APLIKASI HERBISIDA DALAM PERSIAPAN LAHAN DAN FREKUENSI PENGENDALIAN GULMA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI JAGUNG (Zea mays L.)
OLEH : JIMMY ARISTON PANDIA A24060081
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
APLIKASI HERBISIDA DALAM PERSIAPAN LAHAN DAN FREKUENSI PENGENDALIAN GULMA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI JAGUNG (Zea mays L.)
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
OLEH JIMMY ARISTON PANDIA A24060081
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
LEMBAR PENGESAHAN JUDUL
: APLIKASI HERBISIDA DALAM PERSIAPAN LAHAN DAN FREKUENSI
PENGENDALIAN
GULMA
TERHADAP
PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI JAGUNG (Zea mays L.) NAMA
: JIMMY ARISTON PANDIA
NRP
: A24060081
Menyetujui Dosen Pembimbing
(Ir. H. Is Hidayat Utomo, MS) NIP. 19500601 198003 1 001
Mengetahui Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB
(Dr. Ir. Agus Purwito, MSc.Agr) NIP : 19611101 198703 1 003
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabanjahe pada tanggal 16 Agustus 1988. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak W. Pandia dan Ibu S. br Meliala. Tahun 2000 penulis menyelesaikan pendidikannya di SDN 02 Payung, Kabupaten Karo, Sumatra Utara. Pada tahun 2003 penulis lulus dari SLTPN 01 Batukarang, Kabupaten Karo. Tahun 2006 penulis lulus dari SMUN 01 Kabanjahe, Kabupaten Karo. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) sebagai mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian. Selama menempuh pendidikannya di IPB, penulis menjadi staf anggota Himpunan Mahasiswa Agronomi dan Hortikultura (HIMAGRON) pada tahun 2007/2008 dan anggota Keluarga Mahasiswa Katolik (KEMAKI) pada tahun 2006-20009.
RINGKASAN JIMMY ARISTON PANDIA. Aplikasi Herbisida dalam Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Pertumbuhan dan Produksi Jagung (Zea mays L.). Dibimbing oleh IS HIDAYAT UTOMO. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh teknik persiapan lahan dan frekuensi pengendalian gulma terhadap pertumbuhan dan produksi jagung. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan IPB pada bulan Februari hingga Juni 2010. Penelitian menggunakan rancangan petak terbagi (split plot design) dengan perlakuan dua faktor dan tiga ulangan. Faktor utama adalah teknik persiapan lahan yang terdiri atas tiga taraf yaitu olah tanah sempurna (OTS), tanpa olah tanah (TOT) + herbisida paraquat, TOT + herbisida glifosat. Anak petak adalah frekuensi pengendalian gulma yang terdiri atas tiga taraf yaitu tanpa penyiangan, disiangi dua kali pada 3 dan 6 MST, dan disiangi tiga kali pada 3, 6, 9 MST. Hasil
penelitian
menunjukkan
perlakuan teknik
persiapan
lahan
mempengaruhi persentase penutupan gulma, berat kering gulma Axonopus compressus pada 4 dan 6 MST, berat kering gulma Borreria alata pada 4 dan 6 MST, berat kering gulma Brachiaria mutica pada 4, 6, dan 8 MST, berat kering gulma Euphorbia hirta pada 4 dan 6 MST, sedangkan berat kering gulma Cleome rutidosperma tidak berbeda nyata. Secara umum, perlakuan TOT + glifosat memberikan nilai berat kering gulma dominan yang paling rendah, sedangkan untuk persentase penutupan gulma dan nilai Nisbah Jumlah Dominansi (NJD) gulma dominan tertinggi terdapat di perlakuan TOT + paraquat. Perlakuan teknik persiapan lahan tidak mempengaruhi hampir semua peubah vegetatif dan generatif yang diamati pada tanaman jagung, kecuali jumlah daun pada 6 dan 8 MST. Meskipun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, namun secara keseluruhan perlakuan TOT + glifosat memberikan pertumbuhan dan produksi jagung yang lebih baik dibanding perlakuan OTS dan TOT + paraquat. Frekuensi pengendalian gulma memberikan pengaruh nyata terhadap persentase penutupan gulma dan semua berat kering gulma dominan. Perlakuan tanpa penyiangan secara nyata menghasilkan persentase penutupan gulma dan berat kering gulma dominan paling tinggi. Namun tidak terdapat perbedaan nyata
vi
antara perlakuan penyiangan dua kali dengan penyiangan tiga kali terhadap persentase penutupan gulma dan berat kering gulma dominan. Perlakuan frekuensi pengendalian gulma mempengaruhi hampir semua peubah pengamatan pada tanaman jagung kecuali jumlah daun pada 4 MST dan bobot 100 butir. Perlakuan penyiangan dua kali dan penyiangan tiga kali memberikan pertumbuhan dan produksi jagung yang lebih baik dibandingkan dengan tanpa penyiangan. Namun baik penyiangan dua kali maupun penyiangan tiga kali tidak menunjukkan perbedaan nyata dalam pertumbuhan dan produksi jagung.
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang masih memberikan nikmat, rahmat, dan kekuatan sehingga penulisan skripsi dengan judul “Aplikasi Herbisida dalam Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Pertumbuhan dan Produksi Jagung (Zea mays L).” dapat diselesaikan dengan baik. Penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1.
Ir. H. Is Hidayat Utomo, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama kegiatan penelitian hingga penulisan skripsi.
2.
Ir. Adolf Pieter Lontoh, MS dan Dr. Ir. Ahmad Junaedi, MSi selaku dosen penguji atas saran dan nasihat selama penulis menjalani ujian skripsi.
3.
Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, MS selaku pembimbing akademik yang selalu memberi motivasi selama menempuh pendidikan di IPB.
4.
Ibu, ayah, dan adik atas doa, dukungan, dan semangat yang selalu diberikan dalam menjalani hidup.
5.
Seluruh teman-teman Agronomi dan Hortikultura angkatan 43 yang ikhlas membantu dan memberikan motivasi.
6.
Teman-teman di Wisma Sarajevo atas dorongan, perhatian, dan bantuan yang diberikan. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak
yang memerlukan.
Bogor, Februari 2011
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL……………………………………………………….
Halaman ix
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................
x
DAFTAR GAMBAR………………………………………....................
xii
PENDAHULUAN……………………………………………………… Latar Belakang…………………………………………………….. Tujuan……………………………………………………………… Hipotesis……………………………………………………………
1 1 3 3
TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………… Botani dan Ekologi Tanaman Jagung (Zea mays L.)……………… Teknik Persiapan Lahan…………………………………………… Herbisida Paraquat………………………………………………… Herbisida Glifosat…………………………………………………. Pengendalian Gulma pada Budidaya Jagung……………………....
4 4 5 6 6 7
BAHAN DAN METODE………………………………………………. Tempat dan Waktu………………………………………………… Bahan dan Alat…………………………………………………….. Metode Penelitian………………………………………………….. Pelaksanaan………………………………………………………… Pengamatan…………………………………………………………
9 9 9 9 10 12
HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………… Kondisi Umum…………………………………………………….. Pengamatan pada Gulma…………………………………………… Pengamatan pada Tanaman Jagung…………………………………
14 14 15 31
KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………………. Kesimpulan………………………………………………………… Saran………………………………………………………………..
39 39 39
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………
40
LAMPIRAN……………………………………………………………..
43
DAFTAR TABEL Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6.
7. 8.
9. 10.
11. 12.
13. 14. 15. 16.
17.
Halaman Pengaruh Teknik Persiapan Lahan terhadap Komposisi Gulma Dominan……………………………………………………….. Pengaruh Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Komposisi Gulma Dominan……………………………….......................... Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Persentase Penutupan Gulma………………… Interaksi Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Persentase Penutupan Gulma………………… Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Berat Kering Gulma Axonopus compressus…. Interaksi Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Berat Kering Gulma Axonopus compressus pada 4 MST……………………………………………………. Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Berat Kering Gulma Borreria alata………….. Interaksi Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Berat Kering Gulma Borreria alata pada 4 dan 6 MST……………………………………………………... Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Berat Kering Gulma Brachiaria mutica……... Interaksi Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Berat Kering Gulma Brachiaria mutica pada 4 dan 8 MST…………………………………………………… Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Berat Kering Gulma Euphorbia hirta………... Interaksi Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Berat Kering Gulma Euphorbia hirta pada 4 dan 6 MST……………………………………………………... Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Berat Kering Gulma Cleome rutidosperma….. Pengaruh Teknik Persiapan lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Tinggi Tanaman Jagung……………………... Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Jumlah Daun Tanaman Jagung………………. Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Umur Berbunga, Jumlah Tongkol dan Bobot Brangkasan Tanaman Jagung………………………………….. Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Bobot Basah Tongkol Berkelobot, Bobot Kering Tongkol Berkelobot, Bobot 100 Biji, dan Potensi Hasil.
18 19 20 22 23
24 24
25 26
27 28
29 30 31 32
33
35
x
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Data Iklim Selama Pelaksanan Penelitian……………………...
44
2.
Deskripsi Jagung Varietas BISI 2……………………................
44
3.
Koefisien Komunitas Antar Petak (%)…………………………
44
4.
Nilai Nisbah Jumlah Dominansi (%)…………………...............
45
5.
Rekapitulasi Analisis Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya terhadap Persentase Penutupan Gulma dan Berat Kering Gulma Dominan………………………………………..
46
Rekapitulasi Analisis Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya terhadap Komponen Vegetatif dan Generatif Tanaman Jagung………………………………………………..
46
Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya terhadap Persentase Penutupan Gulma…………………………
47
Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya terhadap Berat Kering Gulma Axonopus compressus………….
47
Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya terhadap Berat Kering Gulma Borreria alata………………….
47
10. Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya terhadap Berat Kering Gulma Brachiaria mutica……………...
47
11. Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya terhadap Berat Kering Gulma Euphorbia hirta………………...
48
12. Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya terhadap Berat Kering Gulma Cleome rutidosperma…………..
48
13. Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya terhadap Tinggi Tanaman Jagung……………………………...
48
14. Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya terhadap Jumlah DaunTanaman Jagung………………………..
48
6.
7.
8.
9.
xi 15. Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya terhadap Umur Berbunga, Jumlah Tongkol, dan Bobot Brangkasan Tanaman Jagung…………………………………..
49
16. Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya terhadap Bobot Basah dan Bobot Kering Tongkol Berkelobot Tanaman Jagung………………………………………………..
49
17. Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya terhadap Bobot 100 Biji, dan Potensi Hasil Tanaman Jagung…
49
18. Perbandingan Biaya Produksi dan Pendapatan Hasil Jagung pada Beberapa Teknik Persiapan Lahan per Hektar (dalam Rupiah)…………………………………………………………
49
DAFTAR GAMBAR Nomor 1.
Halaman Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Komposisi Gulma Dominan………………….
16
PENDAHULUAN Latar Belakang Jagung merupakan salah satu komoditas pangan penting di Indonesia setelah padi. Jagung memiliki peranan strategis dan bernilai ekonomis serta mempunyai peluang untuk dikembangkan, mengingat komoditas ini mempunyai fungsi yang multiguna, selain untuk pangan juga sebagai pakan ternak dan industri. Dewasa ini penggunaan jagung untuk kebutuhan bahan baku industri mulai berkembang, seperti pembuatan minyak jagung, tepung, pati, serta industri kimia (etil alkohol aseton, asam laktat, asam sitrat dan gliserol) (Purwono dan Hartono, 2005). Produksi jagung Indonesia dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan produksi jagung nasional sejak tahun 2006 sampai 2008 menunjukkan kenaikan dari 11.61 menjadi 16.31 juta ton pipilan kering. Kenaikan produksi terjadi karena bertambahnya luas panen dari 3.3. juta ha menjadi 4 juta ha dan peningkatan produktivitas dari 3.47 menjadi 4.78 ton/ha (BPS, 2010). Sementara itu, meskipun produksi jagung nasional cenderung meningkat, akan tetapi peningkatannya relatif lebih kecil dibandingkan dengan peningkatan penggunaan jagung. Penggunaan jagung untuk bahan pangan mencapai 50% dari total kebutuhan, sedangkan untuk bahan baku industri pakan, makanan dan minuman dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2000-2004) meningkat 10-15 % / tahun (Suryana, 2006). Selain itu, saat ini jagung juga dikembangkan sebagai bahan baku pembuatan bio etanol (Deptan, 2008). Kebutuhan jagung akan terus meningkat
sejalan
dengan
pertambahan
jumlah
penduduk
dan
terus
berkembangnya industri pakan serta industri yang berbahan baku jagung. Salah satu upaya pencapaian peningkatan kapasitas produksi jagung nasional adalah dengan melakukan kegiatan budidaya yang efektif dan efisien. Persiapan lahan merupakan tahap awal dalam budidaya dan sangat penting diperhatikan dalam menunjang pertumbuhan tanaman. Persiapan lahan dilakukan untuk menciptakan kondisi yang mendukung bagi perkecambahan benih dan perkembangan akar tanaman serta mengurangi kompetisi terhadap gulma. Namun,
2 selain untuk mendukung pertumbuhan tanaman, kegiatan persiapan lahan juga harus memperhatikan prinsip keberlanjutan ekonomi dan lingkungan. Teknik persiapan lahan dalam praktiknya dikelompokkan ke dalam sistem olah tanah sempurna (OTS), olah tanah minimum (OTM), tanpa olah tanah (TOT) dan olah tanah bermulsa. Sistem olah tanah sempurna merupakan cara yang umum diterapkan oleh petani dalam kegiatan persiapan lahan. Pengolahan tanah sempurna dimaksudkan agar tanah lebih gembur sehingga aerasi meningkat dan menghilangkan gulma di areal budidaya. Namun, pengolahan tanah yang intensif akan menyebabkan degradasi lahan yang menyebabkan daya dukung dan produktivitas lahan semakin menurun (Syam’um, 2002). Sistem TOT merupakan bagian dari olah tanah konservasi (OTK) yang dikombinasikan dengan herbisida pada dosis yang tepat untuk mengendalikan gulma awal. Penerapan sistem TOT dengan herbisida bertujuan untuk menyiapkan lahan agar tanaman dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik namun tetap memperhatikan keseimbangan ekologi lingkungan, terutama air dan tanah. Hal ini disebabkan sisa gulma yang mati sebelumnya dapat menjadi mulsa yang berfungsi menambah bahan organik dalam tanah, menekan pertumbuhan kembali gulma dan meningkatkan tersedianya air tanah serta mengurangi dampak buruk tetesan air hujan (Moenandir, 2004). Keberadaan gulma pada areal produksi pertanian dapat menimbulkan kerugian hasil baik secara kuantitas maupun kualitas. Penurunan hasil tanaman akibat keberadaan gulma disebabkan oleh adanya kompetisi antara gulma dan tanaman dalam memperoleh hara, air, cahaya, dan ruang tumbuh serta berpotensi menjadi inang bagi hama dan penyakit tanaman (Tjitrosoedirdjo, et al.,1984) Pengendalian gulma dalam kegiatan produksi tanaman harus dilakukan secara benar dan pada waktu yang tepat. Waktu dan frekuensi pengendalian gulma yang tidak tepat akan mengakibatkan pertumbuhan tanaman menjadi terganggu. Menurut Utomo (1999), penyiangan yang tepat biasanya dilakukan sebelum akar tanaman banyak mengambil hara dari tanah. Selain itu, pengetahuan terhadap periode kritis suatu tanaman dapat membantu dalam menentukan saat yang tepat dalam pengendalian gulma.
3 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah: 1.
Mengetahui pengaruh teknik persiapan lahan terhadap pertumbuhan dan produksi jagung.
2.
Mengetahui pengaruh frekuensi pengendalian gulma secara manual terhadap pertumbuhan dan produksi jagung.
3.
Mengetahui interaksi antara aplikasi herbisida dalam persiapan lahan dan frekuensi pengendalian gulma terhadap pertumbuhan dan produksi jagung. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Terdapat pengaruh teknik persiapan lahan terhadap pertumbuhan dan produksi jagung. 2. Terdapat pengaruh frekuensi pengendalian gulma terhadap pertumbuhan dan produksi jagung. 3. Terdapat interaksi antara teknik persiapan lahan dengan frekuensi pengendalian gulma terhadap pertumbuhan dan produksi jagung.
TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Ekologi Tanaman Jagung (Zea mays L.) Tanaman jagung merupakan tanaman asli benua Amerika yang termasuk dalam keluarga rumput-rumputan dengan spesies Zea mays L. Taksonomi tanaman jagung adalah sebagai berikut: Kelas
: Monocotyledone (berkeping satu)
Ordo
: Graminae (rumput-rumputan)
Famili
: Graminaceae
Genus
: Zea
Spesies
: Zea mays L.
Tanaman jagung dapat tumbuh pada segala jenis tanah dengan sifat fisika dan kimia tanah yang mendukung. Sifat fisika tanah berupa kondisi tanah yang gembur, berdrainase dan aerasi yang baik, serta kaya bahan organik. Sifat kimia tanah berupa kisaran pH yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman jagung yaitu berkisar antara 5,5 - 7,0. Suhu optimum untuk pertumbuhan jagung adalah antara 23–27 0C , curah hujan 600-1000 mm/tahun dan ketinggian tempat antara 0-1.300 m di atas permukaan laut (Muhadjir, 1988). Tanaman jagung termasuk tanaman berakar serabut yang terdiri atas akarakar seminal, akar adventif dan akar udara (brace) yang tumbuh dari ruas-ruas permukaan tanah. Batang jagung terdiri dari beberapa ruas dan buku ruas, berbentuk silinder, dan tidak bercabang. Pada buku ruas terdapat tunas yang akan berkembang menjadi tongkol. Daun jagung memanjang dan muncul dari bukubuku batang. Setiap daun terdiri atas kelopak daun, ligula, dan helaian daun. Ligula atau lidah daun terdapat diantara kelopak dan helaian daun yang berfungsi untuk mencegah air masuk ke dalam kelopak daun dan batang. Bunga jagung tergolong bunga tidak lengkap karena struktur bunganya tidak memiliki petal dan sepal. Letak bunga jantan terpisah dengan bunga betina namun masih dalam satu tanaman sehingga tanaman jagung termasuk tanaman berumah satu (monoecious). Bunga jantan terdapat di ujung batang dan bunga betina terdapat pada ketiak daun ke-6 atau ke-8 dari bunga jantan. Tanaman jagung bersifat protandry, yaitu bunga jantan muncul 1-2 hari sebelum munculnya
5 rambut jagung (style) pada bunga betina. Oleh sebab itu, penyerbukan jagung bersifat penyerbukan silang (Muhadjir, 1988). Jagung tergolong tanaman C-4 dan mampu beradaptasi dengan baik pada faktor pembatas pertumbuhan dan produksi. Sifat yang menguntungkan tanaman jagung sebagai tanaman C-4 antara lain; daun mempunyai laju fotosintesis yang relatif tinggi pada keadaan normal, fotorespirasi dan transpirasi rendah, serta efisien dalam penggunaan air (Muhadjir, 1988). Teknik Persiapan Lahan Persiapan lahan bertujuan untuk mengkondisikan lahan budidaya agar sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan tanaman dalam perkembangan akar dan pertumbuhan tanaman. Selain menciptakan kondisi yang mendukung bagi tanaman, kegiatan persiapan lahan juga harus memperhatikan keseimbangan ekologi lingkungan terutama degradasi tanah dan ketersediaan air. Teknik persiapan lahan dalam praktiknya dikelompokkan dalam olah tanah sempurna, olah tanah minimum, tanpa olah tanah, dan olah tanah bermulsa. Olah tanah sempurna yang umumnya menggunakan alat-alat sederhana hingga alat-alat berat pada dasarnya bertujuan mengendalikan gulma dan untuk menggemburkan tanah sehingga aerasi dan kapasitas infiltrasi tanah meningkat. Namun sistem olah tanah sempurna dalam jangka panjang akan berdampak buruk yaitu terjadinya degradasi tanah yang dapat memacu erosi, dan menurunnya kesuburan tanah (Utomo, 1999). Olah tanah konservasi merupakan kegiatan persiapan lahan yang dapat mengurangi kehilangan lapisan tanah dan air dibandingkan dengan olah tanah konvensional (Moenandir, 2004). Budidaya tanaman tanpa olah tanah (TOT) merupakan bagian dari teknologi olah tanah konservasi yang mengandalkan herbisida dalam pengendalian gulma awal sebelum tanam. Menurut Utomo (2002), dalam sistem budidaya tanpa olah tanah, tanah tidak diolah secara mekanis kecuali pada lubang tanam dan alur pupuk. Sementara itu, gulma dikendalikan dengan herbisida dan sisa-sisa gulma dari aplikasi herbisida tersebut dibiarkan di atas permukaan tanah sebagai mulsa. Adanya mulsa alami akan menambah
bahan
organik
dalam
tanah,
mencegah
pengurusan
tanah,
meningkatkan ketersediaan air, dan menekan pertumbuhan kembali gulma.
6 Menurut Moenandir (2004), sistem tanpa olah tanah dapat mengurangi erosi hingga 90 % dibanding pengolahan tanah secara konvensional. Keuntungan budidaya tanaman tanpa olah tanah selain konservasi tanah dan air juga lebih efisien dalam penggunaan tenaga kerja, waktu, dan biaya. Namun perlu diperhatikan herbisida yang digunakan dalam sistem TOT harus pada dosis yang tepat dan ramah lingkungan, artinya herbisida yang mudah terdekomposisi oleh mikroorganisme dalam tanah dan tidak merusak sumberdaya lingkungan. Herbisida Paraquat Paraquat adalah nama umum dari bahan kimia 1,1-dimethyl-4,4bipyrilidium yang termasuk herbisida bersifat nonselektif (kontak) dan digunakan untuk mengendalikan gulma semusim. Karakteristik dari paraquat adalah tidak dapat diserap oleh bagian tanaman yang tidak hijau (batang dan akar) dan tidak aktif di tanah. Ketidakaktifan tersebut disebabkan adanya reaksi antara dua muatan ion positif pada paraquat dan ion negatif mineral liat sehingga molekul positif paraquat terabsorbsi kuat dengan lapisan liat dan tidak aktif lagi (Ashton dan Monaco, 1991). Penetrasi paraquat terjadi melalui daun. Aplikasi paraquat akan lebih efektif apabila ada sinar matahari karena reaksi keduanya akan menghasilkan hidrogen peroksida yang merusak membran sel. Cara kerja paraquat yaitu menghambat proses dalam fotosistem I, yaitu mengikat elektron bebas hasil fotosistem dan mengubahnya menjadi elektron radikal bebas. Radikal bebas yang terbentuk akan diikat oleh oksigen membentuk superoksida yang bersifat sangat aktif. Superoksida tersebut mudah bereaksi dengan komponen asam lemak tak jenuh dari membran sel, sehingga akan menyebabkan rusaknya membran sel dan jaringan tanaman (Pusat Informasi Paraquat, 2006). Herbisida Glifosat Glifosat adalah nama umum dari N-(phosphonomethyl) glycine. Glifosat merupakan herbisida sistemik yang mempunyai spektrum pengendalian yang luas dan bersifat non-selektif (Ashton dan Monaco, 1991). Herbisida ini diaplikasikan
7 pada daun dan tidak aktif ketika diaplikasikan pada tanah. Hal ini karena glifosat akan diikat dengan kuat dan cepat oleh partikel tanah dalam ikatan fosfat sehingga tidak tersedia bagi akar gulma dan tumbuhan lainnya (Duke, 1988). Glifosat
mudah
ditranslokasikan
dalam
jaringan
tanaman
dan
mempengaruhi pigmen sampai terjadi khlorotik, pertumbuhan terhenti dan tanaman mati. Herbisida ini juga menghambat lintasan biosintetik asam amino aromatik dan sangat efektif untuk mengendalikan gulma rumput tahunan, gulma berdaun lebar, dan yang mempunyai perakaran dalam. Gejala awal pada umumnya adalah daun mengalami klorosis yang diikuti oleh nekrosis (Ashton dan Monaco, 1991). Glifosat bekerja lebih baik jika diaplikasikan pada bagian gulma yang telah tumbuh aktif dan telah sempurna pertumbuhan tajuknya. Glifosat tergolong dalam herbisida organik yang mudah terdekomposisi oleh mikroorganisme tanah seperti Pseudomonas aeroginasa dengan cepat sehingga tidak membahayakan lingkungan. Pengendalian Gulma Pada Budidaya Jagung Gulma merupakan tumbuhan yang tumbuh bukan pada tempatnya, tidak dikehendaki, dan bersifat merugikan (Sukman dan Yakup, 2002). Gulma yang dibiarkan tumbuh pada tanaman budidaya akan bersaing dalam pemanfaatan unsur hara, air, udara, cahaya, dan ruang tumbuh. Selain itu, beberapa gulma dapat menjadi inang bagi hama dan penyakit. Menurut Bangun (1988), penurunan hasil akibat adanya kompetisi tanaman jagung dengan gulma berkisar antara 16- 82%. Oleh sebab itu, pengendalian gulma merupakan suatu keharusan pada budidaya jagung. Menurut Bangun (1988), spesies gulma yang sering ditemui pada pertanaman
jagung
adalah:
Digitaria
ciliaris.
Paspalum
distichum,
Eleusine indica, Cynodon dactylon, Echinochloa colona, Ageratum conyzoides, Borreria latifolia, Phylantus nituri, dan Cyperus rotundus. Pengendalian gulma pada pertanaman jagung umumnya dilakukan secara manual atau penyiangan. Selain pengendalian secara manual, pengendalian gulma pada tanaman jagung juga dapat dilakukan secara kimia, secara mekanik, dan secara biologi.
8 Waktu pengendalian gulma pada tanaman jagung merupakan hal yang penting untuk diperhatikan, terutama pengendalian gulma secara manual. Hal ini disebabkan pengendalian gulma pada waktu yang tidak tepat dapat merusak perakaran tanaman jagung, sehingga mengganggu penyerapan air dan unsur hara oleh akar. Selain itu, periode kritis dapat menentukan saat yang tepat dalam pengendalian gulma. Keberadaan gulma pada periode kritis akan berpengaruh pada pertumbuhan dan hasil akhir tanaman budidaya yang diakibatkan tanaman kalah bersaing dalam pemanfaatan sarana pertumbuhan, seperti unsur hara, air, cahaya, dan ruang tumbuh. Frekuensi pengendalian gulma juga sangat penting diperhatikan karena berkaitan dengan biaya serta pertumbuhan dan hasil tanaman jagung. Tanpa pengendalian gulma dapat menurunkan pertumbuhan dan produksi, sedangkan frekuensi pengendalian gulma yang terlalu sering juga dapat mengganggu pertumbuhan dan produksi tanaman jagung. Oleh sebab itu. pengendalian gulma akan efektif dan efisien jika dilakukan pada waktu dan frekuensi yang tepat.
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan IPB Darmaga pada ketinggian ± 250 meter di atas permukaan laut dan Laboratorium Ekofisiogi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB. Penelitian dimulai pada bulan Februari sampai bulan Juli 2010 dengan curah hujan berkisar antara 158-343 mm/bulan (Lampiran 1). Bahan dan alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : benih jagung varietas Bisi 2 (Lampiran 2) sebanyak 15 kg/ha, herbisida paraquat 276 SL dengan dosis 3 L/ha, herbisida glifosat 480 AS dengan dosis 3 L/ha, Furadan 3G dengan dosis 20 kg/ha, dan Score 0.5 ml/l untuk pengendalian hama dan penyakit. Pupuk yang digunakan adalah pupuk urea 200 kg/ha, KCl 100 kg/ha, dan SP18 200 kg/ha. Alat yang digunakan adalah knapsnack sprayer untuk aplikasi herbisida, kuadrat berukuran 0.5 m x 0.5 m, meteran, alat pemotong, gelas ukur, oven, timbangan analitik, jangka sorong, kantong kertas, kantong plastik, dan alat-alat budidaya pada umumnya. Metode Penelitian Penelitian disusun dalam Rancangan Petak Terbagi (Split Plot Design) dengan perlakuan dua faktor. Faktor pertama sebagai petak utama merupakan teknik persiapan lahan (P) yang terdiri atas tiga taraf: P0
= Olah tanah sempurna
P1
= Tanpa olah tanah menggunakan herbisida paraquat 276 SL dosis 3 L/ha
P2
= Tanpa olah tanah menggunakan herbisida glifosat 480 AS dosis 3 L/ha Faktor kedua merupakan anak petak yaitu frekuensi pengendalian gulma
(G) yang terdiri atas tiga taraf: G0
= Tanpa penyiangan
G1
= Disiangi dua kali pada umur 3 dan 6 minggu setelah tanam (MST)
G2
= Disiangi tiga kali pada umur 3, 6, dan 9 MST
10 Setiap kombinasi perlakuan masing-masing diulang sebanyak tiga kali sehingga terdapat 27 satuan percobaan. Ukuran petak satuan percobaan 5 m x 3 m sehingga luasan efektif percobaan seluruhnya adalah 505 m2. Model linear untuk rancangan ini adalah: Yijk = µ + Ki + Pj + γij + Gk + (PG)jk + θijk Keterangan: Yijk
= Produksi jagung pada kelompok ke-i yang memperoleh perlakuan taraf ke-j dari faktor P dan taraf ke-k dari faktor G
µ
= Nilai rata-rata penambahan produksi jagung
Ki
= Pengaruh aditif dari kelompok ke-i
Pj
= Pengaruh aditif taraf cara persiapan lahan ke-j
γij
= Pengaruh galat yang muncul pada taraf ke-j dari faktor P kelompok ke-i (galat utama)
Gk
= Pengaruh aditif frekuensi pengendalian gulma ke-k
(PG)jk =Pengaruh interaksi taraf cara persiapan lahan ke-j dan taraf frekuensi pengendalian gulma ke-k Θijk
= Pengaruh galat percobaan pada kelompok ke-i yang memperoleh perlakuan taraf cara persiapan lahan ke-j dan taraf frekuensi pengendalian gulma ke-k (galat anak petak)
Hasil percobaan dianalisis dengan uji sidik ragam F taraf 5%. Jika perlakuan berpengaruh nyata diuji lebih lanjut dengan Uji Wilayah Berganda Duncan (DMRT). Pelaksanaan Persiapan Lahan Dua minggu sebelum tanam, terlebih dahulu dilakukan analisis vegetasi untuk mengetahui spesies gulma dominan pada areal percobaan. Analisis vegetasi dilakukan dengan menggunakan kuadrat berukuran 0.5 m x 0.5 m pada setiap petak percobaan. Petak dengan perlakuan P0 diolah secara sempurna, yaitu lahan diolah dengan menggunakan traktor tangan dan diratakan dengan cangkul pada 3 hari sebelum tanam (HSbT). Pada petak P1, penyiapan lahan dilakukan dengan
11 aplikasi herbisida paraquat pada 4 HSbT, sedangkan petak dengan perlakuan P2 diaplikasikan dengan glifosat pada 8 HSbT. Aplikasi herbisida menggunakan knapsnack sprayer pada volume 500 L/ha dan dilaksanakan pada pagi hari saat cuaca tidak mendung dan tidak berawan. Penanaman Benih jagung yang telah diberi Rhidomil ditanam serempak dengan cara ditugal sedalam kurang lebih 3 cm dan jarak tanam 75 cm x 40 cm sebanyak dua benih tiap lubangnya lalu ditutup dengan tanah. Pemberian insektisida furadan 3G dengan dosis 20 kg/ha diberikan bersamaan dengan benih. Penyulaman dilakukan pada 1 MST, dan penjarangan dilakukan pada 2 MST dengan menyisakan dua tanaman tiap lubang. Pemupukan Pemupukan dilakukan dua kali, yaitu pemupukan dasar yang dilakukan bersamaan dengan tanam dan pemupukan susulan untuk pupuk urea pada 3 MST. Pupuk yang digunakan adalah pupuk SP-18 sebanyak 200 kg/ha, KCl 100 kg/ha, dan urea 200 kg/ha, khusus untuk pupuk urea diberikan dua kali, yaitu sepertiga bagian (66.67 kg) pada saat pemupukan dasar dan sisanya (133.33 kg) diberikan saat pemupukan susulan pada 3 MST. Pupuk diberikan dengan cara ditugal dengan jarak 7-10 cm dari lubang tanam kemudian ditutup dengan tanah. Pengendalian gulma sesuai dengan perlakuan. Penyiangan dilakukan secara manual menggunakan alat bantu berupa kored atau cangkul. Penyemprotan Score dilakukan jika telihat gejala serangan hama dan penyakit, seperti; hama belalang, Spodoptera litura, dan penyakit hawar daun yang umumnya menyerang tanaman jagung. Pemanenan Tanaman jagung dapat dipanen saat 95% daun dan kelobot menguning dan kering serta adanya black layer pada pangkal biji.
12 Pengamatan Peubah yang diamati pada jagung : Pengamatan pada komponen vegetatif jagung dilakukan pada sepuluh tanaman contoh per petak yang ditentukan secara acak dan bukan tanaman pinggir, sedangkan pengamatan komponen generatif dilakukan secara ubinan dengan luas 2 m x 2 m tiap petak. Komponen vegetatif: 1. Tinggi tanaman, diukur dari permukaan tanah hingga ujung daun tertinggi dilakukan pada 4, 6, dan 8 MST 2. Jumlah daun per tanaman, dihitung pada 4, 6, dan 8 MST Komponen generatif: 3. Umur berbunga, umur tanaman 75% mengeluarkan tasel 4. Jumlah tongkol per tanaman 5. Hasil ubinan bobot basah dan bobot kering tongkol berkelobot yang diambil dari hasil tiap petak panen bersih tanpa tanaman pinggir. 6. Bobot brangkasan, bobot biji pipilan kering hasil ubinan, bobot 100 biji, dan potensi hasil.
Peubah yang diamati pada gulma: 1. Nisbah Jumlah Dominansi (NJD) atau Summed Dominance Ratio (SDR), yang dilakukan pada 2 minggu sebelum tanam (MSbT), 4, 6, dan 8 MST. 2. Persentase penutupan gulma diamati secara visual pada 2 minggu sebelum tanam, 4, dan 12 MST. 3. Bobot kering gulma dominan pada 2 minggu sebelum tanam, 4, 6, 8 MST, dengan menggunakan metode kuadrat berukuran 0.5 m x 0.5 m. Contoh gulma yang terdapat di dalam kuadrat dipotong sampai dengan permukaan tanah dan dipisahkan berdasarkan spesiesnya kemudian dioven selama 24 jam dengan suhu 1050C dan ditimbang.
13 4. Koefisien komunitas gulma pada saat 2 MSbT yang diperoleh dari rumus (Numata, 1982): C=
2W
100 %
a+b Keterangan: C = Koefisien komunitas W= Jumlah dari dua kuantitas terendah untuk jenis dari masing-masing komunitas a = Jumlah dari seluruh kuantitas pada komunitas pertama b = Jumlah dari seluruh kuantitas pada komunitas kedua Nilai C > 75 %, berarti dua komunitas dinyatakan homogen Nilai C <75 %, berarti dua komunitas dinyatakan heterogen
Nilai NJD digunakan untuk melihat dominansi gulma-gulma dominan yang terdapat pada setiap perlakuan dalam petak percobaan. Nilai NJD diperoleh dari rumus yang dikembangkan oleh Numata (1982) yaitu: Kerapatan Mutlak (KM)
= Jumlah individu spesies tertentu dalam petak contoh
Kerapatan Relatif (KR)
=
KM spesies tertentu Jumlah KM seluruh spesies
Frekuensi Mutlak (FM)
= Jumlah petak contoh yang memiliki spesies tertentu
Frekuensi Relatif (FR)
=
FM spesies tertentu Jumlah FM seluruh spesies
Dominansi Mutlak (DM)
= Berat kering spesies dalam petak contoh
Dominansi Relatif (DR)
=
DM spesies tertentu Jumlah DM seluruh spesies
Nilai Penting (NP)
= KR + FR + DR
Nisbah Jumlah Dominansi = NP 3
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Kondisi lahan sebelum dilaksanakan penelitian adalah tidak ditanami tanaman budidaya (bera) selama tiga bulan. Pada pengamatan awal sebelum dilakukan aplikasi herbisida, persentase penutupan gulma pada tiap perlakuan cukup tinggi yaitu sebesar 90 %. Selain pengamatan penutupan gulma, juga dilakukan analisis vegetasi awal untuk mengetahui komposisi gulma awal dan koefisien komunitas (C) antar petak perlakuan. Koefisien komunitas dilakukan untuk mengetahui keseragaman komunitas gulma antar petak percobaan. Dua komunitas dinyatakan homogen apabila nilai C > 75% dan dinyatakan heterogen jika C < 75% (Numata, 1982). Pada petak percobaan diperoleh nilai koefisien komunitas sebesar > 75% (Lampiran 3). Hal ini menunjukkan lahan percobaan memiliki komposisi gulma yang homogen. Waktu aplikasi herbisida glifosat berbeda dengan waktu aplikasi herbisida paraquat. Aplikasi herbisida glifosat dilakukan pada 8 hari sebelum tanam (HSbT) dan herbisida paraquat 4 HSbT. Perbedaan waktu aplikasi kedua herbisida tersebut didasarkan atas perbedaan sifat dan karakteristik kedua herbisida. Herbisida glifosat bersifat sistemik dan herbisida paraquat bersifat kontak. Sedangkan untuk olah tanah sempurna, lahan dibersihkan dengan traktor tangan dan diratakan dengan cangkul pada tiga hari sebelum tanam. Benih jagung yang sudah dicampur dengan Rhidomil ditanam dengan cara ditugal. Benih jagung sudah mulai berkecambah pada 4-7 hari setelah tanam dan mempunyai daya berkecambah sebesar 95%. Kegiatan penyulaman dilakukan pada 1 MST dan penjarangan pada 2 MST dengan menyisakan dua tanaman per lubang tanam. Hama yang menyerang tanaman selama percobaan adalah belalang (Sexava spp.) dengan gejala daun rusak dan berlubang. Namun, hama belalang tidak menyebabkan penurunan hasil yang berarti. Pada saat tanaman berumur 11 MST terjadi kerebahan pada sebagian tanaman yang disebabkan intensitas hujan yang tinggi disertai angin yang cukup besar. Saat menjelang panen, terdapat serangan burung yang memakan biji jagung yang sudah mulai masak.
15 Pengamatan pada Gulma Nisbah Jumlah Dominansi (NJD) Keberadaan gulma dalam areal pertanian dapat menimbulkan kerugian hasil baik secara kuantitas maupun kualitas. Hal ini disebabkan adanya kompetisi antara gulma dengan tanaman budidaya dalam pemanfaatan sarana pertumbuhan yang ada dalam keadaan terbatas secara bersamaan. Sarana tumbuh merupakan faktor pendukung pertumbuhan suatu tanaman, yang meliputi; cahaya, air, hara, dan ruang tumbuh. Penguasaan sarana tumbuh dapat dilihat dari Nisbah Jumlah Dominansi (NJD) gulma. Semakin besar nilai NJD gulma berarti semakin tinggi kemampuan spesies gulma tersebut dalam penguasaan sarana tumbuh. Nilai NJD dapat diperoleh dari kegiatan analisis vegetasi dengan mengamati jenis, kerapatan, frekuensi, dan bobot kering gulma dalam suatu komunitas. Adanya perlakuan teknik persiapan lahan dan frekuensi pengendalian gulma menyebabkan perubahan komposisi gulma, baik pada spesies maupun jumlah gulma. Hasil analisis vegetasi awal pada 2 minggu sebelum tanam (Lampiran 4)
menunjukkan ada 17 spesies gulma yang dikelompokkan atas
7 spesies golongan rumput, 9 spesies golongan daun lebar, 2 spesies golongan teki. Pada saat 4 MST terdapat 18 spesies gulma yang terdiri atas 6 spesies golongan rumput, 11 spesies gulma golongan daun lebar, dan 1 spesies teki. Komposisi gulma pada 6 MST tidak berbeda dengan komposisi gulma pada saat 4 MST, yaitu terdiri dari 18 spesies gulma dengan pengelompokan 6 spesies golongan rumput, 11 spesies golongan daun lebar, dan 1 spesies teki. Pada 8 MST terjadi penurunan jumlah spesies gulma menjadi 17 spesies gulma yang terdiri dari 6 spesies golongan rumput dan 11 spesies golongan berdaun lebar. Penurunan spesies gulma tersebut dapat disebabkan karena adanya perlakuan penyiangan gulma pada 6 MST, sehingga memungkinkan adanya spesies gulma tercabut. Terdapat 5 spesies gulma yang dominan pada lahan percobaan yang terdiri dari: Axonopus compressus, Brachiaria mutica, Borreria alata, Cleome rutidosperma, dan Euphorbia hirta.
16 35 30
N J D (%)
25 A. compressus
20
B. mutica
15
B.alata
10
E. hirta C. rutidosperma
5 0 2 MSbT
4 MST
6 MST
8 MST
Umur
Gambar 1.Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Komposisi Gulma Dominan Gambar 1 menunjukkan adanya perubahan nilai NJD gulma dominan setelah diberikan perlakuan teknik persiapan lahan dan frekuensi pengendalian gulma. Pada 4 MST, hampir seluruh gulma dominan mengalami penurunan nilai NJD, kecuali Cleome rutidosperma yang mengalami kenaikan nilai NJD. Penurunan nilai NJD gulma-gulma dominan selain persiapan lahan, lebih disebabkan adanya perlakuan pengendalian gulma pada 3 MST. Hal ini dapat dilihat dari analisis vegetasi pada 4 MST, dimana tidak adanya gulma yang diperoleh pada perlakuan penyiangan dua kali maupun penyiangan tiga kali. Pengamatan gulma pada 6 MST menunjukkan hampir semua gulma dominan mengalami peningkatan nilai NJD, hanya gulma Cleome rutidosperma yang mengalami penurunan nilai NJD. Brachiaria mutica memiliki NJD tertinggi pada 6 MST. Pada 4 dan 6 MST, terdapat perbedaan antara gulma Cleome rutidosperma dengan gulma dominan lainnya. Hal ini dapat terjadi karena Cleome rutidosperma merupakan kelompok gulma daun lebar yang berbatang lunak yang cepat tumbuh pada lahan yang baru diolah/ditanami, namun akan terdesak dengan gulma yang berbatang keras baik dari rumput maupun daun lebar seiring berjalannya waktu. Selain itu, kemampuan spesies gulma tertentu dalam menyerap fosfor tersedia dalam tanah dapat memberi pengaruh terhadap serapan herbisida
17 oleh gulma. Spesies gulma yang menyerap fosfor lebih tinggi akan menyebabkan herbisida yang diaplikasikan menjadi kurang efektif pada gulma tersebut. Pada 8 MST, hampir semua gulma dominan mengalami penurunan nilai NJD, hanya Borreria alata yang mengalami peningkatan nilai NJD. Meskipun mengalami penurunan nilai NJD, namun Brachiaria mutica pada 8 MST lebih dominan di petak percobaan dibanding gulma dominan lainnya. Hal ini disebabkan Brachiaria mutica memiliki frekuensi mutlak dan kerapatan mutlak yang lebih tinggi dibanding gulma lainnya. Perubahan komposisi gulma dominan diakibatkan adanya perlakuan teknik persiapan lahan dan frekuensi pengendalian gulma dapat dilihat dari perubahan nilai NJD gulma dominan (Gambar 1). Gulma Axonopus compressus yang awalnya sangat dominan sebelum adanya perlakuan tergantikan oleh gulma Brachiaria mutica setelah diberikan perlakuan. Gulma Axonopus compressus dan Brachiaria mutica merupakan gulma golongan rumput yang mempunyai perakaran dalam dan rhizome yang luas. Namun, gulma Brachiaria mutica lebih mampu bertahan dalam keadaan terbuka maupun ternaungi. Hal ini berbeda dengan gulma Axonopus compressus yang termasuk tanaman C-4 sehingga harus membutuhkan cahaya matahari yang cukup dalam pertumbuhannya (Skerman dan Riveros, 1989). Muncul dan berkembangnya jenis-jenis gulma dominan pada lahan pertanian, selain dipengaruhi oleh iklim, keadaan tanah, dan sifat biologi jenis gulma, juga ditentukan oleh sistem persiapan lahan, pola tanam, dan cara pengendalian. Selain itu, spesies gulma tertentu memiliki daya adaptasi yang berbeda terhadap perubahan kondisi lingkungan yang mengakibatkan terjadinya perubahan komposisi dominansi gulma dalam sebuah komunitas. Spesies gulma yang memiliki daya adaptasi tinggi akan mampu tumbuh dan mendominasi komunitas tersebut (Moenandir, 1993) Pengaruh Teknik Persiapan Lahan Perlakuan teknik persiapan lahan menyebabkan terjadinya perubahan komposisi gulma dominan dan gulma lainnya. Pengaruh teknik persiapan lahan terhadap dinamika populasi gulma tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
18 Tabel 1. Pengaruh Teknik Persiapan Lahan terhadap Komposisi Gulma Dominan Umur
Perl. Bm 33.38 38.9 31.43
NJD (%) Ba 32.47 26.93 26.89
Eh 5.18 7.49 4.28
Jumlah Cr 10.63 6.04 9.46
Gulma lain
90.72 91.03 80.35
9.28 8.97 19.65
4 MST
P0 P1 P2
Ac 9.06 11.67 8.29
6 MST
P0 P1 P2
9.81 16.35 14.61
33.68 45.09 37.00
29.74 18.32 21.86
12.66 14.34 12.01
2.98 1.62 2.47
88.87 95.73 87.96
11.13 4.27 12.04
8 MST
P0 P1 P2
18.23 21.09 23.57
24.80 29.99 26.41
27.20 24.13 20.68
9.84 11.27 6.19
6.95 1.47 3.41
87.03 87.95 80.27
12.97 12.05 19.73
Keterangan: NJD = Nisbah jumlah dominansi; MSbT = Minggu sebelum tanam; MST = Minggu setelah tanam; P0 = Olah tanah sempurna; P1 = Tanpa olah tanah + paraquat; P2 = Tanpa olah tanah + glifosat Ac = Axonopus compressus; Bm = Brachiaria mutica; Ba = Borreria alata ; Eh = Euphorbia hirta ; Cr = Cleome rutidosperma
Perlakuan olah tanah sempurna mampu menekan pertumbuhan gulma Axonopus compressus yang awalnya mendominasi petak percobaan. Namun, pengolahan tanah sempurna tidak mampu menekan pertumbuhan gulma Borreria alata, dan cleome rutidosperma. Hal ini dapat disebabkan kedua gulma golongan daun lebar tersebut berkembang biak dengan biji, sehingga pada saat pengolahan tanah biji-biji gulma terangkat ke permukaan dan segera berkecambah. Moenandir (1993) menjelaskan bahwa pengolahan tanah akan mendorong biji berpindah tempat, yang menyebabkan keadaan dormansinya tertekan dan dapat segera berkecambah. Perlakuan TOT + paraquat memiliki NJD gulma dominan paling tinggi dibanding dengan perlakuan lainnya (Tabel 1). Pada Tabel 1 juga terlihat perlakuan TOT + herbisida paraquat tidak mampu dalam menekan pertumbuhan kembali gulma dominan, khususnya Axonopus compressus dan Brachiaria mutica yang keduanya berasal dari golongan rumput. Kurang efektifnya paraquat pada beberapa spesies gulma dominan, khususnya gulma golongan rumput, disebabkan herbisida yang bersifat kontak dan morfologi daun gulma. Tjitrosoedirdjo et. al., (1984) menyatakan bahwa herbisida kontak hanya mematikan bagian tanaman
19 yang terkena larutannya, sehingga bagian tanaman yang berada di bawah tanah seperti akar atau akar rimpang tidak terpengaruhi dan pada waktunya dapat tumbuh kembali. Sukman dan Yakup (2002) menambahkan bahwa herbisida paraquat kurang efektif dalam mematikan gulma golongan rumput yang memiliki akar rimpang atau stolon. Selain itu, butiran paraquat juga sulit menempel pada daun yang berkedudukan tegak, sempit, dan berlilin. Perlakuan TOT + glifosat cukup berhasil dalam menekan pertumbuhan gulma dominan seperti Brachiaria mutica dan Borreria alata. Selain itu, perlakuan TOT + glifosat memiliki NJD gulma dominan yang lebih rendah dibanding dengan perlakuan lainnya (Tabel 1). Hal ini disebabkan herbisida glifosat
bersifat sistemik yang memiliki spektrum luas artinya dapat
mengendalikan gulma annual, biannual, dan perennial dengan jenis gulma rumput-rumputan, teki, dan daun lebar (Ashton dan Monaco, 1991). Pengaruh Frekuensi Pengendalian Gulma Komposisi gulma dominan dan gulma lainnya mengalami perubahan dengan adanya perlakuan frekuensi pengendalian gulma. Dinamika komposisi gulma dominan dan lainnya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Pengaruh Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Komposisi Gulma Dominan Umur
Perl. Bm 36.90 0 0
NJD (%) Ba 24.79 0 0
Eh 7.32 0 0
Cr 12.38
Jumlah
4 MST
G0 G1 G2
Ac 10.12 0 0
6 MST
G0 G1 G2
18.40 16.15 8.22
31.12 39.95 41.71
26.89 21.30 19.73
12.22 12.55 18.24
8 MST
G0 G1 G2
21.13 24.47 24.29
33.78 17.89 23.52
26.51 28.11 18.39
9.94 11.09 6.27
91.52 0 0
Gulma lain 8.48 0 0
1.47 0.38 2.60
87.22 79.05 90.51
12.78 20.95 9.49
2.09 3.96 4.78
93.46 85.54 77.25
6.54 14.46 22.75
Keterangan: NJD = Nisbah jumlah dominansi; MSbT = Minggu sebelum tanam; MST = Minggu setelah tanam; G0 = Tanpa pengendalian gulma; G1 = Pengendalian gulma 2 kali; P2 = Pengendalian gulma 3 kali Ac = Axonopus compressus; Bm = Brachiaria mutica; Ba = Borreria alata ; Eh = Euphorbia hirta ; Cr = Cleome rutidosperma
20 Pada 4 MST, nilai NJD gulma dominan pada G1 dan G2 tidak ada, nilai NJD hanya terdapat pada G0. Hal ini disebabkan perlakuan pengendalian gulma yang dilakukan pada 3 MST, sehingga petak-petak percobaan yang disiangi belum terdapat gulma yang tumbuh. Pada petak G0 (tanpa pengendalian gulma), nilai NJD Brachiaria mutica lebih tinggi dibanding gulma dominan lainnya. Pada 6 dan 8 MST hanya terdapat perubahan nilai NJD pada gulma-gulma dominan. Meskipun adanya pengendalian gulma (perlakuan G1 dan G2) tetapi tidak mengubah komposisi gulma Brachiaria mutica sebagai gulma yang lebih dominan di areal percobaan, Hal ini dapat disebabkan karena pengendalian gulma yang dilakukan secara manual, sehingga masih adanya sisa perakaran gulma yang tersisa. Brachiaria mutica merupakan gulma golongan rumput yang memiliki perakaran yang kuat dan menjalar. Selain itu, Brachiaria mutica mampu untuk menghasilkan tunas dari setiap bukunya. Persentase Penutupan Gulma Persentase penutupan gulma dilakukan secara visual dengan tujuan untuk mengetahui besarnya penutupan gulma pada suatu komunitas/areal percobaan. Teknik persiapan lahan dan frekuensi pengendalian gulma mempengaruhi persentase pengendalian gulma. Terdapat interaksi antara teknik persiapan lahan dan frekuensi pengendalian gulma (Lampiran 5 dan Lampiran 7). Tabel 3. Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Persentase Penutupan Gulma Persentase Penutupan Gulma (%) Perlakuan Teknik Persiapan lahan OTS (P0) TOT + Paraquat (P1) TOT + Glifosat (P2) Frekuensi Pengendalian Gulma Kontrol (G0) Penyiangan 2 kali (G1) Penyiangan 3 kali (G2)
4 MST
12 MST
13.67b 17.33a 14.78b
54.44 54.33 51.78
28.22p 9.56q 8.00q
77.56p 56.44q 24.56r
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata pada taraf uji DMRT (5%)
21 Tabel 3 memperlihatkan bahwa pada pengamatan 4 MST, perlakuan TOT + paraquat mempunyai persentase penutupan gulma paling tinggi. Meskipun pada 12 MST, persentase penutupan gulma tidak berbeda nyata di setiap perlakuan, namun terdapat kecenderungan perlakuan TOT + paraquat mempunyai persentase penutupan gulma yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan TOT + paraquat kurang efektif dalam mematikan seluruh bagian gulma sehingga gulma yang tersisa pada waktunya dapat tumbuh kembali. Zubachtirodin dan Amir (1998) menyatakan bahwa gulma yang dapat berkembang biak dengan umbi, rimpang atau tunas dari buku-bukunya dapat tumbuh subur kembali meskipun telah diaplikasikan herbisida paraquat. Pengolahan tanah sempurna secara nyata memberikan persentase penutupan gulma yang lebih rendah pada 4 MST, artinya persiapan lahan secara OTS mampu menekan pertumbuhan kembali gulma dengan baik pada awal penanaman. Namun keadaan ini tidak berlanjut pada 12 MST, dimana pada pengamatan 12 MST terdapat kecenderungan perlakuan olah tanah sempurna memiliki persentase penutupan gulma yang lebih tinggi (Tabel 3). Hal ini dapat disebabkan karena adanya kegiatan pembalikan tanah dan kodisi tanah yang terbuka memungkinkan seed bank yang sebelumnya mengalami dormansi panjang menjadi tertekan dan dapat berkecambah. Moenandir (1993) menyatakan bahwa pada sistem olah tanah sempurna, adanya kegiatan pembalikan tanah lapisan bawah ke permukaan atas menyebabkan biji-biji gulma juga terangkat ke permukaan dan mendorong pecahnya dormansi dengan didukung kondisi keseimbangan air dan udara di dalam tanah yang kondusif. Perlakuan pengendalian gulma secara nyata mempengaruhi persentase penutupan gulma pada 4 dan 12 MST (Tabel 3). Pada 4 MST, adanya pengendalian gulma memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap persentase penutupan gulma dibandingkan dengan tanpa pengendalian gulma. Pengamatan 12 MST juga menunjukkan pengendalian gulma tiga kali secara nyata berbeda pengaruhnya terhadap persentase penutupan gulma dibandingkan pengendalian gulma dua kali maupun tanpa pengendalian gulma. Meskipun penyiangan tiga kali berbeda nyata dengan penyiangan dua kali, namun perlu diperhatikan pengaruhnya terhadap tanaman pokok.
22 Interaksi Teknik Persiapan Lahan Dan Frekuensi Pengendalian Gulma. Interaksi antara kedua faktor terlihat pada pengamatan 4 MST. Perlakuan TOT + paraquat tanpa penyiangan menghasilkan persentase penutupan gulma yang tertinggi. Selain itu terdapat pengaruh nyata persentase penutupan gulma pada OTS tanpa penyiangan dengan TOT + glifosat tanpa penyiangan. Pengendalian gulma dua kali tidak berbeda nyata dengan pengendalian gulma tiga kali terhadap persentase penutupan gulma, tetapi keduanya berbeda nyata terhadap perlakuan tanpa penyiangan (Tabel 4). Tabel 4. Interaksi Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Persentase Penutupan Gulma Teknik Persiapan Lahan
Persentase Penutupan Gulma (%) G0 G1 G2 23.00b 9.33a 8.67a 34.00d 10.00a 8.00a 27.67c 9.33a 7.33a
Olah Tanah Sempurna (P0) TOT + Paraquat (P1) TOT + Glifosat (P2)
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT (5 %) G0= Tanpa penyiangan ; G1 = Penyiangan 2 kali ; G2 = Penyiangan 3 kali
Berat Kering Gulma Dominan Axonopus compressus Perlakuan teknik persiapan lahan dan frekuensi pengendalian gulma mempengaruhi berat kering gulma Axonopus compressus. Terdapat interaksi antara kedua perlakuan (Lampiran 5 dan Lampiran 8). Gulma
Axonopus
compressus
merupakan
gulma
perenial
yang
berkembang biak secara vegetatif dengan geragih (stolon) dan secara generatif dengan biji. Geragih Axonopus compressus beruas-ruas dengan tiap ruas berpotensi membentuk tunas dan akar pada bukunya. Selain itu, gulma Axonopus compressus termasuk tanaman C-4 yang tidak tahan terhadap intensitas cahaya rendah dan lama penyinaran yang tidak cukup. Secara
umum,
perlakuan persiapan
lahan
cukup
efektif
dalam
mengendalikan dan menekan pertumbuhan kembali gulma Axonopus compressus. Hal ini dapat dilihat dari dominansi awal gulma Axonopus compressus yang paling tinggi diantara gulma dominan lainnya. Namun setelah adanya perlakuan
23 persiapan lahan, gulma Axonopus compressus tertekan dan kalah bersaing dengan gulma dominan lainnya. Perlakuan TOT + glifosat memberikan penekanan terbaik terhadap berat kering gulma Axonopus compressus pada saat 4 MST (Tabel 5). Namun pada pengamatan berikutnya, terdapat kecenderungan perlakuan OTS menghasilkan berat kering gulma Axonopus compressus yang lebih rendah. Dalam setiap pengamatan, berat kering gulma Axonopus compressus paling tinggi terdapat di perlakuan TOT + paraquat. Hal ini disebabkan sifat kontak dan non selektif dari herbisida paraquat sulit untuk mematikan seluruh bagian gulma Axonopus compressus, khususnya alat perbanyakan vegetatif yaitu stolon. Selain itu, Rao (2000), menambahkan bahwa aplikasi paraquat akan efektif dalam mengendalikan gulma Axonopus compressus jika diaplikasikan secara berulang, sedangkan aplikasi glifosat dapat segera mengendalikan gulma tersebut. Frekuensi pengendalian gulma memberikan pengaruh nyata di setiap pengamatan (Tabel 5). Pengendalian gulma dua kali dan tiga kali efektif menekan pertumbuhan gulma Axonopus compressus dan menghasilkan berat kering yang lebih rendah dibanding dengan tanpa penyiangan. Tabel 5. Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Berat Kering Gulma Axonopus compressus Perlakuan Teknik Persiapan Lahan OTS (P0) TOT + Herbisida Paraquat (P1) TOT + Herbisida Glifosat (P2) Frekuensi Pengendalian Gulma Kontrol (G0) Penyiangan 2 kali (G1) Penyiangan 3 kali (G2)
Berat Kering Gulma A. compressus 4 MST 6 MST 8 MST 2 …………….gram/0.25 m ………….. 0.39ab 0.47a 0.29b
1.91b 3.47a 2.26b
1.14 1.39 1.30
1.15p 0.00q 0.00q
6.17p 0.94q 0.53q
3.25p 0.29q 0.30q
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT (5%)
Interaksi Teknik Persiapan Lahan Dan Frekuensi Pengendalian Gulma. Interaksi teknik persiapan lahan dan frekuensi pengendalian gulma berbeda nyata terlihat pada pengamatan 4 MST. Tabel 6 menunjukkan bahwa perlakuan TOT + paraquat
24 tanpa penyiangan memberikan berat kering gulma Axonopus compressus yang tertinggi dan diikuti oleh OTS tanpa penyiangan serta TOT + glifosat tanpa penyiangan. Tabel 6. Interaksi Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Berat Kering Gulma Axonopus compressus pada 4 MST Teknik Persiapan Lahan
Olah Tanah Sempurna (P0) TOT + Paraquat (P1) TOT + Glifosat (P2)
Berat Kering Gulma 4 MST G0 G1 G2 2 …………….....gram/0.25 m ………….. 1.17c 0.00a 0.00a 1.41d 0.00a 0.00a 0.87b 0.00a 0.00a
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT (5 %) G0= Tanpa penyiangan ; G1 = Penyiangan 2 kali ; G2 = Penyiangan 3 kali
Borreria alata. Hasil sidik ragam pada Lampiran 5 dan Lampiran 9 menunjukkan berat kering gulma Borreria alata dipengaruhi secara nyata oleh teknik persiapan lahan dan frekuensi pengendalian gulma serta terdapat interaksi antara kedua faktor. Tabel 7. Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Berat Kering Gulma Borreria alata Perlakuan Teknik Persiapan Lahan OTS (P0) TOT + Herbisida Paraquat (P1) TOT + Herbisida Glifosat (P2) Frekuensi Pengendalian Gulma Kontrol (G0) Penyiangan 2 kali (G1) Penyiangan 3 kali (G2)
Berat Kering Gulma B. alata 4 MST 6 MST 8 MST …………….gram/0.25 m2……………. 2.07a 1.45b 1.22b
7.54a 5.60b 5.27b
5.78 4.09 3.97
4.74p 0.00q 0.00q
11.65p 3.67q 3.09q
12.47p 0.60q 0.78q
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT (5%)
Dalam setiap pengamatan terlihat berat kering gulma Borreria alata paling tinggi terdapat di perlakuan OTS (Tabel 7). Hal ini menunjukkan persiapan lahan dengan menggunakan herbisida baik paraquat dan glifosat mampu menekan pertumbuhan kembali gulma Borreria alata. Menurut Moenandir (1993) bahwa glifosat secara nyata dapat mengurangi perkecambahan pada gulma berdaun lebar,
25 dan paraquat secara nyata dapat mengurangi perkecambahan pada gulma berdaun sempit. Gulma Borreria alata yang lebih dominan pada petak OTS dapat disebabkan oleh pecahnya dormansi biji-biji gulma ini karena berpindah tempat akibat pengolahan tanah. Gulma Borreria alata merupakan golongan daun lebar yang berkembang biak dengan biji. Biji-biji gulma Borreria alata mempunyai masa dormansi yang cukup tinggi dan kondisi lingkungan yang menguntungkan akan menstimulasi pecahnya dormansi sehingga biji berkecambah kembali (Madkar et al., 1996). Selain itu, Sumaryono (1992) menambahkan gulma Borreria alata mempunyai daya kecambah yang tinggi. Frekuensi pengendalian gulma berpengaruh nyata terhadap berat kering gulma Borreria alata. Pada perlakuan tanpa penyiangan, gulma Borreria alata tumbuh dengan cepat dan mendominasi areal percobaan. Tabel 7 juga memperlihatkan bahwa penyiangan dua kali dan penyiangan tiga kali memberikan berat kering gulma Borreria alata yang lebih rendah dibanding dengan tanpa penyiangan. Interaksi Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma. Interaksi antara teknik persiapan lahan dan frekuensi pengendalian gulma berpengaruh nyata terhadap berat kering gulma Borreria alata pada 4 dan 6 MST. Tabel 8 menunjukkan bahwa pada 4 MST, perlakuan OTS tanpa penyiangan memberikan hasil berat kering gulma Borreria alata yang paling tinggi kemudian diikuti perlakuan TOT + paraquat tanpa penyiangan dan TOT + glifosat tanpa penyiangan. Tabel 8. Interaksi Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Berat Kering Gulma Borreria alata pada 4 dan 6 MST Teknik Persiapan lahan
Berat Kering Gulma Borreria alata (gram/0.25 m2 ) 4 MST 6 MST G0 G1 G2 G0 G1 G2
OTS (P0)
6.20c
0.00a
0.00a
13.73e
6.63c
2.27ab
TOT+Paraquat(P1) TOT+Glifosat (P2)
4.35b 3.66b
0.00a 0.00a
0.00a 0.00a
11.73de 9.49d
0.60a 3.79b
4.49bc 2.53ab
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT (5 %) G0= Tanpa penyiangan ; G1 = Penyiangan 2 kali ; G2 = Penyiangan 3 kali
26 Pada 6 MST memperlihatkan bahwa perlakuan OTS tanpa penyiangan dan TOT + paraquat tanpa penyiangan menghasilkan berat kering gulma yang lebih tinggi (Tabel 8). Interaksi pada 4 MST dan 6 MST menunjukkan bahwa pengolahan tanah sempurna dengan tanpa penyiangan menghasilkan berat kering gulma Borreria alata yang paling tinggi. Hal ini menyatakan bahwa pengolahan tanah sempurna tidak efektif dalam menekan pertumbuhan kembali gulma Borreria alata. Selain itu, terlihat juga bahwa pengendalian gulma baik dua kali maupun tiga kali memberikan pengaruh yang nyata terhadap berat kering gulma Borreria alata dibanding dengan tanpa penyiangan. Hal ini berarti pengendalian gulma mampu memutus siklus hidup gulma Borreria alata. Brachiaria mutica. Perlakuan teknik persiapan lahan dan frekuensi pengendalian gulma mempengaruhi berat kering gulma Brachiaria mutica serta terdapat interaksi antara kedua faktor perlakuan (Lampiran 5 dan Lampiran 10). Tabel 9 menunjukkan bahwa pengolahan tanah sempurna maupun penggunaan herbisida glifosat pada TOT mampu mengendalikan gulma Brachiaria mutica. Hal lain yang terlihat bahwa dalam setiap pengamatan, berat kering gulma Brachiaria mutica yang tertinggi terdapat pada petak perlakuan TOT + paraquat. Tabel 9. Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Berat Kering Gulma Brachiaria mutica Perlakuan
Teknik Persiapan Lahan OTS (P0) TOT + Herbisida paraquat (P1) TOT + Herbisida glifosat (P2) Frekuensi Pengendalian Gulma Kontrol (G0) Penyiangan 2 kali (G1) Penyiangan 3 kali (G2)
Berat Kering Gulma B. mutica 4 MST 6 MST 8 MST ……....gram/0.25 m2……….. 1.71b 2.63a 1.53b
6.95b 11.87a 5.08b
5.93ab 7.29a 5.01b
5.86p 0.00q 0.00q
11.43p 6.11q 6.37q
17.45p 0.49q 0.28q
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT (5%)
Gulma Brachiaria mutica merupakan gulma golongan rumput tahunan yang berkembang biak dengan biji dan stolon serta memiliki perakaran yang luas.
27 Kurang efektifnya herbisida paraquat dalam mengendalikan gulma Brachiaria mutica disebabkan oleh masih adanya bagian gulma yang tidak terkena larutan herbisida saat aplikasi, khususnya bagian alat perkembangbiakan stolon, sehingga bagian stolon masih aktif dan dapat tumbuh kembali. Moenandir (1993) menyatakan bahwa pengendalian gulma yang mempunyai perakaran dalam dan stolon yang panjang kurang efektif dengan menggunakan herbisida kontak karena herbisida ini tidak dapat ditranslokasikan pada keseluruhan bagian gulma, khususnya ke pangkal stolon. Frekuensi pengendalian gulma memberikan pengaruh nyata terhadap berat kering gulma Brachiaria mutica. Penyiangan dua kali dan tiga kali mampu untuk menekan pertumbuhan kembali gulma ini. Penyiangan dua kali dan tiga kali memberikan berat kering gulma Brachiaria mutica yang lebih rendah dibanding dengan tanpa penyiangan (Tabel 9). Hal ini dapat disebabkan adanya penyiangan mampu mematahkan siklus hidup gulma Brachiaria mutica. Interaksi Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma. Interaksi teknik persiapan lahan dan frekuensi pengendalian gulma terlihat pada 4 dan 8 MST. Pada 4 MST, perlakuan TOT + paraquat tanpa penyiangan (P1G0) secara nyata menghasilkan berat kering gulma Brachiaria mutica yang lebih tinggi dibanding petak perlakuan lainnya (Tabel 10). Selain itu, pada Tabel 10 juga menunjukkan bahwa teknik persiapan lahan dengan pengendalian gulma baik dua kali maupun tiga kali cukup efektif untuk menekan pertumbuhan kembali gulma Brachiaria mutica. Tabel 10. Interaksi Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Berat Kering Gulma Brachiaria mutica pada 4 dan 8 MST Teknik Persiapan Lahan OTS (P0) TOT+Paraquat(P1) TOT+Glifosat (P2)
Berat Kering Gulma Brachiaria mutica (gram/0.25 m2) 4 MST 8 MST G0 G1 G2 G0 G1 G2 5.12b 7.89c 4.58b
0.00a 0.00a 0.00a
0.00a 0.00a 0.00a
16.44b 21.38c 14.52b
0.42a 0.21a 0.22a
0.92a 0.27a 0.29a
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT (5 %) G0= Tanpa penyiangan ; G1 = Penyiangan 2 kali ; G2 = Penyiangan 3 kali
28 Pada 8 MST tidak berbeda jauh dengan pengamatan 4 MST, petak perlakuan TOT + paraquat dengan tanpa penyiangan memiliki berat kering gulma Brachiaria mutica yang lebih tinggi dibanding dengan petak perlakuan lainnya (Tabel 10). Selain itu, teknik persiapan lahan dengan pengendalian gulma dua kali dan tiga kali memiliki nilai berat kering gulma Brachiaria mutica yang lebih rendah dibanding teknik persiapan lahan tanpa pengendalian gulma. Euphorbia hirta. Hasil sidik ragam pada Lampiran 5 dan Lampiran 11 menunjukkan bahwa teknik persiapan lahan dan frekuensi pengendalian gulma memberi pengaruh nyata pada berat kering gulma Euphorbia hirta serta terdapat interaksi antara kedua faktor perlakuan. Tabel 11. Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Berat Kering Gulma Euphorbia hirta Perlakuan Teknik Persiapan Lahan OTS (P0) TOT + Herbisida Paraquat (P1) TOT + Herbisida Glifosat (P2) Frekuensi Pengendalian Gulma Kontrol (G0) Penyiangan 2 kali (G1) Penyiangan 3 kali (G2)
Berat kering gulma Euphorbia. hirta 4 MST 6 MST 8 MST …………..gram/0.25 m2………… 0.24b 0.35a 0.20b
1.79ab 1.98a 1.56b
1.44 1.51 1.35
0.79p 0.00q 0.00q
3.96p 1.08q 0.79q
4.31p 0.15q 0.05q
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT (5%)
Perlakuan TOT + paraquat memberikan nilai berat kering gulma Euphorbia hirta yang lebih tinggi dibanding dengan perlakuan persiapan lahan lainnya (Tabel 11). Kombinasi TOT dengan paraquat kurang efektif dalam mematikan seluruh bagian gulma Euphorbia hirta, sehingga gulma ini mampu untuk tumbuh kembali. Sedangkan kombinasi TOT + glifosat akan lebih efektif dalam menekan pertumbuhan gulma ini. Hal ini dapat dilihat dari berat kering gulma ini yang lebih rendah dibanding perlakuan lainnya, meskipun tidak memberi nilai yang signifikan. Euphorbia hirta merupakan gulma golongan daun lebar yang cepat berkembang biak dengan biji. Kecambah biji gulma salah satunya dipengaruhi
29 oleh herbisida dalam hal pengambilan ion-ion. Glifosat merupakan herbisida yang mampu mengubah pengambilan atau perpindahan ion kalsium dalam kecambah yang menyebabkan berkurang dan terganggunya perpindahan ion kalsium ke dalam jaringan daun (Moenandir, 1988). Frekuensi pengendalian gulma berpengaruh nyata pada berat kering gulma Euphorbia hirta. Pengendalian gulma baik dua kali dan tiga kali mampu menghentikan
pertumbuhan
kembali
gulma
Euphorbia
hirta
sehingga
menghasilkan berat kering yang lebih rendah dibanding dengan tanpa pengendalian (Tabel 11). Interaksi Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma. Interaksi perlakuan teknik persiapan lahan dan frekuensi pengendalian gulma terlihat pada 4 MST dan 6 MST. Pada 4 MST, berat kering gulma Euphorbia hirta tertinggi terdapat pada petak perlakuan TOT + paraquat tanpa penyiangan (Tabel 12). Berat kering gulma pada teknik persiapan lahan baik dengan penyiangan dua kali maupun tiga kali belum ada. Hal ini menunjukkan bahwa pengendalian gulma efektif menghentikan pertumbuhan gulma Euphorbia hirta. Tabel 12. Interaksi Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Berat Kering Gulma Euphorbia hirta pada 4 dan 6 MST Teknik Persiapan Lahan
Berat Kering Gulma Euphorbia hirta (gram/0.25 m2) 4 MST 6 MST G0 G1 G2 G0 G1 G2
OTS (P0) 0.71b TOT+Paraquat(P1) 1.04c TOT+Glifosat (P2) 0.61b
0.00a 0.00a 0.00a
0.00a 0.00a 0.00a
3.58c 5.43d 2.87c
1.63b 0.53ab 1.08ab
0.37a 1.24ab 0.77ab
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT (5 %) G0= Tanpa penyiangan ; G1 = Penyiangan 2 kali ; G2 = Penyiangan 3 kali
Pada 6 MST, petak perlakuan TOT + paraquat tanpa penyiangan (P1G0) menghasilkan berat kering gulma tertinggi. Pengolahan tanah sempurna tidak berbeda nyata terhadap berat kering gulma Euphorbia hirta dengan persiapan lahan TOT + glifosat. Selain itu, teknik persiapan lahan dengan pengendalian gulma dua kali dan tiga kali mempunyai berat kering yang lebih rendah dibanding dengan teknik persiapan lahan tanpa penyiangan.
30 Cleome rutidosperma. Teknik persiapan lahan tidak mempengaruhi berat kering gulma Cleome rutidosperma, namun frekuensi pengendalian gulma memberi pengaruh nyata terhadap berat kering gulma tersebut. Tidak terdapat interaksi antara kedua faktor perlakuan (Lampiran 5 dan Lampiran 12). Tabel 13. Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Berat Kering Gulma Cleome rutidosperma Perlakuan
Teknik Persiapan Lahan OTS (P0) TOT + Herbisida Paraquat (P1) TOT + Herbisida Glifosat (P2) Frekuensi Pengendalian Gulma Kontrol (G0) Penyiangan 2 kali (G1) Penyiangan 3 kali (G2)
Berat Kering Gulma C. rutidosperma 4 MST 6 MST 8 MST .…………..gram/0.25 m2………… 0.52 0.43 0.53
0.88 0.82 0.75
0.61 0.54 0.54
1.48p 0.00q 0.00q
2.45p 0.15q 0.05q
1.51p 0.10q 0.08q
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT (5%)
Tabel 13 memperlihatkan bahwa perlakuan teknik persiapan lahan tidak memberi pengaruh nyata terhadap berat kering gulma Cleome rutidosperma. Namun terdapat kecenderungan pengolahan tanah sempurna memberikan nilai berat kering gulma Cleome rutidosperma yang lebih tinggi. Gulma Cleome rutidosperma tergolong dalam kelompok gulma berdaun lebar yang berbatang lunak dan berkembang biak secara generatif dengan biji. Gulma Cleome rutidosperma meningkat berat keringnya pada perlakuan OTS disebabkan oleh adanya kegiatan pengolahan lahan yang mendorong biji gulma berpindah tempat dan keadaan dormansinya menjadi tertekan sehingga pada lingkungan yang mendukung dapat segera berkecambah. Frekuensi pengendalian gulma memberi pengaruh nyata terhadap berat kering gulma Cleome rutidosperma. Dalam setiap pengamatan, perlakuan tanpa penyiangan memberikan nilai berat kering gulma Cleome rutidosperma yang lebih tinggi dibanding penyiangan dua kali dan tiga kali. Pada akhir pengamatan, berat kering gulma ini menurun di perlakuan kontrol (tanpa penyiangan) yang disebabkan spesies gulma ini kalah bersaing dengan tanaman pokok ataupun gulma dominan lainnya.
31 Pengamatan pada Tanaman Jagung Tinggi Tanaman Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 6 dan Lampiran 13), perlakuan teknik persiapan lahan tidak mempengaruhi tinggi tanaman jagung, namun frekuensi pengendalian gulma memberi pengaruh yang nyata. Tidak terdapat interaksi antara kedua faktor perlakuan. Uji DMRT menunjukkan adanya kecenderungan perlakuan TOT + glifosat memiliki nilai rata-rata tinggi tanaman yang lebih baik (Tabel 14). Tabel 14. Pengaruh Teknik Persiapan lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Tinggi Tanaman Jagung Perlakuan
Teknik Persiapan lahan OTS (P0) TOT + Herbisida Paraquat (P1) TOT + Herbisida Glifosat (P2) Frekuensi Pengendalian Gulma Kontrol (G0) Penyiangan 2 kali (G1) Penyiangan 3 kali (G2)
Tinggi Tanaman 4 MST 6 MST 8 MST ……………cm/tanaman…………….. 71.39 70.43 71.59
118.62 114.97 118.71
178.78 175.82 180.14
65.50p 75.21q 72.70q
104.02p 124.16q 124.12q
153.35p 194.84q 186.56q
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT (5%)
Teknik persiapan lahan kombinasi TOT + glifosat menghasilkan tinggi tanaman yang lebih baik dibanding dengan OTS maupun TOT + paraquat. Persiapan lahan kombinasi TOT + glifosat mampu menciptakan kondisi lingkungan yang mendukung bagi pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman jagung. Kondisi lingkungan yang mendukung tersebut tercipta dari mulsa sisa gulma yang mati sebelumnya. Mulsa alami tersebut dapat meningkatkan bahan organik dalam tanah, menekan pertumbuhan gulma, dan meningkatkan kesuburan tanah serta memperbaiki kondisi fisik dan kimiawi tanah sehingga akan mendukung pertumbuhan tanaman yang ada di atasnya, khususnya tinggi tanaman menjadi lebih baik. Sukman dan Yakup (2002) menambahkan bahwa penggunaan herbisida glifosat dapat mendukung kondisi lingkungan pertanaman lebih baik
32 karena herbisida ini tergolong herbisida organik yang dengan mudah dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme tanah. Frekuensi pengendalian gulma berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman. Dalam setiap pengamatan, perlakuan tanpa pengendalian gulma memberikan nilai tinggi tanaman yang paling rendah dibanding penyiangan dua kali maupun penyiangan tiga kali (Tabel 14). Namun, penyiangan dua kali tidak menunjukkan perbedaan nyata dengan penyiangan tiga kali dalam meningkatkan tinggi tanaman. Hal ini berarti penyingan tiga kali tidak memberikan pengaruh yang lebih baik pada tinggi tanaman dibanding penyiangan dua kali. Jumlah Daun Perlakuan teknik persiapan lahan dan frekuensi pengendalian gulma memberi pengaruh nyata terhadap jumlah daun tanaman jagung, namun tidak terdapat interaksi antara kedua faktor perlakuan (Lampiran 6 dan Lampiran 14). Tabel 15. Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap jumlah Daun Tanaman Jagung Perlakuan
Teknik Persiapan lahan OTS (P0) TOT + Herbisida Paraquat (P1) TOT + Herbisida Glifosat (P2) Frekuensi Pengendalian Gulma Kontrol (G0) Penyiangan 2 kali (G1) Penyiangan 3 kali (G2)
Jumlah Daun 4 MST 6 MST 8 MST ……………helai/tanaman…………… 6.92 7.27 7.07
7.93a 8.26ab 8.59b
11.69a 12.03ab 12.21b
6.96 7.22 7.08
7.33p 8.96q 8.68q
10.97p 12.67q 12.30q
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT (5%)
Tabel 15 memperlihatkan bahwa teknik persiapan lahan memberi pengaruh nyata dalam peningkatan jumlah daun pada 6 dan 8 MST. Perlakuan OTS menghasilkan rata-rata jumlah daun yang lebih kecil di setiap pengamatan. Selain itu, penggunaan glifosat lebih baik dalam meningkatkan jumlah daun dibanding paraquat, meskipun tidak memberikan nilai yang signifikan. Jumlah daun salah satunya dipengaruhi oleh kondisi gulma di sekitar tanaman. Kondisi gulma yang lebat akan menyebabkan adanya persaingan dengan
33 tanaman utama sehingga rata-rata jumlah daun menjadi lebih rendah. Hal ini terlihat di perlakuan OTS dan TOT + paraquat. Pada perlakuan OTS, bagian (gulma) yang ada di dalam tanah terangkut ke permukaan sehingga cepat tumbuh kembali begitu juga dengan TOT + paraquat, gulma akan lebih cepat tumbuh karena tidak semua bagian gulma mati saat aplikasi. Lahan dengan kondisi gulma yang lebat akan menurunkan ketersediaan radiasi cahaya bagi daun sehingga dapat mengurangi lebar tiap helai daun dan mempercepat penuaan daun-daun bagian bawah (Fadhly, et al., 2004). Perlakuan frekuensi pengendalian gulma memberi pengaruh nyata pada rata-rata jumlah daun di pengamatan 6 dan 8 MST. Perlakuan tanpa penyiangan meberikan nilai jumlah daun yang paling rendah dibanding perlakuan lainnya (Tabel 15). Hal ini menunjukkan kondisi sekitar tanaman yang banyak gulma akan menurunkan rata-rata jumlah daun. Umur Berbunga, Jumlah Tongkol dan Berat Brangkasan. Tabel 16. Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Umur Berbunga, Jumlah Tongkol dan Bobot Brangkasan Tanaman Jagung Perlakuan
Teknik Persiapan lahan OTS (P0) TOT + Herbisida Paraquat (P1) TOT + Herbisida Glifosat (P2) Frekuensi Pengendalian Gulma Kontrol (G0) Penyiangan 2 kali (G1) Penyiangan 3 kali (G2)
Umur Berbunga
Jumlah tongkol
Bobot Brangkasan
55.56 56.00 56.33
1.47 1.46 1.51
2.14 2.08 2.39
53.22p 57.33q 57.33q
1.34p 1.56q 1.53q
1.82p 2.28q 2.51q
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT (5%)
Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 6 dan Lampiran 15) memperlihatkan bahwa perlakuan teknik persiapan lahan tidak mempengaruhi umur berbunga, jumlah tongkol, dan bobot brangkasan tanaman jagung, namun frekuensi pengendalian gulma memberi pengaruh nyata terhadap ketiga peubah tersebut. Tidak terdapat interaksi antara kedua faktor perlakuan.
34 Umur Berbunga. Umur berbunga diamati pada saat 75% tanaman telah mengeluarkan tasel (bunga jantan). Meskipun tidak memberi nilai nyata, namun secara umum umur berbunga lebih cepat pada perlakuan OTS (Tabel 16). Umur berbunga tanaman dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan luar. Dalam hal ini, umur berbunga tanaman yang lebih cepat di petak perlakuan OTS dapat disebabkan oleh faktor lingkungan luar, yaitu kompetisi dengan gulma. Kompetisi yang tinggi antara tanaman jagung dengan gulma dapat menyebabkan tanaman lebih cepat berbunga. Susilowati (1999) menambahkan bahwa perlakuan OTS akan menyebabkan umur berbunga dan umur panen yang lebih cepat dibanding perlakuan TOT. Frekuensi pengendalian gulma memberi pengaruh nyata terhadap umur berbunga tanaman jagung. Perlakuan tanpa penyiangan menghasilkan umur berbunga yang lebih cepat dibanding dengan penyiangan dua kali dan tiga kali. Namun umur berbunga tidak berbeda nyata antara penyiangan yamg dilakukan dua kali dengan penyiangan tiga kali. Umur berbunga yang lebih cepat pada petak perlakuan tanpa penyiangan disebabkan karena kondisi sekitar tanaman yang banyak gulma sehingga menyebabkan persaingan antara gulma dengan tanaman jagung dalam memperebutkan air dan unsur hara. Tanaman yang mengalami stress air dan unsur hara dapat menyebabkan tanaman memasuki fase generatif lebih cepat. Jumlah Tongkol. Perlakuan teknik persiapan lahan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah tongkol. Namun terdapat kecenderungan rata-rata jumlah tongkol pada perlakuan TOT + glifosat menghasilkan rata-rata jumlah tongkol yang lebih besar dibanding dengan OTS dan TOT + paraquat (Tabel 16). Jumlah tongkol dipengaruhi oleh varietas dan faktor luar. Kompetisi tanaman utama dengan gulma dalam memperebutkan air dan unsur hara dapat menyebabkan ratarata jumlah tongkol tanaman menjadi lebih sedikit. Adanya hubungan antara kompetisi gulma dengan jumlah tongkol dapat dilihat pada perlakuan frekuensi pengendalian gulma. Adanya pengendalian gulma baik dua kali maupun tiga kali menghasilkan jumlah tongkol yang lebih besar dibandingkan dengan tanpa penyiangan (Tabel 16).
35 Bobot Brangkasan. Bobot brangkasan diperoleh dari hasil penimbangan seluruh bagian tanaman jagung, kecuali bagian tongkol. Hasil bobot brangkasan pada Tabel 16 menunjukkan bahwa teknik persiapan lahan tidak berpengaruh nyata terhadap bobot brangkasan tanaman jagung. Namun, terdapat kecenderungan perlakuan TOT + glifosat menghasilkan bobot brangkasan yang lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya. Hal ini dapat disebabkan oleh perlakuan glifosat yang memberikan kondisi pertanaman yang lebih baik akibat adanya mulsa dan penutupan gulma yang lebih kecil. Kondisi tersebut memberi keuntungan bagi pertumbuhan tanaman jagung khususnya vegetatif, yaitu perkembangan akar dan pertumbuhan batang. Perlakuan frekuensi pengendalian gulma memberi pengaruh nyata terhadap bobot brangkasan tanaman jagung. Tabel 16 menunjukkan perlakuan kontrol (tanpa penyiangan) menyebabkan bobot brangkasan yang terendah dibanding penyiangan dua kali dan penyiangan tiga kali. Kompetisi tanaman dengan gulma yang tinggi pada perlakuan tanpa penyiangan menyebabkan pertumbuhan tanaman jagung tertekan. Komponen Hasil Jagung Tabel 17. Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Bobot Basah Tongkol Berkelobot, Bobot Kering Tongkol Berkelobot, Bobot 100 Biji, dan Potensi Hasil
Perlakuan
Teknik Persiapan lahan OTS (P0) TOT + Paraquat (P1) TOT + Glifosat (P2) Frekuensi Pengendalian Gulma Kontrol (G0) Penyiangan 2 kali (G1) Penyiangan 3 kali (G2)
Bobot Tongkol Berkelobot (Kg) Bobot Bobot Basah Kering
Bobot 100 Biji (gram)
Potensi Hasil (ton/ha)
3.00 2.92 3.15
1.92 1.88 2.08
21.03 20.80 21.16
5.60 5.30 5.88
2.79a 3.18b 3.1b
1.76a 2.08b 2.04b
20.76 21.06 21.17
4.97a 5.76b 5.87b
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT (5%)
36 Bobot Basah dan Bobot Kering Tongkol Berkelobot. Berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 6 dan Lampiran 16) memperlihatkan bahwa perlakuan teknik persiapan lahan tidak berpengaruh nyata terhadap bobot basah dan bobot kering tongkol berkelobot, namun frekuensi pengendalian gulma memberi pengaruh nyata terhadap bobot basah dan bobot kering tongkol berkelobot. Tidak terdapat interaksi antara kedua faktor perlakuan. Uji DMRT pada Tabel 17 menunjukkan bahwa perlakuan teknik persiapan lahan tidak mempengaruhi bobot basah dan bobot kering tongkol berkelobot. Namun terdapat kecenderungan perlakuan TOT + paraquat menghasilkan bobot basah dan bobot kering tongkol berkelobot yang lebih rendah sedangkan perlakuan TOT + glifosat memberikan hasil bobot basah dan bobot kering tongkol yang lebih tinggi. Wardoyo (2001) menyatakan bahwa perlakuan glifosat mampu memperbaiki beberapa sifat tanah, seperti meningkatkan P-tersedia dan N-total, serta dapat menurunkan jumlah koloni total mikroorganisme bakteri rhizobium, mikroorganisme pelarut P-tersedia dan Ca-tersedia. Perlakuan frekuensi pengendalian gulma memberi pengaruh nyata terhadap bobot basah dan bobot kering tongkol berkelobot (Tabel 17). Bobot basah dan bobot kering tongkol berkelobot paling rendah terdapat pada perlakuan kontrol (tanpa penyiangan). Hal ini menunjukkan bahwa kerapatan populasi gulma secara nyata menurunkan hasil produksi yang disebabkan persaingan dalam mendapatkan air, unsur hara, cahaya, dan ruang tumbuh. Bobot basah dan bobot kering pada perlakuan penyiangan dua kali tidak berbeda nyata dengan penyiangan tiga kali. Bobot 100 Biji dan Potensi Hasil. Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 6 dan Lampiran 17 menunjukkan bahwa perlakuan teknik persiapan lahan tidak berpengaruh terhadap bobot 100 biji, dan potensi hasil. Namun frekuensi pengendalian gulma memberi pengaruh nyata terhadap potensi hasil tetapi tidak berbeda nyata pada bobot 100 biji. Tidak terdapat interaksi antara kedua faktor perlakuan. Secara umum bobot 100 biji dan potensi hasil cenderung lebih tinggi pada perlakuan TOT + glifosat dan lebih rendah pada perlakuan TOT + paraquat.
37 Tingginya bobot 100 biji dan potensi hasil pada perlakuan TOT + glifosat merupakan hasil akhir yang sesuai dengan peubah-peubah yang diamati sebelumnya. Peubah vegetatif (tinggi dan jumlah daun) dan peubah generatif (jumlah tongkol, bobot basah, dan bobot kering tongkol berkelobot) juga menunjukkan bahwa perlakuan TOT + glifosat memberi hasil yang lebih baik. Perlakuan TOT + glifosat cukup efektif dalam menekan pertumbuhan gulma dominan pada areal percobaan seperti Axonopus compressus, Brachiaria mutica, dan Borreria alata. Hal ini dapat dilihat dari berat kering kering ketiga gulma dominan tersebut cenderung selalu lebih rendah pada perlakuan TOT + glifosat. Kombinasi TOT dan herbisida glifosat dapat menciptakan kodisi yang mendukung bagi pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman, seperti kompetisi tanaman dengan gulma menjadi lebih kecil dan perkembangan akar dalam menyerap air dan unsur hara menjadi lebih baik dengan adanya pemulsaan sebagai tambahan bahan organik dalam tanah. Bobot 100 biji tidak dipengaruhi secara nyata oleh teknik persiapan lahan dan frekuensi pengendalian gulma. Dalam hal ini, faktor genetik lebih mempengaruhi bobot 100 biji dibanding dengan faktor lingkungan. Potensi hasil yang lebih tinggi diperoleh dari perlakuan TOT glifosat sebesar 5.88 ton/ha, diikuti perlakuan OTS dengan hasil rata-rata 5.6 ton/ha, dan TOT paraquat sebesar 5.3 ton/ha. Jagung BISI 2 yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai produksi rata-rata 6-8 ton/ha, dengan potensi hasil berkisar 8-12 ton/ha. Hasil rata-rata yang diperoleh dalam penelitian ini sedikit lebih rendah dibanding produksi rata-rata yang ada. Hal ini disebabkan tingginya intensitas hujan pada saat memasuki fase generatif hingga pada saat panen yang mengakibatkan pengisian biji menjadi berkurang dan terdapat beberapa tanaman yang rebah. Frekuensi pengendalian gulma memberi pengaruh nyata terhadap potensi hasil, namun tidak berbeda nyata terhadap bobot 100 biji. Perlakuan kontrol (tanpa penyiangan) memberikan hasil bobot 100 biji dan potensi hasil yang terendah dibanding perlakuan lainnya. Potensi hasil pada perlakuan tanpa penyiangan mengalami penurunan hasil mencapai 15 % dibanding adanya penyiangan baik dua kali maupun tiga kali. Hal ini menunjukkan bahwa
38 keberadaan gulma dengan populasi yang tinggi sudah menekan tanaman jagung dalam pengambilan air, unsur hara, dan sarana pertumbuhan lainnya. Tanaman yang mengalami stress air, unsur hara, atau cahaya akan mengakibatkan terganggunya hubungan antara source dan sink. Aktivitas source diperlukan selama pertumbuhan vegetatif tanaman sedangkan aktivitas sink diperlukan pada fase pengisian biji. Tidak tersedianya unsur-unsur pertumbuhan yang cukup menyebabkan proses fotosintesis dan translokasi asimilat terganggu. Hal ini akan mengakibatkan penurunan hasil fotosintat yang diakumulasikan pada batang dan daun serta tongkol dan biji (Jumin, 1989). Waktu dan frekuensi pengendalian gulma pada tanaman jagung harus diperhatikan, terutama pada biaya dan produksi yang dihasilkan. Secara umum dalam penelitian ini, hasil peubah vegetatif maupun generatif yang diamati menunjukkan bahwa penyiangan dua kali tidak berbeda nyata dengan penyiangan tiga kali. Peningkatan frekuensi penyiangan gulma dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman budidaya secara signifikan sampai pada tingkat tertentu, selanjutnya peningkatan frekuensi penyiangan gulma tidak memberi pengaruh yang signifikan lagi terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman (Auld, 1987). Penanaman jagung dengan sistem TOT glifosat dan penyiangan dua kali dapat menjadi pilihan bagi petani yang sering terkendala dengan modal. Selain mengurangi biaya produksi, pendapatan petani juga akan bertambah dengan produksi hasil yang lebih tinggi dibanding olah tanah sempurna maupun TOT paraquat (Lampiran 18).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hasil percobaan menunjukkan bahwa secara umum perlakuan TOT glifosat memberi hasil yang yang lebih baik pada pertumbuhan dan produksi jagung. Salah satunya dapat dilihat dari potensi hasil yang diperoleh. Meskipun tidak berbeda nyata, namun potensi hasil yang diperoleh dari perlakuan TOT glifosat lebih tinggi 5% dibandingkan dengan perlakuan OTS dan lebih tinggi 10.9% dibandingkan perlakuan TOT paraquat. Perlakuan TOT glifosat memberi hasil yang terbaik disebabkan glifosat mampu menciptakan kondisi mendukung bagi pertumbuhan tanaman dan mampu menekan pertumbuhan gulma-gulma dominan, seperti Axonopus compressus, Brachiaria mutica, dan Borreria alata. Perhitungan efisiensi dan kelayakan usaha tani jagung, diperoleh nilai
B/C ratio
dengan sistem TOT glifosat sebesar 1.39, OTS sebesar 1.32, dan TOT paraquat sebesar 1.29. Perlakuan frekuensi pengendalian gulma baik penyiangan dua kali maupun tiga kali memberi hasil pertumbuhan dan produksi jagung yang terbaik. Adanya penyiangan mampu memutus siklus hidup gulma dominan sehingga pada perlakuan ini dihasilkan berat kering gulma dominan yang lebih rendah. Namun, penyiangan dua kali dengan penyiangan tiga kali tidak memberikan perbedaan nyata terhadap pertumbuhan dan produksi jagung secara keseluruhan. Saran Petani tidak harus lagi menggunakan sistem konvensional dalam budidaya jagung tetapi dapat menggunakan sistem TOT karena lebih menguntungkan secara ekonomi dan lingkungan. Namun perlu diperhatikan tambahan dosis pupuk yang diberikan, khususnya Nitrogen. Kebutuhan Nitrogen dalam sistem tanpa olah tanah lebih tinggi dibanding dengan cara olah tanah biasa disebabkan adanya proses imobilisasi dan denitrifikasi Nitrogen.
40
DAFTAR PUSTAKA Ashton , F. M., and T. J. Monaco. 1991. Weed Science: Principles and Practices (3rd ed.). John Wiley and Sons, Inc. New York. 466p. Auld, B. A., K. M. Menz and C. A. Tisdel. 1987. Weed Control Economics. Academic press Inc. London. 176p. Bangun, P. 1988. Pengendalian gulma pada budidaya jagung. Hal 213-233. Dalam Subandi, M. Syam, A. Widjono (eds). Jagung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. BPS.
2010. Statistik Tanaman Pangan Nasional. http://www.bps.go.id./tnmn_pgn.php?eng=0 [9 Agustus 2010]
Departemen Pertanian [DEPTAN]. 2008. Pusat Data dan Informasi Pertanian. http://database. Deptan.go.id/bdspweb/f4-free-frame.asp. [10 Agustus 2010]. Duke, S. O. 1988. Glyphosate. p 1-32. In P. C. Kearney and D. D. Kaufman (eds.). Herbicide; Chemistry, Degradation and Mode of action. Vol 3. Marcel Dekker, Inc. New York and Basel. Fadhly, A.F., R. Efendi, M. Rauf, dan M. Akil. 2004. Pengaruh cara penyiangan lahan dan pengendalian gulma terhadap pertumbuhan dan hasil jagung pada tanah bertekstur berat. Seminar Mingguan Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros, 18 Juni 2004, 14p. Jumin, H. B. 1989. Ekologi Tanaman. Cetakan Pertama. Rajawali Press. Jakarta. Madkar, O. R., T. Kuntohartono dan S. Mangoensoekardjo. 1996. Masalah Gulma dan Cara Pengendaliannya. HIGI. Bogor. 132 hal. Maqbool, M.M., A. Tanveer, Z. Ata, and R. Ahmad. 2006. Growth and yield of maize ( Zea mays L.) as affected by row spacing and weed competition durations. Pak. J. Bot. 38(4):1227-1236. Moenandir, J. 1988. Pengantar Ilmu dan Pengendalian Gulma. Rajawali Press. Jakarta. 122 hal. Moenandir, J. 1993. Ilmu Gulma dalam Sistem Pertanian. Rajawali Press. Jakarta. 181 hal. Moenandir. J. 2004. Penerapan Olah Tanah Konservasi dalam Sistem Produksi Jagung. http://www.warintek.host [12 Agustus 2010]. Muhadjir, F. 1988. Karakteristik Tanaman Jagung. Hal 13-48 Dalam Subandi, M. Syam dan A. Widjono (eds.). Jagung. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
41 Numata, M. 1982. A Methodology of study of weed vegetation. In Holzner W., Numata M (eds). Biology and Ecology of Weed. W. Junk. The Hargue. Nurjanah, U. 2002. Pergeseran gulma dan hasil jagung manis pada tanpa olah tanah akibat dosis dan waktu pemberian glyphosat. Akta Agrosia. 5(1): 1-7. Purwono dan Hartono, R. 2005. Bertanam Jagung Unggul. Penebar Swadaya. Jakarta. Pusat Informasi Paraquat. 2006. The Paraquat Information Center on Behalf of Syngenta Crop Protection AG. http://www. paraquat.com [8 Agustus 2010]. Rao,V. S. 2000. Principles of Weed Science. 2nd ed. John Wiley & Sons, New York. Skerman, P. J. and F. Riveros. 1989. Tropical Grasses. Food and Agriculture Organization of the United Nations. 832p. Sukman, Y. dan Yakup. 2002. Gulma dan Teknik Pengendaliannya. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 159 hal. Sumaryono. 1992. Pertumbuhan dan Daya Saing Borreria alata, Erechtites valerianifolia, dan Paspalum conjugatum. Konferensi X HIGI. Ujung Pandang. Hal : 75-80. Suryana. A. 2006. Strategi, kebijakan, dan program penelitian jagung. Seminar Nasional Jagung, 15 September 2006. Makassar. Susilowati, D.1999. Studi Aplikasi Mikoriza Vasikular Arbuskular (VAM) dan Pengendalian Gulma pada Beberapa Penyiapan Lahan terhadap Pertumbuhan dan Produksi Jagung. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 81 hal. Syam’um, E. 2002. Hasil dua kultivar kedelai (Glycine max (L) Merr) pada musim dan sistem olah tanah berbeda. Jurnal Agrivigor. 2 (1):32-37. Tjitrosoedirdjo, J. Wiroatmoko dan I. H. Utomo.1984. Pengelolaan Gulma di Perkebunan. PT Gramedia. Jakarta. 99 hal. Utomo, M. 1999. Teknologi Olah Tanah Konservasi Menuju Pertanian Berkelanjutan. Seminar Pertanian Nasional Pertanian Organik Palembang. UNSRI. Hal 1a-1p. Utomo,
M. 2002. Olah Tanah Konservasi untuk Pengelolaan Lahan Berkelanjutan. Dalam Prosiding Seminar Nasional Budidaya Olah Tanah Konservasi. Fakultas Pertanian. Yogyakarta. Hal 1-33.
Wardoyo, S. S. 2001. Distribusi Herbisida Glifosat dan Pengaruhnya terhadap Sifat Tanah serta Pertumbuhan Tanaman. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 90hal.
42 Widiyono, H. 2005. Pengaruh sistem olah tanah dan pertanaman terhadap erosi tanah. Jurnal Akta Agrosia. 8(2): hal 74-79. Zubachtirodin dan R. Amir. 1998. Penggunaan bahan aktif paraquat sebagai herbisida purna tumbuh pada pertanaman jagung. Hal 131-137. Dalam Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Jagung. Balai Penelitian Jagung dan Serelia lainnya. Maros.
43
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Iklim Selama Pelaksanan Penelitian Februari 2010
Maret 2010
April 2010
Mei 2010
Juni 2010
32.6 23.5 80.7 5.4 2.6
31.8 23.0 86 4.2 2.4
33.2 23.2 77 4.5 2.9
32.7 23.7 84 4.9 3
31.2 23.1 85.9 5.1 3
15 158
20 248
22 295
25 331
26 345
Temperatur (0C) Maksimum Minimum Lembab Nisbi (%) Penguapan (mm) Kecepatan Angin (km/jam) Hari Hujan Curah Hujan (mm)
Sumber: Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor, 2010
Lampiran 2. Deskripsi Jagung Varietas BISI 2 Golongan Umur Panen Perakaran Pertumbuhan batang Populasi Tanaman Kebutuhan Benih Rata-Rata Hasil Potensi Hasil Ketahanan Penyakit Daerah Adaptasi Keterangan
Jagung Hibrida Bisi 2 103 hari setelah tanam Sangat baik Tegak, seragam, dan tahan rebah 62.000 tanaman/ ha 15 kg/ ha 6 – 8.5 ton/ha 13 ton/ha Tahan terhadap serangan bulai, karat daun, dan bercak daun Dataran rendah dan dataran tinggi ( >600 m dpl) Rendemen sangat tinggi yaitu 83 % karena memiliki ukuran janggel kecil dengan tongkol besar dan silindris
Lampiran 3. Koefisien Komunitas Antar Petak (%) P0G0 P0G1 P0G2 P1G0 P1G1 P1G2 P2G0 P2G1 P2G2
P0G0 100 71.76 62.50 64.39 85.40 77.43 74.09 89.86 82.34
P0G1 71.76 100 76.67 71.66 78.98 75.56 73.46 80.95 73.51
P0G2 62.50 76.67 100 73.78 87.24 75.89 69.99 75.03 74.90
P1G0 64.39 71.66 73.78 100 79.07 69.08 72.98 72.48 77.96
P1G1 85.40 78.98 87.24 79.07 100 73.34 65.31 65.71 73.04
P1G2 77.43 75.56 75.89 69.08 73.34 100 71.34 88.87 86.27
P2G0 74.09 73.46 69.99 72.98 65.31 71.34 100 79.08 89.08
P2G1 89.86 80.95 75.03 72.48 65.71 88.87 79.08 100 87.42
P2G2 82.34 73.51 74.90 77.96 73.04 86.27 89.08 87.42 100
45 Lampiran 4. Nilai Nisbah Jumlah Dominansi (%) Gulma Spesies Gulma Axonopus compressus Brachiaria mutica Borreria alata Cleome rutidosperma Euphorbia hirta Ottochloa nodosa Synedrella nodiflora Lantana camara Cyperus rotundus Ischaemum timorense Cyperus kyllingia Imperata Cylindrica Mimosa Pudica Paspalum conjugatum Eleusine indica Vernonia cinerea Ipomoea sp. Ageratum Conyzoides Borreria laevis Calopognium mucunoides Chromolaena odorata Digitaria adscendens Emilia sonchifolia Oxalis barrelieri Phyllantus niruri
2 MSbT 30.15 21.53 13.43 7.17 4.71 4.19 3.4 2.84 2.67 2.28 2.16 1.54 1.44 1.12 0.7 0.7 0.5 0 0 0 0 0 0 0 0
4 MST 8.37 18.5 11.33 10.13 2.83 8.78 0 0 0 1.34 1.43 0 0 2.54 0 3.12 0 6.45 4.98 4.89 3.38 3.5 4.91 1.34 2.24
6 MST 16.76 30.03 22.1 6.05 10.42 3.5 0 0 0 0.3 0.4 0 0 1.45 0 0.45 0 1.54 2.12 0.59 1.43 0.65 1.08 1.02 0.2
8 MST 14.29 27.21 25.38 3.72 8.28 1.56 0 0 0 1.1 0 0 0 1.56 0 1.4 0 2.05 0.98 0.57 3.18 1.24 1.32 3.36 3.45
46 Lampiran 5. Rekapitulasi Analisis Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya terhadap Persentase Penutupan Gulma dan Berat Kering Gulma Dominan Peubah Persentase Penutupan Gulma Berat Kering Gulma Dominan Axonopus compressus
Borreria alata
Brachiaria mutica
Euphorbia hirta
Cleome rutidosperma
Umur 4 MST 12 MST
P * tn
G * *
PxG * tn
KK (%) 15.49 5.72
4 MST 6 MST 8 MST 4 MST 6 MST 8 MST 4 MST 6 MST 8 MST 4 MST 6 MST 8 MST 4 MST 6 MST 8 MST
* * tn * * tn * * * * * tn tn tn tn
* * * * * * * * * * * * * * *
* tn tn * * tn * tn * * * tn tn tn tn
30.57 35.89 37.89 35.23 26.38 39.61 28.08 31.09 32.66 37.60 35.07 35.46 23.04 19.34 12.73
Keterangan :tn= tidak berbeda nyata, * = berbeda nyata pada
= 5 % , KK = Koefisien keragaman
Lampiran 6. Rekapitulasi Analisis Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya terhadap Komponen Vegetatif dan Generatif Tanaman Jagung Peubah Komponen Vegetatif Tinggi
Jumlah daun
Komponen Generatif Umur berbunga Jumlah tongkol Bobot basah berkelobot ubinan Bobot kering berkelobot ubinan Bobot 100 butir Bobot brangkasan Potensi hasil
Umur
P
G
PXG
4 MST 6 MST 8 MST 4 MST 6 MST 8 MST
tn tn tn tn * *
* * * tn * *
tn tn tn tn tn tn
6.21 7.55 7.81 7.46 7.01 2.82
10 MST Panen Panen Panen Panen Panen
tn tn tn tn tn tn tn
* * * * tn * *
tn tn tn tn tn tn tn
1.49 4.60 9.07 11.56 2.28 15.23 9.07
Keterangan : tn= tidak berbeda nyata, * = berbeda nyata pada
KK (%)
= 5 %, KK = Koefisien keragaman
47 Lampiran 7. Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya terhadap Persentase Penutupan Gulma Perlakuan F hit 5.69 203.79 5.49
P G PxG
4 MST Pr > F 0.0183* 0.0001** 0.0095 *
F hit 1.73 701.82 1.29
12 MST Pr > F 0.2183 0.0001** 0.3286
Keterangan : *) = berbeda nyata pada taraf uji 5 % ; **) = berbeda nyata pada taraf uji 1 %
Lampiran 8. Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya terhadap Berat Kering Gulma Axonopus compressus Perlakuan P G PxG
F hit 5.32 288.94 5.32
4MST Pr >F 0.0222* 0.0001** 0.0106*
F hit 7.19 106.51 2.62
6 MST Pr > F 0.0089* 0.0001** 0.0877
F hit 0.63 111.13 2.23
8 MST Pr > F 0.5502 0.0001** 0.1266
Keterangan : *) = berbeda nyata pada taraf uji 5 % ; **) = berbeda nyata pada taraf uji 1 %
Lampiran 9. Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya terhadap Berat Kering Gulma Borreria alata Perlakuan P G PxG
F hit 5.58 217.59 5.58
4 MST Pr >F 0.0193* 0.0001** 0.0089*
F hit 5.16 78.31 6.04
6 MST Pr > F 0.0242* 0.0001** 0.0067*
8 MST F hit Pr > F 2.76 0.1035 124.37 0.0001** 2.80 0.0748
Keterangan : *) = berbeda nyata pada taraf uji 5 % ; **) = berbeda nyata pada taraf uji 1 %
Lampiran 10. Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya terhadap Berat Kering Gulma Brachiaria mutica Perlakuan P G PxG
F hit 10.45 342.34 10.45
4 MST Pr >F 0.0024* 0.0001** 0.0007*
F hit 18.05 13.20 0.37
6 MST Pr > F 0.0002* 0.0009* 0.8278
F hit 3.00 221.95 3.34
8 MST Pr > F 0.0875 0.0001** 0.0468*
Keterangan : *) = berbeda nyata pada taraf uji 5 % ; **) = berbeda nyata pada taraf uji 1 %
48
Lampiran 11. Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya terhadap Berat Kering Gulma Euphorbia hirta Perlakuan P G PxG
4 MST F hit Pr >F 5.21 0.0235* 190.96 0.0001** 5.21 0.0115*
6 MST F hit Pr > F 3.39 0.0479* 59.24 0.0001** 5.51 0.0094*
8 MST F hit Pr > F 1.68 0.2270 188.04 0.0001** 2.28 0.1204
Keterangan : *) = berbeda nyata pada taraf uji 5 % ; **) = berbeda nyata pada taraf uji 1 %
Lampiran 12. Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya terhadap Berat Kering Gulma Cleome rutidosperma Perlakuan P G PxG
4MST F hit Pr >F 2.32 0.1407 508.63 0.0001** 2.32 0.1164
6 MST F hit Pr > F 1.45 0.2725 722.19 0.0001** 1.45 0.2769
8 MST F hit Pr > F 2.67 0.1095 177.48 0.0001** 2.65 0.0854
Keterangan : *) = berbeda nyata pada taraf uji 5 % ; **) = berbeda nyata pada taraf uji 1 %
Lampiran 13. Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya terhadap Tinggi Tanaman Jagung Perlakuan P G PxG
F hit 0.18 11.73 2.89
4 MST Pr > F 0.8374 0.0015* 0.0691
F hit 0.52 15.46 1.61
6 MST Pr > F 0.6068 0.0005* 0.2341
F hit 0.23 22.42 0.35
8 MST Pr > F 0.8008 0.0001** 0.8408
Keterangan : *) = berbeda nyata pada taraf uji 5 % ; **) = berbeda nyata pada taraf uji 1 %
Lampiran 14. Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya terhadap Jumlah DaunTanaman Jagung Perlakuan P G PxG
F hit 0.96 0.57 2.47
4 MST Pr > F 0.4090 0.5779 0.1007
6 MST F hit Pr > F 10.95 0.0020 19.89 0.0002* 2.01 0.1563
8 MST F hit Pr > F 5.56 0.0195 63.15 0.0001** 2.64 0.0863
Keterangan : *) = berbeda nyata pada taraf uji 5 % ; **) = berbeda nyata pada taraf uji 1 %
49 Lampiran 15. Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya terhadap Umur Berbunga, Jumlah Tongkol, dan Bobot Brangkasan Tanaman Jagung Perlakuan P G PxG
Umur Berbunga F hit Pr > F 1.95 0.1852 72.05 0.0001** 3.37 0.0565
Jumlah Tongkol F hit Pr > F 1.68 0.2274 26.16 0.0001** 0.12 0.9727
Bobot Brangkasan F hit Pr > F 2.15 0.1591 9.82 0.0030* 1.46 0.2738
Keterangan : *) = berbeda nyata pada taraf uji 5 % ; **) = berbeda nyata pada taraf uji 1 %
Lampiran 16. Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya terhadap Bobot Basah dan Bobot Kering Tongkol Berkelobot Tanaman Jagung Perlakuan
P G PxG
Bobot Basah Tongkol Berkelobot F hit Pr > F 1.66 0.2310 5.22 0.0234* 0.38 0.8220
Bobot Kering Tongkol Berkelobot F hit Pr > F 2.01 0.1765 5.30 0.0224* 0.28 0.8829
Keterangan : *) = berbeda nyata pada taraf uji 5 %
Lampiran 17. Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya terhadap Bobot 100 Biji, dan Potensi Hasil Tanaman Jagung Perlakuan P G PxG
Bobot 100 Biji F hit Pr > F 1.27 0.3159 1.73 0.2182 0.93 0.4776
Potensi Hasil F hit Pr > F 1.66 0.2310 5.22 0.0234* 0.38 0.8220
Keterangan : *) = berbeda nyata pada taraf uji 5 %
Lampiran 18. Perbandingan Biaya Produksi dan Pendapatan Hasil Jagung pada Beberapa Teknik Persiapan Lahan per Hektar (dalam Rupiah) Komponen Pengeluaran Sarana produksi Tenaga kerja Total Biaya Pendapatan Hasil Total Pendapatan B/C Ratio
OTS
TOT + Glifosat
TOT + Paraquat
2.505.000 3.850.000 6.355.000
3.130.000 3.100.000 6.230.000
3.055.000 3.100.000 6.155.000
8.400.000 8.400.000 1.32
8.700.000 8.700.000 1.39
7.950.000 7.950.000 1.29
Keterangan:Harga jagung pipilan kering di Pasar Bogor per Oktober 2010 = 1.500/kg