1. Pemkab Bogor perlu meningkatkan alokasi anggaran untuk menuntaskan perbaikan infrastruktur sekolah (ruang kelas) melalui APBD Perubahan 2016 sebesar Rp 525,5 Milyar, dari sebelumnya anggaran pokok sebesar Rp 140,7 milyar. Penambahan anggaran tersebut diperoleh dari realokasi anggaran belanja pegawai (honorarium kegiatan) di SKPD Diknas, maupun dari SKPD lain. 2. Penting dilakukan perbaikan system pendataan sekolah rusak dengan menyusun Pedoman Baku (Kriteria Prioritas Perbaikan Kelas Rusak) berbasis dapodik dan ditetapkan dalam bentuk Surat Keputusan (SK) Bupati. 3. DPRD perlu menginisiasi/ prakarsa mekanisme pengawasan efektif terhadap pendidikan, termasuk membuka unit pengaduan bagi masyarakat.
A
PBD Kabupaten Bogor Tahun 2016, untuk alokasi perbaikan ruang kelas sangat rendah. Dengan anggaran yang minim itu, Dinas Pendidikan tidak mampu menangani persoalan banyaknya sekolah yang memiliki ruang kelas yang nyaris ambruk. Data Disdik tahun 2016 menunjukkan terdapat 3.168 unit ruang kelas dalam kondisi rusak, sehingga tidak layak digunakan. Akibatnya, sekitar 101.376 siswa SD dan SMP terpaksa menjalani Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dalam kondisi tidak nyaman dan terancam bahaya. Ini belum termasuk 142.752 lebih anak yang terpaksa antri belajar karena keterbatasan ruang kelas sebanyak 4.461. Bupati dan DPRD memiliki kewenangan untuk meningkatkan alokasi anggaran pendidikan, khususnya perbaikan ruang kelas rusak. Termasuk kewenangan membuat kebijakan dalam menentukan prioritas sekolah yang mendapat bantuan. Untuk mengatasi bencana sekolah ambruk, pilihannya tidak lain adalah Pemkab Bogor dan DPRD mengeluarkan kebijakan dengan meningkatkan alokasi anggaran, khususnya melalui APBD-Perubahan 2016. Selain peningkatan anggaran, Pemkab juga membuat kebijakan berupa Pedoman Baku (Kriteria Prioritas Perbaikan Kelas Rusak), sebagai parameter dalam menentukan sekolah yang dijadikan prioritas untuk mendapatkan anggaran perbaikan.
Februari 2016, masyarakat dikagetkan dengan ambruknya SDN Cibugis, Kec. Klapanunggal Kabupaten Bogor.Bencana ini mengakibatkan sebagian murid harus belajar di lantai mushola sekolah dan sebagian harus dititip di tempat pengajian majelis taklim. Tahun sebelumnya, kasus lebih parah juga terjadi, di mana para siswa SMP PGRI Ciomas terpaksa harus mengikuti ujian di lapangan terbuka karena ketakutan ruang kelas mereka ambruk. Kedua sekolah ini mewakili potret buram kondisi infrasruktur pendidikan di Kabupaten Bogor. Perbaikan ruang kelas belum menjadi prioritas utama. Setelah ditelusuri APBD 2016, hanya dialokasikan sebesar Rp. 140,7 milyar lebih atau 7,25 % dari total belanja pendidikan Rp. 1,93 trilyun. Atau hanya sekitar 2,01 % dari total belanja keseluruhan Rp. 7,01 trilyun Diperlukan komitmen Bupati dan DPRD menjadikan prioritas utama penyelesaian infrastruktur sekolah sebagai jaminan bagi siswa (i) dapat mengikuti proses belajar mengajar yang aman dan nyaman. KOPEL Indonesia telah melakukan analisis terkait prioritas anggaran sektor pendidikandi Kab. Bogor, dan juga melakukan survei lapangan untuk mengukur komitmen Pemkab dan DPRD setempat. Selama ini Kab. Bogor telah menerbitkan berbagai kebijakan yang menjamin peningkatan kualitas pendidikan, antara lainPerda No.6 Tahun 2011, tentang Penyelenggaraan Pendidikan, Perda Nomor 5 tahun 2014 tentang RPJMD tahun 2013 -2018, dan Renstra Dinas Pendidikan Kab. Bogor.
I. Irit Perbaikan Ruang Kelas, Boros untuk Keperluan lain Belanja langsung pada Dinas Pendidikan tahun 2016 hanya dialokasikan Rp 364 milyar lebih, turun dari tahun sebelumnya mencapai Rp 499 milyar lebih. Menariknya, Pemkab Bogor sepertinya juga lebih irit untuk alokasi keperluan perbaikan ruang kelas bila dibanding dengan kegiatan lain. Tahun 2016 ini misalnya, dialokasikan hanya sebesar Rp. 140,7 milyar lebih atau 7,25 % dari total belanja pendidikan. Atauhanyasekitar 2,01 %dari total APBD sebesar Rp. 7,01 trilyun lebih. Sebaliknya, analisis KOPEL justru menemukan beberapa pos anggaran yang berpotensi boros, diantaranya : 1.
Anggaran Bansos dan Hibah sebesar Rp 130 milyar lebih atau 8 persen dari total PAD sebesar Rp 1,73 trilyun. Alokasi tersebut sifatnya tidak wajib bilamana urusan wajib pemerintah belum terpenuhi.
2.
Anggaran penyusunan pelaporan keuangan dan Monev yang ada di semua SKPD sebesar Rp 50,41 milyar lebih. Selain sudah menjadi tupoksi masing-masing SKPD, juga dikuatirkan terjadi double penganggaran karena sebagian kebutuhannya sudah dianggarkan di pos lain.
3.
Anggaran honorarium dalam Dinas Pendidikan mencapai 28 persen dari total Belanja Langsung sesungguhnya sudah menjadi bagian dari tupoksinya.
4.
Anggaran pembuatanWC/kamar mandi cukup besar mencapai Rp 99 juta per unit untuk satu SD. Meski pembangunan ini penting, idealnya, berdasarkan studi yang dilakukan Artikel 33, pembangunan satu unit kamar mandi/WC untuk SD, cukupRp 48 juta per unit.
II. Siswa Belajar dalam Kondisi tidak Aman Saat ini, terdapat 101.376 siswa terpaksa mengikuti proses belajar dalam kondisi yang tidak nyaman dan aman. Kondisi ruang kelas yang rusak membuat nyawa para siswa dipertaruhkan. Setiap saat mereka dilanda kecemasan dan ketakutan tiba-tiba terjadi bencana atap dan dinding roboh. Seperti yang dialami siswa siswi SDN Leuwibatu 01, Kec. Rumpin, dengan jumlah siswa mencapai 126 orang dan hanya menempati 4 ruang
kelas. Mereka belajar dalam ruang kelas yang hanya ditopang bambu, dan dihantui perasaan cemas sewaktu sewaktu mendadak ambruk.
“Kita sudah sangat sering mengajukan permohonan bantuan ke pemerintah daerah tapi sampai saat ini belum ada realisasinya”, Ati Nurhasanah, Kepala Sekolah SDN Leuwibatu 01 (13/2/2016).
III. Menunggu Antrian Panjang Persoalan Ruang Kelas akan terus bertambah tiap tahun. Selama ini Pemkab hanya mampu mengalokasikan anggaran perbaikan sebesar Rp. 140,7milyar. Nyatanya dengan anggaran tersebut tidak mampu menjangkau semua sekolah yang bermasalah. Bisa dibayangkan, akan terjadi antrian panjang bagi sekolah untuk mendapatkan perhatian.
Berikut ini, Perhitungan Biaya Perbaikan Ruang Kelas per unit :
Berdasarkan hitungan simulasi di atas,untuk menyelesaikan pembangunan ruang kelas di tahun 2016 ini, dengan total 3.168 unit seharusnya dibutuhkan anggaran sebesar Rp. 525,3 milyar atau masih membutuhkan tambahan anggaran sebesar Rp. 384,6 milyar lebih. Bilamana Pemkab Bogor hanya mengalokasikan rata –rata setiap tahunnya sebesar Rp. 140-an milyar, maka dibutuhkan waktu antara 3 - 4 tahun untuk menyelesaikan program perbaikan ruang kelas. Belum diperhitungkan inflasi kemahalan yang setiap tahun meningkat.
IV. Nyaris Ambruk, Tidak Dapat Anggaran Penelusuran KOPEL, ditemukan beberapa sekolah yang sama sekali tidak tersentuh pemerintah, meski kondisinya sudah rusak berat. Namun di tempat lain, juga ditemukan ada sekolah yang secara kasatmata kondisinya belum terlalu parah tapi sudah mendapat alokasi anggaran perbaikan.
Misalnya, SDN Leuwibatu 01 Kec. Rumpin sudah mengajukan proposal perbaikan ruang kelas namun belum berhasil. Begitu pula SDN Tambilung. Berbeda sekolah yang lain, seperti SDN Neglasari 05, SDN Petir 03, SDN Ciherang 01, tahun ini sudah dianggarkan. Ketiga sekolah ini juga sudah rusak, namun tidak separah SDN Leuwibatu. “Sebetulnya kondisi bangunan masih bisa dipakai. Cukup gentengnya yang diperbaiki karena bangunan dan keramik masih bagus”, begitu penilaian salah seorang pekerja bangunan di salah satu lokasi proyek perbaikan sekolah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa Pemkab tidak memiliki parameter dalam menentukan prioritas sekolah mana yang harus didahulukan perbaikannya. Sistem dapodik untuk pendataan pendidikan tidak berjalan dengan baik.
IV.
Akuntabilitas Realisasi Bantuan Masih Rendah
Selain distribusi alokasi anggaran, akuntabilitas pelaksanaan anggaran juga harus menjadi perhatian serius. Pertama; DPRD selama ini kurang maksimal melakukan pengawasan terhadap pelayanan publik di bidang pendidikan. Bahkan DPRD tidak memiliki data yang riil mengenai jumlah sekolah yang rusak. Akibatnya, alokasi anggaran perbaikan ruang kelas tidak pernah maksimal. Kedua; rendahnya partisipasi masyarakat yang fokus mengawasi pelaksanaan anggaran perbaikan ruang sekolah.
Persoalan infrastruktur pendidikan harus segera diselesaikan tanpa perlu menunggu waktu yang lama. Apalagi, dalam RPJMD 2013 – 2018 menjadikan isu pendidikan sebagai prioritas utama. Berikut ini adalah beberapa opsi kebijakan yang ditawarkan berdasarkan atas hasil temuan di lapangan.
I. Meningkatkan Anggaran untuk Infrastruktur Sekolah Untuk menuntaskan perbaikan ruang kelas rusak Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor membutuhkan tambahan anggaran pada APBD Perubahan 2016 sebesar Rp 384, 6 milyar lebih. Sebelumnya dalam APBD Pokok 2016 hanya dialokasikan sebesar Rp 140,7 milyar. Untuk penambahan itu, terbuka peluang melakukan realokasi beberapa pos belanja yang dianggap tidak efektif untuk dialihkan menutupi kekurangan anggaran perbaikan ruang kelas rusak. Pertama, realokasi Bantuan Sosial dan Hibah Sosial yang jumlahnya signifikan mencapai 8%dari total PAD. Perlu diketahui, bantuan sosial dan hibah bukanlah sesuatu yang harus dialokasikan,sebelum urusan wajib terpenuhi. Kedua, realokasi sebagian anggaran Belanja Pegawai dan Belanja Barang dan Jasa dalam Dinas Pendidikan yang cukup tinggi. Belanja pegawai misalnya mencapai Rp. 103.230.045.000 atau 28 %. Begitu pula belanja barang dan jasa Rp. 43.513.201.000 atau 12 % dari total belanja pendidikan. Belanja Pegawai yang dimaksud di sini bukanlah komponen gaji tetap, melainkan imbalan honor di kegiatan tertentu yang sebenarnya sudah menjadi tupoksinya. Berkaitan honor, Pemkab perlu konsisten menerapkan sistem penganggaran berbasis kinerja, di mana honorarium kegiatan berdasarkan kinerja pegawai. Selain honorarium, bisa dilakukan efisiensi terhadap belanja makan dan minum, perjalanan dinas termasuk pakaian dinas yang terlalu tinggi dan sulit dikontrol.
Selain itu, penting bagi Pemkab mendorong optimalisasi sumber-sumber pendapatan daerah. Hasil analisis KOPEL ditemukan kurangnya improvisasi, inovasi dalam mengembangkan potensi daerah, bahkan tidak optimal. Baik itu dari segi jumlah objek pajak/retribusi, maupun jumlah pendapatan asli daerah. Tahun 2016, total pendapatan asli daerah mencapai Rp 1,73 trilyun di antaranya bersumber dari 10 jenis pajak. Dari beberapa objek pajak tersebut, masih adaobjek yang capaiannya dibawah 5 %, seperti pajak parkir, pajak hiburan, pajak hotel, pajak restoran, dan pajak reklame. Peningkatan pendapatan tidak berarti selalu dimaknai menambah jenis pungutan, melainkan mengkonsolidasikan pungutan yang lebih akuntabilitas dengan menutup kebocoran adalah salah satu cara menambah pendapatan.
II. Meningkatkan Akurasi Pendataan Kondisi Ruang Kelas Ketersediaan anggaran sering kali tidak paralel dengan pemenuhan kebutuhan. Bahkan terkadang anggaran yang besar tidak mampu menyelesaikan persoalan karena salah sasaran atau karena ketidaktepatan pelaksanaannya. Seperti dijelaskan di atas, menjadi penting perbaikan sistem atau mekanisme pendataan kondisi ruang kelas (rusak berat, sedang, ringan) yang ada di Kabupaten Bogor. Tujuannya untuk memastikan proses distribus alokasi anggaran juga tepat pada sekolah yang dipastikan memang mendesak. Bukan karena kedekatan aktor-aktor dari pengambil kebijakan. Langkah yang bisa ditempuh, salah satunya menyusun Pedoman Baku (Kriteria Prioritas Perbaikan Kelas Rusak) berbasis data dapodik yang terverifikasi. Selain itu, untuk percepatan penanganan maka dipandang perlu membentuk Satgas Sekolah Rusak gabungan dari Diknas, DPRD dan Perwakilan Masyarakat.
III.
Meningkatkan Sistem Pelaporan dan Pengawasan di DPRD
DPRD memiliki fungsi pengawasan terhadap pelayanan publik termasuk pendidikan. Peran pengawasan wakil rakyat dibutuhkan berkaitan dengan pelaksanaan anggaran, khususnya pendidikan. Pengawasan DPRD pun bisa dikembangkan tidak hanya dalam bentuk rapat-rapat kerja dengan Dinas Pendidikan, melainkan DPRD dapat juga mengembangkan kemitraan dengan kelompok masyarakat atau individu yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan. DPRD bahkan bisa melakukan prakarsa mendorong mekanisme komplain atas kondisi sekolah yang rusak termasuk pelaksanaan perbaikannya di lapangan
Masyarakat Kab. Bogor boleh berbangga, saat ini APBD Kab. Bogor mencapai Rp. 7,01 trilyun lebih, dan masuk klaster salah satu kabupaten terkaya di Indonesia. Sayangnya anggaran yang terbilang cukup besar tersebut tidak mampu memaksimalkan pelayanan pendidikan dasar. Bila dicermati, rata-rata nilai UN Kab. Bogor tahun 2015 sebesar 57,21 tergolong rendah bila dibandingkan dengan daerah lain yang justru memiliki APBD lebih kecil, namun rata-rata UN-nya lebih tinggi seperti Kab. Cianjur 65,13, Kab. Ciamis 59,35, dan Kota Bogor 66,50. Persoalan mendesak dan prioritas adalah bagaimana Pemkab dapat memberikan respon positif dan langkah nyata dalam menyelesaikan ‘pekerjaan rumah’ berupa daftar panjang infrastruktur sekolah, khususnya ruang kelas yang mengalami kerusakan yang bertambah setiap tahun.
Atas persoalan tersebut, KOPEL telah memberikan masukan melalui opsi kebijakan dan rekomendasi. Sejatinya Pemkab Bogor membuka diri atas masukan tersebut, terutama menjalankannya sehingga apa yang menjadi PR besar selama ini segera terselesaikan.
1.
APBD Kabupaten Bogor Tahun 2016.
2.
Hasil Analisis APBD Kabupaten Bogor Tahun 2015 & 2016, KOPEL Indoesia.
3.
Neraca Pendidikan Daerah (NPD) Tahun 2015, Kemendikbud.
4.
Petunjuk pelaksanaan program nasional rehabilitasi ruang kelas rusak berat SD tahun 2012, http://dikdas.kemdiknas.go.id
5.
Penghitungan Standar Biaya Satuan Investasi Sarana dan Prasarana Sekolah Jenjang SD, SMP dan SMA di Indonesia, http://article33.or.id
6.
Ringkasan APBD Kabupaten Bogor Tahun 2015.
7.
Ruangan Roboh, Siswa UAS di Lapangan, 2014, http://www.beritasatu.com
8.
Knnk;Sekolah Ambruk, Murid SDN Belajar di Lantai Musola, 2016, http:// poskotanews.com
9.
www.disdik.bogorkab.go.id
10. www.kopel-online.or.id
Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Sulawesi didirikan 10 Maret 2000 berkedudukan di Kota Makassar berdasarkan Akte Notaris Widartiningsih No 13 tertanggal 29 Mei 2000. Dalam perkembangannya, juga dibuka di beberapa daerah termasuk termasuk di Jawa Barat sehingga disepakati berubah nama menjadi KOPEL Indonesia. Resmi terdaftar pada Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 194/D.III.3/VIII/2009 dan diperpanjangan dengan Nomor : 01-00-00/95/D.IV.1/XI/2015 Tujuan pendirian KOPEL saat itu, ingin melihat lembaga DPRD benar-benar difungsikan dalam kerangka cek and balance jalannya pemerintahan. Tidak seperti sebelumnya sekedar tukang stempel penguasa. KOPEL ingin menempatkan DPRD sebagai aktor utama dan paling terdepan dalam mendorong tata kelola pemerintahan yang lebih baik. Serta ikut memastikan terpenuhinya standar-standar pelayanan publik secara berkualitas.
Visi Mendorong terwujudnya Pemerintahan Daerah yang akuntabel dan berkinerja baik dengan optimalisasi peran DPRD dan masyarakat sipil
Misi KOPEL merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menjadikan institusi parlemen sebagai focus advokasi dalam mendorong pelaksanaan demokrasi yang adil, jujur, bertanggung jawab, bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme dengan misi: 1.
Penguatan kapasitas dan pendampingan Partai Politik (Parpol) dalam.
2.
Penguatan kapasitas dan pemantauan DPRD dalam rangka mendorong DPRD lebih responsif dan berintegritas.
3.
Melakukan advokasi dan pendampingan pemerintah daerah dalam menyusun kebijakan penganggaran daerah yang pro poor dan responsif gender.
4. Pendidikan politik bagi masyarakat Tahun 2016 ini, KOPEL bekerjasama YAPPIKA dengan program Sekolah Aman melalui advokasi peningkatan anggaran rehabilitasi sekolah dasar. KOPEL memandang harapan perbaikan kualitas pendidikan tidak berdiri sendiri tanpa intervensi elemen lain secara simultan termasuk perbaikan infrastruktur yang kian mengancam. Sebelumnya di Kota Bogor, KOPEL & Article 33 bersama Dinas Pendidikan Kota Bogor telah menandatangani Memorandum Of Understanding (MoU) dalam rangka studi Akses Masyarakat Miskin Terhadap Pendidikan yang Berkualitas.