Darminto M Sudarmo
Anatomi Lelucon di Indonesia
Penerbit:
KOMBAT Publishers
Anatomi Lelucon di Indonesia DARMINTO M SUDARMO
Penerbit: KOMBAT Publishers kombatbuku.blogspot.com ihik3.com
[email protected]
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
Ucapan Terima kasih
B
uku ini dedikasikan untuk orang-orang yang telah menyumbangkan hidup dan kehidupannya demi seni humor dan seluruh derivatnya. Beliau-beliau adalah orang yang hebat, ilmuwan dan praktisi humor khas Indonesia, bahkan sebagian di antaranya telah mempengaruhi cara berpikir saya dalam menyikapi dan menghargai humor. Bertahun-tahun kami terlibat dalam diskusi, dalam perdebatan, dalam kesamaan dan persilangan pandangan tentang humor, namun semua itu justru makin mempererat persahabatan dan keindahan dalam pertemanan. Sebagian sudah ada yang almarhum, sebagian lain Alhamdulillah, masih diberi umur panjang. Kepada Empu humor Indonesia, Arwah Setiawan (pendiri dan ketua Lembaga Humor Indonesia) yang eksistensi dan dedikasinya terhadap pengembangan dan pelestarian seni humor, tak tergantikan, terimakasih. Tokoh multitalenta Jaya Suprana, kartunis, humorolog, musikus, budayawan, pendiri Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) dan banyak lagi predikat hebat yang melekat padanya, terimakasih. Dalam banyak momentum, kami berkesempatan melakukan sosialisasi dan interaksi dengan tokoh-tokoh yang perhatian dan perjuangannya menegakkan “ideologi” humor sangat gagah dan menggugah; beliaubeliau adalah: Amarzan Lubis/Batara Sakti (penerjemah Mati Ketawa Cara Rusia); Goenawan Mohamad, kolomnis Catatan Pinggir, Tempo; Gus Dur iii
(KH Abdurrahman Wahid), Bapak Humor Indonesia, terimakasih. Masih banyak sekali rekan/sahabat yang kontribusi humoristiknya sangat besar dan tak dapat saya sebutkan satu persatu; mereka di antaranya adalah: Danny Septriadi, Seno Gumira Ajidarma, Pramono R. Pramoedjo, GM Sudarta, Priyanto Sunarto, Prie GS, Jitet Koestana, Bambang Haryanto, Wagiono Sunarto, Darmanto Jatman, Yehana SR, Kemala Atmojo, Koesnan Hoesie, Ayu Utami, M Jusuf Lubis, Tris Sakeh, Ridwan Idris…terimakasih…terimakasih!
iv
Anatomi Lelucon di Indonesia Hak Cipta: @Darminto M Sudarmo Nama Penerbit: Kombat Publishers Alamat email:
[email protected] Desain Sampul: Kombat Team Penata Letak: Kombat Team Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari Penerbit Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT) Sudarmo, Darminto M Anatomi Lelucon di Indonesia Jakarta, Kombat Publishers, November, 2014 Format: Portrait - 13 x 19 cm—306 hal ISBN: 979-3468-28-9 Anatomi Lelucon di Indonesia Pertama kali diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas Jakarta, November 2004 dengan ISBN 979-709-149-x
v
Daftar Isi Kata Pengantar Penulis, viii Anatomi Lelucon di Indonesia, 1 Tragis Komis Skandal Bank Bali, 7 Datang dan Pergi Pelawak Indonesia, 12 Institut Seni Lawak Indonesia, 17 Sukses, Yes!, 25 Menjadi Pelawak Mengapa Tidak?, 30 Mengapa Grup Lawak Bubar, 37 Keajaiban 15 Menit dalam Pentas Lawak, 43 Melayat Budaya untuk Humor Indonesia, 50 Wawancara Imajiner dengan Bing Slamet, 57 Wawancara Majalah Historia kepada Penulis tentang Bing Slamet, 62 Lawak, Kesenian Kelas Jongos, 74 Membedah Anatomi Kerja Kartunis, 77 Ya Beginilah Kartun dan Kartunis Indonesia, 85 Wawancara Imajiner dengan Bung Karno & Pak Harto,
95 Komedi, Seni Menguasai Penonton, 101 Humor-humor Tokoh Indonesia, 106 Kartun untuk Demokrasi, 114 Kartunis Perlu Melirik Pasar Ekspor, 119 Berlomba Memperebutkan Yen dan Dolar, 124 Megawati dan Kartunis, 131 Megawati di Mata Kartunis, 136 Meniti Buih Tragedi dan Komedi, 158 Ki Semar Samar-Samar, 169 Pelawak dan Daerah Bebas Prestensi, 173
vi
Kemiskinan Rasa Humor, 177 Kokkang 20 Tahun, Menunggu Punah, 180 Dalang Edan dan Logika Gemblung, 186 Budaya Instan, 191 Animasini Animasono, 195 Lawak dan Ibu Momentum, 199 Monolog Butet yang Laris Manis, 206 Komik Politik Amien Rais, 210 Dongeng Baru Sebelum Tidur, 213 Alam Terkembang Menjadi Guru, 216 Pelawak Itu Udara, 221 Kartun Instalasi Sibuk Mencari Dimensi, 230 Film India, Nehi!, 234 Pujangga Kolom Lucu Indonesia, 239 Harapan Baru untuk Stand Up Comedy, 243 Tema Sensitif dalam Stand Up Comedy, 248 13 Pantangan yang Harus Dihindari Komedian, 257 10 Tips untuk Komedian Pemula, 262 Mengapa Kelucuan Pelawak Tak Bertahan Lama?, 268 Mari Melek Sejarah Perlawakan Kita Sendiri, 272 Lontong…Lontong!! Kembalikan Cak Tolong!!!, 278 Kabar Baik buat Mahasiswa, Peneliti, dan Peminat Studi Humor, 280 Sumber Bahan, 285 Tentang Penulis, 290
vii
Kata Pengantar Penulis
B
uku ini mula-mula diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas, pada 2004. Setelah hak menerbitkan kembali ke penulis, maka lalu dilakukan pemutakhiran dan penambahan materi terbaru. Hal ini karena banyaknya rekan mahasiswa atau para peminat/peneliti seni humor yang mengeluh sulitnya mencari buku tersebut di toko buku. Bahan-bahan penting terkait dengan Bing Slamet, Mang Udel, Mang Cepot, Srimulat dan selintas pandang tentang sejarah perlawakan Indonesia, berhasil ditambahkan. Banyak yang mempertanyakan, siapa peletakdasar seni lawak modern? Siapa yang memulai tradisi menulis konsep (outline story – skenario) yang khusus diperuntukkan bagi sebuah pentas lawak di Indonesia? Tentu saja tak ketinggalan bagaimana perkembangan tentang Stand Up Comedy di Indonesia. Refleksi tentang anatomi lelucon di Indonesia, sangat khas. Ada yang bermutu ada yang sebaliknya, ada pula yang begitu-begitu saja. Tetapi, seperti kata para ahli, apa yang terjadi di dunia lelucon, seperti itulah yang terjadi di berbagai bidang lain. Dengan kata lain, kalau lelucon kita membuat kita bangga atau malu, seperti itu pula sikap kita terhadap negara kita, pemerintah kita, birokrasi kita, masyarakat kita dan seterusnya. Suka atau tidak, apa yang terjadi pada produk lelucon kita adalah representasi dari apa yang terjadi pada produk budaya kita secara umum, pada semua yang ada pada kita. viii
Ungkapan ini sepertinya terkesan eskapis dan mau cari enaknya saja, tetapi kita semua pasti sudah sangat paham, dan tak dapat mengelak dari hubungan yang kait mengkait antara yang mikro dan makro, antara yang makro dan mikro. Tanpa berupaya berapologia, niat tulisan ini sebenarnya ingin mengetengahkan bagianbagian dari gejala yang nyata ada dan penuh dinamika, namun lolos dari perhatian dan kajian orang-orang ahli, para pakar dan sebagainya. Harapan saya, tulisan-tulisan ini dapat ikut menyumbangkan manfaat atau mungkin menambah panorama dan inspirasi, kendati sedikit, tentang cara melihat diri kita, di dalam cermin ruang dan waktu. Seluruh kolom atau artikel ini hampir 98,50 persen sudah termuat di media seperti: Kompas, Kontan, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Sinar Harapan, HumOr, Vista, Gatra, Panji Masyarakat, Media Indonesia, Wawasan, Nuansa, Historia dan sisanya tidak termuat karena memang belum sempat saya kirim ke media manapun. Dari yang sudah termuat di Kompas, khususnya, beberapa artikel saya tulis dengan menggunakan nama samaran: Atin Supriyatin. Ada satu artikel yang merupakan buah pikiran Emha Ainun Nadjib, berjudul Pelawak Itu Udara, karena saat berlangsung seminar, pembicaraannya direkam dalam kaset oleh rekan saya M. Nurhidayat dan kemudian ditranskrip seakan-akan sesuai dengan aslinya. Saya mohon Bung Emha, merelakan pemikirannya tentang lawak tersebut untuk saya kolaborasi dengan tulisantulisan tentang lawak lainnya, karena kehadiran ix
“tulisan” Anda akan menambah suasana “perlawakan” dalam buku ini makin padu. Seluruh tulisan ini mewakili area waktu sejak awal 1990-an hingga akhir 2003. Sedangkan tambahan yang ada, mewakili area waktu 2004 hingga 2014. Tulisan diungkap dengan gaya agak khas dan kadang-kadang rada badung, semoga para insan ilmiah, dapat mengakomodasi ungkapan dari ladang para praktisi dan empirik tersebut. Selain itu, sungguh sangat kami hargai seandainya Anda sudi urun komentar, kritik atau tanggapan, dapat langsung ke email pribadi saya
[email protected]. Akhirnya, harapan kami, para pembaca dapat memanfaatkan buku tersebut untuk berbagai keperluan, baik kaitannya dengan wawasan personal maupun peningkatan studi secara luas; khususnya di bidang seni humor dan seluruh derivatnya. Kajian tentang humor, baik yang spesifik maupun lewat multidisiplin ilmu/profesi memang sudah saatnya ditradisikan di Indonesia. Kegairahan yang sedang tumbuh subur itu, tak dapat kita tunda-tunda lagi. Selamat menikmati! Salam humor, Darminto M Sudarmo
x
Anatomi Lelucon di Indonesia
P
ernyataan keprihatinan Wimar Witoelar (Kompas, 16/2/1996, yang kemudian diralat sendiri oleh yang bersangkutan-dMs) tentang dunia lawak kita yang kian tidak lucu dan cenderung dilucu-lucukan memang bukan hal baru. Tahun-tahun lalu masalah tersebut telah diangkat Kompas dalam serial berita polemis yang mengutip komentar beberapa tokoh dan cukup memberikan ragam warna dan persepsi. Meskipun demikian, isyarat Wimar tetap menarik. Apalagi kalau rujukan itu dihubungkan dengan situasi dunia perlawakan saat ini. Munculnya beberapa tokoh -- bukan pelawak -yang ternyata mampu menyuguhkan orisinalitas lelucon, kecerdasan panorama dan gelitikan, tentu saja mengundang pertanyaan masyarakat, apa sebenarnya yang sedang terjadi dengan dunia lawak Indonesia saat ini? Menurut saya, dunia lawak kita baik-baik saja. Sejauh lawak diartikan masyarakat sebagai medium badut-badutan, lucu-lucuan, apa yang mereka hasilkan tentu saja tak jauh dari yang dibutuhkan konsumen. Setidaknya, inilah asumsi sebagian pelawak kita tentang keinginan masyarakatnya. Masyarakat yang mana? Transformasi dan percepatan telah terjadi di berbagai bidang; bahkan, di citarasa seni dan estetika sebagian masyarakat. Maka gugatan terhadap anggapan sementara pelawak yang terlalu menyederhanakan pengertian masyarakat, bermunculan. Apalagi, hadirnya beberapa tokoh bukan pelawak -- dalam tulisan, seminar, pidato dan lain-lain -yang mampu menyuguhkan lelucon genuine dan memenuhi tuntutan citarasa mereka, makin memperkuat dugaan: ada yang tidak beres dalam dunia 1
Anatomi Lelucon di Indonesia
lawak kita. Atau setidaknya: ada kemandegan eksplorasi. *** LELUCON, lebih-lebih humor, adalah energi budaya yang kandungan pengertiannya amat rumit. Maka sangat menarik kalau di negeri kita diartikan sebagai lucu-lucuan, badut-badutan, guyon, sindiran, bahkan sinisme dan apologisme. Tak ada yang salah dengan ini. Hanya saja terkesan menyederhanakan masalah. Beberapa catatan tentang anatomi lelucon yang dimajukan ini, bertolak dari keinginan untuk mengenalkan ruang tempat proses kreatif lelucon dilahirkan. Dalam pengertian paling dasar, lelucon terjadi karena dua sebab; pertama, tak sengaja; kedua, disengaja. Lelucon tak sengaja, semua kejadian faktual lucu yang berkaitan dengan tokoh atau peristiwa. Lelucon sengaja, sebaliknya. Hasil kreasi manusia. Bisa digolongkan sebagai buah karsa, karya dan cipta umat manusia. Dari beberapa karya lelucon hasil kreasi -- lawak, ceramah, pidato, pertunjukan, tulisan, dan segala ekspresi yang dilakukan lewat medium komunikasi antarmanusia -- bisa dilacak "jurus" atau "senjata" yang menjadi pilihan para kreator sebagai alat pengungkapan ekspresinya. Jurus yang digunakan kreator bisa saja berlainan atau sama, namun tiap kreator biasanya berupaya mencapai stilisasi yang khas dan pas untuknya. Pertama, guyon parikena. Isi leluconnya bersifat nakal, agak menyindir. Tapi tidak tajam-tajam amat. Bahkan cenderung sopan. Dilakukan oleh bawahan kepada atasan atau orang yang lebih tua atau yang lebih 2
Anatomi Lelucon di Indonesia
dihormati. Atau kepada pihak lain yang belum akrab benar. Ada juga yang menjuluki lelucon model ini sebagai lelucon persuasif dan berbau feodalisme. Kedua, satire. Sama-sama menyindir atau mengkritik tapi muatan ejekannya lebih dominan. Bila tak pandai-pandai memainkannya, jurus ini bisa sangat membebani dan sangat tidak mengenakkan. Beberapa karikatur (political cartoon) di media barat punya kecenderungan yang kuat ke arah ini. Ketiga, sinisme. Kecenderungannya memandang rendah pihak lain. Umpama kata, tak ada yang benar atau kebaikan apapun dari pihak lain, dan selalu meragukan sifat-sifat baik yang ada pada manusia. Lelucon ini lebih banyak digunakan pada situasi konfrontatif. Targetnya, membuat lawan atau pihak lain, mati kutu. Bahkan, cemar! Keempat, pelesetan. Orang barat menyebutnya imitation and parody. Di Indonesia, seringkali juga disebut parodi. Isinya memelesetkan segala sesuatu yang telah mapan atau populer. Dalam makna politis, ia menjadi semacam alat eskapisme dari kesumpekan keadaan. Terobosannya, lewat pintu tak terduga dan ini cukup mengundang surprise. Dalam guyon sehari-hari, orang bisa saja bertanya, "Siapa pengasuh Perspektif Baru?" Lalu dijawab, "Wisman Witoelar". Kelima, slapstick. Lelucon kasar. Orang terjengkang. Kepala dipukul pakai tongkat. Pantat diselomot seterikaan panas. Pendek kata, banal. Lelucon ini sangat efektif untuk memancing tawa masyarakat dari latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi tertentu. Beberapa film kartun untuk konsumsi anak-anak, juga banyak menampilkan lelucon model ini. Si bebek atau kelinci dilempari benda oleh musuh dan masuk ke mulutnya. Benda itu ternyata granat. Lalu, 3
Anatomi Lelucon di Indonesia
meledak; tubuhnya berantakan seperti kain yang disuwir-suwir. Tak lama kemudian, pulih lagi. Lalu si bebek atau si kelinci cengar-cengir, balas menyerang lawan. Keenam, olah logika. Lelucon bergaya analisis. Sering disinggung oleh Arthur Koestler dalam teori bisosiatifnya. Lelucon ini banyak digemari oleh masyarakat tertentu, terutama dari kalangan terdidik. Ada contoh kecil joke, seorang laki-laki dari desa tersesat di Jakarta. Ia menghampiri pria yang duduk di halte bus sendirian. "Dik, numpang tanya, gedung tinggi itu namanya apa?" Lalu dijawab, "Mulia Tower." Laki-laki dari desa itu kegirangan, "Asyik...akhirnya sampai juga aku di Monas." Ketujuh, analogi. Disasarkan ke dunia Anuland, Antah Berantah, untuk mencapai persamaan-persamaan dengan kondisi atau situasi yang ingin di-"bidik". Puisipuisi Emha Ainun Nadjib yang dibacakan dalam pentas keliling "Komunitas Pak Kandjeng", atau beberapa lakon Teater Koma, banyak bermain dengan "lelucon" analogi. Kedelapan, unggul-pecundang. Seringkali disebut teori superioritas-inferioritas. Lelucon yang muncul dari perasaan diri unggul karena melihat cacat, kesalahan, kebodohan, kemalangan pihak lain. Apresian dari kelompok pengemar lelucon ini tega ketawa terpingkal-pingkal melihat orang pincang, tangan buntung, orang buta, orang terbelakang, orang sial, orang malang dan lain-lain. Kesembilan, surealisme. Lengkapnya, magic and surrealism. Dunia nirlogika. Melompat dari maknamakna yang sudah disepakati. Lelucon corak ini bisa dijumpai di novel-novel karya Iwan Simatupang, Budi Darma, Danarto (terutama: Godlob) dan Putu Wijaya. Beberapa film Alfred Hitchcock, meskipun bernuansa 4