Aplikasi Cendawan Mikoriza Arbuskula Dalam Reklamasi Lahan Kritis Pasca Tambang Delvian Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbagai aktivitas manusia seperti pembukaan hutan, penambangan, pembukaan lahan pertanian dan pemukiman dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, seperti rusaknya vegetasi hutan sebagai habitat satwa, kemungkinan hilangnya jenis-jenis flora/fauna endemik langka sebagai sumber plasma nutfah potensial, rusaknya sistem tata air (watershed), meningkatkan laju erosi permukaan, menurunkan produktivitas dan stabilitas lahan serta biodiversitas flora dan fauna. Pertambangan merupakan salah satu sumber daya alam potensial yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber devisa untuk pembangunan nasional. Dalam kegiatan penambangan biasanya dilakukan dengan cara pembukaan hutan, pengikisan lapisanlapisan tanah, pengerukan dan penimbunan. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan berupa rusaknya habitat satwa dan hilangnya jenis-jenis flora/fauna endemik. Selain itu kegiatan penambangan secara nyata menimbulkan kerusakan lingkungan. Untuk mencegah dan mengurangi kerusakan lingkungan yang lebih parah, maka perlu dicari berbagai upaya pengendalian yang mengarah pada kegiatan rehabilitasi lahan. Kegiatan revegetasi (penghijauan), merupakan salah satu teknik vegetatif yang dapat diterapkan dalam upaya merehabilitasi lahan-lahan yang rusak. Tujuannya tidak saja memperbaiki lahan-lahan labil dan tidak produktif serta mengurangi erosi permukaan, tetapi juga dalam jangka panjang diharapkan dapat memperbaiki iklim mikro, memulihkan biodiversitas dan meningkatkan kondisi lahan ke arah yang lebih produktif. Dalam kenyataannya, untuk melakukan kegiatan rehabilitasi pada lahan-lahan yang telah rusak tersebut adalah sukar. Hal ini terutama disebabkan oleh kondisi lahan yang tidak menguntungkan untuk menyokong pertumbuhan tanaman. Tanaman sukar tumbuh dan mempunyai daya hidup yang rendah. Untuk menunjang keberhasilan dalam merehabilitasi lahan-lahan yang rusak tersebut, maka berbagai upaya seperti perbaikan lahan pratanam, pemilihan jenis yang cocok, aplikasi silvikultur yang benar, dan penggunaan pupuk biologis cendawan mikoriza arbuskular perlu dilakukan (Setiadi, 1993). Tujuan dalam merehabilitasi lahan kritis pasca tambang pada prinsipnya harus bersifat: 1. Protektif, yakni memperbaiki stabilitas lahan, mempercepat penutupan tanah dan mengurangi surface run off dan erosi tanah.
1 e-USU Repository © 2004 Universitas Sumatera Utara
2. Produktif, yakni mengarah pada peningkatan kesuburan tanah (soil fertility) yang lebih produktif, sehingga bisa diusahakan tanaman yang tidak saja menghasilkan kayu, tetapi juga dapat menghasilkan produk non kayu (rotan, getah, obat-obatan, buah-buahan, dan lain-lain) yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitarnya. 3. Konservatif, yakni kegiatan untuk membantu mempercepat terjadinya suksesi secara alami kearah peningkatan biodiversity spesies lokal, serta penyelamatan dan pemanfaatan jenis tanaman potensial yang telah langka. B. Perumusan Masalah Lahan kritis sebagai hasil dari kegiatan penambangan, khususnya di Indonesia, terus meningkat setiap tahunnya. Sementara itu usaha untuk mereklamasi laha-lahan kritis tersebut masih terbatas dan belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Hal ini dikarenakan lahan kritis pasca tambang tersebut sebagai media pertumbuhan tanaman memiliki beberapa faktor pembatas, diantaranya: miskin hara, miskin bahan organik, WHC rendah, aktivitas mikroorganisme rendah, dan kandungan logam berat terutama Cu, Zn, Mn, dan Fe tinggi. Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut perlu diusahakan suatu teknologi alternatif yang dapat dicoba diantaranya adalah: pemilihan jenis tanaman yang adaptif, pemanfatan mikroorganisme yang dapat mendukung pertumbuhan tanaman, aplikasi top soil dan soil conditioner. Keempat aspek tersebut saling berkaitan, sehingga penelitian yang dapat mengkaji kombinasi keempat aspek tersebut perlu terus dikembangkan. Dalam tulisan ini hanya akan dibahas pendekatan dengan memanfaatkan mikroorganisme terutama mikoriza, untuk merehabilitasi lahan-lahan marginal pasca tambang yang telah mengalami kerusakan berat. C. Kerangka Pemikiran Penanganan lahan kritis pasca tambang secara baik dan benar serta pemilihan tanaman yang tepat merupakan kunci keberhasilan usaha reklamasi lahan-lahan tersebut. Berbagai usaha untuk memperbaiki kualitas lahan kritis pasca tambang menjadi lingkungan tempat tumbuh tanaman yang cocok dapat dilakukan, diantaranya adalah dengan memanfaatkan mikroorganisme tanah yang dapat berperan sebagai pupuk biologis. Beberapa jenis mikroorganisme tanah secara tidak langsung dapat membantu meningkatkan kesuburan media tumbuh melalui peningkatan ketersediaan unsur hara dalam tanah. Mikroorganisme tersebut diantaranya adalah cendawan mikoriza vesikular arbuskular. Penggunaan cendawan mikoriza terhadap tanaman kehutanan yang ditanam pada lahan-lahan marginal, seperti lahan-lahan bekas tambang yang tercemar logam berat banyak memberikan keuntungan. Sebagai contoh, inokulasi cendawan mikoriza pada tanaman Thicospermum burretii, Acacia mangium, dan Paraserianthes falcataria terbukti potensial untuk mereklamasi lahan kritis pasca tambang. Jenis-jenis tanaman tersebut pertumbuhannyamampu meningkat 2-3 kali lipat dibanding dengan tanaman kontrol. Hal ini hampir setara dengan pupuk urea 130 kg/ha, TSP 180 kg/ha dan KCl 100 kg/ha (Setiadi, 1993).
2 e-USU Repository © 2004 Universitas Sumatera Utara
II. KARAKTERISTIK LAHAN-LAHAN KRITIS PASCA TAMBANG Kendala utama dalam melakukan aktivitas revegetasi pada lahan-lahan terbuka bekas penambangan adalah kondisi tanah yang marginal bagi pertumbuhan tanaman. Kondisi ini secara langsung akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Untuk dapat mengatasi masalah ini, maka karakteristik fisik, kimia dan biologi tanah perlu diketahui. A. Kondisi Fisik Tanah Berbagai aktivitas dalam kegiatan penambangan menyebabkan rusaknya struktur, tekstur, porositas dan bulk density sebagai karakter fisik tanah yang penting bagi pertumbuhan tanaman. Kondisi tanah yang kompak karena pemadatan mnyebabkan buruknya sistem tata air (water infiltration and percolation) dan aerasi (peredaran udara) yang secara langsung dapat membawa dampak negatif terhadap fungsi dan perkembangan akar. Akar tidak dapat berkembang dengan sempurna dan fungsinya sebagai alat absorpsi unsur hara akan terganggu. Akibatnya tanaman tidak dapat berkembang dengan normal tetapi tetap kerdil dan tumbuh merana. Rusaknya struktur dan tekstur juga menyebabkan tamah tidak mampu untuk menyimpan dan meresap air pada musim hujan, sehingga aliran air permukaan (surface run off) menjadi tinggi. Sebaliknya tanah menjadi padat dan keras pada musim kering sehingga sangat berat untuk diolah yang secara tidak langsung berdampak pada kebutuhan tenaga kerja. B. Kondisi Kimia Tanah Dalam profil tanah yang normal lapisan tanah atas merupakan sumber unsurunsur hara makro dan mikro esensial bagi pertumbuhan tanaman. Selain itu juga berfungsi sebagai sumber bahan organik untuk menyokong kehidupan mikroba. Hilangnya lapisan tanah atas (top soil) yang proses pembentukannya memakan waktu ratusan tahun (Bradshaw, 1983) dianggap sebagai penyebab utama buruknya tingkat kesuburan tanah pada lahan-lahan bekas pertambangan. Kekahatan unsur hara esensial seperti nitrogen dan fosfor, toksisitas mineral dan kemasaman tanah (pH yang rendah) merupakan kendala umum dan utama yang ditemui pada tanah-tanah bekas kegiatan pertambangan. Tanah bekas tambang yang akan ditanam biasanya berupa campuran dari berbagai bentuk bahan galian yang ditimbun satu sama lainnya secara tidak beraturan dengan komposisi campurannya sangat berbeda satu tapak ke tapak lainnya. Hal ini tentunya mengakibatkan sangat bervariasinya reaksi tanah (pH) dan kandungan unsur hara pada areal-areal yang ditanami. Karena besarnya variasi ini maka sangat menyulitkan dalam menentukan takaran soil amandement atau soil ameliorant yang perlu diberikan guna memperbaiki kondisi tanah-tanah tersebut. C. Kondisi Biologi Tanah Hilangnya lapisan top soil dan serasah (litter layer) sebagai sumber karbon untuk menyokong kehidupan mikroba potensial merupakan penyebab utama buruknya kondisi populasi mikroba tanah. Hal ini secara tidak langsung akan sangat mempengaruhi kehidupan tanaman yang tumbuh di permukaan tanah tersebut.
3 e-USU Repository © 2004 Universitas Sumatera Utara
Keberadaan mikroba tanah potensial dapat memainkan peranan sangat penting bagi perkembangan dan kelangsungan hidup tanaman. Aktivitasnya tidak saja terbatas pada penyediaan unsur hara, tetapi juga aktif dalam dekomposisi serasah dan bahkan dapat memperbaiki struktur tanah. Jenis-jenis mikroba tanah yang memberikan banyak manfaat diantaranya bakteri penambat nitrogen dan bakteri pelarut fosfat. Selain bakteri, cendawan mikoriza sangat mutlak diperlukan pada lahan-lahan bekas tambang. Beberapa tanaman juga sangat tergantung untuk kehidupannya pada jenis cendawan ini (Vogel, 1987). Kemampuan cendawan mikoriza tidak hanya terbatas pada peningkatan solubilitas mineral dan memperbaiki absorpsi nutrisi tanaman (terutama fosfat), tetapi juga dapat mengurangi stres karena temperatur dan serangan patogen akar. Dengan cara tersebut maka daya hidup dan pertumbuhan tanaman pada lahan marginal dapat ditingkatkan. III. STRATEGI REVEGETASI LAHAN KRITIS PASCA TAMBANG A. Perbaikan Kondisi Tanah Telah disebutkan bahwa kendala utama dalam pelaksanaan reklamasi atau revegetasi pada lahan-lahan kritis pasca tambang adalah kondisi tanah baik fisik, kimia maupun biologinya yang marginal untuk pertumbuhan tanaman. Untuk mengatasi hal ini, maka berbagai strategi yang perlu diterapkan untuk memperbaiki kondisi tanah tersebut adalah sebagai berikut: 1. Perbaikan Ruang Tumbuh. Kondisi tanah yang padat akibatan pemadatan karena penggunaan alat-alat berat akan sukar untuk diolah, dan biasanya mempunyai sistem drainasi dan aerasi yang buruk, sehingga akan berdampak buruk pada perkembangan akar dan pertumbuhan tanaman. Guna merangsang perkembangan akar disarankan untuk membuat lubang tanam dengan ukuran minimal 40x40x40 cm (pada solum tanah dalam dan ringan ) atau 60x60x60 cm (jika tanah padat (Setiadi, 1996). Pada tanah-tanah yang berat diolah, pembuatan lubang tanam lebih kecil dari ukuran tersebut (40 cm) akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Tanaman akan lambat berkembang dan pada fase tertentu biasanya akan menunjukkan gejala stagnasi pertumbuhan. 2. Pemberian Top Soil dan Bahan Organik. Jika top soil akan diberikan per lubang tanam, maka pada lubang tanam yang telah dibuat semua tanah asal dikeluarkan dan dimasukkan top soil sebanyak ½ - 2/3 volume lubang. Pemberian top soil ini sangat penting, karena disamping sebagai sumber unsur hara makro dan mikro, bahan organik, dan sumber mikroba potensial, top soil juga dapat berfungsi untuk memperbaiki struktur tanah sehingga dapat merangsang perkembangan akar pada tahap awal pertumbuhan. Jika memungkinkan, pada fase ini dapat diberikan bahan-bahan organik yang telah dikomposkan terlebih dahulu. 3. Pemupukan dasar dan pemberian kapur. Pemberian pupuk dasar pada lahanlahan kritis pasca tambang mutlak diperlukan. Pemupukan campuran Urea, TSP dan KCl (1:2:1) dengan dosis masing-masing 125 gr, 250 gr dan 125 gr per lubang tanam telah terbukti dapat memberikan respon pertumbuhan yang baik pada tanaman hutan cepat tumbuh untuk jangka waktu 6-9 bulan (Setiadi, 1996). Untuk mendapatkan hasil yang baik, maka perlu dicampurkan secara merata pada semua isi lubang tanam 1-2 minggu sebelum penanaman dilakukan. Jika tanah 4 e-USU Repository © 2004 Universitas Sumatera Utara
sekitar lubang tanam bersifat masam (pH < 5), maka diperlukan pengapuran. Kapur dalam bentuk dolomit dapat diberikan sebanyak 100-150 gr per lubang tanam. Pemberian kapur dicampurkan secara merata dengan top soil dan sebaiknya diberikan beberapa waktu sebelum pemupukan dasar dilakukan. B. Pemanfaatan Cendawan Mikoriza Untuk menjamin penggunaan cendawan mikoriza secara rutin dalam pelaksanaan reklamasi atau revegetasi, maka cara-cara penggunaan inokulum cendawan mikoriza dilakukan sebagai berikut: 1. Jenis Tanaman. Cendawan mikoriza arbuskula (CMA) dapat diaplikasikan pada semua tanaman (kecuali pada tanaman Pinus dan Dipterocarpaceae). Keberadaan CMA telah dibuktikan dapat mempengaruhi pertumbuhan, daya hidup dan kelangsungan pertumbuhan pada saat semai dipindahkan ke lapangan. Dengan demikian inokulasi CMA pada jenis-jenis terpilih perlu dilakukan. 2. Isolat CMA. Isolat CMA yang telah teruji efektif dapat digunakan pada lahanlahan bekas tambang, seperti pertambangan nikel dan batubara, adalah Gigaspora rosea (FL-105), Glomus etunicatum (NPI), Glomus manihotis (INDO-1), dan Acaulospora tuberculata (INDO-2). Starter inokulum dari isolat-isolat tersebut dan teknik perbanyakannya dapat diperoleh dari BTIG (Bank of Tropical Indigenous Glomales), PAU-Biotek IPB. 3. Teknik Inokulasi CMA. Inokulum yang sudah siap dapat diinokulasikan pada semai dari tanaman revegetasi. Terdapat dua cara inokulasi CMA yang telah umum dilakukan pada tanaman kehutanan, yaitu pra-inokulasi teknik dan inokulum layering. Pra-inokulasi teknik dilakukan jika inokulum yang dipakai masih baru (fresh) dan biji yang akan diinokulasi relatif kecil, seperti biji sengon, acacia, laban dan eucaliptus. Sedangkan cara inokulum layering diterapkan jika inokulum CMA telah mengalami penyimpanan selama 3-6 bulan dan juga biji yang akan diinokulasi relatif besar, seperti mahoni, sengon butho, kedawung, dan rotan.
IV. PERANAN CENDAWAN MIKORIZA DALAM REKLAMASI LAHAN KRITIS PASCA TAMBANG A. Perkembangan Mikoriza Pada Lahan Kritis Pasca Tambang Pada umumnya penelitian mikoriza di lahan-lahan tambang diarahkan untuk mengetahui keberadaan mikoriza atau untuk memonitor perkembangan sistem perakaran mikoriza. Schramm (1966) menemukan hampir semua kolonisasi yang berhasil di lahan tambang batubara di Pensylvania bermikoriza, terutama spesies Pinus, Betula, Populus dan Salix. Benih-benih pinus yang dilindungi dari temperatur permukaan yang tinggi dengan cepat akan bermikoriza. Schramm menyimpulkan bahwa inokulum yang berlimpah bukanlah faktor penentu keberhasilan asosiasi cendawan mikoriza dengan perakaran tanaman. Dengan pengecualian pada Rhizobium, tanaman inang mikoriza umumnya tidak berhasil membentuk kolonisasi. Kegagalan asosiasi ini mungkin disebabkan ketidakmampuan tanaman untuk memeproleh nitrogen tanah yang cukup, juga air dan fosfor yang biasanya terbatas. 5 e-USU Repository © 2004 Universitas Sumatera Utara
Adhesi partikel-partikel tanah ke perakaran pada tanah-tanah kering diduga sebagai suatu mekanisme peningkatan konduktivitas air dan juga fungsi peningkatan pergerakan ion-ion mobil, seperti nitrat. Hifa-hifa dari mikoriza VA dapat mencapai 8 cm dari perakaran, sedangkan rizomorf dari Pisolithus (salah satu jenis dari ektomikoriza) dapat mencapai 4 m ke dalam tanah. Ini menunjukkan bahwa ektomikoriza mempunyai jangkauan transpor melebihi CMA (Schramm, 1966). Penyelidikan sejak tahun 1966 pada daerah bekas tambang memperlihatkan pola kolonisasi tanaman dan tipe mikoriza yang berbeda dengan hasil observasi Schramm. Tanah-tanah pertambangan yang berumur 10 tahun di Scotland yang berkolonisasi dengan rerumputan dan tumbuhan dikotiledon, semuanya dinfeksi oleh CMA. Disimpulkan bahwa keberhasilan pertumbuhan tanaman tergantung pada infeksi CMA dan meningkatnya penyerapan fosfor. Adanya penambahan inokulum mikoriza dapat menurunkan penundaan waktu infeksi, mungkin ini prosedur yang diinginkan dalam pengelolaan lahan tambang. Schwab dan Reeves (1981) menemukan sangat sedikit inokulum CMA pada kedalaman 0.5 m pada komunitas tumbuhan arid. Sedangkan Lambert dan Cole (1980) mendapatkan tingkat infeksi yang tinggi pada white clover pada lahan tambang setelah musim pertumbuhan pertama. Respon legum sangat baik dalam menggambarkan status mikoriza daripada respon rerumputan. Mungkin dapat disimpulkan bahwa infeksi pada rerumputan lebih rendah daripada legum yang cukup sensitif pada tingkat inokulum rendah. Untuk mendapatkan asosiasi mikoriza lebih cepat, inokulum harus diintroduksikan ke lahan reklamasi. Zak dan Parkinson (1982) mendapatkan kurang dari 1% perakaran rerumputan yang tumbuh di lahan berpasir yang diinfeksi oleh mikoriza setelah musim tanam pertama. Setelah 2 dan 4 tahun, infeksinya meningkat mencapai 4% dan 36% dikarenakan adanya introduksi inokulum afektif melalui angin, air atau binatang. Penambahan pupuk mineral menyebabkan sistem perakaran yang lebih besar tetapi tidak meningkatkan persentase infeksi. Introduksi inokulum efektif akan lebih bermanfaat, seperti dinyatakan oleh Mosse et al. (1981) bahwa fase bibit mungkin merupakan fase yang sangat tergantung pada mikoriza, baik untuk tumbuhan tahunan maupun tumbuhan semusim. Kehadiran spesies non-mikoriza mungkin mengganggu kestabilan spesies yang tergantung pada mikoriza dengan mengurangi level inokulum pada tanah-tanah terganggu. Tanah-tanah terganggu sangat tidak efektif dibanding tanah tidak terganggu, tetapi berarti bahwa level inokulum yang sangat rendah sebagai pembatas kestabilan spesies bermikoriza. Allen dan Allen (1980) menemukan spesies-spesies non-mikoriza pada beberapa daerah pertambangan yang diperlakukan dengan penimbunan top soil. Sedangkan Miller (1979) yang menyelidiki lahan-lahan yang ditutupi dengan top soil sedalam 30 cm tidak mendapatkan mikoriza meskipun terdapat inokulum viabel. Meskipun penimbunan top soil diperlukan dan diharapkan dapat membenatu kestabilan tumbuhan, pertanyaan yang muncul adalah apakah cara ini berpengaruh kurang baik terhadap inokulum mikoriza dan menghalangi kestabilan tumbuhan. Dua metode yang sering digunakan untuk menentukan efek penimbunan top soil terhadap inokulum CMA, yaitu penghitungan spora dan bioassay di greenhouse untuk mengukur kecepatan pertumbuhan tanaman.
6 e-USU Repository © 2004 Universitas Sumatera Utara
B. Mekanisme Mikoriza Mengurangi Stress di Lahan Kritis Pasca Tambang Schramm (1966) menyatakan bahwa ada 2 faktor penting dalam revegetasi lahan tandus, bekas areal penambangan. Pertama, melindungi bibit muda dari temperatur permukaan tanah yang sangat tinggi, dan kedua meningkatkan kemampuan hidup tanaman dengan adanya asosiasi dengan CMA. Tanaman yang berasosiasi dengan mikoriza dapat beradaptasi dengan baik pada lahan-lahan tambang yang kondisi haranya sangat terbatas. Hal ini berkaitan dengan kemampuan mikoriza untuk menyediakan fosfor dari tanah (Danielson, 1985). Penyerapan hara selain fosfor juga meningkat, terutama penyerapan ion-ion kurang mobil, seperti Cu dan Zn serta amonium (Bowen dan Smith, 1981). Selain peningkatan penyerapan hara, mikoriza juga mampu mengakumulasikan atau mengeksklusikan elemen-elemen beracun (Bowen dan Smith, 1981). Tanaman bermikoriza lebih toleran terhadap logam berat daripada tanaman tidak bermikoriza, meskipun fakta yang mendukung hal ini masih terbatas. Meningkatnya penyerapan logam-logam berat akan sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan ketahanannya pada tanah-tanah dengan konsentrasi logam yang tinggi. Bradley et al. (1982) menyatakan bahwa dalam semua kasus pertumbuhan tanaman bermikoriza lebih dominan daripada tanaman non-mikoriza. Hal ini disebabkan adanya pembatasan translokasi logam dari akar ke tajuk dengan mengakumulasinya di dalam akar. Proteksi ini dihasilkan oleh adsorpsi ion-ion oleh dinding sel hifa pada akar. Tanaman bermikoriza akan berkurang toleransinya apabila biomassa hifa internal rendah. Tingkat perkembangan hifa internal dan eksternal merupakan faktor penting dalam stimulasi pertumbuhan inang. Faktor lain sebagai faktor kritis dalam revegetasi lahan tambang, dan merupakan salah satu kemampuan mikoriza adalah toleransi akan kekeringan. Powell (1982) menyatakan bahwa tanaman yang diinfeksi oleh mikoriza meningkat kemampuannya menyerap air. Ia membandingkan penurunan resistensi transpor air pada tanaman yang diinfeksi dan tidak diinfeksi mikoriza. Perbedaan resistensi ini dapat dieliminir dengan penambahan larutan hara lengkap. Kemampuan mikoriza dalam meningkatkan penyerapan fosfor melalui eksploitasi tanah secara lebih efektif dibandingkan tanpa mikoriza mungjin berhubungan dengan fungsi mikoriza dalam meningkatkan penggunaan air yang jauh dari rizosfir. Lahan tambang biasanya juga mempunyai tingkat kemasaman yang ekstrim dan temperatur permukaan yang tinggi. Schramm (1966) mendapatkan temperatur permukaan lahan tambang batubara mencapai 40-60 oC bahkan kadang-kadang mencapai 75 oC. Hal ini menyebabkan temperatur di zona perakaran jauh melebihi temperatur zona perakaran areal tak terganggu dimana terdapat vegetasi yang mengurangi insulasi. Sampai saat ini masih sedikit penelitian tentang kemampuan mikoriza berkaitan dengan pengaruh temperatur. Marx dan Bryan (1971) mendapatkan bahwa Pisolithus tinctorius dan Thelephora terrestris memberikan respon yang berbeda terhadap temperatur. P. tinctorius tidak hanya mampu menginfeksi lebih baik daripada T. terrestris pada temperatur yang sama, tapi juga mempunyai toleransi yang baik terhadap peningkatan temperatur. Temperatur non-lethal juga mempengaruhi perkembangan mikoriza yang efeknya berbeda antar spesies dan strain. Kolonisasi dan infeksi akar oleh spesies CMA tertentu rendah pada 18 oC (Schenck dan Smith, 1982) dan 16 oC untuk ektomikoriza (Theodorou dan Bowen, 1979). Oleh karena itu, dalam memanipulasi asosiasi mikoriza pada tanah7 e-USU Repository © 2004 Universitas Sumatera Utara
tanah terganggu, temperatur merupakan salah satu faktor kritis dalam menyeleksi simbion yang akan digunakan. Kemasaman tanah (pH tanah) juga berpengaruh terhadap perkembangan mikoriza. Mosse et al. (1981) melaporkan bahwa beberapa spesies endofit dapat membentuk mikoriza pada interval pH tanah yang lebar. Simbion CMA dan ektomikoriza mungkin memberikan respon yang berbeda terhadap tanah-tanah masam dan salin dengan tanahtanah yang mempunyai ph yang moderat. Potensial kelarutan yang tinggi dari logamlogam berat beracun berhubungan dengan tinggi-rendahnya nilai pH tanah, begitu juga dengan defisiensi hara mikro. C. Manfaat Asosiasi Mikoriza pada lahan Kritis Pasca Tambang Kegiatan penelitian yang menunjukkan secara tegas manfaat mikoriza pada tanahtanah pertambangan masih sangat terbatas. Data-data yang tersedia sulit untuk diiterpretasikan karena kurang telitinya kuantifikasi status mikoriza pada sistem perakaran, kegagalan dalam menentukan keberadaan simbion yang diintroduksi atau karena metode statistik dari desain eksperimen yang kurang tepat. Manfaat mikoriza pada tanah-tanah pertambangan harus ditujukan secara jelas untuk membuat kebijaksanaan praktek pengelolaan lahan bekas pertambangan. Akan tetapi beberapa penelitian menunjukkan bahwa simbiosis mikoriza dapat memberikan suatu cara yang bernilai dan praktis untuk mencapai tujuan akhir dari praktek revegetasi dan reklamasi lahan bekas pertambangan. Schramm (1966) melalui penyelidikannya di lahan tambang batubara di Pennsylvania menunjukkan bahwa mikoriza tidak hanya bermanfaat tetapi juga penting bagi pertumbuhan tanaman di lahan bekas penambangan. Lahan-lahan tersebut berusia antara 30-36 tahun, masam dan suhu permukaan lebih dari 60 oC selama musim panas. Dinyatakan bahwa temperatur permukaan yang tinggi atau kelembaban yang kurang membatasi proses awal dalam perkembangan tanaman. Selain nitrogen juga merupakan faktor pembatas utama pertumbuhan bibit muda. Penambahan fosfor tidak mengurangi gejala defisiensi dan kombinasi pupuk nitrogen dan fosfor tidak lebih baik dari pemberian nitrogen sendiri. Bibit-bibit yang tidak bermikoriza sangat respon terhadap pemberian nitrogen, tetapi setelah pemupukan pertumbuhan akan berhenti dan gejala defisiensi akan terjadi lagi. Reklamasi lahan bekas penambangan dengan tanaman non-fiksasi nitrogen hanya mungkin dengan pengaturan lingkungan mikro sekitar batang dan membuat sistem perakaran bibit yang bermikoriza. Kegiatan penelitian yang dilakukan Marx (1975), Berry (1978) dan Artman (1979) secara jelas menunjukkan keuntungan bagi pertumbuhan tanaman yang diinokulasi dengan simbion mikoriza. Bibit-bibit yang diinokulasi dengan mikoriza memperlihatkan pertumbuhan yang sangat berbeda dengan bibit-bibit yang terinfeksi secara alami, disamping itu ketahanan hidup bibit tersebut juga lebih tinggi. Sedangkan bibit yang diinokulasi dengan Pisolithus mempunyai kemampuan hidup yang lebih baik daripada bibit yang diinokulasi dengan Thelephora, setelah 3-4 tahun masa tanam. Efek mikoriza VA terhadap pertumbuhan tiga spesies legum telah dipelajari oleh Lambert dan Cole (1980) pada tanah bekas penambangan yang berumur 10 tahun. Diperlukan penambahan kapur dan NH4NO3 dan sejumlah kecil top soil (kedalaman 1 cm) untuk membantu inokulum mikoriza VA. Perlakuan inokulasi sangat efektif bagi
8 e-USU Repository © 2004 Universitas Sumatera Utara
infeksi mikoriza yang dapat mencapai 90 % dengan penambahan top soil. Pertumbuhan dan ketahanan ketiga spesies tersebut meningkat dengan jelas dengan perlakuan mikoriza. Pada penelitian yang terpisah diperoleh bahwa fosfor membatasi pertumbuhan tanaman dan kombinasi pemupukan fosfor dan top soil memberikan pertumbuhan yang lebih baik dibanding pemberian secara terpisah. Di dalam greenhouse, mikoriza tidak dapat mengembangkan pertumbuhan dua spesies rerumputan yang menunjukkan bahwa manfaat atau keuntungan mikoriza tidak dapat digeneralisasi untuk semua spesies. Dari hasil-hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa introduksi mikoriza VA pada tanah-tanah bekas pertambangan akan sangat berguna jika (1) inokulum tidak cukup atau simbion indigen tidak dapai beradaptasi, (2) jika ketersediaan fosfor di dalam tanah rendah dan (3) jika spesies yang dipilih untuk revegetasi respon terhadap inokulasi mikoriza VA. Spesies pohon bermikoriza VA yang digunakan pada tanah-tanah pertambangan mungkin juga menguntungkan dari segi inokulasi. Inokulasi maple merah dalam pot yang mengandung limbah antrasit dapat menstimulasi pertumbuhan jika hara selain fosfat diberikan. Karena pohon-pohon bermikoriza VA dapat tumbuh dengan baik pada tanahtanah pertambangan, ketergantungan pada mikoriza dan respon pertumbuhan akan menyediakan informasi yang diperlukan bagi perencanaan pengelolaan tanah-tanah pertambangan. Seringkali dilaporkan bahwa tanah-tanah pertambangan mengandung logamlogam beracun dalam konsentrasi yang tinggi dan ini mengarahkan pada pernyataan spekulatif bahwa mikoriza dapat mengurangi toksisitas dan meningkatkan toleransi tanaman pada tanah-tanah terkontaminasi. Data yang dilaporkan Bradley (1982) secara kuat menggambarkan bahwa mikoriza bertanggung jawab untuk kolonisasi tanaman pada tanah-tanah dengan karakteristik tinggi kandungan logam-logam berat. Endofit yang diambil dari tanah-tanah terkontaminasi logam berat kurang bermanfaat bagi inang dibandingkan endofit dari tanah-tanah yang sehat. Mungkin sebagai konsekuensi dari kemasaman yang tinggi dan ketersediaan logam-logam yang tinggi pada tanah-tanah terganggu. Sebaliknya, tanaman bermikoriza VA biasanya ditemukan pada tanah-tanah dengan tingkat kemasaman yang tidak terlalu rendah (tanah-tanah pertanian) dan tidak terkspos pada logam-logam beracun dengan level tinggi. Akan tetapi simbion mikorizaVA dapat beradaptasi pada tanah-tanah yang terkontaminasi logam-logam berat seperti ditunjukkan oleh Gildon dan Tinker (1981). Mereka menyimpulkan bahwa toleransi endofit adalah penting, sehingga simbion mikoriza harus dipertimbangkan sebagai komponen dari toleransi tanaman terhadap logam-logam berat yang toksik. Dilaporkan bahwa pada kondisi yang sangat masam, rerumputan bermikoriza VA mengakumulasi Cu dan Ni dalam level tinggi pada tajuk dibandingkan tanaman tidak bermikoriza. Apakah ektomikoriza juga dapat mentoleransi logam-logam berat beracun, belum dapat dipastikan, akan tetapi pinus yang diinfeksi dengan Pisolithus dilaporkan mempunyai kandungan Mn dan Zn yang sangat rendah daripada tanaman yang diinfeksi oleh Thelephora. Toksisitas logam-logam berat mungkin penyebab terbatasnya pembentukan mikoriza pada beberapa tanaman, akan tetapi penelitian lain menyatakan bahwa kondisi fisiologia dari inang lebih berperan daripada keracunan logam berat dalam membatasi pembentukan mikoriza pada sistem perakaran tanaman. 9 e-USU Repository © 2004 Universitas Sumatera Utara
V. PENUTUP A. Evaluasi Hasil Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan dilaporkan bahwa keberhasilan usaha revegetasi lahan-lahan kritis pasca tambang atau limbah hasil pertambangan (tailing) dapat dilihat dari respon pertumbuhan tanaman yang diusahakan atau ditanam di lokasi tersebut. Respon pertumbuhan semai atau tanaman tersebut dilihat berdasarkan beberapa variabel, antara lain: tinggi tanaman, diameter batang, biomassa, dan nisbah pucuk akar serta derajat atau persentase infeksi mikoriza pada perakaran tanaman inang. Beberapa perlakuan yang biasanya diterapkan dalam revegetasi lahan kritis pasca tambang adalah penambahan top soil dan inokulum mikoriza secara terpisah dan kombinasi antara keduanya. Dengan perlakuan-perlakuan tersebut diharapkan akan diperoleh suatu informasi atau data yang akan menjadi dasar dalam penentuan kebijaksanaan dalam pengelolaan lahan-lahan kritis pasca tambang. Dari penelitian Ekyastuti (1998) dilaporkan bahwa respon pertumbuhan terbaik diperoleh pada perlakuan inokulasi mikoriza yang diawali dengan penambahan top soil. Hasil ini jauh lebih baik bila dibandingkan dengan respon pertumbuhan pada perlakuan inokulasi mikoriza atau penambahan top soil saja. Hal ini memberikan gambaran bahwa untuk membuat mikoriza bekerja secara optimal sehingga menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman inang, pekerjaan penting yang harus dilakukan adalah memperbaiki kondisi lahan kritis pasca tambang terlebih dahulu. Penambahan top soil diduga dapat memperbaiki sifat fisik lahan kritis pasca tambang, seperti kekompakan struktur dan kemampuan memegang air yang lebih baik, sehingga pertumbuhan tanaman akan menjadi lebih baik. Claasen dan Zasoski (1993) merekomendasikan penambahan top soil paling sedikit 20% dari volume tanah yang digunakan untuk memberikan pengaruh yang optimum bagi pertumbuhan tanaman pada tanah-tanah yang miskin hara. Tanaman yang tumbuh pada tanah dengan kandungan logam berat yang tinggi, seperti lahan kritis pasca tambang, akan mempunyai kandungan logam berat yang tinggi pula dalam jaringannya. Menurut Marschner (1995), setiap spesies tanaman berbeda toleransinya terhadap kandungan logam berat. Pertumbuhan tanaman pada tanah-tanah yang tercemar logam berat dapat ditingkatkan resistensinya jika dikolonisasi atau berasosiasi dengan cendawan mikoriza (Gildon dan Tinker, 1986), sehingga penggunaannya dapat berfungsi sebagai bio-protection. Derajat atau persentase infeksi mikoriza terhadap perakaran tanaman inang menggambarkan tingkat keberhasilan asosiasi antara mikoriza dengan tanaman inang. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor, baik dari tanaman inang, jenis cendawan mikoriza yang digunakan maupun kondisi tanah tempat terjadi asosiasi. Sama halnya dengan respon pertumbuhan tanaman, derajat infeksi mikoriza tertinggi diperoleh pada perlakuan inokulasi mikoriza yang diawali dengan penambahan top soil. Pada keaadaan ini kondisi tanah lebih menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman dan perkembangan mikoriza, sehingga asosiasi antara perakaran tanaman dengan mikoriza dapat terjadi denga baik. Hasil akhirnya adalah pertumbuhan tanaman jauh lebih baik dibandingkan dengan penambahan inokulum mikoriza atau top soil saja.
10 e-USU Repository © 2004 Universitas Sumatera Utara
B. Kesimpulan Pengaruh yang menguntungkan dari asosiasi cendawan mikoriza dengan tanaman pada lahan-lahan kritis pasca tambang telah terbukti. Mekanisme prinsipnya adalah terjadinya peningkatan ketersediaan hara mineral bagi tanaman, tetapi pada beberapa kasus juga terjadi peningkatan toleransi terhadap logam-logam berat yang bersifat toksik yang umumnya terakumulasi pada daerah-daerah penambangan tersebut. Praktek inokulasi tanaman dengan cendawan mikoriza sangat mungkin dilakukan dan memang menguntungkan, tetapi dalam praktek pelaksanaannya faktor ekonomi harus dipertimbangkan. Jika tujuan utama dari inokulasi cendawan mikoriza pada tanaman adalah terjadinya peningkatan penyerapan hara fosfor dan nitrogen, maka kegiatan inokulasi harus menghasilkan suatu perbaikan yang terus menerus dan berkelanjutan bagi tanaman sehingga mikoriza tetap superior dan persisten dalam mensuplai fosfor dibanding yang dapat diperoleh tanaman melalui pemupukan fosfor. Inokulasi cendawan mikoriza akan lebih mudah dilakukan pada keadaan dimana jumlah inokulum total terbatas atau pada keadaan lahan mengalami stress unsur hara. Tujuan utama kegiatan inokulasi, kondisi lahan kritis pasca tambang dan bahan-bahan yang diperlukan untuk kegiatan inokulasi, evaluasinya harus diarahkan pada ketersediaan inokulum mikoriza. Sebagaimana halnya dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan keuntungan-keuntungan potensial yang diperoleh dari waktu dan biaya yang diperlukan untuk program manipulasi mikoriza pada lahan-lahan kritis pasca tambang.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, M.F. dan E.B. Allen. 1980. Natural re-establishment of vesicular-arbuscular mycorrhizae following stripmine reclamation in Wyoming. J. Appl. 17 : 1390147 Berry, C.R. 1978. Survival and growth of pine hybrid seedling with Pisolithus ectomycorrhizae on coal spoils in Alabama and Tennesse. J. Environt. Qual. 11 : 709-715 Bowen, G.D. dan S.E. Smith. 1981. The effects of mycorrhizas on nitrogen uptake by plants. In F.E. Clarks and T. Rosswall (Ed.). Terresterial Nitrogen Cycles. Processes, Ecosystem Strategies and Management Impacts. Swedish National Science Research Council, Stockholm. Ecol. Bull. 33 : 237-247 Bradley, R., A.J. Burt dan D.J. Read. 1982. The biology of micorrhiza in the Ericaceae. VIII. The role of mycorrhizal infection in heavy metal resistance. New Phytol. 91 : 197-209
11 e-USU Repository © 2004 Universitas Sumatera Utara
Danielson , R.M. 1982. Taxonomic affinities and criteria for identification of the common ectendomycorrhizal symbiont of pine. Ca. J. Bot. 60 : 7-18 Gildon, A. Dan P.B. Tinker. 1981. A heavy metal tolerant straint of a mycorrhizal fungus. Trans. Br. Mycol. Soc. 77 : 648-649 Lambert, D.H. dan H. Cole Jr. 1980. Effects of mycorrhizaw on establishment and performance of forage species in mine spoil. Agron. J. 72 : 257-260 Liberta, A.E. 1981. Effect of topsoil-storage duration on inoculum potential of vesicular-arbuscular mycorrhizae. In D.H. Graves (Ed.). Symposium on surface mining hydorlogy, sedimentology and reclamation. OES Publ. College of Engineering. Univ. Of Kentucky, Lexington. Hal.: 45-48 Marx, D.H. 1975. Mycorrhizae and establishment of trees on stripmined land. Ohio J. Sci. 75 : 288-297 Marx, D.H. dan W.C. Bryan. 1971. Influence of ectomycorrhizae on survival and growth of aseptic seedling of loblolly pine at high temperature. For. Sci. 17 : 3741 Miller, R.M. 1979. Some occurances of vesicular-arbuscular mycorrhizae in nature and disturbed ecosystems of the Red Desert. Can. J. Bot. 57 : 619-623 Mosse, B., D.P. Stribley dan F. Le-Tucon. 1981. Ecology of mycorrhizae and mycorrhizal fungi. Adv. Microb. Ecology. 5 : 137-210 Powell, C.L. 1987. Mycorrhizae. In R.G. Burns dan J.H. Slater (Ed.). Experimental Microbial Ecology. Blackwell Scientific Publ. London. Hal : 447-471 Vogel, W.G. 1987. A manual for training reclamation inspector in the fundamentals of soil and revegatation. U.S. Department of Agriculture. Kentucky. Schenck, N.C. dan G.C. Smith. 1982. Responses of six species of vesicular-arbuscular mycorrhizal fungi and their effects on soybean at four soil temperatures. New. Phytol. 92 : 193-201 Schramm, J.R. 1966. Plant colonization studies on black wastes from anthracite mining in Pennsylvania. Trans. Am. Phil. Soc. 56 : 1-19 Schwab, S. Dan F.B. Reeves. 1982. The role of endomycorrhizae in revegetation practice in semi-arid west. 3. Vertical distribution of vesicular-arbuscular (VA) mycorrhiza inoculum potential. Am. J. Bot. 68 : 1293-1297 Setiadi, Y. 1993. Mycorrhiza for reforestation. Makalah presentasi di BiodiversityBiotechnology Inovation Symposium. British Council. Jakarta, 3 Mei 1993
12 e-USU Repository © 2004 Universitas Sumatera Utara
Setiadi, Y. 1996. The practical application of arbuscular mycorrhiza fungi for enhancing tree establishment in degraded nickel mine site at PT. INCO, Soroako. Makalah presentasi di IUFRO International Symposium on Accelerating Natural Succession of Degraded Tropical Land. Washington D.C. 11-13 June, 1996. Theodorou, C. Dan G.D. Bowen. 1971. Influence on temperature on the mycorrhizal association of Pinus radiata. Austr. J. Bot. 19 : 13-20 Zak, J.C. dan D. Parkonson. 1982. Initial VA mycorrhizal development of slender wheatgrass on two amended mine spoils. Can. J. Bot. 60 : 2241-2248
13 e-USU Repository © 2004 Universitas Sumatera Utara