APAKAH APLIKASI BIOPESTISIDA SUDAH EFEKTIF? Annisrien Nadiah, SP POPT Ahli Pertama
Balai Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan Surabaya Kesadaran masyarakat akan dampak penggunaan pestisida sintetik terhadap lingkungan yang terus meningkat membuat banyak peneliti maupun praktisi mengembangkan berbagai alternatif pengendalian, salah satunya yang sedang marak akhir-akhir ini adalah penggunaan pestisida biologi atau yang dikenal dengan sebutan biopestisida. Pemanfaatan biopestisida sebagai agen hayati dalam pengendalian OPT merupakan salah satu komponen utama dalam konsep pengendalian hama terpadu (PHT), yang banyak dikembangkan adalah biopestisida untuk mengendalikan serangga hama (bioinsektisida). Sampai saat ini, diketahui terdapat enam golongan organisme bioinsektisida yang dapat menyebabkan penyakit pada serangga yaitu golongan bakteri, jamur, virus, nematoda, protozoa, dan ricketsia. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah aplikasi bioinsektisa di lapang sudah efektif ?. pertanyaan tersebut sering muncul dikalangan petani karena dari berbagai hasil penelitian di laboratorium setelah diaplikasikan di lapangan masih banyak menemui berbagai kendala yang mempengaruhi keefektifan bioinsektisida tersebut. Dalam tulisan ini, akan dibahas mengenai beberapa faktor yang mempengaruhi keefektifan bioinsektisida saat diaplikasikan di lapangan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas biopestisida di lapangan Tidak bisa dipungkiri bahwa dari beberapa hasil penelitian biopestisida di laboratorium menunjukkan tingkat efektif yang berbeda ketika diaplikasikan di lapang. Hal ini disebabkan karena adanya kendala atau faktor penghambat yang menyebabkan tingkat keefektifan menurun, yaitu: keragaman varietas atau strain atau jenis, umur, jenis isolat, konsentrasi, cara aplikasi, jumlah dan waktu aplikasi, suhu, kelembaban, dan adanya sinar ultra violet. Pengendalian dengan memanfaatkan biopestisida yang maksimal dapat dicapai dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi keefektifan dari mokroorganisme tersebut. Beberapa hasil penelitian di laboratorium cukup memuaskan, seperti SlNPV dapat menyebabkan mortalitas Spodoptera litura hingga 85%, Bacillus thuringiensis var aizawai menyebabkan mortalitas S. littoralis, jamur Nomura sp. dapat menyebabkan mortalitas S. litura hingga 100% dan nematoda Steirnema sp. dan Heterorhabditis sp. dapat menyebabkan mortalitas S. litura 74 sampai 88%. Akan tetapi, hasil penelitian di laboratorium setelah diaplikasikan ke lapangan menemui beberapa kendala yang mempengaruhi tingkat efektifitas biopestisida tersebut. Secara umum faktor penghambat keefektifan tersebut adalah keragaman varietas
atau strain atau jenis, umur, jenis isolat, konsentrasi, cara aplikasi, jumlah dan waktu aplikasi, suhu, kelembaban, dan sinar ultra violet.
Faktor yang mempengaruhi efektifitas jamur entomopatogen Biopestisida dari golongan jamur yang telah banyak digunakan untuk mengendalikan
hama
tanaman
perkebuanan
yaitu,
Beauveria
bassiana,
Metarrhizium anisopliae, Paecilomyces sp., Verticillium sp., Spicaria sp., Nomuraea rileyi dan Hirsutella sp. Faktor yang dapat mempengaruhi tingkat efektifitas jamur sebahgai biopestisida yaitu keragaman jenis isolat jamur, kerapatan spora, kualitas media tumbuh jamur, jenis hama yang dikendalikan, umur stadia hama, waktu aplikasi, frekuensi aplikasi, dan faktor lingkungan meliputi sinar ultra violet, curah hujan, kelembaban, dan suhu. Asal isolat mempengaruhi keragaman virulensi jamur terhadap serangga inang, hal ini berhubungan dengan jenis atau ras atau strain jamur. Hal ini mungkin berhubungan dengan kandungan toksin yang dihasilkan dari jamur tersebut. B. bassiana
menghasilkan
beberapa
toksin
seperti
beauverisin,
beauverolit,
bassianolit, isorolit dan asam oksalit yang dalam kerjanya menyebabkan kerusakan jaringan atau organ haemosoel secara mekanis seperti saluran pencernaan, otot, sistem syaraf, dan sistem pernafasan yang menyebabkan kematian serangga. Jenis jamur juga mempengaruhi keefektifan terhadap kematian serangga inang, seperti Nomuraea spp. lebih efektif untuk mengendalikan S. litura hingga 100% dibandingkan dengan jamur lain. Dosis atau kerapatan spora B. bassiana 108 spora/ml lebih efektif dapat menyebabkan kematian ulat jengkal (Ectropis bhurmitra) hingga mencapai 95% dibandingkan dengan jumlah spora rendah. Jamur M. anisopliae pada kerapatan spora 107/ml dapat menyebabkan kematian S. litura hingga 83%. Jumlah aplikasi M. anisopliae sebanyak tiga kali lebih efektif dalam mengendalikan S. litura hingga menyebabkan kematian 86%, sedangkan aplikasi satu kali hanya 40%. Aplikasi B. bassiana sebanyak empat kali lebih efektif untuk mengendalikan ulat jengkal (E. bhurmitra) dibandingkan satu dan dua kali. Waktu aplikasi M. anisopliae pada sore hari pukul 17.00 WIB dan pagi hari pukul 05.00 WIB lebih efektif dalam mengendalikan inang dibandingkan pada siang hari pukul 09.00 dan 14.00 WIB, hal ini berhubungan dengan adanya paparan sinar ultraviolet yang dihasilkan oleh sinar matahari. Jenis media tumbuh jamur berpengaruh terhadap keefektifan jamur dalam mematikan serangga sasaran. Media tertentu akan membuat spora jamur yang diinginkan akan tumbuh lebih baik. Aplikasi jamur sebaiknya diperhatikan stadia serangga sasaran, bila pada larva sebaiknya aplikasi dilakukan pada instar 2. Hal ini disebabkan karena instar yang lebih tua memiliki kulit yang lebih keras dan lapisan yang licin sehingga jamur sulit melakukan penetrasi untuk menyebabkan kematian serangga.
Faktor yang mempengaruhi efektifitas bakteri entomopatogen Faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi keefektifan bakteri dalam
menimbulkan penyakit pada serangga diantaranya adalah a) kontak dengan serangga, b) faktor bakteri, c) faktor serangga, dan d) faktor fisik lingkungan. Terjadinya kontak antara bakteri dengan serangga sasaran akan menentukan tahap awal terjadinya infeksi. Bakteri tersebut harus termakan oleh serangga, jika bakteri yang diaplikasikan tidak dapat bertahan lama pada bagian tanaman karena mudah terdegradasi, maka kontak dengan serangga tidak akan terjadi sehingga serangga selamat dari kematian. Waktu aplikasi dan stadia serangga sasaran yang tepat juga akan menentukan keefektifan bakteri, jika bakteri termakan oleh serangga maka keefektifan bakteri ditentukan oleh faktor yang ada pada bakteri itu sendiri yaitu Kristal protein. Kristal tersebut merupakan kompleks protein yang mengandung toksin. Kristal ini akan menunjukkan toksisitasnya ketika bereaksi dengan enzim protease
di bagian tengah saluran pencernaan serangga. Toksin
bakteri
menyebabkan terganggunya permeabilitas membran sel, mikrovili pada sel-sel epitelium
sehingga
terjadi
paralisis
saluran
makanan
dan
berubahnya
keseimbangan pH haemolimfa. Kondisi inilah yang menyebabkan kematian pada serangga inang. Faktor dari bakterinya sendiri yaitu bergantung pada jenis atau strain atau varietas bakteri karena setiap jenisnya memiliki jumlah Kristal protein yang berbeda. Bakteri umumnya mempunyai satu kristal protein, tetapi pada beberapa varietas dijumpai dua atau lebih kristal. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap proses kematian serangga. Contohnya toksisitas bakteri Bacillus thuringiensis terhadap serangga tergantung pada varietas bakteri dan spesies serangga yang terinfeksi. Strain tertentu atau varietas tertentu hanya efektif untuk spesies tertentu. Faktor yang ada pada serangga adalah perbedaan keadaan dalam saluran pencernaan pada fase serangga (larva), seperti pH yang mempengaruhi kelarutan kristal protein. Kristal protein aktif pada spesies dari Ordo Lepidoptera yang mempunyai saluran makanan bersifat alkalin dan pH di atas 8,9. Pada pH yang lebih rendah kristal tidak dapat dilarutkan, tetapi spora bakteri dapat berkecambah. Pengaruh faktor lingkungan terhadap keefektifan bakteri terutama sinar matahari, suhu dan kelembaban. Spora B. thuringiensis yang tidak terlindungi bila terkena sinar matahari langsung akan lebih cepat mati. Sinar matahari terutama ultra violet, merupakan faktor pembatas yang utama bagi persistensi B. thuringiensis di lapangan. Aplikasi bakteri sebaiknya dilakukan pada sore hari sehingga keefektifannya terjaga. Di samping waktu aplikasi yang tepat, stadia serangga sasaran di lapangan juga harus tepat yaitu saat stadia aktif makan (larva). Jika stadia pupa, maka aplikasi yang dilakukan tidak akan efektif.
Bentuk formulasi bakteri juga akan menentukan keefektifan di lapangan. Pada umumnya B. thuringiensis diformulasikan dalam bentuk Wettable Powder, dust atau granular. Namun demikian formulasi ini kurang digemari karena mempunyai kelemahan atau kesulitan dalam usaha penyemprotan, hal ini karena formulasi powder tidak larut dan menyebabkan sedimentasi.
Faktor yang mempengaruhi efektifitas virus entomopatogen Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV) dalam menyebabkan kematian hama sasaran dapat dikatakan efektif sangat tergantung dari dosis, bentuk dan bahan formulasi, bahan perekat, kisaran inang NPV, umur stadia hama sasaran dan sinar matahari. Umumnya semakin tinggi dosis NPV yang digunakan, semakin tinggi tingkat kematian serangga hama. Dari hasil penalitian menjelaskan bahwa SlNPV dengan dosis 9 x 108 PIBs/m2 lebih efektif terhadap S. litura dibandingkan dengan dosis yang lebih rendah. NPV akan efektif jika diformulasikan dalam bentuk tepung yang dapat larut atau WP (Weatable powder). Dengan formulasi bahan yang tepat akan mampu mempertahankan stabilitas NPV. Bahan tersebut tentunya harus murah dan mudah diperoleh dipasaran. SlNPV dalam formulasi laktosum atau talk bersifat efektif dan efisien terhadap S.litura. Penggunaan Ajuvan-A dalam formulasi WP pada HaNPV juga mampu meningkatkan keefektifan, waktu mematikan dan persistensi HaNPV terhadap Helicoverpa armigera. Teknik formulasi dengan penambahan ajuvan dan atau sinergis (seperti bahan pelindung terhadap radiasi sinar matahari, perekat, perata, antifeedant) akan meningkatkan keefektifan NVP. Faktor lain yang dapat mempengaruhi tingkat efektif SlNPV adalah jenis bahan perekat yang digunakan saat aplikasi. Bahan perekat yang biasa digunakan yaitu Agristick, Tenak. Dari hasil penelitian menjelaskan bahwa Triton B1956 dan Triton X114 pada konsentrasi 7,8x106 sangat efektif mematikan larva S.litura instar 1 hingga mencapai 90%. Inang NPV bersifat spesifik, artinya NPV yang berasal dari satu jenis serangga hama tidak akan efektif jika diaplikasikan untuk hama lain yang jenisnya berbeda. Hal ini dapat dikatakan bahwa tingkat kesepesifikan inang mutlak diperhatikan dalam keberhasilan pengendalian hama. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah saat aplikasi. Aplikasi pada sore hari akan meningkatkan keefektifan NPV dibandingkan dengan siang hari, karena pada siang hari masih terdapat paparan ultraviolet dari sinar matahari yang menyebabkan degradasi NPV.
Faktor yang mempengaruhi efektifitas nematoda entomopatogen (nep). Faktor-faktor yang mempengaruhi keefektifan nep diantaranya adalah a) strategi menyerang inang (menjelajah atau menunggu), b) kemampuan melakukan penetrasi, c) kerjasama dengan bakteri simbionnya, d) fisik lingkungan (suhu dan
kelembaban) dan e) energi cadangan nematoda. Kemampuan menemukan dan menyerang inang ditentukan oleh strategi yang digunakan oleh jenis nematoda. Strategi tersebut adalah menjelajah atau menunggu. Strategi menjelajah adalah aktif mengejar inang, sedangkan menunggu adalah bertahan tanpa bergerak dalam periode waktu yang lama. Nep yang memiliki kedua strategi tersebut memiliki kemampuan menyerang inang yang efektif dibandingkan dengan nep yang hanya memiliki satu strategi. Nematoda dengan strategi
menjelajah mengandalkan tanda-tanda kimia
dari inang dibandingkan dengan strategi menunggu. Tanda-tanda kimia yang dikeluarkan inang adalah CO2, feses, amoniak, asam urik, sentin, allantoin, dan asam arginik. Setelah menemukan inang, keefektifan penyerangan terhadap inang ditentukan oleh kemampuan penetrasi dari nematoda. Kemampuan ini dipengaruhi oleh stadia inang dan struktur seperti gigi pada nematoda. Contoh pada pupa Lyriomiza huidobrensis merupakan stadia yang kurang rentan dibandingkan dengan larva terhadap Steirnema riobravis karena memiliki kutikula yang lebih keras dan kurangnya spirakel. Kondisi ini menyebabkan nematoda sulit melakukan penetrasi. Struktur seperti gigi yang dimiliki nematoda Heterorhabditis akan membantu dalam melakukan penetrasi. Di samping itu kemampuan nematoda menghasilkan enzim proteolitik, juga akan membantu mendegradasi susunan kutikula. Jika penetrasi berhasil, maka faktor kerjasama nematoda dengan bakteri simbion akan menentukan patogenisitas terhadap inang. Nematoda dapat membunuh inang tanpa bakteri simbion tetapi nematoda tersebut tidak dapat bereproduksi, sebaliknya bakteri tidak dapat masuk ke dalam haemosel serangga tanpa adanya nematoda. Keefektifan nematoda akan dibatasi oleh kelembaban yang rendah, suhu yang tinggi dan sinar ultraviolet. Aplikasi pada sore hari dapat meningkatkan keefektifan nermatoda. Penambahan bahan pelembab seperti antidesikan akan membantu
keefektifan
nematoda.
Bahan
tersebut
mengurangi
kecepatan
pengeringan droplet. Contoh lain, penambahan antidesikan gliserin 20% dapat meningkatkan keefektifan H. indicus dan S. riobravis dalam mengendalikan L. huidobrensis. Saat aplikasi di lapangan, sebaiknya volume semprot perlu diperhatikan sehingga keefektifannya akan terjaga. Hal ini disebabkan karena nematoda tidak tahan dengan desikasi. Keefektifan nep dapat juga ditentukan oleh energi cadangan yang dimilikinya. Hal ini berkaitan dengan daya tahan hidup nep setelah aplikasi di lapangan. Nematoda yang memiliki energi cadangan akan mampu bertahan lebih lama sampai menemukan inangnya.
Kesimpulan Jamur, bakteri, virus dan nematoda adalah biopestisida yang digunakan dalam pengendalian serangga hama. Dalam aplikasinya terutama dilapang, harus
benar-benar diperhatikan agar biopestisida tersebut tetap efektif. Keefektifan biopestisida tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor dalam dan luar. Faktor dalam antara lain jenis atau strain atau varietas, umur, fisiologis, sedangkan faktor luar antara lain dosis, waktu, cara dan jumlah aplikasi, kesesuaian inang, suhu, kelembaban dan sinar ultraviolet.
Referensi Djunaedy, A. 2009. Biopestisida sebagai pengendali organisme penggenggu tanaman (OPT) yang ramah lingkungan. Jurnal Embryo vol.6 no.1:88-95. Arifin, M. 1988. Pengaruh Konsentrasi dan Volume Nuclear Polyhedrosis Virus terhadap Kematian Ulat Grayak Kedelai (Spodoptera litura F.). Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 8(1):12-14. Bedjo, M. Arifin, M. Rahayu dan Sumartini. 2000. Pemanfaatan Nuclear Polyhedrosis Virus, Bacillus thuringiensis dan Metarhizium anisopliae sebagai biopestisida untuk pengendalian hama kedelai. Laporan hasil penelitian The Participatory Development of Agriculture Technology Project (PAATP). Balitkabi. 32 p. Kalshoven, LGE. 1981. The Pest of Crop in Indonesia. Laan PA Van der. Ichtiar Baru-van Hoeve. Jakarta. Suwahyono, U. 2010. Biopestisida: cara membuat dan petunjuk penggunaan. Penebar Swadaya. Jakarta. pp.164.