1
KEANEKARAGAMAN JENIS MAMALIA PADA AREAL BERVEGETASI ALAM DAN LINGKUNGAN KEBUN KELAPA SAWIT PT. INTI INDOSAWIT SUBUR, KABUPATEN PELALAWAN, PROPINSI RIAU
ANWARSYAH HARAHAP
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
2
KEANEKARAGAMAN JENIS MAMALIA PADA AREAL BERVEGETASI ALAM DAN LINGKUNGAN KEBUN KELAPA SAWIT PT. INTI INDOSAWIT SUBUR, KABUPATEN PELALAWAN, PROPINSI RIAU
ANWARSYAH HARAHAP
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
3
“Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai” (Al-Kahfi, 18:109)
MENGABDI KEPADA TUHAN DENGAN MELESTARIKAN ALAM
4
RINGKASAN Anwarsyah Harahap. E34104005. “Keanekaragaman Jenis Mamalia Pada Areal Bervegetasi Alam dan Lingkungan Kebun Kelapa Sawit PT. Inti Indosawit Subur, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau”. Dibawah bimbingan Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA. Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia, salah satunya mamalia. Mamalia dapat dijumpai pada berbagai tipe ekosistem termasuk ekosistem perkebunan kelapa sawit. Penelitian keanekaragaman jenis mamalia di lingkungan kebun kelapa sawit belum banyak dilakukan. Sehubungan dengan hal tersebut, telah dilakukan sejak bulan Februari sampai dengan Maret 2007 penelitian keanekaragaman jenis mamalia sebagai salah satu komponen ekosistem kebun kelapa sawit di PT. Inti Indosawit Subur, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman jenis dan besarnya perubahan jenis mamalia pada beberapa macam vegetasi di sekitar ekosistem kebun kelapa sawit. Pengamatan dilakukan pada beberapa lokasi yaitu areal bervegetasi alam (semak belukar dan areal hutan), areal perkebunan sawit (kebun sawit inti, kebun sawit plasma, areal di sekitar pemukiman) dan kebun karet. Pengamatan dilakukan secara langsung dan tidak langsung (kotoran, jejak dan suara). Pengamatan langsung menggunakan teknik transek jalur (Stripe transeck) dan titik terkonsentrasi (Consentration count) serta teknik pemerangkapan (Trapping) untuk pengamatan tidak langsung. Ada total 12 jalur yang digunakan, pada tiap tipe habitat diletakkan 2 jalur pengamatan dengan panjang rata-rata jalur 895 m. Perangkap dipasang di sepanjang jalur pengamatan, digunakan sebanyak 57 buah perangkap (27 buah perangkap hidup, 30 perangkap mati). Pengolahan data dilakukan dengan menghitung indeks kekayaan jenis, indeks keanekaragaman jenis, indeks kemerataan jenis, penyebaran jenis dan kesamaan komunitas. Hasil pengamatan, ditemukan total jenis mamalia sebanyak 18 jenis. Areal hutan merupakan lokasi penelitian yang memiliki nilai kekayaan jenis terbesar, yakni 12 jenis mamalia. Kekayaan jenis terendah adalah pada areal kebun karet, ditemukan hanya 1 jenis. Nilai indeks keanekaragaman jenis berkisar antara 0,00 sampai 2,15. Nilai indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada areal hutan (H’ = 2,15) dan yang terkecil adalah di kebun karet (H’ = 0,00). Tingkat kemerataan jenis mamalia di tiap lokasi penelitian kecuali kebun karet (E = 0,00) relatif merata (E = 0,80-0,95). Nilai indeks kemerataan tertinggi adalah pada areal semak belukar (E = 0,95). Komunitas yang relatif sama (IS = 43 %) adalah antara kebun sawit inti dengan areal sekitar pemukiman atau dengan kebun sawit plasma. Kesamaan komunitas terendah adalah antara areal hutan dengan kebun karet (IS = 7 %). Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa keanekaragaman jenis mamalia yang ditemukan pada tiap lokasi mulai dari rendah sampai sedang (0,00 < H’ < 2,15), keanekaragaman tertinggi pada areal hutan dan yang terendah pada kebun karet. Pengubahan fungsi areal hutan ke dalam bentuk vegetasi lain mengakibatkan terjadinya perubahan kekayaan dan keanekaragaman jenis mamalia.
Kata lunci : areal hutan, kebun sawit, kekayaan jenis, keanekaragaman jenis kesamaan komunitas.
5
SUMMARY Anwarsyah Harahap. E34104005. “Mammal Diversity At Natural Vegetations Area And At Oil Palm Plantation Area of PT. Inti Indosawit Subur, Pelalawan Districk, Riau”. Under supervition of D. Ir. A. Machmud Thohari, DEA. Indonesian is one of the richness biodiversity countries in the world, including mammals. Mammals can be found in various ecosystem types, e.g plantation ecosystem as of palm oil plantation. Research on mammal diversity in oil palm plantation area was rare implemented. In connection with those matter, It was implemented as one of ecosystem component of palm oil plantation. It was at PT. Inti Indosawit Subur, Pelalawan Distric, Riau Province on February-March 2007. This research aimed to find out of species diversity and large of mammals spesies difference in several vegetation around palm oil plantation ecosystem. The observation were carried out at several site, that are natural vegetation area (scrub and encluved forest area), oil palm area (core estate of oil palm, plasm estate of oil palm and around settlement area) and rubber estate. Observation used direct count and indirect count. The direct count used stripe transeck technique and consentration count than trapping technique for indirect count. There are 12 transect totally, which were 2 transect set up each its habitats type. The average lenght transect were 895 m. There are 57 trap totally which used in the observation (27 life trap, 30 snape back trap). The data were analyzed to find out species richness index, species diversity index, species evennes index, spesies distribution, and similarity index. The are 18 species mammals totally that was found during observation. Forest area is highest species richness of mammals (12 species). The lowest species richness is on rubber estate, that found only 1 spesies. Spesies diversity index were revolved between 0,00-2,15. The highest species diversity index was in forest area (H’ = 2,15) and the lowest in rubber estate ( H’ = 0,00). Except rubber estate (H = 0’), species evennes of mammals in research locate were smooth relative (E = 0,80-0,95).The highest species evennes index was rubber estate (E = 0,95). The higest of similarity (IS = 43 %) were between of core oil palm estate by around setlement area or by plasm oil palm estate. The lowest of similarity were between rubber estate by forest area (IS = 7 %). The reaserch conclution was that the species diversity each site were low to be medium (0,00 < H’ < 2,15). The highest species diversity index was in encluved forest area and the lowest was in rubber estate. The modification function out of forest area inside to other vegetation were resulted in change species diversity and evennes of mammals. Key word : forest area, oil palm, species richness, species diversity, similarity.
6
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keanekaragaman Jenis Mamalia Pada Areal Bervegetasi Alam dan Lingkungan Kebun Kelapa Sawit PT. Inti Indosawit Subur, Kabupaten Pelalawan, Propinsi Riau adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juli 2008
Anwarsyah Harahap NRP : E34104005
7
Judul Penelitian
: Keanekaragaman Jenis Mamalia Pada Areal Bervegetasi Alam dan Lingkungan Kebun Kelapa Sawit PT. Indi Indosawit Subur, Kabupaten Pelalawan, Propinsi Riau.
Nama Mahasiswa
: Anwarsyah Harahap
Nomor Pokok
: E34104005
Fakultas/Jurusan
: Kehutanan/Konservasi Sumberdaya Hutan
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA NIP : 130891377
Mengetahui, Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
(Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr) NIP : 131578788
Tanggal lulus :
8
KATA PENGANTAR Penulis memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat, dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan. Tema penelitian yang dilaksanakan pada bulan Pebruari sampai dengan bulan Maret 2007 adalah keanekaragaman mamalia, dengan judul “Keanekaragaman Jenis Mamalia Pada Areal Bervegetasi Alam dan Lingkungan Kebun Kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur, Kabupaten Pelalawan, Propinsi Riau”. Skripsi ini menyajikan tentang keanekaragaman jenis dan perubahan jenis satwa mamalia dari berbagai macam lokasi yang saling berdekatan di ekosistem kebun sawit. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada : bapak, ibu, kakak, abang dan adik-adik tercinta yang telah memberi dorongan material dan spiritual; bapak Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA selaku dosen pembimbing atas bimbingan dan arahannya; Bapak Dr. Ir. I Nyoman J.Wistara, MS sebagai dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan, Ibu Dr. Ir. Nor Farekah Haneda, MS sebagai dosen penguji dari departemen Silvikultur; mas Adrian Suharto dan seluruh manajemen beserta staf ASIAN AGRI GROUP, PT. Inti Indosawit Subur, Kabupaten Pelalawan, Propinsi Riau atas dukungan finansial dan bantuannya selama pelaksanaan penelitian; teman-teman Asrama Mahasiswa Sylvasari; teman-teman UKF; teman-teman KSH 41; teman-teman seperjuangan di lapangan, Tunggir (Dwi Suryana), Medon (Yogi Prasetio) dan Onan (Inama) atas suka duka, bantuan dan persahabatannya. Khusus untuk Rr. Ajeng Kirana Harliani Susetyo atas suka duka dan kasih sayangnya. Selamat berjuang menggapai ridho Illahi. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang berguna dalam penyempurnaan tulisan ini. Semoga karya tulis ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2008
Anwarsyah Harahap
9
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR .............................................................................
i
DAFTAR ISI ...........................................................................................
ii
DAFTAR TABEL ...................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................
v
BAB.I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ..................................................................
1
1.2 Tujuan Penelitian ...............................................................
2
1.3 Manfaat Penelitian .............................................................
3
BAB.II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Mamalia ..........................................................
4
2.2 Habitat Mamalia ................................................................
5
2.3 Penyebaran Mamalia .........................................................
5
2.4 Keanekaragaman Jenis Mamalia .......................................
6
2.5 Dampak Perkebunan Sawit Terhadap Mamalia ................
10
BAB.III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu .............................................................
11
3.2 Batasan Penelitian ..............................................................
12
3.3 Alat dan Bahan ...................................................................
12
3.4 Jenis Data ...........................................................................
12
3.5 Teknik Pengumpulan Data .................................................
13
3.6 Analisis Data ......................................................................
15
BAB.IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Kawasan ...............................................................
18
4.2 Letak dan Luas ..................................................................
18
4.3 Topografi ...........................................................................
19
4.4 Geologi ..............................................................................
19
4.5 Iklim ..................................................................................
19
10
4.5 Sosial Ekonomi ..................................................................
20
BAB.V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Lokasi Penelitian .................................................
21
5.2 Kekayaan Jenis ..................................................................
25
5.3 Penyebaran Jenis ...............................................................
27
5.4 Kelimpahan Jenis dan Kemerataan Jenis ............................
29
5.5 Kesamaan Komunitas ........................................................
31
5.6 Pendugaan Kepadatan Populasi ..........................................
33
5.7 Tingkat Trofik dan Sebaran Ekologis ................................
34
5.8 Ancaman Terhadap Kelestarian Satwa Mamalia ..............
38
5.9 Areal Yang Memiliki Nilai Konservasi Tinggi ..................
42
BAB.VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ........................................................................
44
6.2 Saran ..................................................................................
44
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
11
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1. Alat yang digunakan dalam penelitian ...............................................
12
2. Jumlah perangkap yang dipasang pada tiap lokasi penelitian ............
14
3. Klasifikasi nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (Magurran 1998)...................................................................................
16
4. Kekayaan jenis mamalia yang ditemukan pada tiap lokasi penelitian ............................................................................................
26
5. Penyebaran jenis mamalia yang ditemukan pada lokasi penelitian ...
28
6. Indeks keanekaragaman dan kemerataan jenis mamalia tiap lokasi penelitian ............................................................................................
31
7. Matriks perhitungan nilai indeks kesamaan komunitas .....................
32
8. Pendugaan kepadatan populasi tiap lokasi penelitian ........................
33
9. Daftar aktivitas manusia yang dijumpai di dalam dan sekitar lokasi penelitian yang berpotensi sebagai ancaman ...........................
39
10. Data jenis mamalia yang ditemukan di lokasi penelitian berdasarkan status konservasinya ..........................................................................
43
12
DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1. Sketsa lokasi penelitian ......................................................................
11
2. Ilustrasi metode transek jalur ..............................................................
13
3. Ilustrasi penempatan perangkap pada jalur .........................................
14
4. Contoh kondisi areal hutan ...................................................................
21
5. Contoh kondisi areal semak belukar .....................................................
22
6. Contoh kondisi areal sekitar pemukiman ...........................................
23
7. Contoh kondisi areal kebun sawit inti .................................................
23
8. Contoh kondisi areal kebun sawit plasma ...........................................
24
9. Contoh kondisi areal kebun karet .......................................................
25
10. Grafik frekuensi penemuan jenis mamalia .......................................
29
11. Ilustrasi sebaran vertikal satwa mamalia yang ditemukan ...............
36
12. Persentase jenis mamalia yang ditemukan berdasarkan jenis makanannya ......................................................................................
37
13. Grafik perbandingan jumlah jenis mamalia tiap tingkat tropik ........
38
14. Jerat untuk babi dan rusa ..................................................................
39
15. Bangkai babi buruan .........................................................................
40
16. Penebangan kayu pada areal hutan ...................................................
40
17. Papan larangan pengambilan kayu di areal hutan ............................
41
13
DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman 1. Indeks nilai penting vegetasi bawah di kebun sawit inti .................... 47 2. Indeks nilai penting vegetasi bawah di kebun sawit plasma ..............
49
3. Indeks nilai penting vegetasi bawah di areal sekitar pemukiman ......
51
4. Indeks nilai penting vegetasi bawah di semak belukar ......................
54
5. Indeks nilai penting vegetasi bawah di kebun karet ...........................
56
6. Indeks nilai penting vegetasi bawah di areal hutan ............................
58
7. Daftar jenis tumbuhan tingkat pancang pada areal hutan ...................
60
8. Daftar jenis tumbuhan tingkat tiang pada areal hutan ........................
61
9. Daftar jenis tumbuhan tingkat pohon pada areal hutan ......................
62
10. Data jenis mamalia tiap lokasi penelitian ..........................................
63
11. Perhitungan indeks keanekaragaman jenis dan kemerataan jenis mamalia di kebun sawit inti ..............................................................
64
12. Perhitungan indeks keanekaragaman jenis dan kemerataan jenis mamalia di kebun sawit plasma ........................................................
64
13. Perhitungan indeks keanekaragaman jenis dan kemerataan jenis mamalia di areal sekitar pemukiman ................................................
64
14. Perhitungan indeks keanekaragaman jenis dan kemerataan jenis mamalia di semak belukar ................................................................
65
15. Perhitungan indeks keanekaragaman jenis dan kemerataan jenis mamalia di areal hutan ......................................................................
65
16. Perhitungan indeks keanekaragaman jenis dan kemerataan jenis mamalia di kebun karet ....................................................................
66
14
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia yakni kedua setelah Brazil. Keanekaragaman hayati tersebut meliputi
keanekaragaman
ekosistem,
keanekaragaman
spesies
dan
keanekaragaman genetik. Memiliki 27.500 spesies tumbuhan berbunga (10 % dari total jumlah spesies tumbuhan berbunga dunia), 700 spesies satwa mamalia (12 % dari total jumlah spesies satwa mamalia dunia), 511 spesies reptilia, 270 spesies amfibia (16 % dari total jumlah spesies amfibia dunia) dan 1.585 spesies burung (17 % dari total jumlah spesies burung dunia), memberikan gambaran betapa Indonesia menjadi salah satu pusat kekayaan keanekaragaman hayati dunia (Purnama 2006). Mamalia sebagai salah satu kekayaan keanekaragaman hayati dapat menempati habitat yang beranekaragam. Menurut KNLH (1994) terdapat 48 tipe habitat utama di Indonesia, mulai dari laut dalam sampai pegunungan, antara lain laut dalam, hutan pantai, hutan payau, hutan rawa, hutan gambut, hutan hujan dataran rendah, hutan hujan pegunungan bawah, hutan hujan pegunungan atas, hujan hujan subalpin, serta areal bukan hutan seperti areal perkebunan, gua karst, pekarangan, daerah persawahan dan savana. Kebun kelapa sawit merupakan tipe habitat bukan hutan yang relatif luas di Indonesia. Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Derom Bangun dalam Konferensi Internasional tentang kelapa sawit di Nusa Dua, Bali tahun 1998, menyatakan bahwa luas areal kebun kelapa sawit pada tahun 2010 dapat mencapai 5 juta ha. Pada areal kebun kelapa sawit, dapat dijumpai satwa mamalia karena memiliki beberapa keistimewaan dalam hal fisiologi maupun susunan sarafnya. Mamalia mampu bertahan hidup pada kondisi cuaca yang ekstrim, bahkan di kutub utara dan selatan dapat dijumpai mamalia karena adanya kemampuan mengatur suhu tubuhnya (homoitherm). Oleh sebab itu, tidak mengherankan mamalia dapat bertahan hidup pada areal kebun kelapa sawit dan lingkungan sekitarnya.
15
Pengembangan areal perkebunan kelapa sawit ternyata menyebabkan meningkatnya ancaman terhadap keberadaan hutan. Daerah-daerah perkebunan yang sekarang dibangun terutama untuk perkebunan sawit di Sumatera, semula merupakan hutan produksi yang dapat dikonversi. Pada kenyataannya, hampir semua hutan di Sumatera merupakan habitat satwa mamalia yang dilindungi seperti gajah (Elephas maximus), tapir (Tapirus indicus) dan harimau Sumatera (Panthera tigris sumaterae) (Alikodra 2002). Akibat deforestasi tersebut, bisa dipastikan Indonesia mendapat ancaman hilangnya keanekaragaman hayati dari ekosistem hutan hujan tropis. Saat ini, telah berkembang kebijakan yang menuntut manajemen perkebunan sawit melakukan pengelolaan kebun lestari. Salah satunya adalah tanggung jawab terhadap lingkungan serta konservasi sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati termasuk di dalamnya satwa mamalia. Salah satu dasar yang diperlukan dalam kegiatan konservasi sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati adalah tersedianya data dan informasi tentang keanekaragaman hayati tingkat jenis. Sehubungan dengan hal tersebut, telah dilakukan penelitian studi keanekaragaman jenis mamalia sebagai salah satu komponen ekosistem kebun kelapa sawit. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh data dan informasi awal yang dapat digunakan dalam manajemen kebun lestari sehingga keberadaan spesies mamalia tetap lestari dan usaha perkebunan kelapa sawit dapat berkelanjutan, baik secara ekonomi maupun ekologis.
1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut : 1. Keanekaragaman jenis mamalia pada areal bervegetasi alam, areal perkebunan kelapa sawit dan areal budidaya lainnya di sekitar kebun sawit. 2. Besarnya perubahan kekayaan jenis mamalia pada beberapa macam lokasi pada areal bervegetasi alam, areal perkebunan kelapa sawit dan areal budidaya lainnya di sekitar kebun sawit.
16
1.3 Manfaat Kegiatan penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut : 1. Memberikan data terbaru mengenai keanekaragaman jenis mamalia pada areal bervegetasi alam, areal kebun kelapa sawit dan areal budidaya lainnya di sekitar kebun sawit. 2. Sebagai bahan pengelolaan keanekaragaman hayati sehingga dapat bermanfaat untuk kelestarian satwa mamalia.
17
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Mamalia Mamalia berasal dari kata mammilae yang berarti hewan menyusui, suatu kelas vertebrata (hewan bertulang belakang) dengan ciri seperti adanya bulu di badan dan adanya kelenjar susu pada betina. Mamalia terdiri dari monotremata (hewan berkloaka atau mamalia petelur), marsupialia (hewan berkantung atau hewan dengan kantung tempat anaknya tinggal beberapa waktu sesudah lahir) dan mamalia placental disebut juga placentalia (hewan yang memberi makan pada janin melalui placenta sejati) (Van Hoeve 1992). Van Hoeve (1992) juga menyatakan bahwa mamalia merupakan kelompok tertinggi taksonominya dalam dunia hewan. Secara umum mamalia memiliki ciriciri sebagai berikut : 1. Tubuh biasanya ditutupi rambut yang lepas secara periodik, kulit banyak mengandung kelenjar keringat dan kelenjar susu. 2. Berjalan tegak, memiliki empat anggota kaki (kecuali anjing laut dan singa laut tidak memiliki kaki belakang), masing-masing kaki memiliki kurang lebih lima jari yang bermacam-macam bentuknya disesuaikan dengan fungsinya. Tungkai tubuh ada di bawah badan. 3. Heterodontia (beranekaragaman jenis gigi dengan bermacam fungsi) 4. Pernafasan dengan paru-paru, hasil ekresi berupa cairan urine. 5. Homoiothermia (hewan berdarah panas). Suhu tubuh tidak dipengaruhi suhu lingkungan. 6. Hewan jantan memiliki alat kopulasi berupa penis, fertilisasi terjadi di dalam tubuh hewan betina. Ukuran tubuh mamalia bermacam-macam, yang terkecil kurang lebih 5 cm (tikus kecil), yang besar adalah gajah dan yang paling besar adalah ikan paus biru atau blue whale (Balanophora musculus) yang bisa mencapai panjang 8 m dan berat 115 ton (Jasin 1992 dalam Lamin 1997). Mamalia umumnya dibagi dalam dua kelompok besar yaitu mamalia besar dan kecil. Mamalia kecil adalah mamalia yang berat badan dewasanya antara 2 gram hingga 5 kg. Jenis-jenis ini antara lain adalah kelelawar (Chiroptera), bajing
18
dan tikus (Rodentia), tupai (Scandentia) dan banyak jenis lainnya. Sedangkan mamalia besar adalah mamalia yang beratnya diatas 5 kg (Jasin 1992 dalam Lamin 1997).
2.2 Habitat Mamalia Satwaliar dapat mengubah keperluannya terhadap pelindung melalui pengaturan baik secara anatomis, fisiologis ataupun adaptasi perilaku. Setiap jenis satwaliar memerlukan pelindung yang berbeda-beda. Pada umumnya mamalia dapat menggunakan tempat bersarang yang sama pada lubang pohon atau pada lantai hutan. Lekagul dan McNeely (1977) dalam Solichin (1997) menyatakan bahwa ruang dimana satwaliar hidup adalah habitat alaminya yang mungkin dapat berupa hutan evergreen, sungai, hutan deciduous, gua kapur, hutan mangrove, sawah, kota ataupun lainnya. Beberapa jenis mungkin dapat ditemukan dalam kisaran yang cukup luas dari berbagai macam tipe habitat dan lainnya mungkin dapat ditemukan dalam habitat mikro yang spesifik. Jenis mamalia mungkin bersifat teristerial, arboreal, aerial, caverniculous (hidup di gua-gua), fossorial (di terowongan-terowongan), aquatik atau gabungan dari berbagai tipe di atas. Mamalia hidup di berbagai habitat, mulai dari kutub sampai daerah equator. Beberapa jenis mamalia kebanyakan ditemukan di dataran rendah, lainnya kebanyakan ditemukan di daerah pegunungan serta beberapa jenis di pegunungan tinggi. Habitat yang sesuai bagi suatu jenis satwa belum tentu sesuai untuk jenis lainnya. Hal ini disebabkan karena setiap individu menghendaki kondisi habitat yang berbeda-beda (Alikodra 2002).
2.3 Penyebaran Mamalia Penyebaran
mamalia memiliki kecenderungan untuk dibatasi oleh
penghalang-penghalang fisik (sungai, tebing dan gunung) serta penghalang ekologis (batas tipe hutan dan adanya spesies saingan). Adanya penghalangpenghalang tersebut menyebabkan mamalia menyesuaikan diri secara optimum dengan habitatnya. Hal ini juga yang menyebabkan adanya satwa endemis pada habitat tertentu.
19
Menurut Alikodra (2002), wilayah penyebaran dari banyak spesies mamalia masih sedikit yang diketahui dan hampir semua koleksi mamalia baru yang ditemukan khususnya di Asia Tenggara menunjukkan adanya batas penyebaran yang baru. Perubahan yang dilakukan manusia terhadap habitat telah mengubah penyebaran banyak spesies mamalia. Beberapa ordo penyebarannya tidak mencapai fauna Orientalis, seperti ordo Macroscelidea, Edentata, Hyracoidea dan Tubudentata. Sedangkan ordo Marsupialia dan Monotremata penyebarannya hanya di wilayah Australis dan sebagian mencapai Indonesia bagian timur. Ordo Demoptera dan suku Hylobatidae merupakan fauna endemik daerah Orientalis. Fauna Sumatera sangat erat hubungannya dengan fauna yang terdapat di Semenanjung Malaysia dengan relatif sedikit mamalia endemik, misalnya kelinci Sumatera (Nesolagus netsheri). Sesuai dengan kondisi biogeografisnya, Pulau Kalimantan (Mamalia endemik sebanyak 18 jenis) memiliki jenis-jenis satwaliar endemik yang lebih tinggi daripada Pulau Sumatera (Mamalia endemik sebanyak 10 jenis) (Whitten et al 1987 dalam Alikodra 2002). Mamalia di wilayah Sunda Besar (Sumatera, Kalimantan dan Jawa) berkerabat dekat dengan fauna Benua Asia meskipun banyak perbedaan antara ketiga pulau utama tersebut. Tetapi terdapat perbedaan menarik antara pulaupulau tersebut seperti badak (Rhinoceros sp) dan harimau Sumatera (Panthera tigris Sumaterae) yang terdapat di Sumatera dan Jawa tetapi tidak terdapat di Kalimantan. Beruang madu (Helarctos malayanus), macan dahan (Neofelis nebulosa) dan gajah Sumatera (Elephas maximus Sumateranus) yang terdapat di Sumatera dan Kalimantan dan tapir (Tapirus indicus) di Sumatera (Zon 1979 dalam Solichin 1997).
2.4 Keanekaragaman Jenis Mamalia Keanekaragaman mamalia tergolong tinggi. Saat ini, di dunia tercatat 26 ordo, 136 famili, 1135 genera, dan 4.629 spesies. Hasil penelitian ahli mamalia dunia perwakilan South-East Asian Mammal Databank, Gianluca Catullo, selama 2001-2004, tercatat 5.743 spesies.
20
Di Indonesia tercatat 700 jenis mamalia yakni 12 % dari total mamalia di dunia. Dari 700 jenis mamalia yang tercatat, 200 di antaranya kelompok rodentia (binatang pengerat) dan 210 jenis kelelawar. Sekitar 70 spesies merupakan satwa dilindungi (Purnama 2006). Di Sumatera terdapat tidak kurang 180 jenis mamalia yang tersebar di berbagai tipe habitat, baik areal bervegetasi alam atau areal budidaya (Van Strein 1986 dalam Kartono et al 2000). Dari keseluruhan jenis mamalia tersebut, umumnya penyebarannya akan mengikuti atau sesuai dengan pola lingkungan fisiknya.
2.4.1 Areal Bervegetasi Alam Alikodra (2002) menyatakan bahwa kebanyakan satwaliar tergantung pada areal berhutan terutama untuk memenuhi kebutuhan makanan dan berlindung. Tiap tipe hutan memiliki vegetasi khas yang beda-beda dan jenis-jenis mamalia yang mendiami tipe hutan tersebut juga berbeda. Hutan hujan tropis Sumatera merupakan rumah bagi berbagai makhluk hidup. Banyak di antaranya yang merupakan jenis hewan yang terancam punah, seperti orangutan Sumatera (Pongo pygmeus), harimau Sumatera (Panthera tigris sumaterae), kelinci Sumatera (Nesolagus netsheri), tapir (Tapirus indicus) dan badak Sumatera (Dicerorhinus Sumaterae). Di hutan hujan tropis juga tumbuh berbagai tumbuhan endemik, seperti kantong semar, bunga terbesar di dunia Rafflesia, dan bunga tertinggi Amorphophallus (Tigerbear 2007). Pada areal hutan gambut, tumbuhan bawah tidak berkembang sehingga kurang disenangi herbivora. Satwaliar sangat terbatas. Hutan gambut di sekitar Danau Pulau Besar dan Danau Bawah (Riau) yang diteliti Alikodra (1985) dalam Alikodra (2002) menemukan beberapa jenis primata seperti kera ekor panjang (Macaca fascicularis), lutung (Trachypithecus auratus), beruk (Macaca nemestrina) dan siamang (Hylobates syndactilus), kucing hutan (Felis bengalensis) dan babi hutan (Sus scrofa), serta pada beberapa tempat dapat ditemukan beruang (Herlarctos malayanus). Umumnya mamalia yang ditemukan di hutan rawa adalah jenis-jenis yang tinggal di atas pohon, terutama primata (Macaca fascicularis) dan mamalia
21
Sciuridae. Jenis mamalia yang ditemukan pada hutan pantai juga sangat terbatas. Umumnya primata seperti kera ekor panjang (Macaca fascicularis) dan lutung (Trachypithecus auratus) yang sering turun ke pantai untuk mencari makan serta mamalia Sciuridae. Hutan mangrove digunakan sebagai tempat bersembunyi kucing hutan (Felis marmorata) serta tempat tidur dan mencari makan berbagai jenis primata. Di Resort Way Kanan, TN. Way Kambas, Lampung ditemukan juga berang-berang dan linsang. Kartono et al (2000) yang meneliti beberapa tipe habitat di Muara Bungo Jambi, menemukan jumlah jenis mamalia selain tikus dan kelelawar berbeda-beda tiap tipe habitat. Pada hutan primer ditemukan 7 jenis mamalia, pada hutan bekas tebangan dan hutan karet alam ditemukan 9 jenis mamalia dan pada areal hutan tanaman industri ditemukan 3 jenis mamalia.
2.4.2 Areal Budidaya (Pertanian, Pemukiman dan Perkebunan) Selain di areal yang berhutan, satwaliar juga dapat ditemukan di berbagai tipe habitat di luar kawasan hutan atau areal yang tak berhutan, seperti : areal pertanian, pekarangan atau areal perkebunan (Alikodra 2002). 1. Areal Pertanian Jenis mamalia yang sering ditemukan pada areal pertanian adalah mamalia rodentia, terutama mamalia famili Muridae (tikus-tikusan). Mamalia Rodensia merupakan mamalia pengerat dan biasanya mengasah gigi serinya dengan cara mengkrikit benda-benda keras di sekitarnya. Oleh sebab itu, mamalia rodensia berperan sebagai hama baik di daerah pertanian maupun perkotaan. Suyanto (1979) mengungkapkan pada percobaan dalam rumah kaca, seekor tikus dapat merusak 103 batang padi hanya dalam waktu sehari.
2. Areal Pemukiman Pekarangan merupakan sebidang lahan milik perseorangan, sehingga pemilik memiliki kebebasan menanami atau tidak menanami sama sekali pekarangan yang dimilikinya. Jika pekarangan ditanami dengan tanaman jenis buah-buahan akan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan burung, serangga, kalong dan juga bajing. Bajing, kalong dan kukang datang untuk
22
mencari buah-buahan di pekarangan. Disamping untuk mencari makan, sering kali pohon-pohon pekarangan juga dijadikan sebagai tempat tidur dan bersarang (Alikodra 2002).
3. Areal Perkebunan Kelapa Sawit Di Indonesia, areal kelapa sawit pada saat ini mencapai areal seluas lebih dari 5 juta hektar yang tersebar di Aceh, Sumatera Utara, pantai timur Sumatera (Sumatera Selatan dan Riau), Jambi, Bengkulu, Kalimantan, Jawa serta mulai di kembangkan di Sulawesi, dan Papua. Pengembangan areal perkebunan kelapa sawit utamanya dibangun pada areal hutan konversi. Selain tanaman utama, biasanya pada areal perkebunan ada areal khusus untuk pemukiman dan perkantoran, areal perlindungan setempat, kebun masyarakat (tanamannya sama dan ada yang tidak sama dengan tanaman perkebunan setempat), bahkan areal lain yang berbatasan atau berada di dalam kebun (semak belukar dan hutan produksi). Menurut kajian Bharian (2007), di kawasan kebun sawit Serawak terdapat lebih 268 spesis flora dan fauna termasuk serangga, reptilia, ikan dan mamalia. Kebun kelapa sawit tidak memberikan peluang yang banyak bagi satwa. Beberapa jenis tikus dan ular ditemukan pada areal ini. Namun, keanekaragaman jenis burung yang ada sangat rendah. Alikodra dan Santosa (1987) dalam Alikodra (2002) meneliti daerah perbatasan antara hutan produksi yang dapat dikonversi dengan daerah perkebunan kelapa sawit Koto Kampar dan Kalianta (Kabupaten Kampar) menjumpai 20 jenis mamalia penting, 12 jenis diantaranya adalah jenis mamalia yang dilindungi, yakni tapir (Tapirus indicus), harimau Sumatera (Panthera tigris sumaterae), landak (Hystrix bractyura), gajah (Elephas maximus), sambar (Cervus unicolor), napu (Tragulus napu), kijang (Muntiacus mutjak), linsang (Prionodon linsang), kancil (Tragulus javanicus), beruang madu (Helarctos malayanus), kucing hutan (Felis sp) dan siamang (Hylobates syndactilus). Satwaliar juga banyak yang menggunakan areal kebun sawit sebagai habitat, sehingga beberapa hal sering menjadi hama tanaman. Adanya satwaliar pada perkebunan sawit sering menimbulkan permasalahan. Gajah (Elephas maximus),
23
babi hutan (Sus scrofa), dan rusa (Cervus unicolor) mempunyai potensi untuk merusak tanaman muda. Babi hutan sering masuk ke kebun kelapa sawit yang berdekatan dengan hutan. Beberapa jenis mamalia kecil, seperti tikus juga merupakan masalah bagi buah kelapa sawit (Anonymous 1978; Anwar dkk. 1984; Wrigley 1985 dalam Alikodra 2002).
2.5
Dampak Perkebunan Sawit Terhadap Keanekaragaman Jenis Mamalia Untuk beberapa jenis satwaliar, adanya kegiatan penebangan hutan untuk
alih fungsi lahan menyebabkan terancamnya kelestarian jenis satwa. Kegiatan alih fungsi lahan menyebabkan hilangnya beberapa jenis satwa terutama satwa yang tergolong langka. Beberapa jenis satwaliar (terutama satwaliar penghuni hutan hujan tropik yang beradaptasi dengan kehidupan arboreal) tidak dapat menyesuaikan diri terhadap gangguan struktur hutan. Tampaknya pilihan yang menentukan adalah antara punah dan migrasi. (Lumme 1994 dalam Solichin 1997). Daerah-daerah perkebunan yang sekarang dibangun terutama untuk perkebunan sawit di Sumatera, semula merupakan hutan produksi yang dapat dikonversi. Pada kenyataannya hampir semua hutan di Sumatera merupakan habitat satwaliar yang dilindungi seperti Gajah (Elephas maximus), Tapir (Tapirus indicus) dan Harimau Sumatera (Panthera tigris sumaterae). Sehingga pembukaan hutan mempersempit ruang gerak satwa-satwa tersebut, akibatnya tanaman kebun sawit menjadi objek makanan maupun gangguan satwaliar (Alikodra 2002).
24
III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di areal kebun kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Secara umum, areal yang diteliti adalah areal bervegetasi alam (areal hutan dan semak belukar), areal lingkungan kebun sawit (kebun sawit inti, kebun sawit plasma dan areal di sekitar pemukiman) dan kebun karet. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan bulan Maret 2007. Lokasi Penelitian
Keterangan :
= Sawit inti
= Sawit plasma
= Sekitar pemukiman
= Areal hutan
= Semak belukar
= Kebun karet
Gambar 1 Sketsa lokasi penelitian.
25
3.2 Batasan Penelitian Mamalia yang diamati tidak meliputi mamalia ordo Chiroptera.
3.3 Alat dan Bahan Ada beberapa peralatan yang digunakan saat pengambilan data. Alat yang digunakan dalam pengambilan data disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Alat yang digunakan dalam penelitian No Nama Barang Fungsi 1 Binokuler
Membantu identifikasi jenis
2 Kompas Brunton
Menentukan arah transek
3 Kamera digital
Dokumentasi
4 Buku panduan lapangan yakni :
Membantu identifikasi jenis
a. A Field Guide to The Mammals of Borneo b. Panduan Lapang Rodent di Jawa
5 Pencatat waktu
Menentukan waktu perjumpaan dengan satwa
6 Perangkap mamalia kecil, yakni Perangkap hidup dan perangkap mati 7 Caliper dan neraca pegas tipe EUS
Pengamatan mamalia kecil Ordo Rodensia dan Scandentia Pengukuran morfometri mamalia Kecil
Bahan yang digunakan dalam pengambilan data meliputi : 1. Kelapa bakar, nenas dan ikan
5. Tally sheet untuk memudahkan
asin sebagai umpan perangkap.
pendataan hasil pengamatan.
2. Gibs untuk dokumentasi jejak.
6. Plastik transparansi
3. Tali rafia dan tambang.
7. Alkohol 70 %.
4. Meteran
untuk
mengukur
8. Kloroform
panjang transek.
3.4 Jenis Data Data yang dikumpulkan meliputi : a. Jenis dan jumlah jenis yakni mencatat semua jenis mamalia yang ditemukan.
26
b. Jumlah individu yang ditemukan dan dapat diidentifikasi di sepanjang jalur transek dan titik konsentrasi. c. Penyebaran jenis satwa mamalia, meliputi data lokasi tempat ditemukannya satwa mamalia, jejak, sarang atau tanda keberadaannya.
3.5 Teknik Pengumpulan Data 3.5.1 Orientasi Lapangan Orieantasi lapangan dilakukan dengan tujuan untuk mengenal areal yang akan diteliti.
3.5.2 Pengamatan Pengambilan data di lapangan menggunakan tiga metode, yakni transek jalur (Stripe transect), titik terkonsentrasi (Consentration count) dan pemerangkapan (Trapping). Transek Jalur (Stripe Transect) Pengamatan dengan metode ini menggunakan garis transek sebagai jalur pengamatan. Panjang rata-rata jalur ± 895 m. Tiap lokasi penelitian dibuat 2 jalur pengamatan. Arah jalur transek disesuaikan dengan kondisi lapangan dengan lebar 35 m kiri kanan jalur pengamatan. Hal ini didasarkan saat observasi lapangan, jarak optimal pengamat dapat melihat satwa dan mampu mengidentifikasi jenis adalah maksimal pada jarak 35 m. Pengamat berjalan di sepanjang jalur transek dan mencatat semua kontak yang ditemukan. S3
S1 35 m
To
Arah Lintasan
Ta S2
Keterangan : To = Titik awal, Ta = Titik akhir jalur pengamatan , S = Posisi jejak satwaliar
Gambar 2 Ilustrasi metode transek jalur. Pengamatan dilakukan dua kali sehari yaitu pada pagi hari (07.00 WIB – 09.00 WIB) dan sore hari (15.30 WIB – 18.00 WIB). Pencatatan data melalui kontak langsung ataupun tidak langsung, meliputi pencatatan perjumpaan jejak kaki, tempat untuk bersarang, kotoran/feses dan bekas lain yang ditinggalkan.
27
Perjumpaan langsung dan tidak langsung tersebut dicatat waktu, dan keterangan lain yang berkaitan seperti kondisi habitat dan tutupan lahan.
Titik Terkonsentrasi (Consentration Count) Dilakukan terkonsentrasi pada areal tertentu yang ditetapkan melalui studi pendahuluan (observasi lapang). Titik konsentrasi pengamatan berupa tempat mencari makan dan tempat tidur (beristirahat) satwa mamalia. Pengamatan dilakukan pagi hari (06.00-07.00 WIB) dan malam hari (19.00-20.30 WIB).
Pemerangkapan (Trapping) Metode ini digunakan untuk mamalia kecil ordo Rodensia dan ordo Scandentia. Banyak perangkap yang digunakan sebanyak 57 buah (27 buah life trap, 30 snape back trap). Rinciannya ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Jumlah perangkap yang dipasang pada tiap lokasi penelitian Tipe Habitat I Pl AT S AH Jumlah perangkap
KK
12 lt,
12 lt,
12 lt,
12 lt,
12 lt,
12 lt,
12 dt
12 dt
12 dt
12 dt
12 dt
12 dt
Keterangan: I = Kebun sawit inti, Pl = Kebun sawit plasma, AT = Arel di sekitar pemukiman, S = Semak belukar, AH = Areal hutan, KK = Kebun karet, lt = life trap, dt = snape back trap
Perangkap dipasang secara sistematik dan disesuaikan dengan kondisi lapangan dengan jarak antar perangkap 25 m. Terdapat dua jalur perangkap tiap tipe habitat. Jalur untuk penempatan perangkap adalah jalur yang digunakan untuk pengamatan dengan metode transek jalur.
35 m
S3
S1
Ta
To 70 m
Keterangan :
S2
Arah Lintasan
= Perangkap, To = Titik awal, Ta = Titik akhir jalur pengamatan , S = Posisi jejak satwaliar
Gambar 3 Ilustrasi penempatan perangkap pada jalur.
28
3.6 Analisis Data Analisis data dilakukan secara kuantitatif dan deskriptif. Pendugaan kepadatan populasi, kekayaan jenis, kelimpahan jenis, kemerataan jenis, penyebaran jenis dan kesamaan jenis tiap komunitas dianalisis secara kuantitatif. Sedangkan sebaran ekologis, tingkat tropik, data gangguan manusia dan status konservasi satwa mamalia yang ditemukan di areal penelitian dianalisis secara deskriptif. 3.6.1 Analisis Kuantitatif Analisis kuantitatif dilakukan untuk mengetahui kepadatan populasi dugaan, kekayaan jenis, kelimpahan jenis, kemerataan jenis, penyebaran jenis dan kesamaan komunitas. Pendugaan Kepadatan Populasi Pendugaan kepadatan populasi mamalia tiap lokasi studi dianalisis melalui data yang diperoleh dengan menggunakan metode transek jalur (Strip transeck). Rumus yang digunakan adalah persamaan King (King Methods). Bentuk persamaan pendugaan kepadatan populasi sebagai berikut n
Dj =
∑ xi i =1
a
Keterangan : Dj = Pendugaan kepadatan populasi (ind/ha) xi = Jumlah individu yang dijumpai pada kontak ke-i (individu) a
= Luas jalur setiap pengamatan (km² atau ha)
Kekayaan Jenis (Species Richness) Kekayaan jenis ditentukan langsung dengan melihat jumlah jenis yang dijumpai sebab pengukuran jumlah jenis merupakan pengukuran kekayaan jenis yang jelas dan nyata.
Kelimpahan Jenis (Spesies Abundance) Dihitung menggunakan Indeks Keanekaragaman Jenis Shannon-Wiener. Konsep ini merupakan ukuran keanekaragaman yang relatif paling dikenal dan paling banyak digunakan (Magurran 1998).
29
Rumus Indeks Keanekargaman Jenis Shannon-Wiener adalah H’ = − ∑
n n ln N N
Keterangan : H’ = Indeks Keanekaragaman Jenis ln = Logaritma natural n = Jumlah individu tiap jenis N = Jumlah total individu seluruh jenis Untuk menentukan keanekaragaman jenis mamalia, maka digunakan klasifikasi nilai indeks keanekaragaman Shanon-Wieners (Tabel 3).
Tabel 3 Klasifikasi nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (Magurran 1988) Nilai indeks Shanon Kategori >3
Keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu Tiap spesies tinggi dan kestabilan komunitas tinggi
1–3
Keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu Tiap spesies sedang dan kestabilan komunitas sedang
<1
Keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah individu Tiap spesies rendah dan kestabilan komunitas rendah
Kemerataan Jenis (Evenness) Nilai kemerataan jenis dihitung menggunakan Indeks Kemerataan Jenis dengan rumus (Ludwig dan Reynolds 1988) sebagai berikut : E=
H' ln S
Keterangan : E = Indeks kemerataan jenis S = Jumlah jenis H’ = Indeks keanekaragaman jenis Kisaran nilai Indeks Kemerataan Shannon-Wiener (E) : 0 < E < 0,5
= Komunitas dalam keadaan tertekan
0,5 < E < 0,75 = Komunitas dalam keadaan agak seimbang 0,75 < E < 1
= Komunitas dalam keadaan seimbang
30
Penyebaran Jenis Penyebaran jenis mamalia secara horizontal pada masing-masing lokasi yang diamati dianalisis dengan rumus sebagai berikut : Frekuensi Jenis (Fj)
= Jumlah tipe habitat ditemukan suatu jenis Total tipe habitat
Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensi jenis x 100 % Total frekuensi
Kesamaan Komunitas Kesamaan komunitas dihitung dengan menggunakan Indeks Smilaritas Jaccard yang digunakan untuk mengetahui kesamaan antar tipe habitat berdasarkan jenis yang ditemukan. Rumus Indeks Smilaritas Jaccard sebagai berikut : IS =
c a+b+c
Keterangan: IS = Indeks Smilaritas Jaccard c
= Jumlah jenis yang sama di kedua lokasi
a
= Jenis yang ditemukan di a tetapi tidak ditemukan di b
b
= Jenis yang ditemukan di b tetapi tidak ditemukan di c
3.6.2 Analisis Deskriptif Selain analisis kuantitatif beberapa hal diuraikan dalam bentuk deskriptif, antara lain : sebaran ekologi, tingkat tropik, data gangguan manusia dan status konservasi. Status konservasi didasarkan pada Peraturan Pemeritah No.7 Tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa, Red list IUCN dan CITES.
31
IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Kawasan Persetujuan pembukaan lahan untuk areal kebun ditetapkan melalui surat keputusan Gubernur Riau No. Kpts.379/VIII/1984 tanggal 27 Agustus 1984 yang mengacu
pada
persetujuan
Menteri
Pertanian
RI
No.
KB.320/859/MENTAN/XI/1983 tanggal 7 Nopember 1983 tentang pembukaan lahan plasma PIR-Trans dan inti dengan perbandingan 80 % plasma dan 20 % inti. Lokasi areal kebun adalah bekas areal hutan konsesi pemegang HPH yaitu PT Expra Baru dan PT. Inti Prona. Sebagian kecilnya juga merupakan areal pemukiman, ladang dan kebun karet penduduk dengan luasan yang relatif kecil.
4.2 Letak dan Luas Kabupaten Pelalawan terletak di pesisir Timur Pulau Sumatera, dengan wilayah daratan yang membentang di sepanjang bagian hilir Sungai Kampar serta berdekatan dengan Selat Malaka. Secara geografis Kabupaten Pelalawan terletak antara 1°25" LU dan 0°20" LS serta antara 100°42"-103°28" BT dengan batasbatas wilayah : •
Sebelah Utara
•
Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kabupaten Indragiri Hulu dan
: Berbatasan dengan Kabupaten Siak
Kabupaten Indragiri Hilir •
Sebelah Barat
: Berbatasan dengan Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar
•
Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kabupaten Kepulauan Riau
Luas wilayah Kabupaten Pelalawan ± 12.490,43 Km² yang terdiri dari 10 kecamatan terbagi menjadi 93 desa. Ibukota Kabupaten Pelalawan adalah Pangkalan Kerinci. Letak Kabupaten Pelalawan menjadi sangat strategis, karena sebagian besar daerahnya dilalui oleh jalan darat utama dari Sumatera ke Pulau Jawa. Wilayah perkebunan kelapa sawit PT. Inti Idosawit Subur (IIS) berada pada Kecamatan
Pangkalan
Kerinci.
Lokasi
perkebunan
terletak
antara
32
01° 40’ - 102° 15’ BT dan 0°05’ - 0° 43’ LS. Perkebunan kelapa sawit ini terletak di pusat kota dan dilewati oleh jalan raya yang menghubungkan Propinsi Riau dengan Propinsi Jambi. Areal perkebunan kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur terdiri dari dua status hak milik, yakni kebun kelapa sawit inti (milik perusahaan) dengan luas ± 14.000 ha dan kebun kelapa sawit plasma (milik masyarakat yang bekerjasama dengan perusahaan) dengan luas ± 26.000 ha.
4.3 Topografi Topografi areal perkebunan mulai dari datar agak berombak, bergelombang, berbukit dan cekungan. Topografi areal bergelombang seluas 16.005 ha (50 %) dengan kemiringan 8-15 % dan letaknya menyebar di seluruh areal. Topografi datar agak berombak menempati areal seluas 11.522,3 ha (36 %) dengan kemiringan lebih dari 3 %. Wilayah lainnya berbukit seluas 2327,5 ha (2,3 %) dengan kemiringan 15-30 % yang terletak di sebelah barat dan utara serta sisanya 2145 ha (6,7 %) merupakan wilayah cekungan dengan kemiringan 0-3 %.
4.4 Geologi Jenis tanah pada areal kebun adalah alluvial dan podsolik merah kuning. Pada wilayah datar agak berombak, bergelombang dan berbukit adalah podsolik merah kuning. Kedalaman tanah lebih dari 100 cm, tekstur tanah terdiri dari lempung liat berpasir, lempung berpasir dan lempung. Pada areal yang relatif datar, jenis tanahnya adalah alluvial. Kedalaman tanah lebih dari 100 cm, tekstur lempung berpasir sampai pasir.
4.5 Iklim Berdasarkan klasifikasi Schimidt and Ferguson (1951), areal perkebunan termasuk dalam tipe A. Termasuk daerah hujan dengan maksimum hujan jatuh pada bulan Februari dan curah hujan minimum pada bulan Agustus-September. Intensitas hujan tinggi (27 cm) dengan rata-rata curah hujan 3600 mm per tahun (berkisar antara 2500 – 5400 mm per tahun). Rata-rata hari hujan adalah 129 hari per tahun. Suhu rata-rata harian adalah 31 ºC kisaran 27 ºC – 33 ºC per hari.
33
4.6 Sosial Ekonomi Pada umumnya mata pencaharian penduduk sekitar perkebunan cukup beragam, diantaranya sebagai, pengusaha, pedagang, buruh kebun sawit, petani sawit, nelayan, tukang, dan lain-lain. Namun sebagian besar penduduknya adalah petani sawit yang mempunyai luas kebun sawit antara 1–20 ha lebih. Kebanyakan berasal dari luar Sumatera, transmigran dari pulau Jawa yang sebagian besar memulai usaha sebagai petani sawit dari awal.
34
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Lokasi Penelitian Secara umum, lokasi penelitian merupakan areal bervegetasi alam (areal hutan dan semak belukar), lingkungan kebun sawit (kebun sawit inti, kebun sawit plasma dan areal di sekitar pemukiman) dan kebun karet.
5.1.1 Areal Hutan Lokasi pengamatan adalah areal bervegetasi alam dan dilindungi secara adat. Kondisi tegakan relatif alami. Tingkat keanekaragaman tumbuhan yang ada tinggi. Lantai hutan ditumbuhi berbagai jenis rotan, semai, palma, semak dan tumbuhan bawah. Tumbuhan liana teramati hidup memanjat pada batang pohon besar (Gambar 4).
Gambar 4 Contoh kondisi areal hutan. Strata tajuk vegetasi beranekaragam yakni stratum A, stratum B, stratum C, stratum D dan stratum E. Secara umum tajuk pohon rapat, cahaya matahari dapat mencapai lantai hutan pada beberapa bagian areal. Penutupan tajuk berkisar antara 25 % sampai dengan 90 %. Areal hutan dikelilingi dan berbatasan langsung dengan kebun plasma. Topografi areal bergelombang dan datar. Vegetasi bawah yang dominan adalah jabungan (Adenostemma lavenia) dengan INP sebesar 27,59 % kemudian spesies kodominannya adalah pakis bantengan (Gleichenia linearis) (INP = 18,25 %). Jabungan (A. lavenia) juga merupakan jenis vegetasi bawah yang kerapatannya tinggi yaitu sebesar 0,15 indv/m2 (Lampiran 6).
35
Tumbuhan berkayu yang dominan meliputi famili Dipterocarpaceae, Moraceae, Euphorbiaceae, Myristicaceae, Fabaceae dan Myrtaceae. Jenis-jenis tumbuhan tersebut antara lain merawan (Hopea cernua), rukam (Ficus ribes), meranti (Shorea sp.), kapul (Baccaurea macrocarpa), manggong (Macaranga gigantea), bungur (Lagerstroemia sp.), tempuro (Dillenia reticulata), kruing (Dipterocarpus sp.), mendarahan (Knema laurina), sialang (Koompasia malaccensis), ara (Ficus sp.), kamper (Driobalanops sp.), jambu hutan (Syzigium sp.), petok (F. septica) dan resak (Vatica rassak) (Lampiran 7).
5.1.2 Areal Semak Belukar Semak belukar merupakan areal yang dialokasikan khusus sebagai areal perlindungan keanekaragaman hayati. Dikelilingi oleh tanaman monokultur kebun sawit inti. Topografi areal pengamatan bergelombang. Secara umum vegetasi yang ada tumbuh sangat rapat. Didominasi stratum C dan D yakni berbagai jenis tumbuhan bawah dan semak (Gambar 5). Banyak ditemukan tumbuhan mati bekas tebangan.
Gambar 5 Contoh kondisi areal semak belukar. Vegetasi bawah yang dominan dan kerapatannya tinggi adalah kentangan (Borreria latifolia), dengan INP sebesar 29,49 % dan kerapatannya sebesar 0,22 indv/m2 (Lampiran 4).
5.1.3 Areal Sekitar Pemukiman Areal studi merupakan lahan bekas kebun singkong dan alang-alang disekitar areal yang dialokasikan untuk pemukiman (Gambar 6). Jalur 1 pengamatan ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan bawah dan paku-pakuan yang tumbuh rapat. Kondisi tanahnya relatif kering. Topografi datar dan bergelombang.
36
Jalur 2 pengamatan, kondisi tanahnya basah dan berair. Areal ini merupakan areal resapan air disekitar pemukiman dan bekas lahan pertanian (singkong). Topografi relatif datar dan berbukit. Posisi jalur pengamatan berada pada areal yang berbukit.
Gambar 6 Contoh kondisi areal sekitar pemukiman.
Secara umum vegetasi yang ada beragam sesuai kelerengan. Areal yang agak berbukit ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan bawah. Areal yang relatif datar ditumbuhi alang-alang (Imperata cylindrica). Tumbuhan bawah yang dominan dan kerapatannya tinggi adalah sumbung rambat (Mikania micrantha) dengan INP sebesar 26,33 % dan kerapatannya sebesar 0,26 indv/m2 (Lampiran 3).
5.1.4 Areal Kebun Sawit Inti Areal kebun sawit inti adalah kebun sawit yang dikelola perusahaan. Habitat satwa yang teramati merupakan kebun sawit dan semak. Tidak dilakukan pengelolaan terhadap tumbuhan bawah, sehingga vegetasi bawah rapat menutupi permukaan tanah (Gambar 7). Vegetasi bawah yang dominan dan kerapatannya tinggi adalah bunga putih ungu (Asystasia intrusa), dengan INP sebesar 30,80 % dan kerapatannya 0,47 ind/m2 (Lampiran 1).
Gambar 7 Contoh kondisi areal kebun sawit inti.
37
Stratifikasi vertikal vegetasi hanya ada satu tingkatan yaitu tumbuhan bawah Pada jalur 1 pengamatan, topografinya datar. Tumbuhan bawah menyebar serta mengelompok. Pada jalur 2, tumbuhan bawah menyebar. Topografi areal datar.
5.1.5 Areal Kebun Sawit Plasma Areal kebun sawit plasma adalah kebun sawit petani plasma. Pengelolaan tumbuhan bawah dilakukan intensif. Bagian permukaan kebun relatif bersih karena dilakukan penyemprotan dan pembabatan tumbuhan bawah ( Gambar 8). Vegetasi bawah yang dominan dan kerapannya tinggi adalah senggani (Clidemia hirta), dengan INP sebesar 35,95 % dan kerapatannya sebesar 0,39 indv/m2 (Lampiran 2).
Gambar 8 Contoh kondisi areal kebun sawit plasma. Jalur 1 pengamatan, digenangi air saat musim hujan. Hal ini menyulitkan penempatan perangkap sesuai dengan peta kerja. Perangkap ditempatkan pada permukaan tanah yang tidak tergenang dan batang kayu roboh atau pelepah sawit. Sedikit teramati jenis tumbuhan bawah. Jalur 2, kondisi tumbuhan bawah relatif renggang, menyebar dan berkelompok. Teramati bekas penyemprotan dan pembabatan tumbuhan bawah. Topografi jalur pengamatan relatif datar.
5.1.6 Areal Kebun Karet Kelerengan lahan kebun karet beragam mulai dari datar landai sampai berbukit. Banyak ruang terbuka pada areal kebun. Keseluruhan areal dikelilingi oleh kebun sawit plasma dan pemukiman penduduk. Pada beberapa lokasi pengamatan merupakan lahan basah bekas garapan pertanian (Gambar 9).
38
Gambar 9 Contoh kondisi areal kebun karet. Pengelolaan tumbuhan bawah dilakukan secara intensif sehingga kondisi vegetasi di bawah tajuk relatif terbuka dengan serasah yang tebal. Tumbuhan bawah yang dominan dan kerapatannya tinggi adalah paitan (Axonopus compressus) dengan INP = 23,07 % dan kerapatannya sebesar 0,31 indv/m2. Tingkat tiang dan pohon, jenis yang dominan adalah karet (Hevea braziliensis) (INP = 100 %) (Lampiran 5). Hal ini terkait dengan status areal pengamatan yakni vegetasi monokultur kebun karet. Jalur 1 pengamatan, digenangi air saat musim hujan. Hal ini menyulitkan penempatan perangkap sesuai dengan peta kerja. Perangkap ditempatkan pada permukaan tanah yang tidak tergenang. Topografi datar, sedikit teramati jenis tumbuhan bawah. Kondisi tumbuhan bawah pada jalur 2 pengamatan relatif renggang, menyebar dan berkelompok. Topografi bergelombang sampai agak terjal.
5.2 Kekayaan Jenis Penemuan jenis mamalia di lokasi studi sangat tergantung pada beberapa hal yang berhubungan dengan karakteristik setiap lokasi penelitian. Diantara yang mempengaruhinya adalah tipe jalur atau tipe habitat dan cuaca saat pengamatan. Saat pengamatan, pada areal hutan dan kebun sawit plasma terjadi hujan. Hal ini kemungkinan berdampak pada pengurangan kekayaan jenis dan individu jenis mamalia yang ditemukan.
39
Tabel 4 Kekayaan jenis mamalia yang ditemukan pada tiap lokasi penelitian Persen Jenis Jumlah Perbedaan No Lokasi Penelitian Terhadap Total Jenis (%) Jenis Individu (%) 1 Kebun sawit inti
5
8
27.8
38.9
2 Kebun sawit plasma
3
14
16.7
50.0
3 Areal sekitar pemukiman
4
8
22.2
44.4
4 Semak belukar
6
12
33.3
33.3
5 Kebun karet
1
1
5.6
61.1
12
51
66.7
6 Areal hutan
(1)
Total jenis ditemukan
18
Keterangan : 1) Sebagai faktor pembanding perbedaan jumlah jenis
Dari sejumlah areal yang diteliti dapat ditemukan 18 jenis satwa mamalia selain ordo chiroptera. Berdasarkan kekayaan jenisnya, maka areal hutan memiliki nilai kekayaan terbesar, yakni ditemukan 12 jenis satwa mamalia (66,7 %) dan juga merupakan lokasi dengan perjumpaan individu terbanyak (51 individu), kemudian sawit plasma ditemukan sebanyak 14 individu. Areal yang memiliki kekayaan jenis terendah adalah kebun karet karena ditemukan hanya satu jenis mamalia, yakni tikus belukar (Rattus tiomanicus) (Tabel 4). Jika dibandingkan dengan areal hutan sebagai faktor pembanding utama, maka kekayaan jenis pada semua lokasi penelitian mengalami penurunan yang cukup tajam, berkisar antara 33,3 % sampai 61,1 %. Hal ini menunjukkan bahwa satwa mamalia yang ditemukan menyukai areal-areal yang memiliki penutupan tajuk relatif rapat. Dibandingkan dengan areal hutan, kekayaan jenis mamalia pada kebun karet memiliki perbedaan yang cukup besar, yakni sebesar 61,1 %. Hal ini, diduga terkait dengan ketersedian sumber pakan serta kelengkapan penyusun habitat lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengubahan fungsi areal hutan ke dalam bentuk kebun sawit baik kebun sawit inti maupun kebun sawit plasma ternyata memberikan dampak perbedaan kekayaan jenis mamalia, masing-masing sebesar 38,9 % dan 50,0 %. Beberapa faktor yang diduga sebagai penyebab
40
perubahan kekayaan jenis ini antara lain : penurunan ketersediaan pakan dan penurunan fungsi perlindungan (cover). Jika digunakan faktor kekayaan jenis saja sebagai faktor pembanding, maka areal yang cukup dapat memberikan alternatif bagi kehidupan satwa mamalia adalah semak belukar, meskipun terjadi perubahan komposisi jenis-jenis mamalia yang terdapat di areal tersebut. Persen perbedaan kekayaan jenis satwa mamalia antara areal hutan dengan semak belukar lebih kecil dibandingkan pengubahan areal hutan ke dalam bentuk lainnya, yakni sebesar 33,3 %. Di areal semak belukar, jenis-jenis vegetasi heterogen. Masih ditemukan vegetasi tingkat tiang dan pancang. Semak belukar memberi peluang bagi tumbuhnya jenis-jenis vegetasi lain hingga tingkat pohon. Dengan demikian komponen habitat masih tergolong cukup lengkap.
5.3 Penyebaran Jenis Jenis yang paling umum ditemukan dengan metode pemerangkapan (trapping) pada semua lokasi penelitian adalah famili Muridae. Sedangkan dengan metode jalur transek (stripe transect), berbeda-beda tiap areal studi. Perjumpaan jenis tertinggi dengan metode jalur transek di areal hutan dan kebun sawit plasma adalah famili Sciuridae. Kucing hutan (Felis bengalensis) merupakan jenis dengan perjumpaan jenis tertinggi pada lokasi penelitian areal sekitar pemukiman dan kebun sawit inti. Sedangkan di semak belukar perjumpaan jenis tertinggi adalah babi hutan (Sus scrofa). Berdasarkan penyebaran jenis, jelarang (R. affinis), bajing kelabu (C. orestes), bajing tiga warna (C. prevostii), tupai tanah (T. tana), beruk (M. nemistrina), lutung Sumatera (T. cristatus), kancil (T. javanica), dan sambar (C. unicolor) merupakan jenis dengan penyebaran tersempit (FR = 2.94 %). Jenisjenis tersebut hanya teramati pada areal hutan (Tabel 5). Kondisi areal hutan relatif masih lengkap dan mampu menyediakan fungsinya sebagai habitat bagi satwa-satwa tersebut yakni sebagai tempat penyedia pakan, tempat berlindung (cover), dan sebagai tempat beristirahat.
41
Tabel 5 Penyebaran jenis mamalia yang ditemukan pada lokasi penelitian No Nama local Nama Ilmiah Penyebaran Ket 1
Kucing hutan
Felis bengalensis
I,P,S,AH,Pl
Ki, JL, C
2
Musang luwak
Paradoxurus
AT,S, AH
K
hermaphroditus 3
Beruk
Macaca nemistrina
AH
JL, C
4
Lutung Sumatera
Trachypithecus cristatus
AH
JL, C
5
Kancil
Tragulus javanica
AH
JL, C
6
Rusa sambar
Cervus unicolor
AH
Ki
7
Babi hutan
Sus scrofa
S,AH
JL, Ki
8
Tupai tanah
Tupaia tana
AH
T, JL
9
Bajing kelapa
Callosciurus notatus
I,AH,Pl
JL
Jelarang
Ratufa affinis
AH
JL, C
11
Bajing kelabu
Callosciurus orestes
AH
JL
12
Bajing tiga warna
Callosciurus prevostii
AH
JL
13
Tikus belukar
Rattus tiomanicus
I,AT,S,KK,
T
10
AH,Pl 14
Mencit
Mus musculus
I
T
15
Tikus lading
Rattus exulans
I,AT
T
16
Tikus sawah
Rattus argentiventer
AT
T
17
Tikus duri e.p
Maxomys whiteheadi
S
T
18
Nyingnying buluh Chiropodomys gliroides
S
T
Keterangan : I = Kebun sawit inti, Pl = Kebun sawit plasma, AT = Areal sekitar pemukiman, S = Semak belukar, KK = Kebun karet, AH = Areal hutan, J = Jalur, Ki = Jejak kaki, K = Kotoran, T = Trap, C = Consentration Count
Walau demikian, tidak menutup kemungkinan salah satu jenis mamalia yang hanya ditemukan di areal hutan ada di lokasi lainnya terutama areal yang berbatasan langsung dengan areal tersebut, misalnya areal kebun sawit plasma. Terutama jenis dari famili Sciuridae seperti bajing tiga warna (C. prevostii) dan bajing kelabu (C. orestes) karena jenis tersebut juga teramati memakan buah sawit muda yang berdekatan dengan kebun sawit. Satwa mamalia yang penyebarannya terluas adalah jenis dari famili Muridae (tikus-tikusan) yakni tikus belukar (R. tiomanicus) (FR = 17.60 %) (Gambar 10).
42
Ditemukan pada semua lokasi penelitian. Satwa mamalia famili Muridae merupakan salah satu jenis satwa yang kemampuan adaptasinya tinggi. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika satwa mamalia tersebut dapat ditemukan di semua areal penelitian. Selain itu, komponen habitat seperti makanan, tempat berlindung, tempat beristirahat dari seluruh areal, mampu mendukung kehidupan
FR (%)
satwa mamalia famili Muridae. 20.00 18.00 16.00 14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00
17.60 14.70 8.82 5.88 2.94
M. nemistrina, T. cristatus,T. javanica, C. unicolor, T. tana, R. affinis, C. orestes, C. prevostii, M. musculus, R. argentiventer
S. scrofa, C. notatus, R. exulans
P. hermaphroditus
F. bengalensis
R. tiomanicus
Gambar 10 Grafik frekuensi penemuan jenis mamalia. Kucing hutan (F. bengalensis) juga merupakan jenis lain
yang
penyebarannya cukup luas (FR = 14.70 %). Spesies ini ditemukan di 5 lokasi dari 6 lokasi penelitian yang ada, kecuali pada areal kebun karet. Kondisi areal kebun karet tidak mampu mendukung keberadaan kucing kuwuk. Vegetasi bawah kebun karet relatif bersih. Aktivitas manusia juga cukup tinggi. Kondisi yang demikian menyebabkan kucing kuwuk tidak dapat memanfaatkan areal kebun karet sebagai tempat mencari makan dan berlindung karena kucing kuwuk relatif menghindar dari manusia.
5.4 Kelimpahan Jenis dan Kemerataan Jenis Tingkat keanekaragaman menunjukkan tingkat kestabilan komunitas. Semakin tinggi keanekaragaman tersebut, maka kestabilan suatu komunitas juga semakin tinggi. Selain menggunakan indikator kekayaan jenis, keanekaragaman mamalia di lokasi penelitian juga ditunjukkan berdasarkan kelimpahan jenis dan
43
kemerataan jenis. Kelimpahan jenis ditentukan dengan menggunakan rumus indeks keanekaragaman jenis Shanon. Kelimpahan jenis, penyebaran jumlah individu tiap jenis dan kestabilan komunitas tiap tipe habitat lokasi penelitian mulai dari rendah sampai sedang. Hal ini berdasarkan analisis data menunjukkan nilai indeks keanekaragaman jenis Shanon berkisar antara 0,00 sampai 2,15. Margalef (1972) dalam Magurran (1988) menyatakan bahwa nilai indeks keanekaragaman jenis Shanon berkisar antara 1,5 sampai 3,5. Hal ini dapat disebabkan areal penelitian yang diteliti sebagian besar bervegetasi homogen. Adapun areal yang relatif heterogen (areal hutan dan semak belukar) luasannya relatif sempit. Ludwig dan Reynold (1988) menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kekayaan jenis adalah luas areal dan tipe vegetasi. Areal yang relatif sempit dan homogen memiliki kekayaan jenis yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan areal yang luas dan heterogen. Sementara, kelimpahan jenis dipengaruhi oleh kekayaan jenis (jumlah jenis yang ada). Kelimpahan jenis mamalia tertinggi adalah pada areal hutan (H’ = 2,15) dan yang terendah adalah di kebun karet (H’ = 0,00). Hal ini disebabkan kondisi areal hutan relatif masih utuh dan kekayaan jenis satwa mamalia yang ditemukan juga tinggi. Tingkat kemerataan jenis mamalia di tiap lokasi penelitian kecuali kebun karet (E = 0) relatif merata, terlihat dari nilai indeks kemerataan yang relatif besar antara 0,80 sampai 0,95. Nilai indeks kemerataan tertinggi adalah pada semak belukar (E = 0,95). Nilai indeks kemerataan yang tinggi menunjukkan bahwa tidak ada jenis yang mendominasi pada areal tersebut (Tabel 6). Komunitas yang labil adalah kebun karet dengan nilai indeks kemerataan 0. Jika nilai indeks kemerataan mendekati 0, berarti dalam ekosistem tersebut ada kecenderungan terjadi dominansi spesies yang disebabkan oleh adanya ketidakstabilan faktor-faktor lingkungan dan populasi (Brower dan Zar 1989). Hanya ditemukan 1 jenis satwa mamalia di kebun karet. Kondisi kebun karet tidak mampu mendukung kehidupan satwa mamalia yang ada karena komponen habitatnya sudah tidak utuh, intensitas aktivitas manusia tinggi, tegakannya homogen, dan relatif bersih akibat pembabatan.
44
Tabel 6 Indeks keanekaragaman dan kemerataan jenis mamalia tiap lokasi penelitian No Lokasi Penelitian H' E % Perbedaan H' % Perbedaan E 1
I
1.49
0.93
30.5
6.7a
2
PLS
0.88
0.80
59.3
8.3
3
AT
1.21
0.88
43.6
0.6a
4
SB
1.70
0.95
20.7
9.3a
5
KK
0.00
0.00
100
100
6
AH1
2.15
0.87
Keterangan : I = Kebun sawit inti, PLS = Kebun sawit plasma, AT = Areal sekitar pemukiman, SB = Semak belukar, KK = Kebun karet, AH = Areal hutan, (1) = Faktor pembanding % perbedaan H’ dan % perbedaan E, (a) = mengalami penurunan.
Dari tabel 6 terlihat bahwa tingginya nilai kelimpahan jenis tidak selalu diikuti dengan tingginya nilai kemerataan jenis. Hal ini terjadi antara areal hutan dan kebun sawit inti dan antara areal hutan dengan semak belukar. Indeks keanekaragaman jenis tertinggi adalah pada areal hutan sedangkan indeks kemerataan tertinggi pada semak belukar. Hubungan antara kelimpahan jenis dan kemerataan jenis yang tidak berbanding lurus, menunjukkan bahwa terdapat perbedaan faktor yang menyebabkannya. Kelimpahan jenis lebih didasarkan pada kekayaan jenis yang ada, sedangkan kemerataan jenis lebih melihat komposisi individu jenis yang menyusunnya (Magurran 1988). Berdasarkan
indeks
keanekaragaman
Shanon-Wiener,
maka
dapat
diperlihatkan bahwa persentase kelimpahan jenis di areal hutan lebih tinggi 20,7 % dibanding di semak belukar. Sebaliknya apabila dilihat dari perbedaan indeks kemerataan jenis antara kedua areal tersebut yang sebesar 9,3 % mengindikasikan bahwa jenis-jenis mamalia yang dapat dijumpai di areal hutan akan jarang dijumpai di areal semak belukar. Perbedaan kelimpahan jenis tertinggi terjadi sebesar 100 % antara areal hutan dengan kebun karet.
5.5 Kesamaan Komunitas Suatu komunitas terdiri dari banyak jenis yang memiliki perubahan populasi dan interaksi satu dengan yang lainnya. Terdapat beberapa komunitas yang sama,
45
tetapi ada juga yang tidak sama. Komunitas yang sama dilihat dengan terdapatnya jenis yang sama pada kedua habitat yang di perbandingkan (Magurran 1988). Indeks kesamaan jenis antar areal penelitian berkisar antara 7 % sampai 43 % (Tabel 7). Besarnya perbedaan kesamaan jenis antar areal penelitian disebabkan oleh perbedaan kondisi dan tipe vegetasinya. Tipe vegetasi merupakan dasar dari kehidupan satwa, sehingga satwaliar akan menyesuaikan diri dengan keadaan karena secara langsung tergantung terhadap makanan dan pelindung (Forman dan Gordon, 1980).
Tabel 7 Matriks perhitungan nilai indeks kesamaan komunitas Lokasi Penelitian I PLS AT SB KK AH I PLS AT SB KK
1
0.43
0.43
0.20
0.17
0.18
1.00
0.40
0.29
0.33
0.21
1.00
0.38
0.25
0.20
1.00
0.17
0.27
1.00
0.07
AH
1.00
Keterangan : I = Kebun sawit inti, PLS = Plasma, AT = Areal sekitar pemukiman, AH = Areal hutan, SB = Semak belukar, KK = Kebun karet
Komunitas yang relatif sama adalah antara kebun sawit inti dengan areal sekitar pemukiman dan antara kebun sawit inti dengan kebun sawit plasma, masing-masing 43 %. Hal ini menunjukkan bahwa antara kebun sawit inti dengan areal sekitar pemukiman atau kebun sawit plasma memiliki faktor habitat yang relatif seragam. Fungsi kebun sawit plasma sebagai habitat bagi satwa mamalia sama dengan areal kebun karet atau areal sekitar pemukiman. Pengubahan fungsi areal hutan menjadi bentuk lainnya, menyebabkan terjadinya perubahan komunitas satwa mamalia relatif besar (7 < % IS < 27 %). Perubahan komunitas semakin nyata apabila terjadi perubahan dari areal hutan menjadi kebun karet, karena kesamaan komunitas antara areal hutan dengan kebun karet sangat rendah, yaitu sebesar 7 %. Hal ini mengindikasikan bahwa pengubahan fungsi areal hutan ke dalam bentuk kebun karet yang monokultur, akan mengakibatkan terjadinya penurunan keanekaragaman jenis mamalia.
46
5.6 Pendugaan Kepadatan Populasi Pendugaan kepadatan populasi hanya dilakukan terhadap jenis-jenis yang ditemukan di dalam jalur pengamatan dengan metode transek jalur (stripp transeck). Areal hutan memiliki kepadatan populasi dugaan tertingi, yakni sebesar 5,71 ind/ha. Pendugaan kepadatan populasi disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Pendugaan kepadatan populasi tiap lokasi penelitian Kepadatan Populasi (ind/ha) No Nama Indonesia Nama Latin I PLS AT SB AH 1
Kucing hutan
Felis bengalensis
2
Musang luwak
Paradoxurus
0,14 0,14 0,14
-
0,14
-
-
-
0.29 0,14
-
-
-
-
0,86
-
-
-
-
0,86
hermaphroditus 3
Beruk
Macaca nemistrina
Lutung
Trachypithecus
Sumatera
cristatus
5
Kancil
Tragulus javanica
-
-
-
-
0,29
6
Rusa sambar
Cervus unicolor
-
-
-
-
0.14
7
Babi hutan
Sus scrofa
-
-
-
0,43
-
8
Tupai tanah
Tupaia tana
-
-
-
-
0,57
9
Bajing kelapa
Callosciurus notatus
-
-
1,71
10
Jelarang
Ratufa affinis
-
-
-
-
0,29
11
Bajing kelabu
Callosciurus orestes
-
-
-
-
0,14
Bajing tiga
Callosciurus
warna
prevostii
-
-
-
-
0,57
Tikus Belukar
Rattus tiomanicus
-
-
-
0,14
-
4
12 13
Total
0,14 1,14
0,29 1,29 0,14 0,86 5,71
Keterangan : I = Kebun sawit inti, PLS = Plasma, AT = Areal sekitar pemukiman, SB = Semak belukar, KK = Kebun karet, AH = Areal hutan
Semua populasi mempunyai kemampuan untuk tumbuh dan berkembang. Pertumbuhan dan perkembangan tersebut dibatasi oleh faktor lingkungan, salah satunya adalah kondisi vegetasi (daya dukung lingkungan) (Alikodra 2002). Bajing kelapa (C. notatus) merupakan jenis dengan kepadatan populasi dugaan tertinggi pada areal hutan maupun kebun sawit plasma, yakni masing-
47
masing sebesar 1,71 ind/ha dan 1,14 ind/ha. Komposisi vegetasi yang relatif baik dan lengkap memberi peluang pergerakan bajing lebih leluasa. Selain itu, kondisi areal hutan yang relatif bagus menjadi salah satu faktor tingginya nilai pendugaan kepadatan populasi tersebut. Fungsi areal hutan sebagai penyedia pakan, tempat berlindung dan tempat istirahat merupakan tempat yang relatif ideal sebagai habitat bajing kelapa dibanding areal lainnya.
5.6 Tingkat Tropik dan Sebaran Ekologis Semua makhluk hidup berinteraksi dengan lingkungannya. Ada dua faktor yang mempengaruhi interaksi makhluk hidup dengan lingkungannya, yaitu faktor fisik (panas, cahaya, matahari dan kelembaban) dan faktor biologi (pemangsaan, suplai, makanan dan kompetisi). Setiap jenis akan memberikan respon yang berbeda terhadap setiap faktor yang mempengaruhinya dan hal tersebut akan menimbulkan adanya perbedaan pola aktivitas pada makhluk hidup termasuk mamalia (Odum 1993). Berdasarkan pengamatan di lapangan terlihat bahwa masing-masing jenis mamalia memiliki pola aktivitas tersendiri, sebagian aktif pada siang hari (diurnal) meliputi : bajing kelapa (C. notatus), jelarang (R. affinis), bajing kelabu (C. orestes), bajing tiga warna (C. prevostii), tupai tanah (T. tana), beruk (M. nemestrina), lutung Sumatera (T. cristatus), babi hutan (S. scrofa); ada yang aktif pada malam hari (nokturnal) meliputi : kucing hutan (F. bengalensis), musang luwak (P. hermaphroditus), rusa sambar (C. unicolor), tikus belukar (R. tiomanicus), mencit (M. musculus), tikus ladang (R. exulans), tikus sawah (R. argentiventer), tikus duri ekor pendek (M. whiteheadi), nyingnying buluh (C. gliroides) dan ada juga yang aktif menjelang sore dan pagi hari (crefuscular), yakni kancil (T. javanicua). Sebaran ekologis berkaitan pula dengan penggunaan ruang oleh suatu jenis dalam suatu ekosistem. Ekosistem meliputi suatu volume dimana di dalamnya terdapat variasi distribusi individu. Sebaran ekologis satwa mamalia pada suatu areal dipengaruhi oleh kondisi vegetasinya (Odum 1993). Berdasarkan sebaran ekologisnya,
jenis-jenis
yang
ditemukan
dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yakni :
selama
pengamatan
dapat
48
1. Terestrial, hampir seluruh aktivitasnya dilakukan pada permukaan tanah, yaitu : kucing hutan (F. bengalensis), rusa sambar (C. unicolor), kancil (T. javanicus), babi hutan (S. scrofa), mencit (M. musculus), tikus ladang (R. exulans), tikus belukar (R. tiomanicus), tikus sawah (R. argentiventer) dan tikus duri ekor pendek (M. whiteheadi). 2. Semi arboreal, sebagian aktivitasnya dilakukan di atas pohon atau vegetasi lainnya, yakni : tupai tanah (T. tana) dan musang luwak (P. hermaphroditus). 3. Arboreal, seluruh aktivitasnya dilakukan di atas pohon atau vegetasi lainnya, yaitu : beruk (M. nemestrina), lutung Sumatera (T. cristatus), jelarang (R. affinis), bajing kelapa (C. notatus), bajing kelabu (C. orestes), bajing tiga warna (C. prevostii) dan nyingying buluh (C. gliroides).
Sebaran ekologis satwa mamalia yang ditemukan berbeda-beda tiap lokasi penelitian. Mamalia yang ditemukan di hutan, semak belukar dan areal sekitar pemukiman menempati 3 sebaran ekologis, yakni terestrial, semi arboreal dan arboreal. Sedangkan pada areal kebun sawit inti, kebun sawit plasma, kebun karet dan areal sekitar pemukiman, satwa mamalia yang ditemukan hanya menempati 2 sebaran ekologis saja, yakni terestrial dan arboreal. Hal ini terkait dengan komponen penyusun vegetasi. Tupai tanah menyukai areal atau habitat yang relatif tidak terganggu (Payne dan Francis 2000). Kekayaan jenis mamalia berkorelasi dengan struktur kompleks dari habitat. Setiap strata hutan memiliki kemampuan dalam mendukung kehidupan satwa tertentu (Alikodra 2002). Kartono et al (2000) mengelompokkan sebaran vertikal pada jenis-jenis mamalia yang ditemukan di Muara Bungo, Jambi ke dalam 5 kelompok, yakni kelompok I ( t < 1 m), kelompok II (1 m < t < 3 m), kelompok III (3 m < t < 15 m), kelompok IV (15 m < t < 30 m)) dan kelompok V (t > 30 m). Sebaran vertikal dari jenis-jenis mamalia yang ditemukan relatif berbeda tiap lokasi penelitian. Ada beberapa jenis satwa mamalia hanya menempati 1 ruang sebaran vertikal saja, tetapi ada juga yang menempati sebaran spasial lebih dari 1 (Gambar 11).
49
35 Tinggi dari permukaan tanah (t)
30 25 AH
20 15
SB
10 AT, K, I, PL
5
0 Gambar 11 Ilustrasi sebaran vertikal satwa mamalia yang ditemukan.
Keterangan : AH = Areal hutan, SB = Semak belukar, AT = Areal sekitar pemukiman, K = Kebun karet, I = Kebun sawit inti, PL = Kebun sawit plasma Kelompok II Kelompok I
Kelompok III
Kelompok IV
1. Kelompok I, yaitu mamalia yang banyak menggunakan ruang pada ketinggian 0-1 m diatas permukaan tanah. Jenis-jenis mamalia ini terdiri atas: kucing hutan (F. bengalensis), musang luwak (P. hermaphroditus), rusa sambar (C. unicolor), kancil (T. javanica), babi hutan (S. scrofa), beruk (M. nemestrina) dan famili Muridae kecuali nyingying buluh (C. gliroides). 2. Kelompok II (ketinggian 1-3 m di atas permukaan tanah), yaitu : musang luwak (P. hermaphroditus), bajing kelapa (C. notatus), bajing kelabu (Callosciurus prevostii), nyingnying buluh (C. gliroides). 3. Kelompok III (ketinggian 3-15 m di atas permukaan tanah), yakni : beruk (M. nemestrina), jelarang (R. affinis), bajing kelapa (C. notatus), bajing tiga warna (C. prevostii), bajing kelabu (C. orestes). 4. Kelompok IV (ketinggian 15-30 m di atas permukaan tanah), yakni : jelarang (R. affinis), beruk (M. nemestrina) dan lutung Sumatera (T. cristatus).
Hanya pada areal hutan saja, mamalia yang ditemukan menempati semua strata tajuk (sebaran vertikalnya meliputi semua kelompok). Mamalia yang ditemukan di semak belukar menempati strata tajuk tengah sampai bawah
50
(sebaran vertikalnya meliputi kelompok I, kelompok II dan Kelompok III). Sedangkan di areal sekitar pemukiman, kebun karet, kebun sawit inti dan kebun sawit plasma mamalia yang ditemukan memanfaatkan strata tajuk sampai ketinggian 3 m (sebaran vertikalnya meliputi kelompok I dan kepompok II) (Gambar 12). Hal ini, karena pengaruh dari kondisi vegetasi masing-masing lokasi studi dan terkait juga dengan sumber pakan masing-masing jenis mamalia yang ditemukan. Masing-masing individu dalam populasi cenderung untuk menguasai posisi yang khusus dalam ruang (McNaughton dan Wolf 1990). Penggunaan ruang erat kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya oleh masing-masing jenis. Meskipun dari jenis yang sama, perbedaan sumber pakan dapat mengakibatkan sebaran spasial vertikal satwa (persebaran satwaliar berdasarkan ketinggian dari permukaan tanah) juga berbeda (Agus et al 2000).
5,26 %
5,26 %
5,26 %
5,26 % 47,37 %
10,53 %
Omnivora Graminivora Karnivora Grazer Frugivora Foliavora Insectivora
21,05 % Gambar 12 Persentase jenis mamalia yang ditemukan berdasarkan jenis makanannya.
Berdasarkan gambar 12, jenis-jenis mamalia yang berhasil diidentifikasi sebagian besar tergolong pada kelompok omnivora (47,37 %) meliputi beruk (M. nemestrina), babi hutan (S. scrofa) dan famili Muridae; graminivora (21,05 %) meliputi jenis-jenis famili Sciuridae; karnivora (10, 53 %) meliputi kucing hutan (F. bengalensis) dan musang luwak (P. hermaphroditus). Kelompok terkecil hanya sebesar 5,26 % saja yang terdiri dari grazer meliputi rusa (C. unicolor); frugivora meliputi kancil (T. javanica); foliavora meliputi lutung Sumatera (T. cristatus) dan insectivora meliputi tupai tanah (T. tana). Penggolongan tersebut didasarkan pada jenis makanan utamanya sebab beberapa jenis mamalia memiliki jenis makanan yang bervariasi. Jenis makanan satwa berpengaruh pada tingkat tropik satwa tersebut dalam piramida makanan. Komunitas yang stabil akan memiliki pola piramida pada
51
tingkat tropiknya. Keseimbangan ekosistem telah diatur secara alami melalui mekanisme rangkaian penyediaan dan keseimbangan jejaring makanan. Jenis-jenis yang memiliki tingkat trofik lebih tinggi, kepadatannya akan semakin rendah.
Jumlah jenis
(Indrawan et 2007).
25 20 15 10 5 0
22 22
11
6
Sawit inti
8 1
5
7 1
33
6
7 1
Herbivora Karnivora Omnivora
Sawit plasma Sekitar Semak Kebun Areal pemukiman belukar kare hutan t
Gambar 13 Grafik perbandingan jumlah jenis mamalia tiap tingkat tropik.
Pada areal hutan, mamalia herbivora yang memiliki tingkat tropik rendah teramati memiliki jumlah jenis dan kelimpahan yang relatif lebih tinggi dibandingkan karnivora. Susunan kelompok mamalia berdasarkan tingkat trofik yang tergolong relatif stabil terdapat pada areal hutan, karena komunitas pada areal tersebut memiliki pola piramida pada tingkat tropiknya (Gambar 13).
5.7 Ancaman Terhadap Kelestarian Satwa Mamalia Keberadaan satwaliar sangat dipengaruhi oleh kondisi habitatnya. Habitat yang baik adalah habitat yang mampu mendukung segala kebutuhan satwa khususnya mamalia yang ada, seperti makan, minum, tempat berlindung dan istirahat. Forman dan Gordon (1980) menyatakan bahwa keanekaragaman jenis merupakan fungsi dari beberapa karakteristik habitat yaitu : keanekaragaman habitat, gangguan, luas habitat, umur habitat, tingkat isolasi serta perbatasan yang berbeda. Pada setiap lokasi pengamatan terdapat berbagai aktifitas manusia yang sedikit banyak berpengaruh terhadap keberadaan satwa, meliputi : perburuan, pengendalian gulma, serta penebangan kayu (Tabel 9).
52
Tabel 9 Daftar aktivitas manusia yang dijumpai di dalam dan sekitar lokasi penelitian yang berpotensi sebagai ancaman No Jenis Gangguan Tipe Habitat I
PLS
AT
SB
KK
AH
1
Perburuan
-
Ada
-
Ada
-
Ada
2
Penebangan kayu
-
-
-
-
-
Ada
3
Pengendalian gulma
-
-
Ada
-
Ada Ada
Keterangan : I = Kebun sawit inti, PLS = Kebun sawit plasma, AT = Areal sekitar pemukiman, SB = Semak belukar, KK = Kebun karet, AH = Areal hutan
Aktivitas manusia yang teramati paling mengganggu keberadaan satwa mamalia di lokasi penelitian adalah perburuan karena kegiatan tersebut intensitasnya cukup tinggi dan langsung mematikan objek buruan. Penebangan kayu tidak dilakukan untuk areal yang luas dan cenderung bersifat hanya sesaat.
5.7.1
Perburuan Perburuan teramati terjadi pada habitat kebun sawit plasma, areal hutan dan
semak belukar. Tingkat perburuan terhadap mamalia cukup tinggi terutama di semak belukar dan hutan. Hal ini didasarkan pada banyaknya jumlah jerat yang ditemukan. Di semak belukar ditemukan 9 buah jerat, sedangkan pada areal hutan ditemukan 13 buah jerat. Perburuan dilakukan dengan menggunakan jerat tradisional. Jerat-jerat yang digunakan, teramati terbuat dari kayu atau dahan kayu, ranting dan tali jerat (Gambar 14).
Gambar 14 Jerat untuk babi dan rusa. Satwa buruan utama pada semak belukar adalah babi hutan (S. scrofa), sedangkan satwa buruan di hutan adalah babi hutan (S. scrofa) dan rusa sambar (C. unicolor) (Gambar 15). Perburuan ini pada dasarnya bertujuan untuk pemanfaatan secara ekonomi. Tingginya permintaan daging buruan mendorong
53
warga setempat untuk berburu. Selain itu harga daging hasil buruan relatif cukup tinggi dan sudah ada pasarnya.
Gambar 15 Bangkai babi buruan. Perburuan satwa mamalia yang tidak terkendali akan menimbulkan dampak lingkungan (ekologis) yang cukup signifikan. Bukan hanya ancaman punahnya jenis-jenis satwa tertentu, akan tetapi juga ancaman bagi kelangsungan kehidupan karena terputusnya salah satu siklus rantai makanan di alam.
5.7.2 Penebangan Kayu Penebangan kayu terjadi di areal hutan (Gambar16). Kegiatan penebangan dilakukan oleh masyarakat sekitar dengan dalih sebagai bahan pembuatan jembatan dan kandang. Sifatnya hanya sesaat. Alat yang digunakan berupa gergaji mesin (chainsaw) dan golok. Hal ini juga didukung fakta dilapangan berdasarkan hasil observasi, teramati serbuk gergajian bekas chainsaw, potongan-potongan kayu berbagai ukuran bentuk balok dan kayu bentuk log.
Gambar 16 Penebangan kayu pada areal hutan. Untuk mengatasi kegiatan penebangan kayu telah dipasang papan larangan penebangan kayu (Gambar 17). Namun, penebangan tetap terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa perlu disusun dan dilaksanakan suatu tata rencana agar areal
54
hutan tidak rusak. Salah satunya adalah dengan melaksanakan penyuluhan tentang pentingnya keberadaan areal hutan dan dampak kerusakannya.
Gambar 17 Papan larangan pengambilan kayu di areal hutan
5.7.3 Pengendalian Gulma Pengendalian gulma dilakukan dengan penyemprotan tumbuhan bawah menggunakan herbisida pada kebun sawit plasma dan kebun karet. Kegiatan penyemprotan menyebabkan kondisi vegetasi bawah kebun plasma dan kebun karet relatif bersih. Hal ini dilakukan masyarakat sebagai antisipasi terhadap gangguan satwa mamalia famili Muridae yang statusnya dianggap sebagai hama pada kebun kelapa sawit. Namun, dalam jejaring makanan kegiatan tersebut berpengaruh terhadap satwa lain yang berperan sebagai herbivora. Mamalia herbivora, terutama yang terdapat di areal hutan kemungkinan mencari makan di dalam atau sekitar areal kebun plasma yang berdekatan. Tidak menutup kemungkinan mamalia herbivora tersebut keracunan herbisida yang disemprotkan pada tumbuhan bawah yang dimakannya. Misalnya rusa sambar (C. unicolor) dan babi hutan (S. scrofa). Menurut Alikodra dan Santosa (1987) dalam Alikodra (2002) yang meneliti daerah perbatasan antara hutan produksi yang dapat dikonversi dengan daerah perkebunan kelapa sawit Koto Kampar dan Kalianta (Kabupaten Kampar), rusa mempunyai potensi untuk merusak tanaman muda dan memakan berbagai jenis rumput-rumputan pada kebun sawit. Babi hutan sering masuk ke kebun kelapa sawit yang berdekatan dengan hutan. Jika rumput yang dimakan rusa sambar adalah rumput yang disemprot dengan herbisida, kemungkinan rusa sambar dapat teracuni.
55
5.8 Areal yang Memiliki Nilai Konservasi Tinggi Pendekatan nilai konservasi tinggi mengacu kepada tiga pilar pembangunan berkelanjutan dari konvensi keanekaragaman hayati. Dalam areal yang memiliki nilai konservasi tinggi dapat dilakukan pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan secara rasional dan terkendali dengan tetap mempertahankan nilainilai ekologi, lingkungan, sosial dan budaya. Salah satu kriteria suatu areal dikatakan memiliki nilai konservasi tinggi adalah Areal yang mempunyai konsentrasi nilai-nilai keanekaragaman hayati yang penting secara global, regional dan lokal (misalnya : (refugia) tempat menyelamatkan diri) (World Bank-IUCN 2002). Salah satu kriteria penilaian terhadap suatu areal yang memiliki nilai konservasi tinggi didasarkan pada penilaian lapang terhadap keberadaan jenis dan keanekaragaman
jenis.
Pendekatan
penyusunan
prioritas
berdasar
jenis,
ditekankan pada populasi dan distribusi geografisnya berdasar lokasi penelitian. Prioritas areal yang memiliki nilai konservasi tinggi berdasarkan jenis pada dasarnya menekankan nilai dari suatu jenis. Selain itu, ancaman dan potensi serta upaya konservasi juga penting dipertimbangkan untuk mendeteksi kemungkinan dampak merugikan yang ditimbulkan dimasa yang akan datang (Hockings 2000). Keberadaan satwaliar sangat dipengaruhi oleh kondisi habitatnya. Habitat yang baik adalah habitat yang mampu mendukung segala kebutuhan satwa, seperti makan, minum, tempat berlindung dan istirahat. Heriyanto dan Iskandar (2004) menyatakan bahwa habitat yang baik adalah habitat yang dapat menyediakan sumber pakan bagi satwaliar. Kondisi habitat mamalia pada areal hutan relatif masih bagus walaupun pada beberapa titik lokasi telah mengalami kerusakan. Vegetasi dan strata tajuknya beranekaragam, ketersediaan air cukup dan relatif luas (40 ha) sebagai habitat satwa mamalia yang ada. Areal hutan statusnya dilindungi secara adat dan pada areal tersebut terdapat pohon sialang (Koompasia malaccensis) yang dilindungi dan dijadikan sebagai tempat bersarang lebah hutan. Walaupun statusnya sebagai hutan adat, ancaman keberadaan hutan relatif tinggi. Hal ini terkait dengan pola pikir masyarakat sekitar hutan kemungkinan telah ikut berubah seiring perkembangan kebun sawit.
56
Berdasarkan hal di atas, areal hutan merupakan lokasi yang dinilai sangat penting dan memiliki nilai konservasi tinggi. Hal ini dapat dilihat dari keanekaragaman jenis mamalia yang ditemukan bervariasi baik jumlah maupun jenisnya. Hampir semua spesies mamalia yang teramati adalah jenis yang dilindungi (8 jenis dari 12 jenis satwa mamalia yang ditemukan, 5 jenis diantaranya adalah jenis yang dilindungi (PP No.7/ 1999), 3 jenis tergolong red list IUCN dan 6 jenis termasuk appendiks CITES) (Tabel 10).
Tabel 10 Data jenis mamalia yang ditemukan di lokasi penelitian berdasarkan status konservasinya Status Konservasi No Nama Lokal Nama Ilmiah IUCN CITES PP 1
Kucing hutan
Felis bengalensis
V
I
D
2
Beruk
Macaca nemistrina
V
II
D
Trachypithecus cristatus
-
II
-
3
Lutung Sumatera
4
Kancil
Tragulus javanica
V
-
D
5
Rusa sambar
Cervus unicolor
-
-
D
6
Musang luwak
Paradoxurus hermaphroditus
-
III
-
7
Tupai tanah
Tupaia tana
-
II
D
8
Jelarang
Ratufa affinis
-
II
-
Keterangan : V = Vulnerable,, I = Appendix I,II = Appendix II, P = Dilindungi PP RI No.7/1999
57
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Ditemukan 18 jenis satwa mamalia pada semua lokasi penelitian, yakni : areal hutan (12 jenis), semak belukar (6 jenis), areal sekitar pemukiman (4 jenis), kebun sawit inti (5 jenis), kebun sawit plasma (3 jenis), dan kebun karet (1 jenis) Dari keseluruhan jenis yang ditemukan, 8 jenis diantaranya adalah jenis yang dilindungi (5 jenis dilindungi (PP No.7/ 1999), 3 jenis tergolong red list IUCN dan 6 jenis termasuk appendiks CITES). Areal hutan merupakan areal yang memiliki kekayaan jenis tertinggi (66,7 %). Perburuan merupakan ancaman yang serius terhadap keberadaan satwa mamalia. Pengubahan fungsi areal hutan ke dalam bentuk kebun sawit inti dan kebun sawit plasma memberikan dampak perbedaan kekayaan jenis mamalia yang tergolong cukup besar, yakni masing-masing sebesar 38,9 % dan 50,0 %. Pengubahan areal hutan menjadi kebun karet menyebabkan perbedaan kekayaan jenis yang paling besar, yakni sebesar 61,1 %. Selain itu juga menyebabkan perubahan komunitas semakin nyata (7 %). Hal ini mengindikasikan bahwa pengubahan fungsi areal hutan ke dalam bentuk kebun karet atau dalam bentuk kebun sawit yang monokultur, akan mengakibatkan terjadinya penurunan keanekaragaman jenis mamalia yang diduga terkait dengan ketersedian sumber pakan serta kelengkapan penyusun habitat lainnya.
6.2 Saran Perlu dilakukan kajian yang menyeluruh terhadap upaya-upaya pengelolaan keanekaragaman hayati, sebagai salah satu dasar manajemen di perkebunan kelapa sawit sehingga dapat bermanfaat untuk kelestarian biodiversiti dan kelestarian usaha perkebunan kelapa sawit. Meliputi kegiatan penelitian lanjutan dan monitoring satwa, khususnya mamalia.
58
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra, H. S. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid 1. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Bharian. 2007. Ekosistem Kelapa Sawit. Artikel. http://.www.bharian.com.my Saturday/BeritaSawit/Article/html. [15 Januari 2007] Departemen Kehutanan. 1993. Mengenal Lebih Dekat Satwa Yang Dilindungi (Mamalia). Direktorat Jendral Kehutanan. Jakarta. Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati. 2004. Kebijakan Departemen Kehutanan Dalam Konservasi Keanekaragaman Hayati. Makalah. Disampaikan pada kuliah perdana Program Magister Profesi Konservasi Biodiversiti. Dep KSHE. Fak Kehutanan. IPB. 5 Oktober. Forman, R.T and M Gordan. 1980. Lansdcape Ecology. John Willey & Sons. Toronto. Grzimek, B. 1972. Animal Enclycopaedia (volume 8: Mamalia).Van Nostrand Reinhod Co. New York. Heriyanto, N.M dan S Iskandar. 2004. Status dan Populasi Surili (presbytis comata Desmarest) di Kompleks Hutan Kalajetan, Karangranjang. Taman Nasional Ujung Kulon. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 1(1): 89-98. Hockings, M. 2000. A Framework of Assessing The Management Effectiveness of Protected Areas. WWF/IUCN Forest Innovations Project. http://books.google.com/books?id [8 Desember 2007] Indrawan, M, B.P Ricard dan S Jatna. 2007. Biologi Konservasi, Edisi Revisi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta Kartono, A.P. 2000. Teknik Inventari Satwaliar dan Habitatnya. Labolatorium Ekologi Satwaliar. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kartono, A.P, I Maryanto, M.H Sinaga. 2000. Keragaman Mamalia Pada Berbagai Tipe Habitat Di Muara Bungo, Jambi. Jurnal Media Konservasi VII: 21-28. Kartono, A.P. 2006. Diktat Kuliah Ekologi Kuantitatif. Laboratorium Ekologi Satwaliar. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor. Tidak diterbitkan. Lamin, P. 1997. Pengaruh Penebangan Terhadap Keanekaragaman Jenis Mamalia Studi Kasus di Areal HPH PT. Kayu Tribuana Rama Kabupaten Kota
59
Waringin Timur [skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Ludwig, J.A and J.F Reynolds. 1988. Statistical Ekology : A Primer on Methods and Computing. A Wiley-Interscience Publication. New York. Magurran, A.E. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. Croom Helm. New South Wales. Odum, E.P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Terjemahan Edisi ke-3. Gajah Mada University Press. Yokyakarta. Pangabean, J. 2000. Studi Keanekaragaman Jenis Mamalia Kecil di HPH PT.Riwayat Musi Timber Corporation, Suaka Margasatwa Gua Pasemah dan Taman Nasional Kerinci Seblat Provinsi Sumatera Selatan [skripsi]. Bogor: Departemen Konservai Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan . Institut Pertanian Bogor. Payne, J. C..M Francis dan K.Phillipps. 2000. A Field Guide to The Mammals of Borneo.The Sabah Society. Sabah. Purnama, D. 03 Mei 2006. Indonesia Miliki Spesies Mamalia Terbanyak. Tempo. http://www.tempointeraktif.com/hg/iptek/brk,id.html. [27 Desember 2007] Solichin. 1997. Studi Keanekaragaman Jenis Mamalia Di Kawasan Pelestarian Plasma Nuftah Areal Pengusahaan Hutan Terpadu Kayu Mas Provinsi Kalimantan Tengah [skripsi]. Bogor: Departemen Konservai Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Suyanto, A. 1979. Seekor Tikus Sawah (Rattus argentiventer) Mampu Merusak 103 Batang Padi Setiap Harinya (Bagaimana memberantasnya?). Jurnal Warta Pertanian, 53 : 32-35. Suyanto, A. 2006. Seri Panduan Lapang Rodent di Jawa. Pusat Penelitian Biologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor. Tigerbear. 2007. “Menembus” Hutan Tropis Indonesia. Artikel. Tigerbear. http://tigerbear.wordpress.com/2007/10/31/%E2%80%9Cmenembus%E2 %80%9D-hutan-tropis-indonesia/ [16 Juni 2008] Van Hoeve, I.B. 1992. Ensiklopedi Indonesia Seri Fauna, (Mamalia 1). Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam terbitan (KTD). World Bank – WWF Alliance. 2002. Capacity Building Toolkit for Working Groups on Forest Certification. www.piec.org/mswg_toolkit. [20 Juni 2008]
Ageratum conyzoides
Alternanthera sessilis
Asystasia intrusa
Axonopus compressus
Borreria laevis
Borreria latifolia
Centotheca lappacea
Clidemia hirta
Croton hirtus
Cyclosorus aridus
Cyonodon dactylon
Cyperus kyllingia
Cyperus rotundus
Cyperus sanguinolentus
Cyrtococcum acrescens
Digitaria ciliaris
Eichhornia crassipes
Eleusine indica
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Nama Latin
1
No
Jenis
Rumput Belulang
Eceng Gondok
Genjoran
Kretekan
Teki rawa
Rumput teki
Teki pendul
Grintingan
Pakis kadal
Jarakan
Senggani
Lorodan
Kentangan
Katumpang lemah
Paitan
Bunga putih ungu
Bayam kremeh
Bandotan
Nama Lokal
Indeks nilai penting vegetasi bawah di kebun sawit inti
Lampiran 1
Poaceae
Pontederiaceae
Poaceae
Poaceae
Cyperaceae
Cyperaceae
Cyperaceae
Poaceae
Thelypteridaceae
Euphorbiaceae
Melastomataceae
Poaceae
Rubiaceae
Rubiaceae
Poaceae
Acanthaceae
Amaranthaceae
Asteraceae
Famili
9
26
82
156
12
8
7
17
19
12
3
17
30
20
6
190
4
39
∑
0.023
0.065
0.205
0.390
0.030
0.020
0.018
0.043
0.048
0.030
0.008
0.043
0.075
0.050
0.015
0.475
0.010
0.098
K (indv/m2)
0.847
2.445
7.713
14.673
1.129
0.752
0.658
1.599
1.787
1.129
0.282
1.599
2.822
1.881
0.564
17.871
0.376
3.668
KR (%)
0.100
0.100
0.300
0.500
0.100
0.050
0.050
0.050
0.150
0.050
0.050
0.050
0.100
0.150
0.050
0.750
0.100
0.200
F
1.724
1.724
5.172
8.621
1.724
0.862
0.862
0.862
2.586
0.862
0.862
0.862
1.724
2.586
0.862
12.931
1.724
3.448
FR (%)
2.571
4.170
12.885
23.293
2.853
1.615
1.520
2.461
4.373
1.991
1.144
2.461
4.546
4.467
1.426
30.802
2.100
7.116
INP (%)
60
Ipomoea triloba
Ludwigia hyssopifolia
Ludwigia perennis
Lygodium japonicum
Melastoma malabathricum
Mikania micrantha
Nephrolepis biserrata
Paspalum commersonii
Phyllanthus niruri
Polygonum barbatum
Portulaca oleracea
Scleria sumatrensis
Scoparia dulcis
Sida rhombifolia
Spigelia anthelmia
Stachytarpheta jamaicensis
Vernonia cinerea
20
21
22
23
24
25
26
27
28
39
30
31
32
33
34
35
36
Jumlah
Imperata cylindrical
Nama Latin
Jenis
19
No
Lanjutan
Nyawon
Jarong lalaki
Kemangi Cina
Sidaguri
Jaka Tua
Kerisan
Krokot
Salah Nyaru
Meniran
Kinangan
Pakis Harupat
Sembung Rambat
Harendong
Pakis Rambat
Lakum Air
Rambat
Alang-Alang
Alang-Alang
Nama Lokal
Asteraceae
Verbenaceae
Loganiaceae
Malvaceae
Scrophulariaceae
Cyperaceae
Portulacaceae
Polygalaceae
Euphorbiaceae
Poaceae
Dennsteadtiaceae
Asteraceae
Melastomataceae
Schizaeaceae
Onagraceae
Convolvulaceae
Poaceae
Poaceae
Famili
3
3
4
1056
11
6
11
1
4
36
2
10
4
8
61
154
32
18
31
∑
2.658
0.028
0.015
0.028
0.003
0.010
0.090
0.005
0.025
0.010
0.020
0.153
0.385
0.080
0.045
0.078
0.008
0.008
0.010
K (indv/m2)
100
1.035
0.564
1.035
0.094
0.376
3.386
0.188
0.941
0.376
0.752
5.737
14.485
3.010
1.693
2.916
0.282
0.282
0.376
KR (%)
5.800
0.050
0.150
0.100
0.050
0.050
0.300
0.050
0.100
0.100
0.050
0.400
0.700
0.300
0.200
0.100
0.050
0.050
0.050
F
100
0.862
2.586
1.724
0.862
0.862
5.172
0.862
1.724
1.724
0.862
6.897
12.069
5.172
3.448
1.724
0.862
0.862
0.862
FR (%)
200
1.897
3.151
2.759
0.956
1.238
8.558
1.050
2.665
2.100
1.615
12.634
26.554
8.182
5.141
4.640
1.144
1.144
1.238
INP (%)
61
Melastoma malabathricum
Clidemia hirta
Cyrtococcum oxyphyllum
Nephrolepis biserrata
Imperata cylindrica
Ageratum conyzoides
Asystasia intrusa
Axonopus compressus
Ipomoea triloba
Alternanthera sessilis
Cyrtococcum acrescens
Ipomoea rederifolia
Neprodium obseurum
Lygodium scandens
Selaginella fimbriata
Gleichenia linearis
Lygodium japonicum
Cyperus pulcherrimus
Hewittia sublobata
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
Nama Latin
Jenis
1
No
Jalegor
Mendongan
Pakis rambat
Pakis bantengan
Pakis lumut
Pakis kawat
Pakis kadal
Rambatan
Kretekan
Kecicak abang
Rambat
Paitan
Bunga putih ungu
Bandotan
Alang-alang
Pakis harupat
Kretekan
Senggani
Harendong
Nama Lokal
Indeks nilai penting vegetasi bawah di kebun sawit plasma
Lampiran 2
Magnoliaceae
Cyperaceae
Schizaeaceae
Gleicheniaceae
Selaginellaceae
Schizaeaceae
Thelypteridaceae
Convolvulaceae
Poaceae
Amaranthaceae
Convolvulaceae
Poaceae
Acanthaceae
Asteraceae
Poaceae
Dennsteadtiaceae
Poaceae
Melastomataceae
Melastomataceae
Famili
1
2
25
6
1
6
5
61
105
40
16
23
7
23
15
37
22
158
36
∑
0.003
0.005
0.063
0.015
0.003
0.015
0.013
0.153
0.263
0.100
0.040
0.058
0.018
0.058
0.038
0.093
0.055
0.395
0.090
K (indv/m2)
0.160
0.321
4.006
0.962
0.160
0.962
0.801
9.776
16.827
6.410
2.564
3.686
1.122
3.686
2.404
5.929
3.526
25.321
5.769
KR (%)
0.050
0.050
0.300
0.150
0.050
0.100
0.050
0.350
0.600
0.650
0.100
0.200
0.050
0.100
0.100
0.400
0.200
0.500
0.350
F
1.064
1.064
6.383
3.191
1.064
2.128
1.064
7.447
12.766
13.830
2.128
4.255
1.064
2.128
2.128
8.511
4.255
10.638
7.447
FR (%)
1.224
1.384
10.389
4.153
1.224
3.089
1.865
17.222
29.593
20.240
4.692
7.941
2.186
5.814
4.532
14.440
7.781
35.959
13.216
INP (%)
62
Scoparia dulcis
Ottochloa nodosa
Paspalum conjugatum
Cyperus kyllingia
Cyperus flavidus
21
22
23
24
25
Jumlah
Paspalum commersonii
Nama Latin
20
No
Lanjutan
Jenis
Rumput toyan
Teki pendul
Rumput pait
Rumput rawa
Jaka tua
Kinangan
Nama Lokal
Cyperaceae
Cyperaceae
Poaceae
Poaceae
Scrophulariaceae
Poaceae
Famili
6
4
3
6
624
4
12
∑
1.56
0.010
0.030
0.015
0.010
0.008
0.015
K (indv/m2)
100
0.641
1.923
0.962
0.641
0.481
0.962
KR (%)
4.7
0.050
0.050
0.050
0.050
0.100
0.050
F
100
1.064
1.064
1.064
1.064
2.128
1.064
FR (%)
200
1.705
2.987
2.025
1.705
2.608
2.025
INP (%)
63
Alternanthera amoena
Ammannia octandra
Axonopus compressus
Borreria distans
Borreria laevis
Borreria latifolia
Celosia argentea
Cleome rutidosperma
Cyonodon dactylon
Cyperus flavidus
Cyperus kyllingia
Cyperus pilosus
Cyperus pulcherrimus
Cyperus sanguinolentus
Digitaria ternate
Eleusine indica
Eupatorium odoratum
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Nama Latin Ageratum conyzoides
2
1
No
Jenis
Kirinyuh
Rumput belulang
Gangsiran
Teki Rawa
Mendongan
Suket teki
Teki pendul
Rumput toyan
Grintingan
Mamam
Boroco
Kentangan
Katumpang lemah
Rumput setawar
Paitan
Rumput mutiara
Kecicak abang
Nama Lokal Bandotan
Famili
Asteraceae
Poaceae
Poaceae
Cyperaceae
Cyperaceae
Cyperaceae
Cyperaceae
Cyperaceae
Poaceae
Capparidaceae
Amaranthaceae
Rubiaceae
Rubiaceae
Rubiaceae
Poaceae
Lythraceae
Amaranthaceae
Asteraceae
Indeks nilai penting vegetasi bawah di areal sekitar pemukiman
Lampiran 3
4
26
62
15
27
2
4
4
1
9
10
4
11
22
23
1
5
40
∑
0.010
0.065
0.155
0.038
0.068
0.005
0.010
0.010
0.003
0.023
0.025
0.010
0.028
0.055
0.058
0.003
0.013
0.100
K (indv/m2)
0.571
3.714
8.857
2.143
3.857
0.286
0.571
0.571
0.143
1.286
1.429
0.571
1.571
3.143
3.286
0.143
0.714
5.714
KR (%)
0.050
0.150
0.250
0.150
0.150
0.050
0.050
0.100
0.050
0.100
0.100
0.050
0.100
0.200
0.200
0.050
0.050
0.400
F
INP (%)
4.602
6.316
1.105
1.391
2.211
0.963
2.925
3.068
1.391
3.211
6.422
6.564
0.963
1.534
0.820
2.459
1.391
6.173
4.098 12.956
2.459
2.459
0.820
0.820
1.639
0.820
1.639
1.639
0.820
1.639
3.279
3.279
0.820
0.820
6.557 12.272
FR (%)
64
Euphorbia hirta
Ageratum conyzoides
Hedyotis hispida
Hoplismenus compositus
Hyptis brevipes
Imperata cylindrica
Ipomoea rederifolia
Ipomoea triloba
Lindernia crustacean
Ludwigia hyssopifolia
Ludwigia perennis
Melastoma malabathricum
Melochia corchorifolia
Mikania micrantha
Mimosa pudica
Paspalum conjugatum
Passiflora foetida
Pennisetum polystachyon
Phyllanthus urinaria
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
Nama Latin
19
No
Lanjutan
Jenis
Meniran
Rumput Gajah
Ceplukan Blungsun
Rumput Pait
Putri Malu
Sembung Rambat
Gendiran
Harendong
Lakum Air
Rambat
Brobos Kebo
Alang-Alang
Rambatan
Alang-Alang
Genggeyan
Laronan
Keji Beling
Bandotan
Patikan kebo
Nama Lokal
Euphorbiaceae
Poaceae
Passifloraceae
Poaceae
Mimosaceae
Asteraceae
Sterculiaceae
Melastomataceae
Onagraceae
Convolvulaceae
Scrophulariaceae
Poaceae
Convolvulaceae
Poaceae
Lamiaceae
Asteraceae
Rubiaceae
Asteraceae
Euphorbiaceae
Famili 2
6
19
4
25
4
104
4
16
2
3
26
2
24
21
19
6
2
40
∑
0.015
0.048
0.010
0.063
0.010
0.260
0.010
0.040
0.005
0.008
0.065
0.005
0.060
0.053
0.048
0.015
0.005
0.100
0.005
K (indv/m2)
0.857
2.714
0.571
3.571
0.571
14.857
0.571
2.286
0.286
0.429
3.714
0.286
3.429
3.000
2.714
0.857
0.286
5.714
0.286
KR (%)
0.150
0.250
0.100
0.250
0.050
0.700
0.050
0.150
0.100
0.050
0.100
0.050
0.150
0.100
0.200
0.100
0.050
0.400
0.050
F
2.459
4.098
1.639
4.098
0.820
11.475
0.820
2.459
1.639
0.820
1.639
0.820
2.459
1.639
3.279
1.639
0.820
6.557
0.820
FR (%)
3.316
6.813
2.211
7.670
1.391
26.333
1.391
4.745
1.925
1.248
5.354
1.105
5.888
4.639
5.993
2.496
1.105
12.272
1.105
INP (%)
65
Jenis
Nama Latin 38 Portulaca oleracea 39 Saccharum spontaneum 40 Scoparia dulcis 41 Sida rhombifolia 42 Stacyterpheta jamaicensis 43 Spigelia anthelmia 44 Stephania discolor 45 Vernonia cinerea 46 Vigna hosei Jumlah
No
Lanjutan Nama Lokal Krokot Glagah Jaka Tua Sidaguri Jarong Lalaki Kemangi Cina Kepleng Nyawon Gobesan
∑ 3 5 16 9 3 82 7 10 2 736
Famili Portulacaceae Poaceae Scrophulariaceae Malvaceae Verbenaceae Loganiaceae Menispermaceae Asteraceae Lythraceae
0.008 0.013 0.040 0.023 0.008 0.205 0.018 0.025 0.005 1.750
0.429 0.714 2.286 1.286 0.429 11.714 1.000 1.429 0.286 100
K KR (%) (indv/m2) 0.050 0.050 0.100 0.150 0.050 0.500 0.100 0.100 0.050 6.100
Frek 0.820 0.820 1.639 2.459 0.820 8.197 1.639 1.639 0.820 100
FR (%)
1.248 1.534 3.925 3.745 1.248 19.911 2.639 3.068 1.105 200
INP (%)
66
Ageratum conyzoides
Asystasia intrusa
Axonopus compressus
Borreria distans
Borreria laevis
Borreria latifolia
Brachiaria distachya
Clidemia hirta
Crassocephalum crepidioides
Croton hirtus
Cyperus digitatus
Cyperus pulcherrimus
Cyperus sanguinolentus
Cyrtococcum acrescens
Eleusine indica
Eupatorium odoratum
Gleichenia linearis
Ipomoea triloba
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Nama Latin
Jenis
1
No
Alang-Alang
Pakis Bantengan
Kirinyuh
Rumput Belulang
Kretekan
Teki Rawa
Mendongan
Rumput Musang
Jarakan
Batu Lincar
Senggani
Rumput Setawar
Kentangan
Katumpang Lemah
Rumput Setawar
Paitan
Bunga Putih Ungu
Bandotan
Nama Lokal
Indeks nilai penting vegetasi bawah di semak belukar
Lampiran 4
Poaceae
Gleicheniaceae
Asteraceae
Poaceae
Poaceae
Cyperaceae
Cyperaceae
Cyperaceae
Euphorbiaceae
Asteraceae
Melastomataceae
Rubiaceae
Rubiaceae
Rubiaceae
Rubiaceae
Poaceae
Acanthaceae
Asteraceae
Famili
2
5
6
10
25
8
5
6
10
5
9
13
87
5
2
83
2
80
∑
0.005
0.013
0.015
0.025
0.063
0.020
0.013
0.015
0.025
0.013
0.023
0.033
0.218
0.013
0.005
0.208
0.005
0.200
K (indv/m2)
0.373
0.933
1.119
1.866
4.664
1.493
0.933
1.119
1.866
0.933
1.679
2.425
16.231
0.933
0.373
15.485
0.373
14.925
KR (%)
0.050
0.050
0.050
0.100
0.200
0.100
0.050
0.100
0.100
0.050
0.100
0.050
0.650
0.100
0.050
0.500
0.100
0.600
F
1.020
1.020
1.020
2.041
4.082
2.041
1.020
2.041
2.041
1.020
2.041
1.020
13.265
2.041
1.020
10.204
2.041
12.245
FR (%)
1.394
1.953
2.140
3.906
8.746
3.533
1.953
3.160
3.906
1.953
3.720
3.446
29.497
2.974
1.394
25.689
2.414
27.170
INP (%)
67
Sembung Rambat Pakis Harupat Pakis Kadal Rumput Rawa Ceplukan Blungsun Meniran Jaka Tua Kemangi Cina Kepleng Kukuyaan
21 Mikania micrantha
22 Nephrolepis biserrata
23 Neprodium obseurum
24 Ottochloa nodosa
25 Passiflora foetida
26 Phyllanthus niruri
27 Scoparia dulcis
28 Spigelia anthelmia
29 Stephania discolor
30 Torenia violacea
Jumlah
Harendong
20 Melastoma malabathricum
Nama Lokal Rambat
Nama Latin
Jenis
19 Ludwigia hyssopifolia
No
Lanjutan
Scrophulariaceae
Menispermaceae
Loganiaceae
Scrophulariaceae
Euphorbiaceae
Passifloraceae
Poaceae
Thelypteridaceae
Dennsteadtiaceae
Asteraceae
Melastomataceae
Convolvulaceae
Famili
3
3
536
3
3
71
1
3
6
2
7
61
10
∑
1.340
0.008
0.008
0.178
0.003
0.008
0.015
0.005
0.018
0.153
0.025
0.008
0.008
K (indv/m2)
100
0.560
0.560
13.246
0.187
0.560
1.119
0.373
1.306
11.381
1.866
0.560
0.560
KR (%)
4.900
0.050
0.050
0.550
0.050
0.100
0.150
0.050
0.050
0.550
0.200
0.050
0.050
F
100
1.020
1.020
11.224
1.020
2.041
3.061
1.020
1.020
11.224
4.082
1.020
1.020
FR (%)
200
1.580
1.580
24.471
1.207
2.601
4.181
1.394
2.326
22.605
5.947
1.580
1.580
INP (%)
68
Adeantum cuneatum
Asystasia intrusa
Athyrium sorzogenense
Axonopus compressus
Borreria latifolia
Centotheca lappacea
Cleome viscose
Clidemia hirta
Crassocephalum crepidioides
Cyclosorus aridus
Cyperus pulcherrimus
Cyrtococcum acrescens
Davallia tenuifolia
Eragrotis unioloides
Eriocaulon longifolium
Eupatorium odoratum
Fimbristylis miliacea
Gleichenia linearis
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Nama Latin
Jenis
1
No
Pakis Bantengan
Tumbaran
Kirinyuh
Babawangan
Bebekan
Pakis Cemara
Kretekan
Mendongan
Pakis Kadal
Batu Lincar
Senggani
Tembeking
Lorodan
Kentangan
Paitan
Paku Kijang
Bunga Putih Ungu
Suplir
Nama Lokal
Indeks nilai penting vegetasi bawah di kebun karet
Lampiran 5
Gleicheniaceae
Cyperaceae
Asteraceae
Eriocaulaceae
Poaceae
Schizaeaceae
Poaceae
Cyperaceae
Thelypteridaceae
Asteraceae
Melastomataceae
Capparidaceae
Poaceae
Rubiaceae
Poaceae
Schizaeaceae
Acanthaceae
Schizaeaceae
Famili
43
23
21
48
3
2
36
28
10
41
45
22
50
1
122
51
9
17
∑
0.108
0.058
0.053
0.120
0.008
0.005
0.090
0.070
0.025
0.103
0.113
0.055
0.125
0.003
0.305
0.128
0.023
0.043
K (indv/m2)
4.965
2.656
2.425
5.543
0.346
0.231
4.157
3.233
1.155
4.734
5.196
2.540
5.774
0.115
14.088
5.889
1.039
1.963
KR (%)
0.350
0.150
0.200
0.300
0.100
0.100
0.200
0.250
0.100
0.700
0.650
0.150
0.550
0.050
0.750
0.650
0.150
0.250
F
4.192
1.796
2.395
3.593
1.198
1.198
2.395
2.994
1.198
8.383
7.784
1.796
6.587
0.599
8.982
7.784
1.796
2.994
FR (%)
9.157
4.452
4.820
9.136
1.544
1.429
6.552
6.227
2.352
13.118
12.981
4.337
12.360
0.714
23.070
13.674
2.836
4.957
INP (%)
69
Isachne pulchella
Lygodium japonicum
Melastoma malabathricum
Mikania micrantha
Mimosa invisa
Nephrolepis biserrata
Neprodium obseurum
Scleria sumatrensis
Selaginella plana
Stachytarpheta indica
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
Jumlah
Imperata cylindrica
Nama Latin
Jenis
19
No
Lanjutan
Ngadi Rengga
Cakar Ayam
Kerisan
Pakis Kadal
Pakis Harupat
Rembete
Sembung Rambat
Harendong
Pakis Rambat
Wawaderan
Alang-Alang
Nama Lokal
Verbenaceae
Selaginellaceae
Cyperaceae
Thelypteridaceae
Dennsteadtiaceae
Mimosaceae
Asteraceae
Melastomataceae
Schizaeaceae
Poaceae
Poaceae
Famili
866
24
11
16
18
18
20
42
59
56
9
21
∑
2
0.060
0.028
0.040
0.045
0.045
0.050
0.105
0.148
0.140
0.023
0.053
K (indv/m2)
100
2.771
1.270
1.848
2.079
2.079
2.309
4.850
6.813
6.467
1.039
2.425
KR (%)
8.35
0.200
0.100
0.200
0.200
0.200
0.300
0.300
0.600
0.350
0.100
0.150
F
100
2.395
1.198
2.395
2.395
2.395
3.593
3.593
7.186
4.192
1.198
1.796
FR (%)
200
5.167
2.468
4.243
4.474
4.474
5.902
8.443
13.999
10.658
2.237
4.221
INP (%)
70
Melastoma malabathricum
Gleichenia linearis
Cyperus flavidus
Nephrolepis biserrata
Clidemia hirta
Eupatorium odoratum
Borreria latifolia
Ottochloa nodosa
Ageratum conyzoides
Scoparia dulcis
Crassocephalum crepidioides
Paspalum sanguinale
Borreria distans
Cyrtococcum oxyphyllum
Mimosa pudica
Borreria laevis
Centotheca lappacea
Panicum plicatum
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Nama Latin
Jenis
1
No
Luluhan
Lorodan
Katumpang lemah
Putri malu
Kretekan
Rumput setawar
Jlamparan
Batu lincar
Jaka tua
Bandotan
Rumput rawa
Kentangan
Kirinyuh
Senggani
Pakis harupat
Rumput toyan
Pakis bantengan
Harendong
Nama Lokal
Indeks nilai penting vegetasi bawah di areal hutan
Lampiran 6
Poaceae
Poaceae
Rubiaceae
Mimosaceae
Poaceae
Rubiaceae
Poaceae
Asteraceae
Scrophulariaceae
Asteraceae
Poaceae
Rubiaceae
Asteraceae
Melastomataceae
Dennsteadtiaceae
Cyperaceae
Gleicheniaceae
Melastomataceae
Famili
2
5
6
16
25
15
5
6
10
10
40
16
23
7
23
15
37
27
∑
0.005
0.013
0.015
0.040
0.063
0.038
0.013
0.015
0.025
0.025
0.100
0.040
0.058
0.018
0.058
0.038
0.093
0.068
K (indv/m2)
0.495
1.238
1.485
3.960
6.188
3.713
1.238
1.485
2.475
2.475
9.901
3.960
5.693
1.733
5.693
3.713
9.158
6.683
KR (%)
0.050
0.050
0.050
0.150
0.200
0.200
0.050
0.100
0.100
0.100
0.650
0.100
0.200
0.050
0.100
0.100
0.400
0.250
Frek
1.136
1.136
1.136
3.409
4.545
4.545
1.136
2.273
2.273
2.273
14.773
2.273
4.545
1.136
2.273
2.273
9.091
5.682
FR (%)
1.631
2.374
2.622
7.369
10.734
8.258
2.374
3.758
4.748
4.748
24.674
6.233
10.239
2.869
7.966
5.986
18.249
12.365
INP (%)
71
Digitaria ciliaris
Imperata cylindrica
Adenostemma lavenia
Stephania discolor
Cyclosorus aridus
Asystasia intrusa
Mikania micrantha
Nasturtium heterophyllum
Lycopodium cernuum
20
21
22
23
24
25
26
27
28
Jumlah
Cyperus flavidus
Nama Latin
19
No
Lanjutan
Jenis
Simbar Watu
Sawi Tanah
Sembung Rambat
Bunga Putih Ungu
Pakis Kadal
Kepleng
Jabungan
Alang-Alang
Genjoran
Rumput toyan
Nama Lokal
Lycopodinaceae
Cluciferaceae
Asteraceae
Acanthaceae
Thelypteridaceae
Menispermaceae
Magnoliaceae
Poaceae
Poaceae
Cyperaceae
Famili
3
3
404
6
3
3
6
10
11
61
10
∑
1.010
0.015
0.008
0.008
0.015
0.025
0.028
0.153
0.025
0.008
0.008
K (indv/m2)
100
1.485
0.743
0.743
1.485
2.475
2.723
15.099
2.475
0.743
0.743
KR (%)
4.400
0.100
0.100
0.100
0.150
0.100
0.100
0.550
0.200
0.050
0.050
Frek
100
2.273
2.273
2.273
3.409
2.273
2.273
12.500
4.545
1.136
1.136
FR (%)
200
3.758
3.015
3.015
4.894
4.748
4.995
27.599
7.021
1.879
1.879
INP (%)
72
60
Lampiran 7 Daftar jenis tumbuhan tingkat pancang pada areal hutan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Nama Lokal Merawan Rukam Meranti Meranti Mendarahan Kruing Rukam Kapul Kruing Meranti Tempuro Bungur Jambu Hutan Kruing Kruing Jambu Hutan Resak Retok Retok Meranti Resak
Nama Ilmiah Hopea cernua Ficus ribes Shorea sp. Shorea sp. Knema laurina Dipterocarpus sp. Ficus ribes Baccaurea macrocarpa Dipterocarpus sp. Shorea sp. Dillenia reticulata Lagerstroemia sp. Syzigium sp. Dipterocarpus sp. Dipterocarpus sp. Syzigium sp. Vatica rassak Ficus septica Ficus septica Shorea sp. Vatica rassak
Famili Dipterocarpaceae Moraceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Myristicaceae Dipterocarpaceae Moraceae Euphorbiaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dilleniaceae Lithraceae Myrtaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Myrtaceae Dipterocarpaceae Moraceae Moraceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae
61
Lampiran 8 Daftar jenis tumbuhan tingkat tiang pada areal hutan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Nama Lokal Kapul Meranti Manggong Manggong Kruing Randu Tempuro Kamper Jambu Hutan Meranti Rukam Retok Kamper Tempuro Rukam Meranti Kapul Meranti Kamper Manggong
Nama Ilmiah Baccaurea macrocarpa Shorea sp. Macaranga gigantean Macaranga gigantean Dipterocarpus sp. Ceiba pentandra Dillenia reticulate Driobalanops sp. Syzigium sp. Shorea sp. Ficus ribes Ficus septica Driobalanops sp. Dillenia reticulata Ficus ribes Shorea sp. Baccaurea macrocarpa Shorea sp. Driobalanops sp. Macaranga gigantea
Famili Euphorbiaceae Dipterocarpaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Dipterocarpaceae Bombacaceae Dilleniaceae Dipterocarpaceae Myrtaceae Dipterocarpaceae Moraceae Moraceae Dipterocarpaceae Dilleniaceae Moraceae Dipterocarpaceae Euphorbiaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Euphorbiaceae
62
Lampiran 9 Daftar jenis tumbuhan tingkat pohon pada areal hutan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Nama Lokal Bungur Kapul Tempuro Kruing Sialang Meranti Pohon Ara Manggong Kruing Manggong Pohon Ara Randu Bungur Tempuro Meranti Resak Kruing Manggong Pohon Ara Meranti Resak Randu Manggong
Nama Ilmiah Lagerstroemia sp. Baccaurea macrocarpa Dillenia reticulata Dipterocarpus sp. Koompasia malaccensis Shorea sp. Ficus sp. Macaranga gigantea Dipterocarpus sp. Macaranga gigantea Ficus sp. Ceiba pentandra Lagerstroemia sp. Dillenia reticulata Shorea sp. Vatica rassak Dipterocarpus sp. Macaranga gigantea Ficus sp. Shorea sp. Vatica rassak Ceiba pentandra Macaranga gigantea
Famili Lithraceae Euphorbiaceae Dilleniaceae Dipterocarpaceae Fabaceae Dipterocarpaceae Moraceae Euphorbiaceae Dipterocarpaceae Euphorbiaceae Moraceae Bombacaceae Lithraceae Dilleniaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Euphorbiaceae Moraceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Bombacaceae Euphorbiaceae
63
Lampiran 10 Data jenis mamalia tiap lokasi penelitian No
Nama lokal
Nama Ilmiah
Famili
PYB
Ket
I,T,S,
Ki,J,
Carnivora 1
Kucing hutan
Felis bengalensis
Felidae
K,H,P C 2
Musang luwak
Paradoxurus hermaphroditus
Viverridae
T,S,V
K
Cercopithecidae
V
J,C
Cercopithecidae
V
J,C
Primata 3
Beruk
Macaca nemistrina
4
Lutung Sumatra
Trachypithecus cristatus
Artiodactyla 5
Kancil
Tragulus javanica
Tragulidae
V
J,C
6
Rusa sambar
Cervus unicolor
Cervidae
V
Ki
7
Babi hutan
Sus barbatus
Suidae
S,V
J,Ki
Tupaia tana
Tupaiidae
V
T,J
Scandentia 8
Tupai tanah Rodensia
9
Jelarang
Ratufa affinis
Sciurinae
V
J,C
10
Bajing kelapa
Callosciurus notatus
Sciurinae
I,V,P
J
11
Bajing kelabu
Callosciurus orestes
Sciurinae
V
J
12
Bajing tiga warna
Callosciurus prevostii
Sciurinae
V
J
13
Tikus belukar
Rattus tiomanicus
Muridae
I,T,B,
T
K,V,P T 14
Mencit
Mus musculus
Muridae
I
T
15
Tikus ladang
Rattus exulans
Muridae
I,T
T
16
Tikus sawah
Rattus argentiventer
Muridae
T
T
17
Tikus duri e.p
Maxomys whiteheadi
Muridae
S
T
18
Nyingnying
Muridae
S
T
Chiropodomys gliroides
Keterangan : PYB = Penyebaran, I = Kebun sawit inti, P = Kebun sawit plasma, T = Areal sekitar pemukiman, S = Semak belukar, K = Kebun karet, V = Areal hutan, J = Jalur, Ki = Jejak kaki, K = Kotoran, C = Consentration count, T = Trap
64
Lampiran 11 Perhitungan indeks keanekaragaman jenis dan kemerataan jenis mamalia di kebun sawit inti No
Nama lokal
Nama Ilmiah
∑
n/N
Ln (n/N)
(A)
(B)
- (AxB)
1 Mencit
M. musculus
2
0.25
-1.39
0.35
2 Tikus ladang
R. exulans
1
0.125
-2.08
0.26
3 Tikus belukar
R. tiomanicus
3
0.375
-0.98
0.37
4 Bajing kelapa
C. notatus
1
0.125
-2.08
0.26
5 Kucing hutan
F. bengalensis
1
0.125
-2.08
0.26
8 s=5
ln s
H
1.49
1.61 E
0.93
Lampiran 12 Perhitungan indeks keanekaragaman jenis dan kemerataan jenis mamalia di kebun sawit plasma No
Nama lokal
Nama Ilmiah
∑
n/N
Ln (n/N)
(A)
(B)
- (AxB)
1 Tikus belukar
R. tiomanicus
5
0.36
-1.03
0.37
2 Bajing kelapa
C. notatus
8
0.57
-0.56
0.32
3 Kucing hutan
F. bengalensis
1
0.07
-2.64
0.19
14 s=3
ln s
H
0.88
1.10 E
0.80
Lampiran 13 Perhitungan indeks keanekaragaman jenis dan kemerataan jenis mamalia di areal sekitar pemukiman No
Nama lokal
Nama Ilmiah
∑
n/N
Ln (n/N)
(A)
(B)
-(AxB)
1 Tikus belukar
R. tiomanicus
4
0.50
-0.69
0.35
2 Tikus sawah
R. argentiventer
2
0.25
-1.39
0.35
3 Tikus lading
R. exulans
1
0.13
-2.08
0.26
4 Kucing hutan
F. bengalensis
1
0.13
-2.08
0.26
8 s=4
ln s
H
1.21
1.39 E
0.88
65
Lampiran 14 Perhitungan indeks keanekaragaman jenis dan kemerataan jenis mamalia di semak belukar No
Nama lokal
Nama Ilmiah
1 Tikus belukar
∑
n/N
Ln (n/N)
(A)
(B)
-(AxB)
R. tiomanicus
2
0.17
-1.79
0.30
2 Tikus duri ekor pendek M. whiteheadi
3
0.25
-1.39
0.35
3 Nyingnying buluh
C. gliroides
1
0.08
-2.48
0.21
4 Musang luwak
P. hermaphroditus
2
0.17
-1.79
0.30
5 Kucing hutan
F.bengalensis
1
0.08
-2.48
0.21
6 Babi hutan
S. scrofa
3
0.25
-1.39
0.35
12 s=6
ln s
H
1.70
1.79 E
0.95
Lampiran 15 Perhitungan indeks keanekaragaman jenis dan kemerataan jenis mamalia di areal hutan No
Nama lokal
Nama Ilmiah
1 Tikus belukar
R. tiomanicus
2 Tupai tanah
T. tana
3 Bajing kelapa
∑
n/N
Ln (n/N)
(A)
(B)
- (AxB)
10
0.20
-1.63
0.32
5
0.10
-2.32
0.23
C. notatus
12
0.24
-1.45
0.34
4 Jelarang
R. affinis
2
0.04
-3.24
0.13
5 Bajing kelabu
C. orestes
1
0.02
-3.93
0.08
6 Bajing tiga warna
C. prevostii
4
0.08
-2.55
0.20
7 Musang luwak
P. hermaphroditus
1
0.02
-3.93
0.08
8 Kucing hutan
F. bengalensis
1
0.02
-3.93
0.08
9 Beruk
M. nemistrina
6
0.12
-2.14
0.25
10 Lutung Sumatra
T. cristatus
6
0.12
-2.14
0.25
11 Kancil
T. javanica
2
0.04
-3.24
0.13
12 Rusa sambar
C. unicolor
1
0.02
-3.93
0.08
s = 12
ln s
51 H
2.15
2.48 E
0.87
66
Lampiran 16 Perhitungan indeks keanekaragaman jenis dan kemerataan jenis mamalia di kebun karet No
Nama lokal
1 Tikus belukar
s=1
Nama Ilmiah R. tiomanicus
ln s
∑
n/N
Ln (n/N)
(A)
(B)
1
0
1
-(AxB) 0
1
H
0
0
E
0