Anchoring pada Besaran Pecahan Uang dan Pengambilan Keputusan Keuangan Individu Arnold Kaudin dan Komala Inggarwati Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
Abstract People are sensitive to numerosity when judging quantity or probability (Pelham, Sumarta & Myaskovsky 1994). Sensitivity to numeric also occurs when people making decision to purchase where denomination may influence willingness to pay. Because of the anchoring to denomination, the larger the money denomination, the larger the amount paid. The aim of this study is to observe the possibility of increasing willingness to pay due to money denomination. This study is based on cognitive psychology perspective (Anchoring and adjustment) and related to individual financial decision making process. An experiment with three scenarios is conduted. Two groups are given three scenarios concerning the amount of money that is owned, its denomination (through the pictures of the money), and pictures of certain goods. In the first group the subjects are given a statement that they have a certain amount of money in smaller denomination while in the second group the subjects are given the same statement but in larger money denomination. All subjects are required to determine the maximum price they are willing to pay to each good. The participants are 219 business students at the Universitas Kristen Satya Wacana in Salatiga. The results show significant differences between the willingness to pay from the small and large denomination groups. On average, subjects with larger denomination are willing to pay higher than those with smaller denomination. Key words: money denomination, cognitive psychology, anchoring and adjustment, willingness to pay, insufficient adjustment
Pendahuluan Pecahan uang kertas yang diterbitkan Bank Indonesia dari waktu ke waktu semakin besar nominalnya. Tiga dasa warsa yang lalu pecahan uang kertas terbesar masih bernilai sepuluh ribu rupiah dan yang terkecil seratus rupiah. Saat ini pecahan terbesar bernilai seratus ribu rupiah dengan pecahan terkecil seribu rupiah. Pada 9 Juli 2009 Bank Indonesia meluncurkan uang kertas pecahan dua ribu rupiah yang menjadi alternatif dari pecahan kecil seribu rupiah. Beberapa waktu mendatang pecahan dua ribu rupiah dapat menggantikan pecahan seribu rupiah sebagai pecahan uang kertas terkecil. Menurut Siaran Pers Bank Indonesia No.7/96/PSHM/Humas, tanggal 20 Oktober 2005, tujuan Bank Indonesia menerbitkan pecahan uang tertentu antara lain untuk mencukupi kebutuhan masyarakat dalam jumlah nominal uang dan dalam jenis pecahan yang sesuai. Dengan kecenderungan semakin mahalnya harga barang dan jasa, maka besaran pecahan uang kertas yang diterbitkan mungkin juga akan menjadi semakin besar. Kenyataannya, makin besarnya 1
pecahan uang yang tersedia kemungkinan justru menyebabkan pemegang uang bersedia untuk membayar semakin mahal barang/jasa yang dikonsumsinya bila yang bersangkutan tidak mengetahui dengan pasti harga barang/jasa yang dikonsumsinya. Hal tersebut dapat disebabkan oleh sensitivitas individu terhadap angka dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan kuantitas (Pelham, Sumarta & Myaskovsky 1994). Nilai nominal uang merupakan tampilan angka yang juga dapat mempengaruhi keputusan individu dalam bertransaksi. Misalnya Ragubhir & Srivastava (2002) menemukan ketika nominal mata uang asing merupakan multiplikasi dari mata uang lokal (4 ringgit = 1 USD), pemegang uang cenderung membelanjakan uangnya lebih sedikit (underspending) dan sebaliknya ketika mata uang asing merupakan fraksi dari mata uang lokal (0,4 dinar = 1 USD) terjadi pemegang uang cenderung membelanjakan uangnya lebih banyak (overspending) karena secara psikologis berpikir bahwa harga barang lebih murah. Berbagai studi psikologi menunjukkan bahwa individu dapat melakukan pengambilan keputusan dengan menggunakan heuristic. Pengambilan keputusan secara heuristic bertujuan untuk memperoleh keputusan yang akurat tanpa membuang banyak waktu dan upaya untuk menganalisis berbagai alternatif tindakan. Namun demikian, pengambilan keputusan secara heuristic dapat menimbulkan bias dari keputusan yang seharusnya diambil (Plous 1993:109). Salah satu bentuk bias yang dapat terjadi adalah anchoring dan adjustment (Tversky & Kahneman 1974). Pada anchoring dan adjustment, individu menggunakan satu referensi tertentu dalam pengambilan keputusan dan menyesuaikan referensi tersebut sesuai dengan informasi yang dimilikinya. Terkait dengan besaran pecahan uang, dalam situasi ketidakpastian dimana individu tidak mengetahui dengan pasti nilai suatu barang/jasa, terdapat kemungkinan bahwa keputusan keuangannya dalam konteks kesediaannya membayar dipengaruhi oleh besaran pecahan uang kertas yang dimilikinya. Dalam hal ini besaran pecahan uang kertas adalah referensi dalam penentuan harga dan kemudian individu akan melakukan penyesuaian untuk menyepakati transaksi berpatokan pada referensi yang dimilikinya. Pada kasus redenominasi mata uang di Turki yang menghilangkan enam digit angka nol, subyek dalam sebuah penelitian terbukti meng-anchor pada besaran pecahan uang saat diminta memprediksi harga sebuah mobil. Wertenbroch, Soman & Chattopadhyay (2007) membuktikan bahwa dalam bertransaksi konsumen meng-anchor pada perbedaan nominal antara harga dan referensi tertentu yang tampak nyata (Misalnya anggaran belanja dari konsumen yang bersangkutan). Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan terjadi anchoring pada nominal mata uang. Dengan demikian, individu yang memiliki pecahan mata uang yang besar akan bersedia membayar yang lebih tinggi dibanding yang memiliki pecahan mata uang yang lebih kecil. Penelitian ini hendak menelaah pengambilan keputusan keuangan individu dalam konteks kesediaan membayar dalam kaitannya dengan besaran pecahan uang yang dimiliki individu tersebut. Studi ini menggunakan perspektif psikologi kognitif. Pada penelitian ini dilakukan sebuah eksperimen untuk membuktikan bahwa pecahan uang yang lebih besar dapat mendorong individu untuk membayar suatu barang lebih mahal dibanding ketika individu memiliki pecahan uang yang lebih kecil. Secara psikologis pemegang uang dimungkinkan ter-anchor pada pecahan uang yang dimilikinya saat hendak mentransaksikan barang yang tidak terlalu familiar baginya sehingga terdapat kemungkinan besarnya pecahan uang kertas memiliki andil terhadap kesediaan membayar. Bila eksperimen yang dilakukan dapat membuktikan hal tersebut, diharapkan hasilnya dapat menjadi masukan bagi Bank Indonesia dan pihak terkait lainnya bahwa penerbitan uang dalam pecahan besar dapat menyebabkan meningkatnya kesediaan membayar yang secara
2
agregat dapat menimbulkan inflasi sehingga Bank Indonesia dapat mempertimbangkan hal ini dalam pengambilan keputusan yang menyangkut penerbitan nominal pecahan uang kertas. Tinjauan Pustaka Pada kondisi dimana seseorang tidak mengetahui nilai suatu barang/jasa, penetapan mengenai nilai awal barang/jasa tersebut diperoleh dengan mengacu pada informasi yang pertama kali diperolehnya (Hammond, Keeney, & Raiffa 1998). Selanjutnya Hammond dkk menyatakan bahwa fenomena dimana keputusan lebih didasarkan pada informasi awal yang diterima disebut anchoring. Tversky dan Kahneman (1974) menyatakan bahwa dalam berbagai situasi individu membuat estimasi berdasarkan suatu nilai referensi tertentu (anchor) yang kemudian disesuaikan (adjust) untuk mendapatkan jawaban final. Namun penyesuaian yang dilakukan seringkali tidak cukup untuk memberi jawaban yang benar (insufficient adjustment). Pada anchoring yang bersifat self-generated, insufficient adjustment terjadi karena individu segera mengakhiri upaya penyesuaian ketika suatu nilai yang tampaknya masuk akal tercapai (Epley & Gilovich 2006). Untuk menjelaskan insufficient adjustment Tversky dan Kahneman melakukan sebuah simulasi. Dalam simulasi ini, subyek diinstruksikan untuk mengestimasi apakah jumlah negara Afrika yang menjadi anggota PBB lebih banyak atau lebih sedikit dari suatu jumlah tertentu (reference point atau anchor) dan kemudian diminta mengestimasi jumlah dengan melakukan penyesuaian, yakni menambah atau mengurang dari anchor. Jumlah tertentu yang dijadikan referensi diperoleh secara acak dengan memutar papan permainan wheel of fortune. Kelompok yang berbeda memperoleh anchor yang berbeda dan membuat estimasi yang berbeda sesuai dengan referensi yang diperoleh dari pemutaran wheel of fortune. Misalnya, median estimasi jumlah negara di Afrika yang tergabung dalam PBB pada kelompok yang memperoleh anchor 10 adalah 25 sementara median estimasi pada kelompok yang memperoleh anchor 65 adalah 45. Eksperimen tersebut menunjukkan bahwa dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan numerik, individu mengacu pada informasi tertentu yang dimilikinya. Misalnya pada kelompok yang mendapat angka anchor 10, kemungkinan subyek berpikir bahwa Afrika adalah benua yang luas yang meliputi banyak negara sehingga timbul persepsi jumlah negara Afrika yang menjadi anggota PBB seharusnya lebih dari 10. Maka sebagian besar subyek melakukan adjustment terhadap nilai anchor 10 hingga median dari estimasi mencapai 25. Hal serupa terjadi pada subyek yang mendapat anchor 25. Keputusan akhir inilah yang belum tentu sesuai dengan jumlah yang benar yang mungkin bisa diperoleh bila keputusan dilakukan secara sistematik, misalnya dengan membuka Buku Pintar atau mencari jawaban di internet. Namun pencarian informasi secara sistematis tentunya membutuhkan lebih banyak waktu, upaya, dan dana. Studi klasik anchoring yang terkait dengan penetapan harga pernah dilakukan oleh Northcraft dan Neale (1987). Northcraft dan Neale membuktikan bahwa anchoring dapat mempengaruhi harga rumah yang ditentukan oleh para agen penjualnya yang notabene adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan mengenai harga rumah dan keahlian untuk menaksir nilainya. Dalam studi ini sekian banyak agen penjual diajak menginspeksi satu dari dua rumah yang hendak dijual. Satu rumah dinilai $74.900 dan lainnya $135.000. Pada saat inspeksi, para agen diberi sepuluh halaman lembar informasi yang diantaranya berisi informasi mengenai harga properti tetangga/di lingkungan sekitarnya yang baru saja terjual. Beberapa agen diberi daftar harga yang lebih rendah 11-12 persen dari harga sebenarnya, agen lainnya diberi daftar yang lebih rendah empat persen, lebih tinggi empat persen, dan akhirnya 11-12 persen lebih tinggi dari harga sebenarnya. Kemudian para agen diminta untuk menaksir nilai rumah tersebut, 3
merekomendasikan harga jualnya, menetapkan harga tawar yang paling masuk akal, dan menentukan harga yang bersedia dibayarkannya. Ternyata seluruh agen menentukan harga yang lebih rendah karena mereka melihat harga rumah pada daftar terlalu tinggi. Secara tak langsung hasil ini mengarah pada kesediaan membayar (Willingness to pay) dari para agen. Pada penelitian Mussweiler dan Strack (2000) yang juga bertujuan untuk melihat anchoring dalam penetapan harga, partisipan diminta menentukan rerata harga mobil baru di Jerman. Saat memperkirakan rerata harga, sekelompok partisipan yang diberi nilai anchor tinggi (40.000 mark) mengacukan perkiraannya pada harga mobil mahal buatan Jerman seperti BMW dan Mercedes sementara kelompok partisipan yang diberi nilai anchor rendah (20.000 mark) mengacukan perkiraannya pada harga mobil murah seperti VW. Penelitian Amado, Tekozel, Topsever, Ranyard, Del Missier & Bonini (2007) menunjukkan terjadinya anchoring dalam kasus perubahan nilai nominal uang di Turki dimana pada pecahan baru enam angka nol dari mata uang sebelumnya dihapus. Pada penelitian tersebut subyek diminta memprediksi harga sebuah mobil dalam mata uang yang baru, mata uang yang lama dan dalam euro. Hasilnya menunjukkan bahwa anchoring bias terjadi baik pada uang dengan pecahan lama, baru dan euro. Namun demikian, estimasi harga dalam pecahan baru dan euro dimana pecahan ini tidak terlalu terlalu dikenal oleh subyek lebih tinggi daripada estimasi harga dalam pecahan lama yang telah dikenal dengan baik oleh subyek. Hal ini menunjukkan semakin tinggi tingkat ketidakpastian semakin besar pula anchoring bias. Anchoring dan adjustment dapat berdampak pada keputusan keuangan individu yang tercermin dalam kesediaan seseorang untuk membeli. Penelitian yang terkait dengan hal tersebut biasanya mengobservasi bagaimana persepsi individu dipengaruhi oleh harga barang/jasa dimana harga tersebut berperan sebagai nilai anchor-nya. Harga barang/jasa di masa lalu dan masa kini dapat menjadi referensi internal sementara harga barang lain yang sejenis (barang substitusi) dapat menjadi referensi eksternal (Monroe 1990). Faktor harga lainnya yang dapat menjadi anchor adalah harga insidental seperti harga yang diiklankan, ditawarkan, dan dibayarkan untuk produk yang tidak terkait dengan barang yang hendak ditransaksikan juga dapat menjadi anchor yang mempengaruhi kesediaan membayar (Nunes & Boatwright 2004). Lebih lanjut multiple unit pricing (Misalnya „on sale - 6 botol Rp 50.000‟), pembatasan jumlah pembelian (Misalnya „maksimal pembelian 4 kaleng‟), dan anjuran penjualan (Misalnya‟Coklat Merk X - beli 18 untuk persediaan Anda‟) juga dapat menciptakan anchor dan meningkatkan pembelian (Wansink, Kent & Hoch 1998). Selain itu, Wertenbroch, Soman & Chattopadhyay (2007) membuktikan bahwa anggaran dan harga competing products juga dapat menjadi anchor. Penelitian-penelitian tersebut secara implisit mengasumsikan pemegang uang indiferen terhadap besaran pecahan yang digunakannya dalam bertransaksi. Berbeda dengan pendekatan referensi internal/eksternal dan harga insidental atau jumlah barang, dalam penelitian ini justru diharapkan pemegang uang ter-anchor pada besarnya pecahan uang yang dimilikinya. Selain itu, biasanya boundaries dari kesediaan membeli adalah anggaran (Wertenbroch, Soman & Chattopadhyay 2007) atau pendapatan (Horowitz & McConnell 2001). Pada penelitian ini boundaries dari kesediaan membeli adalah jumlah uang yang disediakan. Dalam berbagai penelitian, nilai anchor yang diajukan kepada subyek biasanya bersifat acak dan tidak memberi informasi apa pun pada subyek (Simonson & Drolet 2004). Terkait dengan penelitian ini, diduga besaran pecahan uang kertas dapat menjadi anchor bagi pemegang uang, terutama saat pemegang uang tidak memiliki informasi yang cukup mengenai barang/jasa yang hendak dibelinya.
4
Metode Penelitian Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kesediaan membayar dari subyek yang memiliki pecahan uang besar dengan pecahan uang kecil terhadap sebuah barang, penelitian ini menerapkan sebuah eksperimen laboratorium. Eksperimen dilakukan pada dua kelompok subyek dimana kepada tiap kelompok diberikan tiga macam skenario tentang jumlah dan pecahan uang yang dimiliki subyek (gambar uang disertakan), gambar barang tertentu dan pertanyaan mengenai harga dimana subyek bersedia membayar barang tersebut. Pada skenario pertama dan kedua, subyek diberi boundary berupa jumlah uang yang dimiliki sedangkan pada skenario ketiga, subyek diberi nilai nominal yang sama sehingga keputusan yang dibuat diharapkan semata-mata karena pengaruh aspek psikologis tanpa pengaruh boundary. Jenis barang yang digunakan dalam eksperimen adalah barang-barang yang secara umum harganya relatif jarang diketahui oleh subyek. Diharapkan distorsi level pengetahuan harga dapat diminimalkan. Namun tingkat pengetahuan subyek terhadap harga barang tersebut diakomodasi dengan satu pertanyaan: “Apakah Anda mengetahui (familiar dengan) barang ini?” Berdasarkan jawaban atas pertanyaan ini dapat diukur perbedaan harga yang ditawarkan oleh subyek yang mengaku mengetahui harga barang dengan yang tidak. Partisipan dalam penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga. Sebanyak 219 mahasiswa menjadi subyek untuk eksperimen, dengan rincian 73 mahasiswa pada kelompok 1, 74 mahasiswa pada kelompok 2, dan 72 mahasiswa pada kelompok kendali. Dalam tiap eksperimen, subyek tidak diperkenankan saling berkomunikasi agar tidak terjadi saling tukar informasi mengenai harga barang. Hal ini untuk mencegah agar harga yang dibayarkan oleh satu subyek tidak dijadikan anchor oleh subyek yang lain. Skenario 1 Subyek pada kelompok pertama dihadapkan pada pernyataan: “Anda memiliki uang dengan pecahan 50.000 rupiah satu lembar” beserta gambar pecahan uangnya. Subyek pada kelompok kedua dihadapkan pada pernyataan yang sama, namun pecahan uang yang dinyatakan adalah 50.000 rupiah sebanyak dua lembar. Subyek pada kelompok 2 mempunyai jumlah uang yang lebih banyak namun dengan besaran pecahan yang sama dengan yang dimiliki subyek pada kelompok 1. Tujuan pembedaan jumlah uang yang dimiliki dimaksudkan untuk mengidentifikasi kemungkinan terjadinya anchor pada jumlah/nilai uang yang dimiliki. Selanjutnya, kepada subyek ditunjukkan gambar topeng beserta deskripsinya dan subyek diminta untuk menentukan harga tertinggi yang bersedia ia bayarkan. Diharapkan subyek lebih meng-anchor pada besarnya pecahan dan bukan pada jumlah uang yang dimiliki. Bila subyek meng-anchor pada gambar pecahan uang, maka kesediaan membayar subyek pada kelompok 1 dan kelompok 2 tidak berbeda secara nyata. Skenario 2 Pada skenario 2, subyek dihadapkan pada pertanyaan yang sama dengan pertanyaan pada skenario 1, namun pecahan uang yang dinyatakan adalah 50.000 rupiah sebanyak satu lembar (Kelompok 1) dan 10.000 rupiah sebanyak sepuluh lembar (Kelompok 2). Subyek pada kelompok 2 memiliki jumlah uang lebih banyak namun dalam pecahan yang lebih kecil. Selanjutnya, kepada subyek ditunjukkan gambar keranjang beserta deskripsinya dan subyek diminta untuk menentukan harga tertinggi yang bersedia ia bayarkan. Bila subyek terkena
5
anchor pada besarnya pecahan uang, maka subyek pada kelompok kedua akan bersedia membayar pada harga yang lebih rendah dibanding subyek pada kelompok pertama. Skenario 3 Pada skenario ini hendak diketahui apakah dengan memiliki nilai nominal uang yang sama, individu yang memegang pecahan uang lebih besar cenderung bersedia membayar lebih banyak dibanding individu yang memegang pecahan lebih kecil. Kelompok 1 dihadapkan pada pernyataan “Anda memiliki 10.000 rupiah sebanyak sepuluh lembar” sementara kelompok 2 dihadapkan pada pernyataan “Anda memiliki 100.000 rupiah sebanyak satu lembar. Selanjutnya, kepada subyek ditunjukkan gambar tempat kopi dan teh beserta deskripsinya dan diminta untuk menentukan harga tertinggi yang bersedia ia bayarkan. Kesediaan membayar pada kelompok 1 seharusnya lebih rendah dari pada kelompok 2 karena subyek kelompok 1 meng-anchor pada pecahan uang yang lebih kecil sementara subyek pada kelompok 2 meng-anchor pada pecahan yang lebih besar. Eksperimen pada kelompok kendali Eksperimen kelompok kendali ini dilakukan untuk mengetahui kesediaan membayar atas suatu barang jika subyek tidak memiliki informasi jumlah dan pecahan mata uang. Pada kelompok kendali, subyek diminta untuk menentukan kesediaan membayar atas barang-barang yang sama dengan eksperimen-eksperimen sebelumnya namun informasi mengenai besaran pecahan maupun jumlah mata uang yang dimiliki tidak diberikan. Pada eksperimen ini, subyek diminta menentukan harga yang bersedia ia bayarkan atas masing-masing barang. Hasil dan diskusi Sejumlah 46 persen dari seluruh partisipan penelitian berjenis kelamin perempuan dan 54 persen lainnya laki-laki. Hanya partisipan pada kelompok 1 yang perbandingan perempuan-lakilakinya relatif besar. Namun komposisi keseluruhan yang relatif berimbang diharapkan dapat menepis, walau mungkin tak sepenuhnya, kemungkinan adanya bias jender pada hasil studi ini. Dari sisi pendapatan orang tua, sebagian besar partisipan mengaku pendapatan per bulan orang tuanya mencapai kurang dari lima juta rupiah. Deskripsi ini disampaikan untuk mengantisipasi kemungkinan timbulnya argumen bahwa individu yang berlatar belakang ekonomi „menengah-atas‟ cenderung akan menetapkan harga suatu barang lebih tinggi dibanding individu yang berlatar belakang ekonomi „menengah-bawah‟ dan sebaliknya. Distribusi demografi subyek penelitian berdasarkan jenis kelamin dan estimasi pendapatan per bulan orang tuanya disajikan pada tabel 1. Penyajian informasi ini hanya ditujukan untuk memberi gambaran, terlepas dari besarnya kemungkinan subyek tidak mengetahui tingkat pendapatan orang tuanya dengan pasti atau menaik/turunkan tingkat pendapatan yang diketahuinya.
6
Tabel 1. Distribusi Demografis Partisipan Penelitian Variabel demografis A. Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total B. Estimasi pendapatan orang tua per bulan < Rp 5 juta Rp 5 juta - < Rp 10 juta Rp 10 juta - < Rp 15 juta Rp 15 juta - < Rp 20 juta Rp 20 juta atau lebih Total Sumber: data primer diolah
Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok kendali
23 (31,9 %) 49 (68,1 %) 72 (100,0 %)
41 (56,9 %) 31 (43,1 %) 72 (100,0 %)
34 (47,9 %) 37 (52,1 %) 71 (100,0 %)
51 (70,8 %) 11 (15,3 %) 6 (8,3 %) 3 (4,2 %) 1 (1,4 %) 72 (100,0 %)
39 (54,9 %) 20 (28,2 %) 9 (12,7 %) 1 (1,4 %) 2 (2,8 %) 71 (100,0 %)
43 (62,3 %) 21 (30,4 %) 2 (2,9 %) 3 (4,3 %) 0 (0,0 %) 69 (100,0 %)
Besaran pecahan uang dan kesediaan membayar Tabel 2 menunjukkan hasil perhitungan uji beda dengan menerapkan Uji Mann Whitney antara rerata kesediaan membayar kelompok 1 dan kelompok 2 pada berbagai skenario. Secara umum, terdapat perbedaan yang nyata antara antara kesediaan membayar kelompok 1 dengan kelompok 2. Tabel 2. Rerata Kesediaan Membayar Pecahan dan jumlah uang (Rp) Kelompok 1 Kelompok 2 1 50.000 50.000 (1 lembar) (2 lembar) 2 50.000 10.000 (1 lembar) (10 lembar) 3 10.000 100.000 (10 lembar) (1 lembar) Sumber: data primer diolah Skenario
Rerata kesediaan membayar (Rp) Kelompok 1 Kelompok 2 39.225,34 73.325,69
p-value 0,000
36.592,47
49.302,08
0,001
12.237,00
34.940,97
0,000
Skenario 1 Pada skenario 1, subyek pada kelompok 1 mempunyai uang pecahan 50.000 rupiah satu lembar, sedangkan subyek pada kelompok 2 mempunyai uang dengan pecahan yang sama sebanyak dua lembar. Dengan demikian, jumlah uang yang dimiliki subyek pada kelompok 1 (Rp 50.000) lebih rendah dibanding jumlah uang yang dimiliki subyek pada kelompok 2 (Rp 100.000). Namun, besaran pecahan uang yang dimiliki masing-masing subyek adalah sama yaitu pecahan Rp 50.000. Selanjutnya, subyek pada kelompok 1 dan kelompok 2 diminta menentukan harga tertinggi yang bersedia dibayarkan untuk topeng. Rerata harga yang bersedia dibayar oleh kelompok 1 adalah Rp 39.225,34 secara nyata lebih rendah dari rerata harga yang bersedia 7
dibayar oleh kelompok 2 sebesar Rp 73.325,69 (p-value = 0,000). Hasil ini menunjukkan bahwa subyek lebih ter-anchor pada jumlah uang yang dimiliki dibanding pada besaran pecahan mata uang. Bila subyek ter-anchor pada besaran pecahan mata uang, seharusnya tidak terdapat perbedaan nyata antara rerata kesediaan membeli kelompok 1 dan 2 karena acuan harganya adalah sama-sama Rp 50 ribu. Skenario 2 Pada skenario 2, subyek pada kelompok 1 dan kelompok 2 mempunyai jumlah uang yang sama dengan jumlah uang yang dimiliki pada skenario 1. Subyek pada kelompok 1 mempunyai uang sebesar Rp 50.000 dan subyek pada kelompok 2 mempunyai uang sebesar Rp 100.000. Namun pada skenario ini subyek pada kelompok 2 dinyatakan memiliki uang pecahan Rp 10.000 sebanyak sepuluh lembar. Pada skenario ini disusun suatu kombinasi antara jumlah lebih sedikit dengan pecahan besar (Kelompok 1) dan membandingkannya dengan kombinasi antara jumlah lebih banyak dengan pecahan kecil (Kelompok 2). Hasil menunjukkan bahwa, untuk barang yang sama, rerata subyek pada kelompok 2, yang mempunyai jumlah uang lebih banyak, bersedia membayar pada harga Rp 49.302,08 sementara rerata subyek pada kelompok 1 hanya bersedia membayar pada harga Rp 36.592,47. Selisih rerata harga kesediaan membayar ini secara nyata berbeda (p-value = 0,001). Sejalan dengan hasil eksperimen 1, hasil eksperimen 2 juga menunjukkan bahwa subyek lebih ter-anchor pada besarnya uang yang dimiliki dibanding pada besaran pecahan mata uang. Skenario 3 Untuk melihat dampak besaran pecahan mata uang terhadap kesediaan membayar tanpa adanya pengaruh faktor boundary¸ maka pada skenario 3 subyek pada kelompok 1 dan 2 dikondisikan memiliki uang dalam jumlah yang sama, masing-masing Rp 100.000, namun memiliki pecahan yang berbeda. Subyek pada kelompok 1 mempunyai pecahan Rp 10.000 sebanyak sepuluh lembar sedangkan subyek pada kelompok 2 mempunyai pecahan Rp 100.000 sebanyak satu lembar. Hasil uji Mann Whitney menunjukkan bahwa rerata kesediaan membayar subyek pada kelompok 1 sebesar Rp 12.237,00 lebih rendah dibanding kesediaan membayar subyek pada kelompok 2 sebesar Rp 34.940,97. Perbedaan ini nyata dengan p-value = 0,000. Hal ini menunjukkan, bahwa pada kondisi jumlah uang yang sama (tanpa boundary), ketika seseorang harus mengambil keputusan dalam kondisi ketidakpastian (tidak mengetahui harga barang), besaran pecahan mata uang dapat menjadi anchor bagi kesediaan seseorang untuk membayar. Semakin besar pecahan mata uang yang dimiliki, semakin besar harga yang bersedia dibayarkannya. Kesediaan membayar kelompok kendali Subyek pada kelompok kendali ditanyakan kesediaannya membayar atas sejumlah barang tertentu yang sama dengan kelompok 1 dan 2 namun tidak diberi informasi mengenai pecahan atau jumlah uang yang dimiliki. Tabel 3 menunjukkan perbandingan rerata kesediaan membayar antara subyek pada kelompok 1, kelompok 2, dan kelompok kendali. Pada kelompok kendali, subyek diminta untuk menentukan kesediaan membayar atas tiga barang yang digunakan pada skenario 1-3 tanpa mendapat informasi jumlah uang maupun besaran pecahan mata uang. Dengan demikian, subyek dalam kelompok kendali diharapkan menggunakan informasi lain yang dimilikinya sebagai dasar untuk menetapkan kesediaannya membayar. Dari keseluruhan hasil uji beda pada Tabel 4 8
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara rerata kesediaan membayar oleh subyek pada kelompok 1 dan kelompok 2 dengan kesediaan membayar kelompok kendali. Hasil ini memperkuat hasil eksperimen dengan skenario 1 - 3 dimana jumlah uang dan besaran pecahan uang dapat menjadi anchor bagi seseorang untuk mengambil keputusan mengenai kesediaan membayarnya terutama dalam situasi ketidakpastian. Tabel 3. Rerata Kesediaan Membayar Kelompok Kendali
Skenario 1 2 3 Skenario 1 2 3
Panel A Rerata kesediaan membayar (Rp) Kelompok 1 Kelompok kendali 39.225,34 297.289,86 36.592,47 101.373,24 12.237,00 55.714,29 Panel B Rerata kesediaan membayar (Rp) Kelompok 2 Kelompok kendali 73.325,69 297.289,86 49.302,08 101.373,24 34.940,97 55.714,29
p-value 0,000 0,000 0,000 p-value 0,000 0,000 0,005
Keterbatasan dan Saran untuk Penelitian Mendatang Hasil eksperimen mengindikasikan bahwa dalam pengambilan keputusan untuk membayar individu dapat saja meng-anchor pada besaran pecahan uang. Namun demikian pada eksperimen yang bersifat dua dimensi (Mengisi kuisioner) dapat terjadi efek framing, yakni terkait dengan bagaimana pernyataan ditampilkan. Misalnya, pernyataan kuisioner “Anda memiliki Rp 50.000 sebanyak dua lembar” akan menekankan subyek untuk mengacu pada angka “50.000” beserta gambarnya dan mengabaikan nilai total uang yang dimilikinya. Pada kondisi ini, penetapan harga yang ter-anchor pada angka dan gambar uang berhasil dibuktikan. Namun demikian pada kenyataannya individu dapat saja lebih ter-anchor pada jumlah uang yang dimilikinya (Sebagaimana hasil pada skenario 1 dan 2) atau harga barang lain. Oleh karena itu untuk memperkuat hasil eksperimen laboratorium ini perlu dilakukan eksperimen lapangan yang melibatkan transaksi riil. Keterbatasan berikutnya dari eksperimen ini adalah nilai kesediaan membayar dari responden yang dinyatakan memiliki pecahan besar dan kecil adalah rerata dari seluruh peserta eksperimen. Maksudnya, tidak semua responden yang dinyatakan memiliki pecahan besar ter-anchor pada besarnya pecahan uang yang dinyatakan dan demikian pula dengan responden yang dinyatakan memiliki pecahan uang kecil. Secara rerata memang responden yang dinyatakan memiliki pecahan besar bersedia membayar lebih mahal dan sebaliknya, namun pada aras individual kesediaan membayar lebih bervariasi.
9
Daftar Pustaka Amado, S, Tekozel, M, Topsever, Y, Ranyard, R, Del Missier, F & Bonini, N 2007, „Does “000,000” matter? Psychological Effects of Turkish Monetary Reform, Journal of Economic Psychology, vol 28, pp. 154-169 Epley, N & Gilovich, T 2006, „The Anchoring-and-Adjustment Heuristic Why the Adjustments Are Insufficient‟, Psychological Science, vol 17, no 4, pp. 311-318 Hammond, JS, Keeney, RL, & Raiffa, H 1998, „The Hidden Traps in Decision Making‟, Harvard Business Review, September - October Horowitz, JK & McConnell, KE 2001, „Willingness to Accept, Willingness to Pay and the Income Effect‟, Social Science Research Network Electronic Paper Collection, http://papers.ssrn.com/paper.taf?abstract_id=261107, diunduh Maret 2010 Monroe, KB 1990, „Pricing: Making Profitable Decisions‟, 2nd edition, McGraw-Hill, New York Mussweiler, T & Strack, F 2000, „The Use of Category and Exemplar Knowledge in the Solution of Anchoring Tasks‟, Journal of Personality and Social Psychology, vol 78, no 6, pp 10381052 Neale, GB & Neale, MA 1987, „Experts, Amateurs and Real Estate: An Anchoring-andAdjustment Perspective on Property Pricing Decisions‟, Organizational Behavior and Human Decision Processes, vol 39, pp 84-97 Nunes, JC & Boatwright, P 2004, „Incidental Prices and Their Effect on Willingness to Pay‟, Journal of Marketing Research, vol XLI, November, pp. 457-466 Pelham, BW, Sumarta, TT & Myaskovsky, L 1994, „The Easy Path from Many to Much: The Numerosity Heuristic‟, Cognitive Psychology, vol 26, pp. 103-133 Plous, S 1993, „The Psychology of Judgment and Decision Making‟, McGraw-Hill, New York Ragubhir, P & Srivastava, J 2002, „Effect of Face Value on Product Valuation in Foreign Currencies‟, Journal of Consumer Research, vol 29, December, pp. 335-347 Siaran Pers Bank Indonesia No.7/ 96 /PSHM/Humas 2005, „Uang Kertas Pecahan Rp50.000 dan Rp10.000 Tahun Emisi 2005 Resmi Diluncurkan‟, 20 Oktober Simonson, I & Drolet, A 2004, „Anchoring Effects on Consumers‟ Willingness-to-Pay and Willingness-to-Accept‟, Journal of Consumer Research, vol 31, December, pp. 681-690 Tversky, A & Kahneman, D 1974, „Judgment Under Uncertainty: Heuristics and Biases‟, Science, vol 185, no 4157, pp. 1124-1131 Wansink, B, Kent, RJ & Hoch, SJ 1998, „An Anchoring and Adjustment Model of Purchase Quantity Decision‟, Journal of Marketing Research, vol XXXV, Februari, pp. 71-81 Wertenbroch, K, Soman, D & Chattopadhyay, A 2007, „On the Perceived Value of Money: The Reference Dependence of Currency Numerocity Effects‟, Journal of Consumer Research, vol 34, June, pp. 1-10
10