Antisipasi Era Sumber Daya Informasi Bakir Hasan *)
I.
Pengantar
Tak diragukan lagi bahwa motor utama transformasi yang sedang melanda jagad raya dewasa ini adalah perkembangan pesat yang terjadi di bidang infrastruktur informasi yang ditunjang oleh kemajuan teknologi dan informasi oleh kemajuan teknologi dan informasi (Alwi Dahlan, 2000). Dampak dari transformasi itu adalah timbulnya ledakan konektifitas (explosion in connectivity), yang oleh Evans dan Wurster (1997) disebut sebagai gelombang terpenting dalam revolusi informasi yang sedang terjadi. Transformasi ini dimulai di negara-negara maju dan akan menyebar ke seluruh penjuru dunia. Jarak antara negara maju dan negara berkembang diduga memang akan mengecil dilihat dari kacamata ruang, tetapi dilain pihak dilihat dari segi kemajuan (progress) jarak tersebut dikhawatirkan akan bertambah lebar. Sementara negara-negara berkembang sedang bergulat dengan pembangunan ekonominya agar bisa keluar dari keterbelakangan dan kemelaratan, negara-negara maju dewasa ini sudah berada diambang pintu masyarakat baru: Masyarakat Informasi1. Dalam masyarakat seperti itu komputer akan menjadi alat yang dominan. Media massa menyatu (converge) menjadi media massa yang interaktif, multimedia, dan mampu memenuhi kebutuhan dan selera individu (customisation). Dalam tahap masyarakat industri, jalan raya (highway road) menjadi ciri pentingnya karena jalan raya menunjang proses urbanisasi, produksi, dan distribusi massa yang terjadi. Dalam masyarakat informasi yang akan datang ini, ciri pentingnya adalah information highway (Iway), dimana jaringan komputer (internet) bisa menghubungkan siapa pun dengan yang lainnya dengan kecepatan yang tinggi (konektifitas). Dalam masyarakat seperti itu, orang akan tergantung pada jaringan informasi elektronik dan komunikasi yang kompleks dan yang mengalokasikan sumber dayanya sebagian besar untuk kegiatan informasi dan komunikasi. Bahkan informasi dan pengetahuan itu sendiri menjadi sumber daya dan faktor produksi baru yang penting. Nilai tambah terhadap suatu produk akan ditentukan seberapa banyak informasi dan pengetahuan yang menjadi isi dari produk tersebut. Maka orang pun mulai membedakan antara produk yang cerdik (smart) dan produk yang bodoh atau kurang cerdik. Permintaan akan smart products akan meningkat, karena produk semacam itu akan lebih berguna dan lebih memenuhi kebutuhan. Sementara produksi bodoh yang
*) 1
Bakir Hasan, SE, MBA adalah Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia-red. Perekonomian pada tahap ini disebut Information Economy atau sering knowledge-economy.
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 24 Th 2001\Bakir Hasan.doc
# 1
tidak smart, seperti soft toys (yang tidak bisa bergerak, menyanyi atau berkedip) hanya akan menghasilkan keuntungan yang rendah.2 Dalam tahap perekonomian informasi yang demikian, sumber kapital, sumber alam tidaklah penting lagi. Kunci peranan dipegang oleh tenaga ahli (knowledge workers) yang memiliki dan menguasai teknologin. Korea, Taiwan, dan Singapura, tidaklah tergolong negara yang memiliki sumber alam yang kaya, bahkan dapat dikatakan kekayaannya di bidang itu sangat minim. Kemajuan dan transformasi yang mereka alami, berkat pembangunan teknologi dan sumber daya manusianya sejak dekade enam puluh telah memberikan nama baru bagi negeri mereka: negara industri baru (new industrial countries). Mereka telah meninggalkan Indonesia dan Filipina di belakang, walaupun kondisinya pada awal enam puluh boleh dikatakan sama. Pada peraga 1 bisa dilihat perkembangan kemajuan menurut tahapan proses siklus produk dari beberapa negara Asia dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Pada periode 1950 – 1965 Indonesia masih berada dalam satu kelas dengan mereka, yakni pada tahap 1. Perekonomian pada tahap ini ditandai oleh peranan dominan dari manufaktur pertanian dan padat karya. Ekspor juga didominasi produk semacam itu. Pada waktu itu, Jepang dan Hong Kong sudah berada pada tahap 2. Pada tahap 2 ini ciri utamanya adalah perkembangan pesat dari produk dan ekspor produk industri seperti consumer electronics, baja, dan suku cadang kendaraan bermotor. Pada periode 1965 – 1980 Taiwan, Singapura, Hong Kong, Korea, dan Jepang mulai memasuki tahap 2, sementara Indonesia masih tetap dalam tahap 1 bersama Thailand, Filipina, Malaysia, dan Cina. Pada periode berikutnya, yakni periode 1980 – 1955 Indonesia dan Filipina masih tetap tinggal kelas (tahap 1), sedang yang lainnya melaju ke tahap berikutnya. Thailand, Malaysia, dan Cina menuju tahap 2, sedang Taiwan, Hong Kong, Singapura, Korea (dan Jepang) sudang memasuki tahap 3. Pada tahap 3 ini perekonomian ditandai oleh produk teknologi tinggi dan padat modal atau jasa finansial, komunikasi, dan perdagangan. Tahapan-tahapan yang disampaikan dimuka, tidak lain adalah transformasi yang terjadi dan menggambarkan peningkatan peranan informasi dan pengetahuan dalam proses produksi. Pada waktu tahap 1 umpamanya, produk padat karya dihasilkan oleh tenaga kerja yang memerlukan pelatihan 2 minggu, seperti dalam hal produk tekstil, sedang pada tahap 2 diperlukan pelatihan dan pendidikan yang lebih lama, seperti untuk industri elektronik, baja atau mobil. Tapi untuk teknologi tinggi seperti pada tahap 3, jelas diperlukan tenaga ahli yang memerlukan pelatihan dan pendidikan lebih lama. Kedudukan Indonesia yang bertahan pada tahap 1 yang telah berjalan dari dekade enam puluh sampai dengan sembilan puluhan menunjukkan tidak adanya kemajuan yang berarti di bidang pemanfaatan pengetahuan dan teknologi di bidang produksi dan pembangunan. Padahal selama 32 tahun era orde baru seakan sukses demi sukses selalu diraih upaya pembangunan Indonesia, sampai jatuhnya rezim orde baru 2
Istilah yang ada dalam literatur adalah smart product. Penulis memberanikan diri menggunakan istilah produk bodoh (dumb product ?) untuk produk yang kandungan pengetahuanny a rendah (knowledge content). Sebagai lawan dari soft-loys, dalam bisnis juga dipergunakan istilah hard-toys, yang kandungan pengetahuannya lebih tinggi.
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 24 Th 2001\Bakir Hasan.doc
# 2
bersama sistem pembangunannya. Pada peraga 2 dapat terlihat lebih jelas kadar isi pengetahuan dan informasi pada produk ekspor kita. Pada tahun 1995 hanya 5% dari ekspor non-migas kita yang mengandung informasi dan pengetahuan tinggi (technology intensive), seperti pupuk, peralatan telekomunikasi dan data processing, 11% datang dari produk yang human capital intensive, seperti recorder, mutiara atau sepeda motor. Sisanya atau 84% produk ekspor non-migas Indonesia diolah tenaga kerja tidak trampil (unskilled labor), dan produk yang berasal dari sumber daya alam yang terbatas pengolahannya. Dengan kondisi seperti tergambar di atas, pertanyaannya adalah apa yang harus dikerjakan bangsa kita untuk tidak terlalu ketinggalan dalam perpacuan untuk maju dalam masyarakat informasi. PERAGA 1 Tahapan Proses Siklus Produk 1950 – 1965
1965 – 1980
1980 – 1995
Tahap 1
Taiwan Singapore Filipina Korea Malaysia Thailand Indonesia Cina
Thailand Indonesia Filipina Malaysia Cina
Indonesia Filipina
Tahap 2
Jepang Hong Kong
Taiwan Singapore
Thailand Malaysia Cina
Korea Jepang
Tahap 3
-
Taiwan Singapore Hong Kong Korea Jepang
Tahap 1 menggambarkan tahapan paling awal yang ditandai oleh peranan manufaktur pertanian dan padat karya yang masih dominan dan mendominasi ekspor. Tahap 2 dicirikan oleh perkembangan pesat dari output dan ekspor produk industri seperti consumer electronics, baja, dan suku cadang kendaraan bermotor. Tahap 3 beralih ke produk-produk teknologi tinggi dan padat modal seperti barang-barang modal atau jasa-jasa finansial, komunikasi, dan perdagangan.
Sumber: F. General Adams, “Industrial Structure, The New Product Cycle and Economic Development in East Asia Economic Perspective, Vol 4 No. 3 September 1993.
Dikutip dari Faisal Basri, Perekonomian Indonesia Menjelang Abad XXI (1995)
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 24 Th 2001\Bakir Hasan.doc
# 3
PERAGA 2 KOMPOSISI EKSPOR NON MIGAS (1995) 1.
NR (Natural Resource Intensive Products)
52%
2.
UL (Unskilled Labor Intensive Products)
32%
3.
HC (Human Capital Intensive Products)
11%
4.
TC (Technology Intensive Products)
5%
NR
UL
Plywood Coffee Cocoa
II.
Textile Clothing Furnitur
HC Recorde Jewels Motorbike
TC Fertilizer Telecommunication Eq Data Processing Eq
Sumber Daya Informasi
Dalam memenuhi kebutuhan dan keinginannya yang tak terbatas, manusia selalu dihadapkan pada sumber daya (ekonomi) yang terbatas. Ilmu ekonomi mengkaji bagaimana agar sumber daya yang terbatas bisa dimanfaatkan secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan manusia (alokasi optimal sumber). Sumber daya (resources) tidak lain adalah faktor produksi yang dipergunakan dalam proses produksi untuk menghasilkan barang dan jasa. Sumber daya dapat digolongkan menjadi 2 (dua) golongan besar: pertama, sumber daya harta benda, seperti tanah atau bahan mentah. Kedua, sumber daya manusia, terdiri dari kemampuan tenaga kerja (labor) dan kemampuan wiraswasta (enterpreneurial), (Mc. Connel & Bruce, 1990). Klasifikasi lain mungkin ada manfaatnya, seperti sumber daya alam (SDA), sumber daya kapital (SDK), dan sumber daya manusia (SDM) (Lapsey & Chrystel, 1995). Masing-masing sumber daya ini berperan penting pada era yang berbeda. SDA berperan penting pada masyarakat pertanian. Pada era industrialisasi atau masyarakat industri yang berperan SDK (kapital). Baik dalam masyarakat pertanian atau industri peranan SDM tentu saja penting, meskipun kewiraswastaan lebih akan berperan di alam industrialisasi daripada pertanian. Sumber daya dalam persaingan antar negara atau perusahaan berperan penting. Kekuatan suatu negara sering diidentifikasikan dengan penguasaan sumber daya alamnya. Pada masa yang lalu, perlombaan negara-negara Barat menjalankan politik kolonialisme ke segala penjuru dunia, tidak lain adalah upaya menguasai SDA di bagian dunia lain untuk kekuatan dan kemakmurannya. Abad 18 yang lalu menyaksikan tumbuhnya dua ideologi besar: yang bermusuhan. Kapitalisme dan Komunisme, ditengah deras gelombang revolusi industri. Menarik bahwa kedua ideologi itu akhirnya berhenti bermusuhan pada akhir C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 24 Th 2001\Bakir Hasan.doc
# 4
abad 20, karena runtuhnya komunisme sebagai ideologi atau sistem. Kapitalisme yang diramalkan akan runtuh oleh teori marxisme justru menunjukkan vitalitasnya. Kemajuan yang dialami oleh masyarakat yang mengikuti sistem kapitalisme, justru tidak mendorongnya ke arah keruntuhan, tapi malah sebaliknya. Fase kapitalisme memang akan dilewati seperti ramalan Marx, tapi akan dalam rangka menuju sistem sosialisme atau komunisme. Fase kapitalisme akan berganti dengan fase masyarakat pasca kapitalis (post-capitalist society). Peter Drucker, pemikir di bidang manajemen yang kondang itu menyatakan bahwa walaupun masih berciri kapitalisme, masyarakat masa depan masih akan mengikuti jenis kapitalis lain, yakni kapitalisme informasi. Dalam masyarakat kapitalis informasi, industri yang akan menjadi sentral bagi perekonomian adalah industri yang memproduksi dan mendistribusikan pengetahuan dan informasi. Industri farmasi umpamanya, sebenarnya menghasilkan “pengetahuan”, karena pil atau salep yang dijualnya tidak lain adalah bungkus dari pengetahuan hasil R & D nya. Demikian pula, industri telekomunikasi dan industri menghasilkan alat dan perlengkapan pengolah informasi seperti komputer, semikonducter, dan perangkat lunak. Terdapat pula produsen dan distributor informasi seperti film, TV shows, video casettes. Sektor non-bisnis yang banyak menghasilkan dan menggunakan pengetahuan seperti pendidikan dan pelayanan kesehatan (health care) di negara maju dalam kenyataan berkembang lebih pesat dari bisnis padat pengetahuan. Peter F. Drucker berkesimpulan bahwa dewasa ini sulit untuk mendapat keuntungan besar dari menghasilkan atau menggerakkan barang (doing or moving things) dan lebih-lebih lagi tidak mungkin mendapat keuntungan besar dari menguasai uang (controlling money). Tokoh sosialis Jerman, Hilferding menggunakan istilah kapitalisme keuangan (finance capitalism) untuk menggambarkan bentuk terakhir kapitalisme sebelum datangnya sosialisme (yang tak terhindarkan I, kata Marxist). Katanya, dalam tahap akhir kapitalisme, margin atau selisih bunga antara yang dibayarkan dan yang diterima baik akan membengkak sedemikian besar. Menurutnya, hanya banklah dan kaum bankir yang menjadi pencipta keuntungan dan penguasa perekonomian kapitalis. Prediksi Hilferding ini begitu berpengaruh, sehingga menjadi landasan kebijakan di Uni Soviet, yang perencanaan pembangunannya dilahirkan oleh Bank Negara dan dikendalikan lewat kredit bank. Tapi kemudian sejarah ternyata menunjukkan lain. Bank-bank komersial dimana-mana dalam kesulitan. Mereka tidak bisa memperoleh keuntungan dan marginnya terus merosot. Bertambah lama bank hanya bisa hidup dari pendapatan “biaya informasi” (information fee). Ternyata, kata Drucker dengan penuh keyakinan bahwa pencipta kekayaan yang sejati adalah informasi dan pengetahuan. Dan hanya itu. Kalau begitu yang sedang terjadi di negara maju, bagaimana kita sebagai bangsa bisa memanfaatkan sumber daya informasi dalam “pembangunan”nya?
III.
Ekonomi Informasi
Istilah ekonomi informasi dipergunakan disini sebagai terjemahan dari economics of information, sedang information economy mungkin lebih tepat C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 24 Th 2001\Bakir Hasan.doc
# 5
diterjemahkan dengan perekonomian informasi. Yang pertama berkaitan dengan pemanfaatan prinsip-prinsip ekonomi untuk mengamati jenis komoditi yang bernama informasi. Dengan kata lain, ekonomi informasi ingin menjelaskan fenomena informasi dari sudut ilmu ekonomi. Sedang perekonomian informasi menggambarkan tahapan baru yang terjadi dalam masyarakat dimana informasi dan pengetahuan berperan sentral. Minat pada ekonomi informasi tumbuh dengan meningkatnya peran informasi dalam perekonomian, khususnya setelah statusnya meningkat dari pelengkap dalam kegiatan perekonomian menjadi sumber ekonomi penting, bahkan satu-satunya dalam masyarakat pasca kapitalis (Drcuker, 1993). Hal ini juga terjadi dengan sumber daya lain seperti sumber daya alam (SDA) yang menghasilkan ekonomi sumber (resource economic), sumber daya manusis (SDM) yang menghasilkan ekonomi sumber daya manusia (human resource economic/labor economics) dan lain sebagainya. Meskipun demikian, ekonomi informasi belumlah menjadi satu bidang studi yang sudah mapan. Perkembangan sedang berjalan dan banyak karya ilmiah di bidang ini terus bermunculan. Dan memang hal itu sangat dibutuhkan. Sebagai ilustrasi perkembangan pesat di bidang ekonomi informasi dicoba digambarkan apa yang dibahas dalam ekonomi informasi lama (old economics of information) dan ekonomi informasi baru (new economics of information). Salah satu konsep penting dalam ekonomi informasi lama adalah apa yang disebut “trade off between richness and reach”. Kita mengetahui bahwa suatu informasi yang kaya (richness), yang penuh detil dan luas tidak bisa disampaikan atau dikombinasikan lewat media massa. Media massa hanya tepat untuk jenis informasi yang standar yang ingin menjangkau banyak orang (reach). Oleh karena itu, hukum dasar bagi informasi adalah prinsip trade off antara”richness” dan “reach” (jangkauan) itu. Untuk jenis informasi yang kaya diperlukan kedekatan (proximity), seperti pemanfaatan tenaga penjual dalam memasarkan barang atau jasa tertentu yang proses pembeliannya cukup kompleks. Karena itu, pemasaran polis asuransi, khususnya asuransi jiwa, ensiklopedia, bahkan “penjualan” agama (dakwah/missionary) paling tepat dilakukan lewat komunikasi tatap muka oleh tenaga (penjualan) profesional. Sebaliknya, untuk jenis informasi yang standar dari produk konsumsi dan ingin menjangkau khalayak yang luas, maka media massa adalah media yang tepat. Dalam kenyataan, perusahaan menggabungkan keduanya untuk mendapatkan dampak yang optimal dari strategi komunikasi yang dilakukan. Evans & Wurster (1997) mengingatkan bahwa ekonomi informasi lama itu sudah tidak memadai sebagai peralatan bisnis dan persaingan. Mereka mengungkapkan bahwa sedang terjadi perubahan (shift) dalam ekonomi informasi, tidak sekedar perubahan karena teknologi, tetapi khususnya karena munculnya perilaku baru (new behavior) yang bertambah membengkak (critical mass). Berjuta orang di rumah dan di tempat kerja berkomunikasi secara elektronik dengan ukuran-ukuran yang terbuka dan universal. Gejala konektifitas yang meledak ini sudah mulai menunjukkan dampaknya pada fundamental bisnis yang selam ini dipegang teguh oleh para usahawan. Contoh klasik di bidang ini adalah Encyclopedia Britannica (EB) yang kewalahan menghadapi persainganpersaingan dari sebuah encyclopedia yang dikemas dalam CD-ROM bernama MicrosoftEncarta (ME). ME dijual dengan harga $ 50 sedang EB dengan harga $ 1,500 – 2,200. Yang menarik lagi EB diproduksi dengan biaya $ 200 – $ 300 sedang ME Cuma $ 1,50. Inilah
yang dinamakan dengan ekonomi baru informasi yang perlu diwaspadai oleh kalangan bisnis yang ingin selamat (survive). C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 24 Th 2001\Bakir Hasan.doc
# 6
Pendek cerita, rontoknya Britannica karena ketergantungannya pada ekonomi penjualan langsung (economics of intensive personal selling), yang tidak dihadapi oleh ME. Inilah yang dinamakan ekonomi informasi baru, yang perlu diwaspadai oleh berbagai sektor bisnis yang mengidap “ekonomi penjualan langsung”, seperti industri mobil, asuransi, real estate dan biro perjalanan. Informasi dan pengetahuan, seperti diutarakan oleh Thomas A. Steward (1997) dalam bukunya: Intellectual Capital, memang tidak sama dengan uang kas, sumber alam, tenaga kerja, dan mesin. Informasi adalah sumber daya yang aneh (weird resources), katanya. Ia menyebutkan beberapa alasan mengapa demikian: (1)
Informasi merupakan public-good, yang dapat dipergunakan, tanpa dikonsumsi (can be used without being consumed). Karena itu, informasi bersifat non substractive (tidak berkurang). Walaupun telah dijual, informasi yang sama bisa dijual pada pihak lain, seperti dosen yang mengajar mata kuliah yang sama di berbagai tempat, bahkan informasi atau pengetahuan dari dosen itu bisa diajarkan oleh sang murid kepada khalayak lain tanpa ada masalah.
(2)
Dalam ilmu ekonomi, nilai timbul karena kelangkaan (scarcity). Itu untuk sumber daya ekonomi lain. Informasi dan pengetahuan bertambah nilainya justru karena melimpah (abundant), bukan karena langka.
(3)
Barang dan jasa padat pengetahuan memiliki struktur biaya yang “berat di depan” (front-loaded). Artinya biaya untuk unit pertama akan tinggi dibanding dengan unit berikutnya.
(4)
Karena cirinya yang kreatif, pada informasi dan pengetahuan sulit dilihat keterkaitan antara masukan (input) dan keluaran (output). Karena itu sulit untuk diprediksi tidak seperti modal tetap (mesin) yang lebih dapat diprediksi (predictable).
Ciri-ciri informasi seperti disebut dimuka menjadi sebab mengapa bisnis yang padat informasi (information rich businesses) seperti keuangan dan perangkat lunak komputer mudah goncang (notoriously volatile). Bisnis semacam itu bahkan sering bergerak diluar hukum fundamental ekonomi. Banyak barang tidak nyata (intangibles)3, seperti konsultasi, pelatihan, pendidikan, hiburan diciptakan produsen bersama konsumen. Lalu dalam hal ini siapa sebenarnya pembeli dan siapa penjual? Demikian pula, tidak seperti pada barang lain (tangibles), informasi dan pengetahuan menunjukkan hasil yang meningkat (increasing returns) dan bukan menurun (diminishing returns). Obat hasil industri farmasi tertentu yang telah memiliki pangsa – pasar luas memiliki kegunaan (benefits) yang meningkat karena mendorong orang membelinya agar bisa bertukar informasi dengan mereka yang telah memakainya.
IV. 3
Bisnis Informasi
Ada penulis yang menggunakan istilah aset tanwujud (tanpa ?) untuk intangibles assets (Republika, 19 Juli 2000).
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 24 Th 2001\Bakir Hasan.doc
# 7
Dengan transformasi yang terjadi berkat perkembangan teknologi komunikasi, maka faktor produksi penting telah beralih ke sumber daya informasi (dan pengetahuan). Karena peran sentral dari informasi dalam perusahaan, maka pengetahuan aset-aset intelektual seperti informasi dan pengetahuan menjadi tugas bisnis (satu-satunya) yang terpenting. Di negara maju tumbuh kesadaran bahwa untuk memiliki daya saing tinggi perusahaan perlu memanfaatkan pengetahuan sebagai sumber daya tarik konsumen atau rekanan dan teknologi informasi sebagai alat mengelola perusahaan. Memang dalam kondisi dimana satu-satunya kepastian adalah ketidakpastian, maka sumber langgeng daya saing yang pasti adalah pengetahuan (Ikujiro Nonaka, 1991). Perusahaan dengan orientasi semacam ini disebut knoledge company (perusahaan pengetahuan). Perusahaan semacam itu mengelola tidak saja informasi seperti tagihan, pesan, dan angka-angka, tetapi juga hak patent, proses keterampilan/ keahlian pegawai, teknologi, pengetahuan tentang konsumen dan pemasok dan pengalaman masa lalu. Hal-hal inilah yang menentukan berhasil tidaknya suatu perusahaan (Stewart, 1997). Atas dasar itu muncul istilah knowledge management sebagai cabang ilmu baru yang bertugas mengelola dengan efisien dan efektif sumber daya informasi dan pengetahuan yang dimiliki perusahaan. Knowledge management sebagai konsep kelihatannya telah mulai menjadi perhatian dunia usaha di negara kita (Republika, 15 Juli 2000). Beberapa konsultan dan lembaga pelatihan sudah mulai mencoba memasyarakatkan. Dengan perkembangan baru tersebut pandangan tentang bisnis dan informasi dalam perusahaan juga mengalami perubahan. Dengan peralatan informasi yang baru, kita dipaksa melihat bisnis secara berbeda: (1) sebagai pencipta sumber daya, (2) sebagai penghubung dalam mata rantai ekonomi yang perlu dimengerti – manager kalau dia ingin mengelola biayanya, (3) sebagai alat masyarakat untuk penciptaan kekayaan, (4) sebagai “ciptaan” dan “pencipta” lingkungan materi, suatu daerah diluar organisasi dimana peluang dan hasil berada, tetapi juga dimana ancaman terhadap keberhasilan dan keselamatan dari setiap bisnis berasal (Drucker, 1995). Informasi sebagai peralatan bisnis tidak dimaksud hanya sebagai alat menukar biaya, seperti diajarkan akuntansi, tetapi informasi dibutuhkan manager dalam rangka penciptaan kekayaan (wealth creation). Dalam rangka itu, Drucker menyarankan klasifikasi informasi yang dibutuhkan kalangan eksekutif berupa 4 (empat) buah peralatan diagnostik: (1) Informasi dasar (foundation information); (2) Informasi produksi (productivity information); (3) Informasi kemampuan (competence information); (4) Informasi tentang alokasi sumber daya yang terbatas. Dengan klasifikasi Drucker ini, pengelolaan perusahaan menjadi lebih terarah, khususnya dalam pemecahan permasalahan yang dihadapinya. Walaupun pada banyak industri yang tidak dianggap sebagai bisnis informasi, sering informasi merupakan persentasi besar dari struktur biayanya. Pelayanan kesehatan (health care) di Amerika adalah contoh dimana sepertiga dari biaya penyelenggaraan pelayanan kesehatan itu terdiri dari biaya mendapatkan (capturing), menyimpan (storing), dan pengelolaan (processing) informasi seperti catatan tentang pasien, catatan dari dokter, hasil tes klain asuransi. Memang informasi berperan sebagai perekat yang menyatakan struktur semua bisnis (Davis & Botkin, 1994). Karena itu muncul “doktrin” baru bahwa setiap bisnis C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 24 Th 2001\Bakir Hasan.doc
# 8
pada dasarnya adalah bisnis informasi. Mata rantai nilai (value chain) perusahaan terdiri dari semua kegiatan yang dilakukan untuk mendesain, memproduksi, mengirim, dan mendukung produk. Dalam mata rantai nilai itu termasuk arus-informasi dalam perusahaan, antara perusahaan dengan pemasoknya, distributornya dan pelanggan yang sekarang atau yang potensial.
V.
Jalan Mengejar Ketertinggalan
Seperti telah diuraikan dimuka, walaupun pembangunan telah berjalan dengan stabilitas penuh selama 32 tahun, ternyata daya saing perekonomian Indonesia masih lemah, khususnya kalau dibanding dengan negara-negara tetangga dan negara industri baru, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Korea, dan Taiwan. Dimana letak masalahnya? Thee Kian Wie (1996)4 menyatakan bahwa sumber permasalahannya berasal dari 3 (tiga) hal: (1) lemahnya kemampuan teknologi industri nasional (ITC) termasuk lemahnya kemampuan teknologi perusahaan (FTC), (2) lemahnya institusi ilmu dan teknologi dalam menunjang industrialisasi, dan (3) sistem insentif yang belum efektif (lihat para 3). Di tiga bidang ini bukannya belum ada yang dilakukan selama orde baru. Pembangunan telah banyak diarahkan ke sana, tetapi dampaknya pada daya saing nasional masih belum memadai. Selama orde baru pola kebijakan industrialisasi dikendalikan 2 kubu yang bersaing: Kubu Hartanto (Broad Based Industrialization) dan Kubu Habibie (High Tech/ High Value Added Industrialization). Dampak persaingan dua kubu ini adalah tidak terfokusnya upaya peningkatan kemampuan industri di negara kita, padahal sumber dana selalu terbatas, sehingga alokasi dana publik (APBN) sering mubazir karena kebijakan yang salah. Contoh: pengembangan industri penerbangan (IPTN) dan apa yang disebut industri strategis yang banyak menyedot dana anggaran pemerintah pada akhirnya tak membuahkan hasil yang diidamkan, yang diinginkan produk teknologi tinggi yang kompetitif, tapi yang dicapai adalah pemborosan pembiayaan yang fantastis, sehingga yang dicapai justru sebaliknya, daya saing yang rendah. Institusi yang mendorong pengembangan teknologi, seperti BPPT, tidak banyak dirasakan manfaatnya bagi dunia industri, khususnya dalam pengembangan produk barunya. Lembaga yang sejenis di Singapura, “SISIR” (Singapore Institute for Science and Industrial Research) berperan efektif dalam mendorong dunia bisnis, khususnya industrinya dalam menghasilkan produk baru. BPPT terkenal sebagai lembaga yang sangat “maju” dalam mengirimkan stafnya untuk sekolah di luar negeri, tapi tak mampu memanfaatkan secara produktif bila mereka telah kembali. Kelihatannya masalah sebtral BPPT adalah manajemennya. Banyak alumni yang mencapai gelar S2 dan S3, di bidang teknologi dan science tak dimanfaatkan dengan baik, sehingga menimbulkan “frustrasi” di kalangan mereka dan mendorongnya pindah ke lain instansi atau bahkan ke swasta.
4
Raising Indonesia’s Industrial Competitiveness (LIPI, 1996)
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 24 Th 2001\Bakir Hasan.doc
# 9
Secara lebih makro dukungan terhadap peningkatan daya saing atau kemampuan industri kita harus pula ditingkatkan, khususnya peningkatan investasi manusia (human investment). Peningkatan mutu pendidikan di semua tingkatan dari pendidikan dasar sampai ke universitas, termasuk pelatihan di bidang ilmu alam dan teknik merupakan keharusan. Dilihat dari rasio pengeluaran R & D dibanding GDP, Indonesia juga berada di tingkat bawah dan perlu ditingkatkan. Rasionya (1994) Cuma 0,16%, sedang Cina 0,7%, Singapura 1,3%, Taiwan 1,7%, Korea Selatan 2,2%, dan Jepang 2,8%. Lembaga dan prasarana ilmu dan teknologi harus dikaji (ulang) permasalahan pokoknya agar bisa dicarikan jalan keluar bagi peningkatan kontribusinya dalam membangun industri nasional.
VI.
Penutup
Dengan perkembangan pesat di bidang teknologi informasi, dunia sedang mengalami transformasi mendasar. Perekonomian akan berubah menjadi perekonomian pengetahuan, perusahaan pun demikian pula. Perusahaan menjadi perusahaan pengetahuan dan tenaga kerja strategis yang mengendalikan perusahaan adalah tenaga kerja pengetahuan (knoledge workers). Transformasi ini terjadi karena berubahnya peran dari sumber daya informasi yang pelengkap menjadi sentral. Karena pentingnya informasi (dan pengetahuan) dalam perusahaan, pengetahuan perlu dikelola secara baik (knowledge management) agar benar-benar meningkatkan daya saing. Karena perannya yang strategis sebagai sumber daya (ekonomi) maka informasi dan pengetahuan perlu terus dikaji dari sisi “perilaku” ekonominya, agar dengan demikian akan mempermudah pengelolaannya. Para sarjana ekonomi Indonesia juga perlu terlibat dalam upaya ini. Dari segi praktis, karena daya saing juga akan beralih pada pengetahuan (knowledge), maka peningkatan daya saing nasional juga harus dilandasi pada peningkatan kemampuan di bidang ini. Dan hanya ini yakni pengetahuan.
UNSUR-UNSUR DAYA SAING Kapabilitas
y Nasional
[Industrial, Technology Capability (ITC)]
y Investasi modal/Physical y Investasi SDM/Human Capital y Upaya teknologi
y Perusahaan
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 24 Th 2001\Bakir Hasan.doc
y Perus. Asing/JVC y Swasta nasional
# 10
Daftar Pustaka
Don Topscott (1996), The Digital Economy; Promise and Peril in the Age of Networked Intelligence. McGraw Hill Companies, New York. ______(Editor, 1999), Creating Value in the Networked Economy. Harvard Business Publishing, Boston. Nicholas Negroponte (1999), Being Digital, Menyiasati Hidup Dalam Cengkeraman Sistem Komputer (terjemahan). Penerbit Mizan, Bandung. Sytse Douma & Hein Schreuder (1992), Economic Approaches to Organization. Printice Hall, New York. Arno Penzis, Digital Harmony; Business, Technology & Life after Papework. Harper Collins Publishers, Inc: New York. J. Hagell III & J.F. Rayport (1991), The Coming Battle for Customer Information. Harvad Business review, Jan – Feb 1997. Marx D. Hopper, Rattling Sabre, New Ways to Compete on Information. Harvard Business Review, May – June 1990. Ikujiro Nonaka, The Knowledge Creating Company. Harvard Business Review, Nov – Dec 1991. Thomas A. Stewart (1997), Intellectual Capital. Nicolas Brealey Publishing Ltd, London. Dale Neef (1999), A Little Knowledge is a Dangerous Thing, Understanding Our Global Knowledge Economy. Butterworth – Heinemann, Boston. Peter F. Drucker (1993), Post – Capitalist Society Butterworth – Heinemann, London.
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 24 Th 2001\Bakir Hasan.doc
# 11