APLIKASI NANOFIBER SELULOSA TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (TKKS) SEBAGAI REINFORCEMENT AGENT PADA KOMPOSIT THERMOPLASTIC STARCHPOLIVINIL ALKOHOL (TPS-PVA)
SABRINA MANORA INDRIYANI
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aplikasi Nanofiber Selulosa Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) sebagai Reinforcement Agent pada Komposit Thermoplastic Starch-Polivinil Alkohol (TPS-PVA) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2016
Sabrina Manora Indriyani NIM F34120058
ABSTRAK SABRINA MANORA INDRIYANI. Aplikasi Nanofiber Selulosa Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) sebagai Reinforcement Agent pada Komposit Thermoplastic Starch-Polivinil Alkohol (TPS-PVA). Dibimbing oleh FARAH FAHMA. Pati merupakan bahan baku termoplastik yang dapat terdegradasi secara alami sehingga aman bagi lingkungan. Penambahan polivinil alkohol, gliserol serta nanofiber selulosa sebagai reinforcement agent menghasilkan film komposit dengan sifat fisik dan mekanis yang baik. Tujuan penelitian ini adalah membuat nanofiber selulosa dari TKKS serta mengetahui karakteristik komposit TPS-PVA yang dihasilkan. Pembuatan film komposit dilakukan dengan casting method. Film komposit yang dibuat terdiri dari larutan pati dan PVA (4:1), nanofiber selulosa TKKS (0, 1%, 3% dan 5%) dan gliserol (0 dan 25%). Karakterisasi film komposit yang dianalisa meliputi sifat fisik, kristalinitas, transmisi cahaya dan laju transmisi uap air. Nanofiber selulosa yang dihasilkan berdiameter ± 3 nm. Penambahan nanofiber selulosa meningkatkan kuat tarik dan kristalinitas film, namun menurunkan elongasi, transmisi cahaya dan laju transmisi uap air pada film. Penambahan gliserol meningkatkan elongasi, transmisi cahaya dan laju transmisi uap air pada film, namun menurunkan kuat tarik film. Kata kunci: film komposit, pati termoplastik, tandan kosong kelapa sawit (TKKS), polivinil alkohol (PVA)
ABSTRACT SABRINA MANORA INDRIYANI. Application of Cellulose Nanofibers from Oil Palm Empty Fruit Bunches (OPEFBs) for Thermoplastic Starch-Polyvinyl Alcohol (TPS-PVA) Composites. Supervised by FARAH FAHMA. Starch is thermoplastic material that can be degraded naturally so it is safe for the environment. The addition of polyvynil alcohol, glycerol and cellulose microfiber as reinforcement agent produce composite films which have good physical and mechanical properties. The objectives of this study are to obtain cellulose nanofibers from OPEFBs and to characterize obtained TPS-PVA composites. Composite films were produced by casting method. Starch was mixed together with PVA (4:1), glycerol (0 and 25%) and cellulose nanofiber (0%, 1%, 3% and 5%). Composite films were characterized using several analysis, such as tensile test, crystalinity, transparency and water vapor transmission rate. Diameter of cellulose nanofibers produced are ± 3 nm. The addition of cellulose nanofiber increase tensile strength and crystallinity, but decrease percentage of elongation, light transmission and water vapor transmission rate of the films. The addition of glycerol increase percentage of elongation, light transmission and water vapor transmission rate, but decrease tensile strength of the film. Keywords: composite films, thermopastic starch, oil palm empty-fruit-bunch (OPEFBs), polyvinyl alcohol (PVA)
APLIKASI NANOFIBER SELULOSA TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (TKKS) SEBAGAI REINFORCEMENT AGENT PADA KOMPOSIT THERMOPLASTIC STARCHPOLIVINIL ALKOHOL (TPS-PVA)
SABRINA MANORA INDRIYANI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan penyertaan-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini membahas mengenai pengaruh penambahan gliserol dan nanofiber selulosa dalam komposit thermoplastic starch-polivinil alkohol. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Agustus 2016 dengan judul skripsi Aplikasi Nanofiber Selulosa Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) sebagai Reinforcement Agent pada Komposit Thermoplastic Starch-Polivinil Alkohol (TPS-PVA). Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Farah Fahma, STP MT selaku pembimbing skripsi atas arahan serta bimbingan yang diberikan selama penelitian dan penyelesaian skripsi. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr Ir Sugiarto, Msi dan Dr Drs Purwoko, Msi sebagai penguji pada ujian skripsi. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh laboran Departemen Teknologi Industri Pertanian yang telah memberikan banyak bantuan selama penelitian berlangsung. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada kedua orang tua penulis (P. Napitupulu dan Korlina S.) serta kakak dan adik (Flora dan Regina) atas dukungan dan kasih sayang yang tiada henti. Terimakasih juga kepada Ronny, Faiza, Mbak Nurmalisa, Julia, Wilda, Ina, Nabila, Tania, Tetty, Melati, temanteman TIN 49, rekan-rekan GSM HKBP Bogor, Panret 52, dan semua pihak yang turut ambil bagian dalam membantu penelitian dan penyusunan skripsi ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2016
Sabrina Manora Indriyani
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Bahan Alat Metode Penelitian Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi TKKS Karakterisasi Nanofiber Selulosa dari TKKS Karakterisasi Film Komposit TPS-PVA SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
viii viii viii 1 1 2 2 2 2 3 3 6 6 6 9 9 16 16 16 16 19 27
DAFTAR TABEL 1 2 3 4
Formulasi film komposit TPS-PVA Hasil analisa proksimat TKKS Hasil analisa komposisi pulp TKKS Hasil uji kristalinitas pada berbagai formulasi film
4 6 7 14
DAFTAR GAMBAR 1 Struktur kimia selulosa 2 TKKS yang telah dicacah dan pulp TKKS 3 Hasil uji FTIR pulp TKKS 4 Hasil SEM nanofiber selulosa TKKS perbesaran 20.000x 5 Nilai laju transmisi uap air pada berbagai komposisi film 6 Mekanisme jalur difusi uap air pada film komposit 7 Grafik nilai transmisi cahaya (%) pada berbagai formulasi film 8 Nilai transmisi cahaya film pada panjang gelombang 800 nm 9 Nilai kuat tarik film komposit TPS-PVApada berbagai komposisi 10 Nilai elongasi pada berbagai formulasi film 11 Hasil uji XRD pada film tanpa gliserol 12 Hasil uji XRD pada film dengan penambahan gliserol
7 8 8 9 10 10 11 12 12 13 15 15
DAFTAR LAMPIRAN 1 Metode Analisis Proksimat AOAC 2005 2 Metode Analisa Komponen Serat Van Soest 3 Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan pada nilai laju transmisi uap air 4 Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan pada nilai transmisi cahaya 5 Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan pada nilai kuat tarik 6 Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan pada nilai elongasi 7 Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan pada nilai young’s modulus
19 21 23 23 24 25 25
PENDAHULUAN Latar Belakang Bahan baku plastik konvensional yang berasal dari minyak bumi ataupun gas alam memiliki persediaan yang terbatas, karena merupakan sumber daya yang tidak terbarukan. Penggunaan plastik konvensional sebagai bahan kemasan menyebabkan berbagai masalah. Kemampuannya yang rendah untuk terdegradasi secara alami menimbulkan pencemaran lingkungan. Hal ini mendorong berkembangnya penggunaan biodegradable plastics, salah satunya pati termoplastik sebagai kemasan alternatif ramah lingkungan. Termoplastik adalah plastik yang dapat dilunakkan berulang kali dengan menggunakan panas dan akan mengeras bila didinginkan. Pati bukan termoplastik yang sebenarnya, namun adanya bahan pemlastis (air, gliserol, sorbitol, dan lain-lain), pemanasan dan proses mekanik akan memecah struktur semikristalin dari granula pati dan membentuk fase polimer yang kontinyu (Kampangkaew et al. 2014). Kondisi tersebut memungkinkan pati untuk diproses menjadi termoplastik. Pati merupakan bahan baku yang menjanjikan dalam pembuatan biodegradable plastics. Pati memiliki sifat dapat diperbaharui, cepat terdegradasi di lingkungan, tidak beracun, mudah diperoleh dan ekonomis (Kapangkaew et al. 2014). Namun pati termoplastik memiliki beberapa kelemahan salah satunya adalah memiliki sifat mekanik yang rendah (Kmetty et al. 2015), oleh karena itu, pencampuran antara pati dengan polimer sintetik lainnya dapat dilakukan untuk mengatasi kelemahan tersebut. Polimer sintetik tersebut dapat berupa polipropilen (PP), low density polyethylene (LDPE), high density polyethylene (HDPE), poly lactic acid (PLA), polivinil alkohol (PVA) dan lain-lain. PVA merupakan polimer sintetik yang dapat terdegradasi secara alami. PVA memiliki gugus hidroksil (-OH) pada strukturnya yang cendrung membentuk ikatan hidrogen antarmolekul dan intramolekul sehingga meningkatkan integritas campuran pati-PVA. PVA juga banyak digunakan dalam industri plastik dan kemasan karena larut dalam air, tahan terhadap minyak dan lemak, tidak berasa, tidak berbau dan tidak beracun (Tang dan Alavi 2011). Pembuatan komposit juga merupakan solusi yang dapat digunakan untuk meningkatkan sifat fisik dari pati termoplastik. Komposit adalah penggabungan dua atau lebih material yang berbeda dengan karakteristik yang baru. Bahan komposit umumnya terdiri dari dua atau lebih bahan yang berbeda, yaitu bahan pengisi atau penguat (reinforcement) dan bahan pengikat yang disebut matriks. Penguat adalah komponen yang dimasukkan ke dalam matriks yang berfungsi sebagai penerima atau penahan beban utama. Matriks adalah bagian dari komposit yang mengelilingi partikel penyusun komposit, yang berfungsi sebagai bahan pengikat partikel dan ikut membentuk struktur fisik komposit. Komposit yang dibuat pada penelitian ini terdiri dari pati tapioka dan PVA yang berfungsi sebagai matriks serta nanofiber selulosa dari TKKS yang menjadi bahan penguat. Selulosa merupakan serat yang melimpah di alam, kuat dan dapat terdegradasi secara alami (Reis et al. 2014). Selulosa dapat diperoleh dari berbagai sumber serat alami, salah satunya adalah TKKS yang merupakan limbah dari industri kelapa sawit. Menurut Badan Pusat Statistik pada tahun 2014,
2 Indonesia menghasilkan 29 juta ton tandan buah segar kelapa sawit. Setiap pengolahan satu ton tandan buah segar kelapa sawit menghasilkan 23% TKKS. TKKS diketahui mengandung selulosa yang cukup tinggi yaitu sebesar 44,4%, sehingga selulosa dari TKKS berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai reinforcement agent pada komposit pati termoplastik serta meningkatkan nilai tambah TKKS. Saat ini, penambahan serat berukuran nano sebagai reinforcement agent pada produksi komposit sedang banyak dikembangkan. Nanofiber memiliki ukuran yang sangat kecil dan luas permukaan yang besar sehingga dapat terdispersi dengan baik ke dalam matriks termoplastik. Terdapat beberapa teknik pembentukan nanofiber selulosa yaitu secara mekanik (tekanan tinggi, ultrasonikasi, ultrafinegrinding), kimiawi (hidrolisis asam, oksidasi, pelarut organik) dan enzimatis. Pembentukan nanofiber selulosa TKKS telah dilakukan oleh Fahma et al. (2010) dengan metode hidrolisis asam sulfat dengan hasil nanofiber berukuran 1-3,5 nm. Pembentukan nanofiber selulosa TKKS secara mekanik dengan menggunakan ulrafine grinder dan ultrasonikasi belum pernah dilakukan sebelumnya. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan harapan memperoleh nanofiber selulosa TKKS secara mekanis. Selain itu, penambahan nanofiber selulosa TKKS ke dalam komposit diharapkan dapat meningkatkan sifat mekanis komposit yang dihasilkan.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan nanofiber selulosa dari TKKS dengan menggunakan perlakuan mekanis dan mendapatkan karakteristik film komposit yang dihasilkan dari campuran tapioka dan PVA dengan penambahan nanofiber selulosa TKKS.
METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2016 sampai dengan bulan Agustus 2016. Tempat pelaksanaan penelitian di Laboratorium Dasar Ilmu Terapan, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Nanoteknologi, Balai Besar Pasca Panen, Cimanggu, Bogor.
Bahan Bahan yang digunakan adalah tandan kosong kelapa sawit (PTPN VIII, Kertajaya, Lebak), tapioka merk Alini, gliserol teknis, PVA (Celvol TM Sekisui Chemical Co.ltd), potasium hidroksida (KOH), natrium hipoklorit (NaOCl), akuades dan bahan kimia lainnya untuk keperluan analisa.
3 Alat Peralatan yang digunakan adalah hot plate, magnetic stirrer, oven, cetakan teflon, desikator, neraca analitik, waring blender, ultrafine grinder (Masuko Corp, Japan), ultrasonicator (QSonica), mikrometer sekrup (Mitutoyo 0,01 mm). Instrumen pengujian yang digunakan adalah Fourier Transform Infrared Spectroscopy (Bruker Tensor 37), X-Ray Difraction (Bruker D8 Advance), Scanning Electron Microscope (Zeiss EVO MA10), Universal Test Mechine (Instron) serta peralatan gelas.
Metode Penelitian Isolasi serat selulosa dari TKKS Tahapan pertama penelitian ini adalah mengisolasi selulosa dari TKKS. Metode isolasi yang dilakukan menggunakan metode Hamzah et al. (2011) dengan modifikasi. TKKS kering sebelumnya dianalisa proksimat dan kandungan selulosa, hemiselulosa dan lignin dengan metode AOAC (2005) dan metode Van Soest seperti yang terdapat pada Lampiran 1 dan 2. TKKS kering dikecilkan hingga berukuran kurang lebih 1 cm kemudian dilakukan perebusan dengan akuades pada suhu 100OC selama 1 jam untuk menghilangkan pengotor. TKKS selanjutnya dicuci dan dikeringkan menggunakan oven dryerr pada suhu 55OC selama 72 jam. Proses selanjutnya adalah proses delignifikasi menggunakan basa kuat. TKKS direndam dalam larutan KOH 6% selama 12 jam pada suhu ruang, kemudian dicuci dengan akuades hingga pH netral. Selanjutnya dilakukan proses pemucatan dengan cara perendaman dalam larutan hipoklorit 12% selama 5 jam pada suhu ruang. Pulp TKKS yang diperoleh kemudian disaring dengan kertas saring dan dicuci hingga pH netral. Pulp TKKS disimpan dalam lemari pendingin jika belum digunakan. Pulp TKKS dianalisa kadar selulosa, hemiselulosa dan ligninnya serta analisa FTIR untuk mengetahui gugus fungsionalnya. Pembentukan nanofiber selulosa Pembentukan nanofiber selulosa dilakukan dengan metode mekanis seperti yang dilakukan Iriani et al. (2015). Serat selulosa yang diperoleh dihomogenkan dengan menggunakan waring blender. Sebelum dilakukan pengecilan ukuran dengan ultrafine grinder, selulosa diencerkan dalam akuades hingga konsentrasi 2%. Pengecilan ukuran dilakukan menggunakan ultrafine grinder dengan kecepatan 1500 rpm sebanyak 37 siklus. Selanjutnya suspensi diultrasonikasi dengan 40% amplitudo selama 30 menit sehingga diperoleh nanofiber selulosa. Nanofiber kemudian dianalisa morfologinya dengan SEM. Pembuatan nanokomposit TPS-PVA Film nanokomposit dibuat dengan mencampurkan tapioka, PVA, gliserol dan nanofiber selulosa TKKS. Metode yang digunakan adalah solution casting. Formulasi film nanokomposit TPS-PVA dapat dilihat pada Tabel 1.
4 Tabel 1 Formulasi film komposit TPS-PVA Konsentrasi Konsentrasi No Sampel gliserol (%) nanoserat (%) 1 SPG0NF0 0 0 2 SPG25NF0 25 1 3 SPG0NF1 0 3 4 SPG25NF1 25 5 5 SPG0NF3 0 0 6 SPG25NF3 25 1 7 SPG0NF5 0 3 8 SPG25NF5 25 5 Keterangan: SPG: starch-PVA-Gliserol NF:Nanofiber Pati dan PVA dicampurkan dengan perbandingan 4:1 dan dilarutkan dalam akuades hingga konsentrasinya 7%. Pencampuran dilakukan dengan pengadukan dan pemanasan hingga 90OC selama 10 menit. Selanjutnya suspensi ditambahkan gliserol (0 dan 25%) dan nanofiber selulosa TKKS (0, 1, 3 dan 5 %), kemudian diaduk selama 15 menit. Bahan tersebut kemudian dicetak dengan teflon berdiameter 50 cm dan dikeringkan dalam oven 45OC selama 48 jam. Film yang dihasilkan disimpan dalam desikator di suhu ruang dan dianalisa karakteristiknya. Karakterisasi Nanokomposit TPS-PVA a. Sifat mekanik Alat yang digunakan untuk uji ini adalah Instron Universal Testing Machine. Sebelum dilakukan uji, film diukur ketebalannya dengan mikrometer sekrup dengan ketelitian 0,01 mm di tiga tempat yang berbeda. Selanjutnya film dipotong dengan ukuran 45 mm x 20 mm, kemudian dijepit diantara grip. Pengukuran dilakukan sebanyak dua kali dengan kecepatan crosshead 3 mm/menit. Alat dijalankan dan dihentikan ketika film telah terputus. Sifat mekanik yang diujikan adalah kuat tarik, persentase pemanjangan dan young’s modulus. Kuat tarik ditentukan berdasarkan beban pada saat film putus dan persentase pemanjangan berdasarkan penambahan panjang film saat putus. Nilai kuat tarik, persentase pemanjangan dan young’s modulus diperoleh dengan persamaan 1, 2 dan 3. 𝜎=
𝐹 𝑚𝑎𝑘𝑠 𝐴
(1)
Keterangan: σ = kuat tarik (MPa) F maks = gaya maksimum (N) A = luas permukaan sampel (mm2) %𝜀 = Keterangan: %ε = elongasi (%)
∆𝐿 𝐿𝑜
x 100%
(2)
5 ∆L Lo
= pertambahan panjang sampel (mm) = panjang awal sampel (mm) 𝐸=
𝜎 𝜀
(3)
Keterangan: E = young’s modulus (MPa) σ = kuat tarik (MPa) ε = elongasi b.
Laju transmisi uap air (water vapour transmission rate) Laju transmisi uap air ditentukan secara gravimetri dengan modifikasi metode ASTM E96. Film yang akan diuji dipotong dengan ukuran 20 mm x 20 mm dan dikondisikan di dalam desikator selama 24 jam. Kemudian film dilekatkan dengan menggunakan parafilm pada permukaan wadah yang berisi CaCl2 anhidrat. Kemudian sampel ditimbang dan data yang diperoleh dicatat sebagai berat awal sampel. Selanjutnya sampel disimpan di dalam desikator yang berisi KCl jenuh untuk menjaga gradien RH diantara film. Pengujian dilakukan pada suhu ruang dan RH di dalam desikator 70%. Sampel ditimbang secara berkala untuk mengetahui banyaknya uap air yang masuk dari luar ke dalam wadah dengan melalui film. Laju transmisi uap air dapat dihitung dengan rumus berikut: ∆ ⁄ ∆ = Keterangan : WVTR = water vapour transmission rate (g/m2/jam) ∆m = selisih massa wadah (mg) ∆t = selisih waktu A = luas film (m2)
c.
Transmisi Cahaya (light transmittance) Transmisi cahaya dari film diukur dengan menggunakan metode yang dilakukan Savadekar dan Mhaske (2012). Alat yang digunakan adalah spektrofotometri UV-Vis. Sampel yang diuji harus memiliki ketebalan seragam. Panjang gelombang yang digunakan adalah 200-900 nm.
d.
Difraksi Sinar-X (X-Ray difraction) Uji X-Ray difraction (XRD) dilakukan untuk mengetahui struktur kristalin dan amorf film. Uji dilakukan menggunakan XRD Bruker D8 dengan radiasi Kα Cu (λ=1.54060). Sampel dengan diameter 5 cm diletakkan pada tempat sampel dan analisis dilakukan pada kondisi operasional 40 kV dan 35 mA.
6 Analisis Data Penelitian ini dirancang menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dengan dua kali ulangan. Perlakuan yang diberikan adalah konsentrasi nanofiber selulosa yang ditambahkan dan gliserol. Konsentrasi nanofiber memiliki empat taraf yaitu 0, 1, 3 dan 5%. Konsentrasi gliserol memiliki dua taraf yaitu 0 dan 2%. Data hasil penelitian dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA) dengan taraf signifikansi 5% dan uji lanjut Duncan. Model statistika yang digunakan adalah sebagai berikut: Yijk = µ + Ai + Bj + ABij + εijk Keterangan : Yijk = respon terhadap konsentrasi nanofiber selulosa ke-i, konsentrasi gliserol ke-j, ulangan ke-k µ = rata-rata umum Ai = pengaruh perlakuan konsentrasi nanofiber selulosa ke-i Bj = pengaruh perlakuan konsentrasi gliserol ke-j ABij = pengaruh interaksi konsentrasi nanofiber selulosa ke-i dan konsentrasi gliserol ke-j ɛijk = pengaruh galat terhadap konsentrasi nanofiber seulosa ke-i dan konsentrasi gliserol ke-j serta ulangan ke-k
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi TKKS Analisa proksimat TKKS, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2, menunjukkan bahwa TKKS mengandung komponen serat kasar yang cukup tinggi yaitu sebesar 36,33%. Kandungan serat tersebut berpotensi untuk digunakan sebagai reinforcement agent pada film komposit TPS-PVA. Komponen serat yang diperlukan sebagai reinforcement agent adalah serat selulosa. Selulosa tidak pernah ditemukan dalam keadaan murni di alam, tetapi selalu berasosiasi dengan polisakarida lain seperti lignin, hemiselulosa, dan zat ekstraktif. Tabel 2 Hasil analisa proksimat TKKS No
Komposisi TKKS
Kandungan (%)
1 2 3 4 5 6
Air Abu Lemak Protein Karbohidrat Serat Kasar
13,26 7,27 2,87 4,68 71,92 36,33
7 Kandungan selulosa, hemiselulosa dan lignin pada serat kasar dianalisa menggunakan metode Van Soest. Metode ini digunakan untuk mengestimasi kandungan serat dan fraksi-fraksinya ke dalam kelompok tertentu berdasarkan keterikatannya dengan ion kation dan anion detergen (metode detergen). Terdapat dua bagian dalam metode ini yaitu sistem netral untuk mengukur total serat yang tidak larut dalam detergen netral (NDF) dan sistem detergen asam digunakan untuk mengisolasi lignin dan selulosa yang tidak larut (ADF). Berdasarkan hasil analisa Van Soest, kandungan selulosa pada TKKS adalah 42,28%. Komposisi komponen serat yang terdapat dalam TKKS dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Hasil analisa komposisi pulp TKKS No
Komposisi Pulp TKKS
Kandungan (%)
1 2 3
Selulosa Hemiselulosa Lignin
42,28 15,45 27,02
Selulosa adalah polimer glukosa yang terbentuk dari rantai linier dan dihubungkan oleh ikatan β(1,4) glikosidik. Struktur yang linier menyebabkan selulosa bersifat kristialin dan tidak larut dalam air. Unit penyusun selulosa adalah selobiosa karena unit keterulangan dalam molekul selulosa adalah 2 unit gula (Dglukosa). Struktur kimia selulosa dapat dilihat pada Gambar 1. Isolasi selulosa dilakukan untuk memisahkan selulosa dari lignin dan senyawa-senyawa lain dengan menggunakan alkali. Larutan alkali mendegradasi lignin sehingga lignin dapat larut dalam air. Lignin dapat menurunkan fleksibilitas film karena lignin bersifat kaku, selain itu dapat membuat pulp berwarna gelap (Fitria 2008). Sisa lignin yang masih terdapat di dalam pulp dipisahkan dari pulp dengan proses bleaching menggunakan hipoklorit. Lignin teroksidasi oleh hipoklorit menyebabkan terdegradasi dan terbentuk gugus hidroksil, karbonil dan karboksilat, sehinggga mudah larut dalam medium alkali (Cherian et al. 2010). TKKS dan pulp TKKS hasil isolasi dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 1 Struktur kimia selulosa Analisa Van Soest juga dilakukan pada pulp TKK hasil isolasi. Kadar selulosa, hemiselulosa dan lignin berturut-turut adalah 69,55%, 17,76% dan 5,81%. Kadar lignin pulp lebih rendah dibandingkan dengan kadar lignin pada serat TKKS. Hal tersebut menunjukkan bahwa proses delignifikasi dan bleaching telah berhasil mengurangi kadar lignin dan hemiselulosa secara signifikan.
8
a)
b)
Gambar 2 a) TKKS yang telah dicacah b) Pulp TKKS Analisa FTIR dilakukan untuk mengetahui gugus-gugus fungsional pada pulp TKKS. Spektrum FTIR pulp ditampilkan pada Gambar 3. Prinsip kerja FTIR adalah mengumpulkan sinar inframerah yang kemudian disebar pada permukaan sampel untuk mengetahui frekuensi gelombang yang terserap. Frekuensi yang muncul diterjemahkan untuk mengetahui gugus spesifik dari sampel (Craig et al. 2012). Kisaran gelombang yang dideteksi oleh FTIR adalah 400-4000 cm-1. Spektrum FTIR menunjukkan bahwa gugus alkohol (-OH) atau hidroksil yang berasal dari selulosa dan penyerapan air di panjang gelombang 3366 cm-1 dan 1649 cm-1. Panjang gelombang 1058 cm-1 menunjukkan gugus C-O dari selulosa. Panjang gelombang sekitar 2914 cm-1 menunjukkan adanya gugus C-H dari senyawa alifatik pada selulosa, hemiselulosa dan lignin. Panjang gelombang 1429 cm-1 menunjukkan berbagai komponen lignin dan perubahan bentuk dari selulosa dan lignin. Panjang gelombang 1506 menunjukkan adanya gugus C=C yang merupakan senyawa aromatik dari lignin (Fahma et al 2011), dimana berarti masih terdapat lignin di dalam serat selulosa yang diisolasi.
Gambar 3 Hasil uji FTIR pulp TKKS
9 Karakterisasi Nanofiber Selulosa dari TKKS Serat selulosa yang diperoleh dikecilkan ukurannya secara mekanik hingga berukuran nano dengan menggunakan ultrafine grinder dan ultrasonikator. Pembuatan nanofiber selulosa secara mekanis merupakan metode yang aman dan ekonomis dibandingkan dengan metode kimiawi dan enzimatis. Ultrafine grinder memiliki dua batu asah yang statis dan bergerak, pulp selulosa dilewatkan diantara kedua batu tersebut. Gaya geser yang terjadi menyebabkan ikatan hidrogen dan struktur dinding sel terpecah hingga serat berukuran nano (Siró dan Plackett 2010). Proses kemudian dilanjutkan dengan ultrasonikasi yang memanfaatkan gelombang ultrasonik yang menghasilkan tekanan mekanis tinggi karena kaptivasi sehingga menyebabkan disagregasi pulp ke ukuran yang lebih kecil (Frone et al. 2011). Morfologi nanofiber selulosa yang diperoleh selanjutnya dianalisa menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM). Gambar 4 menunjukkan hasil analisa SEM nanofiber selulosa yang dihasilkan dengan perbesaran 20.000 kali. Sebagian besar nanofiber selulosa TKKS yang dihasilkan berdiameter ± 30 nm.
Gambar 4 Hasil SEM nanofiber selulosa TKKS perbesaran 20.000x Karakterisasi Film Komposit TPS-PVA Laju Transmisi Uap Air Nilai laju transmisi uap air dapat digunakan untuk mengetahui nilai permeabilitas suatu bahan terhadap uap air. Film yang diujikan memiliki ketebalan sekitar 0,08 mm hingga 0,09 mm. Hasil uji laju transmisi uap air dapat dilihat pada Gambar 5. Hasil analisis ragam (Lampiran 3) menyatakan bahwa
10 perbedaan komposisi nanofiber selulosa dan penambahan gliserol berpengaruh nyata terhadap laju transmisi uap air pada taraf nyata 5%. Berdasarkan uji lanjut Duncan, perlakuan terbaik adalah film dengan komposisi nanoselulosa 5% dan tanpa penambahan gliserol. 18 16
15,73 ± 1,04 13,72 ± 1,34
WVTR (g/m2/jam)
14
14,48 ± 1,20 12,85± 0,78
12 10 8
7,72 ± 0,40 6,58 ± 0,21
SPG0
7,47± 0,47
SPG25
6
5,07± 1,18
4 2 0 NF0
NF1
NF3
NF5
Gambar 5 Nilai laju transmisi uap air pada berbagai komposisi film komposit TPS-PVA Hasil uji menunjukkan bahwa penambahan nanofiber selulosa meningkatkan kemampuan film untuk menahan uap air atau menurunkan nilai laju transmisi uap air. Hal ini disebabkan oleh pembentukan struktur jaringan antara partikel nanofiber selulosa dengan komponen TPS-PVA yang meningkatkan ketahanan film terhadap air. Nanofiber selulosa membuat berubahnya jalur difusi langsung molekul air ke dalam komposit menjadi berliku-liku (tortuous path) sehingga menghalangi uap air untuk melalui film (Lani et al. 2014). Mekanisme perbedaan jalur difusi tersebut dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Mekanisme jalur difusi uap air pada film komposit Film tanpa penambahan gliserol menunjukkan nilai laju transmisi uap air yang jauh lebih rendah dibanding dengan film dengan penambahan gliserol sebesar 25%. Menurut Suyatma et al. (2005), penambahan plasticizer yang
11 bersifat hidrofilik dapat menurunkan sifat hidrofobiknya dan meningkatkan sifat higroskopis pada film. Sifat higroskopis merupakan sifat dimana suatu bahan dapat dengan mudah menyerap air dari udara, sehinggga meningkatkan laju transmisi uap airnya. Gliserol merupakan plasticizer yang bersifat hidrofilik yang dapat meningkatkan sifat higroskopis sehingga memiliki kemampuan untuk menyerap air dari udara di sekeliling bahan dan meningkatkan laju transmisi uap air pada bahan.
Transmisi (%)
Transmisi Cahaya Pengukuran nilai transmisi cahaya pada film dilakukan untuk mengetahui transparansi film. Selain itu, nilai transmisi juga dapat memberikan informasi ukuran partikel dan derajat dispersi dari reinforcement agent di dalam film secara kualitatif (Chen et al. 2009). Menurut Li et al. (2015) semakin tinggi opasitas film akan meningkatkan kemampuannya untuk melindungi produk yang dikemas dari sinar dan meningkatkan kualitas kemasan terutama dalam mengemas bahan pangan. Peningkatan panjang gelombang sebanding dengan peningkatan persentase transmisi cahaya, seperti yang terlihat pada Gambar 7. 50
SPG0NF0
45
SPG25NF0
40
SPG0NF1
35
SPG25NF1
30
SPG0NF3
25
SPG25NF3
20
SPG0NF5
15
SPG25NF5
10
PVA
5
PATI
0 400
500 600 700 800 Panjang Gelombang (nm)
900
NS
Gambar 7 Grafik nilai transmisi cahaya (%) pada berbagai formulasi film Menurut Shavadekar dan Mhaske (2012), panjang gelombang 800 nm dapat menggambarkan transparansi film. Persentase transmisi cahaya pada panjang gelombang 800 nm dapat dilihat pada Gambar 8. Film PVA dan film tapioka memiliki nilai transmisi cahaya sebesar 44,89% dan 37,71%. Film tapioka memiliki nilai transmisi cahaya yang lebih rendah dibandingkan dengan film PVA, sehingga pencampuran keduanya dapat menurunkan nilai transparansi film yang terbentuk. Nanofiber selulosa memiliki nilai transmisi cahaya yang rendah yaitu 3,88%, oleh karena itu, penambahan nanofiber selulosa dapat menurunkan transparansi film yang terbentuk. Hasil menunjukkan nilai transmisi yang rendah pada film. Hal ini dapat disebabkan oleh penambahan nanofiber selulosa ke dalam film. Semakin banyak nanofiber selulosa yang ditambahkan ke dalam film dapat menurunkan nilai transmisi cahaya. Nanofiber selulosa dapat menghalangi cahaya yang
12 ditransmisikan sehingga nilai transmisi menjadi lebih rendah. Hasil analisis ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa penambahan gliserol memberikan sedikit pengaruh terhadap transparansi film. Hal ini karena, efek pengenceran dari gliserol yang dapat meningkatkan kejernihan, dimana gliserol adalah komponen yang jernih dan tidak berwarna (Maria et al. 2008). 50 44,89±0,004
45
37,71±0,21
Transmisi (%)
40 35 30 25 20 15
SPG0
21,91±1,05 18,85±0,83
SPG25
14,58±0,64
11,94±0,63 14,85±1,4413,25±0,40 11,49±0,84 12,75±1,16
10
3,88±0,003
5 0 NF0
NF1
NF3
NF5
PVA
TAPIOKA
NS
Gambar 8 Nilai transmisi cahaya film pada panjang gelombang 800 nm Sifat Mekanik Sifat mekanik film yang diujikan adalah kuat tarik, young’s modulus dan elongasi. Kuat tarik merupakan ukuran besarnya beban atau gaya yang dapat ditahan sebelum sampel rusak atau putus. Elongasi adalah perubahan panjang sampel dari panjang awal akibat gaya yang diberikan. Young’s modulus adalah ukuran yang mempresentasikan kekakuan sampel. Hasil uji kuat tarik pada film dapat dilihat pada Gambar 9. 56,75 ± 7,08
60
Kuat Tarik (MPa)
50
48,30 ± 0,75
51,53 ± 5,03 46,59 ± 10,79
40 SPG0
30
SPG25 20 10 0,60 ± 0,04
1,12 ± 0,04
2,47 ± 0,43
3,48 ± 1,10
0 NF0
NF1
NF3
NF5
Gambar 9 Nilai kuat tarik film komposit TPS-PVA pada berbagai komposisi Berdasarkan grafik, terlihat perbedaan nilai kuat tarik yang signifikan antara film dengan penambahan gliserol dengan film tanpa gliserol. Hal ini disebabkan
13 bahan pemlastis menurunkan ikatan hidrogen dalam film sehingga meningkatkan fleksibilitas film. Meningkatnya fleksibilitas menurunkan nilai kuat tarik pada film. Selain itu, penambahan gliserol mengurangi gaya antar molekul rantai polisakarida sehingga struktur film menjadi lebih fleksibel (Cao et al. 2007). Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 5), penambahan gliserol berpengaruh nyata terhadap nilai kuat tarik. Kuat tarik juga meningkat sesuai dengan penambahan konsentrasi nanofiber selulosa pada film. Nanofiber selulosa mengisi matriks film dan membuat film menjadi lebih tahan terhadap gaya yang diberikan. Gambar 10 menunjukan hasil uji elongasi dari film komposit TPS-PVA. Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa elongasi film semakin rendah dengan penambahan konsentrasi nanoselulosa yang samakin tinggi. Film tanpa penambahan gliserol memiliki nilai elongasi yang lebih rendah dibanding film dengan penambahan gliserol. Hal ini membuktikan bahwa gliserol dapat mengurangi sifat kaku pada film, sehingga film menjadi lebih fleksibel dan plastis. Adanya bahan pemlastis dalam TPS dapat menyela pembentukan double helices dari amilosa dengan cabang amilopektin, lalu megurangi interaksi antara molekulmolekul amilosa dan amilopektin, sehingga meningkatkan fleksibilitas film (Zhang dan Han 2006). Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 6), penambahan gliserol dan penambahan bebagai konsentrasi nanofiber selulosa berpengaruh nyata terhadap nilai elongasi yang dihasilkan. Uji lanjut Duncan menyatakan film dengan elongasi terbaik adalah film dengan gliserol dan penambahan selulosa 0 dan 1%. 45,00
41,56±3,74
40,00 35,36±5
Elongasi (%)
35,00 30,00 25,00
22,56±0,71 19,66±3,71
20,00
SPG0 SPG25
15,00 10,00
6,77±3,01
7,76±0,20
8,04±0,66 4,53±1,29
5,00 0,00 NF0
NF1
NF3
NF5
Gambar 10 Nilai elongasi pada berbagai formulasi film Nilai elastisitas atau young’s modulus berbanding lurus dengan nilai kuat tarik dan berbanding terbalik dengan elongasi. Semakin besar nilai young’s modulus film maka semakin kecil rengang elastis yang dapat dihasilkan atau semakin tidak elastis film tersebut. Film dengan penambahan gliserol memiliki nilai young’s modulus yang sangat kecil dibanding dengan film tanpa penambahan gliserol, hal ini menyatakan bahwa gliserol mampu meningkatkan elastisitas suatu film. Penambahan nanofiber selulosa membuat film memiliki nilai young’s modulus yang semakin besar atau nilai elastisitas yang semakin rendah.
14 Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 7), penambahan gliserol berpengaruh nyata terhadap nilai young’s modulus tetapi penambahan nanofiber selulosa tidak berpengaruh nyata terhadap nilai young’s modulus. Berdasarkan uji lanjut Duncan, film tanpa gliserol dengan penambahan 5% nanofiber selulosa tidak berbeda nyata dengan film tanpa gliserol dan konsentrasi nanofiber selulosa 0 serta 3%. X-Ray Diffraction (XRD) Analisa XRD dilakukan untuk mengetahui kristalinitas sampel yang diujikan. Tapioka merupakan pati yang granularnya terdiri dari amilosa dan amilopektin. Daerah kristalin pada pati terbentuk oleh amilopektin, sedangkan daerah amorf terbentuk oleh amilosa. Proses gelatinisasi pada pembuatan film menurunkan kristalinitas pada pati dan meningkatkan kadar amilosanya. Persentase kristalinitas pada film dapat dilihat pada Tabel 4. Film tanpa penambahan gliserol memiliki derajat kristalinitas yang lebih tingggi dibanding dengan film yang menggunakan gliserol. Menurut Iriani et al. (2015), penambahan gliserol dapat menurunkan presentase kristalinitas dari film komposit. Gliserol merupakan bahan yang mampu membentuk banyak ikatan hidrogen dan menganggu ikatan polimer sehingga menciptakan jarak antar rantai partikel. Tidak stabilnya ikatan antar molekul menyebabkan interaksi tarik menarik dan ikatan antar molekul menjadi lemah yang berarti molekulnya bersifat amorf dan kristalinitas film menurun. Tabel 4 Hasil uji kristalinitas pada berbagai formulasi film Sampel SPG0NF0 SPG0NF1 SPG0NF3 SPG0NF5 SPG25NF0 SPG25NF1 SPG25NF3 SPG25NF5
Kristalinitas (%) 26,3 27,8 38,9 67,8 21,8 27,8 35,5 33,5
Kristalinitas pada film semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi nanofiber selulosa yang ditambahkan ke dalam film. Menurut Savadekar et al. (2012), kristalinitas yang ada pada serat selulosa membantu meningkatkan kristalinitas pada komposit film. Kristalinitas tertinggi ialah pada film dengan konsentrasi nanoselulosa 5% dan tanpa penambahan gliserol dan kristalinitas terendah adalah pada film tanpa penambahan nanofiber selulosa dan dengan penambahan gliserol 25%. Gambar 11 dan 12 menunjukkan hasil XRD pada komposit tanpa gliserol dan komposit dengan penambahan gliserol. Berdasarkan gambar, terlihat puncak di area 2ɵ di sekitar 20O yang menunjukkan adanya struktur kristalin dari selulosa. Semakin tinggi persentase kristalin dalam film membuat film lebih kuat karena strukturnya yang kompak dan teratur. Hal ini mempengaruhi kuat tarik film. Kuat tarik pada film meningkat sebanding dengan peningkatan struktur kristalin.
15 SPG0NF0 SPG0NF1 SPG0NF3 SPG0NF5
Gambar 11 Hasil uji XRD pada film tanpa gliserol
SPG25NF0 SPG25NF1 SPG25NF3 SPG25NF5
Gambar 12 Hasil uji XRD pada film dengan penambahan gliserol
16
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Isolasi serat selulosa dari TKKS telah dilakukan dan dihasilkan pulp TKKS dengan kadar selulosa 69,55%, hemiselulosa 17,76% dan lignin 5,81%. Hasil analisa FTIR pada pulp menunjukkan masih adanya kandungan lignin dan hemiselulosa dalam pulp. Pembuatan nanofiber selulosa yang dilakukan secara mekanis dengan ultrafinegrinder dan ultrasonikasi menghasilkan nanofiber dengan ukuran ± 30 nm. Nanofiber selulosa tersebut digunakan sebagai reinforcement agent pada film komposit TPS-PVA. Hasil karakterisasi laju transmisi uap air menunjukkan bahwa penambahan nanofiber selulosa menurunkan laju transmisi uap air, namun penambahan gliserol meningkatkan laju transmisi uap air pada film. Hasil karakkterisasi transmisi cahaya menunjukkan bahwa penambahan nanofiber selulosa menurunkan nilai transmisi cahaya pada film, sedangkan penambahan gliserol sedikit mempengaruhi kejernihan film. Hasil uji kuat tarik menunjukkan bahwa film tanpa penambahan gliserol memiliki kuat tarik yang lebih baik, namun menurunkan persentase elongasi film tersebut dan membuat film tidak elastis. Penambahan nanofiber selulosa juga menurunkan elongasi dan elastisitas film. Hasil uji kristalinitas film menyatakan bahwa kristalinitas film semakin meningkat dengan meningkatnya penambahan nanofiber selulosa. Film dengan penambahan gliserol memiliki nilai kristalinitas yang lebih rendah dibanding film dengan film tanpa penambahan gliserol.
Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menentukan formulasi yang optimum dari penambahan reinforcement agent nanofiber selulosa TKKS dan gliserol sebagai pemlastis dalam TPS-PVA. Uji karakteristik biodegrability dari komposit ini juga perlu dilakukan untuk mengetahui keunggulannya sebagai kemasan plastik ramah lingkungan.
17
DAFTAR PUSTAKA [AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 2005. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists 14th Ed. Washington DC (US): Association of Official Analytical Chemists. [ASTM] America Society for Testing Materials. 1995. Standard Test Methods for Water Vapor Transmission Rate of Materials (E96). Washington DC (US): America Society for Testing Materials. [BPS] Badan Pusat Statistik (ID). 2015. Jumlah perusahaan perkebunan besar menurut jenis tanaman, 2000-2014 [Internet]. http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1668. [1 Oktober 2015] Cao N, Fu Y, He J. 2007. Preparation and physical properties of soy protein isolate and gelatin composite film. Food Hydrocolloids. 21:1153-1162. Chen Y, Liu C, Chang PR, Anderson DP, Huneault MA. 2009. Pea starch-based composite films with pea hull fibers and pea hull fiber-derived nanowhiskers. Polymer Engineering and Science. 49(2):369–378. Cherian BM, Alcides LL, Sivoney F, Sabu T, Laly AP, Kottaisamy M. 2010. Isolation of nanocellulose from pineapple leaf fiber by steam explosion. Carbohydrate Polymers. 81:720-725. Craig AP, Franca AS, Oliveira LS. 2012. Evaluation of the potential of FTIR and chemometrics for separation between defective and non-devective coffes. Journal of Foof Chem. 132:1368-1370. Fahma F, Iwamoto S, Hori N, Iwata T, Takemura A. 2010. Isolation, preparation, and characterization of nanofibers from oil palm empty-fruit-bunch (OPEFB). Cellulose. 17:977-985. Fahma F, Shiniciro I, Naruhito H, Tadahisa I, Akio T. 2011. Effect of pre-acidhydrolysis treatment on morphology and properties of cellulose nanowhiskers from coconut husk. Cellulose. 18:443-450. Fitria. 2008. Pengolahan biomassa berlignoselulosa secara enzimatis dalam pembuatan pulp: studi kepustakaan. Jurnal Teknologi Pertanian. 9 (2): 6974. Frone AN, Denis MP, Dan D, Catalin IS, Constantin R, Roxana T, Raluca S. 2011. Preparation and characterization of PVA composite with celllulose nanofibers obtained by ultrasonication. BioResources. 6(1):487-512. Hamzah F, Idris A, Shuan TK.2011. Preliminary study on enzymatic hydrolysis of treated oil palm (eleis) empty fruit bunches fibre (EFB) by using combination of cellulose and β 1-4 glucosidase. Biom and Bioe. 35:10551059. Iriani ES, Kendri W, Titi CS, Asep WP. 2015. Sintesis nanoselulosa dari serat nanas dan aplikasinya sebagai nanofiller pada film berbasis polivinil alkohol. Jurnal Penelitian Pascapanen. 12 (1): 11-19. Kampangkaew S, Chanchai T, Onuma S. 2014. The synthesis of Cellulose nanofibers from Sesbania Javanica for filler in Thermoplastic starch. Energy Procedia. 56:318-325. Kmetty Á, Karger-Kocsis J, Czigány T. 2015. Production and properties of microcellulose reinforced thermoplastic starch. Material Science and Engineering. 74 (2015): 012008.
18 Lani NS, Ngadi N, Johari A, Jusoh M. 2014. Isolation, Characterization, and application of nanocellulose from oil palm empty fruit bunch fiber as nanocomposites. Journal of Nanomaterials. Li X, Chao Q, Na Ji, Cuixian S, Liu X, Qinjie S. 2015. Mechanical, barrier and morphological properties of starch nanocrystals-reinforced pea starch films. Carbohydrate Polymers. 121:155-162. Maria T, Rosemary A, Paulo JA, Ana M, Javier S. 2008. The effect of degree hydrolysis of the PVA and the plasticizer concentration on the color, opacity, and thermal and mechanical properties of film based on PVA and gelatin blends. Journal of Food Engineering. 87:191-199. Reis MO, Juliano Z, Juliana O, Patri´cia SG, Fabio Y, Maria VE. 2014. Microcrystalline cellulose as reinforcement in thermoplastic starch/poly (butylene adipate-co-terephthalate) films. Journal Polymer Environment. 22:545-552. Savadekar NV, VS Karande, N Vigneshwaran, AK Bharimalla, Mhaske ST. 2012. Preparation of nano cellulose fibers and its application in kappa-carrageenan based film. International Journal of Biological Macromolecules. 51:10081013. Savadekar NR, Mhaske ST. 2012. Synthesis of nano cellulose fibers and effect on thermoplastics starch based films. Carbohydrate Polymers. 89: 146-151. Siró I, Plackett D. 2010. Microfibrillated cellulose and new nanocomposite materials: a review. Cellulose. 177:459-494. Suyatma NE, Lan T, Alain C. 2005. Effect of hydrophilic plasticizers on mechanical, thermal, and surface properties of chitosan film. Journal of Agriculture and Food Chemistry. 53:3950-3957. Tang X, Sajid A. 2011. Recent advances in starch, polyvinyl alcohol based polymer blends, nanocomposites and their biodegradability. Carbohydrate Polymers. 85:7-16. Zhang Y, Han J. 2006. Plasticization of pea starch film with monosaccharides and Polyols. Journal of Food Science. 71(6):253-261.
19
LAMPIRAN Lampiran 1 Metode Analisis Proksimat AOAC 2005 1. Kadar air dengan metode oven Cawan yang akan digunakan dikeringkan dalam oven dengan suhu 105OC selama 30 menit. Cawan lalu didinginkan dalam desikator selama 5 menit dan ditimbang serta dicatat beratnya. Sampel sebanyak 2 gram dimasukkan ke dalam cawan dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105OC selama 3 jam lalu didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Tahap ini diulangi hingga dicapai bobot konstan. Kadar air dapat dihitung dengan persamaan berikut: Kadar air (% b/b) =
x 100%
Keterangan: x = berat cawan dan sampel sebelum dikeringkan (g) y = berat cawan dan sampel setelah dikeringkan (g) a = berat cawan kosong (g) 2. Kadar abu dengan metode tanur Cawan porselin ditanur dengan suhu 550OC selama 30 menit kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel sebanyak 2 gram ditimbang dalam cawan kemudian dibakar di atas nyala pembakar sampai tidak berasap dan dilanjutkan dengan pengabuan dalam tanur bersuhu 550OC. Cawan lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar abu dapat dihitung dengan persamaan berikut: Kadar abu (%b/b) =
x 100%
Keterangan: x = berat cawan dan sampel setelah diabukan (g) y = berat cawan dan sampel sebelum diabukan (g) a = berat cawan kosong (g) 3. Kadar lemak metode soxhlet Labu lemak yang akan digunakan dioven selama 30 menit pada suhu O 105 C, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel sebanyak 2 gram dibungkus dengan kertas saring dan ditutup dengan kapas bebas lemak, lalu dimasukkan ke dalam alat ekstraksi soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak. Pelarut heksan dituangkan sampai sampel terendam dan dilakukan ekstraksi selama 5-6 jam atau sampai pelarut yang turun ke labu lemak berwarna jernih. Ekstrak lemak dikeringkan dalam oven bersuhu 105OC selama 1 jam, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Tahap pengeringan diulangi hingga berat konstan. Kadar lemak dihitung dengan persamaan berikut:
20 Kadar lemak (%) =
x 100%
Keterangan: x = berat labu dan lemak hasil ekstraksi (g) y = berat sampel (g) a = berat labu kosong (g) 4. Kadar protein metode kjedhal Sampel ditimbang sebanyak 0,1 gram dan dimasukkan ke dalam labu kjedahl 100 ml, kemudian ditambahkan 1 gram campuran katalis (CuSO4:Na2SO4=5:6) dan 2.5 ml H2SO4 97%. Campuran tersebut kemudian didekstruksi hingga cairan berwarna hijau jernih. Setelah didinginkan, kemudian larutan dimasukan ke dalam labu distilasi. Larutan yang tersisa dalam labu kjedahl dibilas dengan aquades. Setelah itu ditambahkan 15 ml NaOH 6 N ke dalam labu distilasi. Sebagai penampung digunkanan 10 ml larutan asam borat 2% dalam erlenmeyer 200 ml yang telah diberi beberapa tetes indikator mensel. Larutan kemudian didistilasi hingga diperoleh volume larutan dua kali semula. Selanjutnya dilakukan titrasi menggunakan H 2SO4 0,02 N hingga larutan berwarna merah muda. Prosedur yang sama dilakukan untuk blanko (tanpa sampel). Kadar protein kasar dihitung dengan rumus berikut: % =
%
Keterangan: a = selisih ml H2SO4 yang digunakan untuk titrasi blanko dan sampel N = normalitas H2SO4 standar yang digunakan 5. Kadar serat kasar Sampel sebanyak 2 gram dimasukan kedalam erlenmeyer 500 ml kemudian ditambahkan 100 ml H2SO4 0,325 N dan dihidrolisis dengan otoklaf pada suhu 105OC selama 15 menit. Kemudian ditambahkan lagi dengan 50 ml NaOH 1,25 N dan dihidrolisis kembali. Sampel dalam keadaan panas disaring dengan kertas Whatman No. 40 yang telah diketahui bobot keringnya. Kertas saring yang digunakan dicuci berturut- turut dengan air panas, 25 ml H2SO4 0,325 N dan etanol 95%. Kemudian dikeringkan di dalam oven bersuhu 105OC sampai bobotnya konstan. Kertas saring didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar serat kasar dihitung dengan rumus berikut: Kadar serat kasar (%) =
x 100%
6. Kadar karbohidrat by diffrence Kadar karbohidrat ditentukan dengan metode by difference yaitu dengan perhitungan melibatkan kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak. Kadar karbohidrat (%) = 100%–(%k.air+%k.abu+%k.protein+%k.lemak)
21 Lampiran 2 Metode Analisa Komponen Serat Van Soest 1. Acid detergent fiber (ADF) Sampel sebanyak 0,3 gram dimasukkan ke dalam tabung reaksi 50 ml dan ditambahkan 40 ml larutan ADF. Kemudian direfluks dalam air mendidih selama 1 jam. Sampel kemudian disaring dengan sintered glass yang telah diketahui beratnya sambil diisap dengan pompa vacum. Residu dicuci dengan 100 ml air mendidih hingga busa menghilang dan dicuci dengan 50 ml alkohol, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105OC selama 8 jam. Didinginkan di dalam desikator selama 30 menit kemudian ditimbang. Pengeringan terus dilakukan hingga diperoleh berat yang konstan. Kadar ADF dapat dihitung dengan persamaan: Kadar ADF (%) =
%
Keterangan: a = berat awal sampel (g) b = berat sintered glass (g) c = berat sintered glass dan residu setelah dikeringkan (g) 2. Neutral detergent fiber (NDF) Sampel sebanyak 0,3 gram dimasukkan ke dalam tabung reaksi 50 ml dan ditambahkan 25 ml larutan NDF. Kemudian sampel direfluks dalam air mendidih selama 1 jam. Sampel kemudian disaring dengan sintered glass yang telah diketahui beratnya sambil diisap dengan pompa vacum. Residu dicuci dengan 100 ml air mendidih hingga busa menghilang dan dicuci dengan 50 ml alkohol, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105OC selama 8 jam. Didinginkan di dalam desikator selama 30 menit kemudian ditimbang. Pengeringan terus dilakukan hingga diperoleh berat yang konstan. Kadar NDF dapat dihitung dengan persamaan: Kadar ADF (%) =
%
Keterangan: a = berat awal sampel (g) b = berat sintered glass (g) c = berat sintered glass dan residu setelah dikeringkan (g) 3. Kadar hemiselulosa Kadar hemiselulosa dapat diketahui dari selisih kadar NDF dan ADF, seperti persamaan berikut: Kadar hemiselulosa (%) = % NDF - % ADF 4. Kadar selulosa Sintered glass yang berisi ADF diletakan di atas petridisk lalu ditambahkan 20 ml H2SO4 72% dan didiamkan selama 3 jam. Kemudian sampel dihisap dengan pompa vakum sambil dibilas dengan air panas. Sampel kemudian di oven pada suhu 105OC selama 8 jam hingga berat stabil dan
22 didinginkan dalam desikator serta ditimbang. Kadar selulosa dapat dihitung dengan persamaan: Kadar selulosa (%) =
%
Keterangan: a = berat awal sampel (g) c = berat sampel setelah analisa ADF (g) d = berat sampel akhir (g) 5. Kadar lignin Sampel dari analisa kadar selulosa ditanur pada suhu 500OC selama 2 jam dan didinginkan dalam desikator selama 30 menit. Sampel kemudian ditimbang. Kadar lignin dapat dihitung dengan persamaan berikut:
Kadar lignin (%) = Keterangan: a = berat awal sampel (g) d = berat sampel sebelum ditanur (g) e = berat sam setelah ditanur (g)
%
23 Lampiran 3 Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan pada nilai laju transmisi uap air a. Hasil analisis ragam laju transmisi uap air Source
DF
Anova SS
Gliserol 1 224.2521225 NS 3 224.2521225 Gliserol*NS 3 5.2858069 Error 8 6.7473678 Total 15 248.5793600 *berpengaruh nyata pada α = 0,05
Mean Square 224.2521225 4.0980209 1.7619356 0.8434210
F Value
Pr > F
265.88 4.86 2.09
<.0001* 0.0328* 0.1801
b. Hasil uji lanjut Duncan Duncan Grouping Mean N Source A 15.7334 2 SPG25NF0 A 14.4833 2 SPG25NF3 B A 13.7167 2 SPG25NF1 B 12.8500 2 SPG25NF5 C 7.7167 2 SPG0NF1 C 7.4667 2 SPG0NF3 D C 6.5833 2 SPG0NF0 D 5.0667 2 SPG0NF5 *huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada α = 0,05
Lampiran 4 Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan pada nilai transmisi cahaya a. Hasil analisis ragam transmisi cahaya Source
DF
Anova SS
Gliserol 1 4.59566406 NS 3 95.38732369 Gliserol*NS 3 85.16726619 Error 8 6.8892105 Total 15 192.0394644 *berpengaruh nyata pada α = 0,05
Mean Square 4.59566406 31.79577456 28.38908873 0.8611513
F Value
Pr > F
5.34 36.92 32.97
0.0497* <.0001* <.0001*
24 b. Hasil uji lanjut Duncan Duncan Grouping Mean N Source A 21.9095 2 SPG25NF0 B 18.8520 2 SPG0NF5 C 14.8495 2 SPG25NF3 C 14.5780 2 SPG0NF0 D C 13.2500 2 SPG25NF5 D C 12.7465 2 SPG0NF3 D 11.9435 2 SPG25NF1 D 11.4885 2 SPG0NF1 *huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada α = 0,05
Lampiran 5 Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan pada nilai kuat tarik a. Hasil analisis ragam kuat tarik Source
DF
Anova SS
Gliserol 1 9554.207207 NS 3 84.252222 Gliserol*NS 3 45.694868 Error 8 193.518264 Total 15 9877.672560 *berpengaruh nyata pada α = 0,05
Mean Square 9554.207207 28.084074 15.231623 24.189783
F Value
Pr > F
394.97 1.16 0.63
<.0001* 0.3828 0.6161
b. Hasil uji lanjut Duncan Duncan Grouping Mean N Source A 56.748 2 SPG0NF1 A 51.528 2 SPG0NF0 A 48.304 2 SPG0NF3 A 46.589 2 SPG0NF5 B 3.479 2 SPG25NF5 B 2.474 2 SPG25NF3 B 1.120 2 SPG25NF1 B 0.605 2 SPG25NF0 *huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada α = 0,05
25 Lampiran 6 Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan pada nilai elongasi a. Hasil analisis ragam elongasi Source
DF
Anova SS
Gliserol 1 2023.126184 NS 3 481.876592 Gliserol*NS 3 348.386815 Error 8 64.491338 Total 15 2917.880929 * berpengaruh nyata pada α = 0,05
Mean Square 2023.126184 160.625531 116.128938 8.061417
F Value
Pr > F
250.96 19.93 14.41
<.0001* 0.0005* 0.0014*
b. Hasil uji lanjut Duncan Duncan Grouping Mean N Source A 40.934 2 SPG25NF0 A 35.363 2 SPG25NF1 B 22.556 2 SPG25NF3 C 15.353 2 SPG25NF5 D 7.758 2 SPG0NF1 D 6.096 2 SPG0NF0 D 5.865 2 SPG0NF3 D 4.530 2 SPG0NF5 *huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada α = 0,05 Lampiran 7 Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan pada nilai young’s modulus a. Hasil analisis ragam young’s modulus Source
DF
Anova SS
Gliserol 1 13.16837088 NS 3 0.94458618 Gliserol*NS 3 0.83760704 Error 8 1.10920776 Total 15 16.05977187 * berpengaruh nyata pada α = 0,05
Mean Square 13.16837088 0.31486206 0.27920235 0.13865097
F Value
Pr > F
94.97 2.27 2.01
<.0001* 0.1573 0.1907
26 Hasil uji lanjut Duncan Duncan Grouping Mean N Source A 2.5756 2 SPG0NF5 B A 1.7929 2 SPG0NF0 B A 1.6974 2 SPG0NF3 B 1.2686 2 SPG0NF1 C 0.0450 2 SPG25NF5 C 0.0230 2 SPG25NF3 C 0.0060 2 SPG25NF1 C 0.0029 2 SPG25NF0 *huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada α = 0,05
27
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 17 Mei 1994 dari pasangan Poltak Napitupulu dan Korlina Situngkir. Penulis adalah putri kedua dari tiga bersaudara. Tahun 2012 penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 4 Bogor dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi jalur undangan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Fakultas Teknologi Pertanian, Departemen Teknologi Industri Pertanian. Selama berkuliah di Institut Pertanian Bogor penulis tergabung dalam organisasi Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) dan Badan Pengawas Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN). Penulis juga pernah menjadi asisten pada mata kuliah Agama Kristen pada tahun 2015 serta asisten praktikum pada mata kuliah Analisis Bahan dan Produk Agroindustri juga pada mata kuliah Serat, Karet, Gum dan Resin di tahun 2016. Penulis juga merupakan penerima beasiswa Tanoto Foundation Angkatan 2012.