ANKILOSTOMIASIS, PARVOVIROSIS PADA ANJING DAN PENANGANANNYA
DISUSUN OLEH:
drh. SUSILA SUJARWO MEDIK VETERINER MADYA NIP: 19650712 199503 1 002
DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN PROVINSI SULAWESI SELATAN JLN. VETERAN SELATAN No.234,TELP. 0411-873770, Fax.0411-871556 MAKASSAR-90131 2014
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR...................................................................
i
DAFTAR ISI...............................................................................
iiI
RIWAYAT KASUS........................................................................
1
DISKUSI DAN KESIMPULAN.....................................................
5
Ankilostomiasis......................................................................
9
Interpretasi hasil
pemeriksaan darah..................................
11
Parvovirosis..........................................................................
12
Pengobatan..........................................................................
13
UCAPAN TERIMAKASIH............................................................
18
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................
19
LAMPIRAN..................................................................................
22
iii
Ankilostomiasis ,Parvovirosis Pada Anjing dan Penanganannya Oleh: Susila Sujarwo*) ABSTRAK
Pada tanggal 15 Januari 2014, telah diperiksa seekor anjing jantan, ras bastar, nama Dogi, umur ± 4 bulan, berat badan 7,2 kg, milik saudara Andarias Rantetondok dengan alamat Kompleks BBPP Batangkaluku Blok B/1 Jln. Malino km .3 Sungguminasa,Gowa,Sulawesi Selatan. Dari anamnesa diperoleh keterangan bahwa sejak seminggu yang lalu sebelum diperiksa pasien tidak mau makan dan minum, diare berdarah campur lendir, anjing belum pernah mendapat vaksin dan belum pernah di bawa ke dokter hewan, makan sehari-hari berupa nasi dengan daging. Kadang-kadang dengan sisa dari pesta. Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan sebagai berikut: kondisi tubuh sedang, ekspresi muka lesu, frekuensi nafas 33 x/menit, frekuensi pulsus 93 x/menit, panas badan 38,7 ºC, bulu halus dan mudah rontok, turgor kulit turun, konjunctiva mata hiperemis, episklera vasa injeksi. Palpasi limpoglandula superfisialis tidak ada pembengkakan. Auskultasi daerah paru-paru terdengar suara vesikuler normal. Auskultasi daerah jantung terdengar suara sistole dan diastole normal. Auskultasi daerah abdomen suara peristaltik usus tidak terdengar. Saat diperiksa muntah berupa cairan kekuningan dan berbusa. Palpasi daerah vesica urinaria teraba kosong. Pemeriksaan sistem yang lain tidak ada perubahan.
Hasil pemeriksaan sampel darah dijumpai lekopenia, netropenia, limfopenia,
monositopenia dan eosinopenia.
Pemeriksaan sampel tinja
didapatkan hasil: konsistensi encer, warna merah, bau busuk dan amis, dengan metode natif ditemukan telur cacing Ancylostoma sp, metode apung ditemukan telur cacing Ancylostoma sp. Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan didukung oleh hasil pemeriksaan laboratorium darah dan tinja maka diagnosa untuk pasien anjing adalah Ankilostomiasis dan Parvovirosis dengan prognosa dubius. Terapi yang dilakukan berupa injeksi intramuskuler Glukortin-20, Ampicillin-20%, injeksi intravena solutio ringer’s dextrosa, Nitrous Bismuth Basikus (NBB) diberikan per oral, Zypiran plus per oral, Intrafer-200 B12 yang dan Introvit-B-Compleks. Anjing dinyatakan sembuh dari Parvovirus pada hari ke-15 setelah terapi dilakukan dan sembuh dari Ankilostomiasis pada hari ke-5 setelah pengobatan cacing. Kata kunci: Parvovirosis, Ankilostomiasis, Pengobatan
*) Medik Veteriner Madya pada Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sulawesi Selatan.
RIWAYAT KASUS Pada tanggal 15 Januari 2014, telah diperiksa seekor anjing jantan, ras bastar, nama Dogi, umur ±4 bulan, berat badan ±7,2kg, milik saudara Andarias Rantetondok dengan alamat Kompleks BBPP Batangkaluku Blok B/1 Jln. Malino km .3 Sungguminasa,Gowa,Sulawesi Selatan. Dari anamnesa diperoleh keterangan diperoleh keterangan bahwa sejak seminggu yang lalu sebelum diperiksa pasien tidak mau makan dan minum, diare berdarah campur lendir, anjing belum pernah mendapat vaksin dan belum pernah di bawa ke dokter hewan, makan sehari-hari berupa nasi dengan daging. Kadang-kadang dengan sisa dari pesta. Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan sebagai berikut: kondisi tubuh sedang, ekspresi muka lesu, frekuensi nafas 33 x/menit, frekuensi pulsus 93 x/menit, panas badan 38,7 ºC, bulu halus dan mudah rontok, turgor kulit turun, konjunctiva mata hiperemis, episklera vasa injeksi. Palpasi limpoglandula superfisialis tidak ada pembengkakan. Auskultasi daerah paru-paru terdengar suara vesikuler normal. Auskultasi daerah jantung terdengar suara sistole dan diastole normal. Auskultasi daerah abdomen suara peristaltik usus tidak terdengar. Saat diperiksa muntah berupa cairan kekuningan dan berbusa. Palpasi daerah vesica urinaria teraba kosong. Pemeriksaan sistem yang lain tidak ada perubahan.
1
Pada pemeriksaan sampel
yang diambil dari vena sefalika sebanyak 3
ml kemudian dimasukkan ke dalam tabung yang berisi Ethylen Diamine Tetra acetic Acid (EDTA) sebagai antikoagulan. Dari pemeriksaan darah, diperoleh hasil: lekopenia, netropenia, limfopenia, monositopenia dan eosinopenia. Pemeriksaan sampel tinja didapatkan hasil: konsistensi encer, warna merah, bau busuk dan amis, dengan metode natif ditemukan telur cacing Ancylostoma sp, metode apung ditemukan telur cacing Ancylostoma sp. Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan didukung oleh hasil pemeriksaan laboratorium darah dan tinja maka diagnosa untuk pasien anjing adalah Ankilostomiasis dan Parvovirosis dengan prognosa dubius. Terapi yang dilakukan berupa injeksi intramuskuler Glukortin-20¹)· dengan dosis 0,5 ml/kg BB (tiap ml Glucortin-20 mengandung 2 mg dexamethasone) sekali pemberian.
1.Interchemie Werken”De Adelaar” BV. The Nederland/Tekad Mandiri Citra
2
Injeksi Ampicillin-20%2) dengan dosis 0,1 ml / 2 kg BB (tiap ml mengandung Ampicillin trihydrate 20%) diberikan 2 kali sehari selama 5 hari berturut-turut. Injeksi intravena solutio ringer’s dextrosa 5%3) sebanyak 75 ml (berisi Natrium klorida 8,6 gram, Kalium klorida 0,3 gram, Kalsium klorida 0,48 gram, Dextrosa 50 gram, Aquades p.i ad 1.000 ml) diberikan 2 kali sehari selama 5 hari berturut-turut. Selain itu juga diberikan
Nitrous Bismuth Basikus
(NBB) dengan dosis 500 mg diberikan secara per oral 3 kali sehari selama 2 hari berturut-turut. Zypiran plus4) dengan dosis 17 mg/kg BB (tiap tablet mengandung Praziquantel, Pirantel Pamoat dan Febantel) diberikan secara
per oral 1 kali
pemberian. Injeksi intramuskuler Intrafer-200 B 125) dengan dosis 0,5 ml/ 10 kg BB (tiap ml mengandung Fe (Fe dextran) 200 mg dan Vitamin B12 (Cyanocobalamin) 200 mcg) dengan dosis 0,5 ml/ 10 kg BB dan Injeksi Introvit-B-Compleks6) dengan dosis 2-10 ml / kg BB
(tiap ml mengandung
Vitamin B1,tiamin hidroklorida 10,0 mg ; Vitamin B2,riboflavin natrium fosfat 5,0 mg ; Vitamin B6,piridoksin hidroklorida 5,0 mg ; Vitamin B12,cyanocobalamin 20 µg ; D-pantenol 12,5 mg ; Nicotinamid 50,0 mg ; Biotin 100,0 µg ; Kolin klorida 10,0 mg ; Liver extract 2,0 µg). Untuk memudahkan perawatan dan pengontrolan kesehatan, maka anjing ditempatkan di kandang khusus di rumah pemiliknya. Untuk mengetahui respon pasien terhadap pengobatan, maka dilakukan pemeriksaan fisik 2 kali sehari pagi dan sore dan kandang selalu dijaga kebersihannya
3
Anjing dinyatakan sembuh dari Parvovirosis pada hari ke-15 setelah pengobatan dilakukan, dan sembuh dari Ankilostomiasis pada hari ke-5 setelah obat cacing diberikan. Kepada pemilik disarankan untuk menjaga kebersihan kandang anjing, memberi makan yang baik dan setelah hewan sembuh dari Parvovirosis dan Ankilostomiasis supaya dilakukan vaksinasi terhadap penyakit virus yang lain.
2.Bremer Pharma GmbH, Jerman / Satwa Jawa Jaya. 3.PT. Otsuka Indonesia, Lawang, Indonesia. 4.Laboratorios Caller SA, Spanyol / Mega Galus Kinantan. 5. Interchemie Werken”De Adelaar” BV. The Nederland/ Tekad Mandiri Citra. 6. Interchemie Werken”De Adelaar” BV. The Nederland/ Tekad Mandiri Citra.
4
DISKUSI DAN KESIMPULAN Diagnosa Parvovirosis dalam kasus ini berdasarkan gejala-gejala klinis yaitu anjing tidak mau makan dan minum, lesu, dehidrasi yang ditandai dengan turunnya turgor kulit, muntah cairan berwarna kekauningan, diare berdarah yang berbau busuk dan amis. Pemeriksaan darah yang dilakukan menunjukkan terjadinya lekopenia, netropenia, limfopenia, monositopenia dan eosinopenia. Parvovirosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus DNA dan banyak menyerang pada anjing yang masih muda (Ressang, 1986). Kramer et al., 1999 menerangkan bahwa tidak ada predileksi mengenai jenis kelamin, akan tetapi mortalitas lebih tinggi pada anjing yang masih muda.Direktur Kesehatan Hewan, Direktorat Jendral Peternakan dalam tulisannya yang termuat dalam Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular jilid III menyebutkan bahwa penyakit Parvovirosis diduga sudah ada di Indonesia pada tahun 1979. Parvovirosis pada anjing disebabkan oleh Canine Parvovirus yang menurut klasifikasi termasuk familia Parvoviridae, genus Parvovirus dan species Canine parvovirus (Dutta et al.,1981 ; Bistner et al.,1985). Familia Parvoviridae merupakan virus yang paling kecil dari semua virus (Kramer et al.,1999). Mempunyai ukuran partikel kurang lebih 20 nm (18-26) nm, mengandung DNA berantai tunggal dan simetri kapsid ikosahedral, dengan 32 kapsomer yang berdiameter 3-4 nm, virus tidak mempunyai pembungkus, replikasi dan perakitan kapsid terjadi dalam inti sel hospes yang terinfeksi (Kramer et al.,1999 ; Dutta et al.,1981). 5
Infeksi Canine Parvovirus pada anjing mempunyai dua bentuk yang berbeda
yaitu bentuk
enteritis
dan
miokarditis (Bistner et al.,1985 ; Hunt
et al.,1983). Parvovirus bentuk enteritis terjasi apabila Canine Parvovirus mempengaruhi usus sehingga terjadi enteritis (Kramer et al., 1999). Bentuk ini dapat terjadi pada anjing berbagai umur dan kebanyakan pada anjing yang masih muda (Hunt et al.,1983). Gejala pertama yang tampak adalah depresi dan anoreksia, kemudian muntah yang hebat yang diikuti dengan diare dalam waktu kurang dua hari dan terjadi dehidrasi yang cepat (Kramer et al.,1999). Pada anak anjing yang masih muda suhu tubuh dapat mencapai 40-41 ºC, sedang pada anjing yang lebih tua suhu dapat
normal (Kramer et al.,1999 ; Bistner
et al.,1985). Diare yang terjadi cair dan berdarah terlihat sampai anjing sembuh atau mati (Fraser et al.,1986). Gambaran hematologi menunjukkan adanya l lekopenia, limfopenia, dan netropenia (Bistner et al.,1985) dengan jumlah sel darah putih 5.00 / mm³ - 2.000 / mm³ (Gillespie et al.,1981). Bentuk parvovirus banyak terjadi pada anjing yang berumur 2-8 minggu (Hunt et al.,1983 ; Bistner et al.,1985). Serangan penyakit secara tiba-tiba dan sangat hebat serta kematian dapat terjadi dengan cepat. Anak anjing yang terserang parvovirus akan berhenti menyusu, berteriak kesakitan, dispnooe dan terjadi muntah (Gillespie et al.,1981 ; Kramer et al.,(1999). Bentuk miokarditis dapat terjadi tanpa atau dengan adanya enteritis (Hunt et al.,1983). Kematian mendadak dari bentuk miokarditis akibat kegagalan konduksi jantung dan tidak adanya pengobatan yang efektif untuk anak anjing yang terserang parvovirus miokarditis (Kramer et al.,1999). 6
Kramer et al.,1999 mengatakan bahwa replikasi Canine Parvovirus hanya dapat terjadi pada inti sel hospes yang sedang membelah, maka dari itu virus ini mempunyai afinitas terhadap organ-organ tubuh yang cepat tumbuh antara
lain:miokardium,
epithel
usus,
jaringan
limfoid
dan
sumsum
tulang.Replikasi Canine Parvovirus tergantung pada aktifitas sintesa DNA seluler, sehingga laju replikasi virus sesuai dengan indeks mitosis proporsional
secara
(Cornwell et al.,1984 a). Hal inilah yang dapat menerangkan
mengapa infeksi Canine Parvovirus banyak terjadi pada anjing yang masih muda. Kramer et al.,1999 dan Cornwell et al.,(1984 b) menerangkan bahwa patogenesis dari Parvovirosis pada anjing adalah sebagai berikut:pada hari pertama setelah virus menginfeksi hospes, maka virus akan melakuan replikasi di dalam thymus dan pada hari ke dua dengan cepat virus akan menyebar ke jaringan limfoid yang lain. Hari ke tiga setelah infeksi akan terjadi viremia karena pembebasan virus dari jaringan limfoid ke darah, kemudian virus akan ikut sirkulasi darah dan akan menyebar ke organ-organ yang aktif membelah. Pada hari ke empat sampai hari ke tujuh replikasi virus terjadi di usus dan diekskresikan melalui feses, pada stadium ini akan terjadi gastroenteritis hemorrhagi. Mulai hari ke lima hospes mulai membentuk respon imun yang sangat membantu untuk eliminasi virus dari hospes. Pembebasan virus ke feses terus berlangsung sampai hari ke lima (Bistner et al.,1985).
7
Sumber penularan Canine Parvovirus yang penting adalah feses dari anjing yang terinfeksi. Bistner et al.,(1985) mengatakan bahwa dalam satu gram tinja dapat dihasilkan satu juta virion. Canine Parvovirus sangat tahan terhadap panas, asam dan desinfekstan pada umumnya, sehingga virus ini dapat tahan hidup dalam waktu yang lama dan dapat terbawa dari satu kandang ke kandang lain (Gillespie et al.,1981). Untuk sanitasi dipakai formalin (Kramer et al.,1999). Penularan Canine Parvovirus dapat terjadi secara per oral, kongenital dan dapat terjadi secara kontak langsung dengan hewan penderita (Kramer et al.,1999 ; Gillespie et al.,1981). Pada kasus yang ditangani, tampak adanya gejala-gejala klinis yang sesuai dengan bentuk Parvovirus enteritis yaitu anjing tidak mau makan dan minum, lesu, dehidrasi yang ditandai dengan turunnya turgor kulit, muntah cairan berwarna kekuningan, diare berdarah bau busuk dan amis. Pemeriksaan darah menunjukkan terjadinya lekopenia, limfopenia dan netropenia. Antibodi Parvovirus dapat dipindahkan dari induk ke anjing muda melalui placenta dan kolustrum. Antibodi mempunyai waktu paruh umur 9 hari, tetapi imunitasnya dapat bertahan selama 16 minggu (Bistner et al.,1985). Lebih lanjut Bistner et al.,(1985) mengatakan bahwa anjing muda yang masih mempunyai antibodi maternal bila dilakukan vaksinasi tidak akan menghasilkan respon. Anjing yang sembuh dari Parvovirosis mempunyai titer antibodi yang tinggi dan mempunyai imunitas selama hidupnya. Sedangkan Kramer et al.,(1999) mengatakan bahwa antibodi yang terbentuk dapat bertahan paling sedikit selama satu tahun setelah infeksi. 8
Diagnosa differensial Parvovirosis bentuk Enteritis Parvovirus adalah: Hemorrhagi gastro enteritis, Coronavirosis, Enteritis Parasitik (Nematodiasis, Giardiasis, Koksidiosis), Obstruksi, Bakterial Enteritis, Pankreatitis akut, Keracunan dan Hypoadrenocorticism. Sedang diagnosa differensial dari bentuk miokardial parvovirus adalah anomali kongenital dan infektious disease misalnya Distemper (Gillespie et al., 1981 ; Kramer et al., 1999). Adanya infestasi cacing Ancylostoma sp. Pada kasus ini memperparah gejala gastroenteritis yang terjadi. Hal ini sesuai pendapat Kramer et al.,(1999) yang menyatakan bahwa infestasi cacing kait akan memperparah infeksi Canine Parvovirus. Gambaran Parvovirosis bervariasi karena dipengaruhi oleh umur, kondisi anjing dan infeksi sekunder.
Ankilostomiasis Diagnosa Ankilostomiasis pada kasus ini didasarkan atas ditemukannya telur cacing
Ancylostoma sp. dalam feses. Ancylostoma sp.termasuk klas
Nematoda, sub klas Phasmidia, ordo Rhabditida, sub ordo Strongilina, super famili Strongiloides, famili
Ancylostomatidae, genus
Ancylostoma dan
Uncinaria (Morgan dan Hawkins,1953). Ancylostoma sp yang paling sering menginfeksi anjing adalah Ancylostoma caninum, sedangkan Ancylostoma braziliense jarang terjadi (Soulsby, 1982).
9
Menurut Levine (1986) mengatakan bahwa pada anjing bahwa Ancylostoma caninum lebih patogen dibanding dengan Uncinaria Stenocephala maupun Ancylostoma braziliense karena Ancylostoma caninum lebih banyak menghisap darah. Ancylostoma caninum dapat menghisap darah sebanyak 0,01-0,09 ml/hari/ekor cacing dewasa (Soulsby,1982). Menurut Ressang (1984) darah tersebut terutama diperlukan untuk metabolisme cacing (oksigen) bukan sebagai zat gizi, karena eritrosit-eritrosit yang keluar dari badan cacing tidak banyak berubah bentuk. Kadar Hb dan eritrosit pada umumnya berkurang, derajat pengurangan ini tergantung pada berat ringannya infeksi. Siklus hidup Ancylostoma caninum adalah secara langsung, tidak membutuhkan hospes perantara. Telur dikeluarkan dari hospes definitif bersama-sama tinja. Cacing betina dewasa menghasilkan ± 16.000 telur / hari (Soulsby,1982). Telur dan larva Ancylostoma caninum akan berkembang pada temperatur optimal 23-30 ºC, kemudian akan berkembang menjadi larva yang infektif di luar hospes dalam waktu 5 -8 hari (Georgi,1985). Tempat-tempat yang berpasir, agak lembab dan teduh tidak terkena sinar matahari secara langsung merupakan media yang baik untuk perkembangan larva Ancylostoma caninum (Morgan dan Hawkins,1993). Infeksi Ancylostoma caninum dapat melalui empat cara, yaitu: infeksi melalui mulut, menembus kulit, infeksi lewat placenta terhadap fetus dan infeksi melalui kolustrum (Soulsby,1982). Ancylostoma caninum lebih sering lebih menginfeksi hospesnya melalui mulut, sedangkan Ancylostoma braziliense lebih sering menginfeksi lewat kulit untuk menginfeksi hospesnya (Levine, 1986). 10
Menurut Levine,(1986) berat ringannya infestasi cacing Ancylostoma sp. dapat berdasarkan jumlah telur yang ditemukan dalam tinja hospesnya. Jika ditemukan telur cacing : a. < 5.000 telur per gram tinja, maka termasuk infestasi yang ringan. b. 5.000 – 25.000 telur per gram tinja, maka termasuk infestasi sedang. c. >25.000 telur per gram tinja, maka termasuk infestasi yang berat. Pada kasus ini ditemukan telur cacing sebanyak 1.200 telur per gram tinja, akan tetapi perlu diobati karena akan memperparah infeksi Canine Parvovirus.
Interpretasi hasil pemeriksaan darah Pada pemeriksaan darah yang pertama diperoleh hasil: lekopenia yang diikuti dengan netropenia, limfopenia, monositopenia dan eosinopenia. Lekopenia terjadi apabila jumlah total lekosit di peredaran darah perifer lebih rendah dari jumlah yang ditentukan. Lekopenia dapat disebabkan oleh salah satu atau lebih penyebab berikut: penurunan produksi karena kerusakan sumsum tulang, nekrosis pada jaringan limfoid, granulopoiesis yang tidak efektif, peningkatan destruksi an penggunaan yang meningkat. Beberapa penyebab umum lekopenia adalah penyakit virus, leukemia kompleks, anaphylaksis, radiasi sinar x, substansi toksik, sulfonamide, dan defisiensi nutrisi (Jain,1986). Lekopenia, netropenia, limfopenia, monositopenia dan eosinopenia pada kasus ini disebabkan oleh replikasi virus pada sumsum tulang, organ limfoid dan peningkatan jumlah netrofil yang hilang melalui kerusakan usus.
11
Cornwell et al.,(1984 a), mengatakan bahwa lekopenia dan netropenia pada anjing yang terinfeksi Canine Parvovirus disebabkan oleh replikasi virus di sumsum tulang, perubahan nyata berupa pengurangan jumlah netrofil masak.. Adanya destruksi sel di sumsum tulang dapat menjadi petunjuk bahwa pengurangan netrofil masak disebabkan half
live di peredaran diperpendek.
Limfopenia merupakan akibat dari adanya destruksi limfosit di tymus, lien dan jaringan limfoid. Limfositolisis dapat terlihat pada anjing yang menderita Parvovirosis. Pemeriksaan darah ke dua hanya dihitung sel darah putihnya, dan terjadi peningkatan jika dibanding pemeriksaan yang pertama. Pemeriksaan darah yang ke tiga didapat sel darah putih yang meningkat dibanding pemeriksaan yang pertama, terutama terjadi peningkatan netrofil yang diikuti dengan naiknya netrofil muda dan limfosit. Sedangkan jumlah RBC, PCV, Hb dan TPP mengalami penurunan jika dibanding pemeriksaan yang pertama, meskipun anjing kondisinya sudah baik, sudah tidak muntah dan tidak diare, nafsu makan dan minum sudah baik. Dapat disimpulkan, bahwa pada pemeriksaan yang
pertama anjing mengalami dehidrasi.
Jain (1986),
mengatakan bahwa apabila pemasukan air pada hewan yang sakit berkurang dan tidak mencukupi kandungan air dalam tubuh normal menyebabkan plasma darah kekurangan air, terutama tampak pada memekatnya eleme darah, keadaan ini disebut hemokonsentrasi.Naiknya sel darah putih yang diikuti dengan neutrofil diperkirakan adanya keradangan.
12
Hariono (1979), mengatakan bahwa kenaikan neutrofil terjadi pada kasus keradangan dan banyak dijumpai pada tempat-tempat yang terinfeksi oleh bakteri. Pemeriksaan darah yang ke empat hanya dihitung sel darah putih dan hasil yang didapat masih jauh di atas normal tetapi sudah menurun jika dibanding pemeriksaan yang ketiga Pemeriksaan darah yang ke lima diperoleh hasil yang lebih baik dibanding dengan pemeriksaan yang ke tiga. Terjadinya lekositosis yang disertai netrofilia dalam kasus ini karena netrofilia physiologik. Karena pada waktu pengambilan darah baru saja dari main-main dan anjing melawan ketika diambil darahnya. Hariono (1979), mengatakan bahwa pada keadaan stres yang disebabkan seperti di atas menyebabkan pembebasan kortikosteroid yang akan meningkatnya kemampuan melekat neutrofil pada endothel pembuluh darah, sehingga jumlah neutrofil akan meningkat. Pengobatan Untuk
mengatasi
Parvovirosis,
terapi
yang
diberikan
meliputi
pemberian antibiotik, penambahan cairan tubuh, pemberian kortikosteroid dan pemberian antidiare (Pranoto, 1986 ; Kramer et al.,1999). Lebih lanjut Kramer et al.,1999 mengatakan bahwa keberhasilan terapi bervariasi, antara lain: untuk anak anjing < 5 bulan kematian dapat mencapai 75%, sedang anjing berumur > 5 bulan kematian mencapai 2 – 3%.
13
Pada kasus ini terapi yang diberikan adalah injeksi intramuskuler Glucortin-20 yang
digunakan
untuk
mengatasi
infeksi
virus.
Injeksi
intramuskuler
Ampicillin-20% untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder yang sering mengikuti infeksi virus. Untuk mencegah terjadinya hipoglikemia akibat dari muntah dan diare, dan memperbaiki keadaan dehidrasi diberi solutio ringer’s dextro 5% secara intravena. Sebagai absorben diberikan NBB secara per oral. Karena anjing juga mengidap ankilostomiasis maka diberi tablet Zypiran plus secara per oral. Untuk mencegah terjadinya anemia diberi injeksi intramuskuler Intrafer-200 B12 dan Introvit-B-Compleks. Dexamethasone termasuk dalam merupakan glukokortikoid alam, dimana glukokortikoid merupakan kortikosteroid alam yang efek utamanya terhadap penyimpanan glikogen dan anti radang adalah nyata (Suherman,1981). Pugh (1982), mengatakan bahwa glukokortikoid menyebabkan terjadinya penurunan sintesa DNA dan pembelahan sel. Dalam kasus ini pemberian Glucortin-20 bertujuan untuk memotong siklus hidup dari Canine Parvovirus. Sesuai dengan pendapat Cornwell et al.,1984 a), yang mengatakan bahwa replikasi Canine Parvovirus berbanding lurus dengan indeks mitosis sel. Dengan demikian, jika pembelahan sel dihambat maka replikasi virus akan terhambat pula, Sulistia (1981), masa kerja dexamethasone adalah 48 jam. Sedangkan dosis yang dianjurkan menurur Brander et al., (1982) adalah 0,5 – 2 ml / kg BB. Dalam kasus ini digunakan dosis 0,5 ml /kg BB diberikan secara intra muskuler.
14
Ampicillin merupakan antibiotik semisintetik, derivat dari 6-Amino Penicillinic Acid yang termasuk dalam antibiotik
berspektrum luas (Brander
et al.,1982). Ampicillin termasuk golongan Penicillin yang efektif terhadap bakteri gram positif maupun gram negatif (Sulistia,1981). Pada umumnya ampicillin diberikan setiap 24 jam sekali, tetapi dalam keadaan akut dapat diberikan 2 kali sehari tanpa ada toksisitas. Ampicillin bekerja dengan cara menghambat pembentukan dinding sel bakteri dengan cara mengganggu enzim murein transpeptidase yang penting dalam pembentukan dinding sel bakteri. Dinding sel bakteri terdiri atas peptidoglikan yang mempunyai stabilitas mekanis yang kuat. Apabila sintesa peptidoglikan dihambat, maka pembentukan dinding sel bakteri menjadi cacat (Brander et al.,1982). Lebih lanjut dikatakan bahwa dosis ampicillin yang diberikan secara intra muskuler atau sub kutan adalah 7-10 mg Ampillin trihydrat per kg BB. Dalam kasus ini diberikan dosis 0,1 ml/2 kg BB (tiap ml mengandung Ampicillin trihydrate 20%) diberikan 2 kali sehari selama 5 hari berturut-turut. Solutio ringer’s dextrose umumnya diberikan untuk menambah cairan tubuh, elektrolit dan untuk memberi nutrisi.Dapat juga diberikan pada pasien yang selesai dioperasi, penderita yang tidak sadar, tidak dapat menerima cairan elektrolit melalaui mulut (Brander et al.,1982). Selanjutnya dijelaskan bahwa Solutio ringer’s dextrose dapat digunakan pasien yang kehilangan cairan dan elektrolit seperti diare yang berat dan muntah.
15
Dalam kasus ini digunakan dosis 10 ml / kg BB diberikan secara intra vena sehari selama 5 hari berturut-turut. Nitrous Bismuth Basikus (NBB) merupakan absorben yang dapat digunakan untuk anti diare (Brander et al.,1982). Lebih lanjut bahwa Bismuth dapat berfungsi sebagai absorben terhadap enterotoxin dari bakteri E.Coli.Dosis yang dianjurkan adalah 0,3 – 2 gram / hari. Dalam kasus ini diberikan 3 kali / hari serbuk NBB sebanyak 0,5 gram per oral selama 2 hari berturut-turut. Untuk mengatasi
Ankilostomiasis dalam kasus ini diberikan tablet
Zypiran plus4) dengan dosis 17 mg/kg BB (tiap tablet mengandung Praziquantel, Pirantel Pamoat dan Febantel) diberikan secara per oral 1 kali pemberian. Pirantel pamoat merupakan antelmentika berspektrum luas, mempunyai efektifitas terhadap cacing kait 95%, toksisitasnya rendah, sehingga dapat tahan lama di dalam usus dan dapat memperpanjang efeknya (Jones et al.,1977). Pirantel pamoat bekerja dengan menghambat depolarisasi neuromuskular otot cacing, akibatnya cacing akan mengalami paralisa sehingga cacing
mudah
dikeluarkan dengan gerakan peristaltik usus (Jones et al.,1977). Dosis yang dianjurkan adalah 6-25 mg / kg BB. Dalam kasus ini dosis yang diberikan adalah 17 mg / kg BB diberikan secara per oral sekali pemberian.
16
Injeksi intramuskuler Intrafer-200 B125) dengan dosis 0,5 ml/ 10 kg BB (tiap ml mengandung Fe (Fe dextran) 200 mg dan Vitamin B12 (Cyanocobalamin) 200 mcg) dengan dosis 0,5 ml/ 10 kg BB dan Injeksi Introvit-B-Compleks6) dengan dosis 2-10 ml / kg BB
(tiap ml mengandung Vitamin B1,tiamin
hidroklorida 10,0 mg ; Vitamin B2,riboflavin natrium fosfat 5,0 mg ; Vitamin B6,piridoksin hidroklorida 5,0 mg ; Vitamin B12,cyanocobalamin 20 µg ; D-pantenol 12,5 mg ; Nicotinamid 50,0 mg ; Biotin 100,0 µg ; Kolin klorida 10,0 mg ; Liver extract 2,0 µg). Injeksi intrafer-200 B12 dan introfit-B-Compleks bertujuan untuk mencegah terjadinya
anemia.
Komponen-komponen
yang
terdapat
dalam
Injeksi
intrafer-200 B12 dan introfit-B-Compleks dapat membantu pembentukan darah dan Hb. Brander et al.,(1982), mengatakan bahwa vitamin B Compleks berfungsi sebagai koenzim metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang diperlukan oleh tubuh. Liver extract dan vitamin B12 merupakan bahan pembentuk darah. Dalam kasus ini pemberian Intrafer-200 B12 adalah 0,5 ml dan Introfit-B-Compleks adalah 2 ml diberikan 2 hari sekali selama tiga kali.
*) Medik Veteriner Madya pada Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sulawesi Selatan
17
UCAPAN TERIMA KASIH Atas bantuan yang diberikan selama perawatan anjing, diucapkan terima kasih kepada Bapak Andarias Rantetondok dan keluarga, Levi, Bunda, dan Widodo. Juga kepada Kadis Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sulawesi Selatan atas motivasi yang diberikan selama penulisan ini.
18
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.1981.
Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular Jilid III, Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.pp59-61.
Bistner,
and Kirk R.W.1985. Handbook of Veterinary Procedurs and
S.I.
Emergency Treatment, 4 th ed., W.B. Saunders Co. Inc., Philadelphia, London, Toronto.pp 119-121, 169-201,247-255. Brander,G.G.,
D.M. Pugh, R.J. Bywater.1982. Veterinary Applied Pharmacology and Therapeutics, 4 th ed. The English Language Book Sociaty and Bailliare Tindal, London. pp 115, 154-155, 168-179, 369-386.
Coles,
E.H.
1986. Veterinary Clinical Pathology, 4 th ed., W.B. Saunders Co. Inc., Philadelphia, London, Tokyo.pp 10-30, 41-43.
Cornwell,J.C.,
Macartney L., Mc Candlish I.A.P and Thompson M. 1984 a. Canine Parvovirus Enteritis I: Clinical, Hematological and Pathological Features of Experimental Infection, Vet.Rec.115-9:201-210.
Cornwell,J.C.,
Macartney L., Mc Candlish I.A.P and Thompson M. 1984 b. Canine Parvovirus Enteritis II: Pathogenesis Vet.Rec.115-18: 453-460.
Cornwell,J.C.,
Macartney L., Mc Candlish I.A.P and Thompson M. 1984 b. Canine Parvovirus Enteritis III: Scanning Electron Microscopical Features of Experimental Infection Vet.Rec.115-21:533-537.
19
Datta,
S.K.
and Mohanty S.B.1981. Veterinary Virology, Lea and Febiger, Philadelphia. pp. 11, 47-59, 65-70, 77, 210-211.
Fraser, C.M.
And Siegmund O.H.1986. The Merck Veterinary Manual, 6 th ed., Merck and Co. Inc., Rahway, New York. pp 329-330.
Gan, V.H.S.,
1981. Penisilin dan Sefalosporin, Dalam Farmakologi dan Terapi, edisi 2, Bagian Farmakologi, Fakultas Kedokteran UI, Jakarta. pp 498-526.
Georgi, J.R.
1985. Parasitology of Veterinarians, 4 th ed., W.B. Saunders Co., Philadelphia, London. pp 114-115.
Gillespie, J.M.
and Timoy J.F. 1981. Hagan and Bruner’s Infectious Diseases of Domestics Animals, 7 th ed. Cornell University Press, Ithaca, London. Pp 403-409, 484-485, 492-494.
Hunt, R.D. and
Jones, T.C.1983. Veterinary Pathology, 5 th ed., Lea and Febiger, Philadelphia. pp 291,292, 371-373.
Jain,
Schalm D.W. and Caroll E.J.1986. Veterinary Haematology, 4 th ed. Lea and Febiger, Philadelphia. pp 471-639.
N.C.,
Jones,
L.M.,
Both N.H. and Mc Donald.1977. Veterinary Pharmacology and Therapeutics, 4 th ed. The Iowa State University Press, Ames. Iowa. pp 1015-1020.
Kramer,
J.M.,
Meunir, P.C. and Pallock R.V.H.1999. Canine Parvovirus, P.T. Kalbe Farma Divisi Veteriner, Pp 1-14.
Levine,
N.D.
1986. Nematoda Parasites of Domestics Animals and Man, Burgess Pub. Co., Minneapolis. pp 79, 85-86, 536.
20
Morgan, B.B.
And Hawkins, P.A. 1953. Veterinary Helmintology, Burgess Pub. Co., Minneapolis. pp 226-231.
Pranoto,A.1986. Panleukopenia Feline, Penyakit Kucing Jahat dan Parvovirosis pada Anjing dalam menyiapkan Tinggal Landas Sub Sektor Peternakan, Procedings Seminar lustrum VIII dan Reuni IV Fakultas Kedokteran Hewan UGM.p 63. Pugh,D.M.1982. The Hormones I: Anterior Pituitaria and Adrenal Cortex, in Veterinary Applied Pharmacology and Therapeutics, 4 th ed. E.L.B.S. and Bailliere Tindall, London. pp 172-180. Ressang, A.A
1984. Patologi Kusus Veterinary, edisi 2 N.V. Percetakan Bali Indonesia. pp 551-555.
Ressang, A.A
1986. Penyakit Viral Pada Hewan, UI Press, Jakarta. pp 228-293
Soulsby,E.J.L.
1982. Helminth Artthropods Protozoa of Domesticated Animal, 7 th ed. E.L.B.S. Bailliere Tindall, London. pp 200-205.
Suherman,S.K.
1981. Kortikotropin, Adrenokortikosteroid dan Kortikosteroid Sintetik dalam Farmakologi dan Terapi, edisi 2, Bagian Farmakologi, Fakultas Kedokteran UI Jakarta. pp 358-377.
21
Lampiran I. Hasil Pemeriksaan Tinja Pemeriksaan
Tanggal Pemeriksaan 15 Januari 2014
23 Januari 2014
Konsistensi Warna Natif
Encer Merah (+)Ancylostoma sp
Lunak Coklat kekuningan (-) Ancylostoma sp
Sentrifus Mc. Master Benzidine test
-
-
22
Lampiran 2. Hasil Pemeriksaan Darah Pemeriksaan
Tanggal Pemeriksaan 15 / 01
20 / 01
23 / 01
24 / 01
28 / 01
Normal¹)
6,6 13 38 1.700 50
Td Td Td 13.200 Td
5,54 11 32 26.350 72
Td Td Td 24.250 Td
6,28 11,8 37 17.650 69
5,5-8,5 12-18 37-55 6.000-17.000 60-70
(juta/mm³) Band (%) (juta/mm³) Limp (%)
850 5 85 37
Td Td Td Td
18.972 2 527 21
Td Td Td Td
12.178 0 0 25
3.000-11.500 0-3 0-300 12-30
(juta/mm³) Mono (%)
629 5
Td Td
5.533 5
Td Td
4.415 3
1.000-4.800 3-10
(juta/mm³) (%) (juta/mm³) (g/dl) (mg/dl)
85 3 51 6,7 400
Td Td Td Td Td
1.317 0 0 6,1 400
Td Td Td Td Td
529 3 529 6,3 200
150-1.350 2-10 100-1.250 6-8 200-400
RBC Hb PCV WBC Seg
Eos TPP Fib.
(juta/mm³) (g/dl) (%) (juta/mm³) (%)
Td : Tidak diperiksa ¹)Jain,N.C.,1986. Schalm”s Veterinary Hematology
23