ANGGARAN KINERJA DAN IMPLEMENTASINYA : MEMBACA CITRA PERILAKU ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) (STUDI DI DPRD KOTA TIDORE KEPULAUAN)
Performance Budget and Its Implementation: Getting Behavioral Image of Local Parliaments Members (A Case Study in Local Parliament of Tidore Island City) (Abdullah Saifuddin), Darwis Said, Ratna Ayu Damayanti Email *):
[email protected] ABSTRACT The aims of the research are to interpret (1) performance budget and its implementation viewed from perspective of the members Local Parliament of Tidore Island City, (2) behavioral symbols used by the members of local parliament in making interaction, (3) sociologically the social changes based on symbols interchanged among the members of local parliament. The sample of the research was the members of local parliament, chairmen, vice chairmen, and commission chairmen participating in the implementation of performance budget in Local Parliament in Tidore Island City. Since the research was a qualitative study, the main instruments of obtaining the data were field observation, in-depth inverview, and documentation study. The data were analyzed interpretatively by using methodology of symbolic interaction I and Me. The results of the reveral that the members of local parliament understand the meaning of performance budget based on financial legislation that is currently being applied. This used self-Me analysis in which the members of local parliament interpret it as an openness and success. However, behaviorally, this indicates that implementation of performance budget is not implemented or it is interpreted as an input. This is indicated by using self-I analysis, in which the members of local parliament interpret the implementation of performance budget as an interest and structural conflict. Besides, the results of the research indicates the loss of human values because of the strength of interest and stuructural conflict. To rediscover those values, local wisdom as the implementation root of performance budget should be recultivated in the breath of life of the members of local parliament. Key words: performance Budget, Implementation, Behavior of members of local parliament, qualitative, symbolic interaction
ABSTRAK Tujuan penelitian ini bertujuan memaknai (1) anggaran kinerja dan implementasinya dari perspektif anggota dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) Kota Tidore Kepulauan, (2) simbol-simbol perilaku yang digunakan anggota dewan dalam menciptakan interaksinya, (3) secara sosiologi perubahan sosial menginterpretasikan berdasar simbol-simbol yang dipertukarkan anggota dewan. Sampel penelitian adalah para anggota dewan, ketua, wakil ketua dan ketua komisi yang terlibat dalam implementasi anggaran kinerja di dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) Kota Tidore Kepulauan. Karena penelitian kualitatif, instrumen utama dalam pengumpulan data adalah observasi lapangan wawancara mendalam dan studi dokumen. Analisis data secara interpretif menggunakan metodologi interaksi simbolik I dan Me. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara pemahaman anggota dewan memahami makna anggaran kinerja berdasar undang-undang keuangan yang saat ini berlaku. Hal ini dilihat menggunakan analisis diri Me, anggota dewan memaknai sebagai keterbukaan dan keberhasilan. Namun secara perilaku menunjukan bahwa implementasi anggaran kinerja tidak terlaksana atau dimaknai sebagai input. Hal ini dilihat menggunakan analisis diri I, anggota dewan memaknai implementasi anggaran kinerja sebagai kepentingan dan konflik struktural. Selain itu penelitian ini menunjukan hilangnya nilai-nilai manusia karena kuatnya arus kepentingan dan konflik struktural, untuk menemukan kembali nilai-nilai tersebut, kearifan lokal sebagai akar implementasi anggaran kinerja harus kembali dibudayakan dalam nafas kehidupan anggota dewan.
Kata Kunci: Anggaran Kinerja, Implementasi, Perilaku anggota dewan, Kualitatif, Interaksi simbolik
Refleksi Implementasi Anggaran Kinerja Studi
ini
mewujudkan
terinspirasi tatanan
oleh
“semangat”
pemerintahan
yang
pemerintah baik
(Good
pusat
untuk
Goverment
Governance). Hal ini ditandai dengan “keseriusan” pemerintah pusat untuk mereformasi berbagai paket undang-undang keuangan negara dan daerah, diantaranya paket perundang-undangan baru, yaitu peraturan menteri dalam negeri (Permendagri) nomor 59 tahun 2007 tentang perubahan atas peraturan nomor 13 tahun 2006 mengenai pedoman pengelolaan keuangan
daerah.
Perubahan kebijakan tersebut menuntut pengelolaan keuangan
yang transparan, partisipatif, akuntabel, dan fokus pada hasil (outcome). Namun
berbagai
perubahan
kebijakan
tersebut,
tidak
semudah
“membalik telapak tangan”. Hal ini karena organisasi pemerintah memiliki keluasan dan kerumitan tersendiri, yang memungkinkan terjadinya benturan perilaku dan kepentingan dari pelaku anggaran (accounting man). Sehingga Ishak dan Iksan (2005: 164-167), berpendapat ukuran dan struktur dari suatu organisasi mempengaruhi perilaku manusia dan pola interaksi dalam penetapan tujuan. Mengingat luas lingkup kerjanya dan mengurangi benturan kepentingan, maka anggaran harus diinformasikan kepada publik untuk dikritik, dan didiskusikan untuk selanjutnya mendapat masukan (Rahayu dkk, 2007 : 2). Sejauh ini kinerja instansi pemerintah banyak mendapat kritikan termasuk
kinerja
DPRD,
pemerintahan.
sejak
Masyarakat
bergulirnya
selalu
iklim
reformasi
menginginkan
dalam
penyelenggaraan
pelayanan publik yang baik dan berkeadilan serta berkualitas. Hanya saja dalam prakteknya, keinginan ini tidak selalu dapat dipenuhi pemerintah, baik di pusat maupun di daerah. Hingga kini, masih banyak ditemukan persoalanpersoalan pelayanan publik. Persoalan penyusunan anggaran salah satunya, menurut
Local
pengalokasian
Governance anggaran
Support
berdampak
Program pada
(2009)
pelayanan
kesalahan masyarakat.
Persoalan lainnya terkait dengan proses pembuatan kebijakan. Kebijakan yang tidak populis seringkali menjadi faktor pemicu pelayanan masyarakat. Para pengambil kebijakan sering keliru dalam membuat keputusan, faktor kekeliruan dikarenakan rendahnya sumber daya manusia yang berpotensi terjadinya distorsi pemahaman (Romli, 2007: xix) Dengan iklim reformasi, perilaku masyarakat menjadi lebih kritis terhadap kebijakan-kebijakan
pemerintah
daerah.
Masyarakat
telah
mampu
mempertanyakan haknya, seharusnya pemerintah daerah pun merespon dalam bentuk implementasi yang nyata. Menurut Anggraini dan Puranto (2010: 2) tuntutan masyarakat terhadap peningkatan pendapatan asli daerah
(PAD) dan terciptanya good governance harus bertumpu pada kualitas, integritas, independensi dan kompetensi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) serta aparatur pemerintah daerah. Berbagai kritikan masyarakat terhadap kebijakan anggaran menurut pertimbangan saya adalah perilaku pelaku anggaran (accounting man). Perilaku pelaku anggaran yang selalu keliru dalam mengimplementasikan anggaran kinerja menjadi faktor pemicu terjadinya masalah. Fakta tentang terjadinya masalah ditelisik dari penelitian anggaran kinerja yang dilakukan Utari (2009). Menurutnya masalah penganggaran di daerah pada umumnya terjadi ketidak konsistenan dengan berbagai produk perencanaan yang telah dipersiapkan. Disamping itu juga tidak jarang harus berbenturan dengan peraturan yang mengaturnya. Hal lain dalam penerapan anggaran kinerja, tidak terdapat indikator untuk mengukur pencapaian target penyediaan layanan yang digunakan dalam perencanaan, serta tidak adanya kaitan dengan indikator target dalam anggaran tahunan yang berbasiskan kinerja. Fenomena masalah anggaran kinerja pemerintah daerah (eksekutif) telah banyak diteliti, antara lain penelitian Widyantoro (2009) mencermati bahwa anggaran kinerja belum tercapai, dikarenakan terdapat kesalahan dalam tahapan proses perencanaan, implementasi, pengukuran, evaluasi dan pelaporan. Sedangkan Rahayu dkk (2007) menemukan format dan komposisi teknis dari proses penganggaran pemerintah daerah sudah sesuai Permendagri No. 13 Tahun 2006, tetapi idealisme anggaran kinerja belum terlaksana, kurangnya sosialisasi, dan rendahnya pemahaman tentang anggaran kinerja dari masyarakat dan pemerintah.
Dalam kajian yang
dilakukan badan pendidikan dan pelatihan keuangan (BPPK) Departemen Keuangan
(2008),
menyatakan
bahwa
pemerintah
Indonesia
telah
melaksanakan anggaran kinerja tetapi belum utuh dan konsisten. Fenomena penelitian eksekutif juga telah diteliti di beberapa negara organization for economic co-operation development (OECD), Misalnya Aristovnik dan Seljak (2009 dalam Widyantoro, 2009) meneliti reformasi menuju anggaran kinerja membutuhkan waktu, karena kelemahan dalam hal
administrasi, serta kurangnya pendekatan pemerintah terhadap organisasi publik pada level manajemen menengah dan bawah. Penelitian lainnya yang dilakukan Webb dan Candreva (2009) dikutip Widyantoro (2009) tentang studi
kasus
terhadap
U.S.
Navy
menemukan
bahwa
penghambat
keberhasilan implementasi anggaran kinerja adalah sistem akuntansi yang tidak memadai serta kurangnya pengetahuan mengenai metode akuntansi biaya. Namun penelitian untuk anggota dewan (legislatif) belum banyak diteliti. Anggota dewan perlu diteliti, karena citra anggota dewan yang merupakan pelaku utama pengambil keputusan terkait dengan pengesahan dan pengawasan anggaran kinerja. Mampu memaknai anggaran kinerja dalam fungsi
yang
diembannya,
maka
anggota
dewan
dapat
mendeteksi
pemborosan dan kebocoran anggaran (Yudhoyono: 2002), sehingga dapat meminimalisir
dan mengetahui perilaku negatif eksekutif
yang sering
menimbulkan masalah seperti beberapa penelitian yang ditemukan diatas. Oleh karena itu, studi ini akan mendalami anggota dewan dalam pemaknaan dan perilaku pengimplementasian anggaran kinerja. Hal ini penting, karena dalam upaya mewujudkan anggaran kinerja secara komprehensif,
anggota
dewan
mempunyai
tugas
untuk
“mengawal”
penyusunan APBD dan mengawasi penggunaannya yang didasarkan pada kinerja (Wasistiono dan Wiyoso, 2009: 105).
Selain itu pula mengingat
perannya yang sangat substance, maka diperlukan adanya prinsip “checks and balances” agar tercipta keseimbangan dan kesejajaran pemaknaan perilaku antara pemerintah daerah dan anggota dewan berkaitan dengan perubahaan paradigma anggaran kinerja. Dengan kesamaan pemaknaan tentang anggaran kinerja maka mampu meningkatkan pelayanan pada masyarakat (public service). Metodologi: Menguak Fenomena dengan Interaksi Simbolik Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metodologi interaksi simbolik I dan Me. Metodologi I dan Me
digunakan untuk
mendalami diri manusia untuk mendapatkan makna dibalik sesuatu yang diyakininya. Metodologi I yaitu menganalisis diri anggota dewan, dari sisi kreatifitas, spontanitas, impulsif, dan diri yang didalamnya terkandung sifat hewani. Analisis I disebut juga sisi terdalam dari manusia yang hendak diteliti. Metodologi Me
yaitu menganalisis diri anggota dewan, dari sisi
tanggungjawab, berkendak sosial, dan diri yang didalamnya terkandung sifat manipulasi manusia. Analisis Me disebut juga sisi permukaan manusia yang hendak diteliti. Sumber data utama penelitian ini adalah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Pencatatan sumber data utama dilakukan melalui wawancara, obsevasi dan pengamatan atau dari hasil gabungan
kegiatan melihat, mendengar dan
bertanya. Metodogi interaksi simbolik ini berlandaskan pada pengamatan atas apa yang diekspresikan orang meliputi penampilannya, gerak-geriknya, dan bahasa simbolik yang muncul dalam situasi sosial. Penelitian dilakukan selama 6 Bulan mulai dari Bulan April–September 2011. Sebelum
wawancara,
pengamatan
atau
observasi
lapangan
dilakukan, terlebih dahulu harus seizin Pemerintah Kota Tidore Kepulauan C.q Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Linmas (Kesbanglinmas) Kota Tidore Kepulauan berdasarkan surat permohonan izin penelitian dari ketua pengelola program studi Akuntansi Universitas Hasanuddin. Dalam penelitian ini sampel/informan yang dijadikan informan kunci (key informan) sebanyak 3 orang, sedangkan untuk mendalami interaksi informan sebanyak 20 orang.
Reformasi bidang keuangan: Perubahan sistem penganggaran belum sesuai
Anggaran kinerja: Sosiologi perubahan sosial
Penelitian lebih banyak pada sisi Eksekutif
Masalah penelitian: Bagaimana anggaran kinerja dan implementasinya dimaknai dalam perilaku anggota dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) Kota Tidore Kepulauan
Kepentingan
Konflik Struktural
Lunturnya nilai-nilai kemanusiaan
Makna Kepalsuan
Kearifan Lokal : Budaya Adat Seatoran, Akar Implementasi Anggaran Kinerja
Gambar. Skema Kerangka Pemikiran Uji kualitas data Derajat kepercayaan. Kriteria ini berfungsi: pertama, melaksanakan inkuiri sedemikian rupa sehingga tingkat kepercayaan penemuannya dapat dicapai; kedua, mempertunjukan derajat kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan jalan pembuktian oleh peneliti pada kenyataan ganda yang sedang diteliti. Kriteria
keteralihan. Untuk melakukan pengalihan, seorang peneliti
mencari dan mengumpulkan kejadian empiris tentang kesamaan konteks. Dengan demikian peneliti bertanggungjawab untuk menyediakan data
deskriptif secukupnya jika ia ingin membuat keputusan tentang pengalihan tersebut. Kriteria kebergantungan, konsep kebergantungan lebih luas dari realibilitas. Hal tersebut disebabkan oleh peninjauannya dari segi bahwa konsep itu memperhitungkan segala-galanya, yaitu yang ada pada realibitas itu sendiri ditambah faktor-faktor lainnya yang tersangkut.
Kriteria
kebergantungan dibicarakan dalam konteks pemeriksaan. Kriteria kepastian berasal dari konsep ‘objektivitas’ menurut penelitian kuantitatif.
Jika penelitian kuantitatif menekankan pada ‘orang’, maka
penelitian kualitatif menghendaki penekanan pada data. Jadi, isinya di sini bukan lagi berkaitan dengan cara ciri penyidik, melainkan berkaitan dengan ciri-ciri data, dapatkah data itu dipastikan. Teknik analisis Pertama, data dari wawancara, observasi dan dokumentasi diorganisir kesamaan dan perbedaannya sesuai dengan pertanyaan penelitian. Dengan jalan melakukan reduksi data, yaitu mengurangi data yang tidak penting sehingga data yang terpilih dapat diproses ke langkah selanjutnya. Reduksi data dilakukan dengan melakukan abstraksi data, yaitu membuat inti rangkuman. Kedua, data yang sudah dirangkum atau diorganisir ditentukan temanya. Tema merupakan keseluruhan informasi tentang fenomena sosial. Tema dibentuk peneliti setelah mendalami data lapangan. Ketiga, mencari keterkaitan antar tema dan diberikan kode (coding) untuk melihat kesamaan pola temuan. Jadi, coding harus dilakukan sesuai dengan kerangka teoritis yang dikembangkan. Dengan cara ini, coding memungkinkan peneliti untuk mengaitkan data dengan masalah penelitian. Keempat, Interpretasi atas temuan sesuai dengan keterkaitan antar tema dengan menggunakan teori yang relevan. Kelima, hasil interpretasi dituangkan dalam deskriptif analitik kontekstual. keenam, pengecekan validitas temuan. ketujuh, validasi data dilakukan triangulasi, meliputi triangulasi metode, teori, sumber data, informan dan data itu sendiri.
Hasil dan Pembahasan Studi ini mendalami makna anggaran kinerja dan saat anggaran kinerja di implementasikan. Untuk mendalami makna studi ini memahami melalui simbol-simbol yang dipertukarkan anggota dewan dengan cara mengamati atau observasi lapangan perilaku dan interaksi, sementara untuk keperluan pemahaman anggota dewan penelitian ini menggunakan teknik wawancara. Simbol yang dimaknai dalam studi ini, anggota dewan berinteraksi pada sebuah
kepentingan
dibalik
keterbukaan
yang
mereka
tampakkan
kemasyarakat. Dengan menggunakan analisis diri I dan Me, pada diri analisis diri I, sebagian besar
anggota dewan
berupaya
menampilkan
sosok
diri
semaksimal mungkin dengan simbol (perilaku) kepentingan ketika mereka menciptakan makna. Tidak adanya kesadaran
diri untuk memikul
tanggungjawab sebagai wakil rakyat menunjukan bahwa sifat I terkuak di dalam studi ini hanya menjalankan aktifitas sesuai dengan kepentingannya. Sedangkan pada analisis diri Me, “keterbukaan”.
anggota dewan menciptakan
simbol
Simbol keterbukaan ini, merupakan upaya bagaimana
anggota dewan membentuk citra diri di ruang-ruang publik. Dengan membentuk citra diri diruang publik, anggota dewan berupaya semaksimal mungkin memberi makna anggaran kinerja sesuai dengan pemahaman makna anggaran kinerja dengan pendekatan undang-undang yang mengatur tentang anggaran kinerja. Selanjutnya, dalam penggalian makna lebih jauh, studi ini menemukan sekaligus
menginterpretasikan
bahwa
ketika
mengimplementasikan
anggaran kinerja, anggota dewan berperilaku dan berinteraksi dalam sebuah konflik struktural dan berupaya menutupi konflik struktural tersebut, dengan menampakkan
sejumlah
keberhasilan
pembangunan.
Hal
ini
diinterpretasikan melalui analisis diri I dan Me. Menggunakan analisi diri I dan Me, penelitian ini menemukan implementasi anggaran kinerja menimbulkan konflik struktural, yaitu penegasan tentang anggota dewan pro pemerintah yang tetap menjaga
sturuktur yang sudah ada, yaitu dengan jalan mendominasi segala keputusan yang menguntungkan kepentingannya. Sehingga implementasi anggaran kinerja, melalui perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi, anggota dewan menjaga konsensus dengan pemerintah kota, dan menciptakan konflik sturuktur ketika berinteraksi dengan anggota dewan yang kontra dengan pemerintah. Pada analisis diri Me, merupakan bagian permukaan tentang keberhasilan anggota dewan merumuskan kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan pemerintah daerah. Keberhasilan suatu daerah atau manusia, harus tergambar dari indikator-indikator yang telah disusun dalam waktu yang lampau, sehingga bila indikator mencapai target pada waktu sekarang, menunjukan bahwa keberhasilan diperoleh. Namun, keberhasilan dalam potret ini, sangat kasip mengingat hanya anggota dewan yang pro pemerintah yang menguraikan keberhasilan pemerintah, sementara anggota dewan yang kontra pemerintah berbeda pendapat ketika memaknai keberhasilan. Studi ini menangkap pesan bahwa pada bagian permukaan banyak didominasi anggota dewan yang membangun konsensus dengan pemerintah kota. Untuk
menginterpretasikan
permasalahan-permasalahan
imple-
mentasi anggaran kinerja diatas, yaitu masalah kepentingan dan konflik struktural, studi ini menemukan bahwa permasalahan yang ditemukan cukup mendasar,
karena
“lunturnya” nilai-nilai kemanusiaan. Berdasar pada
refleksi temuan lapangan, anggota dewan semakin jauh dari nilai-nilai lokal adat senakodi, yaitu manusia beradab. Adat senakodi terkandung nilai-nilai amanah, gotong royong, perdamaian, ikhlas, persamaan hak, dan selalu berdamai. Nilai-nilai kemanusiaan konteks senakodi inilah yang semakin hari semakin memudar. Oleh karena itu, studi ini menjadikan kearifan lokal, adat seatoran sebagai akar implementasi anggaran kinerja. Dengan bersandar pada adat seatoran senakodi diharapkan manusia menjadi beradab atau menjadi manusia yang seutuhnya. Dengan demikian, perilaku anggota dewan harus mengikuti adat senakodi. Dalam konteks implementasi anggaran kinerja, menjalankan adat
se atoran, mengingat bahwa adat se atoran menjadi akar sekaligus penjelas secara integral, sistematis baik dari perspektif historis, filosofis, dan yuridis. Kesimpulan Dari bagian diri I, studi ini menemukan bahwa perilaku anggota dewan di “dandani” oleh kepentingan. Kepentingan berasal dari dalam diri aktor atau diperoleh dari kehadiran konsensus dengan walikota. Anggota dewan menciptakan kepentingan sebagai cara untuk memuaskan hatinya di lingkungan publik di mana anggaran kinerja di implementasikan. Impuls (kepentingan) ini mungkin berhubungan dengan masalah lingkungan (yakni keterbatasan persepsi tentang keunggulan anggaran kinerja) yang harus dijalani oleh pelaku anggaran. Sehingga manusia (pelaku anggaran) tak hanya tunduk pada aturan tertentu, mereka juga aktif memilih di antara berbagai aturan yang di sesuaikan dengan pilihan yang diyakininya benar. Artinya, sebuah pilihan mungkin mempunyai beberapa dimensi dan anggota dewan mempunyai pilihan berbeda dan mereka mempunyai kapasitas untuk memilih yang mana perlu diperhatikan dan yang mana perlu diabaikan. Persepsi dan perilaku tak dapat dipisahkan satu sama lain (berhubungan secara dialektis). Selanjutnya, setelah mengamati aktifitas anggota dewan sehari-hari, saya menyadari dari kepentingan yang “dipertotonkan” anggota dewan berdampak
dalam konflik struktural. Sehingga tepatlah apa yang
disampaikan Mead bahwa kita hanya tahu I setelah tindakan dilaksanakan. Dari bagian diri Me, memperlihatkan sisi permukaan manusia, studi ini menemukan implementasi anggaran kinerja dimanipulasi oleh keterbukaan dan keberhasilan. Tahap manipulasi merupakan tahap jeda yang penting dalam proses tindakan agar tanggapan tak diwujudkan secara spontan. Artinya, ketika menggunakan simbol keterbukaan dan keberhasilan anggota dewan memikirkan dengan sebaik mungkin, agar perilakunya tidak dinilai buruk di masyarakat, yaitu dengan mengambil jeda untuk berpikir tentang perilaku saat itu. Memberi sela waktu dengan memperlakukan objek, memungkinkan manusia dapat merancang dirinya untuk berperilaku sebaik
mungkin terhadap berbagai tanggapan. Perilaku anggota dewan untuk berperilaku baik dengan menunjukan sisi keberhasilan dan keterbukaan implementasi anggaran kinerja sebagai kemampuan khas manusia untuk memanipulasi setiap tindakan. Dengan memanipulasi tindakan, perilaku, dan interaksinya terkesan bahwa, seolah-olah implementasi anggaran kinerja telah dilaksanakan dengan baik, dan mencapai kesukesan pada penyusunan dan pelaksanaan APBD 2011. Berdasarkan diri I dan Me diatas, anggota dewan merupakan masyarakat menolak perubahan. Menolak perubahan karena, dalam perilaku yang diciptakan anggota dewan masih memperlakukan input sebagai “nafas” kehidupan. Selain itu, nilai-nilai yang diyakini anggota dewan bergeser jauh dari “semangat” anggaran kinerja, di mana anggota dewan menjalankan anggaran tidak di lakukan secara fokus dengan melihat kinerja, anggota dewan melaksanakan anggaran hanya mengikuti kemauan walikota dan keinginan pribadi mereka sendiri. Keterbatasan Studi dan Rekomendasi Studi ini berhasil mengangkat simbol-simbol implementasi anggaran kinerja yang selama ini terpendam didasar kebijakan pemerintah daerah. Saya mengamati bahwa konteks yang terjadi di Tidore Kepulauan dapat menjadi pelajaran yang bernilai bagi pemerintah daerah lainnya. Dengan menggunakan hasil studi ini, para praktisi dan peneliti akuntansi akan lebih jelas dalam mengapresiasi bagaimana implementasi anggaran kinerja harus dilakukan secara komprehensif. Kekurangan studi ini adalah belum mengeksplorasi lebih jauh siklus waktu normal anggaran kinerja yang dimulai dari
musrenbang disetiap
tingkatan, kebijakan umum anggaran (KUA) PPS, pembahasan RAPBD, penetapan APBD dan evaluasi APBD. Selain itu studi, belum mendalami makna dari sudut pandang satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dan Walikota atau Bupati. Selanjutnya berdasarkan hasil studi ini, sebagai suatu rekomendasi terhadap pemerintah daerah lainnya kondisi yang harus
disiapkan sebagai faktor pemicu keberhasilan implementasi anggaran kinerja, adalah : Pertama, kepemimpinan dan komitmen dari seluruh komponen organisasi. Kedua, fokus penyempurnaan administrasi secara terus
menerus.
Ketiga,
sumber
daya
yang
cukup
untuk
usaha
penyempurnaan tersebut (uang, waktu dan orang). Keempat, penghargaan (reward) dan sanksi (punishment) yang jelas. dan kelima, keinginan yang kuat untuk berhasil. Sedangkan rekomendasi bagi peneliti lainnya, dapat menggunakan studi ini untuk meneliti pada siklus normal anggaran kinerja dan meneliti pada interaksi pemerintah daerah (eksekutif / SKPD), atau meneliti dalam interaksi anggota dewan dan eksekutif. Dibagian lain, saya sependapat dengan beberapa peneliti Sterck dan Bouckaert, 2006 (fungsi anggaran tidak berjalan); Utari, 2009 (transparansi dan akuntabilitas sulit diwujudkan); Rahayu, 2007 (lemahnya idealisme outcome), bahwa belum berjalannya implementasi anggaran kinerja di pemerintah kota Tidore Kepulauan karena begitu derasnya kepentingan dan konflik struktural pelaku anggaran, yang berdampak pada “lunturnya”
nilai-nilai
kemanusiaan,
sebab
sesungguhnya
nilai-nilai
kemanusiaan merupakan sebuah kekuatan mental, jika mental tercerabut dalam diri pelaku anggaran, maka pelaku anggaran berperilaku tanpa pandang rasa dan berperilaku sekehendak hatinya.
Studi ini sekali lagi
membuktikan bahwa anggaran kinerja dapat diimplementasikan jika ada upaya mental yang sungguh-sungguh dari pengambil kebijakan (accounting man). Ucapan Terima kasih Ucapan terimakasih dan penghargaan kepada Tim Pembimbing Penelitian, Fakultas Ekonomi jurusan Akuntansi program Pasca Sarjana UNHAS, Pemerintah Kota Tidore Kepulauan, Staf DPRD Kota Tidore Kepulauan, Anggota dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) Kota Tidore Kepulauan, dan rekan-rekan mahasiswa magister sains akuntansi.
Referensi Adam, B. 1988. Social Versus Natural Time, A Traditional Distinction Reaxamined. Macmillan: New York Al-Adaileh, R.M. Organizational Culture Impact on Knowledge Exchange, Saudi telecom context.(Online), (http://info.emeraldinsight.com/htm, diakses 10 Januari 2011). Anggraini, Y, dan Puranto, B.H. 2010. Anggaran Berbasis Kinerja Penyusunan APBD secara komprehensif, Cetakan Pertama. UPP STIM YKPN: Yogyakarta. Arrianie, L. 2010. Komunikasi Politik Politisi dan Pencitraan di Panggung Politik. Widya Padjadjaran: Semarang. Az Zain, S.A. 1983. Thariqul Iman. Cet. IX Darul Kitab Al Lubnani: Beirut. Basrowi, dan Suwandi. 2009. Memahami Penelitian Kualitatif. PT Rineka Cipta: Jakarta. Blanchard, L. A. 2006. Performance Budgeting, How Nasa and SBA Link Cost and Performance. (Online), (http://businessofgoverment.org, diakses 6 Januari 2011). Blau, P. 1964. Exchange and Power in Social Life. Wiley: New York. Blumer, H. 1966. Simbolic Interactionism: Perspective and Method. Prentice Hall: New Jersey. Bolton, M. 2003. Public Sector Performance Measurement : Delivering Greater Accountability, Work Study. (Online), Vol. 52, No. 1, (http://info.emeraldinsight.com/htm, diakses 10 Januari 2011). Bogdan, R.C dan Biklen, K.S. 1982. Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods. Allyn and Bacon: Boston. Bogdan, R dan Taylor. S, J. 1993. Kualitatif, Dasar-Dasar Penelitian Terjemahan oleh A Khozin Afandi. Usaha Nasional: Surabaya. BPPK, 2008. Pedoman Anggaran Berbasis Kinerja. Departemen Keuangan R.I : Jakarta.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia Perwakilan Maluku Utara. 2009. Pemeriksaan Atas Laporan Keuangan TA 2009. BPK RI Perwakilan Maluku Utara: Ternate. Baudrillard, J. 1981. For a Critique of the political Economy of the Sign. Telos Press: London. Cagliano, R dan Caniato, F. 2010. The impact of Country Culture On The Addoption Of New Forms Of Work Organization. (Online), Vol. 31, No. 3, (http://info.emeraldinsight.com/htm, diakses 10 Januari 2011). Charon, Joel M. 1979. Symbolic Interaction an Introduction, an Interpretation, an Integration. Pretice Hall, Inc: New York. Coser, L.A. 1975a. Structure and Conflict. Aprroaches to the Study of Social Strukture. The Free Press: New York. Creswell, J. W. and Miller D, L. 2000, Determining Validity in Qualitative Inquiry, Theory Into Practice, 39, 3, pp.124-130. Denzin, N.K, dan Yvonna S.L. 2009. Handbook of Qualitative Research. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Enver, I.H, 2004. Metafisika Iqbal. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Freire, P. 2003. Pendidikan Masyarakat Kota. LKiS: Yogyakarta. Frondizi, R. 2001. Pengantar Filsafat Nilai, Terjemahan oleh Cuk Ananta Wijaya. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Etzioni E, A. 1973. Social Change, Sources, Pattern and Consequences. Basic Book in Publiser: New York. Hall, C.S, dan Lindzey, G. 2001. Teori-Teori Psikodinamik. Kanisius: Yogyakarta. Hassi, A. 2010. Organizational Training Across Cultures: Variations In Practices and Attitudes. (Online). Vol. 35, No. 1, (http://info.emeraldinsight.com/htm, diakses 9 Februari 2011). Giddens, A. 2003. The Constitution of Society; Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial. Pedati: Pasuruan. Diterjemahkan dari judul asli ”The Constitution of Society: The Outline of the Theory of Structuration”, Polity Press Cambridge – UK, 1995 Homans, G. 1971. Comentary. Institions and Social Exchange. The bobsMerril Company, Inc: New York.
Ikhsan, A dan Ishak, M. 2005. Akuntansi Keperilakuan. Salemba Empat: Jakarta. Jarrar, Y., dan Schiuma, G. 2007. Measuring Performance in The Public Sector : Chalenges and trends. Measuring Business Excellence, (Online), Vol. 4, No.11, pp 48 (http://info.emeraldinsight.com/htm, diakses 15 Februari 2011). Kinloch, G.C. 2009. Perkembangan dan Paradigma Utama Teori Sosiologi, Cetakan Kedua. CV Pustaka Setia: Bandung. Kuswarno, E. 2009. Fenomenologi. Widya Padjadjaran: Bandung. Lenski, G.E. 1966. Power and Privilege: A theory of Social Stratification. New York Local Governments Support Program. 2009. Legislative Strengthening. LGSP: Jakarta. Lukes, S. 1972. Emile Durkeim: His Life and Work. Harper and Row: New York. Mardiasmo, 2006. Perwujudan Transparansi dan Akuntabilitas Publik melalui Akuntansi Sektor Publik : Suatu Sarana Good Governance, Vol. 2, No. 1, (Online), (Http://bppk.depkeu.go.id, diakses 5 Januari 2011) Miles, M.B, dan Huberman A.M. 2009. Analisis Data Kualitatif Buku Sumber tentang Metode Baru. UI Press: Jakarta. Mwita, J. I. 2000. Performance Manajemen Model. The international Journal of Public Sector Management. (Online), Vol. 13, No. 1, pp. 19 – 37, (http://info.emeraldinsight.com/htm, diakses 30 Januari 2011). Moleong, L.J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif, cetakan kedua puluh tujuh. PT Remaja Rosdakarya : Bandung. Ndraha, T. 2005. Teori Budaya Organisasi. Rineka Cipta : Jakarta. Osborne, D and Gaebler T. 1995. Reinventing Government: How The Entrepreneurial Spirit Is Tranforming The Public Sector, Penguin Books Inc: New York. Piliang, Y. A. 2004. Dunia Yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Jalasutra: Yogyakarta
Poloma, M. M. 2010. Sosiologi Kontemporer, cetakan kedelapan. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta. Pura, R. 2009. Pengaruh Partisipasi Penganggaran Dan Kejelasan Sasaran Anggaran Terhadap Kesenjangan Anggaran Dengan Komitmen Organisasi Sebagai Variabel Moderating. Studi Kasus Pada Pemerintah Flores. Tesis tidak diterbitkan. Bandung: Program Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi-Universitas Padjajaran. Ray, I.G.A. 2008. Audit Kinerja Pada Sektor Publik. Salemba Empat: Jakarta Ritzer, G. dan Goodman D.J. 2010. Teori Sosiologi Modern, Edisi Keenam. Kencana Prenada Media Group: Jakarta. Rahayu, dkk. 2007. Studi Fenomenogis Terhadap Proses Penyusunan Anggaran Daerah Bukti Empiris dari Satu Satuan Kerja Perangkat Daerah Di Provinsi Jambi. Simposium Nasional Akuntansi X, UNHAS Makassar, Makassar 26-28 Juli 2007. Romli, L. 2007. Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal, Cetakan I. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Sancoko, B, dkk. 2008. Kajian Terhadap Penenerapan Anggaran Berbasis Kinerja di Indonesia. (Online). (http://bppk.depkeu.go.id, diakses 29 Januari 2011). Santoso, L, dkk. 2010. Epistimologi Kiri. Ar-ruz Media: Yogyakarta. Sctompka., P. 2010. Sosiologi Perubahan Sosial. Frenada Media: Jakarta. Siddiquee, N.A. 2007. Public Management Reform in Malaysia. Recent Initiatives and Experiences, (Online), Vol. 19, No. 4, (http://info.emeraldinsight.com/htm, diakses 30 Januari 2011). Schick, A. 2004, Twenty five Years of Budgeting Reform, OECD Journal on Budgeting, (Online), Vol. 4, No. 1, (http://issn/oecd.com, diakses 10 Februari 2011). Soekanto, S. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. PT Raja Grafindo: Jakarta. Soeprapto, H.R. 2002. Interaksionisme Simbolik. Averroes Press: Malang. Sterck, M, and Bouckaert, G. 1-3 Juni 2006. The Impact of Performance Budgeting on The Role of Parliement: a Four Country Study. Transatlantic Dialogue, (Online),
[email protected], diakses 10 Februari 2011.
Supanto. 2009. Analisis Partisipasi Anggaran terhadap Budgetary Slack dengan Informasi Asimetri, Motivasi, Budaya Organisasi sebagai pemoderasi. Tesis tidak diterbitkan, Studi Kasus pada Politeknik Semarang. Semarang: Program Studi Magister Akuntansi PPS – Universitas Diponegoro. Syarifuddin. 2009. Keputusan Akuntansi Anggaran : Aksentuasi Drama Politik dan Kekuasaan. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Program Doktor Ilmu Akuntansi, Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Triyuwono, dan Subiyantoro. 2004. Laba Humanis. Bayu Media: Malang. Utari, N. 2009. Studi Fenomenologis tentang Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja pada Pemerintahan Kabupaten Temanggung. Tesis tidak diterbitkan. Semarang: Program Studi Magister Akuntansi PPS – Universitas Diponegoro.
Wasistiono, S, dan Wiyoso, Y. 2009. Meningkatkan Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Fokus Media: Bandung. Widiyantoro, A, E. 2009, Implementasi Performance Budgeting : Sebuah Kajian Fenomenologis (Studi Kasus Pada Universitas Diponegoro). Tesis tidak diterbitkan. Semarang : Program Studi Magister PPS – Universitas Diponegoro. Wildavsky, A. 2004. The New Politics of The Budgetary Process, Fifth Edition. Pearson Education inc: United States. Williams, L.K. 2007. How Cultures Evolves: An Institutional Analysis. International Journal of Social Economics, (Online), Vol. 34, No. 4, (http://info.emeraldinsight.com/htm, diakses 17 Februari 2011). Wulansari, C, D. 2009. Sosiologi Konsep dan Teori. PT Refika Aditama : Bandung. Yudoyono,B, 2002. Optimalisasi Peran DPRD dalam penyelenggaraan PemerintahDaerah, (http://www.bangda.depdagri.go.id/htm, diakses 12 Maret 2011). Yuen D, C.Y. 2004. Goal Characteristic, Comunication and Reward Systems, and Managerial Propensity to Create Budgetary Slack,
(Online), Vol. 19, No. 4. (http://info.emeraldinsight.com/htm, diakses 22 Maret 2011).
Referensi lain Gismar. A.M. Reformasi Birokrasi antara Tekad dan Kemampuan. Citizen Journalis for Anti Corupption II. 5 feb 2010. Malut Post. 29 Januari 2011. Belanja Publik vs Belanja Pegawai, 9. Ismail, M.M. 1958. Al Fikru Al Islami. Tp. Kairo