Menu l arkan Kegemaran B el aj ar
Guru Belajar
Edisi I
Tahun Kedua Desember 2016
Apa Kabar? Neque porro quisquam est qui dolorem ipsum
Setahun sudah Surat Kabar Guru Belajar menyapa dan menemani para guru di seluruh pelosok nusantara. Meski tidak tetap tanggal terbitnya, tapi enam edisi selalu konsisten terbit dua bulan sekali. Edisi pertama pada tahun kedua ini tampil dengan wajah baru. Semoga suka! Sebenarnya tidak pernah menyangka Surat Kabar Guru Belajar bisa bertahan hingga setahun. Bukan mengapa, ide lahirnya berawal dari janji Sarapan Pagi di Temu Pendidik Nusantara ke-2 tahun 2015. Pada saat itu, Penggerak Komunitas Guru Belajar berjanji membagikan tulisan praktik cerdas kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan. Ternyata tulisan yang terkumpul bagus-bagus. Jadi lahirlah ide untuk mengemas tulisan itu menjadi surat kabar dan lahirlah Suat Kabar Guru Belajar ini.
Merdeka Belajar:
Pentingnya Refleksi Refleksi dalam praktik sehari-hari seringkali terlihat sebagai obrolan biasa yang dianggap tidak penting. Padahal, refleksi justru kunci belajar bermakna pada semua tahapan pembelajaran. Refleksi mengubah keberhasilan dan kegagalan menjadi pelajaran dan inspirasi. Simak tulisan dari Guru Najelaa Shihab tentang pentingnya refleksi dalam proses belajar. Refleksi adalah salah satu dimensi kompetensi yang paling penting untuk pelajar yang merdeka belajar. Refleksi tidak mudah, bukan hanya butuh terampil berpikir tetapi juga butuh sikap berani berada dalam situasi yang tidak selalu nyaman. Di sekitar, kita melihat banyak orang dewasa pun sulit melakukannya, sering lupa diri, atau sulit menerima umpan balik. Apabila tujuan pendidikan kita adalah memerdekakan, maka refleksi bukan cuma jadi tradisi di akhir tahun, tapi menjadi prioritas sejak dini yang dibiasakan. Refleksi bukan sekadar introspeksi, bukan juga sekadar mengingat kembali. Refleksi butuh analisa tentang pengalaman masa lalu, danperencanaan tentang apa yang akan dilakukan di masa mendatang. Refleksi perlu dilakukan sendiri dengan melihat ke dalam, dan dilakukan bersama untuk berbagi pelajaran. Seseorang yang kompeten melakukan refleksi adalah individu yang memahami kelebihan yang menjadi kekuatannya dan menyadari keterbatasan yang perlu dikembangkannya. Lebih dari itu, ia mampu Surat Kabar Guru Belajar - Edisi I Tahun Kedua
Surat kabar ini memilih untuk mementingkan penyampaian pesan dibandingkan pada kaidah penulisan ilmiah. Menulis itu berkomunikasi yang esensi pentingnya adalah pesan sampai pada pembaca. Panduan penulisan dibuat sederhana sehingga menulis untuk surat kabar ini seperti proses seorang guru menceritakan pengalamannya pada guru yang lain. Dampak positifnya, kehadiran surat kabar ini dianggap sebagai upaya memperluas kesempatan belajar bagi guru untuk menulis. Pada sisi lain, format tulisan yang santai dan bercerita membuat banyak pembaca yang menyukainya. Jumlah potensi pembaca surat kabar ini mencapai 28.145 orang. Andai 1 ruang kelas kapasitas 40 orang, jumlah potensi pembaca tersebut butuh 704 ruang kelas. Dan kami yakin jumlah itu akan terus meningkat karena 1 edisi surat kabar masih relevan dibaca untuk 1 - 3 tahun ke depan. Respon positif datang dari guru di berbagai daerah. Semisal rekan saya, Dhitta Puti, minta ijin mencetak dan membagikan surat kabar ini untuk dibagikan ke rekan-rekan guru
1
di Bandung. Sementara, Guru Lany menyampaikan respon relawan pendidikan di Wamena bahwa surat kabar ini mudah dipahami. Kalau mengingat upaya menerbitkan pada setiap edisinya, selalu bertanya dari mana tulisannya? Tapi tiap kali edisi pula, ada “keajaiban” yang membuat ada saja tulisan keren yang bisa diterbitkan. Untuk edisi ini, keajaiban datang dari Rahayu Ujianti Putu, dosen di Bali. Akhir November, beliau menerbitkan sebuah tulisan di blognya tentang curhat para guru. Ketika kami minta ijin untuk menerbitkannya, ternyata beliau justru memberikan versi lengkapnya, yang ternyata cuplikan dari laporan penelitiannya tentang kesentosaan (well-being) guru. Semoga semakin banyak isi surat kabar ini yang bersumber dari riset. :)
menjabarkan rencana aksi yang akan dilakukannya serta mengkomunikasikan perkembangan dan pencapaiannya. Perkembangan anak dalam refleksi dimulai sejak awal, walaupun kompetensi ini berkait erat dengan metakognisi, riset menunjukkan anak prasekolah pun sudah mulai bisa belajar melakukannya. Dimulai dari yang kongkrit sampai ke pengalaman abstrak, dari pengamatan di permukaan sampai ke analisa mendalam, dari pesan verbal sederhana sampai ke tulisan yang detil dan elaboratif. Refleksi menjadi modal yang bermanfaat dalam berbagai disiplin ilmu. Data membuktikan bahwa individu yang reflektif memiliki kosa kata yang sangat beragam dan membantu perkembangan bahasa. Pelajar reflektif juga memahami konsep sains dan matematika dengan lebih baik, menciptakan dan mengapresiasi karya seni dengan penghayatan tinggi, menyelesaikan masalah sosial dan emosional dengan lebih komprehensif. Reflektif juga penting bahkan dalam olahraga, mampu memonitor jalannya pertandingan dan menyesuaikan strategi dengan cepat menjadi penentu kemenangan di lapangan. Salah satu indikator utama apakah anak akan terdidik untuk bisa reflektif adalah adanya teladan dari lingkungan di sekitarnya. Guru yang reflektif dalam praktiknya, orangtua yang reflektif dalam pengasuhannya. Refleksi sering gagal dicontohkan karena kita bersikap antipati pada kesalahan. Kita beralasan menutupi kegagalan karena takut anak mendapat
2
contoh yang buruk. Atau berusaha “move on” terlalu cepat karena merasa terancam terutama bila refleksi mengarah pada pendidik sebagai salah satu penyebab kegagalan. Kegagalan adalah salah satu kesempatan berharga yang tersedia berlimpah dalam proses belajar tapi jarang sekali dimanfaatkan. Semua aktor pendidikan perlu belajar bahwa kesalahan itu untuk diperbaiki, tidak permanen dan tidak menentukan harga diri. Sebagai pendidik kita perlu sepakat bahwa fokus refleksi bukan menyalahkan atau mencari kesalahan. Refleksi tidak akan muncul bila prosesnya diancam ketakutan harus benar, obyektif atau sesuai standar dan harapan. Dalam siklus belajar-mengajar, refleksi penting di setiap tahapan. Namun biasanya paling sulit dilakukan setelah asesmen. Banyak yang memandang ujian dari sebagai kesempatan terakhir menilai anak, tanpa melihat fungsi utamanya untuk menyusun rencana aksi kedepan. Ujian apapun tidak mungkin efektif memotivasi anak, apalagi bila dorongannya sekadar penilaian eksternal dengan standar orang lain, bukan refleksi bermakna untuk pengembangan diri sendiri. Hubungan reflektif dalam pendidikan menular dan saling berkesinambungan. Kepala sekolah yang membudayakan refleksi bersama guru-guru di komunitasnya, akan menumbuhkan muridmurid yang juga berani berefleksi. Berikut adalah contoh-contoh praktik dengan anak yang bisa membantu menumbuhkan kebiasaan refleksi:
Edisi Pertama di Tahun Kedua ini membahas topik refleksi. Kami menganggap topik ini penting diulas karena, sebagaimana dijelaskan pada edisi sebelumnya, refleksi menjadi satu dari 3 ciri pelajar yang merdeka belajar. Ciri penting yang justru jarang dikenalkan oleh para guru kepada para pelajar kita. Dengan kemampuan berefleksi, pelajar kita dapat memantau dan memperbaiki cara belajarnya sehingga dapat lebih efektif. Tak heran bila kemampuan berefleksi berpengaruh terhadap kemampuan, bukan hanya pelajar tapi juga guru, dalam mengelola diri dan perilakunya. Dalam edisi ini, topik refleksi akan diulas secara konseptual, refleksi dalam perjuangan menjadi guru, refleksi sebagai praktik di kelas hingga praktik yang melengkapi kegiatan pendidikan, dalam hal ini, Temu Pendidik Nusantara Ketiga 2016. Ulasan dari beragam dimensi tersebut menunjukkan lengkapnya proses belajar terjadi ketika dilakukan refleksi. Pada akhirnya, selamat menikmati tampilan baru Surat Kabar Guru Belajar. Semoga bisa menemani Anda berefleksi di akhir tahun ini dan menyambut tantangan baru dengan semangat belajar!
Info Surat Kabar Guru Belajar Terbit setiap dua bulan sekali, surat kabar ini menampilkan praktik cerdas pengajaran dan pendidikan untuk menularkan kegemaran belajar pada komunitas guru. Isi tidak sepenuhnya mewakili pandangan redaksi. Alamat: Jl. Ciater Rawa Mekar Jaya, Serpong Tangerang Selatan, 15310 Email:
[email protected]
REDAKSI Dewan Redaksi: Najelaa Shihab, Bukik Setiawan, Chusnul Chotimah
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi I Tahun Kedua
Ujian apapun tidak mungkin efektif memotivasi anak, apalagi bila dorongannya sekadar penilaian eksternal dengan standar orang lain, bukan refleksi bermakna untuk pengembangan diri sendiri. Najelaa Shihab 1. Memvariasikan pertanyaan dalam proses belajar.
2. Mendokumentasikan proses dan hasil belajar.
Pertanyaan yang pas adalah fasilitator utama di awal, selama dan sesudah belajar. Pertanyaan berfungsi sebagai penghubung antara satu pengalaman belajar ke yang lain, antara topik yang standar ke keterlibatan yang relevan untuk kehidupan anak. Di masa awal pendidikan, peran terpenting guru adalah mengajukan pertanyaan, bukan menjawab pertanyaan. Setelah tumbuh menjadi kebiasaan, pertanyaan-pertanyaan akan muncul dari anak sendiri. Pertanyaan yang memandu refleksi perlu beragam, bagaikan cermin dari berbagai sisi. Yang berkaitan dengan pengalaman lalu (backward looking) misalnya; “Seberapa banyak yang kamu ketahui tentang topik ini sebelum kita mulai belajar dan apa yang kamu sudah lebih tahu sekarang?”, “Apa tantangan yang paling sulit saat mengerjakan dan bagaimana kamu memecahkannya?”. Yang berkaitan dengan perencanaan ke depan (forward looking) misalnya, “Apa yang akan kamu rubah bila mendapat kesempatan kedua mengerjakan hal ini?”, “Apa bantuan yang dibutuhkan dari guru dalam pelajaran berikutnya?”. Yang berkaitan dengan dalam diri (inward looking) misalnya, “Apakah karya ini memenuhi harapan dan standar kamu?”, “Apa yang kamu pelajari tentang dirimu saat mengerjakan tugas ini?”. Yang berkaitan dengan pengalaman bersama (outward looking) misalnya, “Apakah proses atau hasil karya kamu mirip dengan teman lain?”, “Apabila kamu gurunya, nilai berapa yang akan kamu berikan untuk tugas ini?”.
Berbagai bentuk latihan seperti jurnal harian, portfolio, majalah dinding dan album foto, membiasakan anak untuk tidak sekadar berefleksi secara verbal. Latihan pencatatan ini secara bertahap melatihnya untuk memonitor proses metakognisinya. Selain itu dokumentasi dari waktu yang berbeda sepanjang rentan belajar juga membantu melihat perkembangan secara nyata dan meningkatkan tanggung jawab menetapkan target belajar dengan tepat. Sedikit catatan bahwa proses mendokumentasikan kadang agak terhambat saat periode transisi dari orang dewasa yang melakukan ke anak yang melakukannya sendiri, terutama di masa awal membaca dan menulis. Hal ini karena anak sering berfokus pada prosedur atau konvensi yang benar dan bukan proses refleksinya, karenanya fungsi utama refleksi harus terus diingatkan dan ditunjukkan.
membangun suasana reflektif secara mandiri. Waktu bermain tidak pernah siasia karena menjadi sarana memperlancar ide, waktu melamun juga sangat berguna saat jadi kesempatan merenung. Sebagian anda akan berefleksi sambil membaca tulisan ini, seberapa banyak yang sudah kita lakukan sebagai pendidik tahun ini. Yang penting kita sadari, guru yang ingin menumbuhkan refleksi harus mulai dari dirinya sendiri. Perencanaan pengajaran tidak selesai saat RPP sudah dikumpulkan, karena refleksi guru terus berkelanjutan berdasarkan respon murid di setiap tahapan. Mengevaluasi pengajaran tidak selesai saat nilai ujian telah dilaporkan, karena umpan balik untuk murid justru perlu dipraktikan pada pelajaran berikutnya yang sebenarnya saling bersambung walau terpisah jenjang. Mari jadikan ini awal dari resolusi kita di 2017.
3. Menyediakan waktu, termasuk untuk kegiatan tidak berstruktur. Refleksi butuh waktu, sementara banyak dari kita yang masih menganggap pendidikan berakhir saat tugas sudah selesai dikerjakan. Padahal refleksi cara dan hasil belajar adalah bagian penting yang tidak buang waktu, justru akan membantu proses lanjutan yang lebih efektif untuk guru maupun murid. Murid butuh beberapa kali “berhenti sejenak” saat mengerjakan, memeriksa kembali tugas akhir atau mendiskusikan proses dan hasil karya kelompok yang telah dikumpulkan. Dari waktu latihan terbimbing ini, murid akan semakin mahir
Najelaa Shihab Pendiri Sekolah Cikal, Kampus Guru Cikal, IniBudi.Org, Keluarga Kita, Living Qu’ran dan penggagas Pesta Pendidikan. Bisa di temui di twitter @NajelaaShihab
Kegagalan adalah salah satu kesempatan berharga yang tersedia berlimpah dalam proses belajar tapi jarang sekali dimanfaatkan. Najelaa Shihab Surat Kabar Guru Belajar - Edisi I Tahun Kedua
3
Ketika Kami Patah Hati
Refleksi Perjalanan Menjadi Guru Banyak pelatihan atau kegiatan yang memfasilitasi guru untuk belajar dan berbagi tentang strategi mengajar. Tapi langka kegiatan yang memfasilitasi topik yang sangat penting bagi seorang guru, mengapa menjadi guru? Padahal hanya dengan menyadari “mengapa”, kita sebagai guru bisa teguh dalam perjuangan pendidikan kita. Tulisan dari Dosen Putu Rahayu Ujianti, yang merupakan hasil riset, diterbitkan dengan tujuan mengajak rekan-rekan guru untuk menyadari niat mengapa menjadi guru sekaligus meneguhkan langkah untuk terus mencapai tujuan kita sebagai pendidik. Bagikan perjuangan Anda menjadi guru untuk fokus pada tujuan pendidikan di media sosial Anda dengan menggunakan tagar #MenjadiGuru #GuruBelajar. Guru itu medan perjuangannya ada di dalam kelas, yang kadang begitu suram, dengan tembok yang sudah kusam catnya dan bangkubangku tua yang sebentar lagi ambruk jika keliru cara menggesernya. Guru itu rumahnya di dalam bilik hati para siswa, yang kadang susah sekali untuk dimasuki karena berkali-kali diketuk pun tak juga dibukakan pintu. Meski demikian, seorang guru, tak bisa menjadi guru hanya di ruang kelas atau sebatas tembok pagar sekolah. Ia tetap menjadi guru ketika berbelanja ke pasar, periksa ke dokter, antri di bank, beribadah di tempat ibadah, bahkan tetap menjadi guru ketika memasuki toilet umum di sebuah terminal atau pusat perbelanjaan. Seorang guru tak dapat mengatakan bahwa profesinya adalah guru, sebab sesungguhnya ia adalah guru luar dalam, lahir batin, menyeluruh, kapanpun, di manapun. Seorang guru mau tak mau harus menerima ketika ia dianggap tahu segala hal, utamanya soal moral. Tak dapat menolak ketika berduyunduyun orang bertanya, mencari jawaban atau setidaknya sedikit percikan kebajikan. Tak peduli ketika sang guru itu sendiri sesungguhnya sedang lelah hati. Berani menjadi guru, berarti berani berdarahdarah. Berani menahan perasaan, berani patah hati berulang-ulang. Jika seseorang yang merasa patah hati sekali saja lalu bersumpah untuk tidak jatuh cinta lagi seumur hidupnya, seorang guru sejati, pada akhirnya menerima bahwa patah hati adalah bagian dari kodrat profesi. Banyak yang bisa menjadi penyebab seorang guru patah hati. Mulai dari harus berdamai
dengan kurikulum yang lebih ke ‘menghajar’ daripada mengajar, pemberlakuan sistem evaluasi yang terasa kurang fair, karena tak benar-benar dapat menggambarkan seorang siswa secara keseluruhan, sampai beberapa siswa yang kepadanya sungguh diberikan hati dan jiwa namun ternyata memilih berpaling pada hal-hal lain, kecuali belajar dan sekolah. Sebagai guru, kami tidak memiliki keistimewaan untuk memilih siapa-siapa yang akan duduk di kelas kami. Sistem yang menyaringnya, kami hanya tinggal menerima saja. Beruntung jika kami mendapat siswa yang antusiasme belajarnya luar biasa, namun ketika mendapat yang sebaliknya, kami juga tak punya pilihan, selain ikhlas. Seperti apa yang dialami oleh seorang rekan guru berikut. Ia mengajar di kelas dengan siswa berjumlah 42 orang. Delapan orang diantaranya disebutnya sebagai anak yang “unik”, yang seharihari kurang nampak antusiasme belajarnya, sehingga kecepatan belajarnya pun lebih lambat dari kawan-kawan lainnya, sementara lima orang lainnya disebutnya sebagai anak “spesial” karena melaju pesat melebihi yang lainnya, dan sisanya melaju di kecepatan rata-rata. Rekan guru ini kreatif dan pantang menyerah untuk melakukan manuver-manuver yang sekiranya dapat memaksimalkan proses pembelajaran di kelas tanpa meninggalkan satu anak pun. Mulai dari membentuk kelompok-kelompok belajar, secara berkala memindahkan tempat duduk siswa secara bergiliran, memberi pengayaan, dan lainlainnya. Ia adalah guru yang memegang teguh azas keadilan sosial dalam pembelajaran, bagaimana pun caranya ia bertekad agar tidak ada yang ‘ketinggalan’ dan yang sudah siap
maju pesat pun tidak harus lama menunggu kawan-kawannya. Beberapa kali ia harus melakukan modifikasi on the spot materi ajar yang sudah disiapkannya jauh-jauh hari, hanya karena masih ada beberapa yang berjalan tertatih dan perlu diberi dorongan ekstra saat ia selesai memberikan penjelasan. Lama-lama ini membuatnya gelisah. Sebagai guru, ia berkejaran dengan waktu. Di satu pihak ia percaya anak-anak didiknya yang “unik” sebenarnya memiliki kemampuan belajar, meski bahan yang semestinya diselesaikan dalam sejam akhirnya baru bisa tuntas setelah tiga jam. Di pihak lain ia sadar anak-anak lain memiliki hak untuk dididik sesuai kecepatan belajarnya dan menuntaskan semua kompetensi sesuai kecepatan dan kemampuan mereka. Kegelisahannya yang lain adalah karena anak-anak unik ini justru kerap menjadi biang keributan di antara teman-temannya. Yang membuat waktunya semakin mepet lagi karena secara bergiliran ia mesti menyelesaikan masalah yang muncul di antara anak-anak didiknya. Pantang menyerah, ia mencari akar masalah rendahnya motivasi belajar yang berdampak pada kelambatan belajar para siswa “uniknya”, agar ia tahu bagaimana meningkatkan laju kecepatan belajar mereka. Perlu dicatat, rekan guru ini adalah yang percaya betul bahwa tidak ada anak bodoh. Maka ia berbicara dengan anak-anak ini sekali lagi, menyebarkan kuisioner dan mewawancarai orang tua, namun tidak jua ia merasa puas dengan apa yang didengarnya. Sampai di suatu Sabtu pagi, saat anak-anak lain mengikuti ekstrakurikuler sesuai minat dan bakatnya, saat para guru juga sibuk mengajar ekstra dan mengerjakan administrasi lainnya, beberapa anak unik dilaporkan membawa dan menggunakan telepon genggam berupa tablet oleh teman-temannya. Anak-anak unik inipun ia kumpulkan dan diminta menjelaskan alasan mereka membawa tablet ke sekolah. “Untuk menghubungi orangtua jika belum dijemput, Pak”, jawab mereka dengan pelan. Bukankah jadwal pulang sudah pasti? Bukankah kalau belum dijemput para siswa diijinkan untuk menggunakan telepon sekolah atau minta guru menghubungi orang tua untuk sms atau telpon orang tuanya. Ia lalu bertanya lebih jauh, mengapa mereka menggunakan
Ijinkanlah kami dan anak-anak kami menjadi manusia kembali. Biarkan kami berinteraksi layaknya guru dan murid, orang tua dan anak, bukan sekadar pemasok informasi dan wadah-wadah yang mesti diisi. Putu Rahayu Ujianti
4
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi I Tahun Kedua
gawai saat seharusnya mengikuti kegiatan ekstra kurikuler. Akhirnya rekan guru ini memberanikan diri mengecek isi gawai. Ternyata, hampir 75% aplikasinya adalah game. Para siswa ini juga telah memiliki akun media sosial sendiri dan bebas mengakses video via internet melalui gawai milik mereka. Dan menurut pengakuan mereka sendiri, mereka biasa memainkannya berjam-jam dan itu atas sepengetahuan orangtuanya. Dalam lubuk hatinya yang terdalam, rekan guru ini sedihnya luar biasa. Ia berpikir, jika di rumah anak didiknya ini selalu memainkan gawai atas seijin namun tanpa didampingi orang tua, mungkin inilah salah satu penyebab kurangnya motivasi mereka untuk belajar. Saya mendengarkan cerita serupa dengan yang dialami oleh rekan guru di atas dari guru-guru lainnya. Bahkan, masalah ternyata lebih pelik dari yang terlihat. Beberapa minggu berikutnya ketika saya berangkat ke Jogja untuk sebuah acara temu pendidik yang diramu dalam bentuk seminar dan pelatihan selama tiga hari, sekali lagi saya mendengar cerita serupa, lengkap dengan keluh kesah nyaris putus asa. Pada hari tearkhir, saya berkesempatan berada di sebuah sesi pelatihan dengan para guru dan kepala sekolah tingkat sekolah dasar sebagai peserta. Begini kira-kira curhat mereka; “Sebenarnya, yang sulit itu bagaimana membentengi siswa dari pengaruh luar. Di sekolah kami sudah mengajari yang baikbaik, tapi begitu anak keluar sekolah, wah, pengaruhnya macam-macam. Yang ditemui siswa berbanding terbalik dengan yang kami ajarkan di kelas. Jadi kadang kami merasa yang kami lakukan sia-sia saja.” Sret. Hati saya tersayat lagi. “Kadang kami tidak tahu harus bagaimana lagi, kami tidak boleh memaksa, tetapi tidak boleh juga membiarkan. Lalu kami harus bagaimana?” Sret. Tambah satu sayatan lagi. “Kami disoroti dimana-mana kalau sampai melakukan kesalahan, padahal maksud kami hanya mendidik, tapi kami dihujat habishabisan. Sistem tidak membantu kami. Lihat itu, pornografi mudah sekali diakses anak-anak, tayangan televisi isinya hanya soal bagaimana menjadi cantik, ganteng, dan populer, tak ada soal-soal tanggung jawab, kerja keras dan disiplin. Tempat main game onlline menjamur dimana-mana. Sampai anak TK pulang sekolah masih dengan pakaian seragam pun sudah nongkrong di sana! Orang tua juga kadang cuek karena merasa itu tanggung jawab kami saja. Kami ini harus bagaimana?” Saya tertunduk. Luka di hati saya, yang belum sempat menutup rapat, sudah menganga lagi. Ah, susah betul menjadi guru. ### Surat Kabar Guru Belajar - Edisi I Tahun Kedua
Guru dituntut untuk mendengarkan, memahami dan membantu jiwa-jiwa yang berada di kelasnya untuk tumbuh sempurna, bukan hanya intelektualnya, namun juga rohaninya. Sementara di lain pihak, ada tuntutan ketuntasan belajar dengan materi ajar yang berlimpah ruah sampai kami sendiri gelagapan. Semakin jarang kami punya waktu untuk mendengarkan, karena kami dikejar-kejar bahan ajar yang harus tuntas hari itu, sebab jika tidak, besok berarti kerja ganda. Jangankan mendengarkan, kami bahkan jarang ‘mengada’ di dalam kelas. Kami bukan lagi suara-suara teduh, bukan lagi tatapan penuh kasih atau gelegar semangat yang membangkitkan rasa ingin tahu. Kami, seringkali hanya serupa bayang-bayang di balik soal-soal Matematika, Kimia, dan Fisika, dan segudang hafalan.
Lihatlah hati yang berdarah ini, betapa di dalamnya terkubur cinta tak berbatas yang tak sempat disampaikan karena lembar kerja siswa yang harus segera diperiksa dan latihan soal yang mesti segera dibahas. Tengoklah kedalaman jiwa kami, yang saat ini sedemikian merananya karena kami tak lagi dapat menjadi sahabat-sahabat anak didik kami sendiri. Pun ketika kami tak memiliki kesempatan untuk bercerita tentang kehidupan di luar sana, anak-anak kami mencibir diam-diam di belakang, karena yang kami sampaikan hanya mengulang-ulang buku teks pelajaran tanpa ada relevansi dengan apa yang mereka jumpai di balik dinding kelas dan tembok sekolah. Kami ditertawakan karena media sosial jauh lebih menarik daripada cerita kami di dalam kelas.
Sungguh, kami tak dapat menyalahkan ketika di kelas, betapa seringnya kami jumpai mereka yang apatis, dengan aspirasi belajar yang rendah. Susahnya setengah mati meminta mereka aktif dalam pembelajaran. Bagaimana bisa aktif ketika para siswa tak pernah diberi kesempatan belajar untuk berpikir, bertanya, dan menganalisa? Terlalu banyak yang harus ‘dituangkan’ dalam wadah-wadah yang sudah separuh penuh, yang sebentar lagi meluap, membanjir tanpa arah dan tujuan. Kami sedih, sangat sedih. Tapi jika wadah-wadah ini tidak penuh, lalu mereka gagal di ujian nasional, kami juga nanti yang paling berdosa. Kami akan menjadi tertuduh pembunuh masa depan mereka.
Kami hanya berharap untuk dapat berhenti patah hati. Biarkan jiwa kami damai, agar kami dapat membawa kedamaian di dalam kelas. Biarkan kami merasakan cinta agar dapat kami tumpahkan cinta pada anak-anak kami. Biarkan kami menjadi berharga, agar kami dapat menghargai anak-anak kami sebagai jiwa-jiwa indah yang mandiri dan mampu berpikir untuk diri sendiri. Ijinkan kami menjadikan ruang kelas kami sebagai tempat aman bagi anakanak kami untuk utuh bertumbuh, dan tidak hanya berfokus pada ketakutan besok atau tahun depan mungkin tidak lulus ujian. Tolong, tolong biarkan kami menyemai bibit-bibit yang hadir dalam kelas kami di atas tanah berpupuk cinta, bersiramkan rasa aman, bermandikan sinar pemahaman yang membuat mereka berlomba untuk tumbuh menjadi pribadipribadi bernilai yang mampu berbuat tidak hanya dengan kepala, tetapi juga dengan hati.
Sungguh, kadang patah hati kami tak terperi. Mereka yang di ataslah yang menentukan berbagai kebijakan, sementara kami tak pernah punya suara untuk ikut sekadar sumbang saran. Padahal kami-kami ini yang setiap hari bergulat melaksanakan kebijakan dari pusat. Sekali-sekali bertanyalah, wahai Bapak dan Ibu Pejabat, akan kami beri segudang jawaban berdasarkan fakta kami di lapangan. Tolonglah, dengarkan suara kami. Ijinkanlah kami dan anak-anak kami menjadi manusia kembali. Biarkan kami berinteraksi layaknya guru dan murid, orang tua dan anak, bukan sekadar pemasok informasi dan wadahwadah yang mesti diisi. Beri kami ruang untuk duduk dan mendengarkan cerita mereka yang datang ke kelas kami setiap pagi dengan ransel beban yang tak sedikit, entah karena kemiskinan atau karena orang tua yang tak pernah ada. Beri kami waktu untuk menggelorakan semangat mereka agar memiliki mimpi dan visi masa depan. Beri kami kesempatan untuk mengasah empati dan welas asih anak-anak kami terhadap mereka yang tak seberuntung dirinya. Beri kami kesempatan untuk menjadi toleran pada setiap perbedaan, agar anak-anak kami dapat menghargai keragaman. Mereka tak perlu seragam mendapatkan nilai sepuluh di pelajaran Matematika, agar kelak mereka tak merisak sesama yang tak seberuntung atau secemerlang dirinya.
Kami ada di kelas-kelas karena panggilan jiwa dari batin yang terdalam. Dan jika pun kami harus patah hati sekali lagi, percayalah, tetap tak akan mengurangi dedikasi kami. Catatan: Tulisan dalam versi pendek pernah dimuat di Rahayujianti.wordpress.com
Putu Rahayu Ujianti Penulis, pendidik dan ibu. Tinggal di Bali
[email protected]
5
Makna Refleksi Bukan pada Kaki, Tapi Pijat pada Hati
Ketika mendengar refleksi, kebanyakan orang mengasosiasikannya dengan pijat kaki. Artinya dalam kehidupan sehari-hari, refleksi lebih banyak digunakan di dunia perpijatan dibandingkan dunia pendidikan. Dalam tulisan ini, Guru Unun Yasien mengungkapkan makna refleksi sebagai salah satu proses belajar yang sering diabaikan dalam praktik di kelas. Refleksi disebut sebagai “pijat pada hati” menunjukkan refleksi sebagai langkah menggugah emosi. Bagaimana proses refleksi dipraktikkan dalam proses belajar bersama siswa? Silahkan simak tulisan yang dilengkapi contoh nyata yang dihadapi penulis. Di suatu siang yang terik, di saat saya sedang sibuk mengetik laporan di saat waktu istirahat, terdengar suara pintu dikunci dari dalam. Klek…. Suara itu mengagetkan saya. Terlebih ketika saya menengok dan terlihat dua anak laki-laki sedang menunggu di depan pintu yang baru saja mereka kunci. “Loh, kalian sedang apa? Apa yang bisa aku bantu?” tanya saya. “Bu, boleh kami bertanya?” “Wah, boleh sekali! Sini mendekat” Dengan gelagat yang malu-malu, dua murid laki-laki kelas lima saya berjalan mendekati ke arah sudut pojok kelas. “Apa yang bisa aku bantu?” Jantung rasanya mau copot. Lidah terasa kelu dan bibir rapat. Agak bingung bagaimana cara merespon pertanyaan yang baru saja dipaparkan oleh kedua anak tersebut. Apa fungsi dari rambut kemaluan, tanya mereka. Mimpi apa saya semalam sehingga siang ini ditanya mengenai sesuatu yang saya pikir tabu dan tidak layak untuk diperbincangkan. Seperti ala-ala program TV. Sungguh saya tidak bisa tenang. Jawaban seperti apa yang bisa saya berikan kepada murid yang usianya sekitar 10-11 tahun? Kalau mau mudah sih saya bisa saja jawab seperti ini, “Nanti kalau sudah besar, kalian juga tahu!”. Tapi naluri saya berkata lain. Ada dorongan dari dalam diri saya untuk memberikan jawaban paling baik. Bukan karena saya adalah seorang guru, bukan karena saya merasa menjadi orangtua bagi mereka di sekolah. Bukan. Bukan karena itu. Yang ada di kepala saya adalah ketakutan bahwa yang saya pikirkan
dan saya sedang usahakan untuk jelaskan tidak akan mampu dipahami oleh mereka, bahwa rambut kemaluan itu ada kaitannya dengan hubungan seksualitas, bahwa itu adalah bagian penting dari pertumbuhan, bahwa itu adalah hal yang tumbuh pada semua manusia yang beranjak dewasa. Tidak. Itu tidak cukup. Perlu ada suatu penjelasan yang dekat dengan mereka, yang mudah diterima. Sampai pada akhirnya, saya kembalikan jawaban itu kepada kondisi alamiahnya. “Nak, apa sih yang kamu ketahui mengenai rambut kemaluan?” “Rambut, Bu” “Nah, rambut itu fungsinya apa?” “Untuk melindungi kepala.” “Nah, itu kan rambut yang ada di kepala. Kalau yang ini, nak, rambut yang ada di kemaluan. Menurut kamu fungsinya untuk apa?” tanyaku dengan muka datar dan tenang. “Ya untuk melindungi kemaluan bu!” jawab mereka dengan mata berbinar-binar. “Apakah itu sudah menjawab pertanyaan kalian?” lanjut saya. “Iya, itu benar juga.” sambut mereka. “Baiklah. Semoga diskusi tadi membantu kita untuk paham lebih banyak hal ya…Nah, menurut kalian, setelah berdiskusi gimana rasanya? Ketika ingin mulai bertanya dan setelah pertanyaannya terjawab?” saya lanjutkan bertanya. “Ya ada senengnya, ada juga enaknya,” jawab mereka. “Kira-kira senengnya apa, enaknya gimana?” “Aku sekarang jadi tahu dan jadi gak malu lagi kalau nanti rambutnya tumbuh,” jawab murid A. “Kalau aku jadinya penasaran kalau tumbuh akan jadi kayak apa,” tambah murid B sambil tersenyum.
Setelah melakukan diskusi ringan lanjutan, ada hal yang saya tidak lupa, yakni mengkonfirmasi apakah masih ada pertanyaan tersisa dari rasa ingin tahu mereka. “Kira-kira seperti itu. Apakah semua pertanyaan kalian sudah terjawab?” “Sudah, Bu” “Apakah ada pertanyaan lain?” “Sudah cukup, Bu! Terima kasih.” Pengalaman berdialog mengenai perkara rambut di atas adalah pengalaman yang selalu saya ingat. Pengalaman deg-degan yang sebenarnya memiliki makna lebih dari sekadar berdialog. Ada rasa senang bisa membantu anak-anak dalam menghubungkan pengalaman mereka sebelumnya mengenai rambut dengan pertanyaan mereka sekarang mengenai rambut kemaluan. Sekali lagi ini bukan hanya perkara menjawab pertanyaan, paling tidak untuk saya. Dialog ini merupakan refleksi dari proses belajar yang seutuhnya, bahwa ada makna yang ditarik dari apa yang dipelajari, ada pemikiran yang digali, begitu juga perasaan. Menanyakan bagaimana rasanya menurut saya, jadi bagian penting dalam proses refleksi pada kegiatan belajar. Karena dengan memahami rasa yang positif ketika belajar, akan menumbuhkan rasa yang positif pula ketika mempelajari hal yang lain. Jadi refleksi adalah sebuah seni dalam menemukan suatu pengetahuan, karena guru dan murid sama-sama terlibat dalam proses mencari makna dari apa yang ingin, sedang, dan akan dipelajari. Hati saya rasanya lega mendengar kalimat penutup percakapan tersebut. Terbersit kepuasan bahwa saya sudah mampu memberikan jawaban atas pertanyaan yang mungkin sudah lama disimpan anak-anak tersebut. Akan tetapi, di sisi lain, muncul pertanyaan lain di benak saya. Pertanyaan tentang bagaimana keberanian untuk menanyakan hal tersebut kepada seorang guru tersebut bisa muncul. Menanyakan kepada guru yang hanya beberapa jam ditemui mereka di sekolah. Apa sih yang sebenarnya terjadi? Bagaimana peran saya sehingga keluwesan belajar dan mencari pengetahuan semacam ini bisa muncul. Saya pun berefleksi. Saya berusaha menelusuri pengalaman dan memikirkan kembali hal yang tidak dapat saya lupakan ini dengan harapan bisa dipahami orang banyak. Diskusi bersama dengan rekanrekan guru lainnya, diskusi dengan konselor sekolah, kepala sekolah saya lakukan dalam
Refleksi adalah sebuah seni dalam menemukan suatu pengetahuan, karena guru dan murid sama-sama terlibat dalam proses mencari makna dari apa yang ingin, sedang, dan akan dipelajari. Unun Yasien
6
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi I Tahun Kedua
rangka mendapatkan dukungan dan tambahan informasi. Kesimpulannya? It takes two to tango. Begitu mungkin sebutannya. Bahwa semua terjadi karena hubungan dan kerjasama murid dan juga guru. Mengapa? Saya akan coba jabarkan dalam poin-poin berikut. 1. Siswa punya rasa ingin tahu yang tinggi terhadap banyak hal. Begitupula guru. Pertanyaan apapun akan muncul, yang bisa dan yang tidak bisa diprediksi. Hal ini bisa jadi proses belajar yang sama-sama dinikmati oleh guru dan juga murid. Guru bertanya, murid juga bertanya. Membangun semangat untuk berbagai macam kemungkinan dan mempelajari seberapa logis kemungkinankemungkinan itu. Pada akhirnya, akan tercipta rasa asyiknya belajar, asyiknya mengetahui sesuatu. 2. Apa yang dilakukan siswa saya tidak terlepas dari bagaimana guru-guru bersikap dan berperilaku. Pada refleksi saya, bagaimana pertanyaan tersebut dapat muncul bukanlah sesuatu yang terjadi akibat satu atau dua hari belajar. Hal ini tentu saja sudah menjadi bagian dari pembelajaran anak sejak lama. Sikap guru yang terbuka terhadap pertanyaan dan mencari jawabannya secara bersamasama menjadi salah satu faktor penting dalam menumbuhkan kemampuan refleksi anak terhadap apa yang dipelajarinya. 3. Berefleksi itu terjadi ketika sadar berpikir dan juga ketika berpikir secara sadar. Apapun yang terjadi bisa dimaknai sebagai proses belajar tidak hanya untuk guru, tapi juga untuk murid. Proses “enaknya” belajar bisa dibangun bersama-sama oleh guru dan juga murid. Saya membayangkan, apabila setiap guru-murid memiliki hubungan yang reflektif, maka segala isi semesta bisa ditaklukkan. Setiap hari selalu ada pemaknaan terhadap segala sesuatu secara sadar yang terjadi pada setiap kegiatan sehari-hari. Rasanya bukan hanya enak dan nyaman, tapi juga melegakan. Karena hubungan antara guru
dan murid menjadi sejajar. Kelegaan yang terjadi karena proses belajar bukan hanya dimiliki oleh murid seorang, tapi juga lingkungan sekitar yang terlibat di dalam proses belajar. Apabila hal ini terjadi secara berkelanjutan, maka murid dan guru akan sama-sama menjadi pembelajar sepanjang hayat, dan proses belajar tidak akan pernah putus. Lewat dialog mengenai rambut ini pula, saya menyadari bahwa keberanian siswa kemudian muncul karena ada kepercayaan dari murid kepada saya, bahwa ada orang yang bisa mereka tanyakan apa saja dan mereka sudah mengetahui respon macam apa yang akan diberikan kepada mereka apabila pertanyaan diajukan. Bukan respon menyeringai, mengerenyit, desakan nafas yang ditarik, atau mata yang terbuka lebar tanda kekagetan atau kemarahan. Saya ingat betul bahwa mereka awalnya malumalu mengumpulkan segenap keberanian untuk memulai sebuah proses mencari tahu dan melakukan refleksi terhadap pertanyaan mengenai rambut kemaluan yang ingin diketahuinya. Proses tersebut juga tidak diselesaikan dengan adanya jawaban, namun dilanjutkan dengan proses refleksi diri dari apa yang sudah dilakukan, yang melibatkan pertanyaan lanjutan seperti konfirmasi pengetahuan yang sudah didapatkannya, dan juga bagaimana rasanya mengetahui sesuatu. Harapannya, kalau rasanya senang dan nyaman dalam memahami sesuatu, maka pengetahuan tersebut dapat disimpan di memori dalam waktu yang lama. Ada banyak sekali hal yang sudah disediakan semesta untuk dimaknai, baik hal yang besar maupun hal yang kecil sekalipun. Ada rasa kepuasan yang selau terlibat dalam proses refleksi ketika hal tersebut dilakukan. Mengapa? Karena proses refleksi dapat membantu anak mengenal dirinya lewat pengalaman sehari-
hari. Bukan hanya untuk mencari tahu apa yang sudah dipelajari, kesulitan apa yang dimiliki, bagaimana cara untuk menjadi lebih baik, tapi juga mengapa itu menjadi penting untuk mereka ketahui dan bagaimana cara mencari sumber untuk mengetahui berbagai macam hal. Dan juga yang terpenting, proses refleksi juga melibatkan sentuhan paling dalam kepada jiwa siswa, tentang bagaimana asyik dan nyamannya mencari tahu dan mengetahui sesuatu. Pertanyaan selanjutnya yang mungkin muncul adalah, apakah hal itu sulit? Jawabannya kemudian bisa ditinjau dari berbagai macam aspek dan bisa diperdebatkan. Namun, satu hal yang pasti, bahwa proses berefleksi tidak semata-mata harus dilakukan sendiri. Refleksi aku dan kamu bisa dikerjakan bersama-sama sehingga terjadi kita, terjadi kami, refleksi kami. Dengan refleksi, asyiknya belajar dan mengenal diri bisa menjadi berlipat kenikmatannya, karena dilakukan bersama-sama. Menurut anda, gimana rasanya berefleksi? Kalau aku sih, yes! :)
Unun Yasien Inisiator Komunitas Guru Belajar Dosen Kampus Guru Cikal
[email protected]
Undangan Menulis Topik Edisi Kedua Tahun Kedua adalah Komitmen Belajar, ciri pertama dari pelajar yang Merdeka Belajar. Topik ini penting dipelajari pada saat awal semester atau tahun ajaran baru sebagai awal proses belajar.
3. Emailkan file beserta foto diri dan foto aktivitas dengan subyek email #PraktikCerdas "Nama Penulis" ke
[email protected] paling lambat kami terima tanggal 8 Februari 2017
Anda punya pengalaman menarik dalam membangun Komitmen Belajar? Kirimkan tulisan Anda ke Surat Kabar Guru Belajar agar bisa dipelajari oleh guru di seluruh Nusantara. Cara mengirimkan tulisan:
Karena tulisan di Surat Kabar ini mempunyai format yang unik, silahkan baca juga Tips Menulis di Surat Kabar Guru Belajar di http://bit.ly/TipsMenulis1
1. Unduh panduan Penulisan #PraktikCerdas di http:// bit.ly/MenulisKGB 2. Tuliskan sesuai panduan dan simpan dalam file dengan nama #PraktikCerdas "Nama Penulis" Surat Kabar Guru Belajar - Edisi I Tahun Kedua
Kami juga menerima tulisan Anda mengenai pengalaman mengajar atau membuat kegiatan belajar di luar topik utama. Silahan ikuti panduan penulisan yang telah dicantukan di bagian atas.
7
Refleksi Pengajar yang Belajar Secuplik catatan perjalanan belajar di Merauke Setiap guru itu kaya dengan pengalaman. Sayangnya, banyak pelatihan atau kegiatan pengembangan guru yang mengabaikan kekayaan tersebut. Bukannya diungkap pengalamannya, guru seringkali hanya dituntut mendengarkan narasumber. Padahal bila pengalaman itu digunakan, proses belajarnya jauh lebih kaya dan bermakna. Tulisan Guru Lany Rh membuktikan kesimpulan tersebut. Beliau mendapat kesempatan memandu proses belajar guru di Merauke yang berbeda dengan kebanyakan kegiatan pengembangan guru. Tulisan ini sekaligus mengingatkan kita bahwa guru belajar sebenarnya mudah dilakukan, di mana saja. Dulu, waktu saya pertama kali mengajar, hal yang paling saya cari adalah kesempatan untuk menyaksikan teman guru lain mengajar. Saya berharap menemukan ide dari teman saya, yang kebanyakan memang sudah lebih senior dibanding saya. Ide yang saya temukan saat melihat orang lain mengajar ini biasanya lebih gampang saya cerna, karena berbentuk pengalaman langsung.
bagian asrama, dan penjelasan mengenai sejarah dan kondisi umum sekolah ini. Saya melihat peluang untuk mengunjungi kelas-kelas untuk melihat para guru mengajar. Keinginan ini disambut baik oleh Pak
Secara teknis, saya meminta mereka berpasangan saat observasi. Sementara saya sendiri mengambil tempat di kelas lain. Tujuan observasi ini adalah menyerap sebanyak mungkin pembelajaran yang sekiranya bisa kami dapatkan. Jadi saya berpesan pada teman-teman untuk merekam saja apapun yang mereka lihat dan dengar di kelas tersebut. Kami boleh menggunakan kamera, asal tidak menggunakan bunyi klik yang keras atau kilatan lampu. Posisi kami diusahakan untuk tidak menarik perhatian sehingga tidak mengganggu konsentrasi kelas. Saat itu, masing-masing kami sempat masuk ke dua kelas. Saya bahkan sempat melakukan dialog dengan sekelompok anak yang kebetulan saja tidak ada kegiatan pelajaran namun masih berkumpul di dalam kelas. Kelas-kelas mereka cukup luas, dan di area depan terdapat panggung kecil. Spontan saya mengajak semua anak duduk melantai dalam posisi melingkar sehinga masingmasing bisa saling lihat dengan lebih akrab dibanding saat duduk di kursi.
Sampai sekarang model belajar ini masih saya sukai. Namun tentu saja, pada saat mengampu kelas, kesempatan semacam ini langka. Bahkan di sekolah saya yang beberapa mata pelajaran khususnya diampu oleh guru bidang studi, tetap saja saya tidak bisa gunakan untuk pengamatan ini. Karena waktu-waktu tersebut biasanya kami gunakan untuk pertemuan koordinasi tim guru kelas parallel. Oktober lalu saat saya, sebagai penggerak Komunitas Guru Belajar, diundang oleh Jaringan Pendidikan Komunitas Adat (JapKa) ke Merauke, ada agenda berkunjung ke SMP-SMA Negeri Satu Atap Terintegrasi Merauke. Letaknya seru sekali, berada di dalam area Taman Nasional Wasior, sekitar 2 kilometer dari gerbang Taman Nasional. Kepala sekolah, Bapak Sergius Womsiwor, menyambut kami dengan sangat baik. Kunjungan yang masuk dalam agenda berisi tanya jawab dengan para guru, melihatlihat keseluruhan area sekolah termasuk
Karena agenda observasi tidak ada dalam rencana awal, sayangnya tidak semua pendamping pendidikan dari komunitas bisa ikut. Beberapa sudah pulang ke Jakarta dan Palu. Jadi saya hanya disertai oleh 4 orang pendamping pendidikan dari Silva Papua Lestari. Tempat pengabdian mereka ini berjarak tempuh 4-7 hari dari Merauke, di daerah Korowai.
Womsiwor, namun harus dilakukan pada hari yang berbeda karena masih ada beberapa agenda lain untuk hari itu.
Kelas yang baru saja mereka dapatkan adalah pelajaran Bahasa Inggris. Dalam tanya jawab tersebut, saya berusaha melibatkan sebanyak mungkin anak. Pada saat inilah teman-teman saya selesai dengan kelasnya dan mengikuti saya masuk ke dalam kelas. Mereka melihat bagaimana saya mencoba berinteraksi dengan kelas dan anak-anak yang baru beberapa menit saya temui. Sebelum kami semua keluar dari kelas, saya meminta mereka berbicara pada saya dalam Bahasa Inggris yang mereka kenal, meskipun hanya satu kata. Saya melakukannya secara bergilir di sepanjang lingkaran, sampai semuanya betul-betul kebagian giliran.
Ketika menemukan hal baik, kami bisa duplikasi di dalam kelas-kelas kami. Sebaliknya ketika menemukan hal yang kurang baik, atau tidak sesuai dengan nilai kami, maka kami akan memodifikasinya dengan strategi yang membangun. Lany Rh
8
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi I Tahun Kedua
Sebagai pengajar, hal yang akan kami lakukan di kelas-kelas kami adalah pada bagian apa yang bisa dimodifikasi. Dalam kegiatan kami ini, apapun yang kami lakukan menjadi bahan belajar buat kami. Ketika menemukan hal baik, kami bisa duplikasi di dalam kelas-kelas kami. Sebaliknya ketika menemukan hal yang kurang baik, atau tidak sesuai dengan nilai kami, maka kami akan memodifikasinya dengan strategi yang membangun.
Sesaat setelah keluar dari kelas, seorang teman saya berkomentar, “Oo, begitu ya mbak caranya membuat anak bisa aktif. Sampai anak yang paling pemalu pun jadi berani bicara.” Saya menimpali, “Betul Bang, tujuanku tadi kan membuat anak berpartisipasi, jadi aku minta kalimat Bahasa Inggris yang mereka bisa saja, tidak perlu yang rumit. Mereka meniru temannya pun boleh. Aku tidak mengkoreksi apapun, dan berterimakasih ke masing-masing anak yang sudah berani mencoba.” Kami membahas hasil pengamatan hari itu di kantor Silva Papua Lestari. Saking bersemangatnya, diskusi yang direncanakan hanya sekitar 1 jam ternyata berlangsung sampai hampir 3 jam. Di awal, saya meminta teman-teman menuliskan apapun temuan mereka saat observasi. Satu temuan dituliskan dalam 1 lembar kertas kecil. Menuliskan temuan ini cukup mudah, karena mereka baru saja melakukan observasinya dan bisa menuliskan apa adanya. Kertas-kertas kecil berisi hasil observasi itu kemudian kami kelompokkan menjadi 3, tentang guru, murid, dan sekolah.
atau perubahan yang bisa dilakukan. Tahap ini saya hantarkan dengan kalimat, “Apa yang bisa dimodifikasi?” Salah satu contohnya adalah beberapa catatan observasi mengenai guru. Dalam observasi kami ada beberapa strategi dan perilaku guru yang membuat proses belajar cenderung menjadi satu arah. Dalam pembahasan, kami identifikasi potensi yang terlihat saat kami observasi, seperti anak diajak berani tampil. Kemudian dalam langkah modifikasi bagian ini, kami menuliskan beberapa hal yang bisa kami lakukan. Antara lain guru memberi kesempatan pada anak untuk tampil, diantaranya dengan meghafal berpasangan; guru perlu menyederhanakan bahasa; guru perlu menggunakan konteks lokal; guru menyesuaikan proses dengan kecepatan belajar anak; guru perlu mengenal anak sebagai pribadi, yang akan tampak dalam penyebutan nama dan bukan panggilan yang berupa julukan.
Setelah hampir 3 jam kami berdiskusi, saling memberi ide, dan kadang diselipi bercanda, kami baru merasa selesai untuk hari itu. Tapi dalam benak teman-teman sudah mulai terbuka tentang bagaimana refleksi dilakukan secara positif. Ada beberapa poin temuan yang tidak kami bahas dalam uraian potensi dan modifikasi strategi, yang saya yakin akan bisa dilanjutkan teman-teman dengan mandiri.
Guru SD Yayasan Pendidikan Jayawijaya. Penggerak Komunitas Guru Belajar Timika.
[email protected]
Langkah selanjutnya, kami membahas beberapa saja dari semua kondisi yang kami temui. Saya mengajak teman-teman menggunakan bentuk kalimat yang bersifat positif. Jika waktu mengajar kelas anak-anak kita menerapkan disiplin positif, saat ini saya berusaha menerapkan model refleksi positif. Temuan yang kami pilih dari hasil observasi, saya sebut sebagai potensi. Bagaimanapun, semua hal yang mengandung kekurangan yang kami temukan masih bisa dikembangkan atau diubah ke arah yang lebih baik dan mendekati ideal. Langkah selanjutnya adalah mendaftar kemungkinan-kemungkinan pengembangan Surat Kabar Guru Belajar - Edisi I Tahun Kedua
9
Merdeka Belajar
Refleksi dari Temu Pendidik Nusantara Banyak anak Indonesia cita-citanya terbatas, hanya setinggi ruang kelas. Padahal setiap anak secara alami punya cita-cita setinggi langit. Artinya, mereka selama ini belum merdeka belajar. Tidak heran bila belajar masih jadi sesuatu yang dipaksakan pada anak. Hukuman dan hadiah jadi instrumen untuk memaksa anak belajar. Kondisi tersebut mendorong Kampus Guru Cikal untuk memilih Merdeka Belajar sebagai topik Temu Pendidik Nusantara III 2016. Karena tanggung jawab pendidik untuk menciptakan merdeka belajar bagi para pelajarnya. Kegiatan yang diadakan pada Jumat - Sabtu, 28-29 Oktober ini merupakan konferensi tahunan Komunitas Guru Belajar yang telah diadakan untuk ketiga kalinya. Kegiatan yang melibatkan 1000 pendidik ini berlokasi di Gelanggang Remaja Pasar Minggu untuk acara hari pertama dan hari kedua diadakan di SDN 12 & 13 Cilandak, SMA 28 & SMK 57 Pasar Minggu, SMP 68 Cipete dan Sekolah CIkal Cilandak. Pemilihan lokasi di gedung publik sebenarnya menunjukkan tiga pesan sekaligus yaitu Pertama, optimalisasi gedung publik untuk memberi manfaat pada masyarakat luas; Kedua, semangat kolaborasi dalam menyelenggarakan sebuah kegiatan; Ketiga, bertempat di ruangan yang menjadi tempat sehari-hari terjadinya praktik belajar sehingga apa yang terjadi di sini, bisa terjadi pula di sana dan berbagai tempat lainnya. Pada Temu Pendidik Nusantara, peserta terdiri dari kategori umum dan undangan Penggerak Komunitas Guru Belajar yang berasal dari 43 daerah. Para penggerak tersebut diundang sebagai bagian untuk menyebarkan manfaat positif ke seluruh nusantara. Menariknya, mereka tidak menginap di hotel tapi tinggal di rumah yang disediakan oleh orangtua siswa Sekolah Cikal bersama penggerak dari daerah yang berbeda. Dengan demikian, para penggerak belajar bukan saja di waktu dan tempat kegiatan, tapi juga belajar dari para orangtua siswa dan penggerak daerah lain, sehingga setiap pihak bisa mendapat sudut pandang yang bisa memperkaya wawasan. Hari pertama diawali dengan Pertemuan Penggerak Komunitas Guru Belajar untuk
10
merefleksikan pengalaman setahun dan merumuskan langkah ke depan. Lebih dari 80 guru Penggerak Komunitas Guru Belajar mulai dari Langkat di barat hingga Timika berbagi pengalaman dalam menghidupkan semangat belajar di daerah masing-masing. Dari hasil diskusi mereka menyimpulkan 3 kategori pengungkit perubahan yaitu kualitas pemimpin pendidikan (kepala sekolah dan dinas pendidikan), partisipasi aktif orangtua dalam pendidikan anak, dan budaya belajar di kalangan guru sendiri. Ketika 3 aktor: pemimpin pendidikan, orangtua dan pendidik telah berkolaborasi, maka perubahan pendidikan di suatu daerah menjadi keniscayaan. Pada sore harinya, Temu Pendidik Nusantara resmi dibuka dengan menyimak pandangan 4 anak tentang arti Merdeka Belajar. Setelah itu, Najelaa Shihab memberikan pidato utama tentang Merdeka Belajar. “Dengan merdeka belajar, pelajar akan tumbuh menjadi pelajar yang punya komitmen pada tujuan belajar, mandiri mengatur strategi untuk mencapai tujuan dan reflektif yaitu memantau proses dan kemajuan belajarnya,” tegasnya. Pembukaan usai dilanjutkan dengan Debat Publik Pendidikan yang dipandu oleh Najwa Shihab. Debat ini seharusnya menghadirkan dua kepala daerah yaitu Ridwan Kamil, walikota Bandung dan Suyoto, Bupati Bojonegoro sebagai sebuah pengenalan pada masyarakat betapa kepada daerah mempunyai konstribusi yang besar terhadap kemajuan daerahnya. Namun karena ada halangan, Ridwan Kamil tidak hadir dan diganti dengan video. Debat pun berubah menjadi percakapan seru antara Najwa Shihab dengan Kang Yoto, panggilan akrab bupati Bojonegoro.
persoalan tersebut. Bahkan penentuan definisi keberhasilan pendidikan pun bisa sangat beragam berdasarkan potensi, kebutuhan dan masyarakat setempat. Pada hari kedua, peserta menyebar di 6 lokasi untuk mengikuti 80 kelas lokakarya yang disajikan oleh Kampus Guru Cikal, Komunitas Guru Belajar dan puluhan komunitas pendidikan lainnya. Sekali lagi, semangat kolaborasi sangat terasa pada hari kedua ini. Pendidik, lembaga pendidikan, dan komunitas bergerak berbareng untuk kemajuan pendidikan Indonesia. Delapan puluh kelas lokakarya tersebut mengusung tema yang beragam, mulai topik umum seperti kurikulum efektif atau asesmen otentik hingga topik yang jarang dibahas di kalangan guru seperti pendekatan seni untuk belajar matematika hingga belajar matematika untuk membangun gerakan sosial. Beragam topik tersebut seolah menghadapkan peserta dengan berbagai menu yang bisa dipilih sesuai kebutuhan dan selera belajarnya. Peserta yang berasal dari daerah yang sama memilih untuk menyebar di kelas dengan topik berbeda agar bisa saling dibagikan ketika kembali ke daerah. Seorang peserta melalui Grup FB Komunitas Guru Belajar berkomentar, “Serunya ketemu dengan para pendidik dari berbagai daerah d Indonesia. Saatnya pendidik menambah ilmu untuk diaplikasikan di kelas. Terima kasih Kampus Guru Cikal”. Komentar lain mengenai Temu Pendidik Nusantara 2016 dapat dilihat di halaman lain dari Surat Kabar Guru Belajar ini. Akhir kata, meski Temu Pendidik Nusantara telah mengalami perubahan positif yang dirasakan langsung oleh peserta, namun ada beberapa catatan yang perlu dibenahi untuk kegiatan tahun depan. Dua catatan penting adalah pemilihan lokasi hendaknya yang lebih dekat sehingga memudahkan koordinasi dan pemilihan penyaji kelas yang lebih selektif sehingga bisa menyajikan pengalaman belajar yang lebih bagus lagi. Akhirnya, sampai jumpa kembali di Temu Pendidik Nusantara ke-4 pada tahun 2017. Terus menularkan kegemaran belajar!
Kang Yoto banyak mengungkap beragam persoalan pendidikan seharusnya diselesaikan dengan solusi yang beragam sesuai konteks
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi I Tahun Kedua
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi I Tahun Kedua
11
12
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi I Tahun Kedua
Bukan Sekadar Pertemuan
Refleksi Temu Pendidik Nusantara Temu Pendidik Nusantara telah diadakan tiga kali. Tiga kali pula format kegiatannya dikembangkan untuk mengoptimalkan perjumpaan antara para pendidik dari seluruh nusantara. Guru Iden menuliskan pengalamannya mengikuti Temu Pendidik Nusantara ke-3. Meski tidak mencakup semua kegiatan, tapi kedalaman pemaknaannya menggambarkan subtansi dari Temu Pendidik Nusantara. Bulan Oktober ini hujan sedang mengguyur sebagian besar Indonesia tak terkecuali Kota Jakarta. Hujan tak menyurutkan semangat para pendidik dari berbagai wilayah di Indonesia untuk bersama-sama berbagi cerita dalam sebuah acara yang inspiratif, Temu Pendidik Nusantara. Dari Bandung, saya bergegas berangkat pada hari H, beberapa pendidik sudah hadir di Jakarta sehari sebelumnya terutama yang berasal dari luar pulau Jawa. Mereka bersemangat untuk menghadiri dengan aktif pertemuan dan workshop yang sudah jauhjauh hari disampaikan dalam media publikasi yang disebarkan oleh panitia pelaksana. Pertemuan para penggerak Guru Belajar dilaksanakan di Gelanggang Remaja Jalan Ragunan no 1 Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Najeela Shihab, seorang pendiri sekolah Cikal dan Bukik sudah memandu acara sejak pagi, saya datang di tengah-tengah acara berlangsung. Walaupun datang di tengahtengah, saya sudah menangkap beberapa inti dari pertemuan sebelumnya. Diskusi interaktif Guru Belajar ini begitu memukau karena menghadirkan guru-guru inspiratif yang memberikan warna-warna baru buat pendidikan di Indonesia. Kalau cuma sekadar mengikuti acara duduk manis kemudian pulang itu sudah mainstream dilakukan pendidik di Indonesia. Memberikan dimensi yang berbeda pada setiap pertemuan itu baru antimainstream. Bertemu tokoh-tokoh yang menginspirasi dari berbagai pelosok
negeri ini adalah hal termewah yang saya syukuri saat itu. Mereka adalah guru saya, mereka adalah inspirator saya dalam bergiat. Sebut saja ada Lany Rh, Rizqy Rahmat Hani, Imanuel Lawalata, mereka memberikan dimensi yang menarik selama pertemuan. Bersama mereka saling menguatkan semangat, berbagi ide, berbagi keceriaan, dan tidak lupa bagi-bagi nomor telepon satu sama lain. Berbagi Inspirasi Lewat Diskusi Interaktif Kegiatan yang dilakukan para pendidik di Indonesia biasanya monoton, ada pemateri kemudian sisanya duduk manis. Dalam beberapa kesempatan saya selalu tak bisa tahan dalam kondisi seperti itu. Saya memilih keluar ruangan kemudian mencari ide segar di luar seminar atau workshop jika kondisi terjadi satu arah. Berbeda dengan seminar para pendidik umumnya, diskusi pagi itu adalah diskusi interaktif yang sangat saya sukai. Saya suka bukan hanya pengemasanya tetapi juga konten dan konteksnya. Sebut saja salah satu pemicu diskusi kelompok yang saya ikuti yaitu tentang bagaimana meningkatkan kreativitas dengan mendobrak senioritas yang muncul dalam lembaga pendidikan. Senioritas perlu dilawan menggunakan kreativitas dengan tetap memunculkan rasa hormat untuk mereka yang sudah duluan terjun dalam mendidik anak-anak. Yah, saya paling suka melawan jika muncul senioritas. Senioritas hanya melahirkan sikap arogan yang tidak membangun. Sikap ini bisa menghilangkan kreativitas dalam mendidik yang hadir dari para anak muda yang mau menjadi pendidik.
Diskusi lainnya tak kalah menarik terutama misalnya saat mendengarkan cerita bupati Bojonegoro yang dipandu oleh Najwa Shihab. Dengan gaya yang interaktif, Najwa mampu membawa peserta merasa terlibat dalam setiap diskusinya. Nah, di saat itu ada satu pertanyaan yang bisa juga menjadi satu pernyataan untuk Bupati Bojonegoro dalam persfektif saya yaitu sikapnya terhadap pendidikan alternatif. Baiklah, saya tuliskan saja di sini. Saya ingin tahu bagaimana pengelolaan sekolah-sekolah alternatif di Bojonegoro dalam mempertahankan keunikannya. Apakah dengan tetap mengikuti standarisasi yang diberikan oleh pemerintah atau berani untuk tetap bertahan sekalipun kemudian seolah terlepas dari akreditasi, misalnya! Nah hal ini ingin saya sampaikan mengingat salah satu tantangan sekolah alternatif adalah hantu standarisasi dari pemerintah. Spiritualisme Yang Penting! Tiba-tiba saja saya memilih konsep ketuhanan dari sekian banyak pilihan workshop yang bisa saya ikuti. Saya tahu konsep ketuhanan itu nyata tetapi bagaimana dari persfektif orang lain yang juga sudah lama berkecimpung dalam bidang keagamaan ini. Hasilnya! Sungguh luar biasa. Banyak sekali jawabanjawaban yang saya dapatkan dari Pak Ustadz, saya panggil pak Ustadz sebagai bentuk penghargaan dan penghormataan saya pada keilmuan yang sudah dimiliki pemateri saat itu. Ustadz menyampaikan dengan cara yang elegan bahwa untuk mengenal konsep ketuhanan ini hal yang utama dan mendasar perlu ditanamkan dalam diri anak adalah konsep spiritualisme. Spiritualisme ini sangat penting agar kelak anak tidak memahami agama sebagai aksiomatik. Agama bukan sekadar dogmatik saja tetapi agama adalah sebuah kebutuhan hidup yang memancarkan kebaikan untuk umatnya. Hal ini menampik kenyataan banyaknya orang yang beragama tetapi masih dipermukaan saja, isinya sangat jauh berbeda. Bungkus yang berbeda dengan isi, padahal seharusnya bungkus menggambarkan isi dari dalam. Nah, konsep ketuhanan yang didasari oleh spiritualisme ini seiring degan kajian-kajian di
Diskusi interaktif Guru Belajar ini begitu memukau karena menghadirkan guru-guru inspiratif yang memberikan warna-warna baru buat pendidikan di Indonesia. Iden Wildensyah Surat Kabar Guru Belajar - Edisi I Tahun Kedua
13
Studi Group yang saya ikuti saat membahas pemikiran Rudolph Steiner atau yang menginisiasi Sekolah Waldorf, bahwa mengajarkan agama itu lewat spiritualisme bukan lewat dogma-dogma yang sekarang bertebaran di sekolah-sekolah. Menginternalisasi nilai-nilai agama dalam diri pendidik adalah hal utama sebelum mengajarkan agama yang baik pada anak didik di sekolah atau di rumah. Internalisasi ini menjadi sangat penting karena nilai inilah yang akan memancarkan kebaikan untuk anak-anak kemudian diserapnya menjadi sebuah kebaikan yang universal. Tentang hal ini saya mengingat sebuah tulisan dari Emha Ainun Najib berikut ini: Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya: kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama.
Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama. Bila kita cuma puasa, shalat, baca al-quran, pergi kebaktian, misa, datang ke pura, menurut saya, kita belum layak disebut orang yang beragama. Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin, memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang beragama. Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan personalnya, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial. Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya. Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama. Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum mustadh’afin (kaum tertindas). Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya. Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan.
Idealnya, orang beragama itu mesti shalat, misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang.
Spiritualisme dalam Kebersihan Pangkal Kesehatan Di sesi selanjutanya saya bernyanyi bersama-sama. Tidak bertolak belakang, keduanya memiliki nilai spiritualisme yang menarik satu sama lain. Dalam sesi workshop kedua itu saya bertemu dengan para pegiat
pendidikan alternatif yang sudah lama melakukan kegiatan peduli musik anak seperti Karina dan Ribut Cahyono. Sungguh sebuah pengalaman yang sangat menyenangkan saat bersama-sama mengkaji kedalaman sebuah arti musik untuk anak-anak. Terlebih dari musik bukan sekadar lagu yang akan dinyanyikan dan harus dihapal tetapi lebih dari itu, musik akan menumbuhkan sense yang berguna untuk anak-anak.
masih kotor di beberapa tempat, kamar mandi atau wc siswa di beberapa sekolah penuh dengan coretan-coretan, berbau tak sedap, bahkan tak jarang kotornya sangat keterlaluan. Pertanyaannya apakah siswa atau guru tidak bisa membaca makna dari kebersihan sebagian dari iman? Mereka bisa membaca, tahu tapi hanya sekadar tahu tidak mempraktikannya dalam keseharian. Persis seperti beragama, banyak yang tahu ayat-ayat tetapi pada praktiknya masih jauh dari nilai-nilai yang terkandung dalam ayat tersebut.
Bernyanyi selanjutnya adalah kebersihan pangkal kesehatan! Jauh dari pembahasan awal di tulisan saya tetapi lagu sederhana yang dinyanyikan untuk anak-anak biasanya memiliki nilai yang luar biasa besar. Less is more, semakin sedikit semakin besar makna yang didapatkan oleh anak. Daripada banyak-banyak instrumen, melodi, dan lirik yang aduhai banyak, cukup sedikit tapi akan memberikan banyak makna untuk anakanak. Lalu, apa spiritualisme dalam sebuah kalimat ‘kebersihan pangkal kesehatan?’ Kalau di sekolah-sekolah sering terlihat banyak sekali slogan-slogan yang dipampang di pintu atau di dalam kelas. Misalnya berlomba-lomba dalam kebajikan, jangan menunda pekerjaan, jagalah kebersihan, dan kebersihan sebagian dari iman. Akan tetapi kenyataan
14
Sangat komplek dan begitu mendalam bahasan ini buat saya. Inilah kenapa saya katakan bukan sekadar pertemuan, ini adalah tentang berbagi inspirasi, berbagi semangat, dan berkolaborasi. Kolaborasi dalam sebuah nyanyian terasa merdu saat semua orang diberi kesempatan yang sama dengan apresiasi yang sama pula dari semuanya. Tak bisa berdiri sendiri, iyah! Nyanyian terasa merdu saat dinyanyikan dengan penghayatan yang dalam. Jadi, Mas Ibut ayo ambil gitarnya mari bernyanyi! “Kebersihan pangkal kesehatan!” Iden Wildensyah, bergiat di Sekolah Alam Bandung, penggiat pendidikan alternatif dan penggerak Komunitas Guru Belajar Kota Bandung. Aktif di Komunitas Studi Group Jagad Alit Waldorf. Senang jalan-jalan dan menulis di www.idenide.blogspot.com Surat Kabar Guru Belajar - Edisi I Tahun Kedua
Memandu Kelas Perdana
Refleksi Temu Pendidik Nusantara Temu Pendidik Nusantara dirancang bukan hanya menjadi kegiatan bagi guru mempelajari strategi dan cara belajar baru, tapi media bagi guru untuk menampilkan praktik cerdas pengajaran dan pendidikan yang telah dilakukan. Karena Komunitas Guru Belajar dan Kampus Guru Cikal percaya setiap guru bisa berkreasi sesuai dengan potensi dan kebutuhan di setiap kelasnya. Tulisan ini menampilkan kisah Guru Lany dalam memandu kelas perdananya. Awal semester lalu, jatah tiket saya sudah habis, dan saya berpikir mungkin tidak akan datang ke TPN di Jakarta seperti tahun lalu. Tapi Mas Bukik menghubungi saya untuk diundang sebagai pengisi kelas. Antara senang, bangga, bersemangat, dan bingung. Perasaan saya campur aduk. Sekalipun galau, tetap saja saya berusaha menulis rancangan kelas saya. Karena saya suka sekali dengan proses kelas yang pernah saya ampu, jadilah saya menulis tentang bagaimana membuat proses belajar yang menghargai lingkungan sekitarnya secara maksimal. Sambil menulis, proses pembicaraan saya dengan Mas Bukik sebagai pengundang, saya sampaikan pada atasan saya. Sekolah tahu aktifitas saya di Komunitas Guru Belajar, dan bagaimana saya selalu berusaha mengajak teman-teman guru dari Timika untuk belajar di tempat kami. Beliau berjanji akan mengusahakan untuk membicarakan kemungkinan untuk ikut serta pada Direktur dan bagian administrasi sekolah. Kesempatan bertemu dengan Bapak Direktur saat beliau ke kampus saya, tidak saya siasiakan. Saya presentasikan rencana saya. Di luar dugaan, beliau meminta tema diubah, diminta disesuaikan dengan peran baru saya di sekolah sebagai pendamping program pembelajaran sosial-emosional. Ini kebingungan berikutnya buat saya. Bagaimana tidak, saya harus cepat mengubah materi, dan mempresentasikan rencana pada Pak Direktur yang kunjungannya
hanya 3 hari di kampus saya. Namun saya berhasil, rancangan sederhana bisa saya tulis dalam semalam. Isinya adalah garis besar kelas yang akan saya ampu. Keesokannya saya kembali sampaikan pada Pak Direktur, sekaligus saya mendapat keputusan untuk bisa berangkat. Ini berkaitan dengan ijin meninggalkan sekolah dan bagaimana pemberangkatan saya. Di sini saya baru tahu tentang kesalahpahaman mereka. Setelah saya luruskan bahwa keikutsertaan saya tidak saja sebagai peserta, namun akan menjadi pembicara dalam salah satu di antara 80 kelas yang direncanakan, mereka memberi dukungan penuh. Bagian pertama selesai. Sekarang tugas saya untuk menyempurnakan rancangan kelas saya. Ini tantangan terbesar, menyajikan kelas untuk para pendidik yang bahkan saya tidak bisa membayangkan latar belakangnya. Selama ini saya terbiasa menyesuaikan kelas yang saya buat dengan latar belakang peserta. Apakah itu anak-anak dengan usia tertentu, relawan pendidikan, guru di tingkat kelas tertentu, atau komunitas. Yang saya tahu, Komunitas Guru Belajar ini partisannya lintas tingkat, bahkan lintas bidang. Sepanjang proses merancang ini saya banyak berkomunikasi dengan beberapa rekan yang cukup dekat dengan saya di KGB, sesama pengisi kelas. Kami berdiskusi bagaimana membuat aktifitas-aktifitas kelasnya, bagaimana membuat kelas bisa cukup efektif, bahkan berbagi kekhawatiran. Selain dengan beberapa orang tersebut,
Mas Bukik juga membuat forum grup khusus tempat kami bisa berbagi rancangan dan kegelisahan. Bagaimanapun, sebagian di antara kami, termasuk saya, baru pertama kali ini menyajikan kelas di lingkungan yang besar dan tidak terbayang pesertanya. Mengenai materi saya sendiri, pergantian tema membuat saya harus bekerja keras mempelajari banyak hal dalam waktu singkat. Program pembelajaran sosial-emosional yang saya dampingi bukan hal baru untuk saya, sebelumnya saya sudah pernah menjalankan di kelas yang saya ampu, kelas 2 SD. Namun dengan perkiraan kelas yang tidak terbayang, saya harus siap untuk menyajikan kelas secara lintas tingkat. Program ini tersedia untuk tingkat pra TK sampai kelas 8. Cukup lengkap, namun juga sangat luas. Saya berusaha membuat sarinya untuk bisa disajikan pada kelompok yang berbeda dalam satu waktu. Dalam rancangan tersebut saya masih harus mencari cara agar tetap membuat masing-masing kelompok cukup aktif. Di awal saya berencana untuk mengelompokkan peserta ke dalam tingkat kelas masing-masing. Saya mengharapkan akan ada kelompok guru TK, kelas kecil (1-3 SD), kelas besar (4-5 SD), dan remaja (kelas 6 SD ke atas). Jika nantinya ada pendidik yang tidak punya kelas usia tertentu, seperti pendamping pendidikan di kelompok belajar, guru mata pelajaran khusus, atau profesi pendidik lain, saya akan membebaskan memilih kelompok tingkat kelas yang diinginkan. Tujuan pengelompokan ini agar saat berdiskusi, peserta bisa berbincang fokus pada anak-anak dampingan masing-masing. Karena bagaimanapun, mendampingi anak dalam perkembangan sosial-emosionalnya ini harus memperhatikan tahap pertumbuhan mereka. Benar saja, pada saat kelas berlangsung, setidaknya ada Kakak Theo yang sehari-harinya mendampingi pendidikan di komunitas adat Jambi. Muridnya terdiri dari anak lintas usia dan lintas fase perkembangan. Beliau akhirnya memilih untuk berada di kelompok kelas
Mayoritas peserta menyatakan akan lebih sering mendengar anak dan berusaha lebih berempati pada anak dengan menggunakan sudut pandang anak dalam keseharian di sekolah. Lany Rh Surat Kabar Guru Belajar - Edisi I Tahun Kedua
15
kecil, dengan pertimbangan mayoritas anak dampingan berusia sekitar 6-10 tahun. Pada bagian materi, dalam rencana saya bagi menjadi 3 yaitu keterampilan belajar, keterampilan empati dan pertemanan, serta simulasi pengelolaan emosi. Setelah ketiga materi tersebut, akan ada bagian penyelesaian masalah yang memerlukan pemahaman terhadap ketiga materi sebelumnya. Sesi akan ditutup dengan menuliskan rencana aksi para
peserta di kelas atau sekolah masing-masing. Di dalam keseluruhan materi, saya selalu menggunakan model diskusi kelompok kecil atau role play sederhana. Setiap bagian menggunakan contoh kasus umum namun dapat mewadahi masing-masing tingkatan kelas. Kelas yang kami tempati tidak luas dibanding jumlah peserta, sehingga saya hanya mengelompokkan peserta dengan peserta lain yang berada di dekatnya. Di sini saya memodifikasi rancangan yang tadinya lebih aktif dengan perpindahan tempat duduk.
Di antara ketiga materi, yang paling banyak makan waktu adalah mengenai keterampilan belajar. Karena di dalamnya ada role play dan refleksi mengenai kemampuan mendengar dan perasaan didengarkan. Bagian tersebut juga merupakan dasar dari kedua bagian lain. Ketika anak sudah terbiasa untuk mendengar dan didengarkan, tugas kita mendampingi tumbuhnya empati dalam pertemanan akan lebih mudah.
Rancangan Kelas Pendampingan Sosial-Emosional Bagian
Strategi
Harapan
Membagi peserta dalam kelompok kelasnya
Modifikasi ruangan dan informasi pada peserta untuk menempati kelompok usia anak dampingannya
Peserta memahami bahwa pendampingan pembelajaran sosial-emosional anak sangat terkait dengan tingkat usia anak. Hal ini terkait dengan fase pemikiran dan pertumbuhan sosial-emosional anak.
Brainstorm tentang potensi masalah, faktor resiko permasalahan, dan faktor pendukung penyelesaian masalah
Diskusi kelompok tingkat kelas
Peserta menemukan ketiga poin untuk membantu berefleksi di akhir kegiatan
Keterampilan belajar : Fokus Mendengarkan secara aktif Menyampaikan pendapat Membuat rencana belajar
Role play Diskusi berpasangan Refleksi kelas Praktek tari dengan mengikuti penanda (sekaligus sebagai program antara)
Peserta mendapatkan pehamaman tentang bentuk keterampilan belajar tersebut di tingkat usia masing-masing anak dampingan
Keterampilan empati dan pertemanan Komunikasi Memahami orang lain Menghargai perbedaan Menyampaikan ketidaksetujuan
Role play Refleksi Diskusi (saya berkeliling ke masing-masing kelompok karena hasilnya akan sangat berbeda satu sama lain)
Peserta dapat menggunakan ketarmpilan belajar yang sudah dipelajari untuk diterapkan pada saat mempelajari keterampilan empati
Simulasi Pengelolaan Emosi
Simulasi menenangkan diri dengan mengatur nafas
Peserta mendapatkan ide untuk tindakan awal menemani anak menghadapi emosinya
Simulasi penyelesaian masalah
Diskusi kasus (field trip) – kelompok kecil
Peserta dapat menerapkan semua keterampilan yang dipelajari dalam penyelesaian kasus (disesuaikan dengan usia anak dampingan)
Review
Diskusi kelompok tingkat kelas
Peserta meninjau kembali potensi masalah yang ditulis di awal dan melihat kemungkinan penyelesaiannya
Simulasi Pengelolaan Emosi
Simulasi menenangkan diri dengan mengatur nafas
Peserta mendapatkan ide untuk tindakan awal menemani anak menghadapi emosinya
Menuliskan rencana aksi (sekaligus dijadikan sebagai syarat untuk keluar dari kelas)
Diskusi kelompok tingkat kelas
Peserta merumuskan satu tujuan untuk dilakukan di sekolah/kelas/lingkungan masing-masing untuk mendampingi perkembangan sosial-emosional anak
16
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi I Tahun Kedua
mengurangi diskusi dan memberi contoh tentang cara menenangkan diri. Kelas kami memang padat, namun kami masih sempat melakukan diskusi dengan contoh kasus untuk praktek penyelesaian kasus sederhana. Dari semua diskusi tersebut, kami kemudian melihat kembali potensi kasus yang kami tuliskan di awal. Kami meninjau kembali bagian mana yang mungkin bisa diatasi dengan keterampilan-keterampilan yang kami pelajari. Di akhir kegiatan, saat menuliskan rencana aksi dalam satu kalimat, mayoritas peserta menyatakan akan lebih sering mendengar anak dan berusaha lebih berempati pada anak dengan menggunakan sudut pandang anak dalam keseharian di sekolah. Dari sini saya bisa mengukur bahwa para peserta cukup memahami tujuan kelas kami sepanjang 3 jam. Proses merancang dan pelaksanaan kelas ini adalah pembelajaran besar buat saya. Hasil saya kali ini adalah bahwa saya menjadi lebih percaya diri untuk lebih banyak menemani rekan-rekan pendidik seperti yang saya citacitakan. Terimakasih para pendidik yang sudah memilih kelas saya dan aktif dalam setiap proses kegiatan. Terimakasih juga Kampus Guru Cikal yang sudah memberi saya kesempatan untuk berbagi. Terimakasih Sekolah Yayasan Pendidikan Jayawijaya untuk dukungan besarnya.
Untuk melatih fokus sebagai salah satu keterampilan belajar yang penting pada anak usia pra-TK sampai kira-kira kelas 3, terdapat aktifitas tari. Kegiatan ini saya praktekkan di kelas sekaligus untuk program antara setelah sekian waktu duduk berdiskusi. Caranya adalah dengan menggunakan tanda untuk beberapa bentuk gerakan tertentu yang disepakati Surat Kabar Guru Belajar - Edisi I Tahun Kedua
bersama. Peserta mempraktekkan gerakan tersebut sesuai tanda yang saya acungkan dengan diiringi lagu. Keterampilan mendengarkan dan perasaan didengarkan kembali muncul dalam pembahasan ketika kami mendiskusikan tentang pengelolaan emosi. Namun waktu kami sudah tinggal sedikit sehingga saya
Guru SD Yayasan Pendidikan Jayawijaya. Penggerak Komunitas Guru Belajar Timika.
[email protected]
17
Kisah Kita, Kita Bersama
Refleksi Temu Pendidik Nusantara
“Hallo selamat malam, maaf ya malam-malam gini malah saya minta kumpul dulu”, sapa bu Winda dengan senyum merekah diikuti suaminya dan anak-anaknya. Sambutan hangat itu membuat saya tertarik.
Kolaborasi adalah salah satu prinsip nilai yang diyakini oleh Komunitas Guru Belajar dan Kampus Guru Cikal. Bahwa perubahan pendidikan bukanlah peran dan kontribusi satu dua pihak, tapi gotong royong semua pihak. Prinsip nilai tersebut tercermin pula dalam penyelenggaraan Temu Pendidik Nusantara. Bukan hanya guru, panitia dan peserta, yang berperan, tapi juga komunitas dan orangtua. Bagaimana keseruannya? Simak beberapa tulisan pendek dari peserta Temu Pendidik Nusantara 2016 ini Saya adalah tipe orang yang agak kikuk jika diminta menginap di rumah orang baru, dan belum mengenalnya. Itu terjadi waktu TPN (Temu Pendidik Nusantara) 2016 yang berlangsung bulan Oktober kemarin. Awalnya ingin mengikuti teman-teman lain yang menyewa hotel atau losmen yang ditempati untuk menginap selama TPN 2016. Banyak hal yang menjadi alasan, selain kikuk, saya merasa akan banyak merepotkan tuan rumah, dan tidak leluasa bergerak. Sampai dua hari menjelang TPN 2016 akan berlangsung, saya belum memutuskan untuk menginap di mana.
WA yang berisi penggerak dari Sanggau, Purwakarta, Yogyakarta, Pekalongan, Langkat dan Lubuklingau, serta Bu Winda, tuan rumah kami nanti. Obrolan di WA mengalir hingga kereta saya melaju ke Pasar Senen Jakarta. Dan di sanalah saya memutuskan untuk ikut menginap di rumah bu Winda.
Inginya seperti TPN 2015, menginap di rumah Bu Najelaa Shihab. Namun apa daya, konsep yang panitia buat tidak seperti tahun kemarin. Di TPN 2016 ini, para penggerak yang datang dari berbagai daerah diinapkan di rumah orangtua/wali siswa Sekolah Cikal.
Pada hari kedatangan tidak ada yang spesial sama sekali. Beberapa penggerak belum datang di Scooter 99, hanya saya dan pak Decky, penggerak dari Sanggau yang sudah di lokasi. Namun karena hari sudah malam, dan keesokan harinya akan ada TPN 2016 hari pertama kami langsung istirahat tanpa ada interaksi baik sesama penggerak maupun tuan rumah.
Di kegalauan, tiba-tiba ada seseorang yang mengirim WA kepada saya. Ternyata orang tersebut adalah teman yang ditempatkan di rumah yang sama dengan saya. Ia meminta saya membuat grup WA untuk mempermudah komunikasi antarpenggerak yang menginap di rumah bu Winda. Ya, namanya Bu Winda, orangtua siswa Sekolah Cikal yang rumahnya menjadi tempat saya dan beberapa penggerak menginap. Karena keterpaksaan itulah, akhirnya saya membuat grup WA. Sampai membuat grup WA-pun saya belum memtuskan pilihan untuk menginap di mana. Obrolan dimulai di grup
Karena ada penggerak lelaki dan perempuan, akhirnya kami dipisah. Penggerak perempuan menginap di rumah Bu Winda dan penggerak laki-laki menginap di Scooter 99, tempat usaha keluarga bu Winda.
Sesudah TPN 2016 hari pertama selesai, semua penggerak baik yang menginap di rumah bu Winda atau Scooter 99 diminta kumpul terlebih dahulu di rumah bu Winda. Malas sekali rasanya, harusnya istirahat dan tidur karena lelah seharian mengikuti TPN 2016. “Ini kan malesnya kalau nginap ikut-ikut orang, nggak bebas”, batinku. Mobil akhirnya sampai di depan gerbang rumah bu Winda. Ternyata di gerbang sudah ada Bu Winda, suaminya dan ketiga anaknya.
“Hallo Saya Abraham”, sapa suami bu Winda. “Ini perkenalkan Sha, Alhea, dan Zack” Kami pun masuk dengan perasaan yang berbeda dari sebelumnya. Di rumah bu Winda sudah tersaji makanan ringan, kopi, jahe, susu. “Silakan ambil sendiri, anggap saja rumah sendiri” kata pak Abraham. Sembari kami mengambil makanan dan minuman. Sha, Alhea dan Zack bermain di sekitaran kami, tanpa kikuk mereka main mobil-mobilan, mengeluarkan beberapa buku yang membuat kami merasa menjadi bagian di dalamnya. Lalu pak Abraham meminta Sha, Alhea dan Zack memperkenalkan diri. Dimulai dari Sha yang memiliki hobi skateboard, ia bercerita tentang almarhum kakeknya. “Nama kakekku adalah Houtman Zainal Arifin. Dulu kakek adalah seorang office boy dan karena kerja kerasnya ia bisa menjadi vice president di bank” Sha terdiam. Ia sepertinya bingung akan berbicara apa lagi. “Lalu kakek setelah itu apa Sha?” tanya pak Abraham. “Ehm.... kakek mendirikan yayasan untuk anakanak yatim piatu.” Kemudian kami semua terpana mendengar cerita Sha. Cerita yang mungkin tidak kami dapatkan jika hanya mengikuti kegiatan inti TPN 2016. Kini giliran Alhea yang bercerita, kami penggerak mendengarkan dengan baik. Bu Winda dan pak Abraham di belakang anakanak. “Pah, pakai bahasa Inggris ya?” tanya Alhea pada papah.
Jika diibaratkan film, film ini berjudul “3 Hari untuk Selamanya”, bahwa 3 hari Temu Pendidik Nusantara 2016 akan sangat berarti bagi kehidupan saya selamanya. Rizqy Rahmat Hani
18
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi I Tahun Kedua
Pak Abraham diam, karena mungkin takut para penggerak tidak paham yang disampaikan oleh Alhea.
harus mau belajar sepanjang hayat dengan MERDEKA. Tanpa paksaan atasan atau orang lain.
“Tenang Alhea, kan ada Bunda Endang di sini, nanti Ibu terjemahkan kepada teman-teman” Bu Endang penggerak dari Lubuklingau membuat Alhea menjadi percaya diri kembali.
Setelah sesi hari 1 usai dengan materi sangat menarik, semakin meyakinkan kami bahwa seorang pendidik haruslah seseorang yang lifelong learner. Kemudian kami diberikan persinggahan di rumah salah satu walimurid Sekolah Cikal di rumah ibuk Atik Lawrence, namun karena beliau tinggal dirumah lain tinggallah kami ber-6 bersama rekan-rekan guru dari Makassar di rumah itu. Kami dipersilahkan untuk menggunakan semua fasilitas yang ada dan menganggap sebagai rumah kami sendiri.
Dengan bahasa Inggrisnya yang lancar Alhea menceritakan sekolahnya di Cikal, bagaimana ia berinteraksi dengan teman, gurunya. Dari cerita Alhea kami mengetahui interaksi guru dan siswa di sekolah Cikal yang membuat kami lagi-lagi belajar. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 23.30 WIB, waktu berjalan begitu cepat. Perjuampaan yang begitu singkat dengan keluarga pak Abraham namun bermakna. Sebelum kami pulang ke Scooter 99, Pak Abraham meminta Sha dan Alhea untuk masuk kamar untuk mengambil sesuatu. Ternyata Sha dan Alhea mengambil buku. Buku tersebut kemudian ditandatangani oleh pak Abraham sebelum diberikan kepada kami. Buku tersebut adalah buku yang menceritakan perjuangan hidup ayah pak Abraham yaitu almarhum Houtman Zainal Arifin, yang berjudul From Zero to Zero dan buku Berbagi Hati. Malam itu saya baru sadar konsep yang ditawarkan panitia TPN 2016. Saya belajar banyak dari keluarga pak Abraham. Dari cerita Sha, cerita Alhea bahkan dari senyum Zach yang mengembang itu. TPN 2016 tidak sekadar menyajikan penyaji-penyaji handal, namun cerita-cerita inspiratif dari tuan rumah. Jika diibaratkan film, film saya ini berjudul “3 Hari untuk Selamanya”, bahwa 3 Hari TPN 2016 akan sangat berarti bagi kehidupan saya selamanya. Terima kasih panitia TPN 2016. Rizqy Rahmat Hani, Penggerak Komunitas Guru Belajar Pekalongan
Dua belas jam perjalanan kami lalui dengan menggunakan bus umum untuk menjalani hajat besar Komunitas Guru Belajar yaitu Temu Pendidik Nusantara. Sebuah kegiatan dimana pendidik dari hampir seluruh Indonesia berkumpul, untuk kembali memantapkan hati bahwa seorang pendidik
Sebenarnya kami ingin mengucapkan terimakasih secara langsung, namun ternyata Tuhan belum mengijinkan. Semoga kebaikan dari ibu Atik Lawrence sekeluarga yang telah memberikan kami tempat untuk menginap selama gelaran TPN dicatat sebagai amal. Terimakasih TPN, terimakasih bu Atik Lawrence sekeluarga Armia Arjun, Penggerak Komunitas Guru Belajar Wonosobo
Temu pendidik Nusantara (TPN) tahun 2016 memberikan pengalaman yang berharga bagi saya. Tidak hanya dalam penyelenggaraan pertemuan pendidik dan lokakarya, tetapi juga saya di bantu tinggal di rumah keluarga wali murid Cikal. Adalah Bu Neneng dan keluarga yang menjadi tuan rumah. Ibu Neneng dan keluarga menerima saya dan kawan saya sangat baik. Sudah malam saat kami tiba di Rumah beliau di green Andara pondok labu. Tapi beliau dan suami masih semangat menyambut kami, menjamu dengan makanan ringan dan segelas teh hangat sambil mengobrol kan segala hal setelah perkenalan awal kami. Dalam obrolan kami, juga membicarakan pendidikan tentang Putri mereka yang bersekolah di Cikal. Si kakak yang kelas 9, dan si adek kelas 1 SD. Si kakak yang cerita tentang beragam project dan portofolio yang mnj muatan belajarnya sehari hari di Cikal. Saya baru ketemu si adek pagi hari nya saat adek bantuin masak, kata Bu Neneng si adek pingin jadi chef.
Melalui pembicaraan lewat obrolan dan ramah tamah, saya merasa spektakuler bertemu dengan keluarga baru ini, melihat sisi sederhana, sopan santun dan keramahan, serta demokratis dalam mendampingi anak anak nya. Dalam belajar, dan dalam mendukung apa yang diinginkan anak-anaknya. Satu hal lagi yang saya dapatkan adalah bagaimana keluarga bisa menjadi saling dukung satu dengan yang lain untuk menciptakan suasana kekeluargaan yang erat, untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak-anaknya. Saya terinspirasi untuk menjadi salah satu yang mencontohnya. Sayangnya hanya sehari kami tinggal di sana, sebab kami harus mengikuti lokakarya hari kedua TPN. Tetapi ada rasa bahagia dalam hati saat kami mengenal keluarga ini. Saat nya pamit, dan proses belajar menanti, sebagai pendidik dan sebagai orang tua bagi anak anak kami. Syafi’ Maulida, Peggerak Komunitas Guru Belajar Kediri
Assalamualaikum wr.wb Bismillahirahmanirrahim… “Sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat buat yang lain”. Itu lah prinsip yang saya tanamkan dalam hidup saya. Kecintaan saya terhadap pendidikan berawal dari kembalinya saya ke kampung halaman setelah menikah 4 tahun. Saya diterima sebagai seorang guru di SMA yang merupakan sekolah dimana saya mengenyam pendidikan dahulu. Kebahagiaan menyelimuti saya dengan situasi pekerjaan yang melibatkan begitu banyak siswa-siswi dengan berbagai sifat, tingkah laku yang melibatkan perasaan yang tidak saya temui dalam pekerjaan saya sebelumnya. Singkat cerita saya menemukan sebuah komunitas di Facebook yaitu Komunitas Guru Belajar. Saya mulai aktif berbagi pengalaman dengan para guru yang tergabung di KGB untuk menambah wawasan dan berbagi praktik cerdas yang akan saya duplikasi di tempat saya mengajar. Hari terus berlalu kurang lebih 1 tahun tibalah waktu yang sangat mendebarkan buat saya
Satu hal lagi yang saya dapatkan adalah bagaimana keluarga bisa menjadi saling dukung satu dengan yang lain untuk menciptakan suasana kekeluargaan yang erat, untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak-anaknya. Syafi’ Maulida Surat Kabar Guru Belajar - Edisi I Tahun Kedua
19
(mungkin buat semua anggota KGB) yaitu “Temu Pendidik Nusantara”. Awalnya saya tidak tahu apa itu TPN dan saya dijelaskan oleh Mas Bukik. Dan hari yang dinantikan tiba yaitu 28 oktober 2016 saya berangkat ke Jakarta sendirian tanpa teman dan tanpa tahu tujuan, alamat pastinya,tempat seperti apa dan sebagainya.. Perasaan senang, takut berbaur menjadi satu. Dan tekad lah membuat saya memberanikan diri. Alhamdulillah saya sampai di bandara Halim Perdana Kesuma dengan selamat dan… pengalaman saya pun dimulai heheee.. Hari Pertama : Saya naik Grabbike menuju tempat pertemuan TPN yaitu Gelanggang Remaja Pasar Minggu. Setelah bertemu si abang ojek dan memberikan alamat sesuai dengan postingan di FB KGB (padahal suda minta alamat sama mas bukik tapi di jawab Cuma bilang 1 jam dari bandara hiks..). Selama perjalanan perasaan saya was-was, takut, kok jauh amat yah..kalau dikampung saya kemana-mana 5 menit nyampe hahahaa… dan terjadilah kekhawatiran saya, saya dibawa sampai ke GOR Ragunan yang memakan waktu perjalanan 1 jam lebih si abang bilang “sudah nyampe mbak”. Tapi saya curiga kok gak ada tanda2nya hihiii…Saya tanya ke penjaga “Pak ini Gelanggang Remaja tempat diadakan Temu Pendidik ya? Si Bapak menjawab “iya bener ini gelanggang tapi gak pakai remaja Mba..haha... Mulailah perasaan ini bercampur aduk (takut kenapa-kenapa kalau ditinggal abang ojek) terus saya mau kemana lagi wkwwkkk... Saya tenangkan diri terus saya ajak si abang berdialog dan akhirnya sepanjang jalan si abang ojek bertanya itu alamat (ternyata selama ini namanya beda hihii). Sampai pada acara yang dinantikan saya bertemu dengan anggota KBG dari segala penjuru daerah (bias dikatakan orang-orang hebat yang punya visi yang sama). Acaranya seru dan bermanfaat buat kemajuan pendidikan di Indonesia dan kemajuan alam pikir diri sendiri khususnya. Antusias peserta saling betanya dan menjawab membuat suasana sangat hidup..Kami disuguhkan dengan acara dari awal hingga akhir yang sangat memuaskan Selama di Jakarta saya dan salah satu peserta (Bu Endang) tinggal di rumah orang tua salah satu siswa Cikal yaitu Kediaman Keluarga bapak Abraham Z Houtman dan Ibu Winda.
Sungguh luar biasa penyambutan dari keluarga mereka. Saya, bu Endang, Pak Rizky, Pak Decky, Pak. Dian, Pak Abie di jemput dari GOR menuju rumah beliau. Sesampainya di rumahnya kami disambut hangat oleh keluarga mereka dan anak-anaknya Sharita, Aleyya dan Zack. Sungguh keluarga yang sangat sukses dan harmonis menurut saya. Dengan kehidupan yang sangat..sangat lebih dari berkecukupan tetapi dalam mendidik anak sangat memperhatikan etika, cara bicara, keterbukaan dan sangat memegang prinsip dan kerendahan hatinya yang sangat membuat saya kagum. Malam itu beliau berbagi cerita perjalanan hidup almarhum orang tua beliau yaitu almarhum Houtman Z Arifin (mantan pegawai rendahan menjadi Vice President Citibank). Wow amazing buat saya. Kami diberi kenangkenangan buku yang sangat inspiratif dan menumbuhkan semangat berjudul “Berbagi Hati dan From Zero To Zero beserta tanda tangan aslinya…sungguh bahagianya bisa mengenal keluarga mereka lebih dekat, karena saya dapat belajar dari mereka. Tapi sayang waktu yang begitu singkat sehingga di pagi hari ke-2, kami berpamitan untuk mengikuti TPN dan akan pulang ke kampung halaman masing-masing. Sungguh Temu Pendidik Nusantara adalah pengalaman yang tak terlupakan. Sungguh banyak Pelajaran yang saya dapat. Terima kasih KGB. Mas Bukik, Bu Najeela, semua yang terlibat di TPN dan teruntuk keluarga Pak Abraham Houtman dan Bu Winda. Semoga Allah membalas kebaikan semuanya. Mudahmudahan kita bertemu di lain waktu..amiin. Wassalamualaiku wr.wb Pulau Berandan, 8 Desember 2016 Helda Ramadhani, Penggerak Komunitas Guru Belajar Langkat
Saya sangat bersyukur dapat undangan mengikuti kegiatan TPN 2016 dan tinggal di rumah orang tua siswa yakni Bu Ana. Acara TPN ini sangat bermanfaat sekali untuk menimba ilmu dan pengalaman dari peserta dan narasumer yang begitu hebat, serta saya mendapat pelayanan dari tuan rumah yang sangat ramah sehingga kami merasa kerasan
dan tidak canggung atau sungkan. Kami berbincang berbagi cerita dan pengalaman. Ternyata ibu tuan rumah merupakan ibu super dan senang akan pendidikan yang sedang menempuh pendidikan menjadi guru PAUD padahal beliau sudah bekerja. Beliau sangat baik ketika kami mau mengikuti kegiatan hari kedua. Kami berangkat difasilitasi GoJek sehingga kami bisa tempat tujuan tepat waktu. Terima kasih ibu tuan rumah! Semoga kebahagian selalu tercurah buat keluarga. Terima kasih Kampus Guru Cikal, atas semuanya. Semoga ke Kampus Guru Cikal tetap jaya! Kayah Rokayah, Penggerak Komunitas Guru Belajar Purwakarta
Pak nanti kalo sudah sampai silahkan ambil kunci di petugas Kampus Cikal, nanti dari sana akan diantar ke Homestay ‘Premiere Estate’. (Begitu bunyi SMS dari Bu Atiek, pemilik Homestay). Ibu itu sangat percaya sama kita ya, mungkin karena kita berlabel guru? Satu hal yang membuat kami takjub adalah keterlibatan orangtua siswa Sekolah Cikal terhadap kegiatan guru-guru. Makasih buat bu Atiek, jangan lupa janjinya untuk berkunjung ke Makassar. Wawan, Penggerak Komunitas Guru Belajar Makassar
Temu Pendidik Nusantara mengajarkan saya banyak hal bukan saja lewat sesi-sesi namun juga proses belajar bersama tuan rumah orangtua siswa Cikal. Pengalaman yang sangat menarik ketika Mas Helmi dan Mba Fia sangat terbuka untuk menceritakan proses mendidik anak-anak mereka kepada kami. Mba Fia juga banyak bercerita tentang proses yang dilewati Ula dan Una selama bersekolah di Sekolah Cikal, mulai dari guru yang mendadak berubah tiba-tiba (sesuai dengan materi apa yang akan dipelajari), acara penghargaan guru yang dipesembahkan oleh orang tua dan lainlain. Saya secara pribadi banyak belajar dari pengalaman mereka karena itu akan menjadi bekal untuk saya menghadapi anak-anak saya
Susahnya move-on dari TPN 2016 itu ya begini ini... selalu terngiang dengan romantika perjuangan yang membuatku menemukan arti lain dari kata ‘’belajar’’! Endang Puspitasari
20
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi I Tahun Kedua
kelak, serta inspirasi bagi saya untuk menjadi guru yang bukan sekadar guru yang mengajar tetapi menjadi guru yang menginspirasi. Terima Kasih Mas Helmi, Mba Fia, Ula dan Una yang sudah mau berbagi dengan saya yang datang dari Saparua. Saya tunggu kedatangannya di Saparua. Imanuel Lawalata, Penggerak Komunitas Guru Belajar Maluku
Susahnya move-on dari TPN 2016 itu ya begini ini... selalu terngiang dengan romantika perjuangan yang membuatku menemukan arti lain dari kata ‘’belajar’’! Namaku Endang Puspitasari, guru Bahasa Inggris di SMPN 8 kota Lubuklinggau, Sumatera Selatan, berbatas daerah dengan propinsi Bengkulu dan Jambi. Menjadi bagian dalam Komunitas Penggerak Guru Belajar adalah suatu karunia bagiku.. kesempatan yang terasa seperti ‘’mimpi kali yee’’. Itu tuuh.. salah satu acara TV yang pernah hits ketika dipandu oleh sang Raja Kuis kala itu. Semangat untuk bertemu dan belajar dari berbagai guru seIndonesia membuatku selalu senyum-senyum sendiri..rada salah tingkah kali yaa..
kedisiplinan, penghargaan, dan...duuh.. sejatinya 7 pilar pengasuhan yang selama ini hanya bisa saya baca dan dengar di seminar parenting terlihat hasil positifnya di depan mata. Sungguh pembelajaran yang sangat baik dan berharga bagi saya dan keluarga saya. Belum cukup dengan pengalaman itu, saya pun dibuat terhenyak manakala salah satu buku yang menjadi inspirasi saya ‘’From Zero to Zero’’ karya Houtman Z Arifin, ternyata adalah orang tua kandung Pak Abraham Houtman, kakeknya Sha, Alhea dan Zack. Tiga orang buah hati Bu Winda dan Pak Bram. Singkat kata, pengalaman TPN 2016 tidak hanya memberikan bekal untuk berjuang mewujudkan guru yang merdeka, tetapi mampu membuat membuat saya menikmati hasil buah pendidikan yang merdeka dalam kurikulum Sekolah Cikal yang luar biasa. Saya katakan luarbiasa karena peran penting orangtua dalam menyertai anak-anaknya menuntut ilmu benar-benar terjalin dengan baik antara sekolah dan orangtua. Sesungguhnya tak mampu saya menjabarkan dengan lebih baik ungkapan terima kasih kepada keluarga Abraham Houtman dan Panitia TPN. Yang pasti, spirit itu telah melekat erat di hati dan jiwaku. Endang Puspitasari, Penggerak Komunitas Guru Belajar Lubuklinggau
Hari itu tanggal 27 Oktober 2016, jam 05.15 WIB aku dan sahabatku Atika memulai petualangan kami. Sungguh tak pernah terbayangkan bagi kami berdua bakal tinggal beberapa hari di rumah keluarga yang belum kami kenal sebelumnya, kecuali dari data singkat kontak via telpon yang telah diberikan. Aku dan Atika berbeda tempat tujuan. Dia diberi kesempatan mengenal lebih dekat dengan bu Ani. Tapi bukan Bu Ani SBY ya.. dan aku mendapat kesempatan yang tak terkira kece nya.. berkenalan dengan keluarga Abraham Houtman, keluarga yang sejatinya telah begitu banyak menginspirasi bagi diriku pribadi dan tentunya mampu membuatku melihat arti pengasuhan keluarga dari sisi lain yang belum kusentuh.
Seribu yang membaca, seribu yang memandang, seribu cara pandang. Cara pandang saya ke pemilik ‘Homestay’ Ibu Atiek di ‘Premiere Estate’ untuk dijadikan tempat menginap peserta TPN III, asal Sinjai dan Makassar Provinsi Sulsel, yaitu “Tuan Rumahnya Berhati Malaikat”.
Bu Winda adalah tokoh sentral dari kekagumanku pada keluarga ini. Ketulusan beliau dalam menjalankan syariat Islam khususnya memuliakan tamu sungguh patut di acungi jempol kehormatan. Terasa sekali kalau Bu Winda telah mendidik anak-anaknya dengan adab yang sangat baik, kesantunan,
Kenapa tuan rumah ibarat ‘Malaikat’, karena mulai tiba di rumahnya hingga meninggalkan ‘homestay’ untuk kembali ke Makassar, Beliau tidak pernah ketemu muka dengan kami dan hanya komunikasi lewat HP. Kami pun menjaga kepercayaan itu, hingga saya berjanji dalam hati, semoga TPN berikutnya di tahun 2017
Sebuah kepercayaan penuh yang diberikan ke kami, sebab ia seolah ‘menghibahkan’ dengan tulus rumahnya untuk ditinggali, meskipun ia belum melihat wajah dan sosok kami.
nanti, --jika masih diundang Kampus Guru Cikal-- ingin sekali bertatap muka langsung dengan Ibu Atiek, sang Tuan Rumah berhati Malaikat ini. Selain itu terima kasih buat Kampus Guru Cikal yang sukses menggelar TPN. Ilmunya sangat bermanfaat untuk memajukan pendidikan di daerah dan Indonesia. Amin! Takdir Kahar Penggerak Komunitas Guru Belajar Sinjai, Sulawesi Selatan
Saya akan menceritakan pengalaman kami KGB Sanggau dalam mengikuti TPN 2016 di Jakarta. Acara yang sangat seru bagi kami karena kami diberi kesempatan ikut untuk mewakili kabupaten. Alhamdulillah diberi izin dan dukungan dari Dinas Pendidikan Kab. Sanggau. Kesempatan mengikuti TPN ini sangat kami nantikan karena terus terang kami berlima jarang sekali bisa berkumpul dalam satu kegiatan. Biasanya kami mengikuti kegiatan yang ditugaskan oleh Dinas Pendidikan tapi tidak pernah bersama-sama waktu dan tempatnya. Peserta TPN Kab. Sanggau berjumlah 5 orang, saya (Titis Kartikawati), Juliawati, Wanti Sila Sakti, Decky Cahyadi, dan pak Jakeus Anang dari pihak Disdikpora. Perjalanan kami diawali dengan menuju kota Pontianak untuk mengejar keberangkatan pesawat pertama jam 06.30 WIB. Perjalanan dari Sanggau ke Pontianak memerlukan waktu 5 jam dan kami harus menginap 1 malam untuk keberangkatan ke Jakarta. Dengan semangatnya kami tiba di Jakarta dan mulai menyusun rencana untuk mencapai tempat penginapan masing-masing yang telah ditetapkan oleh panitia. Setibanya di Jakarta kami mencari hotel untuk pak Jakeus Anang, wakil Dinas Pendidikan Kabupaten Sanggau, yang akan dijadikan tempat transit kami sebelum menuju tempat masing-masing. Kami sempat jalan-jalan ke TMII untuk memanfaatkan waktu senggang sebelum memasuki acara TPN sekalian mencari bahan cerita untuk anak didik kami di daerah. Diantara kami berlima hanya Decky Cahyadi yang belum pernah menginjakkan kota Jakarta. Awalnya dia ragu untuk mengikuti aturan bahwa kami harus berpisah untuk menginap di rumah-rumah yang telah ditentukan. Kami memberi gelar dia sebagai “Intan Payung” bukan berarti karena dia manja tapi karena
Temu Pendidik Nusantara mengajarkan saya banyak hal bukan saja lewat sesi-sesi namun juga proses belajar bersama tuan rumah orangtua siswa Cikal. Imanuel Lawalata Surat Kabar Guru Belajar - Edisi I Tahun Kedua
21
memang diantara kami berlima dia yang sering merasa kurang percaya diri. Hal tersebut kami maklumi karena dia memang belum pernah ke kota sebesar Jakarta, Tempat dia mengajar termasuk di pelosok karena dari kota Sanggau harus menempuh perjalanan 2 jam. Rute perjalanan kami selanjutnya adalah mengantar Decky ke tempat penginapannya di daerah Haji Buang. Kebetulan Decky hanya sendiri yang mendapat tempat tersebut. Kami berempat menggunakan taxi untuk mencari alamat masing-masing. Setelah rumah yang dituju Decky sudah kami temukan, perjalanan berlanjut mengantarkan Wanti ke daerah Bintaro. Ternyata daerah Bintaro adalah daerah yang cukup membingungkan untuk kami dan sopir taxi pun menyerah. Akhirnya Wanti kami sarankan untuk melanjutkan perjalanan menggunakan ojek. Kami menurunkan Wanti dipinggir jalan di waktu hujan mulai rintik-rintik dan hari semakin malam. Saya dan Juliawati masih berkeliling dengan pak sopir mencari alamat kami di daerah Bintaro juga. Karena kami sudah menjelajahi hutan beton yang tak kunjung ketemu alamat yang dituju akhirnya kami minta diturunkan di sebuah pusat perbelanjaan sambil menunggu jemputan Ibu Lia. Setelah satu jam menunggu ternyata ada kabar dari Ibu Lia yang mengatakan dia tidak bisa menjemput karena terjebak macet. Akhirnya kami memutuskan memakai taxi lagi untuk mencari alamat homestay kami dengan panduan telepon dari ibu Lia. Kalau dihitunghitung untuk mencapai alamat homestay kami membutuhkan waktu 4 jam dengan menggunakan taxi karena ada tambahan bonus keliling Bintaro sampai puyeng. Sangat berkesan dengan perjalanan menuju TPN, banyak hikmah dan pelajaran yang dapat saya ambil dari temu pendidik kemarin. Pertama, saya punya teman dan kenalan baru untuk saling berbagi cerita, pengalaman mengajar dan berdiskusi tentang pendidikan. Kedua, saya punya keluarga baru yaitu keluarga Miss Lia yang telah menampung kami selama kegiatan TPN. Terima kasih telah memfasilitasi kami selama di Jakarta walaupun Miss Lia juga sama-sama sibuk tapi sangat ramah dan melayani kami seperti teman yang sudah lama ketemu. Keluarga Miss Lia yang akrab dan sangat
menghormati kami menjadikan pelajaran bagi kami supaya kami bisa belajar bagaimana cara menjamu seorang tamu. Walaupun Keluarga Miss Lia termasuk keluarga yang terpandang tapi tidak sombong dan menerima kami dengan sangat baik sehingga kami merasa seperti berada di rumah sendiri. Malam terakhir kami dijamu makan malam dan dikenalkan dengan keluarga yang lain agar tali silaturahmi kami tetap terjalin. Miss Lia sempat berbagi pengalaman mengajar di Sekolah Cikal. Proses belajar mengajarnya, cara penilaian dan kami saling berbagi pengalaman kami di daerah. Banyak bahan cerita yang saya dapatkan dari diskusi kami dengan Miss Lia untuk saya sampaikan ke pendidik di daerah saya. Proses pembelajaran di Kampus Guru Cikal bisa kami jadikan contoh untuk penerapan kurikulum 2013 yang baru kami terima dan kami laksanakan di semester ini. Kebahagiaan saya bertambah ketika saya diajak Miss Lia untuk melihat langsung ke Sekolah Cikal. Saya melihat kreatifitas guru dan siswa yang sangat luar biasa di pajang disetiap sudut sekolah. Terima kasih saya ucapkan kepada Bu Najelaa, Pak Bukik, Miss Lia dan semua panitia yang telah memberikan pengalaman berharga buat saya. Semoga tahun depan saya masih diberi kesempatan untuk mengikuti TPN 2017. Titis Kartikawati, Penggerak Komunitas Guru Belajar Sanggau
Pengalaman saya pada saat mengikuti TPN adalah suatu hal yang sangat saya banggakan dimana dengan pertemuan itu membuat pengalaman semakin bertambah, meskipun banyak sekali tantangan dan rintangan. Tapi semua itu tidak menjadi penghalang bagi saya. Pertama mencari tempat penginapan. Ini yang pertama kali bersama teman-teman yang sudah saya anggap sahabat sejati dalam suka dan duka, berbagi pengalaman dan tempat berbagi. Setelah mencari hampir 2 jam, akhirnya alamat yang dicari ketemu juga. Sesampai di tempat tujuan saya diterima dengan ramah oleh pemilik rumah. Rumah tempat saya tinggal merupakan rumah yang sangat dikenal di nusantara dan mancanegara yaitu scooter 99. Scooter 99 merupakan tempat reparasi vespa unik, sangat dikenal sampai mancanegara dimana para pelanggannya dari
Eropa dan Amerika, pemiliknya adalah Pak Abraham Z Arifin. Di sana saya bertemu dengan teman dari berbagai daerah ada pak Rizky, pak Abie, bu Endang, dan bu Helda. Kami seperti keluarga suka duka bersama, berbagi pengalaman, bercanda dan sharing. Kami berbicara banyak tentang kegiatan pak Bram dan istrinya bu winda, sampai kami diberikan 2 buku inspirasi yang ditulis oleh ayahnya pak Bram yaitu “Berbagi Hati” dan “From Zero to Zero” sebagai kenang-kenangan. Buku ini seperti diceritakan oleh putri pak Bram berkisah tentang perjalanan kakeknya mulai dari menjadi pedagang asongan, office boy, hingga menduduki jabatan strategis sebagai vice president City bank. Kisah ini sangat menginspirasi bagi kami. Ternyata keberhasilan itu dicapai kalau kita bekerja dengan sungguhsungguh dan selalu berdoa kepada Tuhan YME. Terima kasih pak Bram, bu Winda beserta kelurga, mas Pendi dan pak Yun. Semoga tahun depan kita bisa bertemu dan segala amal kebaikan pak Bram sekeluarga dibalas oleh Alah SWT, sehat, sukses dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Amin Decky Cahyadi, Penggerak Komunitas Guru Belajar Sanggau
Dari awal pencarian lokasi saja sudah cukup menantang, diturunkan di tepi jalan oleh sopir taksi, menyambung naik ojek yang sama sekali belum pernah dilakukan. Melewati jalan-jalan sempit yang tidak pernah saya lewati. Dengan perasaan was-was menghantuai perasaan saya akhirnya ketemu juga perumahan bintaro Grande milik bu Dira yang ternyata merupakan rumah kosong namun lumayan besar. Di penginapan tersebut, saya bersama bu Rika dari Riau. Kami hanya berdua yang menginap di situ, walaupun tak seperti rekan-rekan lain yang penginapannya didampingi sang pemilik namum saya sangat bersyukur. Dirumah itu saya sangat mandiri dan melakukan semuanya sendiri, dari menyiapkan sarapan sampai berangkat ke lokasi kegiatan kami mencari kendaraan sendiri. Teman berbagi cerita dan pengalaman saya hanya bu Rika saja di rumah itu. Meskipun begitu saya tetap senang dan
Proses pembelajaran di Kampus Guru Cikal bisa kami jadikan contoh untuk penerapan kurikulum 2013 yang baru kami terima dan kami laksanakan di semester ini. Titis Kartikawati
22
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi I Tahun Kedua
semangat karena saya bisa benar-benar belajar untuk mandiri dalam melakukan segala hal mulai dari menuju tempat kegiatan, sampai pulang menuju bandara. Saya berhasil mengatasi kekhawatiran saya di kota besar, meskipun melakukan semuanya sendiri dan tetap semangat dalam kondisi apapun. Ucapan terima kasih saya kepada pak Bukik, bu Najelaa dan bu Dira atas segala fasilitas yang sudah saya terima.
Woro beserta keluarga, Pak Bukik, ibu Najelaa, dan panitia TPN 2016 yang telah memfasilitasi selama mengikuti TPN ini dan saya berharap tahun depan masih diberi kesempatan untuk mengikuti TPN 2017, semoga...
Tak sekadar merdeka, mereka juga turut mengajak rekan pendidik lainnya yang masih terjajah dan terpenjara (namun tak sadar bahwa mereka dalam keterjajahan) untuk turut menyicip nikmatnya Merdeka.
Juliawati, Penggerak Komunitas Guru Belajar Sanggau
Wanti Sila Sakti, Penggerak Komunitas Guru Belajar Sanggau
Sembilan tahun Saya memilih mengambil peran mengelola pendidikan usia dini, banyak kegalauan dan kejanggalan yang Saya rasakan dan temukan. Saya tak memiliki latarbelakang pendidikan sebagai pendidik, namun karena minus bekal ini membuat Saya terus belajar dan mencari jawaban atas keheranan yang Saya temukan di lapangan bersama tim pendidik di TK Alifa Kids.
Hal kedua, Saya dibuat takjub oleh seorang yang memiliki visi besar dan mulia, Ibu Najeela Shihab. Nama dan sekolahnya sudah cukup lama saya dengar namun saya belum menemukan jembatan untuk mendekat. Amazing, jembatan itu beliau bangun dengan digagasnya Komunitas Guru Belajar. Ah… ternyata saya pun belum merdeka sepenuhnya, baru melangkah ketika melihat ada jembatan, kenapa saya tidak menyeberang..? Ops, bukan untuk disesali. Sekarang, bagaimana agar bisa bersama-sama untuk menuju ke sebuah ‘tempat’ yang lebih jauh dan lebih indah.
Mengikuti TPN 2016 merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi saya, dari memulai perjalanan menuju kota Jakarta hingga menemukan homestay tempat kami menginap selama mengikuti kegiatan, sungguh pengalaman yang seru dan takkan terlupakan. Saya bersama Titis Kartikawati ditempatkan di rumah yang sama, di rumah salah seorang guru Cikal yang bernama ibu Natalia Woro atau yang kami sapa dengan akrab Miss Lia. Kehangatan dan keramahan keluarga Miss Lia yang menyambut kedatangan kami membuat kami merasa sangat nyaman dan seperti berada di rumah keluarga sendiri. Keluarga Miss Lia begitu memperhatikan dan sangat peduli dengan kami mulai dari mengajak mengobrol, mengantar atau memesan taxi ketika kami akan mengikuti setiap kegiatan, bahkan dengan jamuan makan malam yang sangat istimewa bersama keluarga besarnya. Pengalaman bersama keluarga Miss Lia membuat saya mengerti dan memahami banyak hal. Kami juga sempat berdiskusi dan saling berbagi dengan Miss Lia mengenai pendidikan dan pembelajaran di sekolah Cikal dan di daerah kami. Miss Lia banyak memberikan inspirasi bagi saya dengan cerita dan kegiatannya selama mengajar di sekolah Cikal. Terlebih lagi ketika kami juga sempat berkeliling di Sekolah Cikal sebelum mengikuti kelas lokakarya. Saya sangat kagum dan termotivasi ketika melihat kreatifitas yang dibuat oleh guru dan siswa yang dipajang di pintu maupun di dalam kelas masing-masing. Begitu banyak pengetahuan dan pelajaran berharga yang saya dapat selama mengikuti TPN 2016. Hanya ucapan terima kasih yang dapat saya sampaikan kepada Ibu Natalia
“Merasa sendiri”. Bertahun-tahun mencari orang-orang dan lingkungan yang bisa menjawab bisingnya pertanyaan-pertanyaan yang ada di benak Saya. Sering merasa sendiri dan terheran-heran. Ada apa dengan pendidikan kita ini…? Saya menemukan betapa anak-anak dipaksa oleh kehendak orang dewasa di sekelilingnya. Saya menemukan betapa guru-guru yang datang dengan mental terbebani sebagai pendidik ketika diajak untuk belajar. Saya menemukan betapa orang tua terbirit-birit dikejar oleh berbagai target yang dibebankan kepada anak-anak mereka. Sekolah bukan lagi mendidik anak-anak melainkan menjadi ajang perlombaan ‘sukses’ mengkarbit di kalangan orang tua. Miris dan sedih… Namun kebingungan dan kebisingan di benak Saya terjawab (nyaris) tuntas ketika saya dan beberapa tim Alifa Kids turut hadir di Temu Pendidik Nusantara (TPN) yang diadakan oleh Komunitas Guru Belajar bulan Oktober 2016. Pertama kali Saya dibuat takjub oleh semangat para pendidik yang hadir dari Aceh sampai Papua. Mereka orang-orang yang berbahasa bumi (bukan bahasa langit), menyentuh dan meyelesaikan berbagai ragam permasalahan yang ada di sekitar mereka dengan segudang keterbatasan sumber daya.
Hal ketiga yang saya kagumi dari TPN 2016 adalah puluhan kelas inspiratif yang berisi praktek cerdas yang bisa diikuti oleh peserta TPN. Ingin rasanya bisa menduplikasi diri, karena beberapa kelas yang sangat ingin kami ikuti tak bisa dihadiri karena terbatasnya waktu. Di TPN 2016 seluruh penggerak diajak berpikir dan merefleksi diri. Apa hal yang menjadi penghalang dan hal yang bisa mendukung untuk membaiknya profesi seorang pendidik. Kami sepakat untuk tidak menunjuk ke luar, tapi mengarahkan telunjuk itu ke dalam. Ke dalam diri kami yang dengan SADAR MEMILIH sebagai pendidik. Ya, perbaikan hanya akan terjadi jika diri sendiri yang bergerak. Faktor luar hanya sebagai pendukung. Sekuat apapun faktor luar jika diri sendiri berdiam, tak akan terjadi perubahan. Ibarat mendorong bongkahan batu besar ke atas bukit. Temu Pendidik Nusantara 2016 menjadi momentum perbaikan diri kami sebagai pendidik, sekaligus momentum perbaikan institusi yang kami kelola, agar tak terjadi malpraktik di dunia pendidikan. Semoga semakin banyak pendidik yang berani untuk memilih merdeka belajar agar layak mengajar. Semoga TPN tahun depan lebih banyak diikuti oleh pendidik (guru dan orang tua). Rahmi Salviviani, TK Alifa Kids, Penggerak Komunitas Guru Belajar Pekanbaru
Dalam hati Saya bertanya, “Apa yang menggerakan mereka?”. Aha, ternyata mereka adalah pendidik-pendidik MERDEKA.
Temu Pendidik Nusantara 2016 menjadi momentum perbaikan diri kami sebagai pendidik, sekaligus momentum perbaikan institusi yang kami kelola, agar tak terjadi malpraktik di dunia pendidikan. Rahmi Salviviani Surat Kabar Guru Belajar - Edisi I Tahun Kedua
23
Merdeka Belajar
Pidato Temu Pendidik Nusantara Topik Temu Pendidik Nusantara telah didiskusikan sejak setahun sebelumnya karena topik bukan hanya digunakan pada saat kegiatan, tapi terus diperjuangkan sepanjang tahun. Dalam menentukan topik, tim inti panitia mengkaji situasi pendidikan kekinian termasuk situasi nyata yang dihadapi para pendidik di lapangan. Ketika subtansi topik sudah disepakati, pemilihan istilahnya pun masih melalui diskusi juga yang pada akhirnya disepakati, Merdeka Belajar. Ulasan tentang topik Merdeka Belajar telah dipaparkan pada Surat Kabar Guru Belajar sebelum ini, Edisi Keenam Tahun Pertama. Tulisan ini merupakan pidato pembukaan Temu Pendidik Nusantara yang disampaikan Najelaa Shihab sebagai paparan pentingnya Merdeka Belajar dalam melakukan perubahan pendidikan Indonesia. Melawan Miskonsepsi Bukan tidak sengaja Temu Pendidik Nusantara 2016 dibuka pada 28 Oktober, hari Sumpah Pemuda. Saya ingat waktu belajar dan mengajar sejarah, salah satu bayangan melekat tentang Kongres Pemuda 1928 adalah situasi sulit yang tidak memungkinkan bahkan sekadar untuk menyanyikan lagu kebangsaan dengan lirik kata "merdeka".
dengan sesama guru. Sumber inspirasi bukan figur yang serba tahu dan sempurna, tapi rekan seperjalanan yang realistis dengan pengalaman nyata, dan praktis, seringkali gagal sebelum berhasil.
Saat ini, tantangan pemuda yang belajar dan mendidik bukan di kata-kata, tetapi dalam mempraktikkan merdeka belajar setiap harinya. Kita bersama sedang melawan miskonsepsi yang selama ini menjadi belenggu proses pengembangan diri guru.
Miskonsepsi 3: Guru hanya perlu mengikuti resep standar, "how to" bagaimana melakukan sesuatu.
Miskonsepsi 1: Guru hanya akan belajar bila menerima insentif; sertifikat, ranking, nilai atau uang. Kami yakin bahwa belajar adalah kebutuhan alamiah guru. Dorongan belajar muncul karena ingin menemukan solusi masalah yang dihadapi di kelas dan gemar belajar tumbuh karena pengalaman berhasil mencapai tujuan pendidikan. Miskonsepsi 2: Guru hanya bisa belajar dari pakar dan ahli. Walaupun sering mengalami metode "diceramahi", kami membuktikan bahwa guru belajar lebih efektif dari kolaborasi
Suasana pertemuan Penggerak Komunitas Guru Belajar dari lebih 38 daerah di Indonesia. Guru lebih efektif belajar dari guru yang lain
Banyak yang percaya hanya ada satu kriteria guru efektif. Padahal pertanyaan utama efektivitas harus dikaitkan dengan konteks. Efektif untuk siapa, di mana? Salah satu tanda pendidik profesional adalah kemampuan adaptif. Kita perlu tahu "kenapa", agar bisa menyesuaikan apa yang dilakukan dengan kebutuhan murid, orangtua dan lingkungan belajar di tahun ajaran ini dan di hari ini. Miskonsepsi 4: Pengembangan guru bisa dilakukan instan, dipaksakan dengan target terburu-buru. Kita tahu, bahwa dunia saat ini kelimpahan informasi, pendidikan tidak pernah kekurangan inovasi. Yang selalu kurang adalah waktu mengimplementasikan inovasi. Guru butuh waktu memahami dan memutuskan apakah inovasi ini sesuai, perlu dimodifikasi atau tidak
bisa dipakai. Guru butuh proses berefleksi untuk bisa berkreasi.
Miskonsepsi 5: Kompetensi guru adalah soal kemampuan dan pengukuran individu. Saya percaya potensi individu akan berhasil muncul dalam bentuk kompetensi hanya bila ada ekosistem yang mendukung. Tidak ada seorang pendidik pun yang bisa belajar sendirian, kompeten sendirian dan merdeka belajar sendirian. Temu Pendidik Nusantara, sebagai konferensi Komunitas Guru Belajar, membulatkan tekad, bukan sembarang guru yang dibutuhkan untuk reformasi pendidikan, tapi guru YANG MERDEKA BELAJAR. Kita perlu bersuara lebih lantang dan bermakna lebih banyak. Memilih Cara Alternatif Menyepakati tujuan dan cita-cita tidak mudah, namun saya selalu mengatakan, di dunia pendidikan, yang jauh lebih sulit adalah menyepakati cara. Kalau kita memilih pendekatan Guru Belajar, maka kita memilih cara alternatif, cara yang terasa lebih sulit, namun saya yakini menjadi titik perubahan reformasi pendidikan saat berbicara tentang pengembangan guru. Guru merdeka belajar adalah kunci dari perubahan pendidikan. Yang saya katakan bukan guru adalah kunci. Ada perbedaan besar antara “sekadar” menyebut guru dengan menyebut guru yang merdeka belajar. Pernyataan pertama sering kita dengar, ratusan penelitian menunjukkan betapa kompetensi guru menjadi salah satu faktor penting (angkanya beragam 7-20%) yang menentukan capaian siswa. Namun pernyataan guru penting dalam penjelasan ini membatasi peran guru seolah hanya sebagai faktor dalam produksi, mencetak murid dengan karakteristik tertentu membutuhkan guru dengan karakteritik tertentu yang juga perlu dicetak, diajar, dan seterusnya. Saat saya mengatakan bahwa “guru merdeka belajar adalah kunci”, maka
Sekali lagi, bila tujuannya adalah demokrasi, murid yang mampu mewujudkan cita-cita kemerdekaan, pendidik yang merdeka belajar adalah kuncinya. Najelaa Shihab
24
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi I Tahun Kedua
saya berbicara jauh lebih besar dari sekadar individu guru sebagai “input”, tapi peran guru yang berdaya dalam konteks dan struktur pendidikan kita di Indonesia. Sekali lagi, bila tujuannya adalah demokrasi, murid yang mampu mewujudkan cita-cita kemerdekaan, pendidik yang merdeka belajar adalah kuncinya. Saya baru 20 tahun jadi pendidik ibu dan bapak, baru 20 tahun belajar bersama guruguru. Di setiap sesi pengembangan guru, pertanyaan “standar” saya, adalah apakah ibu dan bapak merasa merdeka. Kemerdekaan bukan diberikan, tapi harus direbut karena percaya kuatnya kemampuan diri sendiri. Sulitnya Komitmen, Mandiri dan Refleksi Pengalaman di komunitas guru belajar menunjukkan bahwa perjalanan menuju merdeka belajar ini tidak mudah. Meneguhkan komitmen adalah modal awal merdeka belajar, apa tujuan kita sebagai pendidik. Setiap dari kita yang setiap hari bergiat di pendidikan, sadar sulitnya konsisten pada tujuan di saat begitu banyak tugas administrasi dan birokrasi menyita begitu banyak waktu. Dalam diskusi dengan temanteman guru belajar dari Ambon beberapa minggu lalu saya belajar bahwa dalam perjuangan ini, kita harus bisa membedakan cara dengan tujuan. Rangking, akreditasi, ujian, seleksi adalah cara yang saat ini seringkali menjadi tujuan dan prioritas utama diatas tujuan pendidikan nasional dan misi pribadi kita masing-masing saat memilih menjadi pendidik. Guru yang merdeka belajar adalah guru yang mandiri. Mandiri adalah proses yang kita gerakkan. Mandiri dalam arti sesungguhnya adalah memegang kendali. Dalam percakapan dengan guru belajar dari Sukabumi, saya terhenyak oleh masih banyaknya praktek manipulasi yang terjadi saat berbicara tentang pengembangan guru; uang, kepentingan dan jabatan - mengotori semangat belajar. Tingkat pelibatan publik di Indonesia sebetulnya cukup tinggi, secara umum data menunjukkan tingkat keterlibatan di negara berkembang memang lebih baik dibanding negara maju. Namun, saat kita melihat tahapan pelibatan publik, lebih banyak guru yang kemudian berhenti sampai di tingkat konsultasi atau kemitraan, belum sampai ke tingkat berdaya dan mengendalikan. Padahal perubahan nyata
membutuhkan tingkat keterlibatan tertinggi. Pendidik yang merdeka belajar terus melakukan refleksi. Refleksi ini mudah dikatakan, namun sulit dilakukan. Berbincang dengan teman guru belajar di Wonosobo, saya sadar betapa refleksi itu sebuah proses yang sangat tidak nyaman dan penuh resiko. Sebagian dari kita menolak membuka mata dan melihat cermin, dengan seratus alasan, masyarakat belum siap, orangtua tidak mendukung, murid tidak paham, dan seterusnya. Transparansi dan akuntabilitas pendidik disederhanakan sampai kehilangan maknanya sekadar skor dan mengisi form. Refleksi selesai dengan selesainya tugas administrasi, tanpa percakapan yang bermakna dan mendorong kita untuk berubah. Komitmen, mandiri, refleksi. Tiga kata, tiga dimensi merdeka belajar, namun kompleksitas pendidikan yang sangat interdisiplin, membuatnya tidak mudah diwujudkan. Saya ingat betul, Donna Shahlal, salah seorang pakar pendidikan membandingkan betapa sederhananya proses mengirimkan pesawat Apollo ke bulan yang dilakukan NASA di tahun 1970-an dibandingkan dengan reformasi pendidikan yang dilangsungkan di Amerika Serikat di rentang waktu yang sama. Upaya mengubah ekosistem pendidikan butuh dana lebih besar, melibatkan lebih banyak pemangku kepentingan dan membutuhkan waktu lebih panjang terkadang tanpa bukti nyata keberhasilan. Tak heran pendidikan selalu dikatakan penting, tapi tidak pernah menjadi prioritas. Tak heran sebagian dari kita frustasi. Tak heran sebagian memilih keluar dari sistem, memilih “exit” bukan “voice”. Tapi guru di komunitas guru belajar yakin bahwa satu-satunya cara untuk mewujudkan merdeka belajar adalah memilih berdaya dengan bersuara lebih keras.
namun; “apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengumandangkan dan memperbesar skala praktik baik yang sudah dilakukan oleh masyarakat?”. Percepatan amplifikasi dan skala bukan sekadar eksperimen yang bisa direplikasi di semua tempat dengan formula yang sama. Praktik baik melalui proses belajar terus menerus di setiap tempat, yang hanya bisa tercapai dengan kemerdekaan belajar. Temu pendidik memberikan kesempatan merdeka belajar. Menghadirkan inspirasi, mengajak setiap peserta untuk refleksi dan menyusun rencana aksi. Di temu pendidik kita beragam, ada guru, ada kepala sekolah, ada peneliti, pegiat dan pejabat. Ada yang berfokus di pendidikan formal, non formal atau informal, anak usia dini atau sekolah menengah. Kita punya posisi yang mungkin berbeda tapi disatukan oleh kepentingan yang sama. Pasti ada unsur yang bisa dikolaborasikan. Saya gambarkan temu pendidik sebagai upaya kolaborasi membangun jaringan; jaring pengetahuan dan jaring emosional. Kita tidak melihat siapa yang memiliki label biru, merah atau kuning, tapi melihat bahwa setiap dari kita sebenarnya memiliki warna yang beragam. Di temu pendidik, kita percaya yang esensial adalah mencoba menumbuhkan ikatan cita dan cara. Belajar bersama bisa berarti mendebat, mengkomunikasikan dan mengadvokasi. Ini bentuk demokrasi sesungguhnya dalam pendidikan. Dan kita bersama akan menyadari arti merdeka yang sesungguhnya. Merdeka bukan soal menunggu orang lain, merdeka belajar adalah percaya bahwa kita dan apa yang kita lakukan adalah apa yang kita nantikan-nantikan.
Terus Belajar, Terus Merdeka Komunitas guru belajar tidak bisa sendirian. Melawan miskonsepsi tentang pendidikan, hanya bisa dilakukan bersama-sama. Pendidik adalah kita semua, guru, orangtua, peneliti, kepala sekolah, pemimpin komunitas dan organisasi, ketua komite, pejabat pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Dalam mimpi kami, piramida aktor pendidikan perlu dirubah, agar ada proses umpan balik yang baik. Pertanyaannya bukan, “apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat untuk mensukseskan program pemerintah?”,
Najelaa Shihab Pendiri Sekolah Cikal, Kampus Guru Cikal, IniBudi.Org, Keluarga Kita, Living Qu’ran dan penggagas Pesta Pendidikan. Bisa di temui di twitter @NajelaaShihab
Temu Pendidik Nusantara, sebagai konferensi Komunitas Guru Belajar, membulatkan tekad, bukan sembarang guru yang dibutuhkan untuk reformasi pendidikan, tapi guru YANG MERDEKA BELAJAR. Najelaa Shihab Surat Kabar Guru Belajar - Edisi I Tahun Kedua
25
Merdeka Menulis Merdeka Belajar dalam Praktik
Banyak guru yang mengeluh tidak bisa menulis. Jangankan menulis, belajar menulis pun dianggap sebagai aktivitas yang sulit dilakukan. Kesulitan itu seringkali bersumber dari kurungan-kurungan yang membatasi jiwa penulis. Karena itu, langkah Pak Eka Wardana dalam memandu proses belajar menulis para guru adalah memerdekakan jiwa penulis yang ada dalam diri para guru. Bagaimana kisahnya? Simak tulisan berikut ini “Apa iya, guru tidak bisa menulis.” Begitu kira-kira keheranan saya ketika mendapatkan kabar bahwa saya diajak untuk turut berbagi dengan guru-guru dalam ajang Temu Pendidik Nusantara yang digagas Kampus Guru Cikal akhir Oktober lalu. Mengapa rasa heran itu muncul? Karena sang penggagas, Pak Bukik, menyodorkan tema menulis kepada saya medio Oktober. Dalam pikiran saya banyak berkecamuk pertanyaan dan tantangan yang bakal saya hadapi. Dari peserta yang belum pernah saya temui, bahkan kenal pun tidak, materi apa yang perlu saya sajikan, dan media apa yang akan saya gunakan. Sebelum itu semua bisa saya atasi, terlebih dahulu saya jawab “Iya” atas ajakan ini. Saya hanya mengharap imbalan berupa kesempatan berbagi pengalaman dan melatih keberanian, lebih tepatnya kenekatan. Tetapi tantangan itu mendorong saya untuk memikirkan kembali, kira-kira apa yang sesungguhnya bisa dibagi di kelas menulis. Apalagi tema menulis bagi sebagian guru adalah tema yang tidak begitu menantang. Lain halnya tentang manajemen kelas, praktik cerdas, atau inovasi belajar. Jam siang Kelas menulis -tema yang saya kembangkankebetulan mendapat kesempatan di jam siang. Sebagaimana kita ketahui, jam ini adalah waktu yang sangat berat untuk melawan kantuk dan menjaga konsentrasi. Sebab itu pendekatan yang diberikan kepada peserta perlu atraktif dan melibatkan semua peserta. Tanpa semua itu, harapan agar guru tertarik untuk menulis semakin menipis. Jika pancingan yang digunakan sekadar menggugah ketertarikan maka peserta hanya sebentar terkesan namun kembali kehilangan tautan dengan materi utama. Solusi yang paling mungkin adalah sebanyak mungkin melibatkan peserta dengan berbagai kegiatan menulis.
Pelibatan peserta dengan menulis pertama kali menggunakan pertanyaan, judul buku apa yang terakhir kali dibaca? Umpan ini cukup berhasil. Terbukti bermunculan judul buku yang menarik untuk dibahas. Satu persatu peserta mulai terlibat mengomentari judul bukunya sendiri maupun teman-teman yang belum pernah bertemu sebelumnya. Dan dari isi bukunya, terlontar hal apa yang menarik dari buku itu, dan mengapa buku itu dibaca. Kelas menjadi riuh dengan celotehan guru-guru yang bertukar pengalaman dari topik membaca. Bersyukur tidak ada guru yang terbatas hanya membaca buku paket pelajaran. Kebanyak mereka membaca buku non paket. Dari kegiatan ini saya berkesempatan mengukur buku apa yang sudah dibaca dan bagaimana mereka berinteraksi dengan bahan bacaan. Biasanya guru yang suka membaca, tidak terlalu sulit untuk menulis. Satu tahapan terlampaui. Mereka gagal untuk menuruti kantuk disiang itu. Langsung terlibat dengan topik menulis. Kesempatan ini saya gunakan sebaik-baiknya untuk segera melibatkan mereka menuliskan ide-ide tentang belajar. Saya ajukan pertanyaan apakah ada hal yang menarik yang berkecamuk dalam pikiran saat itu? Bagaimana bila semua yang menarik dalam pikiran, perasaan itu dituliskan selama tiga menit. Benar saja, semua peserta langsung khusuk dengan apa yang mereka tuangkan dalam kertas yang sudah disediakan. Waktu yang tak berapa lama itu dipergunakan dengan baik oleh guru untuk menulis. Terlihat hampir semua peserta menulis hingga waktu habis. Setelah waktu habis, saya ajukan instruksi agar masing-masing bertukar tulisan dengan syarat, mereka yang sebelumnya belum saling kenal, memberikan komentar positif atas tulisan temannya. Komentar positif yang
dimaksud bukan hanya memberi gambar jempol atau ungkapan “bagus” atau “top” semata, namun diungkapkan apanya yang bagus dan bagian mana yang top dari tulisan tersebut. “Jebakan” ini cukup berhasil karena peserta secara sukarela berpikir keras mencari hal yang menarik dari semua tulisan temannya. Lalu, apakah cukup dengan hanya memberi komentar positif terhadap tulisan teman? Tidak. Saya lanjutkan dengan meminta mereka mengembalikan kertas kepada si empunya. Sebagaimana biasa, peserta diberi kesempatan memberikan pengalamannya setelah membaca karya teman dan memberikan komentar. Untuk menarik mereka terlibat diskusi, pertanyaan yang diajukan adalah : Apakah ada yang ingin menyampaikan hal menarik dari tulisan temannya? Sudah barang tentu beberapa peserta dengan riang mengungkapkan kegembiraannya mendapatkan tanggapan positif dari teman dan menemukan hal menarik dari tulisan teman. Bahkan beberapa peserta mengungkapkan perasaan senangnya ketika mendapatkan komentar positif dari temannya. Ide-ide menulis Lalu bagaimana guru-guru belajar mendapatkan ide-ide menulis? Pemahaman ide-ide menulis tidak dapat hanya dengan “telling”, disampaikan lalu mereka kemudian mengerti. Jalan yang bisa ditempuh adalah dengan membantu guru agar mendapat ide-
Saya meyakini setiap orang bisa tumbuh. Karena itu, saya tidak memiliki beban dalam mengajar, para peserta pun mengikuti semua kegiatan tanpa beban. Itulah merdeka belajar, merdeka menulis. Eka Wardana
26
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi I Tahun Kedua
ide tulisannya. Saya memulai memandu peserta dengan menggunakan sebuah pertanyaan, kemudian para peserta mengembangkan jawabannya sendiri. Pertanyaan yang saya lontarkan sebagai berikut; “Apa guna sendok selain dipakai sebagai alat menyuapkan makanan ke mulut?” Pertanyaan sederhana ini dengan memudah dijawab peserta. Saya memberikan waktu dua menit untuk menjawab. Setelah saya rasa peserta sudah menjawab, kemudian mereka diminta bertukar jawaban dengan tiga teman lainnya. Sebagi tanda sudah membagikan jawaban tadi, mereka meminta tandatangan kepada teman yang telah membaca. Dengan demikian peserta aktif membaca dan menelaah karya yang lain. Kemudian peserta mengembalikan hasil karya kapada pemiliknya masing-masing. Saya juga memberi kesempatan kepada peserta untuk mengungkapkan penemuan ide yang menarik dari jawaban peserta yang telah mereka baca. Sebagai pengikat kegiatan tersebut saya menggugat kesadaran dengan mengajukan pertanyaan retoris; “jadi kalau sendok saja bisa menjadi ide menulis yang menarik, bagaimana dengan kelas kita yang berisi anakanak yang luar biasa itu, ada banyak kejadian selama pembelajaran, apakah anak-anak kita tidak lebih penting dari sendok? Demikian pertanyaan retoris yang menggugah kesadaran peserta, bahwa ada banyak ide bersliweran setiap hari di kelas. Cara menangkap ide yang lain yang saya kenalkan adalah dengan melanjutkan kisah yang saya sampaikan kemudian guru meneruskan apa yang saya ungkapkan. Awalannya berupa kisah angan, “Jika aku menjadi...” Para peserta melanjutkan frasa itu hingga waktu yang diberikan habis. Atau dengan menuliskan lima kata yang terlintas di kepala, kemudian memilih tiga kata yang paling penting. Setelah itu peserta mengembangkan ide dengan tiga kata itu. Atau yang lebih seru lagi adalah menulis secara kalaborasi. Peserta diminta membuat sebuah cerita sederhana, kemudian kertas itu di pindahkan kepada teman disampingnya.
Cerita itu dilanjutkan oleh temannya. Hingga pada orang ke tiga atau keempat berhenti.
Kegiatan menangkap ide itu dikemas sedemikan rupa sehingga peserta merasakan sendiri bagaimana mudahnya menangkap ide. Apa yang terbayang sebelumnya bahwa menulis sebagai proses yang sulit ternyata telah ditepis sendiri oleh pengalaman yang menyenangkan dalam menulis. Kelas ditutup dengan menuliskan refleksi berupa tiga hal. Satu hal penting apa yang didapat peserta selama mengikuti kelas menulis, satu pertanyaan penting yang diajukan kepada narasumber, dan satu hal yang akan dilakukan setelah mengikuti kelas menulis tersebut. Saya mengutip satu pertanyaan penting dari satu peserta yang cukup membekas “Mangapa bapak bisa mengajar begitu nyaman dan menyenangkan”. Saya hanya bisa menjawab “Saya meyakini setiap
Unduh Surat Kabar
Guru Belajar Edisi 7 Refleksi Belajar
Edisi 6 Merdeka Belajar
Edisi 5 Hari Pertama Sekolah
Edisi 4 Pendidikan Budi Pekerti Edisi 3 Disiplin Positif
Edisi 2 Asesmen Otentik Edisi 1 Guru Belajar
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi I Tahun Kedua
orang bisa tumbuh. Karena itu, saya tidak memiliki beban dalam mengajar, para peserta pun mengikuti semua kegiatan tanpa beban. Itulah merdeka belajar, merdeka menulis.” Cibinong, 27 Desember 2016
Eka Wardana Guru Bidang Studi IPS dan PKn di SDIT Al Quds, Penggerak Guru Belajar Bogor
[email protected]
Menularkan Kegemaran Belajar http://bit.ly/SKGuruBelajar7
http://bit.ly/SKGuruBelajar6
http://bit.ly/SKGuruBelajar5
http://bit.ly/SKGuruBelajar4
http://bit.ly/SKGuruBelajar3
http://bit.ly/SKGuruBelajar2
http://bit.ly/SKGuruBelajar1
27
Relawan yang terlibat bukan orang-orang yang punya lebih banyak waktu, tapi orang-orang yang lebih kaya hati. Najelaa Shihab
Terimakasih Sudah Bergerak Bersama di Komunitas Guru Belajar pada 2016 Semoga Kita Terus Merdeka Belajar di Tahun Mendatang!
Yogyakarta
Wonosobo
Timika
Tangerang Selatan
Tanah Bumbu
Surabaya
Sukabumi (Kota)
Sukabumi (Kab)
Soroako
Sinjai
Sidoarjo
Semarang
Sanggau
Salatiga
Purwakarta
Pekanbaru
Pekalongan
Palembang
Muna
Mataram
Maluku
Malang
Makassar
Lubuklinggau
Langkat
Lampung
Lamongan
Kuningan
Kediri
Jember
Janeponto
Jambi
Jakarta Utara
Jakarta Timur
Jakarta Selatan
Jakarta Pusat
Jakarta Barat
Depok
Cirebon
Bojonegoro
Bogor
Bekasi
Bandung
Yuk Ajak 2 Rekan Guru untuk Bersama Menjadi Penggerak Komunitas Guru Belajar (KGB) di Daerah Anda Pelajari Buku Mini KGB di http://bit.ly/BukuKGB | Kirimkan biodata ke email
[email protected]
Komunitas Guru Belajar Guru Belajar adalah komunitas pendidik yang diinisiasi oleh Kampus Guru Cikal untuk berdiskusi dan berbagi praktik cerdas pengajaran dan pendidikan melalui Media Sosial, Temu Pendidik, Surat Kabar dan Buku. Prinsip Nilai 1. Mewujudkan pelajar sepanjang hayat. Kami bercita-cita menumbuhkan pemahaman, pengetahuan, keterampilan dan sikap yang positif agar setiap insan terus mau dan mampu belajar. 2. Memberdayakan semua pelaku dan peran. Kami sadar bahwa perubahan hanya akan terjadi pada mereka yang merdeka, yang berada dalam lingkungan yang mendukung setiap insan untuk menjadi penggerak. 3. Menghargai keragaman. Kami yakin keunikan adalah kekuatan, yang harus didorong dan dimaknai, dihormati dan dirayakan. 4. Berkolaborasi dengan terbuka. Kami sadar bahwa kami bagian kecil dari jaringan perjuangan, yang akan berdampak
28
optimal hanya bila berbagi tanggungjawab dengan semua yang peduli. 5. Mempraktikkan standar terbaik. Kami bekerja keras untuk menjadi teladan dalam setiap aksi, selalu menggunakan ilmu dan bukti dengan sepenuh hati. Komunitas Guru Belajar secara berkala mengadakan Temu Pendidik setiap 2 bulan dan Temu Pendidik Nusantara setiap tahun. Dalam Temu Pendidik, guru berbagi praktik cerdas pengajaran dan pendidikan melalui presentasi bercerita.. Pelajari lebih lanjut di buku Komunitas Guru Belajar, unduh di http://bit.ly/BukuKGB Tertarik Bergabung? Daftarkan email anda di GuruBelajar.org Gabung di Grup FB Komunitas Guru Belajar Gabung di kanal Telegram: GuruBelajar
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi I Tahun Kedua
Menulis dari Gambar Diferensiasi Cara Belajar Menulis
Banyak guru yang mengeluh kesulitan mengajari anak menulis. Meski sudah dijelaskan berkali-kali, tapi tetap saja anak-anak itu kesulitan menulis. Guru Komsinah Mu’awanah, atau sering dipanggil Nina Wina, berbagi pengalaman mengajar anak-anak menulis. Ia mempraktikkan diferensiasi dalam memandu proses belajar mereka. Diferensiasi berawal dari pemahaman terhadap anak, misal minat, kemampuan dan kebutuhan, kemudian guru mendesain proses belajar berdasarkan pemahaman tersebut. Hasilnya, bukan saja anak-anak belajar menulis, tapi anak-anak juga jadi percaya diri menulis. Penasaran? Simak saja Perjalanan panjang yang dialami anak-anak setiap harinya adalah bagian dari proses pembentukan jati diri. Mereka bertemu dengan berbagai peristiwa, baik di rumah, di sekolah, ataupun di lingkungan sekitarnya. Ada yang membuat mereka bahagia, sedih, kecewa, terpukau, ataupun marah Setiap hari saya melihat anak-anak bercengkrama dengan teman-temannya. Ada yang cerita tentang acara televisi kesukaannya. Cerita tentang kegiatan di rumahnya ketika mancing, main layang-layang, main sepak bola, dan lain-lain. Mereka juga sangat menikmati saat bersenda gurau, teriak-teriak, nyanyi bareng, ataupun saling berkejaran. Kadang-kadang ada juga yang awalnya main bareng, tapi kemudian bertengkar saling berebut ‘benar’. Tapi esoknya main bareng lagi. Ya, begitulah anak-anak, meskipun kadang-kadang menjengkelkan, mereka juga sering membuat kita senyum-senyum sendiri. Mungkin itu yang membuat orang yang berprofesi sebagai guru selalu awet muda hehehe….. Apalagi saat ada kegiatan menggambar. Mereka seperti ada di dunia lain, nggak peduli dengan sekitarnya. Sangking seriusnya, sampai-sampai saat temannya memanggil, dia sama sekali nggak dengar. Ada yang menggambar sambil bicara sendiri…”Dor!... dor!”…katanya. Mungkin dia sedang menggambar suasana pertempuran ya. Ada juga, saat menggambar sambil cerita gambarannya ke teman yang duduk di sebelahnya. Temannya juga menimpali, seolaholah juga ikut merasakan apa yang sedang diceritakan oleh si pembuat gambar. Bahkan kadang-kadang teman yang di depannya atau di belakangnya juga ikut-ikutan nimbrung.
Tapi saya selalu bertanya-tanya, mengapa saat disuruh mengungkapkan ceritanya dalam bentuk tulisan mereka banyak mengalami kesulitan? Padahal kalau diperhatikan, hampir semuanya pandai bercerita. Terlepas dari uraian di atas, sebenarnya ada beberapa siswa yang sudah mampu menuliskan ceritanya secara runtut. Meskipun dalam kesehariannya mereka tidak banyak bicara, bahkan sangat pendiam. Saya memiliki pengalaman dengan salah satu siswi di kelas. Dia adalah anak yang memiliki kebutuhan khusus (ABK). Dia memiliki kelainan pada matanya. Bentuk ukuran matanya yang sebelah kiri lebih kecil dibanding yang kanan. Dan yang lebih memprihatinkan, bola matanya hanya berwarna putih, jadi tidak mampu melihat. Dia hanya menggunakan satu mata untuk melihat. Mungkin itu salah satu penyebab mengapa ia menjadi anak yang pendiam. Mungkin dia merasa tidak sama dengan teman-temannya. Untunglah dia suka menulis. Dia selalu menulis segala uneg-unegnya di buku tulis. Itu sangat membantu saya mengenali pribadinya, apa yang diinginkannya, atau apa yang membuat ia kesal. Bagi anak-anak yang masih kesulitan menulis cerita, tentu membutuhkan strategi khusus agar mereka bisa mengungkapkannya. Khususnya dalam mengenalkan materi paragraf pada mereka. Saya tidak bisa memahamkan paragraf hanya dengan menjelaskan pengertian paragraf. Mungkin mereka bisa menghafalkan pengertian paragraf, tapi mereka tetap tidak akan mengerti apa sebenarnya paragraf itu. Mengapa? Karena mereka tidak mengetahui cara membuat paragraf dan manfaat
mempelajari paragraf. Saya memerlukan suatu metode yang bisa membantu mereka memahami paragraf. Kalau kita sedikit menengok ke belakang, dari pengalaman keseharian anak-anak. Hampir semua anak menyukai menggambar. Mereka sangat asyik bercerita saat mengerjakan tugas gambarnya. Saya bisa memulainya dari sana, dari sesuatu yang paling disukai siswa. Saya memulainya dengan membuat tahapantahapan seperti ini : 1. Siapkan kertas gambar sejumlah siswa. Setelah dibagikan, anak-anak disuruh menulis namanya, dan memberikan garis tepi pada sekeliling gambarnya sebagai pembatas. 2. Meminta anak-anak menggambar sesuatu yang paling disukainya. Tetapi sebelumnya, harus menentukan tema/ judul terlebih dahulu. Misalnya saja tentang pemandangan, tentang benda, orangorang, keramaian di tempat umum, belanja, atau lainnya. 3. Setelah selesai, meminta anak-anak untuk mewarnainya biar makin menarik. Selama anak-anak melakukan kegiatan menggambar, saya mengamati dan memberikan tanggapan pada gambar yang sedang dikerjakannya. Tujuannya adalah membantu anak-anak mengungkapkan semua imajinasinya agar bisa terangkai dengan baik. Selama ini anak-anak sebenarnya sudah bisa membuat kalimat, tapi masih belum bisa merangkainya secara runtut antar kalimat. Dengan memberikan tanggapan, paling tidak mereka bisa merekayasa satu persatu kalimat yang ingin diungkapkannya secara perlahan. Contohnya: saat ada siswa yang sedang menggambar mobil, saya memberikan tanggapan dengan cara seperti ini, “Wah, mobilnya mogok ya…”. Dengan spontan dia akan menjawab, “Enggak Bu, ini sedang menunggu penumpang”. “Memangnya mau pergi ke mana?” tanya saya. “Kami mau pergi ke Pasuruan”, katanya. “Ada apa di Pasuruan?” saya balik nanya lagi. “Itu Bu , saudara tetangga kami akan menikah. Jadi kami rombongan mau ke sana”, jawabnya. “Oh…begitu ceritanya. Wah , ini cerita yang menarik ya. Coba nanti dituliskan ceritanya di bawah gambar ini ya. Teman-temanmu kan juga ingin tahu isi cerita dari gambar mobil ini”, pesan saya.
Saya memberikan pilihan-pilihan tes pada para siswa. Siswa yang masih belum mampu menulis paragraf, boleh menceritakannya secara lisan, boleh juga membuat nyanyian tentang suatu cerita, atau lainnya. Nina Wina Surat Kabar Guru Belajar - Edisi I Tahun Kedua
29
4. Seperti yang sudah saya jelaskan di nomor tiga, langkah berikutnya setelah digambar dan diwarnai, anak-anak disuruh menceritakan gambar tersebut. 5. Jadi sebenarnya, gambar yang digambar itu adalah gambar ilustrasi (materi bidang studi SBK) dari isi cerita. 6. Setelah tugas selesai, saya meminta beberapa siswa menuliskan hasilnya, dengan bertanya, ”Adakah di antara kalian yang mau membantu Bu Guru menuliskan hasil pekerjaannya di papan tulis?”. 7. Setelah beberapa siswa selesai menulis di papan tulis, baru saya menjelaskan tentang paragraf dengan menggunakan contoh dari pekerjaan siswa.
angka. Itu sangat menyakitkan mereka. Apapun hasilnya, saya sangat perlu mengapresiasi semua upaya mereka.
Ketika kita memberikan solusi yang tepat, mereka akan mudah memahaminya. Secara perlahan, sebenarnya saya sedang membantu memberikan alternative cara belajar untuk mereka. Yang dibutuhkan anak-anak bukan hanya penjelasan materi, tapi kehadiran kita sepenuhnya untuk mereka dengan cara memasuki dunia mereka. Kita akan kesulitan memahamkan suatu materi, jika kita tidak kenal siswa kita, tidak mengetahui kemampuan awalnya, minatnya, ataupun gaya belajarnya.
Harapan saya adalah anak-anak menjadi berdaya, berpikir kritis, dan mampu menyelesaikan setiap masalah yang dihadapinya. Dan yang paling utama, mereka mampu memanfaatkan semua keterampilannya untuk kebaikan sesama. Saya ingin setiap anak menjadi pribadi yang utuh. Harapan itu tidak akan terpenuhi jika hanya membelajarkan pengetahuannya saja. Selamat berkarya Bapak Ibu Guru semua!
Setelah mengeksplorasi seluruh kemampuan mereka dengan beragam metode, dan mengetahui hasil akhirnya, pasti ada beberapa siswa yang hasil karyanya di bawah siswa lainnya. Hal ini membuktikan bahwa kompetensi yang dimiliki anak-anak itu beragam. Mungkin saja kompetensinya ada di bidang lain, seperti: mendongeng, menjadi presenter, pembaca berita, orator, atau lainnya. Karena itulah, saya menggunakan jenis tes yang beragam agar bisa memberikan umpan balik dengan tepat. Saya memberikan pilihan-pilihan tes pada para siswa. Anak yang masih belum mampu menulis paragraf, boleh menceritakannya secara lisan, boleh juga membuat nyanyian tentang suatu cerita, atau lainnya. Jadi bukan membanding-bandingkan antar siswa menggunakan tes yang seragam dan dengan memberikan label
30
Saya meyakini bahwa setiap anak memiliki berbagai potensi yang beragam. Setiap anak juga memiliki kemauan untuk belajar. Mereka bukan kertas putih yang tak ada tulisannya. Mereka terlahir dengan berbagai potensi yang telah tertanam dalam dirinya, tetapi mereka masih kesulitan menggunakannya. Yang saya lakukan adalah memfasilitasi segala keperluan belajarnya sampai mereka menemukan akhir terbaiknya. Bukan mencetaknya sesuai keinginan kita, karena mereka bukan benda mati.
Nina Wina Guru SDN Kemuningsari Kidul 01, Jenggawah, Jember Penggerak Komunitas Guru Belajar Jember Surat Kabar Guru Belajar - Edisi I Tahun Kedua
Ini Tokoku, Mana Tokomu Belajar Matematika yang Bermakna
Matematika bukan formula yang dihafalkan. Matematika adalah operasi angka yang digunakan untuk memudahkan kehidupan sehari-hari maupun untuk menjelaskan cara kerja imajinasi. Matematika seperti itulah yang diperkenalkan Guru Shanti Yanuarini kepada para siswanya. Pelajaran matematika pun berubah menjadi aktivitas yang menyenangkan sekaligus bermakna. Mau tahu? Tahun ini saya ditugaskan untuk mengajar siswa kelas 3 yang berisi 28 anak dalam satu kelas. Anak-anak yang saya ajar ini adalah anak yang aktif dan cenderung suka belajar dengan menggunakan alat peraga ataupun kegiatan lain yang membutuhkan pergerakan fisik. Proses belajar dengan cara mencatat ataupun mendengarkan seringkali membuat mereka terlihat malas ataupun enggan mengikuti proses belajar yang sedang berjalan. Sebagai seorang guru yang mengajarkan anakanak berusia 8-9 tahun dengan karakteristik yang cenderung aktif ini, saya dituntut untuk menjadi lebih aktif dan kreatif dalam menyiapkan materi belajar yang bermakna sesuai dengan karakteristik siswa. Inginnya saya mampu mengajak siswa terlibat aktif dalam pembelajaran sampai akhirnya mampu membuat refleksi atas proses belajar itu, sebagaimana pendapat dari Jere Brophy. “Salah satu langkah untuk menciptakan proses belajar yang optimal adalah dengan menciptakan proses belajar yang bermakna dan itu dapat terlihat ketika siswa terlibat aktif secara kognitif. Untuk mencapai hal tersebut maka guru harus memperjelas tujuan belajar dari para siswa, melibatkan mereka untuk mencapai tujuan tersebut, membantu kinerja mereka, memonitor kegiatan siswa, menghasilkan umpan balik bagi siswa dan membuat refleksi dari pembelajaran yang telah dikembangkan.” Jere Brophy (How to motivate students) Tetapi saya sadar, mempraktikkan pendapat Brophy tersebut idak semudah membalikkan telapak tangan karena di dalamnya ada banyak hal yang harus disiapkan di awal kegiatan, belum lagi setelah kegiatan belajar selesai, ada umpan balik dan refleksi pembelajaran yang harus dilakukan. Pertanyaan yang paling sering mampir di benak saya adalah, bagaimana caranya mengatur pembelajaran
yang bermakna dalam waktu yang cukup singkat serta mampu membuat anak-anak saya memperoleh umpan balik dan membuat refleksi pada waktu yang bersamaan? Kesempatan ini datang pada mata pelajaran matematika. Pelajaran matematika adalah salah satu pelajaran favorit saya karena pelajaran ini cukup memfasilitasi kebutuhan siswa saya untuk aktif bergerak. Di tema 2 anak-anak belajar mengenai uang mulai
dari mengenali macam macam bentuk dan kegunaan dari uang, nominal uang serta pertukaran uang. Dalam proses belajar itu saya menunjukkan berbagai contoh uang mainan dengan nominal yang serupa dengan uang asli. Saya juga melakukan aktivitas jual beli yang secara langsung yang dipersiapkan guru dimana mereka memiliki sejumlah uang yang telah diberikan di awal pelajaran
untuk kemudian membeli barang yang sudah dipersiapkan di kelas. Dari aktivitas ini kami para guru kemudian berefleksi bahwa kegiatan ini dapat kami kembangkan lebih jauh. Setelah melalui proses diskusi dalam tim guru kelas 3, akhirnya kami memutuskan untuk membuat sebuah proyek mini matematika yaitu membuat toko sederhana dimana para siswa dapat melakukan kegiatan jual beli versi mereka. Pengunjung yang akan datang pada toko kami adalah siswa kelas 3 dari kelas yang lain dan mereka wajib untuk memberi umpan balik pada kelas yang sudah mereka kunjungi. Aktivitas jual beli yang disusun oleh para guru nampaknya cukup berkesan bagi para murid sehingga ketika dibuat menjadi mini project, anak-anak mempunyai gambaran mengenai berjalannya kegiatan toko mereka dan ide mengenai kegiatan yang ingin mereka lakukan di toko tersebut. Anak-anak di kelas segera berdiskusi mengenai apa yang harus dipersiapkan untuk membuka toko kami dengan antusias.
Anak-anak di kelas dibagi menjadi 4 kelompok. Masing-masing dari kelompok itu diminta untuk segera membuat rancangan mengenai aktivitas jual beli apa yang ingin mereka lakukan. Waktu yang mereka perlukan untuk mempersiapkan toko tersebut adalah 1 minggu. Walau waktu yang disediakan cukup sempit, namun terbersitlah beberapa ide sederhana seperti misalnya membuka les sempoa, membuka les craft, membuat
Bagaimana caranya mengatur pembelajaran yang bermakna dalam waktu yang cukup singkat serta mampu membuat anak-anak saya memperoleh umpan balik dan membuat refleksi pada waktu yang bersamaan? Shanti Yanuarini Surat Kabar Guru Belajar - Edisi I Tahun Kedua
31
persewaan mainan, dan juga membuka toko buku (buku yang mereka gunakan untuk jual beli adalah buku yang mereka miliki di rumah, ditambah dengan buku di perpustakaan kelas kami). Didukung dengan antusiasme yang sangat tinggi, maka merekapun segera mempersiapkan apa saja alat dan bahan yang perlu mereka siapkan dalam “toko” mereka masing-masing.
untuk menarik pengunjung yakni mengucapkan kalimat persuasif seperti “silahkan mencoba game kami, dijamin ketagihan” dan menyiapkan game yang menurut mereka “susah-susah gampang” yakni menyusun kartu secara bertumpuk. Petugas dari toko buku menceritakan bahwa pengunjung yang datang cukup tertib karena bersedia untuk mengantri sewaktu membeli buku tetapi mereka kadang kesulitan dalam
Beberapa hari sebelum aktivitas jual beli kami, anak-anak sudah membawa alat dan bahan yang mereka butuhkan. Kami juga sudah menyiapkan uang-uangan yang dapat kami gunakan untuk aktivitas jual beli kami (uang-uangan itu memiliki nominal dan gambar yang sama dengan uang biasa, hanya saja tertulis “uang mainan” agar siswa tahu bahwa itu tidak dapat digunakan untuk aktivitas jual beli di dunia nyata).
menghitung uang kembalian karena uang yang mereka miliki kurang lengkap nominalnya.
Hari jual beli telah tiba. Anak-anak mulai menata toko mereka masing masing. Mereka juga mempersiapkan hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas itu seperti misalnya nama toko, daftar harga maupun desain toko yang mereka inginkan. Mereka saling bekerja sama menyiapkan dekorasi toko yang menarik. Mereka juga menempelkan karton berwarna di depan pintu sebagai lembar feedback agar pengunjung dapat memberikan saran atau masukan setelah perkunjungan. Ketika pengunjung mulai tiba, anak-anak dengan segera berpromosi. Suasana sangat ramai ketika hari pembukaan toko. Siswa dari kelas lain segera berdatangan dan anak-anak mulai melakukan promosi dengan kata-kata yang cukup persuasif. Melihat antusiasme para murid, mau tidak mau saya ikut antusias juga. Persiapan yang sudah dilakukan ternyata mereka laksanakan dengan baik. Feedback yang diberikan pengunjung juga meningkatkan rasa percaya diri mereka. Mereka membaca berbagai komentar positif dari para pengunjung toko. Di akhir hari, ketika toko kami mulai tutup, mereka diminta untuk menghitung berapa uang yang mereka dapatkan (baik secara riil, ataupun dari catatan aktivitas uang mereka) dan menghitung untung rugi yang mereka dapatkan. Seusai menghitung uang mereka, kami duduk bersama dan membuat refleksi atas aktivitas di hari ini. Ada yang senang, ada yang bangga, ada juga yang sedih karena tokonya relatif sepi dibandingkan dengan toko yang lain. Ketika petugas di toko itu diminta menjelaskan alasannya, ada yang menjawab, mungkin barang di tokonya tidak terlalu menarik pengunjung. Di samping itu, mereka juga menyadari bahwa mereka tidak seantusias grup lain sewaktu menawarkan barang dagangannya. Di sisi lain, ada anggota kelompok lain yang antusias bercerita tentang les sempoa yang mereka buka yang sangat ramai pengunjung. Tantangan yang mereka berikan rupanya menarik minat pengunjung. Banyak siswa yang mencoba melawan kemampuan dari “guru les” sempoa grup tersebut. Pemilik game mainan kartu juga menceritakan trik mereka
32
Selain bercerita mengenai respon pengunjung, mereka juga melihat kerjasama antar anggota masing masing. Pemilik les sempoa menyatakan bahwa tim mereka adalah tim yang kompak sehingga mereka senang bisa bekerjasama. Pemilik toko game mainan merasa ada beberapa siswa yang hanya duduk dan tidak melakukan apa-apa padahal toko mereka sedang ramai. Pengalaman mereka membuka toko juga mereka tuangkan dalam bentuk tertulis dimana mereka kemudian menuliskan feedback untuk kelompok mereka. Kriteria dalam feedback tersebut ada 3 yakni : keaktifan mereka saat menjalani proses pembukaan toko, keaktifan anggota tim saat proses serta kemampuan mereka mengelola toko. Penilaian untuk masing-masing aspek berkisar pada angka 1 sampai 3 dimana angka 3 merupakan skor yang menunjukkan sikap positif. Pada akhirnya, bukan hanya pengalaman menghitung uang saja yang bisa mereka dapatkan, tetapi proses persiapan awal sampai pada akhir hari tutup toko menjadi bahan belajar yang berharga buat mereka.
Shanti Yanuarini Guru Sekolah Citra Berkat Citraland Surabaya, Anggota Komunitas Guru Belajar Surabaya
[email protected]
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi I Tahun Kedua