AKTIVITAS LAKASE Pleurotus ostreatus PADA PELEPAH SAWIT DAN TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (TKKS) SEBAGAI SUBSTRAT
RIZKY APRIYANI
DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aktivitas Lakase Pleurotus ostreatus pada Pelepah Sawit dan Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) sebagai Substrat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2014 Rizky Apriyani NIM G34100069
ABSTRAK RIZKY APRIYANI. Aktivitas Lakase Pleurotus ostreatus pada Pelepah Sawit dan Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) sebagai Substrat. Dibimbing oleh ANJA MERYANDINI dan HAPPY WIDIASTUTI. Limbah pelepah sawit dan tandan kosong kelapa sawit (TKKS) meningkat jumlahnya tiap tahun. Limbah tersebut belum dimanfaatkan secara optimum. Limbah ini mengandung lignoselulosa. Pleurotus ostreatus dapat mendegradasi lignoselulosa, karena adanya enzim ligninolitik yang dihasilkan, salah satunya lakase. Penelitian ini bertujuan mengetahui aktivitas lakase P.ostreatus menghidrolisis substrat pelepah sawit dan TKKS. Isolat P.ostreatus didapatkan dari baglog SEAMEO Biotrop dan Gadog. Aktivitas lakase pada media pelepah sawit dan media TKKS yang diinkubasi JTG lebih baik dibandingkan dengan aktivitas lakase di media pelepah sawit dan TKKS yang diinkubasi oleh JTB. Aktivitas lakase di media pelepah sawit yang diinkubasi JTG sebesar 1,024 U/ml pada hari ke-30, dan aktivitas lakase meningkat menjadi 2,002 U/ml pada hari ke35. Aktivitas lakase di media TKKS setelah 30 hari diinkubasi oleh JTG yaitu 1,561 U/ml, dan pada hari ke-35 tidak dijumpai aktivitas lakase baik pada media TKKS yang diinkubasi JTB maupun JTG. Kadar protein pada media pelepah yang diinkubasi JTG yaitu sebesar 9,009 mg/ml pada hari ke-30, dan kadar protein meningkat menjadi 11,371 mg/ml pada hari ke 35. Kadar protein di media pelepah sawit yang diinkubasi JTG lebih baik dibandingkan dengan kadar protein di media pelepah sawit yang diinkubasi oleh JTB. Kadar protein pada media TKKS yang diinkubasi JTG sebesar 14,535 mg/ml di hari ke-30. Substrat pelepah sawit dan TKKS berwarna coklat muda setelah diinkubasi selama 30 hari. Tekstur pelepah sawit menjadi remah dan TKKS lebih mudah diuraikan. Kata kunci: Pleurotus ostreatus, lakase, pelepah sawit, TKKS.
ABSTRACT RIZKY APRIYANI. Laccase Activity of Pleurotus ostreatus with Midrib Of Oil Palm and Empty Fruit Bunches Of Oil Palm (EFB) As Substrate. Supervised by ANJA MERYANDINI and HAPPY WIDIASTUTI. Volume of midrib of oil palm and empty fruit bunches of oil palm (EFB) increase every year. This wastes haven’t been used optimumly. Wastes contain lignocellulosic. Pleurotus ostreatus can degradation of lignocellulosic material, because it has ligninolytic enzymes. One of the ligninolytic enzyme is laccase. This research is aimed to know the laccase activity from two strains of P.ostreatus to hydrolisis substrat of midrib and EFB. Isolate P.ostreatus were isolated from SEAMEO Biotrop baglog and Gadok baglog. Laccase activity in midrib media and EFB media which incubated by JTG was better than incubated by JTB. The laccase activity in midrib media which incubated by JTG was 1,024 U/ml at 30 days, and laccase activity increased 2,002 U/ml at 35. The laccase activity in EFB media which incubated by JTG was 1,561 U/ml at 30 days, and there weren’t
laccase activity in EFB media which incubated by JTB and JTG at 35 days after incubation. Protein in midrib media which incubated by JTG was 9,009 mg/ml at 30 days, and increased to 11,371 mg/ml at 35 days. Protein in midrib media which incubated by JTG better than protein in midrib media which incubated by JTB. Protein EFB media which incubated by JTG was 14,535 mg/ml at 30 days. The substrate midrib of oil palm and EFB of oil palm colored light brown after incubation 30 days. The tekstur of substrate midrib of oil palm was crumby. The empty fruit bunches of oil palm tekstur was easier to become apart. Keywords: Pleurotus ostreatus, laccase, midrib of oil palm, Empty fruit bunches of oil palm (EFB).
AKTIVITAS LAKASE Pleurotus ostreatus PADA PELEPAH SAWIT DAN TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (TKKS) SEBAGAI SUBSTRAT
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Biologi
DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Aktivitas Lakase Pleurotus ostreatus pada Pelepah Sawit dan Tandan Kosong Kelapa Sawit sebagai Substrat. Nama : Rizky Apriyani NIM : G34100069
Disetujui oleh
Prof Dr Anja Meryandini,MS Pembimbing I
Dr Happy Widiastuti,MSi Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Ir Iman Rusmana, MSi Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi dan Lingkungan serta Laboratorium Kimia Pangan, Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia (BPBPI), Laboratorium PPSHB (Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi), dan Mikrobiologi Departemen Biologi IPB. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini adalah “Aktivitas Lakase Pleurotus ostreatus pada Pelepah Sawit dan Tandan Kosong Kelapa Sawit sebagai Substrat”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof Dr Anja Meryandini MS, Dr Happy Widiastuti MSi atas kesabarannya dalam memberikan bimbingan, ilmu, saran, dan telah meluangkan waktunya selama pelaksanaan kegiatan penelitian. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Dr Muhadiono MSc selaku penguji, yang telah banyak memberikan saran – saran, sehingga karya ilmiah ini menjadi lebih baik lagi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ir Suharyanto MSi dan seluruh staf teknisi BPBPI yang telah membantu selama penelitian (Ibu Irma, Ibu Ning, Pak Jumino, Kak Muti, Kak Syarif, Kak Prita, Mba Eka, Mas Ari, Ka Mela), dan ucapan terima kasih kepada Ibu Dewi atas saran – saran dan bimbingannya di laboratorium PPSHB, Ika Suciati, Lia Asyariah yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, seluruh keluarga tercinta, serta teman rekan kerja Anastasia Noeng atas kerjasama, kebersamaan, kehangatan dan kekompakannya. Penulis menyadari penyusunan usulan penelitian ini tidak lepas dari kesalahan dan kekurangan. Kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan demi kesempurnaan pelaksanaan penelitian ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi para pembaca dan bagi ilmu pengetahuan khususnya bidang biologi.
Bogor, Agustus 2014 Rizky Apriyani
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
ix
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
METODE
2
Bahan
2
Alat
2
Prosedur Analisis Data
3
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pembahasan SIMPULAN DAN SARAN
6 6 13 18
Simpulan
18
Saran
19
DAFTAR PUSTAKA
19
LAMPIRAN
22
RIWAYAT HIDUP
24
DAFTAR TABEL 1 Bobot basah (W0), bobot kering (W1), dan selisih bobot basah dan kering (W) media tumbuh masing-masing P.ostreatus setelah diinkubasi selama 30 hari 2 Nilai pH media masing-masing P.ostreatus pada hari ke-0 (H0) dan hari ke-30 (H30) setelah diinkubasi 3 Kadar protein media tumbuh pada hari ke-30 dan 35 setelah diinkubasi oleh P.ostreatus 4 Kadar C dan N masing-masing media tumbuh setelah diinkubasi P.ostreatus dengan perlakuan kering 5 Kadar C dan N masing-masing media tumbuh setelah diinkubasi P.ostreatus dengan perlakuan basah
8 10 11 11 12
DAFTAR GAMBAR 1 Baglog P.ostreatus. Berasal dari (A).Biotrop dan (B).Gadog 2 Isolat dan inokulum P.ostreatus. Penyimpanan isolat di (A).cawan, (B).agar miring. Media jagung (C).sebelum diinokulasi dan (D).7 hari setelah diinokulasi P.ostreatus 3 Kondisi media tumbuh P.ostreatus. Media (A).pelepah sawit, (B).TKKS sebelum diinokulasi P.ostreatus dan media (C).pelepah sawit, (D) TKKS setelah 30 hari diinokulasi P.ostreatus 4 Morfologi hifa P.ostreatus perbesaran 40x10. (A).Biotrop dan (B). Gadog 5 Keberadaan enzim ligninolitik ditunjukkan adanya zona merah di media alkali lignin setelah 5 hari diinokulasi P.ostreatus (A).JTB dan (B).JTG 6 Aktivitas enzim lakase pada media pelepah sawit dan TKKS yang diinokulasi P.ostreatus Biotrop pada hari ke-30 dan 35 setelah diinkubasi 7 Aktivitas enzim lakase pada media pelepah sawit dan TKKS yang diinokulasi P.ostreatus Gadog pada hari ke-30 dan 35 setelah diinkubasi 8 Tekstur dan warna media pelepah sawit.(A).sebelum dan setelah 30 hari diinokulasi oleh (B). P.ostreatus Biotrop serta (C). P.ostreatus Gadog 9 Tekstur dan warna media pelepah sawit.(A).sebelum dan setelah 30 hari diinokulasi oleh (B). P.ostreatus Biotrop serta (C). P.ostreatus Gadog
6
7
7 8 9
9
10 12 13
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5
Aktivitas lakase pada hari ke 30 Aktivitas lakase pada hari ke 35 Kurva standar protein dengan metode bradford Komposisi media alkali lignin Analisis kualitatif in vitro xilanase dan selulase
22 22 22 23 23
PENDAHULUAN
Luas areal pertanaman kelapa sawit meningkat sebesar 27,31% pada tahun 2010 dan setiap tahun areal pertanaman kelapa sawit serta produksi minyaknya juga selalu meningkat (Sentana dan Subroto 2010), hal ini akan diikuti dengan peningkatan jumlah pelepah sawit dan tandan kosong kelapa sawit. Limbah tersebut belum dimanfaatkan secara optimal. Produksi TKKS di Indonesia setiap tahunnya sekitar 9,5 juta ton tandan kosong kelapa sawit (hasil perhitungan dari data Deptan 2002) dan jumlah ini akan terus meningkat seiring dengan pertambahan luas areal perkebunan kelapa sawit. Salah satu pemanfaatan pelepah sawit, digunakan sebagai pakan ternak (Elisabeth dan Ginting 2003), sedangkan TKKS dimanfaatkan sebagai pupuk atau kompos (Sentana dan Subroto 2010). Pelepah sawit dan TKKS mengandung lignoselulosa, sehingga memungkinkan untuk menjadi substrat jamur tiram (P.ostreatus). Jamur tiram termasuk dalam jamur pelapuk putih (white rot fungus) yang memiliki kemampuan untuk mendegradasi lignin dan selulosa (Sigit 2008). Kemampuan jamur tiram dalam mendegradasi lignoselulosa tidak terlepas dari peran enzim ligninolitik yang dihasilkannya. Enzim ligninolitik terdiri atas lakase, mangan peroksidase, dan lignin peroksidase (Ariningsih 2006). Enzim lakase adalah enzim yang dapat mereduksi oksigen menjadi air melalui reaksi kopling oksidasi dan reduksi sekaligus yang membutuhkan mediator untuk mengembalikan fungsi enzim tersebut ke bentuk semula (Cahyana 2005). Pemanfaatan lakase antara lain, untuk mendegradasi lignin (Eggert 1997), dan agen biokatalis antioksidan senyawa dari guaiakol (Cahyana dan Wulandari 2006). Lakase juga digunakan sebagai bleaching pada proses biodeglinifikasi pada pulp industri kertas (Sigit 2008) Penelitian mengenai aktivitas lakase dari beberapa P.ostreatus pada pelepah sawit dan tandan kosong kelapa sawit sebagai substrat masih terbatas. Aktivitas enzim ligninolitik selama pertumbuhan dan perkembangan tubuh buah jamur pelapuk putih Omphalina sp. dan P.osteratus di media TKKS telah dilakukan, dengan hasil berupa aktivitas lakase bergantung pada fase tumbuh P.osteratus, dengan aktivitas tertinggi pada minggu ketiga setelah diinkubasi (Widiastuti et al. 2008). Aktivitas lakase dari P.ostreatus di media sludge, memiliki aktivitas optimum pada minggu keenam setelah diinkubasi (Sigit 2008).
Perumusan Masalah Penelitian mengenai aktivitas lakase dari beberapa P.ostreatus pada pelepah sawit dan tandan kosong kelapa sawit sebagai substrat masih sangat terbatas. Setiap P.ostreatus memiliki karakteristik yang berbeda-beda dalam mensekresikan lakase, begitu juga perbedaan media tumbuh mempengaruhi aktivitas lakase. Aktivitas lakase juga sangat berkolerasi dengan waktu dari inkubasi.
2 Tujuan Penelitian Menganalisis aktivitas lakase dari isolat P.ostreatus Biotrop (JTB) dan P. ostreatus Gadog (JTG) pada pelepah sawit dan tandan kosong kelapa sawit.
Manfaaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat mempelajari aktivitas lakase pada P.ostreatus di media tumbuh berupa pelepah sawit dan TKKS di hari ke-30 dan ke-35 setelah diinkubasi.
METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Juni 2014 di Laboratorium Mikrobiologi dan Lingkungan serta Laboratorium Kimia Pangan, Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia (BPBPI), Laboratorium PPSHB (Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi), dan Mikrobiologi Departemen Biologi IPB. Bahan Bahan yang digunakan adalah isolat jamur P.ostreatus (dari SEAMEO Biotrop dan Gadog), pelepah sawit, tandan kosong kelapa sawit, dedak, gipsum, kapur, ABTS 1 Mm, bufer fosfat 0,2 M pH 7, bufer asetat 0,5 M pH 5, PDA, K2HPO4, MgSO4.7H2O, KCl, NaNO3, ekstrak khamir, ekstrak malt, agar – agar , aquades, guaiakol, alkali lignin, kloramfenikol, KOH, dan larutan Bradford.
Alat Peralatan yang digunakan yaitu biosafety cabinet, autoklaf, pH meter, spektrofotometer UV-Vis, neraca analitik, mortar, sentrifus, digestion apparatus, unit destilator, dan mikroskop cahaya.
3 Prosedur Analisis Data Isolasi Pleurotus ostreatus dari baglog Isolat P.ostreatus diisolasi dari baglog SEAMEO Biotrop dan Gadog. Baglog dipotong bagian atasnya dengan pisau steril di dalam biosafety cabinet. Miselium diambil dengan pinset steril di bagian tengah baglog, kemudian diletakkan pada cawan yang berisi media PDA di dalam biosafety cabinet. Inkubasi dilakukan selama 72 jam (tiga hari).
Pemurnian dan pembuatan inokulum Pleurotus ostreatus Isolat P.ostreatus diinokulasi kembali ke media PDA di cawan dan agar miring pada tahap pemurnian. Jamur yang tumbuh di cawan, dipotong dadu dan dipindahkan ke biji jagung pecah steril di dalam botol jam dan diinkubasi selama satu minggu, kemudian ditutup dengan alumunium foil.
Pembuatan baglog Pleurotus ostreatus Pelepah sawit dicacah menjadi potongan – potongan kecil berukuran 2 cm. Hasil cacahan dari potongan pelepah sawit tersebut diletakkan di dalam baki, kemudian dikeringkan pada suhu 700 C selama 48 jam. Cacahan dari potongan pelepah sawit yang telah kering, digiling sampai ukurannya 30 mes, menggunakan mesin penggiling. Serbuk pelepah sawit (82%) dicampur dengan dedak (15%), gipsum (1,5%), dan kapur (1,5%). Semua bahan ditambahkan dengan air hingga kadar airnya 70% (media dapat dikepal). Pengisian media sekitar ¾ botol jam dan dipadatkan, kemudian ditutup dengan kapas dan alumunium foil. Media tanam disterilisasi kemudian didinginkan 24 jam, hingga siap diinokulasi. Tandan kosong kelapa sawit yang telah berbentuk serat (fiber), dibersihkan menggunakan air, kemudian dikeringkan. Pembuatan media dari tandan kosong kelapa sawit (TKKS), yaitu TKKS (63,60%), dedak (30,34%), gipsum (3,03%), dan kapur (3,03%), kemudian ditambahkan air hingga kadar airnya mencapai 60% (sampai semua bahan saling menyatu). Media tumbuh kemudian disterilisasi dan didinginkan 24 jam, hingga siap diinokulasi. Inokulasi P.ostreatus pada media pelepah sawit dan TKKS dilakukan secara aseptik dengan cara dilubangi sedikit pada bagian tengah, dimasukkan inokulum sebanyak 5-6 butir jagung, lalu ditutup dan dipadatkan. Kapas dimasukkan kembali dan ditutup dengan alumunium foil. Setelah diinokulasi, bibit diinkubasi sampai tumbuh miselium rata-rata sekitar 20-30 hari. Pengamatan morfologi hifa Pleurotus ostreatus Miselium P.ostreatus Biotrop dan Gadog diambil dengan menggunakan ose, kemudian diletakkan pada gelas objek ditambahkan sedikit air, kemudian diamati dengan mikroskop pada perbesaran 40x10.
4 Analisis bobot media tumbuh Pleurotus ostreatus Sample media pelepah dan TKKS ditimbang 30 hari sebelum dan setelah inokulasi. Bobot basah didapatkan dengan menimbang sample tanpa perlakuan apa pun, sedangkan bobot kering didapatkan setelah sample dikeringkan pada suhu 1000C di dalam oven selama 24 jam, kemudian ditimbang.
Analisis kualitatif enzim ligninolitik secara in vintro Media alkali lignin dibuat dari campuran K2HPO4 (1,0 g), MgSO4.7H2O (0,2 g), KCl (0,2 g), NaNO3 (2 g), ekstrak khamir (0,2 g),ekstrak malt (1,0 g), agar - agar (18 g), aquades (1000 ml), kemudian disterilisasi. Media yang telah disterilisasi ditambahkan guaiakol (0,4 ml), alkali lignin (1,0 g), KOH (1 butir dilarutkan dengan 10 ml air dalam lemari asam). Campuran media tersebut ditambahkan kloramfenikol 0,5 g.
Analisis aktivitas lakase Ekstraksi enzim dilakukan dengan menimbang sebanyak 10 gram media (pelepah sawit dan TKKS), ditambah 20 ml bufer fosfat 0,2 M pH 7. Media diaduk di dalam mortar dan disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm pada suhu 40C selama 10 menit. Apabila filtrat masih keruh dilakukan sentrifugasi kembali sampai benar- benar jernih. Aktivitas enzim lakase. Bufer asetat 1,5 M pH 5 dicampurkan dengan 1mM ABTS (2,2-azino-bis-3-ethlybenzothiazoline-6-sulphonic acid) sebanyak 0,3 ml. Filtrat enzim sebanyak 1,2 ml ditambahkan saat akan diukur, dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm. Pengukuran dilakukan pada 0 menit dan 30 menit. Pengukuran aktivitas lakase menurut (Buswell et al. 1996) (At−A0)×Vtotal ml×106 Aktivitas enzim lakase = εmaks ×d× Volume enzim ml ×t Keterangan At : Absorbansi pada waktu ke 30 menit A0 : Absorbansi pada waktu ke 0 menit V total : Volume total seluruh filtrat 𝜀𝑚𝑎𝑘𝑠 : Absorptivitas molar ABTS (36000 M-1 cm-1) 𝑑 : Tebal kuvet (cm) t : Waktu inkubasi (s) Satu unit aktivitas lakase (U/ml) didefinisikan sebagai jumlah enzim lakase yang dioksidasi oleh 1 µmol senyawa ABTS (2,2-azino-bis-3ethlybenzothiazoline6-sulphonic acid) per menit setiap 1 ml pada suhu 370C (Buswell et al. 1996).
5 Analisis pH media tumbuh Pleurotus ostreatus Sebanyak 10 gram media (pelepah sawit dan TKKS) ditimbang, kemudian ditambahkan aquades sebanyak 100 ml. Media dilarutkan dan diukur menggunakan pH meter. Pengukuran media dilakukan sebelum dan 30 hari setelah diinokulasi oleh P.ostreatus.
Kadar protein (Bradford) Kadar protein diukur mengikuti metode Bradford (1976). Sebanyak 0,4 ml enzim ekstrak kasar ditambahkan 4 ml larutan Bradford, dikocok kuat lalu didiamkan kurang lebih 15 menit. Suspensi tersebut dibaca pada panjang gelombang 595 nm. Standar protein yang digunakan ialah bovin serum albumin (BSA) dengan konsentrasi 0,01 – 0,10 mg/ml (Meryandini et al. 2008).
Analisis kadar nitrogen (N) media tumbuh Pleurotus ostreatus Analisis kadar nitrogen dilakukan dengan menggunakan variasi perlakuan awal sample yaitu perlakuan kering dan perlakuan basah. Perlakuan kering yaitu, sample dikeringkan pada suhu 1000C dalam oven selama 24 jam, lalu dihaluskan substratnya dan dianalisis kadar nitrogennya, sedangkan perlakuan basah yaitu, sample direndam dengan air selama 10 menit, dan dikeringkan pada suhu 1000C di dalam oven selama 24 jam, lalu dihaluskan substratnya dan dianalisis kadar nitrogennya. Sebanyak 0,50 gram media (pelepah dan TKKS) ditimbang, kemudian dihaluskan dan dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, ditambahkan 1,0 gram selenium mixture, dan 5 ml H2SO4 pa, dikocok hingga merata dan biarkan selama 24 jam. Larutan dari substrat media didestruksi sempurna dengan suhu bertahap dari (150-350)0C, hingga diperoleh cairan jernih selama 3-3,5 jam. Larutan tersebut diencerkan dengan sedikit aquades setelah larutan dingin, agar tidak mengkristal. Larutan yang telah diencerkan dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu didih destilator volume 250 ml, kemudian ditambahkan NaOH 20% sebanyak 20 ml sedikit demi sedikit, dan ditambahkan kembali aquades sekitar 20 ml, kemudian larutan tersebut akan didestilasi dan ditampung dalam erlenmeyer volume 100 ml dengan 20 ml asam borat 1% yang telah ditambahkan indikator conway sebanyak tiga tetes. Hasil dari destilasi dititrasi menggunakan H2SO4 (Eviati dan Sulaeman 2009). ml filtrasi x NH2 SO4 x 14 x100% Kadar N(%) = mg contoh
Analisis kadar karbon (C) media tumbuh Pleurotus ostreatus Analisis kadar karbon dilakukan dengan menggunakan variasi perlakuan awal sample yaitu perlakuan kering dan perlakuan basah. Perlakuan kering yaitu, sample dikeringkan pada suhu 1000C dalam oven selama 24 jam, lalu dihaluskan substratnya dan dianalisis kadar karbonnya, sedangkan perlakuan basah yaitu,
6 sample direndam dengan air selama 10 menit, dan dikeringkan pada suhu 1000C di dalam oven selama 24 jam, lalu dihaluskan substratnya serta dianalisis kadar karbonnya. Sebanyak 0,05 gram substrat media (pelepah sawit dan TKKS) ditimbang, dan dihaluskan, kemudian dimasukkan ke dalam labu takar volume 100 ml. Substrat media ditambahkan berturut-turut 5 ml larutan K2Cr2O7 1N dan 7 ml H2SO4 pa 98%. Larutan tersebut dipanaskan pada suhu 1000C dalam penangas selama 2,5 jam, kemudian didinginkan selama 2 jam. Larutan disimpan di tempat yang gelap selama 24 jam. Larutan diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 561 (Eviati dan Sulaeman 2009). Kadar C (%) =
ppm x 100 ml x100% gram sample x106
Tekstur dan warna media tumbuh Pleurotus ostreatus Substrat pelepah sawit dan TKKS diamati perubahan tekstur serta warnanya, sebelum dan setelah diinkubasi selama 30 hari. Pengamatan dilakukan dengan mendokumentasikan perubahan warna substrat dan tekstur dari sample substrat pelepah sawit dan TKKS.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Isolasi Pleurotus ostreatus dari baglog Isolat P.ostreatus Biotrop (JTB) diisolasi dari baglog yang berasal dari SEAMEO Biotrop, sedangkan Isolat P.ostreatus Gadog (JTG) diisolasi dari baglog yang berasal dari Gadog, Puncak Bogor (Gambar 1 menunjukkan pertumbuhan kedua jamur tiram).
A
B
Gambar 1 Baglog P.ostreatus. Berasal dari (A).Biotrop dan (B).Gadog
7
Pemurnian dan pembuatan inokulum jamur tiram (Pleurotus ostreatus) Pemurnian P.ostreatus Biotrop dan Gadog dilakukan pada media PDA. Pembuatan bibit P.ostreatus Biotrop dan Gadog menggunakan jagung. Pertumbuhan awal terlihat pada hari ke 2-3, dan jagung tertutupi seluruhnya oleh miselium pada hari ke-7 setelah diinokulasi (Gambar 2).
A
C
B
D
Gambar 2 Isolat dan inokulum P.ostreatus. Penyimpanan isolat di (A).cawan, (B).agar miring. Media jagung (C) sebelum diinokulasi dan (D).7 hari setelah diinokulasi P.ostreatus
Pembuatan baglog Pleurotus ostreatus Inokulum P.ostreatus Biotrop dan Gadog masing-masing ditanam pada media yang mengandung pelepah sawit dan (TKKS), dengan penambahan dedak, kapur, dan gipsum untuk mendukung pertumbuhan jamur tiram. Pertumbuhan P.ostreatus yang paling cepat terjadi pada media TKKS, sekitar tiga hari media telah ditumbuhi miselium, sedangkan media pelepah sawit menunjukkan pertumbuhan miselium sekitar 7-10 hari. Gambar 3 menunjukkan media pelepah sawit dan TKKS sebelum dan setelah diinkubasi.
A
B
C
D
Gambar 3 Kondisi media tumbuh P.ostreatus. Media (A).pelepah sawit, (B).TKKS sebelum diinokulasi P.ostreatus, dan media (C).pelepah sawit, (D) TKKS setelah 30 hari diinokulasi P.ostreatus
8 Morfologi hifa Pleurotus ostreatus Karakter morfologi dari hifa P.ostreatus Biotrop dan P.ostreatus Gadog (Gambar 4) memiliki hifa yang bersekat (septat) (Gambar 4).
B
A
Gambar 4 Morfologi hifa P.ostreatus perbesaran 40 x10. (A) Biotrop dan (B) Gadog
Bobot media tumbuh Pleurotus ostreatus Bobot basah dan bobot kering baik di media pelepah sawit maupun media TKKS, lebih kecil dibandingkan dengan kontrol, setelah 30 hari diinkubasi baik oleh JTB maupun JTG. Isolat JTG pada media pelepah sawit dan media TKKS menunjukkan selisih antara bobot kering dan bobot basah (W) yang lebih besar, dibandingkan dengan JTB. Nilai (W) pada media pelepah JTG sebesar 98,10 dan 62,20 di media TKKS JTG (Tabel 1). Tabel 1 Bobot basah (W0), bobot kering (W1), dan selisih bobot basah dan kering (W) media tumbuh masing-masing P.ostreatus setelah diinkubasi selama 30 hari Isolat Kontrol JTB JTG
Media pelepah W0 (g) 181,83 158,91 165,16
W1 (g) 139,44 95,91 67,06
Media TKKS W(g) 42,39 63,00 98,10
W0 (g) 142,10 84,00 111,12
W1 (g) 71,57 47,60 48,92
W(g) 70,53 36,40 62,20
Analisis kualitatif enzim ligninolitik secara in vintro P.ostreatus Gadog (JTG) menunjukkan perubahan warna merah pada media alkali lignin pada satu hari setelah diinokulasi, sedangkan P.ostreatus Biotrop (JTB) menunjukkan perubahan warna merah selama lima hari. Hal ini menunjukkan
9 lakase yang mengkatalisis guaiakol pada JTG memiliki waktu optimum untuk mensekresikan lakase yang lebih cepat dibandingkan dengan JTB. Perbedaan lainnya dilihat dari warna yang terbentuk pada hari kelima setelah diinokulasi, JTG berwarna merah pekat dengan diameter zona merah yang lebih besar, dibandingkan dengan JTB berwarna merah muda dengan diameter zona merah yang lebih kecil (Gambar 5). Hal tersebut diduga JTG memiliki aktivitas yang lebih tinggi dibangdingkan dengan JTB pada hari kelima setelah diinkubasi.
A
B
Gambar 5 Keberadaan enzim ligninolitik ditunjukkan adanya zona merah di media alkali lignin setelah 5 hari diinokulasi P.ostreatus. (A) JTB dan (B) JTG
Analisis aktivitas lakase Media pelepah sawit yang telah diinkubasi oleh P.ostreatus Biotrop (JTB), tidak dijumpai aktivitas lakase pada hari ke-30, kemudian terjadi sedikit peningkatan aktivitas lakase yaitu 0,004 U/ml pada hari ke-35. Aktivitas lakase pada media TKKS setelah diinkubasi oleh JTB sebesar 0,01 U/ml pada hari ke-30, sedangkan pada hari ke-35 tidak dijumpai aktivitas lakase, (Gambar 6).
Aktivitas lakase U/ml
0,012 0,01 0,008 0,006 0,004 0,002 0 Pelepah (30 hari)
Pelepah (35 hari)
TKKS (30 hari)
TKKS (35 hari)
Substrat
Gambar 6 Aktivitas enzim lakase pada media pelepah sawit dan TKKS yang diinokulasi P.ostreatus Biotrop pada hari ke-30 dan 35 setelah diinkubasi
10
Media pelepah sawit yang telah diinkubasi oleh P.ostreatus Gadog (JTG) menunjukkan aktivitas lakase sebesar 1,024 U/ml di hari ke-30, dan terjadi peningkatan pada hari ke-35 yakni menjadi 2,002 U/ml. Aktivitas lakase pada media TKKS yang telah diinkubasi oleh JTG selama 30 hari yaitu sebesar 1,561 U/ml, tetapi tidak dijumpai aktivitas lakase pada hari ke-35 setelah diinkubasi (Gambar 7).
Aktivitas lakase U/ml
2,5 2 1,5 1 0,5 0 Pelepah (30 hari)
Pelepah (35 hari)
TKKS (30 hari)
TKKS (35 hari)
Substrat
Gambar 7 Aktivitas enzim lakase pada media pelepah sawit dan TKKS yang diinokulasi P.ostreatus Gadog pada hari ke-30 dan 35 setelah diinkubasi.
Analisis pH media tumbuh Pleurotus ostreatus Peningkatan pH didapatkan pada media pelepah sawit setelah 30 hari diinkubasi oleh JTB dan JTG. Nilai pH yang paling tinggi ditunjukkan oleh isolat JTG di media pelepah sawit sebesar 6,14. Sebaliknya, penurunan nilai pH terjadi pada media TKKS setelah diinkubasi baik JTB maupun JTG. Nilai pH yang tertinggi di media TKKS ditunjukkan juga pada isolat JTG sebesar 5,40 (Tabel 2). Tabel 2 Nilai pH media masing-masing P.ostreatus pada hari ke-0 (H0) dan hari ke-30 (H30) setelah diinkubasi Isolat JTB JTG
pH Media Pelepah H0 H30 5,44 5,75 5,44 6,14
pH Media TKKS H0 H30 5,63 5,24 5,63 5,40
11 Kadar protein (Bradford) Kadar protein diukur berdasarkan metode Bradford. Pembuatan kurva standar protein menggunakan bovin serum albumin (BSA), dengan konsentrasi 0-1 mg/ml. Nilai yang didapatkan dari kurva standar protein yaitu Y=0,0656x-0,0572 (digunakan untuk menghitung kadar protein terlarut) dan R2 =0,9938. Tabel 3 Kadar protein media tumbuh pada hari ke-30 dan 35 setelah diinkubasi oleh P.ostreatus Isolat
JTB JTG
Kadar Protein (mg/ml) Media Pelepah H30 H35 6,913 9,009 9,009 11,371
Kadar Protein (mg/ml) Media TKKS H30 H35 11,638 17,851 17,012 14,535
Kadar protein tertinggi dari media pelepah yaitu pada isolat P.ostreatus Gadog (JTG) sebesar 9,009 mg/ml di hari ke-30 dan 11,371 pada hari ke-35. Kadar protein tertinggi di media TKKS, pada hari ke-30 ditunjukkan oleh isolat JTG sebesar 14,535 mg/ml, dan pada hari ke-35 ditunjukkan oleh isolat JTB sebesar 17,851 mg/ml (Tabel 3).
Analisis rasio karbon dan nitrogen (C/N) Nilai rasio C/N tertinggi di perlakuan kering, didapatkan pada kontrol baik di media pelepah sawit maupun di media TKKS, sedangkan di media pelepah sawit dan TKKS setelah 30 hari diinkubasi JTB dan JTG, menunjukkan penurunan nilai ratio C/N. Nilai rasio C/N terendah pada perlakuan kering didapatkan di media pelepah sawit dan media TKKS setelah 30 hari diinkubasi oleh JTG yaitu sebesar 93,54% dan 39,69% (Tabel 4). Tabel 4 Kadar C dan N masing-masing media tumbuh setelah diinkubasi P.ostreatus dengan perlakuan kering
Isolat Kontrol JTB JTG
Media Pelepah Kadar Kadar Rasio Karbon Nitrogen C/N (%) (%) 41,20 0,33 124,85 36,57 0,35 104,48 36,48 0,39 93,54
Media TKKS Kadar Kadar Karbon Nitrogen (%) (%) 36,44 0,56 28,07 0,47 33,74 0,85
Rasio C/N 65,07 59,72 39,69
Nilai rasio C/N perlakuan basah berbeda dengan perlakuan kering, yaitu kontrol memiliki rasio C/N yang tertinggi pada media pelepah, akan tetapi kontrol
12 pada media TKKS lebih kecil dibandingkan dengan media yang telah diinkubasi oleh JTB selama 30 hari (Tabel 5). Nilai rasio C/N terendah didapatkan pada media pelepah sawit setelah 30 hari diinkubasi oleh JTB sebesar 59,41%, sedangkan nilai rasio C/N terendah di media TKKS setelah 30 hari diinkubasi, ditunjukkan pada media TKKS yang diinkubasi oleh JTG sebesar 53,40% (Tabel 5). Tabel 5 Kadar C dan N masing-masing media tumbuh setelah diinkubasi P.ostreatus dengan perlakuan basah
Isolat Kontrol JTB JTG
Media Pelepah Kadar Kadar Rasio Karbon Nitrogen C/N (%) (%) 35,77 0,35 102,20 36,84 0,62 59,41 36,49 0,38 96,03
Media TKKS Kadar Kadar Karbon Nitrogen (%) (%) 40,62 0,60 40,85 0,52 34,71 0,65
Rasio C/N 67,70 78,56 53,40
Tekstur dan warna media tumbuh Pleurotus ostreatus Media pelepah sebelum diinkubasi berwarna coklat kehitaman dan mudah terpencar, sedangkan tekstur media pelepah setelah diinkubasi selama 30 hari, dengan P.ostreatus Biotrop dan Gadog menunjukkan warna coklat muda dan remah. Warna substrat pelepah sawit yang diinkubasi oleh JTG berwarna coklat muda yang lebih cerah dibandingkan dengan warna substrat JTB (Gambar 8). Tekstur media tandan kosong kelapa sawit (TKKS), sebelum diinkubasi berwarna coklat kehitaman dan sulit diuraikan, sedangkan tekstur media TKKS setelah diinkubasi selama 30 hari dengan P.ostreatus Biotrop dan Gadog menunjukkan warna coklat muda dan lebih mudah diuraikan. Warna substrat media TKKS yang diinkubasi oleh JTG berwarna coklat muda yang lebih cerah dibandingkan dengan warna substrat JTB (Gambar 9).
A
B
C
Gambar 8 Tekstur dan warna media pelepah sawit.(A).sebelum dan setelah 30 hari diinokulasi oleh (B). P.ostreatus Biotrop serta (C). P.ostreatus Gadog.
13
A
C
B
Gambar 9 Tekstur dan warna media TKKS.(A).sebelum dan setelah 30 hari diinokulasi (B).P.ostreatus Biotrop serta (C).P.ostreatus Gadog.
Pembahasan
Isolasi Pleurotus ostreatus dari baglog Isolasi merupakan proses memperoleh cendawan dalam bentuk biakan murni. Kegiatan ini terbagi menjadi dua. Pertama, pemisahan mikroorganisme yang kita inginkan dari baglog SEAMEO Biotrop maupun Gadog atau pemisahan dari mikroorganisme yang bukan tujuan. Kedua, usaha untuk memperoleh mikroorganisme yang diingikan dalam bentuk biakan murni pada media agar miring.
Pemurnian dan pembuatan inokulum jamur tiram (Pleurotus ostreatus) Pemurnian P.ostreatus Biotrop dan Gadog dilakukan pada media PDA. Pembuatan bibit P.ostreatus menggunakan biji-bijian, yaitu jagung, dikarenakan tingkat keberhasilan yang tinggi, murah, dan mudah dalam pembuatannya (Rachmat 2000). Menurut Gunawan (2008), biji-bijian menyediakan nutrisi yang mendukung pertumbuhan miselium P.ostreatus.
Pembuatan baglog Pleurotus ostreatus Penambahan dedak sebagai campuran media tanam berfungsi sebagai sumber karbon dan nitrogen (Soenanto 2000). Karbon digunakan sebagai sumber energi utama, sedangkan nitrogen berfungsi untuk pertumbuhan miselium (Soenanto 2000). Fungsi kapur yang diberikan adalah untuk menaikkan pH media, sehingga mendekati pH netral, sedangkan gipsum memperkokoh media sehingga menyerupai substrat alaminya (Sigit 2008). Pertumbuhan miselium jamur tiram lebih cepat pada media TKKS dibandingkan dengan media pelepah sawit, hal ini dikarenakan takaran dedak yang lebih tinggi sebesar 30,34% di media TKKS dibandingkan dengan media pelepah sawit sebesar 15%. Komposisi dedak yang lebih tinggi di
14 media TKKS dimaksudkan agar substrat TKKS yang berbentuk serat (fiber) dapat tercampur merata dengan dedak. Menurut Suriawira (1986), dedak merupakan bahan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan miselium jamur pelapuk putih, serta menjadi pemacu pertumbuhan tubuh buah jamur karena kaya vitamin terutama vitamin B kompleks. Berdasarkan penelitian Supriyaningsih et al. (2013) semakin besar takaran dedak, maka berat tubuh buah jamur tiram putih semakin besar pula.
Morfologi hifa Pleurotus ostreatus Karakter morfologi dari hifa P.ostreatus Biotrop dan P.ostreatus Gadog (Gambar 4) memiliki hifa yang bersekat (septat). Menurut Alexopoulus dan Mims (1979), jamur tiram termasuk, filum Basidiomycota, kelas Basidiomycetes, ordo Agaricales, famili Agaricea, genus Pleurotus. Filum Basidiomycota mempunyai ciri hifa septat (bersekat), terkadang dilengkapi sambungan apit. Menurut Gunawan (2008), istilah soma pada jamur dikenal sebagai hifa. Hifa dapat dipadankan dengan fase vegetatif pada tumbuhan. Hifa berbentuk benang dan filamen. Hifa dapat tumbuh ke segala arah pada ujung-ujungnya dan pada bagianbagian tertentu tempat cabang dibentuk. Kumpulan hifa yang bercabang dinamakan miselium.
Bobot media tumbuh Pleurotus ostreatus Penurunan bobot basah dan bobot kering baik di media media pelepah sawit maupun di media TKKS terjadi setelah 30 hari diinkubasi dengan P.ostreatus Biotrop dan Gadog (mengacu pada Tabel 1). Penurunan bobot ini menunjukkan adanya aktivitas enzim yang terjadi. Menurut Nurulita (2003), penyusutan bobot dapat terjadi karena adanya proses dekomposisi oleh aktivitas mikroorganisme. Menurut Isroi (2008), bahwa selama proses dekomposisi akan terjadi penyusutan berat. Penyusutan berat disebabkan oleh adanya pembebasan unsur hara dari senyawa organik menjadi senyawa anorganik misalnya protein menjadi amonia (NH3). Berdasarkan penelitian Ishak et al. (2013), penyusutan bokashi terjadi karena pengomposan yang awalnya 2 kg menjadi 1,3 kg, bokashi merupakan pupuk organik yang dihasilkan dari proses fermentasi atau peragian bahan organik. Selisih bobot basah dengan bobot kering (W), menunjukkan banyaknya bobot yang hilang setelah didegradasi oleh P.ostreatus. Berdasarkan Gayang (2013), menyatakan bahwa semakin besar bobot yang hilang maka diduga besar bobot yang hilang merupakan lignin dan bobot yang tersisa merupakan selulosa dan hemiselulosa. Semakin besar bobot yang hilang, diduga akan diikuti dengan penurunan nilai rasio C/N yang besar pula. Selisih bobot basah dengan bobot kering tertinggi, baik di media pelepah sawit maupun media TKKS didapatkan pada media yang telah diinkubasi oleh JTG (Tabel 1). Hal ini dapat diduga, baik media pelepah sawit maupun TKKS yang diinkubasi oleh JTG akan diikuti pula dengan penurunan nilai rasio C/N. Nilai selisih dari bobot basah dan bobot kering (W) yang tinggi, menunjukkan aktivitas enzim yang tinggi pula. Oleh karena itu, isolat JTG dapat mendegradasi pelepah sawit dan TKKS yang lebih baik dibandingkan dengan JTB.
15 Analisis kualitatif enzim ligninolitik secara in vintro Uji kualitatif secara in vitro P.ostreatus pada media alkali lignin bertujuan mengetahui keberadaan enzim ligninolitik, khususnya lakase pada jamur pelapuk putih. Hal ini dikarenakan jamur pelapuk putih memiliki kemampuan dalam mendegradasi lignin. Isolat P.ostreatus Biotrop dan Gadog terbukti memiliki kemampuan untuk mendegradasi lignin, hal ini ditunjukkan dengan terbentuknya zona merah pada media alkali lignin. Menurut Cahyana (2005), zona merah disebabkan terjadinya reaksi guaiakol yang dikatalisis enzim lakase. Guaiakol sebagai substrat akan teroksidasi, karena memperoleh limpahan elektron dari kopling reaksi oksidasi yang berfungsi mengembalikan bentuk semula enzim lakase setelah mereduksi oksigen menjadi air. Akibat dari limpahan elektron tersebut substrat yang mempunyai struktur fenolik akan teroksidasi dan mengalami resonansi karena struktur aromatik yang dimilikinya, kemudian akan saling menstabilkan diri membentuk senyawa baru yang mempunyai sifat fisik yang berbeda dari senyawa awalnya, secara fisis senyawa yang terbentuk berwarna merah. Isolat JTG memiliki aktivitas enzim ligninolitik yang lebih baik dibandingkan dengan JTB. Hal ini ditunjukkan dari diameter zona merah yang lebih besar pada JTG dibandingkan dengan JTB, dan juga zona merah yang lebih pekat pada JTG dibandingkan dengan JTB (Gambar 5).
Analisis aktivitas lakase Aktivitas lakase pada media pelepah sawit setelah 35 hari diinkubasi oleh JTG, memiliki aktivitas yang paling baik dibandingkan dengan aktivitas lakase di media pelepah sawit setelah 30 hari diinkubasi oleh JTG, dan media TKKS setelah 30 dan 35 hari diinkubasi oleh JTB (Gambar 6 dan 7). Aktivitas lakase di media pelepah sawit lebih baik dibandingkan dengan media TKKS. Hal ini diduga, karena pelepah sawit lebih mudah diuraikan dibandingkan dengan TKKS, dilihat dari komposisi lignin di TKKS lebih besar dibandingkan dengan pelepah sawit. Pelepah sawit sebagian besar terdiri dari hemiselulosa (Ginting dan Elizabeth 2014). Menurut Xie et al. (2001) perbedaan aktivitas lakase disebabkan oleh perbedaan media tumbuh. Aktivitas lakase yang paling baik didapatkan pada media yang diinkubasi oleh JTG dibandingkan dengan media yang diinkubasi oleh JTB. Hal ini dapat dilihat dari uji kualitatif enzim ligninolitik secara in vitro di media alkali lignin, menunjukkan isolat JTG memiliki diameter zona merah yang lebih besar dibandingkan dengan diameter zona merah pada isolat JTB. Zona merah menunjukkan keberadaan enzim ligninolitik. Zona merah pada JTG berwarna lebih pekat dibandingakan dengan JTB, hal ini diduga aktivitas enzim ligninolitik di isolat JTG lebih tinggi dibandingkan dengan JTB (Gambar 5). Isolat JTG juga memiliki waktu optimum yang lebih cepat untuk mengsekresikan lakase dibandingkan dengan isolat JTB. Menurut Palonen (2004), lakase mempunyai karakteristik yang berbeda-beda bergantung pada mikroorganisme yang mengsekresikannya. Menurut Widiastuti et al. (2008), aktivitas enzim ligninolitik dipengaruhi oleh substrat yang berkolerasi dengan waktu. Schloserr and Hoefer (2002) aktivitas lakase dipengaruhi oleh kondisi dan umur dari kultur. Aktivitas
16 lakase juga dapat dilihat dari selisih antara bobot basah dan bobot kering, yang menunjukkan bahwa media pelepah sawit yang diinkubasi oleh JTG memiliki nilai selisih yang paling besar dibandingkan dengan media pelepah sawit yang diinkubasi JTB. Selisih tersebut menunjukkan bobot yang hilang akibat adanya proses dekomposisi oleh P.ostreatus. Semakin banyak bobot yang hilang maka semakin tinggi pula aktivitas enzim lakasenya. Oleh karen itu, aktivitas lakase yang terbaik didapatkan pada media pelepah sawit setelah diinkubasi oleh JTG.
Analisis pH media tumbuh Pleurotus ostreatus Peningkatan pH pada media pelepah sawit diduga karena adanya penguraian protein dan pelepasan amonia. Pelepasan amonia ini menyebakan terjadinya kenaikan pH di media pelepah sawit. Hal yang berbeda terjadi pada media TKKS, penurunan pH media diduga tidak ada atau hanya sedikit sekali terjadi penguraian protein (Tabel 2). Menurut Supadma dan Arthagama (2008), peningkatan pH mendekati netral disebabkan terjadinya penguraian protein menjadi amonia (NH3). Menurut Dalzell et al. (1991) menyatakan bahwa pola perubahan pH yang diinokulasi, berawal dari pH agak asam karena terbentuknya asam – asam organik sederhana, kemudian pH meningkat pada inkubasi lebih lanjut akibat terurainya protein dan terjadinya pelepasan amonia. Nilai pH yang tertinggi baik di media pelepah sawit maupun di media TKKS setelah 30 hari diinkubasi didapatkan pada isolat JTG. Hal ini diduga, isolat yang memiliki nilai pH yang tinggi, maka aktivitas lakasenya pun tinggi pula. Menurut Richana et al. (2000), semakin tinggi pH maka aktivitas enzim lebih tinggi. Oleh karena itu, berdasarkan nilai pH yang didapatkan (Tabel 2), isolat JTG menunjukkan aktivitas lakase yang lebih baik dibanding JTB.
Kadar protein (Bradford) Metode Bradford merupakan suatu metode untuk menentukan kadar protein. Prinsip kerja dari metode ini adalah pengikatan secara langsung zat warna coomassie brilliant blue G-250 (CBBG) oleh protein yang mengandung residu asam amino dengan rantai samping aromatik. Reagen CBBG dalam suasana asam akan berada dalam bentuk anion yang mengikat protein membentuk warna biru (Bradford 1976). Kadar protein terlarut diukur berdasarkan metode Bradford (1976), bertujuan menganalisis protein total dalam suatu larutan (filtrat enzim ekstrak kasar, yang telah dianalisis aktivitas lakasenya pada hari ke 30 dan ke 35). Metode ini berdasarkan pada reaksi antara larutan Bradford dengan protein dalam filtrat ekstrak kasar enzim, yang membentuk senyawa kompleks berwarna biru dan diukur nilai absorbansinya pada panjang gelombang 595 nm. Hasil absorbansi akan diukur dengan persamaan Y=0,0656x-0,0572 (Lampiran 3). Nilai Y menunjukkan aktivitas lakase, sedangkan nilai x menunjukkan kadar protein terlarut. Persamaan tersebut merupakan kolerasi antara aktivitas lakase dengan protein yang terlarut. Aktivitas lakase dengan kadar protein berbanding lurus, semakin tinggi aktivitas lakase maka kadar protein yang terlarut pun semakin tinggi pula. Kadar protein
17 dapat dilihat secara kualitatif melalui uji zona merah di media alkali lignin, yang mengindikasi keberadaan aktivitas enzim ligninolitik (Gambar 5). Kadar protein pada media pelepah sawit setelah 35 hari diinkubasi oleh JTG lebih baik dibandingkan dengan kadar protein pada media pelepah sawit yang diinkubasi oleh JTB (berdasarkan Tabel 3), begitu juga aktivitas lakase yang yang lebih baik didapatkan pada media pelepah sawit setelah 35 hari diinkubasi oleh JTG (Gambar 7), dibandingkan dengan aktivitas lakase pada media pelepah sawit yang diinkubasi oleh JTB, hal ini juga dapat dilihat dari diameter zona merah yang lebih besar pada isolat JTG (Gambar 5). Kadar protein tertinggi pada hari ke 30 di media TKKS didapatkan pada media yang diinkubasi JTG (berdasarkan Tabel 3), begitu juga aktivitas enzim lakasenya JTG lebih tinggi dibanding JTB pada hari ke-30 setelah diinkubasi. Berdarsarkan Tabel 3, kadar protein yang paling tinggi secara keseluruhan yaitu pada media TKKS pada hari ke-35, akan tetapi tidak dijumpai aktivitas lakase di semua isolat. Oleh karena itu, dapat diduga kadar protein yang tinggi tersebut, dikarenakan adanya xilanase dan selulase. Hal ini dibuktikan melalui uji kualitatif in vitro xilan dan selulosa, menunjukkan isolat JTB dan JTG memiliki xilanase dan selulase (berdasarkan Lampiran 5). Berdasarkan penelitian Yuniar (2013), beberapa kapang dari genus Aspergillus dan Pestalotiopsis memiliki selulase yang berperan dalam mendegradasi substrat TKKS. Menurut penelitian Gayang (2013), konsentrasi xilanase dan selulase dapat mempengaruhi rendeman gula pereduksi dari substrat TKKS yang telah dihidrolisis oleh kedua enzim tersebut. Faktor lainnya diduga karena pelepah sawit memiliki kandungan protein yang lebih besar dibandingkan dengan TKKS. Kandungan protein di TKKS sangat kecil, dan sebagian besar penyusun TKKS adalah lignin. Menurut Gaol et al. (2013), komponen penyusun TKKS adalah lignin (22,60%), pentosan (25,90%), αselulosa (45,80), holoselulosa (71,88%), dan pektin (12,85%). Menurut Anggraini dan Roliad (2011), TKKS terdiri atas lignin (17 – 20%), α-selulosa (43 – 44%), pentosan (27%), hemiselulosa (34%). Komposisi pelepah sawit menurut Ginting dan Elizabeth (2014), terdiri atas selulosa (31,7%), hemiselulosa (33,9%), dan lignin (17,4%), protein kasar (4 – 5 %).
Analisis rasio karbon dan nitrogen (C/N) Penurunan nilai rasio C/N baik pada media pelepah sawit maupun media TKKS setelah diinokulasi oleh P.ostreatus Gadog (JTG) dan P.ostreatus Biotrop (JTB), diduga karena adanya aktivitas mikroorganisme. Nilai rasio C/N terendah menunjukkan, adanya aktivitas enzim yang lebih baik. Hal ini dikarenakan, banyaknya kadar karbon yang digunakan mikroorganisme untuk pertumbuhannya, dan diikuti dengan peningkatan kadar nitrogen. Peningkatan kadar nitrogen diduga adanya proses degradasi substrat oleh enzim, misalnya enzim lakase yang mendegradasi lignin. Berdasarkan penelitian Supadma dan Arthagama (2008) semakin lama waktu inkubasi maka nilai rasio C/N pun semakin menurun. Penurunan nilari rasio C/N diikuti dengan penurunan kadar karbon dan peningkatan kadar nitrogen, hal ini menunjukkan adanya proses dekomposisi oleh mikroorganisme.
18 Nilai rasio C/N terendah pada perlakuan kering didapatkan pada media setelah 30 hari diinkubasi oleh JTG (mengacu pada Tabel 4). Oleh karena itu, isolat JTG memiliki aktivitas enzim yang lebih baik dibandingkan dengan JTB, hal ini dilihat dari nilai rasio C/N yang paling rendah baik di media pelepah sawit maupun di media TKKS. Rasio C/N perlakuan kering lebih baik dibandingkan dengan perlakuan basah, dikarenakan pada perlakuan kering, kontrol memiliki rasio C/N yang lebih besar dibandingkan dengan JTB dan JTG (mengacu pada Tabel 4), sedangkan pada perlakuan basah di media TKKS, kontrol menunjukkan lebih kecil dibandingkan JTB. (mengacu pada Tabel 5). Nilai rasio C/N terendah pada perkuan basah juga berbeda dengan pelakuan kering, pada perlakuan kering nilai terendah didapatkan pada media pelepah sawit dan TKKS yang diinkubasi oleh JTG. Akan tetapi, pada perlakuan basah nilai terendah didapatkan pada media pelepah sawit yang diinkubasi oleh JTB, dan media TKKS yang diinkubasi oleh JTG (mengacu pada Tabel 5). Oleh karena itu, nilai rasio C/N metode basah tidak akurat, diduga nitrogen pada substrat tercuci oleh air (mengalami proses leaching). Menurut Tisdale et al. (1990), unsur N merupakan unsur yang mobil dalam tanah, sehingga dengan pemberian air yang berlebihan menyebabkan peningkatan pencucian nitrogen (mudah leaching).
Tekstur dan warna media tumbuh Pleurotus ostreatus Perbedaan tekstur dan warna pada substrat pelepah sawit dan TKKS disebabkan oleh aktivitas enzim yang terjadi. Berdasarkan Gayang (2013), warna serbuk TKKS lebih cerah dibandingkan dengan serbuk TKKS sebelum delignifikasi. Pemudaran warna coklat diakibatkan adanya penguraian lignin. Menurut Ishak et al. (2013), substrat pelepah pisang setelah dilakukan pengomposan selama 21 hari, terjadi perubahan baik tekstur dan warna, hal ini dikarenakan adanya aktivitas mikroorganisme. Semakin cerah substrat yang telah didegradasi, menunjukkan adanya aktivitas enzim yang lebih baik. Berdasarkan Gambar 8 dan 9, didapatkan substrat pelepah sawit dan media TKKS setelah 30 hari diinkubasi oleh JTG berwarna coklat lebih muda dibandingkan dengan JTB. Hal ini, diduga JTG memiliki aktivitas enzim yang lebih baik dibandingkan dengan JTB.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Aktivitas lakase tertinggi didapatkan pada isolat P.ostreatus Gadog di media pelepah sawit pada hari ke-35, hal ini juga didukung oleh kadar protein tertinggi di media pelepah sawit dijumpai pada media yang diinkubasi oleh JTG pada hari ke-
19 35. Beberapa faktor lainnya yang mendukung yaitu, nilai pH tertinggi didapatkan pada media pelepah sawit yang diinkubasi oleh JTG. Selain itu, isolat JTG juga terbukti memiliki aktivitas enzim ligninolitik yang lebih tinggi di media alkali lignin dibandingkan dengan isolat JTB. Selisih bobot basah dan bobot kering (W) tertinggi juga didapatkan pada media pelepah sawit setelah 30 hari diinkubasi oleh JTG. Faktor lainnya, substrat pelepah sawit dan TKKS setelah 30 hari diinkubasi oleh JTG berwarna coklat lebih muda dibanding dengan JTB. Nilai rasio C/N terendah pada media pelepah sawit dan media TKKS setelah 30 hari diinkubasi oleh JTG, juga mendukung adanya aktivitas enzim yang terjadi.
Saran Isolat Pleurotus ostreatus JTG dapat diaplikasikan untuk pembuatan kompos dengan substrat pelepah sawit. Hal tersebut, dapat dilihat dari nilai rasio C/N dan aktivitas lakase yang lebih tinggi di media pelepah sawit yang diinkubasi JTG dibandingkan dengan JTB. Akan tetapi, isolat JTG diduga tidak dapat digunakan untuk bleaching pada proses biodeglinifikasi pada pulp industri kertas, hal ini dikarenakan mengandung enzim selulase yang cukup tinggi.
DAFTAR PUSTAKA Alexopoulus CJ, Mims CW.1979. Introductory Mycology 3rd Edition. New York (US): John Wiley and Sons. Anggraini D, Roliad H. 2011.Pembuatan pulp dari tandan kosong kelapa sawit untuk karton pada skala usaha kecil. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 29(3):211225. Ariningsih T. 2006. Aktivitas lingninolitik jenis Ganoderma pada berbagai substrat karbon. Jurnal Biodiversitas 7(4):307 – 311. Bradford MM. 1976. A rapid and sensitive method for quantitation of microgram quantities of protein utilizing the a principle of protein dye binding. Anal Biochem 72:248-254. Buswell JA, Cai YJ, Chang ST, Peberdy JF, Fu SY, Yu HS.1996. Lignocellulolytic enzyme profiles of edible mushroom fungi. World Journal of Microbiology and Biotechnology, 12(5):537-542. Cahyana HA.2005. Studi awal pemanfaatan jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) sebagai biokatalis pembentukan senyawa antioksidan. Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan, 3(2): 1 – 8. Cahyana HA, Wulandari N.2006. Antioksidan senyawa baru dari guaiakol dengan biokatalis enzim laktase jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus). Jurnal Ilmu dana Teknologi Pangan 4(1): 13 – 22. Dalzell HW, Biddlestone AJ, Gray KR, Thurairajan K.1991. Produksi dan Penggunaan Kompos pada Lingkungan Tropis dan Subtropis. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia
20 [Deptan] Departemen Pertanian.2002. Statistik Perkebunan Indonesia. Jakarta (ID):Deptan. Eggert.1997. Laccase is resposible for antimicrobial activity of Picnoporus cinnabarinus. Microbiol Res 152: 315 – 318. Elisabeth J dan Ginting SP. 2003. Pemanfaatan hasil samping industri kelapa sawit sebagai bahan pakan ternak sapi potong. JITV, 18(2):110 – 119. Eviati dan Sulaeman. 2009. Analisis Kimia Tanah Tanaman, Air, dan Pupuk. Bogor (ID): Balai Penelitian Tanah. Gaol MRLL, Sitorus R, Yanthi S, Surya I, Manurung, R. 2013. Pembuatan selulosa asetat dari α-selulosa tandan kosong kelapa sawit. Jurnal Teknik Kimia USU 2(3): 33 – 39. Gayang F.2013. Konversi lignoselulosa tandan kosong kelapa sawit menjadi gula pereduksi menggunakan enzim xilanase dan selulase komersial [skripsi].Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ginting SP dan Elisabeth J.2014. Teknologi pakan berbahan dasar hasil sampingan perkebunan kelapa sawit. JITV, 19(1):129 -136. Gunawan AW. 2008.Usaha Pembibitan Jamur. Bogor (ID):Penebar Swadaya Ishak P, Paris J, Retnowati Y. 2013. Uji kualitas bokashi yang berbahan dasar pelepah tanaman pisang (musa sp). Kim Fakultas Matematika dan Ipa, 1(1). Isroi.2008.Pengomposan Limbah Padat Organik. Bogor (ID): Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Meryandini A, Ambarawati D, Mubarik NR. 2008. Pencirian mananase Streptomyces costaricanus 45I-3. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia 13(1): 1- 6. Nurulita U.2003. Efektivitas variasi penambahan kotoran sapi, dedak, mollase dan EM4 terhada penurunan volume sampah organik dan sampah campuran. Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia 1(1):1693-3443 Palonen H. 2004. Role of Lignin in the Enzymatic Hydrolysis of Lignocellulose. Finlandia (FIN): VTT Technical Research Centre of Finland. Rachmat B. 2000. Dasar – Dasar Pembuatan Bibit Jamur. Bandung (ID):Bal Publication. Richana N, Lestari P, Thontowi A.2000. The selection of xylanase-producing indegenous bacteria. Jurnal Mikrobiologi Indonesia, 5(2): 54 – 56. Schlosser D, Hoefer C.2002.Laccase-catalyzed oxsidation of Mn2+ in the precence of natural Mn2+ chelator as a novel source extracelluler H2O2 production and its impact on manganese peroxidase. App Environ Microbiol 68(35): 14 – 3521. Sentana, S dan Subroto MA.2010. Pengembangan dan pengujian inokulum untuk pengomposan limbah tandan kosong kelapa sawit. Jurnal Rekayasa Proses, 4(2):35-39. Sigit AM. 2008.Pola aktivitas enzim lignolitik jamur tiram (Pleurotus ostreatus) pada media sludge industri kertas [skripsi].Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Soenanto H.2000. Jamur Tiram Budidaya dan Peluang Usaha. Semarang (ID): Aneka ilmu Supadma AA, dan Arthagama DM. 2008. Uji formulasi kualitas pupuk kompos yang bersumber dari sampah organik dengan penambahan limbah ternak ayam, sapi, babi dan tanaman pahitan. Jurnal Bumi Lestari, 8(2): 113 – 121. Supriyaningsih, Sunarya Y, Undang.2013. Pengaruh kombinasi takaran dedak dan lama pengomposan media tanam terhadap pertumbuhan dan hasil jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) [tesis].Tasikmalaya (ID):Universitas Siliwangi.
21 Suriawira. 1986.Pengantar untuk Mengenal dan Menanam Jamur. Bandung (ID):Angkasa. Tisdale SI, Nelson WL, Beaton JD. 1990.Soil Fertility And Fertilizers 4th. New York (US): Maxwell Macmillan Int. Widiastuti H, Suharyanto, Wulaningtyas A, Sutamihardja. 2008. Activity of ligninolytic enzymes during growth and fruiting body development of white rot fungi Omphalina sp. and Pleurotus ostreatus. Journal Hayati dan Biosciences 15(4):140 – 144. Xie J, Sun X, Ren L, Zhang YZ.2001. Studies on lignocellulolytic enzymes production and biomass degradation of Pleurotus sp.2 and Tremetes gallica in wheat straw cultures. Sheng Wu Gong Cheng Xue Bao 80: 575 – 578. Yuniar W. 2013. Skrining dan identifikasi kapang selulolitik pada proses vermikomposting tandan kosong kelapa sawit (TKKS) [skripsi]. Jember (ID): Universitas Jember.
22 Lampiran 1 Aktivitas lakase pada hari ke-30 Pelepah Isolat
A0
A30
Biotrop I Biotrop II Gadok I Gadok II
0.3315 0.3469 1.1577 1.0632
0.3273 0.3433 1.6555 1.4506
TKKS Aktivitas (U/ml) 0 0 1.152 0.896
A0
A30
0.2806 0.2780 1.2998 1.2857
0.2840 0.2839 1.9399 1.9946
Aktivitas (U/ml) 0.007 0.013 1.481 1.641
Lampiran 2 Aktivitas lakase pada hari ke-35 Pelepah Isolat
A0
A30
Biotrop I Biotrop II Gadok I Gadok II
0.7758 0.6173 0.5494 0.6426
0.7457 0.6193 1.3528 1.5693
TKKS Aktivitas (U/ml) 0 0.004 1.859 2.145
A0
A30
0.7541 0.8204 1.8628 1.9128
0.7535 0.8009 1.8341 1.8679
Aktivitas (U/ml) 0 0 0 0
Lampiran 3 Kurva standar protein dengan metode Bradford 0,4
y = 0,0656x - 0,0572 R² = 0,9938
Aktivitas Lakase
0,35 0,3 0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0 0
0,02
0,04
0,06
Kadar protein (mg/ml)
0,08
1
23
Lampiran 4 Komposisi media alkali lignin 1. K2HPO4 (1,0 g) 2. MgSO4.7H2O (0,2 g) 3. KCl (0,2 g) 4. NaNO3 (2 g) 5. Ekstrak khamir (0,2 g) 6. Ekstrak malt (1,0 g) 7. Agar - agar (18 g) 8. Aquades (1000 ml) 9. Guaiakol (0,4 ml), 10. Alkali lignin (1,0 g) 11. KOH (1 butir dilarutkan dengan 10 ml air dalam lemari asam). 12. kloramfenikol 0,5 g.
Lampiran 5. Analisis kualitatif in vitro xilanase dan selulase
A
B
C
Keterangan A. Zona bening isolat JTB di media xilan B. Zona bening isolat JTB di media CMC C. Zona bening isolat JTG di media xilan D. Zona bening isolat JTG di media CMC
D
24
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 April 1992 dari ayah yang bernama Mohammad Ash Shidieqy dan ibu Yuliana Parwati. Penulis merupakan anak tunggal dalam keluarga. Penulis pernah menjadi Kader Kesehatan Remaja (KKR) Jakarta Timur tahun 2008. Pernah mengikuti lomba simulasi sidang ASEAN (ASEAN Model) tingkat SMA/K dan MA se-DKI Jakarta yang diselenggarakan oleh Direktorat Jendral Kerja Sama ASEAN, Departemen Luar Negeri, bekerjasama dengan Universitas Pasundan Bandung di Jakarta tanggal 25 – 26 November 2009. Penulis lulus dari SMA Negeri 64 Jakarta pada tahun 2009 dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah mengikuti kegiatan Infokom Himpunan Mahasiswa Biologi (HIMABIO) periode 2011 – 2012, Leader Officer Pesta Sains FMIPA IPB pada November 2012, panitia Sehari Kuliah di IPB dalam rangka Dies Natalits IPB ke – 50 pada tanggal 7 September 2013, panitia Penerimaan mahasiswa baru biologi (Morfologi Biologi), panitia ASPEK (Kegiatan magang BEM FMIPA) 2013. Penulis menjadi asisten praktikum biologi dasar pada tahun 2013 – 2014. Penulis pernah melakukan kegiatan praktik lapang di PT BASF Care Chemicals Indonesia (BCCI) Depok Jawa Barat, dibagian Quality Control dan Water Waste Treatment (WWT), selama periode Juli sampai dengan Agustus 2013, dengan judul “Sistem pengolahan limbah cair PT BASF Care Chemicals Indonesia Depok, Jawa Barat”.