Sebo, Andayani & Subiyantoro
Nilai Pendidikan Karakter dan Kearifan Lokal Legenda Wae Reke Masyarakat Ngada, Nusa Tenggara Timur dalam Relevansinya dengan Pembelajaran Sastra Tingkat SLTP Ludgardis Sebo Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia Andayani Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia Slamet Subiyantoro Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia Abstract Local values and cultures have great potential for providing culturally relevant teaching practices and material that will have practical import in the life of the community. The Warusoba community of Beiwali, for example, has numerous folk stories and legends that embody traditional values as well as world view. This case study describes one such legend and its relevance in the modern community. The wae reke legend is view by the Warusoba community as designating a sacred location and origin of certain supernatural entities known locally as nua nitu. This study describes six character elements visible in the legend of Wae Reke that include self-discipline, curiosity, concern for the environment, patriotism, responsibility, and honesty. Additionally, four central concepts in local culture are discernable in the legend, which are cooperation, tradition and culture, thankfulness dan integrity. Based on these elements, it is concluded that the legend of Wae Reke is highly relevant for the study of literature at the lower secondary level and, based on the national curriculum, can support the competencies of listening and writing.
Pendahuluan Sastra lisan merupakan karya sastra daerah yang diekspresikan oleh berbagai suku bangsa di Indonesia. Sastra lisan pada hakikatnya adalah tradisi lisan yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat tertentu. Keberadaanya diakui, bahkan sangat dekat dengan kelompok masyarakat yang memiliknya, Astika dan Yasa (2014:6). Dalam sastra lisan isi ceritanya sering mengungkapkan keadaan sosial budaya masyarakat yang melahirkannya, misalnya berisikan gambaran latar sosial, budaya serta sistem kepercayaan masyarakat. Selain itu, didalamnya juga berisi gambaran kaum bangsawan (masyarakat yang berpangkat), miskin dan sebagainya. Sebagai bagian dari tradisi lisan, cerita rakyat sebenarnya mengandung aspek sejarah, pengalaman, pandangan hidup,adat istiadat, kepercayaan, politik, obsesi dan berbagai kegiatan lain yang terdapat disuatu komunitas atau daerah. Namun, potensi lokal tersebut masih jarang diangkat karena fokus pemerintah daerah masih rendah terhadap bidang sosial budaya. Oleh karena itu setiap daerah perlu menggali dan meruntut kembali cerita rakyat yag berkembang di masyarakat. Dengan demikian, berbagai kisah masa lalu yang berkembang di masyarakat bisa diungkap dan disajikan sebagai salah satu khsanah dan aset daerah. Pada dasarnya karya sastra merupakan sarana yang dapat digunakan untuk menunjang pendidikan. Dengan sistem pendidikan seperti sekarang ini, nilai-nilai yangseharusnya menjadi ISSN – 2206-0596
32
Aksara, Vol. 2, No. 1
January 2017
perlengkapan manusia indonesia dalam rangka menghadapi era globalisasi dengan kearifan lokal belum benar-benar diterapkan atau diabaikan. Pendidikan melaui sekolah lebih banyak memperkenalkan anak didik dengan kebudayaan luar daripada mengenal kebudayaan warisan nenek moyang. Perkenalan terhadap budaya lokal hanya terjadi secara kebetulan atas usaha individu atau kelompok tertentu. Dengan demikian generasi penerus bangsa dalam hal ini peserta didik tidak sempat membaca kembali, menafsirkan, dan mengkreasikan makna serta memanfaatkan kebudayaan lokal dalam pembangunan karakter bangsa. Salah satu persoalan yang dihadapi bangsa saat ini adalah terkikisnya kearifan lokal bangsa indonesia. Nilai-nilai luhur bangsa yang dulu dijunjung tinggi kini telah tersingkirkan dan diganti dengan nilai yang lebih mengangungkan keberhasilan material tanpa memperhatikan etika dan nilai–nilai moral. Akibatnya adalah dalam berbagai bidang kehidupan, penyimpangan di bidangmoral terjadi dimana-mana. Generasi muda mulai terasing dari budayanya sendiri. Oleh karena itu, kearifan lokal yang tersebar dan pernah melekat dalam kehidupan sehari-hari seluruh etnik di indonesi perlu diangkat kembali kepermukaan, sehingga kekayaan peradaban bangsa dapat menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Pengajaran sastra menurut Nurhayati, memiliki pertautan erat dengan pendidikan karakter,karena pengajaran sastra dan sastra pada umumnya, secara hakiki membicarakan nilai hidup dan kehidupan- yang mau tidak mau berkaitan langsung dengan pembentukan karakter manusia (Wibowo, 2103:19). Sastra dalam pendidikan anak bisa berperan mengembangkan aspek kognitif, afektif, psikomotor, mengembangkan kepribadian dan mengembangkan pribadi sosial. Folklor mengandung nilai budaya yang dapat dimanfaakan sebagai sumber pendidikan. Nilai budaya yang terkandung dalam cerita rakyat merupakan pesan-pesan sebagai sumber pengetahuan atau pendidikan bagi generasi penerus. Pada hakikatnya genre-genre foklor merupakan bentuk ungkapan budaya yang mengandung nilai-nilai yang dapat diteladani dan diinternalisasikan oleh generasi penerus. Nilai budaya yang terdapat dalam folklor dapat menjadi sumber yang berguna dan bernilai dalam meningkatkan dan menambah wawasan pengetahuan siswa. Seperti halnya di daerah-daerah lain dalam wilayah Republik ini, masyarakat Ngada khususnya memiliki cerita-cerita rakyat sebagai salah satu dari cetusan kreativitas budi daya manusia yang diwariskan turun temurun secara lisan. Sebelum adanya pendidikan formal, cerita–cerita rakyat memegang peranan yang amat penting sebagai media pendidikan dan pengajaran dalam pendidikan keluarga secara informal.
Masyarakat Ngada memiliki cerita rakyat sebagaimana masyarakat lain di indonesia. Pada dasarnya cerita rakyat tersebut memiliki kesamaan pola dengan cerita rakyat budaya lain di indonesia, seperti terjadinya alam semesta, terjadinya susunan para dewa, dunia dewata,terjadinya manusia pertama dan tokoh pembawa kebudayaan. Banyak cerita-cerita lisan, yang dulu diyakini,bahkan hingga sekarang masih menjadi pedoman bagi masyrakat Ngada. Namun, sayangnya cerita rakyat kabupaten Ngada ini belum diketahui oleh masyarakat Ngada sendiri. Hal ini disebabkan karena belum ada upaya yang dilakukan secara serius dalam menangani masalah ini serta ketidakpedulian terhadap cerita rakyat. Ketidakpedulian kaum muda di kabupaten Ngada terhadap cerita rakyat berkaitan dengan kurangnya pengetahuan mereka tentang peran dan cerita rakyat yang ada di masyarakat. Dengan demikian apresiasi dan pengahayatan masyarakat Ngada terhadap cerita rakyat
ISSN – 2206-0596 (Online)
33
Sebo, Andayani & Subiyantoro
semakin memudar. Padahal bila kita mengkaji lebih mendalam, dalam cerita rakyat sesungguhnya banyak ditemukan ajaran kehidupan dan nilai-nilai pendidikan dan kearifan lokal, ajaran kebijaksanaan yang sarat dengan nilai-nilai moral. Di sinilah sebenarnya perlu ditumbuhkan kesadaran dan upaya terus menerus mengenalkan sastra daerah beserta nilai-nilai yang terkandung di dalam cerita rakyat kepada generasi penerus. Pengenalan dan sosialisasi sastra beserta nilai-nilai yang terkandung didalamnya melalui kisah bertutur, membaca, bercerita atau mendongeng di lingkungan keluaraga bisa menjadi titik awal. Lebih strategis lagi dikembangkan melalui pendidikan di lingkungan sekolah, dari strata bawah hingga perguruan tinggi di daerah. Singkatnya, mengangkat cerita rakyat menjadi materi ajar atau pembelajaran sastra. Disinilah perlu penelitian dan kajian cerita rakyat di daerah Ngada. Selanjutnya, bisa didokumentasikan sehingga menjadi materi atau bahan ajar. Cerita rakyat pada mulanya adalah peristiwa bahasa lisan; ia dituturkan, bukan dituliskan. Sebagai tuturan,cerita rakyat bekerja dengan dan melalui kombinasi berbagai kualitas suara mausia misalnya, vocal dan konsonan, tinggi-rendah suara, panjang pendek suara, jeda, tekanan, warna suara, dan sebagainya, Simatupang dalam Astika dan Yasa ,2014 :7. Legenda adalah dongeng yang berhubungan dengan peristiwa sejarah atau kejadian alam, misalnya terjadinya nama suatu tempat dan bentuk topografi suatu daerah (Sugiarto,2015:171). Sedangkan menurut Bascom (Danandjaja,1991:50) legenda adalah cerita yang mempunyai ciri-ciri mirip mite yaitu diangap benar-benar terjadi, akan tetapi tidak dianggap suci. Berlainan dengan mite, legenda ditokohi oleh manusia biasa atau sering juga dibantu oleh makhluk gaib. Jadi legenda dapat dikatakan, memang berhubungan erat dengan sejarah kehidupan manusia masa lampau walaupun kebenarannya belum tentu bersifat murni. Legenda merupakan cerita yang mengisahkan tentang sejarah suatu tempat atau perisriwa alam yang terjadi pada masa lampau. Dalam kaitannya dengan sejarah, ditegaskan bahwa legenda seringkali dipandang sebagai “ sejarah” kolektif (folk history) walaupun sejarah telah banyak mengalami distori,sehingga sering kali jauh berbeda dengan kisah aslinya (Danandjaya, 1991:66). Legenda biasanya mengkisahkan tentang seorang tokoh dan tempat-tempat keramat atau yang dikeramatkan biasanya memiliki cerita sejarah lama atau mengandung legenda.Sugiarto (2015:172) mengemukakan bahwa “Tempat terjadinya peristiwa dalam legenda adalah di dunia yang kita kenal sekarang ini. Hal ini bisa dibuktikan dengan keberadaan peninggalan benda-benda atau tempat tertentu, misal patung batu, danau, gunung, dan sebagainya. Singkatnya, keberadaan nama tempat dalam legenda biasanya bisa diidentifikasi keberadaannya. Berdasarkan pendapat di atas dapat disintesiskan legenda adalah sesuatu yang benar-benar terjadi tetapi tidak dianggap suci tokoh dalam legenda adalah manusia biasa yang mempunyai sifat yang luar biasa dan sering dibantu oleh mahkluk-makluk gaib. Legenda wae reke merupakan cerita sejarah tentang asal mula sebuah pohon yang pada saat itu tumbuh disekitar mata air. Mata air wae reke bukanlah mata air biasa tetapi mata air karena kerelaan seorang pemuda untuk menjadi suami dari putri air (nitu). Pendidikan karakter menurut Thomas Lickona, dalam Gunawan 2012:23 adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras, dan sebagainya. Defenisi pendidikan karakter selanjutnya dikemukakan oleh Elkind & Sweet (Gunawan,2012:23) “Character education is ISSN – 2206-0596
34
Aksara, Vol. 2, No. 1
January 2017
the deliberate effort to help people understand, care about act upon core ethial values. When we think about the kind of character we want for our childern, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”. Elkind dan Sweet berpendapat bahwa pendidikan karakter adalah upaya yang disengaja untuk membantu memahami manusia, peduli dan inti atas nilai-nilai etis/susila. Dimana kita berpikir tentang macam-macam karakter yang kita inginkan untuk anak kita, ini jelas bahwa kita ingin mereka mampu untuk menilai apa itu kebenaran, sangat pedulitentang apa itu kebenaran/hakhak, dan kemudian melakukan apa yang mereka percaya menjadi yang sebenarnya, bahkan dalam menghadapi tekanan dari tanpa dan dalam godaan (Gunawan, 2012:23). Selanjutnya Koesoema dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Karakter (Strategi Mendidik Anak di Zaman Modern)mengungkapkan pengertian nilai pendidikan karakter yakni: Pendidikan karakter adalah keseluruhan dinamika relasional antara pribadi dengan berbagai macam dimensi, baik dari alam maupun dari luar dirinya, agar pribadi tersebut semakin dapat menghayati kebebasan sehingga dapat bertanggung jawab atas pertumbuhan dirinya sebagai pribadi dan perkembangan orang lain dalam hidup mereka (Koesoema, 2011: 123). Pendidikan kita pada saat ini telah dihadapkan pada maraknya tindakan kekerasan, dan fenomena degradasi moralitas anak bangsa khususnya generasi muda. Menurut Wibowo (2013:8) carut-marutnya moralitas anak bangsa bisa kita amati dalam kehidupan sehari-hari. Contoh yang lebih akurat seperti hilangnya penghormatan kepada orang yang lebih tua, budaya menjiplak ketika ulangan atau ujian, pergaulan bebas tanpa batas, seks bebas, arisan seks, menjual,mengkonsumsi bahkan menjadi pecandu narkoba, menjadi kelompok geng motor yang anarkhis, tawuran antar pelajar dan antar mahasiswa. Selain tawuran, generasi muda khususnya para pelajar justru membudayakan kebiasaan buruk. Pada jam pelajaran, mereka lebih memilih untuk nongkrong di kantin sekolah bahkan ada yang membawa minuman keras dan mengajak teman untuk bersama-sama menghabiskan minuman tersebut. Dari pendapat yang terdapat diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter merupakan pendidikan yang harus ditanamkan kepada peserta didik,untuk membentuk nilai-nilai kebaikan yang bisa dikembangkan dalam lingkungan keluarga,sekolah dan masyarakat. Pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa mengapresiasi karya sastra. Kegiatan mengapresiasi sastra berkaitan erat dengan latihan mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal, kepekaan terhadap masyarakat,budaya, dan lingkungan hidup. Cerita rakyat merupakan bagian dari cipta sastra pada umumnya yang mengandung nilai-nilai luhur dan perlu ditransformasikan kepada generasi muda, terutama anak sekolah. Proses transformasi nilai-nilai pendidikan karakter dan nilai kearifan lokal dalam cerita rakyat dapat dilakukan melalui kegiatan pembelajaran. Melalui pembelajaran sastra, diharapkan peserta didik memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Menurut Andayani (Tyasiti,Wardani,Anindyarini, 2014:2) ” pembelajaran sastra berhubungan dengan kegiatan yang ada keterkaitan dengan karya sastra, yaitu mendengar atau membaca karya sastra dengan pengahayatan dan menulis sastra”. Pembelajaran apresiasi sastra memperkenalkan kepada peserta didik nilai-nilai yang didukung karya sastra dan mengajak peserta didik ikut menghayati pengalaman-pengalaman yang di sajikan.
ISSN – 2206-0596 (Online)
35
Sebo, Andayani & Subiyantoro
Kearian lokal dipandang sangat bernilai dan mempunyai manfaat tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Sistem tersebut dikembangkan karena adanya kebutuhan untuk menghayati, mempertahankan, dan melangsungkan hidup sesuai dengan situasi, kondisi, kemampuan dan tata nilai yang dihayati didalam masyarakat yang bersangkutan. Sedyawati (1985) membedakan dua pengertian local genius, yaitu: (1) segala nilai, konsep dan teknologi yang telah dimiliki suatu bangsa sebelum mendapat ‘pengaruh asing’; (2) daya yang dimiliki suatu bangsa untuk menyerap, menafsirkan, mengubah, dan mencipta sepanjang terjadinya pengaruh asing (Sudikan, 2013:42) . Kearifan lokal menurut Saini dalam Permana(2010) adalah sikap, pandangan dan kemampuan dalam mengelolah lingkungan rohani dan jasmaninya yang memberikan kepada komunitas itu berada. Kearifan lokal adalah jawaban kreatif terhadap situasi geografis-politis, historis, dan situasional yan bersifat lokal (Sudikan, 2013:42). Selanjutnya Wahono dalam Sudikan 2013:42-43 berpendapat bahwa Kearifan lokal dimaknai kepandaian dan strategi-strategi pengelolaan alam semesta yang berwajah manusia dan menjaga keseimbangan ekologis yang sudah berabad-abad teruji oleh berbagai bencana dan kendala alam serta keteledoran manusia. Sejatinya manusia menciptakan budaya dan lingkungan fisik dan biologisnya. Kebiasaankebiasaan, praktik, dan tradisi diwariskan dari generasi ke generasi. Pada gilirannya kelompok atau masyarakat tersebut tidak menyadari darimana asal warisan kebijaksanaan tersebut. Generasi berikutnya terkondisikan menerima ‘kebenaran’ itu tentang nilai, pantangan, kehidupan, dan standar perilaku, Idrus (Sudikan, 2013:44). Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat disintesiskan bahwa kearifan lokal adalah norma yang dimiliki oleh masyarakat tertentu yang berkaitan dengan pandangan hidup dan pengetahuan serta untuk mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Metode Penelitian ini dilakukan di kampung Warusoba, Desa Beiwali, Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian yang berjudul Nilai Pendidikan Karakter Dan Kearifan Lokal Legenda Wae Reke Masyarakat Ngada Nusa Tenggara Timur Dalam Relevansinya Dengan Pembelajaran Sastra Tingkat SLTP merupakan penelitian kualitatif. Strategi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus tunggal. Sutopo (2002:112) mengatakan studi kasus tunggal adalah penelitian terarah pada satu karakteristik. Artinya, penelitian ini hanya dilakukan pada satu sasaran (subjek).
Nilai Pendidikan Karakter Dalam Cerita Wae Reke Nilai Rasa Ingin Tahu Nilai rasa ingin tahu adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. Pengungkapan rasa ungin tahu merupakan emosi yang diperoleh melalui eksplorasi,investigasi, belajar, dan terbukti dengan pengamatannya, Kemendiknas (2010) Dalam legenda Wae Reke nilai rasa ingin tahu terdapat dalam dua kutipan yaitu.
ISSN – 2206-0596
36
Aksara, Vol. 2, No. 1
January 2017
Pada suatu pagi, ketika ayam berkokok orang tua Suli Wato dan warga kampung warusoba mendengar bunyi gong, sumber bunyi gong itu berasal dari rumah leluhur perempuan yang baru saja dibuat itu. semua warga kampung warusoba saling berbicara satu sama lain” itu sepertinya bunyi gong yang sama seperti yang dimainkan oleh Suli Wato?. Karena penasaran warga langsung keluar rumah dan berjalan menuju ke sumber gong yang berbunyi itu. sesampainya di tempat itu, mereka bertemu dengan suli wato yang sedang memukul gong. Warga bertanya” kau sebenarnya dari mana? Sudah tiga hari tiga malam tidak pernah pulang dan sekarang kau baru datang? Pada kutipan diatas menceritakan bahwa warga berusaha mencari tahu tentang Suli Wato yang selama tiga hari dan tiga malam yang telah lalu. Warga mencari tahu karena selama Suli Wato menghilang mereka telah berusaha mencari dirinya namun tidak ditemukan. Tetapi tiba-tiba Suli Wato muncul di pagi hari. Nilai rasa ingin tahu yang berikutnya dapat dilihat dalam kutipan cerita berikut. “Dalam keaadaan mata tertutup ibu Rua Ngale hanya bisa mendengar bunyi pacul, suara orang berbicara dan tertawa. Dari pagi sampai sore, ibu Rua Ngale tetap menutup mata. Diapun mengelus-elus cucunya sambil berkata dalam hati”ini anak manusia. Saya harus mengintipnya cukup melihat apakah cucu saya ini mempunyai cacat atau tidak, apakah matanya buta atau tidak”. Dengan penuh penasaran ibu rua ngale akhirnya membuka mata untuk melihat keadaan cucunya. Perlahan-lahan ibu Rua Ngale membuka matanya untuk melihat Suli Wato yang sedang membersihkan kebun karena sedari pagi dia hanya mendengar suara manusia yang berbicara dan mendengar bunyi pacul. Betapa terkejutnya, ketika melihat ada ular dengan ukuran kecil yang melilit di pacul. Ibunya bertambah kaget ketika melihat dalam pangukannya bukan anak manusia melainkan seekor ular yang merupakan cucunya sendiri” Nilai rasa ingin tahu yang terkandung dalam legenda”Wae Reke” adalah rasa penasaran ibu Rua Ngale terhadap cucu yang sedang di gendongya. Dalam keadaan mata yang tertutup dia hanya bisa mendengar suara pacul, suara orang berbicara dan tertawa. Rua Ngale berusaha untuk mencari tahu apakah cucunya ini normal atau cacat. Kemudian Rua Ngale membuka matanya dan terkejut dengan apa yang disaksikannya itu. Nilai Semangat Kebangsaan Semangat kebangsaan mencerminkan cara berpikir, bertindak, berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan sendiri dan kelompoknya. Semangat kebangsaan merupakan perasaan cinta dan setia terhadap bangsa dan tanah air, Kemendiknas (2010). Nilai semangat kebangsaan yang ditemukan dalam legenda “Wae Reke” terdapat dalam kutipan berikut. “Mendengar cerita suli wato warga kampung warusoba bertanya kepada suli wato” oh... suli wato apa yang harus kami lakukan? Suli wato menjawab mereka bahwa “ putri air (nitu) mengatakan bahwa kalian semua harus mengantar saya ke kampung mereka”. Warga bertanya lagi kepada suli wato” apakah kami harus menghantar kamu ke kampungnya putri air tersebut? Suli wato menjawab mereka ? ya, semua warga kampung harus menghantar saya dan kalian harus mengenakan pakian adat. Jika kalian tidak memenuhi keinginanan mereka untuk menghantar saya, saya tidak akan bertahan
ISSN – 2206-0596 (Online)
37
Sebo, Andayani & Subiyantoro
hidup seperti teman-teman atau saya akan mati secara tidak wajar dan sesuatu akan terjadi yang tidak diinginkan dapat menimpa kampung kita”. Kisah ini berawal dari hilangnya Suli Wato selama tiga hari tiga malam. Ketika Suli Wato pulang dia menceritakan kalau selama tiga hari tiga malam ini dia ikut bersama putri air. Suli Wato meminta kepada warga untuk menghantar dirinya kembali ke kampung Putri air. mendengar itu, sangat sedihlah hati kedua orang tuanya karena Suli Wato merupakan seorang anak tunggal. Suli Wato rela pergi mengikuti putri air karena dia tidak ingin sesuatu yang tidak diinginkan dapat menimpa masyarakat kampung. Nilai semangat kebangsaan ditunjukkan oleh Suli Wato yang rela meninggalkan kedua orang tua demi keselamatan warga yang ada di kampung Warusoba tersebut. Nilai Tanggung Jawab Nilai tanggung jawab merupakan sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajiban yang seharusnya dia lakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan, negara dan Tuhan Yang Maha Esa, Kemendiknas (2010). Nilai Tanggung jawab yang terdapat dalam legenda Wae Reke terdapat dalam kutipan berikut. “Pada suatu sore Suli Wato datang ke kampungnya untuk bertemu dengan kedua orang tuanya. Dari kejauan dia memanggil ibunya” ibu... ini dengan Suli Wato dan seketika juga ibunya Suli Wato menutup matanya sambil berkata” oh... anakku!mari silakan masuk. Pada saat itu juga Suli Wato masuk ke dalam rumah kedua orang tuanya dan berkata” ibu, besok pagi saya bersama istri dan teman-teman saya akan datang untuk membantu ibu membersihkan rumput di kebun ibu. Jadi seperti yang telah saya pesan kepada ibu, besok saat menjaga cucu ibu mata ibu harus tetap tertutup. Ibunyapun menjawab”baiklah anakku akan saya ingat”. Kemudian Suli Wato berkata lagi kepada ibunya”besok ibu cukup membawa bekal untuk ibu saja. Sedangkan makanan untuk teman-teman saya, ibu tidak usah pikirkan. Semuanya saya yang tanggung. Dengan senang hati ibu Rua Ngale menjawab”baiklah anakku terimah kasih”. Suli Watopun berpamitan dan kemudian Suli Wato kembali ke kampung istrinya. Sebelum beranjak pergi, ibunya bertanya” besok kita akan bertemu di kebun anakku?. Suli Watopun menjawab “ia ibu. Nilai tanggung jawab yang terdapat dalam cerita ini adalah berawal dari kedatangan Suli Wato setelah sekian lama tidak mengunjungi ibunya. Dari jauh suli wato sudah memanggil ibunya dan meminta ibunya untuk menutup mata selama mereka bertemu. Rua Ngale menuruti permintaan putranya itu. Suli Wato mengatakan kepada ibunya bahwa dia beserta istri dan teman-temannya akan membantu ibunya untuk membersihkan kebun. Ibunya sangat senang karena selain kebunya menjadi bersih dia juga bisa menggendong cucuny walaupun dalam keaadaan mata tertutup. Suli Wato merasa bahwa dirinya sebagai seorang anak, setelah sekian lama pergi meninggalkan kedua orang tuanya, maka sebagai anak yang bertanggung jawab dan berbakti kepada kedua orang tuanya dia akan membantu mereka dengan membersihkan rumput yang ada di kebun kedua orang tuanya. Nilai Peduli Lingkungan Peduli lingkungan merupakan sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada alam disekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi, Kemendiknas (2010). Nilai peduli lingkungan yang terdapat dalam legenda “Wae Reke” terdapat dalam kutipan. ISSN – 2206-0596
38
Aksara, Vol. 2, No. 1
January 2017
“Sambil menangis Suli Wato berpesan kepada ibunya”mata air ini bukan mata air biasa tetapi ini seperti diri saya. Saya minta kalian menjaganya untuk anak cucu kalian”. Pada kutipan diatas, Suli Wato meminta kepada ibunya untuk tetap menjaga sumber mata air tersebut. Meskipun ibunya telah melanggar perjanjian mereka tetapi Suli Wato meminta kepada ibunya untuk menjaga sumber mata air tersebut sehingga bisa bermanfaat sampai saat sekarang. Nilai disiplin Disiplin adalah tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan perilaku, Kemendiknas, (2010). Dalam legenda Wae Reke nilai disiplin terdapat dalam kutipan berikut. Keesokan harinya, Suli Wato akhirnya datang bersama-sama dengan istri dan temantemannya. Mereka datang dengan membawa bekalnya masing-masing. Pagi itu juga, ibu Rua Ngale datang ke kebun untuk menjaga anak cucunya. Dengan mata yang sudah tertutup, ia memanggil anaknya Suli Wato”Suli Wato di mana cucu yang akan saya jaga, sehingga kalian bisa mulai membersihkan kebun. Suli wato menjawab ibunya”ia ibu, tunggulah disitu istri saya akan mengantar cucu ibu. Tidak lama kemudian istrinya datang mengantarkan anak mereka ke ibu rua ngale mertuanya. Setelah mengantar anak-anak mereka, Suli Wato beserta istri dan teman-temanya mulai melakukan pekerjaan mereka. Pada kutipan tersebut menunjukkan bagaimana Suli Wato memenuhi janjinya untuk datang membantu ibunya, seperti yang telah dijanjkan. Suli Wato datang bersama istri dan anak serta teman-temannya yang datang untuk membantu ibu Rua Ngale. Dia memenuhi janjinya untuk membawa serta anaknya agar dapat digendong oleh ibu Rua Ngale. Disini mencerminkan sikap Suli Wato yang taat pada ketentuan yang telah disepakati bersama ibunya. Jujur Jujur adalah perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan pekerjaan, Kemendiknas( 2010). Nilai kejujuran yang ada dalam legenda Wae Reke terdapat dalam kutipan berikut. “Suli wato mulai bercerita bahwa selama tiga hari tiga malam yang lalu saya tidak pulang karena saya ikut bersama putri air. Saya bertemu dengan mereka hampir setiap sore di tempat saya mengiris moke. Setiap saat saya turun dari atas pohon moke mereka selalu meminta moke untuk diminum bersama, dan pada suatu malam saya mengikuti mereka ke kampung di mana rumah mereka berada”. Pada kutipan diatas menunjukkan sikap Suli Wato yang dengan jujur menceritakan kepada semua penduduk kampung Warusoba tentang perbuatannya yang selalu minum bersama dengan putri air hingga dia mengikuti putri air ke kampung dimana rumah mereka berada.
Nilai kearifan lokal yang terdapat dalam legenda Wae Reke Nilai Gotong Royong
ISSN – 2206-0596 (Online)
39
Sebo, Andayani & Subiyantoro
Nilai gotong royong dalam legenda ini adalah berawal ketika Suli Wato menghilang dan masyarakat kampung bertanya-tanya dan melakukan pencaharian dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan membunyikan gong. Seperti yang terdapat dalam kutipan Satu minggu sebelum pekerjaan itu selesai tiba-tiba Suli Wato menghilang dan tidak diketahui keberadaannya. Orang tua dan masyarakat Warusoba secara bersama-sama mencari Suli Wato dan membunyikan gong gendang. Semua masyarakat warusoba saling bertanya satu sama lain” Di mana Suli Wato? Sudah tiga hari tiga malam tidak pernah pulang. Nilai Rasa Syukur Nilai rasa syukur yang terdapat dalam cerita Wae Reke adalah setelah satu minggu kami kami akan mengantar ke tempat yang telah kau ceritakan kepada kami. Suli Wato pun setuju dengan permintaan dari kedua orang tua dan warga kampung Warusoba. Setelah seminggu, tiba saatnya Suli Wato harus pergi ke kampung putri air. Sebelum mengahantar Suli Wato mereka membuat acara perpisahan dengan membunuh seekor kerbau. Setelah makan, kedua orang tuanya mengenakan pakian adat kepada Suli Wato. Upacara ini dibuat sebagai rasa syukur mereka karena bisa tinggal bersama Suli Wato walaupun hanya seminggu saja. Nilai Tradisi atau Kebudayaan Tradisi merupakan sistem kebiasaan masyarakat. Nilai budaya sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui oleh masyarakat itu. Nilai tradisi yang terdapat dalam cerita Wae Reke terdapat dalam kutipan. Pada suatau hari bapak dan ibu dari Suli Wato merencanakan untuk membuat rumah leluhur perempuan yang dalam bahasa setempat di kenal dengan istilah bhaga. Masyarakat kampung Warusoba bergotong royong untuk mengerjakan rumah leluhur tersebut. Berdasarkan hasil penelitian membangun rumah leluhur perempuan atau yang dikenal dengan istilah bhaga terus dilakukan oleh masyarakat Warusoba. Dimana setiap suku harus mempunyai sebuah bhaga dan ngadhu( untuk leluhur pria). Dalam proses pembangunan tersebut semua masyarakat bekerja sama dan tidak melihat apakah ini bhaga dari suku atau bukan. Nilai Kejujuran Kejujuran adalah perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dipercaya dalam perkataan, tindakan dan pekerjaan.Nilai kejujuran yang terdapat dalam cerita ini adalah sikap Suli Wato yang menceritakan kondisinya selama menghilang. Nilai kejujuran tersebut terdapat dalam kutipan” “Suli wato mulai bercerita bahwa selama tiga hari tiga malam yang lalu saya tidak pulang karena saya ikut bersama putri air. Saya bertemu dengan mereka hampir setiap sore di tempat saya mengiris moke. Setiap saat saya turun dari atas pohon moke mereka selalu meminta moke untuk diminum bersama, dan pada suatu malam saya mengikuti mereka ke kampung di mana rumah mereka berada”.
Relevansi cerita rakyat dalam pembelajaran sastra di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Kabupaten Ngada
ISSN – 2206-0596
40
Aksara, Vol. 2, No. 1
January 2017
Cerita rakyat Kabupaten Ngada dapat dijadikan sebagai salah satu acuan materi ajar dalam pembelajaran Bahasa Indonesia pada kelas VII, semester I, pada tingkat SLTP. Berdasarkan standar isi dan standar kompetensi kelulusan pada aspek mendengarkan dan menulis bahwa cerita rakyat Kabupaten Ngada sangat relevan dengan pembelajaran bahasa dan sastra indonesia karena memiliki gaya bahasa yang mudah dipahami serta mengandung nilai-nilai pendidikan karakter dan nilai kearifan lokal yang sangat relevan untuk perkembangan siswa.
Simpulan dan saran Dalam kajian secara mendalam terhadap legenda Waer Reke di Kabupaten Ngada terbukti mengandung enam nilai pendidikan karakter yang meliputi nilai disiplin, nilai rasa ingin tahu, nilai peduli lingkungan, nilai semangat kebangsaan, nilai tanggung jawab, dan nilai jujur. Nilai pendidikan karakter sangat bermanfaat karena bernilai ajaran tinggi yang mendidik dan berguna bagi pembacanya. Berdasarkan kajian dan analisis terhadap legenda Wae Reke Kabupaten Ngada mengandung nilai-nilai kearifan lokal. Nilai-nilai kearifan lokal itu meliputi nilai gotong royong, nilai tradisi dan kebudayaan, nilai kejujuran, nilai pelestarian budaya, dan nilai kerja keras. Nilai-nilai yang terdapat dalam cerita rakyat ini merupakan nilai-nilai positif yang harus dilestarikan dan dikembangkan kepada generasi mendatang. Berdasarkan standar isi dan standar kompetensi kelulusan pada aspek mendengarkan dan aspek menulis bahwa legenda cerita rakyat Kabupaten Ngada sangat relevan dengan pembelajaran bahasa dan sastra indonesia karena memiliki gaya bahasa yang mudah dipahami serta mengandung nilai pendidikan karakter dan nilai kearifan lokal, yang sangat relevan untuk perkembangan diri siswa. Dari temuan tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa nilainilai pendidikan karakter dan nilai-nilai kearifan lokal dalam cerita rakyat Kabupaten Ngada sangat relevan dengan pembelajaran sastra di tingka Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di Kabupaten Ngada. Pemerintah kabupeten Ngada perlu melestarikan berbagai kandungan dalam cerita rakyat, terutama yang berkaian dengan nilai pendidikan karakter dan nilai kearifan lokal . Selain itu Perlu ada upaya dokumentasi cerita rakyat yang tersebar di Kabupaten Ngada untuk selanjutnya dapat disebarluaskan kepada masyarakat secara profesional melaui perpustakaan daerah atau melalui teknologi informasi media.
Referensi Alfitri & Hambali.(2013). Integration of National Character Education and Social Conflict Resolution Through Traditional Culture: A Case Study in South Sumatra Indonesia. Asian Social Science. Vol. 9 (12), 125-135. Astika, M. I., & Yasa, M. I. (2014). Sastara Lisan: Teori dan Penerapannya.Yogyakrta: Graha Ilmu. Danandjaja,J.(1991).Folklor indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, Dan Lain-Lain. Jakarta:Pustaka Utama Grafi.
ISSN – 2206-0596 (Online)
41
Sebo, Andayani & Subiyantoro
Dewantara, K. H.(1977). Pendidikan. Majelis Persatuan Taman Siswa: Yogyakarta. Cetakan kedua. Endraswara, S.(2013).Folklor Indonesia Hakikat, Foklor, Bentu dan Fungsi.Yogyakarta: Ombak. Feield,M., & Cuero J M.(2012). Kumeyaay Oral Tradition, Cultural Identity, and Language Revitalization. Oral Tradition.27/2, 319-332. Gunawan, H.(2014). Pendidikan karakter konsep dan implementasinya. Bandung:Alfabeta. Humaeni, A.(2012). Makna Kultural Mitos Dalam Budaya Masyarakat Banten.Indonesian Journal of Social and Cultural Anthropology.Vol.33 (3), 159-179. Kemendiknas.(2010). Pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa:Jakarta. Koesoema, D. 2011. Pendidikan Karakter (Strategi Mendidik Anak Di Zaman Modern). Jakarta: Grasindo Lickona, T.(2013).Pendidikan karakter panduan lengakap mendidik siswa menjadi pintar dan baik. Terj. Lita s. Bandung : Nusa Media.(buku asli diterbitkan 2008). Maryati,T, & Aryani, S.P.L.(2015). Utilization of Balinese Folklore as Source Of Value For The Social Studies: Perspective of Critical Education. Journal of Education and Vocational Research. Vol 6(2), 55-60. Moleong, L. J.(2000). Metodologi Penelitian Kualitatif. Terj. Tjun S. Bandung.Remaja Rosdakarya. Muslich,M. (2014). Pendidikan KarakterMenjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara. Parmini, P.N.(2015). Eksistensi Cerita Rakyat Dalam Pendidikan Karakter Siswa SD di Ubud. Jurnal Kajian Bali. Vol 05(02), 441- 460. Ratna, N, K.(2011b).Antropologi Sastra Peranan Unsur-Unsur Kebudayaan Dalam Proses Kreatif. Yogyakarta:Pustaka Pelajar. Ratna, N. K.(2014c).Perananan Karya Sastra, Seni, dan Budaya Dalam Pendidikan Karakter. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Stavrou, P.E.(2015).Determining The Cultural Identity Of a Child Through Folk Literature. American Journal of Educational Research. Vol 3(4), 527-534. Sugiarto,E.(2015). Mengenal Sastra Lama. Yogyakarta: Andi. Sudikan, S.Y .(2013a). Kearifan Budaya Lokal. Sidoarjo : Dammar Ilmu. Sutopo, B. H.(2002).Metodologi Penelitian Kualitatif : Dasar dan Terapannya Dalam Penelitian. Surakarta: UNS Press. Syamsudduha,kamaruddin,&Tang,R.M.(2014).EducationalValue And Character In Pappaseng Bugis ( Buginese Message). Journal of LanguageTeaching and Research. Vol.5 (5), 1092-1102
ISSN – 2206-0596
42
Aksara, Vol. 2, No. 1
January 2017
Unsriana,L.(2013).Nilai Kearifan Lokal Dalam Cerita Rakyat Jepang (Minwa). Humaniora. Vol 4 (1), 310-317. Wibowo,A.(2013).Pendidikan Karakter Berbasis Sastra. Yogyakarta:Pustaka Pelajar. Yuhelmi.(2014).Pendidikan Karakter Anak Usia Dini Melalui Strategi Mendongeng Ceruta Budaya Daerah Minangkabau. Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan. Vol XIV (2), 55-61.
Isi Legenda Wae Reke Pada awal mula di bukit warusoba atau yang di sebut oleh masyarakat setempat dengan istilah kampung lama, hidup satu keluarga yang terdiri dari bapak yang bernama bapak Reba Moi dan Ibu bernama bernama ibu Rua Ngale yang mempunyai seorang anak tunggal yang bernama Suli Wato. Suli wato tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan. Pekerjaan suli wato sehari-hari hanya mengiris moke. Pada suatau hari bapak dan ibu dari suli wato merencanakan untuk membuat rumah leluhur perempuan yang dalam bahasa setempat di kenal dengan istilah bhaga. Masyarakat kampung warusoba bergotong royong untuk mengerjakan rumah leluhur tersebut. Satu minggu sebelum pekerjaan itu selesai tiba-tiba Suli Wato menghilang dan tidak diketahui keberadaannya. Orang tua dan masyarakat warusoba secara bersama-sama mencari Suli Wato dan membunyikan gong gendang. Semua masyarakat warusoba saling bertanya satu sama lain” Di mana suli wato? Sudah tiga hari tiga malam tidak pernah pulang. Pada suatu pagi, ketika ayam berkokok orang tua Suli Wato dan warga kampung warusoba mendengar bunyi gong, sumber bunyi gong itu berasal dari rumah leluhur perempuan yang baru saja dibuat itu. semua warga kampung warusoba saling berbicara satu sama lain” itu sepertinya bunyi gong yang sama seperti yang dimainkan oleh Suli Wato?. Karena penasaran warga langsung keluar rumah dan berjalan menuju ke sumber gong yang berbunyi itu. sesampainya di tempat itu, mereka bertemu dengan suli wato yang sedang memukul gong. Warga bertanya” kau sebenarnya dari mana? Sudah tiga hari tiga malam tidak pernah pulang dan sekarang kau baru datang? Suli wato pun menjawab mereka, saya sudah tidak bisa pulang lagi dan tinggal bersama kalian semua, saya sekarang sudah tinggal bersama dengan putri air (Nitu). Suli Wato mulai bercerita bahwa selama tiga hari tiga malam yang lalu saya tidak pulang karena saya ikut bersama putri air. Saya bertemu dengan mereka hampir setiap sore di tempat saya mengiris moke. Setiap saat saya turun dari atas pohon moke mereka selalu meminta moke untuk diminum bersama, dan pada suatu malam saya mengikuti mereka ke kampung di mana rumah mereka berada. Mendengar cerita suli wato warga kampung warusoba bertanya kepada Suli Wato” oh... Suli Wato apa yang harus kami lakukan? Suli Wato menjawab mereka bahwa “ putri air (nitu) mengatakan bahwa kalian semua harus mengantar saya ke kampung mereka”. Warga bertanya lagi kepada suli wato” apakah kami harus menghantar kamu ke kampungnya putri air tersebut? Suli Wato menjawab mereka ? ya, semua warga kampung harus menghantar saya dan kalian harus mengenakan pakian adat. Jika kalian tidak memenuhi keinginanan mereka untuk menghantar saya, saya tidak akan bertahan hidup seperti teman-teman atau saya akan mati secara tidak wajar dan sesuatu akan terjadi yang tidak diinginkan dapat menimpa kampung kita. Mendengar cerita Suli Wato tersebut orang tua dan masyarakat warusoba menangis. Sambil menangis kedua orang tua suli wato berkata kepada suli wato” oh... Suli Wato jangan berbicara ISSN – 2206-0596 (Online)
43
Sebo, Andayani & Subiyantoro
seperti itu. kamu pasti akan hidup normal seperti sedia kala. Dengan sedih hati suli wato menjawab” oh bapak dan ibu sudah tidak bisa lagi, mungkin sudah takdirnya saya harus menjadi seperti ini. Putri air sudah berhasil merayu saya. Kemudian orang tua dan warga kampung berkata kepada Suli Wato”Suli Wato, tinggallah satu minggu bersama kami.setelah satu minggu kami kami akan mengantar ke tempat yang telah kau ceritakan kepada kami. Suli Wato pun setuju dengan permintaan dari kedua orang tua dan warga kampung warusoba. Setelah seminggu, tiba saatnya Suli Wato harus pergi ke kampung putri air. Sebelum menghantar Suli Wato mereka membuat acara perpisahan dengan membunuh seekor kerbau. Setelah makan, kedua orang tuanya mengenakan pakian adat kepada Suli Wato. Seluruh warga kampung Warusoba serta kedua orang tua bersama-sama menghantar suli wato menuju mata air tersebut dengan diiringi bunyi gong gendang serta ratap dan tangis. Sesampainya di mata air tersebut, pada awalnya terlihat ada semburan air dari dalam tanah dan terus menyemburkan air, tetapi pada saat Suli Wato berada di dekat air tersebut tiba-tiba debit airnya semaikin besar dan mengalir seperti sedia kala. Warga beserta kedua orang tua dari Suli Wato terkejut dan terheran-heran melihat kejadian tersebut. Kedua orang tua serta warga kampung meratapi kepergian Suli Wato. Sambil menangis ibu Rua Moi berkata” oh... anak semata wayangku mungkin sudah tidak akan pernah pulang lagi... Suli Wato e.... mari pulang anakku...”. dengan sedih hati Suli Wato menoleh kebelakang dan berkata kepada ibunya “ ibu... dan warga kampung semua... jangan menangis, kita pasti akan bertemu kembali. Kemudian, Suli Wato berdiri dan secara perlahan-lahan berjalan ke air yang terus menerus mengalir tersebut. Saat dia berjalan ke sumber air tersebut, ketua adat bertanya kepada Suli Wato,” Suli Wato airnya sudah sampai dimana? Dia pun menjawab,” sudah dibatas lutut”. Tidak lama kemudian, warga kampung bertanya lagi,” Suli Wato, airnya sudah sampai dimana? Dia pun menjawab” sudah batas pinggang”. Warga bertanya lagi” Suli Wato, air sudah sampai dimana? Suli Wato menjawab sudah batas leher”. Tidak lama kemudian Suli Wato menghilang. Tiba-tiba tertengar suara Suli Wato dari dalam air yang berkata” kalian semua silakan pulang, karena sekarang saya sudah sampai dan sekarang mereka (warga puti air) akan menjemput saya dengan iringan gong gendang. Mendengar itu, orang tua dan warga masyarakat yang menghantarnya menangisi kepergian Suli Wato. Ketika mereka sedang menangis, mereka mendengar lagi Suli Wato berkata “ bapak, ibu. Saya pergi bukan untuk selamanya! Suatu saat nanti saya akan datang lagi untuk bertemu dengan kalian semua. Pada saat kedatangan saya nanti, kalian harus berjanji untuk menutup mata dan tidak boleh membukanya. Sehingga saya beserta istri dan anak-anak saya kelak bisa datang untuk membantu pekerjaan kalian. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun. Pada suatu sore suli wato datang ke kampungnya untuk bertemu dengan kedua orang tuanya. Dari kejauan dia memanggil ibunya” ibu... ini dengan Suli Wato dan seketika juga ibunya Suli Wato menutup matanya sambil berkata” oh... anakku!mari silakan masuk. Pada saat itu juga Suli Wato masuk ke dalam rumah kedua orang tuanya dan berkata” ibu, besok pagi saya bersama istri dan teman-teman saya akan datang untuk membantu ibu membersihkan rumput di kebun ibu. Jadi seperti yang telah saya pesan kepada ibu, besok saat menjaga cucu ibu mata ibu harus tetap tertutup. Ibunyapun menjawab”baiklah anakku akan saya ingat”. Kemudian Suli Wato berkata lagi kepada ibunya”besok ibu cukup membawa bekal untuk ibu saja. Sedangkan makanan untuk teman-teman saya, ibu tidak usah pikirkan. Semuanya saya yang tanggung. Dengan senang hati ibu rua moi menjawab”baiklah anakku terimah kasih”. Suli Watopun berpamitan dan kemudian Suli Wato kembali ke kampung istrinya. Sebelum beranjak pergi, ibunya bertanya” besok kita akan bertemu di kebun anakku?. Suli Watopun menjawab “ia ibu. ISSN – 2206-0596
44
Aksara, Vol. 2, No. 1
January 2017
Keesokan harinya, Suli Wato akhirnya datang bersama-sama dengan istri dan teman-temannya. Mereka datang dengan membawa bekalnya masing-masing. Pagi itu juga, ibu Rua Ngale datang ke kebun untuk menjaga anak cucunya. Dengan mata yang sudah tertutup, ia memanggil anaknya Suli Wato”Suli Wato di mana cucu yang akan saya jaga, sehingga kalian bisa mulai membersihkan kebun. Suli wato menjawab ibunya”ia ibu, tunggulah disitu istri saya akan mengantar cucu ibu. Tidak lama kemudian istrinya datang mengantarkan anak mereka ke ibu rua ngale mertuanya. Setelah mengantar anak-anak mereka, Suli Wato beserta istri dan temantemanya mulai melakukan pekerjaan mereka. Ibu Rua Ngale menggendong cucunya sambil mengelus-elus cucunya dan berkata”ooo..cucuku,saya sudah menggendongmu tetapi mengapa saya tidak bisa melihat wajahmu. Ibu Rua Ngale menjadi penasaran dan bertanya kepada Suli Wato”Suli Wato, apakah kalian sudah selesai membersihkan kebun? Suli Wato pun menjawab”belum ibu”. Ibunya bertanya lagi kepada Suli Wato”apakah saya bisa membuka mata sedikit saja untuk melihat cucu saya? Tetapi Suli Wato tidak mengijinkan ibunya untuk membuka mata. Dengan sedih Suli Wato berkata”kalau ibu membuka mata kami tidak bisa membersihkan kebun sampai selesai. Ibunyapun mengurungkan niatnya untuk membuka mata. Suli Wato beserta istri dan teman-temannya dengan semangat melanjutkan pekerjaan mereka. Dalam keaadaan mata tertutup ibu Rua Ngale hanya bisa mendengar bunyi pacul, suara orang berbicara dan tertawa. Dari pagi sampai sore, ibu Rua Ngale tetap menutup mata. Diapun mengelus-elus cucunya sambil berkata dalam hati”ini anak manusia. Saya harus mengintipnya cukup melihat apakah cucu saya ini mempunyai cacat atau tidak, apakah matanya buta atau tidak”. Dengan penuh penasaran ibu Rua Ngale akhirnya membuka mata untuk melihat keadaan cucunya. Perlahanlahan ibu rua ngale membuka matanya untuk melihat Suli Wato yang sedang membersihkan kebun karena sedari pagi dia hanya mendengar suara manusia yang berbicara dan mendengar bunyi pacul. Betapa terkejutnya, ketika melihat ada ular dengan ukuran kecil yang melilit di pacul. Ibunya bertambah kaget ketika melihat dalam pangukannya bukan anak manusia melainkan seekor ular yang merupakan cucunya sendiri. Melihat itu, ibu Rua Ngale membuang ular tersebut ke dalam api yang berada tepat dihadapannya. Melihat bahwa ibu Rua Ngale telah melemparkan cucunya ke dalam api, teman-teman suli wato akhirnya pulang. Tetapi Suli Wato dan istrinya dengan sedih berkata”ibu, hubungan kita sebagai anak dan ibu cukup sampai hari ini. Kita tidak akan bertemu lagi. Saya sudah berpesan kepada ibu, tetapi ibu melannggarnya. Saya bersumpah, saat ini juga dunia kita berbeda. Ibu telah membuang cucu ibu sendiri kedalam api. Itu artinya ibu telah memutuskan hubungan anak dan ibu. Saya tidak akan membantu pekerjaan ibu dan bapak lagi. Sambil menangis Suli Wato berpesan kepada ibunya”mata air ini bukan mata air biasa tetapi ini seperti diri saya. Saya minta kalian menjaganya untuk anak cucu kalian. Dengan sedih hati ibu Rua Ngale kembali ke kampung warusoba dan terus menangis menyesali perbuatannya. Ia terus menangis merindukan putranya Suli Wato yang sudag menjadi suaminya putri air (Nitu).
ISSN – 2206-0596 (Online)
45