APAKAH MAAFMU MASIH BERHARGA? PENGARUH PERMINTAAN MAAF DAN JUMLAH UANG YANG BERBEDA TERHADAP INTENSI MELANJUTKAN KEMBALI HUBUNGAN YANG BERMASALAH
ANANDA FINDEZ SHIDIQ ANUGRAH ERITA NARHETALI 1. Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia 2. Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia
E-mail:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini ingin melihat apakah permintaan maaf masih berharga atau tidak dalam konteks transaksi ekonomi. Melihat konteks budaya Indonesia yang sering sekali meminta maaf, bahkan pada hal-hal yang sebetulnya tidak perlu untuk meminta maaf. Lebih jauh lagi penelitian ini ingin membandingkan respon manusia terhadap permohonan maaf pada jumlah besaran uang yang berbeda-beda. Penelitian ini menggunakan game theory untuk menemukan respon mengenai intensi seseorang untuk melanjutkan hubungan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa orang tidak lagi menghargai maaf dari ucapan permintaan maaf seseorang, namun yang dilihat adalah usaha yang dilakukan untuk melakukan permintaan maaf seperti memberikan kompensasi uang. Hal ini terlihat dari tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kompensasi uang yang ditambahkan dengan maaf, maupun yang tanpa maaf t(46) = -,907, p>0,05. Selanjutnya juga tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara jumlah uang terhadap intensi untuk melanjutkan hubungan F(2,60) = 0,34, p>0,05.
Apakah maafmu masih berharga..., Ananda Findez Shidiq Anugrah, F.PSIKOLOGI UI, 2014
Does your apology counted? Effect of apology and different amount of money to the intention of preserving relationship Abstract The purpose of this research is to examine the value of apology in economic transaction. In Indonesian culture, apology or saying sorry does not always mean the person begging others apology for their mistakes. Instead, they say sorry for non-sense meaning. Furthermore, this research is intended to compare human response to apology in various value of money. Dictator game has been used to reveal the individual intention for preserving interpersonal relationship. Present research suggests that Indonesian count apology in terms of money compensation from their partner. The result between apology along with money compensation and without money compensation is not statistically significant, t(46) = -,907, p>0,05. The result is consistent for various value of money, to intention for preserving interpersonal relationship F(2,60) = 0,34, p>0,05.
Keywords: Aplology, Compensation, Money, Dictator game, Preserving relationship
Pendahuluan Ada saat-saat dimana dalam sebuah transaksi, penjual tidak memiliki uang atau pecahan uang yang cukup untuk memberikan kembalian, sehingga kembalian menjadi kurang dari seharusnya atau diganti dengan barang (biasanya permen). Ucapan sang penjual umumya seperti ini, “Maaf pak/ibu, apakah ada uang yang pecahannya lebih kecil? Saya kebetulan tidak ada pecahan uang kecil, sehingga kembaliannya kurang sekian rupiah”. Ada pembeli (Tipe A) yang menolak hal tersebut, dengan cara menunggu kembalian hingga ada atau membeli barang lain sejumlah harga kembalian. Tapi ada juga pembeli (Tipe B) yang menerima kurangnya kembalian tersebut. Padahal manusia sebagai homo economicus seharusnya memaksimalkan keuntungan dan meminimalisir kerugian. Dalam kasus di atas, kita hanya bisa melihat pembeli tipe B menerima kekurangan tersebut, tapi apakah dia memaafkan penjual dan akan kembali membeli disana setelah kejadian itu? Penulis akan membahas kemungkinan jika pembeli tipe B ternyata memutuskan untuk tetap membeli di penjual yang sama setelah kejadian tersebut. Salah satu hal yang mungkin mempengaruhi dia untuk tidak berpindah penjual adalah perilaku penjual yang sudah
Apakah maafmu masih berharga..., Ananda Findez Shidiq Anugrah, F.PSIKOLOGI UI, 2014
berusaha untuk memberikan uang kembalian sesuai dengan yang penjual itu miliki. Namun Okimoto dan Tylers (2007) menyebutkan bahwa kompensasi berupa uang saja tanpa maaf tidak cukup untuk mempertahankan sebuah hubungan tetap terjalin. Lalu jika ternyata uang saja tidak cukup, bisa saja permintaan maaf yang dilontarkan oleh penjual yang membuat pembeli tipe B ini tetap membeli di tempatnya. Kemungkinan kedua ini muncul dari penelitian Desmet, De Cremer, dan Van Dijk (2011) yang menyebutkan bahwa kompensasi uang dapat memulihkan kepercayaan dalam sebuah hubungan. Haesevoets, Folmer, De Cremer, dan Van Hiel (2013) menemukan bahwa jika dalam kondisi kompensasi yang diterima di bawah jumlah yang adil (undercompensation) seperti kasus di atas, maka maaf akan menguatkan keinginan seseorang untuk melanjutkan hubungan. Jika dalam posisi undercompensation maaf dapat menguatkan intensi seseorang untuk melanjutkan hubungan, maka bisa saja maaf memiliki harganya tersendiri dalam transaksi ekonomi. Contohnya jika transaksi itu adalah pembelian buku kuliah seharga enam puluh sembilan ribu rupiah, pembeli membayar dengan uang seratus ribu dan penjual pada saat itu hanya memiliki uang kembalian sebesar tiga puluh ribu. Akhirnya penjual memberikan kembalian tiga puluh ribu sambil menyampaikan kata maaf, pembeli menerima transaksi tersebut dan tetap berkunjung ke toko tersebut setelah kejadian itu. Temuan teresebut sejalan dengan penelitian Handgraff, Van Dijk, dan De Cremer (2003) yang menemukan bahwa manusia cenderung menyukai keadilan dalam transaksi ekonomi. Jika manusia memang cenderung untuk menyukai kondisi adil (50:50), maka wajar ketika dalam kondisi yang adil, maaf tidak lagi memberikan efek penguatan karena manusia sudah mencapai apa yang dia inginkan. Sementara ketika dalam kondisi undercompensation, maaf dengan berperan menjadi jembatan mencapai keadilan dalam transaksi ekonomi. Dari beberapa penelitian yang telah disebukan, terlihat bahwa ada peran dari faktor psikologis di dalam sebuah transaksi ekonomi. Gneezy dan Rustichini (2000) menemukan bahwa perilaku manusia dalam transaksi ekonomi seharusnya memiliki respon yang berbeda pada nilai insentif yang berbeda, karena jumlah uangnya berbeda dan akan menimbulkan persepsi yang berbeda-beda pula. Andersen, Ertac, Gneezy, Hoffman, dan List (2011) melakukan penelitian di India dengan ultimatum game pada jumlah uang 20 rupee hingga 20.000 rupee, yang menemukan bahwa respon partisipan pada 20-2.000 rupee tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Sementara pada jumlah uang 20.000 rupee, mulai terlihat banyak penolakan oleh partisipan. Andersen et al. (2011) menemukan bahwa salah satu faktor penyebabnya adalah kebutuhan seseorang terhadap jumlah uang yang sedang dimainkan.
Apakah maafmu masih berharga..., Ananda Findez Shidiq Anugrah, F.PSIKOLOGI UI, 2014
Untuk konteks Indonesia, Cameron (1999) melakukan penelitian menggunakan ultimatum game menemukan bahwa jika dua orang diberikan sejumlah uang, maka orang tersebut menginginkan pembagian (angka fairness) yang sama rata (50:50) mulai dari nilai transaksi 5000 rupiah, hingga 200.000 rupiah. Pada saat itu $1 = Rp.2.160,00 rupiah yang jika dikonversi ke saat ini menjadi sekitar 30.000 rupiah hingga 1,2 juta rupiah. Penelitian ini dilakukan di Universitas Gajah Mada pada masa-masa krisis moneter Indonesia. Karena penelitian ini melibatkan uang dan saat itu kebanyakan orang memang kesulitan keuangan, maka bisa saja temuan tersebut berbeda dengan kondisi Indonesia saat ini karena kondisi ekonomi Indonesia saat ini sudah lebih baik dibandingkan kondisi saat itu. Jika membandingkan penelitian Andersen et al. (2011) dan Cameron (1999), ada perbedaan angka fairness pada kedua penelitian tersebut. Di India angka fairness menjadi berbeda ketika jumlahnya semakin besar, sementara di Indonesia tetap sama. Bagaimana dengan kondisi saat ini, apakah jumlah uang yang berbeda tetap mendapatkan respon yang sama? Pencarian mengenai angka fairness ini perlu dilakukan karena menurut Kahn (1972), fairness adalah nilai yang dianggap adil oleh standar sosial yang berlaku di sebuah masyarakat. Angka ini perlu ditemukan agar dalam penelitian ini, bisa diciptakan kondisi yang membuat partisipan merasa tidak adil dalam sebuah transaksi karena dia mendapatkan sejumlah uang yang berada di bawah angka fairness. Kondisi itu perlu dibentuk agar penulis dapat melihat efek dari permintaan maaf yang dilakukan untuk memoderasi selisih antara jumlah yang didapatkan dengan angka fairness yang dipegang oleh partisipan. Kembali membahas penelitian Haesevoets, Folmer, De Cremer, dan Van Hiel (2013) yang menggunakan dictator game, menemukan bahwa maaf memiliki harganya tersendiri dengan menempatkan maaf sebagai jembatan untuk memperbaiki perasaan yang tersakiti akibat kerugian dari ketidakadilan transaksi ekonomi. Para partisipan diberitahukan bahwa akan bermain dengan lawan main yang diberikan 10 kupon senilai 50 euro (750,000 rupiah) dan lawannya akan memberikan sebagian kupon tersebut kepada dirinya, namun sebenarnya lawan main dari partisipan adalah komputer. Partisipan ditempatkan dalam kondisi yang tidak adil (mendapatkan 2 kupon), lalu kemudian dibagi menjadi 4 kelompok yang terdiri dari 1 kelompok kontrol (tambahan 1 kupon saja) dan 3 kelompok eksperimen. Kelompok eksperimen terdiri dari 3 jenis kompensasi yang diberikan, yaitu yang di undercompensation (tambahan 1 tiket + permintaan maaf), equal compensation (tambahan 3 kupon + permintaan maaf), dan over compensation (tambahan lebih dari 3 kupon + permintaan maaf). Dari penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa permintaan maaf dapat membantu meningkatkan
Apakah maafmu masih berharga..., Ananda Findez Shidiq Anugrah, F.PSIKOLOGI UI, 2014
intensi untuk melanjutkan hubungan ketika kompensasi uang yang diberikan tidak cukup memuaskan. Namun menurut penulis penelitian tersebut menurut penulis berada pada nilai tukar ekonomi yang terbilang rendah untuk populasinya, oleh karena itu bisa saja maaf berpengaruh karena memang nilai yang ada dalam permainan tersebut cukup kecil dibandingkan dengan pendapatan perkapita populasinya. Sebagai acuan, menurut data World Bank (2014) pendapatan perkapita penduduk Belanda berada pada $28.792 (Rp. 371.416.800,-) pertahun atau $2.399 (Rp. 30.951.000,-) per bulan. Maka dari itu penulis ingin mencari tahu apakah maaf masih akan berpengaruh secara signifikan ketika uang yang dimainkan secara jumlah sangat besar dibandingkan dengan pendapatan biasanya. Sampai berapa besaran uang yang masih bisa dipengaruhi oleh maaf secara signifikan terhadap intensi untuk melanjutkan hubungan pada kelompok undercompensation. Pertanyaan penelitian. Pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini berdasarkan pembahasan pada latar belakang adalah apakah di Indonesia, permintaan maaf mempengaruhi intensi seseorang untuk melanjutkan hubungan dalam konteks transaksi ekonomi dan apakah jumlah uang yang berbeda mempengaruhi intensi seseorang untuk melanjutkan hubungan dalam konteks transaksi ekonomi? Mengenai tujuan, penelitian yang akan dilakukan digunakan untuk menemukan hubungan antara pengaruh maaf yang divariasikan dengan jumlah uang yang berbeda terhadap intensi untuk melanjutkan hubungan. Peneliti ingin mengetahui apakah maaf akan memiliki harga yang konstan atau relatif sesuai dengan nilai uang yang sedang dihadapi. Jika ketika jumlah uang semakin besar maaf tetap mampu memberikan efek memperkuat intensi seseorang untuk melanjutkan hubungan, maka maaf memiliki harga yang relatif sesuai dengan jumlah uang yg sedang dihadapi. Namun jika pada jumlah uang yang sangat besar maaf sudah tidak bisa lagi memberikan pengaruh, maka artinya maaf memiliki harga yang konstan.
Tinjauan Teoritis Game Theory. Colman (2003); Eisley dan Kleinberg (2010) menyebutkan bahwa game theory merupakan sebuah cabang ilmu matematika yang berkaitan erat dengan alasan dibalik pengambilan keputusan di dalam konteks interaksi sosial. Syarat penelitian yang menggunakan game theory menurut Colman (2003) yaitu melibatkan minimal 2 peran,
Apakah maafmu masih berharga..., Ananda Findez Shidiq Anugrah, F.PSIKOLOGI UI, 2014
kemudian terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh tiap peran, dan konsekuensi yang berbeda dari tiap-tiap keputusan yang dipilih. Dictator Game. Kahneman, Knetsch, dan Thaler (1986) melakukan eksperimen dengan membagi partisipan menjadi pihak yang diberikan hak untuk menentukan pembagian (proposer) dan pihak yang hanya bisa menerima keputusan mutlak dari proposer (responder). Jadi dalam hal ini proposer betul-betul diberikan kebebasan untuk memberikan seluruh pembagian kepada responder hingga tidak memberikan sama sekali. Hal yang mempengaruhi proposer untuk tidak mengambil seluruh pembagian walaupun memiliki kesempatan adalah angka fairness yang dipercaya oleh proposer. Penelitian ini juga menjadi sebuah pembuktian bahwa manusia tidak sepenuhnya akan mengkapitalisasi keuntungan dengan merugikan orang lain, namun terdapat aspek fairness yang mempengaruhi keputusan seseorang dalam hal ekonomi (Rasinski & Tourangeu, 1991). Ultimatum Game. Guth, Schimittberger, dan Schwarze (1983) membuat partisipan terbagi dalam dua peran, yaitu peran proposer dan responder dimana responder diberikan hak untuk menolak pemberian yang diberikan oleh proposer. Secara logika ekonomi, seharusnya proposer bisa saja memberikan bagian yang kecil terhadap responder dengan asumsi bahwa responder akan berpikir untuk mendapatkan sedikit dibandingkan tidak dapat sama sekali. Fairness. Kahn (1972) fairness adalah sebuah standar sosial yang dianggap sebagai sebuah keadilan oleh kedua belah pihak. Hal ini dapat digunakan untuk menjelaskan kenapa dalam game theory tingkah laku partisipan bertentangan dengan prinsip ekonomi dimana partisipan tidak mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya dengan kesempatan yang dia miliki (Kahneman, Knetsch, & Thaler, 1986). Pillutla dan Murnighan (1996) menemukan bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk menyepakati pembagian yang adil adalah pembagian yang sama rata atau 50:50. Hal ini karena pembagian yang sama rata dianggap memberikan efek kesenangan yang sama bagi kedua belah pihak. Mudahnya adalah dalam pembagian 50:50 tidak ada yang merasa dirugikan karena yang dia dapatkan dan orang lain dapatkan itu sama. Seseorang menilai keadilan dalam hal ekonomi dipengaruhi oleh konsep fairness orang tersebut secara psikologis (Rasinski & Tourangeau, 1991). Forgiveness. Burnette, McCullough, Van Tongeren, dan Davis (2012) menemukan bahwa perilaku memaafkan akan mengubah pemikiran tentang dendam menjadi keinginan untuk melanjutkan hubungan. Lalu apa saja yang dibutuhkan oleh seseorang untuk bisa memaafkan, Girard, Mullet, dan Callahan (2002) menemukan ada dua faktor yang harus
Apakah maafmu masih berharga..., Ananda Findez Shidiq Anugrah, F.PSIKOLOGI UI, 2014
dipenuhi untuk bisa memaafkan seseorang. Faktor tersebut adalah kompensasi yang membuat orang tersebut tidak jadi mendapatkan kerugian dan permintaan maaf. Hal ini menjelaskan mengapa dalam penelitian De Cremer (2010) menghasilkan bahwa kompensasi ekonomi dapat membantu keberlanjutan sebuah hubungan, namun Haesevoets, Folmer, De Cremer, dan Van Dijk (2013) menemukan bahwa jika kompensasi ekonomi ditambahkan dengan permintaan maaf, maka intensi seseorang untuk melanjutkan hubungan akan meningkat. Apology. Permintaan maaf merupakan salah satu faktor yang bisa membuat sebuah hubungan kembali menjadi baik (Kim, Dirks & Cooper, 2009). Permintaan maaf merupakan hal yang seringkali kita jumpai sehari-hari. Kadang kita sulit membedakan mana yang sekadar maaf di mulut atau memang betul-betul meminta maaf. Fehr dan Gelfand (2010) menyatakan bahwa permintaan maaf yang dianggap sungguh-sungguh adalah permintaan maaf yang meliputi aspek perubahan positif pada konsep diri seseorang. Dalam hal ini maaf yang diucapkan betul-betul diinternalisasikan ke dalam diri untuk melakukan perubahan perilaku di kesempatan lain. Harris, Graigner, dan Mullany (2006) menambahkan bahwa perilaku orang dalam meminta maaf dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya orang tersebut. Scher dan Darley (1997) meneliti bahwa ada tingkatan dalam perilaku meminta maaf. “Saya mohon maaf” adalah standar dalam permintaan maaf, kemudian ada permintaan maaf yang disertai dengan alasan atas kesalahan, lalu permintaan maaf yang diikuti ekspresi yang sesuai dari pemohon, selanjutya ada permintaan maaf yang disertai dengan penawaran untuk memperbaiki hal yang telah dirusak, dan terakhir permintaan maaf yang disertai dengan janji bahwa tidak akan mengulangi perbuatan itu kembali. Jumlah Besaran Uang. Lea dan Webley (2006) membagi fungsi uang menjadi teori alat dan teori narkoba, teori alat menjelaskan tentang fungsi uang sebagai alat tukar ekonomi untuk mendapatkan sesuatu yang dibutuhkan, sementara teori narkoba menjelaskan bahwa uang memiliki ilusi daya tarik yang terasa sangat besar padahal efek yang diberikan oleh uang sebetulnya tidak sebesar itu. Teori tersebut menjadi alasan kenapa orang mencari uang tidak hanya sebagai alat memenuhi kebutuhan yang bisa dibeli dengan uang, tetapi mencari nilai dari kepemilikan uang itu sendiri. Intensi. Fishben dan Ajzen (1975) menyebutkan bahwa intensi merupakan bentuk kemungkinan seseorang melakukan sesuatu berdasarkan perpaduan antara faktor pribadi dengan pertimbangan orang tersebut terhadap norma sosial yang dia anut. Sehingga dengan
Apakah maafmu masih berharga..., Ananda Findez Shidiq Anugrah, F.PSIKOLOGI UI, 2014
mengukur intensi, penulis dapat memprediksi kemungkinan perilaku nyata yang akan muncul. Haesevoets, Former, De Cremer, dan Van Hiel (2013) menyebutkan bahwa intensi untuk melanjutkan hubungan adalah situasi dimana seseorang merasa berkeinginan untuk tetap menjalin hubungan dengan seseorang yang telah mengecewakannya, terutama secara finansial. Cara pengukuran intensi melanjutkan hubungan: TRIM-18. TRIM membahas tentang motivasi seseorang untuk melakukan balas dendam atau menghindar dari hubungan yang sedang dijalankan. Namun karena yang ingin dilihat adalah intensi untuk melanjutkan hubungan saja, maka Haesevoets et al. (2013) tidak mengikutsertakan dimensi Revenge di dalam pengukuran penelitian mengenai intensi untuk melanjutkan hubungan. Alat ukut ini telah digunakan dalam penelitian yang melibatkan kondisi tidak adil, kompensasi uang, dan permintaan maaf. Dinamika antarvariabel. Permintaan maaf menurut penjabaran sebelumya memiliki pengaruh terhadap intensi seseorang untuk melanjutkan hubungan. Oleh karena itu ingin diketahui apakah pada penelitian kali ini, permintaan maaf masih dapat memberikan pengaruhnya terhadap intensi seseorang untuk melanjutkan hubungan yang berkaitan dengan transaksi ekonomi. Telah dijelaskan pula bahwa respon seseorang itu berbeda-beda pada setiap besaran uang dalam sebuah transaksi ekonomi. Untuk itu ingin diketahui apakahintensi seseorang untuk melanjutkan hubungan dalam transaksi ekonomi akan memiliki respon yang sama atau beda pada jumlah besaran uang yang berbeda.
Metode Penelitian Hipotesis penelitian. Permintaan maaf akan mempengaruhi intensi untuk melanjutkan hubungan. Selain itu besaran jumlah uang yang berbeda juga akan mempengaruhi intensi untuk melanjutkan hubungan. H1: Kelompok dengan kompensasi uang yang disertai permintaan maaf akan memiliki skor rata-rata intensi yang lebih besar secara signifikan dibandingkan dengan kelompok dengan kompensasi uang saja. H2: Kelompok dengan jumlah uang yang lebih besar akan memiliki skor rata-rata intensi untuk melanjutkan hubungan yang lebih tinggi secara signifikan.
Apakah maafmu masih berharga..., Ananda Findez Shidiq Anugrah, F.PSIKOLOGI UI, 2014
IV 1: Kompensasi uang dan permintaan maaf. Pada penelitian ini, kompensasi dibagi menjadi dua variasi, yaitu kompensasi uang disertai dengan permintaan maaf dan kompensasi uang tanpa disertai dengan permintaan maaf. Adapun besaran kompensasi uang yang digunakan dalam penelitian sejumlah Rp75.000,00 atau 10% dari total uang yang dimainkan dalam satu set permainan dictator game—Rp750.000,00. Besaran kompensasi ini setara dengan besaran kompensasi yang digunakan dalam penelitian Haesevoets, Folmer, De Cremer, dan Van Hiel (2013), yaitu 1 kupon dari 10 kupon undian bernilai 50 €. IV 2: Jumlah uang. Penelitian ini membagi jumlah uang menjadi 3 bentuk variasi, yatu uang kecil, sedang, dan besar. Karena akan diberikan variasi jumlah uang yang dimainkan oleh partisipan, dibutuhkan pilot study untuk menggambarkan jumlah besaran uang yang sesuai dengan populasi penelitian. Hasil pilot study akan memberikan jumlah uang untuk dimainkan pada kelompok dengan uang sedang dan uang besar. Uang sedang akan menggunakan jumlah uang sesuai dengan temuan dari pilot study, sementara uang besar akan menggunakan jumlah uang lima kali lipat dari temuan pilot study agar ketika pembagian pertama partisipan mendapatkan uang yang setara dengan temuan pilot study. DV: Intensi untuk melanjutkan hubungan yang bermasalah. Intensi untuk melanjutkan hubungan adalah tingkah laku yang dimunculkan oleh seseorang ketika dirinya merasa dirugikan dalam sebuah hubungan. Lebih spesifik, penulis ingin menemukan apakah seseorang akan berintensi untuk melanjutkan hubungan dalam kondisi kerugian ekonomi. Alat ukur variabel ini adalah TRIM-18 (McCullough, Root, & Cohen, 2006) yang disarikan sesuai dengan yang digunakan oleh Haesevoets (2013) dengan hanya menggunakan item dimensi Avoidance dan Benevolence. Jadi dari 18 item, penulis hanya menggunakan 13 item yang terdiri dari 7 item Avoidance dan 6 item Benevolence. Contoh item dimensi Avoidance adalah “saya menghindari dia” dan contoh item dimensi Benevolence adalah “Meskipun dia telah mengecewakan saya, saya ingin tetap memiliki hubungan yang positif dengannya”. Dari contoh item tersebut, penulis merasa bahwa dapat dilihat intensi partisipan untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan hubungan dengan lawan mainnya. Kuesioner ini menggunakan skala sikap Likert dengan 1 adalah sangat tidak setuju dan 5 adalah sangat setuju. Untuk dimensi Avoidance diperlukan coding terbalik (reverse) yaitu 1 menjadi 5, 2 menjadi 4, 3 tetap 3, 4 menjadi 2, dan 5 menjadi 1. Hal ini diperlukan karena
Apakah maafmu masih berharga..., Ananda Findez Shidiq Anugrah, F.PSIKOLOGI UI, 2014
item dalam dimensi Avoidance merupakan item yang unfavorable. Seluruh item TRIM-18 yang digunakan dalam penelitian ini akan dibuat menjadi sebuah skor intensi untuk melanjutkan hubungan. Desain penelitian. Penelitian ini terdiri dari 2 desain penelitian. Yang pertama adalah berbentuk randomized 2-group between-subject design, untuk mengetahui apakah permintaan maaf mempengaruhi intensi untuk melanjutkan hubungan, dan yang kedua adalah randomized 3-groups between-subject design,
untuk mengetahui perbedaan jumlah uang dalam
mempengaruhi intensi untuk melanjutkan hubungan. Penelitian ini menggunakan modified dictator game mengacu pada penelitian Haesevoets, Folmer, De Cremer, dan Hiel (2013). Pada penelitian ini instrumen penelitian tidak menggunakan komputer, melainkan menggunakan aplikasi permainan pada gadget android dengan operating system versi 4.x yang dibuat khusus untuk penelitian ini. Partisipan akan diminta untuk mengikuti penelitian yang diceritakan sebagai sebuah proyek beta-testing permainan android. Kemudian pada penelitian ini seluruh partisipan akan bermain dengan Artificial Intelligence yang diceritakan oleh eksperimenter sebagai mahasiswa Universitas Indonesia di fakultas lain, dan partisipan akan diberikan peran sebagai responder dalam penelitian ini. Partisipan penelitian. Penelitian ini melibatkan 120 partisipan mahasiswa S1 Universitas Indonesia. Perekrutan partisipan diambil menggunakan teknik cluster sampling pada setiap fakultas, karena teknik ini membuat sebuah populasi besar dapat diwakilkan ke dalam kelompok yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristiknya (Kumar, 2011). Namun perekrutan di tiap fakultasnya menggunakan teknik convenience sampling karena keterbatasan yang dimiliki penulis dalam melakukan randomisasi pada seluruh populasi penelitian. Instrumen penelitian. Instrumen penelitian menggunakan gadget Android untuk menciptakan kondisi partisipan seolah-olah bermain matching card dengan orang lain. Pada permainan ini, partisipan tidak dapat memenangkan permainan ini sendiri karena hanya diberikan kesempatan untuk membuka satu kartu pada tiap kesempatan. Sehingga untuk membuka kartu yang sama, diperlukan kerjasama antara partisipan dengan Artificial Intelligence. Eksperimenter melakukan uji coba kepada 5 orang partisipan untuk melihat pengalaman yang dirasakan oleh partisipan dalam bermain. Untuk mengetahui apakah
Apakah maafmu masih berharga..., Ananda Findez Shidiq Anugrah, F.PSIKOLOGI UI, 2014
instrumen ini sudah berjalan sesuai dengan harapan, eksperimenter menanyakan kepada partisipan “Menurut kamu, lawan main kamu berasal dari fakultas apa?” Hasilnya adalah hanya 1 orang yang merasa bahwa dia hanya bermain melawan Artificial Intellegence (AI), selebihnya benar-benar merasa sedang bemain dengan orang lain di tempat lain dan bekerja sama untuk memenangkan permainan. Penulis merasa bahwa eksperimenter sudah baik dalam menjalankan tugasnya dan perasaan yang ditimbulkan oleh permainan juga sesuai dengan yang diharapkan. Prosedur pelaksanaan. Penulis melakukan perekrutan eksperimenter agar penelitian dapat dilakukan secara simultan diseluruh Fakultas Universitas Indonesia. Karena terdapat 13 fakultas di Universitas Indonesia, maka dibutuhkan 13 orang eksperimenter untuk pengambilan data.menunggu partisipan yang terlambat datang di sesi tersebut. Penelitian dilakukan langsung di Student Center atau perpustakaan fakultas yang bersangkutan. Pemilihan sampel dilakukan secara convenience sampling dimana eksperimenter akan memilih sampel sesuai dari mahasiswa yang ditemui dan mau untuk mengikuti penelitian Eksperimenter yang telah menggunakan nametag divisi marketing Findez.CO dan berada di fakultas tujuan masing-masing, bertugas untuk mencari satu per satu calon partisipan guna diajak bermain dalam tahap beta-testing permainanan terbaru dari Findez.CO. Jika partisipan bersedia, maka eksperimenter akan mengajak partisipan ke lokasi yang sudah ditentukan. Partisipan akan dijelaskan mengenai cover story penelitian ini yang berupa betatesting sebuah permainan Android terbaru keluaran dari perusahaan Findez.CO. Pada hari itu banyak eksperimenter yang berperan sebagai divisi marketing sedang melakukan beta-testing di Universitas Indonesia, jadi tiap partisipan seakan-akan hendak bermain bersama mahasiswa lain. Padahal sebetulnya partisipan akan bermain bersama dengan Artificial Intelligence yang telah dibuat sesuai dengan kebutuhan penelitian. Kemudian partisipan diminta untuk membaca gambaran umum dan instruksi permainan pada gadget Android yang telah disediakan sekaligus diberikan penjelasan oleh eksperimenter. Setelah itu eksperimenter akan menanyakan 4 pertanyaan comprehension check yang semuanya harus dijawab benar oleh partisipan. Jika ada yang salah maka partisipan akan diminta untuk membaca kembali gambaran dan instruksi permainan hingga berhasil menjawab dengan benar. Setiap eksperimenter sudah membawa dua belas sampai tiga belas kupon undian kelompok permainan untuk melakukan randomisasi yang kemudian diambil oleh partisipan. Kelompok penelitian penulis disamarkan menjadi empat level game yang berbeda, jadi ketika
Apakah maafmu masih berharga..., Ananda Findez Shidiq Anugrah, F.PSIKOLOGI UI, 2014
partisipan mendapat kelompok tiga, maka dia akan bermain di level tiga. Setiap kupon yang sudah diambil tidak dikembalikan lagi, sehingga orang terakhir memang sudah langsung diminta untuk bermain ke dalam level tertentu. Setiap partisipan akan mendapatkan username unik yang berbentuk ABC (A: nomer eksperimenter, B: urutan partisipan eksperimenter, C: kelompok penelitian). Setelah mendapatkan username, partisipan dipersilakan untuk memainkan permainan penelitian sesuai dengan kelompoknya masing-masing. Dalam permainan akan ada pertanyaan screening berupa puas atau tidak puas dengan pembagian yang ada, partisipan yang menjawab puas diperbolehkan melanjutkan penelitian tetapi datanya tidak diolah. Di akhir permainan partisipan akan diarahkan oleh program untuk mengisi kuesioner. Ketika semua sudah selesai diisi, gadget akan diminta kembali oleh eksperimenter. Gadget yang digunakan berbeda, tetapi spesifikasinya sudah disesuaikan agar memberikan efek permainan yang sama pada setiap partisipan. Eksperimenter menjelaskan bahwa permainan ini sebetulnya adalah penelitian untuk skripsi mahasiswa psikologi, jadi hadiah yang telah didapatkan dalam permainan adalah bagian dari instrumen penelitian. Pada tahap ini eksperimenter memberikan kontak penulis kepada partisipan jika ada pertanyaan terkait penelitian, namun eksperimenter tidak bisa memberikan penjelasan lebih lanjut karena memang tidak tahu. Selanjutnya partisipan diperbolehkan untuk memilih reward berupa pulsa lima ribu rupiah langsung atau undian pulsa seratus ribu rupiah. Reward ini merupakan penelitian sampingan penulis untuk mengetahui bentuk reward yang paling hemat dalam melakukan penelitian.
Analisis hasil penelitian Penelitian ini berusaha untuk menjawab 2 pertanyaan penelitian dengan menggunakan 2 desain penelitian. Oleh karena itu akan dilakukan pula 2 analisis statistik yang berbeda untuk setiap desainnya. Pada analisis yang pertama akan dilakukan independent sample t-test untuk membandingkan nilai antara kelompok 1 (uang kecil dengan maaf) dan kelompok 4 (uang kecil tanpa maaf). Penulis memprediksi bahwa kelompok dengan maaf akan memiliki intensi untuk melanjutkan hubungan yang lebih tinggi. Selanjutnya mengenai jumlah besaran uang, penulis memprediksi bahwa pada semakin besar uang yang dimainkan, maka akan semakin besar pula intensi seseorang untuk melajutkan hubungan. Hipotesis tersebut akan diuji dengan analisis statistik one-way ANOVA. -
Apakah maafmu masih berharga..., Ananda Findez Shidiq Anugrah, F.PSIKOLOGI UI, 2014
Pengujian hipotesis 1. Skor rata-rata kelompok uang kecil dengan permohonan maaf akan lebih besar secara signifikan dibandingkan dengan kelompok uang kecil tanpa disertai permohonan maaf. Berdasarkan hasil uji independent sample t-test jika dilihat dari rata-rata, diperoleh hasil kelompok dengan pemberian maaf (M=24,32, SE=1,2) lebih besar dibandingkan dengan kelompok tanpa pemberian maaf (M=23, SE=0.86). Namun perbedaan kedua kelompok tersebut tidak signifikan t(46) = -,907, p>0,05, yang berarti hipotesis penelitian ditolak dan pemberian maaf tidak memberikan pengaruh terhadap intensi untuk melanjutkan hubungan. Pengujian hipotesis 2. Skor rata-rata kelompok uang akan berbeda di setiap kelompoknya dengan semakin besar jumlah uang, maka akan semakin besar pula nilai rataratanya. Berdasarkan pengujian one-way ANOVA, didapatkan hasil F(2,60) = 0,34, p>0,05, yang berarti bahwa hipotesis penelitian ditolak dan jumlah uang tidak memiliki efek yang signifikan dalam memberikan pengaruh terhadap intensi untuk melanjutkan hubungan.
Kesimpulan Hasil analisis terhadap data penelitian menyimpulkan bahwa hipotesis penelitian ditolak. Hal ini menyatakan bahwa kompensasi baik dengan maaf maupun tanpa maaf tidak memberikan pengaruh terhadap intensi untuk melanjutkan hubungan. Selain itu ditemukan juga bahwa perbedaan jumlah uang tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap intensi untuk melanjutkan hubungan. Diskusi lebih lanjut mengenai hasil penelitian akan dijelaskan pada bagian diskusi. Diskusi. Melihat dari hasil penelitian, maka terdapat perbedaan antara hasil penelitian dengan hipotesis yang telah dibuat. Ada beberapa kemungkinan yang menjadi alasan perbedaan hasil dengan hipotesis penelitian. Hal paling banyak ditemui dari kualitatif eksperimenter penelitian ini adalah kebanyakan partisipan tidak mempedulikan kata-kata maaf yang ada dalam pemberian kompensasi. Mereka langsung melihat dari jumlah akhir yang mereka dapatkan dan kebanyakan tidak suka dengan hasil pembagian tersebut. Masih mengenai hal ini, kemungkinan kedua adalah populasi yang diteliti betul-betul menginginkan pembagian yang sama rata berapapun jumlah uang yang ada. Sehingga ketika ada kesenjangan antara uang yang didapatkan dibandingkan dengan pembagian 50:50, maka
Apakah maafmu masih berharga..., Ananda Findez Shidiq Anugrah, F.PSIKOLOGI UI, 2014
maaf tidak berdampak apapun dalam kesenjangan itu. Terbukti dari hasil form kualitatif yang menemukan 38 partisipan merasa pembagian tidak adil, 20 orang merasa pembagian ini tidak sesuai dengan harapannya, 13 orang merasa bahwa bagian yang dia terima terlalu sedikit, dan sisanya dengan alasan yang lain. Ditemukan juga bahwa beberapa orang partisipan mau mengikuti penelitian karena mengharapkan hadiah yang bisa didapatkan. Jadi ketika mengetahui jumlah hadiah yang dia dapatkan dalam permainan, dia sudah berpikir akan menggunakan uang tersebut untuk apa (contohnya untuk membeli dompet atau membayar uang kosan). Namun, karena dalam penelitian ini setiap partisipan diposisikan sebagai responder maka dia hanya berharap proposer dapat memberikan dia jumlah yang layak dan cukup untuk membeli hal yang dia ingingkan. Ketika uang yang diterima kurang dari itu, maka partisipan akan marah terhadap proposer. Kemudian ketika diberikan kompensasi uang tambahan dan permintaan maaf, partisipan tetap marah dengan hasil akhir karena merasa bahwa proposer tidak adil dalam memberikan uang kepadanya. Penulis memikirkan kemungkinan bahwa populasi penelitian akan lebih berintensi untuk melanjutkan hubungan jika kata-kata maaf yang diberikan berada pada tingkatan maaf yang lebih tinggi. Karena dalam penelitian Scher dan Darley (1997) maaf yang digunakan dalam penelitian ini termasuk dalam kategori standar, sedangkan masih ada tingkatan maaf yang lebih tinggi. Misalnya dengan alasan, kesungguhan, atau janji untuk tidak mengulanginya kembali. Kemungkinan lain adalah populasi penelitian menangkap kompensasi dan pemberian maaf adalah sesuatu yang sama. Poin disini adalah partisipan tidak mempedulikan adanya maaf atau tidak, tetapi menganggap kompensasi yang diberikan merupakan wujud permintaan maaf dari proposer. Hal ini kemungkinan memang terjadi, karena pada kelompok uang yang diberikan kompensasi uang dengan ditambahkan maaf maupun tanpa maaf tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Penemuan ini sebetulnya bertentangan dengan hasil penelitian Haesevoets, Folmer, De Cremer, dan Hiel (2013) yang menyebutkan bahwa pemberian maaf dapat meningkatkan intensi untuk melanjutkan hubungan. Ternyata hal ini mungkin terjadi jika melihat penelitian yang dilakukan oleh Handgraff, Van Dijk, dan De Cremer (2013) menemukan bahwa budaya bangsa akan memengaruhi perilaku ekonomi seseorang, terutama dalam penentuan angka fairness. Disebutkan bahwa orang dari negara yang berbeda mempunyai jumlah pembagian yang berbeda-beda.
Apakah maafmu masih berharga..., Ananda Findez Shidiq Anugrah, F.PSIKOLOGI UI, 2014
Saran Saran untuk penelitian selanjutnya adalah mencoba melakukan penelitian yang sama dengan jumlah uang yang lebih kecil terlebih dahulu. Seperti yang dilakukan Haesevoets, Folmer, De Cremer, dan Van Hiel yang melakukan penelitian hanya sebesar 2,5% dari pendapatan bulanan populasi dilihat dari pendapatan perkapita tahunan negara Belanda. Untuk di Indonesia mungkin sekitar seratus ribu rupiah dulu uang yang dimainkan. Bisa juga ditambahkan variabel lain untuk diteliti seperti kebutuhan seseorang akan uang, sehingga menghasilkan penelitian yang mengkaitkan antara kebutuhan seseorang terhadap uang dengan intensi melanjutkan hubungan yang dipengaruhi oleh bentuk kompensasi uang ditambahkan dengan permintaan maaf. Berkaitan dengan jumlah uang, mungkin bisa saja dilakukan penelitian yang agak berbeda dengan penelitian ini. Pada jumlah uang yang sama, tapi dengan selisih dari angka fairness yang berbeda. Misalnya pembagian kelompok menjadi 3, tetapi seluruhnya dalam jumlah uang 750.000. Yang divariasikan adalah selisih antara total dari pembagian awal dan kompensasi uang yang diberikan menjadi hanya 10% dari 50:50. Contohnya seluruh kelompok diberikan pembagian awal 150.000 rupiah, tetapi pada kelompok 1 kompensasi yang diberikan adalah 75.000, kemudian pada kelompok 2 kompensasi yang diberikan 100.000, dan pada kelompok 3 diberikan kompensasi sebesar 150.000 rupiah. Keseluruhan kelompok penelitian akan tetap berada dalam kondisi undercompensation¸ tetapi pada level yang berbeda-beda. Selain itu, sebaiknya juga diukur juga tingkah laku aktual dari perilaku untuk melanjutkan hubungan. Misalnya jelas-jelas ditanyakan “apakah kamu ingin lanjut bermain dengan dia atau bermain dengan orang yang lain?” Dengan adanya pengukuran tingkah laku aktual, intensi yang diukur dengan TRIM bisa dibuat menjadi penjelasan dibalik tingkah laku melanjutkan atau tidak melanjutkan hubungan. Apabila penelitian selanjutnya juga menggunakan aplikasi Android, sebaiknya bisa membuat aplikasi yang memunculkan advertising dan betul-betul diunggah ke dalam Google Playstore. Hal ini perlu dilakukan agar peneliti bisa mendapatkan sampel yang lebih banyak tanpa harus bersusah payah mengumpulkan data. Tentunya ini memerlukan waktu yang lama karena untuk bisa masuk ke dalam Google Playstore cukup memakan waktu dalam proses verifikasi dan lain-lain. Jika waktu penelitian dirasa memungkinkan, maka metode ini sangat baik untuk dilakukan. Selain itu, perlu disempurnakan juga artificial intelligence agar
Apakah maafmu masih berharga..., Ananda Findez Shidiq Anugrah, F.PSIKOLOGI UI, 2014
memberikan pengalaman yang sama kepada seluruh partisipan. Mengenai metode ini, sudah ada beberapa aplikasi android terkemuka yang diciptakan untuk melakukan penelitian psikologi, contohnya Yogrt. Implikasi praktis. Saran praktis dari temuan ini adalah jika hendak meminta maaf, perilaku yang dimunculkan harus sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai. Karena di populasi yang penulis teliti, permintaan maaf sudah tidak lagi dianggap berharga. Yang dihargai adalah usaha nyata seseorang untuk meminta maaf, bukan sekedar kata-kata. Begitu juga dalam hubungan bisnis, tidak bisa sekedar meminta maaf dengan memberikan kompensasi jauh di bawah yang seharusnya. Karena jika memberikan kompensasi di bawah yang seharusnya, maka intensi rekan anda untuk melanjutkan hubungan akan rendah.
Daftar Pustaka Andersen, S., Ertac, S., Gneezy, U., Hoffman, M., & List, A. J. (2011). Stakes matter in ultimatum games. The American Economic Review, 101(7), 3427-3439. Bazerman, M. H., White, S. B. & Loewenstein, G. F. (1995). Perception of fairness in interpoersonal and individual choice situations. Current Directions in Pychological Science, 4(2), 39-43 Burnette, J. L., McCullough, M. E., Van Tongeren, D. R., & Davis, D. E. (2012). Forgiveness results from integrating information about relationship value and exploitation risk. Personality and Social Psychology Bulletin. 38(3), 345 –356. Byrne, Z. S. & Miller, B. K. (2009). Is justice the same for everyone? Examining fairness items using multiple-group analysis. Journal of Business and Psychology. 24(1), 51-64 Cameron, L. A. (1999). Raising the stakes in the ultimatum game: Experimental evidence from Indonesia. Economic Inquiry, 37(1), 47. Colman, A. M. (2003). Game Theory & Its Aplication in The Social and Biological Science. New York: Routledge Curhan, J. R., Elfenbein, H., & Xu, H. (2006). What do people value when they negotiate: Mapping the domain of subjective value in negotiation. Journal of Personality and Social Psychology, 91(3), 493–512. http://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.PCAP.PP.CD?page=3 diakses pada tanggal 22 Desember 2014 De Cremer, D. (2010). To pay or to apologize? On the psychology of dealing with unfair offers in a dictator game. Journal of Economic Psychology, 31, 843–848. Desmet, P., De Cremer, D., & Van Dijk, E. (2011). In money we trust? The use of financial compensations to repair trust in the aftermath of distributive harm. Organizational Behavior and Human Decision Processes, 114, 75–86. Eisley, D. & Kleiberg, J, (2010). Network, Crowds, and Market Reasoning About A Highly Connected World. New York: Cambridge University Press Fehr, R. & Gelfand, M. J. (2010) When apologies work. Organizational Behavior and Human Decision Proccess, 113, 37-50
Apakah maafmu masih berharga..., Ananda Findez Shidiq Anugrah, F.PSIKOLOGI UI, 2014
Field, A. (2009). Discovering Statistics Using SPSS. London: Sage Publications Fishbein, M., & Ajzen, I. (1975). Belief, Attitude, Intention, and Behavior: An Introduction to Theory and Research. Philippines: Addison-Wesley Publishing Company. Girard, M., Mullet, E., & Callahan, S. (2002). Mathematics of Forgiveness. The American Journal of Psychology. 115(3), 351-375. Gneezy, U. & Rustichini, A. (2000). Pay enough or don’t pay at all. The Quarterly of Economics, 8, 791-810. Guth,W., Schimittberger, R., & Schwarze, B. (1983). An experimental analysis of ultimatum bargaining. Journal of Economoc Behavior and Organization 3, 367-388, NorthHolland Haesevoets, T., Folmer, C. R., De Cremer, D., & Van Hiel, A. (2013). Money isn’t all that matters: The use of financial compensation and apologies to preserve relationships in the aftermath of distributive harm. Journal of Economic Psychology, 35, 95–107. Handgraaf, M. J. J., Van Dijk, E., & De Cremer, D. (2003). Social utility in ultimatum bargaining. Social Justice Research, 16, 263–283. Harris, S., Graigner, K., & Mullany, L. (2006). The pragmatic of political apolologies. Discourse & Society, 17(6), 715-737 Joskowicz-Jabloner, L., & Leiser, D. (2012). Varieties of trust-betrayal: Emotion and relief patterns in different domains. Journal of Applied Social Psychology. Kahn, A. (1972). Reactions to generosity or stinginess from an intelligent or stupid work partner: A test of equity theory in a direct exchange relationship. Journal of Personality and Social Psychology, 2, 116–123. Kahneman, D., Knetsch, J., & Thaler, R. H. (1986). Fairness and the assumptions of economics. Journal of Business, 59, 285–300. Kumar, R. (2011) Research Methodology: A Step by Step Guide for Beginners. Singapore: Sage Publication Kim, P. H., Dirks, K. T., & Cooper, C. D. (2009). The repair of trust: A dynamic bilateral perspective and multilevel conceptualization. Academy of Management Review, 34(3), 401–422. Lea, S. E., & Webley, P. (2006). Money as tool, money as drug: The biological psychology of a strong incentive. Behavioral and Brain Sciences, 29(02), 161-209. McCullough, M. E., Rachal, K. C., Sandage, S. J., Worthington, E. L., Jr., Brown, S. W., & Hight, T. L. (1998). Interpersonal forgiving in close relationships: II. Theoretical elaboration and measurement. Journal of Personality and Social Psychology, 75(6), 1586-1603. McCullough, M. E., Root, L. M., & Cohen, A. D. (2006). Writing about the personal benefits of a transgression facilitates forgiveness. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 74, 887–897. Messer, B. A. E. & White, F. A. (2006). Employee’s mood, preceptions of fairness, and organizational citizen behavior. Journal of Business and Psychology, 21(1), 65-82. Nunnally, J. C., Bernstein, I. H., & Berge, J. M. T. (1967). Psychometric theory. New York: McGraw-Hill. Okimoto, T. G., & Tyler, T. R. (2007). Is compensation enough? Relational concerns in responding to unintended inequity. Group Processes and Intergroup Relations, 10(3), 399–420. Pillutla, M. M., & Murnighan, J. K. (1996). Unfairness, anger, and spite: Emotional rejections and ultimatum offers. Organizational Behavior and Human Decision Processes, 68, 208–224.
Apakah maafmu masih berharga..., Ananda Findez Shidiq Anugrah, F.PSIKOLOGI UI, 2014
Rasinski, K. A. & Tourangeau, R. (1991). Psychological aspetcts of judgements about the economy. Political Psychology, 12(1), 27-40 Rubinstein, A. (2003). "Economics and psychology"? The case of hyperbolic discounting. International Economic Review, 44(4) Scher, S. J., & Darley, J. M. (1997). How effective are the things people say to apologize? Effects of the realization of the apology speech act. Journal of Psycholinguistic Research, 26, 127–140. Aron, A., Aron E. N., & Coups, E. J. (2006). Statistics for psychology (4th ed.). New Jersey: Pearson Education, Inc.
Apakah maafmu masih berharga..., Ananda Findez Shidiq Anugrah, F.PSIKOLOGI UI, 2014