifikasi Citra (Image Classification) Klasifikasi citra dapat dilakukan dengan dua metode pendekatan yaitu klasifikasi tak terbimbing (unsupervised classification) dan klasifikasi terbimbing (supervised
classification).
Klasifikasi
tak
terbimbing
merupakan
proses
pengkelasan yang hanya mendasarkan pada informasi gugus-gugus spektral
yang tidak bertumpang susun pada ambang jarak (thershold distance) tertentu, dan saluran-saluran yang digunakan. Ioda et al. dalam Prakoso (2003) menjelaskan bahwa klasifikai terbimbing merupakan metode klasifikasi citra yang dilakukan berdasarkan data-data hasil pekerjaan lapangan, peta atau hasil interpretasi visual potret udara atau citra yang relevan. Pendekatan klasifikasi ini biasanya menghasilkan informasi yang lebih realistis dan membuahkan hasil klasifikasi yang relatif lebih akurat daripada klasifikasi tak terbimbing atau analisa cluster, yang hanya menghasilkan kelas-kelas spektral yang memerlukan interpretasi lebih lanjut. Klasifikasi citra dengan menggunakan teknik supervised classification merupakan metode mengelompokan nilai piksel berdasarkan informasi penutupan lahan aktual dari permukaan bumi. Tahap awal dalam proses klasifikasi terbimbing adalah pengenalan polapola spektral yang ditampilkan oleh citra dengan berpedoman pada titik hasil ground truth di lapangan. Klasifikasi terbimbing merupakan kombinasi antara interpretasi digital dan visual, pengetahuan mengenai kondisi fisik lapangan akan sangat membantu dalam melakukan interpretasi secara tepat dengan tingkat akurasi tinggi. Tahap selanjutnya adalah pembuatan training area atau pemilihan daerah yang diidentifikasi sebagai satu tipe penutupan lahan, berdasarkan polapola spektral yang ditampilkan. Training area atau pemilihan daerah dibuat dengan menggunakan area of interest (aoi). Proses klasifikasi citra dilakukan secara otomatis oleh komputer berdasarkan pada hasil training area yang telah dibuat. Setelah hasil klasifikasi diperoleh, pada atribut citra yang telah terklasifikasi masih akan ditemukan beberapa atribut untuk satu tipe penutupan lahan, sehingga diperlukan recoding data hasil klasifikasi dengan tujuan untuk menggabungan daerah-daerah yang memiliki tipe penutupan lahan yang sama. 5. Akurasi Akurasi adalah suatu cara untuk mengevaluasi tingkat keakurasian hasil klasifikasi yang telah dilakukan dengan kondisi aktual di lapangan. Terdapat dua garis besar nilai akurasi, yaitu akurasi secara keseluruhan (overall accuracy) yang didefinisikan sebagai total kelas yang diklasifikasikan dibagi dengan total kelas refrensi. Sedangkan nilai akurasi untuk kategori inidvidu terbagi ke dalam dua bagian yaitu poducer’s accuracy yang merupakan jumlah elemen kelas yang diklasifikasikan secara benar dibagi dengan elemen refrensi untuk kategori tersebut sedangkan user’s accuracy didefinisikan sebagai elemen yang
diklasifikasikan secara benar untuk setiap kategori dibagi dengan total elemen yang diklasifikasi ke dalam kategori tersebut. Nilai akurasi kappa merupakan perbandingan antara jumlah total sel diagonal pada eror matriks dikurangi dengan jumlah kasus yang diharapkan pada sel diagonal berdasarkan harapan dengan jumlah total kolom atau baris pada eror matriks dikurangi jumlah kasus yang diharapkan pada sel diagonal berdasarkan harapan. Penilaian tingkat akurasi dilakukan dengan cara membandingkan data yang yang diperoleh dari hasil pengecekan di lapangan (ground truth) dengan hasil klasifikasi yang diperoleh. Tahap Pembangunan Data Model Hirologi ANSWERS ANSWERS merupakan sebuah model simulasi karakteristik DAS, dimana biasanya digunakan untuk mengevaluasi kondisi DAS yang biasanya didominasi oleh lahan pertanian dibawah kejadian tertentu yang disimulasikan untuk perencanaan dan evaluasi strategi dalam pengendalian erosi. Struktur model ANSWERS didasarkan pada hipotesis bahwa setiap titik di dalam DAS memiliki hubungan fungsional antara laju aliran air dan parameter-parameter hidrologi, oleh sebab itu di dalam permodelan ANSWERS, suatu DAS diekspresikan sebagai kumpulan dari setiap elemen bujur sangkar yang disebut grid yang diasumsikan homogen. Setiap elemen pada DAS diartikan sebagai suatu areal yang mempunyai parameter hidrologi dan erosi yang sama. Oleh karena itu DAS di dalam model ANSWERS diasumsikan sebagai gabungan dari banyak elemen. Masukan atau input data yang diperlukan oleh model ANSWERS terdiri dari lima bagian yaitu data intensitas hujan, data jenis dan parameter tanah, data jenis dan parameter penutupan/penggunaan lahan, data karakteristik saluran atau sungai dan parameternya dan terakhir adalah data elemen (yang terdiri dari nomor baris dan kolom, kemiringan lereng, arah aliran, ketinggian tempat, jenis tanah, nomor stasiun penakar hujan, nomor saluran, penutupan lahan dan ketinggian tempat/elevasi). Dalam penelitian ini, penentuan luasan setiap grid/elemen model dilakukan berdasarkan luas wilayah dan jumlah maksimum grid/elemen yang diijinkan oleh model ANSWERS. Jumlah elemen yang diperbolehkan yaitu sebanyak 1000 elemen, sehingga dengan luas wilayah penelitian sebesar 159,20 Ha maka akan diperoleh ukuran maksimum untuk setiap grid adalah 0,16 Ha atau 40 x 40 meter, sehingga jumlah elemen yang
dihasilkan adalah sebanyak 995 elemen. Berikut ini akan dijelaskan masingmasing masukan atau input data yang diperlukan dalam model ANSWERS. 1. Intensitas Hujan Data intensitas hujan diperoleh dari data curah hujan yang merupakan hasil dari pembacaan kertas pias hujan yang terpasang pada alat penakar curah (ARR/Automatic Rainfall Recorder) yang ada di DTA Cipopokol. Pengumpulan data curah hujan dimulai pada bulan November 2004 sampai dengan Bulan Agustus 2005. Data intensitas hujan yang dibutuhkan oleh model ANSWERS hanya satu kejadian hujan yaitu curah hujan besar dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama. 2. Jenis dan Parameter Tanah Jenis tanah DTA Cipopokol diperoleh dari peta jenis tanah Kabupaten Bogor. Masukan data tanah terdiri dari simbol atau nomor jenis tanah (tergantung berapa kategori yang ada), sedangkan masukan untuk parameter tanah yang diamati sebagian besar adalah sifat fisik tanah. Data parameter tanah diperoleh dari data sekunder dan hasil analisis laboratorium. Data parameter tanah yang dibutuhkan untuk input program ANSWERS terdiri dari porositas tanah total (TP), kapasitas lapang (FP) dari berbagai tekstur tanah, nilai eksponen dalam persamaan infiltrasi (P) dan nilai erodibilitas tanah (K). Berikut merupakan tabel parameter tanah dan cara perolehan datanya Tabel 3. Parameter tanah dan cara pengukurannya No.
Parameter tanah
Cara perolehan
1.
Porositas tanah total (TP)
Primer
2.
Kapasitas lapang (FP)
Primer
3. 4. 5.
Parameter infiltrasi (FC, A, P) Kedalaman zona kontrol (DF) Erodibilitas tanah (K) Kelembaban tanah sebelumnya (ASM/Antecedent Soil Moisture)
6.
Sekunder Sekunder Sekunder Sekunder
Cara perhitungan Dalam menentukan nilai porositas tanah total, sifat yang diamati adalah bulk density dan particle density. Sampel tanah yang diambil merupakan sampel tanah utuh yang diambil dengan menggunakan ring sample. Sampel tanah tersebut kemudian dianalisis di laboratorium. Penentuan nilai kapasitas lapang dilakukan di laboratorium, dimana sampel tanah dijenuhi air, kemudian di tetapkan kadar airnya selama 2 x 24 jam dan diambil sebagian tanahnya untuk menentukan kadar airnya (%) -
3. Jenis dan Parameter Penutupan/Penggunaan Lahan Jenis penggunaan lahan diperoleh dari hasil klasifikasi citra ASTER tahun 2004, untuk DTA Cipopokol jenis penutupan lahan terbagi ke dalam enam kelas meliputi hutan, perkebunan, pertanian lahan kering (tegalan), pemukiman, sawah dan
semak/belukar.
Sedangkan
untuk
nilai
parameter
masing-masing
penggunaan lahan diperoleh dari data sekunder (buku manual ANSWERS dan Laporan
BPDAS).
Parameter
penutupan/penggunaan
lahan
terdiri
dari
Tampungan Intersepsi Potensial (PIT), Persen Penutupan Permukaan Tanah (PER), Kekasaran Permukaan (N, RC, HU) dan Faktor Pengelolaan Tanaman (C). Nilai penentuan parameter penutupan/penggunaan lahan dapat dilihat pada Lampiran 3. 4. Data Karakteristik Sungai atau Saluran Karakteristik sungai terdiri dari jumlah sungai atau saluran, lebar masingmasing saluran dan koefisien kekasaran saluran. Jumlah sungai atau saluran diketahui dari peta sungai, sedangkan lebar sungai dan nilai koefisien sungai diperoleh dari hasil pengamatan di lapangan. Penentuan nilai koefisien kekasaran saluran dapat dilihat dalam Lampiran 2. 5. Data Individu Elemen Data elemen yang perlukan di dalam model ANSWERS terdiri dari: 5.1. Baris dan Kolom Penomoran baris (Row) dan kolom (Column) disesuaikan dengan manual ANSWERS, untuk penomoran baris dimulai dari atas ke bawah, sedangkan untuk penomoran kolom dimulai dari kiri menuju kanan. 5.2. Kemiringan Lereng dan Ketinggian Tempat (Elevasi) Data kemiringan lereng dan ketinggian tempat diperoleh dari hasil pengolahan peta kontur menjadi bentuk DEM. Dalam menginput data kelas lereng ke dalam model ANSWERS, nilai kemiringan lereng dikalikan dengan 10. Hal ini bertujuan untuk memenuhi ketentuan jumlah kolom dan baris yang telah ditetapkan dalam buku panduan atau manual ANSWERS. 5.3. Arah Aliran (Flow Direction) Arah aliran merupakan suatu perkiraan aliran air yang mengalir dari elemen ke elemen berikutnya. Arah aliran ini ditentukan berdasarkan topografi dan adanya sungai. Dalam menentukan arah aliran, yang harus diperhatikan
adalah aliran air tersebut tidak boleh terputus arahnya dari satu elemen ke elemen yang lain. Masukan/input data elemen untuk arah aliran berupa nilai arah aliran. 5.4. Jenis Tanah, Saluran/Sungai, Stasiun Penakar Hujan dan Penutupan Lahan/Penggunaan Lahan. Data elemen untuk jenis tanah, saluran/sungai, stasiun penakar hujan dan penutupan lahan berupa nomor kategori masing-masing parameter. Untuk sungai/saluran hanya diisi pada elemen yang terlewati oleh sungai. Proses atau tahapan input data ke dalam model ANSWERS dapat dijelaskan sebagai berikut: data yang diperoleh dari hasil pengolahan peta-peta tematik terutama untuk data individu elemen berupa data raster yang secara otomatis memiliki nilai pada setiap pikselnya dan telah tersusun dalam bentuk baris dan kolom (dalam software ERDAS Imagine 8.5) dieksport dan dikonversi ke dalam bentuk excel (dalam Microsoft Excel) untuk dirubah susunan baris dan kolomnya (disesuaikan denga susunan model ANSWERS). Data-data yang telah tersusun dalam bentuk baris dan kolom untuk kemudian di eksport lagi ke dalam bentuk text file (dalam notepad) sehingga akan diperoleh data individu elemen. Tahapan selanjutnya adalah membuat bagian-bagian data lain yang diperlukan dalam model ANSWERS yaitu data intensitas hujan, data jenis dan parameter tanah, data jenis dan parameter penutupan dan penggunaan lahan serta data jenis dan karakteristik saluran. Sama seperti halnya data individu elemen, penyusunan masing-masing data tersebut di atas dilakukan dalam bentuk text file. Setelah semuanya tersusun, maka masing-masing data masukan atau input dirubah bentuk filenya dari text file menjadi file sesuai dengan permintaan model ANSWERS. Data intensitas hujan menjadi RAI file, data jenis tanah
dan
parameter
menjadi
SOI
file,
data
jenis
dan
parameter
penutupan/penggunaan lahan menjadi CRO file, data sungai atau saluran menjadi CHA file dan data individu elemen menjadi ELM file. Data input model ANSWERS seelengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5. Proses pembangunan data model hidrologi ANSWERS selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 6 dibawah ini:
Peta tematik digital
Peta penutupan/ penggunaan lahan
Microsoft Excel
Peta kemiringan lereng
Excel file
Excel file
Perubahan penyusunan row dan column
Notepad (txt.file)
ANSWERS
Perubahan penyusunan row dan column
Data Intensitas hujan
RAI file
Peta arah aliran
Peta ketinggian
Excel file
Excel file
Excel file
Excel file
Perubahan penyusunan row dan column
Perubahan penyusunan row dan column
Perubahan penyusunan row dan column
Perubahan penyusunan row dan column
Data Parameter tanah
SOI file
Data Elemen
ELM file
Peta jenis tanah dan saluran/sungai
Data Parameter penggunaan lahan
CRO file
Gambar 6. Proses pembangunan data model hidrologi ANSWERS
Nomor stasiun penakar hujan
Data Parameter saluran/sungai
CHA file
Tahap Pengujian Model Pengujian dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keandalan suatu model. Pengujian dilakukan dengan membandingkan antara debit dan nilai sedimen yang dihasilkan oleh model dengan perhitungan yang berasal dari nilai lapangan. Mengacu pada beberapa penelitian sebelumnya, pengujian model untuk model hidrologi ANSWERS dilakukan dengan dua metode yaitu dengan menggunakan uji korelasi (koefisien deterministik/R2) dan uji nilai t. Data debit lapangan diperoleh dari hasil pengukuran tinggi muka air Sungai Cipopokol dengan menggunakan alat AWLR (Automatic Water Level Recorder) yang dikonversi dengan menggunakan persamaan yang diperoleh dari penelitian sebelumnya (Setyianto, 2005):
Q = 0.000047 x H2,61........................................................................................(1) Dimana: Q
= Besar aliran (debit) Sungai Cipopokol (m3/detik)
H
= Tinggi muka air Sungai Cipopokol (cm) Pengujian nilai sedimen dalam hal ini adalah sedimen melayang
dilakukan dengan tujuan untuk memastikan bahwa jika nilai hasil pengujian terhadap debit tinggi maka nilai hasil pengujian terhadap sedimen melayang juga akan berlaku hal yang sama. Hal ini disebabkan, nilai sedimen melayang diperoleh dari konversi nilai debit lapangan. Data lapangan sedimen melayang diperoleh dengan menggunakan rumus hubungan antara debit dengan sedimen melayang yang diperoleh dari penelitian sebelumnya (Setyianto, 2005):
Qs = 864 x Q3,61........................................................................................(2) Dimana: Qs
= Sedimen melayang Sungai Cipopokol (ton/hari)
Q
= Debit Sungai Cipopokol (m3/s) Pengujian
dapat
dilakukan
dengan
dua
macam
metode
yaitu
menggunakan koefisien deterministik untuk hasil kalibrasi model dan validasi dengan uji statistik. Koefisien deterministik ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut (O’Connell dalam Nurlianty 2000):
[∑ (Qlap − Qavg) ]− [∑ (Qlap − Q mod) ] 2
R2 =
∑ (Qlap − Qavg)
2
2
......................................................(3)
Dimana: R2 Qlap Qmod Qavg
: Koefisien deterministik : Debit pengukuran lapangan (liter/detik) : Debit hasil keluaran model (liter/detik) : Debit rata-rata pengukuran lapangan Model dapat dievaluasi dengan asumsi sebagai berikut;
1. Jika R2 mendekati satu atau nilai R2 • 0.7 maka has il kalibras i model dapat dikatakan baik. 2. Jika R2 < 0, maka model akan menghasilkan simulasi yang kurang baik karena prediksi model akan sangat berbeda dengan Qavg hasil pengukuran di lapangan. Pengujian validasi model dilakukan dengan menggunakan uji t atau uji nilai tengah menggunakan s elang kepercayaan 95% (taraf nyata á = 0.05) dimana nilai tengah prediksi model (µ) sama dengan nilai data lapangan (µ o) yaitu sebesar H0 : µ=µo Jika jumlah sampel yang dipakai < 30 maka rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
x − µ0 , v = n-1..............................................................................................(4) S n
t=
Dimana: t X µo S n v
: Nilai t hitung : Nilai tengah data lapangan : Nilai tengan data model : Simpangan baku : Jumlah data : Derajat bebas Dalam statistika hidrologi dijelaskan bahwa simpangan baku (S)
digunakan untuk menentukan besarnya variabilitas suatu sampel populasi. Nilai simpangan baku dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut (Asdak 2002):
S=
(∑ X i ) 2 ....................................................................................(5) n (n − 1)
∑ X i2 −
Keputusan: 1. H0 akan diterima jika t < - tá/2 atau t > - tá/2, berarti hasil prediksi model tidak berbeda nyata dengan hasil pengukuran di lapangan. 2. H0 akan ditolak jika tidak berada pada selang tersebut.
Tahap Pemetaan Penyebaran Kelas Erosi dan Sedimentasi Tahap atau kegiatan merubah hasil keluaran atau output model ANSWERS berupa angka kembali menjadi bentuk peta/data raster dapat dilihat dalam diagram alir berikut ini: Output/Keluaran Model ANSWERS
Pengelompokan Hasil Keluaran
Pengkelasan Nilai Erosi dan Sedimen
(Text File) Peta Penyebaran Kelas Erosi dan Sedimen
(Excel File) Import Menjadi Bentuk Image
Perubahan File
ERDAS Imagine 8.5 (Raster File)
Gambar 7. Proses pemetaan penyebaran nilai erosi dan sedimen Langkah awal dalam memetakan kembali hasil output atau keluaran model adalah dengan melakukan pengelompokan nilai erosi dan sedimen pada setiap elemen menurut identitasnya yaitu nomor baris dan kolom. Pengkelasan nilai erosi dan sedimen dilakukan karena output model menghasilkan nilai erosi dan sedimen yang berbeda pada masing-masing elemen, sehingga untuk memudahkan merubah hasil output menjadi bentuk peta raster (image) maka nilai erosi dan sedimen disusun menjadi beberapa kelas. Pembagian kelas erosi dan sedimen dilakukan berdasarkan batas nilai terbesar dan terkecil yang dihasilkan. Tabel 4 berikut merupakan pengkelasan nilai erosi dan sedimen. Tabel 4. Pengkelasan nilai erosi dan sedimentasi No.
Hasil Prediksi
1.
Sedimen
2.
Erosi
Kelas 1 2 3 1 2 3 4 5
Nilai (Ton/Ha) 0 – 0,5 0,5 – 1 >1 0 – 0,5 0,5 – 1 0,5 – 1 1–5 >10
Proses pengelompokan elemen berdasarkan masing-masing parameter serta pengkelasan nilai erosi dan sedimen dilakukan di dalam format excel files, selanjutnya dilakukan perubahan nama file menjadi bentuk MS-DOS. Bentuk format file MS-DOS selanjutnya akan dapat terbaca di dalam software ERDAS Imagine 8.5 menjadi bentuk ASCII Raster melalui proses import. Import di dalam
ERDAS merupakan suatu proses untuk merubah suatu data dalam bentuk format tertentu (misalnya GRID, Arc Coverage, ASCII Raster) menjadi bentuk image. ASCII Raster merupakan sebuah format yang tersusun sebagai kumpulan angka. Tahap pengubahan format file ASCII Raster ke dalam bentuk format image memiliki ketentuan atau susunan bentuk file berupa BSQ dengan tipe data berupa decimal dan tipe output data berupa float. Setelah semua ketentuan atau persyaratan terpenuhi maka akan dihasilkan tampilan berupa peta dalam bentuk image. Tahap Analisa Indeks Sensitivitas Model Analisa sensitivitas digunakan untuk mengetahui pengaruh masukan model dan nilai parameter karakteristik model dan keluarannya. Analisa data yang digunakan adalah analisa sensitivitas deterministik terhadap variabel DAS dalam model ANSWERS. Prosedur yang digunakan adalah menjalankan simulasi dengan mengganti nilai setiap parameter sebesar 10% lebih besar dan 10% lebih kecil. Pengaruh perubahan keluaran model disebabkan oleh adanya penambahan atau pengurangan sebanyak 10% dari setiap parameternya. Indeks yang menggambarkan sensitivitas dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (de Roo dalam Nurlianty, 2000):
S= Dimana: S P10 M10 Baseline
P10 − M 10 Baseline
: Indeks Sensitivitas : Hasil simulasi dengan nilai parameter >10% : Hasil simulasi dengan nilai parameter <10% : Hasil simulasi awal
Tahap Simulasi penggunaan lahan Simulasi penggunaan lahan merupakan bentuk aplikasi dari model hidrologi ANSWER. Simulasi dilakukan dengan merubah luas penutupan lahan pada lokasi penelitian menjadi beberapa skenario penggunaan lahan. Perubahan jenis dan luas penggunaan lahan dilakukan dengan berdasarkan pertimbangan tertentu. Pada penelitian ini, simulasi penggunaan lahan bertujuan untuk mengetahui besarnya nilai erosi dan sedimen yang dihasilkan oleh berbagai macam jenis penutupan lahan di DTA Cipopokol.
KONDISI UMUM DTA CIPOPOKOL SUB DAS CISADANEHULU
Data Fisik
Curah hujan dan Debit
Kelas Kelerengan Dan Elevasi
Arah Aliran
Karakteristik Saluran dan Parameter
Model Hidrologi ANSWERS
Tidak
Diterima ? Ya
Nilai erosi dan sedimen
Uji Akurasi
Peta penyebaran erosi dan sedimentasi DTA Cipopokol
Simulasi Penggunaan lahan Gambar 8. Bagan alir kerangka penelitian
Aplikasi SIG dan Penginderaan Jauh
Jenis tanah Dan Parameter
Penggunaan lahan dan parameter
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Masukan Data Model ANSWERS Penutupan Lahan DTA Cipopokol Penutupan lahan merupakan sebuah istilah yang berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi atau sebuah gambaran konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan. Konstruksi tersebut akan tampak jelas, apabila dilihat secara langsung dari citra penginderaan jauh. Lo (1995) menjelaskan bahwa hasil pengamatan penutupan lahan, diharapkan dapat menduga kegiatan manusia serta penggunaan lahan. Data mengenai penutupan lahan DTA Cipopokol diperoleh dengan melakukan klasifikasi citra ASTER (Advanced Space Borne Thermal Emission and Reflection Radiometer) tahun 2004. Klasifikasi dilakukan berdasarkan pada kenampakan bentuk penutupan lahan yang dapat dilihat secara jelas dari perbedaan warna piksel pada citra ASTER dengan menggunakan kombinasi band 2-3-1. Subsistem yang digunakan adalah VNIR atau Visible and Near Infrared yang memiliki resolusi 15x15 meter. Fungsi utama dari VNIR adalah mendeskripsikan sumberdaya air, tanah serta kerapatan tanaman. Metode yang digunakan adalah klasifikasi terbimbing (supervised classification) dimana klasifikasi dilakukan setelah kegiatan cek lapangan dengan data pendukung hasil cek lapangan untuk selanjutnya menjadi pedoman dalam pengklasifikasian. Hasil kegiatan survey lapangan untuk kelas penutupan lahan menunjukan bahwa DTA Cipopokol dapat dikelompokan menjadi enam kelas penutupan lahan yaitu hutan, perkebunan, pertanian lahan kering, pemukiman, sawah dan semak belukar. Keterbatasan pembagian kelas penutupan lahan disebabkan oleh kecilnya luas wilayah yang akan diklasifikasi, karena pada dasarnya, dengan semakin kecil luas wilayah yang akan diklasifikasi maka akan semakin baik jika citra yang digunakan untuk klasifikasi adalah citra dengan resolusi tinggi. Sebagai contoh untuk kelas penutupan lahan berupa badan air (sungai) wilayah DTA Cipopokol tidak dapat diklasifikasikan, hal ini disebabkan oleh adanya keterbatasan resolusi citra ASTER dalam merekam bentuk penutupan yang pada kenyataannya di lapangan lebar badan air/sungai tersebut kurang dari 15 meter (lebih kecil dari resolusi citra ASTER). Hasil klasifikasi citra ASTER tahun 2004, menunjukan bahwa DTA Cipopokol terbagi menjadi 6 kelas penutupan lahan yaitu hutan, pertanian lahan
kering, perkebunan, sawah, pemukiman dan semak/belukar. Penutupan lahan berupa pertanian lahan kering memiliki luas terbesar diikuti dengan kelas penutupan lahan berupa perkebunan. Berikut ini disajikan tabel luas penutupan lahan yang ada di DTA Cipopokol. Tabel 7. Luas DTA Cipopokol berdasarkan penutupan lahan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jenis penutupan lahan Hutan Perkebunan Pertanian lahan kering Pemukiman Sawah Semak/belukar Luas total
Luas (Ha) 8,80 41,12 75,20 4,48 3,84 25,76 159,20
Luas (%) 5,56 25,83 47,24 2,81 2,41 16,15 100,00
Hutan Citra ASTER dengan kombinasi band 2-3-1 menunjukan kenampakan warna piksel untuk kelas penutupan lahan berupa hutan adalah berwarna hijau tua sampai hitam. Warna hitam menunjukan semakin rapatnya penutupan lahan oleh tajuk pohon. Berikut ini merupakan gambar kelas penutupan lahan berupa hutan yang dapat ditemukan di DTA Cipopokol.
Gambar 9. Tipe penutupan lahan berupa hutan Hutan didefinisikan sebagai suatu ekosistem tumbuh-tumbuhan yang didominasi oleh pepohonan. Kelas penutupan lahan berupa hutan di DTA Cipopokol sebagian besar didominasi oleh jenis pinus (Pinus merkusii) yang pada awalnya merupakan hutan produksi dibawah pengelolaan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Kelas penutupan lahan hutan dengan luas 8,80 Ha ini tersebar di sepanjang sempadan Sungai Cipopokol dan di sekitar mata air Cikutu. Keberadaan hutan pinus di sepanjang sungai Cipopokol dipertahankan oleh masyarakat sebagai kawasan lindung yang berfungsi utama sebagai pelindung tanah dari erosi. Selain disebabkan oleh letaknya yang sebagian besar berada pada kelerengan diatas 40%, keberadaan hutan lindung juga berfungsi untuk menjaga ketersediaan air untuk digunakan oleh masyarakat, diantaranya
keperluan irigasi, penyediaan air bersih, perikanan dan pertanian. Kawasan hutan di sepanjang sungai dan mata air di DTA Cipopokol memiliki penyebaran vegetasi yang tidak merata sehingga terdapat daerah yang tidak bervegetasi dan perlu segera dilakukan kegiatan rehabilitasi. Perkebunan Kawasan perkebunan didefinisikan sebagai suatu kawasan yang secara khusus diperuntukkan untuk budidaya tanaman perkebunan. Kenampakan kelas penutupan lahan untuk perkebunan pada citra ASTER dengan kombinasi band 23-1 adalah hijau kekuningan sampai merah muda. Warna hijau kekuningan menunjukan bahwa penutupan lahan didominasi oleh jenis vegetasi yang hampir rapat menutup tanah, misalnya kebun pepaya dan kebun palem. Sedangkan untuk warna merah muda menunjukan semakin jarang penutupan tanah oleh vegetasi, misalnya kebun pepaya muda dan perkebunan nilam. Berikut ini merupakan gambar kelas penutupan lahan berupa perkebunan yang ditemukan di DTA Cipopokol.
Gambar 10. Tipe penutupan lahan berupa perkebunan Kelas penutupan lahan berupa perkebunan menempati luas terbesar ke dua setelah pertanian lahan kering yaitu sebesar 41,12 Ha. Jenis tanaman perkebunan yang banyak ditemukan di daerah ini adalah tanaman buah-buahan dan tanaman pertanian, diantaranya pepaya, pisang, palem, nilam, salak, kopi dan lidah buaya. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan jenis tanaman perkebunan terluas adalah perkebunan pepaya. Status penguasaan lahan untuk kawasan perkebunan adalah lahan milik (perorangan maupun kelompok). Sebagian besar kawasan perkebunan dimiliki oleh orang-orang yang berasal dari luar daerah. Keberadaan kawasan perkebunan ini telah memberikan kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar untuk bekerja sebagai penggarap lahan.
Pertanian Lahan Kering dan Lahan Basah Kelas penutupan lahan berupa lahan pertanian di DTA Cipopokol dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu pertanian lahan kering dan lahan basah. Kenampakan warna piksel pada citra untuk kelas penutupan lahan berupa pertanian lahan kering adalah merah muda sampai putih, sedangkan untuk kelas pertanian lahan basah berwarna biru tua sampai coklat. Pertanian lahan kering lebih mendominasi dengan luas mencapai 47,14% dari luas total DTA. Pertanian lahan kering didefinisikan sebagai daerah pertanian yang biasanya tidak mendapatkan air pengairan. Sistem penanaman yang dilakukan untuk pertanian lahan kering adalah sistem rotasi, dimana penanamannya dilakukan secara bergantian dengan jenis tanaman lain setelah panen. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, sebagian besar masyarakat melakukan penanaman campuran yang terdiri dari beberapa jenis tanaman pertanian dalam satu lahan. Pola pergiliran tanaman dilakukan dengan tujuan untuk mencegah terjadinya serangan hama penyakit dan petani pada umumnya cenderung menanam jenis tanaman yang harganya diperkirakan akan naik di pasaran. Jenis tanaman yang ditanam pada lahan kering diantaranya adalah jagung, ketela, talas, kacang tanah dan tanaman sayur-sayuran seperti buncis, timun, terong, cabai, tomat, kacang panjang dan lain sebagainya. Pola penggunaan lahan di kawasan hulu dari suatu Daerah Aliran Sungai sebagain besar merupakan lahan pertanian yang berupa sistem pertanian lahan kering. Secara biofisik, lahan kering dicirikan sebagai lahan yang memiliki tingkat kesuburan rendah, sumber pengairan yang terbatas dan hanya bersumber pada curah hujan, tersebar di daerah lereng dan perbukitan, serta pada umumnya memiliki tingkat erosi yang cenderung tinggi. Kerusakan ekosistem yang terjadi di kawasan hulu akibat penanganan tindakan konservasi lahan dan sumberdaya alam yang salah akan dapat memperbesar peluang terjadinya kekeringan pada musim kemarau dan banjir pada musim hujan, sehingga timbulnya masalah lingkungan tidak hanya akan menyangkut di kawasan hulu saja tetapi juga akan menyangkut kawasan hilir. (Anonimus, 2004). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum-Ciliwung pada tahun 2003 menunjukan bahwa areal lahan kering di DTA Cipopkol merupakan penyumbang erosi terbesar untuk DTA Cipopokol. Pertanian lahan basah didefinisikan sebagai kawasan yang digunakan untuk budidaya pertanian yang memiliki sistem pengairan tetap, terus-menerus
sepanjang tahun, musiman atau bergilir dengan tanaman utama padi. Pertanian lahan basah di DTA Cipopokol berupa sawah dengan luas 3,84 Ha yang tersebar di daerah dengan topografi yang relatif datar dan dekat dengan pemukiman penduduk. Berdasarkan hasil overlay dengan peta ketinggian tempat, pertanian lahan basah berada pada ketinggian 500 sampai dengan 600 mdpl. Sistem penanaman untuk pertanian lahan basah adalah sawah irigasi. Berikut ini merupakan gambar kelas penutupan lahan berupa pertanian lahan kering dan pertanian lahan basah yang ditemukan di DTA Cipopokol.
Gambar 11. Tipe penutupan lahan berupa lahan pertanian Pemukiman Kenampakan warna piksel pada citra ASTER untuk kelas penutupan lahan berupa pemukiman adalah merah muda. Secara visual hampir sama dengan kenampakan penutupan lahan berupa pertanian lahan kering, sehingga untuk memudahkan dalam membedakan antara pemukiman dan pertanian lahan kering, selain menggunakan data referensi dari lapangan berupa titik ground truth juga menggunakan metode NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) sebagai pendukung. NDVI merupakan suatu metode penilaian kelas penutupan lahan berdasarkan ada tidaknya penutupan lahan berupa vegetasi. Semakin kecil nilai NDVI, maka semakin sedikit vegetasi yang terdapat pada penutupan lahan tersebut. Nilai NDVI untuk pemukiman dan lahan kosong bernilai negatif. Pemukiman didefinisikan sebagai suatu areal yang digunakan oleh manusia dan tertutup oleh struktur bangunan. Pemukiman meliputi seluruh tempat tinggal yang kadang-kadang dipetakan sekaligus dengan pekarangan yang terdapat tanaman. Pola pemukiman di suatu kawasan hulu akan sangat berbeda dengan pola pemukiman di daerah tengah dan hilir pada suatu kawasan DAS. Kawasan pemukiman di wilayah DTA Cipopokol dengan luas sebesar 4,64 Ha
atau 2,81% dari luas wilayah daerah tangkapan, tidak hanya berfungsi
sebagai tempat tinggal atau hunian saja tetapi juga berfungsi sebagai tempat peristirahatan yang hanya dihuni pada saat-saat tertentu saja. Kawasan pemukiman penduduk setempat di wilayah ini masih mencerminkan sistem tipe pemukiman pedesaan yaitu tempat tinggal tergabung dengan kebun atau pekarangan dan kolam ikan atau kandang ternak. Pada lahan pekarangan dan kebun, oleh masyarakat biasanya ditanam dengan tanaman buah-buahan berupa nangka, durian, pisang dan sebagainya. Berikut ini disajikan gambar kelas penutupan lahan berupa pemukiman di DTA Cipopokol.
Gambar 12. Pemanfaatan lahan untuk peternakan dan pemukiman Semak/belukar Semak belukar merupakan jenis penutupan lahan yang biasanya didominasi oleh tanaman perdu dan keberadaannya tidak dikelola oleh manusia. Semak dan belukar dapat terjadi dari sisa lahan pertanian dan budidaya yang tidak dimanfaatkan dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga banyak ditumbuhi rumput-rumputan, alang-alang dan tanaman semak belukar. Semak belukar di DTA Cipopokol lebih banyak didominasi oleh jenis bambu, rumputrumputan dan jenis tanaman kaliandra. Sebagian besar tanaman tersebut memiliki tinggi rata-rata antara 5-10 meter. Kelas penutupan lahan berupa semak dan belukar banyak ditemukan di sekitar kanan kiri sungai dan berada dekat dengan kelas penutupan berupa hutan dengan luas mencapai 16,15% atau sebesar 25,76 Ha. Purnama (2005) menjelaskan bahwa kedua tipe vegetasi semak dan belukar pada umumnya tidak dapat dipisahkan menjadi dua kelas yang berbeda karena memiliki kenampakan yang sama pada citra. Stratifikasi dan penutupan tajuk yang relatif rata menyebabkan tingginya nilai pantul dari radiasi matahari yang diterima sensor satelit. Kenampakan warna piksel pada Citra ASTER DTA Cipopokol untuk kelas penutupan lahan berupa semak belukar adalah hijau
muda sampai hijau kekuningan. Gambar penutupan lahan berupa semak belukar di Daerah Tangkapan Air Cipopokol dapat dilihat sebagai berikut.
Gambar 13. Kelas penutupan lahan berupa semak belukar Uji akurasi tidak dapat diabaikan dari pengolahan data digital. Penilaian akurasi terhadap hasil klasifikasi dilakukan dengan tujuan untuk menyatakan tingkat kesesuaian citra hasil klasifikasi dengan kondisi aktual di lapangan. Lillesand dan Kiefer (1994) menyatakan bahwa penilaian akurasi hasil klasifikasi menggunakan matrik kesalahan (eror matrix/confusion matrix) yaitu dengan membandingkan hubungan antara data referensi yang diketahui (ground truth data) dengan hasil klasifikasi. Hasil analisis akurasi dapat diketahui dari nilai akurasi secara keseluruhan atau overall accuracy dan akurasi kappa atau overall kappa statistic. Nilai akurasi yang dihasilkan dari proses klasifikasi citra ASTER adalah 81,82% untuk akurasi total, sedangkan untuk akurasi kappa diperoleh nilai sebesar 72,45%. Semakin tinggi nilai akurasi, maka hasil klasifikasi citra akan mendekati kondisi sebenarnya di lapangan. Sumber kesalahan dalam proses klasifikasi salah satu diantaranya adalah dalam proses geoprocesing, dimana kesalahan penempatan titik pada satu piksel akan berakibat adanya perbedaan 225 meter di lapangan untuk citra ASTER. Tabel 8 merupakan tabel nilai akurasi hasil klasifikasi citra ASTER, sedangkan hasil klasifikasi penutupan lahan citra ASTER tahun 2004 dengan enam kelas penutupan lahannya dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 14. Peta penutupan lahan DTA Cipopokol tahun 2004
Tabel 8. Akurasi total (Overall Clasification Accuracy) Classified data
Unclassified
Hutan
Perkebunan
Unclassified Hutan Perkebunan Pertanian lahan kering Sawah Pemukiman Semak/belukar Column total
0 0 0 0 0 0 0 0
0 3 0 0 0 0 0 3
1 0 9 1 0 0 0 11
Producer’s Accuracy Unclassified Hutan Perkebunan Pertanian lahan kering Sawah Pemukiman Semak/belukar
100,00% 81,82% 93,48% 100,00% 55,56% 56,25%
User’s Accuracy 100,00% 64,29% 87,76% 75,00% 100,00% 90,00%
Reference Data Pertanian Sawah lahan kering 1 0 0 0 4 0 43 0 0 3 0 0 1 0 46 3
Pemukiman
Overall Clasification Accuracy = 81,82%
Tabel 9. Akurasi Kappa (Overall Kappa Statistic)
Conditional Kappa for each category Class name Kappa Unclassified 0,0000 Hutan 1,0000 Perkebunan 0,5918 Pertanian lahan kering 0,7434 Sawah 0,7412 Pemukiman 1,0000 Semak/belukar 0,8778
1 0 1 2 0 5 0 9
Overall Kappa Statistic = 72,45%
Semak/ belukar 0 0 3 3 1 0 9 16
Row total 3 3 14 49 4 5 10 88
Parameter penutupan lahan DTA Cipopokol Selain kelas penutupan lahan, data input/masukan yang diperlukan oleh model hidrologi ANSWERS adalah nilai parameter penutupan/penggunaan lahan. Nilai parameter penggunaan/penutupan lahan diperoleh dari buku manual ANSWERS dan data sekunder. Berikut ini merupakan tabel nilai parameter penutupan lahan untuk Daerah Tangkapan Cipopokol. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tabel 10. Parameter tata guna lahan DTA Cipopokol
Penutupan lahan Hutan Perkebunan Pertanian lahan kering Pemukiman Sawah Semak belukar
PIT 2,00 1,50 1,00 1,00 3,00 2,00
PER 0,65 0,50 0,60 0,87 0,82 0,70
RC 0,40 0,43 0,40 0,10 0,31 0,40
HU 110 126 130 110 115 110
N 0,20 0,13 0,24 0,09 0,05 0,13
C 0,40 0,40 0,70 0,60 0,01 0,01
Keterangan: PIT :Tampungan intersepsi potensial PER : Persentase penutupan lahan RC : Koefisien kekasaran atau faktor bangun HU : Tinggi kekasaran maksimum N : Koefisien Manning’s C : Erosivitas relatif USLE
Parameter-parameter penutupan/penggunaan lahan terdiri dari intersepsi potensial, persen penutupan lahan, faktor bangun, tinggo kekasaran maksimum, koefisien Manning’s dan erosivitas relatif. Intersepsi merupakan proses ketika air hujan yang jatuh pada permukaan vegetasi di atas permukaan tanah, tertahan beberapa saat untuk kemudian diuapkan kembali atau hilang ke atmosfer atau diserap oleh vegetasi yang bersangkutan. Proses intersepsi terjadi selama berlangsungnya curah hujan dan setelah hujan berhenti sampai permukaan tajuk vegetasi menjadi kering kembali. Tampungan Intersepsi potensial atau PIT dinyatakan sebagai volume yang dapat dipindahkan jika seluruh area tertutupi oleh jenis tanaman atau penggunaan lahan tertentu. Tabel 10 diatas menjelaskan bahwa nilai tampungan potensial intersepsi (PIT) terbesar dimiliki oleh penggunaan lahan berupa sawah yaitu sebesar 3 mm. Hal ini diduga disebabkan oleh rapatnya daun pada kelas penutupan sawah, sehingga semakin rapat daun, jumlah air hujan yang diuapkan kembali oleh vegetasi menjadi semakin besar. Nilai PIT pada semak/belukar lebih rendah dibandingkan dengan sawah. PER atau persentase penutupan lahan menjelaskan berapa persen lahan yang tertutupi oleh suatu jenis penggunaan atau penutupan lahan tertentu. Persen penutupan lahan terbesar dimiliki oleh pemukiman yaitu sebesar 87%.
Dimana diperkirakan lahan yang tertutupi oleh pemukiman hampir 87% dari luas lahan. Nilai N (Koefisien Manning’s) dinyatakan sebagai nilai kekasaran permukaan atau hambatan aliran dengan mengamati kondisi penggunaan lahan. Nilai kekasaran terbesar dimiliki oleh penutupan lahan berupa pemukiman sebesar 0,90. Nilai C atau erosivitas relatif ditunjukkan sebagai angka perbandingan yang berhubungan dengan tanah hilang tahunan pada areal yang bervegetasi dengan areal yang sama jika areal tersebut kosong dan ditanami secara teratur. Semakin baik perlindungan permukaan tanah oleh vegetasi maka akan semakin rendah tingkat erosinya. Nilai faktor C berkisar antara 0,001 pada hutan yang tidak terganggu sampai dengan 1,00 pada tanah kosong (Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, 1998). Tabel di atas menunjukan bahwa hutan mempunyai nilai faktor C sebesar 0,40 hal ini disebabkan oleh penutupan lahan oleh tajuk pohon dalam hal ini pinus tidak merata, berbeda dengan semak/belukar yang memiliki nilai C sebesar 0,01 dengan penutupan tanah yang sangat rapat. Pembagian
peta
penutupan
lahan
menjadi
elemen-elemen
bujursangkar/gridisasi atau piksel dengan ukuran 40 x 40 meter dilakukan dengan merubah peta menjadi bentuk raster sehingga setiap piksel memiliki nilai. Berikut ini disajikan tabel jumlah elemen untuk masing-masing kelas penggunaan lahan. Tabel 11. Jumlah elemen untuk masing-masing penggunaan lahan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jenis penutupan lahan Hutan Perkebunan Pertanian lahan kering Pemukiman Sawah Semak/belukar Luas total
Jumlah elemen
55 257 470 28 24 161 995
Jenis dan Parameter Tanah Peta tanah Kabupaten Bogor menunjukan bahwa Sub DAS Cisadane Hulu didominasi oleh dua jenis tanah yaitu Latosol coklat dan Latosol Coklat Kemerahan. DTA Cipopokol hanya memiliki satu jenis tanah yaitu Latosol Coklat. Jenis tanah Latosol Coklat merupakan jenis tanah yang agak peka terhadap erosi, memiliki permeabilitas sedang
sampai lambat, mudah menyerap dan
menahan air, serta memiliki produktivitas tanah sedang sampai tinggi. Jenis tanah Latosol Coklat biasanya ditemukan pada medan berombak hingga
bergunung dengan solum dalam yaitu 90 cm dengan kandungan bahan organik berkisar antara 1,24 – 6,93%, memiliki tekstur liat, stuktur gumpal. Pembuatan grid untuk peta jenis tanah DTA Cipopokol dilakukan dengan merubah peta tanah dalam bentuk vektor menjadi bentuk raster dengan masingmasing piksel berukuran 40 x 40 meter atau 0,16 Ha sehingga diperoleh jumlah seluruh elemen/piksel adalah 995. Selain nilai jenis tanah, input data yang diperlukan untuk model ANSWERS adalah nilai parameter tanah. Nilai parameter untuk masukan model ANSWERS sebagian besar merupakan sifat fisik tanah yang diperoleh dari buku manual ANSWERS, data sekunder serta pengukuran. Berikut ini disajikan tabel nilai parameter jenis tanah Latosol Coklat untuk DTA Cipopokol. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Tabel 12. Parameter tanah DTA Cipopokol
Parameter tanah Porositas total (TP) Kelembaban tanah (ASM) Kapasitas lapang (FP) Laju infiltrasi konstan (FC) Selisih laju infiltrasi maksimum dan laju infiltrasi konstan (A) Nilai eksponen infiltrasi (P) Kedalaman zona kontrol infiltrasi (DF) Erodibilitas tanah (K)
Nilai 70% 60% 54% 13,50 mm/jam 3,70 0,75 300 0,12
Nilai parameter tanah yang diukur diantaranya adalah nilai Porositas Tanah Total (TP) yaitu dengan mengukur sifat tanah berupa kerapatan limbak atau Bulk Density serta kerapatan jenis partikel atau Particle Density dan Kapasitas Lapang (FP). Pengambilan sampel tanah berupa sampel tanah utuh dengan menggunakan ring sample dengan tiga kali ulangan. Untuk selanjutnya sampel tanah yang diambil dianalisis di laboratorium. Parameter yang tidak dapat diukur adalah koefisien pelepasan air tanah (groundwater release fraction). Koefisien tersebut menunjukan besarnya air tanah yang dilepaskan ke sungai sehingga dapat menambah besarnya aliran sungai. Beasley dan Huggins (1981) menyatakan bahwa besarnya koefisien pelepasan air tanah berkisar 0-0,01. Hasil optimal yang diperoleh pada kalibrasi model untuk kejadian hujan pada tanggal 8 Januari 2005 sebesar 0,0073. Kondisi Saluran DTA Cipopokol memiliki tiga saluran atau sungai yaitu satu sungai utama dan dua anak sungai. Saluran pertama merupakan sungai utama yaitu Sungai Cipopokol yang merupakan anak sungai Cinagara. Sungai Cipopokol memiliki
lebar kurang lebih 1,8 meter dengan panjang mencapai 2 Km, sedangkan dua sungai lainnya yang merupakan anak sungai dari Sungai Cipopokol memiliki lebar masing-masing kurang lebih 0,8 meter dan 1,3 meter. Kedalaman sungai pada waktu musim kemarau sekitar 30 cm, namun pada waktu hujan ketinggian air mencapai 0,5 sampai 0,7 meter. Koefisien kekasaran saluran yang diperoleh sebesar 0,04 yang berarti merupakan sungai alami, tebing lurus, penuh, tidak ada lubang atau lubuk yang dalam dan terdapat sejumlah batu, rumput atau gulma (Arsyad, 1989). Pada musim kemarau kondisi anak Sungai Cipopokol biasanya kering, berbeda dengan sungai utamanya yang selalu berair walau pada musim kemarau. Berikut ini disajikan tabel jumlah elemen saluran yang melewati DTA Cipopokol. No. 1. 2. 3.
Tabel 13. Jumlah elemen saluran Jenis saluran Jumlah elemen Luas (ha) Saluran 1 68 10,88 Saluran 2 30 4,80 Saluran 3 33 5,28 Jumlah 131 20.96
Corak dan karakteristik daerah pengaliran Cipopokol berbentuk paralel, yang memiliki corak dimana dua jalur pengaliran bersatu di bagian hilir. Banjir pada umumnya terjadi di sebelah hilir titik pertemuan sungai-sungai. Berikut ini merupakan gambar salah satu anak Sungai Cipopokol.
Gambar 15. Sungai di DTA Cipopokol Gambar 16. Kondisi sungai pada waktu hujan
Ketinggian Tempat/Elevasi Data elevasi atau ketinggian tempat diperoleh dari hasil pengolahan peta kontur digital dengan interval 12,5 meter, yang kemudian dirubah ke dalam bentuk DEM atau Digital Elevasi Model melalui proses surfacing. DEM merupakan peta dalam bentuk data raster yang mampu menggambarkan ketinggian tempat dalam bentuk tiga dimensi. Data masukan atau input model yang dibutuhkan oleh model ANSWERS adalah nilai ketinggian/elevasi dari masing-masing piksel/elemen/grid dengan ukuran masing-masing grid adalah 40 x 40 meter. Sedangkan dari hasil pengkelasan data ketinggian tempat diperoleh bahwa Daerah Tangkapan Air Cipopokol terletak pada ketinggian 500 sampai lebih dari 800 meter dari permukaan laut (mdpl). Ketinggian tempat untuk wilayah ini didominasi oleh ketinggian 700 sampai 800 mdpl yang menempati areal seluas 79,63 Ha atau sebesar 49,85% dari luas total wilayah. Diikuti dengan 600 sampai dengan 700 mdpl seluas 56,32 Ha dan lebih dari 800 mdpl seluas 13,77% atau 21,92 Ha. Data jumlah elemen dan kelas ketinggian selengkapnya dapat dilihat pada tabel 14 dibawah ini. Tabel 14. Luas DTA Cipopokol berdasarkan kelas ketinggian No. 1. 2. 3. 4.
Ketinggian tempat (mdpl) 500 – 600 600 – 700 700 – 800 > 800 Total
Luas Ha 1,60 56,32 79,36 21,92 159,20
% 1,004 35,34 49,85 13,77 100,00
Jumlah elemen 10 352 496 137 995
Hasil pengamatan di lapangan dan overlay antara peta ketinggian dan penutupan lahan diperoleh bahwa ketinggian tempat antara 500 sampai dengan 700 mdpl lebih banyak digunakan untuk pemukiman penduduk dan sawah. Selain dekat dengan akses berupa jalan, menurut topografinya ketinggian tersebut masih didominasi oleh kelas kelerengan datar dan landai, kecuali pada daerah di sepanjang sungai Cipopokol. Sedangkan untuk ketinggian tempat 700 sampai dengan 800 mdpl dan lebih dari 800 mdpl, bentuk penggunaan atau penutupan lahan lebih banyak didominasi oleh lahan pertanian dan perkebunan. DTA Cipopokol merupakan kawasan penyangga dan berbatasan langsung dengan
Taman
Nasional
Gunung
Gede
Pangrango
(TNGP),
sehingga
keberadaan penutupan lahan berupa hutan alam, hanya dapat ditemukan pada kelas ketinggian lebih dari 800 mdpl (di luar batas DTA Cipopokol).
Dalam model ANSWERS, ketinggian tempat/elevasi digunakan sebagai parameter untuk mendukung terbentuknya data spasial sehingga model ANSWERS dapat dikatakan sebagai model terdistribusi yang mampu mewakili variabilitas keruangan dan waktu.
Gambar 17. Peta kelas ketinggian Daerah Tangkapan Air Cipopokol
Kemiringan Lereng Seperti halnya ketinggian tempat, kemiringan lereng di DTA Cipopokol diperoleh dari hasil pengolahan peta kontur. Berikut ini merupakan peta penyebaran kelas lereng di DTA Cipopokol
Gambar 18. Peta Kelas lereng Daerah Tangkapan Air Cipopokol
Berikut merupakan tabel kelas kemiringan lereng di DTA Cipopokol yang dikelompokkan ke dalam 5 kelas. Tabel 15. Luas DTA Cipopokol berdasarkan kelas kelerengan No. 1. 2. 3. 4. 5.
Kelas Lereng 0 – 8% (Datar) 8 – 15% (Landai) 15 – 25% (Agak curam) 25 – 40% (Curam) > 40% (Sangat curam) Jumlah
Ha
Luas
9,76 40,32 59,52 38,72 10,88 159,20
%
6,13 25,33 37,39 24,32 6,83 100,00
Jumlah elemen 50 217 379 274 74 995
Tabel di atas menjelaskan bahwa DTA Cipopokol didominasi oleh kelas lereng agak curam (15 – 40%) dengan persentase 37,39% atau sebesar 59,52 Ha, selanjutnya kelas lereng landai (8 – 15%) dengan luas 40,32 Ha atau 25,33%, sedangkan kelas lereng sangat curam (> 40%) memiliki luas sebesar 10,88 Ha atau 6,83% dari luas seluruh Daerah Tangkapan Air. Arah Aliran Data mengenai arah aliran (Flow Direction) diperoleh dari pengolahan peta kontur dengan menggunakan bantuan software ArcView GIS 3.3 dengan menggunakan ekstensi Spatial Analysis,3D Analysis dan Hydrology Modeling. Pembuatan arah aliran dilakukan dengan merubah peta kontur menjadi TIN. Selanjutnya dengan menggunakan Hydrology modeling akan diperoleh peta arah aliran. Tabel berikut menampilkan jumlah elemen dan masing-masing arah aliran. Tabel 16. Jumlah elemen arah aliran
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Arah Keterangan aliran o 0 Timur o 45 Tenggara o 90 Selatan o 135 Barat Daya o 180 Barat o 225 Barat Laut o 270 Utara o 315 Timur Laut Jumlah
Jumlah elemen 1 0 15 165 265 157 278 114 995
Luas Ha % 0,16 0,10 0,00 0,00 2,40 1,51 26,40 16,58 42,40 26,63 25,12 15,78 44,48 27,94 18,24 11,46 159,20 100,00
Aliran air mengalir dari tempat yang tinggi menuju ke tempat yang rendah, dan menuju ke arah sungai serta berlawanan dengan garis kontur. Gambar 20 dibawah ini menunjukan peta arah aliran yang terbagi ke dalam delapan arah dengan selisih masing-masing arah adalah 450 atau delapan arah mata angin. Sungai pada DTA Cipopokol mengalir dari arah timur menuju ke barat sehingga
tidak ditemukan arah aliran yang menuju ke arah tenggara. Arah aliran terluas pada arah aliran utara atau 270o dengan luas 44,5 Ha selanjutnya arah barat atau 1800 seluas 42,4 Ha. Peta arah aliran untuk DTA Cipopokol dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 19. Peta arah aliran Daerah Tangkapan Air Cipopokol
Curah Hujan dan Debit Data curah hujan yang digunakan sebagai masukan model ANSWERS adalah data intensitas hujan dan lama hujan dengan interval waktu tertentu pada satu kejadian hujan. Intensitas hujan merupakan jumlah hujan persatuan waktu yang biasanya dinyatakan dalam milimeter/jam. Intensitas hujan diperoleh dari hasil pembacaan kertas pias hujan dari Automatic Rainfall Recorder atau ARR. Data intensitas hujan tersebut pada umumnya dalam bentuk tabular atau grafik (hydrograph). Data mengenai intensitas hujan biasanya dimanfaatkan untuk perhitungan-perhitungan prakiraan besarnya erosi, debit puncak atau banjir, perencanaan drainase dan bangunan air lainnya. Sedangkan lama hujan didefinisikan sebagai lama waktu berlangsungnya hujan. Dalam model ANSWERS curah hujan dengan intensitas cukup besar dan berlangsung dalam waktu pendek akan menghasilkan nilai erosi yang lebih besar dibandingkan dengan hujan yang memiliki intensitas kecil dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama, namun hujan dengan intensitas besar dan berlangsung dalam waktu yang cukup singkat justru tidak banyak menghasilkan aliran permukaan. Debit merupakan volume air sungai dalam suatu satuan waktu. Tingkat kekritisan suatu DAS dapat ditentukan salah satunya oleh besarnya fluktuasi debit air sungai pada musim kemarau dan musim hujan. Data debit diperoleh dari pengukuran tinggi muka air sungai dengan menggunakan alat yang disebut AWLR atau Automatic Water Level Recorder yang kemudian dikonversi dengan menggunakan rumus 1 (dapat dilihat pada bab metode penelitian) yang menyatakan persamaan hubungan antara debit dan tinggi muka air. Data curah hujan dan debit yang digunakan adalah kejadian hujan terpilih. Pada bulan November sampai dengan Agustus 2005, terpilih 2 kejadian dengan curah hujan tertinggi yaitu pada tanggal 8 Januari 2005 dan 2 Agustus 2005, masing-masing memiliki curah hujan sebesar 46,7 mm dan 74,6 mm. Secara rinci curah hujan dan debit pada masing-masing kejadian hujan dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 17. Data curah hujan dan debit tanggal 8 Januari 2005 Waktu (jam) 15.30 – 16.00 16.00 – 16.30 16.30 – 17.00 17.00 – 17.30 17.30 – 18.00
Curah hujan (mm)
Tinggi muka air (m)
0,00 8,00 9,00 9.00 11,00
0,18 0,23 0,32 0,34 0,46
Debit (liter/detik) 88,80 188,00 399,00 467,00 1028,00
Aliran dasar (liter/detik) 88,80 88,80 88,80 88,80 88,80
Aliran permukaan (liter/detik) 0,00 99,00 310,00 378,00 939,00
Tabel 17 (Lanjutan) 18.00 – 18.30 Jumlah
9,70 46,70
0.51 -
1345 3515,80
88,80 -
Tabel 18. Data curah hujan dan debit tanggal 2 Agustus 2005 Waktu (jam) 14.00-15.00 15.00 – 16.00 16.00 – 17.00 17.00 – 18.00 18.00 – 19.00 19.00 – 20.00 Jumlah
Curah hujan (mm)
Tinggi muka air (m)
0,00 10,00 35,00 19,40 11,00 3,20 78,60
0,18 0,18 0,44 0,32 0,32 0,26 -
Debit (liter/detik) 88,80 88,80 915,20 398,60 398,60 231,80 2121,80
Aliran dasar (liter/detik) 88,80 88,80 88,80 88,80 88,80 88,80 -
1256,00 2982,00
Aliran permukaan (liter/detik) 0,00 0,00 826,40 309,80 309,80 143,00 158,90
Data kejadian hujan terpilih yang dipakai sebagai masukan model ANSWERS adalah data kejadian hujan pada tanggal 8 Januari 2005. Hal ini dikarenakan, dalam model ANSWERS data curah hujan yang dibutuhkan adalah data curah hujan dengan intensitas besar dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Seperti yang dikemukan oleh Bermanakusumah dalam Purnama (2005), yang menyatakan erosi yang hebat baru akan terjadi bila hujan yang terjadi mempunyai jumlah dan intensitas yang tinggi. Kejadian hujan pada tanggal 2 Agustus 2005 merupakan kejadian hujan yang cukup besar dan berlangsung pada waktu yang cukup lama, namun karena adanya keterbatasan pembacaan selang waktu pada kertas pias yang menggunakan interval setiap dua jam sehingga data kejadian hujan pada tanggal 2 Agustus 2005 tidak dapat dipakai. Gambar berikut merupakan stasiun penakar hujan yang ada di Daerah Tangkapan Air Cipopokol yang disebut sebagai ARR.
Gambar 20. Alat penakar curah hujan/ARR
Aliran permukaan atau surface runoff merupakan bagian dari curah hujan yang mengalir di atas dan di dalam permukaan tanah menuju ke sungai, danau ataupun lautan. Keberadaan aliran permukaan dipengaruhi oleh intensitas hujan dan kapasitas infiltrasi. Air permukaan akan terjadi ketika jumlah curah hujan telah melampaui laju infiltrasi air ke dalam tanah. Tabel 17 dan 18 menunjukan bahwa baik pada kejadian hujan tanggal 8 Januari maupun kejadian hujan tanggal 2 Agustus 2005 terlihat bahwa aliran permukaan terjadi setelah satu jam hujan berlangsung. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap terbentuknya aliran permukaan pada suatu daerah aliran sungai, salah satu diantaranya adalah bentuk DAS. DTA Cipopokol memiliki bentuk memanjang dan sempit sehingga aliran permukaan tidak terkonsentrasi secepat pada daerah aliran sungai dengan bentuk yang melebar. Asdak (2002) menyatakan bahwa dengan semakin panjang jarak antara tempat jatuhnya air dengan outlet atau titik pengamatan maka waktu yang diperlukan air hujan untuk sampai ke titik pengamatan akan semakin lama. Analisa Keluaran Data model ANSWERS Keluaran atau output yang dihasilkan dalam model hidrologi ANSWERS terdiri dari ringkasan atau summary report, data spasial yang meliputi arah aliran (flow direction), kelas lereng (slope stepness), sedimen atau erosi yang disajikan dalam bentuk grid, dan grafik yang terdiri dari curah hujan (rainfall), aliran permukaan (runoff) dan grafik sedimen. Keluaran model berupa ringkasan atau summary report yang dihasilkan dari kejadian hujan tanggal 8 Januari 2005 dapat dilihat sebagai berikut.
Gambar 21. Ringkasan hasil keluaran model ANSWERS
Gambar 21 di atas menunjukan bahwa dari curah hujan sebesar 46,7 mm menghasilkan runoff sebesar 4,014 mm. Kehilangan tanah rata-rata yang terjadi adalah sebesar 398 Kg/Ha atau 0,398 Ton/Ha. Laju erosi maksimum yang terjadi adalah 29088 Kg/Ha atau sebesar 29,088 Ton/Ha dengan laju pengendapan maksimum sebesar 4624 Kg/Ha atau sebesar 4,624 Ton/Ha. Data keluaran model ANSWERS dapat dilihat secara lengkap pada Lampiran 6. Selain ringkasan atau summary report keluaran model ANSWERS yang lain berupa grafik hidrograf yang menggambarkan hubungan antara debit runoff, curah hujan dan sedimen yang terjadi pada tanggal 8 Januari 2005. Hasil keluaran model berupa hidrograf dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 22. Grafik hydrograph keluaran model ANSWERS Keluaran model ANSWERS berupa grafik hydrograph menjelaskan bahwa puncak runoff yang dihasilkan oleh model adalah sebesar 3,0471 mm/jam dan menyumbangkan sedimen sebesar 42,996 ton. Seiring dengan menurunnya intensitas hujan, maka aliran permukaan berangsur-angsur turun. Hasil keluaran model ANSWERS dalam bentuk data spasial dapat dilhat pada gambar di bawah ini.
Gambar 23. Salah satu data spasial keluaran model ANSWERS Gambar 23. Keluaran data model ANSWERS berupa data spasial Data keluaran berupa data spasial menunjukan penyebaran kelas kelerengan dalam bentuk grid atau piksel yang terbagi menjadi lima kelas kelerengan. Selain kelas lereng, data spasial lainnya yang merupakan hasil keluaran model ANSWERS adalah arah aliran (flow direction) dan sedimen. Pengujian Model Pengujian model bertujuan untuk mengetahui tingkat keandalan suatu model. Pengujian dilakukan terhadap hasil keluaran model berupa debit dan sedimen dengan data lapangan dengan menggunakan dua metode yang terdiri dari koefisien deterministik (R2) dan uji nilai t. Pengujian debit model dan lapangan Koefisien Deterministik (Korelasi) Kalibrasi dengan menggunakan koefisien deterministik dilakukan dengan membandingkan hasil prediksi model dengan pengamatan. Dapat dilihat dalam tabel berikut ini. No. 1. 2. 3.
Waktu (menit) 0 30 60
Tabel 19. Debit limpasan model dan pengamatan (Qlap) (liter/detik) 88,80 188,00 399,00
(Qmod) (liter/detik) 0,00 9,30 184,00
Qlap-Qmod 88,80 178,70 215,00
2
(Qlap-Qmod)
7885,44 31933,69 46225,00
(Qlap-Qavg)
2
247207,84 158404,00 34969,00
Tabel 19 (Lanjutan) 4. 5. 6.
90 120 150 Jumlah Rata-rata
467,00 1028,00 1345,00 3515,80 586,00
552,40 1090,60 1344,90 3181,20 530,00
-85,40 62,60 0,10 334,60 55,80
7293,16 3918,76 0,01 97256,10 16209,30
14161,00 195364,00 576081,00 1226186,84 204364,47
Keterangan Qlap : Debit pengamatan Qmod : Debit model Qavg : Debit pengamatan rata-rata
Dari perhitungan tabel di atas diperoleh:
R2 =
(1226186,84 − 97256,1) 97256,1
R 2 = 0,92 Besar koefisien deterministik (R2) yang dihasilkan dari perhitungan mendekati 1 dan nilai R2 • 0,7 s ehingga dapat dis impulkan bahwa terdapat korelasi yang kuat antara debit model dengan data lapangan. Uji Statistik Pengujian validasi model dilakukan dengan uji statistik yaitu dengan menggunakan metode uji-t pada taraf nyata á = 0,005. Berikut ini disajikan tabel perbandingan antara debit limpasan model dengan debit pengamatan Pengujian dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut: Ho : µ = µ0 H1 : µ = µ • µ0 Perhitungan validasi dilakukan sebagai berikut: X = Debit pengamatan rata-rata yaitu 586 liter/detik µ = Debit model rata-rata yaitu 530 liter/detik á = 0,05 n = Jumlah data yaitu 6 S = Standart deviasi dari debit lapangan sebesar 125,38 Derajat kebebasan untuk distribusi t adalah n-1 = 5, nilai dari t0.05 dari tabel distribusi t adalah, tá = 2,021, jika thitung < -2,021 atau thitung > 2,021 maka tolak Ho karena ada perbedaan nyata dari ke dua data tersebut. thitung =
530 − 586 125,38 / 6
thitung = -1,0938
Keputusan : terima H0, hasil prediksi model tidak berbeda nyata dengan hasil pengamatan secara statistik. Pengujian sedimen model dan lapangan Koefisien Deterministik (Korelasi) Selain dilakukan pengujian terhadap nilai debit lapangan/pengukuran dan debit model, pengujian juga dilakukan pada sedimen. Nilai sedimen diperoleh dari persamaan rumus yang menyatakan hubungan antara debit dan sedimen (Rumus 2). Perhitungan sedimen lapangan dan model dapat dilihat pada tabel di bawah ini: No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Waktu (menit) 0 30 60 90 120 150 Jumlah Rata-rata
Tabel 20. Sedimen melayang model dan pengamatan Slap (Ton/Hari) 0,138 2,071 31,335 55,303 954,572 2518,844 3562,263 593,710
Smod (Ton/Hari) 0,000 0,000 1,916 101,403 1181,643 2518,168 3803,129 633,855
Slap-Smod 0,138 2,071 29,418 -46,100 -227,070 0,676 -240,867 -40,144
(Slap-Smod)
2
0,019 4,290 865,433 2125,194 51560,905 0,457 54556,297 9092,716
(Slap-Savg)
2
325327,566 350036,461 316265,949 289882,236 130221,693 3706139,083 5144872,988 857478,831
Keterangan Slap : Sedimen pengamatan Smod : Sedimen model Savg : Sedimen pengamatan rata-rata
Dari perhitungan tabel di atas diperoleh:
R2 =
(5144872,988 − 54556,297) 54556,297
R 2 = 0.989 Besar koefisien deterministik (R2) yang dihasilkan dari perhitungan mendekati 1 dan nilai R2 • 0,7 s ehingga dapat dis impulkan bahwa terdapat korelasi yang cukup erat antara sedimen di lapangan dengan sedimen model. Uji Statistik Pengujian validasi model dilakukan dengan uji statistik yaitu dengan menggunakan metode uji-t pada taraf nyata á = 0,005. Berikut ini dis ajikan tabel perbandingan antara debit limpasan model dengan debit pengamatan Pengujian dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut: Ho : µ = µ0 H1 : µ = µ • µ 0 Perhitungan validasi dilakukan sebagai berikut:
X = Debit pengamatan rata-rata yaitu 593,710 Ton/Hari µ = Debit model rata-rata yaitu 633,855 Ton/Hari á = 0,05 n = Jumlah data yaitu 6 S = Standart deviasi dari debit lapangan sebesar 94,749 Derajat kebebasan untuk distribusi t adalah n-1 = 5, nilai dari t0.05 dari tabel distribusi t adalah, tá = 2,021, jika thitung < -2,021 atau thitung > 2,021 maka tolak Ho karena ada perbedaan nyata dari ke dua data tersebut. thitung =
593,710 − 633,855 94,749 / 6
thitung = -1,0378 Keputusan : terima H0, hasil prediksi model tidak berbeda nyata dengan hasil pengamatan secara statistik. Hasil pengujian pada debit dan sedimen melayang menunjukan bahwa hasil prediksi model tidak berbeda nyata dengan prediksi di lapangan. Prediksi Erosi dan Sedimen DTA Cipopokol Arsyad (1989) menjelaskan bahwa erosi merupakan suatu peristiwa berpindahnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami. Pada peristiwa erosi, tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat terkikis dan terangkut kemudian diendapkan di tempat lain. Hal yang sama dikemukan oleh Asdak (2002) yang menyatakan bahwa proses erosi terdiri atas tiga bagian yang berurutan yaitu pengelupasan (detachment), pengangkutan (transportation) dan pengendapan (sedimentation). Erosi dapat disebabkan oleh berbagai macam sumber diantaranya hujan, angin dan salju. Daerah tropis seperti di Indonesia, erosi lebih banyak diakibatkan oleh air hujan. Sedangkan yang disebut sebagai sedimen adalah tanah dan bagian-bagian tanah yang terangkut dari suatu tempat yang tererosi atau erosi yang mengendap. Prediksi nilai erosi dan sedimen bertujuan untuk memberikan gambaran secara menyeluruh terhadap erosi tanah yang terjadi, dalam hal ini untuk DTA Cipopokol yang merupakan bagian hulu dari DAS Cisadane. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan model hidrologi ANSWERS dapat diketahui bahwa jumlah elemen yang mengalami erosi atau kehilangan tanah sebanyak
852 elemen atau sebesar 136,32 Ha dan sisanya sebanyak 103 elemen atau seluas 22,88 Ha mengalami sedimentasi atau pengendapan. Erosi dan sedimentasi dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor diantaranya iklim, vegetasi penutup tanah topografi, dan jenis tanah. Pengaruh iklim terhadap erosi dapat dikelompokan menjadi dua bagian yaitu pengaruh secara langsung dan tidak langsung. Pengaruh langsung ditunjukan oleh tenaga kinetis air hujan. Sedangkan pengaruh tidak langsung ditentukan melalui pengaruh iklim terhadap pertumbuhan vegetasi. Asdak (1995) menyatakan bahwa dengan kondisi iklim yang sesuai, vegetasi akan dapat tumbuh secara optimal namun pada daerah yang kering, pertumbuhan vegetasi akan cenderung terhambat karena tidak memadainya intensitas hujan. Daerah Tangkapan Air Cipopokol merupakan wilayah yang memiliki intensitas hujan bulanan yang cukup tinggi. Berdasarkan data yang diperoleh dari Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung pada tahun 2002 sampai 2004, bulan basah terjadi selama 11 bulan (bulan September sampai dengan bulan Juli) dan bulan lembab terjadi selama satu bulan, sehingga dalam hal ini wilayah DTA Cipopokol tidak memiliki bulan kering. Pengaruh iklim terhadap erosi juga ditentukan oleh fluktuasi suhu. Secara umum, Daerah Tangkapan Air Cipopokol termasuk ke dalam iklim tropis. Hasil penelitian Setiyanto (2005) menunjukan bahwa wilayah ini memiliki fluktuasi suhu yang kecil (pagi hari sebesar 89,30%, siang hari sebesar 81,50% dan pada malam hari sebesar 84,90%). Kesimpulan yang dapat dihasilkan berdasarkan penjelasan di atas adalah faktor iklim tidak memberikan pengaruh secara signifikan terhadap terjadinya erosi dan sedimentasi di wilayah DTA Cipopokol. Selain iklim, vegetasi penutup tanah juga memiliki pengaruh terhadap terjadinya erosi dan sedimentasi. Pengaruh penutupan lahan terhadap terjadinya erosi dan sedimentasi di DTA Cipopokol (dapat dilihat pada Tabel 21) dapat dijelaskan bahwa semua kelas penutupan lahan mengalami erosi. Sebagian besar elemen pada kelas penutupan lahan berupa pertanian lahan kering dan perkebunan, hampir seluruhnya mengalami kehilangan tanah yaitu masingmasing sebanyak 468 elemen atau sebesar 74,88 Ha dan 257 elemen atau sebesar 41,12 Ha. Kelas penutupan lahan berupa hutan menghasilkan erosi seluas 8,38 Ha, kelas penutupan lahan berupa sawah menghasilkan erosi seluas 1,28 Ha dan kelas penutupan lahan berupa semak/belukar menghasilkan erosi seluas 6,08 Ha.
Kisaran nilai erosi antara 1-5 Ton/Ha merupakan kisaran nilai erosi paling luas di wilayah DTA Cipopokol yaitu sebesar 72,80 Ha, dengan kelas penutupan lahan berupa pertanian lahan kering merupakan penyumbang erosi terbesar yaitu 47,36 Ha. Diikuti dengan kisaran kelas erosi 0,5 – 1 Ton/Ha seluas 46,08 Ha. Kisaran nilai erosi terbesar yaitu > dari 1 Ton/Ha terjadi pada kelas penutupan lahan berupa perkebunan seluas 0,32 Ha yang berarti bahwa hanya dua elemen berada pada nilai kisaran kelas erosi tersebut. Kisaran kelas sedimentasi atau pengendapan yang paling luas terjadi pada 0 sampai dengan 0,5 Ton/Ha. Berdasarkan kelas penutupan lahannya, sedimen yang paling banyak terjadi adalah kelas penutupan semak/belukar seluas 19,68 Ha. Pengaruh vegetasi penutup tanah terhadap erosi diantaranya adalah melindungi permukaan tanah dari tumbukan air hujan karena mampu meminimalkan diameter air hujan, menurunkan kecepatan dan volume air larian, menahan partikel-partikel tanah pada tempatnya melalui sistem serasah dan perakaran. Penelitian Agus dan Widianto (2004) membuktikan bahwa penutupan lahan berupa hutan yang tidak diimbangi oleh terbentuknya serasah dan tumbuhan bawah justru akan meningkatkan laju erosi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa meningkatnya laju erosi disebabkan oleh energi kinetik atau daya pukul tetesan air hujan dan pohon setinggi 7 meter bisa lebih besar dibandingkan dengan energi tetesan hujan yang jatuh bebas tanpa melalui tajuk tanaman. Tetesan tajuk tanaman atau yang biasa disebut crown drip memperoleh kembali energi kinetiknya sebesar 90% dari energi kinetik semula bila air jatuh langsung dari tajuk. Hal ini disebabkan butir-butir air hujan yang tertahan di daun akan saling terkumpul dan membentuk tetesan air yang lebih besar sehingga secara total, justru akan meningkatkan daya pukul tetesan terhadap permukaan tanah. Kelas penutupan lahan berupa hutan dan semak belukar menghasilkan nilai erosi yang lebih kecil dibandingkan perkebunan dan pertanian lahan kering. Jenis vegetasi hutan yang ditemukan di DTA Cipopokol adalah hutan pinus dengan struktur penutupan tajuk jarang, namun kerapatan tumbuhan bawah yang ada di sekitar hutan pinus mampu menciptakan suatu stratifikasi tajuk yang berlapis sehingga dapat menurunkan kecepatan terminal air hujan serta memperkecil diameter tetesan air. Tumbuhan bawah merupakan stratum vegetasi terakhir yang menentukan besar kecilnya nilai erosi percikan (Asdak, 1995). Hal yang sama dikemukakan oleh Suwardjo et al dalam Purnama (2005) yang menyatakan bahwa alang-alang yang bercampur semak akan lebih efektif
dalam mencegah tanah longsor daripada alang-alang murni. Campuran antara Albizzia sp dengan semak belukar akan sama efektifnya dalam dengan alangalang murni namun apabila semaknya dibersihkan maka erosi akan meningkat menjadi 114 kali lipat. Sedangkan alang-alang yang dicangkul bersih setiap tahun akan meningkatkan erosi sebesar 84 kali lipat dibandingkan dengan erosi pada alang-alang murni. Sedimen atau pengendapan yang terjadi sebagai akibat dari proses erosi di Daerah Tangkapan Air Cipopokol, sebagian besar terjadi pada kelas penutupan lahan berupa semak belukar. Keberadaan semak/belukar yang sebagian besar merupakan tumbuhan bawah di sepanjang sungai Cipopokol mampu memberikan perlindungan terhadap erosi dan aliran permukaan serta mampu menahan pengangkutan tanah yang tererosi untuk masuk ke dalam sungai. Sedimen yang mengendap akibat pengangkutan tanah oleh air memiliki kecenderungan berada tersebar di sepanjang sungai Cipopokol. Selain disebabkan oleh jenis penutupan lahan, terjadinya erosi juga dipengaruhi oleh faktor topografi yakni kemiringan lereng dan panjang lereng. Kedua faktor tersebut akan sangat menentukan besarnya kecepatan air larian dan volume air larian
Lahan pertanian dan perkebunan di DTA Cipopokol
sebagian besar berada pada lereng dengan kelas kemiringan curam (25 – 40%) dan agak curam (15 – 25%). Nilai sedimen banyak terjadi pada kelas kemiringan agak curam yaitu 15 – 25% dengan luas mencapai 8,16 Ha diikuti dengan kelas kemiringan landai seluas 4,80 Ha. Sedangkan nilai erosi lebih banyak terjadi pada kelas kemiringan 15 – 25% dengan luas mencapai 52,60 Ha. Hasil overlay antara kemiringan lereng dengan kelas penutupan lahan diperoleh bahwa sedimentasi terjadi pada kelas penutupan lahan berupa semak belukar yang berada pada kelas kemiringan antara 15 – 25% dengan kriteria agak curam seluas 7,84 Ha. Sedangkan nilai erosi terjadi pada kelas penutupan lahan pertanian lahan kering seluas 29,12 Ha dengan kelas kemiringan 15 – 25% diikuti dengan kelas kemiringan 18,56 Ha pada kelas kemiringan 8 – 15%. Hal ini mengindikasikan
bahwa
sebagian
besar
dari
penggarap
lahan
belum
menerapkan teknik konservasi tanah dan air secara benar. Hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa erosi yang sering terjadi terutama pada lahanlahan pertanian adalah jenis erosi alur dan erosi parit. Erosi alur adalah peristiwa pengelupasan yang diikuti dengan pengangkutan partikel-partikel tanah oleh aliran air. Purwowidodo (1999) menjelaskan bahwa erosi alur dirangsang oleh
adanya pemusatan air dalam cekungan-cekungan permukaan yang selanjutnya akan mengalir sepanjang daerah lintasan yang ketahanannya paling lemah sehingga terbentuk saluran-saluran kecil atau alur. Sedangkan erosi parit adalah lanjutan dari erosi alur. Erosi alur dan erosi parit lebih banyak dipengaruhi oleh kemiringan lahan dan arah aliran.
Gambar 24. Erosi parit yang terjadi di DTA Cipopokol Beberapa masyarakat yang bekerja sebagai penggarap lahan di DTA Cipopokol telah menerapkan teknik konservasi diantaranya adalah sistem teras. Sistem teras merupakan salah satu teknik dalam konservasi tanah dengan tujuan mengurangi panjang lereng dan menahan air sehingga mampu mengurangi kecepatan dan jumlah aliran permukaan serta memungkinkan penyerapan air oleh tanah, sehingga erosi dapat berkurang. Berikut ini merupakan gambar contoh teknik konservasi tanah dengan menggunakan sistem teras yang banyak diterapkan oleh masyarakat sekitar pada pertanian lahan kering.
Gambar 25. Teknik konservasi tanah berupa teras Pada dasarnya sistem pengolahan tanah dengan menggunakan teknik teras dilakukan menurut kontur atau sejajar dengan kontur. Evektivitas teknik
konservasi teras dalam mengendalikan erosi adalah memiliki bidang yang relatif datar yang memungkinkan peresapan air ke dalam tanah. Teknik konservasi teras berfungsi dalam mengurangi panjang lereng dan menahan air sehingga mampu mengurangi kecepatan dan jumlah aliran permukaan. Keuntungan utama pengolahan lahan sejajar kontur adalah menghindarkan pengangkutan tanah, lebih efektif lagi jika diikuti dengan penanaman menurut kontur yaitu barisan tanaman yang dibuat sejalan dengan arah garis kontur. Namun, pada kenyatannya sering ditemukan beberapa teknik penanaman terutama untuk pertanian lahan kering yang dilakukan sejajar kontur sehingga hal tersebut akan berakibat pada meningkatnya laju erosi atau pengangkutan tanah. selain penerapan teknik teras, masyarakat setempat juga menggunakan teknik konservasi berupa guludan atau tumpukan tanah yang dibuat memanjang menurut garis kontur atau memotong arah lereng. Penerapan teknik konservasi tanah dan air di DTA Cipopokol lebih banyak dilakukan pada areal pertanian lahan kering, sedangkan perkebunan belum sama sekali dilakukan kegiatan teknik konservasi tanah dan air. Asdak (1995) menyatakan bahwa untuk daerah tropis volkanik dengan topografi bergelombang dan curah hujan tinggi sangat berpotensi untuk terjadinya erosi dan tanah longsor. Oleh karena itu program konservasi tanah dan air di daerah tropis, usaha pelandaian permukaan tanah seperti pembuatan teras di lahan-lahan pertanian, peruntukan tanah-tanah dengan kemiringan lereng besar untuk kawasan lindung harus seringkali dilakukan. Usaha tersebut dilakukan terutama untuk menghindari terjadinya peningkatan erosi bahkan tanah longsor. Tabel 21 dibawah ini merupakan hasil pengkelasan nilai erosi dan sedimentasi menurut kelas lereng dan jenis penutupan lahannya. Gambar 26 merupakan hasil pemetaan kembali data keluaran model ANSWERS berupa kelas sedimen dan erosi yang terjadi di DTA Cipopokol dengan menyusun kembali angka-angka yang dihasilkan untuk kemudian dirubah kembali ke dalam bentuk peta atau image dengan ukuran piksel adalah 0,16 Ha atau 40 x 40 meter.
Tabel 21. Luas prediksi nilai erosi dan sedimentasi menurut kelas lereng dan penggunaan lahan No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Penggunaan lahan
Kelas lereng (%)
0–8 8 – 15 Hutan 15 – 25 25 – 40 > 40 Luas per kelas erosi/sedimen (Ha) 0–8 8 – 15 Perkebunan 15 – 25 25 – 40 > 40 Luas per kelas erosi/sedimen (Ha) 0–8 8 – 15 Pertanian Lahan 15 – 25 Kering 25 – 40 > 40 Luas per kelas erosi/sedimen (Ha) 0–8 8 – 15 Pemukiman 15 – 25 25 – 40 > 40 Luas per kelas erosi/sedimen (Ha) 0–8 8 – 15 Sawah 15 – 25 25 – 40 > 40 Luas per kelas erosi/sedimen (Ha) 0–8 8 – 15 Semak/belukar 15 – 25 25 – 40 > 40 Luas per kelas erosi/sedimen (Ha)
Luas total per kelas erosi/sedimen (Ha)
Sedimentasi (Ton/Ha) 0 – 0,5 0,5 – 1 0,16 0,16 0,32 0,00 0,00 0,00 0,16 0,16 0,00 0,00 0,00 0,32 1,92 0,32 2,56 0,00 0,16 2,24 0,48 7,36 0,32 5,28 0,64 1,76 0,80 16,80 2,24
19,84
2,24
Kelas
>1
0,00 0,00 0,16 0,16 0,00 0,00 0,16 0,16 0,16 0,16 0,64
0,80
0 – 0,5
0,96 0,16 1,12 1,12 3,20 0,48 4,80 0,48 0,16 0,64 0,16 0,16 0,64 0,32 0,16 0,16 1,28 0,32 1,12 2,72 1,92 6,08
14,08
0,5 – 1 0,16 0,64 1,76 0,96 0,16 3,68 0,16 2,72 10,08 3,68 0,16 16,80 3,36 13,92 6,72 0,80 24,80 0,16 0,64 0,80 0,00 0,00
46,08
Erosi (Ton/Ha) 1–5 0,48 0,48 1,92 0,80 3,68 0,80 5,92 8,80 2,72 18,24 0,32 4,32 21,76 17,28 3,86 47,36 0,32 0,96 1,44 0,80 3,52 0,00 0,00
72,80
5 – 10
0,00 0.16 0.32 0.32 0.16 0,96 0.16 0.64 0.48 0.80 2,08 0,00 0,00 0,00
3,04
> 10
Luas per penggunaan lahan (Ha) 0,00 0,32 0,32 0,00 0,00 0,00 0,00
0,32
Sedimen = 0,32 Erosi = 8,48 Sedimen = 0,00 Erosi = 41,12 Sedimen = 0,32 Erosi = 74,88 Sedimen = 0,00 Erosi = 4,48 Sedimen =2,56 Erosi = 1,28 Sedimen =16,15 Erosi = 0,00 159,20 Ha
Gambar 26. Peta penyebaran erosi dan sedimentasi Daerah Tangkapan Air Cipopokol
Analisa Sensitifitas Model Analisa sensitifitas model dilakukan untuk mengetahui parameterparameter tanah maupun penggunaan/penutupan lahan yang paling sensitif terhadap rata-rata kehilangan tanah, jumlah limpasan (runoff) dan puncak limpasan. Perhitungan terhadap indeks sensitifitas rata-rata kehilangan tanah dapat dilihat pada Tabel 22, sedangkan gambar grafik perbandingan setiap parameter dapat dilihat pada Gambar 27. Tabel 22 . Indeks sensitifitas parameter terhadap rata-rata kehilangan tanah No.
Parameter
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Tampungan intersepsi potensial (PIT) Persentase penutupan lahan (PER) Koefisien kekasaran/ faktor bangun (RC) Tinggi kekasaran maksimum (HU) Koefisien manning (N) Erosivitas relative USLE (C) Porositas total (TP) Kelembaban tanah (ASM) Kapasitas lapang (FP) Laju infiltrasi konstan (FC) Selisih laju infiltrasi maksimum dan infiltrasi konstan (A) Nilai eksponen infiltrasi (P) Kedalaman zona infiltrasi (DF) Erodibilitas tanah (K) Ground water release (GWF)
Rata-rata kehilangan tanah (Kg/Ha) BS P10 M10 S 398 412 408 0.01005 398 399 397 0.00503 398 398 398 0.00000 398 398 398 0.00000 398 382 414 0.08040 398 437 359 0.19598 398 394 402 0.02010 398 405 391 0.03518 398 400 369 0.07789 398 272 523 0.63065 398 390 401 0.02764 398 403 394 0.02261 398 394 402 0.02010 398 430 366 0.16080 398 398 398 0.00000
In d eks S en sitivitas (S )
0.70000 0.60000 0.50000 0.40000 0.30000 0.20000 0.10000 GWF
K
DF
P
A
FC
FP
ASM
TP
C
N
HU
RC
PER
P IT
0.00000
P a ra m e te r
Gambar 27. Grafik indeks sensitifitas parameter terhadap kehilangan tanah rata-rata
Tabel 22 dan Gambar 27 diatas menjelaskan bahwa untuk rata-rata kehilangan tanah (average soil loss), parameter yang paling sensitif adalah FC atau laju infiltrasi, diikuti dengan C (erosivitas relatif/crop). Perubahan nilai FC pada kisaran 10% menunjukan perbedaan hasil rata-rata kehilangan tanah yang cukup signifikan yaitu 272 kg/Ha pada penambahan 10% dan 523 Kg/Ha pada pengurangan nilai parameter. Hal yang sama ditunjukan oleh parameter C, dimana jika nilai C mengalami peningkatan sebesar 10% akan terjadi kenaikan pada rata-rata kehilangan tanah. Tabel 23. Indeks sensitifitas parameter terhadap jumlah limpasan No.
Parameter
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Tampungan intersepsi potensial (PIT) Persentase penutupan lahan (PER) Koefisien kekasaran/ faktor bangun (RC) Tinggi kekasaran maksimum (HU) Koefisien manning (N) Erosivitas relative USLE (C) Porositas total (TP) Kelembaban tanah (ASM) Kapasitas lapang (FP) Laju infiltrasi konstan (FC) Selisih laju infiltrasi maksimum dan infiltrasi konstan (A) Nilai eksponen infiltrasi (P) Kedalaman zona infiltrasi (DF) Erodibilitas tanah (K) Ground water release (GWF)
11. 12. 13. 14. 15.
BS 4.014 4.014 4.014 4.014 4.014 4.014 4.014 4.014 4.014 4.014 4.014 4.014 4.014 4.014 4.014
Jumlah runoff (mm) P10 M10 4.167 4.113 4.015 4.009 4.013 4.014 4.014 4.014 3.955 4.071 4.014 4.014 3.924 4.106 4.161 3.866 4.018 4.009 3.362 4.704 3.975 4.036 3.924 4.014 4.131
4.029 3.991 4.106 4.014 3.894
S 0.01345 0.00149 0.00025 0.00000 0.02890 0.00000 0.04534 0.07349 0.00224 0.33433 0.01345 0.01121 0.04534 0.00000 0.05904
Indeks S ensitivitas (S )
0.40000 0.35000 0.30000 0.25000 0.20000 0.15000 0.10000 0.05000 GWF
K
DF
P
A
FC
FP
ASM
TP
C
N
HU
RC
PER
P IT
0.00000
P a ra m e te r
Gambar 28. Grafik indeks sensitifitas parameter terhadap jumlah limpasan
Hasil analisa sensitifitas parameter terhadap jumlah limpasan/runoff (Tabel 23 dan Gambar 28) menunjukan bahwa parameter FC merupakan parameter yang paling sensitif, diikuti dengan ASM dan GWF. Kenaikan nilai FC berbanding terbalik dengan jumlah limpasan atau runoff yang dihasilkan. Nilai jumlah limpasan akan cenderung meningkat jika nilai FC diturunkan. Parameter selanjutnya yang sensitif terhadap perubahan jumlah limpasan adalah GWF dan ASM. Hasil
analisa
sensitifitas
parameter
terhadap
puncak
limpasan
menunjukan bahwa FC merupakan parameter yang paling sensitif terhadap terjadinya puncak limpasan dan diikuti dengan GWF. Analisa selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel 24 dan Gambar 29 dibawah ini. Tabel 24. Indeks sensitifitas parameter terhadap puncak limpasan No.
Parameter
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Tampungan intersepsi potensial (PIT) Persentase penutupan lahan (PER) Koefisien kekasaran/ faktor bangun (RC) Tinggi kekasaran maksimum (HU) Koefisien manning (N) Erosivitas relative USLE (C) Porositas total (TP) Kelembaban tanah (ASM) Kapasitas lapang (FP) Laju infiltrasi konstan (FC) Selisih laju infiltrasi maksimum dan infiltrasi konstan (A) Nilai eksponen infiltrasi (P) Kedalaman zona infiltrasi (DF) Erodibilitas tanah (K) Ground water release (GWF)
3.0471 3.0471 3.0471 3.0471 3.0471
3.04800 3.04700 3.01250 3.04710 3.12650
3.04660 3.04170 3.08040 3.04710 2.96500
0.00046 0.00174 0.02228 0.00000 0.05300
0.4000000 0.3500000 0.3000000 0.2500000 0.2000000 0.1500000 0.1000000
GWF
K
DF
P
A
FC
FP
ASM
TP
C
N
HU
0.0000000
RC
0.0500000 PER
In d eks S en sitivitas (S )
12. 13. 14. 15.
P IT
11.
Puncak limpasan (mm/jam) BS P10 M10 S 3.0471 3.08560 3.06930 0.00535 3.0471 3.04690 3.04730 0.00013 3.0471 3.04710 3.04710 0.00000 3.0471 3.04710 3.04710 0.00000 3.0471 3.02510 3.06460 0.01296 3.0471 3.04710 3.04710 0.00000 3.0471 3.01250 3.08040 0.02228 3.0471 3.09370 2.99000 0.03403 3.0471 3.04910 3.04440 0.00154 3.0471 2.68840 3.82500 0.37301
P a ra m e te r
Gambar 29. Grafik indeks sensitifitas parameter terhadap puncak limpasan
Analisa indeks sensitifitas parameter yang dilakukan terhadap tiga keluaran model yaitu rata-rata kehilangan tanah, jumlah limpasan atau runoff dan puncak limpasan menunjukan bahwa parameter FC atau laju infiltrasi merupakan parameter yang paling sensitif. Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil analisa indeks sensitifitas parameter adalah jika tanah mengalami pemadatan atau pengolahan yang mengakibatkan perubahan tekstur tanah dan sifat fisik tanah lainnya maka erosi akan lebih mudah terjadi. Pengurangan erosi dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor yang dapat meningkatkan infiltrasi. Simulasi Penggunaan Lahan Skenario Penggunaan Lahan Simulasi pengelolaan DTA Cipopokol dilakukan dengan melakukan penyusunan beberapa skenario penggunaan lahan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui besarnya nilai erosi dan sedimentasi yang dihasilkan dari masingmasing bentuk penutupan/penggunaan lahan. Skenario satu dilakukan dengan melakukan perubahan penggunaan lahan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor. Menurut Undang-Undang No. 24 tahun 1992, tata ruang merupakan pengaturan ruang berdasarkan berbagai fungsi dan kepentingan tertentu, dengan perkataan lain tata ruang merupakan pengaturan tempat bagi berbagai kegiatan manusia. Tata ruang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan semua pihak secara adil, menghindari persengektaan serta menjamin kelestarian lingkungan. Selanjutnya, dijelaskan bahwa tingkatan Rencana Tata Ruang dibagi kedalam tiga tingkatan yaitu nasional, propinsi dan kabupaten. Pengelolaan mengenai sumberdaya alam tidak mengenal hubungan hirarki antar daerah, artinya bahwa pengelolaan sumberdaya alam tidak mengenal batas-batas administrasi. Kabupaten merupakan suatu unit administrasi, namun tanah, air dan udara tidak berhenti di perbatasan. Demikian pula dengan desa, batas administrasi desa tidak membatasi aliran sungai atau sebaran hutan, oleh karena itu perlu adanya koordinasi dan keterpaduan dalam kegiatan penataan ruang. Berdasarkan peta RTRW Kabupaten Bogor (2010) yang dapat dilihat pada Lampiran 9. Daerah Tangkapan Air Cipopokol Sub DAS Cisadane Hulu secara umum dikategorikan sebagai kawasan budidaya, yaitu merupakan kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya
buatan. Secara lebih spesifik, kawasan budidaya tersebut dikategorikan sebagai kawasan budidaya tahunan atau perkebunan. Kawasan budidaya tahunan atau perkebunan merupakan kawasan budidaya pertanian dengan tanaman tahunan atau perkebunan sebagai tanaman utama yang dikelola dengan teknologi sederhana sampai tinggi, dengan memperhatikan asas konservasi tanah dan air. Kawasan bisa berupa perkebunan besar, perkebunan rakyat maupun hutan produksi. Berikut ini merupakan Peta RTRW Bogor yang dioverlaykan dengan peta DTA Cipopokol (peta RTRW selengkapnya dapat dilihat dalam Lampiran 9).
Gambar 30. Overlay antara peta RTRW dan peta DTA Cipopokol Data yang diperoleh dari Biro Pusat Statistik (BPS) Bogor menjelaskan bahwa DTA Cipopokol secara administratif masuk ke dalam dua desa yaitu Desa Tangkil dan Desa Lemah Duhur Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor, berpotensi sebagai penghasil buah-buahan, diantaranya mangga, pepaya, pisang, rambutan, salak, sawo dan lain sebagainya. Produksi buah tertinggi utnuk kedua desa tersebut adalah pisang dan pepaya yaitu mencapai 12000 Kg/tahun
untuk
perkembangannya
pepaya saat
dan ini
11510
perkebunan
Kg/tahun
untuk
buah-buhan
pisang.
semakin
Dalam
berkurang
digantikan oleh tanaman perkebunan lain yang memiliki harga pasar yang jauh lebih tinggi, yaitu lidah buaya dan nilam. Berdasarkan penjelasan diatas, maka skenario satu perubahan penggunaan lahan dilakukan dengan merubah
penggunaan lahan menjadi perkebunan seluas 154,72 Ha dan pemukiman dibiarkan tetap dengan luas 4,48 Ha. Skenario kedua disusun hampir sama dengan skenario satu hanya perbedaanya pada penambahan luas hutan yang dilakukan seperti pada kondisi aktual yaitu sebesar 8,80 Ha. Daerah Tangkapan Air Cipopokol dikategorikan sebagai kawasan pedesaan yaitu merupakan kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman, perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Skenario ketiga disusun dengan merubah penggunaan/penutupan lahan menjadi 2,81% untuk pemukiman dan sisanya 97,19% berupa pertanian lahan kering. Berkaitan dengan skenario ketiga, skenario keempat disusun dengan melakukan penambahan hutan dengan luasan yang sama dengan kondisi aktual. Selanjutnya, dijelaskan bahwa salah satu bentuk kawasan tanaman tahunan adalah berupa hutan produksi, maka skenario kelima dibuat dengan merubah penutupan lahan DTA Cipopokol menjadi 100% hutan produksi berupa pinus. Skenario enam disusun dengan merubah penutupan lahan berupa pertanian lahan kering dan perkebunan menjadi hutan yang dikombinasikan dengan semak belukar dan pemukiman. Hal tersebut dilakukan untuk melihat perbandingan nilai erosi dan sedimen yang dihasilkan jika penutupan lahan berupa
hutan
dikombinasikan
dengan
semak/belukar
dan
pemukiman
dibandingkan dengan penutupan lahan yang hanya berupa hutan dan pemukiman. Skenario tujuh disusun berdasarkan peraturan Undang-Undang No. 32 tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung. Kawasan lindung didefinisikan sebagai kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. Kawasan lindung bertujuan untuk mencegah timbulnya kerusakan lingkungan dan melestarikan fungsi lindung serta menghindari berbagai usaha dan kegiatan yang merusak lingkungan selain itu pengelolaan kawasan lindung diselenggarakan untuk meningkatkan fungsi lindung terhadap tanah, air, iklim, tumbuhan dan satwa serta nilai budaya. Berdasarkan kriteria-kriteria mengenai kawasan lindung yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 32 tahun 1990, maka skenario kelima disusun dengan melakukan penambahan luas hutan
menurut ketentuan-ketentuan kawasan lindung yang berlaku yaitu memiliki kelerengan diatas 40% dan merupakan daerah sempadan sungai yaitu 50 meter kanan kiri sungai (untuk lebar sungai < 30 meter). Skenario penggunaan lahan dapat ditampilkan dalam Tabel 25. berikut ini. Hasil simulasi penggunaan lahan Hasil simulasi dari skenario satu menunjukan bahwa perubahan penutupan lahan menjadi kawasan budidaya, dalam hal ini kawasan perkebunan, akan meningkatkan nilai runoff, nilai rata-rata kehilangan tanah dan erosi maksimum. Penurunan yang cukup signifikan terjadi pada pengendapan maksimum sebesar 1,941 Ton/Ha dibandingkan pada kondisi aktual sebesar 4,624 Ton/Ha. Hal yang sama terjadi pada skenario ketiga yaitu perubahan penutupan lahan menjadi kawasan budidaya dalam bentuk pertanian lahan kering. Peningkatan terjadi pada parameter rata-rata kehilangan tanah dan laju pengendapan maksimum, sedangkan nilai runoff, laju erosi maksimum mengalami penurunan dibandingkan pada kondisi aktual dan hasil skenario satu. Perbandingan nilai runoff antara penutupan lahan berupa perkebunan dan pertanian lahan kering menunjukan bahwa perkebunan menghasilkan nilai runoff yang lebih besar dibandingkan pertanian lahan kering. Hal ini lebih disebabkan oleh adanya perbedaan nilai parameter-parameter penggunaan lahan. Asdak (1995) menyatakan bahwa besar kecilnya nilai runoff dipengaruhi oleh faktor pengelolaan lahan. Penutupan lahan pertanian lahan kering di daerah tangkapan air lebih banyak menerapkan teknik-teknik konservasi tanah diantaranya sistem teras dan guludan, berbeda dengan kelas perkebunan yang kurang menerapkan teknik konservasi. Hasil simulasi kedua dan keempat yang merupakan skenario penambahan hutan dengan luas yang sama pada kondisi aktual terhadap kondisi dimana penutupan lahan hampir seluruhnya digunakan untuk pertanian lahan kering dan perkebunan menunjukan tidak adanya perubahan yang cukup signifikan terhadap hasil keluaran model, walaupun beberapa parameter seperti jumlah limpasan, erosi maksimum dan pengendapan maksimum mengalami penurunan. Sedangkan rata-rata kehilangan tanah mengalami kenaikan namun tidak cukup signifikan. Hasil skenario kelima, yaitu merubah kawasan DTA Cipopokol menjadi kawasan budidaya dalam bentuk hutan pinus menunjukan bahwa hasil output berupa runoff, rata-rata kehilangan tanah, pengendapan maksimum dan erosii
maksimum mengalami penurunan terutama pada nilai erosi maksimum, yaitu dari 29,088 Ton/Ha pada kondisi aktual menjadi 19,299 Ton/Ha. Demikian pula pada pengendapan maksimum, penurunan terjadi sebesar 75% dari kondisi aktual. Perbedaan hasil pada skenario satu, dua dan tiga sangat dipengaruhi oleh bentuk penutupan lahannya. Pada penutupan lahan berupa pertanian lahan kering, perkebunan ataupun pemukiman pada akhirnya akan menyebabkan menurunnya kapasitas infiltrasi. Penurunan kapasitas infiltrasi disebabkan oleh adanya pemampatan permukaan tanah akibat aktivitas manusia. Sosrodarsono dan Takeda (1987) menyatakan bahwa pada daerah hutan yang tertutup oleh tumbuh-tumbuhan yang lebat akan sulit mengalami limpasan permukaan, namun jika daerah tersebut dikosongkan, maka air hujan dengan mudah akan terkumpul di sungai-sungai dengan kecepatan tinggi, sehingga pada akhirnya dapat menimbulkan banjir. Hasil simulasi keenam dengan merubah penutupan lahan
berupa
pertanian lahan kering dan perkebunan menjadi hutan yang dikombinasikan dengan penutupan lahan pemukiman dan semak/belukar pada kondisi aktual, diperoleh hasil nilai runoff, rata-rata kehilangan tanah, laju erosi maksimum dan pengendapan maksimum terjadi penurunan, terutama untuk nilai rata-rata kehilangan tanah dan laju pengendapan maksimum yang menurun cukup signifikan. Dibandingkan hasil skenario satu, dua dan ketiga nilai rata-rata kehilangan tanah dan laju pengendapan maksimum nilai yang berbeda jauh. Hal ini disebabkan, penutupan lahan berupa semak/belukar yang sebagian besar berada di tepi sungai mampu menahan pengangkutan tanah untuk tidak masuk secara langsung ke dalam sungai. Sesuai dengan Undang-Undang No. 32 tahun 1990, penetapan lokasi kawasan perlindungan setempat dilakukan dengan tujuan menjaga sempadan sungai dari kegiatan manusia yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi fisik pinggir dan dasar sungai serta mengamankan aliran sungai. Simulasi kelima dilakukan dengan melakukan revegetasi pada kawasan dengan kelerengan > 40% dan sepanjang kanan-kiri sungai. Hasil yang diperoleh menunjukan penurunan terjadi pada nilai parameter runoff, rata-rata kehilangan tanah, dan laju pengendapan maksimum, namun laju erosi maksimum tidak mengalami perubahan dari kondisi aktual. Dari hasil simulasi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tindakan revegetasi untuk Daerah Tangkapan Air Cipopokol sangat diperlukan, terutama
untuk kawasan yang telah ditetapkan sebagai menjadi kawasan perlindungan setempat (lahan pada kelerengan >40% dan kawasan sempadan sungai) yang pada kondisi aktual saat ini telah berubah fungsi menjadi lahan pertanian. Perlindungan terhadap kawasan resapan air dilakukan dengan tujuan untuk memberikan ruang yang cukup bagi peresapan air hujan pada suatu daerah tertentu guna keperluan penyediaan kebutuhan air tanah serta penanggulangan banjir, baik kawasan bawahnya maupun kawasan yang bersangkutan. Hasil simulasi menunjukan bahwa kawasan budidaya berupa pertanian lahan kering dan perkebunan menghasilkan nilai rata-rata kehilangan tanah yang cukup tinggi dibandingkan pada kondisi aktual. Hasil indeks sensitifitas terhadap parameter tanah maupun penggunaan/penutupan lahan diperoleh bahwa parameter FC atau laju infiltrasi merupakan parameter yang memiliki tingkat sensitifitas tertinggi sehingga dalam hal ini pengolahan atau pemadatan tanah yang dilakukan akan meningkatkan rata-rata kehilangan tanah, sehingga perlu adanya upaya teknik konservasi yang dapat meningkatkan laju infiltrasi. Teknik konservasi yang sangat efektif diterapkan adalah tanaman penutup tanah atau cover crop khususnya pada kawasan perkebunan dan pemberian mulsa atau bahan organik pada kawasan pertanian lahan kering. Penggunaan tanaman penutup tanah/cover crop akan sangat berperan dalam melindungi tanah dari ancaman kerusakan oleh erosi. Hal ini disebabkan akan menyebabkan berkurangnya dispersi air hujan dan mengurangi jumlah serta kecepatan aliran permukaan sehingga mampu mengurangi erosi dan memperbesar infiltrasi ke dalam tanah. Bahan organik dan mulsa akan berperan dalam peningkatan ketahanan struktur tanah, memperbesar kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air hujan serta mampu menambah unsur hara. Daerah Tangkapan Air Cipopokol yang merupakan bagian dari Sub DAS Cisadane Hulu, selain berfungsi sebagai kawasan resapan air, juga memiliki potensi sebagai kawasan budidaya untuk pertanian dan merupakan salah satu penyangga sektor perekonomian Kabupaten Bogor. Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu diadakannya koordinasi dan kerjasama antar pihak-pihak terkait dalam hal kegiatan penataan ruang yang hendaknya disesuaikan dengan kondisi atau karakteristik wilayah daerah yang bersangkutan baik secara fisik maupun kondisi sosial masyarakatnya.
Tabel 25. Skenario penggunaan lahan Skenario Aktual
Hutan
Ha 8,80
Skenario 1
-
Skenario 2
8,80
Skenario 3
% 5,56
Perkebunan Ha % 41,12 25,83
Luas Penutupan Lahan Pertanian lahan kering Pemukiman Ha % Ha % 75,20 47,24 4,48 2,81
Sawah Ha % 3,84 2,41
Semak/belukar Ha % 25,76 16,15
-
154,72
97,19
-
-
4,48
2,81
-
-
-
-
5,56
145,92
91,63
-
-
4,48
2,81
-
-
-
-
-
-
-
-
154,72
97,19
4,48
2,81
-
-
-
-
Skenario 4
8,80
5,56
-
-
145,92
91,63
4,48
2,81
-
-
-
-
Skenario 5
154,72
97,19
-
-
-
-
4,48
2,81
-
-
-
-
Skenario 6
128,96
87,04
-
-
-
-
4.48
2.81
-
-
25,76
16,15
Skenario 7
37,92
23,82
30,88
19,40
63,84
40,10
3,68
2,31
3,84
2,41
19,04
11,96
Tabel 26. Hasil simulasi penggunaan lahan Skenario
Runoff (mm)
Rata-rata kehilangan tanah (Ton/Ha)
Erosi maksimum (Ton/Ha)
Aktual
4,014
0,398
29,088
Pengendapan maksimum (Ton/Ha) 4,624
Skenario 1
4,194
0,432
30,503
1,941
Skenario 2
4,193
0,433
30,212
1,906
Skenario 3
3,864
0,546
27,609
5,298
Skenario 4
3,849
0,548
27,441
5,224
Skenario 5
3,893
0,370
19,299
1,146
Skenario 6
3,925
0,299
20,887
0,971
Skenario 7
3,972
0,383
29,088
2,017
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Penginderaan Jauh dapat dikombinasikan ke dalam model hidrologi ANSWERS untuk mempermudah dalam memperoleh data masukan. 2. Kelas penutupan lahan
berupa perkebunan dan pertanian lahan kering
memiliki luas terbesar terhadap kehilangan tanah atau erosi yaitu masingmasing sebesar 41,12 Ha dan 74,88 Ha, sedangkan penutupan lahan berupa semak belukar seluruhnya mengalami pengendapan atau sedimen. 3. Hasil prediksi nilai erosi dan sedimentasi Daerah Tangkapan Air Cipopokol dengan menggunakan model hidrologi ANSWERS diperoleh bahwa dengan kejadian hujan pada tanggal 8 Januari 2005 dengan curah hujan sebesar 46,70 mm jumlah limpasan yang diperoleh sebesar 4,014 mm, rata-rata kehilangan tanah yang terjadi adalah sebesar 0,398 Ton/Ha dengan erosi maksimum sebesar 29,088 Ton/Ha dan laju pengendapan maksimum adalah sebesar 4,624 Ton/Ha. 4. Penyebaran luas nilai erosi dan sedimen yang diperoleh dari hasil keluaran model hidrologi ANSWERS yaitu sedimen 0-0,5 Ton/Ha seluas 19,84 Ha, sedimen 0,500-1 Ton/Ha seluas 2,24 Ha, sedimen >1 Ton/Ha seluas 0,80 Ha, erosi 0-0,5 Ton/Ha seluas 14,08 Ha, erosi 0,5-1 Ton/Ha seluas 46,08 Ha, erosi 1-5 Ton/Ha seluas 72,80 Ha, erosi 5-10 Ton/Ha seluas 3,04 Ha dan erosi > 10 ton/Ha seluas 0,32 Kg/Ha.
Saran 1. Diperlukannya kegiatan rehabilitasi lahan terutama lahan dengan kemiringan >40% yang idealnya sebagai kawasan lindung dan telah berubah fungsi menjadi peruntukan lahan lain. 2. Diperlukannya kegiatan penyuluhan mengenai teknik konservasi tanah dan air yang tepat yang ditujukan kepada masyarakat di Daerah Tangkapan Air Cipopokol dan sekitarnya mengingat sebagian besar masyarakat DTA Cipopokol dan sekitarnya merupakan penggarap lahan.
DAFTAR PUSTAKA Agus F, Widianto.2004. Konservasi Tanah Pertanian Lahan Kering. Bogor: World Agroforestry Centre, ICRAF Southeast Asia. Anonimus. 2002. Studi tentang Pola Pemanfaatan Lahan di Kawasan Hulu DAS dalam Rangka Pengembangan Mekanisme Pembayaran Jasa Perlindungan DAS. http://www.balitbang-das.or.id/hasil penelitian/2002/Sudi%20DAS-%20Cidanau%20Brantas.pdf. [13 Juli 2005]. . 2005. Jangan Korbankan Hutan Lindung dan Kawasan Konservasi untukTambang. http://www.jatam.org/indonesia/newsletter/uploaded/ gg22.html. [13 Juli 2005] Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press. Asdak, C. 2002. Hidrologi & Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Bagja, Bukti. 2000. Aplikasi Sistem Informasi Geografis dalam Penentuan Status Pemenuhan Kebutuhan Kayu Bakar di Daerah Penyangga Taman Nasional Gunung Gede Pangrango: kasus Desa Galudra dan Sukamulya, Kecamatan Cugeneng, Kabupaten Cianjur [skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Beasley, D.B dan L.F. Huggins. 1991. ANSWERS (Areal Nonpoint Source Watershed Environment Respon Simulation) User’s Manual: 2 th Edition.Chicago: US EPA Region V. [BAPEDA Propinsi Jawa Barat] Badan Perencanaan Daerah Propinsi Jawa Barat. 2004. Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Air di SWS CiliwungCisadane untuk Mengatasi Krisis Air Jakarta. Di dalam: Seminar Krisis Air Jakarta: Tinjauan Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu Ciliwung Cisadane; Jakarta, 29 Juni 2004. Jakarta: BAPEDA Propinsi Jawa Barat. [BPDAS Citarum-Ciliwung] Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai CitarumCiliwung. 2003. Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah DAS Cisadane. Bogor: BPDAS Citarum-Ciliwung. [BPS] Biro Pusat Statistik. 2003. Caringin dalam Angka.Bogor.BPS Bogor. [Dirjen BRLKT] Direktorat Jendral Reboisasi & Rehabilitasi Lahan. 1998. Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai. Departemen Kehutanan. Jakarta. [ERSDAC] Earth Remmote Sensing Data and Analysis Center. 2001. ASTER User’s Guide Part I General Ver.3.1. Japan: ERSDAC. Harto Br, S. 1993. Analisis Hidrologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Haslam, S.M. 1992. River Pollution; An Ecological Perspective. London: Belhaven Press. Howard, A.D. 1996. Penginderaan Jauh untuk Sumberdaya Hutan (Teori dan Aplikasinya). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Ismail, A.Y. 2004. Evalusi Pola Perubahan Lahan pada Daerah Aliran Sungai Cimanuk Hulu dengan Menggunakan Citra Landsat TM Tahun 1990 dan 2001 [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Jaya, I. N. S. 2002. Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk Kehutanan. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Kartasasmita, M. 2001. Prospek dan Peluang Industri Penginderaan Jauh di Indonesia. Jakarta: LISPI. Kusumadewi, F. Aplikasi Model ANSWERS dalam Memprediksi Laju Aliran Permukaan dan Erosi di Sub DAS Cipeurau Gunung Walat Sukabumi [skripsi]. Bogor: Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Lee, R. Hidrologi Hutan. S. Subagio, penerjemah; Yogyakarta; Gadjah Mada University Press. Lillesand, T.M & F.W. Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. R. Dubahri , penerjemah; Yogyakarta; Gadjah Mada University Press. Lo, C.P. Penginderaan Jauh Terapan. B. Purbowaseso, penerjemah; Jakarta; Universitas Indonesia. Nurlianty, A. 2000. Pendugaan Distribusi Sedimen Sub DAS Keduang terhadap Waduk Gajah Mungkur Wonogiri Menggunakan Model Parameter Terdistribusi ANSWERS [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Prahasta, E. 2002. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung: Informatika. Prakoso, A. 2003. Penyebaran dan Pendugaan Keanekaragaman Burung Air pada Berbagai Tipe Habitat di Kawasan Segara Anakan Cilacap [skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Purnama, A. 2005. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Menggunakan Citra Satelit dan Perencanaan Penggunaan Lahan yang Berkelanjutan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Purwowidodo. 1999. Konservasi Tanah di Kawasan Hutan. Bogor: Jurusan Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Putro H.R, Hendrayanto, Ichwadi. I, Sudaryanto, M Buce S. 2003. Sistem Intensif Rehabilitasi Lahan dalam Rangka Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Rauf, A. 1994. Aplikasi Model Hidrologi ANSWERS untuk Analisis Respon Hidrologi Sub DAS Palu Timur Sulawesi Tengah [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Setiyanto. 2005. Analisis Karakteristik Biofisik dan Hidrograf Aliran di Daerah Tangkapan Air Cipopokol Sub DAS Cisadane Hulu [skripsi]. Bogor. Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Seyhan, E. 1990. Dasar-dasar Hidrologi. S. Subagyo, penerjemah; Yogyakarta; Gadjah Mada University Press. Sosrodarsono S, Kensaku T. 1987. Hidrologi. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. Suhartanto, E. 2001. Optimasi Pengelolaan DAS di Sub Daerah Aliran Sungai Cidanau Kabupaten Serang Propinsi Banten Menggunakan Model Hidrologi ANSWERS [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institu Pertanian Bogor. Sukresno. 2002. Penerapan Model ANSWERS untuk Pendugaan ErosiSedimentasi di Sub DAS Keduang-Wonogiri. Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta; Wonogiri, 1 Oktober 2002. Wonogiri.hlm 1-13. Supriadi, D. 2000. Uplands Management: Cases of Cimanuk and Cisanggarung River Basin. Prosiding Linggarjati Environmental Meeting; 9 – 13 November 2000. Trenggono. 1999. Pengaruh Perubahan Lahan terhadap Karakteristik Debit Sedimen dan Debit Banjir Sungai Wirokoro di Daerah Pengaliran Sungai Wirokoro Bengawan Sungai Hulu [catatan penelitian]. Litbang Pengairan 42 (14): 27-36.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Nilai TP, FP dan P untuk berbagai tekstur tanah (parameter tanah).
Tekstur tanah Pasir Lempung berpasir Lempung Lempung berliat Liat berdebu Liat
Nilai TP dan FP Total Porosity (TP) 38 (32 – 42) 43 (40 – 47) 47 (43 – 49) 49 (47 – 51) 51 (49 – 53) 53 (51 – 55)
Sumber: Beasly & Huggins (1981)
Nilai P Tekstur tanah Pasir Lempung berpasir Lempung Lempung berliat Liat berdebu Liat
Sumber: Beasly & Huggins (1981)
Field Capacity (FC) 39 (31 – 47) 49 (38 – 57) 66 (59 – 74) 74 (66 – 82) 79 (66 – 82) 83 (76 – 89)
Nilai P 0.35 – 0.50 0.50 – 0.60 0.55 – 0.65 0.60 – 0.70 0.65 – 0.75 0.75 – 0.60
Lampiran 2. Nilai kekasaran saluran untuk sungai alami No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Karakteristik Bersih, tebing lurus, penuh, tidak ada lobang atau lubuk yang dalam Seperti no.1 tetapi terdapat sejumlah batu dan rumput (gulma) Berkelok, ada lubuk dan rantau, bersih Seperti no.3, air lebih rendah, lebih banyak lereng dan bagian-bagian yang tidak efektif Seperti no.3 ada gulma dan batu Seperti no.4 bagian berbatu Bagian sungai yang lamban, agar banyak gulma atau berlubuk sangat dalam Bagian yang sangat banyak gulma
Sumber: Arsyad (1989)
Minimal
Maksimal
0.025
0.033
0.030
0.040
0.035
0.050
0.040
0.055
0.033 0.045
0.045 0.060
0.050
0.080
0.075
0.150
Lampiran 3. Penetapan nilai PIT dan PER untuk parameter penggunaan lahan Nilai PIT Tanaman Gandum Jagung Rumput Padang rumput Gandum Kentang, kubis, buncis Hutan
Sumber: Beasly & Huggins (1981)
Nilai PER Penggunaan Lahan Hutan - lebat - jarang Kebun campuran Semak belukar Sawah - irigasi - non irigasi Padang rumput Lahan terbuka Pemukiman
Sumber: Beasly & Huggins (1981)
PIT (mm) 0.5 – 1.0 0.3 – 1.3 0.5 – 1.0 0.3 – 0.5 0.3 – 1.0 0.5 – 1.5 1.0 – 2.5
PER 0.80 0.65 0.60 0.50 0.82 0.40 0.30 0.00 0.87
Lampiran 4. Nilai RC dan HU dan nilai kekasaran penggunaan lahan (N) Nilai RC dan HU Kondisi permukaan lahan HU (mm) Tanah diolah dalam - bongkah halus 100 - bongkah sedang 130 - bongkah kasar 130 Tanah diolah sedang - bongkah halus 60 - bongkah sedang 70 - bongkah kasar 130 Tanah tidak diolah - bekas ladang 110 - semak rapat 110 - padang alang-alang 110 - padang rumput panjang 110 - padang rumput pendek 110 - vegetasi jarang 110 - tanah liat terbuka 110 - aspal atau semen 110
Sumber: Beasly & Huggins (1981)
Nilai kekasaran penggunaan lahan (N) Penggunaan lahan N Aspal atau seman - ketebalan tipis 0.1 – 0.15 - ketebalan sedang 0.05 – 0.10 Semak rapat 0.40 – 0.50 Padang rumput 0.20 – 0.30 Tanah liat terbuka 0.01 – 0.03 Lahan bervegetasi jarang 0.05 – 0.13
Sumber: Beasly & Huggins (1981)
RC 0.53 0.48 0.59 0.37 0.33 0.45 0.59 0.45 0.35 0.25 0.15 0.09 0.02 0.10
Lampiran 7. Titik lapangan hasil Ground truth No.
X
Y
Ketinggian (mdpl)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46
705306 705313 705636 705339 705294 705624 705344 705625 705617 705600 705248 705252 705366 705583 705609 705222 705631 705213 705548 705229 705241 706144 705530 705521 705370 705550 705584 705914 706053 705488 706017 705965 705546 706150 706083 705988 706029 706089 706140 706287 705981 706101 706064 705658 706098 706298
9255402 9255404 9255276 9255390 9255380 9255242 9255408 9255304 9255198 9255152 9255496 9255344 9255430 9255128 9255326 9255312 9254960 9255270 9255360 9255268 9255264 9254994 9255374 9255390 9255502 9255436 9255478 9255354 9255070 9255080 9254824 9255230 9255006 9254936 9254850 9255142 9255262 9255108 9255112 9255042 9254854 9255150 9255230 9254886 9254890 9255024
611 611 616 624 624 632 634 635 637 642 643 644 646 649 650 651 652 657 658 658 659 660 662 664 665 668 675 675 679 688 690 691 694 699 700 700 705 707 707 709 710 710 710 711 711 711
Keterangan Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering Semak/belukar Semak/belukar Semak/belukar Semak/belukar Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering Perkebunan pepaya Perkebunan pepaya Semak/belukar Pertanian lahan kering Semak/belukar Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering Perkebunan lidah buaya Pertanian lahan kering Perkebunan Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering Semak/belukar Sawah Sawah Pemukiman Sawah Pemukiman Pemukiman Hutan Pinus Perkebunan pepaya dan salak Semak/belukar Pemukiman Pertanian lahan kering Semak/belukar Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering Semak/belukar Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering Hutan Pinus
47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89
706188 706172 706391 705896 706344 705872 705859 705974 705957 706489 706821 706264 706730 706020 706539 706433 706778 706115 706864 706768 706853 706441 706907 706929 706911 706858 706568 706920 706929 706842 706794 707019 706984 707260 707002 707294 707334 707091 707153 707217 707241 707405 707497
9255068 9254886 9254992 9254802 9255142 9254702 9254742 9254542 9254538 9255058 9254740 9254646 9254944 9254304 9254520 9254534 9254890 9254260 9254824 9254620 9254464 9254122 9254448 9254380 9254326 9254528 9254054 9254278 9254508 9254250 9254274 9254400 9254444 9254526 9254460 9254496 9254400 9254418 9254396 9254328 9254314 9254288 9254268
713 720 722 731 742 743 745 749 756 761 766 769 774 776 780 780 781 782 788 791 792 800 801 801 807 808 812 818 820 820 822 827 830 832 833 836 840 842 844 851 855 877 887
Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering Perkebunan nilam Pemukiman Pemukiman Perkebunan nilam Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering Perkebunan palem Perkebunan nilam Pemukiman Semak/belukar Perkebunan pepaya Perkebunan pepaya Pertanian lahan kering Pemukiman Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering Semak/belukar Semak/belukar Semak/belukar Semak/belukar Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering Semak/belukar Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering Semak/belukar Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering Perkebunan kopi Semak/belukar Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering Semak/belukar
Lampiran 8. Peta titik ground truth
Lampiran 9. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor